Ruang edisi #2

Page 1

02

EDISI

MINGGUAN Minggu II April2015

Eko Bidihardjo:

Kota Ibarat Jasad Hidup

--TOKOH

PROLOG “Kota seperti halnya kata yang dilontarkan manusia� -Lewis Mumford

Tidak ada yang menyangkal bahwa menggeluti bidang perencanaan kota berarti bekerja dengan konsekuensi kompleksitas dan dinamika masyarakatnya. Ia terbentuk dari kepentingan individu yang ternaungi dalam sistem dan regulasi. Berawal dari kepentingan akan pendidikan Pemandangan tembok dari jendela rumah kita tidak dapat memunculkan sekolah, ekonomi dihindari jika kota-kota dirancang tanpa kolaborasi. memunculkan pasar, serta mobilisasi yang menghasilkan jaringan jalan, atau justru malah berlaku sebaliknya. Munculnya pemukiman kumuh, PKL, dan beberapa kerusakan ekologis, mungkin terjadi dengan cara yang Oleh: Retas Amjad kurang lebih sama. Urban behaviour merupakan tema yang kali ini ingin kami angkat. Edisi ini Ruang lebih tertarik melihatnya dari sudut pandang warga. Gesekan Berita mengenai penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) kepentingan yang terjadi di perkotaan diberbagai tempat sudah acap kali kita dengar dan baca. dan bagaimana seharusnya cara Mengganggu visual kota, menghilangkan hak pejalan kaki atas pandang kita dalam menghadapinya. pedestrian dan alasan memutus rantai kemiskinan menjadi Memang belum sampai pada tahap argumen ampuh pemerintah kala menggusur atau kasus yang lebih halus, menertibkan dan merelokasi. Setelahnya, pedestrian solusi yang hendak ditawarkan. Karena kami pun menyadari kamipun masih pun dapat difungsikan, kesan kumuh dapat dihilangkan, berada pada tahap awam. kaum borjuis senang, diatas kebingungan kaum papa mencari ruang-ruang kota yang dapat ia gunakan untuk menyambung Selamat hidupnya. Kemudian kita bertanya, kota ini untuk siapa? Kita Berapresiasi!!! menata kota untuk siapa? Apakah kota hanya milik pemodal, orang-orang kaya itu?

The City Of

Sorrow

...bersambung ke Halaman 2

II, April 2015 Edisi 02

Redaksi: Ardianto Produksi: M Fachri

01


OPINI

.............................................................. Selain perihal gagalnya kota melayani kebutuhan warganya, kota-kota kita memiliki ratusan bahkan ribuan permasalahan lain. Mulai dari intrusi laut ke kawasan pusat kota, kesemrawutan akibat kepadatan lalu-lintas yang melebihi batas, jalan yang lebih ramah bagi kendaraan dibanding bagi manusia, tidak berfungsinya sistem drainase kota, sehingga banjir di musim hujan tak pernah dapat terelakkan, semakin langkanya ruang-ruang terbuka untuk tempat bermain dan paru-paru kota hingga problem hilangnya identitas kota akibat minimnya kesadaran akan sosial, budaya dan lingkungan. Dalam buku ‘Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan dan Perkotaan’ Prof. Eko Budihardjo menulis esai kritik dengan judul ‘Kota yang Pekak’. Dalam tulisan singkat itu Prof Eko Budihardjo mengritik keras perencana kota yang menjadikan kota sebagai mimpi buruk. Menjadikan kota dengan cita rasa elitis, berusaha indah, namun gagal melayani penduduknya. Eko Budihardjo menyertakan tudingan Peter Saunders dalam bukunya, ‘Social Theory and The Urban Question’ bahwa sudah hampir satu abad ini perencanaan tata ruang kota didominasi oleh dambaan suasana ‘Beaux Arts’ yang menekankan pada keindahan, keteraturan dan kebersihan kota atas dasar baku-mutu, norma dan penalaran Barat. Pola semacam ini beranjak dari pemahaman kota sebagai artefak fisik dengan kebutuhan-kebutuhan yang telah digariskan oleh sekelompok teknokratbirokrat yang menyandang predikat Urban managers (Urban Planners). Akar penyebab kesengsaraan dari mayoritas penduduk kota terletak pada perencanaan dan program yang arogan, tegar dan kaku. Serba deterministik, nyaris mekanik, dengan citra dan cita rasa elitis. Kota lantas merupakan potret dari pranata sosial yang represif, tidak akomodatif. Ambisi menjadikan kota yang indah berujung pada obsesi mengejar keindahan artifisial, yang barangkali malah memukul balik citra kota itu sendiri.

02

Akar penyebab kesengsaraan dari mayoritas penduduk kota terletak pada perencanaan dan program yang arogan, tegar dan kaku.” Menghancur leburkan jati diri kota yang khas, unik, berkepribadian. Dalam tulisan ’The City as Environment’ Kevin Lynch berpendapat bahwa penampilan dan wajah kota bagaikan mimpi buruk : tunggal rupa, serba sama, tak berwajah, nir identitas, lepas dari alam, dan sering tidak terkendali, tidak manusiawi. Air dan udaranya kotor, jalan-jalan sangat berbahaya di padati kendaraan, papan reklame mengganggu pemandangan, pengeras suara memekakkan telinga. Jurang kaya miskin menganga, komunitas guyub rukun pecah. Para perencana kota lantas dituduh ikut andil menciptakan kesemrawutan dan kekacauan, seperti kata Saunders : ‘They have not delved enough into the societies for which their plans were intended’. Merencanakan kota memang tidak mudah, selain harus komprehensif, perencana kota dituntut berpikir holistik dan merencanakan kota dengan adil. Mau tidak mau Planner harus menjawab benturan antara pendekatan teknokratis-birokratis, ekonomis-komersial dan humanis. Jika perencana hanya fokus pada satu pendekatan saja, bisa dipastikan rencana ‘kota untuk semua’ akan gagal. Alih-alih memperbaiki, perencanaan dengan satu pendekatan saja bisa jadi akan memperburuk kota. Niat awal ingin membuat The City of Tomorrow (Kota Masa Depan) yang melayani seluruh penduduk kota, malah menjadi The City of Sorrow (Kota Kesengsaraan) yang bisa jadi indah bagi sebagian golongan tapi menyengsarakan dan mendeskreditkan golongan lain –biasanya kaum proletar.

Bahan Bacaan: Budihardjo, Eko. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan. Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 2006 Saunders, P. Social Theory and Urban Question, Hutschinson, 1984 Lynch, Kevin. The City as Environtment Edisi 02 II, April 2015


Eko Budihardjo: Kota Ibarat Jasad Hidup Sebagai seorang lulusan Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Univesitas Gadajahmada, Yogyakarta, tahun 1969, sebagai angkatan pertama, Eko Budihardjo nyaris tidak pernah mendesain bangunan sendirian, sesuai pendidikannya. Tarikan menjadi seorang pengajar dan menekuni bidang perencanaan kota dan wilayah justru lebih kuat. Dan itulah jalan hidupnya.

Eko menyadari panggilan hidupnya memang menjadi pengajar. Namun, meski tak membuka biro konsultan arsitektur, bersama dengan sejumlah koleganya ia terlibat dalam Yayasan Arsitektur Semarang. Di yayasan ini ia masih berkesempatan menerapkan arsitektur yang ditekuninya. ”Dosen itu buka usahanya bareng-bareng. Di yayasan itu pekerjaan, termasuk mendesain bangunan, bersifat kolegial. Misalnya, kami pernah mendesain Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, Perpustakaan Undip, dan Pusat Kegiatan Mahasiswa Undip,” papar dia. Perjalanan hidup Eko kemudian tersedot ke arah perencanaan kota. Ia bukan lagi mendesain bangunan, melainkan merancang tata perkotaan. Oleh karena pada era 1970-an mulai banyak kota yang tumbuh di negeri ini. “Saat itu banyak pekerjaan terkait perencanaan kota. Jurusan Planologi satu-satunya di Institut Teknologi Bandung (ITB). Di Jurusan Arsitektur, kami hanya dapat planologi (ilmu tentang perencanaan kota) selama satu semester,” imbuh mantan Ketua Dewan Kesenian Jateng itu. Bahkan, Eko pun memutuskan lebih menekuni bidang perencanaan kota dengan mengambil Pasca Sarjana Planologi di University of Wales Institute of Science and Technology, Cardiff, Inggris. Ia menjadi lulusan pertama dari Indonesia di universitas itu untuk master of science (MSc) bidang town planning (perencanaan kota). Peluang berkecimpung di bidang perencanaan kota saat ia kembali ke Tanah Air tahun 1978 kian terbuka karena setiap kota harus mempunyai perencanaan kota, master plan (rencana induk).

II, April 2015 Edisi 02

TOKOH Diadaptasi dari: http://www.kompas.com/ Juni 2014 Oleh: Winarto Herusansono dan Tri Agung Kristanto

“Sebetulnya perencanaan kota termasuk disiplin ilmu yang relatif baru. Saya perintis Jurusan Planologi di Undip. Kota kita dirancang dengan terlalu banyak orientasi pada bidang fisik. Tata guna lahan dan jaringan jalan yang terlalu diperhatikan. Ini kesalahan terbesar. Community planning tidak diperhatikan. Padahal, dalam membangun kota semestinya manusia yang didahulukan. Bukan hanya perencanaan di bidang fisik, melainkan memikirkan pula perencanaan masyarakatnya (community planning) serta perencanaan ekonomi, sosial, dan budaya kota. Selama ini, jika dalam kota tak ingin dilalui truk besar, ya, langsung dibikin jalan lingkar. Tidak pernah ada, misalnya wawancara dengan penduduk, mengenai apa yang mereka butuhkan,” ujar mantan Ketua Komisi Budaya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu. Walaupun demikian, Eko berkeyakinan tak ada yang terlambat. ”Kota itu ibarat jasad hidup. Mau jadi kurus atau gemuk, itu masih bisa. Masih bisa dikoreksi. Sistem sisten (siapa)-nya yang penting. Sumber daya manusia jadi kuncinya. Ia melanjutkan, “Seperti kita terkena penyakit apa pun, selalu ada obatnya. Seperti Jakarta, sejumlah orang mengatakan sudah tidak mungkin dikoreksi. Kemacetannya luar biasa, banjir terus terjadi, dan tidak mungkin bisa diperbaiki. Kalau menurut saya, mungkin saja Jakarta dikoreksi. Jakarta harus membatasi diri, jangan serakah. Pendidikan di situ, pemerintahan di situ, perindustrian di situ, dan perdagangan di situ. Terlalu berat bebannya. Misalnya, izin industri dihentikan. Untuk yang sudah ada, ya, silakan, tetapi sampai batas tertentu dipindahkan ke tempat lain. Jakarta jangan center mania. Ini bisa mengurangi beban Ibu Kota.”

Prof Ir H Eko Budihardjo, MSc ♦ Tempat/tanggal lahir: Purbalingga, Jawa Tengah, 9 Juni 1944 ♦ Pendidikan (antara lain): - Sarjana Arsitektur Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta (1969) - Master of Science in Town Planning, University of Wales Institute of Science and Technology, Cardiff, Inggris (1978) - Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Kursus Reguler Angkatan XXVII ♦ Jabatan (Terkait tata ruang): - Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Fakultas Teknik Undip, Semarang (sejak 1990) - Rektor Undip (1998-2006) - Ketua Dewan Pengarah Badan Pengelola Kawasan Kota Lama Semarang (2014) - Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah (2011) - Presiden Rotary Club Semarang (1993-1994) - Anggota Majelis Kode Etik Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Pusat

03


OPINI

Urban Design, Langkah “Nyata” Membangun Kota?

..mahasiswa PWK rasanya perlu untuk mengetahu lebih mendalam mengenai urban design..”

Oleh: Nafil Attar Muhammad

Ilmu PWK merupakan salah satu ilmu yang sangat dibutuhkan dewasa ini, mengingat banyaknya kota di Indonesia yang gencar melakukan pembangunan. Tata ruang kota yang baik akan berdampak terhadap efektifitas mobilisasi. Baik berupa barang maupun manusia. Dengan adanya sistem penataan kota yang terintegrasi yang menaungi hal tersebut diharapkan kedepannya produktifitas kota juga akan mengalami peningkatan. Saat ini ratusan mahasiswa PWK diluluskan tiap tahun. Dibekali dengan kompetensi, integritas, serta etika dalam menyusun rencana tata ruang, khususnya perkotaan. Namun kenyataan dilapangan nampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Penataan kota belum meperlihatkan adanya hasil serta kemajuan yang berarti, justru mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Sebagai contoh; kemacetan, banjir, serta tingginya indeks kesenjangan yang terjadi di Jakarta. Tentunya kejadian yang berlarutlarut seperti ini wajar bila menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat awam “Adakah perencana kota itu”. Kata “Ada” tampaknya patut direnungkan oleh semua pihak yang terkait. Hendaknya menjadi pemacu untuk semakin menunjukan eksistensi PWK dalam kehidupan masyarakat. Seperti apa dan bagaimana mewujudkannya? Jawabannya tentu beragam, tergantung sudut pandang masingmasing pihak. Mungkin akan jauh lebih baik jika kita ulas salah satunya. Mencari aroma berpikir yang baru sembari menelisik hal kecil yang terkadang kurang diperhitungkan namun vital perannya. Mengenai hubungan PWK dan urban design Dalam ilmu PWK, kita mengenal istilah skala perencanaan, mulai dari kawasan binaan (mikro), kota (meso), sampai wilayah kabupaten atau provinsi (makro). Mahasiswa PWK biasanya cenderung berminat

“menggeluti” perencanaan skala kota sampai dengan kabupaten, salah satunya alasannya karena ingin memajukan kota atau daerah asal setelah lulus kelak. Jarang mahasiswa PWK yang benar-benar tertarik di skala kawasan karena tingkat kedetilan data dan rencana yang relatif tinggi dibanding kota maupun wilayah. Perencanaan kota menangani lingkungan binaan pada skala kota, dan rencana yang dihasilkan masih berupa sistem dan jaringan. Untuk melaksanakan hasil perencanaan kota diperlukan program-program penanganan pada skala kawasan. Di sinilah peran perancangan kota terlihat, sebagai alat implementasi rencana kota yang telah ditetapkan. Urban design atau rancang kota pada hakikatnya adalah sebuah jembatan, penyambung mata rantai ilmu perencanaan kota dan arsitektur. Rancang Kota mengubah bentuk fisik lingkungan perkotaan namun tetap mengacu pada rencana tata ruang kota yang ada. Perencanaan kota, meskipun berkaitan dengan tata ruang, tetapi biasanya tidak berkaitan dengan kualitas visual lingkungan. Perancangan arsitektural di lain pihak, biasanya berfokus pada bangunan tunggal. Masalahnya, saat ini masih banyak lulusan PWK belum menyadari akan hal tersebut. Oleh karena itu, profesi rancang kota seringkali didominasi lulusan arsitektur. Cara pandang arsitektur tentu berbeda dengan perencana kota. Arsitektur menganggap bahawa rancang kota sebagai proyek arsitektur skala besar sehingga kajian komunitas serta pengaruh non spasial lainnya sering dikesampingkan. Hal ini tentunya kurang baik. Melihat gejala tersebut, sebagai mahasiswa PWK rasanya perlu untuk mengetahu lebih mendalam mengenai urban design. Agar nantinya lulusan PWK dapat berkolaborasi dengan arsitek dalam menghasilkan rancangan kota yang efektif, efisien, atau bahkan memiliki identitas yang membedakan dengan kota lainnya atau istilah kerennya “City Branding”.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.