Perlawanan mei 2006

Page 1


SBY-Kalla Si Pelayan Imperialisme

D

ominasi Imperialisme dan kaki tangannya di Indonesia, yaitu rejim SBY-Kalla semakin terang dan terus menghancurkan sendi-sendi kehidupan seluruh rakyat di Indonesia. Ada beberapa hal dalam perkembangan terakhir yang setidaknya mengindikasikan hal tersebut, yaitu pelaksanan Putusan 026/PUU-III/2005 Mahkamah Konstitusi (MK) tentang realisasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN untuk APBN-P 2006, rencana revisi UUK No. 13/2003 dan pelaksanan UU PPHI No. 2/2004 serta rencana amandemen UU Pokok Agraria No.5/1960. Tentang pelaksanaan putusan MK tersebut, rejim SBY-Kalla menjawab dengan menunda pelaksanaannya dalam APBN-P 2006. Tindakan ini jelas-jelas merupakan sebuah pelanggaran konstitusional terhadap UUD 1945 yang merupakan konstitusi tertinggi di negeri ini. Padahal, dengan merealisasikan anggaran 20 persen dari APBN, bisa menjamin pendidikan gratis bagi kalangan miskin—anak-anak buruh, tani dan kaum miskin perkotaan—serta kuliah murah bagi seluruh rakyat Indonesia. Disamping itu, akan memecahkan problem pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan bagi guru dan dosen serta penyediaan fasilitas pendidikan yang lebih layak dan terjangkau oleh seluruh rakyat. Selanjutnya adalah rencana pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 atau trend disebut UUK. Revisi UUK sesungguhnya jika ditilik lebih mendalam adalah upaya memasifkan liberalisasi sektor perburuhan atas dorongan kaum imperialis agar tetap bisa mendatangkan akumulasi keuntungan bagi para pemilik modal diatas perasan tenaga dan keringat kaum buruh yang terus diupah murah. Revisi UUK semakin menegaskan pelaksanaan fleksibilitas pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility) dengan serangkaian variasi penindasan bagi kaum buruh Indonesia seperti Sistem kerja Kontrak, Outsourching, upah minimum, penghapusan hak cuti, tidak diberikan pesangon yang sesuai hingga ancaman terhadap hak mogok buruh. Kemudian yang tak kalah membuat kita tercengang adalah rencana untuk mengamandemen UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Sebagaimana diketahui bahwa UU PA adalah salah satu produk hukum yang sangat membela hak-hak kaum tani, terutama hak bagi petani penggarap (buruh tani dan petani miskin) untuk mendapatkan tanah. Sejarah juga mencatat bahwa selama ini UU PA sengaja di biarkan “mati suri”, karena jika UU ini diterapkan secara konsisten oleh pemerintah, maka kepentingan tuan tanah atas tanah dan imperialisme untuk menguasai sumber-sumber agraria di atas bumi Indonesia yang kaya raya akan terancam. Amandemen UU PA akan merubah kedudukan tanah dari hak bagi rakyat menjadi barang dagangan (komiditi) dengan dilegalkannya land market atau pasar tanah. Dengan demikian, rencana amandemen UU PA akan menambah panjang krisis agraria di Indonesia. di lain sisi, akan justru semakin menguntungkan tuan tanah dan sang imperialisme. Beberapa hal yang mengemuka terakhir ini semakin menegaskan siapakah sesungguhnya rejim SBY-Kalla. Mana “pendidikan murah dan berkualitas” yang sering dilontarkan SBY jika anggaran pendidikan untuk membuka akses sekolah bagi rakyat saja tidak dipenuhi? Inikah maksud dari “pertumbuhan ekonomi” yang terus menenggelamkan kaum buruh dalam keterbelakangan? Dan mana “revitalisasi pertanian” lantang diucapkan pemerintah, jika hak kaum tani justru diancam dengan amandemen UU PA 1960? Siapakah rejim SBY-Kalla, kiranya kita semua telah mengetahuinya. Yah, rejim SBY-Kalla adalah kaki tangan imperialisme yang selalu setia melayani tuannya sang mister imperialis. Tugas bagi gerakan massa dan kaum pergerakkan di Indonesia saat ini adalah kemudian terus memperkuat konsolidasi, memperat kerjasama seluruh rakyat tertindas di Indonesia dan melancarkan perjuangan massa dari tingkat basis hingga nasional dengan pukulan-pukulan yang berarti bagi rejim SBYKalla yang merupakan kekuasaan bersama borjuasi besar komprador, tuan tanah dan kapitalisme birokrat. Di tengah situasi krisis yang terus menajam, tidak kata kesejahteraan di bawah kuasa rejim boneka imperialisme. Hanya dengan bangkit, berorganisasi dan bergerak serta terus menggelorakan perjuangan massa, pemuda-mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia akan mengerti arti dari sebuah demokrasi dan kemerdekaan sejati. Bangkitlah Kaum Muda Indonesia, Hidup Rakyat Indonesia!

Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional Penanggung Jawab: Hersa Krisna Pimpinan Redaksi: Ridwan Lukman Dewan Redaksi: Hersa Krisna, Ridwan Lukman, Seto Prawono Koresponden: Hasbi Aldi (Jambi), Wahyu (Palembang), Catur (Tanggamus), Reza Gunada (Bandar Lampung), Irene (Jakarta), Dewi (Bandung), Zeny Olivia Noorma (Garut), Fazri (Purwokerto), Jefri (Yogyakarta), Sayid (Wonosobo), Abdullah (Jombang), Aga (Malang), Imam Muclas (Surabaya), Edi (Lamongan),Hendro Purba (Mataram),Ages (Lombok Timur) Alamat Redaksi: Jl. Salemba Bluntas No. 220 C RT 007/RW 08, Kelurahan Paseban-Jakarta Pusat Telpon: 081615051010 E-mail: perlawananfmn@yahoo.com Rekening: No Rek.0005485263 BNI Cab. U.I Depok a.n. Seto Prawono. Redaksi menerima saran, kritik, dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, serta foto jurnalistik yang tidak bertentangan dengan AD/ART FMN. Tulisan ditulis pada kertas kwarto, spasi satu setengah, huruf times new roman 12, diutamakan dalam bentuk microsoft word, dan dikirim ke alamat e-mail buletin perlawanan. PERLAWANAN

1


fokus PERLAWANAN

Menagih Janji Pendidikan Murah dan Berkualitas Negara bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia dengan menjamin terselenggaranya pendidikan yang mampu dijangkau seluruh rakyat dan berkualitas sebagaimana mandat dari UUD 1945

R

ejim SBY-Kalla selalu berkampanye tentang pendidikan murah dan berkualitas. Di satu sisi, rakyat semakin sulit untuk menjangkau pendidikan dan terus dibebankan dengan mahalnya biaya pendidikan. Di tengah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), adakah janji-janji itu telah terwujud atau hanya obralan dari mulut manis SBY-Kalla? Segudang Persoalan di Kampus Bukan sekedar gosip jika kini kampus seperti UGM, UI atau ITB termasuk dalam daftar kampus termahal di Indonesia, terutama sejak diberlakukan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada 6 kampus besar (UI, ITB, IPB, UGM, UPI, dan USU) di Indonesia. Selain soal besarnya biaya masuk dan SPP, masih disusul serangkaian biaya seperti BOP, dana praktikum, sumbangan orang tua atau deretan “pungli” yang tidak jelas. Diberlakukannya sistem “jalur khusus” di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka, semakin membuka tabir komersialisasi pendidikan. Dengan uang belasan juta hingga puluhan juta, seseorang bisa dengan mudah berkuliah. Pertanyaannya, berapa banyak rakyat Indonesia yang berpenghasilan seperti itu? Mengingat, rata-rata pendapatan orang Indonesia berada di bawah 2 dollar AS per hari. Mahalnya biaya pendidikan, ternyata tidak diiringi dengan peningkatan fasilitas pendidikan. Tidak sedikit kampuskampus, baik swasta dan negeri— yang memiliki fasilitas tidak memadai. Laboratorium, ruangan kelas, bangku kuliah, WC, parkiran atau jasa internet, sering menjadi

2 PERLAWANAN

keluhan bagi mahasiswa. Iklaniklan pendidikan yang sering ditawarkan, justru sering menipu mahasiswa. Apa yang tercantum dalam brosur, ternyata tidak sesuai dengan fakta ketika mahasiswa menginjakkan kakinya di kampus. Justru yang sering terjadi, banyak fasilitas pendidikan di kampus yang didagangkan atau didirikannya fasilitas-fasilitas yang tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan mahasiswa, tetapi lebih ditujukan untuk mencari keuntungan komersil dengan cara-cara seperti penyewaan auditorium/aula, pemasangan iklan, pembukaan ritel-ritel perusahaan tertentu atau kerjasama dengan perusahaan tertentu untuk menambah pundipundi kas birokrasi kampus. Kemudian pelayanan pendidikan yang cenderung birokratis (istilahnya dipingpong) hingga soal dosen yang sering bolos ngajar, anti kritik, monologis dan dogmatis. Dosen-dosen sendiri juga terancam kehidupannya, karena rendahnya tingkat kesejahteraan yang diterima. Sementara, para petinggi kampus bisa terus mengganti mobil baru atau rumah baru dan mendapatkan kenaikan gaji. Lantas bagaimana dengan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Majalah Asia Week (2003) melaporkan bahwa kampus sekelas UI dan UGM hanya menempati urutan 60-70 an dari seluruh universitas di Asia Pasifik. Peringkat pendidikan Indonesia bahkan berada di bawah Vietnam dan Philipina,

k a r e n a m i n i m n y a lulusan pendidikan tinggi yang terserap dalam lapangan kerja formal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sarjana Indonesia yang menganggur atau bekerja tidak sesuai dengan besar biaya yang dikeluarkan ketika kuliah. Liberalisasi dan Masa Depan Pendidikan Sektor pendidikan Indonesia saat ini menuju pada liberalisasi dengan maraknya privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Setidaknya ada beberapa hal yang meindikasikan hal tersebut. Pertama, pencabutan subsidi pendidikan yang telah mendorong biaya pendidikan menjadi mahal, karena pendidikan ditujukan menjadi barang dagangan (komoditi) bukan lagi pelayanan negara terhadap rakyat. Liberalisasi sektor pendidikan sendiri secara global telah diatur oleh salah satu lembaga milik imperialisme yaitu organisasi perdagangan dunia (WTO) dalam General Agreement on Trade Services (GATS) tentang liberalisasi perdagangan jasa pendidikan.


Selanjutnya, dalam kesepakatan untuk mendapatkan utang luar negeri melalui CGI dan IMF, pemerintah diharuskan mencabut subsidi sosial, seperti pendidikan, kesehatan, BBM, listrik, air dan telepon. Hingga dalam APBN, alokasi anggaran pendidikan hanya berkisar 4-9% per tahun, dimana 40 persen porsi anggaran dialokasikan untuk pembayaran utang dan rekapitalisasi perbankan, dimana hasilnya juga tidak dinikmati oleh rakyat. Pencabutan subsidi pendidikan telah mendorong terjadinya proses privatisasi pendidikan, terutama bagi kampus-kampus negeri. Setelah memberlakukan status BHMN bagi 6 PTN terkemuka di Indonesia, pemerintah tengah berupaya menerapkan sistem Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT). Dengan BHPT, kampus-kampus di Indonesia akan diubah tak bedanya dengan perusahaan yang berorientasi profit, bukan membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam bangku kuliah dan institusi pendidkan yang bertujuan mencerdasakan kehidupan bangsa. Dorongan privatisasi pendidikan semakin jelas, ketika dalam rencana strategis (renstra) pendidikan 2005, pemerintah

secara jelas menekankan pendidikan diukur dari kemampuan ekonomi seseorang. Artinya, sekolah bermutu hanya bagi mereka yang berduit, sedangkan bagi mereka yang miskin hanya bisa mendapatkan sekolah pas-pasan. Dibukanya kerjasama dengan dunia industri—sesuai kurikulum berbasis kompetensi, tidak menjamin lulusan perguruan tinggi bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Sejauh ini, kerjasama lebih ditujukan untuk menarik minat calon mahasiswa dengan embel-embel magang kerja dan sebagainya. Terbukti, ketika musim seleksi PNS datang, tidak sedikit sarjana yang harus ngantri untuk mengikuti seleksi. Itupun belum tentu diterima, tergantung bagaiman kemampuan menyogok “orang dalam�. Atau fakta deretan sarjana yang sering mengutak-atik jasa iklan lowongan pekerjaan dan keluar masuk kantor perusahaan. Sebagai catatan, angka pengangguran masih terus bergerak naik. Pada tahun 1997 jumlah pengangguran mencapai 5,4 persen. Di tahun 2004 naik hingga 10,8 persen. Jika menghitung pengangguran tertutup atau mereka yang setengah menganggur, angka pengangguran telah mencapai

lebih dari 40 juta. Ironisnya, sebagian besar pengangguran menimpa tenaga kerja muda dan perempuan. Sekitar tiga dari sepuluh angkatan kerja berusia 15 hingga 24 tahun adalah penganggur. Kelompok muda penganggur ini mencapai dua pertiga dari total pengangguran yang ada (26,7 juta jiwa). Angka perempuan penganggur lebih besar dibandingkan dengan penganggur laki-laki. Pada tahun 2005, pemerintah menjanjikan akan menyerap 2 juta tenaga kerja bila target pertumbuhan bisa mencapai 5,5 persen. Namun angkatan kerja yang baru setiap tahun tumbuh lebih dari 2,5 juta. Depnaker dalam perhitungan terakhir menyebutkan bahwa jumlah penggangguran terbuka di seluruh Indonesia sekitar 10,25 juta jiwa. Kemungkinan tenaga kerja yang terserap hanya sekitar 1,8 juta jiwa dari 2 juta pekerja. Artinya, logika pertumbuhan ekonomi ala Bretton Woods yang diagung-agungkan pemerintah ternyata tidak mampu menyerap lulusan perguruan tinggi, karena sekitar 55 persen angakatan kerja adalah lulusan sekolah dasar ke bawah. Ancaman lain adalah masuknya perguruan tinggi asing ke dalam negeri. Terkait hal ini, pemerintah bahkan berencana akan merevisi UU Sisdiknas Nomor 20/2003 untuk memudahkan masuknya institusi pendidikan asing. Apakah kehadiran jasa pendidikan asing akan meningkatkan kualitas pendidikan? Dari segi biaya saja harganya dipastikan akan sulit dijangkau. Apalagi dengan mayoritas rakyat Indonesia yang miskin. Biaya pendidikan yang ada saat ini saja, telah menyulitkan akses untuk berkuliah. Kemudian ancaman kebangkrutan bagi kampus-kampus kecil yang kurang ternama. Jika ingin bertahan hanya dua pilihan yaitu menekan mahasiswa dengan menaikan biaya kuliah atau mengalihkan modalnya kepada kampus-kampus asing atau kampus besar (merger/akuisisi). Pilihan terakhir adalah menutup kampus, karena tidak sanggup lagi menahan besar biaya operasional.

PERLAWANAN

3


Dengan demikian, liberalisasi memang tidak menjawab persoalan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia apalagi pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masa depan pendidikan Indonesia justru terancam dengan krisis yang akan semakin kronis karena liberalisasi pendidikan yang sesungguhnya adalah “mega proyek” imperialisme di sektor pendidikan. Kampus: Corong Propaganda Imperialisme Kampus tidak bisa dinilai sebagai lembaga yang otonom secara nilai. Sebagai institusi sosial yang mengajarkan dan menyebarluaskan nilai-nilai sosial, imperialisme dan kaki tangannya di dalam negeri tentu saja berkepentingan untuk menanamkan dominasinya sekaligus hegemoninya di tengah kampus. Selain bertujuan menghasilkan tenaga kerja murah yang akan mengisi kantongkantong perusahaan imperialis dan kompradornya, kaum intelektual kampus adalah sasaran empuk bagi calon-calon “propagandis” yang akan menyebarluaskan nilai-nilai dari sistem yang mendominasi yaitu imperialisme dan feodalisme. Tidak sedikit pandanganpandangan kaum intelektual kampus yang mendukung

4 PERLAWANAN

masuknya investasi asing, menentang land reform, atau mengkebiri kekritisan mahasiswa di kampus. Hingga kemudian menjauhkan mahasiswa dari realitas “bobrok”nya kampus dan kemiskinan rakyat Indonesia. Mahasiswa takut berbicara lantang, karena di ancam nilai jelek, presensi hingga drop out (DO). Mahasiswa hanya didorong sekedar menikmati persoalan akademis kampus. Aktifitas kritis dikampus dianggap tidak sesuai dengan iklim akademis. Padahal dalam demokrasi—seperti yang sering dikutip para petinggi kampus, demonstrasi, kebebasan berpendapat, berekspresi dan berorganisasi adalah hal yang wajar-wajar saja. Mahasiswa yang katanya agent 0f change dan agent of social control, ternyata sulit menerapkan ilmunya untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang dihadapi rakyat. Hal ini terjadi karena pemberian materi-materi perkuliahan memang menjauhkan mahasiswa dari realitas kemiskinan rakyat Indonesia. Sarjana arsitektur Indonesia lebih bangga membangun gedung pencakar langit dibandingkan mendirikan perumahan bagi kaum buruh yang terus menempati bedeng-bedeng kumuh di perkotaan. Mahasiswa ekonomi dicekoki dengan teori ekonomi

pertumbuhan yang justru mengakibatkan lautan PHK dan membludaknya pengangguran. Warisan kolonial yang dipelajari mahasiswa hukum dalam KUHP dan deretan pasal karetnya, ternyata lebih sering digunakan untuk menjerat perjuangan rakyat yang menuntut hak-hak demokratisnya. Wajar kemudian jika banyak pengacara yang memilih membela pejabat korup dibandingkan membela kaum tani dan buruh. Realisasikan Anggaran Pendidikan 20 Persen Bulan Meret 2006 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa APBN 2006 yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan 9,1 persen adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Selanjutnya dalam APBN-P 2006, pemerintah harus segera meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20 persen. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak segera merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN. Namun, pemerintah justru berencana menunda pelaksanaannya dalam APBN-P 2006. Padahal dengan anggaran pendidikan minimal 20 persen, kesempatan bagi anak-anak buruh, tani dan kaum miskin perkotaan untuk mengakses pendidikan lebih terbuka. Selain itu, biaya kuliah juga bisa labih murah dan akan m e n i n g k a t k a n kesejahteraan bagi tenaga pendidik, yaitu guru dan dosen. Meskipun, anggaran pendidikan 20 persen belum sepenuhnya menghilangkan beban pembiayaan pendidikan lainnya, tapi setidaknya akan mengurangi beban masyarakat seperti biaya masuk sekolah dan biaya SPP. Berdasarkan hal di atas, benarkah rejim SBY-Kalla berkomitmen melaksanakan pendidikan murah dan berkualitas? Ataukah semua itu hanya isapan jempol semata? Rakyatlah yang bisa membuktikan. (Brhn)


fokus PERLAWANAN

ANGGARAN PENDIDIKAN 20 PERSEN : Menguji Taji Rejim SBY-Kalla Anggaran Pendidikan 20 persen kembali menuai kontroversi, karena pemerintah berencana menunda pelaksanaannya dalam APBN-P 2006 meskipun Mahakamah Konstitusi melalui Putusan 026/PUU-III/2005 telah mewajibkan pemerintah untuk segera merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN

T

anggal 22 Maret 2006 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Yayasan Nurani Dunia dan pemohon lain untuk melakukan judicial review terhadap UU No. 13 Tahun 2005 tentang APBN Sebab hanya memuat 9,1 persen anggaran pendidikan sebagai batas anggaran tertinggi. Padahal, menurut ketentuan s e t i d a k- t i d a k nya harus ada 20 persen dari total APBN/APBD. Atas dasar itu, MK menyatakan APBN 2006 menyangkut anggaran pendidikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum yang mengikat. Salah satu keahlian yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia adalah berjanji tanpa pernah berusaha merealisasikan janjinya. SBY-Kalla menjanjikan akan menaikan secara bertahap anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen pada 2009. Asumsinya dalam periode lima tahun (2004-2009) anggaran pendidikan berturut-turut mencapai 6,6 persen (2004), 9,29 persen (2005), 12,01 persen (2006), 14,68 persen (2007), 17,40 persen (2008), dan 20,01 persen (2009) dari APBN di luar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan. Pentahapan itu didasarkan pada asumsi dan basis data APBN tahun 2004, serta kenaikan anggaran pendidikan rata-rata 2,7 persen per tahun. Pemerintah sendiri yang membuat kebijakan untuk menaikan anggaran pendidikan

secara bertahap t e t a p i p a d a kenyataannya pemerintah juga

yang mengingkari besarnya kenaikan anggaran pendidikan setiap tahunnya yang sudah mereka tentukan. Anggaran Pendidikan pada APBN 2004 hanya sebesar Rp 16,8 trilyun (6,6%), kemudian pada APBN 2005 menjadi Rp 26,5 trilyun (7%), dan APBN 2006 sebesar Rp 36,7 trilyun (9,1%). Presentase ini masih jauh dari target yang dibuat pemerintah. Semakin jelas bagi kita semua bahwa SBY-Kalla tidak pernah konsisten terhadap komitmen yang telah dibuatnya sendiri. Rakyat Dikorbankan Berbicara mengenai anggaran pendidikan dalam APBN berarti kita juga berbicara mengenai biaya operasional pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Artinya semakin besar anggaran pendidikan maka pendidikan akan semakin murah dan kemungkinan setiap warga negara untuk mengakses pendidikan akan semakin besar. Dapat dibayangkan jika SBY-Kalla bersikeras membiarkan anggaran

pendidikan tetap dibawah kisaran 10 persen maka kualitas orang Indonesia tidak akan pernah meningkat. Rendahnya kualitas orang Indonesia dapat dilihat dalam indeks pembangunan manusia (Human Development Index, HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP. Pada tahun 2005, Indonesia berada di peringkat 111 dari 175 negara. Indonesia masih jauh berada di bawah Malaysia (61), Thailand (73), Filipina (84), dan bersaing ketat dengan Vietnam (108). Sebagai perbandingan di tahun 2005 ketika Indonesia hanya mengalokasikan 7% untuk anggaran pendidikan, beberapa negara lain di kawasan Asean telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak lebih dari sepuluh persen; Malaysia menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20%, sedangkan Thailand mengalokasikan dana pendidikan sebesar 31%. Kemudian Filipina menetapkan anggaran pendidikan sebanyak 10,1%. Bahkan Kamboja, negara yang lebih miskin dari Indonesia dan baru saja terbebas dari perang berani menggariskan kebijakan anggaran bagi pendidikan sebesar 15,3%. Besaran anggaran pendidikan juga berbanding lurus dengan besarnya subsidi pendidikan. Pencabutan subsidi pendidikan yang diakibatkan oleh minimnya anggaran pendidikan mendorong berbagai institusi pendidikan-baik swasta maupun negeri-mulai dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi berlomba-lomba melakukan komersialisasi pendidikan.

PERLAWANAN 5


Akibatnya biaya pendidikan melambung tinggi. Rakyat lah pihak yang paling dirugikan akibat kebijakan terutama buruh, petani, dan kaum miskin kota. Mereka kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sehingga tidak akan terjadi peningkatan kualitas pada keluarganya, selamanya mereka akan hidup dalam kemiskinan. Ketidakmampuan rakyat Indonesia untuk mengakses pendidikan dasar tergambar dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 yang mencatat tak kurang dari 15,04 juta penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun (9,07 persen) belum mampu membaca dan menulis. Angka putus sekolah pun meningkat tercatat satu juta anak yang tidak dapat melanjutkan ke SLTP dan 2,7 juta anak SLTP yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Kenaikan Bertahap Inkonstitusional Alasan pemerintah menaikan anggaran secara bertahap karena Indonesia mengalami kesulitan keuangan adalah alasan yang mengada-ada. Jika dicermati pemerintah sebenarnya memiliki dana yang cukup untuk segera merealisasikan 20 % anggaran pendidikan. Dapat dilihat untuk membayar hutang luar negeri dalam APBN 2006 pemerintah mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang. Pelunasan angsuran pokok utang dalam dan luar negeri masingmasing dianggarkan sebesar Rp 30,4 triliun dan Rp 60,4 triliun. Pembayaran bunga utang dalam dan luar negeri masing-masing dianggarkan sebesar Rp 30,7 triliun dan Rp 27,3 triliun. Data di atas menunjukan bahwa pemerintah akan menghabiskan 148,8 trilyun atau sepertiga belanja negara hanya untuk membayar hutang luar negeri. Hutang yang habis di korupsi tanpa pernah dinikmati oleh rakyat Indonesia. Lihatlah dari Jumlah Hutang Luar Negeri Indonesia yang mencapai mencapai 140 Milyar US$, 95 persennya hanya dimanfaatkan dan dinikmati 50

6 PERLAWANAN

orang saja. Bahkan Bank Dunia (WB) mengakui bahwa 30 persen hutang luar negeri Indonesia habis di korupsi oleh pemerintahan Soeharto (Data KAU). Dari Gambaran APBN 2006 kita dapat melihat bahwa SBY-Kalla tidak lebih dari anak manis negaranegara imperialis yang lebih memilih memperkaya tuannya dari pada menaikan anggaran pendidikan dan mencerdaskan bangsanya. Pemerintah tidak dapat lagi mengelak dari tanggung jawabnya untuk segera merealisasikan 20 persen anggaran pendidikan. Bahkan kini, kewajiban itu tertuang dalam berbagai macam perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Seperti pada UUD 1945 Pasal 31 (perubahan keempat) yang menegaskan bahwa negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk penyelenggaraan pendidikan. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, tapi bisa dibedakan. Pertama, anggaran pendidikan harus diprioritaskan, dan kedua, menyediakan minimal 20 persen dari APBN dan APBD u n t u k pendidikan.Tidak ada

kata bertahap dalam pasal 31 serta penjelasannya. Artinya rencana pemerintah untuk menaikan secara bertahap anggaran pendidikan telah bertentangan dengan UUD 1945. Pelanggaran terhadap UUD 1945 pun menular sampai ke daerah dengan segala tafsir dan kesalahkaprahan. Umumnya, bupati/wali kota ketika ditanya soal anggaran pendidikan, dengan bangga mereka menyebut angka 30-40 persen dari APBD atau sudah melebihi persyaratan minimal 20 persen. Padahal sesungguhnya anggaran pendidikan tidak sebesar yang disebutkan. Bupati/wali kota cenderung mencampuradukkan dana alokasi umum (DAU) dengan pos belanja sektor pendidikan. Perlu diingat, DAU adalah anggaran titipan dari pusat yang dominan berupa gaji PNS, termasuk guru. Berhubung di setiap daerah jumlah guru PNS selalu lebih dari separuh total PNS setempat, otomatis DAU selalu besar. Karena gaji guru dikelola dinas pendidikan, diklaimlah anggaran untuk gaji itu sebagai belanja pendidikan. Mereka lupa bahwa alokasi 20 persen APBN dan APBD untuk belanja pendidikan tak termasuk gaji guru. Pasal di UUD 1945 juga diperkuat oleh Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, juga menyebutkan 20 persen untuk anggaran pendidikan. Hal tersebut kembali ditegaskan dengan keputusan MK pada 22 Maret 2006 lalu mengenai anggaran pendidikan dalam APBN 2006 yang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menjadi tidak sah. Menjadi jelas bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen adalah hak bagi mereka yang dilindungi oleh berbagai produk hukum yang ada. Pemerintah berkewajiban dengan segera merealisasikan 20 persen anggaran pendidikan dari total APBN. Jika tidak, SBYKalla tidak lebih dari pelanggar konstitusi.(St)


basis PERLAWANAN

Privatisasi Begitu Nyata di UGM Mendengar nama Universitas Gadjah Mada atau UGM, sekilas akan menimbulkan decak kagum bagi kita semua. Siapa pun tahun kalau UGM adalah salah satu kampus terkemuka di Indonesia. Bagaimanakah wajah UGM saat ini?

S

ejak ditetapkan menjadi salah satu pilot project privatisasi perguruan tinggi negeri (PTN) melalui PP 153 tahun 2000, yang merubah status UGM menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), segudang persoalan kini bermunculan. Biaya Kuliah Semakin Mahal Saat ini, untuk masuk UGM harus membayar Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) minimal Rp 5 juta yang berlaku sejak tahun 2003. Terkait dengan hal ini, tidak sedikit mahasiswa yang sesungguhnya keberatan dan membayar di bawah jumlah tersebut, karena ketidaksanggupan secara ekonomi. Selain SPMA masih ada pembayaran rutin seperti SPP, Biaya operasional pendidikan (BOP) dan biaya asuransi kesehatan (askes). Jika di tahun 2000 biaya SPP per semester masih Rp 400 ribu, sejak tahun 2001 hingga tahun 2005, mahasiswa harus membayar Rp 500 ribu per semester. Dalam dua tahun terakhir ini, selain membayar SPMA, mahasiswa UGM harus mengeluarkan biaya rata-rata per

semester Rp 1.610.000 untuk mahasiswa non exacta dan Rp 1.880.000 untuk mahasiswa exacta. Namun, ada juga mahasiswa yang diwajibkan membayar sumbangan pembangunan, sebagaimana yang dialami mahasiswa Teknik Jurusan Teknik Arsitek 2001 yang harus membayar Rp 2.400.000 untuk sumbangan pembangunan. Selain SPMA, BOP juga menjadi salah satu persoalan bagi mahasiswa. Sebelumnya di UGM tidak mengenal istilah BOP, mahasiswa hanya dikenakan biaya SPP dan biaya akses per semester. Sistem BOP mulai diterapkan sejak tahun 2002. Untuk mahasiswa 2002 dan 2003, BOP masih dalam bentuk paket dengan besar biaya Rp 750.000/ semester untuk mahasiswa exacta dan Rp 500.000/semester untuk mahasiswa non exacta. Jadi, berapapun SKS yang diambil, bayarnya tetap segitu. Tapi sejak tahun 2004, BOP berupa SKS Variabel yang pembayarannya ditetapkan maksimal 18 SKS dikali tarif variabel dengan besar biaya Rp 75.000/sks bagi mahasiswa exacta dan Rp 60.000/sks bagi mahasiswa non exacta. Mahasiswa yang mangambil di bawah 18 SKS harus membayar sesuai jumlah yang diambil dikali tarif variabel. Berbagai tanggapan pun muncul dari mahasiswa. Menurut Fajar (mahasiswa Jurusan Antrhopologi Fakultas Ilmu Budaya 2005), dirinya merasa sangat keberatan atas besarnya biaya kuliah di UGM, namun untung saja keluarganya masih mampu membiayai. Ada juga mahasiswa yang awalnya merasa keberatan akan besarnya biaya kuliah di UGM, namun karena adanya tawaran beasiswa seperti keringanan BOP dan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik

(PPA), hal itu tidak terlalu menjadi persoalan. Sebagaimana yang diungkapkan Syarif (mahasiswa Tekhnik Arsitek UGM 2004) dan Imam (mahasiswa Teknik Mesin UGM 2005). Sementara bagi Sueb (mahasiswa Teknik Arsitek UGM 2001), dirinya tidak terlalu merasa keberatan akan mahalnya biaya pendidikan di UGM karena fasilitas yang tersedia sesuai dengan apa yang dibayarkan. Berbagai tanggapan dari mahasiswa UGM, terutama yang merasa pembiayaan kuliah di UGM wajar-wajar saja, setidaknya menunjukkan bahwa UGM kini diisi oleh mahasiswa kalangan menengah ke atas yang cukup mampu. Karena, jika mengacu pada pendapatan per hari penduduk Indonesia yang di bawah 2 dollar AS dan meningkatnya segala kebutuhan hidup saat ini, sulit membayangkan jika anak-anak dari golongan miskin atau menengah ke bawah bisa mengakses bangku kuliah di UGM. SK Rektor yang Bermasalah Tanggal 7 Maret 2006, mahasiswa dicengangkan dengan dikeluarkannya SK Rektor UGM No.109/P/SK/HT/2006 tentang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) bagi mahasiswa UGM. Intinya, SK ini mengatur tentang penyamaan biaya kuliah bagi seluruh mahasiswa UGM sebelum angkatan 2006/2007. Dengan SK ini, semua mahasiswa UGM sebelum angkatan 2006/2007 akan dikenakan biaya kuliah sama dengan biaya kuliah mahasiswa angkatan 2004 dan 2005. Selain itu, akan memberatkan bagi calon mahasiswa yang akan masuk atau mahasiswa UGM Angkatan 2006 nanti. Karena, biaya kuliah bagi mahasiswa angkatan 2006 akan lebih mahal dari angkatan-

PERLAWANAN 7


angkatan sebelumnya. Hal itu bisa dilihat dari isi SK yang menyatakan bahwa pembayaran BOP untuk angkatan 2006 dan seterusnya bersifat penuh (full variable) sesuai dengan jumlah SKS yang diambil kali tarif variabel. Parahnya, SK ini juga berlaku dalam pelaksanaan sistem Semester Pendek (SP).Terkait dengan hal itu, sejumlah mahasiswa lama yang ditemui koresponden PERLAWANAN mengungkapkan rasa keberatannya atas dikeluarkannya SK Rektor tersebut. Pemberlakuan SK Rektor UGM terbaru ini, semakin menunjukkan bahwa UGM benar-benar telah merubah wajah institusi pendidikannya bukan lagi sebagai lembaga yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan membuka akses seluasnya bagi seluruh rakyat tapi telah berubah menjadi lembaga profit oriented. Mana Fasilitas yang Dijanjikan Meskipun biaya kuliah di UGM terus dinaikkan, tidak jarang mahasiswa yang mengeluhkan tentang penyediaan fasilitas pendidikan di kampus. Hampir keseluruhan mahasiswa di Fakultas Hukum (FH), Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Fakltas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), mengeluhkan tentang kelengkapan fasilitas belajar mengajar seperti ruangan kelas yang terlalu sempit. Mahasiswa mengeluhkan tentang jumlah mahasiswa yang terdaftar di kelas sering tidak sesuai dengan kapasitas ruangan, sehingga suasana belajar menjadi kurang nyaman karena terlalu penuh. Tidak jarang ada mahasiswa yang terpaksa bolos kuliah karena kehabisan tempat duduk. Ditambah lagi buruknya kualitas AC yang menyebabkan ruangan kelas tetap panas dan sumpek. Fasilitas lain yang bermasalah adalah perpustakaan yang kurang lengkap dan laboraturium—khususnya ruang peradilan semu bagi mahasiswa Fakultas Hukum—yang tidak tersedia. Mahasiswa juga

8 PERLAWANAN

mengeluhkan tentang metode pengajaran yang digunakan oleh hampir mayoritas dosen di 3 (tiga) fakultas tersebut yang terlalu monologis. Mereka menilai apa yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan SPP yang dikeluarkan. Di lain sisi, pihak kampus UGM justru membangun beberapa mega proyek, seperti pembangunan taman-taman dan renovasi gerbang utama UGM yang diperkirakan menelan biaya ratusan juta rupiah. Pembangunan ini juga menimbulkan persoalan, terutama bagi pedagang kaki lima di sekitar kawasan UGM. Sejak

adanya renovasi gerbang utama, pedagang kaki lima tidak diperbolehkan berjualan di sekitar gerbang utama. Akses masuk melalui gerbang utama UGM juga ditutup bagi kendaraan umum. Sayangnya, pihak pimpinan kampus UGM tidak pernah melakukan transparansi atas segala penggunan biaya yang dikeluarkan. Temuan koresponden PERLAWANAN di lapangan mengungkapkan bahwa sejauh ini, belum pernah ada transparansi dana dari birokrasi kampus kepada mahasiswa. Mahasiswa bahkan tidak pernah tahu ke mana saja dana-dana yang telah dibayarkan itu. Alokasi

pengeluaran dana untuk pos-pos apa saja di kampus juga tidak pernah disosialisasikan kepada mahasiswa. Mahasiswa Tetap Bergerak Di tengah upaya depolitisasi dan deorganisasi oleh pihak UGM dengan memberlakukan kode etik, jam malam dan pengetatan perkuliahan melalui sanksi presensi 75% bagi mahasiswa, upaya mengkritisi kebijakankebijakan kampus yang merugikan mahasiswa tetap dilakukan mahasiswa. FMN termasuk salah satu ormas yang aktif dalam perjuangan mahasiswa di UGM. Akhir tahun 2003 dan awal tahun 2004, Aliansi Mahasiwa Peduli Fakultas Hukum (AMPUH) UGM menuntut penambahan ruang kelas di FH UGM. Tuntutan ini dipenuhi dengan dibangunnya gedung baru di FH UGM. Tanggal 20 Mei 2005, aksi mahasiswa yang tergabung dalam Forum Peduli (FP) UGM menuntut penolakan status BHMN UGM dan realisasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN. Terakhir, mahasiswa menggelar unjuk rasa yang sempat diwarnai bentrokan dengan aparat keamanan kampus, menolak status BHMN UGM serta menuntut penghapusan SPMA, BOP dan SKS Variabel ketika memperingati Dies Natalis UGM, 19 Desember 2005. Tentu saja, aksi-aksi mahasiswa menuntut hak-hak demokratisnya di UGM akan terus berlanjut, mengingat rencana pemerintah menerapkan Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT) yang secara resmi akan melegalkan kampus sebagai perusahaan bisnis pendidikan. Jika hal itu sungguh-sungguh terjadi, benar kemudian ungkapan Roni seorang pedagang bakso di kawasan Wirobrajan, Yogyakarta, bahwa “UGM sekarang hanya bisa diakses oleh orang berduit saja, orang-orang miskin hanya tinggal bermimpi saja untuk bisa kuliah. Yah, UGM yang dulunya membumi kini makin melangit. (WwN)


NYALA PERLAWANAN Perkuat Konsolidasi, Gelorakan Perjuangan Massa Di Kampus dan Pererat Kerjasama Gerakan Pemuda-MahasiswaDengan Seluruh Rakyat Ter tindas Melawan Imperialisme dan Kaki Tangannya di Indonesia Catatan Untuk Hardiknas dan May Day 2006 Bangkitnya Gerakan Massa saat ini menunjukkan betapa kronisnya krisis yang dialami rakyat Indonesia, dimana penghidupan rakyat terus terancam hingga rakyat tak lagi diam tapi bangkit, bergerak dan mengorganisasikan diri menuntut hak-hak demokratisnya kepada rejim SBY-Kalla yang semakin setia menjadi pelayan imperialisme

A

wal Mei 2006, mata kita akan dihadapkan pada dua peristiwa penting yaitu perayaan Hari Buruh Sedunia (May Day) pada 1 Mei dan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh setiap tanggal 2 Mei. Dua peristiwa ini tiap tahunnya selalu disikapi dengan gelombang demonstrasi menuntut hak-hak normatif buruh dan hak rakyat atas pendidikan Tulisan ini mencoba memaparkan tentang peran apa yang bisa oleh gerakan pemuda-mahasiswa dalam menyikapi dua peristiwa besar ini. Perkuat Terus Konsolidasi Merapatkan barisan atau mengkonsolidasikan diri adalah hal terpenting bagi gerakan massa saat ini untuk terus bangkit dan bergerak melawan imperialisme beserta kaki tangannya di Indonesia. Meskipun silang pendapat atau pertentangan kecil sering muncul di kalangan kekuasaan terutama antara DPR dan Kepresidenan (SBY dan Kalla), bukan berarti hal ini telah mengarah kepada kematangan kontradiksi di kalangan reaksioner atau krisis politik. Namun, potensi untuk terjadinya krisis politik selalu terbuka setiap saat, seiring dengan terus bergeloranya perjuangan massa di mana-mana. Sejauh ini, kediktatoran bersama antara borjuasi besar komprador, tuan tanah dan kapitalis birokrat yang direpresentasikan oleh rejim SBYKalla masih terkonsolidasi dengan kuat. Artinya, menjadi tugas mendesak bagi gerakan massa demokratis—baik gerakan kaum buruh, kaum tani, pemuda-

mahasiswa, kaum perempuan, kaum miskin kota dan sektor progresif lainnya—untuk terus merapatkan barisannya. Untuk kembali mempersiapkan segala pukulan kecil hingga yang terbesar bagi rejim SBY-Kalla sebagai muara dari setiap perjuangan massa seluruh rakyat Indonesia saat ini. Di tengah situasi krisis ekonomi yang terus menajam dan terus mengancam penghidupan seluruh rakyat tertindas di Indonesia yang diakibatkan dari kebijakan-kebijakan rejim SBYKalla yang makin setia menjadi pelayan imperialisme dan telah memicu bangkitnya perjuangan massa yang terus meluas, kita kemudian menyadari bahwa kekuatan-kekuatan ini perlu dikonsolidasikan baik di internal masing-masing ataupun dalam sebuah front persatuan. Dalam k o n t e k s memperkuat konsolidasi di i n t e r n a l , p i m p i n a n p i m p i n a n organisasi merupakan sasaran awal dan utama untuk dikonsolidasikan. S e b a g a i pimpinan massa y a n g berkewajiban menjadi teladan bagi massa s e k a l i g u s mengarahkan perjuangan m a s s a ,

pimpinan-pimpinan organisasi harus disatukan pikiran dan tindakannya tentang bagaimana memimpin organisasi dan mengarahkan perjuangan massa sesuai dengan tingkat kesadaran massa. Dengan dilandasi “Gerakan Pembetulan�, pimpinanpimpinan organisasi harus memahami betul makna garis perjuangan anti imperialisme dan anti feodalisme diterapkan dalam dataran praktis perjuangan massa yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan kesadaran massa. Ambil contoh, ketika privatisasi dan komersialisasi pendidikan— yang sesungguhnya merupakan skema penindasan imperialisme di sektor pendidikan, makin menjadi-jadi di berbagai kampus seperti mahalnya biaya pendidikan dan minimnya fasilitas, organisasi-

PERLAWANAN 9


organisasi pemuda-mahasiswa terkesan adem ayem. Padahal, itu adalah persoalan konkret massa yang perlu mendapatkan perhatian serius dari gerakan pemuda-mahasiswa. Apalagi kampus adalah basis utama bagi gerakan pemuda-mahasiswa. Disinilah pentingnya pekerjaan edukasi atau propaganda perlu untuk terus ditingkatkan. Kemudian menjalankan dengan teguh prinsip-prinsip organisasi, yaitu Garis Massa, Sentralisme Demokrasi , Kepemimpinan Kolektif dan Sistem Komite. Tanpa itu, pimpinan-pimpinan organisasi tidak akan sanggup memimpin perjuangan massa dan organisasi dengan tepat. Secara umum ke empat prinsip tersebut bertujuan agar pimpinan-pimpinan massa bisa mengarahkan dengan tepat perjuangan massa, menegakkan disiplin dalam berorganisasi, tidak bergantung pada segelintir orang dalam oganisasi dan mengaktifkan seluruh jajaran pengurusnya. Salah satu upaya dari hal ini adalah bagaimana menyelenggarakan forum-forum demokratis dalam tubuh organisasi Meskipun fokus konsolidasi ditujukan kepada pimpinan-pimpinan organisasi, bukan berarti anggota dan massa tidak menjadi perhatian dalam pekerjaan konsolidasi. Menjalankan pengorganisasian dan propadaganda solid dalam pengorganisasian anggota dan massa adalah kunci untuk terus merapatkan barisan serta meningkatkan kesadaran anggota dan massa. Selanjutnya, kekuatan-kekuatan yang terus terkonsolidasikan tersebut di konsolidasikan lagi dalam suatu front persatuan anti imperialisme dan anti feodalisme yang bersandar pada kekuatan buruh dan tani untuk memperluas kekuatan dan dukungan sebagai upaya mengisolir klik rejim SBYKalla. Dengan semakin terkonsolidasinya pimpinan dan massa, maka bukan tidak mungkin pengaruh gerakan massa akan terus meluas, membesar dan terus memberikan pukulanpukulan yang berarti bagi rejim SBY-Kalla.

10 PERLAWANAN

Gelorakan Perjuangan Massa di Kampus Kampus adalah basis utama bagi gerakan pemudamahasiswa, namun gerakan pemuda-mahasiswa justru sering terbentur dengan bagaimana membangkitkan dan menggerakkan massa pemudamahasiswa di kampus untuk menuntut hak-hak demokratis dan berjuangan bersama seluruh rakyat tertindas. Tentu semuanya memiliki ujung pangkalnya Dominasi imperialisme begitu nyata dalam kehidupan mahasiswa saat ini. Mahalnya biaya kuliah di berbagai kampus negeri saat ini tidak terlepas dari kebijakan memprivatisasi pendidikan dengan meratifikasi General Agreement on Trade Services (GATS) WTO tentang liberalisasi perdagangan jasa pendidikan. Hingga telah mendorong pencabutan subsidi sosial untuk sektor pendidikan dengan menekankan beban kenaikan biaya kuliah bagi mahasiswa. Hal itu makin nyata dengan rencana pemerintah memberlakukan RUU BHP yang akan menjadikan insititusi pendidikan menjadi perusahaan bisnis. Hal itu ternyata berbandung terbalik dengan fasilitas pendidikan yang tersedia di kampus. Keluahan-keluhan tentang minimnya fasilitas tidak sedikit yang datang dari mahasiswa. Belum lagi sistem pengajaran yang menjenuhkan, pelayanan akademis yang berbelit-belit dan ancaman menjadi pengangguran ketika lulus nanti. Bukankah ini persoalan besar bagi pemuda-mahasiswa yang merupakan salah satu tonggak bangsa? Selama ini, Gerakan pemuda-mahasiswa terlihat lebih sering menarik massa ke luar kampus untuk menyikapi politik nasional. Bukan berarti hal ini salah, tetapi dengan belum demokratisnya kampus dan tingkat kesadaran massa yang belum berkembang pesat, perjuangan-perjuangan di kampus menjadi modal dasar untuk terus membangkitkan kesadaran massa. Hal lain bahwa

kampus juga bagian dari negara, hingga menyikapi persoalan kampus secara tidak langsung juga melawan penindasan dari rejim yang berkuasa. Karena kebijakan kampus adalah mandat dari negara yang hingga pemerintahan rejim SBY-Kalla masih tetap menjadi kaki tangan imperialisme. Di lain sisi, keberadaan organisasi-organisasi (baik intra atau ekstra kampus) yang selama ini lebih sering “sikut-sikutan�, juga memiliki andil dalam persoalan minimnya atau rendahnya ketertarikan mahasiswa pada organisasi dan pergerakkan. Padahal, ketika di kampus musuh mahasiswa hanya satu, yaitu rektor/dekan atau yayasan yang melahirkan kebijakan-kebijakan merugikan bagi mahasiswa. Untuk itu, penting bagi gerakan pemuda-mahasiswa kembali menggelorakan perjuangan massa di kampuskampus. Dengan masifnya perjuangan massa di kampus, akan melatih mahasiswa bahwa tuntutan mahasiswa hanya bisa didapatkan lewat perjuangan massa. Selanjutnya, melatih massa dari takut berdemo, emoh berorganisasi atau takut berpendapat lantang, menjadi yakin dengan hal tersebut. Secara tidak langsung, hal itu akan mendorong organisasi-organisasi di kampus untuk memperkuat persatuan karena mendasarkan perjuangannya pada tuntutan yang sama. Untuk menopang keberhasilan tersebut, maka harus dimulai menggiatkan Investigasi Sosial dan Analisa Klas (ISAK) untuk mengetahui persoalan-persoalan konkret massa mahasiswa di kampus sebagai rujukan untuk menggelorakan perjuangan massa di kampus. Selanjutnya menggencarkan dan menyebarluaskan propaganda di kalangan massa (mengkombinasikan persoalanpersoalan konkret dan politik nasional), diskusi-diskusi di tengah massa, diskusi terbuka di kampus, melakukan pengorganisasian solid melalui pembentukan grup-grup


pengorganisasian solid, menggalang aliansi di tingkat kampus dan menggelar aksi-aksi di kampus menuntut hak-hak demokratis mahasiswa. Pererat Kerjasama Dengan Rakyat Tertindas Gerakan pemudamahasiswa juga harus menyadari bah wa perjuangan melawan imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat adalah perjuangan bersama seluruh rakyat tertindas di Indonesia. Untuk itulah, kenapa kita selalu berucap bahwa gerakan pemudamahasiswa harus bersatu dan berjuang bersama rakyat. Pemuda-mahasiswa tidak hanya berjuang menuntut hak-hak demokratisnya, pemudamahasiswa juga perlu memahami secara konkret tentang masyarakat Indonesia. Karena keterbelakangan dan kemiskinan rakyat Indonesia tidak didapatkan dalam kurikulum pendidikan yang diajarkan di kampus-kampus. Tuntutan pendidikan kuliah murah dan sekolah gratis bagi anak-anak buruh, tani dan kaum miskin kota tentu bukan tanpa alasan dilontarkan begitu saja. Karena gerakan pemudamahasiswa menyadari betul betapa penghidupan sehari-hari rakyat saat ini menyulitkan bagi mereka untuk mengenyam

pendidikan. Lihatlah rata-rata buruh dan kaum tani di Indonesia adalah mereka yang berpendidikan sekolah dasar ke bawah atau tidak mengenyam bangku sekolah sama sekali. Begitupun halnya ketika ada tuntutan jaminan lapangan pekerjaan bagi rakyat, bukan hanya buruh yang berkepentingan akan hal ini tetapi juga pemudamahasiswa yang senantiasa dihantui ancaman penganggguran ketika lulus kelak. Terkait dengan peringatan May Day dan Hardiknas 2006, tugas mendesak yang harus dilakukan oleh gerakan-pemuda mahasiswa selain merapatkan barisannya dan menggelorakan perjuangan massa di kampuskampus, kemudian bergabung dan melakukan mobilisasi besarbesaran pada puncak aksi May Day dan Hardiknas 2006 dalam front demokratik berkarakter anti imperialisme dan anti feodalisme. front ini adalah wadah persatuan seluruh kekuatan rakyat Indonesia yang berperan menarik dukungan dan memperluas kekuatan massa untuk mengucilkan klik rejim SBYKalla. Front ini bertumpu pada aliansi kekuatan klas buruh dan kaum tani. Peranan gerakan Pemuda-Mahasiswa dalam front tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan. Artinya, pemudamahasiswa selalu siap bahu-

membahu dengan kekuatan pokok kelas buruh dan kaum tani dalam front. Kerjasama lain yang bisa dilakukan oleh gerakan pemudamahasiswa adalah menjadi tenaga-tenaga propagandis dan mobilisasi di kantong-kantong basis buruh untuk mengoptimalkan propaganda di kalangan massa buruh dan mobilisasi besar-besaran pada May day nanti. Kampus juga dibuka untuk mendiskusian persoalan-persoalan kaum buruh dengan melibatkan langsung unsur dari klas buruh. Disinilah kita mulai meletakkan dasar persatuan antara gerakan pemuda-mahasiswa dengan kekuatan klas buruh. Itulah beberapa catatan bagi gerakan pemuda-mahasiswa di Indonesia menyongsong perayaan Hari Buruh Sedunia dan Hardiknas 2006. Kiranya, catatancatatan ini bisa menjadi perhatian dari seluruh gerakan pemudamahasiswa di Indonesia. Bangkitlah Kaum Muda Indonesia dengan memperkuat konsolidasi, menggelorakan perjuangan massa serta bersatu dan berjuang bersama seluruh rakyat tertindas melawan rejim SBY-Kalla sebagai Boneka Imperialisme di Indonesia. (WwN)

PERLAWANAN

11


BUMI PERLAWANAN

Krisis Imperialisme Melahirkan Kebangkitan Gerakan Massa di Belahan Dunia Peristiwa-peristiwa di belahan dunia menunjukkan bangkitnya perlawanan rakyat terhadap imperialisme dan kaki tangannya, membuktikan bahwa sehebat apapun Imperialisme, ketika rakyat dan bangsa seluruh dunia bangkit melawannya, liang kubur bagi imperialisme telah terbuka. “Imperialism is a Paper Tiger” Pemuda-Mahasiswa dan Buruh Prancis Bersatu Tolak Sistem Kontrak Setelah diguncang badai aksi massa anti-diskriminasi terhadap kaum migran (yang mayoritas adalah klas buruh) sepanjang Nov ember 2005, Pemerintah Perancis kembali menghadapi gelombang gerakan mogok yang dimototi buruh dan pemudamahasiswa. Aksi dipicu dengan dikeluarkannya undang-undang tentang perjanjian kontrak kerja atau First Employment Contract (Kontrak Kerja Pertama) oleh Perdana Menteri Dominique de Villepin pada awal Maret 2006. Kebijakan ini mengatur bahwa perusahaan boleh memberhentikan kontrak kerja bagi mereka yang di bawah usia 26 tahun setiap saat selama dua tahun periode uji coba tanpa penjelasan dan peringatan. Tak mengherankan bila kebijakan tersebut diprotes jutaan buruh dan pemuda-mahasiswa di seluruh Perancis. Sekitar 1,8 juta demonstran berkumpul di berbagai kota pada tanggal 18 Maret. Disusul dengan berbagai rally (rapat umum), demonstrasi jalanan, march, dan mogok di hari-hari selanjutnya. Polisi dan pihak keamanan Perancis bahkan membubarkan rapat-rapat tersebut dengan kekerasan di sekitar Universitas Sorborne dan pusat-pusat industri. Namun aksi tetap dijalankan dengan militansi yang tinggi. Meskipun Presiden Perancis, Jacques Chirac, telah mencabut UU tersebut pada 10 April 2006, ancaman dan serangan kaum kapitalis monopoli tetap menghantui klas buruh, pemuda, kaum migran minoritas dan rakyat pekerja pada umumnya. Gerakan

12 PERLAWANAN

massa yang bangkit di Prancis memberikan beberapa pelajaran berharga yaitu; semakin tajamnya kontradiksi antara kekuatan kapitalis monopoli melawan klas buruh dan kaum tertindas lainnya di negeri imperialis. Selanjutnya, pentingnya aksi-aksi sosialekonomi dan politik yang terorganisasi dan terkonsolidasi untuk memperjuangkan hak-hak demokratis rakyat serta pentingnya persatuan seluruh rakyat tertindas yang tidak hanya didasari persatuan kepentingan ekonomi dan politik semata, namun kesetiakawanan (solidaritas) dan persatuan senasib serakyat. (red) Amerika Serikat Diguncang Aksi Massa Pada tanggal 11 April 2006, tak kurang dari 100 kota di seluruh AS dibanjiri oleh ratusan ribu pengunjuk rasa. Demonstrasi terkait dengan Rancangan Undang-undang (RUU) Imigrasi yang sedang dibahas di Kongres. Kaum kapitalis monopoli yang diwakili pemerintahan George W. Bush Jr. secara jelas menunjukkan watak nasionalis-sovinis-nya dengan mengeluarkan kebijakan berbau rasis dalam UU RUU ini. Melalui RUU ini, setiap imigran gelap akan ditindak tegas (baca: dengan kekerasan) dan dibatasinya kuota tenaga kerja asing. Ratusan ribu demonstran (mayoritas adalah klas buruh) dari berbagai ras, agama, etnis, dan suku bangsa menyuarakan tuntutannya mulai dari New York di pantai timur sampai dengan San Diego di pantai barat. Bahkan, wali kota Los Angeles, Antonio Villaraigosa (yang juga seorang imigran), mendukung aksi

tersebut. Sedangkan Senator Ted Kennedy, yang turut serta dalam aksi, menyatakan bahwa Senat telah meningkari kenyataan bahwa Amerika sebenarnya adalah bangsa imigran. Para demonstran berseru: “Hey Joe (panggilan George W. Bush Jr), You Have to Resign (Kamu Harus Mundur)”, “Kami (rakyat) adalah Pekerja, Bukan Kriminal” dan berbagai tuntutan lainnya. (red) Raja Gyanendra Di Ujung Tanduk Negeri Himalaya atau Nepal sedang mengalami situasi krisis yang bukan hanya sekedar krisis politik tapi telah mengarah pada sebuah perubahan yang radikal. Sampai berita ini turun, gelombang aksi-aksi massa radikal dan militan oleh puluhan ribu pengunjuk rasa di Khatmandu dan pergolakan massa di seantero Nepal masih terus berlangsung di negeri berpenduduk 27 juta jiwa tersebut. Krisis yang terjadi di Nepal saat ini terkait dengan tuntutan agar Raja “lalim” Gyanendra segera mundur dan segera didirikannya republik demokratis untuk memulihkan kehidupan politik dan hak-hak


demokratis rakyat Nepal. Sebagaimana diketahui raja Gyanendra telah membubarkan Parlemen dan memonopoli kekuasaan di tangannya. Hal ini memicu pertentangan yang menajam antara kaum oposan yang dimotori aliansi 7 partai politik bersatu dan juga seluruh rakyat di Nepal termasuk dengan gerilyawan Maois yang dicap pemberontak oleh pemerintahan Gyanendra. Sebelumnya, serangkaian aksi blokade ekonomi dan pemogokan transportasi dilakukan di lembah Khatmandu dan wilayah utama rejim reaksioner (markas tentara kerajaan) dari 14 Maret hingga 3 April 2006. Sejak 6 April 2006, mogok politik nasional dilakukan besar-besaran terutama di ibukota Khatmandu. Sedangkan di pedesaan, kekuatan rakyat yang bertumpu pada kaum tani semakin terkonsolidasi dan melakukan perlawanan yang hebat terhadap reaksi keras dari aparat kekerasan Gyanendra, meskipun evakuasi paksa dan pembakaran desa, bombardir, penembakan membabi buta terhadap rakyat semakin meningkat. Reaksi “tangan besi” rejim Gyanendra di perkotaan dengan melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh politik dan

organisasi massa pada saat mogok, pembubaran paksa dengan kekerasan pada rapatrapat umum dan perintah tembak di tempat bagi pelanggar jam malam di Khatmandu dan kotakota penting lainnya.justru semakin meningkatkan kebencian rakyat terhadap rejim aristokrat feodal dan antek imperialisme AS ini. Raja Gyanenedra sedang di ujung tanduk, Rakyat Nepal tengah menanti masa depan yang gilang gemilang. (red) Gerakan Massa Membuat Arroyo Panik Perlawanan yang meninggi terhadap rejim boneka imperialis AS juga terus berlanjut di Filipina. Sejak meningkatnya gerakan massa anti Arroyo pertengahan 2005, Arroyo menyatakan negara dalam keadaan bahaya (martial law) pada tanggal 17 Februari 2006 melalui Proklamasi No. 1017. Martial Law Arroyo mengingatkan pada “hukum besi” ketika rejim Marcos masih berkuasa. Arroyo melarang adanya demonstrasi dan sering membubarkan secara paksa demonstras-demonstrasi yang dilakukan. Bahkan, penangkapan hingga penembakan terhadap tokoh-tokoh politik dan aktifis gerakan massa masih berlanjut. Salah satunya yang dialami Cris Hugo (aktifis LFS) yang tewas ditembak pada 19 Maret 2006. Saking paniknya, Arroyo menuding adanya upaya kudeta oleh sejumlah perwira muda dan sebagian anggota Kongres Filipina. Sejauh ini, 5 anggota Kongres yang dimaksudkan Arroyo masih bertahan di gedung Kongres. Sementara perwira-perwira muda yang dituding sebagai pemberontak terus diburu, ditangkap dan diadili di mahkamah militer Filipina. Sebagai catatan, banyak perwira, tamtama dan bintara muda di Filipina yang tidak puas dengan para Jendralnya yang terus memperkaya diri dengan menjadi “begundal” pelayan imperialis AS. Maju terus Rakyat Filipina, Resign GMA! (red)

Thaksin Mundur, PR belum Selesai Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, akhirnya meletakkan jabatannya dan menyerahkan kepada Deputi Perdana Menteri Chidchai Vanansathidya pada 6 April 2006, setelah mendapat tekanan dari gerakan massa dan kelompok oposisi sejak Februari 2006. Jatuhnya Thaksin dipicu kebijakannya menjual saham Perusahaan Telekomunikasi Thailand yang dikuasai keluarganya ke perusahaan telekomunikasi Singapura (Temasek Singtel Co.), menerapkan kebijakan sensor terhadap media massa dan pers saingannya (Thaksin juga konglomerat media massa), tindakan sovinisme (nasionalisme sempit berlebihan) terhadap suku bangsa minoritas di PattaniThailand Selatan serta berbagai kebijakan ekonomi dan politik lainnya yang menguntungkan imperialis dan klik kompradornya. Mundurnya Thaksin, bukan berarti telah menghentikan laju kemerosotan hidup rakyat Thailand yang semakin akut terutama sejak krisis ekonomi 1997 yang menerpa kawasan Asia Tenggara. Mengingat, masih berkuasa dan berpengaruhnya Raja Bhumibol Adulyadej secara ekonomi-politik dan kebudayaan beserta pemerintahan monarkhi konstitusional ala Inggris yang korup dan lebih berfungsi sebagai antek imperialis di Thailand adalah “PR” yang juga harus segera diatasi. Di lain sisi, Thaksin (sepertinya halnya Soeharto di Indonesia) masih memasang antek-anteknya untuk tetap berkuasa. Sedangkan partainya, Thai Rak Thai (Bangsa Thai Cinta Tanah Thai), masih berkuasa, terutama di dalam parlemen. Pengaruh kuat yang didukung secara finansial oleh komprador dalam negeri dan kapitalis monopoli asing. Dengan demikian, gerakan massa dan perjuangan rakyat di Thailand masih harus ditingkatkan intensitas perlawanannya hingga mampu merubah tatanan yang lebih demokratis. (red)

PERLAWANAN 13


Gerigi PERLAWANAN

Revisi UUK Menambah Derita Klas Buruh Indonesia Pergolakan massa terus meningkat dengan bangkitnya gerakan massa buruh saat ini menentang rencana rejim SBY-Kalla merevisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bukan tanpa alasan yang jelas jika kemudian ribuan buruh di Indonesia menentang rencana jahat rejim SBY-Kalla

P

eriode Februari sampai April Tahun 2006 bisa dikatakan sebagai periode kebangkitan gerakan massa demokratis kaum buruh. Hampir di seluruh kota yang merupakan pusat industri di Indonesia, seperti Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Medan dan Palembang menggelar aksi-aksi protes yang disertai dengan ancaman pemogokan ekonomi. Sedikitnya 500 ribu buruh secara aktif terlibat dalam gerakan perlawanan menolak rencana revisi UUK No 13 tahun 2003. Simpati dan dukungan luas juga mengalir dari hampir seluruh kekuatan rakyat tertindas di Indonesia dengan suara yang sama, yaitu “hentikan” upaya revisi terhadap UUK No 13 Tahun 2003. Rencana Jahat Imperialisme dan Kaki Tangannya Upaya revisi UUK dilatarbelakangi oleh keinginan Rejim SBY-Kalla untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif di Indonesia agar berbagai hambatan dan kendala bagi beroperasinya kapitalisme monopoli internasional atau Imperialisme di Indonesia dapat dihapuskan dan lebih lanjut Indonesia bisa dijadikan sebagai tempat yang aman dan menguntungkan bagi eksport kapital mereka. Melalui Instruksi Presiden No 3 Tahun 2006 yang ditandatangani akhir Februari 2006, pemerintah menetapkan serangkaian paket kebijakan dalam kerangka perbaikan dan peningkatan iklim investasi. Paket kebijakan antara lain meliputi; pertama, paket kebijakan untuk menggerakan pembangunan infrastruktur dan investasi pada umumnya. Kedua, paket kebijakan untuk memperbaiki

14 PERLAWANAN

s i s t e m kepabeanan, perpajakan, perizinan investasi dan b e r b a g a i p r o s e d u r birokrasi guna mempercepat proyek-proyek besar yang tertunda. Salah satu realisasinya adalah dengan mempercepat kesepakatan antara Exxon Mobil Oil d e n g a n Pertamina. Ketiga, paket kebijakan yang terkait dengan berbagai skema pembiayaan guna mendukung peningkatan kapasitas investasi dunia usaha. Keempat, reformasi birokrasi dengan tujuan menghilangkan berbagai kendala birokratis yang menghambat investasi. Dan yang berikutnya adalah mengenai soalsoal “perburuhan”. Dalam soal perburuhan inilah kemudian Rezim SBY-Kalla menyiapkan sebuah draft Revisi UUK. Dengan pandangan bahwa UUK yang ada selama ini dipandang terlalu menguntungkan bagi buruh dan sebaliknya merugikan bagi kalangan pengusaha (utamanya pengusaha asing). Hal itu bisa terlihat dari berbagai tekanan kalangan borjuasi melalui Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang ditukangi Sofyan Wanandi ataupun Kadin (Kamar Dagang dan Industri) yang selalu menyatakan bahwa UUK yang lama perlu direvisi karena sejumlah pasal dipandang memberatkan pihak pengusaha.

Pasal-pasal yang dimaksudkan diantaranya mengenai kewajiban pengusaha untuk memberikan pesangon bagi buruh yang kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Di mana selain besaran pesangon yang dipandang terlau tinggi, mencapai sembilan kali upah, kewajiban pemberian pesangon ini berlaku bagi semua lapisan buruh. Selain itu, mereka juga berpandangan bahwa bila UUK tidak direvisi maka akan menyebabkan daya saing lemah dan pada akhirnya akan mengalami kebangkrutan (pailit). Oleh karenanya, mereka sangat berkepentingan untuk mendorong revisi UUK dengan tujuan agar bisa mengurangi biaya tinggi — tentu saja dengan mengorbankan hak-hak sosial-ekonomi klas buruh—. Alasan berikutnya yang juga dinyatakan adalah bahwa upaya revisi ini akan menghindari terjadinya PHK yang lebih besar dan lebih lanjut akan dapat memperbaiki iklim investasi. Desakan untuk melakukan revisi UUK juga datang dari sejumlah pengusaha asing yang


tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Asia. saat mengadakan pertemuan dengan SBY di Singapura beberapa waktu lalu, mereka menyampaikan keluhan dan secara langsung meminta agar UUK No 13/2003 diamandemen dengan alasan untuk mempercepat perbaikan iklim investasi. Begitu juga dari beberapa lembaga multilateral seperti IMF (International Monetary Fund), mendesakan agenda yang sama. Dengan argumentasi bahwa UUK yang ada masih memberikan kebebasan dan kemudahan bagi buruh untuk menyelenggarakan pemogokan, masih mempertahankan tidak fleksibilitasnya hubungan kerja, uang pesangon yang tinggi serta kesulitan bagi pengusaha untuk menerapkan PHK. Orientasi kebijakan dalam revisi UUK secara jelas mendukung penciptaan pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility). Dengan konsepsi ini, buruh akan dipaksa menjual tenaganya dengan harga yang murah. Maka, revisi UUK sepenuhnya ditujukan untuk melayani kerakusan imperialisme atas tenaga dan keringat kaum buruh Indonesia. Revisi UUK adalah suatu bentuk nyata dari praktik perbudakan modern (modern slavery)! Gagalkan Rencana Revisi UUK No 13/2003 !!! Revisi UUK memuat sejumlah pasal “karet ” yang mengancam hak-hak sosial ekonomi klas buruh seperti ketentuan pesangon, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerjaan kontrak (outsourching) dan beberapa hak-hak sosialekonomi lainnya dari klas buruh. Dalam UUK No. 13/2003, disebutkan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Namun, dalam draft revisi UU Pasal 156, ketentuan pasal tersebut ditambah ketentuan tambahan, yaitu “pekerja/buruh yang berhak mendapat pesangon adalah pekerja/buruh yang mendapat upah lebih rendah atau sama dengan satu kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)”. Sementara berdasarkan Peraturan Menteri No 137/ PMK.03/2005 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak besaran PTKP sebesar 13,2 juta per tahun atau 1,1 juta per bulan. Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2006. Penghapusan pasal ini sangat jelas bertujuan untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali kewajiban pengusaha dalam memberikan pesangon. Di mana pekerja/buruh yang penghasilannya lebih dari 1,1 juta tidak berhak mendapatkan pesangon meskipun terkena PHK. Ketentuan lainnya, mengenai PKWT, dalam Pasal 59 UUK No. 13/2003 disebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat diberlakukan/dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Akan tetapi, dalam draft revisi UUK, ketentuan tersebut diubah, yaitu “PKWT yang dilakukan atas dasar jangka waktu tertentu dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan”. Dan jangka waktu PKWT ditetapkan selama lima tahun. Pengubahan

dalam pasal yang mengatur PKWT seperti yang ditetapkan tersebut sangat jelas dan terang akan bedampak pada tidak adanya kepastian perlindungan dan jaminan kesejahteraan bagi klas buruh. Tidak adanya batasan mengenai kategori atau jenis pekerjaan dalam PKWT dan bahkan jangka waktu PKWT yang diperpanjang menjadi lima tahun akan semakin melahirkan kesewenangwenangan terhadap pekerja/buruh. Dan ini, tentu saja akan memudahkan bagi pengusaha untuk menghindari terhadap segala kewajiban yang seharusnya diperoleh sebagai hak bagi klas buruh. Selain itu, beberapa pasal lainnnya dalam draft revisi UUK juga sangat nyata menghapuskan berbagai hak-hak demoratis klas buruh. Diantaranya, pengusaha tidak lagi wajib memberikan fasilitas kesejahteraan, menghapuskan pasal cuti besar atau istirahat panjang sekurangkurangnya dua bulan dan menghapuskan prinsip pengupahan yang melindungi pekerja/buruh dan bisa menjamin hidup layak. Dari keseluruhan UUK No 13/2003 paling tidak ada 71 pasal yang hendak diubah. Dan secara umum perubahan kesemua pasal yang ada tersebut ditujukan untuk menjamin dan melindungi kepentingan pengusaha. Dengan demikian, revisi UUK yang hendak dilakukan bukanlah sebuah cara untuk mencapai kesejahteraan bagi klas buruh. Sebaliknya, revisi UUK akan semakin membuat klas buruh terpuruk dalam kesengsaraan yang semakin panjang. Tidak ada kata lain bagi klas buruh Indonesia untuk bangkit, berorganisasi dan bergerak, bulatkan tekad perlawanan; “gagalkan rencana revisi UUK dan menjalin kerjasama yang erat dengan seluruh rakyat tertindas melawan imperialisme dan rejim SBY-Kalla sebagai kaki tangannya di Indonesia”. (Hrs/WwN)

PERLAWANAN 15


Ladang PERLAWANAN

Amandemen UU Pokok Agraria No.5 1960 : Memperpanjang Krisis Agraria di Indonesia Rejim SBY-Kalla terus menghantamkan palu godamnya bagi rakyat Indonesia yang kali ini akan menimpa klas mayoritas di Indonesia yaitu kaum tani, dengan rencana amandemen UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960

S

ebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 atau lazim disebut UUPA, merupakan salah satu produk hukum paling spektakuler dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebagai produk hukum populis yang melindungi kepentingan kaum tani—terutama buruh tani dan tani miskin, UUPA sengaja di”mati suri”kan dalam perjalanannya sejak zaman rejim Orde Baru hingga rejim Boneka Imperialisme, SBY-Kalla. Kini, UUPA akan diamandemen, lagilagi demi melayani sang tuannya yaitu Imperialisme. Sekilas Tentang UUPA 1960 UUPA 1960 adalah produk politik dan hukum dari Rejim Borjuasi Nasional Soekarno. Tuntutan mendasar rakyat— terutama kaum tani, tentang perubahan tanah (land reform) dan susunan agraria menjadi awal mula perdebatan tentang perlunya hukum agraria nasional yang membawa semangat Revolusi Agustus 1945. Hasil yang diharapkan adalah adanya hukum agraria nasional yang sanggup melikuidasi kekuasaan imperialisme, borjuasi besar komprador, dan sisa-sisa feodalisme (tuan tanah) atas tanah dan sumber-sumber agraria. Perubahan tanah (land reform) adalah aspirasi antiimperialis dan anti-feodal kaum tani. Sedangkan tuntutan tentang adanya aturan hukum agraria yang pro-kaum tani dan properubahan tanah adalah aspirasi reform demokratisnya. Aspirasi tersebut adalah obyektif, ilmiah dan historis, mengingat

16 PERLAWANAN

panjangnya penderitaan kaum tani—terutama tani miskin dan buruh tani, akibat penindasan dan penghisapan tuan tanah feodal, p e n j a j a h a n imperialis Belanda dan Jepang. Ko m i s i Agraria yang dibentuk oleh Soekarno pada 6 Mei 1948, membuka sejarah pembentukan hukum agraria nasional. Komisi ini b e r t u j u a n menyelidiki tanahtanah vorstenlanden milik Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, yang kemudian tidak membuahkan hasil dan dibubarkan. Namun selama masa perjuangan bersenjata dalam Perang mempertahankan Revolusi Agustus sepanjang 1945-1949, muncul Gerakan Swapraja yang dipelopori klas buruh dan kaum tani se-Karesidenan Surakarta. Walaupun kekuasaan sisa-sisa feodalisme belum mampu dilikuidasi seluruhnya, namun rakyat menuai hasil reform maksimum dengan memperoleh tanah garapan untuk bertani. Selanjutnya, Presiden Soekarno membuat berbagai kepanitiaan dan kementerian agraria sepanjang 1948-1955. Namun selalu dibubarkan karena tidak membuahkan hasil. Sampai akhirnya dua Rancangan Undangundang Agraria buatan Soenarjo

dan Sadjarwo menjadi dasar bagi perumusan hukum agraria nasional. Akhirnya, pada 24 September 1960 disahkanlah UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Beriringan dengan meluasnya dukungan Gerakan massa demokratis kaum tani dan seluruh rakyat tertindas Indonesia terhadap UUPA 1960, juga dilahirkan UU No. 2 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Bagi Hasil (UUPBH). Dengan dua peraturan hukum ini, gerakan tani demokratis memperoleh kemenangan reformnya. Memang, UUPA 1960 belum sepenuhnya mewakili kepentingan kaum tani Indonesia. Sebagai contoh, Hak Guna Usaha masih diatur peralihan dalam jangka waktu tertentu dan istilah Hak Menguasai Negara (domeinvanklering) dapat menjadi


senjata yuridis bagi negara untuk bertindak sesuai kepentingannya yang bertentangan dengan kepentingan kaum tani. Bahkan UU 1960 sempat tersendat operasionalnya selama 1-2 tahun sejak disahkan. Atas desakan kaum tani melalui aksi-aksi militannya di pedesaan dari awal 1960 hingga 1965, Rejim Soekarno akhirnya mendukung pelaksanaan UUPA 1960. Di dalam UUPA 1960, terdapat aturan-aturan legalformal yang menguntungkan bagi kaum tani. Sayangnya, sejarah mencatat bahwa undang-undang tersebut belum pernah dijalankan secara murni sesuai dasar filosofis fundamentalnya. Sudah saatnya bagi gerakan massa demokratis kaum tani menuntut pelaksanaan UUPA 1960 secara murni dan konsekuen. Perampokan Terhadap Hak Kaum Tani Di negeri seperti Indonesia yang berkarakter setengah jajahan dan setengah feodal, klas berkuasa—dalam hal ini borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat—yang memimpin negara akan berusaha menyesuaikan kedudukan politiknya dengan kemauan imperialis (tuannya) dan berusaha mempertahankan kekuasaan ekonomi-politiknya, tak terkecuali bagi rejim SBYKalla. Salah satu indikasinya adalah dikeluarkannya Inpres (Instruksi Presiden) No. 3/Tahun 2006 dengan tujuan menciptakan situasi kondusif bagi penanaman modal (terutama investasi asing) dan membangun infrastruktur ekonomi negara. Realisasi Inpres tersebut dijalankan dengan upaya revisi terhadap UUK No. 13/2003 dan amandemen terhadap UUPA 1960. Bila revisi UUK memancing kontroversi dan gelombang aksi penolakan dari serikat-serikat buruh, maka pembahasan amandemen UUPA dijalankan secara terbatas di kalangan intelektual, baik dalam universitas atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Rejim SBYKalla tidak mau mengulangi terpaan seperti meluasnya sikap penolakan terhadap Perpres 36/

2005 yang lalu. Rejim SBY-Kalla takut jika rencana amandemen ini dibuka luas, maka gerakan massa demokratis akan bangkit secara meluas dan memberikan pukulanpukulan yang berarti bagi kekuasaan rejim SBY-Kalla. Rejim SBY-Kalla beralasan bahwa amandemen UUPA adalah “penyempurnaan” bagi UU tersebut agar dapat menunaikan misi filosofisnya. Pertanyaannya, “penyempurnaan” tersebut menuju ke mana? Apakah semakin menguntungkan bagi kaum tani atau sebaliknya lebih menguntungkan bagi imperialisme dan kaki tangannya di Indonesia? Pokok-pokok amandemen yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah usaha meneruskan dan melenturkan sistem Hak Guna Usaha. Perlu diketahui, sistem ini adalah warisan dari sistem penyewaan model ondernaming di zaman penjajahan Belanda. Di samping itu, pengaturan tentang Hak Menguasai Negara diperkokoh dengan diperluasnya kekuasaan pemerintah untuk mengatur Hak Atas Tanah (HAT) dan Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Lagi-lagi dengan dalih untuk “kepentingan umum”. Namun dari pengalaman rakyat selama ini, yang disebut sebagai “kepentingan umum” adalah penyesuaian terhadap proyek-proyek pembangunan infrastruktur industri dan pertanian besar untuk kepentingan imperialis. Artinya pula, dalih tersebut adalah legalisasi terhadap penggusuran, perampasan tanah (land grabbing), penerapan sewa tanah (bagi hasil) yang merugikan kaum tani. Amandemen UUPA 1960 adalah upaya untuk melegalisasi tindakan anti rakyat rejim SBYKalla terhadap kaum tani. Bila amandemen dilaksanakan, perubahan tanah (land reform) dan agraria tidak akan mendapat tempat di bumi Indonesia. Tanahtanah yang sekarang dikuasai rakyat—khususnya kaum tani, akan rentan digusur atau dirampas untuk “kepentingan umum” tersebut. Di tengah terpaan krisis ekonomi yang semakin menajam di Indonesia—

akibat ulah imperialis AS dan antek-antek dalam negerinya, dimana penghidupan semakin merosot, tanah-tanah yang sangat sempit dan tidak mencukupi hasilnya bagi keluarga tani miskin adalah harapan yang penting. Kehidupan buruh tani dan buruh perkebunan akan jauh lebih menderita dengan pelaksanaan amandemen tersebut. Bukankah ini akan semakin memperpanjang krisis agraria di Indonesia? Bergerak Batalkan Amandemen UUPA Tugas mendesak saat ini berada di pundak gerakan massa demokratis kaum tani Indonesia untuk bertindak menahan “serangan terbaru” rejim SBYKalla yang akan semakin menyeret kaum tani dalam penderitaan melalui amandemen UUPA 1960. Gerakan massa demokratis kaum tani harus mempertahankan keberadaan UUPA 1960 dan melawan usaha-usaha rejim SBYKalla untuk mencabutnya dengan dalih apapun. Walaupun, UUPA 1960 bukan produk hukum sempurna, namun dia adalah yang terbaik dari yang terburuk. Organisasi-organisasi massa kaum tani harus memperkuat konsolidasi barisan massanya dan bersatu. Kemudian, memimpin studi yang mendalam tentang hubungan antara tuntutan demokratis kaum tani dengan pelaksanaan UUPA 1960 secara murni dan konsekuen. Hal ini untuk membongkar kebohongankebohongan penyimpangan pelaksanaan UUPA 1960 oleh rejim SBY-Kalla. Propaganda dan pendidikan yang massif juga harus dilakukan sampai tingkatan basis organisasi. Dan yang terpenting adalah mengambil inisiatif untuk memperjuangkan massa kaum tani dalam hal ini yang dikerangkakan dalam pembangunan front persatuan seluruh rakyat tertindas di Indonesia dengan bersandar pada persekutuan antara klas buruh dan kaum tani. Bagi gerakan pemuda-mahasiswa, tidak ada kata lain selain turut terlibat aktif dan menceburkan diri di tengah perjuangan massa kaum tani dan seluruh rakyat tertindas di Indonesia. (WwN)

PERLAWANAN 17


titik api PERLAWANAN

Perayaan May Day dan Hardiknas 2006 Perayaan May Day Jakarta, 1 Mei 2006. Perayaan Hari Buruh Interansional (May Day) di Indonesia, disambut dengan unjuk rasa (demonstrasi) besarbesaran yang dilakukan baik oleh massa buruh dan seluruh rakyat (tani, pemuda-mahasiswapelajar, kaum perempuan) di berbagai penjuru negeri Indonesia. Di Jakarta, demonstrasi besar-besaran dilakukan oleh ratusan ribu massa buruh, baik yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM) ataupun Serikat Pekerja Nasional (SPN). Aksi ABM dipusatkan di bunderan HI menuju Istana Presiden. Sementara aksi SPN dipusatkan ke DPR kemudian menuju ke Istana Presiden. FMN sendiri, terlibat dalam aksi ABM bersama rombongan massa buruh GSBI, AGRA, BPJ, dan KAM Laksi 31 yang membuka aksinya dari tugu proklamasi. Dalam perjalanan, massa aksi sempat bersitegang dengan aparat kepolisian yang mencoba

18 PERLAWANAN

daerah FMN juga terlibat dalam peringatan May Day seperti di Medan, Jambi, Palembang, Bandar Lampung, Bandung, Wonosobo, Purwokerto, Jogja, Malang, Jombang, Surabaya dan Mataram. (Tim Koresponden)

menghalang-halangi perjalanan massa aksi, karena memang pemerintah memberlakukan siaga1 (keadaan darurat) menyongsong aksi May Day dengan melibatkan aparat gabungan Polisi dan TNI yang berjumlah ribuan. Aksi May Day kali ini, mengangkat tuntutan utama yaitu pencabutan UU No. 13/2003 dan penolakan terhadap revisi-nya. Aksi sendiri berjalan tertib dan massa aksi dengan gegap gempita menyanyikan lagulagu dan yel-yel tuntutan sambil berucap “SBY- Kalla; Boneka amerika dan Rejim Anti Rakyat�. Aksi ditutup sore hari pukul 16.00 WIB ketika hujan deras mengguyur Jakarta. Di berbagai

P e r i n g a t a n Hardiknas 2006 Jakarta, 2 Mei 2006. Front Rakyat Indonesia (FRI) menggelar unjuk rasa memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang dipusatkan di Bunderan HI menuju Istana Presiden. Dalam aksinya, FRI menyatakan bahwa rejim SBYKalla telah gagal memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia dan menyerukan untuk melawan komersialisasi pendidikan serta menuntut direalisasikan segera anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD. Selain lagu-lagu dan yel-yel, aksi juga dimeriahkan dengan arakan kerand sebagi simbol makin mahalnya pendidikan di bawah pemerintahan SBY-Kalla. Aksi juga sempat berlangsung tegang, ketika aparat kepolisian dan intel mencoba menghalangi niat massa aksi memasuki halaman depan Istana Presiden. Setelah menggelar panggung yang diisi orasi-orasi dari masing-masing organisasi, aksi ditutup dengan konferensi pers resmi dan pembacaan pernyataan sikap FRI oleh Humas Aksi, Wawan. Peringatan Hardiknas 2006, juga disikapi secara nasional oleh 17 Cabang FMN di berbagai daerah dari Medan hingga Lombok Timur. (Tim Koresponden)


BUDAYA PERLAWANAN

Jadilah Aktifis Massa Kata aktifis mungkin trend dipundak mahasiswa yang sering turun ke jalan dan meneriakan segala tuntutan. Aktifis sejauh ini identik dengan mereka yang super sibuk, jarang kuliah, kumel dan sejenisnya. Banyak mahasiswa takut menjadi aktifis.Bagaimana sesungguhnya aktifis massa itu?

D

engan lantang yel-yel itu terucap, “Pemuda– Mahasiswa; Bersatu, Berjuang Bersama Rakyat ”. Mungkin bagi anggota FMN dan para demonstran, slogan tersebut tidak asing lagi bagi kita. Slogan ini bukan tanpa makna, sebaliknya mengandung makna yang begitu mendalam bahwa pemudamahasiswa adalah bagian integral dari rakyat Indonesia yang masih terkungkung dalam penindasan Imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat. Sebagai bagian integral, tidak ada alasan lagi bagi pemuda-mahasiswa untuk tidak menceburkan diri, hidup di tengah massa serta aktif membangkitkan kesadaran, mengorganisasikan dan menggerakkan massa pemudamahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia untuk berjuang melepaskan diri dari belenggu imperialisme dan feodalisme. Sebagai klas borjuasi kecil, hidup di tengah massa bukanlah pekerjaan yang mudah. Latar belakang kehidupan yang mapan, individualistis dan bawaan liberal pasti akan berbenturan ketika harus hidup sederhana, bersama-sama atau berkolektif dengan penuh disiplin yang menjadi aturan main untuk hidup di tengah massa. kebiasaan, gaya hidup dan cara pandang borjuasi yang masih sering terbawa ketika hidup di tengah massa kadang membuat seorang aktifis massa justru sering terkucil dan dijauhi massa. Untuk itu, seorang aktifis massa bukan mencari teladan, tapi justru harus menjadi teladan tentag bagaimana menjalankan sikap hidup tersebut dalam kesehariannya. Sikap hidup seorang aktifis massa sangat bertalian erat dengan “garis massa” yaitu mengerti kepentingan massa,

memperhatikan perasaan massa, mendengar dan mempercayai suara massa, menyimpulkan pikiran massa serta memimpin kehendak massa. Semua ini dilakukan dalam kerangka memenuhi tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok massa. Ketika seorang aktifis massa telah menetapkan pilihan untuk hidup di tengah massa, maka memperjuangkan kebutuhan pokok massa menjadi hal utama yang harus dilakukan. Ketika seorang aktifis massa menyatakan siap sebagai pelayan massa, maka dirinya harus bersiap juga untuk mengikis perlahan-lahan kepentingan pribadinya. Seorang aktifis massa tidak membutuhkan pujian atau kepopuleran. Penghargaan bagi seorang aktifis massa adalah keberhasilan dalam melayani massa itu sendiri. Jika dirinya memiliki kelemahan dan kesalahan, maka tidak takut pula untuk diberitahukan dan dikritik. Seorang aktifis massa bukanlah sosok yang anti kritik dan egois. Baginya, kritik adalah obat untuk membenahi kelemahan-

kelemahan dan kesalahankesalahan yang terjadi serta untuk memperkuat persatuan di sesama kawan dan organisasi. Untuk itulah mengapa sangat penting bagi seorang aktifis massa dan sebuah organisasi mentradisikan kritik dan otokritik. Juga penting dijadikan panduan bagi seorang aktifis massa adalah bagaimana dia mampu untuk merangkum dan menilai praktek pekerjanpekerjaan yang dilakukan dalam melayani massa. Dengan merangkum dan menilai setiap pekerjaan secara berkala maka dirinnya bisa mengukur tingkat keberhasilan pekerjaannya, mengetahui kelemahankelemahan dan menemukan metode-metode yang lebih efektif dalam melayani massa. Hingga upaya-upaya untuk terus m e m b a n g k i t k a n , mengorganisasikan dan menggerakkan massa dalam memperjuangkan tuntutantuntutan massa bisa tetap digelorakan. Sekilas apa yang dipaparkan ini terkesan begitu memberatkan bagi kita. Tapi segala sesuatu selalu berubah. Artinya, jika memang kita berkomitmen untuk menjadi aktifis massa, semua itu sesungguhnya bisa dijalankan. Karena hidup di tengah massa dan menerapkan sikap hidup aktifis massa dalam kesehariannya kita, akan mendatangkan sederet pelajaran yang tiada duanya. Sebab sesungguhnya, seorang aktifis massa adalah sosok yang sangat menghargai arti kehidupan, memahami pergaulan sosial dan rendah hati. Aktifis massa adalah sosok dalam bahasa Jawa yang disebut “sepi ing pamrih, rame ing gawe” (“Sepi pamrih,banyak bekerja”) . (Ggr)

PERLAWANAN 19


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.