Fakta Bahwa Kita Krisis Salam Demokrasi ! Awal bulan Oktober tahun ini, pemerintah akan menaikan harga BBM yang diperkirakan mencapai 80 persen. Dengan alasan Kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah menganggap subisidi BBM sebagai pemborosan dan merugikan bagi kas negara karena defisit. Maka pilihan pun jatuh pada pencabutan subsidi BBM dengan resiko harga BBM dinaikkan. Benarkah subisidi BBM adalah beban? Padahal subsidi BBM cuma 2 persen dari PDB. Bandingkan dengan jumlah utang yang harus kita bayarkan setiap tahunnya. Setiap tahun 40 persen kas negara digunakan untuk membayar utang. Bukankah seharusnya kita untung, jika harga minyak naik. Kemanakah hasil penjualan minyak mentah tersebut? Jika kebutuhan dalam negeri cukup tinggi, mengapa kebijakan ekspor minyak dipertahankan. Mengapa harus impor minyak, jika kita adalah negeri yang kaya akan sumber minyak dan gas alam? Mengapa pula pemerintah membiarkan perusahaan ekplorasi minyak seperti Caltex, Stanvac, Exxon Mobile Oil, Conoco Philips, Santa Fe, Britis Petrolium, Unocal, Shell dengan maruk mengeruk kekayaan minyak kita? Apakah kelangkaan semata-mata karena penyelundupan dan penimbunan?Naiknya harga BBM ancaman bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Harga-harga naik, sekolah mahal, kesehatan mahal, buruh terancam PHK, pengusaha terancam bangkrut, pengangguran di depan mata, petani terancam hidupnya dan kaum miskin perkotaan makin gigit jari. Tapi pemerintah dengan enteng menjawab, don’t worry be happy aja lah. Semua telah tercover melalui dana kompensasi BBM. benarkah? Cuman 100 ribu per Kepala keluarga (KK) per bulan, dengan ancaman seperti diatas, pendataan rakyat miskin yang tidak jelas, ancaman konflik horizontal dengan cara dibagi langsung dan jalur birokrasi yang korup, apa masih pantas di bilang sebuah solusi dan tenang-tenaang saja? So, pencabutan subsidi BBM dan menaikkan harga BBM hanya akan menambah penderitaan rakyat. Dan dana kompensasi BBM bukan pula solusi dari kemiskinan rakyat Indonesia. Hingga tidak salah jika rejim SBY-Kalla disebut sebagai rejim boneka Amerika dan anti rakyat. Karena kebijakan ekspor minyak, membiarkan berjamurnya eksplorasi minyak asing di Indonesia dan impor BBM, justru membuat negara merugi dan rakyat harus menanggung beban dengan naiknya harga BBM. Krisis minyak menambah deretan penderitaan rakyat yang lain, seperti, pendidikan dan kesehatan yang mahal, penggusuran, perampasan tanah rakyat, upah buruh yang tidak layak, PHK bagi buruh hingga penggunaan kekerasan dan pelanggaran HAM seperti tragedi berdarah Tanak Awu 18 September 2005 lalu. Rejim SBY-Kalla perlahan tapi pasti, merampas hak-hak dasar rakyat yang seharusnya mereka berikan. Di tengah penderitaan rakyat saat ini, SBY justru berkeliling ke negara-negara imperialis untuk meminta “sang tuan” menanamkan investasi. Melakukan lobi-lobi picisan agar menjadi good boy bagi negara-negara imperialis. Bahkan dengan senang hati membuang uang ratusan juta hanya untuk rapat yang berlangsung sekitar 30 menit melalui teleconfrence…tragis sekali! Krisis Minyak makin menegaskan betapa tajamnya krisis di negeri setengah jajahansetengah feodal seperti Indonesia. Rakyatnya dibiarkan tercekik, sementara rejimnya leluasa meladeni kepentingan kaum imperialis dan antek-anteknya di dalam negeri. Untuk itu, terimalah salam kami…LAWAN!!! PERLAWANAN Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional Penanggung Jawab: Hersa Krisna Pimpinan Redaksi: Ridwan Lukman Dewan Redaksi: Hersa Krisna, Ridwan Lukman, Seto Prawono Koresponden: Hasbi Aldi (Jambi), Wahyu (Palembang), Catur (Tanggamus), Reza Gunada (Bandar Lampung), Irene (Jakarta), Surya Fer (Bandung), Zeny Olivia Noorma (Garut), Fazri (Purwokerto), Ida Lavigne (Yogyakarta), Sayid (Wonosobo), Abdullah (Jombang), Heni Dwi Utami (Malang), Imam Muclas (Surabaya), Edi (Lamongan),Hendro Purba (Mataram),Yoong (Lombok Timur) Alamat Redaksi: Jl. Salemba Bluntas No. 220 C RT 007/RW 08, Kelurahan Paseban-Jakarta Pusat Telpon: 081615051010 E-mail: perlawananfmn@yahoo.com Rekening: No Rek.0005485263 BNI Cab. U.I Depok a.n. Seto Prawono. Redaksi menerima saran, kritik, dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, serta foto jurnalistik yang tidak bertentangan dengan AD/ART FMN. Tulisan ditulis pada kertas kwarto, spasi satu setengah, huruf times new roman 12, diutamakan dalam bentuk microsoft word, dan dikirim ke alamat e-mail buletin perlawanan.
LAGI-LAGI BBM NAIK
S
etelah menunggu kepastian waktu, akhirnya pemerintah menepati janjinya untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005 nanti. Kenaikan kali ini merupakan yang kedua kalinya, setelah kenaikan sebelumnya pada bulan Maret lalu. Kenaikan diperkirakan akan mencapai 50 hingga 80 persen. Dengan harapan ada pengurangan biaya subsidi BBM Rp 25 triliun dari Rp 138,6 menjadi Rp 113,7 triliun. Atau berdasarkan opsi kedua dari Panitia Anggaran DPR dengan pengurangan lebih besar menjadi Rp 89,2 triliun. Alasan pemerintah menaikkan harga BBM tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, yaitu naiknya harga minyak mentah di pasar internasional. Hingga membuat anggaran negara defisit, karena harus menanggung beban subisidi BBM. Untuk mengatasi kenaikan harga BBM, maka diberikan dana kompensasi bagi rakyat miskin yang terkena dampak kenaikan harga BBM. Apakah langkah di atas merupakan solusi atas persoalan krisis minyak yang dihadapi? Bukankah lucu, jika Indonesia sebagai negeri kaya minyak sekaligus anggota organisasi negara-negara
pengekspor minyak (OPEC), harus mengimpor minyak untuk kebutuhan dalam negerinya? Dan benarkah bahwa dana kompensasi bisa menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia? Politik Pencabutan Subsidi BBM Saat ini harga minyak di pasar internasional berkisar 64-65 Dollar Amerika per barrel. Versi pemerintah menyatakan hal tersebut akan mempengaruhi beban biaya impor BBM. Karena dengan harga minyak 40 dollar Amerika saja, subsidi yang harus ditanggung sudah sebesar Rp 105 triliun. Apalgi jika harga minyak dunia terus melambung. Ditambah melemahnya nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar Amerika? Selama ini, impor minyak dilakukan dengan membeli minyak di pasaran dunia yang disesuaikan dengan harga pasar. Minyak tersebut kemudian dijual di pasar dalam negeri kepada rakyat dengan harga lebih murah dari harga di pasaran dunia melalui subsidi BBM. Subsidi BBM sendiri berarti pemerintah harus mensubsidi/ menanggung sejumlah rupiah untuk setiap liter BBM yang dibeli oleh rakyat. Sederhananya, pemerintah menganggap telah membeli dengan harga mahal, tapi harus dijual murah di dalam negeri melalui subisidi. Menurut pemerintah hal ini adalah sebuah pemborosan. Untuk itu, penghapusan subsidi BBM dan menaikan harga BBM adalah keharusan agar kestabilan antara harga impor dengan harga jual di dalam negeri tetap terjaga. Padahal, periode Januari-Juni 2005, ekspor minyak dan gas (migas) mencapai 8.825,4 juta dollar Amerika. Sementara impornya sebesar 7.891,6 juta dollar Amerika. Itu berarti devisa negara dari penjualan minyak masih surplus. Tetapi mengapa pendapatan negara dari minyak dan gas dalam APBN tidak signifikan? Di tahun ini, sektor migas hanya menyetor sekitar 2 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 30 triliun. Dan subisidi yang dikucurkan hanya berjumlah Rp 33 triliun. Kemanakah larinya surplus tersebut? Diperkirakan, selain untuk membiayai impor, juga digunakan untuk membayar cicilan bunga utang sebesar Rp 63 triliun. Sisanya tentu saja masuk ke kantong para pejabat korup yang ada. So, wajar jika kemudian PERTAMINA menjadi salah satu sarang koruptor di Indonesia.
Pemerintah Salah Dalam Mengelola Minyak Bagi “negara setengah jajahan” seperti Indonesia, berlaku politik orientasi ekspor-impor komoditi. Maksdunya, hasil-hasil kekayaan alam utama diekspor ke luar negeri dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka kita harus mengimpor komoditi yang dibutuhkan bagi produksi ataupun konsumsi. Kenyataan di atas juga berlaku dalam kasus “krisis minyak” yang tengah dihadapi. Pemerintah—khususnya Pertamina—selalu mengakui bahwa kekurangan stok. Tapi mengapa produksi dan ekspor minyak kita terus ditingkatkan? Sebagai catatan, Produksi minyak Indonesia rata-rata mencapai di atas satu juta barrel per hari. Tahun 2003 dan 2004, produksi minyak Indonesia mencapai 1,09 juta barrel dan 1,15 juta barrel per hari. Untuk tahun 2005, diproyeksikan mencapai 1,12 juta barrel per hari. Fakta juga membuktikan bahwa sejauh ini, kilang minyak yang ada banyak dikuasai oleh perusahaanperusahaan asing (baca : perusahaan milik imperialis) dan para pengusaha kompradornya di Indonesia. Sebut saja, Caltex, Stanvac, Exxon Mobile Oil, Conoco Philips, Santa Fe, Britis Petrolium, Unocal, Shell, Pertamina, perusahaan minyak Belanda, Perancis, China dan beberapa pengusaha
dalam negeri seperti Abu Rizal Bakri, Yusuf Kalla, Arifin Panigoro dan sebagainya. Dan secara resmi, mereka mendaptkan lisensi dari pemerintah. Misalnya dalam perdebatan antara Menko Ekuin Aburizal Bakri dengan Pertamina. Aburizal mempersoalkan pembagian pendapatan antara Pertamina dengan ExxonMobile Oil Di Blok Cepu yang lebih besar bagi Pertamina. Bakri mengatakan bahwa kasus ini akan mengurangi semangat investor asing untuk mengeksplorasi minyak dan membangun infrastruktur lainnya di dalam negeri. Apa yang pemerintah dapatkan dari hal di atas? Lewat Kontrak Produksi Sharing (KPS) atau kontrak karya, hanya sejumlah uang bagi hasil atau royalti dan sejumlah kecil pajak yang didapatkan pemerintah. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan
Formulir Pendaftaran Front Mahasiswa Nasional
asing tersebut mengeruk sebanyak mungkin minyak yang tersedia, lantas menjualnya ke pasar internasional dan memenuhi cadangan minyak di negaranegara asalnya. Mereka memanfaatkan ketidaktersediaan teknologi, tenaga dan uang kita untuk mengebor minyak. Mereka juga mempropagandakan bahwa membeli minyak di pasar internasional jauh lebih menguntungkan daripada membiayai pengeboran sendiri. Kenyataan ini membuktikan bahwa pemerintah mutlak di bawah tekanan kaum imperialis—khususnya AS dan sekutunya—. Tujuannya agar pemerintah tidak melakukan campur tangan langsung untuk membela perusahaan BUMN, termasuk rakyat. Amerika, Cina, Eropa dan Jepang sangat bernafsu membeli minyak pada harga berapa pun, untuk mengisi kilang-kilang mereka sebagai “cadangan� persediaan energi nasionalnya. Tetapi, mereka juga melepas minyaknya ke pasar pada harga tinggi, yang berarti bertindak pula sebagai spekulan yang memainkan harga. Kompensasi Bukan Solusi dari Krisis Minyak Dana kompensasi adalah imbalan yang diberikan pemerintah kepada rakyat miskin yang terkena dampak kenaikan harga BBM. Jumlahnya ditentukan melalui perbandingan kenaikkan biaya dan harga yang harus ditanggung rakyat miskin, seperti kenaikan harga beras, sayur, ikan, pakaian, obat, perawatan kesehatan, biaya sekolah dan lain sebagainya. Pemerintah menganggap bahwa dengan jalan ini, bantuan pemerintah dapat dirasakan secara langsung, karena orang miskin tidak banyak yang membeli BBM. Tapi kebijakan ini kontradiktif sekali. Kenaikan harga BBM pasti mendorong naiknya harga bahan pokok dan biaya produksi, yang berdampak pada adanya ancaman PHK, pengangguran dan penurunan pendapatan dari masyarakat. Tetapi kompensasi hanya dihitung berdasarkan tingkat penggunaan BBM oleh rakyat miskin. Dengan jumlah kompensasi sekitar Rp 100 ribu, tentu saja perlu dipertanyakan. Belum lagi persoalan pendataan dan jalur birokrasi korup
yang tentu saja akan mengurangi jumlah subsidi yang harus diterima oleh rakyat miskin. Sehingga bisa disimpulkan, dana kompensasi bukanlah solusi untuk mengatasi kemiskinan. Dan kenaikan harga BBM hanya akan menambah deretan orang miskin serta penderitan rakyat Indonesia. Mencari Solusi Dari Krisis Minyak Rakyat semakin tercekik dengan situasi seperti ini. Karena bukan hanya persoalan mahalnya harga BBM, tetapi kelangkaan BBM yang hampir melanda seluruh pelosok negeri ini. Disamping mulai naiknya harga-harga kebutuan pokok. Tentu saja, kondisi ini akan membuat kehidupan ekonomi dan sosial akan lebih buruk. Belakangan ini, muncul tuntutan untuk mengatasi persoalan krisis minyak seperti, mereshuffle kabinet— terutama tim ekonomi SBY-Kalla, operasi lapangan dan pengusutan kasus penyelundupan. Solusi-solusi tersebut jika pun dilaksanakan, hanya bersifat sementara dan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan ini. Ibaratnya sesuatu yang ditambal sulam. Persoalan sesungguhnya adalah bahwa Indonesia berada dibawah kendali negaranegara imperialis dan ini disokong secara kuat oleh borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat yang menjadi boneka dalam wujud rejim SBY-Kalla. Siapapun menteri, Presiden dan pemerintahannya, selama imperialisme masih mendominasi Indonesia dan rejimnya menjadi boneka imperialis, maka harga BBM akan tetap naik. Jika rejim SBY-Kalla berani, solusinya adalah menasionalisasi aset-aset asing dan kompradornya yang mengeksplorasi minyak di Indonesia. Layaknya acara TV, mimpi kali yee. Namun ada beberapa langkah yang bisa ditempuh selain itu, yaitu; menuntut perubahan kontrak karya antara pemerintah dengan negara-negara/perusahaanperusahaan asing yang lebih berkeadilan. Kemudian, bagi perusahaan-perusahaan minyak asing (TNC-MNC) harus membayar labih banyak kepada negara dan rakyat. Dan terakhir, menyetop/mengurangi kebijakan impor minyak dengan tidak mencabut subsidi yang akan berdampak pada kenaikan harga. (Red)
RUU BHP MELEGALISASI KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
R
ancangan Undang–Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), tinggal mengetuk palu untuk disahkan sebagai UndangUndang. Terlepas pro dan kontra yang muncul, RUU ini memang “sarat” dengan kepentingan privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Ada Apa Dibalik RUU BHP? Di tengah kontroversi seputar RUU BHP, pasti kita bertanya, “ada apa di balik RUU BHP?”. Sebenarnya, RUU BHP merupakan tindak lanjut (follow up) dari UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Tujuannya, agar lembaga/institusi pendidikan berstatus badan hukum, dengan alasan otonomi, akuntabilitas dan efisiensi. Benarkah demikian? atau justru sebaliknya? Konsep badan hukum pendidikan (BHP) adalah sebuah upaya mendorong insititusi/lembaga pendidikan menjaring sendiri pendanaan pendidikan. Caranya, menjalin kerjasama dengan pengusaha atau sektor industri. Menaikkan biaya pendidikan dan efisiensi tenaga kerja melalui sistem kerja kontrak. Dengan demikian, BHP bertujuan melepaskan tanggung jawab terhadap pendidikan, khususnya tanggung jawab membiayai pendidikan. Selain itu, merubah wajah institusi pendidikan dari lembaga yang bertujuan mencerdaskan bangsa, menjadi lembaga yang menjalankan bisnis untung rugi. Jelas bahwa RUU BHP telah melenceng dari amanat UUD 1945 (Pembukaan dan Pasal 31). Akibatnya, praktek privatisasi dan komersialisasi semakin menjadi-jadi. Negara tidak lagi mengucurkan subsidi. Biaya pendidikan menjadi mahal dan sulit dijangkau. Sehingga jutaan rakyat miskin (buruh, tani dan kaum miskin perkotaan), terancam tidak bisa bersekolah dan kuliah. Parahnya, RUU ini merupakan hasil ratifikasi pemerintah terhadap General Agreement On trade Service (GATS) WTO tentang jasa pendidikan. Padahal WTO merupakan salah satu organisasi dari negara-negara imperialis dan koorporasi-koorporasinya yang telah menyeret
jutaan rakyat di belahan dunia dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Apa Dampaknya Dalam RUU BHP diatur tentang pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan dari tingkat dasar, hingga pendidikan tinggi. Semua institusi pendidikan tinggi (swasta atau negeri) harus berstatus badan hukum,—terkecuali untuk institusi pendidikan dasar dan menengah, dapat diperbolehkan untuk tidak berstatus Badan Hukum—. Untuk pendidikan dasar dan menengah bernama Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah (BHPDM). Sementara untuk pendidikan tinggi disebut Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT). Semua institusi pendidikan harus menyusun proposal yang memuat ad/art, visi-misi, kelayakan finansial, fasilitas dan ketersediaan tenaga pendidik dan lain-lainnya kepada pemerintah. Jika disepakati, maka institusi tersebut dapat menyelenggarakan pendidikan. Begitu pun sebaliknya. Baik kampus swasta ataupun negeri, akan mengalami dampak dari RUU BHP. Bagi kampus swasta, ancaman terburuk adalah berkurangnya peminat (calon mahasiswa). Terutama bagi kampuskampus swasta yang “kurang terkenal”. Mengapa? Karena dipastikan akan sulit bersaing dengan kampus-kampus negeri yang “diswastakan” dan ancaman serbuan dari kampus-kampus asing, seperti Oxford, Harvard, Monash nCs, yang membuka cabangnya di Indonesia. Pilihannya kemudian, “gulung tikar” atau merger dengan kampus lain. Bayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Berapa banyak karyawan yang harus kehilangan pekerjaannya. Berapa mahasiswa yang harus pindah kuliah atau ngulang lagi dari awal. Dan berapa mahasiswa yang mungkin ‘gak bisa melanjutkan kuliahnya lagi. Bagi institusi pendidikan negeri, adanya status Badan Hukum Pendidikan Milik Negara (BHPMN), semakin menegaskan adanya privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Dalam BHPMN,
Pasal-pasal Bermasalah RUU BHP : 1. Pembuka bagian menimbang poin b : “….menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator….” 2. Pembuka bagian menimbang poin a dan c yang menyebutkan : penyelenggaraan pendidikan oleh satuan pendidikan sebagai pelayanan publik yang berprinsip nirlaba….” 3. Bab I ketentuan Umum Pasal 1 ayat 14 : Komite sekolah/ Madrasah adalah lembaga mandiri di luar BHPDM….yang bertugas memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan sumber daya….” 4. bab III bagian kedua pasal 4 ayat 8 : “orang atau badan hukum asing dapat mendirikan BHPT melalui cara kerjasama dengan BHPT nasional…” 5. Bagian keempat tentang Organ, yang tidak mencantumkan sama sekali keterwakilan mahasiswa dalam struktur kepemimpinan institusi pendidikan tinggi. 6. Bagian Kelima Tentang Pendanaan dan kekayaan, Pasal 7 ayat 1 : dana untuk operasi BHPT berasal dari masyarakat, hibah dari dalam dan/atau luar negeri, pendiri, dan hasil usaha BHPT…” Ayat 5 : pendanaan dari pemerintah dalam bentuk hibah. Ayat 8 dan 9 : pendanaan melalui subsidi silang yang ditentukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi. 7. Bagian kedelapan Tentang ketenagakerjaan Pasal 22 ayat 2 : “pengangkatan, pemberhentian, status, jabatan, hak dan kewajiban karyawan BHPT diatur dalam perjanjian kerja sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.” 8. Bab IV tentang Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah pasal 26 ayat 25 : “orang atau badan hukum asing dapat mendirikan BHPDM melalui kerjasama dengan BHPDM nasional…” 9. bab IV Bagian keempat tentang organ, yang tidak mencantumkan keterlibatan siswa dan orangtua siswa dalam struktur kepemimpinan Institusi pendidikan dasar dan menengah 10. Bagian kelima tentang Pendanaan dan kekayaan Pasal 36 ayat 1 : “dana untuk investasi awal; berasal dari masyarakat, hibah dari dalam dan/atau luar negeri, pendiri dan hasil usaha BHPDM…” ayat 5 : pemerintah memeberikan bantuan dalam bentuk hibah. Ayat 8 : Pendanaan oleh masyarakat dengan pola subsidi silang. 11. Bagian kedelapan Tentang Ketenagakerjaan Pasal 43 ayat 2 : “pengangkatan, pemberhentian,status, jabatan, hak dan kewajiban karyawan BHPDM diatur dalamperjanjian kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” kepemilikan dan tanggungjawab tidak lagi milik pemerintah. Pemerintah sekedar menjadi pendiri bersama dengan masyarakat dan industri. Pembiayaan tidak lagi berasal dari kas negara (APBN atau APBD), tetapi dicari secara mandiri oleh BHPMN. Meskipun ada bantuan pemerintah berupa hibah, tetapi tidak ditetapkan berapa jumlah minimal yang harus diberikan oleh negara. Selain itu, terdapat juga bantuan dana yang disebut “subsidi silang”. Maksudnya, siswa/mahasiswa yang kaya dibebankan untuk membiayai siswa/ mahasiswa yang miskin. Pertanyaannya, berapa persen jumlah rakyat miskin yang bisa bersekolah atau kuliah? Siapa yang akan membiayainya, jika dirinya tidak bisa bersekolah atau kuliah? Jawabannya jelas, yaitu negara. Tetapi, dalam RUU BHP, negara atau pemerintah tidak lagi bertanggung jawab membiayai pendidikan. Karena tidak lagi disubsidi, institusi pendidikan harus memutar otak untuk membiayai operasionalnya. Maka, munculah kasus “jual beli kursi” D1, D3, kelas jauh, kelas khusus, kelas kerjasama, kelas paralel, yang harganya gilagilaan. Penjualan hasil-hasil penelitian kepada perusahaan swasta, penyewaan aset kampus (gedung, sarana olahraga, dsb) hingga
memfasilitasi industri perdagangan guna investasi di kampus. Dalam konsep BHPT misalnya, kampus dapat melakukan investasi dan memiliki unit usaha layaknya sebuah perusahaan dalam rangka menambah pendapatan (baca : profit). Padahal dalam RUU ini disebutkan bahwa BHP adalah institusi yang berprinsip nirlaba. Namun dibalik itu semua, mahasiswa tetap menjadi “sapi perahan” utama bagi kampus dalam membiayai pendidikan. Tidak Ada Jaminan Demokratisasi Kampus Apakah RUU BHP menjamin demokratisasi Kampus? Non Sense! Dalam RUU BHP, mahasiswa sama sekali tidak ditempatkan dalam struktur kepemimpinan Perguruan Tinggi (PT). Struktur Kepemimpinan yang tersedia hanyalah Majelis Wali Amanah (MWA), Dewan Audit, Senat Akademik, Pimpinan Perguruan Tinggi dan unit lain yang dianggap perlu. Maka tidak heran, bila ternyata kebijakan-kebijakan kampus lebih banyak merugikan mahasiswa. Salah satu struktur kepemimpinan yaitu Senat Akademik, berfungsi untuk merumuskan tata tertib kehidupan kampus. Dikhawatirkan, senat akademik dengan seenaknya membuat
peraturan seperti pelarangan mahasiswa menjadi anggota organisasi ekstra kampus tertentu. Jika itu terjadi, maka ini ‘gak ada bedanya dengan kebijakan NKK/BKK di era orde baru. Bisa disimpulkan bahwa RUU BHP adalah ancaman bagi kehidupan demokratisasi di Kampus. Di tingkat sekolah juga tidak jauh berbeda. Meskipun ada Komite Sekolah, peran orangtua siswa tidak begitu signifikan dalam menentukan kebijakan sekolah. Orangtua siswa diperbolehkan menjadi anggota Komite Sekolah. Tetapi, Komite Sekolah bukanlah badan yang mengambil kebijakan dalam BHP Dasar-Menengah. Komite Sekolah hanya sekedar difungsikan memberikan masukan kepada kepala sekolah. Kebijakan sekolah lebih banyak kemudian ditentukan oleh Kepala Sekolah. Madesu Bagi Tenaga Pendidik Masa depan suram (madesu) adalah gambaran atas nasib tenaga pendidik, jika RUU BHP ini terlaksana sebagai Undang-Undang. Bagi pegawai administrasi dan tenaga pengajar—khususnya di PTNPTN—, RUU BHP adalah
setiap saat harus siap kehilangan pekerjaannya tanpa ada tunjangan yang layak.
ancaman serius. Mereka tidak akan lagi berstatus pegawai negeri, tetapi menjadi pegawai BHP. Itu berarti, mereka bekerja dengan sistem kerja fleksibel dan kerja kontrak, sesuai dengan UU Ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Dab lazimnya sebuah institusi berbadan hukum, para tenaga pendidik terancam dengan minimnya pendapatan dan ancaman terhadap PHK. Proses di atas telah terjadi di beberapa kampus. Pegawai rendahan dan dosendosen muda adalah “sasaran empuk” dari sistem ini. Ingat kasus protes dosen-doesn muda UGM terhadap rencana kenaikan gaji rektor UGM, Sofyan Effendi sebesar 40 persen. Nasib mereka kelak, tidak akan jauh berbeda dengan buruh-buruh di pabrik yang
RUU BHP Harus Ditolak Setumpuk permasalahan yang muncul dari RUU BHP ini, semakin menegaskan watak anti rakyat dari rejim SBY–Kalla. Setelah rejim sebelumnya mengeluarkan regulasi/ peraturan anti rakyat, seperti PP 60/ 61 tahun 1999, UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, dan beberapa PP Pem-BHMN-an PTN. Kini, rejim SBY-Kalla justru melanjutkan dengan mengeluarkan RUU yang secara substansi sama, yaitu “komersialisasi dan privatisasi pendidikan”. Untuk itu, kita tidak bisa berdiam diri lagi melihat kenyataan ini. Bagi kekuatan pemuda-mahasiswa dan pelajar, harus segera membangun kekuatan dengan membangkitkan, menggerakan dan mengorganisasikan massa di kampus-kampus dan sekolahsekolah untuk menolak kebijakan anti-rakyat ini. Dan bagi seluruh kekuatan demokratik yang anti imperialisme, anti feodalisme dan kapitalis birokrat mari bersatu, kita TOLAK RUU BHP! (Hersa Krisna)
Tak Pernah Berhenti Berjuang... Seminar Seputar Kontroversi RUU BHP Bandung, 6 September 2005. Menjelang Hari Pemberantasan Buta Huruf 8 September lalu, FMN Bandung mengadakan seminar pendidikan dengan tema; “Quo Vadis Pendidikan Di bawah Bayang-Bayang RUU BHP. Acara yang diselenggarakan di Universitas Pendidikan Indonesia, (UPI) ternyata cukup mampu menyerap massa sekitar 150 orang. Tampil sebagai pembicara adalah adalah Hersa Krisna (FMN), Djafar dari (UKSP UPI), Ade Irawan (ICW) dan Iwan (FAGI). Secara umum para pembicara menilai bahwa RUU BHP adalah ancaman bagi dunia pendidikan. (Dik-dik) Peringatan Hari Pemberantasan Buta Huruf Se-Dunia Malang, 8 September 2005. Front Mahasiswa Nasional (FMN) mengadakan aksi demonstrasi dalam rangka memperingati Hari Pemberantasan Buta Huruf Sedunia. Dalam Aksinya, FMN menuntut agar rencana pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) segera dibatalkan. Aksi dilakukan di dua kampus, yaitu Unibraw dan ITN. Selain itu, aksi juga dimeriahkan dengan teatrikal tentang mahalnya biaya pendidikan. Aksi FMN kali ini juga didukung oleh AMP. Dalam menyikapi persoalan RUU BHP, FMN bersama beberapa ormas mahasiswa dan guru antara lain, Gema Pembebasan, SPM dan PGTT juga mengadakan diskusi tentang RUU BHP pada tanggal 3 September 2005. Disamping itu, juga diadakan talk show di stasiun TV lokal setempat antara mahasiswa dan akademisi (Aga). Jakarta,8 September 2005. FMN yang tergabung dalam aliansi FAMPIR (Front Aksi Mahasiswa-Pemuda Indonesia untuk Rakyat), diantaranya; FIS Mercu Buana, LSADI, LKSM UBK dan GMNK mengadakan aksi bersama di Depan Istana Negara. Dalam aksi tersebut FAMPIR menuntut agar pemerintah segera mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBN dan APBD, menolak pengesahan RUU BHP dan peraturan tentang Pem-BHMN-an perguruan tinggi negeri, memberantas korupsi di sektor
pendidikan serta menjamin kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa. Selain itu, FAMPIR juga menyatakan sikap menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. (Geger) Bandung, 8 September 2005. Komite Rakyat Peduli Pendidikan (KRPP) yang terdiri dari beberapa elemen rakyat Bandung yaitu FMN, GMP, FAMU, AGRA, KPP dan Pokja BP, juga melakukan aksi massa. Aksi ini, mengusung tema “tolak privatisasi pendidikan serta wujudkan sekolah gratis dan kuliah murah untuk anak-anak buruh, tani dan kaum miskin perkotaan�. Aksi dibuka di kampus Unpad Dipati Ukur. Kemudian menuju gedung DPRD Jawa Barat. Di DPRD massa aksi berencana mengadakan audiensi komisi E DPRD Jabar. Diluar dugaan, Ketua dan seluruh anggota Komisi E justru keluar gedung dan menemui massa aksi. Bahkan ketua Komisi E meminta agar massa aksi sering-sering berkunjung ke Komisi E, agar mendorong terlaksananya pendidikan gratis. Dari DPRD, massa aksi kemudian berjalan menuju gedung RRI Bandung. Di RRI, massa aksi hanya berniat membacakan statemen secara live. Tetapi pihak RRI justru meminta diadakan talk show. Tawaran ini diterima dalam kerangka mempropagandakan tentang pentingnya sekolah gratis dan kuliah murah bagi rakyat. Aksi kemudian ditutup menjelang waktu dzuhur. (Dik-dik) Bandar Lampung, 8 September 2005. Puluhan massa aksi Front Mahasiswa Nasional (FMN) juga melakukan aksi. Dalam aksi tersebut, FMN menuntut agar pemerintah menghentikan segala upaya yang mendorong privatsasi dan komersialisasi pendidikan, khususnya menyagkut rencana pengesahan RUU BHP. Aksi FMN di Bandar Lampung dilakukan dengan long march mengelilingi beberapa kampus, antara lain Unila, Teknokra, STMIK Darmajaya, UBL dan kembali lagi ke Unila. Aksi ditutup di Unila dengan pembacaan pernyataan sikap oleh koordinator aksi. (Yusmi) Garut, 8 September 2005. Puluhan massa dari Aliansi Persatuan Rakyat (APR) yang terdiri
dari FMN, FPPMG,FPPI dan Komunitas Seni Lawang Jagat juga melakukan aksi serupa. Dalam aksinya, APR menuntut beberapa hal yaitu; menolak privatisasi pendidikan, pendidikan gratis untuk anak buruh tani dan KMK, realisasikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD, tolak kenaikan harga BBM, pencabutan Perpres 36/2005 dan hentikan privatisasi BUMN. Aksi long march ini, menempuh jarak dari bunderan Simpang Lima, kemudian menuju gedung Dinas Pendidikan Kabupaten Garut. Disini massa aksi APR sempat bertemu dan berdialog dengan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut. Namun tuntutan-tuntutan yang diajukan tidak direspon secara positif. Selanjutnya massa aksi menuju gedung DPRD Garut dan menutup aksi. (Dadan) FMN Jombang Menuntut Perda Kebebasan Berekspresi dan Berorganisasi Jombang. 8 September 2005, 30 orang mahasiswa yang tergabung dalam FMN Jombang menggelar demonstrasi di depan DPRD Jombang. Eqi, koordinator FMN jombang mengatakan, aksi ini diselenggarakan sebagai upaya menuntut dibuatnya Peraturan Daerah (Perda) yang menjamin kebebasan berekpresi dan berorgansiasi di wilayah Jombang. Saat ini demokratisasi kampus belum dijamin. Birokrasi kampus secara sepihak men-Droup Out mahasiswanya yang kritis. Kampus STAIBU Jombang adalah contohnya, di kampus ini 6 anggota FMN di DO dan hingga kini Dinas Pendidikan Jombang tidak melakukan tindakan apa pun untuk membela mahasiswa. Sementara itu DPRD Jombang sangat lambat merespon dan menindaklanjuti kasus penDO-an mahasiswa ini. Kepada Komisi D DPRD Jombang, FMN meminta agar komisi D menandatangani tuntutan akan membuat Perda yang menjamin kebebasan berekpresi dan berorgansiasi serta bersedia menekan Pimpinan Kampus STAIBU agar mencabut SK DO terhadap beberapa mahasiswanya. Setelah pernyataan sikap diterima, DPRD berjanji menandatangani serta menindaklanjuti tuntutan FMN. Selanjutnya pada tanggal 14 September 2005, FMN kembali menggelar aksi lagi di DPRD Jombang. Aksi ini bermaksud menagih janji kepada DPRD untuk menandatangani serta menindaklanjuti tuntutan FMN sebelumnya. Aksi yang diikuti oleh 30 an orang ini berhasil meenekan Ketua DPRD Jombang Halim Iskandar menandatangani pernyataan FMN (Eki). Aksi Menolak Kenaikan BBM Bandung, 15 September 2005. Pukul 09.00 WIB di Gazibu, puluhan massa dan sebagaian dengan muka yang berwarna putih dan tanpa
menggunakan alas kaki, mengadakan aksi menolak rencana kenaikan BBM. Aksi teatrikal ini sebagai simbol buruknya kebijakan pemerintah—kenaikan harga BBM—bagi rakyat dan ancaman kemiskinan yang akan dialami rakyat. Kemudian massa menuju depan gedung DPRD Jabar . Sesampainya di kantor DPRD, massa aksi berjajar ditengan jalan sambil membelakangi gedung dan membagi-bagi selebaran. Setiap lima menit sekali massa aksi berputar, karena dipunggungnya tertera tulisan “Tolak BBM Naik” dengan satu orang peserta satu huruf. Aksi yang bisa dibilang cukup unik ini, mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat yang melewati lokasi aksi. Aksi diikuti oleh beberapa elemen demokratis di Bandung, antara lain; FMN, GMP, KPP, Pokja BP dan AGRA. (Dewi) Penembakan Petani Tanak Awu Lombok Tengah, 18 September 2005. SERTA NTB bersama FSPI dan La Via Campciena mengadakan rapat umum kaum tani Nusa Tenggara Barat di Tanak Awu Lombok Tengah. Sebelumnya kegiatan ini telah mendapatkan ijin dari pihak kepolisian RI pada tanggal 12 September 2005 dengan no surat No. Pol.:SI/ YANMIN/785/IX/2005/BAINTELKAM, tetapi kemudian secara tiba-tiba kepolisian mencabut surat izin tersebut secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Pada hari H kegiatan, Sebagian peserta rapat umum yang hendak berangkat ke lokasi kemudian di hadang aparat, dan sebagian lagi yang telah berada di lokasi dibubarkan secara paksa dengan menggunakan pentungan, gas air mata, peluru karet dan peluru tajam. Kebrutalan aparat tidak hanya dengan pembubaran dan penghadangan saja, tenda dan panggung buatan warga juga dirobohkan. Korban pun berjatuhan, 27 orang luka tembak (salah satunya adalah Tarmuzi dari FMN IAIN Mataram), 6 orang terkena pukulan, dan 7 orang ditangkap. Kebrutalan aparat ini sebenarnya tidak terlepas dari perjuangan Kaum Tani Tanak awu untuk mempertahankan tanah miliknya yang oleh pemerintah akan dibangun menjadi bandara Internasional. Pembangunan bagi pemerintah sedangkan bagi petani adalah kemiskinan, karena petani membutuhkan tanah untuk berproduksi bukan bandara internasional. (Dio). Aksi Solidaritas Terhadap Tragedi Berdarah Tanak Awu Jakarta, 19 September 2005. Menyaksikan tindakan sewenang wenang aparat keamanan terhadap petani di Nusa Tenggara Barat, beberapa ormas pemuda-mahasiswa, Tani, dan sejumlah LSM mengadakan aksi di Komnas HAM
untuk menuntut pengusutan atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian terhadap peserta rapat akbar di Tanak Awu Lombok Tengah dan penghentian teror terhadap petani Tanak Awu. (Geger)
Selain itu dengan memakai Perpres ini, pemerintah dapat memaksa rakyat menyerahkan tanahnya atas nama pembangunan. Dan pihak yang paling diuntungkan oleh Perpres ini adalah pemerintah dan pelaku bisnis. (Geger)
Bandung, 20 September 2005. Aksi solidaritas terhadap perjuangan kaum tani di Tanak Awu, juga dilakukan oleh beberapa elemen rakyat demokratik yang tergabung dalam Komite Perjuangan Rakyat Bandung (KPRB). Komite ini terdiri dari AGRA, Pokja BP, FMN, KPP dan GMP. Aksi ini mengecam sekaligus mengutuk tindakan represifitas dan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian dalam tragedi berdarah TanaK Awu. Aksi yang dikemas secara teatrikal ini, menggambarkan tentang duka dan penderitaan rakyat yang selalu direpresi ketika memperjuangkan hak-haknya. Secara simbolik, ditunjukkan dengan menggunakan kaos hitam, tubuh yang dibelenggu tali, telanjang kaki yang diikati beban serta mulut yang ditutup dengan kertas bertuliskan kata “LAWAN”. Dalam aksinya, KPRB juga menolak rencana pemerintah menaikan harga BBM yang dianggap akan semakin menambah penderitaan rakyat. Aksi KPRB dibuka dari Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, kemudian menuju gedung DPRD Jabar. Di DPRD, KPRB turut bersolidaritas terhadap warga kampung Pilar Bekasi, Dari DPRD, massa aksi KPRB lantas menuju Gedung RRI untuk membacakan sikap dan kemudian menutup aksi. (Dewi)
Aksi Menolak Kenaikan Harga BBM dan Perpres 36/2005 di Depan Istana Merdeka Direpresi Polisi Jakarta, Minggu, 25 September 2005. Polisi kembali menunjukan perilaku represifnya. Berangkat dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) menuju Istana Merdeka, kurang lebih 500 massa dari buruh, petani, pemuda, mahasiswa, dan perempuan menolak kenaikan harga BBM, menuntut pencabutan Perpres 36/ 2005 serta menuntut lapangan pekerjaan dengan upah yang layak. Dalam aksi yang digelar oleh GSBI, Gaspermindo, GRI, FMN, RTN, PERPENI, dan Forum Rakyat Anti Orba siang tadi, aparat dari Polres Jakarta Pusat berusaha menangkap Ridwan Lukman (Anggota Front Mahasiswa Nasional/ FMN) di depan Istana Merdeka dengan tuduhan menghina SBY-Kalla. Setelah orasi dari GSBI dan GRI, kurang lebih pukul 14.00 WIB, koordinator lapangan mempersilahkan perwakilan dari FMN untuk menyampaikan orasinya. Dalam orasinya Ridwan Lukman mengatakan “SBY-Kalla tidak merakyat karena menaikan BBM yang menjadi kebutuhan rakyat. SBY hanya menjalankan dan mengabdi pada imperialisme. Jelas kiranya SBY adalah rezim pengkhianat rakyat”. Spontan langung puluhan polisi berseragam coklat-coklat dan para intel menuju mobil komando menyuruh turun Ridwan Lukman. Beberapa polisi mengatakan akan membawa Ridwan Lukman ke Polres Jakarta Pusat karena menghina SBY. Segera puluhan pemuda, mahasiswa, dan buruh yang mengikuti aksi atas komando korlap langsung bergandeng tangan mengelilingi mobil komando melindungi Ridwan Lukman. Para polisi tetap menarik-narik Ridwan Lukman yang berada di atas mobil komando, namun massa aksi tidak kalah semangatnya bersama-sama berteriak “tidak boleh ada penangkapan; Ditangkap satu tangkap semua”. Negosiasi alot dilakukan oleh panitia aksi kepada Polres Jakarta Pusat. Dalam negosiasi pihak Polres akhirnya memenuhi tuntutan untuk tidak menangkap, asalkan aksi segera bubar. Selanjutnya kurang lebih pukul 15.00 WIB aksi ditutup dan Ridwan Lukman selamat dari ancaman pasal karet yang anti demokrasi. Kejadian tersebut semakin menunjukan arogansi dan kesewenang-wenangan aparat rezim boneka Amerika Serikat (AS) SBY-Kalla terhadap gerakan massa demokratis. (Geger)
Rakyat Menuntut Pencabutan Perpres 36 Jakarta, Selasa 20 September 2005. Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/2005 yang terdiri dari berbagai ormas petani, pemuda-mahasiswa, kaum miskin kota, nelayan akademisi, dan LSM turun ke jalan untuk menolak Perpres 36. Selain itu, aksi juga ditujukan bersolidaritas terhadap perjuangan kaum tani Tanak Awu, Aksi long march ini, dimulai dari depan gedung Indosat dan berakhir di Gedung Mahkamah Agung (MA). Massa aksi sempat berhenti di Istana negara untuk melakukan orasi menuntut rezim SBY-Kalla agar menghentikan proyekproyek pembangunan dengan dalih kepentingan umum yang akan menggusur rakyat, serta menjalankan reforma agraria, termasuk menyelesaikan konflik agaria dan melegalisasi tanah-tanah yang sudah dikuasai rakyat. Setibanya di MA, delegasi dari koalisi masuk ke dalam gedung untuk mengajukan uji meteriil terhadap Perpres 36/2005. Koalisi menilai bahwa perpres 36, dapat menimbulkan konflik, khususnya kaum tani di pedesaan dan kaum miskin kota di perkotaan.
Jalan Merebut Kedaulatan, Demokrasi, dan Kesejahteraan di Aceh Masih Panjang
A
ceh adalah salah satu wilayah Indonesia yang subur dan kaya sumber daya alamnya. Bumi Aceh kaya akan minyak dan gas. Aceh juga mempunyai kekayaan hutan yang sangat besar. Luas kawasan hutan 4.130.000 hektar atau 74.56 % dari luas daratan, sebagian diantaranya diperuntukan guna pembukaan perkebunanperkebunan besar diantaranya kopi, kelapa sawit, dan karet.. Meski demikian, tambang-tambang , hamparan hutan dan perkebunan serta industriindustri yang ada di wilayah tersebut, tidak banyak dinikmati rakyat Aceh. Setelah bebas dari kolonialisme Belanda, rakyat Aceh mengalami penindasan yang tidak kalah buasnya dalam bentuk penjajahan gaya baru yang dilakukan imperialisme seiring dengan telah dikhianatinya kemerdekaan RI oleh politik oportunis Hatta-Syahrir karena menandatangani KMB tahun 1949. Pasca itu secara resmi Indonesia dalam kondisi setengah jajahan dan setengah feodal, dimana imperialisme bercokol semakin kuat di dalam negeri di atas basis sosialnya, feodalisme. Penindasan ini semakin menjadi dengan naiknya Soeharto dalam tampuk kekuasaan berkat sokongan AS dan Inggris. Rezim Soeharto bekerjasama dengan tuan-tuan tanah lokal menjual kekayaan alam Aceh kepada Imperialis. Ladang minyak dan gas alam di sepanjang Aceh Utara hingga ke perbatasan Aceh Timur dieksploitasi oleh PT Exxon Mobil. Perusahaan ini, mengambil hasil bumi hingga mencapai 3,4 juta ton per tahunnya. Disekeliling Exxon Mobil terdapat 10 kecamatan dengan penduduk mencapai 375 ribu jiwa, yang tidak lain adalah kantong-kantong kemiskinan. Zona tertutup dan ekslusif yang dibentuk Exxon Mobil melahirkan sistem lingkungannya yang rapuh dan rawan atas timbulnya bencana pencemaran. Di lain sisi, fasilitas publik milik Exxon Mobil, seperti poliklinik dan sekolah hanya dapat dinikmati oleh segelintir elit dan karyawan Exxon. Selain itu, migas juga dieksploitasi oleh PT Arun. Pertamina juga memberikan keistimewaan kepada bisnis keluarga pejabat, Tommy Seoharto memetik keuntungan gas alam Arun di darat, Bambang Trihatmodjo menikmati rezeki gas alam Arun di laut melalui perusahaan jasa angkutan migas raksasanya yang berbasis di Singapura, yaitu Osprey Maritime Ltd. Perusahaan milik Bambang Trihatmodjo bersama
partnernya dari Bimantara Group ini, mendapatkan kontrak pengapalan LNG Arun ke Korea Selatan selama 20 tahun (1986-2006). Investasi pemodal besar juga merambah hutan dan perkebunan. Seluruh hutan produksi Aceh telah di kapling-kapling oleh para penguasa Jakarta dalam bentuk HPH, IPK, HTI. Terdapat 19 perusahaan HPH yang beroperasi di Aceh dengan pengasilan pertahun rata-rata mencapai hampir Rp. 900 milyar. Para pemegang konsesi ini diantaranya kroni dekat Suharto, Bob Hasan dan Sukanto Tanoto. Penebangan serakah ini telah menyebabkan timbulnya konflik dengan penduduk setempat dan menimbulkan persoalan lingkungan yang serius. Namun ditengah ‘penggarukan’ keuntungan tersebut, terdapat kesenjangan yang luar biasa. Kemiskinan merebak. Kondisi pendidikan rakyat Aceh sangat memprihatinkan. Pada tahun 2003 saja ada 40.000 siswa yang drop-out dari SMU, 20.000 drop-out dari SLTP, dan 70.467 dari SD. Juga ada 13.534 anak di kampung-kampung yang tidak sekolah sama sekali. Data tentang tingkat buta huruf yang dikeluarkan BPS Aceh tahun 2003 juga tak kalah memprihatinkan. 267,000 (6.35%) dari sekitar 4 juta jiwa penduduk Aceh yang buta huruf. Ada 240.884 anak usia 4-6 tahun yang tidak punya pendidikan pra dan sekolah dasar, 13,994 anak usia 7-12 tahun dan 1,904 remaja usia 13-15 tahun yang bahkan tidak pernah bersekolah sama sekali. Dari kelompok usia produktif 10-44 tahun, ada 62,328 orang yang buta huruf. Tingginya angka droup out sekolah dan buta huruf tidak lain merupakan akibat dari kemiskinan yang melekat pada rakyat Aceh. Jumlah keluarga keluarga miskin mencapai hampir 60% dari penduduk. Di semua kabupaten di Aceh tingkat kemiskinan berkisar antara 40 hingga 60%. Di tahun 2004 menurut BPS Aceh ada 417.930 orang pencari kerja yang masih menganggur. Kalau ditambah dengan pengangguran tak kentara, maka ada sekitar 1,1 juta (27.5%) penduduk Aceh yang sebenarnya menganggur. Aceh dibawah Represi Rezim Boneka AS Perlawanan-perlawanan yang dilakukan rakyat Aceh dihadapi dengan represifitas yang kejam oleh militer rezim boneka. Untuk meredam perlawanan dan mengamankan asset-aset
ekonomi vital di Aceh, tahun 1989 Soeharto menggelar DOM. Operasi keamanan tersebut tidak hanya membunuh dan menangkapi para anggota GAM, tapi rakyat Aceh biasa pun menjadi korban, dari mulai teror, penculikan, penangkapan, pemerkosaan, pembakaran rumah hingga pembantaian. Meskipun DOM dihentikan pada era reformasi 1998, namun ketika naiknya kepimpinan Megawati, tindakan militer kembali diteruskan. Operasi keamanan tersebut didukung oleh perusahaan-perusahaan asing, salah satunya Exxon Mobil. Perusahaan ini diketahui memberi dana operasional personil pasukan keamanan Indonesia sejumlah Rp 5 miliar per bulan. Memberi uang saku Rp 40 ribu per prajurit tiap hari, fasilitas transportasi, kantor, pos, barak, radio, telepon, mess, dan lain-lain. Exxon Mobil juga membiayai sedikitnya 17 Pos TNI dan Polri dengan jumlah personil 1.000 orang dari berbagai kesatuan. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri pernah terlibat dalam memimpin pembantaian rakyat Aceh sewaktu menjabat sebagai Menkopolkam. Pada tahun 2001 SBY sebagai menko Polkam memimpin operasi militer terbatas (Mandat Inpres nomor 4 tahun 2001) . Operasi militer terbatas yang didukung oleh George Bush ini dimaksudkan untuk mengamankan Exxon Mobil. Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberi dukungan, karena AS memiliki saham 30 % di Exxon Mobil. Hasil dari operasi terbatas ini, sebanyak 132 orang tewas, 65 orang di antaranya tewas akibat pembunuhan kilat. Selebihnya, 29 korban penangkapan sewenangwenang, 12 korban penculikan dan sisanya 26 orang adalah korban penyiksaan. Di antara jumlah tersebut, kelompok masyarakat sipil biasa merupakan korban terbanyak, yakni 95 orang. Jika ditotal, korban keseluruhan dari operasi militer rezim boneka sejak Soeharto berkuasa hingga sekarang sudah menghasilkan pembunuhan lebih dari 1000 orang. Rakyat Aceh Butuh Kedaulatan, Demokrasi, dan Kesejahteraan Karena ditindas, wajarlah jika rakyat Aceh melawan pemerintah RI. Karena selama ini, Rezim yang berkuasa di Indonesia hakekatnya adalah kekuasaan bersama antara para pengusaha komprador dan tuan tanah yang tunduk pada dominasi imperialisme. Karakter rezim yang demikian, menyelenggarakan kekuasaanya secara otoriter, menindas rakyat, dan memberikan keuntungan luar biasa bagi para komprador, tuan tanah, dan imperialis. Perlawanan terhadap rezim boneka imperialis juga dilakukan di banyak daerah di Indonesia, tidak hanya di Aceh.
Lantas apakah MoU “Aceh Damai� mempunyai effek yang maju bagi terwujudnya kedaulatan, demokrasi, kesejahteraan bagi rakyat Aceh? Dilihat dari klausul-klausul yang terkandung di dalamnya, MoU tersebut di satu sisi sangat menguntungkan Rezim SBY-Kalla, yakni mengintegrasikan rakyat Aceh agar tetap berada dibawah dominasi penghisapannya. Dan di sisi lain juga menguntungkan penguasa-penguasa lokal, yaitu pejabat, pengusaha komprador dan tuan tanah di Aceh karena akan mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan mengenai investasi dan hutang luar negeri sebagaimana tercantum dalam MoU. Dalam MoU disebutkan “pemerintah Aceh memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorialnya dan berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri serta berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional termasuk menarik investasi�. Padahal sudah jelas, investasi dan hutang luar negeri selalu merugikan rakyat. Parahnya, dalam MoU tersebut ada upaya rekonsiliasi atau permaafan terhadap sejarah pembantaian, perkosaan, penculikan, dan pembakaran rumah-rumah yang dilakukan oleh aparat rezim boneka. Bukankah SBY pernah terlibat dalam pembantaian? Kenapa pula SBY harus dimaafkan. Bukankah melupakan kejahatan-kejahatan HAM terdahulu merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Aceh. Maka bisa dikatakan, MoU tersebut akan menutupi kontradiksi yang tajam antara Rakyat Aceh dengan rezim anti rakyat boneka imperialis, SBY-Kalla, serta mengaburkan akar masalah terjadinya penindasan di Aceh. Sementara itu para penguasa lokal bisa mendapatkan kenikmatan lebih dari hasil investasi dan hutang luar negeri di Aceh. Belum terlihat MoU tersebut berkomitmen untuk memajukan tingkat kesejahteraan buruh, menjamin dilaksanakannya reforma agraria, menjamin sekolah gratis, kuliah murah, kebebasan demokratis seluas-luasnya bagi rakyat. Maka MoU tersebut tidak mempunyai effek yang banyak dalam terwujudnya kedaulatan rakyat, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat Aceh. MoU tersebut bukan jawaban atas problem-problem mendasar rakyat Aceh. Jalan mewujudkan kedaulatan, demokrasi, dan kesejahteraan bisa terwujud jika rakyat Aceh tetap gigih melakukan perlawanan terhadap imperialisme dan rezim bonekanya. Dan perlu digarisbawahi bahwa perlawanan rakyat Aceh bukanlah perlawanan antar ethnis, bukanlah perlawanan antara suku bangsa Aceh dan suku bangsa Jawa. Kita mempunyai musuh yang sama, imperialisme AS dan rezim bonekanya di dalam negeri yaitu rezim SBY-Kalla. (Ridwan Lukman)
PERPRES 36/2005 : Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Imperialis Oleh : Ragil Sugiyarna
P
emerintahan Susilo Bambang Yudhoyono makin melengkapi pengkhianatannya terhadap reformasi dengan memberlakukan Peraturan Presiden Nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Meski peraturan yang ditandatangani 3 Mei 2005 lalu itu, melahirkan berbagai penolakan dari banyak kalangan, namun sepertinya Presiden SBY tidak bergeming. Terbitnya perpres 36/ 2005 ini terkait dengan kepentingan SBY untuk melaksanakan berbagai proyek infrastruktur yang dipandang sebagai jalan mempercepat pertumbuhan ekonomi, sebagaimana diungkapkan oleh perwakilan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Raden Pardede, bahwa Perpres 36/ 2005 ditujukan untuk menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut Bappenas, rencana proyek yang akan berlangsung mulai tahun ini sampai 2009 mendatang, akan menyerap investasi sampai 72,14 miliar dollar AS atau senilai Rp 613,2 triliun. Dari total dana tersebut, 80 persen di antaranya akan diperoleh dari investasi asing, karena pemerintah hanya sanggup mendanai sebesar 20 persen. Itupun hanya untuk proyekproyek non komersial yang pendanaannya akan diambil dari APBN. Untuk mendukung pelaksanaan proyek tersebut, pemerintah telah merevisi
sejumlah peraturan. Hingga menjelang pelaksanaan KTT Infrastruktur (infrastructure summit), Januari 2005 lalu, sedikitnya 8 dari 11 peraturan presiden yang harus disusun telah dirampungkan, termasuk peraturan presiden yang mengatur masalah pembebasan tanah. Beberapa peraturan yang telah direvisi tersebut antara lain, masalah izin ketenagalistrikan, (PP izin usaha dan penyediaan listrik), ijin penetapan wilayah, PP tentang jual-beli tenaga listrik, dan PP nomor 35/2004 tentang usaha hulu minyak dan gas bumi. Dari sekian revisi peraturan yang diajukan, komitmen pemerintah tentang peraturan pembebasan tanah tergolong salah satu yang paling istimewa. Wacana mengenai hal ini bahkan telah dimulai sejak dua-tiga bulan sebelum pelaksanaan KTT Infrastruktur. Persoalan Dibalik Perpres 36/2005 Secara substansi Perpres 36/2005 tidak jauh berbeda dengan Keppres 55/ 1993, yaitu memperluas kewenangan politik pemerintah—khususnya presiden—atas tanah dan pengelolaannya di Indonesia. Menurut Perpres ini, pemerintah berhak mencabut hak seseorang atas tanah. Sedikit perbedaannya, keppres 55/ 1993 tidak memberikan kekuasaan seluas itu pada pemerintah. Perpres tersebut juga mengatur tentang beberapa kelembagaan yang
sesungguhnya tidak memiliki wewenang dalam menyelesaikan proses pembebasan tanah. Kelembagaan yang dibentuk, didorong menyelesaikan pembebasan tanah yang sifatnya represif. Memaksa pemilik lahan menerima penyelesaian menurut ganti rugi (baca: jual paksa) atau memilih dicabut hak-haknya. Pemilik lahan sama sekali tidak diberi pilihan demokratis untuk menolak pelepasan hak atas tanah. Pemberlakuan Perpres 36/2005 tentu saja akan berdampak pada rakyat Indonesia. Pertama, sebagai negara agraris dengan populasi sekitar 234 juta jiwa dan mayoritas penduduk hidup dalam hubungan produksi setengah-feodal, permasalahan tanah di Indonesia tidak sekedar masalah tata-ruang semata. Masalah tanah di Indonesia adalah masalah kepentingan politik, karena terkait secara konkret dengan penghidupan mayoritas rakyat Indonesia yang berstatus sebagai kaum tani. Di tengah situasi krisis imperialisme yang akan dan selalu menajam di negeri setengah-feodal seperti Indonesia, masalah-masalah penguasaan dan kepemilikan tanah akan dengan mudah menggeret Indonesia pada krisis politik yang berkepanjangan. Pasalnya, dengan komposisi demografis penduduk yang mayoritas bekerja sebagai petani dan sedikitnya 56.52 persen di antaranya adalah keluarga tani miskin (gurem) dengan penguasaan tanah
rata-rata dibawah 0,4 hektar, tanah menjadi materi yang signifikan karena mempertemukan berbagai kepentingan ekonomi, politik, dan kebudayaan mayoritas rakyat Indonesia. Sebagai contoh, pergeseran fungsi tanah yang diakibatkan adanya praktek monopoli kepemilikan tanah diakui telah menjadi sumber permasalahan yang mengakibatkan kesenjangan dan memburuknya kondisi ekonomi dan politik di pedesaan. Sehingga menimbulkan masalah-masalah seperti, berjangkitnya wabah penyakit, kemiskinan, kelaparan, perdagangan manusia, dan lainlain. Selain itu, Perpres 36/ 2005 memandang tanah hanya sebagai komoditas (modal), karena memiliki nilai tukar atau dapat diperjualbelikan. Pandangan ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar tentang “fungsi sosial” atas tanah, sebagaimana tertuang dalam UUPA Nomor 5 tahun 1960. Dan jelas-jelas menganut paham yang dikembangkan oleh imperialisme Mayoritas rakyat Indonesia—khususnya kaum tani—,masih memandang tanah sebagai sarana pokok penunjang produksi untuk memenuhi kebutuhan subsisten baik
secara langsung maupun tidak langsung. Proses penyempitan fungsi tanah tidak bisa dilakukan bila corak produksi sisa feodal masih berkembang luas di negeri seperti Indonesia. Menyempitkan fungsi lahan tanpa diawali dengan perombakan struktural dalam cara produksi masyarakat sama dengan menyulut api di tengah padang belukar yang kering. Kedua, terbitnya perpres 36/2005 adalah jalan pintas yang justru makin memperdalam keterpurukan Indonesia dalam kubangan krisis imperialisme. Perpres tersebut, secara jelas dikeluarkan untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur, yang berupaya menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi atau “pembangunanisme” (developmentalism). Tapi, benarkah demikian? Mungkin hanya mampu manarik investasi, tetapi belum tentu mampu memacu pertumbuhan. Mengapa? Sebab, pembangunanisme seperti di zaman Orde Baru, terbukti telah gagal dan masih menyisakan sekian persoalan yang menumpuk bagi rakyat. Perpres 36/2005 : Produk Hukum Rezim Anti Rakyat Hadirnya kembali wacana tentang
pembangunanisme dibalik Perpres 36/2005, tentu mewakili kepentingan terselubung pemerintahan SBY. Untuk membuktikan hal tersebut, bisa dilihat dari pandangan, pendirian, metode, sikap dan tindakannya. Pertama, mengenai pandangan yang melatarbelakani lahirnya Perpres 36/2005. Ditinjau dari berbagai sudut, logika yang terkandung dalam perpres tidak didasarkan pada analisis yang konkret dan cermat atas situasi sosial rakyat Indonesia. SBY cenderung subyektif karena secara “sembrono” mengabaikan berbagai kritik terhadap pembangunanisme yang berkembang luas di masyarakat dan terbukti sudah mengalami kegagalan. Kedua, dari segi pendirian, SBY lebih suka membuka ruang seluas mungkin bagi ekspansi kapitalis monopoli (imperialis) melalui jalan investasi. Hal ini menunjukkan bahwa SBY akan berupaya memanjakan kepentingan imperialis. Membuka ruang bagi adanya ekspansi sama dengan membuka kesempatan bagi para kapitalis monopoli besar asing untuk mengeksploitasi rakyat guna mencapai keuntungan (akumulasi). Hal ini makin menegaskan keberpihakan SBY pada kepentingan-kepentingan imperialis. Ketiga, dari aspek metode. Melalui perpres 36/ 2005 SBY sudah bertindak “menghina” demokrasi. Dari bentuk peraturan yang dipilih dan materi-materi yang dikemukakan dalam perpres 36/ 2005, SBY cenderung memilih jalan pintas dengan memaksimalkan kekuasaan politiknya dan mengabaikan suara-suara kritis rakyat. Buktinya secara hukum, Perpres ini disahkan tanpa melalui hak uji materiil terlebih dahulu. Keempat, dari aspek
sikap. Susunan pandangan, pendirian, dan metode yang dipilih SBY sudah pasti akan menuntun sikap anti-demokrasi dan anti-rakyat dari SBY. Sikap ini termanifestasi dari sekian komentar aparatus kekuasaannya yang secara semena-mena mengecilkan permasalahan tersebut sebatas ganti-rugi dan janji-janji yang sebenarnya sudah tidak meyakinkan. Publik juga memahami bahwa rakyatlah yang akan sangat dirugikan. Sebaliknya, perusahaanperusahaan asing, pemodal Jepang, dan perusahaanperusahaan milik Yusuf Kalla dan Aburizal Bakrie yang bakal mendapatkan durian jatuh. Kelima, dari aspek tindakan. Dari paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa keputusan mengeluarkan perpres 36/2005 adalah tindakan anti-demokrasi, antirakyat, dan anti perubahan. Karenanya, bukan hal yang tidak mungkin bila tindakantindakan yang dilakukannya pun akan menindas rakyat, menindas demokrasi, dan menindas segenap keinginan untuk perubahan yang kini tengah makin meninggi. Perpres 36/2005 Memelihara Sengketa Tanah Berkepanjangan Fenomena seperti perpres 36/2005 ini sebenarnya
bukan suatu kejutan yang baru. Rakyat Indonesia— khususnya kaum tani dan rakyat m i s k i n perkotaan—, merasakan s e n d i r i tindakantindakan s e p i h a k pengambilalihan lahan (land grabbing ) yang dilakukan negara terhadap rakyat. Dari laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), diketahui telah terjadi 1.753 kasus pelanggaran hak atas tanah oleh negara yang melahirkan sengketa agraria. Kasus-kasus tersebut seluruhnya mempersengketakan sedikitnya 10.892.203 hektar lahan, yang melibatkan 1.189.482 kepala-keluarga. Sedikitnya 508 kasus diantaranya melibatkan tentara. Sementara itu, (perusahaan) swasta menjadi pihak yang sering bermasalah dengan jumlah kasus mencapai 833. Setelah itu pemerintah sebanyak 719 kasus, BUMN 219 kasus, dan militer sebanyak 59 kasus. Tingginya kasus perampasan tanah yang membuka sengketa antara kaum tani dengan negara, hakikatnya membuka wajah negara yang sesungguhnya, sebagai alat
yang membela kepentingan kekuatan imperialis yang mendominasi. Bila rencana perpres 36/ 2005 itu terlaksana, bisa diprediksikan jumlah kasuskasus pelanggaran hak atas tanah dan sumber-sumber agraria seperti tercantum di atas, akan terus bertambah. Tentu saja, tindakan yang perlu dilakukan tidak hanya mencatat berapa jumlah kasus yang kelak akan muncul, melainkan menyiapkan diri dalam barisan rakyat melawan seluruh tindakan sepihak yang anti-rakyat dan anti-demokrasi dari rezim SBY dan aparatusnya. Penulis Adalah Koordinator Komite Pendidikan dan Propaganda Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)