Perlawanan juni 2005

Page 1


Salam Demokrasi ! PERLAWANAN kembali hadir di tengah kawan-kawan dengan tampilan yang berbeda. Lebih tipis dan ringkas tetapi tanpa mengurangi bobotnya. Pilihan untuk mengurangi jumlah halaman diambil agar PERLAWANAN dapat diterbitkan satu bulan sekali, sehingga informasi yang didapatkan oleh pembaca lebih aktual. Dan Pada Edisi kali ini PERLAWANAN akan mengangkat tentang persoalan Kebangkitan Nasional. Satu abad yang lalu, bangsa Indonesia memulai suatu tahapan perjuangan penting dalam menuju kemerdekaannya, yaitu “Kebangkitan Nasional”. Bermunculannya organisasiorganisasi politk modern yang banyak dipelopori oleh kaum muda terpelajar, telah melahirkan semangat baru bagi rakyat Indonesia dalam mencapai upaya pembebasan nasional. Bersama rakyat Indoensia, kaum muda terpelajar mengobarkan semangat anti penjajahan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Soekarno, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hadjar Dewantara, Tirto Adi Suryo hingga tokoh seperti Semaun dan Alimin telah membuktikan bahwa upaya mereka membangun organisasiorganisasi massa dan politik modern serta berjuang bersama rakyat pribumi tidak sia-sia. Meskipun Boven Digul dan penjara selalu menghantui, kaum muda terpelajar tidak pernah jera. Jerih payahnya kemudian tertuang dalam sikap kaum muda ketika mengikrarkan “Sumpah Pemuda” 28 Oktober 1928. Di masa revolusi fisik (1945-1949), kaum muda terpelajar juga turut berjuang bersama rakyat Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari upaya invasi militer yang digalang oleh Belanda dengan dukungan dari Inggris dan Amerika. Laskar-laskar pemuda dengan bermodalkan bamabu runcing dan senjata ala kadarnya mampu menunjukkan kegigihannya melawan bombardir serangan musuh. Salah satu di antara laskar-laskar pemuda yang terkenal dengan semangat patrotik dan militannya adalah Pesindo. Harus diakui bahwa kaum muda ketika itu adalah garda terdepan dalam upaya mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Ketika masa orde lama, kekuatan pemuda terbesar yang muncul adalah Pemuda Rakyat (PR). Dengan semangat melayani rakyat dan anti imperialisme, barisan Pemuda Rakyat selalu aktif dalam membangkitkan kesadaran massa rakyat dan berani mengorbankan dirinya dalam perjuangan pembebasan Irian Barat dan operasi Ganyang Malaysia. Namun Tragedi G-30 S tahun 1965, kemudian dijadikan legitimasi bagi rezim fasis boneka imperialis Soeharto untuk menghancurkan kekuatan pemuda patriotik, demokratik dan militan tersebut. Semangat Kebangkitan Nasional juga yang mendorong pemuda-mahasiswa pada 21 Mei 1998 memaksa Soeharto lengser dari tahtanya. Sebuah semangat untuk membebaskan bangsa dan rakyatnya dari himpitan imperialisme dan rezim bonekanya (baca : orde baru). Tetapi reformasi masih belum memberikan jawaban terhadap upaya pembebasan rakyat dari belenggu imperiaslime AS, feodalisme dan kapitalis birokrat. Kekuatan pemuda-mahasiswa harus bangkit kembali mengobarkan perlawanan terhadap rezim SBY-Kalla sebagai rezim boneka amerika dan anti rakyat di bawah panji-panji perjuangan Demokrasi Nasional. Ditengah peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), mari kita kaum muda Indonesia berseru : “Pemuda-Mahasiswa, Bersatu Berjuang Bersama Rakyat”. Dan dengan lantang kita akan terus pekikkan bahwa Imperialisme, Feodalisme dan Kapitalis Birokrat harus dienyahkan dari bumi Indonesia, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. BANGKITLAH KAUM MUDA INDONESIA !!! PERLAWANAN Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional Penanggung Jawab: Hersa Krisna Pimpinan Redaksi: Ridwan Lukman Dewan Redaksi: Hersa Krisna, Ridwan Lukman Koresponden: Ade Jasman (Jambi), Wira (Palembang), Bejo (Tanggamus), Yanuar Maulid (Bandar Lampung), Panda Potan (Jakarta), Sagino (Bandung), Dadan Kurnia (Garut), Ari (Purwokerto), Syamsudin Nurseha (Yogyakarta), Sayid Habibie (Wonosobo), Hendi Setiawan (Jombang), Aan (Malang), Said (Surabaya), Erik (Jember),Ahmad Subadio (Mataram),Yoong (Lombok Timur) Alamat Redaksi: Jl. Salemba Tengah No. 36 C Gg II RT 02/RW 04, Kelurahan PasebanJakarta Pusat Telpon: 021-3915274 E-mail: perlawananfmn@yahoo.com Rekening: No Rek.0005485263 BNI Cab. U.I Depok a.n. Seto Prawono. Redaksi menerima saran, kritik, dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, serta foto jurnalistik yang tidak bertentangan dengan AD/ART FMN. Tulisan ditulis pada kertas kwarto, spasi satu setengah, huruf times new roman 12, diutamakan dalam bentuk microsoft word, dan dikirim ke alamat e-mail buletin perlawanan.


Kobarkan Terus Perjuangan Melawan Imperialisme AS dan Rezim Boneka SBY-Kalla

R

akyat Indonesia tidak akan pernah bisa melupakan penjarahan kekayaan alam dan penindasan politik serta kebudayaan yang pernah dilakukan kolonialisme selama ratusan tahun. Secara langsung penjajah asing berkuasa di tanah air. Penjajahan dalam bentuk kolonialisme yang pernah dilakukan oleh Perancis, Inggris, Belanda, hingga Jepang telah menyebabkan jutaan rakyat Indonesia pada waktu itu dalam kondisi yang memprihatinkan dan terbelakang. Dalam situasi demikian, jutaan pemuda dan rakyat ambil bagian aktif dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Akhir abad 19 merupakan era baru perlawanan rakyat, karena mulai saat itu perlawanan yang sporadis dan bersifat kedaerah mulai ditinggalkan. Perlawanan berubah lebih maju dengan mengambil bentuk perjuangan yang berkarakter nasional dan terorganisasi. Berbagai kalangan rakyat membentuk organisasi, termasuk diantaranya para intelektual dan priyayi yang mempunyai semangat anti kolonialis yang pada tanggal 20 Mei 1905 membentuk Budi Utomo. Berdirinya Budi Utomo telah menambah energi bagi perjuangan rakyat dalam mengusir penjajah Belanda. Untuk memperingati kelahiran Budi Utomo, maka 20 Mei 1905 diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Gelombang perjuangan rakyat yang semakin besar dan tidak mengenal kompromi dengan penjajah membawa hasil diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Namun perlu diingat bahwa, pembacaan Proklamasi Agustus 45 hanyalah menyatakan kemerdekaan dalam bentuk yang formal. Indonesia pasca p e m b a c a a n Proklamasi Agustus 1945 tidak bisa dinyatakan sebagai negeri yang merdeka s e p e n u h n y a . Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya melalui proklamasi Agustus 45, namun imperialisme tetap berusaha melakukan re-kolonisasi atas

Indonesia. Penghisapan ekonomi, dominasi politik, subordinasi kebudayaan, dan tekanan militer, yang dilakukan negeri-negeri imperialis, telah menghilangkan kemerdekaan secara sistematis. Berbagai siasat licik dilakukan imperialisme Belanda yang berujung pada Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 untuk melikuidasi kemerdekaan Indonesia. Namun, sebagai kekuatan imperialis paling lemah dalam persekutuan imperialisme Eropa, Belanda tidak memiliki kemampuan ekonomi, politik, budaya, maupun militer yang memadai. Hal ini disadari oleh imperialisme Amerika Serikat yang kemudian melanjutkan upaya rekolonisasi Indonesia melalui berbagai tindakan kontrarevolusioner terhadap kepemimpinan Soekarno. Tingginya propaganda anti-kolonialisme dan imperialisme pada dekade 1950-an dan 1960an di Indonesia, mempertinggi nafsu imperialisme AS untuk membubarkan kemerdekaan politik yang diraih dengan darah, nyawa, dan keringat Rakyat Indonesia. Rangkaian peristiwa berdarah yang didalangi imperialisme AS memuncak pada tahun 1965/1966, ketika jutaan kaum patriotik Indonesia, yang didominasi oleh klas buruh dan kaum tani menjadi tumbal kembalinya dominasi imperialisme, pimpinan imperialisme AS, di Indonesia. Untuk menancapkan fondasi kekuasaannya di Indonesia, imperialisme menciptakan sebuah rejim boneka yang dijuluki “Orde Baru�. Rejim ini lahir dari gerakan yang tidak mencerminkan kepentingan rakyat dan memiliki watak mengabdi pada kepentingan imperialisme. Rejim yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu m e n c i p t a k a n landasan yang lebih kokoh bagi dominasi imperialisme. Orde Baru mengeluarkan berbagai kebijakan yang menguntungkan imperialisme. Kebijakan pertama kali yang dicanangkan adalah UndangUndang Nomor 1 tahun 1967 tentang


Penanaman Modal Asing (PMA). Undang-undang ini mengawali proses “industrialisasi� menurut skema Industri Substitusi Impor (ISI) dan Industri Orientasi Ekspor (IOE). Pada saat itu, berbagai pola investasi, baik dalam bentuk foreign direct investment (investasi asing langsung/FDI) maupun dalam bentuk investasi portofolio, mengalir deras dan mendongkrak kenaikan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di era Orde Baru, industrialisasi dibangun oleh persekongkolan antara kapitalis besar monopoli asing dengan klas-klas reaksioner lokal; tuan-tanah feodal, kapitalis komprador, dan kapitalis birokrasi. Persekongkolan ini tentu saja tidak ditujukan untuk memperkuat industri dalam negeri. Industrialisasi Orde Baru, sekali lagi, hakikatnya hanyalah ekspansi kapital asing untuk merebut pasar dan bahan baku. Industrialisasi yang menjadikan Indonesia sebagai pelayan atas segala kepentingan imperialisme. Tidak ada satu negeri pun yang mampu memasuki era industrialisasi secara mandiri tanpa melampaui atau mengakhiri dominasi sisa-sisa feodalisme. Sebab berakhirnya dominasi feodalisme akan memberi ruang yang sangat luas bagi perkembangan kekuatan produktif yang pada gilirannya

akan memberikan landasan yang kokoh bagi tumbuhnya industri. Dalam situasi seperti itu, industrialisasi yang dicanangkan Orde Baru sesungguhnya tidak memiliki fondasi sosial yang kokoh. Pada tanggal 21 Mei 1998 kekuasaan Soeharto yang dibangun dengan tangan yang belepotan darah itu tumbang karena kekeliruannya sendiri dan akibat meluasnya ketidakpuasan rakyat atas krisis dan kebobrokan mental penguasa yang melekat di dalamnya. Jutaan rakyat terutama pemuda mahasiswa berperan sangat besar dalam penjatuhan rezim yang sangat anti rakyat tersebut. Namun rejim yang berkuasa pasca Soeharto, mulai dari BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, sampai saat ini masa SBY-Kalla, berkali-kali mengkhianati kepentingan rakyat. Rejim-rejim

Formulir Pendaftaran Front Mahasiswa Nasional


tersebut, dengan berpijak pada garis yang ditetapkan secara tidak demokratis oleh IMF, berkali-kali berupaya menunjukkan loyalitasnya pada imperialisme dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang anti rakyat, termasuk pemuda-mahasiswa. Kebijakan Rezim SBY-Kalla tidak berbeda dengan Rezim Soeharto. Di bawah rezim SBY-Kalla hak-hak demokratis pemuda/mahasiswa masih saja dikekang seperti di zaman Orde Baru. Bentuk-bentuk pengekangan tersebut di antaranya adalah, hak untuk mendapatkan pendidikan yang murah tidak diberikan, karena rezim hanya sedikit sekali mensubsidi pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Kas negara diorientasikan untuk membayar hutang luar negeri. Rezim menjalankan berbagai peraturan perundang-undangan yang melepaskan tanggungjawab negara untuk menanggung pembiayaan pendidikan rakyat, seperti UU no 20 tahun 2003

tentang Sistim Pendidikan Nasional, PP 60 tahun 1999, PP 61 tahun 1999, serta berbagai peraturan yang mem-BHMNkan Perguruan Tinggi Negeri. Yang terbaru Rezim sedang membuat Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang memuluskan usaha rezim untuk mengkomersilkan pendidikan. Masih tingginya tingkat korupsi dalam badanbadan negara yang mengurusi bidang pendidikan semakin membuat pemuda/mahasiswa merasakan berat sekali menanggung biaya pendidikan. Akibatnya terbatasnya akses untuk menikmati pendidikan, maka banyak pemuda yang menganggur. Bentuk yang lain dari penindasan rezim ini yang dirasakan mahasiswa adalah rezim masih membangun suasana kampus yang tidak demokratis. Dibeberapa kampus ormas mahasiswa dilarang untuk berdiri dan mengadakan kegiatan organisasi. Dengan cara demikianlah rezim dan kampus meredam gejolak protes-protes mahasiswa. Selain mahasiswa juga tidak bisa ikut menentukan kebijakan di kampus. Hal menjadi masalah bagi mahasiswa karena di kampus dia hanya dijadikan objek kebijakan. Kejadian tersebut tetap terjadi diera SBY-Kalla. Rezim SBY-Kalla tidak sekedar menindas pemuda/ mahasiswa, tapi rezim ini-seperti halnya rezim Orde Barujuga menindas rakyat pada umumnya, terhadap buruh petani, kaum miskin kota, perempuan, profesional, dan lain-lain. Maka sangat pantas Rezim SBY-Kalla dijuluki rezim boneka Amerika dan rezim anti rakyat, seperti halnya rezim Soeharto. Semangat kebangkitan nasional yang terjadi diawal abad 20 adalah semangat melawan kolonialisme beserta kaki tangannya didalam negeri. Sementara pada tujun tahun yang lalu, tepatnya 21 Mei 1998, bisa disaksikan Soeharto mundur karena desakan rakyat terutama gerakan pemuda/mahasiswa yang menentang rezim boneka Imperialis. Untuk itu terkait dengan peringatan hari kebangkitan nasional dan tujuh tahun turunnya Soeharto, maka semangat melawan Imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri harus tetap terus dikobarkan.(Ade Ahmad)


MENAGIH TANGGUNG

D

unia pendidikan nasional tidak pernah terlepas dari berbagai persoalan. Bahkan mungkin jari kita tidak akan sanggup menghitung sekian persoalan yang dihadapi. Pendidikan telah menjadi barang dagangan. Bukankah pendidikan tanggung jawab negara? Benar! Tetapi negara telah memposisikan dirinya sebagai “rezim anti rakyat�. Subsidi pendidikan dicabut dan anggarannya dikurangi, sehingga sebagian besar tunas bangsa di negeri ini terancam tidak bisa sekolah dan kuliah. Berikut ini, tuntutan yang akan terus diperjuangkan dan wajib direalisasikan oleh negara. Realisasikan 20 Persen Anggaran Pendidikan dalam APBN dan APBD Walaupun konstitiusi telah mengamanatkan agar pemerintah untuk mengalokasikan 20 % dari APBN/APBD tetapi kenyataannya anggaran pendidikan tahun 2005 hanya sekitar Rp 25 trilyun atau 6 persen dari total APBN 2005. Padahal kebutuhan untuk sektor pendidikan menurut Balitbang Depdiknas bahwa angka ideal 20% dari APBN adalah 71 triliun (perkiraan APBN yaitu, Rp 336, 156 trilyun) diluar gaji tenaga pendidik. Bukan hanya itu, dari Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata hanya disisakan 1,5 % untuk pendidikan. Bandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang mengalokasikan biaya pendidikannya dari PDB sebagai berikut : Malaysia (6,2%), Thailand (5,4%), Filipina (3,5 %), atau India (4,1%). Benarkah negara tidak memiliki dana? Bohong! Pemerintah berani mengeluarkan dana sebesar Rp 650 trilyun untuk restrukturisasi perbankan (Kompas, 14 Februari 2004). Setiap tahun 40 persen dari APBN dialokasikan untuk membayar utang dan cicilannya. Bayangkan, sekitar Rp 64 triliun dari kas negara dikeluarkan untuk membayar utang para borjuasi besar komprador dan kaum kapitalis birokrat yang memiliki deposito terkecil Rp 5 Milyar dan hanya berjumlah 14.000 orang di Indonesia. Utangutang inilah yang sesungguhnya membuat kas negara defisit, bukan subsidi sosial seperti pendidikan, BBM, kesehatan, Listrik, telepon dan air yang telah dicabut oleh pemerintah. Dampak di cabutnya subsidi pendidikan adalah pendidikan menjadi mahal dan sulit

dijangkau, khususnya bagi anak-anak buruh, tani dan kaum miskin perkotaan. Mantan Mendiknas Malik Fadjar pernah menyatakan bahwa kemampuan masyarakat untuk menikmati bangku sekolah SD-SMP, hanya sebesar 70%. Untuk tingkat SMU/SMK hanya sebesar 40%. Sementara masyarakat yang bisa mengakses bangku Perguruan Tinggi (PT), hanya 3% berasal dari keluarga miskin. Sementara sisanya berasal dari keluarga kelas menengah-keatas (Kompas, 23 April 2004). Untuk tahun 2004 saja BPS menyebutkan bahwa 44 juta atau 47% anak sekolah (7-15 tahun) diseluruh tanah air, belum mendapat layanan pendidikan dasar. Mengapa realisasi anggaran 20 persen dari APBN dan APBD menjadi urgen? Langkah ini untuk menjamin pendidikan gratis dari sekolah dasar-menengah dan membiayai pendidikan bagi anak-anak buruh, tani dan kaum miskin perkotaan. Malaysia misalnya, memberikan subisidi 25-30 persen sehingga bisa menggratiskan biaya sekolah dari SD hingga Perguruan Tinggi (PT), bahkan memberikan subsisdi bagi mereka yang kurang mampu melalui program beasiswa. Pemerintah sepertinya bisa belajar dari pengalaman Malaysia. Mewujudkan Demokratisasi Kampus Demokratisasi kampus adalah sebuah perjuangan yang menjadi keniscayaan bagi setiap elemen gerakan pemuda-mahasiswa di Kampus. Selain berbicara tentang bagaimana terpenuhinya hak-hak demokratis mahasiswa di kampus juga terkait tentang bagaimana menghilangkan pendikotomian yang selama ini terjadi antara organisasi ekstra dan intra kampus. Upaya untuk memberangus gerakan pemuda-mahasiswa sebagai salah satu kekuatan demokratik, telah dimulai sejak diberlakukannya sistem Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) oleh rezim Orde Baru (Orba). Kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) melalui SK Mendikbud No. 0457/U/1990 yang menggantikan posisi dari Dewan Mahasiswa (DEMA). Peran SMPT selama zaman orde baru


justru mengkebiri kekrtitsan mahasiswa. Aktifitasaktifitas di kampus yang bersifat politik atau mengkritisi rezim dilarang sama sekali. Menjelang masa tumbangnya Soeharto, mulai bermunculan kelompok-kelompok pemudamahasiswa dalam bentuk kelompok studi, forum komunikasi hingga komite aksi. Kelompokkelompok ini kemudian menjadi pilihan bagi sebagaian besar pemuda-mahasiswa dan cukup berperan atas tumbangnya rezim fasis boneka imperialis Seoharto. Elemen-elemen gerakan pemuda-mahasiswa ini lebih dikenal sebagai organisasi ekstra kampus. Meskipun saat ini NKK/BKK telah dihapus, namun prakteknya masih bisa dirasakan. Posisi mahasiswa tetap menjadi subordinasi dari birokrasi kampus, dimana Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III tetap berperan dalam mengontrol aktifitas mahasiswa di kampus. Aktifitas mahasiswa didorong semata-mata menyelesaikan masa studi secepatnya, tanpa perlu memikirkan persoalan-persoalan di sekitar kampus. Hal itu bisa terlihat dengan pemberlakuan beberapa peraturan kampus yang cukup represif seperti kode etik, jam malam, ancaman DO, larangan berdemonstrasi, larangan berorganisasi dan lain-lainnya, seperti yang dialami oleh FMN di Univeritas Mataram NTB, STAIBU Jombang dan Universitas Satyagama Jakarta. Baik organisasi ekstra atau intra kampus akan menghadapi persoalan yang sama, yaitu belum dijaminnya kebebasan berekspresi dan berorganisasi di kampus serta dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Sehingga tidak tepat, jika terus membiarkan terjadinya pendikotomian antara organisasi ekstra dan intra kampus. Justru, kedua organisasi ini harus saling bahu membahu dalam memperjuangkan hak-hak demokratis mahasiswa di kampus. Memberantas Korupsi Di Dunia Pendidikan Survei terakhir Transparancy Internasional menunujukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 5 negara terkorup dari 146 negara. Ironisnya lagi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) merupakan salah satu sarang korupsi terbesar. Hingga akhir tahun 2003 tercatat 300 kasus dengan nilai Rp 630 juta. Dari jumlah tersebut yang telah ditindaklanjuti tuntas ada 10 kasus dengan nilai Rp 17 juta dan yang belum ditindaklanjuti ada 290 kasus dengan nilai Rp 613 juta. Temuan BPK semester I 2002 di Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas menemukan 144 kasus bernilai Rp 225 miliar rupiah. Sedangkan di Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas sebesar Rp 79 Miliar dari 105 kasus.

Korupsi yang dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti biaya koordinasi, transport untuk pengawas atau yang paling trend adalah rekomendasi dari Depdiknas atau dinas bagi penerbit agar dagangannya bisa dengan mudah masuk ke sekolah. Bentuk lainnya dengan mengajukan sekian pungutan kepada orang tua siswa. Di perguruan tinggi, bentuk korupsi yang lazim digunakan adalah pemanfaatan biaya masuk kuliah, jatah kursi anak dosen, jalur khusus, dan bentuk pungli yang dilegalkan oleh kampus . Hentikan Pem-BHMN-an Terhadap PTN Sesuai PP 61 Tahun 1999, status perguruan tinggi negeri (PTN) berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kemudian disusul beberapa PTN terkemuka di Indonesia seperti UI, ITB, IPB, UGM, UPI dan terakhir USU beralih status menjadi kampus BHMN. Pem-BHMNan PTN adalah merubah PTN menjadi persero yang memberi kewenangan kepada kampus untuk mencari uang sebebasnya. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah untuk tidak lagi memberikan subisidi pendidikan. Apa yang terjadi kemudian? Kampuskampus yang awalnya menjadi idola dan dikenal murah, justru menjadi sulit dijangkau. Mengapa? Karena upaya penjaringan dana tetap mengambil porsi terbesar dari mahasiswa dengan serangkaian biaya yang dibebankan kepada calon mahasiswa dan mahasiswa. Sebagai contoh, pembukaan jalur khusus dibeberapa PTN seperti UI, ITB, Undip, dan UGM, menelan biaya masuk sekitar Rp 15-150 juta, bahkan ada yang mencapai Rp 500 juta. Belum lagi pembiayaan lainnya, seperti BOP, biaya materai, tes kesehatan, dan lain-lainnya atau isitlahnya “pungli yang dilegalkan�. Diperkirakan kenaikan biaya kuliah ini akan terus terjadi, mengingat proyeksi pem-BHMN-an PTN yang akan terus dilakukan oleh pemerintah. Mau tidak mau, upaya pem-BHMN-an terhadap PTN-PTN di Indonesia harus dihentikan. Pemerintah harus mencabut berbagai aturan hukum yang melegitimasi pem-BHMN-an terhadap PTN dan tidak melanjutkan lagi upaya pem-BHMNan PTN. Buruh, tani dan kaum miskin perkotaan juga menginginkan anak-anaknya berkuliah, bukan mereka yang berduit doank. Itulah beberapa tuntutan sektor pendidikan yang akan terus diperjuangkan oleh gerakan massa demokratis, khususnya bagi kekuatan pemuda-mahasiswa. Jika rezim SBYKalla benar-benar berpihak kepada rakyat, maka pemerintah tidak perlu ragu untuk menindaklanjuti hal ini. Tetapi jika sebaliknya, jangan salahkan ketika rakyat berseru, “SBY-Kalla Boneka Amerika dan Rezim Anti Rakyat�. (Wawan)


Peringatan 50 Tahun KAA Jakarta, Ribuan massa demonstran yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Indonesia Anti Imperialisme (PERISAI) melakukan aksi demonstrasi ditengah penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tanggal 23 April 2005. Aksi demonstrasi ini melibatkan berbagai or mas dari berbagai sektor seperti GSBI, Gaspermindo, AGRA, STN, API, RTN, SPP, KMPI, FMN, GMNK, Pijar Indonesia, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, FPPI, KAMTUP, FAM UI. Barapel, Warga Bojong, SPHP, SPM, Perpeni, FSPB, KPI, GRI, WALHI, KAU dan Warga Bojong, Dalam pernyataan sikapnya PERISAI menuntut diadakannya pembaharuan semangat KAA 2005. yaitu Menggalang Persatuan Rakyat Melawan Melawan Imperialisme AS dan Sekutunya Serta Kaki Tangannya Di Berbagai Negeri. PERISAI juga menuntut rezim SBY-Kalla membatalkan kebijakan menaikkan harga BBM dan menurunkan harga-harga kebutuhan pokok. Tuntutan tersebut disertai juga dengan tuntutan dari berbagai sektor. Selain di Jakarta, PERISAI juga mengadakan demonstrasi di depan Konjen AS Surabaya pada 23 April 2003 dan di Jombang tanggal 21 April 2005. Bandung, Tanggal 17 April 2005, bertempat di halaman Universitas Padjajaran (Unpad) Dipati Ukur, diadakan Mimbar Demokrasi Rakyat Indonesia (MDRI) yang diselenggarakan oleh PERISAI. Ratusan orang

dari berbagai organisasi seperti AGRA, KKPB, FMN, KPP, FAMU, KMD, TPST Bojong, IPPAS, SPOER, ASAS, ORASI, dan YPKP. Masih seputar peringatan KAA, Komite Mahasiswa Bandung Bersatu (KMBB) juga mengadakan demonstrasi menyerukan “membangkitkan kembali semangat KAA 1955” pada 21 April 2005. Demonstrasi ini melibatkan puluhan mahasiswa dari berbagai organisasi yaitu FMN, FAMU, GMP, IKAPA, HMR, KMD dan Gebrak. Purwokerto, aksi juga dilakukan oleh Front Perjuangan Rakyat (FPR) di alun-alun Purwokerto dengan mengadakan “mimbar politik dan panggung rakyat” tanggal 23 April 2005. Sebelumnya diadakan long march dari perempatan sri ratu dan lapangan porka (stasiun). Mengusung tema “kita belum merdeka dan kolonialisme belum mati” mimbar politik dan panggung rakyat FPR diisi dengan orasi politk, monolog musical, pembacaan manifesto dan pembakaran gurita imperialis AS.Aksi FPR diikuti oleh FMN, PPB, Forkommi, Figrumas, GMKI, PTSR Cilacap, PPO Kebumen, PPM, Serbuk dan PPOPW. Sebelumnya tanggal 20 dan 21 April 2003, FMN juga mengadakan aksi serupa di kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan Universitas Soedirman. Di UMP, aksi dilakukan dengan membagi-bagi leaflet, mimbar

orasi, musik akustik dan menggelar spanduk dukungan. Aksi di UMP sempat terancam bubar oleh Pembantu Rektor III, karena dilarang mengadakan demonstrasi di dalam kampus. Akhirnya aksi FMN di UMP dilaksanakan di luar kampus, tepatnya di depan kompleks UKM. Sementara di Unsoed, diadakan aksi pembagian leaflet, orasi, musik dan teatrikal. Bandar Lampung, FMN mengadakan demonstrasi memperingati 50 tahun KAA dengan melakukan long march dari kampus Unila menuju kampus Teknokrat. Dalam aksinya FMN menyerukan agar semangat awal KAA 1955 dikembalikan untuk melawan imperilaisme AS dan sekutunya beserta kaki tangannya di berbagai negara. Sekitar 60 orang terlibat dalam aksi demonstrasi FMN. Mataram, peringatan KAA ke 50 di mataram disikapi oleh FMN dengan mengadakan aksi teatrikal di perempatan Airlangga. Aksi teatrikal yang dikoordinir oleh Sofian Sani menggambarkan tentang KAA yang tidak lagi menjadi jembatan bagi negara-ngara Asia-Afrika untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, tetapi telah berubah menjadi wadah yang mengakomodir kepentingan imperialisme AS dan sekutunya. Peringatan May Day 2005 Jakarta, Komite Aksi Bersama 1 Mei yang terdiri dari berbagai organisasi serikat buruh dan


pekerja seperti GSBI, Gaspermindo, SBM-Setia Kawan, SP-Megaria, SPTP, FKPK, SBPT, Galindo, DP-PKB, SPSI Herose, FSK Depok, dan AB 3Demonstrasi ini juga didukung oleh organisasi dari sektor lain seperti FMN, AGRA, RTN, GRI, Perpeni, SPM, GP 27 Juli, SPHP, LBH Jakarta dan LBH Apik. Demonstrasi dibuka dari bunderan HI kemudian melakukan long march ke Istana Presiden. Dari istana massa demonstran kembali ke beunderan HI, selanjutnya melakukan orasi-orasi politik dan ditutup dengan pembacaan statemen. Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2005 Jakarta, ratusan massa dari FMN mengadakan demonstrasi memperingati Hardiknas dengan melakukan long march dari Bunderan HI menuju Istana Presiden RI. Di Istana, FMN berencana memberikan penghargaan (awards) kepada presiden SBY sebagai “Bapak Komersialisasi Pendidikan”. Namun permintaan ini ditolak oleh pihak kepolisian. Dalam statemennya, FMN menuntut rezim SBY-Kalla agar memberikan alokasi anggaran 20 persen dari APBN dan APBD, Mencabut peraturan PemBHMN-an PTN dan menghentikan privatisasi PTN, menghentikan korupsi anggaran pendidikan dan mengadili para koruptor serta hartanya dista untuk subsidi rakyat, menjamin demokratisasi kampus dan menjamin lapangan pekerjaan bagi pemuda dan rakyat. Dari istana Presiden, massa FMN kemudian menuju gedung Depdiknas RI dan bergabung dengan Aliansi Rakyat Peduli Pendidikan (ARPP). Massa demonstran ARPP dihadang oleh aparat kepolisian untuk tidak memasuki gedung Depdiknas. Meskipun demikian, demonstrasi tetap

dilakukan di luar gedung. ARPP menuntut agar pemerintah segera menjamin pendidikan yang merata untuk semua rakyat, ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada kepentingan rakyat. Beberapa perwakilan ARPP juga sempat mengadakan dengar pendapat (hearing) dipimpin oleh Kordum Hersa Krisna. Dalam hearing tersebut, ARPP bermaksud meminta tanggapan Mendiknas terhadap tuntutan yang diajukan dan beberapa persoalan seperti kasus DO sepihak pimpinan kampus STAIBU Jombang terhadap 3 anggota FMN dan pelajar yang tidak diperbolehkan mengikuti Ujian Nasional. Kemudian mendesak Mendiknas untuk menandatangani tuntutan tersebut. Ternyata hal ini ditanggapi dingin oleh Mendiknas Bambang Sudibyo. Setelah mengetahui sikap dari pihak Mendiknas, massa ARPP sangat kecewa. Akhirnya diputuskan untuk menyudahi demonstrasi karena sudah percuma berharap banyak dari pemerintah. Aksi ARPP diikuti oleh FMN, FAM UI, Pijar Indonesia, KAMTUP, Barapel, HMI-MPO, FPPI, KMD UNJ, Koalisi Pendidikan, SPHP, SPM, GSBI, AGRA dan GP 27 Juli. Tanggal 21 Mei 2005 Jakarta, Beberapa organisasi yang tergabung dalam Komite Aksi 21 Mei, pada hari Sabtu, 21 Mei 2005 melakukan aksi massa dalam rangka peringatan tujuh tahun turunnya Soeharto dari kekuasaan. Aksi yang diikuti oleh GSBI, FMN, HMI MPO, PIJAR Indonesia, BARAPEL, PMII, FPPI, Hamas, GP 27 Juli, KM Jayabaya, SPM, AGRAtersebut membawa tuntutan sita harta hasil korupsi Soeharto dan kroninya untuk subsidi rakyat, adili semua pelanggar HAM termasuk Soeharto dan kroninya, hentikan penangkapan

aktivis dan kriminalisasi protes rakyat, menolak kebijakan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), realisasikan anggaran pendidikan 20 % dari APBN/ APBD untuk menjamin sekolah dan kuliah gratis bagi anak-anak buruh, tani, serta kaum miskin perkotaan, sediakan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak, laksanakan reforma agraria sekarang juga, hentikan penggusuran rumah rakyat, serta tolak hutang luar negeri dan putus hubungan kerjasama politik, ekonomi, kebudayaan, militer dengan imperialisme Amerika Serikat karena merugikan rakyat. Aksi yang diikuti oleh kurang lebih seratus orang tersebut, dimulai dari bundaran Hotel Indonesia dan berakhir di Istana Negara. Sepanjang perjalan peserta aksi menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan meneriakan yellyell diantaranya : SBY-Kalla Boneka Amerika, SBY-KALLA Rezim anti Rakyat, Adili Soeharto Sita harta untuk Rakyat, Imperialisme hancurkan, Feodalisme Musnahkan. Juru bicara Komite Aksi 21 Mei, Hersa Krisna, mengatakan aksi ini bertujuan untuk menjelaskan kepada rakyat bahwa selama tujuh tahun turunnya Soeharto, rezim yang berkuasa masih saja belum berpihak pada rakyat, termasuk mahasiswa. Selain itu dia juga menegaskan bahwa rezim SBYKalla sebenarnya masih saja sama karakternya dengan Rezim Orde Baru Soeharto, yaitu tidak berpihak pada rakyat dan anti demokrasi. “Maka sangatlah tepat jika tema aksi kali ini adalah lawan rezim anti rakyat yang tidak memenuhi hak-hak dasar rakyat”, tandasnya disela-sela aksi (Red)


Pesan Solidaritas Asian Students Association (ASA) untuk FMN pada Hari Pendidikan Nasional

2 Mei 2005

Tegakan Masa Depan Kita: PERJUANGKAN PENDIDIKAN!

K

ami, Asian Students Association menyatakan solidaritas terkuat kami kepada seluruh mahasiswa/pelajar dan rakyat di Indonesia pada hari pendidikan nasional. Dibawah kebijakan neo-liberal, pendidikan menjadi salah satu komoditas yang sangat menguntungkan secara bisnis diseluruh Asia, privatisasi perguruanprguruan tinggi negeri, pencabutan subsidi negara untuk pendidikan dan juga pemerintah mengundang Institusi-institusi Internasional dan perusahaanperusahaan swasta untuk mendukung pendidikan di Indonesia, mendukung disini tentu berarti bisnis. Pemerintah Indonesia sampai saat ini memiliki perioritas yang sangat besar terhadap pengembangan militer, namun perioritas yang sama tidak dapat terlihat dalam hal pendidikan, hal ini menyebabkan sektor pendidikan di Indonesia semakin terpuruk, pemotongan anggaran negara terhadap sektor pelayanan sosial ini sangat kontras jika dibandingkan dengan penggelembungan anggaran untuk memodernisasi peralatan-peralatan militer. Pendidikan adalah kunci utama bagi masa depan pemuda bahkan dunia, tetapi kualitas infrastruktur sekolah-sekolah di Indonesia layaknya kamp-kamp pengungsian, konflik yang berkepanjangan dan operasi militer yang terjadi di beberapa daerah menghancurkan mimpi setiap pemuda akan pendidikan, banyak pemuda tidak memiliki pekerjaan yang pada akhirnya memaksa mereka menjadi buruh migran. Pemuda adalah pewaris dunia ini, kekuatannya sangatlah menjajikan, maka pemuda tidak boleh terjebak dalam konservatisme dan budaya yang palsu, sama halnya dengan massa tertindas lainnya, pemuda juga harus bangkit, berjuang dan berorganisasi untuk menuntut hak-haknya. Kami adalah salah satu bagian dalam perjuangan pemuda mahasiswa/ pelajar dan rakyat Indonesia, karena pada hakikatnya perjuanganmu adalah perjuangan kami. Keadilan dan perdamaian yang hakiki adalah tantangan kita, kita akan terus berjuang dan menghancurkan imperialisme, karena sistem yang ada hari ini tidaklah memiliki hari depan bahkan berangsur-angsur menuju kematiannya. Hidup Solidaritas Internasional! Hidup Persatuan Pemuda Mahasiswa/pelajar! Madhav Nepal, Lee Khai Loon, Rey Asis Sekretariat Regional ASA, 2002-2005


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.