Arsitektur Indis
ARSITEKTUR Dinamika Hubungan antara Daerah Koloni dan Metropole pada Awal Abad 20 INDIS ADIEYATNA FAJRI Dalam sebuah catatan perjalanannya ke Hindia-Belanda, seorang arsitek terkenal berkebangsaan Belanda, Hendrik Petrus Berlage (1854-1934) menegaskan kembali tentang visinya terhadap arsitektur masa depan di daerah koloni dan kebutuhan terhadap satu gaya arsitektur yang khas. Gaya arsitektur yang kemudian disebut sebagai "Indis" ini mewarnai perdebatan para arsitek di Hindia-Belanda pada kurun waktu awal abad 20. Perdebatan tersebut tidak berlangsung dalam ruang sejarah yang vakum. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Ann Laura Stoler bahwa daerah koloni bersifat sangat dinamis dimana hubungan antara etnik, maupun relasi antara daerah jajahan dan metropole secara konstan direkonfigurasi. Artikel ini akan membahas Arsitektur Indis sebagai perwujudan dialektika antara daerah koloni dan metropole dalam bingkai politik etis kalangan humanitarian. Pada kisaran tahun 1900-an, disiplin ilmu arsitektur di Hindia-Belanda mengalami sebuah periode professionalisasi dan independensi dari metropole. Selain didorong oleh kebijakan Politik Etis yang diterapkan pemerintah kolonial, independensi ilmu arsitektur juga dipengaruhi oleh diberlakukannya undangundang Desentralisasi (1903) yang mempercepat proses urbanisasi di wilayah kota-kota besar di HindiaBelanda. Berdasarkan pada keadaan sosial dan politik tersebut, artikel ini berusaha memberi artikulasi pada peranan Politik Etis terhadap munculnya Arsitektur Indis di Indonesia.
Politik Etis dan Perkembangan Arsitektur Politik Etis yang diterapkan pemerintah kolonial dapat dilacak jejaknya pada sebuah figur yang mengkritisi kebijakan politik pemerintah saat itu. Adalah seorang jurnalis bernama Pieter Brosshoft yang sejak tahun 1884 secara aktif telah menentang kebijakan pemerintah kolonial yang eksploitatif melalui artikel-artikel yang diterbitkan di koran De Locomotief. Tidak lama kemudian, kritikannya terhadap pemerintah mendapat dukungan dari C. Th. van Deventer, seorang ahli hukum dan anggota parlemen di Belanda, melalui artikel yang berjudul Een eereschuld (diterbitkan tahun 1899).5 Dalam artikel tersebut, van Deventer mengungkapkan keresahannya pada situasi daerah koloni yang memprihatinkan dan menuntut pemerintah di Hindia-Belanda menerapkan kebijakan berdasar asas keadilan. Kritikan-kritikan tersebut mendapat sambutan dari Ratu Belanda saat itu, Queen Wilhelmina, yang dalam pembukaan sidang parlemen Belanda pada tahun 1903 menyerukan 1
artefak November 2019
pesan moral kepada pemerintah Hindia-Belanda terkait dengan kebijakan politik terhadap masyarakat pribumi. Pidato tersebut menandai dimulainya sebuah era baru dalam sejarah pendudukan Belanda di Indonesia yakni diberlakukannya Politik Etis. Yang dimaksud sebagai Politik Etis sesungguhnya adalah usaha pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pribumi melalui bidang pendidikan, pembangunan perpustakaan, kredit usaha pertanian, proyek irigasi pertanian, dan penyediaan pemukiman yang layak bagi pribumi yang bekerja pada lahan perkebunan pemerintah. Pemberlakuan Politik Etis bersamaan dengan dikeluarkannya undang-undang Desentralisasi (1903) yang membagi wilayah di daerah koloni dalam beberapa kota otonom (gementee). Pada awalnya hanya ada tiga kota yang memiliki kantor pemerintahan yaitu Batavia, Semarang, dan Surabaya.