Antologi Cerita Inspiratif SEMANGATKU DALAM BAYANGAN COVID Julita Sari, Rizky Amalia, Rizka Oktarina, dkk Diterbitkan oleh:
Lembaga Pers Mahasiswa Gelora Sriwijaya dan Universitas Sriwijaya
Antologi Cerita Inspiratif SEMANGATKU DALAM BAYANGAN COVID-19� Hak CiptaŠ LPM Gelora Sriwijaya, 2020 Penulis Julita Sari, Rizky Amalia, Rizka Oktarina, dkk. Penyunting Iva Nurliana Desainer Sampul Indah Riani Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Gelora Sriwijaya dan Universitas Sriwijaya Pemimpin Umum: Juniancandra Adi Praha | Sekretaris Umum: Annisa Dwi Kurnia | Bendahara Umum: Herni Widyaretha | Pemimpin Redaksi: Dinar Wahyuni | Pemimpin Litbang: Safina Rizki | Pemimpin Perusahaan: Fury Aura Bahri | Ketua Pelaksana: Anggi Putri Sefri Alamat: Bilik Pers Lantai 1 Gedung Student Center, Universitas Sriwijaya, Indralaya, Jl. Raya Palembang-Prabumulih KM. 32, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 30662. Email: humaslpmgs@gmail.com Humas: 0852-1999-4158 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Right Reserved Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpaizin tertulis dari penerbit. ISBN:
ii
Kata Pengantar Kata Pengantar Kehadiran Coronavirus Disease (Covid19) telah mengakibatkan berbagai kejadian yang amat luar biasa. Terutama dalam hal kehidupan seluruh manusia di muka bumi saat ini. Berbagai dampak yang timbul pun kian merugikan setiap
lini
kehidupan.
Masyarakat
pun
diimbau
untuk
mengurangi aktivitas di luar rumah dan tempat pendidikan terpaksa diliburkan. Bahkan, jutaan orang di dunia meninggal karena keganasan virus yang disinyalir kuat berasal dari Wuhan, China. Akan tetapi, di balik semua huru-hara di tengah ketidakpastian. Masih tersimpan secercah harapan dan hikmah yang patut dipelajari. Terlebih, bila hikmah tersebut dapat menjadi untaian cerita yang mampu membangkitkan semangat. Maka
dari
itu,
perlunya
dihadirkan
tulisan-tulisan
cerita
inspiratif di tengah pandemi Covid-19. Mengingat akan pentingnya hal tersebut, kami berniat untuk menghadirkan buku yang berjudul "Semangatku dalam Bayangan Covid-19". Sebuah buku yang tersusun oleh kumpulan cerita dari penulis-penulis hebat. Buku ini sengaja pula kami hadirkan dengan harapan dapat menjadi penyemangat baru bagi orang-orang yang terdampak Covid-19. Tentunya dalam hal penyusunannya tak terlepas dari berbagai dukungan dan bantuan yang berharga dari seluruh pihak sehingga perlu bagi kami untuk memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Universitas Sriwijaya, Pembina LPM Gelora Sriwijaya, para penulis yang luar biasa dan seluruh
iii
anggota aktif LPM Gelora Sriwijaya periode 2019/2020 atas segala masukan dan koreksi terhadap naskah awal buku ini. Walaupun demikian, kelak di kemudian hari akan masih terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam buku ini. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan sarannya agar kesalahan tersebut tidak mengurangi manfaat buku ini bagi pembaca. Indralaya, 8 November 2020 Tim Penulis LPM Gelora Sriwijaya Unsri
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................ iii Semangatku dalam Bayangan Covid-19 (Hikmah dan Perjuangan) Oleh Julita Sari ........................................ 7 Jatah Gagal yang Harus Dihabiskan Oleh Rizky Amalia ..................................................................................14 Merajut Hidup di Usia Senja Oleh Rizka Oktarina .......26 Perjuangan Saya Ingin Berkuliah Oleh Kartiva ............30 Suasana Baru Oleh Marsella Oktaviani .......................37 Sejuta Harapan Bersama Kicimpring di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh Febri Raharja .......................................42 Aku Kembali Pulang Oleh Rany Veronika Silalahi ........48 Perjuangan Untuk Masuk Kampus Impian pada Saat Pandemi Corona Oleh Siti Aminah ..............................56 Pandemi Membawaku Mencintai Diri Sendiri Oleh May Sarah .........................................................................61 Berkah Cireng Salju Penulis Oleh Yesi Sarika ..............65 Elly Lestari Rustiati Berdaya Demi Desa Oleh Annisa Diah Pertiwi ................................................................69 Bumi di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh Salsabila Syafni Aulia ..........................................................................73 60 Hari Bersama Aksara, Berjuang Membayar UKT Oleh Renaldo Afriansyah .....................................................79 Panggilan Hati Oleh Fiqi Adam Pamungkas .................89 Perempuan Perawat Gajah Oleh Fahimah Andini .........99 Menegakkan Aspirasi di Tengah Pandemi Oleh Adwar Pratama.................................................................... 105
v
Tentang LPM Gelora Sriwijaya Unsri ......................... 113
vi
Semangatku dalam Bayangan Covid-19 (Hikmah dan Perjuangan) Oleh Julita Sari Buruh, tani, mahasiswa, rakyat miskin kota Bersatu padu rebut demokrasi Gegap gempita dalam satu suara Demi tugas suci yang mulia Hari-hari esok adalah milik kita Terciptanya masyarakat sejahtera Terbentuknya tatanan masyarakat Indonesia baru tanpa orba Sejenak aku terdiam mengikuti alunan lagu pembebasan yang
diciptakan
oleh
Safiâ€&#x;i
Kemamang.
Lagu
ini
yang
mengingatkanku akan perjuangan bertahan dalam keadaan ekonomi yang tidak stabil di kala pandemi saat ini. Saat ini, aku telah kembali ke perantauan untuk menyelesaikan semua yang sudah menjadi kewajibanku. Pendidikan yang satu langkah lagi meraih gelar sarjana. Memori ingatanku kembali lagi pada beberapa bulan silam, saat perjuangan-perjuangan yang kulalui sebagai anak petani dari desa. Maret 2020, Senja mulai menghilang, gelap perlahan menyapa, diam pun memberikan ketenangan. Panggilan dari sang muadzin membuyarkan lamunanku. Segera kubasuh muka mengambil air wudhu dan menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah. Setelah selesai mengadu pada sang
7
pencipta, keresahan yang aku rasakan kini mulai sedikit memudar. Aku mulai mengambil gadget di atas nakas. Tarik ulur
beranda
melihat
berita
terbaru
yang
lagi
ramai
dibicarakan. Iya, wabah yang ditakutkan oleh masyarakat mulai memasuki negeri tercintanya. Para pemangku jabatan sibuk berdebat di ruangan berAC memikirkan kebijakan yang akan dilakukan. Masyarakat kelas atas hulu hilir memburu stok makanan. Sedangkan masyarakat menengah ke bawah dan pekerja harian sibuk memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup mendapatkan pundi-pundi rupiah. Memusingkan ekonomi yang kian caruk maruk, harga bahan pokok kian melambung dan hasil tani pun ikut menjerit karena hasil panen yang turun drastis. April 2020, sekolah dan universitas diliburkan. Kebijakan baru
yang
dikeluarkan
kementerian
pendidikan
dan
kebudayaan bahwa semua anak-anak sekolah dan mahasiswa diwajibkan untuk belajar daring. Saat itu, aku pulang ke rumah karena di daerah perantauan pun aku tak bisa berbuat apa-apa. Bertahan di kota orang dengan tetap membayar kontrakan tentunya akan membebani keuangan orangtuaku. Emak membangunkanku saat ayam belum berkokok. “Nak, hari ini kamu jaga rumah, ya dan bantu adik-adikmu belajar daring, mak sama abah mau berangkat ke kebun,� ucap emakku. Aku tersenyum. “Iya, Mak, hari ini aku siap membantu dan memantau adik-adik belajar daring,� jawabku. Pagi itu, aku sibuk memasak di dapur dan menyiapkan bekal untuk kedua orangtuaku yang akan pergi ke kebun untuk menyadap karet lalu melanjutkan pergi ke sawah untuk
8
menyemai padi. Kami empat bersaudara, aku mempunyai kakak yang sudah menikah dan tinggal bersama keluarga barunya di kota lain. Aku juga mempunyai dua adik. Adik lakilaki ku duduk di kelas 6 SD dan adik perempuanku duduk di bangku kelas 11 SMA. Kebijakan
belajar
daring
tentunya
menyulitkan
orangtuaku, walaupun di zaman serba canggih ini banyak anak-anak yang sudah mempunyai gadget. Namun berbeda dengan
kedua
adikku
yang
belum
beruntung
untuk
mempunyai teknologi canggih tersebut yang termasuk barang yang mudah didapatkan bagi mereka yang beruang tapi tidak bagi mereka yang hidup sederhana dan hanya mampu memenuhi kebutuhan seadanya. Penghasilan abah sebagai petani karet tentunya dapat membantu
membayar
uang
kuliahku
dan
mencukupi
kebutuhan rumah tangga. Namun di kala pandemi saat ini, penghasilan menurun drastis. Pendidikan abah yang tak lulus SMP membuatnya harus bekerja mengandalkan tenaga. Begitu pun dengan emak yang hanya sekolah sebatas kelas 3 SD, membuat emak harus rela panas-panasan di kebun dan di sawah
demi
menyekolahkan
membantu
perekonomian
anak-anaknya
hingga
keluarga
dan
mampu
menjadi
bersyukur
memiliki
sarjana. Meski
demikian,
kami
sangat
kehidupan yang lebih baik dari kebanyakan orang. Masih bisa bersekolah dan tinggal di rumah yang sederhana. Satu gadget digunakan secara bersama. Setiap pagi aku harus mengajari adikku bersama teman-temannya yang merupakan anak
9
tetanggaku yang tidak mempunyai gadget untuk belajar di rumahku. Dan setelah sibuk mencatat tugas dari guru adikku, aku akan mengajarkan mereka berdasarkan panduan yang telah disampaikan oleh gurunya. Maka setelah kegiatanku selesai, beralih kepada adikku yang masih sma yang sibuk meminjam gadget-ku dan mengikuti panduan gurunya belajar secara daring. Hari-hari kujalani sebagai kakak yang harus mengajari adikku dan anak-anak tetangga yang ikut belajar bersama. Masih di bulan April 2020, harga karet yang biasanya pengepul tawarkan dengan harga Rp 5.500/kg turun drastis menjadi Rp 2.500/kg. Hal ini membuat senyum dari abah dan emakku seakan memudar. Aku harus melakukan apa pun demi membantu kedua orangtuaku. Aku mulai ikut ke kebun dan membantu menyadap karet bersama mereka. Hal ini biasa kulakukan di saat libur semester. Namun kali ini, hampir setiap hari aku ikut ke kebun dan membantu menyadap karet dan ikut ke sawah untuk membersihkan rumput-rumput yang ada di sawah. Kebiasaan baru dengan lingkungan yang baru, aku bertemu dengan para petani yang membuatku semakin bersosialisasi bersama masyarakat. Terkadang mereka memuji kepiawaianku dalam membersihkan rumput di sawah tanpa takut kotor. Abah dan emak terkadang hanya menyuruhku di rumah saja. Namun aku tetap bersikukuh untuk ikut langsung merasakan apa yang mereka rasakan selama ini. Seperti pepatah yang mengatakan “sambil menyelam minum air�, itulah yang kulakukan sambil mengerjakan sesuatu namun aku dapat menyelesaikan yang lainnya. Dengan berbekal
10
pengetahuan yang kubaca dan update setiap hari dari berbagai sumber resmi, aku memberikan edukasi kepada para petani supaya tidak termakan hoax. Saat semua warga di desa ku ramai dan menjauhi salah satu warga yang sakit dan dipercayai terserang Covid-19. Aku mulai membagi beberapa informasi yang aku ketahui mulai dari ODP (Orang dalam pemantuan), PDP (Pasien dalam pemantauan) dan orang yang suspect corona dengan menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh masyarakat menengah ke bawah yang tidak tersentuh gadget dan mudah termakan hoax. Tentunya yang kulakukan belum tentu mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat, namun karena aku pernah belajar
cara
berkomunikasi
dengan
masyarakat
dalam
menyampaikan informasi edukasi, perlahan apa yang telah kusampaikan setidaknya membuat mereka, terutama keluarga dan tetanggaku lebih mengerti dan mulai menerapkan protokol kesehatan dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Begitu pun dengan emak dan abah di rumah, setelah pulang dari kebun dan sawah kami langsung membersihkan diri. Mei 2020, aku memutar otakku agar bisa mendapatkan penghasilan dan dapat membeli kuota untuk belajar adikadikku bersama teman-temannya yang belajar di rumah. Saat diri kita merasa lemah dan malu untuk menadahkan tangan meminta kepada orangtua maka jalan dari sudut mana pun akan selalu terbuka. Mengingat penghasilan orangtuaku yang semakin menurun dan hanya mampu membayar listrik, air dan biaya makan sehari-hari kami pun dengan menu yang sama dan hasil dari kebun daun singkong, kangkung atau ikan hasil dari memancing di sawah. Akhirnya aku dan adikku
11
memulai bisnis kecil-kecilan dengan berjualan masker dan face shield. Alhamdulillah, usaha jualanku berjalan dengan lancar, modal yang kudapatkan dengan meminjam uang dari sahabat akrab ku sebesar Rp500.000 dalam waktu satu minggu, modal sudah kembali dan bahkan kami mendapatkan untung yang lumayan mencukupi. Tak hanya sampai di situ, aku dan adikku membuka reseller yaitu ibu-ibu rumah tangga yang mau bergabung menjadi reseller. Hingga pada Juni 2020, kami sudah memiliki reseller
dari
desa-desa
sebelah
dan
penghasilanku
ini
kujadikan modal lagi untuk memperbanyak produk yang dijual. Walaupun hasilnya tidak sebanyak uang jajan anak pengusaha, namun setidaknya dapat membantu keuangan keluarga dan membantu ibu-ibu rumah tangga yang sudah bergabung menjadi reseller kami. Abah dan emak tersenyum saat aku dan adikku sibuk mengepak barang yang akan dikirimkan ke reseller. Walaupun aku mempunyai kegiatan baru di rumah namun aku tetap ikut ke kebun walau hanya setengah hari. Aku bangga terlahir sebagai anak petani, pekerjaan halal dengan keringat yang mengantarkanku menjadi seorang mahasiswa. Tetes demi tetes getah karet berwarna putih itu sangat berharga bagi abah, emak dan para petani karet. Di masa pandemi ini semua kalangan harus bisa survive untuk bisa bertahan. Dokter dan tenaga keperawatan harus bisa menjaga kesehatannya. Pengusaha
harus
bisa
menstabilkan
keuangan
perusahaannya agar tidak terjadi PHK besar-besaran. Petani, buruh dan nelayan harus bisa bertahan berjuang demi
12
keluarga tercintanya. Guru dan tenaga pendidikan harus tetap memberikan ide-ide agar pelajar tak buta pengetahuan. Pemerintah dan pemangku jabatan harus bisa mengambil kebijakan
untuk
menstabilkan
ekonomi,
pendidikan,
kesehatan dan berbagai bidang lainnya. Semua akan indah jika dijalani secara bersama, yang berada membantu yang lemah dan yang lemah harus mampu berjuang dan saling menguatkan. Saat ini, aku sudah kembali ke kota perantauan untuk fokus
menyelesaikan
tugas
akhirku,
namun
aku
tetap
menjalankan bisnis kecil-kecilanku yang dipegang oleh adikku yang masih SMA. Saat ini aku mempunyai 22 reseller dari desaku dan desa-desa tetangga. Di akhir tahun ini, aku akan memberikan toga kebanggaanku kepada orangtuaku sebagai hasil dari jerih payah mereka.
13
Jatah Gagal yang Harus Dihabiskan Oleh Rizky Amalia Hari itu senja Bandung sudah mulai padam dan berganti dengan tirai gelap bertabur bintang yang membentang di angkasa.
Suasana
tanpa
cahaya
dan
minimnya
udara
menemani hari-hari empat sekawan itu. Berbeda dengan hari biasanya, tawa seketika tersihir menjadi kekhawatiran semu. Mereka bertahan di tengah-tengah gentir kehidupan fase baru lalu diselimuti ketakutan terhadap pandemi dan zona merah. Malam itu, korban Covid-19 semakin bertambah. Akhirakhir
ini
beranda
pengelihatan
Line
Sahla,
selalu
dalam
menjadi
sorotan
genggamannya
utama
timeline
itu
semakin menunjukkan peningkatan korban yang terinfeksi virus
dan
terus
menambah
ruam
ketakutan
perihal
bagaimana caranya bertahan hidup di tengah pandemi, terlebih lagi bukan kampung sendiri. “Guys, ya Allah, bahaya sekali Covid-19 ini, korban terus bertambah dan hingga saat ini sudah mencapai 1.450 korban jiwa,” ujar Sahla khawatir. “Ya, Allah bagaimana ya? Apa kita pulang saja ke kampung?” tanya Rinai menimpali. “Sebaiknya begitu, tetapi kita belum ada surat edaran libur bukan dari universitas?” sambung Dewi.
14
“Ya, belum ada. Mau pulang kampung? Saran aku sih, kita tunggu surat edaran dulu dari kampus. Setelah itu kita langsung pesan tiket, gimana?” ujar Syifa. “Setuju!” saut Sahla, Rinai dan Dewi serentak. Esok harinya, harapan akan libur di masa pandemi pun terwujud.
Dalam
sekejap
banyak
teman-teman
mereka
mengunggah screenshot surat edaran libur mahasiswa di media
sosial
whatsapp.
Dengan
sigap,
Sahla
langsung
mengetuk pintu kamar Syifa, Dewi dan Rinai. Hey, beneran libur guys! Ayo pesan tiket sekarang!” ujar Sahla penuh semangat. “Ayo! Pesan tiket tanggal berapa nih sebaiknya?” tanya Rinai. “Bagaimana kalau lusa? Jadi besok buat persiapan aja?” usul Dewi. “Ok! Sahla nanti pesan empat tiket, ya?” ujar Syifa. “Siap, laksanakan,” ucap Sahla semakin semangat. “Yuk, sekarang kita siap-siap. Semoga kita sampai tujuan dengan selamat ya guys, aamiin” sambung Rinai menimpali. Akhirnya waktu untuk pulang kampung pun tiba. Sebenarnya sangat takut bagi mereka ketika berada di dalam perjalanan. Sesampainya di bandara, pemeriksaan begitu
15
ketat. Banyak petugas keamanan berdiri hampir disetiap sudut bandara, membawa alat pengecek suhu badan dan lengkap dengan atribut berupa masker dan sarung tangan. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan ketat dari para petugas bandara, mereka kemudian masuk dan menunggu di kursi tunggu bandara. Satu jam kemudian, pesawat yang mereka tumpangi pun siap lepas landas dan akhirnya empat sekawan itu berangkat pulang menuju kampung halamannya. Deru pesawat terbang yang melintasi awan dan para angin akhirnya menghantarkan mereka tiba di kampung halaman. Sesampainya di kampung halaman, tidak lupa mereka
langsung
disinfektan
membersihkan
terhadap
barang-barang
diri,
menyemprotkan
mereka
dan
tetap
menjaga jarak dengan orang-orang sekitar. Kuliah pun mereka lanjutkan secara daring di kediaman masing-masing. Hari demi hari di kampung halaman mereka lalui dalam menjalankan perkuliahan secara daring. Tentu berbeda rasanya, mereka dan rekan-rekan yang lain juga merasakan adanya imbas dari pandemi ini, namun di satu sisi mereka akhirnya bisa berkumpul bersama keluarga lagi walaupun sebenarnya tidak dalam masa liburan. Waktu berputar dengan begitu cepat, setelah dijalani begitu saja akhirnya semester dua yang sedang mereka tempuh usai sudah. Libur benar-benar terbit kali ini. Bukan semu seperti sebelumnya, di rumah namun bukan libur namanya. Entah sampai kapan pandemi ini akan berakhir, libur dengan durasi lama pun dirasa membosankan, pasalnya
16
belum ada lagi kegiatan positif serta teman-teman yang selalu memotivasi dan saling mendukung untuk tidak malasmalasan di era pandemi ini. Di sudut ruang tamu, sedari tadi Dewi dengan jarijarinya sedang asyik berselancar di media sosial. Tiba-tiba muncul notifikasi chat dari Syifa di grup whatsapp empat sekawan itu. “Sister! Ada karantina tahfidz Al-Quran nih untuk program mahasiswa selama 12 bulan. Biayanya sama seperti kosan. Oh iya, kemarin kan ada rencana mau pindah kosan, gimana kalau kita pindah di sini saja?” ujar Syifa di grup whatsapp. “Wah boleh itu. Kapan Fa programnya dimulai?” sahut Rinai. “Tanggal 13 Juli 2020 guys, gimana ya lain bisa tidak?” tanya Syifa. “Kalau Sahla setuju sih, tetapi bagaimana kita pergi kesana, sedangkan ini masih masa pandemi,” sahut Sahla ragu. “Kemarin Kakak aku ke Bandung naik bus, katanya sudah bisa ke luar kota tetapi tetap menuruti protokol kesehatan,” ujar Dewi. “Oke, mau daftar kapan nih jadinya?” timpal Syifa penuh semangat. “Besok saja, aku mau diskusi dulu sama orang tua” balas Rinai.
17
Setelah berbincang dengan orang tua, empat sekawan itu kemudian disetujui untuk berangkat keluar kota dan mengisi waktu luang untuk mengikuti karantina menghafal Al- Quran. Dua hari setelah pengumuman diterimanya mereka di tempat karantina itu, mereka langsung menyiapkan keperluan untuk berangkat ke Kota Bandung. Usai sudah semua perlengkapan dipersiapkan. Tidak lupa mereka juga mempersiapkan sarung tangan, masker, dan hand sanitizer untuk selalu menjadi teman di perjalanan saat pandemi ini. Pagi hari bus itu menyambut di pinggir jalan yang ramai. Syifa dan Dewi yang rumahnya tidak berjauhan langsung segera menaiki bus itu. Sekitar satu jam perjalanan bus berhenti, melengkapi anggota
empat sekawan
itu. Dari
kejauhan terlihat Sahla bersama orangtuanya menunggu di tepi
warung
mie.
Setelah
berpamitan,
Sahla
langsung
bergabung bersama Syifa dan Dewi. Mereka bertiga sibuk bercanda, teringat kosan yang apek dan tidak cahaya itu akhirnya harus mereka tinggalkan. Asik mengobrol sepanjang perjalanan, tidak terasa bus berhenti dan Rinai bergabung melengkapi. Bus
jurusan
Pagaralam-Bandung
itu
begitu
lincah
menyusuri jalanan. Sudah hampir enam belas jam, akhirnya bus itu tiba juga di perbatasan Sumatera-Jawa. Tanpa ragu, bus besar itu masuk ke awak kapal, siap menyeberangi lautan menuju Pulau Jawa. Di balik jendela bus, pemandangan Pelabuhan Merak jelas terlihat. Pelabuhan kini nampak berbeda karena sudah tidak seramai dahulu. Hanya sedikit terlihat orang-orang
18
beraktivitas disana. Barangkali karena adanya pandemi ini, rasa takut itu masih setia membersamai penduduk negeri. Bus terus membersamai mereka dan Kota Bandung terasa semakin dekat. Perjalanan 24 jam berhasil membuat kaki mereka sedikit membengkak dan melukiskan kekusaman di wajah mereka. Di balik kelelahan dan rasa takut terpapar virus yang selalu menghiasi mereka selama perjalanan namun tidak membuat mereka patah semangat untuk selalu yakin akan kebermanfaatan yang akan terbit setelah ini. “Sahla, bangun. Kita sudah sampai di loket bus loh,” ujar Rinai sembari menepuk pundak Sahla. “Em, cepet juga ya. Sebentar, mau beres-beres barang dulu.” sahut Sahla lesu. “Ngga usah La, sudah dibawa barang-barangnya sama Dewi, yuk langsung turun. Mereka sudah menunggu di bawah.” tanggap Rinai sembari berjalan turun. Kota Bandung menyambut dengan udara sejuk melalui pasukan angin disetiap molekul udara. Bandung memang sudah di depan mata, namun empat sekawan itu belum tiba juga. Mereka masih harus melanjutkan perjalanan ke kosan bersejarah itu, siap berkemas untuk kemudian menyelami lautan kebermanfaatan. Tidak butuh waktu lama, angkutan umum yang mereka pesan secara daring pun dengan cepat menghantar mereka sampai ke kosan. “Akhirnya sampai juga,” ucap Syifa lega.
19
“Iya, yuk sekarang kita istirahat dulu. Besok kita lanjut ke tempat karantina tahfidz-nya ya. Masih punya masker semua kan?” tanya Dewi. “Masih punya nih. Yuk sekarang bersih-bersih, semangat buat besok!” ujar Rinai. “Semangat!” sambung Sahla. Di tempat karantina. Canda dan tawa berbalut keseriusan bermakna. Proses menghafal Al-Quran mulai mereka jalani. Tidak pernah dipikirkan sebelumnya, bahwa pandemi memberikan ruang artikulasi baru bagi mereka, menghirup kebermanfaatan yang mungkin tidak mampu didapatkan ketika berdiam diri di rumah. Di tempat ini mereka menemukan banyak hal. Salah satunya teman baru. Yanti seorang mahasiswa jurusan PKN dan Hani jurusan Bahasa Arab lambat laun menjadi bagian dari
mereka.
Mereka
berjuang
bersama
dalam
memaksimalkan potensi diri selama pandemi ini. Di atas pekarangan tempat karantina tahfidz, Sahla memandang langit, kemudian beralih sorot matanya ke buku catatan kisah perjalanannya. Hingga tibalah ia pada lembar yang mengingatkannya akan pertemuan empat sekawan itu dengan Yanti dan Hani. “Hey! Lagi apa, La? Udah setoran hafalan?” ucap Syifa tiba-tiba. “Ih kaget, kirain siapa. Ini Fa, ingat pertemuan kita dulu
20
sama Yanti dan Hani. Luar biasa ya, ternyata adanya pandemi ini bisa menyediakan ruang produktif bagi kita untuk menghafalkan Al-Quran,” timpal Sahla sembari tersenyum. “Iya Sahla. Tetapi aku kepikiran satu hal. Apakah alangkah baiknya jika kita juga mengikuti perlombaan? Aku sering sekali ingin mengikuti lomba, tetapi setiap info perlombaan hanya berujung pada tumpukan screenshot yang tidak pernah dieksekusi hehe,” ucap Syifa. “Benar, Fa. Kamu mending ada keinginan sampaisampai screenshot info perlombaan. Aku selama ini tidak pernah ada niat dan semangat. Namun, harusnya pandemi ini bisa kita manfaatkan lebih ya. Waktu luang kan banyak. Kuliah dan menghafal pun syukurlah tidak terkendal,” sambung Sahla. “Duh duh, keren sekali bahasan teman-teman ini,” sahut Yanti yang berjalan menuju arah mereka. “Aku juga ingin loh ikut lomba. Dulu SMA aku sering ikutan lomba tetapi semakin kesini semakin malas. Ada keinginan untuk ikut lomba dan lebih produktif lagi, ya mumpung masih muda. Tapi kadang ya itu, kalau sendiri terkadang
tidak
ada
motivasi
untuk
bertahan
mengerjakannya,” tambah Yanti. “Gimana kalau kita buat grup khusus tentang info lomba. Nanti saling berbagi info lomba di sana. Terus kita bisa saling mengingatkan untuk mendaftar dan mengunggah karya kita. Bagaimana?” usul Sahla.
21
“Ide bagus! Aku buat sekarang ya grupnya. Kita undang juga Rinai, Dewi, sama Hani ya. Nama grupnya apa, nih kirakira?” sahut Yanti. “Bagaimana kalau Kemenangan Sisterlillah?” usul Syifa menanggapi. “Oke setuju. Semangat semuanya!” timpal Sahla dengan senyum lebar. Semangat itu membara bagai nyala api yang menolak untuk padam. Info lomba gratis menghiasi percakapan grup Kemenangan Sisterlillah. Syifa beberapa menit sebelumnya mengirimkan info perlombaan dari salah satu universitas yang ada di Sumatera. Poster perlombaan itu menunjukkan adanya lomba
poster,
fotografi,
dan
artikel.
Sahla
dan
Syifa
memutuskan untuk mengikuti lomba artikel. Di lain sisi, Yanti berkeinginan mengikuti lomba poster. Kesibukan mengatur waktu kuliah, menghafal Al-Quran dan
produktif
berkarya
menjadi
selimut
waktu
yang
menghangatkan hari-hari mereka. Kalender di meja kamar sudah penuh dengan warna- warni batas waktu perlombaan. Gema semangat itu menggaung dalam hati mereka. Pasti bisa. “Syifa, Yanti! Udah daftar lombanya?” tanya Sahla semangat. “Udah La, tinggal unggah posternya ke instagram, nih. Syifa sudah?” sahut Yanti. “Sedikit lagi, mau revisi dulu bagian akhir,” ujar Sahla
22
menimpali. “Oke siap, nanti bareng ya Fa. Aku juga mau ada yang direvisi,” jawab Sahla. “Siap!” ucap Syifa semangat. Tenggang waktu sudah semakin dekat. Sahla dan Syifa pun sedari tadi mengecek artikel yang telah mereka buat. Akhirnya setelah dilihat dan menyakinkan diri berulang kali, mereka kemudian segera mengunggah artikel tersebut via email universitas yang dituju. Di samping mereka, Yanti masih sibuk dengan ponselnya, memastikan kembali apakah poster yang dia buat sudah terunggah
atau belum. Setelah
memastikan semuanya benar-benar sudah terunggah, Yanti kemudian menghampiri Sahla dan Syifa. “Bagaimana, sudah?” tanya Yanti. “Sudah Yan,” sahut Sahla dan Syifa serentak. “Syukurlah kalau begitu. Semangat berjuang untuk perlombaan selanjutnya ya. Semoga kita diberikan yang terbaik apapun hasilnya.” ujar Yanti. “Aamiin. Jangan lupa ya ikut seminarnya sekalian pengumuman lomba tanggal 27 nanti,” sambung Syifa. “Oke. Yuk sekarang istirahat. Selamat berjuang lagi!” sahut Sahla semangat. Tanggal 27 itu dengan cepat memanggil mereka. Tautan seminar online itu sudah dibagikan sejak kemarin oleh panitia
23
lomba. Tidak lupa untuk Sahla mengingatkan temantemannya agar menghadiri seminar sekaligus pengumuman lomba itu. Dua jam berlalu dengan begitu cepat, wejangan dari pemateri sangat menarik. Syifa sedari tadi senyum-senyum karena berhasil mendapat door prize sebagai salah satu dari tiga penanya terbaik. Usai sudah seminar itu, tiba kemudian pengumuman lomba yang membuat jantung mereka bertiga tidak karuan. “Baiklah seminar hari ini sudah selesai. Terima kasih kami ucapkan kepada para pemateri dan tamu undangan serta para peserta lomba yang sudah menyimak materi dengan sangat baik. Selanjutnya kita lanjut pengumuman juara lomba ya,� ujar pembawa acara. “Kategori lomba fotografi dimenangkan oleh Sinar, Dea dan Hani. Selanjutnya, kategori lomba poster dimenangkan oleh Rafli, Agus dan Laila. Selamat kami ucapkan kepada para pemenang. Untuk kategori artikel belum dapat diumumkan sekarang karena banyaknya jumlah peserta sehingga kami mohon maaf atas keterlambatannya dan lomba artikel akan diumumkan pada tanggal 7 November mendatang. Terima kasih kami ucapkan, selamat berjumpa di acara lomba tahun berikutnya!� tambah pembawa acara. Nihil. Kecewa itu seketika mengubah sinar keceriaan Yanti menjadi mendung. Sahla dan Syifa pun masih ragu-ragu apakah
bisa
memenangkan
lomba
tersebut
mengingat
perkataan pembawa acara barusan bahwa peserta lomba artikel sangatlah banyak.
24
“Gapapa deh. Mungkin bukan rezeki aku kali ini. Semoga kemenangan menghampiri kalian ya tanggal 7 nanti!” ujar Yanti. “Tidak terlalu berharap Yan. Kita kan baru pemula sedangkan
peserta
lomba
artikel
sangat
banyak.
Kemungkinan besar kita akan bernasib sama. Pasti kecewa ya Yan walaupun niat kita memang untuk mencari pengalaman bukan sekadar materi.” sambung Sahla. “Hei! Jangan patah semangat. Aku jadi ingat kata-kata Sherli waktu ikut seminar tahun kemarin. Kata beliau ketika kita tidak menang, bisa jadi itu adalah jatah gagal yang harus kita habiskan saat ini. Boleh jadi untuk menuju kemenangan itu kita harus menghabiskan sepuluh jatah gagal. Jadi, ketika kita gagal saat ini bukan berarti kita tidak bisa. Justru kita berada di langkah yang tepat. Bukankah dengan begitu jatah gagal kita sudah berkurang satu. Bukankah semakin banyak jam terbang semakin melatih kita menjadi lebih mampu dan bisa?
Yuk
semangat!
Yakin,
pasti
bisa!”
ujar
Syifa
meluruskan. “Ah iya benar, kita harus menghabiskan jatah gagal itu.” balas Yanti setuju. “Jatah gagal sebanyak apa pun itu harus dihabiskan saat ini! Semangat!” ucap mereka bertiga serentak.
25
Merajut Hidup di Usia Senja Oleh Rizka Oktarina Semangat, tegar, dan tak putus asa adalah tiga kata yang dapat menggambarkan sosok kakek kesayangan ketiga cucunya.
Nama
lengkapnya
Sumitro
Paidi,
atau
akrab
dipanggil Mbah Paidi ialah kakek berusia 84 tahun. Mbah Paidi merupakan seorang pejuang nafkah keluarga yang sehari-hari bekerja mengurus kebun di salah satu sekolah negeri di Kecamatan Sukarami Kota Palembang.
Meskipun
telah memasuki usia senja, namun semangatnya menjalani kehidupan tetap membara. Mbah Paidi sehari-hari tinggal bersama istrinya yang juga telah memasuki usia senja bernama Mbah Siti. Di rumahnya yang sederhana, Mbah Siti berjualan sayur-sayuran guna menambah ekonomi keluarga. Terkadang Mbah Siti tak tega melihat Mbah Paidi harus bekerja, namun Mbah Paidi selalu berkata padanya bahwa ia ingin melihat cucunya dapat menamatkan pendidikan. Kasih sayang Mbah Paidi kepada ketiga cucunya begitu dalam, beliau dengan ikhlas mengasuh cucunya yang telah lama ditinggal oleh ayah-ibu mereka. Harapannya kelak ketiga cucunya memiliki nasib hidup yang baik, dapat hidup dengan nyaman dan bisa kerja di tempat yang hebat. Meski hidup dengan ekonomi terbatas, Mbah Paidi tak ingin menjadi pengemis atau meminta belas kasihan kepada orang lain. Baginya tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Setiap harinya pukul tujuh pagi Mbah Paidi pergi ke kebun
yang
jaraknya
tidak
26
terlalu
jauh
dari
tempat
tinggalnya. Berjalan dengan tidak menggunakan alas kaki telah biasa ia lakukan sehari-hari. Baginya berjalan kaki tanpa
alas
dapat
membantu
kesehatan
kakinya
yang
terkadang sering merasakan keram. Sesekali jika di tengah jalan beliau berpapasan dengan orang yang dikenalnya, ia tersenyum dan menegur sapa. Sifatnya yang murah senyum dan ramah membuat dirinya dikenal banyak tetangga. Mbah Paidi yang rajin menegur orang pun tak pernah lupa selalu menyisihkan kalimat doa di penghujung interaksinya. Semoga sehat selalu dan lancar rezeki ialah doa-doa singkat yang sering
diucapkannya
kepada
orang
yang
berinteraksi
dengannya. Meski sudah tak bisa dikatakan muda lagi, namun semangat untuk bekerja tak pernah surut. Mbah Paidi tak pernah mengeluh beliau tetap semangat dan tegar mengais rezeki. Tubuhnya yang kecil, sedikit membungkuk, dan jalannya yang pelan lantas tidak membuat dirinya malu dan
putus
asa.
Himpitan
ekonomi
yang
diterimanya
membakar semangatnya untuk terus bekerja, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Ketegarannya menjalani proses kehidupan patut diapresiasi, tubuhnya yang renta dan tak sekuat dahulu, namun tetap ikhlas mengais rezeki yang halal dan berasal dari keringat sendiri. Tidak besar penghasilan yang didapatkannya, tap baginya itu sudah cukup untuk membeli beras agar dapat disantap makan siang bersama istri dan
ketiga
cucunya.
Kepiluan
dan
beban
hidup
yang
dihadapinya, lantas tak membuat Mbah Paidi marah dan menyesali realitas kehidupannya. Baginya dunia tidak kejam, disaat manusia masih mampu menghadapinya. Kerja keras merajut asa di tengah usianya yang senja
27
selalu terpancar di wajahnya. Tak peduli akan terik matahari yang membakar kulitnya yang keriput dan membuat matanya sulit melihat, Mbah Paidi tetap kuat mengurus kebun. Tiap kali dirinya merasa kelelahan bekerja, sesekali ia duduk bersandar
di
batang
pohon
meluruskan
kaki
sembari
mengurut pinggangnya yang terasa sakit. Baginya apa yang ia jalani sekarang adalah nikmat Allah yang harus selalu disyukuri. Ketika nikmat sekecil apapun telah kita syukuri maka Allah pun akan menambah dengan nikmat besar lainnya dari arah yang tidak diduga-duga. Meski pulang dengan pakaian telah kotor oleh tanah dan keringat yang bercucuran,
wajahnya
tetap
menampakkan
kegembiraan
ketika pulang disuguhi air putih oleh istrinya, Mbah Siti. Semakin surutnya ekonomi di masa pandemi Covid-19, tak membuat Mbah Paidi lantas kalah oleh keadaan. Demi tetap dapat melanjutkan roda kehidupan, Mbah Paidi rela mencari kerja tambahan kepada tetangganya. Ia menawarkan jasa untuk membersihkan rumput-rumput pekarangan rumah milik tetangganya. Tidak besar upah yang diterimanya, terkadang ia mendapatkan Rp25.000 sampai Rp50.000 setiap satu pekarangan rumah yang dibersihkannya. Sesekali ada tetangga yang iba dengan Mbah Paidi, lantas memberi lebih upah untuknya, dan memberi beras ataupun sembako kepadanya. Meski lelah sering ia rasakan, namun Mbah Paidi tidak pernah mengeluh dengan keadaan. Baginya selagi ia masih dapat berjalan dan mampu beraktivitas sehari-hari, berarti dirinya masih mampu untuk bekerja dan tak mau bergantung hidup kepada orang lain.
28
Meski usia sudah tak lagi muda, perjuangan Mbah Paidi demi sesuap nasi di tengah getirnya kehidupan patut diacungi jempol. Panas terik dan hujan badai tak menyurutkan langkahnya untuk mencari rezeki. Tak kenal lelah, ia merajut hidup dalam sebuah usaha yang ikhlas dan jujur. Disaat di luar sana banyak orang yang masih muda malas bekerja dan ingin mendapatkan uang dengan cara yang instan, Mbah Paidi lebih memilih untuk tidak mengemis dan bergantung hidup dengan orang lain. Meski penghasilan yang diperolehnya hanya
cukup
untuk
makan
sehari
dengan
lauk
yang
sederhana, lantas tak membuat dirinya lupa cara untuk bersyukur. Semoga kegigihan dan ketekunan Mbah Paidi dapat membuka mata hati kita semua. Masih banyak orang di luar sana dengan usia yang sudah tua namun dengan segala keterbatasan
masih
giat
dan
menyambung kehidupan.
29
tak
putus
asa
untuk
Perjuangan Saya Ingin Berkuliah Oleh Kartiva Perkenalkan
nama
saya
Kartiva.
Saya
ingin
menceritakan perjuangan saya untuk kuliah. Saya berasal dari SMA YPI Tunas Bangsa Palembang. Awal masuk SMA saya sudah bersungguh-sungguh untuk belajar dan terus mengejar nilai agar nilai saya tetap bertahan. Saat saya kelas 12 sekitar bulan januari, pihak sekolah mengumumkan bahwa siapa saja yang masuk ke Jalur SNMPTN dan ternyata saya masuk dalam pemeringkatan
di
jalur
Universitas
Sriwijaya
Akuntansi.
Pada
SNMPTN.
Jurusan
saat
waktu
Saya
memilih
Administrasi pengumuman
PTN
di
Negara
dan
dan
saya
dinyatakan tidak lulus saya sangat sedih karena harapan saya dan Ibu saya karena pada jalur ini saya bisa mengikuti beasiswa KIPK karena saya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Setelah saya tidak lulus di jalur SNMPTN, saya terus berusaha mengikuti tes yang lainnya dan di jalur lainnya. Sebelum tes kuliah, Kami libur duluan sekolah. Saat satu hari libur
sekolah,
saya
langsung
melamar
pekerjaan
agar
mendapat uang untuk tes kuliah di jalur lain dan saya diterima di kantor PT. Januari Store bagian marketing. Selama 3 bulan bekerja saya mengundurkan diri karena uang pendaftaran tes sudah cukup untuk mendaftar di jalur lain. Saya mencoba mendaftar SBMPTN dan saya tidak lulus juga, saya sangat sedih dan saya tidak pernah berputus asa.
30
Kemudian, saya lanjut mengikuti sekolah kedinasan yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) dan saya gagal di tahap kedua, saya merasa cukup pasrah padahal, saya sering latihan fisik dari jogging, dan kegiatan yang lainnya. Sampai saya mendaftar SSB Sepak Bola dan Futsal PSDM Limas Palembang,
saya
juga
terkadang
berusaha
untuk
bisa
meluangkan waktu jogging setiap harinya. Bermain sepeda. Di saat saya ingin pasrah, ada ibu saya yang ingin saya bahagiakan
suatu
saat
nanti
karena
ayah
saya
sudah
meninggal sejak saya masih bayi, Ibu saya yang telah membesarkan saya dengan baik. Saya selalu teringat ibu saya saat saya ingin menyerah. Kemudian, saya mencoba lagi untuk mengikuti seleksi SBMPTN dan lagi-lagi saya tidak lulus. Disitulah titik lelah saya dan Ibu saya. Ibu saya terus memberikan saya semangat, memberikan motivasi saya agar saya terus berusaha dan saya bangkit lagi. Saya mencoba mencari info beasiswa Kuliah menggunakan KIPK dan Swasta terbaik nomor 1 di Palembang dan Saya mencoba keliling kota Palembang untuk mencari Universitas Swasta terbaik dan saya mendapatkan yaitu Universitas Multi Data Palembang. Universitas ini Universitas Swasta Terbaik Di Sumsel. Tiba di gerbang Universitas Multi Data Palembang (MDP) saya masuk dan bertanya kepada pihak Kampus dan ternyata di kampus tersebut ada jalur KIPK tetapi, saya harus mengikuti tes tertulis, wawancara dan survei rumah terlebih dahulu. Keesokan
harinya,
saya
mengambil
formulir
dan
mendaftar di kampus tersebut. Setelah saya mendaftar, saya
31
disuruh pihak kampus MDP mempersiapkan diri selama 3 hari dan langsung untuk melakukan tes tertulis. Sebelum tes di kampus mdp saya juga mendaftar mandiri Politeknik Negeri Sriwijaya
(POLSRI).
pendaftaran
Saya
polsri.
setelah
sudah itu
mengikuti
saya
prosedur
menunggu
hasil
pengumuman tersebut. Ketiga harinya, saya datang ke Kampus Multi Data Palembang untuk mengikuti tes tertulis. Dimulai dari essay Mtk, pilihan ganda, Mtk dan Bahasa Inggris. Setelah tes tertulis, saya langsung dites kesehatan dan wawancara. Kemudian, saya tinggal menunggu pengumuman dari pihak Kampus Multi Data Palembang. Dua hari kemudian, saya dihubungi oleh pihak kampus untuk memberi tahu saya lulus atau tidak dan saya dinyatakan lulus tahap Ini. Tahap selanjutnya, rumah saya disurvei. Beberapa hari kemudian saya
dipanggil
ke
kampus
untuk
mengikuti
wawancara
selanjutnya dan diberitahu oleh pihak MDP dan saya benarbenar sudah menjadi mahasiswa baru di kampus tersebut. Saya sangat senang. Akhirnya, saya bisa kuliah dibiayai oleh pemerintah dan universitas tersebut. Di jalur ini saya harus benar-benar serius kuliah karena saya memiliki perjanjian pada pihak kampus untuk mencapai IPK 4 dan tidak boleh turun IPK 3. Pada malam hari saya menanti pengumuman politeknik negeri sriwijaya (polsri) pengumuman kelulusan juga. Pada saat itu, sebenarnya saat tidak mau melihat lagi pengumuman tersebut karena saya sudah diterima dikampus Multi Data Palembang di jalur beasiswa. Namun, rasa penasaran saya
32
yang begitu dalam, saya akhirnya melihat pengumuman Universitas Polsri dan saya dinyatakan lulus juga tetapi jalur mandiri Polsri ada pembayaran dan tidak bisa mengunakan jalur KIPK. Pada saat itu, saya merasa bimbang apakah saya kuliah sampai kerja mengambil universitas negeri atau saya mengambil swasta tapi mendapatkan beasiswa. Saya benarbenar bingung dan langsung saya diskusikan pada ibu saya. keluarga saya dan kerabat saya. Di sisi lain universitas negeri yang saya inginkan dari sejak saya masih duduk di SMA. Di sisi lain juga, ini swasta nomor satu di Sumatera Selatan dan di jalur ini juga saya bisa mengurangi beban orangtua saya. Saya juga disarankan oleh orangtua, keluarga dan kerabat untuk mengambil di jalur beasiswa di Multi Data Palembang dan
saya
akhirnya
mengambil
Universitas
Multi
Data
Palembang. Di situ saya sangat merasa bersyukur dan senang karena dibalik kesusahan dan perjuangan saya dan akhirnya saya bisa kuliah dan mendapatkan beasiswa. Pada saat perkuliahan saya dimulai, saya mulai aktif dan saya benar-benar kuliah, saya mengikuti banyak perlombaan, seminar, dan sebagainya. Sudah banyak sekali sertifikat yang saya dapatkan. Banyak sekali rintangan yang saya hadapin dan
saya
tidak
pernah
menyerah
dan
terus
berusaha
mendapatkan IPK besar agar beasiswa saya tidak dilepas. Alhamdulillah saya bisa mencapai IPK 4 dan saya bahagia. Di saat wisuda saya ditawarkan melanjutkan beasiswa kuliah di universitas luar negeri yaitu universitas di Turki. Sebelum saya mengambil keputusan untuk melanjutkan kuliah S2 atau tidak. Saya diskusikan dengan ibu saya dan saya akhirnya mengambil S2 di Turki. Saya segera melakukan berkas untuk
33
lanjut
kuliah
S2
dan
menyiapkan
pakaian
untuk
keberangkatan saya. Sebenarnya, saya sangat berat untuk meninggalkan ibu saya, tetapi demi perjuangan saya agar sukses. Saya segera mempersiapkan diri untuk keberangkatan saya. Sebulan kemudian, saya segera berangkat melanjutkan kuliah S2 di Turki. Satu tahun di Turki saya belajar bahasa Turki terlebih dahulu. Setelah itu saya baru bisa kuliah dengan serius. Satu tahun kemudian saya sudah bisa bahasa Turki dan belajar seperti biasa. Saya banyak sekali teman di Turki yang asik dan ramah. Saya juga sudah mulai berinteraksi dengan lingkungan di sana. Di negara sendiri dan negara orang lain sangatlah banyak perbedaan yang saya temukan, dari tata bicara, dari sisi pakaian, dan lainnya. Saya sangat senang lancar bahasa Turki dan bisa beradaptasi dengan mereka. Satu tahun di sini, saya sudah mengelilingi kota Turki, kotanya sangat indah apa lagi di malam banyak taman hiburan yang saya kunjungi. Pemandangan di sini sangat indah apalagi lingkungan sekitar tidak ada satu sampah yang berserakan, rata-rata orang di sini sangat peduli dengan lingkungannya. Di sini juga banyak sekali taman yang bisa kita kunjungi apa lagi buat kita refreshing. makanan dan minuman di sini juga enakenak semua. Pada saya kuliah dimulai banyak sekali perbedaan belajar di negara kita. Di situ saya benar-benar serius dalam belajar kuliah S2. Sebelumnya saya ingin bercerita sedikit tentang bisnis yang saya jalankan pada masa saya kuliah S1. Saya
memiliki
bisnis
kafe
disalah
34
satu
tempat.
Saya
megumpulkan uangnya dari masa SMA dan akhirnya pada saat saya kuliah saya bisa membuka bisnis tersebut. Di kafe tersebut
banyak
bermacam-macam
menu
minuman masa kini sehingga bisnis itu
makanan
dan
berkembang. Saya
berbisnis bersama dua teman saya, yaitu Mutiara dan Amanah karena kita saling dukung agar bisnis kita lebih maju. Alhamdulillah maju dan banyak diminati oleh semua orang. Setelah saya kuliah S2 di Turki, kafe itu diurus oleh kedua teman saya. Mereka adalah orang yang saya sangat percaya dan saya banggakan karena kita menegakkan bisnis kita dari nol. Saya bersama teman saya yang ada di Indonesia yaitu Mutiara dan Amanah, kami bertiga membuka kedai bersama di Palembang, kedai yang telah kami lakukan ini sudah berjalan selama kurun waktu dua tahun terakhir ini, omset yang kami dapatkan perbulan 10M dari tiga kedai kami, kami memiliki dua cabang kedai. Laba dari kedai ini kami sisihkan untuk membangun rumah panti asuhan anak yatim piatu, dan alhamdulillah satu tahun kemudian, rumah panti ini selesai dibangun dan resmi dibuka. Dua tahun kemudian, saya telah menyelesaikan studi pendidikan S2 saya di Turki ini, bulan desember, saya pun pulang ke Indonesia, dan mulai merajut mimpi-mimpi saya di tanah air tercinta ini, kedai kami telah menghasilkan omset yang besar, rumah panti kami juga berjalan dengan baik, saya dipanggil pihak kampus UNSRI dan UMP untuk menjadi bagian dari dosen di kampus mereka, saya pun menerima pekerjaan tersebut, uang dari laba kedai kami, gaji saya menjadi dosen ini bisa saya pakai untuk merenovasi rumah saya, dan menaikkan haji ibu saya, saya sangat senang, satu persatu impian saya tercapai dan dilancarkan oleh Allah
35
semua urusan saya. Segala sesuatu yang melibatkan Allah maka tak akan merasa kecewa. Usaha yang sungguh- sungguh tak akan gagal.
36
Suasana Baru Oleh Marsella Oktaviani Banyak yang heran dengan kondisi saat ini, banyak perintah yang harus dipatuhi dan tidak sedikit dari segelintir orang
melanggar
perintah
tersebut.
Bagi
aku
yang
kesehariannya menjadi anak rumahan yang anti untuk bepergian lama di keramaian kota merupakan hal yang cukup mudah menaati peraturan yang diberikan. Terkadang aku menertawakan diriku sendiri, apakah hanya aku yang kesal kepada mereka yang tidak tahan untuk terus bepergian di kondisi seperti sekarang? Ya, pikiran itu sangat mengganggu hingga aku sendiri bosan dengan kemonotonan ini. Maka dari itu aku akan menceritakan semua yang aku lakukan selama pandemi ini berlangsung. Bulan April 2020 aku pulang ke kampung halaman bersama teman satu jurusanku. Transportasi kereta api waktu itu sudah tidak beroperasi lagi, ayahku memutuskan untuk menjemput kami ke Palembang dengan mobil pribadi. Zona di daerahku kala itu masih dibilang cukup aman namun setibanya kami di rumah masing-masing, dengan inisiatif mencegah kemungkinan bahaya penyakit menular ini, dalam jangka waktu dua minggu lebih tidak keluar rumah sama sekali dan memperhatikan kebersihan sekitar. Selang beberapa bulan kemudian, selain permasalahan pandemi yang tak kunjung usai, permasalahan lainnya yaitu menyangkut usaha dagang yang ayahku dirikan selama
37
sebelas tahun. Menyedihkan kalau diingat kembali, bukan hanya keuangan yang tidak stabil, gonjang-ganjing masalah keluarga pun tak terlewatkan. Masa-masa berat akibat pandemi dan hal lainnya membuatku merasa aku tidak boleh diam saja, masih banyak yang harus aku lakukan dari hal terkecil saja, contohnya membantu orang tua di toko atau sedikit meringankan beban pembayaran uang kuliah dengan cara mencari puluhan beasiswa yang dibuka untuk umum. Semuanya sudah aku coba semaksimal mungkin namun keberuntungan belum ada di pihakku. Aku hampir melupakan yang satu ini, tahun ini aku menjabat sebagai kepala bidang di salah satu organisasi fakultas. Peran sertaku sangat mempengaruhi kinerja para anggota yang aku tunjuk sebagai ketua pelaksana bagi setiap program kerja bidang kami. Kegiatan rapat sebelum acara pun rutin kami laksanakan dari jarak jauh, di mana kami mempunyai
banyak
keluhan
atas
program
kerja
yang
sebaiknya dilaksanakan langsung atau tatap muka, namun di sini kami memahami kondisi yang sulit ini. Dari situlah keinginan mendasarku untuk kembali ke Palembang semakin besar. Selama mengalami masalah keluarga dan masalah masalah lainnya, aku sering menghilang tanpa kabar dan menimbulkan tanda tanya dibenak para anggota dan badan pengurus harian lainnya. Dirasa kondisi fisik dan mentalku membaik, aku mulai memberanikan diri untuk minta izin kepada ayah supaya diperbolehkan kembali ke Palembang atas dasar rasa tanggung jawab yang besar pada perkuliahan, organisasi, dan banyak program kerja besar lainnya.
38
Reaksi ayahku tentu saja tidak setuju, beliau masih tidak rela melepas aku sebelum kondisi fisik dan mentalku benar-benar pulih. Namun, aku terus meyakinkan ayah untuk tidak ragu atas keputusan yang aku ambil. Lagian aku tidak benar-benar sendirian, ada teman yang bulan lalu ikut pulang bersamaku. Hingga aku sudah berniat menempati kosan baru yang sama dengan kosan temanku itu. Hal tersebut yang membuat
ayah
mengizinkan
dan
ikut
mengantar
kami
kembali ke Palembang. Meskipun hari itu mobil keluarga satu-satunya yang membawa kami ke Palembang harus ditarik kembali karena beberapa masalah. Lingkungan baru yang terasa asing kini berubah menjadi lingkungan yang amat menyenangkan, bertemu keluarga baru yang
saling
mengobati
memperhatikan kerinduan
satu
dengan
sama
keluarga
lain
sekaligus
di
kampung.
Komunikasi selalu lancar, fokus ku pada perkuliahan dan tanggung jawab di organisasi juga terpenuhi. Terpisah dari keluarga bukan hanya untuk menghindari masalah, bukan egois dengan alasan ingin tinggal sendiri, bukan juga tidak ingin membantu perekonomian keluarga. Satu pesan ayah yang sangat aku ingat, “Semua permasalahan keluarga biar ayah yang tanggung, fokuskan apa yang menjadi hak dan kewajibanmu itu sudah cukup bagi ayah meskipun kamu pergi ke mana pun, doa ayah selalu bersamamu.� Pesan ayah itu yang menjadi batu pijakan bagiku untuk tidak selalu menyalahkan keadaan dan fokus kesatu titik yang menjadi
kewajibanku.
Selain
perkuliahan
yang
lancar,
kegiatan organisasi pun berjalan sangat lancar bahkan dalam
39
kurun waktu dua bulan bisa terlaksana tiga program kerja sekaligus. Meskipun yang diharapkan adalah bertemu secara langsung selama perkuliahan dan berorganisasi, tetapi yang namanya musibah tidak tahu kapan datangnya dan sulit diprediksi. Pandemi bukan alasan untuk bermalas-malasan, melainkan mencari peluang yang menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain. Aku sebagai mahasiswi semester lima merasakan banyak sekali perubahan akibat pandemi ini. Mulai dari sistem perkuliahan yang berbeda dari tahun-tahun lalu, kegiatan organisasi yang tidak seramai tahun-tahun lalu karena
dilaksanakan
berkomunikasi secara
secara
online,
langsung
hingga
sulitnya
dihalangi dengan
kuota
internet yang menipis. Satu persatu masalah yang aku sebutkan di atas mulai teratasi, bantuan kuota internet gratis dari pemerintah, dan berbagai aplikasi yang memudahkan dosen maupun mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Keseharianku
saat
ini
tidak
jauh
dari
sebelum-
sebelumnya, ibadah, membaca buku, mengerjakan tugas, belajar Bahasa Inggris online, mencari informasi beasiswa dan lomba, bahkan sekarang aku memikirkan untuk bisnis kecilkecilan bersama teman-teman satu kos. Pemikiran itu mulai kami
rancang
sembari
menjalankan
kewajiban
sebagai
pelajar, ada kalanya kami menyerah namun pikiran itu datang kembali seolah ingin segera dilaksanakan. Intinya semua butuh proses dan tidak mudah. Tidak ada yang dapat mengalahkan pentingnya tugas, kewajiban, dan tanggung jawab. Bukannya dengan kuliah online kita bisa berleha-leha karena tidak perlu datang ke
40
kampus, kita punya kesadaran sendiri untuk menjadikan kuliah online ini menjadi kuliah pada umumnya, apabila ada materi perkuliahan yang tidak jelas, kita dapat bertanya dan mencoba
menggali
ilmu
apa
lagi
yang
belum
diserap.
Keproduktifan itulah yang saat ini sangat bermanfaat bagi kita sebagai mahasiswa. Pandemi tidak menurunkan semangat untuk beradaptasi dengan suasana baru ini, kita lah yang harus menghidupkan suasana dengan segala cara yang ada. Banyak sekali rencana pribadi yang sudah di-list yang di mana aku memutuskan untuk menetap di Palembang, menghabiskan tahun baru sendiri di sini tanpa keluarga demi kebaikan bersama. Selain menghemat biaya pulang pergi, restu orang tua juga meyakinkanku bahwa aku akan baikbaik saja di sini dan kini, aku akan menikmati suasana baru ini sebaik mungkin dan menjadikan keadaan ini menjadi pembelajaran yang takkan terlupakan.
41
Sejuta Harapan Bersama Kicimpring di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh Febri Raharja Kicauan
sepasang
burung
merpati
dalam
sangkar
peninggalan kakek, memecah keheningan suasana pagi kala itu, membangunkan aku yang tengah beristirahat untuk bersiap memulai pagi yang cerah. Harumnya aroma sarapan yang disiapkan koki
terhandal di rumahku menambah
semangat untuk beraktivitas. Sepiring nasi goreng istimewa yang kaya akan rasa walaupun hanya berempah bawang dan garam sudah ibu siapkan. Ya beliau adalah ibuku, wanita paling tangguh dan istimewa dalam hidupku yang selalu menemani hari-hari dengan tanpa melupakan wejangan sakti yang patut aku patuhi dan juga ada bapak, sosok pria tangguh dan pantang mengeluh yang semangatnya selalu membuatku tersentuh. Di suatu pedesaan, aku tinggal bersama orang tuaku dalam sebuah istana kecil yang beralaskan coran semen yang sudah berlubang-lubang, berdinding anyaman bambu yang sudah usang karena belum pernah diganti, dan atap genteng tua yang sering kali bocor di kala hujan tiba, menjadi istanaku untuk berbagi cerita suka duka dan sebuah saksi perjuangan hidupku. Aku adalah anak tunggal dari sebuah pasangan orang kuat yang telah menyekolahkanku hingga tamat. Lulus SMA dua tahun lalu dengan bantuan beasiswa kurang mampu.
42
Meneruskan
pendidikan
menjadi
langkahku
selanjutnya,
bukan keinginan hati sebenarnya, namun dorongan dari ibu dan
bapak
yang
gigih
memotivasiku
agar
mengenyam
pendidikan strata satu. Dalam hati ingin sekali segera membantu meringankan beban mereka, ingin rasanya agar mereka tidak perlu bersusah payah untuk menyambung hidup dan giliran merekalah yang menikmati hasil jerih payahku. Semester 4 kini aku duduki di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia, yang aku tempuh dengan bantuan beasiswa
dari
pemerintah.
Sekarang
perkuliahan
terasa
berbeda, karena aku tidak perlu meninggalkan ibu dan bapak lagi untuk pergi ke kampus. Sembari membantu ibu dan bapak aku lakukan disela sela waktu kuliah ku. Karena dengan
kondisi
di
tengah
pandemi
ini,
perkuliahan
diharuskan agar dilaksanakan di rumah masing-masing dengan melalui metode dalam jaringan. Sarapan yang telah ibu siapkan kami habiskan bersama, sebagai asupan tenaga sebelum kami pergi ke ladang untuk mengurus ladang milik seorang juragan yang kami garap dan nantinya apabila hasil panen telah tiba, hasilnya dibagi dua. Untungnya pemilik ladang memperbolehkan kami untuk menanam singkong dan kami tidak perlu membagi hasil singkong tersebut. “Tidak apa-apa ambil saja hasilnya, toh singkong tidak memenuhi ladang, hanya di tepi bagian ladang saja,� ujar pemilik. Ibu dan bapak menanam singkong untuk bahan baku pembuatan kerupuk yang dikenal dengan nama kicimpring.
43
Kerupuk
tradisional
yang
proses
pembuatannya
masih
konvensional tanpa ada bantuan mesin. Setelah singkong dikupas dan dibersihkan, singkong kami parut dengan manual menggunakan parutan yang terbuat dari kaleng bekas yang dilubangi menggunakan paku sehingga permukaannya menjadi kasar. Sedih hatiku melihat ibu dan bapak yang sedang memarut singkong dan kadang tangan mereka terluka akibat tergores tajamnya parutan. Kami tidak punya cukup uang bisa membeli alat parutan modern yang mana bisa menghaluskan singkong dengan cepat, dan tidak perlu lagi tangan kami terluka karena goresan parutan.
Proses selanjutnya adalah memeras gilingan singkong tadi, agar kadar airnya berkurang. Setelah itu ibu memasukan bumbu yang
hanya
berupa
garam
dan
daun bawang,
kemudian kami cetak dan dikukus, lalu kami jemur. Proses penjemuran
memakan
waktu
dua
hari,
kadang
lebih
tergantung cuaca. Setelah kering, kicimpring kami kumpulkan dan siap untuk dijual keliling dengan harga sepuluh ribu rupiah untuk setiap satu kilogram kicimpring. Aku dan Ibu menjajahkan kicimpring ke kampungkampung terdekat, dengan sebuah gerobak usang, aku menarik kicimpring yang hampir satu karung besar itu. Dalam sehari paling banyak tujuh kilogram kicimpring yang terjual,
berarti
tujuh
puluh
ribu
rupiah
dapat
kami
kumpulkan, namun tidak setiap hari seperti itu, terkadang
44
kami hanya membawa pulang sepuluh ribu rupiah atau bahkan kicimpring kami bawa pulang kembali karena tidak ada yang membeli. Bukan karena tidak laku, tetapi dalam satu kilogram bisa terdiri dari 70 buah kicimpring, sehingga apabila hanya untuk cemilan sehari-hari akan tahan lama dan masih tersisa. Aku berpikir untuk bagaimana caranya, agar kicimpring kami bisa laku laris terjual, kami dapat terus melakukan produksi, dan Ibu tidak perlu menjajakan kicimpring lagi. Dengan bantuan telepon genggam pintar bekas yang aku beli dengan uang tabungan yang aku kumpulkan selama satu tahun, aku meembuat akun belanja online. Namun, tidak banyak perubahan. Setelah aku melakukan riset pelanggan dan strategi pemasaran, aku membuat sedikit inovasi dari segi rasa yang awalnya hanya rasa original dan kami jual mentah, sekarang tersedia lima varian rasa dan sudah dalam bentuk olahan sehingga siap santap. Segi kemasan juga aku ubah agar
lebih
menarik,
tahan
lama
dan
ukurannya
pun
disesuaikan dengan harga yang kami pasok setelah dilakukan inovasi. Tiga bulan telah kami lalui dengan suka duka berjualan online kicimpring. Rasa syukur kini aku banyak panjatkan kepada Tuhan, karena berkatnya kini ibu tidak perlu lagi berjualan keliling kampung dan bapak tidak perlu lagi memarut singkong dengan manual. Sebuah mesin penggiling singkong
berhasil
kami
beli
dari
bisnis
ini,
sehingga
mempercepat efisiensi produksi. Jaringan penjualan pun aku perluas dengan banyaknya reseller yang ingin menjual hasil
45
produksi kami. Kami sangat senang karena karena bisa membantu sesama di tengah pandemic seperti ini yang mana banyak dari mereka kehilangan pekerjaan. Kini kami sudah bisa mengajak warga sekitar unuk bergabung pada bagian produksi, sepuluh karyawan kini sudah berhasil kami bnatu, sehingga kami bisa berbagi rezeki dan kebahagiaan di tengah pandemi ini. Melihat pencapaian ini, aku menjadi teringat pepatah dan wejangan dari Ibu. Ibu dulu pernah berkata, “Apabila kamu hanya seorang anak buruh ladang, minimal nanti kamu harus punya ladang sendiri. Jika kamu hanya seorang anak pedagang keliling, minimal kamu nanti punya usaha yang sukses dan tidak perlu keliling kampung untuk menjual dagangan kamu. Dan jika kamu hanya seorang anak pembuat kicimpring, maka jadilah kamu nanti pengusaha kicimpring yang sukses yang bisa membantu perekonomian orang lain.� Mengingat perkataan Ibu dulu, aku tersadar bahwa Ibu tidak berharap terlau tinggi untuk anaknya, namun yang dia harapkan
adalah
minimal
kita
bisa
sedikit
melampaui
kemampuan dari orang tua kita. Dan yang paling penting ibu harapkan adalah agar kita bisa menjadi manusia yang berguna
dan
bisa
membantu
sesama,
karena
baginya
setidaknya jika kita ingin sukses maka ajak lah orang lain bersama kita untuk berjuang bersama sehingga nantinya kebahagiaan bisa kita saling bagi bagaimana pun kondisinya.
46
Sembari terharu aku terus bertekad agar bagaimana caranya bisnis ini bisa tetap berjalan, karena sekarang banyak orang yang telah bergantung pada kesuksessan bisnis ini. Aku semakin
yakin
dan
semangat
untuk
terus
berkarya,
bagaimana pun kondisi nantinya. Seperti sekarang di tengah pandemi Covid-19 ini, bukan waktunya lagi untuk mengeluh justru sekarang lah waktunya untuk menguji kegigihan kita dan hasil dari proses pembelajaran kita, agar kita bisa terus produktif dalam bidang yang telah kita cari dan dapatkan. Aku bertekad dalam hati bahwa, “Jangan malu jika kita terlahir bukan dari keluarga kaya, tetapi kita harus berusaha semaksimal mungkin, hingga nantinya banyak keluarga kaya bisa tercipta karena kita.� Dan aku juga memiliki konsep untuk tidak pelu jauh terlebih dahulu untuk mencari sebuah peluang, tapi kita hanya perlu membuka sedikit saja wawasan kita dan melihat ke sekitar kita, karena peluang yang terbaik bisa berasal dari lingkungan sekitar kita.
47
Aku Kembali Pulang Oleh Rany Veronika Silalahi Aku menjalani hari-hariku dengan biasanya. Tidak ada yang istimewa. Hanya rutinitas biasa sama seperti jutaan orang lainnya di bumi manusia ini. Bangun telat di pagi hari dan pergi ke sekolah terburu-buru. Seperti biasa, persiapan dimulai 30 menit sebelum sekolah dimulai dan tentu saja aku terlambat. “Seperti biasa, pukul 07.40. Telat 10 menit,� kataku tak gentar
sekalipun
sembari
melihat
jam
tangan
plastik
menempel di pergelangan tangaku. Hari ini awal dari tahun ajaran baru, dan bagiku tak ada yang baru. Sama saja semua. Membosankan. Aku juga tidak terlalu memikirkan mengenai persiapan ujian nasional yang sebentar lagi siap menghajar para siswa kelas 3 SMA. Sama sekali tidak khawatir. Sejujurnya aku tidak menyukai sekolah. Tidak jauh berbeda dengan jeruji besi. Guru dan pengawas sekolah terlihat seperti sipir sel penjara, dan teman sekolah ialah para kriminal yang terkungkung di balik sel besi. Kadang aku berpikir dan mempertanyakan sistem sekolah, yaitu mengapa setiap siswa tidak diberikan pertanyaan mengenai mata pelajaran apa yang ingin dipelajari disekolah, kelas ekstrakurikuler apa yang ingin diikuti, dan keterampilan atau bakat apa yang ingin diasah. Setiap murid seolah sebuah ikan yang disuruh paksa memanjat sebuah pohon. Hanya IPA dan IPS yang tersedia. Aku bahkan tidak menyukai kedunya.
48
Lalu, mengapa aku harus tetap sekolah? Sekolah menjadi sistem keharusan, yang katanya semakin tinggi sekolah, semakin tinggi derajat keluarga. Tatanan seperti apa ini? Selain itu, aku punya keluhan lain, yaitu mengapa setiap siswa harus memakai seragam sekolah yang sama, memakai sepasang sepatu hitam beserta kaos kaki dan membawa tas ke sekolah? Katanya, aturan itu agar semua murid berada di derajat
yang
sama.
Tidak
ada
perbedaan.
Tidak
ada
diskriminasi. Juga agar tidak ada perbedaan kelas sosial. Omong kosong itu menurutku. Tidak jarang aku melihat seorang ibu harus tawar-menawar untuk membeli seragam anaknya
dan
pada
akhirnya
si
anak
harus
memakai
seragamnya yang lama dikarenkan uang si ibu tidak cukup, dan beras juga masih perlu dibeli. Sungguh ironi. Seandainya seragam tidak pernah ada, ibu itu tidak perlu menangis akibat ketidamampuannya dalam membelikan seragam baru untuk anaknya. Begitu pula saat ingin membeli sepatu dan tas sekolah.
Bukankah
dibebaskan
akan
berpakaian
lebih
yang
baik
bila
dianggapnya
setiap nyaman
murid saat
belajar? Lalu, sisi lain memprotes yaitu bagaimana dengan anak yang tidak memakai baju sebagus dan semahal yang lainnya. Mudah saja, yang diperlukan ialah mengubah pola pikir dan pandangan, bahwa manusia berpakaian untuk menutupi apa yang ada dibalik pakaian tersebut, bukan ajang simbolis pertunjukkan kelas borjuis dan proletar. Jadi tidak ada
yang
harus
diperdebatkan.
Lalu
yang
lain
akan
menyinggung yaitu bagaimana dengan murid yang akan berpakaian kurang sopan, yang menarik perhatian para kaum lainnya yang bisa mengarah ke kejahatan seksual nantinya. Jawabannya sama aja, yaitu mengubah pola pikir dan
49
memberikan edukasi bahwa saat seseorang berpakaian yang dianggap mengundang kejahatan, ia sama sekali tidak punya motivasi agar ia diperlakukan begitu. Juga pandanglah seseorang, apa pun yang dikenakan, ia hanya seseorang dengan pakaian, seorang makhluk hidup. Seorang manusia, bila merasa „terundang‟ kontrollah pikiran dan berpikirlah secara luas dan terbuka, juga tetaplah bersikap hormat dan toleran. Maka saya rasa semua akan baik-baik saja, kecuali pabrik seragam sekolah akan bangkrut bila hal itu terjadi. “Asri, kamu kemari! Lagi-lagi telat,” kata Ibu BK sembari memasang wajah emosinya, membuyarkan lamunan ku selagi menatap gedung sekolah dengan para siswa yang sedang berolahraga di halaman. Di ruangan BK ada hujaman nasehat dan penghakiman yang terjun tepat di wajahku. “Kamu tidak seperti seorang siswa, pemalas. Apakah kamu memang niat belajar di sekolah, Asri?” tambahnya. Ibu BK yang satu ini membuatku jengkel, namun perasaan itu aku tahan. “Iya, Bu,” jawabku malas. “Baik, masuklah ke kelas. Ibu sudah muak denganmu, dengan kebiasaan terlambatmu.” “Baik, Ibu. Terimakasih.” Di kelas, aku tidak memiliki teman dekat. Tidak ada yang menyadari kehadiranku. Aku mensyukuri suasana itu. Bagiku, mereka semua hanya sekumpulan manusia terjajah dengan pikiran konservatif yang masih dilumuti tradisi dan cara berpikir lama. Tiga bulan berlalu. Ada satu yang
50
berubah.
Seluruh
dunia
berubah.
Covid-19
memasuki
negeriku, Indonesia, sesudah Wuhan dan Perancis. Seluruh berita hanya berisi wacana Covid-19 dengan anjuran agar seluruh rakyat diharapkan melakukan pekerjaan dari rumah dan tetap berada dirumah atau dikenal dengan istilah Work From Home, Stay at Home. Begitu pula dengan seluruh sekolah seantero negeri khatulistiwa ini yaitu, sistem belajar mengajar dilakukan melalui pertemuan virtual. Bukan main senangku. Akhirnya aku mendapatkan kebebasan. Akhirnya aku bisa bereksplorasi dan menikmati waktu dan duniaku sendiri. Aku lepas dari kurungan baju seragam dan aturan sekolah. Sepulang sekolah, aku kemasi barang-barangku untuk kembali ke rumah. Aku bersekolah di kabupaten yang berbeda
dengan
asalku,
jadi
aku
menyewa
kos-kosan.
Sesampainya di rumah, kupasang jiwa dan dirikuku yang sebenarnya. Aku, Asri Mischa, gadis berusia 18 tahun, si pemilik rambut gelombang hitam. Seseorang yang menyukai kata tiap kata di lembaran-lembaran buku filsafat dan novel fiksi, si pendengar setia TED, CNN dan National Geographic, si penikmat musik-musik soul, si pengkritik film dan berita, si penyuka bahasa, dan si penulis yang menyuarakan suarasuara tak terdengar. Semua aksi ini aku lakukan di balik layar. Tak suka aku pamer. Tiada gunanya bagiku. Yang terpenting bagiku ialah nilai dan makna yang aku peroleh bagi diriku. Melalui pemahaman dan pengetahuan yang aku terima dari kegiatan eksplorasi ini, tulisan demi tulisan aku muatkan dalam buku jurnalku pribadi. Untuk memublikasikannya, aku urung
rencana
itu.
Bukan
tidak
berani,
tapi
masih
dibutuhkan penelitan, khususnya yang berkaitan dengan aspirasi dan kritik.
51
Saat covid-19 melanda, grup kelas berisikan ajakan untuk pergi nongkrong atau jalan-jalan akibat kejenuhan berada dirumah terus. Ada juga yang bersedih karena rindu bermain saat di sekolah. Semua tak kuhiraukan. Mengapa pula aku harus pergi keluar rumah? Mengapa pula aku rindu sekolah? Melalui bencana pandemi yang kurang baik ini, aku memperoleh kesempatan untuk mendapatkan waktu yang lebih banyak, cukup banyak sesungguhnya, untuk meluapkan hasrat
dan
keinginanku
selama
ini.
Aku
tahu
bahwa
pendapatku ini seakan-akan aku tidak peduli akan para pasien
Covid-19,
tenaga
kesehatan
dan
mereka
yang
terdampak. Namun, itu persepsi yang salah. Aku sangat peduli. Terkadang keluarga kami meletakkan sayuran dan buah-buahan
di
depan
rumah
bagi
mereka
yang
membutuhkan. Aku juga mendonasikan sebagian tabunganku kepada
lembaga
sosial
yang
membantu
bagi
saudara
terdampak Covid-19. Mengenai materi dan tugas sekolah, aku kerjakan seperlunya saja. Aku tidak bisa paksakan diriku untuk memahami apa yang tak bisa kumengerti. Semua mata pelajaran saintek tak memuaskanku. Tak mengarahkan aku pada tujuanku, berada di luar kebutuhanku. Selama
pandemi,
setiap
pagi
aku
berolahraga
secukupnya. Tak lupa untuk merapikan tiap ruangan rumah. Meskipun telat bangun, orangtuaku sudah maklum akan itu. Bersyukur aku karena mereka mengenal aku dan apa yang aku ingini. Kesukaanku untuk mendalami sesuatu sesuai hasratku tak mereka ragukan karena rasa kepercayaan yang orangtuaku berikan padaku. Meskipun aku lemah di sekolah, orangtuaku tak memperdebatkan itu.
52
“Tak apa bila kau tak sanggup. Kau tahu arah dan jalanmu di mana. Mama dan Bapak yakin padamu,” kata mereka ketika aku berada di rangking 25 dari 35 siswa. “Bila kau sudah cukup berani, kau bisa menerbitkan tulisanmu, putriku,” tambah mereka. “Pasti, Pa. Pasti.” Saat kebersihan rumah sudah selesai, langsung aku buka channel berita CNN, lanjut ke National Geographic dan yang terakhir ialah TED. Sekiranya sudah jam tiga sore, di situlah aku membenamkan diriku pada buku-buku filsafat dan novel fiksi. Satu buku selesai, lanjut ke judul buku yang lain. Saat membaca buku, terkadang aku lupa waktu dan ternyata hari sudah hampir tengah malam. Semua dilakukan ditemani lagu-lagu soul. Yang paling aku sukai ialah penyanyi soul si Alicia Keys. Suara renyah dan halusnya mengajakku untuk ikut meniru-niru gaya ia bernyanyi. Menonton film hanya sekali seminggu. Belajar bahasa aku dapatkan dari subtitle yang aku ubah menjadi Bahasa Inggris atau Spanyol. Tulisan- tulisan aku hasilkan bila sudah selesai meneliti. Terkadang penelitian ini membutuhkan waktu lama. Semua siklus kegiatan ini aku lakukan selama pandemi Covid-19 dan hanya di rumah saja. Jujur saja, sedikit pun aku tak merasa bosan. Aku merasa seperti menemukan diriku kembali. Jujur pada diriku dan tak mengkhianati diriku. Kesibukanku ini cukup produktif. Selain menambah ilmu,
53
juga memuaskan hasrat dan jiwaku. Tak lupa juga membantu mama untuk mengemasi barang jualan untuk dikirimkan kepada kurir. Tetap tak kutinggalkan tanggung jawabku, baik sebagai anak, pelajar, maupun seorang pribadi yang mencari jati diri. Yang ingin aku ceritakan di sini ialah, bukan hanya tentang kesibukanku yang cukup sibuk, tapi aku berhasil dalam memberikan kepercayaan dan ketenangan baru bagi jiwaku yang sudah cukup lama bersedih atas pengkhianatan yang selama ini aku lakukan pada diri sendiri. Setelah sekian lama, selama di bangku sekolah, aku merasa kehilangan diriku. Tak sempat waktuku bagi untuk memberikan quality time pada pribadiku. Aku tahu bahwa dunia, khususnya Indonesia berduka atas pandemi Covid-19. Imbauan tetap di rumah dan belajar dari rumah juga sudah disebarluaskan. Saat di rumah, bukan berarti aku hanya belajar dan melakukan tugas sekolah. Itu cukup membosankan. Keinginan atas kegiatan-kegiatanku yang selama ini aku tunda dapat aku penuhi selama Pandemi Covid-19. Aku juga tidak melakukan hal-hal itu bukan tanpa tujuan. Seperti yang aku katakan, ialah demi pengembangan diriku, menambahkan wawasan dan pemahaman juga agar perspektifku tidak terjajah, juga demi berdamai dengan diriku sendiri, dan hasilnya ialah aku merasa cukup sembuh dan jiwaku mulai menemukan gairahnya kembali. Aku menemukan yang aku perlu, dan memuaskan diri itu perlu. Siapa lagi yang mampu membahagiakan diri kalau bukan
diri
mendapatkan
sendiri?
Aku
kebahagiaan
harap dan
54
para
pembaca
ketenangan
yang
juga sama.
Terima kasih. Sekian cerita dari kegiatan dan aktivitas kesibukan
saya
selama
pandemi
menginspirasi.
55
Covid19.
Semoga
Perjuangan Untuk Masuk Kampus Impian pada Saat Pandemi Corona Oleh Siti Aminah Saya akan menceritakan kisah perjuangan saya untuk menggapai cita-cita saya, Saya telah lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2020 ini. Saya mengikuti seleksi SNMPTN tetapi pada saat pengumuman hasil seleksi, saya belum diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang saya inginkan. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mengikuti seleksi
UTBK
SBMPTN
2020.
Saya
tidak
mendapatkan
dukungan dari orang tua untuk melanjutkan pendidikam saya ke perguruan tinggi negeri yang saya inginkan dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, saya tetap berusaha menyakinkan orang tua saya walaupun itu sangat sulit. Saya tidak patah semangat, saya berusaha semaksimal mungkin
disertai
doa
untuk
mempersiapkan
diri
saya
mengikuti tes UTBK SBMPTN 2020. Kurang lebih selama 2 bulan saya belajar bersama teman saya Antika Pratiwi dan Meilinda Stepani Saputri, mereka selalu mendukung saya untuk bisa meraih cita-cita saya menjadi seorang guru dan dosen suatu saat nanti. Saya iri melihat teman-teman saya di mana mereka mendapat support dari orang tua mereka untuk meraih impian yang selama ini mereka inginkan, orang tua yang menyanyangi mereka, tetapi saya tidak patah semangat, saya berusaha untuk menunjukkan kepada orang tua saya kalau saya bersungguh-sungguh untuk bisa mewujudkan
56
impian saya menjadi seorang guru dan dosen suatu saat nanti. Walaupun orang tua saya tidak mendukung saya, tetapi dengan dukungan seorang teman dan guru saya di SMA itu sudah cukup, setidaknya masih ada orang yang mendukung saya untuk mewujudkan semua impian saya. Saya bersama teman saya Antika Pratiwi, dan Meilinda Stepani Saputri , kami bertiga mendaftar UTBK SBMPTN 2020 bersama-sama dirumah teman kelas kami yaitu Lutfi Aulia, ia sudah diterima di Perguruan Tinggi Negeri lebih dahulu daripada kami di jalur SNMPTN 2020, pada pukul 14.00 WIB hari pertama pembukaan pendaftaran UTBK SBMPTN 2020, saya yang terlebih dahulu menyelesaikan pendaftaran UTBK SBMPTN 2020 karena saya mendaftar dengan menggunakan KIP kuliah sehingga tidak perlu membayar uang pendaftaran di bank terlebih dahulu dan saya mendapatkan tempat tes di SMKN 3 Palembang pada hari Minggu, 5 Juli 2020 sesi satu dan di ruang lab. komputer 1. Saya sangat cemas takut tidak ada teman pergi bersama tes nanti, dan alhamdulillah ternyata teman saya Antika Pratiwi mendapatkan tempat tes, sesi, hari dan tanggal yang sama dengan saya. Kami hanya berbeda ruang tes. Saya di ruang lab. komputer 1 dan Antika di ruang lab. komputer 3. Kami bertiga pun belajar dengan sungguh-sungguh dengan susah waktu menuju tes sekitar satu bulan lagi, usaha disertai ibadah yang maksimal telah kami lakukan demi lulus perguruan tinggi negeri yang kami impikan selama ini, sudah banyak berbagai macam tryout online gratis yang telah kami ikuti. Ratusan soal sudah kami pelajari, waktu bermain kami
57
korbankan demi belajar mempersiapkam diri untuk tes UTBK ini. Saya berharap orang tua saya suatu hari nanti bisa memahami saya, saya ingin menjadi seorang guru dan dosen ini demi mereka, saya ingin bisa membanggakan kedua orang tua saya, begitu banyak rintangan dan halangan selama menuju tes UTBK SBMPTN 2020 ini, tapi saya yakin Allah tidak akan
memberikan
hamba-Nya
cobaan
di
luar
batas
kemampuan hamba-Nya. Dengan semua rintangan ini saya memahami sesuatu yaitu untuk menggapai impian tidak semudah yang dibayangkan, harus ada usaha yang maksimal disertai doa dan ibadah juga. Tibalah waktunya 5 Juli 2020 kami bertiga tes UTBK SBMPTN. Teman saya yang bernama Meilinda Stepani ia tes UTBK-nya di SMAN 6 Palembang, tetapi sesi, hari dan tanggal yang sama dengan saya dan Antika. Semua usaha dan doa telah dilakukan, kami berharap usaha yang selama berbulanbulan kami lakukan ini tidak sia-sia. Saya dan Antika pergi bersama menuju lokasi tes UTBK SBMPTN 2020. Kami berdua merasa deg-degan. Kurang lebih satu jam kami menunggu di ruang tunggu dan sekitar pukul 08.00 WIB kami mulai memasuki ruang tes kami. Kami pun mengerjakan tes UTBK pukul 09.00 WIB setelah beberapa menit mengerjakan soal, ketika
kami
sedangkan
mengerjakan
soal
Pengetahuan
Kuantitatif (PK) server LTMPT mendadak down, dan kami pun menunggu sekitar 30 menit server kembali membaik dan kami pun melanjutkan mengisi soal tes UTBK. Sekitar pukul 12.00 WIB kami selesai mngerjakan soal tes UTBK dan keluar dari
58
ruangan. Satu bulan kemudian, rencana pengumuman hasil seleksi UTBK SBMPTN 2020 ini akan diumumkan pada 20 Agustus 2020, tetapi ternyata pihak LTMPT mempercepat waktu pengumuman menjadi 14 Agustus 2020 sangat cemas dengan hasilnya saya bersama teman saya yaitu Sinta Syafira membuka hasil pengumuman seleksi SBMPTN 2020 dirumah Gita,
menggunakan
laptopnya
kami
membuka
hasil
pengumuman SBMPTN 2020, dan hasil pengumuman saya sama seperti SNMPTN 2020 yaitu gagal lagi. Saya sangat sedih karena mengalami kegagalan lagi, ketika saya mengetahui teman seperjuangan saya menuju kampus impian Antika dan Meilinda mereka berhasil lulus di seleksi SBMPTN 2020 ini, Saya
sangat
sedih
sekaligus
senang
karena
akhirnya
perjuangan mereka selama berbulan-bulan mempersiapkan diri untuk seleksi ini tidak sia-sia. Antika diterima di salah satu perguruan tinggi negeri islam di kota Palembang dan Meilinda ia diterima di UNSRI. Tetapi saya tidak berlarut-larut dalam kesedihan ini karena masih ada teman saya yang mengalami hal yang sama seperti saya dan saya pun dengan beberapa teman saya memilih gapyear dan akan mempersiapkan diri lebih maksimal lagi untuk mengikuti kembali UTBK SBMPTN 2021 nanti. Selain belajar untuk persiapan UTBK SBMPTN 2021 saya juga berjualan online. Saya yakin setiap orang mempunyai waktu masing-masing untuk sukses. Kembang yang mekar tidak selalu bersama-sama. Allah memiliki rencana yang lebih baik, kita sebagai
59
manusia hanya bisa berencana tetapi untuk hasil akhirnya Allah semua yang menentukan, saya sangat bersyukur karena banyak
teman-teman
saya
yang
mendukung,
yang
rela
meluangkan waktunya untuk mengajari saya matematika. Saya sangat senang walaupun saya gagal di SBMPTN 2020 ini tetapi Allah telah mengabulkan doa saya dengan meluluskan teman-teman saya di SBMPTN 2020 ini. Semua yang terjadi pasti ada hikmah nya, semoga tahun 2021 menjadi tahun yang membahagiakan untuk kami para pejuang gapyear 2021 dengan diterimanya kami di perguruan tinggi negeri yang kami impikan selama ini. Usaha yang sungguh-sungguh disertai ibadah juga tidak akan sia-sia. Sekian dari saya cerita inspiratif dari saya, semoga bermanfaat dan bisa menjadi motivasi untuk semua orang. Kegagalan
adalah
kunci
menuju
kesuksesan.
Semangat
berjuang. Akhir kata saya mohon maaf bila ada salah kata, saya ucapkan terima kasih.
60
Pandemi Membawaku Mencintai Diri Sendiri Oleh May Sarah Fase ini tidak akan ada atau tidak akan datang secepat ini bila tidak ada pandemi. Ya, fase mencintai diri sendiri dengan penerimaan paling tulus. Sebuah penerimaan yang benar–benar membuat aku bisa berdamai dengan hidup dan apa yang aku jalani hari ini. Sebulan
setelah
pemerintah
memutuskan
lockdown
adalah waktu aku paling banyak bergulat dengan pikiranku. Ah, sebelumnya mari berkenalan dulu. Aku (sebelumnya) perempuan yang sering merasa khawatir pada banyak hal. Seringkali merasa gagal, sangat khawatir dengan penilaian orang lain, membandingkan pencapaian dan banyak lagi. Perasaan dan pemikiran seperti itu membuat tertekan. Tidak terhitug berapa kali aku merasa kepalaku sakit, tidak nafsu makan jika pemikiran “aku gagal” menyapaku. Hingga hari kesekian saat pandemi, aku menemukan akun youtube dengan nama “Analisa”. Channel itu milik seorang psikolog cantik, Analisa Widyaningrum, perempuan penggagas sekolah kepribadian Analisa Personality Development Center. Berawal dari channel Analisa aku terbawa pada akun – akun lain yang berfokus pada
kesehatan
mental
dan
self
healing
atau
upaya
menyembuhkan diri sendiri. Berkat video–video itu aku
61
paham satu hal, bahwa selama ini aku tidak mencintai diriku. Aku tidak mau tahu bahkan tidak mengerti apa yang benar benar aku inginkan, tidak peduli kesehatan mentalku, dan memperlakukan seorang “aku” dengan sangat tidak baik. Setelah menyadari itu semua, sekitar April hingga Mei aku banyak belajar kesehatan mental dan penyembuhan diri melalui youtube. Bahkan aku memiliki buku tersendiri untuk merangkum poin dari video yang aku lihat. Bahkan tidak jarang aku menonton video youtube lalu kuputar beberapa kali agar setiap detail poin pembicaraan bisa benar-benar masuk dalam otakku. Masih sekitar Mei, aku menemukan channel youtube “Menjadi Manusia”. Sebuah akun youtube yang mengundang orang-orang dari berbagai latar belakang dan kisah untuk saling berbagi perspektif. Salah satu unggahan dengan
judul “SuratUntuk: Diri Saya di Masa
Depan” benar-benar menangis dan meminta maaf pada “aku”. Aku yang sudah sering menempatkan “aku” pada posisi rumit. Ya, di sinilah titiknya. Sadar aku masih perlu pemahaman banyak, kuimbangi dengan membaca buku-buku yang kuanggap bisa menjadi pendukung atas prosesku mencintai diri sendiri. “Respect Yourself” karya Patricia Spandaro, “The Subtle Art of Not Giving a F*ck” karya Mark Manson, “Egosentris” karya Syahid Muhammad, “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring, “Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa Apa” karya Alvi Syahrin. Aku membaca artikel di greatmind.id, mendengarkan podcast, bahkan mendengarkan musik. Oh ya, apakah kau menganggap apa yang aku lakukan selama pandemi biasa
62
saja? Oh sungguh, kali ini aku benar-benar tidak peduli. Karena
dulu
aku
benar-benar
di
titik
menyanyi
atau
mendengarkan lagu bagiku untuk orang-orang yang punya waktu lebih. Teruntuk “aku-aku� yang lain di planet ini, jika kamu pernah merasakan seperti yang aku rasakan, aku ingin menulis sesuatu untukmu:
Hi. Di mana pun dan bagaimana pun kamu hari ini, terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Aku tahu sangat berisik isi kepalamu, sangat rumit dan sukar kamu utarakan. Tarik napas dulu, ya. Tarik napas, pelan, keluarkan. Baca ini baik
- baik ya.
Kamu sudah hebat bertahan sejauh ini. Kamu hebat untuk semua hal yang kamu lalui sendirian. Tidak apa apa, kamu hanya perlu lebih jauh paham kemauan dirimu sendiri. Jangan merasa khawatir lagu. Jangan banyak memikirkan penilaian lagi. Jangan merendahkan dir
imu sendiri.
Kamu tidak gagal, kamu hanya perlu mencoba lagi. Jangan banding bandingkan dirimu dengan orang
lain
lagi
ya.
Kasian
perhatianmu.
63
dia.
Dia
butuh
Hi, di mana pun kamu berada. Tetap semangat ya. Jika boleh kuberi saran coba tonton lebih dulu akun
\RXWXEH ´0HQMDGL 0DQXVLD¾
dan dengarkan banyak hal yang kamu rasa perlu kamu dengarkan. Semangat kamu tidak sendiri, kamu hanya perlu mencintai dirimu sendiri lebih dalam lagi. Semangat
ya!
64
Berkah Cireng Salju Penulis Oleh Yesi Sarika “Namanya sudah mahasiswa ya harus mandiri masa masih minta uang ke orang tua. Jangan harus lulus kuliah dulu baru kerja dan bisa mandiri selagi kuliah itulah kita mulai menanamkan kemandirian kita sedini mungkin.� Cireng. Begitulah panggilan Sara Mariska Putri (Teknik Elektro 16) oleh teman-temannya di kampus. Hal ini bukan tanpa sebab, kesuksesan usaha cireng yang sedang digelutinya mengatarkan Sara pada panggilan tersebut. Bermula
pada
awal
tahun
2018,
Sara
terdesak
perekonomian keluarga yang sedang turun. Sehingga ia harus memutar otak agar dapat membantu meringankan beban orang tua dalam memenuhi keperluan biaya hidup. Ia mendapatkan jalan keluar yang datang dari hobi membuat cireng untuk dimakan sendiri. Lalu, Sara berpikir untuk menjual cirengnya di kampus. Sara memulai bisnisnya dengan modal dua belas ribu rupiah. Ia menitipkan 25 cireng di Koperasi Teknik Elektro Universitas Lampung, di luar dugaan cirengnya ludes dalam waktu satu jam saja. Ia berhasil mendapatkan keuntungan awal sebesar dua belas ribu lima ratus rupiah. Peluang ini tidak ia sia-siakan. Tanpa ragu, Sara terus menambah jumlah produksi cireng. Sesuai perkiraan, cirengnya laris terjual.
65
Sara melihat peluang besar ini untuk terus membangun bisnis cireng. Ia mulai memproduksi cireng mentahan yang belum digoreng dalam kemasan plastik dengan merek “Cireng Salju” karena warnanya yang putih bak salju. Saat itu juga, ia mulai memasarkan dagangannya melalui media sosial. Sesuai yang diharapkan pembeli cireng salju cukup banyak. “Saat itu masih dikemas pakai plastik setengah kiloan. Saya kasih merek sendiri dengan nge-print pake kertas sendiri. Terus, saya tempel di kemasannya,” tuturnya. Cireng salju milik Sara ini berhasil membawanya, mendapatkan hibah dana sebesar tiga juta lima ratus ribu rupiah dari kompetisi Program Wirausaha Mahasiswa. Ia memboyong tiga inovasi varian rasa cireng salju: original, ubi ungu dan wortel. Sara tidak berhenti sampai situ saja. Ia kembali mencari modal usaha dengan mengikuti perlombaan. Ia mengikuti Kompetisi Bisnis Mahasiswa Indonesia (KBMI) yang rutin diadakan
Dikti
sejak
tahun
2017.
Usahanya
kembali
membuahkan hasil, ia berhasil mengantongi dana sebesar 15 juta rupiah. Modal tersebut dimanfaatkan oleh perempuan kelahiran kotabumi ini untuk mengembangkan usaha cireng saljunya. Saat ini ia telah mengembangkan cirengnya menjadi cireng basah dan cireng chips. “Saya buat cirengnya menjadi garing seperti kripik, karena cireng basah memiliki banyak kendala. Mulai dari daya tahan yang singkat dan tidak bisa selalu tersedia. Apa
66
lagi cireng basah harus punya gudang produksi dan gudang penyimpanan,” tuturnya. Ia terus melebarkan sayap usahanya dengan cireng chips ini. Kini cireng chips mempunyai varian rasa original, ubi ungu, wortel, bayam merah, dan bayam hijau. Usaha
cireng
salju
ini
tidak
hanya
dijual
di
Bandarlampung. Namun, sudah memiliki distributor dan pengecer di Jambi, Bekasi, Palembang, Bogor, dan Jakarta. Kini omset yang dikantongi Sara setiap bulannya mencapai 12 juta rupiah dari cireng basah dan 8 juta rupiah dari cireng chips. “Enaknya jadi pengusaha karena waktu luang untuk keluarga banyak. Pendapatan itu benar-benar milik sendiri mau dapat uang ya kerjakan, kalau tidak mau ya tidak usah kerja,” katanya. Selain itu, cireng salju ini masih memberikan prestasi untuk Sara di antaranya lolos seleksi KMI (Kewirausahaan Mahasiswa Indonesia) Expo di Batam, Juara 1 terbaik lomba IEA
Inovation
Enterpreneurship
Award
2019
ketegori
mahasiswa, juara terbaik kategori putri dalam event Unila Preneur dengan tema “Menjadi Wirausaha Muda yang Kreaif, Inovatif, dan Inspiratif 2019”. Bukan perkara yang mudah untuk Perempuan kelahiran „98 ini mencapai kesusksesan di usia muda seperti ini. Saat ia merintis bisnis cireng saljunya ini bertabrakan dengan lomba robotik yang ingin ia ikuti juga.
67
Saat itu, malam harinya Sara harus membuat cireng dan pagi harinya harus menggoreng cireng. Ia sering jatuh sakit akibat
kurang
istirahat.
Apalagi
ia
harus
melayani
komplainkomplain dari pelanggan yang pesanan cirengnya tidak sesuai. “Untuk saat ini saya sudah 2 kali ganti tim untuk lomba dan tim produksi. memang terkadang sangat sulit untuk menyatukan
pemikiran-pemikiran
dengan
orang
lain,�
ujarnya. Bagi Sara berwirausaha merupakan kebutuhan. Sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Sara sudah memiliki hobi berjualan. Ia sudah berjualan alat kosmetik dan perawatan kulit. Menurutnya ketika seseorang ingin
berwirausaha
lingkungan
sekitar
yang
dapat
mempengaruhi dan mendukung. “Karena saya tergabung dalam komunitas-komunitas. Kemudian, saya punya teman yang juga berwirausaha, jadi ikut termotivasi,� ujarnya. Sara mengatakan semua orang itu bisa berpotensi untuk berwirausaha tergantung keinginan. Kalau ingin menjadi wirausahawan itu tidak boleh gengsi. “Namanya sudah mahasiswa ya harus mandiri masa masih minta uang ke orang tua, jangan harus lulus kuliah dulu baru kerja dan bisa mandiri selagi kuliah itulah kita mulai menanamkan kemandirian kita dari sedini mungkin, ujarnya.
68
Elly Lestari Rustiati Berdaya Demi Desa Oleh Annisa Diah Pertiwi Teringat
jelas
dalam
ingatan
Elly
Lestari
Rustiati
kenangan 8 tahun silam. Saat pertama kali merintis desa binaan di desa Braja Harjosari dan desa Labuhan Ratu VII. Berawal dari penelitiannya mengenai konservasi hewan-hewan besar yang berada di Sumatera. Dosen Biologi ini, melihat peluang desa-desa di sekitar kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Ia menceritakan, setiap desa memiliki keunikan dan keunggulannya
masing-masing.
Contohnya,
Desa
Braja
Harjosari dan Desa Labuhan Ratu VII yang ia dampingi secara intensif sampai saat ini. Kedua desa tersebut merupakan desa yang terletak di Kabupaten Lampung Timur yang berstatus sebagai desa penyangga Taman Nasional Way Kambas. Berdasarkan kondisi tersebut, masyarakat mau tidak mau harus hidup berdampingan dengan mamalia darat terbesar, gajah sumatera. Gajah tersebut sewaktu-waktu dapat masuk ke pemukiman merusak sawah, kebun dan ladang yang merupakan sumber mata pencaharian mereka. Tahun 2012, Elly dan tim mulai berdiskusi dengan Forum Rembuk Desa Penyangga (FRDP) yang saat itu beranggotakan 24 kepala. Dari diskusi tersebut, masyarakat desa setempat meminta dukungan pendampingan untuk membangun perekonomian kreatif.
69
“Melalui rembuk tersebut, yang masyarakat inginkan yaitu walaupun dengan kondisi kebun yang rusak mereka masih bisa melakukan kegiatan ekonomi. Sehingga, masih mendapatkan pemasukan dan permintaan yang diajukan yaitu wisata,� ujarnya. Menurutnya, masyarakat tidak harus bersusah payah untuk membangun desa wisata. Masyarakat
hanya
perlu
memanfaatkan
keindahan
bentang alam dan kearifan lokal yang dimiliki. Wisata alam yang ditawarkan di Desa Braja Harjosari yaitu Wisata Desa Way Kambas. Wisata tersebut berbasis bentang
alam.
Salah
satunya,
bentang
savana
yang
berbatasan langsung dengan kawasan konservasi. Wisatawan dapat menikmati keindahan matahari terbenam dan matahari terbit. Selain
itu,
wisata
kehidupan
sehari-hari
juga
ditawarkan. Seperti membuat tiwul, menanam padi, memetik buah, susur sungai dan kesenian tari bali. “Setelah melakukan pendampingan selama tiga tahun. Ternyata pekerjaan sehari-hari yang mereka lakukan itu bisa dijadikan sebagai paket wisata,� ungkapnya. Berbeda dengan Desa Brojo Harjosari, Desa Labuhan Ratu VII lebih berfokus pada wisata edukasi. Di desa tersebut, wisatawan dapat memilih paket-paket wisata yang sudah tersedia. Seperti menyadap getah karet, membuat makanan seperti tahu, susu kedelai kripik pare sampai paket wisata belajar tari daerah Lampung pun tersedia.
70
Berkat kerja keras Elly membantu mengembangkan desa sekitar kawasan TNWK. Masyarakat kini memahami konflik dengan gajah dengan persepsi yang lebih positif. “Prinsipnya, jangan mudah mengeluh. Jadikan masalah menjadi tantangan, tantangan menjadi peluang. Peluang menjadi ketahanan, sehingga masyarakat memiliki ketahanan mandiri yang dimulai dari keluarga kemudian untuk desa,” ujarnya. Saat ini kurang lebih sudah ada tujuh desa yang ia dampingi. Dosen yang hobi jalan-jalan ini, juga membantu koordinasi 40 desa wisata di Lampung Barat. “Kalau yang secara
intensif
saya
temani
bersama
teman-teman
di
Universitas Lampung ada empat desa yaitu Desa Wisata Braja Harjosari, Desa Labuhan Ratu VII di bawah program 2 tahun Konsorsium UNILAALeRT-Tropical Forest Conservartion Action (TFCA) Sumatera 2019- 2021, pengrajin batik tulis Andanan Negeri Sakti bersama Bapak Erdi Suroso dan Ibu Sri Ratna Sulistianti, termasuk pengrajin tapis Desa Negeri Katon, dan Negeri Ulangan Jaya, Pesawaran,” sebutnya. Dosen yang berstatus tetap di Universitas Lampung ini, mengungkapkan kalau dia harus siap sedia selama 24 jam tujuh hari dalam seminggu. Hal tersebut ia lakukan untuk tetap
dapat
menemani
temen-teman
dari
desa
yang
didampinginya. “Setiap desa itu ada grup whatsapp-nya, jadi walau tidak bisa menemani langsung di lapangan, kita juga harus tetap sedia setiap harinya dengan cara disapa dan juga aktif
71
berinteraksi dengan mereka,� katanya. Selain itu, kini ia tengah aktif membantu mengajar Bahasa Inggris praktis di Balai Veteriner Lampung. Ia mengaku dengan melakukan banyak kegiatan tersebut, ia merasa senang. “Dari mereka (masyarakat desa) saya mendapat banyak pengalaman dan bisa belajar banyak hal. Karena, melihat orang lain maju menjadi kebahagiaan tersendiri buat saya,� pungkasnya.
72
Bumi di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh Salsabila Syafni Aulia Malam gulita telah mengangkasa. Mengambil singgasana Sang Raja Panas. Di tengah gelapnya malam, satu persatu butiran
cahaya
di
langit
terlihat,
sayup-sayup
malu
menampakkan diri. Namun, tetap ingin dipuji. Di balik tiupan angin oleh Si Awan Malam, semua tampak seperti biasa. Hanya
saja,
sedikit
lengang
dari
mulanya.
Jalan
di
perempatan gang tampak kosong. Hanya ada tarian sampah yang berpindah-pindah di badan jalan. Sepoi-sepoi mungkin bisa dikatakan. Pun bisa jadi, badai kecil tanda angin malam siap melanglang buana. Tak ada yang berniat untuk menghabiskan waktu di luar atap. Hingga pedagang tak punya pilihan untuk tutup lebih awal. Katanya, kondisi perekonomian sulit. Terlebih ada makhluk baru yang menyapa dunia dengan sangat ganas. Corona,
namanya.
Tak
tanggung-tanggung
menakutkan
semua manusia di dunia. Makhluk ini memang tak terlihat dan sulit dideteksi. Hingga pilihannya ya berdiam diri di rumah, kata pemerintah. “Makan saja lah, Nak.� Perkataan itu seolah-olah sangat jelas. Memakan apa adanya adalah keterpaksaan yang harus dibiasakan. Meski dengan nasi bercampur garam dan minyak atau malah hanya sebungkus roti, sudah alhamdulillah. Ya, begitulah nasib kaum kelas ekonomi ke bawah. Mengais rezeki dengan
73
memaksakan diri untuk terus berjualan, daripada menjadi patung di dalam rumah dengan lipatan tangan diperut. Katanya,
lebih
baik
berusaha
di
luar
dibanding
mati
kelaparan berdiam diri di dalam rumah. “Bu? Kenapa sekarang semuanya terasa sulit?” “Kita berdo‟a saja ya, Nak. Semoga rezeki kita lancar kedepannya.“
Sahut
Ibu dengan
guratan
kehidupan
di
wajahnya yang termakan usia, sembari melepaskan penutup mulut. “Tapi, Bu. Sehari ini saja hanya satu mangkok yang terjual.” Bantahnya kembali dengan kesal. “Tidak apa-apa, Nak. Kita berusaha lebih baik lagi untuk esok hari,” tuturnya sembari menyusun dagangan. “Tapi, Bu. Bagaimana cara Budi membayar uang sekolah dan membeli hp untuk bisa sekolah daring?” ungkapnya lagi tanpa jeda. “Bersabar ya, Nak. Semoga ada jalannya. Sekarang kamu makan ya, Nak.” “Tapi, Bu. Sambalnya ini lagi?” Bantahnya kembali. “Makan saja lah, Nak.” Bumi hanya geleng-geleng melihat sikap adiknya. Meski ia tahu sulit bagi wanita paruh baya seperti ibu bertahan disituasi ini menghidupi dua anaknya seorang diri. Meski begitu, di otak bumi kini tengah berkutat mencari sesuatu
74
yang kiranya bisa membantu ibu. Budi, Bumi, dan Ibu, tinggal di pinggiran kota. Tempat yang tidak tertinggal, tapi juga tidak maju dari peradaban. Namun, disini jualah sesuatu mulai berubah. Seperti siang menjelma dengan gagah. Lautan biru di angkasa terlihat indah, karena sesungguhnya di balik kesulitan pasti ada kemudahan. “Budi, bangun! Kamu harus shalat!” ucap Bumi sembari memberikan ayunan manja pada tubuh adiknya. “Budi, kamu tidak sekolah? Saya tinggal saja kalau begitu,” ucap Bumi menyelesaikan kata. Budi yang masih berada diantara dunia mimpi dan nyata sayup-sayup mulai menggesekkan tangan ke bola mata. Satu persatu gulungan udara membentuk di terowongan mulutnya. Sedangkan Bumi telah gagah dengan wajah nya yang penuh harapan. “Bu,
kami
berangkat
dulu,”
ucap
Bumi
dengan
senyuman khasnya. “Hati-hati ya, Nak. Nanti jangan dilepaskan maskernya ya, Nak.” Bumi mengangguk diikuti oleh budi yang masih berada di awang-awang. Pagi ini, mereka hendak ke tempat yang menyediakan jaringan Wi-Fi gratis. Meski bermodalkan satu gawai, mereka bisa tetap bergantian untuk tetap mengikuti sekolah online. Di tengah pandemi ini, ibu selalu menekankan untuk patuhi protokol kesehatan. Yap, 3M! Memakai masker,
75
Mencuci tangan pakai sabun, dan Menjaga jarak. “Permisi, Pak. Seperti biasa kami izin menggunakan Wi-Fi untuk sekolah,” ucap Bumi pada pemilik jaringan yang baik hati. Budi dan Bumi mulai berganti memegang gawai. Sembari menunggu Budi menyelesaikan tugasnya, Bumi tengah asik merancang sesuatu di atas kertas. Ia tampak lihai memegang pena dan kertas. “Buat apa, Kak?” tanya Budi. “Buat racangan aplikasi.” Jawab Bumi dengan penuh harapan. “Yakin, bisa?” tutur Budi dengan penuh keraguan. Bumi hanya tersenyum, ia tahu maksud adiknya itu. Meski begitu, ia tak ambil pusing. Setidaknya ia berusaha untuk
membantu
seseorang
yang
sangat
disayanginya.
Sehabis mereka sekolah daring, Budi bergegas kembali ke rumah menyelesaikan permainannya semalam. Sedangkan Bumi masih berkuat dengan informasi-informasi yang ada digawai kecilnya itu. “Ya sudah. Aku duluan ya, Kak.” Bumi, masih sibuk dengan rancangannya. Ini tahap akhir katanya, padaku. Meski aku sendiri pun tak begitu yakin. Tapi dari sisi kacamataku. Bumi anak yang rajin dan berbakti. Ia bahkan menghabiskan hari-harinya untuk menjadi relawan Kemendikbud untuk Covid-19. Hampir tiap hari Ia mensosialisasikan pentingnya menggunakan masker ke warga
76
sekitar rumahnya. Selain itu, Ia juga mau membantu adikadik dari tetangganya yang menangis karena tidak mengerti tugas yang diberikan oleh guru sebab harus belajar sendiri di rumah. Meski usianya baru enam belas tahun, Ia sudah berpikiran maju dari rekan- rekan sebayanya. Baginya, membantu ibu adalah kewajiban. Menolong sesama adalah panggilan. Bumi memang berbeda. Hari-harinya dipenuhi kebaikan untuk sesama dan kegiatannya sangat berbeda dari remaja seusianya. Yang jika kini musimnya adalah berjoget dengan musik via aplikasi hits. Baginya, ada hal yang lebih penting untuk bisa dilakukan. “Alhamdulilah, mudah-mudahan ini bisa dipasarkan,� ucap Bumi dalam hati. Hari
berganti,
semuanya
tampak
berbeda.
Dalam
semalam, ibu menangis tanpa henti. Sudah lebih 30 pesanan mengantri. Ia tahu, mungkin sulit bagi Ibu untuk membuat semuanya sendiri pesanan itu. Bumi yang dengan semangat membantu dan Budi yang mendapatkan cahaya cerah untuk bisa beli HP baru. “Terimakasih,
Nak,�
ujar
Ibu
dengan
mata
yang
berlinang. Bumi hanya mengangguk dan memeluk ibu. Baginya, tanggung jawab ayah kini ada padanya. Meski tak bisa membantu lewat materi. Setidaknya Ia memiliki otak yang selalu mau diasah. Berkat didikan ayah, Bumi terbiasa untuk berpikir
maju
dan
setelah
kepergian
beliau,
tanggung
jawabnya berpindah untuk menjaga keluarga dan membantu
77
ibu. Seminggu kedepannya, tidak hanya usaha ibu yang dibantunya. Namun, juga usaha-usaha tetangga yang ingin bisa produktif di tengah pandemi. Berkat Bumi, tempat ini tak berhenti-hentinya menerima pesanan. Hampir tiap saat ada ojek online yang menjemput makanan. Kini, tak hanya satu mangkok yang terjual. Tapi lebih dari itu, karena kegigihan Bumi menciptakan aplikasi “Usaha Produktif dan Aman di Tengah Pandemi.� Bagiku, Bumi di tengah pandemi, adalah kisah produktif yang dilakukan oleh remaja yang tahu dengan makna kehidupan. Karena tidak hanya mengikuti kata zaman, ia mau berusaha mencari kemudahan di dalam kesulitan. Semoga, akan ada remaja-remaja lainnya yang mampu menghabiskan waktunya dengan produktifitas yang bermanfaat. Sebelumnya
perkenalkan,
Aku
Fiani
Anggraini.
Pengamat kehidupan yang mengenal Bumi. Terima kasih untuk telah berkenan membaca kisah produktif yang aku saksikan
langsung
dalam
hidupku.
Semoga
kita
dapat
menjadi manusia yang bermanfaat bagi sekitar kita. Aamiin.
78
60 Hari Bersama Aksara, Berjuang Membayar UKT Oleh Renaldo Afriansyah Pagi menyapa dengan embun yang menerpa. Embun masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Mengenai muka yang kala itu masih merebah pada lembutnya busa tempat berbaring. Mungkin membuka
mata.
aku rasa masih Namun
sejuknya
terlalu dini untuk angin
dan
air
mengharuskanku membuka mata perlahan. Aku bangun dari tempat berbaring dan mendekati jendela untuk menghadiri indanya mentari pagi. Namaku Renaldo, anak Manajemen Universitas PGRI Palembang. Aku sangat menyukai dunia kepenulisan. Hingga saat ini aku masih berkutik dengan aksara. Belajar seolah menjadi selogan pada kepribadianku. Sampai aku sering berkeliling berbagai kota hanya untuk belajar. Kota besar dan megah penuh
cerita
hingga perkampungan
yang
padat
penduduk pernah aku sambahi untuk mempelajari dunia bahasa terutama menulis. Aku meyakini dengan tulisan dapat membuatku bermanfaat untuk orang banyak. Menyebarkan kebaikan dengan cepat, tepat dan akurat. Aku juga menyakini kekuatan tulisan dapat mengalahkan peluru yang tajam, karena satu peluru hanya dapat menembus satu kepala namun dengan satu tulisan dapat menembus jutaan kepala. Saat ini aku sudah berada di semester 7. Tentu bukan
79
lagi usia jagung untuk jabatan sebagai mahasiswa ini. Namun aku masih kurang dalam pembelajaran. Aku merasa masih banyak yang meski aku pelajari terutama dalam dunia kepenulisan. Usia jagung bisa aku sebut untuk proses pembelajaran ini. Aku baru menginjak waktu 5 tahun dalam pembelajaran ini. Sedangkan aku ingin berproses sampai akhir hayat. Aku berasal dari keluarga yang sederhana, selepas pensiunnya ayahku yang berprofesi sebagai pelaut 2 tahun lalu. Beralih profesi merupakan pilihan lain untuk mencukupi kebutuhan seahri-hari. Kini ia berprofesi sebagai buruh angkut di pelabuhan beberapa kilometer dari rumahku. Aku tidak pernah malu untuk memanggilnya „Papa.â€&#x; Serba hemat bisa dikatakan sebagai teman kami. Tidak ada lelah kami selalu berusaha menjalani hidup. Ibuku yang dulunya sebagai ibu rumah tangga terpaksa turun membantu keluarga. Ia pun ikut bekerja sebagai tukang setrika pakaian pada usaha cucian atau laundry di dekat rumah. Sebutan “mamaâ€? tidak malu untuk ku lontarkan saat melewati laundry itu. Hari demi hari berlalu, tetapi bukan justru membaik namun keadaan semakin memburuk. Hal ini dikarenakan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan perkuliahan yang harus dipenuhi. Berhutang pun menjadi solusi untuk bertahan dan melengkapi kebutuhan mendasar. Terlebih menjadi bebanku karena aku pengharapan terbesar keluarga ini karena aku merupakan anak tunggal.
80
Keadaan semakin rumit ketika virus yang dinamakan Covid-19
atau
corona
virus
mewabah
di
Indonesia.
Penghasilan orangtuaku pun terdampak. Penghasilannya pun ikut menurun. “Apakah aku harus berhenti pada semester ini,� tuturku sambil melamun di kamar. Aku yang belum membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) rasanya penuh beban dan pikiranku hanya berkutik pada UKT, UKT dan UKT. Dua bulan lagi registrasi ditutup. Aku mulai berfikir. Ditemani secangkir susu hangat dan roti pelatihan pagi tadi aku mulai menyusun perencanaan agar aku dapat melunasi pembayaran
UKT
semester
ini.
Hari
ini
merupakan
perjuangan awal untuk membayar UKT itu. Beberapa opsi yang muncul kepermukaan. Diantaranya mengikuti kompetisi penyususnan penelitian dan partisipasi kegiatan
perlombaan
menulis.
Setelah
dikaji
ternyata
penyusunan penelitian aku pun memutuskan untuk mencoret opsi penelitian karena proses yang panjang dan hadiah yang tidak besar. Menjadikan opsi lomba menulis fokus utamaku. Hari kedua sampai hari ketujuh aku mulai mencari informasi ke teman yang berbeda perguruan tinggi. Berkat aktif dalam organisasi, aku tidak sulit untuk menemukan informasi terkait perlombaan. Minggu kedua. Aku memperoleh tiga belas perlombaan. Dari tiga belas perlombaan akhirnya memutuskan untuk mengikuti delapan perlombaan yang memungkinkan untuk aku ikuti. Aku mulai menyusun proposal pengajuan dana dan izin kegiatan.
81
Minggu
ketiga.
Karya
mulai
aku
susun
dengan
semaksimal mungkin. Rasanya tidak ada hari tanpa berpikir dan mengetik. Sedikit tidur kadang aku temui, namun tidak sering. Delapan karya dalam beberapa minggu mungkin kelihatan memaksakan bagi beberapa orang. Namun tidak dengan diriku. Aku juga sering mengikuti banyak lomba dalam kurun waktu yang singkat. Kali ini merupakan pengikutsertaanku
yang
terbanyak.
Aku
harus
menyelesaikannya dalam batas akhir 2-4 minggu saja. Minggu
keempat.
Tercatat
ada
dua
karya
sudah
dikirimkan. Menyisakan enam karya lagi yang meski dibuat. Dengan lugasnya jemari mengetik menyusun kata demi kata perlombaan. Kali ini cerpen yang disusun. Rasanya otak begitu lanjar seperti laptop berkapasitas I Core 7, tanpa putus ide-ide berdatangan. Minggu kelima. Masih bersemangatnya jiwa, namun tidak
dengan
raga.
Badan
mulai
lesu.
Mungkin
efek
kurangnya tidur yang menjadi factor utama. Kantong mata mulai nampak. Lingkaran hitam mulai terlukis. Wajah pucat menjadi penanda badan mulai tidak sehat. Namun harus dipaksakan.
“Bisa,
aku
pasti
bisa,�
ucapku
sambil
mengempalkan tangan dan mengangkatnya. Minggu keenam. Rasanya badan sudah sangatlah lesu. Terlihat karya mulai ditulis dengan perlahan. Bahkan ada kesalahan pengetikan pada beberapa karya. Pada minggu ke 6 tersisa 2 karya yang belum rampung. Mulai sedikit demi sedikit karya ditulis. Berharap masih dapat fokus dan fokus. Kata bisa kembali terucap, “Bisa,� dengan suara agak lesu.
82
Minggu ketujuh. Benyaknya karya membuatku jatuh sakit. Aku tidak mampu lagi untuk berdiri. Bahkan kadang gemetar saat memegang gelas. Bibirku sudah memucat kehitaman, badanku kurus turun dua kilogram dan terlihat lingkaran hitam pada sekitar mataku. Aku hanya bisa berharap pengumuman karya lomba dapat memuaskanku. Namun
itu
hanyalah
pengharapan.
Satu
persatu
pengumuman belum berpihak denganku. enam karya hanya mendapat predikat sebagai peserta. Badanku rasanya tambah lesu mendengar hal ini. Minggu-terakhir. Semua pengharapan tertumpuh pada minggu ini. Besok merupakan pengumuman lomba karya tulis ilmiah. Akupun hanya berharap dapat memperoleh juara. Aku hanya bisa berdoa, berdoa dan berdoa. Sakit mulai membaik pada saat ini. Keesokannya
pengumuman
tiba.
Aku
membuka
pengumuman di media sosial dengan perlahan. Sambil aku tutup bagian layar gawai, aku berkata semoga aku juara. Setidaknya dapat mencukupi biaya kuliah sebesar 3.5 juta. perlahan-lahan aku menurunkan tangan. Juara 1 Rendi Andiansyah, dan itu bukan namaku dan begitu pun hingga juara 3 tiada namaku. Aku hanya menempati predikat 10 karya terbaik dan tidak memperoleh hadiah uang melainkan hanya sovenir dan bingkisan saja. Aku kembali kecewa dengan hasil ini. Tinggal satu pengumuman yang tersisa. Tepatnya hari ini pada pukul 20.00 pengumuman lomba terakhir akan diumumkan. Pada lomba ini aku bergantung. Pengharapan
83
besar tergambar dari gelisahku menunggu pengumuman. Detik demi detik bahkan aku dengarkan pada jam dinding, sambil sesekali melihat ke arah jam tersebut. Badan mulai berkeringat. Pada kondisi ini rasanya sakit tidak lagi ada, yang hanya ada ketegangan. Pukul 19.45 aku mulai mengecek gawai berharap pengumuman
dapat
dipercepat.
Namun
nihil,
ternyata
pengumuman belum juga muncul. 15 menit kemudian menjadi waktu-waktu ketegangan. Seolah kuliahku tertumpu pada satu lomba. Sebelum pengumuman saya berkata di dalam hati “Jika menang dan juara bukan hanya UKT yang bisa saya bayar namun juga bisa mencicil hutang Papa,” ucapku dengan lesu. Hadiah bagi juara yakni 5-10 juta. Nominal yang besar untuk sebuah perlombaan. Namun juga di balik itu pasti banyak peserta yang bersaing. Aku pun mulai membuka pengumuman. Sambil munutup layar ponsel dan kali ini aku memutuskan untukl melihat pengumuman dari bawah dari juara 3 hingga juara 1. Aku pun sudah pasrah. Jika aku tidak berkesempatan menjadi juara berarti aku harus berhenti kuliah sementara. Aku pun mulai melihat pengumuman juara 1 dengan nilai 895 dimenangkan oleh Universitas PGRI Palembang.
Aku
pun
meloncat
serontak
ternyata
memenangkan perlombaan. Sepuluh juta nominal yang begitu besar. Aku pun keluar keliling rumah dengan berteriak “Aku menang! Aku menang! Aku menang!” Sambil meloncat-loncat. Aku segera menghubungi panitia untuk menanyakan proses pencairan. “Halo mbak, ini aku yang menjuarai lomba
84
karya tulis ilmia, Mbak. Saya mau tahu proses pengambilan hadiah juara bagaimana, ya mbak?” tanyaku dengan bangga. Mbak panitia pun menjawab “Atas nama siapa mas?” “Atas nama Renaldo Afriansyah, Mbak, dari Universitas PGRI Palembang.” “Maaf,
Mas
yang
juara
itu
Gilang
Anggara
dari
Universitas PGRI Palembang bukan mas.” Aku pun bingung. “Nanti aku kabarin lagi mbak,” kataku sambil melihat ke atas. Ketika aku membuka pengumuman kembali ternyata memang Gilang Anggara yang menjuarai. Aku menerima aku yang menjuarai dikarenakan Universitas PGRI Palembang adalah Universitas tempatku bernaung. Namun hanya kekecewaan yang aku peroleh. Serentak gawaiku terlepas dari genggaman, layarnya pun pecah. Seperti hatiku yang pecah berkeping-keping. Ternyata aku hanya masuk 7 besar karya terbaik dan hanya mendapatkan lima ratus ribu. Masih jauh dari target yakni 3,5 juta. akhirnya aku hanya bisa pasrah dengan keadaan. Air mata tidak bisa aku tahan untuk membasahi pipi ini. Semakin aku usap, semakin banyak dia bercucuran. “Kenapa kamu, Do?” tanya Papaku sambil memegang pundak. “Sepertinya aku harus berhenti kuliah, Pa. Biaya kuliah tidak bisa kita penuhi,” tuturku sambil menagis. Papa menjawab, “Memang kapan batas akhir?” Bertanya sambil heran.
85
“Besok
menutupan
registrasi,
Pa,”
kataku
sambil
menunduk. Aku menambahkan, “Kita susah dalam ekonomi, Pa. Kita sudah terlalu banyak berhutang, sekarang aku tidak mau lagi jadi beban keluarga,” ucapku sambil menangis. “Tetapi sayang kan, kamu sudah masuk ke semester akhir,” ujarnya dengan muka kecewa. “Ya mau gimana lagi Pa, aku sudah berusaha tetapi belum
ada
hasil
yang
memuaskan,”
tuturku
sambil
menunduk dan menangis tersedu-sedu. “Semangat terus Nak,” jawab Papa sambil menangis. Aku terbaring melihat atap sambil dan memejamkan mata untuk mulai tertidur. Papa hanya bisa mengusap kepalaku dan mengatakan Papa belum bisa kasih yang terbaik “Nak, tidurlah seoga esok lebih baik.” Hari
terakhir
registrasi.
Rektorat
Universitas
meneleponku. “Permisi Nak ada surat dari Rektor Universitas PGRI Palembang, mohon kamu langsung menemui Wakil Rektor 3, ya,” kata Sekretaris Rektor Universitas PGRI Palembang. “Iya pak sebentar lagi saya kesana,” jawabku dengan nada pelan. Setelah aku mematikan telepon aku berfikir surat pernyataan saya diberhentiakan sudah ada, rasanya aku tidak
86
mau
mengambilnya
atau
menyuruh
orang
lain
untuk
mengambilnya. Namun aku berpikir inilah kali terakhir aku berangkat ke kampus untuk juga menyampaikan kalimat perpisahaan
kepada
teman-teman
di
Universitas.
Aku
berangkat dengan berat hati. Sesampainya di ruang rektorat yang megah, dingin juga terang. Aku langsung masuk ke ruangan Wakil Rektor 3 bidang Kemahasiswaan. Aku dipersilakan duduk dan aku diberikan surat tersebut. Aku langsung mengambilnya dan pergi sambil menangis tanpa menghiraukan wakil rektor 3 yang berada di depanku. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju ruang kelas dengan teman-teman yang heran dengan kehadiranku yang terluhat
menagis.
Aku
berkata
teman-teman
jika
ada
perkataan atau perbuatanku ada yang salah sengaja maupun tidak tolong dimaafkan, karena hari ini aku tidak bisa melanjutkan kuliah ini surat pemberhentian sdh ada�, sambil menunjukannya. Aku menuturka alasan aku berhenti karena permasalahn biaya, dan berpamitan. Setelahnya aku langsung berjalan meninggalkan ruang kelas, dan meninggalkan surat tadi di atas meja dosen. Aku
menangis.
Rasanyanya
tidak
ada
malu
lagi
menangis koridor kampus. Padahal sebelumnya aku dikenal dengan sosok yang bijak dan tidak pernah bersedih. Semua hanya melihatiku dengan sinis. Tidak lama Ipan teman sekelasku menarik tanganku. “Kenapa,� tanyaku.
87
“Ikut
aja,
sudah
diem,”
sambil
menempelkan
jari
telunjuk di bibirnya. Aku pun bingung. Lalu dia membacakan isi surat itu. “Nama Renaldo Afriansyah telah berhasil mendapatkan Beasiswa prestasi dari Rektorat. Cakupan beasiswa yaitu biaya UKT selama dua semester dan uang saku sebesar 5 juta per semester,” tuturnya dengan kencang. Aku pun hanya bisa tersenyum sambil melihat keatas dan mengusap muka. Teman satu kelas pun memelukku dan mengucapkan, ”Selamat, selamat, selamat, Do.” Ucapan itu yang banyak aku dengar pada saat itu. Aku pulang sambil tersenyum ria. Intinya aku dapat pelajaran.
Bukanlah
predikat
yang
menentukan
jalan
seseorang. Namun, proses yang dapat berkata banyak untuk menghadirkan sebuah jalan yang lebih indah. Tugas kita hanya berproses, usaha dan meyakini bahwa hasil tidak akan mengkhianati proses. Layaknya keju yang lezat merupakan bentuk persipan bahan yang berkualitas dengan tahap yang tepat dan benar. Maka berproseslah semaksimal mungkin, karena waktu tidak bisa terulang kembali.
88
Panggilan Hati Oleh Fiqi Adam Pamungkas Pagi itu cerah sekali, burung-burung berkicau dan bercuitan satu sama lain seolah mengucapkan selamat pagi. Mataku masih sayup-sayup karena baru terbangun. Aku memicingkan mata lalu segara meraih ponsel di sebelah kasur. Kebiasaan ini tentu sangat sering dilakukan oleh orang-orang pada jaman ini. Kulihat berbagai pemberitahuan masuk di ponsel,satu-dua kulihat lalu kulewatkan begitu saja, karena hanya sebatas ucapan yang menurutku saat itu sudah tidak penting.Setelah mengawali pagi hari dengan ponsel, aku segera
merenggangkan
badan
agar
tubuh
terasa
lebih
rileks.Dengan tenaga yang sudah terkumpul, aku melangkah menuju kamar mandi untuk segera mandi. Hari-hari itu seperti biasa, sarapan sembari menonton televisi hingga sore hari.Di ruang tengah rumah ini yang berukuran
4x4
meter
terdapat
sofa
panjang
tempatku
sekarang merebahkan badan, dan menatap televisi yang terpasang di dinding. Lampu di ruangan ini aku buat redup agar terasa lebih nyaman. Rutinitas itu seolah sudah menjadi kebiasaan sejak tiga bulan terakhir ini. Benar tentang berita penelitian itu, beberapa hari lalu aku membaca sebuah berita di Instagram bahwa bila seseorang melakukan kegiatan yang sama selama kurang lebih tujuh puluh hari maka akan menjadi kebiasaan. “Aku tidak percaya, apakah benar?� gumamku saat
89
membaca berita itu. Ternyata hal itu benar. Di tengah melakukan rutinitas baru yang mengasyikan ini ponselku berdenting. Muncul satu pemberitahuan pesan baru dari seseorang
yang
tidak
dikenal.Pada
awalnya
aku
ingin
menghiraukan itu, karena seperti tidak ada kepentingan untuk membalasnya. Kenyataan itu seolah berbalik seratus delapan puluh derajat beberapa saat kemudian karena acara televisi yang membosankan sedang tayang. Aku mulai untuk membaca pesan itu. Putri: Halo Pian, perkenalkan namaku Putri mahasiswa hukum Universitas Maju Sejahtera. Aku mendapatkan kontak kamu waktu itu saat mengisi survey. Aku ingin bertanya, apakah kamu berminat untuk bergabung ke dalam gerakan sosial kami? Kegiatan ini akan mengajak orang terdekatmu untuk memberikan donasi pada orang-orang yang tidak bisa makan karena virus korona ini. Jika kamu berminat nanti akan aku undang ke grup, ya. Terima kasih. Entah kenapa hatiku tersentak membaca kalimat di layar ponsel itu. Mataku membesar dan membaca kembali pesan tersebut lamat-lamat.Setelah memastikan bahwa tidak salah membaca, aku sejenak bepikir dua hal. Hal pertama, kegiatan tersebut sangat bagus dan bisa membantu orang lainkarena aku ingin pengalaman masa lalu pada diriku tidak terbuang kembali kepada orang lain. Hal kedua, rutinitasku di hari
libur
perkuliahanakan
terganggu.
Sejenakaku
pertimbangkan hal itu dengan baik. Pikiran ini terus berputarputar seolah tidak menemukan jawaban. Aku hanya menakuti satu hal tentang luka lama itu. Aku menarik napas panjang
90
dan
menghembuskannya.
Lalu
membulatkan
keputusan
untuk bergabung meskipun ada sebagian perasaan dalam diri yang menolak. Pesan singkat itu segeradibalas dengan mengirimkan jawaban
bersedia.Tidak
membutuhkan
waktu
lama,
perempuan bernama Putri itu sudah membalas kembali pesan yang
baru
saja
aku
kirim.
“Cepat
sekali
balasannya,�
gumamku yang setengah terkejut. Dari kalimat balasannya aku mengetahui bahwa dia sedang tersenyum manis menatap layar ponsel karena mendapatkan balasan yang diinginkan. Setelah beberapa pesan singkat, percakapan lewat ponsel tersebut
segera
berakhir.
Aku
tidak
terlalu
menyukai
berbincang seperti itu. Hanya membuang waktu. Waktu yang sudah terpotong untuk menonton televisi segera berlanjut meskipun membosankan. Aku tidak ingin waktuku terbuang sia-sia untuk menikmati kesendirian ini di tengah waktu liburan. Waktu liburan saat ini juga tidak seperti biasanya.Pertengahan bulan Mei saat itu pemerintah memutuskan untuk membuat aturan tetap di rumah guna mencegah penularan vius korona saat ini. Virus itu sudah mengancam jutaan kehidupan di dunia. Pusing memikirkan hal rumit seperti itu, aku hanya menuruti perintah saja untuk tetap di rumah dan mengikuti protokol kesehatan lainnya, sebab aku sudah mengetahui dampak yang terjadi jika melanggar. Bulan sudah muncul di atas langit, matahari sudah harus
pulang
ke
balik
gunung.
91
Malam
itu,
setelah
melaksanakan
ibadah, aku memutuskan membuat nasi
goreng untuk makan malam. Dengan makanan sederhana itu cukup membuat perut terisi penuh sampai esok pagi. Saat sedang menyantap makanan, ponselku berdenting. Muncul pemberitahuan.Kuraih ponsel itu, dan melihat pesan atau pemberitahuan yang masuk. Ternyata ada undangan untuk bergabung ke dalam obrolan grup gerakan sosial yang diajak oleh Putri. Hanya membutuhkan waktu dua detik untuk menyetujui agar bisa bergabung ke dalam obrolan grup. Grup
tersebut
sudah
terisi
dua
puluh
anggota,
diantaranya diriku. Aku memperhatikan apakah ada pesan yang terlewat atau tidak, namun nyatanya belum ada yang memulai percakapan di dalam obrolan grup tersebut.Tidak berpikir panjang, segera ponsel itu aku taruh di atas meja dan kembali menyantap nasi goreng yang sudah tidak panas namun tetap pedas.
Pagi kesekian menjalani rutinitas baru ini.Seperti biasa, tidak berkurang satu kegiatan yang seolah wajib untuk dilaksanakan.Pukul
delapan
pagi,
ponselku
berdenting,
pemberitahuan baru.Terdapat pesan panjang dari seseorang anggota grup, sepertinya mulai membuka obrolan.Sebatas memperkenalkan diri antar anggota. Dari perkenalan tersebut aku mengetahui masing-masing mereka sudah diterima di Perguruan Tinggi sama seperti diriku, mungkin hal ini akan menjadi menarik. Setelah usai kami berkenalan satu sama
92
lain,
Kak
Faza
melanjutkan
percakapan
untuk
memperkenalkan gerakan sosial ini lebih lanjut. Kak Faza ternyata adalah penggagas gerakan ini. Pembahasan tentang gerakan sosial ini akan dilanjutkan melalui media panggilan video. Aku bergegas menuju kamar.Seger menghidupkan laptop untuk melakukan pertemuan secara virtual ini, duduk di kursi sembari menatap layar laptop. Menghadiri pertemuan ini sangat membosankan, seolah mengganggu aktivitas untuk menonton
televisi.Akhirnya
pembahasan
secara
virtual
tersebut dimulai. Berkisar lima belas menit berlalu penjelasan sudah selesai. Membayangkan tugas yang diberikan seolah sangat membosankan
dan
menyesali keputusan
menyebalkan.Batinku yang
telah
terus-menerus
dibuat ini.Tugas yang
diberikan hanya mengajak teman untuk berdonasi melalui media sosial secara pribadi serta mengajak teman-teman untuk bergabung dalam kegiatan ini. Aku sangat malas untuk melakukan hal itu, karena mereka akan selalu menanyakan keadaan atau kabar. Seusai penjelasan dan pembagian tugas, Kak Faza berlanjut untuk menceritakan kisah inspiratif kepada anggota gerakan sosial ini. Semua anggota terlihat tertegun mendengar kisah itu. Tidak seperti anggota lain, aku hanya menyimak tanpa rasa tertegun saat mendengarkan, seolah rasa malas dan tidak pernah ingin mempercayai hal yang indah sudah tidak ada lagi dalam diriku.
93
Mataku menatap layar laptop dengan tatapan kosong, sesekali
menghembuskan
membosankan.Entah
napas
darimana
rasa
panjang. malas
Sangat
dan
benci
mendengarkan hal itu membuatku mulai perlahan naik pitam.Semua janji-janji kehidupan yang mengindahkan itu seolah hanya kalimat bermakna kosong. Pertemuan yang membosankan itu akhirnya berakhir. Aku masih terbenam dalam perasaan kesal tersebut.Mataku mulai menatap tajam dan wajahku mulai masam. Aku tidak paham kenapa hal tersebut bisa membuatku kesal sampai seperti ini. Untuk menenangkan diri kuputar lagu dan merebahkan
diri
di
kasur,
berharap
segera
kembali
tenang.Tidak terasa, diriku terlelap beberapa menit kemudian.
Pagi itu diawali dengan aktivitas seperti biasa, semua aktivitas dijalankan seolah sebuah keharusan. Setelah itu, Aku teringat untuk mengerjakan sebuah tugas yang harus diselesaikan setiap harinya. Mengajak orang untuk berdonasi. Agar tidak terlalu kesal, kuputuskan untuk menarik napas perlahan dan meyakinkan diri bahwa ini mungkin akan bermanfaat. Pesan ajakan pertama yang aku mulai adalah dari sahabat terdekat. Cukup mengirim dan menanyakan apakah berminat untuk menyumbang atau tidak tanpa percakapan lainnya, karena memang memahami keadaan diriku belakangan ini. Pesan tersebut akhrinya berhasil dikirimnya sejumlah target yang diinginkan. Selama masa
94
menjalani tugas ini setiap malamnya kami akan mendapatkan materi pengembangan diri. Aku segera memikirkan betapa bosannya menjalani hal tersebut. Saat matahari mulai digantikan oleh bulan, aku bersiap duduk menatap layar laptop untuk menyimak materi yang diberikan. Meskipun akan membosankan. “Halo, bagaimana kabar kalian hari ini ?Aku semangat sekali akan membagikan suatu hal yang akan membuat kalian semakin berkembang nantinya.” Kalimat tersebut menjadi pembuka pada kegiatan malam ini.
Materi
yang
disampaikan
membuat
setiapyang
mendengarkan seharusnya terkagum dan akan bersedia menatap layar laptop mereka dengan tatapan yang mendalam. Sedangkan diriku, hanya menatap dengan tajam dengan tatapan nanar, seolah tidak ingin mempercayai hal tersebut. Sesi untuk bertanya dimulai. Dengan emosi yang sudah tidak terbendung, aku memberanikan diri untuk bertanya. “Kak Faza, aku ingin bertanya. Apakah Tuhan itu adil? Mengapa dalam
kita
hidup?
diciptakan Apakah
dengan
manusia
penuh kesengsaraan tidak
berhak
untuk
berbahagia seperti janji-janji kehidupan indah yang sudah disampaikan tersebut,” ucapku dengan nada tegas dan tatapan tajam menatap layar laptop. Keadaan dalam pertemuan menjaid sunyi.Mereka seolah terkejut atas pertanyaan yang diberikan.Tatapan mereka seolah mengisyaratkan, “Ada apa ini?”
95
Kak Faza saat itu tersenyum simpul, dengan tatapan penuh perasaan. Hatiku bergetar melihatnya, tatapan itu, mengingatkan aku dengan Ibu, Ayah, dan Adik. Namun saat ini mereka sudah pergi untuk selamanya. Pandemi
korona
virus
dimulai,
keluargaku
masih
menganggap ringan kabar berita tentang bahaya dari virus ini.Kami sibuk bepergian tanpa mengikuti protokol kesehatan. Pada akhirnya kami semua terkena virus korona tersebut. Terkejut. Bagai disambar petir di siang bolong, hasil tes kami menunjukkan kami positif terkena virus korona. Sontak kami satu
keluarga
terkejut,
seolah
kematian
hanya
tinggal
menghampiri. Regulasi berikutnya kami sekeluarga dibawa ke rumah
sakit
untuk
melakukan
perawatan.
Rasa
benci
terhadap janji-janji kebahagiaan itu dimulai dari tempat itu. Setiap hari kami selalu diberi janji akan kembali menjalani kehidupan yang normal dan segera sehat kembali. Meskipun harapan untuk hal tersebut sangat kecil. Setelah beberapa hari di rumah sakit, kesehatan yang aku
rasakan
perlahan
membaik.
Mendengar
kabar
itu
membuat kesenangan sesaat, karena keluargaku mengalami kondisi yang semakin memburuk. Kesedihan seolah menusuk hati. Aku berusaha tetap tegar dan menguatkan ibu, ayah, dan
adikku.
Tatapan
mereka
saat
itu
begitu
dalam,
menyentuh perasaan bagi siapa pun yang melihatnya. Gurat wajah ibu dan ayah yang jika diperlihatkan bahwa mereka tetap tegar. Senyum manis yang terukir diwajah adikku juga menggambarkan demikian. “Oh Tuhan, entah harus apa aku sekarang,� gumamku
96
dalam hati sambil menghela napas panjang. Malam itu kami membuat acara kecil di rumah sakit. Kami bercerita hal-hal menarik yang akan dilakukan saat keadaan ini mulai membaik. Tertawa renyah sesekali karena gurauan ayah yang terkadang sangat menggelitik. Waktu itu aku belum menyadari bahwa mereka akan pergi tanpa diriku. Keesokan paginya, ranjang sebelah ramai oleh para perawat. Situasi tersebut membuat diriku mematung. “Ibu, ayah dan adik. Itu ranjang mereka. Ada apa ini?� Suaraku parau sembari berlari menuju ranjang. Benar saja, kabar buruk itu menghujam hatiku. Mulai saat itu, aku menyadari bahwa diriku akan tinggal sebatang kara. Lantas di tempat itu kepercayaan terhadap janji-janji kehidupan mulai kuhilangkan. Semuanya hanyalah bualan belaka.
Kak
Faza
pertanyaanku.
tampaknya
Semburat
mulai
cahaya
ingin
seolah
menjawab
memancar
di
wajahnya. Sesaat diriku terkesima menyadari hal itu. “Kau mempunyai
tahu
Pian,
rencana
menduganya.Kesedihan
bahwa
terindah itu,
Tuhan yang
memang
kamu
menjadikan
tidak
dirimu
selalu akan
memiliki
pemahaman sekuat baja dan pundak sekokoh besi. Kamu
97
akan belajar memahami waktu dengan baik bersama orangorang tercinta. Hidup memang adil, Pian. Manusia terlahir dengan tujuan mereka masing-masing.Kamu hadir disini untuk menjalankan tujuan itu. Untuk mimpi besar yang tidak akan pernah kamu lupakan. Kau tahu? Kehadiranmu saat ini berhasil membantu rumah sakit memberikan pengobatan lebih bagi satu keluarga yang terkena virus korona di donasi hari pertama. Iya, kamu harus mengalami hal berat untuk mendapatkan penghargaan atas kebaikan itu. Kita akan bersinar jika bisa membantu sekitar. Inilah panggilan hati Pian,� jawab Kak Faza dengan arif. Perkataan itu tanpa sadar membuatku mengeluarkan air mata. Perkataannya seolah mengahancurkan kebencian atas takdir yang kuterima saat ini. Tanpa aku sadari kebaikan yang dilakukan saat ini memberikan dampak besar bagi orang lain dan bahkan memberikan kehidupan baru bagi mereka. Ya Tuhan, apakah keluargaku senang melihat ini?
98
Perempuan Perawat Gajah Oleh Fahimah Andini Seorang perempuan paruh baya mengendarai kendaraan roda dua. Ia mengenakan pakaian dinas berwarna putih, menghampiri gajah-gajah yang berada di Taman Nasional Way Kambas
(TNWK).
Dia
mengecek
kondisi
kesehatan
gajah
tersebut. Aktivitas tersebut rutin dilakukan Dokter Hewan, Diah Esti Anggraini. Dokter yang akrab dipanggil Esti ini, sudah mengabdikan diri sebagai dokter gajah sejak 1997. Dokter lulusan Universitas Airlangga ini menceritakan, bagaimana awalnya dia pertama kali ditempatkan di Way Kambas.
Kasus
pertama
yang
harus
dia
hadapi
adalah
membantu gajah melahirkan. "Awal sekali datang ke sini belum ada teknologi, pertama kali merawat gajah melahirkan uterusnya ikut keluar sudah pendarahan. Rahimnya dalam keadaan sobek. Kita berusaha memasukan kembali dengan dibantu beberapa orang tetapi tidak bisa. Akhirnya mati, awal kejadian saya datang ke sini," ujar Ibu dua anak ini. Sudah 23 tahun, Esti mendedikasikan hidupnya untuk bekerja menjadi dokter gajah di TNWK. Sudah banyak kasus gajah yang dia tangani. Salah satunya, Esti juga ikut ambil andil dalam merawat gajah Erin, gajah viral yang ditemukan dalam keadaan belalai buntung. Dia menduga belalainya terluka akibat
99
sling pemburu. Anak gajah ini juga kehilangan induknya sehingga dibawa ke PLG untuk dirawat di Rumah Sakit Gajah. Usia Erin sekarang sudah tujuh tahu. Ada kejadian nahas yang pernah menimpa Erin. Saat sedang digembalakan, Erin tersengat lebah yang menyebabkan bekas lukanya menjadi borok. Namun, saat ini Esti menjelaskan kondisi Erin sudah membaik. Dia sudah mampu untuk makan sendiri meskipun tetap ada sedikit bantuan dari mahout. Tidak hanya menangani kasus Erin, dokter Esti juga pernah merawat gajah yang terinfeksi rabies pada tahun 2017. Saat ditemukan, Esti mendapati gajah tersebut sudah roboh dan mati sambil mengeluarkan air liur. Hal ini belum pernah terjadi, sehingga tim medis PLG membedah otaknya untuk diteliti di laboraturium. Hasilnya menyatakan penyakit yang menimpanya adalah rabies. Rabies tidak pernah menimpa gajah di Indonesia. Kejadian ini pertama kali terjadi. Masalahnya, Belum diketahui asal virus ini. Sebab, Gajah tersebut tidak memiliki gejala dan bekas luka pada tubuhnya. Mengetahui bahwa gajah yang mati terkena rabies,
semua
petugas
yang
merawat
dan
mengatopsi
mendapatkan serum anti rabies. “Alhamdulillah sudah clear tidak terjadi apa-apa,� kata Esti. Kasus terbaru yang sedang ditangani dokter Esti adalah penyakit cacingan yang sedang diderita Dita. Sudah sebelas hari Dita mengalami gangguan pencernaan.
100
“Dita sakit gangguan pencernaan sejak hari sabtu sakit di infus sampai hari ini masih dimonitor,� kata Esti saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (19/8/2020). Ketika merawat Dita, Esti mengatakan sangat dibutuhkan kesabaran dan harus telaten. Sudah beberapa hari ini, Dita mulai mau makan, sebelumnya sangat susah diberi makan. “Kita sampai berhari-hari mencari makanan yang cocok untuk dita. Makannya milih kacang panjang mau, timun kadang mau kadang gak, bengkoang tidak mau, kemarin mulai mau makan setengah hari selanjutnya gak makan lagi,� jelas Esti. Esti menjelaskan ada masa atau periode yang unik pada gajah dan tidak terjadi pada hewan lain. Periode ini disebut Musth.
Musth
muncul
ketika
gajah
jantan
memproduksi
testosterone yang banyak. Musth tergantung pada usia dan bisa berhubungan dengan tingkat sosial, di mana gajah jantan yang dominan terlihat mempunyai musth dengan tingkat yang lebih tinggi dibanding gajah lain. Kejadiannya bisa sebulan sampai tiga bulan. Saat gajah sedang mengalami periode musth, gajah akan sangat agresif sehingga bisa membahayakan mahout dan gajah lainnya. Menurut teori musth hanya terjadi pada gajah yang dominan. Namun, teori itu terpatahkan di TNWK ini bahwa gajah yang mengalami musth bukan yang dominan saja. “Saya bekerja di sini sangat terbuka jika ada kasus baru yang terjadi pada gajah. Setiap ada kasus baru yang hanya melaporkan pertama itu di way kambas, pokoknya penyakit-
101
penyakit yang gak ada ditempa lain ada di way kambas,� katanya. Seiring
waktu
Taman
Nasional
Way
Kambas mulai
berkembang tidak hanya dari sarana prasarana. Seperti adanya Rumah Sakit Gajah Prof. Dr. Ir. Rubini Atmawidjaja dan juga pengobatan yang memiliki perkembangan yang signifikan. Berkembangnya teknologi juga cukup membantu aktivitas dokter Esti karena dapat mudah berdiskusi dan menghubungi mitra kerja jika ada suatu kasus. Selain itu dengan adanya internet membantu pekerjaannya untuk banyak membaca teoriteori mengenai pengobatan penyakit gajah. Saat ini terdapat 64 ekor gajah di PLG Taman Nasional Way
Kambas.
Semua
kesehatan
gajah
tersebut
menjadi
tanggungjawab Esti. Dokter hewan satu-satunya di PLG Way Kambas
ini, dibantu para mahout (pawang gajah) untuk
mengontrol kesehatan gajah. Mahout diberikan tanggung jawab untuk merawat gajah. Setiap mahout mempunyai borang harian yang berisi catatan perkembangan
aktivitas
sehari-hari
gajah
dan
kronologi
kesehatan gajah perhari yang dicatat oleh mahout itu sendiri. Seperti mencatat bentuk feses, urine yang dikeluarkan banyak atau sedikit, matanya sayu, belekan, perubahan nafsu makan dan ada luka diarea tubuh gajah. Selanjutnya dari hasil catatan mahout ini, akan ditindak lanjuti pemeriksaan oleh Esti.
102
“Jika
pemeriksaan
tidak
cukup
kita
ambil
sampel
darahnya dan dilakukan pemeriksaan di laboraturium untuk mengetahui diagnosanya,” ujar Esti. Kecintaannya terhadap gajah merupakan alasan Esti tetap bertahan bekerja di PLG Way Kambas. Padahal, teman-teman angkatannya sesama dokter hewan memilih untuk pindah pekerjaan. “Bahkan sekarang ada yang jadi pejabat. Saya ditawarkan untuk pindah tempat, saya jawab, gak, gak saya di sini aja gak mau pindah,” kata Esti. Meskipun sebagai dokter gajah sangat menguras tenaga dan pikirannya. Akan tetapi, ada pengalaman yang tidak bisa dilupakan dan membuat Esti merasa terharu dan bahagia. Dia bersama tim patroli TNWK berhasil mengembalikan anak gajah ke kelompoknya. “Alhamdulillah kita mempunyai tim yang handal bisa menemukan kawanannya dan anak gajah tersebut langsung diterima,” urai Esti. Dia menjelaskan tidak semua gajah mau menerima gajah lain kalau bukan kawanannya. “Rasanya bangga dan senang sekali bisa mengembalikan anak gajah ke kelompoknya seperti mengantarkan
anak
manusia
kepada
ibunya,”
kata
Esti,
matanya terasa berkaca-kaca mengingat kejadian tersebut. Bekerja sebagai dokter gajah di PLG Way Kambas selama 23 tahun, Esti sudah menemui berbagai masalah yang harus
103
dihadapi. Namun, hal itu juga yang bisa membuat Esti bahagia karena mampu menyelesaikan permaslahan disini. Menurutnya, masalah itu bukan hanya penyakit saja banyak hal yang harus dihadapi apalagi status Rumah Sakit Gajah ini sendiri. Dia juga berharap akan ada penambahan dokter di Rumah Sakit Gajah Way Kambas yang bisa membantunya merawat gajah. Permintaan untuk penambahan dokter gajah sendiri sudah ada pengajuan dari Balai Taman Naisonal Way Kambas dan sedang menunggu perizinannya. Bukan tanpa alasan Esti meminta adanya penambahan dokter hewan. Dia merasa sudah mulai menua dan harus mempersiapkan penerusnya untuk menjadi dokter gajah di PLG Way Kambas. “Di umur segini fisik saya tidak sekuat yang dulu sudah mulai punya banyak keluhan. Fisik itu penting untuk menjadi seorang dokter hewan untuk satwa liar. Menguras banyak tenaga karena harus berhadapan dengan satwa liar terutama satwa yang kuat seperti gajah, harimau, dan badak.,� kata Esti.
104
Menegakkan Aspirasi di Tengah Pandemi Oleh Adwar Pratama Hampir setahun ini kita terbelenggu pandemi, sulit rasanya beraktifitas leluasa seperti dulu lagi. Saking lamanya terkurung ketidakpastian hidup normal kembali dijalankan, khalayak pun bertransisi, dari yang awalnya takut dan panik dengan pandemi, menjadi menerka-nerka dan berkonspirasi. Mereka yang sudah tak tahan akan semua ketidakpastian ini mulai merangkai teori dan membangun asumsi, bahkan pemerintah pun dicurigai. Dan bahkan, mereka mempunyai pergerakan sendiri. Berawal dari ajakan teman dan perasaan untuk melepas kejenuhan, aku dipertemukan dalam sebuah lingkup di mana ada sebuah kelompok pergerakan tanpa agenda dan taksasi yang jelas, namun selalu mengkaji fenomena yang terjadi dalam lingkup sosial dan kebijakan pemerintah,serta tak jarang melakukan aksi kemanusiaan. Kelompok tersebut bernama Suram atau yang mereka singkat Suara Rakyat Medan, sebuah lingkup di mana yang tergabung didalamnya tidak
ada
satu
pun
yang
memiliki
keterkaitan
secara
kelembagaan, pendidikan, ataupun kekeluargaan. Banyak sekali perbedaan antar anggota kelompok ini, mereka hanya disatukan oleh sebuah pemikiran yang menolak untuk diintimidasi
dan
memiliki
niat
untuk
kesejahteraan masyarakat tanpa politisasi.
105
membangun
Aku
bertemu
septemberdisebuah
dengan
forum
Suram
diskusi
dan
pada
akhir
kreatifitas
yang
bernama Ruang Bebas Uang, yang pada malam itu tajuk forumnya adalah Malas Melawan. Forum tersebut diadakan berdasarkan inisiatif salah satu anggota Suram bernama Rozi Efrial yang kebetulan merupakan temanku semasa duduk dibangku SMA. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di warung kopi tempat forum diskusi itu dilaksanakan, aku melihat
sekitar
30
orang
meramaikan
forum
dengan
penampilan bebas yang jauh sekali dengan cara masyarakat umum berpenampilan. Jujur aku merasa takut untuk membaur dengan mereka karena dari luar mereka amat berbeda dengan masyarakat yang sering kuwawancarai, pun begitu aku mencoba menyapa satu-dua orang yang duduk disitu untuk mengakrabkan diri. Rozi yang melihat aku yang canggung untuk memulai obrolan dengan anggota Suram menegurku dengan berkata, “Aman itu, Wak, sangar-sangarnya orang itu nampak kau, masih manusianya,� celetuknya. Sepengalamanku berinteraksi dengan anggota Suram, ternyata ada sebuah nilai sosial yang sangat kental diluar stigma
masyarakat
kepada
kelompok
semacam
ini.
Percakapanku dengan mereka selalu membahas tentang bagaimana menyikapi kebijakan penguasa dan membuat mereka paham akan kondisi masyarakat yang bertolak belakang dengan ekspektasi dari kebijakan yang dicanangkan. Terdengar seperti semacam pemberontakan memang, namun begitulah Suram, yang tetap mengedepankan pemikiran
106
idealis mereka tak peduli bagaimana para kalangan diluar mereka menanggapinya. Sampai pada satu agenda dalam forum Ruang Bebas Uang di mana para anggota Suram diajak membedah film dari Watchdog Documentary berjudul “Negara, Wabah dan Krisis Pangan�. Setelah pemutaran film, semua yang berhadir untuk mengemukakan pendapatnya mengenai film tersebut dan benar, banyak sekali argumentasi yang dikemukakan di tengah forum.Disaat itu pula niat untuk mengambil giliran dalam mengemukakan pendapatku terlintas, walau memang sedikit sulit untuk kulakukan mengingat selama ini aku hanya
mengemukakan
pendapat
dari
orang
yang
kuwawancarai dalam setiap berita yang kutulis. Singkat cerita aku mengangkat tangan saat pemandu forum menawarkan pengajuan pendapat, pada kesempatan itu aku mengambil garis besar dari tajuk forum itu dengan menyatakan, semua yang sudah disampaikan oleh para anggota Suram alangkah lebih baik jika diiringi dengan sebuah tindakan nyata yang memanfaatkan latar belakang apapun yang dimiliki para anggota Suram. Setelah argumentasi kusampaikan, seisi forum dengan hangat mengapresiasi pendapatku dengan bertepuk tangan. Padahal di situ aku sempat takut akan berbeda pandangan dengan mereka dan memicu konflik antara aku dengan Suram. Pada tanggal 5 Oktober aku mendapatkan kabar dari Rozi bahwa dibeberapa daerah kota medan telah terjadi aksi
107
penolakan Omnibus Law yang melibatkan mahasiswa dan buruh, dia juga mengajakku untuk turun ke bundaran SIB melakukan aksi serupa bersama Suram. Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan ajakannya karena aku juga bisa meliput aksi tersebut untuk LPM Dinamika. Pada tanggal 6 Oktober, aku dan Suram turun ke jalan tepatnya di Bundaran Sinar Indonesia Baru (SIB) atau yang dulunya dikenal sebagai Bundaran Majestik. Rozi bertindak sebagai koordinator aksi pada saat itu, dengan membawa rombongan Suram sebanyak 27 orang Rozi memulai aksi orasi dengan
menyatakan
bahwa
Omnibus
Law
hanya
mendatangkan kesengsaraan untuk rakyat dan kesejahteraan untuk para investor. Aksi
yang
berlangsung
selama
empat
jam
itu
berlangsung kondusif dan disambut baik oleh para pengguna jalan di sekitaran bundaran SIB dan aku juga berhasil mendapatkan data dari aksi hari itu yang nantinya akan kutuliskan menjadi berita di lama resmi LPM Dinamika. Aksi tersebut merupakan pertama kalinya aku melihat langsung bagaimana Suram beraspirasi. Ada Altruisme yang kental yang kurasakan dari Suramyang mereka tunjukkan dengan acuhnya mereka terhadap urusan pribadi mereka seperti finansial dan waktu yang rela mereka korbankan untuk
mengemukakan
aspirasi
masyarakat
di
tengah
masyarakat itu sendiri. Yang paling membuatku terkejut adalah ternyata ada satu anggota Suram yang juga adalah anak dari pejabat pemerintahan ikut berorasi bersama anggota Suram lainnya. Sudah tak bisa kubayangkan entah
108
berapa banyak pertaruhan dan kesukarelaan sebanyak apa yang
mereka
lakukan
untuk
menyuarakan
pendapat
masyarakat. Keesokan harinya kuketahui banyak sekali pemberitaan tentang aksi penolakan yang terjadi pada hari itu. Namun di hari itu massa aksi masih belum terkonsentrasi ke satu titik dalam melakukan demonstrasi. Puncak pecahnya demonstrasi di medan terjadi pada tanggal 8 oktober di mana buruh, mahasiswa
dan
pelajar
dari
berbagai
titik
di
kota
Medanbergabung memadai gedung DPRD kota Medan. Pada hari itu aku juga turun ke lapangan meliput besarnya
aksi
penolakan
yang
dilaksanakan
di
tengah
pandemi. Aku mengambil langkah nekat dengan meliput dari arah kerumunan Suram yang pada saat itu massanya jauh lebih banyak dari yang dibawa pada tanggal 6 oktober. Memang akan lebih aman jika meliput dari depan kantor DPRD langsung karena ada banyak wartawan juga yang diperbolehkan meliput disana, namun aku ingin mengambil sudut
pandang
lebih
nyata
dari
sisi
demonstran
dan
menghindari intervensi dari para aparat yang juga berjaga di depan gedung DPRD. Suram bisa dibilang adalah kelompok demonstran yang paling keras dari yang lain, namun mereka tidak anarkis. Mereka dengan tegas menyuruh para demonstran yang tergabung dalam kerumunan mereka untuk melepaskan almamater, dengan alasan agar pergerakan yang dibawa Suram benar-benar terasa murni perjuangan dari masyarakat. Hal tersebut juga menjadi salah satu pemicu terjadinya
109
ketegangan antara Suram dan massa aksi lain yang memakai almamater kampus mereka. Saat rombongan Suram sampai di depan lapangan merdeka, Suram tidak diperbolehkan untuk maju ke gedung DPRD dengan alasan, tidak ada yang memakai almamater di kelompok Suram dan mencurigai Suram adalah kelompok provokator yang ditunggangi suatu oknum. Di tengah ketegangan adu mulut antara Suram dan massa aksi lain, aku mendengar suara ledakan dari arah lapangan benteng yang juga sudah dipadati massa. Suara tersebut tentu tak lain dan tak bukan adalah ledakan gas air mata yang tahun lalu pernah melukai mata kananku. Setelah ledakan tersebut aku berinisiatif meninggalkan kelompok Suram dan maju sendirian ke depan gedung DPRD yang pada saat itu sedang terjadi bentrok antara aparat dan massa aksi. Batu-batu melayang diatas kepalaku dan gas air mata banyak meledak di sekitar aku berlari yang membuat sekujur wajahku seperti terbakar. Sesekali juga aku ditarik oleh orang tidak dikenal saat mencoba meliput aksi, namun aku langsung melayangkan tendangan setiap kali ada yang menarikku. Karena kurasa akan sangat berbahaya jika aku sangat lama berada di tengah konflik, kuputuskan untuk lari kembali ke lapangan merdeka dan untungnya bertemu dengan empat temanku yang juga merupakan kru LPM Dinamika. Setelah aku bertemu dengan mereka, kami memutuskan untuk
110
mencari tempat lebih aman agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan di tengah konflik yang terjadi mengingat, data sudah banyak terkumpul juga untuk membuat sebuah berita dan
dokumentasi
video.
Setelah
situasi
kondusif,
aku
memutuskan untuk pulang bersama beberapa anggota Suram yang setelah melalui perjalanan berat pada hari itu, mereka berkumpul
di
Institut
Teknologi
Medan
(ITM)
untuk
mengevaluasi apa yang sudah mereka laksanakan pada hari itu. Saat itu aku melihat pemandangan yang menyedihkan, di mana anggota Suram banyak terkapar akibat tembakan gas air mata selepas aksi. Mereka juga dapat laporan bahwa sejumlah
anggota
Suram
ditangkap
aparat
dan
belum
diketahui kabar terbarunya. Namun hal tersebut tidak membuat mereka jera untuk melakukan perlawanan. Bahkan sampai detik tulisan ini dibuat, Suram masih giat melakukan konsolidasi dan turun ke lapangan untuk menyuarakan suara penolakan atas Omnibus Law. Sampai detik ini juga, Suram masih
berusaha
untuk
membebaskan
anggotanya
yang
ditangkap pihak kepolisian. Perjumpaanku dengan Suram menimbulkan pertanyaan, mengapa masyarakat kita kurang mengapresiasi atau sekedar melirik perjuangan sebuah kelompok pergerakan semacam Suram? Apakah masyarakat kita sudah terlalu takut akan regulasi atau takut akan tampilan luar kelompok-kelompok ini? Padahal sejatinya yang diperjuangkan kelompok ini juga merupakan kepentingan masyarakat luas dan sekali lagi,
111
tidak ada hal pribadi yang mendasari pergerakan kelompok ini. Sebagai masyarakat
orang umum
yang dan
pernah
kelompok
berinteraksi pergerakan
Suram, aku berharap suatu saat nanti menciptakan
sebuah
ekosistem
dengan semacam
masyarakat kita
sosial,
di
mana
kesepemahaman terjunjung tinggi tanpa latar belakang apa pun yang dimiliki.
112
Tentang LPM Gelora Sriwijaya Unsri
Lembaga Pers Mahasiswa Gelora Sriwijaya (LPM GS) merupakan unit kegiatan mahasiswa tingkat universitas yang aktif bergerak di bidang jurnalistik. Berdiri sejak tanggal 19 Februari 1993, LPM GS yang berada di bawah naungan Universitas Sriwijaya (Unsri) tetap konsisten menyajikan informasi bagi civitas akademika Unsri, masyarakat Kota Palembang dan Indralaya. Baik
melalui
media
digital
yakni
pada
website
gelorasriwijaya.co dan channel Youtube GS TV, maupun media cetak
seperti
“Majalah
Gelora
Sriwijaya”
serta
“Tabloid
Indralaya Post”. Mengusung
tagline
“Membangun
Intelektualitas
Mahasiswa”, LPM GS hadir sebagai wadah mahasiswa Unsri untuk berkreatifitas dalam hal kontrol sosial dan kritis terhadap
isu
kampus,
secara
tulisan
maupun
karya
jurnalistik lainnya. Selain itu, kehadiran LPM GS juga berperan aktif untuk membangun penerus bangsa yang terbukti dengan lahirnya orang-orang hebat sampai saat ini. Tak hanya berfungsi sebagai corong informasi khalayak ramai, LPM GS yang dinahkodai oleh mahasiswa terpilih turut serta mengamalkan tridarma perguruan tinggi, yaitu pengabdian masyarakat dengan cara menjalankan program kerja yang bernama GS Care di mana LPM GS bertugas sebagai penyambung tangan orang-orang baik yang berkeinginan dalam berbagi rezeki.
113
Kini
27
tahun
sudah
LPM
GS
berkarya
untuk
universitas, daerah dan negara. Pastinya hal tersebut tak luput dari rasa ingin terus belajar demi tetap menjaga eksistansi dalam berkarya. Oleh sebab itu, LPM GS akan selalu siap dan kerap bekerjasama dengan berbagai mitra lokal hingga nasional.
114