SABTU-MINGGU, 23-24 JANUARI 2016 | Nomor 795 Tahun III
Hari ini 40 halaman | Rp 3.000,-
A
TERTUTUP, SOPAN, TETAP ELEGAN »C29
» B17
DINAMIS DAN MENCERAHKAN
Mengoar Asa INDUSTRI LAWAS
C
FOTO-FOTO: HARIAN NASIONAL | YOSEP ARKIAN
ERITA bermula dari sebuah film bisu, Lely Van Java. Lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 1926, hasil karya seorang produser film bernama David itu membawa angin segar dalam perkembangan perfilman di Tanah Air. Baru pada 1927-1928, Eulis Atjih –karya Kruger Co– syahdan diproduksi ulang menjadi Lutung Kasarung merupakan tonggak awal perfilman Indonesia. Pada 1936, di Jalan Bidara Cina –sekarang Jalan Otto Iskandar– seorang Albert Balink dibantu Wong Brothers mendirikan studio film yang diberi nama Algemene Nederlands Indische Film (ANIF). Albert Balink merupakan pendiri Java Pacific Film, perusahaan film yang berandil dalam sinema Tanah Air. Sepanjang berdiri, ANIF sekadar terfokus pada dua tema, film cerita dan dokumenter. Berganti rezim, seturut
jatuhnya Hindia Belanda, Jepang melalui Tentara Kekaisaran mengambil alih seluruh aset, termasuk ANIF. Jepang kemudian mendirikan perusahaan perfilman, Nippon ii Eiga Sha – di bawah pengawasan organisasi propaganda Sendenbu. Usai perjalanan panjang, baru pada 1975 perusahaan berganti nama menjadi Produksi Film Negara (PFN). Rentetan karya pun dihasilkan. Di antara banyaknya karya, beberapa yang fenomenal seperti Pengkhianatan G-30-S/PKI dan Serangan Fajar. Tak hanya bertemakan kisah perjuangan, seperti Jakarta 66, PFN juga memproduksi film bertajukpendidikan,yakniKeluarga Rakhmat. Tak ketinggalan, PFN juga memproduksi film untuk anak-anak, Si Unyil, Si Huma, dan Si Titik. Tapi, seiring dentang waktu, PFN seperti larut dalam ketertinggalan. Produksi film badan hukum milik negara (perum) itu tak lagi merekah, pun menghadapi persaingan industri perfilman KAMI BELUM BERAKHIR » A2
dan pertelevisian nasional. Sebagai BUMN, PFN tak seperti layaknya “orangtua”. Sebagai “orangtua”, tutur Produser Eksekutif antv Ivan Haris, PFN seharusnya dapat memberikan standardisasi bagi industri perfilman nasional. “Setelah Si Unyil dan Surat untuk Bidadari, PFN tetap belum bisa set-up standar film lokal. Yang terjadi justru propaganda (Pengkhianatan G-30-S/PKI),” kata Ivan. Selain cerita, ia berharap PFN dapat memaksimalkan perkembangan teknologi digital. PFN, dalam menyambut kemajuan teknologi, bagi Ivan, “Bisa membuat film digital dengan memasukkan unsur teknologi kekinian. Intinya, PFN bisa jadi standar produksi film yang proper.” Harapan PFN kembali bersuara lantang kini diemban Shelvy Arifin. Menjabat Direktur Perum PFN, Shelvy boleh jadi sebagai jawaban. Sejumlah upaya pun tengah dilakoni. Kini, masyarakat hanya tinggal menunggu waktu untuk membuktikan dua jawaban, berdiri atau terpuruk.O
SOSOK & PEMIKIRAN
EKONOMI
GLOBAL
DIANNE DHAMAYANTHI
PAJAK SAPI IMPOR BATAL
AS SONGSONG BADAI SALJU
» A8 A9
» A11
» A15
Jakarta
23-34°C
Bandung
20-32°C
Semarang
24-37°C
Yogyakarta
23-34°C
Surabaya
25-36°C
Denpasar
25-34°C
Hujan Lebat
Hujan Sedang
Hujan Ringan
Berawan
Cerah Berawan
Cerah sumber: BMKG