Harga Mahasiswa : 2.500 Harga Umum : 5.000
SEBAR SEBAR
DEMOKRASI Demokratis, Ilmiah, & Megabdi Kepada Rakyat
Edisi 04/IV/2009 Dari Redaksi
Salam Demokrasi ! Pertama-tama kami dari redaksi Sebar DEMOKRASI, mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Tidak lupa, redaksi juga mengucapkan selamat datang dan selamat bekarya bagi kawan-kawan mahasiswa baru. Di edisi kali ini, melalui Liputan Demokrasi, redaksi coba mengupas beberapa persoalan tentang masalah pemberantasan buta aksara terkait dengan peringatan Hari Aksara Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 September. Selanjutnya, terkait dengan peringatan Hari Tani Nasional yang ke-49, redaksi mengajak untuk melihat sejauh mana pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Pada segmen Fokus Demokrasi, redaksi coba membahas tentang perjuangan pokok pemuda mahasiswa dengan melihat posisi kampus dalam masyarakat Indonesia yang masih berkarakterkan setengah jajahan dan setengah feodal. Dengan demikian, gerakan pemuda mahasiswa dapat menemukan ruh perjuangannya sebagai penyokng perjuangan rakyat di bawah pimpinan klas buruh dan kaum tani. Sementara dalam segmen Agenda Demokrasi, redaksi coba membahas tentang apa yang harus dilakukan oleh Front Mahasiswa Nasional sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa untuk menjadi organisasi massa yang mampu menjangkau massa secara luas sebagaimana yang telah menjadi resolusi Kongres III FMN yang diselenggarakan di Mataram pada Mei 2009 lalu. Akhirnya, kami dari redaksi mengucapkan selamat membaca dan berharap bahwa materi-materi yang kami tawarkan ini dapat membuka ruang-ruang diskusi demi lahirnya prakek yang lebih maju dalam perjuangan kita bersama.
LIPUTAN DEMOKRASI Peringatan Hari Aksara Internasional Ke - 44
“ Tingginya Angka Buta Aksara Di Indonesia, Adalah Bukti Kegagalan Sistem Pendidikan � Setiap tanggal 8 September, oleh dunia internasional diperingati sebagai Hari Aksara Internasional, sebuah hari yang dicanangkan secara khusus sebagai peringatan pemberantasan buta aksara di d u n i a . Pe r i n g a t a n H a r i A k s a r a Internasional ini lahir di Taheran Iran pada tahun 1965 dalam Kongres antar menteri pendidikan sedunia yang pada saat itu di deklarasikanlah sebuah kesepakatan untuk memberantas buta aksara sedunia. Prakarsa tersebut tercetus atas dasar kenyataan bahwa 40% penduduk dewasa di seluruh dunia pada saat itu, menyandang status buta aksara. Deklarasi tersebut mengharuskan komitmen dunia untuk melawan buta aksara dengan meratifikasi hasil kesepakatan tersebut didalam negeri, oleh seluruh delegasi yang hadir dan menandatangani kesepakatan tersebut. Setiap negara diharuskan menciptakan syarat-syarat, baik anggaran maupun infrastruktur yang mendukung dalam pemberantasan buta aksara.
Di Indonesia sendiri, berbagai program diklaim telah dijalankan pemerintah dalam memberantasi buta aksara, mulai dari program wajib belajar 9 tahun, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pembentukkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sampai merealisasikan anggaran 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan, dan berbagai program lainnya. Akan tetapi, setelah 44 tahun pemberantasan buta aksara dicanangkan oleh dunia internasional, ironisnya di Indonesia masih terdapat lebih dari 15 juta penduduknya yang menyandang status buta aksara. Dari total jumlah penduduk yang buta aksara, 64% nya adalah kaum perempuan dan masyarakat yang tinggal di pedesaan. 5 propinsi yang menduduki posisi tertinggi penyandang status buta aksara di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Di tengah klaim pemerintah yang telah menjalankan berbagai program
Diterbitkan oleh Badan Persiapan Cabang Mataram - Front Mahasiswa Nasional Penanggung Jawab: L. Jhony Suryadi. Pimpinan Redaksi: Zukizuarman. Dewan Redaksi: L. Jhony Suryadi, Zukizuarman, Saprudin, M. Effendi, Zainal Anshory. Koresponden: Edo (Univ. Mataram), Zainal (IKIP Mataram), Yeni (AMIKOM & ASM), Zulkipli (Univ. Muhamaddyah Mataram). Alamat Redaksi: G g . D a h l i a N o . 2 6 K a m p u n g B a n j a r A m p e n a n - K o d y a M a t a r a m . Te l p 0 8 1 9 0 7 8 3 4 5 4 0 . E m a i l : sebardemokrasi_fmnmataram@yahoo.co.id / sebardemokrasi.fmnmataram@gmail.com. Redaksi menerima saran, kritik, dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, serta foto jurnalistik yang tidak bertentangan dengan KONSTITUSI FMN. Tulisan ditulis pada kertas kwarto/A4, spasi satu setengah, huruf times new roman (12), diutamakan dalam bentuk microsoft word, dan dikirim ke alamat e-mail buletin Sebar Demokrasi. SEBAR SEBAR
DEMOKRASI
Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
Sebar DEMOKRASI - 01
pemberantasan buta aksara, mengapa angka buta aksara di Indonesia masih saja tinggi? P r e s p e k t i f Ya n g K e l i r u D a l a m Menyediakan Akses Pendidikan Bagi Rakyat Pendidikan, baik formal maupun non formal memegang peranan penting dalam upaya pemberatasan buta dengan memajukan taraf berpikir dan kebudayaan rakyat, dan negara bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pendidikan sebagai hak dasar bagi seluruh rakyatnya. Hal ini telah tertuang jelas dan tegas dalam pasal 13 Konvenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya, demikian pula dalam pasal 31 UndangUndang Dasar 1945 dan pasal 49 UndangUndang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut Dirjen Pendidikan Non Formal Dan Informal Depdiknas, Hammid Muhammad, ada beberapa faktor penyebab tingginya buta aksara di Indonesia, antara lain tingginya angka putus sekolah dasar, beratnya geografis Indonesia, munculnya buta aksara baru, dan kembalinya seseorang menjadi buta aksara. Jika kita mengacu pada soal-soal diatas, sebagian besar penyebab tingginya angka buta aksara di Indonesia, adalah terkait dengan persoalan ketersediaan akses pendidikan bagi rakyat. Akan tetapi, pemerintah mengklaim bahwa terkait dengan ketersedian akses pendidikan bagi rakyat, telah dijawab pemerintah melalui berbagai program, seperti wajib belajar 9 tahun, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, sampai penganggaran 20% APBN dan APBD untuk pendidikan. Akan tetapi, mengapa angka buta aksara di Indonesia masih saja tinggi? Soalnya terletak pada masalah prespektif pemerintah yang keliru dalam menyediakan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Terkait dengan realisasi anggaran 20% APBN dan APBD, dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), menyatakan bahwa besarnya dana pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD, adalah diluar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan. Sementara itu, dari total APBN 2009 yang akan dialokasikan untuk pendidikan, untuk Departemen Pendidikan Nasional Rp. 52,0 trilliun, Rp. 46,1 trilliun untuk meningkatkan penghasilan guru dan peneliti, serta untuk Departemen Agama sebesar Rp. 20,7 trilliun. Sehingga, berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, anggaran pendidikan untuk tahun 2009 sesungguhnya hanya mencapai 4,63% dari total rencana anggaran belanja negara. Itu sebabnya mengapa sekalipun presentase anggaran Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
pendidikan dalam APBN 2009 telah mencapai 20%, belum dapat menjawab persoalan penyediaan akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat. Terkait dengan penyediaan akses pendidikan bagi seluruh rakyat, ada 2 konsep, yang pertama adalah pemilahan kontribusi rakyat terhadap negara, dan yang kedua adalah pemilahan terhadap penerimaan hak. Perbedaan kedua konsep ini terletak pada prespektif tentang pendidikan sebagai hak rakyat, apakah seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan atau tidak. Pemilahan kontribusi rakyat terhadap negara didasarkan pada kesanggupan rakyat dalam menjalankan kewajibannya terhadap negara. Konsep ini yang sering diwacanakan sebagai “pajak progressif�. Artinya bahwa, kewajiban rakyat yang mampu haruslah lebih besar dibandingkan dengan rakyat yang tidak mampu. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu melakukan pemilahan atas hak dasar rakyat, pendidikan menjadi hak dari seluruh rakyat tanpa dibedakan kaya atau miskin. Sementara pemilahan terhadap penerimaan hak didasarkan pada status sosial seseorang secara ekonomi, terkait dengan masalah pendidikan, pendidikan gratis hanya menjadi hak bagi rakyat yang miskin, sedangkan bagi rakyat yang dinilai mampu (kaya), tetap dikenakan biaya pendidikan yang tinggi. Konsep inilah yang digunakan oleh pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, dalam menyediakan akses pendidikan bagi rakyatnya. Penyediaan akses pendidikan bagi rakyat miskin dijawab dengan subsidi silang atau dengan bantuan berupa beasiswa. Dengan demikian, secara umum, biaya pendidikan tetap mengalami peningkatan. Masalahnya adalah berapa jumlah rakyat yang mampu dalam menanggung biaya pendidikan bagi rakyat miskin, sementara jumlah rakyat miskin terus saja bertambah, apalagi akibat krisis finansial yang sedang melanda dunia internasional saat ini yang berdampak pada melambung tingginya harga-harga kebutuhan pokok, PHK massal yang menambah jumlah pengangguran yang tentunya semakin meningkatkan jumlah rakyat miskin. Konsep yang dijalankan oleh pemerintah ini, kerap melahirkan masalah yang justeru semakin mempersempit ketersediaan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Salah satunya adalah pendataan jumlah masyarakat miskin yang masih sangat jauh dari kenyataan, akibatnya banyak rakyat miskin yang justeru tidak mendapatkan haknya untuk mengakses pendidikan. Ini sama halnya ketika pemerintah menjalankan program BLT setelah menaikan harga BBM, kenyataannya banyak rakyat yang seharusnya berhak, justeru tidak
mendapatkan dana BLT hanya karena persoalan pendataan. Selain itu, konsep ini juga membuka ruang bagi terjadinya korupsi di dunia pendidikan yang terus meningkat. Artinya, persoalan korupsi di dunia pendidikan, bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, melainkan sebagai akibat yang lahir dari sistem pendidikan yang keliru. UU BHP ; Upaya Pemerintah Untuk Melepaskan Tanggung Jawab Terhadap Pendidikan. Selain itu, pemerintah memang tidak pernah serius dalam memenuhi hak dasar rakyat terhadap pendidikan. Justeru sebaliknya, pemerintah terus saja berupaya melepaskan tanggungjawab terhadap sektor pendidikan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya. Salah satunya adalah dengan disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Secara yuridis, ketentuan tentang BHP diatur dalam pasal 53 UU Sisdiknas. Akan tetapi, tentu bukan hanya ketentuan tersebut yang menjadi latar belakang dilahirkannya UU BHP tersebut. Kelahiran UU BHP tidak terlepas dari kepentingan negeri-negeri imperialis untuk mengkomersialkan pendidikan di Indonesia, menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan yang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi imperialisme. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kesepakatan internasional antara pemerintah Indonesia dengan lembaga-lemabaga dan negara-negara donor yang mempengaruhi kelahiran berbagai kebijakan sektor pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran utang sebesar US$ 400 juta dari IMF (Dana Moneter Internasional), yang kemudian melahirkan penandatangan kesepakatan Letter of Intent/LoI. Dalam kesepakatan tersebut, pemerintah Indonesia diharuskan untuk melakukan pencabutan subsidi publik, termasuk pendidikan dan
Save ‘d EDUCATION
BHP! NO
Say
to
Sebar DEMOKRASI - 02
kesehatan. Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya PP 61 Tahun 1999 Tentang BHMN Perguruan Tinggi (menjadikan perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara) yang kemudian diuji cobakan di 8 universitas negeri besar di Indonesia yaitu UI, ITB, IPB, UPI, USU, ITS, UNAIR dan UNDIP. Tahun 2001 Pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And S e r v i c e / G AT S ) d a r i O r g a n i s a s i Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), di mana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang sebesar US$ 114,54 juta untuk membiayai program Indonesian Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati pada Juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah rancangan UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen. Orientasi Pendidikan Yang Tidak Mengabdi Kepada Kepentingan Rakyat. Selain persoalan ketersediaan akses pendidikan bagi rakyat, soal kebudayaan--orientasi pendidikan yang tidak mengabdi pada kepentingan rakyat, juga menjadi persoalan pokok masih tingginya angka buta aksara di Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
Indonesia. Jika kita menganalisis dari prespektif hubungan produksi, kepentingan negara-negara PBB dalam mengatasi masalah buta aksara di dunia, tidak terlepas dari kepentingan negaranegara kapitalis monopoli atas ketersediaan tenaga produktif bagi industri-industri yang didirikannya. Artinya bahwa, jika negara-negara kapitalis monopoli menginginkan industrinya bisa berjalan dan mampu menghasilkan keuntungan yang sangat b e s a r, m a k a m e r e k a h a r u s mempekerjakan buruh yang terdidik, bisa membaca dan menulis sehingga mampu mengoperasikan mesin-mesin canggih dalam menggerakkan industri mereka. Itu sebabnya mengapa dahulu ketika Belanda menjajah Indonesia, setelah seratusan tahun Belanda menjajah, baru menjalankan “politik etis� di Indonesia yang salah satunya adalah program edukasi/pendidikan. Hal ini bukan karena keinginan Belanda untuk membalas budi orang Indonesia, melainkan karena kebutuhan Belanda terhadap pekerja terdidik yang akan menjalankan industri-industri yang didirikannya. Dari situlah kemudian rakyat Indonesia diijinkan untuk bersekolah. Berbeda dengan negara-negara kapitalis dan kapitalis monopoli, akses pendidikan rakyat dan kualitas pendidikannya sangat diperhatikan karena terkait dengan perkembangan industri yang sudah maju, menggunakan teknologi yang canggih, sehingga membutuhkan pekerja dengan kualitas yang maju pula, sekalipun penghisapan terhadap buruh masih saja terjadi. Sementara Indonesia yang corak produksinya masih setengah kolonial dan setengah feodal, dimana alat produksi pertanian yang sangat sederhana masih mendominasi, pabrik-pabrik yang hanya berorientasi menghasilkan barangbarang mentah dalam menyediakan kebutuhan bahan baku bagi industri negara-negara kapitalis monopoli, dan penggunaan mesin-mesin canggih yang terbatas pada industri perakitan,
memposisikan pendidikan Indonesia sangatlah tidak diperhatikan. Dengan demikian, sistem pendidikan di Indonesia hanya di orientasikan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara kapitalisme monopoli akan ketersediaan buruh murah. Keuntungan industri milik negara-negara kapitalisme monopoli yang ada di Indonesia, tidak didapatkan dari mengoperasikan mesin-mesin canggih yang mampu meningkatkan kapasitas produksi, melainkan dengan cara memperhebat penindasan terhadap buruh melalui penambahan jam kerja dengan upah yang tetap saja minim, sehingga mampu terus meningkatkan kapasitas produksi, sementara biaya produksi yang dikeluarkan bisa seminim mungkin. I tu se ba bn ya , pe me rin ta h semakin gencar mempropagandakan tentang sekolah-sekolah kejuruan (SMK) untuk memenuhi kebutuhan tenga kerja siap pakai bagi industri milik negerinegeri kapitalis monopoli. Sementara capaian tertinggi dari SMK tersebut hanya sebatas mampu merakit, disatu sisi melalui berbagai kebijakan Hak Kekayaan Intelektual (Hak Paten, Lisensi, Merek Dagang, dan sebagainya), negeri-negeri kapitalisme monopoli tidak akan membiarkan industri nasional berkembang dan mampu menghasilkan kebutuhan dalam negeri sehingga mampu melepaskan ketergantungan terhadap komoditas dari industriindustri milik negeri-negeri kapitalis monopoli, dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan demikian, kualitas sistem pendidikan kita hanya diukur secara formal dengan ijazah, tetapi tidak mampu menjawab soal-soal rakyat, termasuk membebaskan rakyat dari buta aksara. Bisa buktikan secara sederhana, dari kita yang berkuliah, ternyata masih ada masyarakat di sekitar lingkungan kita, keluarga, bahkan bapak dan ibu kita yang masih buta aksara. Demikian halnya dengan kampus yang seharusnya menjadi lembaga yang ilmiah, tidak pernah menunjukkan perannya dalam menjawab persoalan rakyat. Justeru sebaliknya, kampus hadir sebagai corong propagandanya musuh-musuh rakyat, tempat dilahirkan dan dikembangkannya teori-teori yang membela kepentingan imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat. Disinilah peran kita sebagai organisasi massa pemuda-mahasiswa demokratik nasional, harus tampil mempropagandakan secara luas tentang sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat. Kampus harus kita jadikan sebagai benteng pertahanan rakyat, tempat untuk mengkaji dan memperdebatkan, serta mencarikan solusi atas persoalan-persoalan rakyat. Serve the people. Sebar DEMOKRASI - 03
LIPUTAN DEMOKRASI Peringatan Hari Tani Nasional Ke - 49
Pemerintah Tidak Pernah Menjalankan Reforma Agraria Yang Sejati Setiap tanggal 24 September, kaum tani Indonesia memperingati Hari Tani Nasional yang ditetapkan berdasarkan pengesahan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Pembaharuan Agraria atau yang lebih dikenal dengan UUPA. Setelah 49 tahun berjalan, bagaimanakah pelaksanaan reforma agraria di Indonesia? Sejarah Ketimpangan Penguasaan Sumber Agraria di Indonesia. Penindasan dan penghisapan kolonialisme Belanda yang berlangsung di Indonesia selama lebih dari 350 tahun, telah melahirkan penderitaan yang sangat berat bagi rakyat Indonesia akibat kemiskinan yang disebabkan oleh ketimpangan kepemilikan sumber agraria. Kolonialisme Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1602 melalui kongsi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang bertujuan untuk memonopoli jalur perdagangan rempahrempah yang sedang marak dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa pada saat itu. Demi memonopoli perdagangan, VOC meminta dukungan militer dari kerajaan Belanda dengan tujuan untuk menghancurkan Setiap tanggal 24 september, kaum tani Indonesia selalu menuntut pemerintah untuk kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal di melaksanakan reforma agraria berdasarkan UUPA No. 5 Thn. 1960. (Doc. AGRA) tanah air saat itu. Berbagai upaya, termasuk melalui politik devide at impera dan Raffles (1811-1816) dibawah kebijakan pemerintahan kolonial (politik pecah belah), Belanda terus kekuasaan Perancis dan Inggris. Belanda. Hal ini membuat rakyat m e l a k u k a n p e n a k l u k a n t e r h a d a p M e r e k a m e n j a l a n k a n p r o g r a m Indonesia sangat menderita akibat moderniasasi birokrasi pemerintahan ditindas oleh 2 bentuk penindasan kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal. Beberapa perang yang terjadi jajahan, menerapkan penarikan pajak sekaligus; pajak tanah ke kolonial serta sebagai perlawanan terhadap upaya seperti fase feodal di Eropa, terutama upeti dan kerja pengabdian ke monopoli Belanda, antara lain; perang pajak tanah dan hasil bumi. Sistem bangsawan lokal. Pa s c a b e r a k h i r n y a p e r a n g Jayakarta melawan politik bumi hangus J.P upeti diganti dengan pajak tanah yang Coen tahun 1619, tragedi Van Bandanaira dibayar dengan penyerahan wajib Diponegoro (1825-1830), dapat dikatakan tahun 1621, perang Sultan Agung (1628- hasil panen; 2/5 untuk panen yang bahwa kekuasaan kolonial Belanda tidak 1629), perang Ambon (1635) yang bagus dan 1/4 untuk panen yang tertandingi lagi oleh feodalisme. Belanda menghancurkan pertahanan Banda dan buruk. Sistem pemerintahan jajahan sepenuhnya menguasai Jawa dan Ternate, hingga berhasil memaksa Banda dirombak hingga menjangkau desa mengambil daerah Kesultanan Yogja, dan Ternate untuk menyerang Makasar, d e n g a n m e n g g u n a k a n t e n a g a K e s u n a n a n S u r a k a r t a , d a n serta penaklukan Portugis di Malaka (1640) bangsawan lokal dengan jabatan Mangkunegara. Terkecuali di beberapa untuk membuat Sultan Agung tergantung Asisten Residen, Wedana, dan Asisten tempat di luar P. Jawa, seperti Bali, dalam penjualan beras pada Batavia. Wedana, hingga Demang. Sebagai Lombok, dan Tapanuli, peperangan baru Melemahnya kekuasaan Mataram pada birokrat tanah jajahan, mereka di benar-benar berakhir pada awal abad 20. masa Amangkurat I (1645-1678), sangat bayar dengan sangat mahal dengan Ak a n te ta p i p e ra n g D i p on e g oro penting dalam mengkonsolidasikan politik menggunakan uang dan insentif yang membawa kerugian yang sangat besar dan ekonomi di P. Jawa. Pertengahan abad jumlahnya mengalahkan gaji seorang bagi pemerintahan kolonial, terlebih saat 17 VOC telah menguasai dua pelabuhan menteri di Kerajaan Belanda. Sebagai itu Belanda baru lepas dari penjajahan penting di Semarang dan Surabaya. Di gambaran, Residen memperoleh P e r a n c i s . H a l i n i m e n d o r o n g Sumatera VOC berhasil membangun 1 5 . 0 0 0 g u l d e n / t a h u n d e n g a n p e m e r i n t a h a n k o l o n i a l B e l a n d a kedudukan di Padang sebagai ganti Aceh t a m b a h a n p e r s e n 2 5 . 0 0 0 menerapkan Sistem Tanam Paksa/cultuur karena mendapatkan perlawanan yang g u l d e n / t a h u n . P a r a B u p a t i stetsel untuk mengisi kekosongan kas mendapatkan 15.000 gulden/tahun negara akibat biaya perang tersebut. cukup keras. Cultuur Stetsel atau Sistem Tanam Tahun 1799 VOC dinyatakan dan Wedana mendapatkan 1.500 bangkrut akibat beban hutang karena gulden/tahun. Sedangkan gaji menteri P a k s a ( S T P ) y a n g d i j a l a n k a n perang dan korupsi. Akan tetapi VOC telah di Belanda hanya mendapatkan 15.000 pemerintahan kolonial Belanda dibawah pimpinan Van De Bosch, bertujuan untuk berhasil menjadikan Batavia sebagai pusat gulden/tahun. Dengan demikian, hubungan membangun perkebunan dan pertanian konsolidasi secara politik dan ekonomi yang bahkan tidak dapat dilakukan oleh produksi feodalisme dan struktur yang menguntungkan serta pabrik kerajaan Majapahit dan Mataram kekuasaannya tidak dihancurkan pengolahannya dengan administrasi yang sepenuhnya, justeru ditempatkan modern. Akan tetapi STP tidak bertujuan sekalipun. Kekuasaan kolonial Belanda d i b a w a h k o n t r o l p e n u h d a r i untuk membangun industri di Indonesia, semakin kuat oleh Gubernur Hindia kolonialisme Belanda dan dilibatkan hanya sebatas menyediakan bahan Belanda pasca VOC ; Daendles (1808-1811) dalam menjalankan kebijakan- mentah untuk diperdagangkan di pasar Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
Sebar DEMOKRASI - 04
internasional. Hal ini bisa dilihat dengan Indonesia. STP kemudian digantikan didirikannya NHM (Nederlandsche Handel dengan undang-undang agraria Maatschppij) pada tahun 1824, sebagai kolonial; Agrarische Wet de Waal (de pemegang monopoli hak pengangkutan dan Waal adalah menteri urusan jajahan perdagangan hasil produksi di P. Jawa ke saat itu). pasar dunia yang menjadikan pelabuhan Hukum kolonial ini menerapkan Amsterdam sebagai salah satu pelabuhan asas Domeinverklaring yang pada teramai di dunia pada saat itu. Hal ini hakikatnya memberikan pengakuan dikarenakan fase perkembangan ekonomi terhadap hak milik perseorangan atas di negeri Belanda yang masih pada tahap tanah dengan memberikan sertifikat perkembangan kapitalisme merkantilis terhadap tanah garapan sebagai (perdagangan). Berbeda dengan Inggris perlindungan hukum. sementara, ketika telah mencapai perkembangan tanah-tanah yang tidak digarap dan kapitalisme penuh, berkepentingan untuk t i d a k d a p a t d i b u k t i k a n membangun industri di negara-negara kepemilikannya, adalah tanah milik jajahannya, serta mendirikan sekolah negara, dalam hal ini pemerintahan untuk memajukan tenaga produktifnya. kolonial. Tanah-tanah yang inilah yang Dalam menjalankan sistem tanam kemudian diberikan kepada para paksa tersebut, pemerintah kolonial investor asing, dan mereka juga B e l a n d a m e l i b a t k a n b a n g s a w a n - dijamin haknya untuk menyewa tanahbangsawan lokal untuk menyediakan tanah tanah milik penduduk, sekaligus dapat dan tenaga kerja. menjadi buruhnya. Kondisi ini telah Melalui beberapa kebijakan menyebabkan banyak rakyat yang resminya, pemerintah kolonial Belanda kehilangan tanahnya sehingga mewajibkan rakyat Indonesia untuk mendorong proletarasasi (lahirnya menyerahkan 1/5 luas tanah yang dimiliki klas buruh) secara besar-besaran di petani untuk tanaman wajib, termasuk Indonesia. tanah-tanah pusaka. Sebagai gantinya, Kondisi ini telah menempatkan petani dibebaskan dari pajak tanah. Akan bangsa Indonesia sebagai negeri yang tetapi kenyataannya, 2/3 bahkan semua berfungsi sebagai penyedia bahan tanah petani yang dirampas, sementara baku, pasar penjualan hasil industri, pajak tanah tetap diberlakukan. Rakyat sasaran investasi raksasa, dan juga diwajibkan bekerja selama 66 hari penyedia tenaga kerja murah bagi d e n g a n m e n d a p a t u p a h t a n a m . industri-industri milik imperialis. Kenyataannya, kerja wajib berlangsung selama minimal 3 bulan dengan tidak mendapatkan upah. Dalam sistem “ Pelaksanaan sistem perkebunan, rakyat dikenakan poenale tanam paksa di Indonesia, sanctie, yang mengharuskan para pekerja telah menempat rakyat untuk tidak meningggalkan pekerjaan sebelum masa kontrak berakhir. Indonesia dalam dua bentuk Akibatnya, kaum tani terpaksa penindasan sekaligus, menjual persediaan beras untuk membayar pajak tanah dan membayar pajak. Penduduk Kab. Demak dari 336 ribu menjadi 120 ribu dalam kerja wajib kepada Kolonial waktu 2 tahun, di Grobongan dari 98 ribu Belanda, serta upeti dan penduduk menjadi 9 ribu, karena mati akibat kelaparan. Tahun 1840 karena kerja pengabdian kepada beban kerja paksa yang berat membuat bangsawan lokal � petani tidak menggarap lahannya sendiri sehingga terjadi gagal panen. Kelaparan akibat gagal panen, tingginya pajak tanah UUPA Sebagai Upaya Penghapusan dan harus dibayar dengan uang, rendahnya Monopoli Atas Sumber-Sumber upah kerja di perkebunan dan pabrik gula, Agraria. kerja wajib yang melampaui aturan, Sejarah panjang penguasaan pemaksaan penyerahan tanah diluar 1/5 tanah dan sumber-sumber agraria luas tanah, beban kerja yang semakin lainnya oleh kolonial Belanda dan sisabertambah-selain mengolah tanah juga sisa feodalisme, telah melahirkan menjadi buruh angkut yang tidak dibayar, ketimpangan yang berujung pada dan penyakit menular, membuat banyak rendahnya taraf hidup rakyat petani meninggal dunia hingga mencapai Indonesia. Dan pasca revolusi 17 7%. Agustus 1945, persoalan ketimpangan Tahun 1870 dominasi klas borjuis di kepemilikan tanah dan sumberperlemen Belanda mengambil alih sumber agraria lainnya, merupakan pengelolahan STP dengan menggunakan persoalan pokok yang harus dijawab isu-isu hak asasi rakyat di negeri jajahan oleh pemerintah Indonesia. Inilah yang yang kemudian menjalankan politik etis kemudian menjadi dasar dirumuskan atau “politik balas budi�. Hal ini dan disahkannya Undang-Undang No. 5 didasarkan keuntungan yang sangat besar Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok dari STP, yang pada tahun 1870 tercatat Pembaharuan Agraria atau UUPA. sebesar 725 juta gulden yang masuk kas Berbeda dengan semangat dan Belanda dari hasil sistem tanam paksa di prespektif asas Domeinverklaring Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
dalam Agrarische Wet tahun 1870 sebagai produk hukum kolonial Belanda yang bertujuan memobilisir tanah bagi kepentingan pembangunan industri perkebunan dan pertanian kolonial Belanda, asas Domeinverklaring tetap diberlakukan dalam produk hukum Indonesia, akan tetapi dengan prespektif penguasaan, pemanfaatan, dan peruntukkan bagi kepentingan rakyat sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Reforma Agraria sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUPA, tidak sebatas pada persoalan tanah, melainkan mencakup bumi, air, ruang angkasa, dan seluruh kekayaan alam yang terkandug didalamnya. Akan tetapi, melihat ketimpangan pengusaan tanah, land reform atau redistribusi tanah, menjadi sandaran pokok dalam pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Agraria saat itu--Mr. Sadjarwo--pada tanggal 12 September 1960 di depan Sidang Pleno DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), landa reform sebagai bagian dari pelaksanaan refroma agraria di Indonesia, bertujuan untuk : 1. Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial. 2. Melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek (maksudnya alat) pemerasan. 3. Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan, dan turun menurun tetapi yang berfungsi sosial. 4. Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besarbesaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga bisa seorang laki-laki ataupun wanita. Dengan demikian, mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah, serta memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah. 5. Mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan Sebar DEMOKRASI - 05
kepada golongan petani Maka jelaslah, UUPA No.5/1960 memiliki semangat untuk menghancurkan hubungan produksi kolonialisme dan feodalisme dengan menempatkan tanah sebagai alat produksi yang bernilai sosial sehingga tidak boleh dimonopoli. UUPA juga sekaligus memberikan kepastian hukum atas dualisme hukum yang berlaku di Indonesia dalam pengaturan penguasaan sumber-sumber agraria, yakni hukum kolonialisme Belanda dan hukum adat. Selain UUPA No. 5 Tahun 1960, salah satu undang-undang yang cukup populis dan berpihak pada kaum tani Indonesia adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Bagi Hasil yang mengatur bagi hasil yang adil dalam hubungan produksi pertanian. Ketimpangan Penguasaan Tanah Sebagai Akar Kemerosotan Hidup Kaum Tani Indonesia. 49 tahun setelah UUPA disahkan, ketimpangan pengusaan sumber-sumber agraria masih menjadi persoalaan pokok yang belum di jawab oleh pemerintah Indonesia. Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 telah menggagalkan citacita mulia kemerdekaan rakyat Indonesia. KMB telah mempertemukan imperialisme pimpinan Amerika Serikat dengan sisa-sisa feodalisme sebagai klik reaksioner dalam negeri (kaki tangan) yang menindas rakyat Indonesia. Dari perselingkuhan jahat inilah, lahir kapitalis birokrat sebagai
Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
rezim penguasa yang dengan setia melayani kepentingan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme yang menempatkan rakyat Indonesia dalam situasi penindasan setengah kolonial dan setengah feodal. Sejak berkuasanya rejim fasis-boneka imperialis AS--Soeharto, reforma agraria tidak pernah dijalankan di Indonesia, justru sebaliknya Soeharto memberikan akses kepada perusahaan asing dalam menguasai tanah seluas-luasnya demi kelancaran investasi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang memberikan hak penguasaan tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengusaan Hutan (HPH) kepada perusahaan-perusahan perkebunan seperti PTPN dan perusahaan perkebunan lainnya. Sejak saat itu, tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, tidak lebih dari sekedar komoditas dan salah satu infrastruktur penting bagi imperialisme dalam menanamkan investasinya di Indonesia. Re z i m b e r g a n t i r e z i m , persoalan ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria di Indonesia, justeru terus mengalami peningkatan. Rezim dibawah pimpinan SBY semakin menunjukkan tingkat kepatuhan yang tinggi dalam melayani
kepentingan imperialisme terhadap penguasaan tanah di Indonesia. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkannya, misalnya saja UndangUndang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang memberikan hak penguasaan tanah kepada pihak asing hingga 95 tahun, UU No.18 Th 2004 Tentang Perkebunan dan UU No.41 Th. 1999 Tentang Kehutanan, Perpres No.36 Th 2006 Jo. Perpres No 65 Th. 2006, dan berbagai peraturan perundangperundangan lainnya yang menggunakan topeng pembangunan demi kepentingan umum dalam melakukan perampasan tanah petani. Dari era kekuasaan Orde Baru hingga Pemerintahan SBY, usaha monopoli atas sumber-sumber agraria semakin tinggi dan mendesak kehidupan kaum tani tanpa belas kasihan. Produksi pertanian skala besar untuk kepentingan pasar terus digencarkan dan dikembangkan, sementara produksi pertanian skala kecil semakin terpinggir dan tidak mendapatkan tempat untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai contoh, melalui data Badan Pusat Statistik (BPS), selama kurun waktu 10 tahun telah terjadi peningkatan secara significant perluasan areal perkebunan kelapa sawit. Dimana, pada tahun 1996 luas areal pengusahaan hanya 1.146.300 Ha dengan kapasitas produksi 2.569.500 ton, namun pada Tahun 2006 luas areal perkebunan kelapa sawit
Sebar DEMOKRASI - 06
meningkat menjadi 3.682.900 Ha dengan kapasitas produksi 10.869.365 ton. Dengan demikian selama 10 tahun, telah terjadi peningkatan sekitar 1.423.200 Ha atau sekitar hampir 100 persen. Tentu saja, data luas areal perkebunan kelapa sawit ini belum mencerminkan luasan yang sesungguhnya, realitas di lapangan jauh lebih besar dari data yang mampu dihimpun. Di NTB sendiri, seperti yang dirilis oleh Dinas Pertanian NTB, jumlah luas lahan pertanian produktif yang dialih fungsikan mencapai 10% setiap tahunnya dari jumlah total luas lahan pertanian di NTB. Jumlah ini akan semakin bertambah seiring dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur terkait pembangunan Bandara Internasional Lombok Baru di Kabupaten Lombok Tengah, yang telah memakan lahan seluas 850 Ha dan merampas kehidupan ribuan kaum tani. Belum lagi rencana pemerintah propinsi NTB untuk merevisi Peraturan Daerah yang menjadikan P. Lombok sebagai kawasan tambang emas, padahal P. Lombok termasuk kategori pulau kecil yang tidak diperbolehkan sebagai kawasan tambang emas. Tingginya perampasan dan alih fungsi lahan pertanian di NTB inilah yang menjadikan NTB sebagai salah satu daerah penyedia tenaga kerja keluar negeri terbesar di Indonesia. Dan rendahnya taraf hidup kaum tani di NTB akibat minimnya lahan pertanian yang dikuasai, menjadikan NTB sebagai salah satu daerah penderita busung lapar terbesar di Indonesia. Akibat ketimpangan kepemilikan lahan tersebut, terjadi peningkatan terhadap jumlah petani gurem. Menurut sensus pertanian tahun 2003, jumlah rumah tangga petani gurem yang
menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, mengalami peningkatan sebesar 2,6 persen per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Kenaikan ini menunjukkan makin m i s k i n n y a p e t a n i . Pa d a t a h u n 1996/1997, jumlah orang miskin, paralel dengan angka petani gurem, sudah mencapai 17 juta jiwa. Namun, tahun 2006/2007 naik jadi 39 juta jiwa. Sementara tingkat pendapatan kaum tani Indonesia hanya Rp 1,527 juta/kapita/tahun (Rp 4.365/hari). Akibatnya, jumlah penduduk miskin di desa juga mengalami peningkatan. Menurut Berita Resmi Statistik (September 2006), 63.41 persen penduduk miskin ada di daerah pedesaan. Angka pengangguran telah meningkat dari 9.86 persen pada tahun 2004 menjadi 10.28 persen pada tahun 2006. Dari angka tersebut, pengangguran di pedesaan mencapai 5.4 persen—artinya dari keseluruhan pengangguran di Indonesia, lebih dari setengahnya berada di wilayah pedesaan. Selain persoalan monopoli atas tanah, persoalan lain yang menempatkan taraf hidup kaum tani Indoensia menjadi sangat rendah adalah tingginya biaya produksi seperti bibit dan pupuk yang sangat mahal. Setiap musim tanam, kelangkaan pupuk adalah persoalaan yang selalu dihadapi petani, dan sampai hari ini pemerintah belum dapat menjawabnya. Sementara ketika panen tiba, kaum tani harus dihadapkan dengan rendahnya harga jual hasil
pertanian akibat banyaknya komoditas pangan impor yang masuk ke Indonesia sebagai dampak dari kebijakan impor pangan yang dijalankan oleh pemerintah. Akibatnya, kaum tani Indonesia sering dijerat oleh praktek tengkulakisme. Berbagai program dijalankan oleh rezim kaki tangan guna mengaburkan prinsip reforma agraria yang sejati. Misalnya saja dengan program transmigrasi yang dijalankan sejak jaman Soeharto. Sesungguhnya program ini tidak berbeda dengan program trasmigirasi ala politik etis yang dijalankan kolonial Belanda yang bertujuan untuk membuka lahan baru untuk pertanian dan perkebunan yang sekaligus memobilisir tenaga kerjanya. Sama halnya dengan program reforma agraria ala SBY, yakni program pembagian tanah seluas 4 juta Hektar. Kenyataanya, tanah-tanah yang dibagi tersebut adalah tanah-tanah yang tidak produktif, membutuhkan tangan-tangan dingin untuk mengolahnya, sementara pemerintah tidak menyediakan infrastruktur seperti sistem irigasi yang modern sehingga mampu meningkatkan produktifitas pertanian. Hal ini bisa dilihat dari stok penyedian pangan nasional yang lebih dari 50% nya masih disediakan oleh hasil pertanian di P. Jawa. Artinya bahwa produktifitas pertanian diluar P. Jawa lebih rendah karena tidak adanya sistem irigasi yang modern. Itupun, sebagian besar hasil pertanian di P. Jawa, masih ditopang oleh sistem irigasi peninggalan kolonial Belanda. Dengan demikian, program reforma agraria ala SBY tersebut adalah reforma agraria palsu, karena tidak diperuntukkan pada penghapusan
Ancaman Perkebunan Besar : perluasan perkebunan besar di berbagai wilayah, terutama perkebunan besar kelapa sawit, menebarkan berbagai ancaman. Tidak hanya hancurnya keanekaragaman lingkungan, tetapi juga musnahnya pertanian skala kecil dan menghilangnya kedaulatan pangan rakyat.
Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
Sebar DEMOKRASI - 07
konsentrasi/monopoli kepemilikan tanah, tanah-tanah yang dibagikan tersebut bukanlah tanah hasil monopoli dari para tuan tanah. Dengan demikian, hubungan produksi feodalisme yang menjadi basis imperialisme di Indonesia, tidak akan pernah hancur dan akan terus melahirkan ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria yang semakin tajam. Disatu sisi, SBY juga tidak berupaya dalam meningkatan kesejahteraan kaum tani dengan meningkatan produktifitas pertanian melalui penyediaan infrastruktur seperti irigasi, serta tidak melindungi harga pertanian nasional dari ancaman pangan impor. Negara Selalu Menggunakan Cara-Cara Kekerasan Dalam Menyelesaikan Sengketa Agraria. Cara-cara kekerasan selalu ditempuh oleh rejim kaki tangan imperialis AS dalam melakukan perampasan terhadap tanah-tanah petani dan menghadapi gerakan perjuangan kaum tani Indonesia dan seluruh kekuatan penyokongnya dalam mempertahankan tanah garapannya. Misalnya saja, tragedi berdarah 18 September 2005 di Tanak Awu-Lombok Tengah. Tragedi Rumpin-Bogor pada Bulan Januari 2007 dan Karang sariGarut, dimana akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, PTPN serta pemerintah daerah setempat yang menyebabkan rusaknya lahan garapan warga serta korban penembakan, intimidasi dan penculikan terhadap beberapa tokoh masyarakat dan aktivis tani. Penangkapan terhadap sekitar 27
kaum tani di Kali Baru-Banyuwangi, penangkapan 50 kaum tani di KalijajarWonosobo, hingga tindak kekerasan secara membabi buta yang dilakukan oleh TNI AL di Alas Tlogo-Pasuruan, yang menyebabkan meninggalnya 5 orang kaum tani. Dan yang baru-baru terjadi adalah perampasan tanah dengan kekerasan dan penembakan yang melibatkan aparat PTPN XIV dan kepolisian di Takalar pada 9 Agustus 2009 yang mengakibatkan 7 orang petani tertembak dan 9 lainnya di tangkap. Juga konflik agraria di Tapanuli Tengah yang menyebabkan 10 petani di tangkap, sementara yang lainnya terluka akibat tindak kekerasan aparat Tapanuli Tengah. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga saat ini, terdapat 2.810 kasus sekala besar (nasional), 1.065 diantaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa, dimana sekitar 322 kasus berpotensi memicu konflik kekerasan.
Posisi Kampus Dalam Pelaksanaan Reforma Agraria Di Indonesia. Kampus harusnya menjadi lembaga yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat, lembaga yang dipenuhi dengan aktifitas-aktitas ilmiah yang bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan mengembangkan teoriteori maju dalam menyelesaikan berbagai persoalan rakyat. Akan tetapi, ketika struktur kekuasaan (negara) dikuasai oleh rezim kaki tangan--hasil perselingkuhan antara imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, maka kampus dijadikan sebagai pusat konsolidasi ideologi/corong propaganda bagi kepentingan imperialisme dan kaki tanganya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai keterlibatan kampus dalam berbagai proyek besar dari imperialisme, berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, selalu didahului dengan mengkonsolidasikan kampus-kampus untuk mendukung kebijakankebijakan tersebut. Demikian halnya terkait dengan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, kampus-kampus sering memposisikan diri kontra terhadap pelaksanaan reforma agraria, berbagai penelitian kampus justeru c e n d e r u n g merekomendasikan tetap terjadinya monopoli tanah Salah satu korban penembakan TNI AL di Alas Tlogo - s e c a r a b e s a r - b e s a r a n Pasuruan - Jawa Timur, terkait sengketa kepemilikan ataupun alih fungsi lahan lahan. pertanian produktif ke sektor
Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
lain yang merampas kehidupan kaum tani. Misalnya saja seperti yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada yang merekomendasikan kawasan pertanian di Kulon Progo menjadi kawasan tambang pasir besi. Kurikulum di kampus-kampus pun tidak mengajarkan kepada mahasiswa tentang reforma agraria yang sejatinya, justeru sebaliknya selalu mengalihkan dengan berbagai pandangan palsu. Persoalan agraria yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara terhadap rakyat, dijadikan sebagai persoalan privat. Misalnya saja di Fakultas Hukum Universitas Mataram, hukum agraria yang harusnya menjadi mata kuliah yang berdiri sendiri, dijadikan sebagai bagian dari hukum perdata yang mengatur hubungan hukum secara privat. Artinya, persoalan agraria tidak dipandang lagi sebagai persoalaan tanggungjawab negara terhadap rakyat, melainkan sebagai hubungan hukum yang bersifat privat. Demikian pun di Fakultas Pe r t a n i a n y a n g t i d a k p e r n a h mengajarkan tentang prespektif reforma agraria yang sejatinya. Hampir tidak ada kegiatan ilmiah yang diselenggarakan kampus dalam menjawab persoalan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Demikian halnya ketika tanahtanah kaum tani Indonesia dirampas secara paksa/diluar prosedur hukum sekalipun, kampus-kampus tidak memposisikan diri untuk membela kepentingan kaum tani. Dan tidak jarang ditemukan praktek kampus yang menguasai tanah dalam jumlah yang sangat luas, misalnya Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menguasai tanah hingga 2.000 ha. Demikian halnya, kampus juga tidak segan-segan menindak mahasiswanya yang terlibat dalam perjuangan menyokong gerakan rakyat, misalnya saja kebijakan skorsing dan DO yang dikeluarkan oleh rektorat ITS terhadap mahasiswanya yang terlibatnya dalam perjuangan mendukung korban lumpur panas LAPINDO. Dengan demikian, dalam sistem setengah kolonial dan setengah feodal, kampus juga sebagai tuan tanah baru dan merupakan pusat kosolidasi teori yang menggagalkan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Maka dari itu, tugas pokok gerakan pemuda mahasiswa Indonesia adalah sebagai penyokong penuh bagi perjuangan rakyat dibawah pimpinan klas buruh dan kaum tani. Kampus harus dijadikan sebagai benteng pertahanan rakyat, lembaga yang ilmiah dan demokratis, tempat mengkaji dan mengembangkan teori-teori maju dalam menyelesaikan berbagai persoalanpersoalan yang dihadapi oleh rakyat, termasuk persoalaan pelaksanaan reforma agraria yang menjadi kebutuhan pokok kaum tani Indonesia. Bersatulah Kaum Tani Indonesia ! Sebar DEMOKRASI - 08
FOKUS DEMOKRASI
Pemuda Mahasiswa Sebagai Penyokong Perjuangan Rakyat ! ( Catatan Menyongsong Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2009 ) Seorang kawan pernah berkata, pemuda adalah kekuatan penyokong. Sekalipun penyokong, tanpanya cita-cita pembebasan itu tak kan pernah tercapai.
Sejarah telah mencatat tentang pentingnya peran pemuda dalam perjuangan pembebasan nasional. Sejarah juga telah telah mencatat, bahwa tanpa bersatu erat dengan rakyat, tanpa menyokong perjuangan rakyat, maka cita-cita perjuangan pemuda tidak akan pernah tercapai dengan baik. Berikut ini adalah bagaimana Front Mahasiswa Nasional sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa yang harus memposisikan diri sebagai penyokong perjuangan rakyat dibawah pimpinan klas buruh dan kaum tani. Kampus Sebagai Corong Propaganda Imperialis. Apa yang kita pahami tentang pendidikan? Pendidikan tidaklah independen atau berdiri sendiri sebagaimana yang kita pahami selama ini, melainkan sebagai bagian dari kebudayaan yang dilahirkan dan dikembangkan untuk mempertahankan suatu sistem ekonomi yang berdominasi di tengah masyarakat. Kalau diibaratkan sebagai sebuah rumah, pendidikan adalah atap yang pasti mengikuti bentuk fondasi dan dinding rumah tersebut. Fondasinya adalah hubungan produksi/sistem ekonomi yang berdominasi dalam sebuah masyarakat, sementara dindingnya menggambarkan struktur kekuasaan yang menjalankan berbagai kebijakan demi tetap berdominasinya sistem ekonomi tersebut. Dalam masyarakat yang sistem ekonominya telah berkembang mencapai tahapan sistem ekonomi kapitalisme yang utuh, apalagi sudah mencapai tahap tertingginya--imperialisme seperti Amerikan Serikat dan Uni Eropa, serta beberapa negara industri di kawasan Asia, pendidikan merupakan alat imperialis/kapitalis monopoli yang ditujukan untuk memajukan tenaga produktif yang mampu menyokong perkembangan industri di negaranya. Hal ini dikarenakan industri di negara-negara kapitalis/imperialisme merupakan industri yang maju dengan menggunakan teknologi yang canggih agar dapat mendorong produktifitas yang tinggi. Dengan demikian, buruhnya juga harus memiliki kualitas yang tinggi. Oleh karena itu, kualitas pendidikan di Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
negara-negara imperialis/kapitalis monopoli, sangatlah diperhatikan sekalipun berorientasi untuk melahirkan buruh terdidik yang dapat dirampas nilai lebihnya. Lalu bagaimana dengan pendidikan di Indonesia? Sebagai negara yang berkarakter setengah kolonial dan setengah feodal, hubungan produksi yang mendominasi adalah hubungan produksi di sektor pertanian yang menggunakan alat kerja yang masih sederhana. Itu sebabnya, desa jauh lebih luas dibandingkan dengan kota, dan dari penyebaran penduduk, 70% nya berada di desa, dan dari total penduduk Indonesia, 65% nya menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Sementara di sektor perkebunan dimana terjadinya konsentrasi kepemilikan lahan secara besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan dengan menggunakan sistem pengupahan bagi buruh perkebunan, serta berorientasikan sebagai komoditas (untuk memenuhi kebutuhan pasar atau tidak untuk di konsumsi sendiri), bukan berarti dapat dijadikan kesimpulan sebagai bentuk dari sistem kapitalisme yang utuh, melainkan bentuk kapitalisme ditengah masih eksisnya sistem feodalisme, atau yang disebut dengan setengah feodal. Perkebunan di Indonesia hanya berorientasi menghasilkan bahan baku bagi kebutuhan industri milik kapitalis monopoli/imperialisme, tidak berorientasikan pembangunan industri yang mampu mengelolah hasil perkebunan tersebut untuk meningkatkan akumulasi kapital/modal sebagaimana sistem ekonomi kapitalisme yang utuh. Contohnya perkebunan kelapa sawit yang hanya sebatas menghasilkan bahan baku (CPO) tanpa membangun industri yang mampu mengelolahnya. Di sektor industri, sebagian besar industri di Indonesia merupakan industri manufaktur dengan teknologi yang masih sederhana atau tidak menggunakan mesin yang canggih. Kalaupun ada beberapa industri yang dikatakan cukup canggih, hanya terbatas pada industri perakitan dengan bahan bakunya tetap berorientasi import (berasal dari industri luar), misalnya industri perakitan kendaraan bermotor. Dengan demikian, sangat tidak beralasan jika para pemilik modal
membayar upah buruh di Indonesia dengan sangat murah karena alasan rendahnya sumber daya, karena buruh Indonesia tidak berhubungan dengan alat kerja/mesin-mesin yang canggih. Keuntungan dari industri dalam sistem setengah kolonial setengah feodal tidak didapatkan dari penggunaan mesinmesin canggih sehingga mampu meningkatkan produktifitas, melainkan dari penghisapan yang berlipat ganda terhadap buruh Indonesia dengan jam kerja yang berlebihan, tetapi upah tetap saja minim, serta tidak dijaminnya berbagai hak sosial ekonomi lainnya. Dengan demikian, sistem pendidikan di Indonesia tidak memiliki kepentingan untuk memajukan kualitas yang dapat mendorong kemajuan tenaga produktif rakyatnya. Tidak berorientasikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat, melainkan sebatas menjadi komoditas yang diperdagangkan dan sebatas memenuhi kebutuhan imperialisme terhadap ketersediaan buruh murah. Itu sebabnya mengapa pemerintah saat ini begitu gencar mempromosikan sekolahsekolah kejuruan (SMK). Sebagai bagian dari kebudayaan yang setengah kolonial dan setengah feodal, sistem pendidikan Indonesia merupakan pusat konsolidasi ideologi/corong propaganda bagi kepentingan imperialisme dan kaki tangannya. Berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, selalu terlebih dahulu di bahas di kampus-kampus, agar mendapatkan dukungan yang luas. Misalnya saja ketika pemerintah akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, naskah akademiknya disusun oleh forum rektor. Ataupun yang dilakukan oleh Universitas Gadja Mada yang melalui hasil penelitiannya, merekomendasikan lahan pertanian yang subur milik petani di Kulon Progo untuk dijadikan sebagai daerah tambang pasir besi yang dapat merampas kehidupan kaum tani. Demikian halnya yang dilakukan oleh Institut Teknologi Surabaya, yang melalui penelitiannya menyatakan bahwa PT LAPINDO tidak bersalah atas meluapnya lumpur panas yang telah Sebar DEMOKRASI - 09
menenggelamkan beberapa kecamatan dan merampas kehidupan ribuan orang. Pemuda Mahasiswa Sebagai Penyokong Perjuangan Rakyat. Dari paparan diatas, maka jelaslah bahwa pemuda mahasiswa berada tepat di tengah-tengah pusat konsolidasi ideologi yang menguntungkan kepentingan imperialisme dan kaki tanganya. Berbagai pandangan yang menguntungkan kepentingan imperialis dan kaki tanganya, diproduksi oleh mesin yang bernama “kampus�. Oleh karena itu, program pokok dari perjuangan pemuda mahasiswa, bukanlah soal-soal sosial ekonomi (seperti tuntutan SPP murah, fasilitas yang layak, pelayanan adiministrasi yang memuaskan, dan soal-soal sosial ekonomi lainnya), melainkan soal-soal kebudayan, memperdebatkan teoriteori yang menindas rakyat, memperkarakan dan mencarikan solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Inilah yang kita maksudkan dengan pemuda mahasiswa sebagai penyokong perjuangan rakyat, ataupun kampus sebagai benteng pertahanan rakyat. Pemuda mahasiswa berbeda dengan klas buruh dan kaum tani yang berhubungan secara langsung dalam hubungan produksi. Buruh menuntut kenaikan upah kepada majikannya karena memang disitulah penghisapan secara kongkret yang dialami oleh klas buruh, demikian halnya ketika kaum tani menuntut diturunkannya harga sewa lahan. Sementara pemuda mahasiswa tidak berhubungan secara langsung dalam hubungan produksi. Hubungan pemuda mahasiswa dengan kampus ataupun dengan birokrasinya, tidak dalam konteks mengadaikan tenaganya untuk mendapatkan upah/bagi hasil sebagaimana hubungan produksi antara buruh dengan majikan atau antara tani hamba dengan tuan tanah. Dengan demikian, soal-soal sosial ekonomi tidak tepat jika dijadikan sebagai program perjuangan pokok pemuda mahasiswa. Apalagi bagi kampus-kampus dengan tradisi ilmiah yang tinggi seperti UI, UGM, ITB, IPB, dan beberapa kampus besar lainnya, soalsoal sosial ekonomi tidak dapat dijadikan sebagai sandaran dalam melakukan pengorganisiran. Hal ini tentu berdasarkan praktek pengorganisiran dari kawan-kawan kita yang bekerja massa di kampus-kampus seperti itu. Menjadikan soal-soal sosial ekonomi sebagai program perjuangan pokok bagi pemuda mahasiswa, hanya akan semakin menjauhkan pemuda mahasiswa dari pertalian eratnya dengan rakyat, perjuangan pemuda mahasiswa akan kehilangan ruhnya sebagai penyokong perjuangan rakyat, dan hanya semakin menyuburkan “watak borjuis kecil� Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
pemuda mahasiswa yang selalu memikirkan dirinya sendiri, tanpa mempedulikan kondisi rakyat. Tentu hal ini tidak terciptanya dengan sendiri, melainkan sebagai hasil konstruksi dari sistem pendidikan nasional yang tidak ilmiah, tidak demokratis, dan tidak mengabdi kepada rakyat. Bisa dilihat dari kasus-kasus yang terjadi di kampus selama ini, misalnya aksi-aksi terkait perijinan/legalitas kampus yang melibatkan massa dalam jumlah yang relatif besar seperti yang terjadi di IKIP Mataram ketika pembubaran 3 jurusan (Pendidikan Bahasa Jerman, Pendidikan Seni Rupa, dan Pendidikan Guru TK) ataupun ketika jurusan Fisika yang diisukan belum memiliki perpanjangan ijin operasional. Latar belakang keterlibatan massa sederhana, kalau kampus mereka tidak memiliki legalitas, maka ijazahnya pun tidak legal, sehingga akan menyulitkannya untuk mencari pekerjaan setelah lulus nantinya. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan yang hanya berorientasikan untuk mencari pekerjaan, bukan untuk mengabdi kepada rakyat. Itu sebabnya juga mengapa jurusan-jurusan eksata /iptek seperti Kedokteran, Teknik, Pertanian, Peternakan, MIPA, dan jurusan eksata ;ainnya sangat sedikit peminatnya. Selain karena dibuat mahal biayanya, juga dibuat seolah-olah tidak berarti, bahkan untuk sekedar seorang Dokter menjadi PNS, sudah dipersulit dengan adanya Dokter PTT (pegawai Tidak Tetap). Padahal jurusan-jurusan dan lulusan-lulusan seperti itu sangat dibutuhkan dalam pembangunan negeri ke arah yang lebih maju. Menjadikan soal-soal sosial ekonomi sebagai program perjuangan pokok pemuda mahasiswa, cenderung akan menjebak kita dalam perjuangan yang bersandarkan pada konteks advokasi semata yang membuat kita selalu puas dengan kemenangankemenangan kecil tanpa hari depan yang jelas, yakni bagaimana pemuda
mahasiswa dapat menjadi penyokong bagi perjuangan rakyat. Akan tetapi, bukan berarti soalsoal sosial ekonomi tidak layak untuk di propagandakan dan di kampanyekan. Soal-soal sosial ekonomi secara langsung mengganggu kepentingan pribadi pemuda mahasiswa, oleh karenanya soal-soal sosial ekonomi harus dijadikan sebagai alat pemblejetan terhadap birokrasi kampus yang kolot dan anti mahasiswa dan sebagai bagian dari rezim komparador yang mengabdi kepada imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Tentu kesadaran sosial ekonomi dari pemuda mahasiswa harus terus dimajukan agar mampu menemukan posisinya yang tepat, yakni sebagai penyokong perjuangan rakyat dibawah pimpinan klas buruh dan kaum tani. Oleh karenanya, tuntutan sosial ekonomi seperti anggaran 20%, pendidikan gratis bagi anak buruh dan tani miskin, prespektifnya harus diarahkan sebagai bentuk pengabdian terhadap rakyat, bukan semata karena terganggunya kepentingan pemuda mahasiswa. Gerakan reformasi '98 telah membuktikan kepada kita, bahwa gerakan pemuda mahasiswa tidak dapat menjadi pemimpinan dalam perjuangan menuju kemerdekaan yang sejatinya. Tidak bertalian eratnya antara gerakan pemuda mahasiswa dengan gerakan rakyat di bawah pimpinan klas buruh dan kaum tani telah mengkanalkan gerakan '98 yang kembali menyerahkan kepemimpinan kepada kelompokkelompok reformis gadungan yang tidak akan pernah memberikan kemerdekaan yang sejati bagi rakyat. Pe r s a t u a n a n t a r a g e r a k a n pemuda dengan gerakan rakyat dibawah pimpinan klas buruh dan kaum tani harus menemukan bentuk yang tepat yang kita kenal sebagi front persatuan. Selanjuntnya, sokongan pemuda mahasiswa terhadap perjuangan harus ditunjukkan secara kongkret akfitasaktifitas pelayanan rakyat. Dengan demikian, maka gerakan pemuda mahasiswa akan menemukan ruh perjuangan pokoknya.
Gerakan pemuda mahasiswa harus bersatu dengan gerakan rakyat dan siap dipimpin oleh kelas buruh dan kaum tani.
Sebar DEMOKRASI - 10
AGENDA DEMOKRASI
Ayo, Perbesar Organisasi ! Sebagai sebuah organisasi massa pemuda mahasiswa, FMN harus menjadi organisasi yang besar, dengan jumlah anggota yang banyak, dan mampu menjangkau massa secara luas. (Kesimpulan umum Kongres III FMN)
Dalam Kongres III yang diselenggarakan di Mataram pada bulan Maret lalu, kita telah melakukan oto kritik terhadap perjalanan organisasi kita selama ini. Dan untuk menjadi organisasi massa yang besar dan maju, kita harus mampu belajar dari pengalaman praktek tersebut, membetulkan setiap kesalahan praktek dan terus menemukan teori maju dengan terus berpraktek. Belajar Dari Pengalaman Praktek. Pada fase berjaringan dan kelompok kerja sebelum kongres pendirian pada 18 Mei 2003, seluruh gerakan mahasiswa mengambil bentuk organisasi yang semi legal. Hal ini terkait dengan kondisi obyektif di bawah penindasan rezim fasis Soeharto yang sangat mengekang gerakan rakyat, termasuk gerakan pemuda mahasiswa. Pada fase ini, gerakan pemuda mahasiswa mengambil ruang pengorganisiran di basis-basis rakyat seperti buruh, petani, kaum miskin kota, dan rakyat tertindas lainnya, dengan menggunakan media LSM dan kelompokkelompok studi. Isu yang diangkat adalah terkait dengan persoalan-persoalan rakyat. Jatuhnya rezim fasis Soeharto sebagai keberhasilan dari gerakan reformasi ‘98, membawa angin segar bagi gerakan rakyat, termasuk gerakan pemuda mahasiswa. Organisasi pemuda mahasiswa yang bergerak dengan bentuk semi legal sewaktu rezim Soeharo masih berkuasa, mulai tampil dan mendeklarasikan diri menjadi organisasi massa. Demikian halnya dengan beberapa organisasi yang menjadi jaringan kerja cikal bakal FMN. Pada kongres pendirian 18 Mei 2003, FMN telah mendeklarasikan diri sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa yang harus mampu mengjangkau massa secara luas. Ini kembali ditetapkan pada Kongres I yang diselenggarakan di Lampung pada tahun 2004. Dalam perkembangannya, jumlah anggota FMN bertambah secara pesat, pada periode 2004 hingga 2006, jumlah anggota FMN tercatat berjumlah 2.000 an orang. Sebuah keberhasilan yang cukup menggembirakan di usia yang baru 3 tahun. Akan tetapi, dalam Kongres Lampung tersebut, belum menemukan ide untuk mengkonsolidasikan anggota secara solid. Akibatnya jumlah anggota Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
terus bertambah, tapi tidak terkonsolidasikan dengan baik. Ide untuk mengkonsolidasikan anggota secara solid inilah yang menjadi catatan penting dalam Kongres II yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 2006. Dalam kongres II tersebut, ditetapkanlah metode grouping anggota sebagai cara dalam mengkonsolidasikan anggota. Dengan metode grouping tersebut, praktek pengorganisasian lebih disandarkan pada metode solid, kerja-kerja pendidikan, propaganda, dan rekruitmen, dilakukan secara orang perseorangan, tidak secara luas. Pr o g r a m - p r o g r a m y a n g m a m p u menjangkau massa secara luas, sangat jarang dilakukan. Akibatnya penambahan jumlah dan regenerasi anggota, berjalan secara lamban. Dengan praktek grouping ini, FMN seolah-soal kembali menjadi organisasi semi legal. Hal inilah yang menjadi catatan
penting dalam kongres III yang diselenggarakan di Mataram pada bulan Maret lalu. Bahwa sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa, FMN harus menjadi organisasi yang besar, dengan jumlah anggota yang banyak, disatu sisi anggota dapat tetap terkonsolidasi secara solid. Perluas Pengaruh Politik dan Perbesar Organisasi Melalui Berbagai Kegiatan Yang Mampu Menjangkau Massa Secara Luas. Sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa, kita menyadari bahwa kita berhadapan dengan karakter massa yang beragam dan tidak dapat disamakan. Misalnya, ada massa yang suka akan aktifitas seni budaya, olah raga, kegiatan-kegiatan ilmiah seperti diskusi, seminar, dan berbagai aktifitas lainnya. Oleh karena itu, untuk menjadi organisasi massa yang mampu di terima oleh massa secara luas, FMN harus Sebar DEMOKRASI - 11
mampu menjalankan aktfitas-aktifitas yang bervariatif, aktraktif, dan mampu memenuhi kebutuhan massa mahasiswa tersebut. Mulai dari diskusi terbuka, seminar, pergelaran panggung rakyat, aktifitas olah raga, dan berbagai bentuk lainnya. Oleh karena itu, sesuai dengan resolusi Pleno II DPP FMN, basis ranting harus memiliki unit-unit kegiatan seperti band, sanggar teater, team futsal, groupgroup belajar, dan berbagai bentuk unit kegiatan lainnya. Dengan demikian, konsolidasi anggota kita dengan metode grouping, harus dilakukan dengan bersandarkan pada kegiatan-kegiatan yang bervariatif, aktraktif dan mampu mengjangkau massa secara luas tersebut. Demikian halnya dengan bentukbentuk propaganda yang disandarkan pada propaganda lisan yang terbatas/orang-perorangan, harus dirubah dan dilakukan dalam bentukbentuk yang luas, misalnya seminar, diskusi terbuka, panggung rakyat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, berdasarkan resolusi Pleno II DPP FMN, setiap basis organisasi, harus memiliki unit kerja propaganda yang secara khusus menjalankan kerja-kerja propaganda melalui media-media yang mampu menjangkau massa secara luas. Te r k a i t s o a l p e n d i d i k a n , pendidikan untuk massa yang dilakukan secara terbuka dan luas untuk memajukan taraf berpikir dan kebudayaan massa, serta bertalian erat dengan rakyat, juga menjadi catatan penting untuk dilaksanakan. Pendidikanpendidikan massa yang mengupas tentang persoalaan agraria dan kehidupan kaum tani, tentang hubungan industri dan kehidupan klas buruh, tentang prespektif pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat, dan soal-soal lainnya harus sering dilakukan. Selain itu, sebagai organisasi massa yang mandiri, seluruh aktifitas organisasi, harus bersandarkan pada kekuatan internal. Oleh karenanya iuran anggota menempati posisi yang sangat penting dalam membiayai seluruh aktifitas organisasi. Akan tetapi, kita menyadari bahwa iuran saja sangatlah tidak cukup dalam membiayai seluruh aktifitas kita. Oleh karena itu, sesuai dengan resolusi Pleno II DPP FMN, setiap basis organisasi harus memiliki kegiatan usaha produksi yang diperuntukkan untuk membiayai aktifitas organisasi. Mari Melayani Rakyat Dengan Segenap Hati, Pikiran, Dan Tenaga! Sebagai organisasi massa pemuda
mahasiswa yang demokratis nasional, kita telah menegaskan diri sebagai penyokong perjuangan rakyat. Tugas pokok gerakan pemuda mahasiswa adalah mengkampanyekan dan mencarikan solusi atas setiap persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Kampus harus kita jadikan sebagai benteng pertahanan rakyat, dipenuhi dengan aktifitas-aktifitas ilmiah dalam menjawab berbagai persoalan rakyat. Selain itu, program pelayanan rakyat harus dijalankan dengan program kongkret yang terencana dengan sistematis dan mampu melibatkan diri secara langsung dalam menyelami kehidupan rakyat; buruh, tani, dan rakyat tertindas lainnya. Tradisi pelayanan rakyat dengan terlibat langsung dalam kerja produksi kaum tani di pedesaan, mendirikan sekolah rakyat untuk anak-anak petani, memberikan layanan kesehatan, membantu kaum tani dalam melakukan dan menyimpulkan kerja investigasi di desa, dan berbagai pekerjaan lainnya, harus kembali dilaksanakan. Hal ini bertujuan untuk mengikis watak klas borjuis kecil dari mahasiswa yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi, sekaligus menegaskan diri bahwa pemuda mahasiswa merupakan penyokong perjuangan rakyat dibawah pimpinan klas buruh dan kaum tani. Ayo Tegakkan Prinsip ! Kita menyadari bahwa pekerjaan yang kita lakukan, tidaklah sedikit dan mudah. Akan tetapi, kita meyakini bahwa seluruh pekerjaan itu dapat dijalankan dengan mendidik diri secara keras dalam menjalankan pekerjaan berdasarkan prinsip yang telah kita tetapkan. Garis massa. Sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa, tugas FMN adalah memberikan pelayanan terhadap massa, khususnya massa mahasiswa dalam memajukan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan perjuangannya. Oleh karenanya, program-program kerja yang dijalankan, adalah program-program yang menjadi kebutuhan massa yang telah kita simpulkan berdasarkan hasil investigasi dan analisis klas yang komperehensif. Kerja kolektif dengan sistem komite. Metode kerja kita tidaklah m e n g g u n a k a n m e t o d e departementalisme yang memberikan sekat antara pekerjaan yang satu dengan lainnya, juga bukan metode gerombolan yang mengkonsentrasikan pada satu pekerjaan saja. Metode kerja kita adalah kerja bersama dengan tetap
bersandar pada tanggungjawab masingmasing sesuai dengan pembagian kerja yang jelas. Seluruh pekerjaan kita harus dijalankan dengan mengkonsolidasikan segala potensi yang kita miliki, mulai dari mengkonsolidasikan ide dari unsur-unsur termaju, hingga memperluasnya di kalangan anggota dan massa secara luas. Untuk mampu mendapatkan dukungan yang luas dari anggota dan massa, kita harus memberikannya ruang berpraktek yang sesuai dengan kapasitasnya. Sentralisme demokrasi. Kita harus memastikan bahwa seluruh program kerja yang kita jalankan, lahir dari keputusan bersama secara demokratis, dan dijalankan bersama secara terpusat. Hanya menjalankan prinsip demokratis, akan membiarkan organisasi berjalan secara liberal. Sebaliknya hanya menjalankan prinsip sentralisme, hanya akan membuat organisasi berjalan secara komandoisme. Kedua hal tersebut adalah bentuk subyektifisme yang harus dihindari. Kritik oto kritik. Agar menjadi organisasi yang besar, kita harus mampu belajar dari setiap praktek, baik yang kita lakukan maupun yang dilakukan kawan. Kritik oto kritik harus dijalankan dengan semangat persatuan antar kawan, dengan lapang dada mau mengakui setiap kesalahan dan belajar untuk memperbaikinya. Hanya dengan demikian kita akan mampu terus mengembangkan teori maju dalam memimpin praktek kita ke depan. Selain itu, hal yang penting untuk dikerjakan untuk menjadikan FMN sebagai organisasi massa pemuda mahasiswa yang mampu di terima luas oleh massa adalah bagaimana memperluas aliansi, baik itu di sektor pemuda mahasiswa, walaupun di multi sektor bersama gerakan rakyat lainnya dengan prspektif persatuan yang dipimpin oleh klas buruh dan kaum tani. Tentu hal ini harus dijalankan melalui kegiatan-kegiatan yang tidak hanya bersifat momentuman dan dengan tetap mengedepankan prinsip membangun front persatuan, yakni kerja sama yang saling menguntungkan, kemandirian dalam bersikap, serta bergantung pada kekuatan internal. Dengan demikian, organisasi yang kita cintai ini tidaklah menjadi organisasi yang eksklusif, melainkan menjadi organisasi yang mampu diterima dan dicintai oleh massa secara luas dan tetap bertalian erat dengan rakyat. Pemuda mahasiswa berjuang bersama rakyat, rebut demokrasi sejati !
Sukseskan Konferensi Nasional Pendidikan Dan Rapat Pleno III Dewan Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional Bangkit, Berorganisasi, Berjuang
Sebar DEMOKRASI - 12