Edisi V
Februari 2009
Lancarkan Perjuangan Pengurangan Monopoli AtasTanah dengan Mengobarkan Perjungan Minimum di Pedesaan Ganti Ongkos Cetak Rp.2.500,-
2 Edisi Februari 2009
Dari Redaksi
Edisi V
Daftar Isi Dari Redaksi
hal 2
Editorial
3
Kajian Utama
6
Liputan Mendalam
11
Kabar Anggota
13
Kami dari redaksi BKT pertamatama ingin menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh anggota organisasi AGRA serta Februari 2009 kepada seluruh pembaca yang baik atas tertundanya terbitan BKT sebagai korannya kaum tani untuk waktu yang lama. Kurang berhasilnya kami dalam menjaga kesinambungan dalam penerbitan koran BKT ini terutama disebabkan oleh kelamahan yang masih melekat pada kami sebagai pihak yang diberi mandat untuk menampilkan berbagai pandangan maupun kabar dari kaum tani Indonesia. Kelemahan-kelemahan yang kami maksudkan diantaranya berkenaan dengan masih terbatasnya kapasitas kami dalam mengelola koran ini. Menyadari atas kelemahan tersebut, kemudian kami berusaha setahap demi setahap berusaha dengan keras membenahi diri hingga akhirnya dapat kembali menerbitkan BKT Edisi V Bulan Februari 2009 kali ini. Melalui BKT Edisi V Bulan Februari 2009, kami menyajikan berbagai tulisan dalam kajian utama berkenaan dengan krisis finansial pada skala internasional dari sistem Kapitalisme Monopoli Internasional (imperialisme) dan dampaknya bagi negeri-negeri setengah jajahan dan setengah feodal, seperti Indonesia. Dimana, secara lebih khusus disajikan ulasan mengenai dampaknya terhadap lapangan agraria nasional maupun kaum tani dan masyarakat pedesaan di Indonesia. Selain itu, kami dari redaksi juga menyajikan tulisan dari anggota organisasi AGRA terkait dengan isu-isu tertentu yang sedang mengemuka saat ini. Tak lupa kami dari redaksi melalui BKT Edisi V kali ini juga menampilkan berbagai kabar dari kaum tani di sejumlah daerah. Akhirnya, kami menyampaikan selamat membaca. Semoga dapat menambah pengetahuan kita bersama dan dengan demikian dapat menopang pasokan pengetahuan kita bersama dalam medan perjuangan kaum tani Indonesia di tengah situasi krisis yang sedang berlangsung saat ini.Terimakasih.
Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Penanggung Jawab : Erpan F Pimpinan Redaksi : Ragil Amarta Dewan Redaksi : Erpan F, Ragil Amarta, Yoyok, Rahmat Ajiguna, Koresponden : Oki (Lampung), Hasbi (Jambi), Alvianus (Sumatera Utara), Wowon (Jawa Barat), Boy (D.I Yogyakarta), Agus (Jawa Tengah), Yamini (Jawa Timur), Anca (Sulawesi Selatan), Susi Kamil (Sulawesi Tenggara), Asdat (Sulawesi Tengah), Egi (Kalimantan Barat), Syafwani (Kalimantan Selatan), Lay-Out : Rahmat Ajiguna. Alamat Redaksi Sementara : Jl.Pramuka Sari II No.19-Jakarta Pusat. Email : Koran.bkt@gmail.com. Redaksi menerima saran, kritik dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, foto jurnalistik maupun karya seni dan sastra yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita AGRA. Kontribusi tulisan maupun foto jurnalistikdapat dikirim lewat Email Koran Berita Kaum Tani.
Berita Kaum Tani 3
„
Editorial
Krisis Umum Imperialisme dan Dampaknya terhadap Kehidupan Kaum Tani
Krisis umum imperialisme saat ini sudah menjadi kenyataan kehidupan seluruh rakyat di berbagai penjuru dunia. Namun dampaknya paling dirasakan oleh rakyat yang hidup di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya, karena watak ketergantungan dari sistem ekonomi yang dibangun dan watak boneka dari pemerintahan di negeri-negeri tersebut. Di sisi yang lain, golongan rakyat yang paling menderita di dalam negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya akibat dari krisis umum imperialisme dewasa ini adalah sudah tentu golongan rakyat yang selama ini tertindas dan terhisap, seperti kelas buruh, kaum tani, golongan perempuan dan pemuda mahasiswa, serta golongan rakyat miskin lainnya. Dalam krisis umum imperialisme yang terjadi saat ini, ditandai oleh krisis yang luar biasa hebatnya di sektor pangan, energi dan lingkungan. Pada perkembangan terakhir dari krisis umum
imperialisme ini kita menyaksikan bersama munculnya krisis yang semakin menghebat yang dialami oleh sektor finansial/keuangan, yang dipicu oleh spekulasi dari kredit perumahan murah di Amerika Serikat sejak tahun 2007. Begitu hebatnya krisis keuangan yang terjadi di negeri induk imperialisme ini, sehingga akibatnya dirasakan oleh hampir seluruh belahan dunia. Rontoknya industri perbankan dan industri asuransi global menyingkapkan satu kenyataan umum dalam krisis imperialisme saat ini yang tidak lagi dapat ditutupi dengan cara apapun, yakni spekulasi adalah motor penggerak kapitalisme global di dalam jaman imperialisme sekarang. Spekulasi adalah kalimat lain dari sistem perjudian. Guna mengatasi kebangkrutan lebih lanjut dari sistem kapitalisme ini, maka pemerintahan dari kaum imperialis dunia yang dipimpin oleh Amerika Serikat menjalankan politik menyokong para bankir dan spekulan keuangan lainnya dengan
mekanisme bail-out atau dana talangan. Pada hakekatnya penggunaan dana talangan atau dana yang berasal dari masyarakat yang dikelola oleh negara untuk membantu para bankir dan spekulan keuangan yang mengalami kesulitan keuangan, merupakan jenis penghisapan lebih lanjut dan adalah bukti nyata dari satu tetapan yang menyatakan bahwa dalam sistem kapitalisme, negara adalah alat kelas kaum burjuasi untuk menindas dan menghisap rakyat miskin. Jika pemerintah Indonesia pada tahun 1997-1998 memberikan dana talangan melalui mekanisme BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang jumlahnya mencapai Rp 600 triliun kepada para konglomerat hitam saat itu, maka demikian pula halnya dengan Pemerintah Amerika Serikat memberikan bantuan yang sama kepada para bankir dan spekulan keuangan pada tahun 2008, yang jumlahnya sungguh luar biasa, yakni USD 700 miliar atau Rp 7.000 triliun! Kemurahan hati
4 Edisi Februari 2009
pemerintahan imperialisme Amerika Serikat kepada kaum spekulan dan bankir-bankir kaya ini, kemudian juga diikuti oleh langkah serupa dari negeri-negeri imperialis yang lain, seperti Inggris (USD 691 miliar), Jerman (USD 680 miliar), Irlandia (USD 544 miliar), Perancis (USD 492 miliar), dan Rusia (USD 200 miliar). Akibat dari diberikannya dana talangan dari pemerintah Indonesia melalui skema BLBI sebesar Rp 600 triliun tersebut masih terus dirasakan oleh rakyat Indonesia sampai sekarang, terutama membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya, terutama di bidang pendidikan, energi, pangan, dan kesehatan. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh rezim SBY-Kalla pada tahun 2005 dan pada tahun 2008, juga dilatarbelakangi oleh kemurahan hati pemerintah membela burjuasi komprador Indonesia melalui BLBI Rp 600 triliun. Jadi, dapat diperkirakan dampak yang akan bisa dirasakan oleh rakyat tertindas di seluruh dunia, ketika negerinegeri imperialis utama terutama Amerika Serikat, Jepang dan negeri-negeri Eropa Barat berlomba-lomba membantu kaum kapitalis monopolinya dengan kucuran uang yang jumlahnya ratusan ribu triliun tersebut, guna mencegah kebangkrutan sistem kapitalisme. Apa yang menyebabkan terjadinya krisis umum imperialisme ini? Monopoli atas alat produksi dan kepemilikan secara individual
terhadap alat produksi adalah dasar dari terjadinya krisis umum imperialisme yang wujudnya dapat kita lihat dewasa ini dalam bentuk krisis pangan, energi, lingkungan dan keuangan, yang terjadi secara global, artinya mencakup hampir seluruh negeri-negeri yang ada di dunia saat ini. Dengan basis monopoli atas alat produksi dan kepemilikan secara individual terhadap alat produksi, berkembanglah perdagangan spekulatif terhadap produk barangbarang dagangan (komoditas), yang pada perkembangan dewasa ini telah ikut juga mempengaruhi gejolak kenaikan harga terutama untuk produk-produk pertanian pangan, produk-produk perkebunan maupun energi. Dengan demikian, penghapusan monopoli atas alat produksi dan menjadikan kepemilikan terhadap alat produksi di bawah penguasaan bersama (kolektif) merupakan langkah yang paling utama untuk mencegah terjadinya krisis pangan, energi, lingkungan dan keuangan. Dalam ekonomi pertanian, tanah merupakan alat produksi terpokok. Oleh karenanya, monopoli atas tanah, yang tercermin dalam ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah, selalu merupakan fondasi dari keberadaan imperialisme di sektor agraria, terutama di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya. Pada tahun 1994, salah satu burjuasi komprador Indonesia yang bernama Prajogo Pangestu yang mengontrol Grup Barito Pacific memonopoli tanah dalam bentuk
menguasai konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan), seluas lebih dari 6 juta hektar. Sebagaimana diketahui kemudian, dengan dasar monopoli atas tanah ini, Grup Barito Pacific mengembangkan industri perkayuan dan perdagangan dan berkembang kemudian ke industri jasa. Sementara pada sisi lain, berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 1993, rata-rata penguasaan tanah pertanian yang dimiliki oleh kaum tani Indonesia adalah kurang dari 0,5 hektar. Di mana sebagian besar (43 persen) dari kelompok ini merupakan kelompok tunakisma atau petani yang memiliki lahan pertanian kurang dari 0,10 hektar; sementara 16 persen RTP (Rumah Tangga Pertanian) “kaya tanah� (petani dengan luas penguasaan lebih dari 1 hektar) menguasai hampir 70 persen luas tanah pertanian. Bila di masa lalu, monopoli tanah merupakan basis pengembangan industri pertanian skala besar (perkebunan), pertambangan, konsesi hutan, sarana pengembangan fasilitas militer, dan pemukiman mewah, maka dengan terjadinya krisis umum imperialisme sekarang, terjadi pengembangan usaha-usaha baru dari landasan monopoli tanah yang sudah ada, ditambah dengan perampasanperampasan tanah yang baru. Gejala ini juga terjadi secara global, bukan hanya terjadi di Indonesia. Usaha-usaha baru yang didasari dari monopoli tanah yang sudah ada misalnya adalah konversi dari hutanhutan produksi ke perkebunan. Demikian pula halnya, dalam
Berita Kaum Tani 5
perkebunan tersebut bila semula dimaksudkan untuk komoditas perdagangan dan konsumsi pangan manusia, dalam fase perkembangan imperialisme dewasa ini, komoditas perkebunan dengan perkembangan teknologi yang ada, telah dan sedang diubah secara besar-besaran menjadi komoditas untuk mengatas krisis energi, dalam bentuk energi nabati (bio-fuels). Dengan tingkat perkembangan teknologi sekarang, maka produkproduk kelapa sawit, singkong, tebu, tanaman jarak, dan kedelai telah berhasil diubah menjadi energi nabati, dengan ongkos sosial dan lingkungan yang begitu luar biasa. Oleh karenanya, ekspansi perkebunan-perkebunan yang semula ditujukan untuk pangan manusia sekarang diubah menjadi bahan untuk konsumsi otomotif dan industri, khususnya dipicu oleh krisis energi minyak bumi di Amerika Serikat. Dalam situasi semacam inilah, maka harga komoditas pangan dunia mengalami gejolak. Dalam menyongsong prospek komoditas pangan dunia yang kian mahal, sejumlah konglomerat besar Indonesia masuk kembali ke bidang pertanian pangan. Grup Salim misalnya, berancang-ancang melakukan ekspansi ke sektor perkebunan tebu di Nusa Tenggara Barat. Setelah mengeduk keuntungan di bisnis sawit penghasil CPO, Salim berniat menanam duit di lahan tebu. Rencananya, konglomerasi yang dinakhodai Anthony Salim itu mendirikan pabrik gula dan membuka perkebunan tebu seluas 120.000 hektar di lahan berstatus area peruntukan lain.
Selain Grup Salim, ada tiga grup lain yang mengepakkan sayap di bisnis industri pemanis itu. Yakni Medco, Bakrie, dan Wilmar. Tiga konglomerat papan atas itu berniat mengembangkan perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik gula dan etanol di Merauke, Papua. Diperkirakan, total investasinya di lahan seluas 300.000 hektar itu mencapai Rp 9 triliun. Grup Medco sendiri sebenarnya sudah mengembangkan bioetanol berbahan baku tebu dan singkong dengan produksi 1.200 barel per hari di Lampung, menurut keterangan Sekretaris Medco Holding, Widjajanto. Sebelumnya, Arifin Panigoro selaku pemilik Medco mengungkapkan, Medco Energy International akan bekerjasama dengan PT Petrogas, Brazil, untuk ekspansi bioetanol tebu dan singkong. Total dana yang disiapkan guna membangun pabrik dan perkebunan pemasok bahan bakunya mencapai USD 350 juta. Selain berburu dolar di lahan tebu, Medco dan Bakrie plus Grup Artha Graha milik Tommy Winata pun berniat terjun ke ladang kedelai. Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, mengungkap bahwa Kelompok Usaha Bakrie tertarik membuka lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Grup Medco di Kabupaten Merauke, sedangkan Grup Artha Graha di beberapa provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung. Turunnya para konglomerat ke ladang kedelai itu dipicu oleh target produksi kedelai nasional tahun 2008, yang didongkrak pemerintah menjadi 1,7 juta ton. Diproyeksikan, luas tanam kedelai mencapai 1 juta hektar. Berdasarkan
catatan Badan Pusat Statistik, tahun 2007 lalu produksi kedelai nasional turun 20,76 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lantaran produksi anjlok, tahun lalu impor kedelai Indonesia mencapai 1,3 juta ton dari total kebutuhan domestik 1,9 juta ton. Oleh karenanya, ada dua sebab utama atas berlangsungnya krisis pangan saat ini. Pertama, karena hasil produksi perkebunanperkebunan di seluruh dunia yang semula direncanakan untuk komoditas pertanian dan pangan, yakni bahan makanan manusia, dialihkan secara besar-besaran menjadi bahan bakar alternatif (bioetanol), yakni bahan makanan kendaraan bermotor dan penggerak industri, terutama karena tekanan krisis energi di Amerika Serikat. Kedua, negara-negara penghasil dan eksportir pangan utama, seperti India, Cina, Vietnam, dan Thailand, memutuskan untuk mendahulukan pemenuhan stok pangan nasional bagi penduduknya sendiri, guna mengantisipasi gejolak sosial dalam negeri yang berasal dari krisis pangan ini. Karena suplai pangan (beras) internasional menjadi lebih ketat, ini kemudian membuat harga pangan di pasar dunia semakin meroket, dan tentu saja semakin menyulitkan rakyat miskin untuk memperoleh bahan pangan. Banyak pihak mengkhawatirkan krisis pangan menjelma menjadi krisis global terbesar abad ke-21. FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) mengabarkan, krisis pangan akan menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia.
6 Edisi Februari 2009
n
Kajian Utama
Swasembada Pangan, Mitos atau Realitas? Perdagangan Dunia) sejak tahun 1995. Indonesia sendiri adalah anggota WTO yang telah secara agresif membuka keran liberalisasi perdagangan, khususnya untuk komoditi pertanian.
Dok. AGRA
Dalam beberapa bulan terakhir ini, kita dikagetkan dengan kampanye politik bahwa Indonesia kembali telah berhasil melakukan swasembada pangan, alias berhasil menegakkan kemandirian dalam soal pemenuhan pangan bagi penduduknya. Presiden SBY, Partai Golkar, dan Menteri Pertanian saling berlomba menyatakan diri merekalah yang membuat swasembada pangan tersebut terwujud. Benarkah apa yang mereka kampanyekan tersebut? Supaya lebih objektif, lebih tepat bila kita melihat dari statistik yang tersedia terutama mengenai impor beras, yang merupakan bahan pangan pokok bagi rakyat Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2004, Indonesia merupakan negeri pengimpor beras terbesar di seluruh dunia dengan total rata-rata
per tahun 3,7 juta ton, kemudian gandum 4,5 juta ton, gula 1,6 juta ton, kedelai 1,3 juta ton, jagung 1,2 juta ton, tepung telur 30.000 ton, ternak sapi 450.000 ekor, susu bubuk 170.000 ton, garam 1,5 juta ton, singkong 850.000 ton, dan kacang tanah 100.000 ton.1 Ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia memiliki ketergantungan yang demikian tinggi atas pasokan impor produk pertanian. Di samping karena gagalnya Revolusi Hijau, juga karena dominasi imperialisme yang memaksa Indonesia untuk membuka keran impor untuk produk pertanian seluas mungkin. Hal ini merupakan akibat langsung dari keterikatan Indonesia dengan aturan-aturan perdagangan bebas yang ditetapkan WTO (Organisasi
Oleh karenanya sangatlah tepat jika kita meninjau sebab-sebab struktural yang menyebabkan terjadinya krisis pangan, ketimbang menggembar-gemborkan telah terwujudnya swasembada pangan di Indonesia pada tahun 20082009, untuk tujuan politik sesaat, yang gunanya bagi mayoritas rakyat juga tidak banyak. Pada prinsipnya ada tiga sebab utama, yang melandasi munculnya krisis pangan dewasa ini, terutama karena adanya politik pangan dalam bentuk Revolusi Hijau, dianutnya Program Penyesuaian Struktural (SAP), dan perkembangan terbaru dalam globalisasi.2 Revolusi Hijau Dasar-dasar dari hancurnya dunia pertanian dan kehidupan kaum tani di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya telah dimulai selama periode tahun 1960an sampai dengan tahun 1970-an, dengan dianutnya politik Revolusi Hijau (Green Revolution). Dengan dijalankannya paket Revolusi Hijau di sejumlah negeri-negeri berkembang ini, telah mengubah sistem pertanian tradisional yang sebelumnya telah dipraktekkan oleh jutaan petani. Selama beberapa generasi kaum tani telah memelihara
Berita Kaum Tani 7
pertanian, mengembangkan benihbenih sesuai dengan ekologi pertanian setempat, dan menjaga keseimbangan ekologi alam. Demikian pula halnya dengan kaum perempuan, selama beberapa generasi dalam sistem tradisional ini telah memainkan peran sebagai penyelia dan pemelihara benih, dan dengan begitu menjadi garda depan untuk menjaga keamanan pangan dalam skala rumah tangga. Di bawah tekanan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), banyak pemerintahan dari negerinegeri berkembang, terutama di Asia dan Amerika Latin, mempromosikan Revolusi Hijau, yang karena wataknya adalah padat-modal, menguntungkan tani kaya dan tuan tanah. Gagasan dasar dari penerapan paket Revolusi Hijau adalah pemakaian bibit (benih) unggul, asupan pestisida dan pupuk kimia yang intensif guna memperoleh hasil panen yang bagus. Karena fokus semata-mata ditujukan untuk peningkatan produksi semacam ini, telah mengabaikan pertimbanganpertimbangan sosial dan lingkungan, yang akibatnya kemudian dirasakan. Oleh karenanya, dalam paket Revolusi Hijau, idenya adalah para petani pemilik tanah luas diharapkan mampu menjamin keamanan pangan melalui penerapan pertanian yang intensif. Akibatnya, dapat ditebak, bahwa lapisan kaum tani miskin dan tani sedang bawah dipinggirkan dalam skema produksi pangan semacam ini. Namun segera disadari bahwa dampak negatif dari penerapan paket Revolusi Hijau begitu luar biasa bagi kehidupan kaum tani. Segera terbukti bahwa bahan-bahan kimia yang digunakan secara intensif dalam paket Revolusi Hijau telah menurunkan derajat kesuburan tanah
dan meracuni sumber-sumber air. Demikian pula halnya, biaya-biaya produksi yang dikeluarkan untuk pembelian benih, pupuk, pestisida, dan lain-lain, telah menghancurkan pendapatan petani miskin dan tani sedang bawah, sementara di sisi lain, telah membuat pendapatan dari perusahaan-perusahaan agribisnis semakin meningkat. Lebih jauh lagi, adalah dampak dari penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan semakin membahayakan. Diperkirakan, sekitar 10 persen dari 1,2 milyar petani dan buruh perkebunan yang ada di seluruh dunia telah teracuni dan banyak pula yang mengalami penyakit-penyakit yang kronis.
Asia Selatan, baik jumlah kelaparan maupun ketersediaan pangan per kapita meningkat masing-masing sebesar 9 persen.
Pada tahun 1990-an, suatu penurunan yang berarti dalam produktivitas pertanian dan kerusakan lingkungan yang luar biasa telah menjadi gejala yang umum di banyak negeri-negeri berkembang. Di Asia sebagai contoh, tingkat pertumbuhan produktivitas rata-rata selama dua periode tahun 1977-86 dan 198797 telah menurun, masing-masing dari 3,35 persen menjadi 1,5 persen untuk beras, dan dari 6,21 persen menjadi 2,96 persen untuk gandum, serta dari 4,04 persen menjadi 3,34 persen untuk jagung.3
Selain itu, akibat tidak langsung dari Revolusi Hijau, yakni meningkatnya pengangguran di pedesaan. Naiknya angka pengangguran di pedesaan terjadi dalam rentang yang hampir bersamaan dengan meningkatnya produksi pertanian. Meningkatnya pengangguran adalah konsekuensi logis dari masuknya teknologi modern di sektor pertanian yang menekan kebutuhan tenaga kerja.
Di wilayah-wilayah di mana distribusi tanah dan pendapatan sangat timpang, angka kelaparan meningkat, meskipun dilaporkan terjadi peningkatan suplai pangan per kapita dalam periode dua dekade penerapan program Revolusi Hijau dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1990. Di Amerika Latin, jumlah kelaparan meningkat 19 persen, walaupun terjadi peningkatan suplai pangan per kapita sebesar 8 persen; demikian pula halnya di negeri-negeri
Di Indonesia sendiri, pada masa Orde Baru, negara menerapkan politik perberasan yang merugikan kepentingan kaum tani dengan cara mengintervensi harga dasar gabah dan nilai jual beras di masyarakat. Akibatnya, di samping tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan beban produksi pertanian, kaum tani pun kehilangan kemerdekaannya untuk turut menentukan nilai jual produk pertanian yang dihasilkannya.
Pada awalnya, kaum perempuan menjadi pihak yang paling dulu tersingkir dari proses produksi pertanian. Namun pada gilirannya, proses peminggiran semakin meluas dengan terpinggirkannya para petani miskin dari areal-areal pertanian. Sehingga dengan demikian, wajah kemiskinan akibat tekanan Revolusi Hijau ini adalah kemiskinan yang berwajah perempuan, di mana kaum perempuan yang tersingkir dari wilayah pedesaan masuk menjadi bagian dari barisan tenaga kerja murah (buruh) di perkotaan, pembantu rumah tangga maupun menjadi buruh migran (tenaga kerja wanita/TKW).
8 Edisi Februari 2009
Program Penyesuaian Struktural (SAP)
pendidikan, dan bahan bakar minyak.4 Dalam sektor pertanian, kebijakankebijakan baru tersebut pada hakekatnya dimaksudkan untuk mengakhiri kemandirian dalam hal penyediaan pangan dan menandai suatu perubahan dari pertanian pangan (subsisten) ke pertanian perkebunan untuk ekspor. Produksi
Pada permulaan tahun 1980-an, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) bekerja erat dalam menekan pemerintahpemerintah dari negeri-negeri berkembang yang menghadapi masalah pembayaran utang luar negeri. Hal itu dilakukan dengan cara melakukan penjadwalan u l a n g pembayaran utang luar negeri maupun d e n g a n pemberian utang baru. Penjadwalan ulang dan pemberian utang baru itu dilakukan dengan syarat b a h w a pemerintahpemerintah dari Dok. AGRA ranting Moro-Moro negeri-negeri tersebut memberlakukan paket pangan lokal tidak dianggap penting kebijakan “penyesuaian struktural� dan bahan pangan pokok lebih baik (Structural Adjustment Program). diimpor saja, demikian nasehat yang dikandung dalam paket SAP. Program Penyesuaian Struktural Pergeseran ini menyebabkan petani (SAP) intinya adalah sebuah idak mengkonsumsi secara langsung kebijakan yang diperkenalkan Bank asil produksinya, melainkan Dunia untuk memaksa negeri-negeri menjadikannya sebagai komoditi jajahan, setengah jajahan, dan yang dijual atau ditukar di pasar bergantung yang mendapat utang untuk memperoleh kebutuhan untuk lebih membuka pasar dalam hidupnya. Pergeseran dari pertanian negeri mereka, menekankan subsisten menjadi pertanian kegiatan ekonomi yang komoditi dikenal dengan sebutan menghasilkan barang-barang yang pertanian korporasi (corporate bisa diekspor, mengurangi subsidi farming). Konsep ini memperjelas pemerintah terhadap sektor publik orientasi produksi pertanian sebagai seperti pangan, kesehatan, pemasok bahan baku bagi industri.
Di mana produk pertanian yang dihasilkan tidak diperuntukkan guna menopang penghidupan kaum tani sendiri, melainkan untuk kepentingan-kepentingan di luar pertanian. Program Penyesuaian Struktural (SAP) yang dipaksakan oleh Bank Dunia dan IMF di era tahun 1980an, pada sisi yang lain, d e n g a n demikian menandai permulaan dari adanya krisis overproduksi dalam produkp r o d u k pertanian di negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat dan Eropa Barat yang harus dibuang ke negeri-negeri berkembang dan dengan b e g i t u merusak perdagangan pangan global. Hal ini yang kemudian diatur lebih lanjut dalam liberalisasi pertanian yang dasar-dasarnya sudah ada dalam SAP, namun lebih kuat lagi terkandung dalam WTO dan Perjanjian tentang Pertanian (AoA) yang mulai berlaku sejak tahun 1995. Dalam fase SAP, kebijakankebijakan pertanahan diubah untuk memfasilitasi pertanian komersial skala raksasa dan masuknya korporasi-korporasi asing. Jika Revolusi Hijau pada umumnya diperantarai oleh negara dan agen-
Berita Kaum Tani 9
agen negara melalui pelayanan publik untuk pupuk, bibit, irigasi, dan sebagainya, dalam SAP ditandai dengan berakhirnya peran negara dalam hal-hal semacam ini. Penekanan pada tanaman ekspor mengkonsentrasikan tanah untuk pertanian ekspor skala raksasa, dan pada gilirannya, menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kaum tani yang tidak bertanah. Sehingga jika kita melihat statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terutama hasil-hasil Sensus Pertanian Tahun 1983 dan 1993, membuktikan gejala peningkatan jumlah kaum tani yang tidak bertanah yang luar biasa. Hal ini bertepatan dengan masa puncak penerapan kebijakan SAP di Indonesia, yang terutama berlangsung sejak awal tahun 1980an hingga tahun 1990-an. Dari hasil Sensus Pertanian yang dilakukan oleh BPS, terutama dari sudut penguasaan dan pemilikan tanah, persentase usaha tani dalam kelompok penguasaan tanah gurem (kurang dari 0,5 hektar) mencapai 40,8 persen dari total usaha tani, pada tahun 1983. Proporsi ini meningkat menjadi 48,5 persen dalam waktu 10 tahun kemudian (1993). Peningkatan ini diperparah dengan menurunnya angka luasan rata-rata usaha tani gurem dari 0,26 hektar menjadi 0,17 hektar. Demikian pula halnya, dasar-dasar dari ekspansi perkebunan dan eksploitasi gila-gilaan terhadap bahan tambang dan produk hasil hutan Indonesia, juga dimulai secara ekspansif bertepatan dalam periode penerapan SAP. Yang membuat monopoli tanah-tanah perkebunan, konsesi hutan dan bahan tambang, menjadi lebih luas dan mendalam,
baik yang dikuasai burjuasi komprador, kapitalis birokrat maupun korporasi-korporasi transnasional.
tinggi. Sistem ini sangat merugikan petani maupun konsumen; dan sekaligus membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan transnasional (lintas-nasional) Fase perkembangan terbaru mendominasi pasar, terutama di dari Globalisasi negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung. Perjanjian tentang Pertanian (AoA, Agreement on Agriculture) adalah Dalam WTO juga diperkenalkan salah satu hasil Putaran Uruguay satu rezim baru yang bernama yang mengatur perdagangan pangan Trade-related Intellectual Property global dan nasional, di mana Rights (TRIPs) dalam pertanian, kebijakan-kebijakan yang yang memberikan korporasisebelumnya terkandung dalam fase korporasi kontrol yang lebih luas penerapan SAP mendapatkan terhadap benih, tanaman-tanaman pijakan kekuatan hukum penting, dan bahan-bahan genetik internasional yang lebih tegas. melalui hak paten, yang membantu Aturan-aturan dalam AoA ini menguatkan cengkraman mereka memacu lajunya konsentrasi atas pertanian. Dewasa ini, hanya sedikit korporasi yang mengontrol pertanian ke agribisnis dan perdagangan global dalam benih dan melemahkan kemampuan negeribahan-bahan agrokimia. Tiga negeri jajahan, setengah jajahan, dan korporasi benih utama, yakni bergantung untuk mencukupi Monsanto, Dupont dan Syngenta, kebutuhan pangan secara mandiri. mengontrol hampir 40 persen dari Mengingat sebagian besar penduduk seluruh pasar benih, dan enam Indonesia adalah petani kecil, perusahaan mengontrol 75 sampai Perjanjian tentang Pertanian (AoA) dengan 80 persen dari pasar sangat berpengaruh besar terhadap pestisida global. Indonesia dan kehidupan petani Indonesia. Perkembangan yang terbaru dari Menurut dasar pikiran dalam kekuatan korporasi-korporasi benih Perjanjian tentang Pertanian ini adalah memaksa pemerintah(liberalisasi pertanian), daripada pemerintah di seluruh dunia untuk mencukupi sendiri kebutuhan memperkenalkan tanaman genetis pangan secara mandiri, lebih baik (GM crops) atau hasil rekayasa Indonesia itu membeli makanan genetis dengan berbagai kedok – dalam pasar internasional dengan terutama guna meningkatkan uang yang diperoleh dari hasil produktivitas pertanian dan ekspor.5 Namun, banyak negeri “penghapusan kelaparan di negerijajahan, setengah jajahan, dan negeri berkembang�. Monsanto bergantung menghadapi rendahnya adalah pemain utama dalam harga produk mereka atas sejumlah lapangan permainan baru ini. Setelah ekspor mereka yang terbatas. berhasil memaksakan diterimanya Selama empat tahun pertama WTO jagung dan kedelai genetis di (World Trade Organization, Amerika Serikat, Amerika Latin dan Organisasi Perdagangan Dunia),6 negeri-negeri lain, korporasiharga bahan-bahan pertanian jatuh, korporasi tersebut dewasa ini sedangkan harga makanan tetap sedang mentargetkan pasar benih
10 Edisi Februari 2009
untuk beras, makanan pokok di luar biasa terhadap Amerika Serikat. Asia, dengan benih beras hibrida dan Karena Amerika Serikat kemudian genetis mereka.7 memprioritaskan kedelai dan jagungnya untuk mengatasi krisis Kesimpulan energi di negerinya sendiri dengan mengolahnya menjadi bio-energi Pada masa krisis keuangan yang (bio-fuels), maka ekspor kedelai melanda kawasan Asia di tahun Amerika Serikat termasuk ke 1997-1998, banyak negeri telah Indonesia, mengalami guncangan meliberalisasikan impor pangan yang hebat. Akibat lanjutannya, mereka, atas tekanan dari IMF terjadi demonstrasi besar-besaran (Dana Moneter Internasional) dan yang dilakukan ribuan petani perajin Bank Dunia, bahkan tempe dan tahu ke istana Presiden memberlakukan tarif nol persen SBY pada awal tahun 2008. untuk impor bahan pangan utamanya (sembako). Di tahun 1998, Pemerintahan Indonesia di bawah Sungguh aneh tapi nyata, di tengah Presiden B.J. Habibie memenuhi LoI krisis pangan yang melanda hampir (Letter of Intent) dengan IMF, seluruh negeri di berbagai belahan membuka pasar beras Indonesia dunia, baik akibat kegagalan panen dengan bea masuk 0 (nol) persen, produk-produk pertanian karena dan membanjirlah 5,8 juta ton beras perubahan cuaca, konversi produkimpor. Tahun 1999, impor beras produk pertanian perkebunan untuk mencapai 4 juta ton. Harga gabah dijadikan bahan bio-energi, maupun petani tertekan sampai Rp 700 per perdagangan spekulatif terhadap kilogram dan akibatnya produksi saham komoditi pertanian pangan, tidak meningkat. Presiden pemerintah Indonesia gembarAbdurrahman Wahid mengenakan gembor hendak melakukan ekspor bea masuk beras 25 persen dan beras pada tahun 2008-2009. Bila impor berkurang drastis. hal ini dimaksudkan hanya untuk Pemerintahan Presiden Megawati kampanye politik pemilihan umum dengan Inpres No.9/2002 yang tahun 2009, maka akibatnya bagi berlaku sejak Januari 2003, rakyat Indonesia sungguh celaka dua melarang impor beras dan belas. Karena meskipun produksi dilanjutkan hingga satu tahun beras nasional naik, namun harus Pemerintahan Susilo Bambang tetap diingat bahwa mayoritas petani Yudhoyono. Sejak tahun 2005, di Indonesia adalah buruh tani dan tani bawah Pemerintahan SBY, Indonesia miskin, bukan pemilik lahan. kembali mengimpor beras. Berdasarkan kenyataan ini, maka Dan publik tentu belum lupa dengan kampanye untuk ekspor beras di krisis kedelai awal tahun 2008 dan tengah hasil positif produksi beras kepanikan yang melanda nasional tahun 2008 sungguh pemerintahan SBY- Kalla ketika bertentangan dengan kenyataan merespon krisis kedelai tersebut. kemampuan daya beli yang rendah Krisis kedelai tersebut kembali dari mayoritas kaum tani Indonesia, menyingkap borok yang begitu besar yang terdiri dari buruh tani dan tani dalam politik pangan nasional miskin. Dapat disimpulkan bahwa, Indonesia, yakni ketergantungan peningkatan produksi beras nasional terhadap impor kedelai yang begitu tidak selalu berarti peningkatan kehidupan petani padi, apalagi
peningkatan kehidupan mayoritas kaum tani Indonesia. Pengalaman Indonesia sendiri di masa kejayaan Revolusi Hijau dijalankan di masa Presiden Soeharto, telah membuktikan bahwa swasembada pangan yang digembar-gemborkan sebagai keberhasilan Indonesia dalam mencapai kemandirian pangan di forum internasional FAO, ternyata hanya mitos belaka. Karena setelah Soeharto memperoleh penghargaan dari FAO soal swasembada pangan, tahun berikutnya yakni tahun 1985, Indonesia kembali mengimpor beras sebesar 405 ribu ton. Mungkin saja Presiden SBY, Partai Golkar, dan Menteri Pertanian hendak mengikuti jejak Soeharto dalam soal mitos tentang swasembada pangan. catatan kaki 1 Harian umum Kompas, 7 Juli 2004. 2 Lihat terbitan terbaru dari PAN AP (Pesticide Action Network Asia and the Pacific, yang bertajuk, The Politics of Hunger: When Policies and Markets Fail the Poor. Penang: PAN AP, 2008, hal. 23-50. 3 Lihat rujukan sebelumnya, PAN AP, 2008. 4
Lihat Martin Khor Kok Peng, Hubungan Utara dan Selatan: Konflik atau Kerja Sama? Jakarta: Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Konphalindo, 1993, hal. 6-7. 5 Lihat pamphlet bertajuk “Panduan Masyarakat untuk Memahami WTO�. Jakarta: INFID, 2000, hal 1617. 6 Berdiri secara resmi pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, setelah ditandatangani oleh para menteri, sebagai hasil dari Putaran Perundingan Uruguay dan kemudian berlaku secara efektif semenjak 1 Januari 1995. Oleh Indonesia, perjanjian tersebut diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 13 Oktober 1994 menjadi Undang-Undang No.7 tahun 1994. 7 Lihat rujukan PAN AP sebelumnya, 2008.
Berita Kaum Tani 11
n
Liputan Mendalam
Kemiskinan Petani Terkuras oleh Kelangkaan Pupuk Oleh Alpianus Sembiring
Bidang Keuangan Tim Kerja AGRA Wilayah Sumut
Dok. AGRA
Setiap musim tanam selalu terjadi kelangkaan pupuk, jawaban dari rezim SBYJK adalah Impor pupuk sebanyak 500 ribu ton. pertanyannya apakah kita tidak punya pabrik pupuk? Kaum tani adalah populasi yang terbesar di Indonesia. Sampai saat ini, menurut data Bappenas, melalui survey angkatan kerja nasional (sakernas) tahun 2006, jumlah kaum tani di Indonesia diperkirakan berjumlah 112 juta jiwa. Dengan jumlah ini, kaum tani adalah kekuatan produktif yang paling besar, lebih besar dibanding buruh manufaktur (12 juta jiwa), buruh niaga (15,4 juta jiwa), jasa (11,3 juta jiwa), dan sektor lainnya 8,8 juta jiwa). Akan tetapi meski menduduki posisi mayoritas, kaum tani Indonesia termasuk kalangan yang
paling tidak beruntung. Dominasi imperialisme dan kekuasaan feodalisme inilah yang menyebabkan kaum tani di Indonesia hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan semakin memprihatinkan lagi pada dewasa ini yakni situasi krisis global/ekonomi yang meningkatkan kemiskinan dikalangan kaum tani tersebut. Kondisi ini tampak dari tingginya jumlah kaum tani miskin dan tani sedang-bawah dan maraknya cara produksi sisa setengah feodalisme di pedesaan. Dan situasi krisis ekonomi berakibat secara langsung juga
adalah bagaimana tentang pengadaan sarana produksi pertanian dan dalam hal ini adalah pupuk?. Kebutuhan akan Pupuk di Kalangan Kaum Tani Telah kita ketahui bersama bahwa kehidupan petani mayoritas bergantung sepenuhnya dari pengelolaan tanah dengan melakukan berbagai bentuk pemberdayaan. Salah satunya adalah dengan penanaman tanaman atau sering disebut dengan pertanian. Dan hasil pertanian ini
12 Edisi Februari 2009
akan didistribusikan dengan harga yang dapat menjamin kehidupan petani seperti yang dimaksud diatas. Berbicara tentang pertanian, berarti membutuhkan beberapa tahapan proses yakni pembibitanpenanaman-perawatanpemanenan-dst. Dari tahapan tersebut yang paling membutuhkan waktu, tenaga, pikiran dan juga modal adalah pada bagian perawatan. Dimana pada proses ini, para petani akan melakukan beberapa hal juga termasuk pemupukan, guna mendapatkan hasil yang maksimal, karena tanaman tersebut akan diberikan “nutrisi”. Pupuk atau nutrisi yang dimaksud juga memiliki 2 bentuk yakni pupuk kimia dan pupuk nonkimiawi. Memang dari pengalaman praktek petani dalam penggunaan pupuk non-kimiawi akan memberikan daya tahan tersendiri, baik kepada tanah yang tetap gembur juga kepada hasil produksi yang lebih awet dan tahan lama. Akan tetapi pengalaman praktek yang sangat berharga tersebut telah “dilecehkan” oleh berbagai “penelitian”, dimana penelitian ini memberikan penghematan terhadap proses dengan kata lain bahwa panen akan berlangsung lebih cepat dengan menerapkan rekayasa genetika dan penggunaan pupuk kimiawi. Dan untuk Indonesia dan khususnya kaum tani Sumatera Utara, hal ini dilakukan oleh Perusahaan Monsanto. Dengan berbagai bentuk tindakan “suap” kepada pejabat korupnya Indonesia (Kompas, 5 Januari 2005) dan berbagai bentuk “tarian-tarian” iklan dan tak bosanbosannya melakukan “ujicoba palsu” telah mereka lakukan guna mendapatkan perhatian yang berujung kepada penggunaan
produk mereka oleh petani Indonesia. Hingga hari ini, persoalan suap yang dilakukan oleh Perusahaan Monsanto miliknya AS tersebut tidak kunjung terselesaikan. Jelas hal ini adalah sebagai bentuk kongkrit yang dapat kita lihat sebagai wujud pemerintahan hari ini yang akan tetap “tunduk” dan sangat nistanya mengabdi kepada tuannya yakni sang imperialis no. 1 Amerika Serikat. Dan ketika petani Indonesia yang terbatas pengetahuannya tentang teknologi telah menelan dengan mentah-mentahnya hingga menggunakan pupuk ini, maka selanjutnya giliran perusahan monopoli yang ada di Indonesia pada umumnya akan selalu melakukan tindakan yang dengan maksud menjerat kaum tani dalam ketergantungan yang akut dalam proses pemiskinkan melalui kebutuhan pupuk dalam pengembangan hasil produksi pertanian menuju kehidupan yang sejahtera seperti yang dimimpikan oleh 112 juta jiwa petani miskin Indonesia. Akan tetapi, harapan dan mimpi petani tersebut hanyalah sebatas mimpi saja. Hal ini terjadi karena begitu banyaknya persoalan yang menimpa kaum tani. Antara lain tingginya intensitas perampasan tanah, kriminalisasi yang menyengsarakan kaum tani dan tingginya biaya produksi pertanian oleh kelangkaan pupuk yang mengakibatkan mahalnya harga pupuk, belum lagi adanya pemalsuan pupuk yang bisa mengakibatkan kaum tani mengalami penurunan produksi bahkan bisa GAGAL PANEN.
Akhir-akhir ini pupuk menjadi barang langka di lingkungan petani. Disamping mahalnya harga pupuk yang secara bertahap dikurangi subsidinya, pupuk juga sangat susah dicari. Demikian halnya yang dirasakan oleh petani di Tanah Karo, Pakpak Barat, dan Dairi.(SIB,05/06) Banyak masyarakat tidak bisa mendapatkan pupuk di pasaran karena tidak adanya stok yang harus dibeli. Selain itu, banyak juga diantara masyarakat yang tidak mampu membeli karena mahalnya harga pupuk. Kondisi ini tidak hanya terjadi di tiga kabupaten itu saja, namun di hampir semua daerah di Indonesia kelangkaan pupuk menjadi masalah utama yang tentu saja sangat membuat kehidupan petani semakin hari menjadi semakin melarat. Pupuk yang merupakan unsur utama yang dibutuhkan petani dalam meningkatkan produksi tidak bisa dengan mudah didapatkan. Apa yang menjadi penyebabnya? Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah petani, maka seharusnya pemerintah yang menjadi pro-aktif dalam menyelesaikan soalsoal warganya terutama petani bukan menjadi “karung suap” dari berbagai perusahaan-perusahaan asing maupun dalam negeri sendiri. Mahalnya harga sembako dibarengi dengan rendahnya penghasilan juga dijepit dengan harga pupuk yang semakin hari semakin melambung tinggi membuat petani tidak lagi bisa memproduksi secara normal. Bahkan untuk menjadikan pertaniannya menjadi tetap berproduksi tidak lagi mampu karena memang biaya produksi yang jauh lebih mahal dari penghasilan yang mereka dapatkan. Kelangkaan dan Pemalsuan Terjadinya kelangkaan pupuk di Pupuk berbagai wilayah di tanah Karo dan
Berita Kaum Tani 13
Pakpak Barat, dan di berbagai wilayah di Indonesia lebih dikarenakan adanya ulah berbagai pihak yang menimbun dan mengoplos pupuk-pupuk bersubsidi untuk keuntungan pribadi. Merajalelanya pihak-pihak penimbun dan pengoplos ini, tentu saja didasari lemahnya control dari pengambil kebijakan untuk menindak para pengoplos tersebut dan atau didukung oleh pengambil kebijakan. Ada empat jenis pupuk bersubsidi yang beredar dikalangan petani antara lain: UREA, ZA, SP3, POSFAT. Ke empat jenis pupuk ini seharusnya bisa dengan mudah di dapatkan di pasaran dengan harga yang terjangkau, namun pada kenyataannya tidak demikian. Kenyataan di lapangan menunjukkan harga pupuk (HET) yang seharusnya Rp. 65.000 di jual di pasaran dengan harga rata-rata Rp. 100.000 s/d Rp. 120.000, sementara harga jual di pabrik hanya Rp. 40.000,-. Kondisi ini jelas sangat memberatkan kaum tani Indonesia yang nota bene mayoritas adalah buruh tani dan tani miskin. n Kabar Anggota Jakarta, 18/01/2009. Pada awal Tahun 2009 yang lalu, tepatnya pada Tanggal 18 Januari warga Rumpin-Kab. Bogor melalui wakilnya yang berjumlah sekitar 15 orang mengadakan audiensi dengan Badan Pertanahan Nasional-Pusat (BPN). Audiensi itu sendiri pada dasarnya merupakan kelanjutan dari rangkaian usaha politik yang telah dilakukan sebelumnya oleh warga melalui serangkaian aksi-aksi politik di berbagai tingkatan. Dimana tujuan secara khusus dari audiensi itu adalah untuk meminta klarifikasi dari BPN Pusat
Tidak itu saja, petani di tanah Karo misalnya, untuk bisa mendapatkan pupuk bersubsidi harus memenuhi syarat yaitu tergabung dalam kelompok-kelompok tani, punya KTP. Jika seseorang tidak tergabung dalam kelompok tani tentu tidak bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Semakin Terpuruknya Petani Sehingga semakin jelas bagi kita bagaimana terpuruknya kaum tani dalam jerat kemiskinan yang semakin hari menyengsarakan kehidupan kaum tani Indonesia. Jelas hal ini juga menunjukkan pemerintahan yang berkuasa tidaklah pernah mengabdi pada rakyatnya dan kaum tani utamanya. Padahal dengan menggunakan logika saja, kita dapat menyimpulkan bahwa jumlah suara yang didapatkan oleh pemerintahan yang berkuasa hari ini pastilah mayoritas berasal dari kalangan kaum tani yang melek akan politik praktis dan minimnya pengetahuan petani tersebut. Ini terjadi karena harapan yang diberikan kaum tani kepada calon pemimpinnya cukuplah tinggi, dengan maksud dapat memberikan
berkenaan dengan kedudukan Lahan seluas 449 Ha yang menjadi sengketa antara warga dengan Pihak TNI AU. Khususnya dengan pihak Pangkalan TNI AU Atang Sanjaya. Delegasi warga yang dipimpin oleh Ridwan (26Th) bersama AGRA dan Kontras tersebut kemudian diterima oleh Deputi Bidang Sengketa Lahan BPN Pusat, yaitu Ibu Erna. Dalam kesempatan tersebut, juga turut serta utusan dari BPN Kanwil Jawa Barat dan BPN Kab.Bogor. Melalui audiensi ini diperoleh penjelasan dari pihak BPN Pusat bahwa pihak TNI AU sesungguhnya
kehidupan yang lebih sejahtera secara ekonomi-politik hingga kebudayaan kaum tani sendiri. Penutup Dari kondisi kaum tani tersebut, juga bisa kita katakan bahwa bukanlah tidak mungkin juga bagi mereka untuk selalu memiliki harapan dan mimpi akan kehidupan yang lebih sejahtera. Karena mereka memiliki kekuatan yang sangatlah besar, namun tinggal bagaimana dapat menyatukan pandangan akan harapan dan mimpi tersebut dalam wujud yang nyata melalui perjuangan kaum tani di dalam sebuah organisasi. Organisasi massa kaum tani yang dapat menyelesaikan persoalan kaum tani dengan melakukan desakan kepada pemerintahan yang berkuasa hari ini yakni SBY-JK untuk memberikan jaminan atas pengelolaan pertanian dan dalam hal ini adalah pupuk. Kaum tani Indonesia dan khususnya kaum tani di Sumatera Utara untuk bangkit-berorganisasi-berjuang dalam pemenuhan hak-haknya baik sosial-ekonomi dan atau bahkan hak politiknya kaum tani. bkt.
belum mendapatkan hak penguasaan atas tanah yang dipersengketakan. Hal ini berarti membantah klaim yang diajukan oleh Pihak TNI AU bahwa tanah seluas itu merupakan aset TNI AU. Dengan demikian penjelasan BPN Pusat tersebut memperkuat klaim warga atas tanah yang ada sesuai dengan SK Bupati Bogor Nomor 591/194/KPTS/HUK/2003 Tanggal 12 Juni 2003 Tentang Penetapan Pembagian/ Pengalokasian atas Tanah Eks HGU PT. Cikoleang.
14 Edisi Februari 2009
Catatan 1 TAHUN Durin Tonggal Perjuangan Atas Tanah Seluas 102 Ha
Rejim SBY-JK semakin menunjukkan watak aslinya sebagai rejim Boneka Imperialisme yang anti rakyat dan anti kaum tani, sehingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY-JK tidak pernah berpihak kepada kaum tani.
Ersada Aron Bolon/AGRA Desa Durin Tonggal, pada awalnya akan melakukan pembersihan lahan miliknya (pendudukan kembali atas lahannya), petani kemudian diserang oleh sekumpulan orang, serangan tersebut mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak tani, diantaranya luka sebanyak 5 orang, hingga berlanjut pada penangkapan dan pen-DPO-an kepada kaum tani yang berjuang atas lahannya.
Kenyataannya semakin tampak dengan munculnya berbagai Kekerasan, Penangkapan, Intimidasi, pecah belah dan teror terhadap petani semakin banyak terjadi, salah satu adalah apa yang Petani kemudian diintimidasi dialami oleh petani di desa Durin (diteror) dengan dalih penembakan Tonggal. terhadap Kapolsek P.Batu, padahal itu belum jelas (Pemberitaan Pada tanggal 16-17 Maret 2008, Media Massa Simpang siur, RED). warga Dusun 4 yang tergabung Padahal, Petani melakukan aksi dalam Kelompok Tani Arih pembersihan lahan miliknya. Dalam
hal ini jelas bahwa Polisi dikorbankan oleh pihak pengembang (musuh kaum tani) untuk menyeret masalah perdata (agraria) menjadi tindak kriminal, sehingga inilah alat pengusa untuk men-teror gerakan petani. Posisi sebenarnya jelas, bahwa tanah yang dimaksud adalah tanah Eks.PTPN II di luar HGU. Tanah tersebut sudah pernah dimenangkan oleh perjuangan kaum tani pada tahun 2001, diantara 2001 dengan 2008 tanah tersebut dikelola oleh warga, kemudian tanpa sepengtahuan warga mantan kepala desa (Sinar Ginting) menjual kepada pihak pengembang/pengusaha yang disinyalir merupakan salah satu tuan
Berita Kaum Tani 15
tanah besar ditingkat Sumatera Utara. Penyerangan yang dilakukan oleh sekumpulan orang tersebut diatas adalah kedua kalinya setelah pada tanggal 8 Januari 2008 sudah melakukanpenyerangan kepemukiman warga yang mengakibatkan kerugian materil dikalangan kaum tani berupa rumah yang terbakar dan rusak parah oleh serangan yang dimaksud.
Berdasarkan perkembangan diatas maka Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon/AGRA Desa Durin Tonggal hari-demi hari tetap melakukan desakan dan tuntutan melalui berbagai bentuk cara yang diyakini akan mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Bentuk ini adalah perjuangan massa yang akan tetap dikobarkan demi terwujudnya kaum tani yang sejahtera secara
ekonomi, politik dan kebudayaan. Tutan dan desakan kepada rezim Sby-Jk melalui anteknya ditingkat Sumatera Utara menjadi pekerjaan yang sangat penting guna “Kembalinya tanah seluas 102 Ha dan penghentian segala tindak kekerasan terhadap kaum tani Desa Durin Tonggal dan kaum tani Indonesia secara umum (bkt)
Masyarakat Moro-Moro Buat Film Tulang Bawang, Pendidikan adalah kunci kemajuan masyarakat, pendidikan sejatinya selalu hadir sebagai lentera dari keterbelakangan dan kebodohan. Hal itulah yang dirasakan Masyarakat Moro-Moro yang sampai dengan hari ini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas keberadaan mereka dari pemerintah. Sudah sembilan tahun kami menetap di tanah register ini, tapi ko ya pemerintah belum tergerak memikirkan kami, ujar Suwaji (41) warga Moro-Moro. Ditengah berbagai kesulitan yang dihadapi akibat konflik yang tak kunjung usai Masyarakat MoroMoro bertekad untuk memajukan pendidikan bagi anak-anak mereka. Suwaji juga berharap kelak anakanak mereka yang mengenyam pendidikan akan meneruskan perjuangan para orang tuannya. Demikian juga pesan yang hendak disampaikan film dokumenter bertajuk “Sejengkal Tanah Untuk Anak Kami” besutan sutradara muda Tedika Puri Amanda.
Menurut Tedika Film ini hendak menggambarkan sebuah kondisi sekolah yang berada di daerah konflik agraria berkepanjangan,dimana anak-anak petani yang berada didaerah tersebut harus bersekolah dengan kondisi yang serba terbatas.”Namun semangat para siswa tak surut meski sekolah mereka dibawah bayangan penggusuran, ujar Tedika kepada sejumlah wartawan, Rabu (21/1).
akses terhadap pendidikan yang layk sebagai hak-hak dasar warga negara.
Tedika sendiri adalah Finalis Eagle Award Documentary Competition tahun 2007, sebuah kompetisi film dokumenter tahunan yang diselenggarakan oleh Metro TV. Filmya yang berjudul “Gubuk Reot Diatas Minyak Internasional” menempati posisi ketiga dalam kompetisi ini dan menjadi film Saya terinspirasi untuk membuat film terbaik dalam Festival Film tentang potret pendidikan di wilayah Dokumenter Tahun 2008 yang lalu. yang terdapat konflik agraria , karena pengalaman batin setiap M a h a s i s w a U n i v e r s i t a s mendatangi daerah konflik tanah, Muhamadiyah Malang (UMM) ini pasti akses pendidikanya selalu tertarik membuat film dokumenter di Lampung karena menilai Lampung terbatas,” jelasnya. merupakan daerah yang memiliki Sementara Juven Ritar Pakpahan konflik tanah cukup banyak. Dalam dari Yabima menyatakan, pembuatan film ini Tedika di bantu lembaganya tertarik untuk beberapa orang sineas muda mendukung pembuatan film ini, Lampung dan masyarakat Moroharapannya film ini dapat Moro. Sementara produksi film ini memberikan inspirasi bagi banyak didukung oleh oleh Yayasan orang tentang arti kemandirian dan Bimbingan Mandiri. menggugah kesadaran tentang hak warga negara untuk memperoleh
16 Edisi Februari 2009
Penangkapan Terhadap Kaum Tani Terus Berlangsung Wonosobo, 21/02/2009. Kembali serang petani bernama Dulrohmat (50 th), asal Dusun Nggawis, Desa Kepil, Kecamatan KepilWonosobo yang merupakan anggota AGRA Ranting Kepil ditangkap oleh Mantri Kehutanan dan petugas Polsek Sapuran. Pengangkapan tersebut—terjadi di lahan Perhutani sebagai lahan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)— ketika yang bersangkutan sedang membersihkan ranting-ranting pohon yang ditebang beberapa hari sebelumnya. Penangkapan yang terjadi juga disertai dengan menyita 2 gelondong kayu albasia sisa tebangan, sabit dan gergaji. Diduga Dulrohmat ditangkap dengan tuduhan pencurian kayu milik Perhutani. “Alasan dengan dalih telah melakukan pencurian kayu itu sangat mengada-ada dan tidak terbukti”, penjelasan Kamil. Salah sorang pimpinan AGRA Cabang Wonosobo. “Karena pohon yang ditanam tersebut sesungguhnya merupakan pohon yang dikelola menurut konsep PHBM dan berasal dari modal sendiri, dimana Bapak Dulrohmat telah mengelola di lahan tersebut selama kurang lebih lima tahun”, lanjut Kamil.
keberadaannya baru diketahui keberadaannya oleh keluarga sore hari-nya ketika mendapati sepatu yang dikenakan Dulrohmat tertinggal di lahan. Atas penangkapan tersebut, malam hari-nya sekitar 300 orang anggota AGRA desa Kepil dan Desa Perjiwo melakukan aksi ke Polsek Sapuran untuk menuntut pembebasan Bpk.Dulrohmat. Meskipun Aksi tersebut dilakukan secara damai itu namun mendapatkan penjagaan sangat ketat pasukan Brimob. Dari hasil dialog yang dilakukan dengan anggota Polsek yang sedang bertugas, belum berhasil membebaskan yang bersangkutan. Pihak kepolisian setempat berdalih bahwa mereka tidak memiliki kewenangan untuk memprosesnya sebab Dulrohmat statusnya merupakan tahanan titipan dari pihak Mantri Kehutanan. Atas hasil tersebut anggota kemudian memutuskan untuk tetap di polsek Sapuran hingga Bpk. Dulrohmat dapat dibebaskan tanpa syarat. Hingga saat ni, Bpk Dulrohmat telah dipindahkan ke kota.
Saat dikonfirmasi mengenai latar belakang peristiwa penangkapan Saat ditangkap, Dulrohmat sedang yang terjadi berkenaan dengan berada di lahan sendirian dan problem-problem kaum tani di kawasan tersebut, Sdr. Kamil
menjelaskan bahwa sebelumnya, Dusun Nggawis, Desa Kepil merupakan wilayah yang ditempatkan sebagai contoh kesuksesan dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan dibentuknya LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Di dusun ini tercatat ada 125 KK yang menjadi anggota LMDH . Konsep PHBM sendiri dalam realisasinya dipandang sangat merugikan kaum tani dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Konsep PHBM dengan sistem bagi hasil 75:25 atas hasil tanaman pada kenyataannya lebih menguntungkan pihak Perhutani. Dimana, Perhutani Kabupaten Wonosobo sebagai pemegang monopoli atas kawasan hutan di wilayah tersebut diperkirakan menguasai lahan hutan mencapai 18.000 Ha atau sekitar 70% dari luas keseluruhan Kabupaten wonosobo. Atas praktek bagi hasil yang merugikan tersebut kemudian sekitar 80 KK dari 125 KK memutuskan bergabung dengan AGRA dan tidak aktif lagi di LMDH serta mendesakkan tuntutan ke Perhutani agar menjalankan sistem bagi hasil yang lebih adil bagi kaum tani dan masyarakat pedesaan.(BKT)