Daftar Isi 2
Daftar isi, Awak Ruang, Salam Redaksi
9
Esai Foto: Sisi Lain Malioboro
3
Prolog
10
Project Campaign: #AyoLihatSini
11
Local News: Daya Tarik Baru Pedestrian Malioboro
4
Infografis: Antara Jogja Selatan dan Jogja Utara
6
Opini: Sisi Lain Kota
12
Profil Komunitas: Paguyuban Kali Jawi
7
Kota Indonesia dan Luar: Wismanya Tunawisma
13
Eureka : Komunitas di Yogyakarta yang (mungkin) kamu ketahui
8
Riset: Menyoal Persampahan Kota
14
Moodboard: Sisi Lain dari Kota dan Perkotaan
15
Resensi: The Dark Night
Pelindung: Daniel Futuchata F. Pimpinan Umum: Fildzah Husna A. Pimpinan Pelaksana: Aditya Hidayat A. Pimpinan Produksi: Kiana Puti Aisha Redaktur Pelaksana: Firman Seto Aji Chrisye Saragih Aulia Hidayatul Winda Rahmatya Novita Aini Fildzah Husna Amalina Mutia Penita Putri Ardiwiryawan Wibowo Irsyad Abdul Aziz Carissa Aurelia Farhan Anshary Edy Abdurrahman Syahrir BM Shafira
Salam Redaksi Assalamualaikum wr.wb Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat dan limpahan-Nya kita masih diberikan kesempatan untuk terus berkarya dan RUANG edisi 11 bisa hadir ditengahtengah kita. RUANG edisi ini mengangkat tema besar, yakni “Sisi Lain Kota”. RUANG merupakan wadah kreasi mahasiswa HMT PWK UGM melalui tulisan untuk melakukan social campaign kepada publik agar peka terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar dan dampaknya di masa depan. RUANG edisi kali ini banyak bercerita tentang sisi lain kota, yaitu sisi geliat dan gerak komunitas-komunitas masyarakat dalam menggerakkan kota yang banyak tidak kita sadari. Besar harapan kami agar RUANG dapat terus eksis ditengah-tengah masyarakat dan memberikan banyak manfaat untuk mewujudkan ruang yang baik untuk kehidupan yang akan datang.
Layouter: Rifqi Arrahmansyah Reza Dwi Mulya Nafiari Adinda Adelheid Pasau Hendiliana Vivin Setyo Putri Kiana Puti Aisha Rizkana S.H. Deano Damario Dwi Ichsan
Gambar Latar: Rifqi Arrahmansyah
02
RUANG | #11 HMT PWK UGM
Foto: merdeka.com
“SISI LAIN KOTA” SEBUAH REFLEKSI Oleh: Firman Seto “Cities have the capability of providing something for everybody, only because, and only when, they are created by everybody.” -Jane Jacobs, The Death and Life of Great American Cities
K
ota sejak dulu kala selalu menjadi bahan pembicaraan manusia. Fungsinya yang pada awalnya hanya sebagai tempat berkonsolidasi untuk bertahan hidup dan berkembang seiring munculnya budaya dan pemikiran-pemikiran baru. Sejak 3000 tahun sebelum masehi, kota menjadi tempat berlindung, mencari penghidupan, melepas kepenatan, dan mengadu hidup bagi tiap manusia tanpa terkecuali. Namun, dengan segala kebebasannya, kota lama tetap bukanlah tempat yang egaliter. Negara-negara pada awalnya dibangun atas sistem monarki, dan kota sebagai representasinya ikut mencerminkan sistem ini. Raja dan keluarganya adalah gambaran kuasa, maka harus dipisahkan kedudukannya dengan rakyat jelata. Maka, kota dibagi menjadi 2 yaitu, komplek istana dan kuil di atas bukit, lalu perumahan warga di kakinya. Bagian atas tertata, sementara bagian bawahnya dibiarkan apa adanya. Dalam kehidupan di kota, pemerintah adalah aktor, sementara rakyatnya adalah figuran dibelakangnya. Maksudnya, dinamika kota yang terjadi ada karena kehendak raja, kemudian rakyatnya menikmati atau menjadi korban dari perubahan yang terjadi, mungkin dengan sedikit hak untuk menuntut balas. Selama 17 abad selanjutnya, manusia dan kota melewati masa abad kegelapan, zaman feodal, dan zaman pertengahan, namun prinsipnya tetap sama. Raja tetap menjadi pembentuk kota, walaupun mung kin hal ini tidak terlalu berpengaruh di kota-kota dengan budaya maju pada zamannya; Alexandria, Baghdad, Cordoba, dan
Constantinople. Mungkin kita tetap harus berterimakasih kepada para cendekiawan Inggris dan para borjuis Perancis, atas andil mereka untuk menggerakkan revolusi. Teknologi pada satu pihak, dan sistem sosial di pihak yang lain. Atas kedua revolusi ini, perubahan besarbesaran pada aspek-aspek kehidupan kota benar-benar terjadi. Nilai-nilai dan hak mengutarakan pendapat yang pada awalnya mulai muncul secara masif pada zaman Renaissance, berkembang dengan pesat akibat kedua revolusi ini. Efeknya menjalar sampai sekarang, dimana rakyat akhirnya berani dan berhak untuk ikut andil dalam menentukan arah perkembangan kota. Dengan munculnya profesi perencana kota pada awal abad 20 dan meledaknya tren untuk membentuk berbagai komunitas, kota menjadi tempat yang semakin majemuk dan berwarna. Tentu kita mengenal bagaimana kemudian komunitas-komunitas ternama seperti Greenpeace, WWF, Earth Hour, dan sebagainya yang kemudian mengakibatkan berbagai perubahan yang cukup berdampak bagi kota-kota di dunia. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah komunitas-komunitas sosial yang ada di Indonesia memiliki peran serupa? Atau apakah mereka memiliki peran unik tersendiri? Dan kemudian, bagaimana posisi mereka dalam perkembangan kota? Di edisi kali ini, RUANG akan membahas mengenai sisi lain kota, yaitu sisi geliat dan gerak komunitaskomunitas masyarakat dalam menggerakkan kota yang banyak tidak kita sadari. Seperti biasa, RUANG memiliki benyak rubrik seperti opini, infografis, local news, resensi buku, esai foto, dan pastinya profil komunitas. Ada banyak pula rubrik lain yang menarik. Jadi, silakan duduk santai, seduh kopi, dan selami Ruang edisi kali ini!
#11 | RUANG HMT PWK UGM
03
Yogyakarta
Utara
& Selatan
Yogyakarta
foto: universityhoteljogja.com
Oleh: Chrisye Saragih
foto: ayomlaku.com
Y
dapat menunjang ogyakarta dikenal aktivitas wisata di Kota dengan kota yang kaya Yogyakarta bagian akan wisata budaya yang selatan. indah dan menarik. Setiap Realisasi dari upaya tahun, jumlah wisatawan yang tersebut adalah melalui masuk ke Kota Yog yakarta d i b a n g u n ny a PA S T Y mengalami peningkatan, seperti (Pasar Satwa dan yang tercatat dalam dokumen T a n a m a n H i a s Kota Yogyakarta Dalam Angka. Yogyakarta), XT Square, Namun, daerah persebaran dan Terminal Giwangan wisata di Kota Yogyakarta tidak guna menarik perhatian merata. Kota Yogyakarta bagian p a ra wisat awa n ya ng utara dipenuhi oleh para datang ke Kota wisatawan yang datang dari Yogyakarta. Namun pada dalam maupun luar Indonesia. kenyataannya, usaha Di sisi lain, Kota Yogyakarta yang dilakukan b a g i a n s e l at a n c e n d e r u n g pemerintah tidak sedikit bahkan tidak dikunjungi Sumber data: Kota Yogyakarta Dalam Angka (diolah) mendapatkan respon oleh para wisatawan. positif dari masyarakat Karena letak bandara yang maupun wisatawan. Hanya sedikit masyarakat dan berada di bagian utara dari kota yogyakarta, yakni di wisatawan yang mengetahui keberadaan wisata-wisata Kabupaten Sleman, para wisatawan cenderung akan baru tersebut. Hal yang cukup kontras ini dipengaruhi mengunjungi Kota Yogyakarta bagian utara. Selain itu, oleh beberapa faktor yang menghambat ikon-ikon utama Kota Yogyakarta mayoritas berada di berkembangnya wisata di Kota Yogyakarta bagian bagian utara, seperti halnya Malioboro dan Tugu Jogja. selatan, antara lai jaraknya dari pusat kota, masih Ikon ini telah menjadi suatu titik wisata yang wajib kentalnya budaya yang dianut oleh dikunjungi oleh para wisatawan. Negatifnya, hal ini masyarakat menjadikan sikap yang kurang membuka membuat sektor wisata Jogja hanya berfokus pada Kota hal-hal baru, kurangnya akses transportasi, dan tingkat Yogyakarta bagian utara. Oleh karena itu, sebagai upaya kepadatan penduduk Kota Yogyakarta bagian selatan solutif atas permasalahan tersebut, pemerintah yang tergolong rendah. membangun beberapa kawasan wisata yang diharapkan
04
RUANG | #11 HMT PWK UGM
foto: antaranews.com
Oleh: Chrisye Saragih
Pembangunan XT Square
Rugi Besar-Besaran X
pedagang pun menjadi enggan untuk berjualan di sana. T Square merupakan kawasan wisata di Kota Mengapa hal ini terjadi? Yogyakarta bag ian selatan berupa pusat Kota Yogyakarta identik dengan wisata penjualan produk-produk hasil seni dan budayanya. Namun kenyataannya, tingginya angka kerajinan masyarakat Yogyakarta. XT Square atau yang wisata yang berkunjung mayoritas lebih tertarik pada sering juga disebut PSKY (Pusat Seni dan Kerajinan destinasi wisata di Kota Yogyakarta bagian utara. Yogyakarta) dibangun di bekas lahan Terminal Bus Malioboro dan Tugu Jogja menjadi ikon utama kota Umbulharjo dengan tujuan menghidupkan aktivitas Jogja yang dikenal baik oleh masyarakat serta kawasan wisata yang ada pada internal maupun eksternal Jogja. Oleh bagian selatan Kota Yogyakarta atau “Hingga saat ini, karena itu, para wisatawan cenderung dengan kata lain edisi kedua dari Malioboro. XT Square tidak akan mengunjungi Kota Yogyakarta bagian utara terlebih dahulu. Terdapat tiga zona utama lagi digunakan Dalam pembangunan XT Square, pada XT Square, yaitu zona kerajinan 1 banyak masalah yang terjadi dan harus dan kerajinan 2, zona nusantara, dan sebagai pusat dihadapi oleh Pemkot Yogyakarta. zona kuliner. XT Square ini terdiri atas perbelanjaan seni Tercatat bahwa Pemkot Yogyakarta 264 kios yang merupakan wadah bagi para pengusaha Usaha Kecil maupun budaya, mengalami kerugian sebesar Rp 2,436 m i l i a r. S e l a i n k a r e n a k e g a g a l a n Menengah (UKM) seni dan kerajinan Yogyakarta untuk menjual produk- tempat ini layaknya pembangunan Malioboro edisi 2 ini, kerugian juga disebabkan karena para produk mereka secara terpadu dan tempat tak investor yang cenderung tidak berani terpusat. Selain itu, XT Square juga berpenghuni. menanamkan modal pada kawasan ini menghadirkan wisata museum tiga karena sedikitnya jumlah pengunjung. dimensi yaitu De Mata Trick Eye Memang tidak mudah untuk mengalihkan perhatian Museum dengan tujuan mening katkan jumlah wisatawan yang telah 'betah' dengan sektor wisata di wisatawan yang masuk. Kota Yogyakarta bagian utara. Selain itu, permasalahan Namun, usaha pemerintah dalam menarik transportasi dan aksesibilitas juga menjadi masalah perhatian para wisatawan tidak mendapat respon utama kurang berhasilnya pembangunan sektor wisata positif dari wisatawan. Bagi masyarakat luar Jogja, nama di Kota Yogyakarta bagian selatan. Hingga saat ini, XT XT Square sendiri mungkin belum pernah terdengar Square tidak lagi digunakan sebagai pusat perbelanjaan dan masih banyak masyarakat yang belum mengetahui seni maupun budaya, tempat ini layaknya tempat tak keberadaan wisata ini. Suasana XT Square hingga saat berpenghuni. ini masih sepi dari pengunjung, bahkan hampir tidak ada aktivitas maupun kegiatan di dalamnya. Karena sepi akan pengunjung, para
#11 | RUANG HMT PWK UGM
05
SISI LAIN KOTA
Oleh: Aulia Hidayatul Kirom
J
ika mendengar kata “kota”, banyak orang akan membayangkan bagaimana suasana hirukpikuknya, macet dimana-mana, mall-mallnya yang megah, gedung-gedung yang menjulang tinggi, perumahan-perumahan baru, ser ta beberapa “kemeriahan” lain yang sering kita temui di kota. Namun, kota itu banyak sisinya, banyak cantiknya. Kota tidak hanya tentang infrastruktur saja, tetapi kota juga memiliki unsur sosial dan budaya yang tersimpan di sisi-sisi kota yang tidak terduga. Jauh dari hiruk-pikuk, sehingga jarang orang yang mengetahuinya. Menurut saya, jika kita melihat kota dengan sisi lainnya maka kita akan menemui banyak keunikan yang tersembunyi di sana. Seperti misalnya budaya yang masih kental bersembunyi di balik kesibukan kegiatan kota, serta keindahan-keindahan yang tertutupi oleh “kebisingan” kota itu sendiri. Ada banyak potret kehidupan yang menghiasi sudut-sudut kota dan menjadi suatu keunikan. Ditambah pula, dengan adanya gerakan-gerakan dari suatu kelompok maka akan tercipta suatu ke-khas-an dan kebermanfaatan bagi kehidupan masyarakat sekitar. Bahkan dengan pemanfaatan yang baik dapat dijadikan sebagai sumberdaya kawasan yang baik. Seperti contohnya Kelurahan Sosromenduran yang terletak di Kawasan Malioboro, selain wisata Jalan Malioboro yang terkenal itu, di sana juga memiliki sisi gelap yang tersembunyi yaitu Jalan Pasar Kembang. Namun, dengan adanya gerakan dari komunitas di sana, diadakanlah Kampung Traveller (Kampung Sosrowiyajan) yang berwarna sehingga menjadi destinasi bagi para traveller untuk berkunjung. Saat ini kawasan ini telah menjadi destinasi wisata yang lebih “terang” sehingga menjadi sumber income yang besar bagi Kelurahan Sosromenduran tersebut. Meskipun demikian, ada juga sisi lain kota yang mulai kehilangan ciri khas dan unsur budayanya. Seperti Kawasan Kotabaru, yang merupakan kawasan yang didesain oleh Belanda dan merupakan kawasan garden city sehingga ini menjadi keunikan dari kawasan tersebut. Tetapi di sisi lain, seiring berjalannya waktu kawasan ini berubah menjadi daerah komersil dan mulai kehilangan keunikannya karena mulai banyak hotel dibangun di sana.
Di sisi lain, ada banyak komunitas yang menaruh perhatian ke kampung -kampung untuk mengembangkan sumber daya manusia melalui para warganya. Sebagai contoh adalah Komunitas Taabah yang memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada warga kampung Ledhok Timoho. Kampung tersebut merupakan kampung yang sejarah munculnya karena kebutuhan tempat tinggal bagi para anak jalanan dan korban penggusuran. Dengan diberikannya pelatihan yang demikian, skill para warga menjadi lebih terasah sehingga dapat mereka gunakan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Beranjak dari hal-hal di atas, pada zaman sekarang ini, sulit ditemui permainan-permainan tradisional. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab permainan tradisi tersebut diambang kepunahan. Namun di sisi lain, di Kota Yogyakarta ini terdapat sebuah komunitas yang bergerak dan menyuarakan untuk tetap melestarikan permainan tradisional, yaitu Komunitas Ketjilbergerak. Komunitas ini merupakan komunitas kreatif berbasis anak muda yang berkomitmen pada kerjakerja pendidikan dengan metode seni dalam wilayah kebudayaan yang dilakukan secara kolaboratif dan independen. Cara mereka menyuarakan pendapat sangatlah unik yakni dengan berdandan sebagai anak kecil kemudian memainkan permainan anak-anak di pinggir jalan atau lampu merah sehingga menarik perhatian banyak orang. Hal-hal di atas baru sebagian kecil dari berbagai macam keunikan kota di sekitar kita. Mari kita tangkap sisi lain kota, sehingga kita bisa lebih mengenali kota yang kita tinggali. Selain itu, dengan adanya perhatian dari masyarakat dan komunitas-komunitas maka dapat terciptalah sisi lain kota yang lebih unik juga sisi lain kota yang lebih menarik.
Foto: Eksotisjogja.com/Ruang
06
RUANG | #11 HMT PWK UGM
WISMANYA
TUNAWISMA Oleh: Winda Rahmatya
S
alah satu sasaran yang ingin dicapai dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) adalah mengurangi tingkat kemiskinan dalam segala bentuk. Fakta dari United Nation, 42 ribu orang harus meninggalkan rumahnya untuk mencari perlindungan di tahun 2014. Kemiskinan erat hubungannya dengan tunawisma atau gelandangan. Tunawisma sering ditemukan di kotakota besar. Di selasar toko, di kolong jembatan, di bantaran sungai, di pinggir rel kereta, di sisi lain kota. Menurut Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, populasi gelandangan, pengemis, dan pemulung secara nasional di tahun 2007 berjumlah 61.090 dan pada tahun 2011 berjumlah 194.908. Kenaikan sebesar 17% ini menjadi pengingat bahwa masalah ini masih menjadi tugas besar pemerintah. Di Indonesia, tugas ini menjadi tugas Kementerian Sosial yang harus memberikan pelatihan kepada para tunawisma agar memiliki keterampilan khusus dan dapat memperbaiki nasib hidup mereka. Masalah homelessness ini bukan hanya menjadi masalah ekonomi, tetapi juga masalah pendidikan, kesehatan, dan moral. Pertanyaannya adalah apakah cukup jika hanya pemerintah yang turun tangan akan hal ini? Di San Diego, Amerika Serikat, terdapat kawasan penampungan tunawisma yaitu St. Vincent de Paul. St. Vincent de Paul dibangun untuk mengurang i tunawisma dan memberikan tempat tinggal yang lebih layak untuk mereka. Selain mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak, disini mereka juga diberikan pelayanan yang dapat membantu mereka mendapatkan pekerjaan yang layak juga pelayanan kesehatan yang memadai. Berbeda dengan di San Diego, di New York 127.652 tunawisma, baik wanita dan anak-anak hidup di
penampungan di kota New York. 45.000 diantaranya merupakan anak-anak. New York City Department of Homeless Services (DHS) merupakan sebuah agensi yang melayani tunawisma di New York. Dibentuk pada tahun 1993, kota New York menjadi kota pertama yang fokus pada isu tunawisma ini. Dirk Kempthorne, Menteri Dalam Negeri Amerika Serikat yang ke-49, mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat memecahkan sendiri masalah-masalah terkait fasilitas permasyarakatan ataupun tempat penampungan tunawisma, dibutuhkan mitra dan komunitas terkait. Salah satu agensi, The Bowery Mission, telah membantu New Yorkers yang kurang beruntung sejak tahun 1879. Lima prinsip yang The Bowery Mission pegang untuk membantu tunawisma ini adalah mengembalikan kepercayaan, keluarga, ketenangan, pekerjaan, tempat tinggal, dan masa depan para tunawisma. Sehingga para tunawisma memiliki harapan hidup kembali. Tetapi apa yang dihadapi tunawisma di negara maju dan negara berkembang berbeda? Tingkat pendidikan yang rendah di negara berkembang mempengaruhi pola pikir masyarakat yang ada. Berdasarkan PP No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pe n g e m i s d i s e b u t k a n b a hwa s a l a h s at u c a ra penanggulangan adalah dengan berbagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan, serta pembinaan. Pemerintah juga m e l a k u k a n u s a h a re h a b i l it at i f y a n g m e l i p u t i penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, dan transmigrasi yang diharapkan dapat mengembalikan harapan hidup para tunawisma. Namun, masih kita temukan para gelandangan ini menggelandang di sudut-sudut kota dan menjadi sisi lain kota.
#11 | RUANG HMT PWK UGM
09
Foto: assets.kompas.com
sumber foto: aktual.com
MENYOAL PERSAMPAHAN KOTA oleh: Novita Aini
Sejak tahun 2007, lebih dari separuh penduduk dunia yang saat ini mencapai 6,2 milyar telah tinggal di perkotaan. Diproyeksikan pada tahun 2020 mendatang, sekitar 60% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Percepatan urbanisasi ini, khususnya terjadi di negaranegara berkembang, seperti Indonesia yang semakin tidak terelakkan. Tahun 2010 ditandai sebagai momen di mana Indonesia sudah menjadi negara yang “mengkota�, karena menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2009, lebih dari 50% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Ini berarti lebih dari 120 juta penduduk Indonesia kehidupannya tergantung di lingkungan kota. Diproyeksikan, bahwa pada tahun 2050 nanti, sekitar 68% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Dari sisi ekonomi, perkotaan di Indonesia menyumbangkan Produk Domestik Bruto sebesar 61,1% pada tahun 1980-an dan semakin meningkat menjadi 78,1% pada tahun 2008. Pesatnya pertumbuhan kota-kota di Indonesia, selain membawa keuntungan dengan pertumbuhan kota-kota tersebut menjadi kota industri, pusat kegiatan, pusat perdagangan, dan lain-lain, ternyata juga membawa masalah-masalah perkotaan. Masyarakat rural kebanyakan melihat daerah perkotaan sebagai tempat yang lebih baik dari daerahnya. Padahal, kota juga memiliki masalahnya sendiri. Salah satu masalah yang menarik perhatian akhir-akhir ini adalah masalah persampahan. Menurut perkiraan dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020, jumlah sampah di 384 kota di Indonesia akan mencapai 80.235,87 ton setiap harinya. Dari sampah yang
08
RUANG | #11 HMT PWK UGM
dihasilkan tersebut diperkirakan sebesar 4,2% akan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebanyak 37,6% dibakar, dibuang ke sungai sebesar 4,9%, dan tidak tertangani sekitar 53,3%. Dari sekitar 53,3% sampah yang tidak ditangani dibuang dengan cara tidak saniter dan menurut perkiraan National Urban Development Srtategy (NUDS) tahun 2003 rata–rata volume sampah yang dihasilkan per orang sekitar 0,5 – 0,6 kg/hari. Sebagai contoh, Kota Yogyakarta, dari data Badan Lingkungan Hidup (BLH), rata-rata sampah yang dihasilkan oleh Kota Yogyakarta berkisar pada angka 210-220 ton. Jumlah itu akan bertambah jika menghadapi masa-masa liburan dan Yogyakarta dibanjiri wisatawan. Jumlah sampah yang dihasilkan bisa mencapai 240 ton, dan menjadikan Kota Yogyakarta sebagai pemasok sampah terbesar di TPA Piyungan. Permasalahan sampah ini merupakan permasalah serius perkotaan. Ketidakmampuan suatu kota untuk mengelola sampahnya, dapat berakibat buruk bagi masyarakat perkotaan. Tetapi, permasalahan ini tidak dapat dipandang hanya dari sisi pengelola kota atau pemerintah. Tetapi juga dapat dilihat sebagai akumulasi dari percepatan penduduk kota dan perkotaan yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan sampah ini harus dilihat sebagai masalah serius yang harus segera ditangani, agar kota dan perkotaan tidak hanya memiliki daya tarik yang tinggi, tetapi juga memiliki daya dukung yang mampu mensupport keberlangsungan hidup masyarakat di dalamnya.
Sisi Lain Malioboro:
Pengemis dan Pengamen Oleh: Mutia Penita Putri
M
alioboro adalah sebuah kesyahduan. Jalan memanjang antara Stasiun Tugu dan Keraton Jogja ini sangat terkenal dengan shopping areanya yang selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun wisatawan asing di siang maupun malam hari. Malioboro yang memiliki arti “karangan bunga� ini merupakan salah satu ikon dari Kota Yogyakarta. Tidak lengkap rasanya jika ke Yogyakarta tanpa mengunjungi Malioboro. Malioboro terdiri atas rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di tiap benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pudar oleh zaman. Eksotisme Malioboro terus berpendar hingga kini dan terus menginspirasi banyak orang serta memaksa mereka untuk ingin kembali ke Yogyakarta.
Tapi sayangnya, dibalik keindahan itu, masih terdapat beberapa pemandangan yang membuat para pengunjung prihatin melihatnya. Salah satunya adalah banyaknya pengamen jalanan maupun pengemis yang duduk meminta-minta di pinggir jalan dengan tampang memelas dan t a n g a n y a n g menengadah ke atas. Tidak sedikit dari pengemis-pengemis tersebut memiliki ďŹ sik yang masih sehat dan kuat. Apakah ini hanya karena kemalasan? Mengamen tentu bukanlah sebuah pekerjaan yang salah. Yang salah adalah sikap para pengamen yang terkadang terlalu memaksa. Pengamen yang silih berganti dalam waktu yang dekat tentunya menimbulkan ketidaknyamanan bagi para pengunjung Malioboro. Ketenangan dan kenyamanan menjadi berkurang dan tidak sedikit merasa terganggu dan diperburuk dengan adanya pengamen waria yang sering menggoda dan mengganggu para pengunjung. Pengamen atau happening art, sekali lagi, bukan merupakan sesuatu yang salah. Bahkan, terkadang juga dilakukan oleh beberapa orang sebagai hobi. Walaupun demikian, tak semua pengunjung merasa nyaman akan hal ini. Oleh karena itu, diperlukan adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk menertibkan hal ini karena selain mengganggu para pengunjung, juga akan menjadi sebuah pandangan baru bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia.
#11 | RUANG HMT PWK UGM
09
PROJECT CAMPAIGN:
#AYOLIHATSINI Oleh: Ardiwiryawan Wibowo
Beberapa bulan terakhir, akun Instagram @hmtpwk_ugm sering membagikan postingan tentang “Sisi Lain Kota”. Mulai dari keadaan Gang Dolly pada saat ini hingga festival yang diadakan di Malioboro. Kota merupakan suatu daerah yang didalamnya terdapat berbagai macam kegiatan. Seolah semuanya berkumpul menjadi satu di suatu kota. Masyarakat elit hingga masyarakat berekonomi rendah semuanya dapat ditemui di sudut-sudut kota. Sebelumnya, kita sering menilai suatu kota hanya dari luarnya saja atau hanya sekadar berita yang muncul dari televisi. Televisi merupakan media yang seringkali hanya mencari sebuah pamor, agar banyak masyarakat yang melihatnya. Sehingga berita yang ditampilkan tentunya merupakan berita yang sedang hangat – hangatnya. Atau hanya dapat menampilkan berita tentang program yang dilakukan petinggi – petinggi di Indonesia. ion making yang juga berdampak pada mereka. Karena fokus untuk menampilkan berita yang sedang hangat, televisi seringkali memberitakan hal-hal yang buruk dan melupakan segala sesuatu yang baik. Seperti misalnya Gang Dolly yang pada saat ini sudah menjadi lebih baik. Namun seolah-olah berita dilupakan oleh televisi. Selain itu, kegiatan yang dilaksanakan oleh komunitas – komunitas juga jarang sekali terdengar di televisi. Oleh karena itu, HMTPWK mengajak semua orang untuk turut membagikan cerita-cerita tentang sisi lain kota. Agar masyarakat melihat suatu kota tidak hanya dari luar atau sekadar dari televisi. Agar semua orang tahu tentang keadaan kota secara menyeluruh dan juga kegiatan di dalam kota yang selama ini belum diketahui.
sumber foto: instagram.com/hmtpwk_ugm
10
RUANG | #11 HMT PWK UGM
DAYA TARIK BARU
PEDESTRIAN MALIOBORO Oleh: Irsyad Abdul Aziz
Malioboro merupakan salah satu jalan yang menjadi ikon penting wisata di Kota Yogyakarta. Malioboro adalah salah satu tempat wisata yang pasti akan terbesit di benak kita jika ditanya tentang tempat wisata di Yogyakarta dan menjadi sangat terkenal di kalangan wisatawan karena menjadi salah satu pusat oleh-oleh dan kuliner khas Kota. Namun, belakangan ini, daya tarik dari Malioboro tidak hanya oleh-oleh atau kulinernya saja tetapi juga pedestriannya yang menjadi lebih sedap dipandang dan lebih nyaman untuk digunakan oleh para wisatawan terutama dan pejalan kaki. Sejak diresmikan pada tanggal 22 Desember 2016 oleh pemerintah Kota Yogyakarta, Jalan Malioboro kini memang sangat terasa diperuntukan bagi para wisatawan dan pejalan kaki. Kini, pedestrian di Jalan Malioboro dibuat menjadi lebih luas dan terasa lebih berseni serta nyaman digunakan oleh kaum difabel karena pengadaan jalur kuning di tengah-tengah trotoar yang di peruntukan bagi penyandang tuna netra. Malioboro juga kini memiliki bangku-bangku yang tersusun rapi di sepanjang jalan untuk para pengunjung agar dapat menikmati keindahan jalan baik siang ataupun malam hari sambil bersantai. Pengadaan lampu-lampu antik juga menambah rasa keindahan tersendiri di Kawasan Malioboro. Peremajaan yang dilakukan di sepanjang Jalan Malioboro kini menjadikannya lebih ramah bagi pejalan kaki dam keindahan yang ditawarkan membuatnya banyak didatangi wisatawan tidak hanya untuk berbelanja atau berwisata kuliner, tetapi juga untuk sekadar berjalan-jalan dan menikmati indahnya suasana kehidupan yang ada. Tidak sedikit juga ditemukan para wisatawan yang datang hanya untuk berfoto di tengah-tengah suasana Malioboro yang baru karena saat ini Malioboro telah menjadi objek yang sangat menarik untuk dipamerkan di media sosial. Perubahan Malioboro ini merupakan sesuatu yang sangat positif bagi warga sekitar maupun wisatawan yang datang karena Malioboro merupakan ruang publik yang sangat dibutuhkan di Yogyakarta.
Foto oleh : Varrel Vendira
Foto oleh : Rizkika Zulhijjiani
Foto oleh : Irawan KJAC
Kota-kota besar, seperti Yogyakarta, sudah seharusnya memiliki ruang-ruang publik yang cukup dan memadai bagi masyarakatnya karena ruang publik adalah salah satu kebutuhan kota untuk menghidupkan masyarakatnya dengan berbagai aktivitas sosial di dalamnya sehingga kota tersebut akan menjadi lebih hidup dan lebih sehat secara sosial serta membahagiakan masyarakat sekitar dan wisatawan yang berkunjung ke tempat tersebut.
#11 | RUANG HMT PWK UGM
11
D
idasari oleh adanya permasalahan yang dihadapi oleh perkampungan, seperti masalah sampah, infrastruktur, hingga penataan permukiman, sekumpulan ibu-ibu akhirnya berinisiatif untuk membentuk suatu perkumpulan kecil yang berusaha mencari solusi atas permasalahan yang ada di sekitar lingkungan mereka. Kegiatan dimulai dengan adanya inisiatif untuk membangun balai desa sebagai tempat berkumpul di kawasan Bantaran Sungai Winongo. Semakin lama perkumpulan ini semakin besar dan akhirnya membentuk sebuah komunitas yang disebut Paguyuban Kali Jawi. Paguyuban ini menjadi perkumpulan antarwarga Bantaran Sungai Winongo dan Gajah Wong yang diprakarsai oleh Ibu Susi. Penataan permukiman pun semakin ditingkatkan. Menurut warga, faktor utama dalam penataan permukiman di bantaran kali adalah potensi ekonomi warga sebab kebanyakan masyarakat di bantaran kali memiliki mobilitas dan mata pencaharian yang terbatas. Dinamika pembangunan antara pemda dan warga pun terjadi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan pembangunan antara pihak pemda dan masyarakat sekitar yang acapkali terjadi. Dalam mengembang kan rencana-rencana pembangunan yang baru, warga mengakui bahwa tidak semua usulan dari mereka dapat dilaksanakan. Maka dari itu, mereka pun harus bekerja sama dengan pihak pemerintah agar dapat terealisasikan dengan baik tanpa menyalahi aturan dan kewenangan yang berlaku. Pada akhir tahun 2015, paguyuban ini berhasil membangun sebuah instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di wilayah RT 01 Kelurahan Kricak, tepatnya di bantaran Sungai Winongo. Warga juga memaparkan upaya yang mereka lakukan kepada DPRD, Kepala Ciptakarya Pekerjaan Umum, dan Kepala Bappeda Kota Yogyakarta. Hasilnya, pihak PU berkomitmen mewujudkan rencana komunitas, yaitu menyelesaikan masalah sanitasi dengan sistem
IPAL komunal untuk 60 kepala keluarga. Warga di bantaran Kali Gajah Wong, daerah Mrican, Kota Yogyakarta, juga telah menemukan solusi keterbatasan area untuk 160 KK dengan 'rumah tumpuk'. Model ini pun dinyatakan cocok dengan program rusun dan M3K (munggah , mundur, madhep kali alias naik, mundur, menghadap sungai) yang diusulkan pemerintah daerah dan telah disusun detail engineering design (DED)-nya sehingga pemerintah pun berusaha akan mewujudkan dan mempertimbangkan realisasi rencana tersebut. Salah satu pertimbangan penting warga dalam merencanakan sesuatu adalah tindakan atau sikap untuk menghadapi bencana. Warga berusaha mengenali bencana dan menentukan tipe serta periodisasinya. Misalnya untuk mengantisipasi bencana banjir, warga melakukan analisis mengenai kapan biasanya terjadi, berapa lama, dan spot yang rawan mengalami banjir. Dengan begitu, warga bisa menyusun langkah antisipasi seperti pemasangan dan pengukuhan tanggul. Dengan adanya keinginan untuk berubah dan solidaritas yang tinggi, usulan warga tentang kampung bantaran sungai yang ideal pun diusahakan untuk dapat direalisakan. Kini, paguyuban yang beranggotakan warga bantaran Sungai Winongo dan Gajah Wong ini telah beranggotakan lebih dari 150 orang dan didominasi oleh ibu-ibu. Dengan adanya iuran dan koperasi, dana yang telah terkumpul mencapai Rp 75.000.000. Uang itu kemudian digulirkan untuk merevitalisasi rumah warga dan membangun balai di sekitar kawasan permukiman bantaran sungai. Kegiatan ini sangat membuahkan hasil di mana telah ada beberapa rumah yang direvitalisasi total sehingga menjadi layak untuk dihuni. Hal tersebut menjadi salah satu wujud konkrit keberhasilan yang telah dilakukan paguyuban ini dan mening katkan minat warga sekitar untuk bergabung. Paguyuban ini pun telah menjadi salah satu inspirasi utama terbentuknya komunitaskomunitas sejenis di daerah lain di sekitarnya.
Paguyuban Kali Jawi
Mandiri di Bantaran Kali oleh: Carissa Aurelia
12
RUANG | #11 HMT PWK UGM
komunitas di yogyakarta yang (mungkin)kamu ketahui oleh: Farhan Anshary
Komunitas Senja Bersastra di Malioboro
foto: www.2.bp.blogspot.com
Malioboro memang lekat dengan suasana budaya yang menginspirasi banyak penikmat sastra. Kalau sempat, cobalah datang ke Malioboro pada hari minggu pekan ketiga. Di sana, kita akan menemukan para peminat sastra berkumpul untuk membaca atau bermusikalisasi puisi secara bergantian. Uniknya, menurut keterangan dari www.tirto.id, semua orang yang berminat boleh terlibat dalam komunitas ini.
Info Cegatan Jogja
foto: www.brilliio.net
Salah satu grup berbasis media sosial yang populer di kalangan warga Yogyakarta adalah ICJ atau Info Cegatan Jogja. Mulanya, grup ini berfungsi untuk saling berkabar mengenai kondisi lalu lintas terkini di Kota Jogja. Kemudian, komunitas ini berkembang secara pesat dan menjadi wadah untuk meningkatkan solidaritas para anggotanya, seperti bersama-sama membantu motor yang mogok, info kecelakaan, mencari tambal ban terdekat, dan sebagainya. Untuk mengetahui lebih lanjut, silahkan cek grup Facebook “info cegatan jogja�, instagram @infocegatan_jogja, atau akun Line @hth4470i.
foto: http://kompas.com/
Jogja Nyah Nyoh merupakan sebuah komunitas sukarela untuk menambal lubang-lubang di jalan setiap hari Rabu. Komunitas ini diinisiasi oleh keresahan 10 pemuda melihat lubang-lubang jalan yang sering disepelekan tetapi berakibat fatal. Cara kerjanya terbilang sederhana, yaitu menambal lubang jalan dengan alat dan bahan seadanya. Komunitas ini dapat dihubungi melalui grup Facebook JNN Jogja Nyoh Nyoh atau Instagram @jnn.jogjanyohnyoh
Jogja Nyah Nyoh
#11 | RUANG HMT PWK UGM
13
SISI LAIN DARI
KOTA DAN PERKOTAAN oleh: Edy Abdurrahman Syahrir
“Pembangunan kota tidak hanya menjanjikan kemegahan tapi juga mencipkana sisi lain yang ironi bagi warga kota�
K
emegahan pembangunan kota yang terus digencar-gencarkan oleh pemerintah tidak berarti dapat menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada. Pembangunan yang semakin gencar itu masih dapat menumbuhkan permasalahan sosial pada sisi lain dari kota dalam kemegahan pembangunannya, seperti semakin peningkatan angka kemiskinan, urbanisasi dan migrasi, munculnya daerah marjinal, permukiman kumuh, tingginya angka pengangguran, polusi udara, kebisingan, kriminalitas, dan sebagainya. Jika diamati dalam aktivitas keseharian masyarakat perkotaan saat ini, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan kehidupan dan peng hidupan yang layak. Keadaan seperti itu merepresentasikan bahwa di balik keindahan kota dan perencanaannya yang begitu masif dilakukan, ternyata masih terdapat banyak orang yang menggantungkan hidupnya dengan pekerjaan dan tempat tinggal yang
14
RUANG | #11 HMT PWK UGM
sebenarnya tidak layak lagi untuk dihuni. Hal itu terjadi pada masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah karena tidak memiliki pilihan lain selain tetap bertahan pada keadaannya sehingga tidak heran saat ini apabila di tengah pembangunan kota yang begitu pesat ini masih terdapat masyarakat yang termarginalkan. Dengan demikian, walaupun pembangunan kota dilakukan secara masif oleh pemerintah untuk menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat, tidak semua layanan untuk masyarakat terakomodasi oleh upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah terkait. Inilah kondisi yang saat ini terjadi; di sisi lain kota, masih terdapat banyak masyarakat menengah ke bawah yang termarginalkan sebagai dampak dari pembangunan kota.
Resensi Film:
the dark knight Genre Jadwal rilis Sutradara Produser Durasi
G
: Action Adventure : 18 Juli 2008 : Christopher Nolan : Christopher Nolan, Charles Roven, Emma Thomas : 152 menit
otham City merupakan sebuah kota dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Kriminalitas yang marak terjadi adalah tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme. Tingginya tingkat kriminalitas tersebut berdampak langsung pada menurunnya moralitas masyarakat Gotham City dan juga hilangnya harapan masyarakat terhadap Gotham City yang lebih baik. Masyarakat beranggapan bahwa kasus kriminalitas yang terjadi sudah terlalu parah dan tidak dapat membaik, penegak hukum yang diharapkan dapat menegakkan hukum secara adil malah ikut serta dalam kasus kolusi, korupsi dan nepotisme. Alhasil,
masyarakat mengalami ketidakadilan dan mulai kehilangan kepercayaan. Salah seorang dari keluarga terpandang di Gotham City, keluarga Wayne yaitu Bruce Wayne merasakan secara langsung ketidakdilan yang terjadi di Gotham City. Bruce Wayne mencoba untuk memperbaiki keadaan Gotham City dengan memunculkan sebuah tokoh pahlawan yang dapat memperbaiki keadaan Gotham City secara keseluruhan dan dijadikan role model dalam penegakan keadilan. Tokoh tersebut ialah Batman. Batman diharapkan dapat mengembalikan kembali harapan masyarakat, bahwa keadaan Gotham City akan membaik. Ditengah perjalanan, munculah tokoh perlawanan yang sangat cerdik, yaitu Jokker. Jokker selalu berusaha mengubah citra Batman yang tadinya sebagai simbol harapan Gotham City menjadi tokoh yang sama seperti penegak hukum lainnya, yang memiliki sifat egois, emosional dan serakah. Tujuan Jokker adalah untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap Gotham City dan menghilangkan harapan akan membaiknya Gotham City. Segala kejahatan yang dilakukan oleh Jokker dan penegak hukum lainnya terkalahkan oleh kebenaran yang selalu ditegakkan Batman. Alhasil, masyarakat Gotham City kembali memiliki harapan dan cita-cita baru, tentunya kembali optimis bahwa Gotham City akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Yaitu kota yang aman, damai, dan adil.
#11 | RUANG HMT PWK UGM
15
One person’s craziness, is another person’s reality Tim Burton
HMTPWK “PRAMUKYA ARCAPADA” UGM hmtpwk.ft.ugm.ac.id