SABTU-MINGGU, 7-8 MEI 2016 | Nomor 880 Tahun III
A
Hari ini 40 halaman | Rp 3.000,-
MUSLIM “PIMPIN” LONDON
RUANG BERMAIN DALAM RUMAH
»A15
»C29
» B17 DINAMIS DAN MENCERAHKAN
» A3 EKONOMI
REVITALISASI PASAR BELUM EFEKTIF
SEPEDA ONTHEL DI BELANTARA JAKARTA
YANG TUA, YANG BERDAYA
» A11
S SOSOK & PEMIKIRAN
TORRO MARGENS
» A8 A9
ukmin hanya bisa m e n g ga n t u n g k a n hidup bersama keluarganya dari empat sepeda onthel peninggalan orangtuanya. Sempat bekerja serabutan, dari buruh pabrik hingga kuli bangunan, pria 46 tahun ini akhirnya memutuskan mencari penghasilan dari sepeda kumbang, “mesin angin” yang berjaya di masa lalu. Awal 2006, ketika masyarakat di perkotaan mulai gandrung bersepeda, ia mengendus peluang: sepeda tua bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan uang. Sukmin menyewakan kepada tetangganya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari situ ia mendapatkan Rp 5 ribu-20 ribu per hari. “Kata mereka, sepeda saya beda dari yang lain. Saya bangga
dengar,” ucap Sukmin. Pernyataan itu melahirkan optimisme. Tak kenal lelah, ia menjajakan sepeda antiknya untuk dipersewakan. Istilah “proses tak pernah mengkhianati hasil” tampaknya tepat dialamatkan kepada Sukmin. Pada 2008, ia diajak salah seorang rekannya bergabung dalam sebuah paguyuban sepeda onthel. Paguyuban tidak hanya penghobi onthel, tapi juga menjadikan barang antik itu mata pencaharian. Paguyuban juga menjaga keselamatan pelanggannya karena telah terdaftar di salah satu perusahaan asuransi. “Pokoknya tidak usah khawatir, saya dan teman-teman pasti mengutamakan keselamatan. Tiap bulan kami bayar Rp 750 ribu. Jadi kalau ada yang
kecelakaan, pengobatannya kami yang tanggung,” ucapnya. Pendapatan Sukmin mengalami pasang surut. Masa-masa surut ketika cuaca tak bersahabat. Sabtu-Minggu menjadi masa pasang. “Kisaran Rp 100-300 ribu dapat,” ucapnya. Itu pun jika tak hujan, cuaca tak terlalu panas. Serupa dengan Sukmin, Sidik pun bergantung pada sepeda onthel. Tapi pria 54 tahun mesti bersimpah keringat dengan sepeda tuanya. Sidik menawarkan jasa pengantar pelanggan ke tempat tujuan—biasa disebut ojek onthel. Langganannya banyak pekerja kantor, bukan wisatawan. Sudah dua windu ia berprofesi sebagai pengojek onthel di kawasan Kota Tua. Berbeda dengan Sukmin, di akhir pekan penghasilan Sidik menipis. “Ka-
lau Sabtu dan Minggu saya lebih banyak bengong. Dapat satu (pelanggan) saja sudah syukur,” ujar Sidik. Setiap hari ia mendapatkan Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu. Sidik mamatok tarif Rp 5 ribu jarak dekat, Rp 10 ribu untuk jarak yang lebih jauh. Di mengakui, hidup di Jakarta memang sulit. Namun Sukmin dan Sidik tetap tersenyum menjalani profesinya. Tak kenal lelah, apalagi mengeluh. “Yang penting cintai dulu pekerjaan. Kalau sudah cinta, hasil seburuk apa pun pasti bisa kita hadapi,” ucap Sukmin. “Jangan terlalu pilih-pilih pekerjaan. Apalagi, zaman sekarang yang punya ijazah saja susah cari pekerjaan.” O ANNAS FURQON HAKIM
PILIHAN TRANSPORTASI UMUM » A2 Jakarta
24-33°C
Bandung
21-29°C
Semarang
:25-32°C
Yogyakarta
24-33°C
Surabaya
26-35°C
Denpasar
26-35°C
Hujan Lebat
Hujan Sedang
Hujan Ringan
Berawan
Cerah Berawan
Cerah sumber: BMKG
PENGENDARA OJEK SEPEDA ONTHEL MENUNGGU PENUMPANG DI DEPAN GEDUNG MESEUM BANK MANDIRI, KOTA TUA, JAKARTA BARAT, JUMAT (6/5) – HARIAN NASIONAL | BAYU INDRA KAHURIPAN
DUA BALON TOLAK BAYAR RP 1 MILIAR