Sejarah dan kebudayaan Ma'Anyan di Kalimantan

Page 1

1



3

SEJARAH DAN KEBUDAYAAN

MA’ANYAN DI KALIMANTAN


4

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


5

Pendahuluan

SEJARAH DAN KEBUDAYAAN

MA’ANYAN DI KALIMANTAN Martinus D.G. Bandan

Penerbit Hegel Pustaka Jakarta 2018


6

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan di Kalimantan Penerbit Jl. Selatan Lapangan Bola No. 40F Srengseng-Kembangan Jakarta 11630 Telp.: (021) 98602464 Email: hegel.pustaka@gmail.com hegel.pustaka@yahoo.co.id Layanan sms: 087887367840 © Martinus & D.G. Bandan Cetakan Pertama, April 2018 Editor Yulius Aris Widiantoro Penata Sampul & Tata Letak Ryan Sucipto Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Data Katalog dalam Terbitan Martinus Sejarah Kebudayaan Ma’anyan di Kalimantan/ Martinus & D.G. Bandan Editor, Yulius Aris Widaintiorio. - Jakarta: Hegel Pustaka 2018. 216 hlm.; 21 cm.

ISBN 978-602-6687-05-0 1. Kebudayaan Dayak. I. Judul. II. Bandan, D.G 305.899.225


7

Daftar Isi

Daftar Isi — 5 Pengantar — 7 Bab 1 Pendahuluan — 9 Bab 2 Asal-Usul Istilah Dayak — 19 A. Pengertian Dayak dan Daya — 19 B. Sejarah Nama Tamiang Layang — 27 C. Berbagai Macam Ritual Sukacita — 31 D. Berbagai Jenis Ritual Pernikahan — 37 E. Berbagai Jenis wadian — 43 F. Seni dalam Perspektif Suku Ma’anyan — 49 Bab 3 Perkembangan dan Krisis — 51 A. Adat dan Budaya — 51 B. Pelaksanaan Ritual Ijam’me — 65 C. Prosesi Ritual Wara — 69 Bab 4 Potret Hidup Suku Ma’anyan — 77 A. Tradisi Suku Ma’anyan — 77 B. Solidaritas dan Sistem Kekerabatan — 82


8

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan

Bab 5 Suku Ma’anyan dalam Perspektif Sosiologis — 89 A. Kekerabatan Pelapisan Sosial — 97 B. Keberadaan Nansarunai — 100 C. Huruf Patuk Bakaka — 108 D. Nansarunai dan Ekspedisi Nala — 109 E. Nansarunai Usak Jawa — 115 Bab 6 Perpindahan dan Era Baru — 123 A. Asal Leluhur dan Keberadaan — 123 B. Wilayah Pemukiman — 131 C. Bentuk dan Pemukiman — 134 D. Pola Kempimpinan — 136 E. Merina dan Ma’anyan — 139 F. Keberadaan Da’mong — 145 G. Pangunraun dan Bahasa Ma’anyan — 149 Bab 7 Menatap Masa Depan — 153 A. Perpindahan dari Banua Lawas — 153 B. Keberadaan Masa Kini — 159 C. Menyikapi Berbagai Keadaan — 160 Bab 8 Penutup — 197 Daftar Pustaka — 213 Profil Penulis — 215 Puisi — 216


9

Pengantar

B

anyak cerita yang mewarnai perjalanan komunitas Ma’anyan. Kisah tersebut merupakan sejarah yang semestinya diketahui oleh generasi selanjutnya. Buku ini adalah paparan panjang yang mereka (suku Ma’anyan) jalani untuk mempertahankan identitas komunitas. Keunikan budaya dan tradisi termasuk di dalamnya hukum adat, pola kepemimpinan, interaksi dan proses sosial yang mereka lakukan adalah bentuk kekayaan budaya yang tidak boleh kita lupakan. Selain itu, buku yang kami beri judul Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan di Kalimantan adalah upaya konkrit kami untuk menyajikan sistem gagasan, rasa, tindakan, tentang berbagai permasalahan maupun budaya dan tradisi yang melingkupi berbagai aktivitas keseharian anggota masyarakat serta karya berbagai kejadian di masa lalu dan bagaimana relevansinya dengan kikinian. Dengan begitu kita dapat menemukan makna dari sebuah peristiwa untuk dijadikan pembelajaran di masa mendatang. Dalam kaitan ini, nilai sejarah dari semua peristiwa tersebut sekaligus menjadi titik perhatian yang tidak boleh padam adalah kesetiakawanan di mana semua pihak, dengan tidak memandang latar belakang saling berinteraksi. Tumbuhkan rasa persaudaraan antar sesama warga dan pusatkan pikiran dan tindakan kepada tujuan awal dari sebuah perjuangan adalah kebebasan! Selanjutnya dengan rasa syukur dan terima kasih, sehingga penulisan buku ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami juga menyampaikan

7


10

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan

ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, mendorong serta memberikan motivasi kepada kami. “Ada naun em’mah kalahie pada naun ngawauh wangun kami puang mu’ma saluk mulang nyakah naun hang rami rin’nyak, nga inun daya kami puang ka’amai ma gunung cita-cita, paun katungken ma watu nga’an-nga’an puang kahampe ma tane iduhunai ratu puang kategei ma watu sukat am’mau, kami angkeng hang sakit suke, sarata nyanya hang petak rio mate, biar kaliru ada naun nutup alewen dan nugin tukat anun daya naan kabar barita kirimlah rekas ma kami lampilah giling pinang yiru undre pesan teka kami hirirung rara hi lhuli kamat suke daya budu tindung ngandri ma lawi lula, dilup mate ma taruk langan kumang. Kuriyak amirue amun tau samah am’mau umur takam panalu patategei tangan bakakait kingking palalampi paner hang warung kadai.” (Jangan kaget dan jangan heran karena kami tidak dapat bersama dengan kalian mengikuti arus keramaian saudara-saudaraku. Oleh karena kami tidak berhasil mencapai cita-cita yang diinginkan ke tempat yang dijanjikan dan tidak ada rejeki yang diminta sesuai keinginan. Kami tertahan di tempat susah dan sengsara dan banyak mengeluarkan air mata tetapi biar begitu kita tetap bersaudara). Jika ada sesuatu hal, susah dan duka kirimlah berita kabar kepada kami. Kalau bertemu dengan kami, janganlah sampai tidak menegur dan menutup pintu karena kesusahan kami di sepanjang kehidupan kami. Begitulah bunyi pesan anak yang susah dan sengsara, memang bodoh menunggu kehidupan kami dari susah dan sengsara. Terima kasih kalau kita masih bisa bertemu dan bisa menerima apa adanya. Sekian dan terima kasih.


11

Bab 1

Pendahuluan

S

udah lama dan sering kita bicarakan tentang sejarah dan budaya. Kebudayaan dan sejarah sudah tentu dimiliki oleh berbagai etnis di Nusantara. Kedua hal ini, saling berkaitan dan memiliki keunikan masing-masing dan yang terpenting adalah mendapat perhatian dari berbagai pihak. Karena semua ini adalah warisan leluhur dan cerminan kebhinekaan. Keanekaragaman budaya yang kita miliki merupakan modal untuk menguatkan kesatuan dan persatuan di antara anak negeri. Seiring dengan perkembangan zaman budaya kita terus berevoluasi dan sedapat mungkin perubahan tersebut berdampak pada peningkatan kesejahteraan, pola berpikir diarahkan kepada kepastian hukum, keadilan, kebebasan serta menghargai keberadaan serta lingkungan. Dan terpenting dari itu semua adalah penguatan jati diri sebagai sebuah komunitas. Tentu kita yakin bahwa melalui peranan budaya lokal, diharapkan kita dapat menemukan sisi positif untuk menghadapi suatu perubahan. Di samping budaya lokal terselip di dalamnya kearifan lokal, yang juga berperan aktif untuk memaknai proses perubahan kepada halhal positif. Di samping kearifan lokal ada peran seorang pimpnan

9


12

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan

wilayah baik formal maupun sebaliknya sangat memegang berperan penting dalam menyikapi sebuah perubahan atau gerakan. Proses beraktivitas dapat saja berakibat negatif apabila tidak mendapat arahan, bimbingan serta petunjuk kepadanya untuk mamahami dan memaknai sebuah keterbukaan arus informasi. Melalui arus informasi dari berbagai media, membuat perubahan cukup signifikan terhadap dinamika anggota masyarakat. Peranan seorang pimpinan wilayah, bersama kekuatan sosial lainnya akan memberikan pengaruh positif untuk memaknai sebuah perubahan kepada peningkatan kesejahteraan anggota masyarakat. Oleh karena itu, semua elemen di masyarakat dapat memahami akan arti sebuah perubahan ke arah proses pendewasaan pola berpikir, berkarya dan kebebasan berinisiatif serta menghargai akan keadilan dan lain sebagainya. Perubahan harus disikapi dengan tatanan hukum adat serta etika dalam suatu komunitas. Melalui adanya perubahan dimaksud, diharapkan kepada semua elemen masyarakat agar mampu memaknai sebuah perubahan kepada penguatan jati diri sebagai sebuah komunitas berbudaya. Selanjutnya pada sisi yang lain, perlu juga diperingatkan kembali kepada kita semua, setelah menerima perubahan untuk penguatan jati diri dalam menghadapi sekaligus memaknai akan arti pendewasaan pola berpikir dan bertindak dengan dilandasi pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban setara dengan etika moral untuk menghadirkan kepada sebuah kesadaran. Kesadaran perlu ditumbuhkembangkan di berbagai hal, agar mereka teringat kembali perjalanan sejarah leluhur mereka yang mempunyai hukum adat, tradisi dan prinsip-prinsip etis demi menjaga keserasian dengan lingkungan maupun Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah hal ini merupakan sebuat karakter karena dapat membedakan dengan kepribadian etnis lainnya. Karakter akan tumbuh dan berkembang apabila dilandasi oleh sebuah kesadaran. Demikian halnya dengan kesadaran dapat berperan aktif apabila anggota masyarakat, sudah paham, mengerti maupun memiliki kemampuan untuk memahami sejarah leluhurnya. Apabila semua


Pendahuliuan

13

komunitas mengerti tentang sejarah, maka tidak perlu dikuatirkan tentang berbagai perubahan atau dinamika di sekitar kita. Karena hal itu pasti terjadi, hanya diminta untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan di mana beraktivitas. Sifat kegotongroyongan antar sesama anggota masyarakat sangat tinggi ini biasa disebut irama’. Berbagai aktivitas dilakukan secara kolektif sifat untuk membina sebuah keharmonisan dalam keseharian anggota masyarakat untuk menciptakan sebuah kedamaian dan kerukunan. Terdapatnya ragam budaya baik tradisi maupun ritual kepercayaan yang melingkupi kehidupan anggota masyarakat pada waktu itu. Hal ini mengisyaratkan adanya dinamika dan polarisme akan kepercayaan pada sebuah komunitas. Kondisi demikian juga mengingatkan kita semua kepada bahwa perbedaan kepercayaan, bahasa dan tradisi serta keterpencaran tempat tinggal merupakan kondisi nyata yang kita rasakan pada waktu itu. Bukankah keragaman itu menjadikan kekayaan wilayah Nansarunai Ngumang Talam Dinikien. Dan selanjutnya merupakan warisan budaya serta menjadi pemicu untuk bangkit dan terus menyikapi setiap peluang kepada pengembangan diri, dilandaskan kepada tradisi, hukum adat dan etika moral. Karena hal itu, bertujuan kepada terwujudnya kerukunan, kedamaian, mira pakat dan selaras dengan lingkungan dan bertaqwa kepada Hyang Piumbung Jaka Pikuluwi (Tuhan Yang Maha Esa) Dalam kehidupan komunitas Ma’anyan secara umum, bahwa struktur sosial kemasyarakatan bersifat patrilineal dalam artian mengambil garis keturunan dari pihak bapak (laki-laki). Hal ini juga terjadi di beberapa wilayah lainnya. Selanjutnya keberadaan anggota masyarakat tersebut, tidak tinggal pada satu bangunan rumah besar, melainkan rumah hanya terdiri dari seorang ayah, ibu dan beberapa orang anak. Keberadaan tersebut tidak menutup kemungkinan keluarga lainnya tinggal bersama, tetapi tidak terlalu lama sifatnya hanya sementara. Selanjutnya untuk bahan membangunan rumah komunitas tersebut pada waktu itu menggunakan kayu yang tua dengan jenis kayu ulin, meranti, kapur naga (gamer) dan sungkai dan lain sebagainya.


14

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan

Atap bangunan menggunakan atau memakai daun rumbia maupun serat atau sabut pohon enau. Konstruksi rumah tetap tidak menggunakan paku melainkan teknik ikat, sambung dan pasak. Dinding rumah biasanya dari papan, bambu yang dianyam serta kulit kayu. Sementara lantai rumah dapat menggunakan papan, bambu yang dibelah serta disusun serta selanjutnya diikat dengan menggunakan rotan agar tidak bergerak. Selain dari pada itu, interior dalam rumah, sudah pasti terdapat berbagai tombak, mandau, lanjung atau boyong (alat untuk membawa barang) guci (balanai) tanduk rusa dan lain sebagainya. Pada waktu itu masyarakat belum mengenal kursi, sebagai ganti kursi digelarlah tikar terbuat dari rotan, purun dan waman (bamban) maupun dari pelapah daun rumbia. Sebagai suatu kehormatan apabila tamu datang berkunjung ke rumah warga dan pemilik rumah menggelarkan tikar terbuat dari bamban (patah waman) pada pinggir tikar tersebut diberikan kain atau pewarna warna merah. Ini dilakukan untuk menegaskan bahwa tamu yang berkunjung tersebut bukan warga biasa. Dengan melihat situasi demikian pihak tamu setelah masuk ke dalam rumah terus melepas mandau dari pinggangnya dan membuka tutup kepala serta menggantungkan pada tanduk rusa biasanya sudah ada pada setiap rumah. Sikap ini memberikan pemahaman: Pertama, antara tuan rumah dan tamu saling menghargai dan menghormati, sebagai tanda sebuah keluarga (saudara). Kedua, pihak tamu menyerahkan seluruh keselamatan dirinya maupun hal lainnya kepada pemilik rumah yang dikunjungi. Makanan pokok pada waktu itu, adalah beras dan makanan sampingan ubi-ubian, pisang dan sagu serta buahan dari hutan serta berbagai jenis jamur. Sedangkan gula aren dijadikan pemanis minum teh. Minuman teh tidak seperti sekarang, tetapi diambil dari kulit kayu, kemudian dikeringkan dipanas matahari dan diseduh menggunakan air panas (rasanya hampir sama dengan rasa teh). Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani warga melakukan perburuan dengan memasang perangkap hewan maupun perangkap ikan.


Pendahuliuan

15

Di atas, juga sudah diutarakan bahwa lokasi pemukiman warga terpencar dan cukup berjauhan. Kondisi demikian tidak mengurangi kepada rasa persaudaraan antar sesama mereka. Karena setiap anggota masyarakat menyepakati secara tidak tertulis, akan tetapi bersifat mengikat kepada generasi selanjutnya yakni dengan sebutan Wuwungan pitu (wuwungan 7) Tunun Salawe ( Tundon 25) paunan pitu dan Tampang Walu (Tampang Delapan). Pada hakekatnya penyebutan dimaksud, merupakan tanda atau sandi, apabila seorang anggota masyarakat menyebutkan dirinya dengan berasal dari mana. misalnya wuwungan pitu. Selanjutnya orang lain mendengar akan hal itu, dan secara kebetulan bahwa ia juga dari leluhur yang sama. Maka artinya mereka adalah bersaudara tetapi berlainan tempat pemukiman. Khususnya bagi paunan pitu, cara penguatan rasa kekeluargaan sama dengan lainnya. Tetapi pada kelompok ini terdapat bukti oleh warga misalnya kebon buah milik bersama (garabat). Bukti tersebut tersebar di beberapa kampung atau tempat lainnya. Pada saat panen buah maupun upacara ritual lainnya, semua kekuarga keturunan paunan pitu sudah pasti datang bersama warga lainnya. Hal ini merupakan cara komunitas Ma’anyan mempererat tali persaudaraan atau merajut kembali rasa satu keturunan tetapi sudah berlainan tempat tinggal. Pada umumnya etnis Ma’anyan tidak mengenal penggambaran pada tubuh, biasa disebut tato. Hal ini disebabkan menurut kepercayaan leluhur, apabila adanya penggambaran pada tubuh laki-laki maupun perempuan, memberikan isyarat kepada hal-hal yang negatif. Karena melalui penggambaran dimaksud, akan merusak hubungan pelindung keluarga (pangintohu) dengan dilindungi, dijaga dari halhal negatif. Kalau boleh dikatakan bahwa setiap anggota masyarakat harus memiliki pikiran yang jernih, perasaan damai dalam situasi dan kondisi apapun dan serahkan semuanya kepada pelindung. Larangan atau pantangan sangat dihormati pada etnis ini, karena dapat mengganggu hubungan atau keseimbangan serta keharmonisan antara roh dengan tubuhnya untuk terjaga dengan baik, agar tidak menimbulkan berbagai masalah. Dalam hal ini dinamakan padie


16

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan

atau larangan, pantangan merupakan sebuah kontrol sosial terhadap warga agar selalu dalam melakukan berbagai aktivitas berpedoman kepada tatanan hukum adat dan tradisi yang sudah berlaku untuk keselamatan bersama. Sudah lama diketahui bersama, bahwa pada setiap wilayah dari berbagai komunitas pasti terdapat upacara penerima tamu yang berkunjung suatu wilayah atau daerah. Dan tamu tersebut, biasanya seorang pejabat pemerintah atau anggota masyarakat lainnya dengan memiliki Kapasitas tertentu. Upacara penyambutan tersebut, merupakan wujud rasa hormat anggota masyarakat adat kepada pihak tamu. Di samping memberikan rasa hormat, terselip rasa keterbukaan warga kepada tamu, pada sisi lainnya juga memberitahukan kepada rombongan bahwa wilayah kami mempunyai adat dan tradisi untuk menerima tamu. Upacara tersebut adalah Upacara Potong Pantan. Upacara pontong pantan dibagi ke dalam 3 katagori antara lain: 1. Potong Pantan dengan menghalangi dengan kayu. 2. Potong Pantan dengan menjejerkan guci atau belanai. 3. Potong Pantan dengan merentangkan kain panjang (bahalai). Ketiga hal tersebut dilakukan untuk menerima tamu yang baru pertama kali berkunjung ke suatu daerah, merupakan kehormatan kepada daerah dikunjungi oleh pejabat pemerintah maupun pejabat lainnya. Pelaksanaan kegiatan acara tersebut tidak sama dalam arti berbeda dari segi pelaksanaan dilapangan, akan tetapi makna dan tujuan adalah sama. Khusus untuk wilayah Wilayah Ma’anyan pelaksanaan potong pantan dengan cara mengghalangi dengan kayu berdiameter 10 sampai dengan 20 sentimeter dan panjang kayu sepanjang 3,50 meter. Dengan diletakkan pada sebuah bangunan seperti gapuran. Gapura tersebut dilengkapi daun kelapa muda tempat menggantung kain panjang (Bahalai). Selain menggantung kain panjang, digantung juga berbagai buah-buahan dan dilengkapi berbagai macam sesajen. Pada acara penyambutan dimaksud juga diselingi oleh berbagai tari-tarian tradisonal khas warga setempat.


Pendahuliuan

17

Pada acara tersebut, biasanya warga dan para pimpinan atau pejabat bergabung atau berbaur dengan masa Ritual potong pantan dipimpin langsung oleh Damang Kepala Adat setempat. Pimpinan rombongan biasanya akan memotong kayu halangan tersebut, diawali dengan melakukan dialog beberapa saat dan setelah selesai oleh Damang Kepala Adat dipersilahkan memotong kayu tersebut dengan menggunakan pisau diberikan oleh Damang. Setelah kayu tersebut dipotong dan pihak tamu dipersilahkan masuk, disertai dengan memberikan bedak untuk pupurkan kepada para tamu lainnya. Hal ini mengandung sebuah makna, bahwa tamu tersebut datang ke tempat ini tidak membawakan hal negatif akan tetapi hal positif kepada keselamatan umat di wilayah ini secara keseluruhan. Kepercayaan masyarakat Ma’anyan umumnya pada waktu itu adalah Hindu Syiwa. Setiap ritual dilaksanakan oleh seorang wadian (balian) tidak boleh merangkap wadian lainnya. Dalam pelaksanaan berbagai ritual banyak macam dan jenis wadian maupun ritual. Akan tetapi mempunyai satu tujuan adalah rasa syukur dan terima kasih warga terhadap Hyang Piumbung Jaka Pikuluwi (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas pernyataanNya sehingga masyarakat dapat melakukan tugas dan kegiatan dalam keseharian dapat dilaksanakan dengan baik. Petugas menata sesajen untuk ritual dukacita disebut Pisam’me dan untuk rituan sukacita disebut Panganak Hyang. Peran dari ke dua petugas dimaksud, sangat penting, karena petugas tersebut dapat menata sesajen tepat pasenya pada setiap jenis ritual. Apabila pelaksanaan ritual tidak sesuai dengan fasenya, akan berpengaruh negatif kepala proses upacara ritual, orang melaksanakan ritual maupun lingkungan. Seiring dengan perjalanan waktu, sehingga pelaksanan ritual kematian untuk wilayah Banua Lima dan Kampung Sepuluh berubah kepada percampuran antara Hindu Syiwa dan Budha. Sedangkan pada wilayah Paju Epat serta Lasi Muda dan sekitarnya tetap melaksanaan proses ritual Hindu Syiwa. Hal ini berkaitan dengan tata urutan ritual kematian, sebelum acara ritual kematian untuk dilanjutan ke proses


18

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan

lebih tinggi dan sempurna sudah tentu kuburan para lehulur dibuka kembali untuk mengambil tulang dan selanjutnya di masukan kembali peti sudah disediakan serta dilanjutnya proses ritual selanjutnya seperti ijambe. Sedangkan untuk wilayah Banua Lima dan Kampung Sepuluh, hanya tergantung pada proses awal ritual kematian misalnya pakan Hadrueh Tanan Rapu. Berarti proses lanjutan ritual tentang dukacita hanya melakukan ritual benda-benda milik almarhun yang dijadikan dasar ritual dan tidak perlu benda lainnya. Dan pada akhir (puncak acara ritual) sudah tentu mengorban hewan kerbau berwarna hitam. Jenis dan macam ritual kematian (dukacita) di wilayah Banua Lima dan Kampung Sepeluh disebut Mia dan ngadaton serta Paju Epat disebut ijam’me dan wilayah Lawangan ritual Wara. Dari berbagai jenis atau macam ritual khususnya berkaitan dengan ritual dukacita. Dilakukan oleh anggota masyarakat di berbagai daerah Apakah terdapat kesamaan atau sebaliknya berkaitan dengan ritual dukacita. Mungkin secara umum tidak terdapat kesamaan. Apabila terdapat kesamaan atau kemiripan hal tersebut hanya kebetulan misalnya jumlah wadian atau basir melakukan pelaksanaan ritual tertentu. Untuk mengertahui kesamaan maupun perbedaan tentang berbagai ritual, diperlukan sebuah pengkajian bersama. Sebelum Nansarunai Usak Jawa, kemampuan komunitas tersebut, dapat diandalkan dalam hal penguasaan tanda-tanda alam di laut raya sebagai kompas untuk daerah tujuan. Kemampuan tersebut, karena mereka sudah biasa berdagang cukup jauh dari wilayah pemukiman dengan menggunakan perahu. Hal ini sudah pasti mengundang pertanyaan bila dikaitkan dengan kondisi sekarang bahwa nenek moyang komunitas tersebut pada awalnya orang-orang paham dan memahami dengan kondisi serta situasi di laut. Biarlah itu semua merupakan cacatan sejarah dan budaya. Karena sejarah dan budaya dapat menggambarkan sebagai sebuah kekuatan untuk memperlihat jati diri yang kuat, kokoh mempertahan hukum adat serta tradisi leluhur untuk kemajuan bersama. Kemajuan bersama dalam konteks ini adalah menguatkan rasa persatuan dan


19 kesatuan, menghargai dan menghormati serta menjalankan proses kehidupan sedapat mungkin selarah dengan lingkungan. Ini berkaitan langsung dengan sifat komunitas yang selalu menerima perubahan. Melalui sebuah perubahan maka pola berpikir dan bertindak menjadi semakin dewasa untuk melihat sesuatu yang terjadi. Apakah perubahan dimaksud membawa kepada kebaikan atau sebaliknya? Hal ini perlu dicermati dengan bijak oleh warga, karena perubahan menuju kepada tingkat kesejahteraan anggota masyarakat atau hanya melakukan hal-hal bersifat sementara, akan tetapi pengaruhnya memerlukan pemulihan cukup lama.


20

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan


21

Bab 2

Asal Usul Istilah ‘Dayak’

A. Pengertian Dayak dan Daya

P

ada beberapa abad silam orang-orang dari luar negeri datang untuk mengadakan perdagangan ke wilayah Nusantara. Kapal mereka menyinggahi bandar-bandar berada di setiap daerah atau wilayah untuk mengambil barang hasil bumi, serta menjual barang bawaan mereka untuk keperluan penduduk di tempat lain. Setelah dapat berhubungan dagang dengan penduduk setempat, rupanya mereka juga berkeinginan menguasai wilayah tersebut. Setelah kepulauan Nusantara dapat dikuasai mereka berawal dari sisi perniagaan, terdapat keinginan lain untuk mengadakan penelitian di berbagai wilayah termasuk pulau Kalimantan.

Baca selengkapnya pada buku terbitan Hegel Pustaka...

19


22

Sejarah dan Kebudayaan Ma’anyan

ISBN 978-602-6687-05-0

9

786026

687050


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.