RUANG #8 Eksistensi Cagar budaya di Tengah Modernisasi Kota

Page 1

EDISI 08 | MARET 2016

eKSISTENSI CAGAR BUDAYA DI TENGAH MODERNISASI KOTA

KOMUNITAS:

kOMUNITAS rOEMAH TOEA Medan heritage tour

OPINI:

jOGJA MASIH KOTA CAGAR BUDAYA?

Overseas: Matinya pusaka kota tua ketika tersentuh pariwisata HMT PWK PRAMUKYA ARCAPADA


Prolog

Eksistensi heritage di era kekinian

Perkembangan ekonomi di kota-kota besar mengakibatkan munculnya paradigma efisiensi ruang. Selaras dengan ragam kebutuhan yang semakin meningkat, Ruang dipandang sebagai faktor ekonomi sekaligus aset. Hal ini mengakibatkan tingginya nilai sebuah property di perkotaan akibat fungsinya. Sayangnya, hal ini berdampak pada bangunan cagar budaya (BCB). Ruang yang tidak menghasilkan secara ekonomi, kini banyak disulap menjadi bangunan dengan peningkatan nilai secara ekonomi, entah bagaiamana pun caranya. Alih fungsi, pemugaran tak mengikuti kaidah, sampai mengganti bangunan cagar budaya menjadi bangunan modern baru menjadi pilihan para oknum. Efek jangka panjangnya adalah terancamnya keberlanjutan wajah masa lalu kota. RUANG edisi kali ini mencoba memberikan pandangan baru kepada pembaca mengenai elemen cagar budaya, dan eksistensinya di era kekinian. Semoga apa yang kami muat dapat menjadi pegangan pembaca untuk memahami peranan heritage secara lebih mendalam melalui beragam perspektif.

1

Spik2kota

4

Esai foto

6

komunitas

10

Jelajah

12

Photograph

14

kota indonesia

15

overseas

16

infografis

18

opini

19

opini

20

jelajah

22

resensi buku

23

budaya kota

24

tokoh

Salam.

RUANG

---Editor

Pembina: Ratna Eka Suminar, S.T, M.Sc; Penanggung Jawab: Isfansa Mahani; Koordinator: M. Fachri Ardiansyah; Redaksi: Ni Putu Adnya Sawitri, Muhammad Irfan, Putu Sri Ronita Dewi, Putu Inda Pratiwi, Aditya Hidayat Adam, Rachmat Kurniawan; Produksi dan Artistik: M Yusuf Alfyan, Fildzah Husna A; Editor: Muhammad Fachri Ardiansyah; Kontributor: Fandi Pradana, Lengkong Sanggar, M. Hibatur R, Nasution Rizky; Partner Komunitas: Komunitas Roemah Toea, Medan Heritage Tour


Spik2Kota

Eksistensi Cagar Budaya di Tengah Modernisasi Kota Yogyakarta Bersama Elanto Wijoyono Oleh : Aditya Hidayat Adam

RUANG

1


Spik2Kota

K

embali Himpunan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota mengadakan sebuah kegiatan kultural yang bertujuan meningkatkan kepekaan, kepedulian dan membangun sifat kritis mahasiswa terhadap isu yang tengah hangat. Isu yang sangat hangat untuk diperbincangkan akhir-akhir ini adalah mengenai eksistensi budaya di tengah modernisasi Kota Yogyakarta.

Kota yang kehilangan memiliki sejarah seperti raga yang tidak memiliki jiwa”

Perkembangan zaman (bisa jadi) menghantarkan Kota Yogyakarta dalam proses kehancuran. Pembangunan hotel, supermall dan apartemen yang terjadi secara masif di tengah bangunan-bangunan yang memiliki nilai arkelogis yang tinggi adalah salah satu alasanya. Tepatnya pada hari Pada Hari Kamis (25/02/2016) kemarin Himpunan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (HMT PWK) Universitas Gadjah Mada, Pramukya Arcapada, menyelenggarakan acara diskusi bertajuk “Eksistensi Cagar Budaya di Tengah Modernisasi Kota Yogyakarta”. Acara ini menghadirkan Mas Elanto Wijoyono, aktivis kegiatan “Jogja Ora Didol”, sekaligus orang yang sempat populer beberapa waktu yang lalu karena memberhentikan konvoi motor gede ( Moge ) di Ring Road Utara Yogyakarta, sebagai pembicara. Peserta diskusi bukan hanya berasal dari satu disiplin ilmu saja. Peserta yang hadir pada diskusi kali ini mencapai 35-an orang dengan latar belakang yang berbeda dari ; budayawan, komunitas Masyarakat Berdaya, Mahasiswa Ilmu Budaya dan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota dan kemudian memenuhi ruang Tedjo Suminto Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM.

2

RUANG

Diskusi dibuka oleh aktifis yang akrab disapa mas joyo ini dengan menampilkan permasalahanpermasalahan terkait perlindungan Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Yogyakarta. “Kita terlalu sibuk mengklasifikasikan mana bangunan cagar budaya dan mana bangunan yang bukan cagar budaya”, katanya membuka diskusi. Menurutnya, pelestarian bangunan cagar budaya tidak perlu melihat kecagarbudayaannya, melainkan dengan melihat manfaat dari sebuah bangunan tersebut bagi generasi selanjutnya. Bahkan bangunan yang baru pun bisa menjadi BCB di masa depan. Mas Joyo menyoroti permasalahan yang timbul karena konflik penggunaan lahan BCB. Banyak sekali BCB di Indonesia, khususnya di Kota Yogyakarta, yang dihancurkan untuk kepentingan bisnis pihakpihak tertentu. Dari beberapa yang dicontohkan oleh Mas joyo salah satunya mengenai pendirian Ambarukmo Plaza (Amplaz). Pendirian Ambarukmo Plaza yang dimulai pada tahun 2004 sangat disayangkan oleh para aktivis arkeologi pada saat itu. Mereka melakukan aksi-aksi untuk menolak pendirian Ambarukmo Plaza tersebut, mengingat tanah tempat berdirinya Ambarukmo Plaza merupakan pesanggrahan keraton, tempat wafatnya Sultan Hamengkubuwono VII, yang tentunya memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi terutama bagi kesultanan Yogyakarta.


Spik2Kota

“Seperti kasus Yap Square, kawasan tersebut sebenarnya sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya pada tahun 2007 berdasarkan SK Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, akan tetapi.....” - Elanto Wijoyono

Tentang perlindungan bangunan cagar budaya ( BCB ). Menurut Mas Joyo regulasinya masih lemah. “Seperti kasus Yap Square, kawasan tersebut sebenarnya sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya pada tahun 2007 berdasarkan SK Menteri Pariwisata dan Kebudayaan akan tetapi dengan mudahnya SK tersebut diubah oleh salah satu pejabat setingkat Eselon III di kementerian terkait untuk mempermudah proses alih fungsi lahan bangunan di tahun 2010. Pemerintah pun dianggap pasif dalam melakukan perlindungan bangunan-bangunan cagar budaya. Pemerintah cenderung hanya menunggu laporan masyarakat, tidak melakukan pergerakan untuk mengawasi bangunan cagar budaya. Padahal peran pemerintah sangat diperlukan untuk melakukan pelestarian bangunan cagar budaya. Diskusi berjalan semakin menarik ketika salah seorang peserta diskusi menanyakan tentang konflik antara pelestarian cagar budaya dan kebutuhan ekonomi. Peserta menanyakan bagaimana bisa dua hal yang saling kontraproduktif bisa disatukan, mengingat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, yang merupakan satu dari trisula penataan ruang(ekonomi, sosial, dan lingkungan), terkadang harus mengorbankan bangunan-bangunan maupun kawasan cagar budaya. Apalagi terkadang bangunan tersebut tidak digunakan sama sekali. Untuk

menjawab pertanyaan tersebut Mas Joyo menjelaskan bahwa konsep pelestarian bangunan dan kawasan cagar budaya tidak hanya menjaga bangunan agar tetap ada, melainkan juga pengembangan dan pemanfaatan. Karena hari semakin gelap, sangat disayangkan diskusi yang sangat hidup ini harus diakhiri. Sebelum mas joyo mengakhiri diskusi beliau menitip pesab kepada seluruh mahasiswa dan peserta diskusi yang hadir untuk menjaga bangunan dan kawasan cagar budaya agar tetap lestari. “Negara cenderung bermain-main dalam melakukan perlindungan terhadap bangunan dan kawasan cagar budaya”, ucapnya. “Oleh karena itu saya harapkan temen-temen dari Perencanaan Wilayah dan Kota yang nanti duduk di kursi pemerintahan dan menjadi pejabat publik tidak lupa terhadap perlindungan bangunan dan kawasan cagar budaya,” tutupnya. Diskusi yang dilaksanakan di gedung Tedjo Suminto, DTAP ini diharapkan bisa memantik semangat pemuda untuk bersama-sama memikirkan masalah-masalah keruangan disekitar kita. Seiring berjalan nya diskusi, peserta nampak antusias, sehingga memberikan spirit positif sehingga diskusi sederhana ini bisa berjalan dengan baik

Spik2Kota merupakan media diskusi terbuka bulanan yang diselenggarakan oleh HMT PWK Pramukya Arcapada untuk mengupas permasalahan ruang kekinian dari berbagai perspektif

RUANG

3


HERITAGE BUILDINGS:

stories untold. Photo and Writing by FIldzah Husna A

4

The sad fact we’re facing is, heritage buildings are instead left out and abandoned. Their stories are then locked, slowly gone, rotten away, die in such suffering they don’t actually deserve. They become voiceless.


I love looking at buildings, especially when it comes about old buildings. They always impress me in some ways; they seems wise, hiding a bunch of stories to tell and teach. Things we can learn from them. The point is, are we care enough to actually listen to their stories? A lot happened, people come and go and left traces; languages, cultures, ideologies, building and architecture as well. Just as likely as life everywhere, bad and good things happen. Life’s just being life. People move on, and occasionally forget the past. Because that’s the point of living for most people, right? There are lot to tell only from seeing buildings; its form, colors, rythms and patterns are stories. They tell you what happened, who lived there. Things called history and heritage. But look at cities and civilization this era, there aren’t much stories left for us. Kind of sad, but you can’t resist the fact that it’s true. What if later, we have kids, or grandkids, and there’s nothing left stories for them?

5


Komunitas

Komunitas Roemah Toea: Kumpulan Pecinta Cagar Budaya Roemah Toea adalah sebuah komunitas kecil yang berfokus pada studi sejarah, terutama studi sejarah Indonesia pada masa Kolonial Belanda hingga seterusnya. Roemah Toea sendiri berdiri pada tanggal 7 Januari 2014, walaupun sebelum tanggal berdirinya, sudah banyak kegiatan yang dilakukan oleh anggota Roemah Toea.

Untuk keanggotaan, komunitas ini sangat terbuka dan menerima orang-orang dari berbagai pekerjaan atau disiplin ilmu lain. Seperti halnya orang-orang yang ada di komunitas ini yang berasal dari beragam latar belakang, mas Hari Kurniawan “Hao” yang bekerja sebagai pegawai pabrik dan pemandu wisata serta bahasa belandanya yang fasih, mas Aga Yurista P, mahasiswa Pascasarjana Hukum yang berpengalaman dalam melakukan urusan pemetaan dan survey ke tempat yang akan di observasi, mas Yoga Cokro P yang memiliki kegemaran akan kereta api hingga seluk beluk sejarahnya, atau mas Lengkong Sanggar G, mahasiswa arkeologi UGM 2013 yang memilki banyak referensi soal bangunan lama serta dianggap paling jeli dalam urusan mengamati bangunan lama. Walaupun komunitas ini masih relatif muda dan jumlah anggota aktifnya masih sedikit, namun sudah banyak kegiatan yang sudah dilakoni komunitas ini. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah observasi jalur kereta api non-aktif Pare – Kediri dan kemudian disusul dengan kegiatan lain seperti penyusuran jalur kereta api non-aktif Yogya-Palbapang-Sewugalur, Yogya-Pundong, Yogya-

6

RUANG

Magelang, Magelang-Secang, Secang-Parakan, SecangBedono, Bedono-Ambarawa, dan Ambarawa-Kedungjati. Selain penyusuran jalur kereta api non-aktif, komunitas ini juga melakuan observasi pada sisa-sisa 19 pabrik gula di sekitar Yogyakarta dan 16 pabrik gula di sekitar Surakarta. Kemudian komunitas ini juga mengobservasi beberapa bangunan tua, terutama bangunan era kolonial yang berada di daerah perkotaan dan pinggiran. Kepedulian Roemah Toea terhadap aset Cagar Budaya terlihat pada kegiatan pembersihan stasiun Maguwo Lama yang pertama kali dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2013 dan selanjutnya menjadi kegiatan rutin hampir setiap bulan. Selain itu komunitas ini juga berusaha menjalin hubungan baik dengan komunitas pegiat pelestarian Cagar Budaya lain seperti Komunitas Kota Toea Magelang dan Komunitas Pecinta Kota Lama Purworejo. Komunitas ini memiliki fanspage Facebook “Roemah Toea” sebagai sarana publikasi kegiatan dan hasil observasi, agar menarik minat masyarakat luas untuk mencintai dan melestarikan peninggalan sejarah yang ada di sekitar kita.


Caption. 1) Kegitan pembersihan rutin Stasiun Maguwo; 2) Berpose di bangunan heritage Sewugalur, Kulonprogo; 3) diskusi heritage di sekolah Sanggar Alam

1 2

3

RUANG

7


Phot-O-Graph

Komunitas Roemah Toea: Kegiatan membersihkan makam bersejarah adalah salah satu upaya melestarikan cagar budaya. -Oleh: Lengkong Sanggar | Lokasi : Ceper, Klaten, Jawa Tengah

8

RUANG


RUANG

9


Jelajah

Menjelajahi Bangunan Indis di Kawasan Bintaran, Yogyakarta Tulisan dan Foto oleh Lengkong Sanggar Editor : Ardianto

S

ebuah budaya dan bangunan pastilah memiliki masanya. Jika tidak dilestarikan, kelak ia akan mati dan dilupakan oleh generasi penerusnya. Begitupula yang dikhawatirkan para preservatoris di kawasan Bintaran, Yogyakarta. Tak banyak yang tahu, bahwa kawasan tersebut sebenarnya memiliki nilai sejarah dan keterkaitan yang erat dengan kawasan pemukiman Belanda yakni Loji Besar (Benteng Vredeburg) dan Loji Kecil (sisi timur benteng Vredeburg hingga sungai Code).Kawasan Loji besar dan Loji kecil waku itu dianggap sudah tidak layak huni karena terlalu padat ,maka orang-orang Belanda memilih membangun hunian mereka di kawasan Bintaran yang berada di sisi timur sungai Code.Pada waktu itu,daerah Bintaran masih memiliki lahan yang luas.Umumnya, orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah yang bekerja sebagai opsir,pegawai di Keraton Pakualaman dan pegawai pabrik gula (Reni Vitasurya.6;2014).

Ndalem Mandala Giri Bangunan ini dahulu pernah dipakai sebagai kantor Yayasan Karta Pustaka.

Pada waktu itu, orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran masih menggunakan fasilitas umum yang berada di Loji Besar dan Loji Kecil.Kemudian karena orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran semakin banyak,maka dibangunlah beberapa fasilitass umum seperti bioskop (Bioskop Permata),gereja (Gereja St.Yusuf) dan sebuah penjara (Penjara Wirogunan).Bangunan rumah tinggal di Bintaran memiliki arsitektur yang hampir sama di kawasan Loji Kecil,hanya saja halamannya berukuran lebih luas (Inajati.173-174;2009).

Salah satu bangunan di Bintaran yang menyimpan nilai sejarah adalah Museum Sasmita Loka Jenderal Sudirman di jalan Bintaran Wetan.Bangunan ini dahulu merupakan tempat tinggal Meneer Wijnschenk, seorang pejabat keuangan Keraton Pakualaman. Pasca-Kemerdekaan, bangunan ini dihuni oleh Jenderal Besar Sudirman.

Museum Sasmita Loka

Museum Biologi

10

RUANG

Bangunan selanjutnya adalah Museum Biologi yang berada di jalan Sultan Agung..Di sini pengunjung dapat melihat beberapa koleksi yang berkaitan dengan dunia Biologi. Koleksi yang banyak dipamerkan di sini adalah koleksi berupa jasad hewan yang diawetkan.


Rumah Dr. Wiryo

Bangunan lama yang saat ini digunakan sebagai Asrama mahasiwa Kalimantan Barat  Latar belakang munculnya beberapa bangunan arsitektural bernilai sejarah di kawasan Bintaran tidak terlepas dari keberadaan orang-orang Eropa yang tinggal di kawasan tersebut. Menurut Djoko Soekiman, arkeolog, munculnya bentuk bangunan ini disebabkan oleh dua faktor.Faktor pertama terkait dengan strata sosial pada masa kolonial yakni bangsa Eropa sebagai anggota golongan sosial yang berkuasa,maka untuk membedakan kedudukanya dengan bangsa Pribumi,bangsa Eropa membangun bangunan tempat tinggalnya dalam bentuk khusus (Soekiman,Djoko.5;1997).Faktor kedua terkait dengan upaya adaptasi

Bangunan selanjutnya adalah bangunan rumah tinggal dr.Wiryo di jalan Sultan Agung. Berdasarkan keterangan penghuni sekarang,Dr.Wiryo merupakan dokter pribadi presiden Sukarno.Penghuni yang sekarang saat ini masih satu keluarga dengan Dr,Wiryo.

Bangunan lama di pertigaanjalan Bintaran Kidul dan BintaranWetan. orang-orang Eropa dengan keadaan iklim setempat.Seperti yang diketahui,orang-orang Eropa tinggal di daerah dengan iklim yang bersifat dingin,sehingga bangunan tempat tinggal dibuat tertutup.Iklim di Indonesia rupanya tidak cocok untuk orang Eropa yang tinggal di sini,sehingga agar bisa beradaptasi dengan iklim setempat yang bersifat lembab dan panas,maka dibuatlah bangunan yang berukuran tinggi,tembok yang tebal,ruangan yang luas, dan jendela yang tinggi sehingga ruangan di bagian dalam terasa sejuk dan nyaman (Soekiman.Djoko,10;1997).

RUANG

11


Kota Indonesia Phot-O-Graph

712

RUANG


Overseas

seandainya setiap pagi kau sudah tak bisa membuka jendela dan merasakan pagi, mungkin kau baru akan menyadari rahasia kenikmatannya. -Oleh: M Hibatur R | Lokasi : Kotagede, Yogyakarta, DIY

RUANG

13


Kota Indonesia

Urban Heritage, Old Batavia oleh : Muhammad Irfan

M

emori kolektif tentang harmoni masa lalu dan kota pusaka yang perlu dijaga kelestariannya karena telah menjadi bagian sejarah perkembangan bangsa. Memori rasa manis pahitnya masa lalu. Tempat munculnya perubahan dan gerakan-gerakan kemajuan. Hanya kata dan uapaya lestari yang mampu menjaga kelestarian Kota Tua, Jakarta.

Indonesia merupakan negara dengan warisan budaya terkaya dan beragam. Kebhinekaan yang terwujud dalam bentuk kesenian daerah, adat istiadat, Bahasa, sastra, maupun sistus arsitektur tradisional dan colonial. Kekayaan budaya telah melahirkan bentuk fasad psikologis perkotaan atau yang lebih kita kenal sebagai citra kota (image of the city). Asset budaya yang telah terangkai memalui pentahapan historis dari waktu ke waktu, patut dikembangkan secara keberlanjutan guna menjaga lestari Kota Tua diantara hiruk pikuk pembangunan gedung pencakar langit perkotaan. Lapisan demi lapisan (layer by layer) Kota Tua Jakarta meninggalkan bukti-bukti perkembangan fisik kota yang bermula dari muara Sungai Ciliwung hingga menjadi kota seperti sekarang (Surjomiharjo, 2000). Hal ini merupakan bukti adaptasi manusia terhadap lingkungan (man-made environment). Lapisan-lapisan dari budaya Kota Tua Batavia tempo dulu juga ditunjukan dari hasil ekskavasi arkeologi, dengan ditemukannya beragam temuan, di antaranya sisa-sisa tembok kota dan Bastion, keramik, tembikar, alat logam, moluska, tulang, gigi, ubin, jalur trem dan bantalannya dari balok kayu, pipa saluran dari terakota, balok-balok kayu sebagai fondasi bangunan, serta temuantemuan lainnya (Mundardjito, 2008). Kawasan cagar budaya Kota Tua Jakarta dengan luas area urban heritage 355 ha dilegalkan sebagai Cagar Budaya nasional melalui perlindungan UU no.11 Thun

714

RUANG

2010 tentang Cagar Budaya. Selain itu, berdasarkan pergub DKI No.36 Tahun 2014 Tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua, sebagai perwujudan lestari historis, estetika, social-budaya dalam ruang Kota Tua. Struktur Old Batavia membentang dari utara ke selatan, memanjang sepanjang muara sungai ciliwung. Pattern tersebut terbentuk karena perkembangan kota yang berkembang dengan basis perdagangan pelabuhan. Ruang terbuka (open space) pada kawasan terbentuk dari Square (taman Fatahillah), Street (Jl Kali Besar Barat, Jl Kali Besar Timur, Jl Kali Besar Timur 1, 2, 3, 4, 5, Jl Pintu Besar, Jl Pos Kota, dan Jl Cengkeh), Waterfront (Kali Besar) dan Lost Space-ruang negatif (area dibawah jalan tol, rel kereta api, serta ruang antar gedung lainnya). Secara umum ruang terbuka pada kawasan membentuk beberapa simpul besar di antaranya: a) depan stasiun BEOS (Jakarta Kota) yang mampu berfungsi sebagai gerbang kawasan Kota Tua dari selatan (keberadaan stasiun kereta api, stasiun Busway dan aksis jalur utama kota); b) Taman Fatahillah, berupa plaza dengan pengembangan sebagai pusat kegiatan kawasan serta c) Kali Besar, berupa koridor sungai (Baskara, 2012). Museum fatahillah menjadi center point of old Batavia. Landmark Kota Tua Jakarta dengan berbagai aktifitas mencipta keramaian public, tempat bertemunya antara turis, pedagang, dan warga pribumi. Aktifitaslah yang telah menjaga lestari Kota Tua Jakarta diantara serbuan pencakar langit Jakarta.


Overseas

“Matinya” Pusaka Kota Tua Ketika Tersentuh Pariwisata Oleh : Muhammad Yusuf Alfyan

K

ota Tua dan Berbudaya, siapa yang tidak terpana akan keindahan kota yang berdiri kokoh mengalahkan jaman – jaman sebelum kita. Betapa indahnya karya – karya pendahulu kita sehingga menjadi ajang berebut untuk merasakan bagaimana pengalaman, dan rasa yang tersimpan dari setiap sudut bersejarah sebuah kota. Bagi mereka yang memang mencintai kota tua tentunya akan mengabadikan kesempurnaan kota tersebut, membuatnya menjadi abadi baik dalam bentuk fisik maupun kenangannya, tanpa menyakiti setiap elemennya. Namun beberapa kelompok menikmati kota tersebut dari segi yang berbeda. Melihat adanya potensi ekonomi dari banyaknya kunjungan ke kota tersebut, muncullah berbagai golongan oportunis yang membuka usaha jasa untuk memfasilitasi kenginan para turis. Berkembangnya hotel, restoran, retail, jasa wisata, dan berbagai fasilitas bagi turis menjadikan kota tersebut merubah arah pengembangan dari kota yang berbudaya dengan kearifan lokal masyarakatnya menuju kota yang menjadi tujuan wisata internasional. Perekonomian pun meningkat drastis, para pengunjung membelanjakan uangnya untuk memenuhi hasrat dan panggilan dari kota tersebut. Para pengusaha pun merasa kecanduan, investasi yang mereka lakukan untuk terus menjual keindahan kota berbuah manis. Keinginan untuk terus melebarkan usaha membuat mereka terus mencoba menguasai rumah – rumah penduduk lokal untuk mereka jadikan sebagai bahan usaha. Dari yang awalnya bangunan – bangunan bersejarah dimiliki, dirawat, dan dicintai oleh keturunan sang pemilik asli, kini berubah menjadi milik pengusaha. Pengusaha yang memiliki, merawat, dan mencintai “harga” dari bangunan tersebut.

Venice sudah menjadi salah satu korbannya. Kota yang sangat terkenal akan keindahan bangunan kanal, bangunan bersejarah, serta budayanya kini “hanya” disinggahi oleh para turis. 50 tahun yang lalu penduduk asli kota Venice berjumlah 120.000 jiwa, namun sekarang hanya tersisa sekitar 60.000 penduduk asli. Beberapa pakar bahkan memprediksikan pada 2030 Venice akan menjadi kota hantu, orang yang tinggal di sana hanyalah turis yang datang pada pagi hari dan meninggalkan kota ini pada malam hari. Perumahan di Venice semakin tergerus oleh perubahan fungsi bangunan dari yang awalnya rumah menjadi hotel, restoran, maupun retail. Selain karena berkurangnya tempat tinggal, mahalnya biaya hidup di kota ini juga menjadikan masyarakatnya mulai tertekan dan memilih tinggal di luar kota ini, mencari peradaban yang lebih dapat mereka jangkau. Bagaimana mungkin warga lokal dapat memakan makanan lokal mereka dengan standar harga turis setiap harinya? Kehidupan sosial di Venice pun mulai memudar, sulit untuk mengenal satu sama lain di kota ini. Setiap hari muncul wajah – wajah baru yang bahkan tak dapat meraka lukiskan dalam pikiran. Ruang – ruang pubik diisi oleh para turis yang berbicara menggunakan bahasa yang bahkan mereka tak bisa dengar. Lama kelamaan mereka akan kehilangan identitas mereka sebagai warga lokal, bahkan hidup dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan para turis. Mungkin kota tersebut akan tetap terawat, namun masihkah ada orang yang akan mencintai dan memiliki kota tersebut sepenuh hatinya seperti dahulu kala? Dari sini kita dapat berkaca kembali, akankah pusaka kota budaya dapat bertahan ketika dihantam kepentingan pariwisata? Akankah kota pusaka kita menjadi korban berikutnya?

RUANG

15




Opini

JOGJA MASIH

KOTA CAGAR BUDAYA? oleh : Fandi Pradana

K

ota tidak akan lepas dari sejarah yang terjadi oleh para lakon sejarah yang membawa sebuah peradaban. Begitupun Kota Jogja, yang mahsyur dikenal orang sebagai kota dengan segudang budaya. Sungguh kaya Kota Jogja ini dengan budaya ramahnya yang membuat orang lain merasa nyaman, dengan secangkir kopi joss yang hangat dan mengakrabkan hingga bangunan-bangunan lawas yang bernilai historis mengagumkan.

Ya, bangunan-bangunan lawas yang bernilai historis ini memang mengagumkan. Bukan hanya sekadar bangunan tua yang usang, tapi bangunan-bangunan lawas inilah yang akan bercerita tentang Kota Jogja kepada generasi muda di masa depan. Lalu, bagaimana kabar bangunan-bangunan lawas ini? Kota Jogja sendiri memiliki sekitar 456 Bangunan Cagar Budaya (BCB) namun belum semuanya ditetapkan secara resmi sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan UU No.5 Tahun 1992, yang berarti bangunan-bangunan tersebut belum memiliki perlindungan secara legal oleh pemerintah. Bangunan-bangunan tersebut tersebar di berbagai kawasan termasuk kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, salah satunya kawasan Kota Baru, Yogyakarta. Sayangnya masih banyak kasus yang sebenarnya mengancam kelestarian bangunan-bangunan lawas ini. Diantaranya pada rentang tahun 2014-2015 adanya bangunan bercorak Tionghoa yang bernilai historis yakni Tjan Bian Thiong di Jalan Pajeksan No. 16 Yogyakarta yang dibongkar untuk kemudian dialihfungsikan sebagai hotel sekalipun bangunan tersebut telah ditetapkan secara legal sebagai bangunan cagar budaya, selain itu baru-baru ini juga dibangun sebuah hotel di kawasan Kota Baru, yang entah bagaimana caranya tidak termasuk kawasan Cagar Budaya dalam regulasi yang diterbitkan baru-baru ini. Mungkin perlu dipikirkan kembali apakah Kota Jogja ini memang masih layak disebut kota budaya, seperti yang mahsyur dibilang orang. Memang benar, seiring waktu berjalan peradaban juga semakin maju. Kebutuhan manusia dari yang tak terhingga semakin sangat tak terhingga. Kebutuhan ruang hidup dan penghidupan semakin tinggi. Pada akhirnya membuat bangunan lawas dan usang ini nampak menjadi ruang yang

718

RUANG

berdosa. Kemudian, apa pentingnya bangunan-bangunan lawas ini? Bolehlah orang bilang bangunan-bangunan lawas ini merupakan ruang yang berdosa. Tapi lebih dari sebagai pembelajaran bagi generasi muda di masa depan, bangunan-bangunan ini memberikan ruh sebagai jati diri kota seutuhnya. Sudah saatnya bagi kita tidak lagi berfokus pada masalah tapi mulai berfokus pada solusi untuk tidak hanya sekadar menyelesaikan masalah tapi mencari solusi terbaik bagaimana membawa pelesetarian bangunan-bangunan lawas dengan menghidupkan ruang-ruang tersebut. Sebagai mahasiswa perencana, saya berusaha menghadirkan bagaimana seharusnya terdapat harmonisasi yang lebih dalam proses pembangunan di Kota Jogja. Dalam hal ini pembangunan berkenaan sosial budaya dengan dua aspek lain pada pembangunan berkelanjutan yakni ekologi dan ekonomi. Bagaimana ketika kita bisa menghidupkan bangunan-bangunan lawas tersebut dengan kegiatan-kegiatan sosial ataupun kegiatan ekonomi? Memanfaatkan bangunan-bangunan lawas sebagai public space ataupun tempat usaha bagi UKM yang dimiliki masyarakat, dengan begitu bukankah berarti kita dapat melindungi dan melestarikan bangunan-bangunan lawas ini sekaligus menjadikan ruang-ruang tersebut menjadi lebih hidup dan tidak berdosa lagi.Ya apalah arti dana keistimewaan kalau tidak dapat mempertahankan keistimewaan Kota Jogja dengan kekayaan budaya yang dimilikinya. Mari bersama saling berbagi pencerdasan betapa pentingnya pembangunan berkelanjutan, serta bagaimana menghargai warisan budaya dalam sebuah kota. Bersama berusaha mengembalikan Kota Jogjayang benar-benar menghargai warisan budayanya dengan menjadikan warisan budaya sebagai bagian dari kehidupan perkotaan, menjadikan Kota Jogja kembali menjadi Kota Budaya seperti yang mahsyur dikata orang.


Opini

Bukan Sekedar Menjaga

Tapi Memiliki Oleh : Ni Putu Adnya Sawitri

S

ebanyak 17.499 Pulau berjajar membentuk Nusantara dari sabang sampai Merauke memiliki berbagai ragam suku, adat, agama, dan budaya yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter pada setiap daerahnya. Karakter tersebut menjadi potensi aset budaya yang memiliki nilai sejarah dan merupakan rangkaian pusaka (heritage) yang perlu dilestarikan (Ernawi, 2015). Di sisi lain kota-kota besar di Indonesia tidak dapat terlepas dari perjalanan sejarah lebih dari dua ratus tahun atau terbentuk sekitar abad 17 hingga 18 yang menjadi rangkaian pusaka (heritage) kota. Pada sebagian kota-kota besar di Indonesia, pengaruh dari pemerintahan kolonial Belanda cukup besar. Hal ini dapat terlihat melalui banyaknya didirikan bangunan-bangunan lama peninggalan Pemerintah Belanda yang memiliki nilai sejarah yang panjang. Namun seiring dengan perkembangan kota, peningkatan teknologi, dan transformasi kebudayaan ke arah modernisasi serta globalisasi membuat warisan budaya dan nilai-nilai heritage menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Tantangan tersebut berupa permasalahan-permasalahan seperti: terjadinya alih fungsi, terjadinya perubahan fisik dan arsitektur/desain bangunan, penelantaran, dan masih belum ada peraturan daerah yang mengatur perlindungan terhadap benda cagar budaya (Wijaya, 2008). Dengan keragaman pusaka di Indonesia bayak aset yang membutuhkan tingkat proteksi yang tinggi. Dimana memerlukan eco system yang melingkupi keberadaan pusaka tersebut.

Namun kini Indonesia masih kesulitan untuk memproteksi keberagaman high culture heritage yang belum menyentuh pada ordinary heritage seperti bangunan dari bambu dan intangible heritage misalnya kemampuan untuk membangun bangunan tradisional dari bambu. Selain itu proteksi untuk kawasan atau kota bersejarah dengan program-program pembaharuan justru terkadang menghilangkan akar-akar budaya yang khas. Selama ini berbagai pihak yang ingin melestarikan hanya fokus terhadap suatu objek pusaka itu sendiri. Dari sejarahnya, keindahannya, ciri arsitekturnya, atau bagaimana teknik pelestariannya. Namun belum banyak yang menciptakan “pasar” yang mampu memberikan apresiasi terhadap objek-objek peninggalan bersejarah. Yang kedepannya

dapat secara mandiri mampu memelihara, mengembangkan bahkan memanfaatkannya. Permasalahan-permasalahan tersebut tentu saja membutuhkan upaya pelestarian kawasan bersejarah. Pelestarian bukanlah romantisme masalalu atau upaya untuk mengawetkan kawasan bersejarah, namun salah satunya bertujuan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi kawasan bersejarah tersebut, serta menciptakan pusaka budaya masa mendatang (future heritage). Selain itu menurut Asworth pelestarian bertujuan bukan hanya untuk mempertahankan pertumbuhan perkotaan, namun manajemen perubahan. Dalam (Adishakti, 2003) memaparkan beberapa aspek dalam upaya pelestarian yang salah satunya mengarah kepada partisipasi masyarakat. Yang menjelaskan bahwa masyarakat sebagai pusat pengelolaan (people-centered management). Dimana setiap pribadi manusia perlu ada rasa memiliki dengan cara menggunakan apa yang dimiliki atau dihasilkan, membuatnya, mengembangkan secara inovatif agar memberikan hasil material atau non material. Semua ini adalah sebuah proses pelestarian secara mandiri. Proteksi dan pengelolaan ini sudah saatnya pula menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Seperti tulisan Prof. Otto Sumarwoto (2001) dalam bukunya tentang pengelolaan lingkungan “Atur Diri Sendiri”. Sudah bukan jamannya lagi untuk “Atur” dan “Awasi”. Melalui upaya ini diharapkan banyak komunitas untuk berfikir tentang kepemilikan dari aset budaya, bagaimana mengundang kepedulian, bagaimana memanfaatkan bagi masyarakat sendiri hingga orang lain, dan bagaimana pula untuk melestarikannya. Partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian warisan budaya merupakan salah satu prioritas yang harus tercapai dalam setiap kegiatan pemanfaatan benda cagar budaya yang berwawasan pelestarian. Rasa memiliki yang kuat dari masyarakat merupakan faktor penting yang sangat dibutuhkan kini. Dengan upaya mampu meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan bangunan-benda cagar budaya sehingga masyarakatlah nanti yang akan lebih berperan serta, pemerintah hanya mengayomi dan mengawasi sehingga tidak keluar dari Sumber : http://www.kabarindonesia.com/ koridor hukum yang berlaku tentang pelestarian.

RUANG RUANG

13 19 19


Jelajah

Kisah di Balik Monumen Ahmad Yani,

Kota Medan oleh : Nasution Rizky | Medan Heritage

Tidak hanya bangunan tua dan museum saja yang menjadi daya tarik bagi wisatawan ketika berkunjung ke suatu daerah. Monumen yang memiliki nilai sejarah pun turut menarik minat para wisatawan untuk datang berkunjung ke situs tersebut. Biasanya wisatawan tidak sekedar mengetahui sejarah di balik monumen tersebut, melaikan menikmati pemandangan taman disekitaran monumen tersebut.

M

engapa setiap monumen identik dengan keberadaan taman kota? Kami juga kurang tahu pasti. Akan tetapi, setiap ada tugu atau monumen pasti saja disekelilingnya terdapat taman. Pak Miduk yang merupakan penggagas Komunitas Taman Kota, sempat memaparkan kepada kami bahwa Taman Ahmad Yani dahulunya bukan merupakan taman kota, melainkan bagian dari taman R.S. Elisabeth, tempat para pasien refreshing untuk mendapatkan udara segar. Taman ini menjadi taman kota semenjak keberadaan Monumen Ahmad Yani dan pada akhirnya dipugar serta resmi menjadi taman kota. Oleh karena itu, Taman Ahmad Yani menjadi salah satu situs sejarah Kota Medan. Monumen Ahmad Yani setinggi 11 meter yang berdiri gagah di persimpangan Jalan Sudirman dan Imam Bonjol Medan, terlihat sedikit unik. Hal ini tampak dari wajah pejuang revolusi itu yang menoleh ke kiri, sedangkan tangan kanannya menunjuk kea rah kanan. Apa sih maknanya? Yuk, simak ceritanya di bawah ini. Ki Heru Wiryono MH sebagai pematung mengungkapkan kisah di balik Monumen Ahmad Yani. Pada tanggal 19 Oktober 2013 dalam kegiatan Medan Heritage Tour yang bertajuk Pasar Seni & Kuliner, Ki Heru yang biasa dikenal dengan sebutan Sekar Gunung ini sengaja kami undang untuk memaparkan makna dari maha karyanya tersebut. “Nama seniman saya, Sekar Gunung. Saya pernah mengenyam pendidikan bersama Ki Hajar Dewantara. Yahhh, sekitar tahun 1952-1955,” ungkap Ki Heru yang berasal dari Gunung Kidul. Beliau hijrah ke Kota Medan tahun 1957 dan bertempat tinggal di Jalan Polonia hingga

720

RUANG

sekarang. Mengapa punya nama Sekar Gunung? Menurut beliau, Sekar Gunung yang berarti Bunga Gunung dan merupakan nama salah satu karya seninya. Nama karya seni itu terus melekat selamanya sehingga orang menyebutnya dengan panggilan itu. Ki Heru menceritakan bahwa monumen itu dikerjakan pada tahun 1965 dan baru selesai pada 1968. Beliau mengatakan keterlambatan penyelesaian patung karena persoalan yang tidak diprediksi dari awal. “Masalah hanya terletak pada pembiayaan saat pengerjaan. Awalnya saya diminta oleh pihak panitia gabungan unsur tentara, polisi, pemerintahan dan pihak swasta. Saat itu dana yang saya ajukan sebesar 65 juta rupiah. Tapi, biaya itu tak juga keluar. Akhirnya saya membangun dengan dana pribadi” ungkapnya. Beliau mengakui bahwa ia tetap melakukan proses pengerjaan, bahkan beliau menggaji tiga orang sebagai tenaga tambahan. Pembiayaan ini beliau dapatkan dari hasil menjual beberapa lukisannya. “Biaya itu merupakan biaya cetakan yang saya kerjakan di rumah saya sendiri, selama empat bulan. Jadi, ya selama empat bulan itu saya menggaji tukang saya dengan upah 30 rupiah,” ujarnya. Selama proses pengerjaan ini Ki Heru tidak kunjung diam, beliau tetap mendesak agar biaya pembuatan monumen itu segera keluar. Namun, tidak habis akal Ki Heru menggelar konfrensi pers untuk mengungkap hal itu ke publik, yang mana Ki Heru tahu pada saat itu Presiden Soekarno memiliki agenda kunjungan ke Kota Medan. “Waktu itu saya sempat memanggil wartawan untuk memberitakan persoalan ini. Tapi entah dari mana pihak panitia tahu kalau saya memanggil para wartawan, enggak


tahu dari mana. Akhirnya, keesokan harinya dana itu cair 62 juta rupiah. Itu pun saya dengar kabar, pihak panitia tahu akan agenda kedatangan Presiden ke Medan, sehingga mereka kelagapan,” lugasnya sambil tertawa geli. Ki Heru yang saat itu didampingi oleh dua Master Ceremony (MC) melanjutkan kisahnya. Beliau bersama panitia sempat melakukan kunjungan ke Istana Negara dan bertemu Presiden Soekarno dan Ki Heru menawarkan dua pilihan yakni, Monumen Ahmad Yani dan Relief yang bercerita tentang G 30 S/PKI. Tapi Soekarno memilih Monumen Ahmad Yani. Ki Heru menjelaskan kembali bahwa relief yang ia tawarkan menurut Soekarno, kurang kuat. Jadi, akhirnya Presiden Soekarno memilih Monumen Ahmad Yani. Terkait makna dari detail monumen itu, Ki Heru tidak menampik ada hubungannya dengan kondisi politik saat itu. Beliau mengungkapkan bahwa wajah Ahmad Yani yang menoleh ke kiri dan tangan kanan yang menunjuk kea rah kanan atas adalah Ahmad Yani menyerukan kepada kaum kiri atau garis keras yakni, kaum komunis (PKI) untuk berpindah haluan yaitu ke kaum religi atau partai Islam. “Maknanya memiliki unsur politis. Ahmad Yani berupaya menunjukkan jalan yang lebih baik pada waktu itu menempuh haluan kiri yakni, komunis (PKI) agar kaum itu mengubah ke garis kanan yaitu partai Islam,” ulas Ki Heru yang saat ini masih menjabat sebagai Pembimbing Taman Siswa Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Ria Aceh (Sukaria) tersebut.

Rudolph M Pardede, Gubernur Sumatera Utara sebelum Syamsul Arifin dan juga melukis almarhum H T Rizal Nurdin,” cetusnya. Ki Heru juga sangat kecewa atas kondisi bentuk asli dari monumen tersebut. Beliau sangat terkejut bahwa patung karyanya diberi warna sehingga menghilangkan bentuk asli dari monument itu pada awalnya yakni, abu-abu batu. “Makanya saya sangat bangga dengan kalian anak-anak muda yang mau peduli dan tergerak untuk melakukan aksi penolakan ini dengan menyelimuti patung tersebut dengan kain putih, yang mana bermaksud membuatnya kembali suci seperti warna kain yang putih. Saya juga sangat tersanjung bisa diundang ke acara ini dan diberi kesempatan untuk berbagi kisah ini. Semoga apa yang kita lakukan hari ini membawa perubahan yakni, mengembalikan warna asli dari patung tersebut,” tegasnya mengakhiri pembicaraan pada sore itu. Taman Ahmad Yani yang terletak di inti Kota Medan, tepatnya di Jalan Jendral Sudirman ini merupakan salah satu taman terbesar di Kota Medan. Saat ini taman ini juga mendapat predikat sebagai Taman Digital, sebab sekeliling taman ini terdapat jaringan Wi-Fi yang bebas digunakan oleh para pengunjung. Taman ini menjadi Taman Digital semenjak diresmikan oleh Bapak Pj. Walikota Medan, Drs. Afifuddin Lubis, M.Si.

Selain merupakan Taman Digital, semenjak taman ini diramaikan oleh aktifitas Komunitas Biola dan Seniman Medan (KBSM), tidak sedikit orang mengenal taman ini dengan predikat Taman Seni. “Kami sengaja memilih Berikut beberapa tugu/monumen hasil karya Ki Heru : taman ini sebagai tempat latihan karena di satu sisi dia mempunyai nilai sejarah, di sisi lain karena taman ini sangat  Tahun 1989, tugu di Taman Makam Pahlawan Medan mendukung untuk mencari inspirasi seni. Lihat saja mbak kondisinya yang rimbun dan banyak daun berguguran.  Tahun 1983, tugu dan patung Raja Hutagalung di Berasa naluri saniman kami tersalurkan, yah berasa juga perbatasan Tarutung dan Sibolga daun-daun ini ikut berdendang dengan detuman biola kami.  Tahun 1980, tugu Marga Silima setinggi 17 meter di Dan mimpi besar kami, ingin menjadikan taman ini sebagai Berastagi; Patung Bumi Angus di depan Taman Makam Taman Seni,” tutur Nasrun selaku Humas dari Komunitas Pahlawan di Pangkalan Berandan, setinggi 9 meter; Tugu Garis Demarkis di perbatasan Tanjung Pura dan Biola dan Seniman Medan. Pangkalan Berandan. Wah ternyata Kisah di Balik Monumen Ahmad Yani ini  Tahun 1985, Tugu Medan Area di dalam Lapangan cukup terjawab ya.. Semoga di setiap perjalanan kegiatan Merdeka Medan. Medan Heritage Tour akan selalu menebar ilmu yang bermanfaat tentang sejarah Kota Medan.  Tahun 1967, Patung Letda Sujono di Bandar Betsi Simalungung

 Tahun 1970, Patung Raja Purba di Pangkalan Purba Tongging

 Tahun 1975, Patung Pahlawan Tak Dikenal di Binjai; Tugu Raja Sonak Malela serta reliefnya di Balige.

Selain itu, Ki Heru juga menjadi pembuat sejumlah relief di sejumlah hotel di Medan. Maha karyanya ini yang menghantarkan Ki Heru berhubungan akrab dengan pimpinan daerah Sumatera Utara. “Saya juga pernah melukis

Medan Heritage Tour adalah suatu bentuk kegiatan terhadap pelestarian berbagai Heritage (warisan) yang ada di Kota Medan. Medan yang terkenal dengan multietnis menjadikan kota ini unik dari lainnya. Beragam budaya yang mewarnai latar belakang kehidupannya memberikan nuansa berbeda bagi sejarahnya. more about us http://medanheritage.com/

RUANG

21


Resensi Buku

Sejarah Kota Lama dalam susunan bahasa

Oleh : Putu Sri Ronita Dewi

Judul : Kota Lama, Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia Penulis : Freek Clombijn, dkk Tebal : xxxii + 604 halaman Penerbit : Ombak, NIWD, UNAIR Ukurun : 16 cm x 24 cm ISBN : 979-3472-46-3

S

ebuah buku yang berisi penjelasan tentang kota – kota di Indonesia dari sejarah, perencanaan, perkembangan hingga saat ini. Disusun dari hasil konferensi internasional “Sejarah Kota” tahun 2004 yag diadakan dalam rangka program penelitian “Indonesia Across Orders. The Reorganitation of Indonesian Society, 1930-1960” yang bekerjasama dengan Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Airlangga Surabaya. Buku dengan ketebalan 604 halaman in terdiri atas 6 bagian yaitu Bagian I Perspektif jangka panjang, Bagian II Perencanaan kota dan permukiman, Bagian III Sejarah sosial, Bagian IV Perubahan Ekonomi, Bagian V Konservasi warisan budaya, dan bagian terakhir Pendekatan-pendekatan baru. Bagian makalah yang memaparkan mengenai kota lama dan kota baru di dalam buku ini terpilih menjadi judul buku yang merupakan karya dari seorang Johan Silas. Secara garis besar, buku ini memanjakan pembacanya dengan sejarah dekolonisasi yang telah terjadi di Indonesia, tak hanya sekedar sejarah politik, namun perilaku masyarakat, adat, hingga perubahan perkotaan yang terjadi akibat dekolonisasi tersebut. Politik, sosial, ekonomi, hingga kultural dikisahkan untuk memperlihatkan keadaan pada masa itu dan perubahan perkotaan yang disebabkan olehnya. Sehingga kota-kota di Indonesia yang tak jarang memiliki serpihan sejarah berupa gedung, senjata, bahkan kenangan pada masyarakatnya.

722

RUANG

Bagi pembaca yang ingin menyelami dan mengkaji sejarah perkembangan kota sejak jaman lolonial, maka buku ini menjadi rekomendasi yang baik. Kira-kira, ada lima alasan kita perlu memperhatikan kota kota dalam proses dekolonisas yang penting dan dijelaskan dalam buku ini. pertama, kota merupakan panggung terjadinya peristiwa penting di dunia; Kedua, naik turunnya pemimpin atau penguasa daerah tentunya akan berdampak pada keadaan kota nya; Ketiga, keberagaman etnis pada setiap populasi menjadi salah satu dampak adanya dekolonisasi; Keempat, pertempuran di perkotaan dan di perbatasan dengan desa mengakibatkan arus massal pengungsi; Kelima, fenomena pergantian kepemimpinan dari jaman Belanda, Inggris, Belanda kembali, Jepang, hingga akhirnya Indonesia berdampak pada carut marutnya sistem administrasi Indonesia karena terbatasnya pengalaman administrasi. Ibarat tiada gading yang tak retak, buku yang sebagus ini pun memiliki kelemahan yaitu masih sulit ditemukan di toko buku dipasaran karena buku tersebut yang memang sudah diproduksi cukup lama. Kesimpulannya, buku ini salah satu terbitan dalam negeri yang menyajikan kumpulan tulisan sejarah kota di Indonesia dengan keunikannya sehingga memanjakan pembaca dalam merasakan perkembangan dari perkotaan tersebut. Peristiwa tak akan berulang, hanya kenangan serta peninggalan yang dapat kita kenang. Penting memahami sejarah kota-kota di Indoesia, “karena kota tidak mati, kota hidup, tumbuh dan berkembang bahkan kita pun bisa hidup didalamnya”.


Apresiasi Budaya Kota

Ijen:

Kawasan Heritage Kota Malang Oleh : Putu Inda Pratiwi

B

erbicara mengenai heritage di Indonesia tak akan pernah ada habisnya mengingat sejarah panjang yang pernah dialami oleh bangsa kita ini. Banyak hal yang bisa diulas ketika menyebut isu tersebut. Budaya kota, tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang rutin dilakukan pada suatu daerah yang sedari dulu diwarisi oleh nenek moyang mereka hingga berpengaruh secara fisik maupun dari segi lingkungan di daerah-daerah tersebut. Secara fisik dapat dilihat dari pengaturan lokasi bangunan seperti tempat tinggal (rumah), tempat ibadah, pusat pemerintahan dan tak luput dari gaya arsitektur bangunannya yang menyiratkan kebudayaan pada masa bangunan itu dibangun.

Tidak hanya itu, pemerintah Kota Malang juga mempertimbangkan agar kota ini memiliki konsep kota sehat dalam rangka mendukung Kota Malang sebagai kota wisata dengan menaruh perhatian yang lebih terhadap ruang bagi pejalan kaki khususnya di kawasan Jalan Ijen. Hal ini bertujuan untuk menciptakan atmosfer kawasan sebagai Heritage Public Space. Oleh karena itu, dalam mengembangkan kawasan Jalan Ijen, pemerintah sangat menyoroti fasilitas pejalan kaki, trotoar. Bagaimanapun juga pembangunan yang terjadi tetap mengutamakan akses bagi pejalan kaki yang nantinya adalah para wisatawan maupun warga lokal yang ingin menikmati wisata kawasan heritage di Jalan Ijen, Kota Malang.

Kali ini, isu yang diangkat ialah mengenai cagar budaya di Kota Malang yang terkenal dengan wisatanya. Mirip halnya dengan Kota Yogyakarta yang memiliki kebudayaan khas keraton dan terdapat pengaruh dari Belanda dari segi penataan ruang maupun arsitektur bangunannya. Di Kota Malang banyak sekali bangunan peninggalan dari penjajahan bangsa Belanda yang mencerminkan kehidupan Malang tempo doeloe. Yang menjadi sorotan adalah di sekitaran Jalan Ijen, di sana terkenal dengan banyaknya bangunan kuno peninggalan Belanda. Dengan berbekal sebagai kota wisata, pemerintah di Kota Malang ingin menjaga kelestarian dari cagar budaya tersebut melalui wisata, yaitu dengan membuat kawasan Jalan Ijen sebagai kawasan Malang Heritage. Pemerintah berharap dengan tercetusnya kawasan tersebut akan dapat menjaga keeksistensian dari heritage Kota Malang yang juga dapat menarik dan menambah wisata budaya di kota ini. Selain sebagai tujuan wisata, hal ini juga demi merealisasikan hal yang sudah tercantum di dalam peraturan daerah bahwa kawasan Jalan Ijen di Kota Malang ini sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya yang selama ini belum terealisasi.

Sesuai dengan konsepnya Heritage Public Space, maka penyediaan ruang-ruang publik pun tak luput dari sorotan dalam pengembangan kawasan wisata Jalan Ijen. Terdapat taman yang membelah jalan berukuran lebar ini dengan nuansa hijau dan indahnya sehingga menambah rasa nyaman dan santai bagi wisatawan maupun warga lokal yang melintasi jalan dengan pemandangan bangunan bernuansa kolonial Belanda. Beberapa bangunan tersebut merupakan perumahan dan salah satunya adalah museum TNI yang saat ini digunakan untuk menyimpan senjata tradisional dan modern yang pernah dipakai saat perang kemerdekaan diwaktu yang lampau. Harapan pemerintah dengan menjadikan Jalan Ijen yang disebut-sebut sebagai cikal bakal Kota Malang ini sebagai kawasan Heritage Public Space tiada lain untuk tetap menjaga kelestarian dari sisi sejarah dan juga sebagai kekayaan peniggalan budaya daerah maupun nasional tanpa membuatnya harus terkekang atau tidak aksesibel akan tetapi justru sebaliknya, dengan membuatnya sebagai bagian dari kawasan wisata dan ruang publik maka akan lebih mudah bagi pemerintah untuk melestarikannya karena semua orang akan lebih mengenal ke-heritage-an dari Jalan Ijen.

RUANG

23


Tokoh

Mengenal Romo Mangun:

Sang Arsitek Code P

ermukiman code tak lepas dari sosok Romo Mangun sang maestro arsitek code. Beliau bernama asli Yusuf Bilyarta Mangunwijawa,Pr. Lahir di Ambarawa 6 Mei 1929. Beliau sangat terkenal sebagai rohaniawan, budayawan, arsitek, aktivis hingga penulis. Burung-Burung Manyar adalah salah satu karya terbaik beliau. Dalam bidang arsitektur, beliau dikenal sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah Aga Khan Award yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang. Hal ini karena, Romo Mangun memiliki pergerakan dalam memeprbaiki permukiman warga Kali Code. Ada tiga hal yang sangat teringat jasa beliau terhadap masyarakay pinggiran Kali Code. Pertama, beliau berjasa dalam mengubah mentalitas masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan masyarakat bantaran Kali Code. Hal yang unik dalam memperbaiki perilaku

masyarkat di bantaran Kali Code adalah dengan cara beliau membaur dengan masyarakat dan memberikan contoh nyata dalam memperbaiki perilaku masyarakat. Peran kedua adalah beliau sangat erat kaitannya dengan perbaikan kampung di bantaran Kali Code. beliau menginisiasi perbaikan tata permukiman dan lingkunan bantaran Kali Code. Hal ini menjadi salah satu karya yang sangat terkenal di bantaran Kali Code yang hingga saat ini masih terlihat hasil karya Romo Mangun. Beliau merancang konsep hunian desain rumah hingga tata permukiman yang dianggap layak dan menonjolkan aspek sosial dan budaya. Peran ketiga adalah beliau adalah pendiri Yayasan Pondok Rakyat (YPR) di Kawasan Code. Yayasan Pondok Rakyat merupakan wadah pemberdayaan masyarakat di bidang lingkungan dan penddidikan kritis melalui pendekatan sosio-kultural. Organisasi ini menjadi semacam jembatan bagi sekelompok orang dengan latar belakang yang berbeda-beda yang dapat menerapkannya di masyakat bantaran Kali Code. Itulah mengapa Romo Mangun sangat erat kaitanya dengan permukiman di bantaran Kali Code. Hal ini masih sangat melekat erat hingga saat ini. Romo Mangun telah menjadi pahlawan bagi masyarakat Kali Code dan mengubah paradigma masyarakat tentang bantaran Kali Code. Dan Romo Mangun meninggal pada hari Rabu, 10 Februari 1999 pukul 14:10 WIB di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, setelah memberikan ceramah dalam seminar meningkatkan peran buku dalam upaya membentuk masyarakat Indonesia Baru di Hotel Meridian, Jakarta. Beliau dimakamkan di makam biara komunitasnya di Kentungan, Yogyakarta.

Disadur dari Kompasiana, Anjas Prasetiyo Romo Mangun, Pemberdaya Wong Cilik Kali Code

24

RUANG

http://www.kompasiana.com/anjasprasetiyo/romo-mangunpemberdaya-wong-cilik-kali-code_55194f2681331168769de0d3


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.