THE WARNING BELL:
EDISI 4 OKTOBER 2012 DEWAN PAKAR:
Pieter A. Rohi Trimoelja D. Soerjadi Prof. Dr. Eman Ramelan SH., MS, Prof. Dr. Frans Limahelu SH., LLm Hadi Pranoto SH., MH, DR. Suko Widodo Yoyon Noroyono Pipit R. Kartawidjaya Danu Rudiono
PEMIMPIN UMUM: Chrisman Hadi
PEMIMPIN PERUSAHAAN: M. Taufik Sidiki
PEMIMPIN REDAKSI: Rokimdakas
REDAKSI:
Cahyo Sudarso, Anto Wardianto Agus Indiana, Deddy Endarto
BIRO:
Yudha Prastantiono (Malang) Erwan Febriyanto (Jombang) Hadi Ciptono (Jakarta) Arief W. Djati (Bandung) Mimi Savitri (Kontributor London) Ook ‘Markesot’ (Kontributor Berlin) Warsito Ellwein (Biro Eropa)
SEKRETARIS REDAKSI: Mawan Mardijanto
GRAFIS:
Tonny Akbar Mahendro
SIRKULASI:
Bram Tjondro Oetomo, Sjaiful Bahari
MARKETING: Toga Sidauruk
PENASIHAT HUKUM:
Krisna Budi Tjahjono SH., CN,
IT SUPPORT: Masakgos
ALAMAT REDAKSI:
Kampung Malang Kulon 2/1 Surabaya 60263 TELPON: 031-5452330 FAKS: 031-5344252 SELULER: 08121606972 / 085733084848
E-MAIL:
redaksi@indiependen.com editor@indiependen.net sirkulasi@indiependen.com marketing@indiependen.com
REKENING:
Bank BCA No. 0885005247 a.n Chrisman Hadi
PENERBIT:
CV. Mustika Abadi
Tak Putus Dirundung Malang “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one, I hope someday you’ll join us, And the world will be as one.”
P
ADA awal 1970-an John Lennon sisi pada sekeping mata uang kehidupan menjadi pemburu tikus yang handal... merilis lagu Imagine. Ketika itu yang saling melengkapi. Kanan disebut tak peduli apakah kucing berbulu hitam, pasukan Amerika Serikat sedang kanan karena ada yang kiri. Jadi putih atau pun belang telon... oke saja menggempur Vietnam Utara (perang yang kiri pun tak bisa menepuk dada asalkan bisa memangsa tikus. Vietnam). Ia membayangkan sebuah bahwa ia lebih bermanfaat dibanding Karena betapa capeknya kita sebagai dunia yang satu, tanpa sekat-sekat si kanan…. Ah, apalah artinya sebuah bangsa senantiasa bergulat dengan isubangsa, ideologi bahkan agama. Sebuah nama, ujar Shakespeare. Sebab esensi isu kontemporer tentang keterjajahan dunia yang satu, aman damai tanpa dari keharuman sang Mawar toh tetap politik…ketertindasan ekonomi…en peperangan yang mirip surga. Kata Ki melekat meski ia tak disebut Mawar. keterpurukan kebudayaan. Tertindas, Dalang: “Tata tentrem, kerta raharja.” “No more real than nothing…” tiada terjajah dan terpuruk itu sesungguhnya Utopis memang. Meski utopis, lirik lagu yang lebih nyata dibanding ketiadaan,” soal material ataukah partikel Imagine itu bagaikan sebuah manifesto ujar Samuel Becket dalam naskahnya kesadaran? yang lahir dari kesadaran Sebab sebagai entitas Humanisme Universal. sebuah bangsa,energi kita Maka ibarat sosok Bapak: Indonesia… telah loyo dan Konon lagu itu telah habis terkuras untuk kehabisan energi ketika harus menegakkan integritas dan terinspirasi dari puisi-puisi menanggapi situasi-situasi jati dirinya terhadap bangsa-bangsa lain. Jadi bagaimana Yoko Ono, abstraksi dari lokalistik semacam perebutan mungkin kita bicara untuk meneguhkan Trisakti: pengalaman masa kecilnya kekuasan partai-partai politik, Kedaulatan di bidang Politik, Berdikari di bidang Ekonomi dan Berkepribadian dalam kebudayaan. Bila energi untuk di Jepang di masa perang gerakan fundamentalisme menegakkan kepala saja sudah tak ada. dunia II. Ketika harkat agama yang menyerang manusia dan kemanusiaan kebhinekaan dan sebagainya diporak-porandakan dan seterusnya. yang legendaries: Waiting for Godot. oleh perang. Bangsa-bangsa bangkit Ah, setidaknya masih tersisa sebuah Jadi perdebatan tentang kiri dan kanan berperang saling membunuh sebagai kesadaran dan keyakinan. Bahwa itu sebenarnya,semacam perdebatan reaksi dari gerakan negeri-negeri fasis tak selamanya mendung itu kelabu. tentang menunggu Godot, yang tak Jerman, Italia dan Jepang. Dan esok toh matahari baru bakal pernah muncul sampai di akhir cerita… Ya betapa sejarah peperangan dunia terbit. Meski pada akhirnya ya pasti karena memang cerita yang sebenarnya telah banyak memberi pelajaran bagi tenggelam juga. Setidaknya kesadaran tak pernah berakhir. Karena memang manusia dan kemanusiaan. Mestinya akan gerak keabadian itu jadi api yang senyatanya tak pernah ada permulaan. masa lampau yang berdarah-darah itu menghangatkan ruh. Karena barangkali So, bagaimana mungkin hal yang tak telah melahirkan sebuah kesadaran baru memiliki mula bisa memiliki akhir? saja benih-benih kesadaran itu harus dalam tata hubungan antara bangsajatuh terpuruk dulu ke dalam tanah Seperti halnya juga perdebatan lebih bangsa di dunia. Bahwa ibarat Taman sebelum ia tumbuh jadi tanaman baru dulu mana telor dan ayam...who knows? Bunga: kehidupan itu memiliki banyak yang lebih indah dan kokoh. Sesungguhnya yang dibutuhkan warna – Melati yang putih tak bisa Sebab, “everything has begin has adalah sebuah penanda untuk memaknai menepuk dada bahwa ia lebih indah an end…” segala ikhwal yang memiliki tanda. Sebuah idiom untuk memaknai dari Mawar yang merah. Akan halnya awal pasti memiliki akhir. Singkat kata, keadaan. Dus memimpikan sebuah Anggrek hitam tak bisa meng-klaim Indonesia memang sedang berada dalam citra kolektif yang efektif dan efisien bahwa ia lebih mempesona dibanding situasi: Tak Putus Dirundung Malang. untuk menuju keadaan rasa berkeadilan Aster kuning. Tapi tak ada penderitaan yang tak dan berkemakmuran. Sebab kata Mao Karena jiwa dan harkat adalah dua memiliki akhir. Semoga saja! Tze Dong, kucing itu diharapkan bisa
FORUM PUBLIK
Pekan Sejarah Unair
"Negara Kok Diunthal, Bisa Kloloden, Bikin Modhar" - Karya: Butet Kartaredjasa
2
indiependen | EDISI 4 | 2012
oleh: Chrisman Hadi
PEKAN Sejarah 2012 - Unair ‘Peran Perempuan dalam Sejarah Bangsa Indonesia’ menjadi tema seminar yang digelar Himpunan Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya, Kamis (29/11) di ruang sidang lantai II Fakultas Ilmu Budaya. Acara ini terbuka untuk mahasiswa sejarah dari perguruan tinggi di Jawa Timur. Seminar itu sendiri merupakan salah satu dari 4 kegiatan dalam Pekan Sejarah 2012. Kegiatan lain adalah Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) pada Rabu (28/11) dan Olimpiade Sejarah, pada Senin dan Selasa (26-27/11) terbuka untuk siswa/siswi SMA atau sederajat di wilayah Jawa Timur. Peserta LKTI wajib mengikuti seminar. Seagai penutup Pekan Sejarah 2012 adalah acara History Cup yang akan berlangsung selama tiga hari, 30 Nopember-3 Desember. Pesertanya
mahasiswa berbagai jurusan di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Kegiatan yang sudah berlangsung secara periodik dalam beberapa tahun ini diharapkan akan terus mentradisi di lingkungan Departemen Ilmu Sejarah. “Tentu saja dengan konsep lebih segar dan inovatif,” jelas Moch. Baihaqi, seksi acara kepanitiaan Pekan Sejarah 2012. Bagi yang berminat mengikuti kegiatan Pekan Sejarah 2012 bisa menghubungi Moch Baihaqi (085 648 260 984) dan Edi Susilo (0838 5696 4407). www.indiependen.com | www.indiependen.net
KRONIK Keluasan ruang untuk mengaktualisasikan diri bagi kaum perempuan sekarang memang sebuah berkah yang tiada tara. Mahkota, popularitas, harta dan jabatan benar-benar sesuatu yang tidak sulit lagi untuk diraih. Namun semuanya runtuh hanya karena gegabah. Seperti yang terlihat di panggung peradilan akhir-akhir ini. Setidaknya ada tiga nama wanita borjuis yang duduk sebagai pesakitan di depan meja hijau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kemudian menghuni hotel prodeo.
M
EREKA adalah mantan anggota Komisi X dan anggota Banggar DPR-RI dari Partai Demokrat, Angelina Sondakh, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Miranda Swaray Goeltom, dan Siti Hartati Murdaya, pengusaha perkebunan kelapa sawit berbendera PT Hardaya Inti Plantations sekaligus anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Kini mahkota mereka terancam runtuh.
menunduk. “Tapi Angie mengaku siap lahir batin, “ jelas Teuku Nasrullah, pengacaranya. Dalam dakwaan jaksa, Angie disebut menerima uang suap seluruhnya berjumlah Rp 12.500 miliar dan 3.250 juta dollar AS, total mencapai Rp 33 miliar. Angie menerima uang itu dari Grup Permai milik M. Nazaruddin yang sebelumnya dijanjikan Mindo Rosalina Manulang, direktur marketing grup yang menangani proyek di Kemenpora dan Kemendikbud.
SEUMUR HIDUP Adalah Angelina Sondakh, wanita muda, cantik, memulai karier politiknya di Partai Demokrat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal. Langkah selanjutnya mengantar mantan Putri Indonesia ini duduk di kursi Komisi X DPR-RI. Makin mantap karena di lembaga legislatif itu Angie – sapaannya - sekaligus menempati ‘pos basah’ sebagai anggota Badan Anggaran DPR. Tapi di situlah perjalanan karier Angie mendapat sandungan serius. Posisinya yang strategis, terbukti tidak hanya memberi kebanggaan, tapi juga membentuk pribadi tamak. Wanita anggota Banggar DPR ini diduga menerima suap dalam pembahasan anggaran proyek di Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kempora) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang kemudian diketahui bernilai total Rp 33 miliar. Karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu memeriksa janda mendiang artis dan politisi Adjie Massaid ini. Pada pemeriksaan ketiga, 3 Februari 2012 , KPK menetapkan Angie sebagai tersangka kemudian menahannya pada Jumat, 27 April 2012. Momentum ini kemudian populer sebagai Jumat keramat, karena ‘kebiasaan’ KPK menahan tersangka pada hari Jumat. Selama menjalani penahanan Angie mendapat banyak kunjungan dari kerabat, ayah dan ibunya. Tapi juga kunjungan dari mantan penyidiknya, Brotoseno, yang dikembalikan KPK ke Polri gara –gara hubungan khususnya dengan Angie. Di tahanan, kabarnya Angie juga rajin salat tahajud dan mengaji. Angie ahkirnya menjalani sidang perdananya sebagai terdakwa pada Kamis (6/9) di Pengadilan Tipikor Jakarta. Nampak agak kurus tanpa tatanan rambut seperti biasanya, Angie hanya mengenakan baju yang disediakan KPK. Kali ini ibu tiga orang putra itu nampak lebih banyak
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK disusun dalam bentuk alternatif. Dalam salah satu dakwaan disebutkan, bahwa Angie melanggar pasal 12 Huruf a Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancamannya, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu dengan masa paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Acaman pidana itu tentu menggetarkan hati Angie. Alangkah sunyinya hidup di penjara kelak, setidaknya akan banyak menggerus usianya. Tapi kemudian dalam eksepsinya Angie menilai dakwaan jaksa atas dirinya tidak cermat, tidak lengkap dan menyesatkan. Karena dalam dakwaan itu tidak menyebutkan secara rinci berapa uang yang diterimanya dari Kemenpora dan Kemendikbud. Angie membacakan eksepsi setebal 48 halaman itu pada Kamis, (13/9) di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Di sana nampak menemani dengan sabar ayahandanya, Lucky Sondakh, mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi.
www.indiependen.com | www.indiependen.net
SEMPAT MENANGIS Pemandangan mengharukan nampak ketika KPK memutuskan untuk menahan Siti Hartati Murdaya, Rabu (12/9). Tersangka kasus dugaan suap kepada Bupati Buol, Sulawesi Tengah, untuk penerbitan surat Hak Guna Usaha (HBU) perkebunan sawit ini, ditahan KPK dalam keadaan sakit di atas kursi roda. Sebelumnya, beberapa kali Hartati mangkir dari panggilan KPK karena alasan sakit. Dan, ketika wanita yang sebelumnya selalu tampil perfect ini memenuhi panggilan KPK, langsung ditahan untuk 20 hari ke depan. Wanita lewat paro baya yang masih cantik ini pun nampak shock dan sempat menangis . Beberapa hari hidup di tahanan, terpikir oleh Hartati bagaimana caranya agar penampilan tetap terjaga prima. Juga, bagaimana caranya agar makanan terjaga higenis. Maka Hartati pun memboyong perangkat rias dan sejumlah alat dapur
ke ruang tahanannya. “Penahanan ini tidak tepat, karena ibu sebenarnya hanya korban dari pemerasan oknum pejabat. Saya punya bukti-buktinya,” jelas Murdaya Poo, suami Hartati, yang selalu setia menemani sang isteri ketika diperiksa KPK. Hartati sendiri sebagai pemilik usaha perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP), merasa dikhianati dua anak buahnya, yakni Yani Anshori dan Gondo Sudjono. Yani adalah General Manager Supporting PT HIP yang ditangkap KPK seusai transaksi suap dengan Bupati Buol, Amran Batalipu.
Barangkali karena alasan itu, maka anggota Dewan Pembina Partai Demokrat (yang kemudian mengundur diri) ini menolak menandatangani Berkas Acara Pidana (BAP) dan Surat Penahanan yang dikeluarkan KPK. Hartati mengaku tidak pernah memerintahkan kepada kedua anak buahnya itu untuk memberikan dan menjanjikan uang senilai Rp 3 miliar kepada Amran. Dalam surat dakwaan jaksa disebutkan bahwa PT HIP adalah anak perusahaan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) yang dimiliki Hartati. Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sejak 1994 memiliki izin lokasi seluas 70.090 hektar di Buol. TIDAK TERIMA Figur borjuis yang satu ini benar-benar sempurna. Selalu tampil modis dengan tatanan rambut bergonta-ganti warna, guna menutupi warna rambut sejatinya. Lihatlah, ketika setiap kali memasuki ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta, ia berjalan bak peragawati di atas cat work. Itulah wanita charming lewat tengah baya bernama Miranda Swaray Goeltom, tersangka dugaan suap cek perjalanan pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004. Barangkali karena ia juga seorang dosen dan guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, maka bicaranya pun tertata rapi dengan emosi yang terjaga.Tapi tidak dengan yang terjadi pada sidang tuntutan (12/9). Jika sebelumnya selalu terlihat tegar dan santai, kali ini mantan Deputi Gubernur Senior itu sempat emosional dan marah. Ada apa sebenarnya ? Ternyata biangnya adalah bunyi tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi yang diketuai Supardi. JPU menuntut Miranda dengan hukuman penjara 4 tahun dikurangi masa tahanan dan denda Rp 150 juta, subsider kurungan 4 bulan. Miranda terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. “Kalian dengar sendiri kan di sidang tadi, itu
banyak bohongnya. Ibu Lini, pengurus rumah tangga Ibu Nunun, enggak pernah menyebut melihat saya bersama-sama dengan yang lainnya,” kata Miranda usai sidang. Biasanya, ketika ditanya wartawan, Miranda lebih memilih mengunci mulut, tapi kali itu bicara lugas. Miranda menganggap, fakta-fakta di persidangan tidak diperhatikan dengan baik oleh jaksa. Jaksa mengabaikan keterangan saksi ahli tentang pertemuan di luar mekanisme sidang yang menurut saksi ahli merupakan hal wajar dan tidak melanggar etika politik ataupun tata tertib DPR. “Ini bukan saya yang malu, yang malu yang nuntut. Kalian bisa dengar, jadi kalian bisa jadi jaksa dan hakimnya sendiri, pantas nggak dengan fakta-fakta persidangan seperti itu saya dituntut empat tahun,” kata Miranda yang akhirnya divonis 3 tahun. Sebelummya, Miranda bersama-sama Nunun Nurbaeti atau masing-masing bertindak sendiri didakwa memberi cek perjalanan Bank Internasional Indonesia senilai Rp 20,8 miliar melalui Ari Malangjudo ke anggota DPR 1999-2004. Cek perjalanan itu bagian dari Rp 24 miliar, total 480 cek perjalanan yang mengalir ke para politisi. Nunun sendiri sudah menjadi terpidana dengan vonis 2 tahun 6 bulan penjara. Salah satu fakta persidangan yang meyakinkan jaksa adalah kesaksian Nunun terkait pertemuan anggota DPR dengan Miranda di rumah Nunun. Pertemuan itu bertujuan untuk meloloskan Miranda dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004. Pada pertemuan itu, menurut kesaksian Nunun, pernah ada yang mengatakan, “ini bukan proyek thank you”. Nunun tidak ingat siapa yang mengatakan, tapi anggota DPR yang hadir saat itu adalah Hamka Yandhu, Paskah Suzetta, dan Endin Soefihara. Pertemuan dan perkataan “Ini bukan proyek thank you” itu serempak dibantah Miranda maupun anggota DPR tersebut. Yok indiependen | EDISI 4 | 2012
3
FOKUS AKIBAT TIDAK ADANYA KEADILAN
Indonesia di Ambang Padang Kurusetra
S
EJAK negara ini lepas dari tangan Soekarno beserta para pendiri negara maka sejak itu pula Indonesia di nbawah rezim Soeharto memasuki masa penjajahan baru yang dimotori Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya. Para pendiri negara melepaskan rakyat dari mulut buaya tapi oleh Soeharto dimasuk ke dalam mulut buaya sampai kekayaan alam dan berbagai asset negara terus diganyang kapitalis. Para penguasa kaya raya karena “dirawat” oleh kapitalis sementara angka kemiskinan tak beranjak dari kisaran 51 persen. Dulu ekonomi bangsa ini kuat karena lebih dari 50 persen GNP berasal dari pertanian dan dari industri 15 persen. Utang luar negeri Cuma 2,5 miliar tetapi sekrang ekonomi kita morat-marit dengan beban utang luar negeri sebesar Rp 1.800 triliun dan terus dikadali oleh kapitalis asing maupun kapitalis pribumi didukung Bank Dunia dan IMF. Maka lengkap sudah formasi penghancur ekonomi Negara Indonesia. Sepanjang waktu Ibu Pertiwi meratapi kekayaannya yang lama disiapkan untuk kemakmuran putraputranya ternyata digadaikan oleh para penguasa untuk membayar jasa pada negara-negara asing yang telah membantu kiprahnya mengendalikan Indonesia. Sampai sekarang daerahdaerah yang menjaga kekayaan itu tidak memperoleh bagian yang pantas, sebagian besar hasilnya diboyong ke Jakarta. Secara satir budaya Emha Ainun Najib menulis, “Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapushapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.” Melihat kerakusan yang berlangsung puluhan tahun menggugah masyarakat untuk melepaskan daerahnya dari kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada terus dikadali. Dengan menggelar berbagai aksi seraya menggunakan jejaring virtual, masyarakat Papua terus bergolak. Beberapa daerah menuntut pemekaran wilayahnya hanya disebabkan oleh pembagian hasil pembangunan yang tidak adil. PEMANTIK REVOLUSI Dengan mata telanjang bisa kita baca ketidak-adilan di ruang-ruang tahanan maupun persidangan yang dilakukan oleh para hakim, jaksa maupun polisi yang memperjual belikan pasal terhadap kasus-kasus korupsi, narkoba maupun white crime. Para perampok kekayaan negara senilai milaran rupiah hanya diganjar 2 - 3 tahun dan hanya perlu menjalani sekitar 1 tahun itupun di ruang-kamar khusus di ruang-
4
indiependen | EDISI 4 | 2012
Jauh sebelum nama Indonesia muncul ke permukaan, pada tahun 1340 MpuTantular, pujangga besar kerajaan Majapahit menulis tentang Bhineka Tunngal Ika dalam kitabnya Sutasoma yang diartikan “Meski BeragamTapi Satu”. Oleh Bung Karno ungkapan tersebut digunakan sebagai falsafah negara, dan dalam konteks keindonesiaan dimaknai meskipun berbeda-beda budaya, bahasa daerah, suku, agama dan kepercayaan tetapi pada hakikatnya tetap di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ruang khusus rumah sakit dan bebas dikunjungi sanak keluarga. Sementara pencuri kakao di Kampung Bulo-Bulo, Gowa senilai Rp 9 ribu dipenjara selama dua bulan. Dengan mata telanjang pula bisa kita saksikan anggota parlemen antri masuk bui karena korupsi, meski begitu praktik korupsi masih berlangsung di ruang parlemen pusat maupun daerah secara sistematis. Kalangan eksekutif juga menggerogoti uang rakyat untuk memakmurkan sanak keluarga. Ketika seorang koruptor hendak dibebaskan banyak yang melakukan pencitraan dengan menyewa even organizer untuk menyiapkan prosesi penyambutan bak pahlawan pulang dari medan perang. Didukung media informasi, rakyat bisa berjam-jam mengkritisi ketidakadilan semacam itu. Maka cukup beralasan apabila publik tidak lagi mempercayai lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tiga penyelenggara negara yang seharusnya amanah tapi ternyata yang dilakukan masih jauh panggang dari api. Begitu jauh dari harapan rakyat. Faktor ini tampaknya telah mencukupi sebagai prasyarat kehancuran sebuah negara karena penyelenggaranya bobrok.
Tawuran pelajar, konflik sosial di Sampang, Banten, Makassar, Ambon, Puso, Aceh, Nusa Tenggara Barat, dan di berbagai daerah lainnya merupakan akumulasi frustasi yang bersifat laten. Hampir setiap hari kita beragam penyimpangan sosial menyita pemberitaan surat-surat kabar dan menimbulan perasaan giris. Orang-orang yang disebut oleh penguasa sebagai teroris - seperti Belanda maupun “KNIL“ Soeharto memberi cap ekstrimis bagi kaum pergerakan atau aktivis - meledakkan bom dimana-mana. Sementara para penguasa sibuk melakukan pencitraan di tengah dekadensi moral seperti sekarang. Olehkarena tidak tidak mengherankan apabila suatu ketika bangsa Indonesia memasuki Padang Kurusetra untuk melakukan Beranta Yudha, revolusi. Sebagai gunung berapi, proses ledakannya terus berlangsung dan semakin matang. Tindak kekerasan kian menjadi-jadi. Kaum pelajar Jakarta setiap hari siap membunuh pelajar lainnya. Polisi dan DPR RI mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi. Petani tembakau dimatikan lewat penyusunan undang-undang yang didanai kapitalis Amerika yang siap
merebut keuntungan pasar rokok senilai puluhan triliyun. Penganut Wahabi dengan beragam organisasi mendesakkan kehendaknya untuk membentuk negara Islam. Penganut Ahmadyah dan Syiah dianiaya hingga mati. Dan serenteng gejala yang sewaktu-waktu bisa mengancam kebhinekaan.
BERGANTI NAMA Mengamati fenomena tersebut KH. Agus Sunyoto, MPd (53), pengasuh Pesantren Global Tarbiyatul Arifin, Lowoksuruh, Pakis, Malang menyatakan, tercerai-berainya Indonesia adalah kenyataan pahit yang menyakitkan bagi anak bangsa yang memiliki jika nasionalisme dan patriotik. Tapi apa yang bisa dilakukan ketika rezim berkuasa dengan sengaja dan sistematis menjalankan praktikpraktik liberalisme di segala aspek di mana negara hanya didudukkan sebagai “penjaga malam”. “Yang paling bertanggungjawab adalah para avonturir bermental budak yang dengan sukarela menjadi kacung dan jongos kapitalisme global. Mereka itu hidup dari funding-funding asing untuk menjalankan skenario neokolonialisme-imperialisme (Nekolim). Merekalah yang menjadi arsitek kebijakan-kebijakan yang membuat bangkrut Negara Indonesia,” tandas Agus geram. Tiga tahun ditinggal Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), bangsa Indonesia begitu rindu pada sufi besar tersebut. Rocky Gerung, Dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia menuturkan, “Gus Dur adalah investor peradaban majemuk Indonesia. Kita tahu bahwa capital gain-nya kemudian diambil oleh mereka yang sebetulnya ingin menghalangi demokrasi. Jadi di situ sebetulnya kecemasan kita, ada benih yang sudah ditanam, ditumbuhkan, tapi kemudian benih itu dirawat dengan cara yang salah. Cara yang salah itu yang menghasilkan ketegangan di hampir seluruh pelosok negeri ini. Jadi, tradisi untuk mengucapkan pikiran dan bertengkar hanya atas nama pikiran sekarang berubah menjadi semacam upaya untuk saling menghalangi akal sehat itu diucapkan. Dalam soal itu, kita rindu pada Gus Dur.” Apa yang bisa diharapkan agar Indonesia menjadi lebih baik? Agus Sunyoto meningkahi, kini kita sedang menunggu proses terulangnya sejarah, di mana bangunan Negara yang telah ditegakkan oleh sebuah generasi mengalamai kegagalan lalu terjadi chaos. Lewat seleksi alam akan muncul pemimpin-pemimpin yang tangguh dan unggul membangun Negara baru dengan nama baru dan tentu dengan nilai-nilai kebhinnekaan yang sudah teruji hidup selama berabad-abad meski dengan nama Negara yang gantiberganti. Kim www.indiependen.com | www.indiependen.net
FOKUS
Pancasila Ideologi Paling Cemerlang
Bingky Irawan (Poo Sun Bing) Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia
“Meskipun fenomena sosial yang berkembang sekarang mengkhawatirkan namun saya masih yakin semangat Pancasila dan keBhinnekaan tetap langgeng. Masalahnya tergantung pada diri kita sendiri. Semrawutnya kondisi yang ada sekarang karena kita kurang memahami kaidah ajara agama masingmsing yang mengajarkan tentang cinta
Bingky Wirawan
Bhineka Tunggal Eka sebagai falsafah negara sekarang sudah tidak dihayati oleh bangsa Indonesia. Semakin banyak konflik sosial di sekitar kita, sentimen agama tak pernah lekang sebagamana yang menimpa jamaah Syiah di Sampanug, kaum miilitan melakukan pengeboman di beberapa wilayah, tawuran antar pelajar semakin liar, dan berbagai kasus kekerasan menyita pemberitaan media massa. Menanggapi fenomena tersebut para pemuka masyarakat mengudar pendapat berikut:
Ongko Digdoyo
kasih, menghormati antar sesama. Kita harus berani introspeksi pada diri sendiri karena dalam kehidupan kita sehari-hari sampai ajal menjemput kita tidak bisa sendiri. Sejak lahir butuh bidan dan sampai dewasa, tidak bisa lepas dari hubungan orang lain. Begitu juga saat berbisnis, misalnya membuka toko, yang membeli tentu bermacammacam. Ada yang beragama Budha, Kristen, Islam, dan lain-lain. Malah kalau kita batasi maka bisnisnya justru tidak bisa jalan.”
Ongko Digdoyo
Buddhis Education Centre Sebetulnya Indonesia sejak dulu sudah dibangun dalam kebersamaan yang begitu rukun. Hanya saja teman-teman mengatakan bahwa penyerahan tongkat estafet yang kita alami tidak dikawal dengan baik, padahal sejak awal kemerdekaan para pendri bangsa sudah meyiapkan landasan yang bagus bagi pengembangan Indonesia ke depan. Jika saya disuruh menilai tentang dinamika kemasyarakatan yang diwarnai kekerasan sebetulnya yang macam-macam seperti itu kan nggak banyak, secara keseluruhnan bangsa kita masih menjunjung tinggi kebinnekaan. Kalau dirasa mengganggu memang mengganggu tapi kita tidak perlu panik menghadapi dinamika yang sedang berlangsung. Lalu bagaimana kita membangun harapan? Memang pada waktu mendatang kita membutuhkan kepemimpinan yang kuat, meski membutuhkan waktu namun saya yakin kita akan menemukannya. Hal itu bisa menyimak pemilihan Gubernur Jakarta yang dimenangkan oleh pasangan yang sederhana namun tegas. Saya pikir itulah proses pemulihan Indonesia ke depan. www.indiependen.com | www.indiependen.net
Bambang Noorsena
Bambang Noorsena Kristen Ortodok Syria
Menurut saya, dalam konteks pergulatan bangsa di tengah-tengah problem kemajemukan, Pancasila tampil sebagai ideologi yang paling cemerlang, khususnya apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain dalam pergulatan nasional mereka, meskipun problem kemajemukan kita jauh lebih kompleks. Salah satu faktor, kita memiliki pijakan historis dan filosofis yang jauh lebih kuat. Kita bisa membandingkan, Ernest Renan mengucapkan pidatonya yang terkenal Qu’est ce qu’une Nation? –“Apakah suatu Bangsa itu?”, di Universitas Sorbone, Prancis tahun 1882. Renan menekankan bahwa agama tidak bisa menjadi landasan kokoh berdirinya suatu bangsa, mungkin setelah ia melihat perpecahan Belanda dan Belgia, yang salah satu faktornya karena kepentingan wilayah Belgia yang mayoritas Katolik tidak dapat merasa terakomodasi oleh pemerintah pusat Belanda yang mayoritas Protestan. Dalam hal tumbuhnya kesadaran mengelola kemajemukan masyarakat, di Barat − yang memang relatif sebagai suatu yang sangat baru − dapat dibilang sangat lambat. Kita memiliki pijakan historis yang lebih kokoh. Jauh sebelum Barat menyadarinya, seloka Bhinneka Tunggal Ika, sudah diperkenalkan lebih kurang 600 tahun sebelumnya (1340), bahkan jauh sebelum munculnya kesadaran Pluribus Unum-nya Amerika, karena memang ketika Mpu Tantular menulis karyanya, saat itu Amerika belum lahir.
Ki Agus Sunyoto
Dosen Fak. Ilmu Budaya Unibraw Malang Pasca runtuhnya komunisme, kapitalis menjadi satu-satunya pemenang sekaligus penguasa dunia. Tatanan dunia pun diubah dalam konteks hegemoni
Ki Agus Sunyoto
Sebuah contoh lagi, 10.000 tahun sebelum Masehi sampai 8.000 SM, itu terjadi eksodus besar suku Wajak, yang sekarang lokasinya bernama kawasan Campur Darat di Tulungagung, Jawa Timur. Kelompok itu menunju dua pulau, Aino dan Jumono di Jepang. Kemudian beranak pinak menjadi bangsa Jepang. Memang kadang ada orang yang menyangsikan, apa pendapat saya ini bisa dipercaya? Lho kalau saya ngomong ini masak ndobos ? Tidak mungkin saya ngomong tanpa membaca.
Gus Luthfi Muhammad
kapitalis menguasai dunia di mana negara kapitalis melanggengkan imperialismenya dengan menempatkan posisinya sebagai negara pusat (core) yg menjadi tempat bergantung negara-negara dunia kedua dan ketiga yang berkedudukan sebagai negara pinggiran (periphery). Untuk “menutupi” imperialismenya negara kapitalis merancang tatanan baru sebagaimana dikemukakan Samuel P. Huntington dalam buku The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, di mana pasca runtuhnya komunisme yang terlibat konflik bukan lagi golongan sosialis-komunis yang mewakili proletar dengan golongan kapitalis-liberal yang mewakili borjuis, melainkan yg terlibat konflik adalah peradaban Barat yang diwakili Kristen dan peradaban Timur yg diwakili Islam dan Konfusius. Begitulah, perang antara Kristen dengan Islam menjadi fenomena di manamana dengan akibat langsung dan tidak ada satu orang pun membincangkan sepak terjang kapitalis mencaplok kekayaan negara-negara dunia ketiga.
Gus Luthfi Muhammad
Pengasuh PeNUS Ma'had Teebe Indonesia Bagi bangsa Indonesia sebenarnya masalah kebhinekaan itu tidak pernah jadi masalah karena kita sudah terbiasa plural. Kebhinekaan itu sunnatullah dan itu sama dengan heterogin. Kalau ada yang menilai pemahaman masyarakat kita atas Pancasil semakin pudar karena masyarakat kita latah. Pertama karena tidak mengerti sejarah, dan kedua latah. Misalnya, yang bersekolah di Arabia ketika pulang otaknya menjadi Arab. Yang sekolah di Amerika ketika pula jadi American, yang Belanda Nederland, yang Pakistan menjadi Pakistani. Padahal Indonesia itu lebih hebat tapi orang-orang itu.Karena tidak mempelajari sejarah kemudian terperangah pada negara lain.
Hadi Pranoto
Hadi Pranoto
Ketua DPD Keluarga Besar Marhaen Jatim Namun bagi Indonesia yang pluralistis, yang berkomitmen melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum dan menegakkan hak azasi setiap warga negara melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tertib, damai dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap atas perlindungan agama, diri pribadi, kehormatan, martabat dan harta benda. Maka perseteruan atau benturan antar kelompok masyarakat atau konflik sosial jelas merupakan gangguan Kesalahannya terletak pada terjadinya erosi kesadaran dan keimanan bahwa sebenarnya perbedaan itu semuanya merupakan manifestasi daripada keesaan. Dalam satu keluarga jelas terdapat perbedaan. Selama perbedaan itu tidak dipertajam dan dibenturkan, maka tidak terjadi perceraian. Dari segi keimanan semua agama mengaminkan bahwa Tuhan Pencipta alam semesta dengans egala isinya. Bila kita takut danmenyembah serta menghormati Sang Maha Pencipta, maka kita menghormati sesame ciptaan-Nya Strategi kebudayaan yang mesti dikembangkan untuk membangun kesadaran akan keindonesiaan sekarang adalah kembali kepada semangat Trisakti Bung Karno. Berkepribadian dalam budaya, Jelas disesuaikan dengan jamannya. Namun inti dari kepribadian itu adalah tenggang rasa dan gotong royong. Sifat toleransi itu pula yang memungkinkan peradaban Hindu, Budha, Islam, Kristen, bisa diterima dan berkembang secara damai di muka Nusantara ini. kim indiependen | EDISI 4 | 2012
5
FOKUS
Tidak Ada Bahasa Tentang Imaji Indonesia Masa Depan D
ALAM percakapan bersama Rokimdakas dan Cahyo Sudarso, sosok nasionalis ini mengurai berbagai problem kemasyarakatan beserta solusi alternatif yang bisa dilakukan jika kita mempunyai kemauan untuk memperbaiki kondisi Indonesia. APA YANG PATUT KITA RENUNGI ATAS SUMPAH PEMUDA? Dulu, ketika bangsa ini menghadapi kolonialisme Belanda rela meninggalkan etno nasionalisme untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda sebagai bangsa Indonesia. Bertanah air Indonesia lalu masalah kedaerahan dilupakan. Itu bisa terjadi karena adanya kesadaran dan spirit yang bisa dikonsolidasikan, imajinasi yang dikonsolidasikan sedangkan sekarang hal itu tidak ada lagi karena imajinasi tentang keindonesiaan tidak terkonsolidasi, masa depan Indonesia seperti apa tidak terkonsolidasi, musuh bersamanya juga tidak terkonsolidasi di dalam kesadaran rakyat. Padahal musuh bersama itu tetap hadir. Demokrasinya liberal, ekonominya neoliberal. Karena pemerintah tidak mempunyai strategi kebudayaan yang jelas dan paradikmatis pada akhirnya rakyat tidak ada gembalanya. Imajinasi keindonesia seperti apa, tidak terbangun. Kalau dulu, Indonesianya belum ada, duwit juga belum punya tapi bagi rakyat, Indonesia itu jelas arahnya. Dalam konteks sekarang semangat Sumpah Pemuda itu sebenarnya sangat relevan tanpa jadi romantisme, nilai-nilai itu harus menjadi inspirasi bagi para pemimpin, bagaimana menghidupkan kesadaran bernegara dalam kehidupan rakyat dengan mambangun kesadaran akan musuh bersama. UNTUK MENGGUGAH KESADARAN BERSAMA PERLU DITAMBAHKAN TEKS BARU DALAM SUMPAH PEMUDA, PENDAPAT ANDA? Bisa saja tetapi kalau musuhnya korupsi tampaknya kurang kuat karena itu hanya menyangkut manajemen. Apakah dalam menangani korupsi bisa menjadi musuh bersama yang bisa mengkonsolidasikan bangsa ini? Kalau dari spirit Sumpah Pemuda, tampaknya tidak bisa. Karena korupsi itu isu manajeman dan bukan isu yang paradigmatis. Oleh sebab itu neoliberalisme cukup memenuhi syarat untuk menjadi musuh bersama. Kalau pemerintah fokus ke korupsi, itu tidak salah tapi tidak dipakai sebagai isu yang bisa mengkonsolidasikan keindonesiaan. KITA MEMBUTUHKAN PEMIMPIN BANGSA YANG BISA MENJELASKAN PARADIGMA DAN KEBIJAKAN JUGA BERANI MENJADI LOKOMOTIF
6
indiependen | EDISI 4 | 2012
Oleh: Bambang Budiono
Bulan Oktober bagi sebagian masyarakat Indonesia menjadi waktu yang ditunggu-tunggu untuk kembali menggugah semangat kebersamaan di tengah dinamika kehidupan berbangsa yang kian liberal. “Problem kita sekarang adalah tidak adanya fantasi keindonesiaan dalam pikiran rakyat sebagaimana yang pernah berkembang di masa penjajahan,” tutur Bambang Budiono, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Surabaya.
PERGERAKAN SELURUH Jadi kegelisahan itu hanya RAKYAT. di kalangan aktivis dan Memang sangat butuh. beberapa orang dan tidak Kalau saya melihat ada merata di seluruh lapisan proses keindonesiaan yang masyarakat. terputus sejak orde baru, adanya desukarnoisasi, DULU KAN JUGA TIDAK politik no – pembangunan MERATA? yes, lalu paradigma Benar dulu memang utamanya modernisasi tidak merata tapi ada yang orientasinya pada faktor eksternal yang pertumbuhan ekonomi. menyambut. Kalau dulu Waktu itu rakyat tertindas, ada pemimpin bangsa yang terpinggirkan, tapi berpidato, menyajikan Bambang Budiono tidak punya imajinasi tulisan, sehingga keindonesiaan. Tidak berani melawan kegelisahan itu bertemu di satu titik, karena rezimnya otoriter. Ini yang Sumpah Pemuda. Sedang pada zaman menyebabkan ketertindasan tidak kita sekarang, mungkin hanya kita dan menjadi pemberontakan, tapi hati beberapa jaringan yang merasa gelisah, nurani mereka tidak punya kesetiaan ini yang bergerak ke bawah sementara dan solidaritas pada Indonesia, mereka para pemimpin tidak, mereka tidak ketakutan pada rezim. bergairah tentang keindonesiaan. Tidak ada bahasa yang memberikan APA PERLU ADA SUMPAH PEMUDA imajinasi tentang keindonesiaan masa BARU KETIKA PEMERINTAH BELUM depan. Misalnya, bangsa Indonesia JUGA MAMPU MENUMBUHKAN sekarang tertindas oleh neolib, terhisap SEMANGAT KEINDONESIAAN? oleh kerakusan neolib dan macamBegini. Kalau saya melihat, Sumpah macam, bahasa-bahasa seperti ini yang Pemuda bukan sesuatu yang datangnya bisa menggugah fantasi keindonesiaan. dari luar tapi merupakan kristalisasi dari gelora rakyat yang disulut oleh kondisi TAMPAK ADANYA SALAH KAPRAH. sosio politik, etno centris dengan imajinasi ORANG-ORANG YANG MENGENDALIKAN keindonesiaan yang disodorkan melalui ORGANISASI KEPEMUDAAN SEKARANG pidato, teks, tulisan para pemimpin USIANYA SUDAH UDZUR ANTARA 40 bangsa, baru kemudian terbentuk. SAMPAI 50 TAHUN LEBIH. Persoalannya sekarang adalah gelora Dari sisi demografis memang kegelisahan mengenai keindonesiaan itu ada variabel tersebut. Dimana para kan masih samar-samar, tidak merata. pemimpin yang menggelorakan
nasionalisme relatif lebih muda. Misalnya Bung Karno masuk ke kancah politik itu usianya 16 tahun, pada umur 27 tahun sudah mendirikan partai. Begitu juga Bung Hatta, Sjahrir, dan yang agak tua-tua Tjokroaminoto, Budi Utomo dan lainlain. Tapi secara demografis dikuasai para pemuda. Sekarang, banyak anak muda yang terserap di dunia pendidikan tapi tidak di dunia pergerakan, mahasiswa-mahasiswa pokoknya sudah sekolah ya sudah. Kalau berbicara masalah organisasi kemasyarakatan, usia orang-orangnya ya berkisar 40 sampai 50 tahun lebih yang jadi pemimpinnya. Mereka sudah tergolong kakek-kakek. Sementara anak-anak SMAnya tidak terkonsolidasikan. Kalau dulu, di luar kepanduan, anakanak SMA sudah dibangun kesadaran politiknya. Dulu, NU sebagai partai punya organisasi untuk anak-anak SMA, juga Muhammadyah dan PNI punya sayap di tingkat siswa. Sekarang, negara malah tidak mengurus pramuka. Pertamatama orientasi mereka diarahkan ke masalah prestasi belajar yang bagus. Kalau sekarang hanya berkisar masalah matematika, bahasa inggris atai IPK yang bagus. Tipikalnya lebih ke pengetahuan daripada ke soal moral. Jadi kalau kita bicara masalah pemuda, mungkin orang-orang 98 yang di zaman Soeharto menjadi aktivis yang akan bisa bergabung, di luar zaman Soeharto sudah tidak punya spirit itu karena negara tidak mengarahkan pengembangan spirit seperti itu. Ini dinamakan lose generation, generasi yang hilang. Selama 32 tahun diintervensi oleh pembangunanisme dan yang terbangun adalah generasi yang pragmatis. Lha kalau kita berteriak Sumpah Pemuda, prasyarat politiknya di basis massa tidak cukup. Sumpah Pemuda tampaknya hanya dibacakan saja, tapi apa pentingnya ucapan-ucapan seperti ini? APA BEDANYA DENGAN TEMPO DOELOE? Dulu sangat penting, Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Minahasa Bond, Madura Bond, Pemuda Betawi dan lain-lain dibutuhkan untuk bersatu melawan musuh bersama. Kini spirit kedaerahan itu masih ada dan menguat, lalu spirit keagamaan mengancam Indonesia, tapi prasyarat politik untuk melawan ancaman keindonesiaan itu tidak ada karena mentaliitas pemudanya pragmatis. Sehingga kalau teks Sumpah Pemuda dibacakan, anak-anak muda memang merasa hafal tapi apa maknanya bagi realita politik Indonesia ke depan? www.indiependen.com | www.indiependen.net
FOKUS
Poetoesan Congres
Pemoeda-Pemoeda Indonesia 1928
Penyelenggaraan Kongres Pemuda yang berlangsung pada tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta menjadi tonggak yang sangat penting bagi terbentuknya impian bersama tentang sebuah negara yang bernama Indonesia. Sebagai catatan bersejarah perlu kiranya kita mengetahui keputusan kongres yang diikuti oleh berbagai elemen kepemudaan dari berbagai daerah yang rela meleburkan diri demi satu cita-cita. Berikut keputusannya:
KERAPATAN pemoeda-pemoeda Indonesia diadakan oleh perkoempoelanperkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan dengan namanja Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar2 Indonesia. Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 dinegeri Djakarta. Sesoedahnja mendengar pidato-pidato pembitjaraan jang diadakan didalam kerapatan tadi. Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini. Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
PERTAMA:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.
KEDUA:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.
KETIGA:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia. Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja:
KEMAOEAN - SEDJARAH - BAHASA - HOEKOEM ADAT PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN Dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.
S
AYA pikir kita masih dan akan senantiasa ingat permintaan Bung Karno: Beri aku seribu orang tua, akan kucabut Semeru dari akarnya, beri aku seorang pemuda, akan kuguncangkan dunia. Yang layak kita renungkan adalah, pemuda seperti apa yang kita berikan kepada Bung Karno dalam keadaan Indonesia yang berantakan seperti ini? Apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini, yang carut marut, tentu saja tidak lepas dari para tokoh-tokoh negeri ini. Tokoh-tokoh negeri ini, adalah para pemuda 17 tahun yang lalu, yaitu pemuda yang berkembang dalam “atmosfir orde baru”. Maka sebaik-baik seribu orang tua “produk atmosfir orde baru”, tak kan lebih hebat dari seorang pemuda produk Sukarno yang sanggup mengguncang dunia. Saya tidak bermaksud menyakiti hati seseoang, karena saya, dan kita paham bahwa banyak orang tidak menyadari jika jiwanya telah terkuasai oleh budaya asing. Kecuali, jika seseorang itu dengan segenap kesadarannya menyedakan diri menjadi antek asing, antek imperialisme. IMPERIALISME BUDAYA Imperialisme ialah politik untuk menguasai bangsa lain untuk kepentingan diri sendiri dengan atau untuk imperiumnya. Menguasai, tidak harus berarti merebut paksa dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dilakukan dengan kekuatan ekonomi, teknologi, ideologi, musik, film, atau sebut saja : budaya. Maka, dalam domain budaya, dikenal pula istilah imperialisme kebudayaan. Dalam imperialisme kebudayaan (Herb Schiller,Communication and Cultural Domination.1973), si imperialis bermaksud melenyapkan kebudayaan suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, sehingga menjadi sama atau menyatu dengan jiwa si imperialis. Kita www.indiependen.com | www.indiependen.net
~SUMPAH PEMUDA 2012~
Berbudaya Satu Budaya Indonesia tahu, dalam kebudayaan terletak jiwa suatu bangsa. Jika budaya suatu bangsa sudah terkuasi, maka tekuasailah seluruh jiwa bangsa itu. Dan, itu berarti segalanya, termasuk harta kekayaan bangsa pun dilalap habis. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena infiltrasinya gampang. Bahkan dirasakan sebagai suatu yang menyenangkan bagi bangsa yang diserang. Dan, jika budaya sudah terkuasai, akan sulit sekali bangsa tersebut membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak pernah sanggup membebaskan diri. Maka dapat dipahami bahwa perang budaya adalah perang dengan investasi paling murah. Perang budaya ini malah menghasilkan sejumlah keuntungan secara komersial. Pernahkan anda bayangkan, berapa banyak uang kita disedot oleh CD musik dan film asing? Berapa banyak uang kita disedot oleh makanan dan minuman produk asing yang dianggap oleh kaum muda kita sebagai makanan dan minuman bergengsi? Lebih dari segalanya, berapa banyak jiwa pemuda kita yang telah tersedot oleh si imperialisme budaya ini? BUDAYA AS-ING Sungguh sangat kasat mata, remaja dan kaum muda Indonesia telah menjadi konsumen beragam produk AS-Ing. Mulai
dari burger, kentang goreng, minuman bersoda, CD, musik, film, pakaian, telpon genggam, hingga piranti lunak dan keras komputer, dsb. Media massa pun (entah disadari atau tidak) terutama melalui iklan, telah menyebarkan semua produk budaya asing ke segenap penjuru negeri. Dalam hal ini, produk yang mereka populerkan tidaklah sekedar junk-food atau fast food, tetapi juga bahasa, tradisi, sistem nilai, norma sosial, ekonomi dan politik. Maka, jadilah masyarakat Indonesia pembelajar bahasa AS-Ing, berdemokrasi ala Barat, menerapkan kiat-kiat manajemen gaya AS-Ing, menganut pasar bebas atau faham neo-lib. Akankah Sumpah Pemuda diganti dengan: berbahasa satu Bahasa AS-Ing, berbangsa satu Bangsa AS-Ing, dan bertanah-air satu Tanah-air AS-Ing? Sungguh tidak sulit merasakan pengaruh budaya AS-Ing, terhadap perilaku generasi muda Indonesia masa kini. Budaya tradisional nyaris terkikis habis. Budaya tradisional adalah adalah identitas suatu bangsa. Jika budaya tradisional ini sudah ludes, dan tergantikan budaya si imperialis, maka lenyap pula bangsa tersebut menjadi satu dengan bangsa si imperialis. Sejujurnya, dalam “terawangan” saya, tidak hanya kaum muda tapi kaum tua pun
banyak yang telah terkuasi oleh budaya AS-Ing. Sebagian kaum tua itu seolah bukan hanya merestui tetapi juga memfasilitasi kaum mudanya tergerus oleh budaya AS-Ing. Akibatnya, budaya AS-Ing tidak terasa asing lagi bagi sebagian besar warga Indonesia. Sebaliknya mengenakan busana beskap dan blangkon, malah menjadi orang asing di negeri sendiri. PEMUDA PRODUK SUKARNO Maka, dalam renungan ini saya berharap, agar setiap seribu orang tua -meski sanggup mencabut Gunung Semeru- agar berhenti merestui apalagi memfasilitasi kaum muda untuk meninggalkan budaya kebanggaan negeri kita. Kepada kaum, muda sadarilah serbuan imperialisme budaya ini, atau anda kehilangan nusa dan bangsa anda. Tidak ada salahnya kita memfaatkan teknologi canggih, Tidak ada salahnya memperalat bahasa AS-Ing untuk berkomunikasi mencapai kemakmuran bangsa. Tetapi kita tetap satu nusa, satu bahasa, satu bangsa Indonesia. Sebagai orang tua, impian saya yang satu ini bukan sekadar khayalan. Indonesia yang berdiri di tahun 1945 adalah produk pemuda 17 tahun sebelumnya dengan sumpahnya di tahun 1928. Kalau pemuda Gajah Mada bersumpah “datan hamengku palupi” sebelum terbentuk Nusantara bersatu, seperti apakah sumpah pemuda Nusantara 1912? Maka... Wahai pemuda, bersumpahlah, berilah Bung Karno satu pemuda yang sanggup mengguncang dunia. Dan, pemuda itulah pemimpin Indonesia 17 tahun yang akan datang. Pemuda seperti Sukarno, satu-satunya pemimpin di dunia, yang sanggup menyatukan duapertiga penduduk dunia dalam The New Emerging Forces, yang anti segala bentuk imperialisme. Yon Noroyono indiependen | EDISI 4 | 2012
7
FOKUS Prof Dr. Sam Abede Pareno
P
Organisasi Kepemudaan Sekarang Ideologinya Tidak Jelas
ROF Dr. Sam Abede Pareno, mantan aktivis ’66, aktor teater dan film ini terlibat perbincangan bersama Rokimdakas dan Cahyo Sudarso dari Indiependen di ruang kerjanya. Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Dr Sutomo Surabaya tersebut mengurai opininya berdasar pembacaan terhadap dinamika sosial politik masa kini. KARENA PARTAI POLITIK MENJADI ALAT RESMI DALAM MENANGANI MASALAH NEGARA MAKA BANYAK ANAK MUDA BERKARIER SEBAGAI AKTIVIS PARTAI, PENDAPAT ANDA? Kalau kita membaca sejarah di seluruh dunia, tidak ada gerakan rakyat, gerakan semesta, perlawanan semesta, atau suatu pembaharuan di suatu negara yang dilakukan oleh pemuda kader partai politik. Yang ada adalah kebangkitan dari seorang tokoh yang tidak mau berada dalam mainstream. Dia bosan, dia jenuh, lalu dia memberontak kepada mainstream. Dari sana dia muncul menjadi tokoh dengan visi dan misi yang jelas sehingga menjadi orang penting dan dipercaya rakyat. Ingat Tan Malaka? Sebenarnya dia yang bercita-cita menjadi presiden, bukan Bung Karno. Cita-cita itu dikembangkan secara teratur sebagai seorang kader. Saya sebut kader karena waktu itu dia aktif di partai politik sosialis tingkat internasional. Betapa dahsyatnya dia. Meski dia yang bercitacita menjadi presiden, tapi dia tidak laku. Kenapa yang laku dan diterima rakyat justru Bung Karno?. Karena faktor tadi, Bung Karno tidak berada dalam mainstream. Bung Karno meski berkiprah di partai politik tetapi dia yang mendirikan, bukan kader atau dilahirkan oleh pimpinan partai politik. Begitu halnya terahdap Tjokroaminoto, meski menjadi salah seorang gurunya Bung Karno yang menggerakkan Sarekat Islam tetapi Bung Karno tidak menyuarakan Sarekat Islam. Bung Karno juga pernah belajar agama pada ulama besar A. Hassan pimpinan umum Persis = Persatuan Islam – di Bangil, Pasuruan juga Bung Karno tidak menjadi kadernya Persis. Jadi, orang-orang yang melahirkan revolusi, yang membebaskan bangsa dari penjajahan, tidak pernah berada dalam mainstream. Maka kalau kita sekarang mencari pemimpin, perlu ditanyakan mana figur pemimpin semacam itu. Kalau kita mengharapkan kader-kader partai politik ya tentu akan menemukan kader-kader dengan pikiran partai yang notabene pikiran-pikiran orang tua. APA SEBAB PIMPINAN PARTAI SEKARANG TIDAK BISA MELAHIRKAN POLITISI HANDAL? Memang saya melihat, pimpinan partai yang ada sekarang ini bukan seorang talent schott atau pemandu bakat. Contoh yang gampang, Teguh pimpinan Srimulat merupakan pemandu bakat yang ampuh, Karena yang dia lakukan ternyata bukan hanya untuk mempertahankan Srimulat
8
indiependen | EDISI 4 | 2012
Krisis kepimpinan nasional dewasa ini bisa menjadi petunjuk gagalnya regenerasi. Tokoh-tokoh sentral di pentas politik masih saja didominasi orang-orang tua. Lantaran andrenalinnya sudah hilang, mereka sudah tidak lagi memiliki keberanian untuk melakukan langkah-langkah revolusioner. Gerakan yang mereka lakukan nyaris tidak berdampak karena dibebani banyak kepentingan. Sementara kondisi bangsa kita masih jauh dari cita-cita ketika republik ini dibentuk oleh para leluhur. tetapi demi melahirkan kader-kader komedian. Ketika Srimulat sudah tidak ada maka kadernya tetap eksis dimana-mana. Ciri seorang pemandu bakat adalah tidak selalu memilih calon pemimpin dari kalangan sendiri. Coba Lihat sekarang yang memimpin Jakarta dan ingin menjadikan ibukota sebagai Jakarta Baru ternyata bukan orang Jakarta, juga bukan kader Jakarta. Jokowi orang Solo, orang desa dan wakilnya Basuki ‘Ahok’ dari Belitung. Lihat juga Abraham Samad. Anak muda itu kader siapa? Berasal dari Makassar, ketika pemilihan ketua KPK, publik sama sekali tidak mengenal figur tersebut. Tapi karena visi misinya bagus, ya akhirnya
dia yang terpilih. Kemunculan pemimpin seperti itu selalu surprise. Satu hal lagi yang menjadi kekuatannya adalah mereka punya style sendiri, tidak sama dengan tokoh lain. APA MASIH BISA DIHARAPKAN KEMUNCULAN PEMIMPIN MUDA? Saya tidak terlalu skeptis bahwa kita akan sulit menemukan pemimpin muda. Akan tetap bermunculan pemimpin muda, tampaknya kita tinggal tunggu waktu saja. Ini sunnatullah, takdir alam. Sunnatullah itu selalu begitu, akan muncul pembaharu dari kalangan muda. Apalagi kalau kita percaya dengan ajaran Joyoboyo. Nanti akan muncul penyelamat kalau negara itu sudah berada di ambang kebangkrutan. Penyelamat itulah yang akan membangkitkan kembali negara ini. Tapi kapan itu terjadi, ya kita tunggu saja negara ini lebih kacau-balau, iya kan? Masalahnya kalau kita bicara tentang pemuda yang berhubungan dengan organisasi kepemudaan apapun namanya, seperti KNPI pasti di bawah bayang-bayang induknya. Ansor dengan NU-nya, Pemuda Muhammadiyah dengan PP Muhamadiyahnya, FKKPI dengan purnawirawannya, mana bisa mereka ke luar dari sistem yang saya bilang mainstream itu.
DALAM KEADAAN MENUNGGU APA YANG BISA DILAKUKAN? Ya tentu saja bersabar sambil tetap berupaya memperbaiki keadaan sebisabisanya, sesuai kemampuan kita. Tapi yang anda persoalkan tadi kan tokoh nasional yang mampu mengubah keadaan sekarang ini. Tokoh nasional seperti apa, ya tadi, tidak bisa dikader. Saya juga tidak percaya bahwa nanti akan muncul figur satrio piningit. Satrio piningit itu artinya pasif, bukan dalam bingkai pengertian sekarang dipingit atau disimpan terus nanti dikeluarkan. Tidak ada satrio piningit itu. Bukan itu maksudnya. Nanti pasti akan ada figur atau potensi kepemimpinan yang akan muncul di tengah masyarakat sebagai pemimpin alternatif. Jadi,
tidak ada mitos seperti satrio piningit segala. Pemimpin itu akan muncul secara mengejutkan, tidak terbayangkan sebelumnya. Apa kita dulu sudah membayangkan kalau Abraham Samad akan memimpin KPK?. Juga Jokowi, walikota yang kurus, sederhana dan apa adanya, ternyata kan berhasil memenangi Pilgub Jakarta. LALU APA YANG BISA DIHARAP DARI ORGANISASI KEPEMUDAAN SEKARANG INI? Selama organisasi kepemudaan “ideologinya” tetap seperti sekarang maka akan tetap berebut kekuasaan, pekerjaan serta mementingkan golongannya. MANA ADA ORGANISASI KEPEMUDAAN YANG IDEOLOGINYA JELAS? Ideologi kan suatu keyakinan terhadap sesuatu yang harus diperjuangakan, ya itu tadi, perebutan kekuasan, pelanggengan kekuasaan, bila perlu sikut sana sikut sini, menebar money politic dan seterusnya. Itu yang namanya ideologi sekarang. Di bidang politik itu sebetulnya pragmatisme, bukan ideologi. Kita sekarang memang sedang berada dalam budaya pragmatisme. ITU DAMPAK LAIN DARI NEOLIBERAL?
Sebenarnya liberalisme itu ajaran ekonomi yang pertama kali diajarkan Adams Smith lewat bukunya ‘World of Nation’, yang menjadi bacaan wajib mahasiswa fakultas ekonomi. Disitu dia mengatakan, biarkan saja pasar ini. Nanti akan mengatur sendiri, ada tangantangan tersembunyi, imposible hand. Itu liberalisme namanya, sehingga muncul free market, pasar bebas, tidak usah ngatur-ngatur pemerintah. Alam tetapi pada perkembangannya muncul neoliberalisme, ini lebih kejam dari apa yang diajarkan Adams Smith. Potensi pasar dikuasai semua, memaksakan dan mempengaruhi segala sektor kehidupan di luar ekonomi, agar neoliberalisme itu berjalan. AKIBATNYA YANG LEBIH PARAH? Neolib itulah yang pada akhirnya melahirkan konsumerisme dan hedonism. Buat apa susah-susah, tinggal beli sajalah. Lalu freeport disewakan, juga blok Cepu, jual, saham Indosat dijual dan macammacam. Daripada susah-susah mengelola sendiri potensi-potensi itu dijual atau dikontrakkan, itulah hedonisme dan pragmatisme. Tapi kita tidak bisa menyalahkan neolib, tidak bisa kita mengambing-hitamkan neolib, karena itu kesalahan bangsa kita sendiri yang lupa pada nilai-nilai warisan leluhur. MENURUT ANDA NILAI-NILAI APA YANG TELAH DILUPAKAN? Nilai-nilai yang sebenarnya milik kita adalah berdaulat di bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan sebagaimana yang diajarkan Bung Karno dalam Trisaksi. Sebenarnya republik Indonesia ini didirikan adalah untuk melawan kapitalisme, bahasa politiknya ya neolib. Sebenarnya negara kita ini adalah negara sosialis. Tapi dalam undangundang tidak ada itu namanya sosialisme itu. Adanya hanya dalam wacana politik yang dikembangkan oleh pemimpin-pemimpin kita. Di dalam UUD yang masih asli yaitu UUD ’45 yang belum diamandemen napasnya adalah sosialisme. Namun ini yang tidak diwujudkan ke dalam produk undangundang yang ada, termasuk dalam undang-undang pendidikan. Jadinya kapitalis semua, seperti undang-undang pendidikan, padahal itu merupakan sumber pokok. Kalau undang-undang pendidikan nasional itu tidak kapitalistis maka akan melahirkan tokoh yang mengutamakan kemandirian. Tetapi yang mengkhawatirkan, saya dengar dari teman-teman di DPR RI, setiap kali ada pembahasan dan penyusunan undangundang selalu ditunggui oleh orang-orang kapitalis, bahkan mereka juga mendanai. Sampai-sampa terbitnya fatwa “merokok itu haram” ternyata organisasi yang menyerukan fatwa tersebut mendapat bantuan dari Yayasan Bloomberg, Washington, AS. Jadi semuanya sudah kapitalistik lalu mau jadi apa negara ini. Setelah Bung Karno itu tidak ada, wacana berbangsa dan bernegara ini sudah tidak ideal lagi. Semuanya berorientasi komersial, baik pribadi para elit maupun kelompoknya. www.indiependen.com | www.indiependen.net
FOKUS
Bloomberg Foundation, AS
Mendanai Gerakan Anti Rokok
T
ERNYATA program tersebut merupakan order dari Amerika Serikat. Itulah yang dilakukan Bloomberg Foundation (BF) di New York, AS yang mendanai aksi demonstrasi, kampanye anti rokok hingga penyusunan undang-undang tentang perdagangan tembakau. Yayasan Bloomberg didirikan oleh Michael R Bloomberg, Wali Kota New York City, Amerika Serikat. Dia salah satu orang terkaya di AS
dengan kekayaan bersih pada tahun 2012 sekitar 220 juta dollar US. Dia tercatat sebagai pemilik 88% saham Bloomberg LP, sebuah perusahan penyedia data keuangan global. Bloomberg selain dikenal sebagai pengusaha juga politikus. Demi menjalankan misinya, Bloomberg Foundation (BF) menebar dana ke banyak organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM dan organisasi profesi dengan memerintahan untuk melakukan kampanye anti rokok yang dampaknya bisa menggulung industri rokok dan kehidupan petani tembakau jadi morat-marit. Berikut daftar penerima dana yang dirilis Bloomberg Initiatives Grants Program: 1. Tahun 2010 BF “menyuap” PP Muhammadiyah sebesar Rp 3,6 miliar untuk menerbitkan fatwa anti rokok.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Apa yang diprediksikan Bung Karno ternyata benar. Pembuktiannya bisa disimak pada kiprah organisasi kemasyarakatan, LMS maupun organisasi profesi yang menggelar gerakan anti tembakau dengan retorika menggugah kesadaran masyarakat akan kesehatan.
dari BF. Tugasnya, mencari dukungan publik terhadap kontrol tembakau dan piagam PBB anti tembakau (FCTC). Lembaga ini mengeluarkan penelitian yang mengkritik sistem tata niaga perdagangan tembakau yang diklaim merugikan serta memiskinkan petani. 4. Lembaga Pusat Pengendalian Tembakau dan Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (Tobacco Control Support Centre-Indonesian Public Health Association/TCSC-IPHA) mendapat bagian yang besar. Dengan tugas membangun pusat kontrol koordinasi gerakan antitembakau, lembaga ini menerima 42.600 dollar US (Rp 5,1 miliar) pada Agustus 2007. Lalu pada September 2009, kembali mendapat 491,569 dollar US (Rp 4,620 miliar).
2. LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Juli 2010 menerima 45.470 dollar US atau sekitar Rp 427,418 juta untuk mengkonsulidasikan kampanye anti tembakau.
5. TCSC-IPHA (Tobacco Control Support Centre-Indonesian Public Health Association) kembali diguyur uang dari BF sebesar 200.000 dollar US (Rp 1,88 miliar) pada Desember 2011. Pada Januari 2009, lembaga ini menerima 12,800 dollar US (sekitar Rp 120,32 juta) untuk membuat pertemuan LSM antitembakau.
3. Indonesian Institute for Social Development pada September 2010 menerima 322.643 dollar US atau sekitar Rp 3,032 miliar
6. Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) ditugasi BF untuk memberi dukungan hukum bagi aturan bebas asap rokok di kota Jakarta. Forum ini menerima 225,178
www.indiependen.com | www.indiependen.net
dollar US (sekitar Rp 2,116 miliar) pada Juli 2010, atas jasanya itu. 7. Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (National Commission on Tobacco Control-NCTC) bekerja untuk Bloomberg demi melawan industri tembakau yang mensponsori industri musik dan film di Indonesia. Atas jasanya, mereka menerima 81.250 dollar US (sekitar Rp 763,75 juta) pada Desember 2009. Pada Februari 2011 BF kembali menyetor 112.700 dollar US (Rp 1,059 miliar) bagi lembaga ini. Pada Maret 2012, kembali dicairkan sebesar 110,628 dollar US (Rp1,039 miliar) demi mendorong lembaga itu mendapatkan dukungan politik dari pejabat pembuat kebijakan. Lembaga ini dipimpin Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prijo Sidipratomo, yang gencar berkampanye antikorupsi. 8. Di daerah, Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Semarang dibayar BF sebesar 106,368 dollar US (Rp 999,85 juta) pada November 2010 untuk mendorong Pemda Kota Semarang mengeluarkan Perda antirokok. 9. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Bali juga dibayar BF untuk mendorong dikeluarkannya Perda kawasan bebas rokok di Bali. Pada Januari 2012, mereka menerima Rp 300,5 juta.
10. Komunitas Tanpa Tembakau (No Tobacco Community) memperoleh 193,968 dollar US (Rp 1,823 miliar) pada Mei 2011 untuk mendorong keluarnya Perda Kawasan bebas Rokok di Kota Bogor, Jawa Barat. Sebelumnya pada Maret 2009, lembaga ini menerima gelontoran dana BF sebesar 228,224 dollar US (Rp2,145 miliar).
11. Selanjutnya adalah Swisscontact Indonesia Foundation yang menerima dana dari BF sebesar 360,952 dollar
US (Rp 3,392 miliar) pada Mei 2009 untuk melobi Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengeluarkan Perda Antirokok. Pada Juli 2011, lembaga itu kembali menerima 300.000 dollar US (Rp 2,820 miliar). 12. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga tercatat menerima aliran dana BF sebesar 454,480 dollar US (Rp 4,272 miliar) pada Mei 2008 untuk mendorong Perda Bebas Asap Rokok di empat daerah di Pulau Jawa. Setelah itu, dana 127.800 dollar US (Rp 1,201 miliar) dikucurkan lagi pada Januari 2011. 13. Dana BF juga disalurkan ke Yayasan Pusaka Indonesia yang ditugaskan untuk mengadvokasi Pergub Sumatra Utara untuk membuat kawasan bebas rokok di provinsi itu. Nilai dananya sebesar 32.010 dollar US (Rp 300,894 juta) yang dicairkan pada November 2011. 14. DPR pun tidak luput dari aliran dana BF. Lembaga ini mengucurkan dana sebesar 240,000 dollar US (Rp 2,256 miliar) kepada Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development (IFPPD) pada Maret 2011. Tujuannya adalah agar para anggota DPR periode 2009-2014 bersedia membantu pembuatan UU Kontrol atas Efek Tembakau terhadap kesehatan. Proyek itu juga bertujuan mencari dukungan Komisi I DPR agar mengakses Konvensi Antitembakau PBB (FCTC). YOK | sumber: Berita Satu indiependen | EDISI 4 | 2012
9
FOKUS BHINNEKA TUNGGAL IKA
Modal Dasar Mengokohkan Keindonesiaan
I
NDONESIA memiliki preseden sejarah yang jauh lebih kuat ketimbang bangsa-bangsa lain dalam mengelola kemajemukan masyarakat. Barat masih relatif baru mengawalinya. Karena itu, jauh sebelum orang-orang Barat memikirkan apa yang disebut dengan multikulturalisme, ratusan tahun yang lalu bangsa kita sudah mempunyai falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Fakta sejarah juga membuktikan, bahwa semakin banyak suatu bangsa yang menerima warisan kemajemukannya, maka semakin toleran bangsa tersebut terhadap kehadiran “yang lain”. Ambillah contoh negara-negara Islam di wilayah Asia dan Timur Tengah. Bukankah Mesir, Palestina, dan Lebanon yang sejak awal menerima warisan kemajemukan dan lebih heterogen masyarakatnya, jauh lebih toleran dan ramah sikap keagamaannya apabila dibandingkan dengan Saudi Arabia, Yaman, dan Pakistan yang masyarakatnya sangat homogen satu agama? Contohnya, Nasionalisme Mesir yang didominasi 2 agama besar, Islam dan Kristen Ortodoks Koptik, pada waktu revolusi nasional tahun 1919, afiliasi kebangsaan telah berhasil didefinisikan oleh partai Wafd. Kesadaran historis bahwa agama tidak bisa dijadikan dasar pemersatu Mesir, disuarakan oleh para pemimpin revolusi seperti Sa’ad Zaghlul, Musthafa al-Nuhas, Wisha Washif, dan rekan-rekan mereka, berbareng dengan dikenalkannya kredo nasionalis: al-Dîn lil Lah wa al-Wathan li al-Jami’ (Agama untuk Allah, dan Tanah air untuk semua). Pada dekade selanjutnya, khususnya yang menguat pada masa sekarang ini, kaum fundamentalis berusaha menolak kredo kebangsaan itu, dan menegaskan bahwa afiliasi keagamaan harus didahulukan di atas afiliasi kebangsaan. Contoh lain, Libanon yang memiliki 17 aliran keagamaan, satu-satunya negara Arab dengan dominasi Kristen Maronit, mereka dipersatukan oleh Nasionalisme Arab yang menuntut kemerdekaan dari Perancis pasca-perang Dunia II, dengan kredo nasionalisme mereka: Anâ al-‘Arabî qabla al-Islâm (Saya adalah orang Arab sebelum Islam). Namun sejak fenomena kebangkitan agama-agama menjelang dan pada abad XXI, afiliasi keagamaan kembali menuntut supremasinya atas afiliasi kebangsaaan. Negeri “Cedar Suci” ini akhirnya menjadi lahan subur tragedi kemanusiaan dan perang saudara selama 17 tahun (1978-1992), yang nyaris memecah belah Lebanon menjadi beberapa negara bagian. Untunglah, kaum nasionalis cepat bangkit menyadarkan mereka, bahwa pembagian Lebanon menjadi kavling-kavling negeri kecil yang akan
10
indiependen | EDISI 4 | 2012
Oleh: *Bambang Noorsena
BUNG KARNO: melemahkan jurnal foreign “Prinsip Ketuhanan. Bukan saja bangsa Indonesia mereka. affairs, sebuah ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia Lebanon jurnal bergengsi hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhannya menurut petunjuk kembali seputar tema Isa Al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi utuh, setelah politik luar Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan kesadaran negeri Amerika ibadatnya menurut kitab-kitab suci yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. kebangsaan Serikat. Kalau Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiapyang mengatasi cermat kita baca, tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan sektarianisme artikel ini turut cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada agama yang merekomendasikan „egoisme agama“. Dan hendaknya Negara Indonesia sempit dan kebijakan politik satu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, pengap itu, luar negeri jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara memulihkan Amerika Serikat. berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu dan Karena itu, artikel sama lain. Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi menyatukan Hunstington bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain.” mereka. tersebut tidak bisa Sebelum dibaca sebagai menajamnya studi akademis perbedaan murni dari seorang agama-agama guru besar ilmu pada era politik, melainkan sekarang, juga mengandung sebelum itu misi politik, India telah propaganda dan terpecah dengan agitasi. Pakistan karena Lebih seram alasan afiliasi dibandingkan keagamaan. dengan tesis Masih Karl Marx, yang banyak contoh memandang lain yang bisa bahwa faktor dikemukakan, penggerak sejarah bahwa konflikadalah benturan konflik yang dan konflik kelas, dilatarHunstington belakangi menarik konflik oleh afiliasi dalam skala yang kegamaan jauh lebih luas lagi, lebih kompleks yaitu benturan dibandingkan dan konflik ranah-ranah peradaban. Tesis lain, seperti ini telah berhasil masalah rasial, memobilisasi opini misalnya. publik Amerika Konflikdan Eropa untuk konflik mencari “kambing non-agama bisa saja mencair hitam” baru, yaitu Islam sebagai dengan meningkatnya kemakmuran “imperium kejahatan” yang harus masyarakat, kecanggihan teknologi dihadapi dengan perang salib baru, dan kesejahteraan umum, tetapi setelah “phobia komunisme” tidak lagi konflik agama belum tentu dapat efektif untuk menyatukan sentimen dilerai dengan semua itu. Tetapi masyarakat Barat. sejarah membuktikan, bahwa tidak ada Tesis ini justru telah berhasil kejahatan yang melebihi kejahatan memompa motivasi baru bagi kaum yang digerakkan oleh sentimen fundemantalis Islam, yang sebelumnya keagamaan. sudah ada, tetapi nyaris kurang Memang, situasi politik yang digubris oleh mayoritas umat Islam dimotivasi agama ini, tidak sendiri. Dan entah sadar atau tidak, bisa dilepaskan dari gerakan ketika George W. Bush menabuh fundamentalisme global sebagai “genderang perang” sebagai reaksi atas reaksi dari politik luar negeri peristiwa WTC, tanggal 11 September Amerika Serikat yang tidak adil. Tesis 2001, ia menyebut sebagai “perang Samuel P. Hunstington, The Clash salib baru”. Pernyataan ini, meskipun of Civilizations yang terbit tahun buru-buru dikoreksinya, justru 1993, turut menyuburkan pandangan membuktikan bahwa itulah “suara “determinisme historis” yang bawah sadar” Presiden George W. Bush memandang bahwa tindakan manusia sendiri. sangat ditentukan oleh sentimenDunia Arab sendiri cukup diresahkan sentimen bawaan dalam dirinya. dengan “tesis futurologis” ini, terbukti Dengan dalil ini, Hunstington telah dari koreksi Prof. Dr. Shalah Qansu, menetapkan Islam (tanpa melihat seorang guru besar Universitas Cairo, varian-varian di dalamnya yang sangat dalam “Kata Pengantar” terjemahan beragam) sebagai “musuh baru” dunia bahasa Arab buku Hunstington ini, Barat pasca-perang dingin. Saddâm al-Hadhârât wa ‘I’âdat Shun’in Buku ini mula-mula berasal dari Nidhâm al-‘âlamî. Patut ditekankan, artikel yang dipublikasikan dalam bahwa dunia Arab tidak dapat dianggap
mewakili Islam, antara lain juga terbukti dari sanggahan keras atas karya Hunstington ini berasal dari seorang intelektual Gereja Ortodoks Koptik, Dr. Milad Hana dalam bukunya, Qabûl al-âkhar: Min ajli Tawâshul Hiwâr al-Ha-dhârat, yang menilai tesis Hunstington tidak lebih sebagai model baru politik Devide et Impera (Memecah dan Menguasai). Pada hemat Hana, kesalahan teori Marx maupun tesis Hunstington terletak pada titik tolaknya yang “memusuhi yang lain” (rafdh al-akhar), padahal hukum alam membuktikan bahwa selalu ada 2 hal yang berbeda tetapi tidak harus selalu bermusuhan, bahkan bisa saling melengkapi. Milad Hana mengemukakan antitesis kultural yang disebutnya qabûl al-âkhar (menerima pihak lain), dan mencontohkan praktek budaya ini di Mesir. Dikemukakannya, bahwa Islam Mesir sangat jauh berbeda dengan Islam di Saudi, Pakistan atau Afghanistan. Mesir bisa mengembangkan budaya “menerima pihak lain”, karena karakter unik kebudayaan Mesir yang berasal dari akumulasi serpihan-serpihan aneka peradaban. Berakar pada peradaban kuno Firaun dari tahun 3500 SM, lalu peradaban Romawi-Byzantium, Kristen Koptik dan Arab Islam. Warisan aneka peradaban itu, telah melahirkan Islam Mesir yang khas: berwajah Suni, berdarah Syi’ah, berhati Kristen Koptik, dan bertulang peradaban Fir’aun. Itulah al-A’midah as-Sab’ah li asy-Syakhsyiah al-Mishriyyah (tujuh pilar kepribadian Mesir). Ungkapan ini dikemukakan Hana, ketika Presiden Anwar Sadat, demi mengambil hati kaum fundamentalis, mengatakan bahwa ia adalah Presiden Muslim di sebuah negara Islam. Mesir bukanlah Mesir tanpa unsur Koptik di dalamnya, karena memang negeri ini berpijak pada Mesir Kristen dan Mesir Islam. Intelektual Kristen Mesir peraih International Simon Bolivar Prize tahun 1998 ini, mencontohkan pula kehidupan antarumat beriman di Mesir pada masa sekarang. Disebutkan bahwa penampilan Syeikh al-Azhar yang teduh dan kedatangannya setiap perayaan Natal (khidmat miladiyah) turut memberikan citra keramahan Islam. Sebaliknya, tenda-tenda buka puasa bersama yang lebih populer disebut ma’idah al-rahman (Perjamuan Sang Pengasih), yang juga rutin diselenggarakan oleh pemimpinpemimpin Gereja Ortodoks Koptik, menjadi simbol persatuan nasional, wihdah al-wathani.
BAMBANG NOORSENA
Budayawan dan Pengamat Kebangsaan. Makalah ini disampaikan pada BP MPR.
www.indiependen.com | www.indiependen.net
DUKUNG KPK
REVISI UU KPK
DPR Khianati Rakyat
R
IAK reaksi pun pun serentak bermunculan dari berbagai kalangan. Meski tanpa aba-aba, suara mereka nyaris sama : KPK tidak boleh dimandulkan, tapi harus lebih dikuatkan. “Sebagai lembaga utama pemberantasan korupsi, KPK perlu terus ada dengan kewenangan penyidikan dan penuntutan seperti sekarang,” tegas Ketua F-PKS, Hidayat Nur Wahid, dalam pertemuan dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta (27/9). Menurut Hidayat, PKS memiliki semangat yang sama dengan KPK dalam pemberantasan korupsi. KPK jangan diperlemah, tapi justru harus diperkuat. “Kami menolak jika revisi UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK justru untuk melemahkannya,” kata Hidayat menegaskan sikap PKS. Niat sebenar-benarnya DPR untuk merevisi UU KPK harus dicermati. “Karena melucuti KPK dengan cara merevisi aturan hukumnya adalah cara konstitusional dan aman, ini harus diawasi,” kata Hifdzil Alim, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, mengingatkan. Amggota Komisi III dan Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi, mengungkapkan, keinginan merevisi UU KPK sebenarnya muncul dari segelintir anggota DPR. Didi yakin, Badan Legislasi DPR akan mempertanyakan jika usul merevisi UU KPK itu memuat pasal-pasal yang melemahkan KPK. Soal revisi UU KPK itu, Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika, mengatakan, Komisi III diminta oleh Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, untuk menyusun draf revisi UU KPK pada Januari 2011. Minggu ahkir bulan lalu, Komisi III menyerahkan draf yang sudah mereka susun ke Badan Legislasi DPR. KHIANATI RAKYAT DPR dinilai mengkhianati amanat rakyat jika benar-benar ingin memberangus kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK. Tak hanya itu, anggota DPR yang ingin merevisi UU itu juga dinilai mengkhianati semangat reformasi yang ingin membawa bangsa ini bebas www.indiependen.com | www.indiependen.net
‘Perang saudara’ dimulai : Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ‘melawan’ Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah Mabes Polri menarik 20 penyidiknya dari tubuh KPK, DPR berencana merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Kabar yang berhembus, revisi itu akan memangkas kewenangan KPK di bidang penuntutan dan penyadapan telepon harus seizin ketua pengadilan. Tanpa kewenangan seperti itu KPK dipastikan bakal mandul. dari korupsi. Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, meminta agar semua elite partai politik dan DPR jujur dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang masih terbelit persoaloan korupsi akut. “Ada fakta sosial yang mengamcam masa depan bangsa dan kelangsungan hidup rakyat miskin yang jumlahnya masih 40 juta jiwa. Fakta lain adalah korupsi semakin sistemik, memperparah kemiskinan dan permanen gelajanya. Sementara DPR menyatakan KPK itu lembaga ad hoc. Pernyataan ini ngawur, karena di dalam risalah UU KPK tidak ada kata KPK ad hoc,” urai Busyro. Menurut Busyro, bentuk paling jamak dari korupsi di Indonesia adalah korupsi politik yang ditandai dengan sejumlah anggota DPR dan DPRD terjerat korupsi terkait pembahasan anggaran ataupun revisi APBD. Di sisi lain KPK berhasil menyeret 240 terdakwa korupsi ke penjara, dan tidak sedikit terdakwa itu adalah anggota DPR dan DPRD. “Walapun jumlahnya cukup banyak, mereka adalah oknum. Semoga mereka jangan membalasnya melalui kekuasaan dewan untuk melumpuhkan KPK,” jelas Busyro. Sepertinya mendinginkan kekhawatiran Busyro, ternyata pemerintah menolak revisi UU No.30/2002 tentang KPK itu. Pemerintah malah akan mendukung jika KPK dimasukkan ke dalam UUD 1945 melalui proses amandemen konstitusi. “Ini sikap resmi pemerintah. Pemerintah tidak
akan setuju dengan proposal apa pun yang melemahkan KPK. Hanya orangorang koruptif yang ingin KPK lemah dan bubar,” kata Wamenkum HAM, Denny Indrayana. “Saya merasa kewenangankewenangan keluarbiasaan KPK masih diperlukan,” tegas Menkum HAM, Amir Syamsuddin, secara terpisah. ABRAHAM ANCAM MUNDUR Pengajar Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, menduga, rencana revisi UU KPK itu dimanfaatkan sejumlah elite politik, terutama di DPR dan pemerintah, untuk melakukan politik pencitraan. Caranya, menyatakan menolak rencana revisi UU jika tujuannya melemahkan KPK. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, membenarkan, ada tendensi dari sejumlah elite partai untuk ‘membonsai’ kewenangan KPK agar tidak efektif dalam usaha pemberantasan korupsi. Padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus dihadapi dengan cara-cara tidak biasa. Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari menilai, sulit untuk membantah ada upaya pemandulan terhadap KPK. Setelah Polri manarik 20 orang penyidiknya dari KPK, DPR berusaha membonsai kewenangan khusus komisi itu lewat revisi UU KPK. “Ini jika dibiarkan KPK akan tidak bergigi,” kata Hajriyanto. Berbagai kemungkinan dapat terjadi
jika DPR dan pemerintah sepakat melakukan revisi UU KPK. Karena itu tidak berlebihan jika ada kekhawatiran revisi itu bertujuan untuk melemahkan eksistensi KPK. “Jika benar UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK direvisi dan memangkas kewenangan KPK melakukan penuntutan dan penyadapan telepon, kemungkinan besar saya akan mundur dari jabatan saya sebagai Ketua KPK, “ ancam Ketua KPK Abraham Samad. “Pengalaman membahas sejumlah UU, awalnya hanya direvisi, tapi ternyata bisa menjadi perubahan. Pasal yang sebelumnya berisi larangan, dalam pembahasan justru menjadi dilindungi. Jadi silakan saja (revisi UU KPK – Red) diawasi semua pihak, “ kata Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika, di Jakarta belum lama ini. DPR GOYAH Setelah mendapat tekanan publik, DPR mulai goyah dalam rencana merevisi UU KPK. Ada sebagian anggota DPR bersuara tidak setuju. Padahal dalam rapat internal Komisi III pada 3 Juli 2012, semua fraksi serentak setuju merevisi UU itu. ‘Pembelotan’ itu dicurigai sebagai usaha pencitraan. “Saya heran dan menyayangkan jika sekarang ada anggota Komisi III yang menolak revisi UU KPK dengan sejumlah alasan. Itu diduga hanya untuk pencitraan, mencari simpati publik, dan tidak elegan dalam politik, “ sindir anggota Komisi III DPR dari Fraksi Hanura, Sarifudin Sudding, di Jakarta pekan lalu. Dijelaskan Sarifudin, rapat internal Komisi III dilakukan karena diminta pimpinan DPR membuat draf revisi UU KPK. Dalam rapat internal Komisi III pada 3 Juli 2012 semua fraksi sepakat revisi UU KPK merupakan bagian dari perbaikan sistem hukum pidana. Karena itu revisi juga dilakukan atas UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Mahkamah Agung dan UU KUHAP. “Saat ini Komisi III bahkan sudah membentuk Panitia Kerja RUU Kejaksaan dan RUU MA,” kata Sarifudin. Dengan adanya revisi, jelas Sarifudin, diharapkan tidak ada lagi polemik seperti yang sekarang terjadi antara KPK dan Polri terkait penanganan kasus korupsi di Korp Lalu Lintas Polri. Yok indiependen | EDISI 4 | 2012
11
KOLOM
B
AGAI berbalas pantun, dalam menjawab tuntutan para demonstran tersebut, seringkali kita mendengar para anggora Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia juga balik mempertanyakan: ”Rakyat yang mana yang mereka wakili? Kami ini juga dipilih oleh rakyat.” Bak pusaka keramat, kata ’rakyat’ selalu disertakan dalam menyebut berbagai hal yang dianggap berhubungan dengan rakyat, seperti: seperti ’tanah rakyat’, ’uang rakyat’, dan lainnya. Gedung DPR RI disebut dengan ’rumah rakyat’, para anggota DPR-RI juga sering disebut dengan ’wakil rakyat’. Kata ’rakyat’ benar-benar menjadi magnet yang sangat dahsyat dalam kancah politik di tanah air, terutama dalam masa pemilihan umum. Semua partai politik berlomba-lomba untuk menjadi satu-satunya pihak yang paling memperjuangkan aspirasi rakyat. Kata ’rakyat’ menjadi mantera ampuh yang wajib disertakan dalam seluruh atribut kampanye. Melihat berbagai fenomena diatas, penulis tergelitik untuk mencari definisi dari pengertian ’rakyat’ melalui sebuah pertanyaan:”Siapakah rakyat itu? ”. Membuka konstitusi kita UUD 1945 yang telah 4 (empat) kali di amendemen, ternyata tidak ada
sah terhadap arti kata ‘rakyat’ dalam UU Pilpres menyebabkan pengertian kata ‘rakyat’ disalah tafsirkan hanya menjadi pemilih dalam pemilihan umum semata. Kesimpulan kita yang kedua adalah: tidak ada pengertian yang sah menurut undang-undang terhadap arti dari kata ‘rakyat’. Karena di dalam konstitusi UUD 1945 dan UU Pilpres penulis tidak menemukan pengertian dari ’rakyat’, maka penulis mencarinya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, hal.924, yang salah satunya memiliki arti “penduduk suatu negara”. Pengertian lain yang lebih rinci tentang arti dari ‘rakyat’, bisa kita dapatkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Gitamedia Press, hal. 640, yang salah satunya memiliki arti “segenap penduduk yang menempati wilayah tertentu (dalam suatu negara)” Pengertian-pengertian tentang ‘rakyat’ sebagaimana telah disebut diatas akan memiliki kerancuan arti manakala kita mengacu pada Pasal
Siapakah RAKYAT Itu..?? Oleh: Doni Istyanto Hari Mahdi
definisi tentang rakyat. Definisi yang ’dekat’ dengan rakyat hanya terdapat dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: ”Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warga negara.” dan Pasal 26 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.” Sungguh suatu paradoks, di satu-sisi kata ‘rakyat’ yang ternyata tidak pernah dituliskan pengertiannya dalam UUD 1945, tetapi mulai dari Pembukaan atau Preambule UUD 1945, kemudian pada Batang Tubuh sampai dengan Perubahan Undang-Undang Dasar, kata ‘rakyat’ itu dianggap sangat penting dan sakral. Sedemikian pentingnya kata “rakyat” tersebut, sampaisampai kata “rakyat” itu disebutkan secara berulangulang di dalam UUD 1945, sekurang-kurangnya sampai 95 (sembilan puluh lima) kali, yang terdiri dari kata “rakyat” yang dituliskan dengan hurufdepan “r” kecil sebanyak 14 (empat belas) kali, dituliskan dengan huruf depan “Rakyat” dengan huruf “R” kapital sebanyak 80 (delapan puluh) kali dan 1 (satu) kali disebutkan dengan kata “kerakyatan”, namun anehnya kata “rakyat” yang dianggap sedemikian penting tersebut pengertiannya malah tidak didefinisikan secara jelas, baik arti maupun pengertiannya yang baku, sah dan konstitusional di dalam UUD 1945, sekali lagi “…meski telah diamendemen sebanyak 4 (empat) kali.”. Sungguh sebuah ironi yang sangat memalukan bagi kita sebagai sebuah bangsa. Bandingkan dengan “penduduk” yang disebutkan hanya sebanyak 2 (dua) kali dan “warga negara” yang disebutkan hanya sebanyak 15 (lima belas) kali, yang terdiri atas “warga negara” sebanyak 12 (sebelas) kali dan kewarganegaraan sebanyak 3 (tiga) kali, tetapi dituliskan pengertiannya secara baku, sah dan konstitusional di dalam UUD 1945. Kesimpulan kita yang pertama adalah: tidak ada pengertian yang konstitusional terhadap arti dari kata ‘rakyat’. Karena di dalam konstitusi UUD 1945 penulis tidak menemukan pengertian dari ’rakyat’, maka penulis mencarinya di dalam undang-undang yang mengandung kata ’rakyat’ yaitu di dalam UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 yang untuk selanjutnya disebut UU Pilpres. Di dalam UU Pilpres, kata ‘rakyat‘ sedikitnya disebutkan sebanyak 2 (dua) kali di dalam muatan ayat yang terdapat di dalam Pasal 159 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam hal tidak ada pasangan Calon Terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dan ayat Pasal 159 ayat (3) yang berbunyi: ”Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”. Namun demikian, dalam aturan tentang Ketentuan Umum sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 UU Pilres, tidak terdapat satupun pengertian tentang ‘rakyat’ untuk mencegah timbulnya multi-
12
indiependen | EDISI 4 | 2012
Seringkali dalam setiap kegiatan demonstrasi yang digelar di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Senayan Jakarta, para demonstran dalam menyampaikan protesnya selalu menyatakan bahwa tuntutan mereka adalah atas nama rakyat. tafsir dalam pemahaman terhadap UU Pilpres. Pada hal tujuan utama dari adanya “Ketentuan Umum” adalah untuk mencegah timbulnya multi-tafsir dalam memahami UU Pilpres. Keadaan ini memang tidak menyebabkan timbulnya multi-tafsir terhadap pengertian ’rakyat’, karena memang tidak ada diatur tentang pengertian ‘rakyat’ di dalam UU Pilpres, tetapi hal yang jauh lebih parah terjadi dari hanya sekedar timbulnya multi-tafsir, yaitu timbulnya salah-tafsir terhadap pengertian ‘rakyat’. Jika kita mengacu pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-UndangDasar.” Terhadap proses demokrasi dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden, kehendak konstitusi tertuang dalam Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” dan Pasal 6 A ayat (4): “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”. Dengan demikian, telah terbukti jika Konstitusi menghendaki Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sesuai Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945, dan pemenangnya ditentukan oleh “…suara rakyat terbanyak…” sesuai Pasal 6 A ayat (4) UUD 1945, bukan sebagaimana yang terjadi pada pilpres 2004 dan 2009 yang lalu, dimana pemenang Pilpres ditentukan berdasarkan suara pemilih terbanyak dalam Pilpres. Jika kita mengacu pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” bukan menurut UU Pilpres apalagi menurut Komisi Pemilihan Umum, yang telah terbukti keliru dalam menentukan kemenangan calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden melalui mekanisme “suara pemilih terbanyak” dalam Pilpres. Pengertian ‘pemilih’ sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 21 UU Pilpres ialah: “Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.”. Pengertian ‘pemilih’ sebagaimana disebut diatas, menimbulkan pertanyaan kepada kita bersama: “Apakah mereka - warga negara Indonesia - yang belum genap berumur 17 (tujuh belas) tahun dan belum kawin, bukanlah rakyat Indonesia?”, suatu ironi yang sangat memprihatinkan, hanya karena mereka belum memenuhi syarat UU Pilpres untuk dinyatakan sebagai pemilih, maka hak konstitusional mereka sebagai rakyat Indonesia menjadi dirampas dan dihilangkan. Hal tersebut selain sangat memprihatinkan juga sekaligus membuktikan jika Pilpres tahun 2004 dan 2009 yang lalu tidak sesuai dengan kehendak Konstitusi. Karena jika memang demikian keadaannya, hal ini sama saja dengan kita mengatakan kepada anak-anak kita
yaitu mereka yang belum genap berumur 17 (tujuhbelas) tahun dan belum kawin, dengan pernyataan ini: “ Menurut UU Pilpres, wahai kalian anak-anakku semua, ternyata kalian bukan rakyat Indonesia.”. Kehendak Konstitusi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6 A ayat 5 yang berbunyi: : “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.”, terbukti tidak memberikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk merampas apalagi menghilangkan hak konstitusional rakyat Indonesia yang belum genap berusia 17 (tujuh belas) tahun dan belum kawin tersebut, dengan melakukan pembatasan usia dan status perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 21 UU Pilpres. Keadaan ini berbeda manakala dalam rumusan Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945 dinyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat yang memiliki hak untuk memilih.” atau dalam pengertian yang serupa seperti rumusan: “yang dinyatakan sebagai pemilih.”.Jika memang demikian rumusan Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945, menjadi konstitusional bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan pembatasan dalam segi usia dan status perkawinan, bagi rakyat Indonesia yang dianggap telah dewasa untuk dinyatakan sebagai pemilih dan memiliki hak untuk memilih, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 21 UU Pilpres. Namun demikian ternyata dalam rumusan Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” sekali lagi “…oleh rakyat.” Kemudian diikuti oleh tanda baca ‘titik’, demikianlah yang tertulis dalam Konstitusi adalah “rakyat” bukan “pemilih”. Keberadaan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Dengan demikian, hendaknya pembentuk undang-undang dalam menggali penafsiran terhadap kata ”rakyat”, pertama-tama harus selalu mengacu pada penafsiran harfiah atau gramatikal atau literal sesuai prinsip: ”law as it is written” atau ”litera scripta” atau ”sebagaimana huruf yang tertulis” pada konstitusi, sehingga pengertian kata demi kata dalam konstitusi tersebut tidak bebas untuk ditafsirkan, apalagi ditambahi ataupun dikurangi maknanya oleh pembentuk undang-undang. Jika dalam muatan Pasal dan/atau Ayat yang terdapat pada Konstitusi secara tegas ditulis dengan kata: ”rakyat” sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 A ayat (1) dan Pasal 6 A ayat (4) UUD 1945, maka penafsiran harfiah dari kata ”rakyat” tersebut tidak dapat dikurangi maknanya menjadi hanya sebatas ”pemilih” dalam pemilihan umum semata. Bahwa suara terbanyak dari “pemilih” dalam Pilpres sebagaimana diterapkan pada tahun 2004 dan 2009 yang lalu, terbukti adalah bukan suara “rakyat” sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 A ayat (1) dan Pasal 6 A ayat (4) UUD 1945. Implikasi serius dari ketiadaan pengertian yang
26 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.”. Pengertian ‘penduduk’ menurut Konstitusi ini menjelaskan kepada kita jika pada pokoknya yang dimaksud dengan penduduk di suatu negara itu terdiri dari 2 (dua) pihak yaitu warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan adalah: “Dapatkah orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia dinyatakan sebagai rakyat Indonesia?”. Atau dengan pertanyaan yang lain: “ Apakah mereka warga negara Indonesia yang sedang berada di luar negeri, adalah bukan rakyat Indonesia?” Dari kenyataan banyaknya penafsiran tentang ‘rakyat’ tersebut, membuktikan jika memang tidak ada pengertian baku terhadap arti dari kata ‘rakyat’ itu sendiri. Bahwa keadaan ini menjadi sebuah ironi bagi kita sebagai sebuah bangsa, dimana tidak ada pengertian yang konstitusional, sah dan baku terhadap pengertian kata: “rakyat”. Kesimpulan kita yang ketiga adalah: tidak ada pengertian yang baku menurut Kamus Basar Bahasa Indonesia terhadap arti dari kata ‘rakyat’. Dengan mencermati Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: ”Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” yang pada pokoknya memberikan penjelasan kepada kita tentang: “Bagaimana menjadi Warga Negara Indonesia?” dan Pasal 26 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.”yang pada pokoknya memberikan pengertian tentang: “Siapakah Penduduk Indonesia?“. Sehingga untuk menjawab pertanyaan: “Siapakah rakyat itu?“ maka kita bisa merumuskan pengertian rakyat yang merupakan hasil triangulasi dari Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dengan rumusan: “Rakyat ialah semua orang yang menjadi warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di seluruh wilayah Indonesia dan yang berada di luar negeri.“ Berdasarkan pengertian kata rakyat diatas, ada baiknya sejak saat ini kita menyebut para anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik di tingkat pusat dan daerah tidak lagi dengan sebutan “Wakil Rakyat” tetapi lebih tepat dengan “Wakil Pemilih”, karena pada kenyataannya untuk menentukan satu kursi anggota legislatif, dirumuskan melalui “Bilangan Pembagi Pemilih” bukan dengan rumusan “Bilangan Pembagi Rakyat”. Demikian juga dengan Presiden dan Wakil Presiden RI, untuk tidak lagi menggunakan istilah “Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat” tetapi yang lebih tepat adalah: “Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh pemilih.”, karena pada kenyataannya mereka dinyatakan menang melalui “suara pemilih terbanyak” dalam pemilihan umum dan bukan melalui “…suara rakyat terbanyak…“ sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi UUD 1945. Dengan demikian, jika ada keinginan untuk melakukan amendemen ke-5 (kelima) terhadap UUD 1945, pengertian kata “rakyat” sudah sepatutnya menjadi salah satu agenda utama Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mendatang. Semoga… Penulis buku: Ketidak-adilan Pilpres bagi Luar Jawa
www.indiependen.com | www.indiependen.net
OBITUARI ‘ODOS’ THEODORUS JOCOBS KOEKERITS
Pejuang Baik Hati Mendahului Pergi
S
EPERTI banyak teman-teman lain seangkatannya yang unik, yang memungkinkan mereka akrab dengan angkatan saya, 1979. Masa itu, kepanitiaan program Orientasi Studi (OS) di ITB lazimnya dipegang oleh angkatan yang masuk tiga tahun sebelumnya. Ia kemudian memilih jurusan Teknik Geologi. Suatu bidang yang tak pernah digelutinya setelah ia lulus, kecuali dari beberapa buku pendidikan yang terkait dengan geografi/geologi. KEPELOPORAN TANPA HENTI Dalam organisasi kemahasiswaan ia aktif di unit olehraga Rugby dan PSIK (Perkumpulan Studi Kemasyarakatan) yakni unit kegiatan kemahasiswaan di ITB yang khusus mengaji masalahmasalah dan teori ilmu sosial. Suatu masa formatif yang kelak menentukan pendirian dan pilihan politiknya. Ondos tipikal aktivis yang unik. Bicaranya kalem, tak pernah meledakledak. Kadang tampak merenung sebelum bertutur, dengan emosi sangat terjaga. Kepemimpinannya dimulai saat dipercaya menjadi Ketua Forum Komunikasi Himpunan Jurusan (FKHJ) ITB, suatu lembaga sentral kemahasiswaan intra-universitas pengganti Dewan Mahasiswa, yang selalu menjadi sasaran empuk persekusi pimpinan universitas pada masa di mana kebebasan berorganisasi sangat dikekang. Dalam situasi represi penguasa yang mengeras terhadap kampus di pertengahan 80an, bersama temantemannya, Ondos juga memprakarsai berdirinya Kelompok Diskusi Sabtu: suatu kelompok studi lintas kampus yang membahas masalah-masalah ekonomi politik, termasuk menggunakan pisau tajam analisis Marx untuk membedah sistem kapitalisme di Indonesia yang semakin membuka pintu bagi globalisasi neo-liberal. Ia tak pernah tampak marah sekalipun, demikian ungkap sahabatsahabatnya, kecuali suatu malam genting di awal September 1989, seperti dituturkan kembali oleh sahabatnya Enin Supriyanto di tengah-tengah penghormatan para alumni ITB di hadapan jenazahnya malam Senin yang larut dalam duka. Beberapa aktivis mahasiswa sudah diciduk oleh aparat Bakorstranasda Jabar, setelah unjuk rasa memprotes kehadiran Mendagri Rudini di kampus ITB, 5 Agustus 1989. Suatu malam, ketika penangkapan makin intensif dan meluas, para pimpinan mahasiswa membahas usulan Enin Supriyanto dan Fadjroel Rahman agar mereka berdua - sebagai aktivis yang paling dicari intelejen militer - menyerahkan diri saja guna mengurangi efek penangkapan dan interogasi yang telah melebar pada aktivis lain. Dengan nada tinggi emosional, tak seperti lakunya, Ondos menolak keras opsi tersebut. Baginya itu sama saja dengan menyerah dan membenarkan penangkapan sewenang-wenang serta memperlemah resistensi mereka selama ini terhadap rezim Orde Baru. Tidak ada jaminan apa pun jika Enin dan Fadjroel menyerahkan diri, penangkapan dan represi akan berhenti. Sementara itu tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali bertahan sambil mengkonsolidasikan mahasiswa di www.indiependen.com | www.indiependen.net
kampus yang telah memasuki liburan tahunan. Sebuah dilema sulit. Akhirnya pertemuan itu menyepakati usulan Enin/Fadjroel untuk menyerahkan diri. Namun Ondos mengajukan prasyarat, yang tak terduga: mogok makan. Tak ada yang mampu mencegah tekadnya mewujudkan protes yang berisiko nyawanya. Bersama beberapa kawan aktivis lainnya yang lebih muda angkatannya - di antaranya Deny dan Meiyani - Ondos memulai mogok makan di Lapangan Basket,
Bersama teman-teman yang angkatannya lebih muda, ia menerbitkan buletin Ganesha sebagai dapur dan corong perlawanan mahasiswa, serta mengurus keperluan kawan-kawannya di penjara, membentuk tim penyusun pledoi, membangun solidaritas di kotakota lain; hingga sambil menyepi di Yogya, ia menyelesaikan skripsi S1-nya di Teknik Geologi ITB, 1990 . DUNIA BUKU PENDIDIKAN Setelah beberapa rekannya
Ondos, begitu semua orang menyapanya, berpulang ke rumahNya, Senin dini hari, dalam suatu kecelakaan lalulintas di Sidoarjo, Jawa Timur. Saya mengenalnya pertama sejak ia menjejak di kampus Institut Teknologi Bandung pada tahun pertama bersama (TPB)-nya, tahun 1982. Student Center ITB. Dukungan, simpati dan keprihatinan muncul di mana-mana, juga sebaliknya, tentangan karena dianggap syirik oleh segelintir mahasiswa. Tak ada yang bisa menghentikan tekad mereka: pun teman-teman dan sanak keluarganya. Kelak terbukti aksi mogok makan yang diikuti mogok kuliah efektif mencegah gelombang penangkapan aktivis lainnya dan meningkatkan posisi tawar mahasiswa di hadapan antek-antek penguasa universitas. Tiga minggu kemudian dalam kondisi fisik yang memburuk, Ondos dipaksa berhenti mogok makan. Ia dibawa ke RS Borromeus oleh rekan-rekan dan para dokter yang mengawasinya karena dehidrasi dan kemerosotan fisik sehingga sudah mulai merusak ginjalnya. Para pemogok makan terpaksa berhenti tapi tidak jiwa mereka. Sejak penangkapan mahasiswa 1989 dimulai dan berulanglah kembali pengadilan mahasiswa seperti di era akhir dekade 70an. Tujuh mahasiswa dipenjara dan diadili di bawah pasal-pasal karet Hatzaai Artikelen. Mereka divonis hukuman antara 2-3 tahun penjara. Namun berbeda dengan para pendahulu mereka generasi 70an, mereka tidak sekedar dipenjara, juga dipecat dari almamaternya: menghancurkan sebagian masa depan mereka; tapi sekali lagi: tidak menyurutkan perlawanan mereka. Dalam konteks gerakan mahasiswa, pengadilan sekaligus pemecatan para aktivis dan pimpinan mahasiswa hanyalah terjadi pada masa itu di kampus ITB. Ondos memahami betul konsekuensi pahit dari perjuangan kawan-kawan aktivisnya. Beberapa bulan setelah kesehatannya pulih, ia tetap berada di lingkaran kawankawan aktivisnya. Bersama Didi Yakub dan Farhan Helmy serta teman seangkatannya yang luput dari gelombang penangkapan, ia menghidupkan kembali Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM) ITB.
menghirup dunia bebas, Ondos memutuskan untuk bekerja, 1991. Dunia pendidikan merupakan keprihatinannya yang utama. Ia sempat menjadi editor di Harian Kompas, lalu menejer pemasaran di Gramedia, dan kemudian managing editor di Grasindo, selama lebih sepuluh tahun. Koleksi bukunya dari berbagai bidang terus bertambah memenuhi petak kontrakan bersama tiga sahabatnya: Elfi Malano, Kiban, Ucok Dayat. Sementara dua sahabat lainnya Enin dan Ricky Pesik menempati petak di lantai lain Rusun Tanah Abang. Generasi ini tak pernah sungguh terpisah. Dalam suatu kesempatan berbincang santai, ketika saya menjadi editor di majalah Prisma, bertanya padanya: “mengapa ia berkecimpung di penerbitan buku-buku pelajaran pendidikan?” Ondos memberi alasan sederhana: “Karakter kita mulai dibentuk dari buku-buku itu, Wib. Dan kita musti berbagi pengetahuan dengan banyak orang.” Di dunia penerbitan inilah ia berjumpa rekan sekerjanya Maria Silabakti, yang kelak disuntingnya sebagai istri hingga akhir hayatnya. Pada pertengahan dekade 90an itu, kami sering berjumpa di kantor Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Tebet. Ondos masih tetap seperti masa mahasiswa satu dekade lalu: penuh semangat, solider dan memandang optimis setiap mengatasi problem. Pada akhir 1996, bersama beberapa teman dari mantan aktivis mahasiswa beberapa perguruan tinggi membuat berkala “Surat Kabar.” Berkala ini bermula dari pengumpulan tanda tangan dukungan terhadap pemberian Hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer; lalu berlanjut dengan memuat beberapa artikel reflektif tentang gerakan mahasiswa sepanjang dua dekade terakhir. BERLIAN RENDAH HATI Saya tak mengetahui persis apa alasan
Ondos untuk terjun ke politik. Mungkin lengsernya Suharto dan reformasi Mei 1998, telah membuka pintu bagi banyak aktivis mahasiswa untuk meneruskan perjuangan mereka di ranah negara. Tampaknya, Ondos beranggapan kancah penerbitan tidak lagi memadai untuk memperjuangkan cita-citanya sejak masa mahasiswa, yakni demokratisasi politik dan ekonomi demi mengangkat harkat rakyat Indonesia yang masih terbelakang dan tertindas. Ia masuk ke PDI Perjuangan 2003 dan terpilih sebagai anggota DPR untuk Dapil 6 yang membawahi Karesidenan Kediri, Tulungagung dan Blitar dalam dua periode. Satu watak politik yang tak pernah surut dari sosoknya, Ondos seorang yang pada dasarnya memiliki rasa setia-kawan yang tinggi terhadap kawan-kawan seperjuanagan. Ia sedia melakukan apa pun demi persahabatan dan cita-cita bersama. Termasuk halhal yang sering diremehkan kalangan pergerakan, yakni membantu banyak kawan aktivis yang memerlukan donasi karena kesulitan ekonomi atau tak mampu membayar rumah sakit. Semuanya ia keluarkan dari kantongnya pribadi. Di kancah masyarakat, Ondos selalu memberdayakan kemampuan dan pikiran masyarakat dalam mencari solusi dan merencanakan program-progam kegiatan di daerah sebagai landasan bagi perancangan APBD. Baginya APBD bukan sekedar instrumen anggaran atau usulan para pengurus partai, melainkan benarbenar berdasarkan kebutuhan nyata rakyat. Ondos bukan hanya sangat paham apa arti demokrasi, tapi ia setia memfasilitasi rakyat langsung hingga ke wilayah konstituen dan pendukungnya. Tidak seperti kebanyakan politisi di parlemen, Ondos lebih mementingkan ‘turun ke bawah’ ketimbang tampil di media massa. Namun, takdir menentukan lain. Tak seorang pun mengira, tak ada yang menduga. Dalam perjalanan dinasnya Senin dini hari 24 Septemner 20102, dari daerah pemilihannya di Blitar menuju Bandara Juanda Surabaya untuk mengejar peswat pagi ke Jakarta, di Tol Siadarjo mobil Nissan Terano yang ditumpanginya menabrak sebuah truk tronton dengan kecepatan tinggi. Air bag pengaman di sisi supir tak berfungsi. Ondos meninggalkan kita selamanya: istri, kakak-kakak dan adiknya, sanak keluarga dan semua kawan serta sahabatnya, rekan-rekan separtai dan rakyat yang dicintainya. Theodorus Jocobs Koekerits yang rendah hati mungkin bukan matahari, tapi ia selalu sedia menerangi, bersetia kawan, berbagi pemikiran dan membangun cita-citanya bersama. Semua sangat kehilangannya. Kawankawan alumni ITB-nya melepasnya pergi dalam duka yang teramat mendalam di hadapan jenasahnya, sambil menyenandungkan kembali tembang “Mentari” (ciptaan Iwan Abdurahman) yang sangat disukainya. HARRY WIBOWO Seorang dari puluhan sahabat dekat Ondos *Terima kasih untuk Didi Yakub dan Koster Rinaldi yang mengkonfirmasi ingatan saya pada momen-momen penting bersama Ondos. Juga FX Harsono yang memberi informasi berharga tentangnya di Blitar. indiependen | EDISI 4 | 2012
13
HUKUM & KEADILAN
Bapak Presiden... Apa kabar Anda hari ini di kursi pemerintahan.Dua dekade sudah Anda duduk di sana, dan kami juga masih setia menunggu perwujudan janji Anda...
M
ASIH ingatkah tentang janji bahwa Anda akan menyelesaikan kasus Munir di awal pemerintahan Anda? Saya tahu Anda membentuk tim pencari fakta untuk Munir, tapi ternyata tim itu tidak menghasilkan apa-apa....... Saya juga masih ingat bahwa Anda berjanji akan menuntaskan kasus Munir, tapi sampai sekarang ternyata baru pelaku lapangan yang ditemukan.Tapi aktor intelektual yang sesungguhnya masih bebas berkeliaran, dan pasti akan memangsa korban lagi......... Dan dengan pongahnya dia berkata, “saya kebal hukum”, karena Anda presidennya............. Bapak Presiden, jangan-jangan kursi kekuasaan yang Anda duduki sekarang telah melenakan Anda sehingga menjadikan Anda pelupa. Saya sangat merindukan seorang Presiden yang berani. Berani bertindak melawan kebatilan, berani melawan koruptor, berani melawan pelaku pelanggaran HAM, dan menyeret pelakunya ke meja peradilan, meski pelakunya mantan atasan Anda........ Sungguh-sungguh, saya, beserta anakanak bangsa lainnya yang menjadi korban pelanggaran HAM berat dan kejatahan kemanusiaan, merindukan Anda berani bertindak dan bukan hanya berani berjanji...... Andakah itu Anda, Bapak Presdiden, yang berada di balik tembok Istana Negara ? Setiap hari Kamis kami berdiri di sini, di depan Istana Negara, menggelar Aksi Kamisan dalam panas dan hujan, menagih janji Anda, Bapak Presiden....janji untuk menyelesaikan kasuskasus pelanggaran HAM. Ini bukan sekadar untuk menyembuhkan luka korban, tapi luka bangsa dalam sejarah kelam negeri ini, agar anak-anak kita kelak tidak salah dalam membaca sejarah bangsanya sendiri..... Penggalan surat di atas ditulis Suciwati, istri almarhum Muhammad Munir Said, SH, aktivis hak asasi manusia dan salah satu pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Almarhum tewas dalam pesawat Garuda Indonesia GA 974 penerbangan Jakarta – Amsterdam, 7 September 2004. Ditulis untuk Presiden, surat itu sekaligus menandai peringatan delapan tahun kasus kejahatan kemanusiaan yang hingga kini masih gelap. Bersama teman-teman ‘senasib’, Suciwati terus berjuang mencari keadilan dengan melakukan Aksi Kamisan, sebagai bentuk
14
indiependen | EDISI 4 | 2012
protes mereka di depan Muhdi PR, terdakwa kasus Istana Negara. Sambil tetap pembunuhan Munir, diputus merawat kedua buah hatinya, bebas di tingkat Mahkamah Suciwati seperti tak pernah Agung. Padahal Komite Aksi lelah melangkah. Disisinya ada Solidaritas untuk Munir sudah Ny. Maria Khatarina Sumarsih, mendesak Presiden untuk ibunda Noerma Irmawan memerintahkan Jaksa Agung alias Wawan, korban Tragedi melakukan peninjauan kembali Semanggi 1. Juga bersama atas putusan bebas itu sebagai mereka, Indra Azwan, seorang wujud nyata keseriusan bapak yang kehilangan pemerintah. putranya akibat tabrak lari Pembunuhan terhadap yang dilakukan seorang oknum Munir jelas bukan polisi. pembunuhan biasa, sehingga “Saya tidak akan pernah penyelesaiannya tidak bisa berhenti mencari keadilan. dilepas begitu saja oleh Ini perjuangan melawan Presiden. Pengungkapan kasus lupa. Perjuangan untuk ini membutuhkan sebuah M. Munir cinta, untuk anak bangsa, kemauan, kesungguhan dan untuk anak-anak saya, untuk anak-anak teman konsistensi politik Presiden yang sangat tinggi. saya, jangan sampai ada yang dibunuh karena Mungkin dugaan keterlibatan pihak-pihak dalam memperjuangkan kebenaran,” kata Suciwati lembaga inteligen negara menjadi penyebab seperti menahan sesak di dada. kegamangan SBY sehingga kesulitan menemukan Apa sebenarnya harapan Anda ? “Saya aktor dibelakang layar kasus pembunuhan butuh pemimpin yang jujur dan berani, sehingga Munir. keadilan yang saya perjuangkan bersama temanDirektur Eksekutif Lembaga Pengkajian teman ini mendapat jawaban. Dengan begitu Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman) pemimpin itu sekaligus bisa mengubah bangsa ini Indonesia, Fadjroel Rachman, yang ikut dalam menjadi lebih baik,” kata Suciwati. Aksi Kamisan peringatan wafatnya Munir Dalam peringatan delapan tahun itu, mengungkapkan, pada masa Orde Baru, pembunuhan Munir, perjuangan anti-kekerasan kekerasan dan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM oleh aparat negara tetap didominasi aparat militer. bergelora. Kelompok aktivis HAM melakukan Akan tetapi, menurut Fadjroel, bukan serangkaian acara untuk merawat ingatan berarti aparat militer tidak lagi melakukan publik. Tentu saja termasuk Aksi Kamisan di kekerasan pada era reformasi ini. Aksi kekerasan depan Istana Negara. Aksi Kamisan dilakukan militer diduga juga masih terjadi di Papua. sejak paska tragedi Semanggi (1998), dan bila Polisi dinilai Fadjroel cukup dominan melakukan ditotal sudah berlangsung selama 270 jam. kekerasan dan pelanggaran HAM. “Pelanggaran Puluhan bahkan ratusan surat dilayangkan ke HAM oleh aparat negara atau pelanggaran Istana Negara, tapi seperti tak pernah sampai HAM vertikal masih terjadi, “ jelas Fadjroel. karena tidak pernah ada “jawaban” yang pasti. Pelanggaran HAM itu juga terjadi saat aparat kepolisian terkesan membiarkan potensi BUTUH KONSISTENSI kekerasan terakumulasi dan ahkirnya terjadi. Sejak dari awal, pengungkapan kasus Misalnya kasus kekerasan di Sampang. Munir sudah melalui jalan berkelok dan penuh Di era reformasi ini, menurut Fadjroel, keganjilan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan terlihat melangkah setengah hati dalam kelompok-kelompok masyarakat justru mengungkap kasus ini. Pada awalnya, Presiden dominan. Kekerasan dan pelanggaran HAM SBY tegas menyatakan pengungkapan kasus horizontal itu umumnya dilakukan kelompok Munir sebagai test of our history yang kemudian yang mengatasnamakan agama sehingga diikuti dengan pembentukan tim pencari fakta melanggar hak dasar atau kebebasan warga lain, (TPF) melalui keputusan Presiden. Langkah ini khususnya minoritas. tentu disambut positif banyak kalangan. Namun, Dalam berbagai kasus, kelompok-kelompok dalam perjalanannya, langkah pemerintahan SBY vigilante semakin berani menunjukkan eksistensi diwarnai kegamangan dan keragu-raguan. mereka karena seperti sengaja dibiarkan. Presiden SBY tidak berbuat apa-apa ketika Kondisi ini memprihatinkan serta mengancam
kebhinekaan dan semangat keindonesiaan yang ditegakkan dengan Pancasila. TAK BISA DITAWAR Sementara itu Al Araf, dosen Studi Strategis Hubungan Internasional Universitas Al Azhar dan Paramadina, menyatakan, pengungkapan kasus pembunuhan Munir hingga tuntas tak bisa ditawar-tawar. Namun usaha itu juga harus dilakukan pararel dengan meneruskan cita-cita Munir dalam memperjuangkan penegakan hak asasi manusia (HAM) di republik ini. Sebagai tokoh pejuang HAM yang gigih dan pantang menyerah, gagasan dan pemikiran Munir dalam penegakan HAM mensyaratkan perlunya melakukan reformasi militer guna menciptakan tentara profesional yang menghormati HAM. “Yaitu tunduk terhadap supremasi sipil dan prinsip negara hukum, akuntabel, tidak berpolitik dan berbisnis, serta ahli di bidangnya,” jelas Al Araf. Dalam konteks itu, kata Al Araf, usaha mengawal dan mengkritisi pembahasan RUU Keamanan Nasional di parlemen jadi penting dilakukan oleh masyarakat sipil. Hal ini mengingat, draf yang diajukan pemerintah itu memuat pasal-pasal bermasalah yang dapat mengembalikan peran TNI seperti pada masa lalu. Al Araf menegaskan, meski reformasi militer sudah meraih beberapa capaian positif, masih terdapat beberapa agenda krusial yang menjadi pekerjaan rumah pejuang HAM, khususnya terkait penuntasan agenda reformasi peradilan militer. Kritik Munir bahwa peradilan militer seringkali menjadi sarana impunitas oknum TNI yang melanggar HAM masih tetap relevan hingga kini. Oleh karena itu, menurut Al Araf, gagasan melakukan reformasi peradilan militer dengan melakukan perubahan terhadap UU No.31/1997 tentang Peradilan Militer adalah salah satu agenda penting yang sering disuarakan almarhum. “Sayangnya pembahasan perubahan terhadap undangundang itu terus mengalami jalan buntu,” jelas Al Araf. Itu karena menurut Al Araf, Pemerintah dan parlemen periode 2004-2009 gagal mewujudkan perubahan tersebut. Tidak hanya itu, revisi legislasi ini pun bahkan tidak masuk dalam agenda prolegnas tahun 2012 maupun tahun 2013. Padahal, agenda reformasi peradilan militer secara tersirat dan tersurat telah menjadi mandat UU No 34/2004 tentang TNI. Yok www.indiependen.com | www.indiependen.net
HUKUN & KEADILAN
Menyabung Nyawa Demi Menuntut Hak
DI Jawa Timur ada belasan ribu buruh yang berstatus hubungan kerja outsourcing. Memang, dalam UU No. 13/2003 – tentang Ketenagakerjaan - pada pasal 65 ayat 8 dan 66 ayat 4, jelas dinyatakan tentang ketentuan penyerahan sebagian pekerjaan kepada penyedia tenaga kerja. Dan pekerjaan yang boleh diserahkan kepada pihak penyedia tenaga kerja alias ‘agen’ adalah bukan pekerjaan inti di perusahaan yang bersangkutan. Kenyataannya banyak perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut. Demi kenyamanan sepihak, perusahaan memasarkan tenaga kerjanya untuk bekerja dalam kondisi yang tertindas, mengenaskan. Dengan status sebagai buruh outsourcing, banyak hak buruh yang dengan mudah tidak diberikan oleh perusahaan. Beberapa penelitian menunjukkan banyaknya perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut demi mengejar kepentingan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Ratusan buruh PT. Langgeng Makmur Industri Tbk. (LMI), adalah salah satu contoh korban dari pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan yang memproduksi peralatan rumah tangga, PVC dan karung plastik ini mempekerjakan sekitar 1.500 buruh di dua lokasi yang berbeda di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Di lokasi PT. LMI I saja dari sekitar 1.200 buruh separuhnya adalah buruh outsourcing. Dengan didasari oleh kesadaran ingin memperoleh hak yang semestinya, para buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Madani (SBM), melaporkan tentang pelanggaran PT. LMI ke Dinas tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Sidoarjo. Setelah melalui sidang yang melelahkan Disnaker menerbitkan nota pemeriksaan nomor 560/1576/404.3.3/2012 yang berisi: 1. Menyatakan hubungan kerja pekerja/buruh yang berada di bawah naungan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja Anugrah Bintang Jasa dan Kharisma Selaras beralih ke Perusahaan Pemberi Kerja yaitu PT. Langgeng Makmur Industri Tbk. sesuai pasal 65 ayat 8 dan 66 ayat 4 Undang undang No. 13 tahun 2003. 2. Memerintahkan Kepada Pengusaha PT. Langgeng Makmur Industri Tbk. untuk segera membuat surat Pengangkatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 Undang undang No. 13 tahun 2003.
3. Memerintahkan Kepada Pengusaha PT. Langgeng Makmur Industri Tbk. untuk melaksanakan/membayar Upah Pekerja sesuai ketentuan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan membayar kekurangannya selama 2 tahun sesuai dengan pasal 90 Jo pasal 96 Undang undang No.13 tahun 2003. 4. Memerintahkan Kepada Pengusaha PT. Langgeng Makmur Industri Tbk. untuk memberikan Upah Lembur karyawan dan membayar www.indiependen.com | www.indiependen.net
Pengingkaran terhadap hak-hak normatif oleh pengusaha akan selalu menjadi pemicu buruh untuk melakukan aksi. Hanya dengan menggelar aksi para buruh berharap bisa menjadi daya tekan dalam memperoleh haknya, akan tetapi harapan dan kenyataan tidak selalu seiring sejalan.
kekurangannya selama 2 tahun sesuai dengan pasal 78 Jo 96 Undang undang 13 tahun 2003 Jo KEP-MEN No. 102 tahun 2004. 5. Memerintahkan Kepada Pengusaha PT. Langgeng Makmur Industri Tbk. untuk mengikutkan pekerja ke dalam Program Jamsostek sesuai Undang Undang No. 03 tahun 1992 Jo Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1993. 6. Memerintahkan Kepada Pengusaha PT. Langgeng Makmur Industri Tbk. Untuk memberikan cuti tahunan kepada pekerja dan membayar hak cuti yang selama ini tidak diberikan kepada pekerja/buruh sesuai pasal 79 ayat 2 huruf (c) Jo 96 Undang undang No. 13 tahun 2003. 7. Memerintahkan Kepada Pengusaha PT. Langgeng Makmur Industri Tbk. untuk membayar upah pekerja yang tidak dipekerjakan/di rumahkan sesuai pasal 93 ayat 2 huruf (f). TIDAK SESUAI Tetapi yang dialami para buruh berbalik arah dari perintah yang dituangkan dalam nota tersebut. Pengangkatan para buruh yang berstatus outsourcing menjadi buruh tetap, tidak terjadi. Bahkan sejak bulan Juni 2012 telah terjadi pemecatan alias PHK terhadap buruh secara bergelombang. Dan pada puncaknya terjadi pada 16/08/2012 terjadi PHK terhadap 350 buruh. Hal ini yang memicu konflik buruh dengan perusahaan yang berkepanjangan hingga saat ini. Demi melihat pengingkaran yang nyata dari perusahaan, buruh
bergerak melancarkan serangkaian aksi menuntut dilaksanakankannya nota yang dikeluarkan oleh Disnaker tersebut. Dalam kekalutan akan nasib status mereka di perusahaan tersebut para buruh memilih melakukan aksi mogok makan mulai tanggal 18 Septermber 2012 bertempat di depan patung Gubernur Suryo Jl. Gubernur Suryo Surabaya, tepat di seberang gedung Negara Grahadi. Aksi yang diniatkan untuk lebih menarik perhatian dari gubernur Jawa Timur, dan diharapkan “membantu” memecahkan permasalahan para buruh ini belum berbuah manis. Bahkan para buruh yang melakukan aksi ini sempat diintimidasi oleh satpol PP, dengan dalih menjaga kebersihan dan keindahan taman. Satpol PP menargetkan akan membubarkan paksa aksi mogok makan buruh itu. Sebelumnya, para buruh sudah memberitahukan kepada pihak kepolisian, bahwa aksi mogok makan dilakukan hingga tanggal 21 September 2012. Akhirnya kondisi fisiklah yang kemudian mengalahkan keteguhan hati para buruh untuk terus melakukan aksi. Jumat (21/09) lima buruh yang melakukan mogok makan, pingsan dan terkapar tak berdaya. Mereka harus dilarikan ke RSUD Dr. Suwandi, dalam keadaan yang menyedihkan karena salah satu dari mereka yaitu Pitono tidak sadarkan diri. Sesampai di RS mereka langsung dirujuk ke UGD dan ditangani oleh dr. Arif. Mereka mengalami kekurangan glukosa yang sangat, albumin menurun drastis sehingga mempengaruhi kesadaran mereka. Bahkan sepulang dari RS hingga Minggu (23/09), atau tiga hari, Pitono harus menjalani rawat
jalan di rumahnya. Dikonfirmasi melalui seluler, Pitono masih bertekad akan terus melakukan perlawanan terhadap kesewenangan pengusaha terhadap para buruh meski harus bertaruh nyawa. Ternyata keadaan menyedihkan yang dialami Pitono dengan aksi mogok makannya itu bukan yang pertama. Seperti yang terjadi pada 13/09, pada aksi picketing (pemblokiran dan pendudukan perusahaan) para buruh telah diserang oleh segerombolan preman bayaran. Penyerangan ini mengakibatkan sejumlah buruh terluka dan ada yang harus menjalani rawat inap di RS, dengan luka serius di kepala akibat terkena pukulan balok kayu yang dibawa oleh para preman. Meski aksi para buruh ini telah dijaga oleh sepasukan polisi, tetapi penyerangan yang dilakukan oleh preman tetap berlangsung di depan polisi. Pola pembiaran yang dilakukan polisi itu, ketika dilaporkan kepada pihak Propam Polda Jawa Timur, malah berbuah tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi yang berjaga di sekitar pabrik. Tindak kekerasan ini dilakukan dalam usaha membubarkan aksi buruh di depan perusahaan. Aksi yang dilakukan oleh polisi ini kemudian berbuntut penangkapan aktivis mahasiswa yang bersolidaritas kepada para buruh. Kekerasan itu juga mengakibatkan beberapa buruh kembali menjadi korban. Beberapa buruh pingsan terkena tendangan polisi serta ada juga yang terkena senjata setrum listrik yang digunakan polisi. Ironis, polisi yang digaji dari uang rakyat malah melakukan tindakan sewenangwenang dengan melakukan kekerasan fisik demi memenangkan kepentingan pengusaha. “Hari-hari ke depan akan semakin rawan mas,” kata Tarmidi, Ketua Federasi serikat Buruh Madani ketika ditemui Indiependen di lokasi aksi picketing di depan pintu gerbang perusahaan. Sudah sepekan pabrik tidak bisa melakukan aktivitas dengan normal. Beberapa buruh mengatakan, ada dua kontainer dan satu mobil box berisi penuh produk PT. Langgeng Makmur Industri Tbk bermerk Mak Cook. Bahkan Khoirul, salah seorang buruh mengaku mendengar kabar akan ada penyerangan lagi yang akan dilakukan oleh kelompok buruh lainnya yang digerakkan oleh pengusaha. Modus mengadu-domba sesama buruh seperti ini pernah dilakukan Langgeng Makmur pada tahun 1993 dan 2001. Serangkaian peristiwa yang telah terjadi besar kemungkinan akan terus berlangsung dan akan terus memakan banyak korban. Ini mengingat pada perusahaan yang sama pernah terjadi dan telah memakan korban. Pada waktu itu yang menjadi pemicu aksi masih sama yakni persoalan normatif. Hal-hal normatif seharusnya tidak harus dituntut oleh buruh karena masalah tersebut merupakan kewajiban pengusaha. M. Bahrul Ulum indiependen | EDISI 4 | 2012
15
TITIK TENGAH Saya mulai dengan pernyataan bahwa sejarah Indonesia itu penuh mitos, dan Sumpah Pemuda adalah salah satunya. Jangan salah paham dulu. Mitos itu tidak selalu berarti negatif sehingga harus ditinggalkan. Banyak mitos yang berguna seperti juga kepercayaan. Sumpah Pemuda menjadi mitos bukan kesalahan orang-orang yang membuat Sumpah Pemuda, tetapi tafsirtafsir yang datang kemudian. Oleh: Hilmar Farid*
S
EDIKIT saja sebagai konteks, harus diingat bahwa 28 Oktober 1928, terjadi dua tahun setelah pemberontakan PKI 1926. Setelah itu lanskap politik di Hindia Belanda berubah total. Fase pertama dari nasionalisme Indonesia itu sangat radikal, mengutamakan kesetaraan. Setelah Belanda menumpas pemberontakan kemudian membangun negara polisi —isinya intel dimana-mana. Nah, kultur yang selama Orde Baru, perasaan terus-menerus diawasi, mengawasi satu sama lain— sebetulnya warisan kolonial. Sumpah Pemuda lahir di dalam kondisi seperti itu. Arti penting dari sumpah itu sendiri datang belakangan. Setahu saya, pertama kali Sumpah Pemuda diperingati, dirayakan secara besar-besaran, keinginan Sukarno, baru tahun 1948. Jadi, Sumpah Pemuda dianggap sebagai tonggak perjalanan suatu bangsa itu terjadi belakangan. Saya periksa koran-koran tahun 1928, tanggal 29, 30 Oktober sampai 1 November dan seterusnya, tidak ada orang yang membahas Sumpah Pemuda. Jadi, pada saatnya dia terjadi tidak, atau belum mendapat arti penting. Mitoslah yang kemudian melihat sumpah itu sebagai sesuatu yang begitu hebat pada jamannya. Tidak! Arti penting itu dibuat belakangan, meskipun memang dia penting. Pentingnya begini: tadi disebut tahun 1850 Sebastian, kemudian Logan memberi nama atau menyebut kawasan yang kita kenal Indonesia sekarang ini sebagai Indonesia. Meminjam konsep-konsep Pramoedya Ananta Toer, tahun 1850 itu Indonesia menjadi kenyataan geografis dengan munculnya studi-studi antrolologi dan geografi yang menyebut kawasan ini sebagai Indonesia. Tetapi, orang-orang Indonesia atau yang hidupnya di atas tanah Indonesia tidak merasa dirinya Indonesia. Belum. Mereka masih terbagi-bagi dalam komunitas kesukuan (etnik), dan etnik pun masih bisa dipecah-pecah. Orang Jawa atau orang Sunda semangat
16
indiependen | EDISI 4 | 2012
menjadi orang Jawa dan Sunda itu belakangan, bukan awalnnya. Dulu semua menganggap dirinya sebagai pusat bumi. Makanya raja Jawa walaupun bertetangga semuanya menganggap diri mereka sebagai pusat dunia. Paku Alam dan Hamengkubuwono duaduanya mengaku sebagai pusat bumi, padahal hanya beberapa puluh kilometer saja jaraknya. KESADARAN MAKIN TIPIS Nah, apa yang dilakukan oleh Sumpah Pemuda dan juga gerakan sebelumnya, maka Sumpah Pemuda bisa dikatakan sebagai kulminasi. Apa yang dilakukan oleh pergerakan pada masa awal tersebut membuat Indonesia sebagai kenyataan geografis menjadi kenyataan politik, dengan memberi nama pada gerakan untuk mewujudkan kemerdekaan itu “Indonesia.” Perhimpunan Indonesia yang pertama kali menggunakan “Indonesia” adalah PKI, kemudian PNI dan seterusnya, semua mulai menggunakan nama Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi penting, karena dia menandai bukan hanya kenyataan politik yang mewujudkan organisasi yang memiliki nama (bernama), tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai sebuah kenyataan kultural. Namun, hingga sekarang hal itu masih menjadi citacita — yang sebetulnya semakin tipis. Semakin sedikit orang yang mencoba mencurahkan waktunya untuk mewujudkan Indonesia sebagai sebuah kenyataan kultural. Apa yang saya kemukakan itu merujuk pada Pramoedya Ananta Toer. Saya meminjam konsep-konsep dia, bukan pikiran orisinal saya. Jadi, ada kenyataan geografis tahun 1850; kenyataan politik pada awal abad XX, dan kemudian mencoba menjadi kenyataan kultural yang hingga sekarang masih diupayakan, karena belum “menjadi.” Dibanding tahun 1950-an dan 1960-an, saya kira sekarang malah agak melangkah mundur. Perhatian kita terhadap bahasa misalnya, sangat menurun. Dulu ada komisi istilah dan benar-benar dipakai,
Nasionalism
Bertahan di Titik K
sekarang ada komisi istilah tidak ada yang peduli. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sederhananya bahasa itu dipakai menjadi alat untuk masuk ke dalam dunia yang kompleks ini. Kita memberi nama-nama, memberi istilahistilah, dan menemukan istilahistilah untuk menamai kenyataan tertentu. Gunanya adalah agar kita bisa ikut dan terlibat dalam pengelolaan kehidupan dunia. Sekarang kita tidak perduli dan cenderung potong kompas. Kita mengambil saja istilah-istilah dari bahasa lain, sehingga cenderung semakin tidak berkembang. Kenyataan kultural yang dicanangkan oleh Sumpah Pemuda bukan hanya tidak mengalami kemajuan, tetapi sebetulnya agak merosot. APA ITU NASIONALISME? Kalau melihat tiga kenyataan tersebut, pertanyaannya kemudian adalah: apa itu nasionalisme? Itu mitos yang lain lagi. Nasionalisme bisanya dianggap sebagai semangat kebangsaan. Tapi kalau kita
melihat belakangan ini — terutama di era Orde Baru — wacana nasionalisme menonjol dibanding era Sukarno. Namun, semangat kebangsaan dalam konteks itu diwujudkan hampir selalu dengan simbol, dan biasanya benda. Jadi, seperti pemuja berhala sebenarnya: bendera, lagu-lagu, pakaian. Seolah-olah itulah ekspresi kebangsaan. Kalau bajunya putih, slayernya merah itu dianggap jauh lebih nasionalis. Kalau ada yang memperjuangkan buruh — dan karena itu berhadapan dengan kekuasaan — dianggap tidak nasionalis dan dianggap menjual bangsa sendiri. Dengan kita mengirim berita — misalnya pada jaman Soeharto — ke luar negeri tentang kejadian di Indonesia dipersoalkan karena dianggap menjual bangsa. Mereka yang menampari buruh dianggap nasionalis tulen. Itu sudah terbalik-balik. Nah, nasionalisme sering kali pengertiannya sebatas seberapa jauh kita setia, cinta pada simbolsimbol itu. Sementara jika melihat www.indiependen.com | www.indiependen.net
TITIK TENGAH dan lagu. Itu belakangan, tidak diutamakan. Tapi, komitmen politik pada simbol itulah yang perlu kita persoalkan. Karena bagi saya jelas, cita-cita politik, prinsip kesetaraan dan lain-lain, itulah inti dari nasionalisme. Dulu saya terlibat dalam membela orang-orang Timor Leste, dan usaha memperjuangkan kemerdekaan mereka dianggap tidak nasionalis. Nanti dulu. Urusan mau merdeka atau tidak adalah urusan orang Timor Leste, tapi saya akan bela hak mereka untuk merdeka. Jadi, intinya yang ingin saya sampaikan, tidak ada hubungannya kalau kita mengatakan apa yang dilakukan oleh bangsa atau negara sebagai sebuah kesalahan
me Indonesia
Kenyataan Politik sejarahnya, nasionalisme Indonesia tidak berdasarkan kepada kesatuan etnik. Jelas tidak. Tidak ada yang bisa mengklaim sayalah asal-usul dari Indonesia. Bukan karena bahasa, bukan karena warna kulit. Jadi apa yang menyatukan tidak lain adalah cita-cita politik. Indonesia adalah sebuah citacita politik, yakni kenyataan geografis yang kemudian diumumkan sebagai kenyataan politik dengan membentuk republik. Proklamasi itu adalah pengumuman bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi kenyataan politik dan kenyataan hukum sekaligus. Nah, itu yang disebut Indonesia. Kalau sekarang tidak. Sekarang ini mau coba-coba dicari akar-akar etniknya apa, cobacoba dicari akar linguistiknya apa, sementara akar politiknya nyaris dilupakan. Politknya jelas: politik kesetaraan. Sejak awal jika melihat wacana nasionalisme Indonesia, jauh sebelum Sumpah Pemuda sudah ada: egaliter, prinsip kesetaraan. Itu yang menjadi alasan mengapa orang mau bergabung. Seperti www.indiependen.com | www.indiependen.net
jaman dulu, kalau orang mau bergabung dengan keyakinan tertentu karena dibebaskan dari statusnya sebagai budak. Nasionalisme yaitu keyakinan akan cita-cita tersebut. Belakangan jika kita melihat upacaraupacara, simbol-simbol, merahputih, segala macam —ya, simbol penting, mitos penting, tidak untuk ditinggalkan — tapi pahami betul mengapa kita harus memiliki kecintaan pada simbol-simbol itu: terutama adalah karena komitmen politiknya tertanam dalam simbol-simbol. Kalau sekarang bisa dikatakan simbol-simbol itu hilang komitmen politiknya. Sudah kosong. Sudah hampa. Kalau sekarang kita tanya pada orang di jalan apa itu Indonesia, jawabannya akan kabur. Kita satu komunitas — KTP Indonesia, kalau dia punya paspor, maka paspornya Republik Indonesia, mengaku warga negara Indonesia — apakah tahu Indonesia? Jadi, kita bagian dari komunitas yang kita sendiri tidak terlalu paham. Itu adalah persoalan defisit nasionalisme. Bukan kecintaan kepada bendera
Indonesia, yang celakanya banyak dari kita tidak hapal. Pembukaan UUD 1945 menurut saya — daripada panjang lebar neoliberalisme segala macam — itu sudah menjadi dokomen politk dan menjadi dasar politik serta menjadi dokumen yang paling bagus untuk menjadi dasar kampanye anti-neoliebral, karena Republik Indonesia itu memang dibuat anti-kapitalis. Pembukaan konstitusi Indonesia itu sangat kiri. Tentu perlu ada perbaikan di sana-sini, tapi maksud saya, ini adalah landasan bagi kampanye politik yang ramai-ramai dibicarakan sekarang ini. Cara yang sangat efektif, buat saja kumpulan diskusi warga membahas
Indonesia adalah sebuah cita-cita politik, yakni kenyataan geografis yang kemudian diumumkan sebagai kenyataan politik dengan membentuk republik. Proklamasi itu adalah pengumuman bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi kenyataan politik dan kenyataan hukum sekaligus. Nah, itu yang disebut Indonesia. Kalau sekarang tidak. Sekarang ini mau cobacoba dicari akar-akar etniknya apa, coba-coba dicari akar linguistiknya apa, sementara akar politiknya nyaris dilupakan. Politiknya jelas: politik kesetaraan. dianggap sebagai komitmen pada nasionalisme. Misalnya, right or wrong is my country. Bagi saya sederhana: Indonesia sebagai cita-cita tetap dibela. Tetapi kalau salah ya harus dibilang salah. Melindungi kesalahan dan kemudian terjerumus pada keadaan seperti sekarang lebih tidak nasionalis daripada kita berbicara apa kesalahan-kesalahan yang ada, dan coba membuat koreksi. Itu adalah ilustrasi apa dari yang saya pikirkan tentang nasionalisme. ANTI KAPITALIS Soal yang terakhir tentang konstitusi — dan kalau bicara gerakan untuk mengubah Indonesia lebih baik — belakangan saya mulai berpikir bahwa apa yang saya lihat hubungan antara aktivis, intelektual dengan orang pada umumnya, dengan khalayak, itu semakin lama semakin jauh. Di arus atas, aktivis semakin “tebal imannya,” semakin banyak baca buku, pendalaman materi dan seterusnya, sehingga lebih mudah mendebat lawannya daripada berbicara pada orangnya sendiri. Hal seperti itu banyak terjadi di dalam pergerakan nasional di jaman dulu: lebih mudah berdebat dengan musuh Belandanya daripada berbicara pada rakyatnya sendiri. Itu sekarang tampaknya berulang. Konstitusi itu menurut saya menjadi semacam jembatan, karena dokumen itu kunci. Itu merupakan dokumen kunci di
konstitusi. Kalau proses itu dilakukan selama setahun saya kira akan ada proses politisasi sebagaimana yang diharapkan selama ini. Membuat kelompok diskusi tentang konstitusi itu merupakan salah satu jalan, dan bukan jalan yang mudah bagi perubahan. Inspirasinya saya peroleh pertama dari tulisan Samsir, dan yang kedua, kalau mengikuti perkembangan Hugo Chavez, yang dilakukan oleh dia itu adalah: gerakan yang mempertahankan konstitusi Bolivarian di Venezuela. Dia dianggap sebagai alternatif terhadap kapitalis dan globalisasi. Buat lingkaranlingkaran di mana orang membicarakan konstitusi. Dari situ orang kemudian bangkit. Ya, tentu tidak dengan sendirinya akan menghasilkan apa yang diimpikan, tetapi sebagai titik tolak itu pantas untuk dipegang. Menurut saya, krisis yang belakangan ini terjadi bukan hanya dalam bidang ekonomi, politik dan sosial, tetapi yang dipertaruhkan adalah eksistensi republik. Kalau mau belajar sejarah bukan hanya apa yang terjadi di masa lalu, tapi mengapa kita bisa sampai ke dalam situasi seperti sekarang, dan menganggap itu wajar. Itu pertanyaan besar. Kalau pun sejarah itu masih berguna untuk dipikirkan, dia harus menjawab pertanyaan itu. *Sejarawan Institut Sejarah Sosial Indonesia indiependen | EDISI 4 | 2012
17
OPINI
Merevitalisasi UU Pokok Agraria Seutuhnya Secara Konsisten Oleh: Noroyono
TANAM PAKSA Tanam Paksa alias “Cultuurstelsel” intinya adalah paksaan pemerintah kolonial Belanda kepada rakyat Indonesia untuk menanam tanaman komoditas - seperti kopi, gula, indigo - yang sangat menguntungkan perekonomian negeri Belanda, mulai dilaksanakan ketika “Nederlands-Indië” (nama Indonesia ketika itu) di bawah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1834). Stelsel agraria yang sangat kejam itu telah mengundang gelombang protes, baik di “NederlandsIndië” maupun di Belanda sendiri. Diterpa gelombang besar tentangan politik seperti itu tidak ada pilihan lain bagi golongan konservatif - arsitek “Cultuurstelsel” - yang sedang berkuasa, kecuali menyerahkan kekuasaanya kepada golongan liberal - golongan yang menghendaki perdagangan bebas dan pembatasan campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. AGRARISCHE WET 1870 Pada tahun 1866, sebagai reaksi terhadap “Cultuurstelsel,” Menteri Urusan Jajahan Fransen van de Putte - `dari golongan liberal-, telah mengajukan ke Parlemen suatu rencana undang undang agraria di mana terdapat antara lain ketentuan: “Hak milik atas tanah dari orang-orang Jawa akan diakui. Kaum pribumi akan dijamin hak mereka untuk mengatur diri dan pekerjaan mereka.” Rencana undang undang yang sampai batas tertentu menaruh perhatian atas nasib petani Indonesia ini, telah ditentang keras oleh golongan konservatif; dan tragisnya lagi, tidak didukung sepenuhnya oleh golongan liberal. Akibatnya rencana undang undang tersebut kandas di Parlemen dan van de Putte pun kemudian meletakkan jabatannya. Empat tahun kemudian, pada tahun 1870, Menteri Urusan Jajahan Engelbertus de Waal - juga seorang politisi liberal - mengajukan ke Parlemen rencana undang undang tanah yang lain yang merupakan hasil kompromi antara golongan liberal dan konservatif. Rencana undang-undang ini berhasil disahkan menjadi undangundang. Undang-undang itulah yang kita kenal sekarang sebagai Agrarische Wet 1870, yang kemudian menjadi Pasal 51 Undang-Undang Tatanegara Hindia Belanda (Wet op Staatsinrichting van Nederlands Indië). Karena Agrarische Wet 1870
18
indiependen | EDISI 4 | 2012
Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA 1960) adalah penjelmaan kemauan politik dari berbagai lapisan masyarakat yang menghendaki undang-undang agraria yang berwatak nasional menggantikan Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria 1870) yang berwatak kolonial.
merupakan hasil kompromi antara golongan liberal dan konservatif, antara yang kontra dan pro “Cultuurstelsel”, maka isinya pun merupakan campuran unsur-unsur yang sedikit mempertimbangkan nasib kaum tani Indonesia dan unsur-unsur “Cultuurstelsel.” Di dalam Agrarische Wet 1870 memang benar tercantum ketentuanketentuan yang tampaknya memikirkan nasib kaum tani Indonesia. Namun ketentuan-ketentuan ini selalu dikawal oleh ketentuan-ketentuan lain yang berfungsi sebagai ketentuan penangkal. Misalnya, tercantum sebuah ketentuan: “Gubernur Jenderal tidak akan mengambil tanah-tanah yang telah mulai digarap kaum pribumi, ...” Ketentuan yang sejatinya prima ini dengan serta-merta ditangkal oleh kete ntuan: “..., kecuali untuk kepentingan umum ... dan untuk keperluan perkebunan yang dikelola atas perintah pejabat tinggi yang berwenang menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu ...”*). Saya tidak menyangkal bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. Artinya seseorang harus bersedia melepaskan tanah miliknya apabila hal itu memang benar-benar demi kepentingan umum. Namun inti masalahnya di sini ialah di Indonesia yang kala itu merupakan suatu tanah jajahan, ketentuan “kecuali untuk kepentingan umum ... dan untuk keperluan perkebunan yang dikelola atas perintah pejabat tinggi yang berwenang,” telah memberi peluang hukum kepada kaum pemilik modal agraria (dengan topangan pejabat kolonial) untuk mengambil alih tanah-tanah garapan kaum tani penggarap; “kepentingan umum” di sini bukan lagi bermakna kepentingan
komunitas warga Indonesia yang merdeka, melainkan kepentingan tuan-tuan pemodal Belanda. Alhasil, ketentuan yang tampaknya memikirkan nasib kaum tani penggarap tersebut, ujung-ujungnya bukanlah suatu jaminan hukum yang andal bagi perlakuan adil terhadap mereka. Lebih lanjut tercantum pula di dalam Agrarische Wet 1870 ketentuan: “Tanah-tanah, yang secara perseorangan turun-temurun dimiliki kaum pribumi, ... dapat diberikan kepada mereka dengan hak eigendom, ...” Ketentuan yang kelihatan simpatik ini pun segera ditangkal oleh ketentuan: “... disertai syaratsyarat pembatasan yang diatur menurut undang-undang ..., yakni mengenai kewajiban-kewajiban pemilik tanah kepada negara dan masyarakat …”*) Jadi, menurut ketentuan ini seorang petani Indonesia yang memiliki tanah dengan hak eigendom tidak berarti bahwa ia otomatis memiliki pula kebebasan mengelola tanahnya sebagaimana yang ia inginkan; ia harus tetap mengerjakan “kewajibankewajiban kepada negara dan masyarakat.” Saya menyadari bahwa dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat tentu saja setiap warga memikul kewajiban-kewajiban tertentu kepada negara dan masyarakat. Di Indonesia yang merdeka, kaum tani -- sebagai salah satu pemilik negara -- juga harus menunaikan kewajiban-kewajiban seperti itu. Akan tetapi di “Nederlands-Indië,” yang merupakan tanah jajahan Belanda itu, kaum tani adalah fihak yang dikuasai, yang dijajah. “Kewajiban kepada negara dan masyarakat” dalam konteks ini bukan lagi merupakan suatu pengabdian kepada negara dan
bangsa Indonesia yang merdeka, melainkan suatu pemaksaan, pemerasan, penindasan terhadap kaum tani Indonesia oleh kaum pemodal dan penguasa kolonial Belanda demi kepentingan ekonomi di “moederland” (negara penjajah) asal mereka. Agrarische Wet 1870 memuat pula ketentuan: “Dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh undang-undang akan diberikan tanahtanah dengan hak erfpacht untuk paling lama tujuh puluh lima tahun”.*) Sistem kapitalisme --yakni “handelskapitalisme” atau kapitalisme dagang-- telah dikenal di Negeri Belanda sejak awal abad ke tujuh belas. Sebagaimana lazimnya sistem ini mengenal saat-saat di mana perkembangan modal mencapai titik jenuh. Pada saat Agrarische Wet 1870 diundangkan di “Nederlands-Indië”, pasar modal di Belanda justru sedang dalam situasi seperti itu. Ketentuan Agrarische Wet 1870 yang memungkinkan seseorang mendapat tanah dengan hak erfpacht selama tujuh puluh lima tahun, telah memacu kaum pemodal Belanda berbondong-bondong datang ke “Nederlands-Indië” dengan tujuan memekarkan modal mereka lewat pendayagunaan tanah-tanah erfpacht tersebut. Jika di zaman “Cultuurstelsel” pemerintah kolonial sendirilah yang beraksi, maka di zaman Agrarische Wet 1870 kaum pemilik modallah yang mendominasi pengurasan sumber daya alam dan pemerasan sumber daya manusia Indonesia. Ketentuan-ketentuan yang tampak menguntungkan kaum pribumi, telah dilindas tanpa bekas oleh ketentuan-ketentuan lain yang menjamin agar pengurasan sumber daya alam Indonesia berjalan mulus. Kesimpulannya adalah bahwa Agrarische Wet 1870 sejatinya hanyalah “Cultuurstelsel” dengan kemasan baru. Kekejaman “Cultuurstelsel” dikenal secara luas dalam masyarakat Indonesia; sejak di Sekolah Dasar kita mengenal stelsel agraria tersebut. Lain halnya dengan Agrarische Wet 1870. Undang-undang agraria ini, terutama kekejamannya, menurut pengamatan saya kurang dikenal masyarakat luas. Padahal qua kekejaman tidak ada perbedaan fundamental di antara keduanya. Keduanya sama-sama merupakan penjelmaan kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda yang didasari oleh suatu anggapan yang dengan akurat digambarkan oleh pejabat Menteri Urusan www.indiependen.com | www.indiependen.net
OPINI Jajahan Jean-Chrétien Bau (18401848) dengan ucapannya: “Wij zijn de overheerschers, zij de overheerschten”. (“Kita adalah penguasa, mereka adalah yang kita kuasai”). UUPA 1960 Dalam pada itu adalah suatu kenyataan sejarah yang menyedihkan, Agrarische Wet 1870 masih tetap berlaku, bahkan setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun roda sejarah tidak pernah berhenti di tempat. Sesudah selama sembilan puluh tahun berlaku sebagai undang-undang pertanahan, baik di “Nederlands-Indië” maupun di Republik Indonesia, akhirnya Agrarische Wet 1870 --plus sejumlah “Domeinverklaring” dan undangundang/peraturan-peraturan kolonial lainnya-- telah dicabut oleh Pemerintah RI di bawah Presiden Sukarno pada 24 September 1960 dengan mengundangkan UUPA 1960. Jika selama berlakunya Agrarische Wet 1870 kaum tani tetap saja sengsara, maka dengan diberlakukannya UUPA 1960 –yang nota bene antipodenya Agrarische Wet 1870– adalah wajar apabila mereka (kaum tani) mengharapkan suatu perbaikan nasib yang fundamental. Sayang, apa yang merupakan kewajaran belum tentu menjadi kenyataan. Dikarenakan tentangan keras dari sementara golongan, pelaksanaan UUPA 1960 berjalan tersendatsendat dan ujung-ujungnya, praktis, berhenti. Undang-undang agraria yang berwatak nasional itu mengalami nasib yang lebih tragis lagi ketika terjadi perubahan pemerintahan dan konstelasi politik di Indonesia pada akhir tahun 60-an: antara ada dan tidak ada; secara formal belum pernah dicabut, secara faktual tidak pernah dilaksanakan dengan konsisten. Satu argumen dari sementara orang yang menentang UUPA 1960 menyatakan: “UUPA 1960 itu produk ‘Orla’”. So what? Setiap undang-undang pasti mengandung unsur keberpihakan. Berpihak pada siapa sesungguhnya UUPA 1960 itu? Berpihak kepada “Johannes van den Bosch”, “Engelbertus de Waal”, “Jean-Chrétien Bau”? Atau berpihak kepada “Upik”, “Bonar”, “Iyem”, “Saidjah”, “Karto”? Berpihak kepada kepentingan asing/neo-kolonial atau kepentingan nasional? Jawaban dari pertanyaan inilah, saya kira yang harus kita jadikan kriterium dalam menilai UUPA 1960. Mengritik atau menyerang UUPA 1960 (yang mana merupakan suatu materi hukum) atas dasar prasangka/kebencian politik bukanlah pencerminan sikap obyektif dalam menelaah suatu materi. Argumen yang lain dari penentang UUPA 1960 menyatakan: bahwa diberlakukannya UUPA 1960 telah memicu konflik agraria yang didalangi www.indiependen.com | www.indiependen.net
pasal-pasal lain UUPA 1960, tidak bisa lain, mesti ditafsirkan sebagai “Indonesia yang sosial”, di mana “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. [UUD Tahun 1945 --sebelum diamandemen- Pasal 33, ayat 3]. Lebih lanjut UUPA Tahun 1960, Pasal 13, ayat 1 menyatakan: “Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat … serta menjamin setiap warganegara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Kemudian pasal yang sama ayat 2 menyatakan: “Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria … yang bersifat monopoli swasta”. Berdasarka apa yang telah saya uraikan itu, saya fikir, tidak ada sesuatu yang perlu dirisaukan berkaitan dengan istilah “sosialisme Indonesia” di Pasal 5 UUPA 1960 tersebut.
suatu partai politik tertentu. Jalannya peristiwa (ambil saja) dari tahun 2009 sampai dengan 2012 telah membantah argumen ini. Konstelasi politik di Indonesia telah berubah drastis sejak empat puluh lima tahun lebih yang silam; partai politik tertentu yang dituduh sebagai “dalang” telah lama tiada, tapi toh konflik agraria tetap terjadi dan makin merebak serta makin tajam, sekurang-kurangnya dalam tiga tahun terakhir ini. Di mana kalau begitu akar permasalahannya? Di sistem kepemilikan tanah garapan. Dengan atau tanpa “dalang”, konflik akan berlangsung terus sepanjang kaum tani penggarap tidak memiliki tanah garapan yang memadai. Oleh karena itu tanah garapan harus pertama-tama diberikan kepada penggarapnya. Jika kaum tani memiliki lahan yang memadai, papan yang layak dan pangan yang cukup,
maka minat mereka tehadap isu politik pun hampir bisa dipastikan akan sangat berkurang. Jadi, bukan soal “dalang”, tapi tanah garapan! Inti masalahnya memang bukan karena “produk ‘Orla’” atau “dalang” maka sementara orang itu menentang UUPA 1960, tapi karena mereka, sadar atau tidak, ingin mempertahankan Agrarische Wet 1870. Dalam pada itu, saya juga tidak percaya bahwa dengan (andaikan dirumuskan) undang-undang alternatif yang tidak jelas wataknya, kita dapat menyelesaikan problem agraria di Indonesia. Sementara fihak risau dengan istilah “sosialisme Indonesia” di Pasal 5 UUPA 1960. Saya rasa kita tidak perlu “van een mug een olifant maken” (“membuat seekor nyamuk menjadi seekor gajah”). “Sosialisme Indonesia”, dalam konteksnya dengan
REVITALISASI UUPA 1960 Sampailah saya pada kesimpulan terakhir. Indonesia adalah sebuah negara agraris. Makmur desa-desa Indonesia, makmur pulalah Indonesia. Industri Indonesia belum mampu menyerap membeludaknya urbanisasi di kota-kota. Pemerintah harus merevitalisasi UUPA 1960 seutuhnya secara konsiten. Kebijakan ini dapat dipastikan akan menjadikan pedesaan menarik sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah. Opsi lain merumuskan undang-undang baru yang tidak jelas watak keberpihakkannya hanya akan menjadikan konflik agraria makin merebak dan berdarah. Hendaknya kita menyadari bahwa konflik dengan kekerasan hanyalah perpanjangan konflik sosial-ekonomi dengan jalan lain. “Si vis pacem para iustitiam”. (Jika kamu menginginkan perdamaian, tegakkan keadilan). *Noroyono Peminat Masalah Agraria Tinggal di Belanda
ANDA PUNYA PERMASALAHAN DENGAN PELAYANAN PUBLIK..??
JANGAN BIARKAN..!!
LAPORKAN SAJA KE KOMISI PELAYANAN PUBLIK JAWA TIMUR Jl. Ngagel Timur No. 56 Surabaya Telp.: 031-5022097 Fax.: 031-5016627 email: kpp_jatim@yahoo.id web dan pengaduan online: http://www.kpp.jatimprov.go.id
KAMI AKAN TINDAK LANJUTI SEBAGAIMANA MESTINYA
GRATIS..!!
indiependen | EDISI 4 | 2012
19
OPINI
Oleh: *Heri Purwanto
Membangun Kemandirian Pangan
Beberapa tahun terakhir pemberitaan sektor pertanian khususnya pertanian bahan pangan, tidak terlalu menggembirakan, bahkan sejumlah pihak menilai cukup memprihatinkan. Pada awal pemerintahan Presiden Megawati, kita dihadapkan pada keharusan mengimpor beras; juga pada masa pemerintahan Presiden SBY.
HAMPIR setiap tahun ada kerepotan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi. Secara berkala juga ada kesulitan memenuhi kebutuhan gula konsumsi masyarakat, karena dalam hal gula industri hingga saat ini kita masih tergantung pada impor gula rafinasi atau gula mentah/raw sugar untuk diolah jadi gula rafinasi. Hal serupa terjadi pada garam; untuk garam konsumsi sudah bisa dipenuhi oleh produksi domestik namun garam industri masih sepenuhnya diimpor. Kedelai dan kacang tanah yang merupakan tanaman sub tropik sebagian besar masih diimpor. Yang terbaru: untuk memenuhi kebutuhan hortikultura, sayur mayur, buah dan ikan laut, pemerintah juga membuka keran impor. Yang sepi dari polemik padahal menyedot milayaran devisa negara adalah impor gandum. Pada tanah yang hampir tak sebatang gandum pun -- karena tanaman sub tropik yang kita belum punya varietas tropiknya -- ditanam oleh petani kita, namun masyarakat diajarkan secara langsung maupun tidak langsung untuk makan mie instan dan roti. IRONI Di negara maritim yang bertebar beribu pulau dengan panjang pantai nomor tiga di dunia dan lahan pertanian yang luas serta dengan kesesuaian untuk berbagai komoditas pertanian, kita harus mengimpor bahan pangan. Ada apa dengan semua ini? Bagi kita yang kritis melihat persoalan, jawabnya hanya satu, yaitu “Negara kehilangan atau tidak punya orientasi membangun pertanian dalam arti luas – tanaman pangan, peternakan, perikanan dan perkebunan.” Untuk itu marilah isi ingatan kolektif kita dengan kutipan bebas dari Pidato Peletakan Batu Pertama Institut Pertanian Bogor oleh Presiden Sukarno pada April 1952, yang diberi judul Soal Hidup atau Mati sebagai berikut: “Buat apa kita bicara politik bebas kalau kita tidak bebas dalam hal urusan beras, yaitu harus minta tolong beli beras dari negara tetangga. Buat apa kita mengumpulkan milyaran devisa tiap tahun untuk membeli beras dari negara lain, kalau ada kemungkinan untuk melipat -gandakan produksi makanan --pangan istilah kininya - sendiri. Buat negeri dengan 75 juta manusia, soal makanan rakyat (baca: pangan) adalah soal hidup matinya bangsa ini.” Dengan demikian terang benderanglah bagi kita bahwa salah satu pondasi dari berdikari di bidang ekonomi sebagai salah satu ajaran Tri Sakti Bung Karno adalah kemandirian dalam bidang pangan, karena kita tidak mungkin menyerahkan keamanan pangan rakyat yang sekarang jumlahnya 235 juta itu kepada perdangangan internasional alias pasar bebas. KEBIJAKAN SONTOLOYO Tulisan ini tidak memperdebatkan pengertian antara kedaulatan pangan atau kemandirian pangan -- dalam terminologi ajaran Bung Karno frasa kedaulatan berdampingan dengan politik--, tetapi sangat jelas menolak konsep “Ketersedian Pangan.” Dalam konsep ketersediaan pangan pokok pikirannya adalah sejauh kebutuhan total akan bahan pangan bisa dipenuhi baik dari produksi domestik atau harus impor dari negara lain selesai sudah. Pengalaman membuktikan dalam empat tahun terakhir terjadi gejolak harga kedelai yang sumbernya adalah USA mengurangi ekspor kedelai mereka, sedangkan sebagian besar konsumsi kedelai dipenuhi oleh produk impor.
20
indiependen | EDISI 4 | 2012
Pada saat negara-negara kawasan Indochina dan India mengantisipasi perubahan iklim dunia dengan rencana mengurangi ekspor beras mereka, maka panas dinginlah pemerintah kita. Belum lagi kalau ada skenario perang, banjir besar atau kekeringan dari negara-negara pengekspor beras. Karena itu menyerahkan keamanan pangan rakyat kita pada konsep ketahanan pangan; menggampangkan persoalan dengan membuka keran impor, adalah kebijakan yang sembrono atau bahkan kebijakan sontoloyo kalau kita pakai istilah Presiden Sukarno. KEMANDIRIAN PANGAN Sepuluh tahun kemudian pada saat Presiden Sukarno dapat mengkonsolidasikan pemerintahan --setelah Dekrit Presiden 5 juli 1959 --, melalui Perencanaan Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama Tahun 19611969 dan ditegaskan lagi dalam Deklarasi Ekonomi Tahun 1962 beberapa pokok pikiran yang dapat disampaikan adalah: Pertama, segala kegiatan produksi baik yang diusahakan oleh negara maupun swasta, harus ditujukan pada pengabdian kepada kepentingan rakyat, terutama kebutuhan hidup pokok, agar setiap warga negara dapat hidup layak sebagai manusia yang merdeka. Usaha untuk memenuhi keperluan sendiri di lapangan bahan–bahan penting untuk hidup sehari-hari harus menjadi tujuan dari kebijakan dan seluruh kegiatan produksi; Kedua, segala kegiatan impor ditujukan pada barang-barang yang dapat menambah produksi dalam negeri, sehingga kesempatan kerja dapat bertambah dan tercapai penghematan devisa; Ketiga, dalam kebijakan jangka pendek soal memenuhi keperluan pangan harus mendapat prioritas utama, buat jaminan itu pemerintah perlu mempunyai dan menguasai persedian pangan yang cukup, yang berarti pemerintah harus mempunyai dan menguasai “iron stock” bahan pangan (Pemerintahan Presiden Soeharto menjalankan hal ini melalui Bulog). Bahwa pemerintahan Presiden Sukarno belum sempat menjalankan Program dan Kebijakannya, adalah pokok bahasan lain yang akan dibahas pada kesempatan lain karena pada akhir 1965 Sukarno dirongrong kekuasaannya dan dijatuhkan dari kursi presiden. CATATAN KRITIS Sekarang marilah kita lihat apa yang sedang dikerjakan Pemerintah dan DPR RI dalam soal pangan, yang salah satunya adalah membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pangan. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dan sikap kritis oleh kita semua adalah: 1. Pasal 1 (6): Ketersediaan Pangan adalah tersedianya Pangan yang beraneka-ragam dari hasil produksi dalam negeri, cadangan Pangan
nasional, dan/atau pemasukan Pangan dari luar negeri. 2. Pasal 5: lingkup pengaturan Penyelenggaraan Pangan meliputi: a. perencanaan; b. Ketersediaan Pangan; c. keterjangkauan Pangan; d. penganekaragaman Pangan; e. Keamanan Pangan; f. kelembagaan; g. pembiayaan; dan h. peran serta masyarakat. 3. Pasal 13: Upaya mewujudkan Pangan dilakukan dengan: … b. mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan… f. membangun kawasan sentra produksi pangan. 4. Pasal30 (3): Cadangan Pangan Pemerintah dapat dilakukan melalui pembelian Pangan Pokok pada saat panen raya oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; (4): Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memiliki cadangan Pangan Pokok. 5. Pasal 34 (3): Cadangan Pangan masyarakat dikelola di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga. 6. Pasal 48 (1): Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan; (2): Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. pengendalian harga Pangan dan inflasi; b. manajemen cadangan Pangan; c. menciptakan iklim usaha Pangan yang sehat. 7. Pasal 113117: Pembentukan Badan Otoritas Pangan dengan dua fungsi yaitu: merumuskan kebijakan Pangan nasional dan menjamin Ketersediaan Pangan nasional. Badan ini harus ada di ibu kota Negara dan dapat dibentuk di tingkat propinsi dan/atau kabupaten/kota. Terhadap beberapa pasal tersebut, maka catatan kita adalah: 1. Menolak konsep Ketersediaan Pangan karena ketersediaan hanya bicara soal tersedianya pangan tanpa melihat bagaimana ketersediaan tersebut diwujudkan, dalam hal ini apabila produksi domestik tidak mencukupi maka dapat dipenuhi dari impor. Hendaknya kita kembali kepada konsep Kemandirian Pangan karena kebutuhan pangan harus dipenuhi dari produksi dalam negeri dan itu artinya ada kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Apakah Indonesia bisa melakukan itu? Jawabnya: sangat bisa, karena ini bukan soal bisa atau tidak bisa tapi ini soal mau atau tidak mau; 2. Konsep Ketersediaan berdampingan dengan Keterjangkauan --dari sisi harga--, dalam hal ini apabila pangan cukup tersedia --dari mana pun asalnya-- dan harga rata-rata bisa dijangkau oleh semua kalangan konsumen maka tercapai sudah tujuan pemerintah; 3. Pasal-pasal dengan frasa dapat dan bukan harus, biasanya banci dan rawan manipulasi dalam implementasi. Contoh nyata adalah soal pembelian Cadangan Pangan Pemerintah,
kata dapat hanyalah sebuah opsi dan bukan keharusan. Yang sering kita lihat adalah pemerintah menempuh cara paling mudah dalam mewujudkan cadangan tersebut adalah impor, karena disini ada rent seeking yang menjadi arena kolusi antara eksekutif; legislatif dan pengusaha; 4. Terkait dengan konsep ketersediaan/ keterjangkauan/peran dunia usaha --dalam produksi, distribusi, maupun pengadaan cadangan pangan--, dalam pengalaman empirik selama ini selalu diserahkan kepada mekanisme pasar bebas di mana kepemimpinan Negara absen sama sekali kecuali dalam retorika pemerintah. Ritual tahunan lebaran serta natal dan tahun baru selalu dinyatakan persediaan pangan cukup –di tangan para pengusaha penimbun--, tapi harga selalu naik dan rakyat dipaksa untuk membeli bagi yang mampu, sedangkan rakyat miskin hanya berharap dari operasi pasar dan belas kasih para dermawan --ini hanya bermakna bagi segelintir rakyat miskin, karena yang lebih banyak lagi tidak terjangkau oleh operasi pasar dan belas kasih para dermawan; 5. Pembentukan Badan Otorita Pangan adalah pemasungan terhadap Bulog, Bulog versi pemerintah Orde Baru harus dihidupkan kembali, tentu dengan revitalisasi. Pada era demokratisasi seperti saat ini dengan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, kita punya keyakinan Bulog dapat berperan strategis; 6. Dalam Perdagangan Pangan diatur peran pemerintah untuk mengendalikan harga dan inflasi dalam satu tarikan nafas, namun hampir pasti pemerintah lebih konsen pada pengendalian inflasi dan itu artinya harga diatur sedemikian rupa tetap rendah yang menjauhkan harapan untuk perbaikan kesejahteraan petani; 7. Pemerintah sedang menyiapkan arena bagi para investor besar untuk berbisnis di bidang pangan sebagaimana wacana untuk memberikan konsesi ribuan hektar di Kalimantan dan-atau Papua --apa yang diistilahkan dengan Food Estate; 8. Singkat kata RUU tentang Pangan ini tidak pro Kemandirian Pangan, oleh karenanya tidak pro pada pembelaan dan pemberdayaan petani dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka. Karena itu RUU PANGAN INI WAJIB KITA TOLAK ATAU PEMERINTAH/DPR RI HARUS MELAKUKAN KOREKSI FUNDAMENTAL TERHADAP PASAL-PASAL YANG PRO LIBERALISASI DAN DEPENDENSI. Dengan begitu apa seharusnya yang dilakukan oleh Pemerintah? Pertama, temukan orientasi pembangunan --dalam hal ini pembangunan pertanian dalam rangka kemandirian pangan. Kedua, apabila kesulitan --dan ini hampir pasti karena pada dasarnya penguasa sudah terbina oleh kepentingan kaum pengusaha-- maka libatkan para akademisi yang terbiasa berpikir bebas dan merdeka; penemu alias inovator dari kalangan masyarakat; penggiat pertanian yang komited terhadap perbaikan nasib petani, dan sudah barang tentu serikat-serikat petani. Maka, insya Allah akan ada jalan. Ketiga, apabila lahir konsep kolaborasi sebagaimana upaya pada poin kedua, laksanakan dengan sungguh-sungguh atau bahasa kininya konsisten dan konsekuen.● *Heri Purwanto peneliti pada Lembaga Studi dan Pemberdayaan Masyarakat (LSPM) Surabaya, eks anggota Komisi B (perekonomian) DPRD Jatim 2004-2009 www.indiependen.com | www.indiependen.net
NUSANTARA
B
ERBAGAI upacara digela, pidato demi pidato tampil silih berganti dan seminar-seminar digelar untuk mewarnai perayaan. Ini sungguh ironi karena pada saat yang sama masih banyak petani yang masih menjerit oleh mahalnya biaya produksi juga anak-anak mereka sudah tidak mau lagi mengolah sawah. “Lare sakniki mboten saget dijagakaken purun kerjo wonten sabin, pak,” ujar Rohman (60), dengan suara resah kepada Indiependen saat berkunjung ke rumahnya, medio September silam. (Anak sekarang tidak bisa diharapkan mau bekerja di sawah, pak). Petani Dusun Lengkong, Desa Jati Gedong, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang itu menuturkan, anak satusatunya lulusan SMK lebih suka bekerja di pabrik di Kota Surabaya katimbang bekerja membantu ayahnya sebagai petani. Padahal, kalau dihitung bekerja sebagai petani dengan penghasilan Rp 30.000 per hari untuk hidup di desa sudah mencukupi. “Tapi bagaimana lagi, anaknya senang hidup di kota,” tutur Rohman dalam suatu percakapan di teras rumah seusai menggarap sawah. Rohman tidak sendirian meratapi nasibnya. Ahmad (44) tetangganya juga mengeluhkan hal yang sama. Lahan tembakau seluas 1 hektar miliknya “terancam “ tidak ada yang mengurus apabila kelak dia sudah mulai uzur. Dua orang anaknya yang diharapkan sebagai pengganti dirinya sama sekali tidak tertarik menjadi petani. Mereka lebih suka menjadi buruh pabrik. Menurut Ahmad, dengan tidak adanya pewaris untuk menggarap lahan yang dimiliki, para petani di desa Jati Gedong itu cenderung ingin menjualnya. Keinginan itu menjadi semakin kuat bila memikirkan hasil produksi tanamannya dari tahun
www.indiependen.com | www.indiependen.net
Babak baru akan pentingnya peran dan posisi petani berlangsung pada tanggal 24 September 1960 ketika Undang Undang Pokok Agraria diterbitkan. Di tahuntahun berikutnya pada tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Tani Nasional. ke tahun terus menurun. Hal ini karena faktor kurangnya air dan tidak menentunya iklim yang terjadi akhirakhir ini. Apa yang dialami Rohman maupun Ahmad juga dirasakan oleh Yatimah (65), warga Dukuh Baru, Kelurahan Jetis, Kecamatan Glagah, Kabupaten Lamongan. Sawah ladang hasil warisan orang tuanya yang telah diubah menjadi tambak bandeng akhirnya tak tergarap karena suaminya meninggal dunia dan kelima anaknya memilih bekerja di Surabaya. “Untuk menggarap sendiri jelas tidak mampu. Apalagi sekarang biaya penggarapan dan penjualan hasilnya sering tidak seimbang, bisa balik modal saja sudah untung. Oleh karena itu sekarang saya tawarkan pada orangorang yang mau menggarap dengan sistem bagi hasil,” tutur Yatimah yang akhirnya diajak oleh anak-anaknya untuk hijrah ke Surabaya. Kelima anaknya semula disekolahkan di desa kemudian kuliah di Surabaya dan memperoleh pekerjaan yang relatif mapan, baik sebagai guru maupun wiraswasta. Ketika anak-anaknya memutusksn untuk mengembangkan kehidupannya di kota, Yatimah tidak bisa melarang karena hidup di desa memang tidak senikmat kota. Lantaran anak-anaknya tidak tega melihat ibunya hidup sebatangkara di desa maka keputusan yang mereka ambil adalah mengajaknya untuk menghabiskan hari tuanya di Surabaya. Begitu pula yang dialami Akup,
bapak lima anak yang tinggal di Desa Gumuk, Kecamatan Glagah, Lamongan. Hamparan tambaknya yang begitu luas terpaksa harus diolah berdua bersama istrinya karena anakanaknya setelah lulus kuliah akhirnya memilih hidup di kota katimbang di desa. Seorang anaknya yang bernama Sumantri berprofesi sebagai guru SMP di Lamongan Kota pun nyaris tak punya waktu untuk membantu ayahnya mengolah tambak. “Habis bagaimana lagi, wong anakanak lebih memilih hidup di kota daripada mengolah sawah,” tutur Akup yang mengaku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada tambaknya kelak apabila dirinya sudah tidak mampu lagi mengolahnya. “Untuk sementara ini saya jalani saja apa maunya hidup ini,” tuturnya berfalsafah. Idris, warga Desa Kalipang, Benjeng, Gresik juga tidak menampik kenyataan yang menimpa pertanian di desanya yang telah ditinggalkan oleh anak-anak muda. Meskipun anak-anak masih tinggal serumah tapi mereka sudah tidak mau lagi diajak ke sawah dan lebih memilih menjadi buruh pabrik atau pekerja serabutan. “Meskipun hasilnya kadang jauh lebih bagus katimbang menjadi buruh tapi keempat anak saya sudah tidak tertarik lagi dengan sawah,” tutur Idris yang masih tabah mengolah sawah bersama istrinya. Berbicara tentang pertanian berarti membahas soal pangan. Bung Karno pernah bilang, “pangan adalah soal hidup dan mati.” Tidak bisa dibayangkan
apabila para petani mogok menanam padi selama satu musim. Masalah pangan menjadi isu utama di abad ini selain energi dan perubahan iklim. Populasi manusia di planet bumi kini mencapai 7 milyar jiwa. Dan diprediksi meningkat menjadi 9,5 milyar pada 2050. Penduduk Indonesia saja sudah 237 juta jiwa dan jika tidak dikendalikan bakal merangkak naik menjadi 475 juta jiwa pada 2054. Maka konsekwensinya, mau tak mau negara harus menyediakan pangan untuk penduduknya. Mampukah pertanian kita memenuhi harapan itu jika kenyataan di pedesaan bahwa anakanak muda sudah enggan mengolah sawah. Dalam sebuah percakapan dengan wartawan, Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar mengatakan, sepinya minat anak-anak muda ke bidang pertanian ini disebabkan dunia pertanian tidak manwarkan gengsi sehingga masyarakat lebih tertarik pada bidang nonpertanian di kota besar. Disamping itu tidak berminatnya anak petani untuk bertani ini disebabkan kepemilikan tanah yang sempit. Kalaupun mereka memiliki tanah yang luas, tetap saja tidak memiliki daya produktif yang sepadan dengan dinamika pasar. Masa panen membutuhkan waktu paling cepat tiga hingga tujuh bulan, sementara banyak kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi dalam rentang waktu tersebut. Mungkin saja panennya melimpah tetapi pada saat panen harganya jatuh. Masalah tersebut muncul sejak era 1970-an dan sampai sekarang masih terus berulang sehingga masyarakat pedesaan, khususnya anak-anak muda menilai tanah sudah tidak menjanjikan lagi sedangkan hidup harus terus dilanjutkan. Iin-Kim indiependen | EDISI 4 | 2012
21
NUSANTARA
RELOKASI BUKAN SOLUSI
Perusuh Sampang Ditangkapi
Konflik Sampang masih meninggalkan duka. Setelah sebulan lewat, sekitar 220-an orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak, yang mengungsi di lapangan tenis indoor Sampang, Madura, kekurangan pasokan makanan, pakaian, diserang berbagai penyakit dan serangga Tomcat.
S
EJUMLAH orang mengaku sedih karena tidak bisa memanen ladang tembakau milik mereka yang sebenarnya sudah siap panen. Mereka menolak relokasi ke luar Sampang karena tidak ingin meninggalkan tanah leluhurnya yang selama ini memberi kehidupan. Relokasi yang lebih bermakna pengusiran berulangkali pernah ditiupkan Bupati Sampang, Noer Cahya. ”Warga Sampang dan pendatang jangan cobacoba memasukkan paham sesat di daerah saya. Syiah itu sesat, penganutnya kalau tidak bisa dibina, akan saya keluarkan dari Sampang, “ ancam Noer Cahya dalam keterangan resmi di kaca televisi pasca konflik Sampang. Langkah tegas bupati itu bisa jadi karena adanya surat ‘tekanan’ dari Badan Silahturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra). Surat tertanggal 28 Agustus 2012 ini ditandatangani Koordinator Pusat Bassra, KH Moh Rofi’ie Baidlowi, diikuti koordinator Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan. Ulama Bassra meminta bupati agar Tajul beserta jamaahnya direlokasi keluar dari Sampang karena dinilai sesat. Dalam surat yang ‘ditemukan’ Kontras Surabaya ini juga merekomendasi bupati, apabila pengikut Tajul masih melakukan kegiatan sesatnya, supaya segera dirtindak aparat berwajib. Surat yang sifatnya ditulis sangat penting ini juga dikirimkan kepada Gubernur Jatim dan Kapolda Jatim. Menurut koordinator Kontras Surabaya, Fatchul Choir, para pengungsi menolak tawaran relokasi Pemprov Jatim yang telah menyediakan rumah susun sederhana di Jemundo, Sidoarjo, sebagai hunian sementara. Karena itu Pemprov Jatim masih mengupayakan untuk mencarikan hunian sementara di wilayah Sampang. “Tapi sampai sekarang belum mendapatkan,” ujar Fatchul Choir. Ketua Dewan Pembina Kontras Pusat, Usman Hamid, menilai bahwa usaha relokasi terhadap warga Syiah korban konflik Sampang bukan penyelesaian yang benar. Terhadap korban yang sampai kini masih mengungsi, menurut Usman Hamid, kewajiban pemerintah untuk mengembalikan kehidupan mereka. “Mereka harus mendapat perlindungan di
22
indiependen | EDISI 4 | 2012
Pengungsi kerusuhan Sampang
tempat asal mereka. Membangun kembali rumah-rumah mereka yang dibakar, sekolah dan madrasah yang rusak, agar anak-anak segera dapat belajar kembali,” jelasnya. Korban kekerasan komunal di Sampang ini, terutama anak-anak harus cepat dipulihkan dari traumanya. Sedang bagi para orang tua mereka, hak untuk beroleh kembali mata pencahariannya harus segera diberikan. “ Misalnya pemerintah setempat harus menjamin keamanan bagi warga yang akan kembali menggarap ladang tembakaunya,” jelas Usman Hamid. MASIH DIBURU Kepolisian Daerah Jawa Timur sampai Minggu (23/9) sudah menahan lima tersangka tragedi Sampang ini. Empat orang lainnya yang diduga ikut menganiaya Hamamah, korban tewas, sudah teridentifikasi dan terus diburu. Tersangka baru Hadiri, 62 tahun, warga Karanggayam Sampang ditangkap di rumah kerabatnya di Lumajang sekitar pukul 11.00 wib (20/9). Empat tersangka yang sudah ditahan sebelumnya adalah Rois Al Hukama, Saniwan, Muchsin dan Sarifin. “Hadiri ini diduga membacok Hamamah dengan celurit hingga tewas,” jelas Kombes Hilman Thayib, Kepala Humas Polda Jatim. Hadiri di hadapan polisi mengaku dibantu empat orang lainnya saat menganiaya Hamamah. Saat menangkap Hadiri, polisi juga menemukan barang bukti tambahan, antara lain tiga celurit, kayu bekas kebakaran, dan korek api. Polisi menjerat Hadiri dengan pasal 351 KUHP ayat 3 tentang penganiayaan, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, dan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Hadiri terancam hukuman penjara minimal 10 tahun. Sejak awal September, polisi berhasil menangkap para tersangka satu per satu. Rois diduga berperan sebagai otak tragedi kekerasan di Sampang ini. Sementara Saniwan, Muchsin, dan Sarifin diduga terlibat penganiayaan dan pembakaran rumah warga. JANGAN DISEDERHANAKAN Kasus kekerasan di Sampang tidak bisa disederhanakan dengan menyebutnya
hanya persoalan keluarga, tetapi ada akar masalah yang menuntut penyelesaian. “Kita optimis bisa menyelesaikan masalah itu sebagai masalah keluarga, tapi kita tidak bisa menutupi persoalan Sunni-Syiah,” kata Jimly Assiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Jimly melansir pendapatnya itu di tengah forum Silahturahim Tokoh Bangsa ke-4 bertajuk Toleransi di Tengah Keberagaman prakarsa Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta. Masyarakat Indonesia, menurut Jimly, sangat majemuk dan beragam, karena itu toleransi
adalah hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menjaga kerukunan sesama umat beragama. Sedang modal utama kerukunan hidup berbangsa adalah kerukunan antar dan antarumat beragama. Selain Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, sebagai tuan rumah, hadir pula sejumlah nama tokoh bangsa dalam silahturahim ini. Antara lain, Wakil Ketua
PP Muhammadiyah Bambang Soedibyo, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Frans Magnis Suseno, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Martinus D Situmorang, Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Akbar Tanjung, pengusaha Sofyan Wanandi, Sejarawan Taufik Abdullah dan Fuad Bawazir. Din Syamsuddin mengatakan, seharusnya dua kekuatan besar Islam – Sunni dan Syiah – bersatu melawan dua musuh utama umat saat ini, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Tetapi jika seandainya tidak dicapai titik temu, maka perlu dikembangkan tasamuh atau toleransi. “Seluruh elemen umat Islam dalam kemajemukannya perlu menemukan kesamaan kalimat atau kalimatun sawa dalam merealisasikan misi kekhalifahan di muka bumi ini,” terangnya kemudian, persatuan umat Islam khususnya antara kaum Sunni dan Syiah, adalah mutlak perlu sebagai prasyarat kejayaan Islam. “Kejayaan umat Islam pada abad-abad pertengahan juga didukung persatuan dan peran serta kedua kelompok umat Islam tersebut.” Bambang Soedibyo prihatin akan intolerasi di Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya tingkat ketidakadilan. Selain itu, karena demokrasi dipersepsikan masyarakat bebas mengekspresikan kehendaknya sehingga terjadi perilaku yang melampaui batas. Sementara aparat kepolisian nampak gamang bertindak. Menurut Frans Magnis Suseno, sebenarnya toleransi di Indonesia masih terbilang tinggi karena sekitar 95 persen masyarakat masih hidup bekerja berinteraksi dalam kesatuan. “Indonesia juga memiliki aset besar organisasi keagamaan. Kami yang di Katholik jika ada masalah tidak mengontak kepolisian, tapi kami pergi ke NU dan Muhammadiyah. Jadi tidak ada kompromi dan jangan biarkan kekerasan. Harus ada pendidikan mengenai toleransi dan menerima perbedaan,” jelas Frans. Mgr Martinus D Situmorang mengatakan, liberalisasi kehidupan membuat demokrasi terkontaminasi dan terdeviasi. Politik seharusnya mengelola dan memperjuangkan kepentingan publik, dan politik tidak kotor. “Namun karena materialisme telah begitu menguasai, politik membuat galau masyarakat. Pendidikan hanya menjadi sekadar formalitas pendidikan dan pembelajaran,” jelas Martinus. Secara terpisah Menteri Agama Suryadharma Ali menilai akar kerukunan umat beragama di Indonesia sesungguhnya sudah kokoh. Sedang konflik beragama yang terjadi lebih disebabkan adanya peran provokator. “Jadi prinsip dasarnya adalah tidak dibenarkan adanya tindak kekerasan dengan dalil apa pun dan oleh siapa pun,” jelas Suryadharma Ali. Yok
www.indiependen.com | www.indiependen.net
INTERNASIONAL
Kebebasan Ala Amerika Membunuh Anaknya Sendiri
Karya-karya Liberal Yang Menuai Kemarahan
Karena begitu mengagungkan kebebasan berekspresi dan membiarkan peredaran film “Innocence of Muslims” yang melecehkan Nabi Muhammad, Amerika Serikat dihajar habis-habisan oleh kaum muslim di seluruh dunia. Duta besarnya di Libya diroket bersama lima stafnya ketika hendak melarikan diri dari kepungan massa dan beberapa kantor kedutaannya di jazirah Arab dibakar.
J
ENDERAL Martin Dempsey, Kepala Staf Gabungan Tentara Amerika Serikat, buru-buru menghubungi para pendeta Florida dan memintanya menarik dukungan kepada film yang amat menyakitkan kaum muslim itu. Petinggi serdadu AS itu mengkhawatirkan akibat film tersebut akan mengobarkan semangat kaum Taliban melibas 74.000 tentara AS yang difungsikan sebagai anjing penjaga kepentingan ekonomi negara kapitalis itu untuk menguasai sumbersumber minyak di Afganistan. (12/9). Kekhawatiran itu cukup beralasan karena para petinggi Taliban telah menyeru rakyat Afghanistan untuk menyiapkan diri sebagai syuhadah mengganyang Amerika Serikat karena nabi mereka dilecehan. Demonstrasi anti-Amerika Serikat dan Israel mulai marak usai shalat Jumat (14/09) di sejumlah negara Islam di kawasan Asia, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Sementara di Iran, Kuwait, Mesir, Libya, Yaman, Somalia, umat Islam menggelar aksi besar-besaran mengecam AS sebagai negara yang sok demokratis dengan kondisi dalam negerinya yang bobrok. Film “Innocence of Muslims” dibuat oleh seorang produser Yahudi asal California, Sam Bacile alias Nakoula Basseley Nakoula. Film ini diprotes karena menampilkan figur Nabi Muhammad, sosok yang diyakini umat muslim sebagai manusia yang sempurna. Untuk menjaga keagungannya kaum muslim dalam ajarannya dilarang keras memvisualkan Muhammad dalam bentuk apapun. TIDAK MAU MELARANG Menurut kalangan seniman Barat yang bersikap liberal yang ingin bersikap bebas tanpa batas, ada satu cara jika ingin meraih popularitas di dunia adalah memvisualkan Nabi Muhammad. Hal itu dibuktikan oleh Greetz Wilder yang menggarap film ‘Fitna’, senirupawan Denmark yang membuat kartun Nabi Muhammad. Ada juga nama Salman Rushdi yang menulis novel ‘The Satanic Verses’ atau ‘Ayat Ayat Setan’ dan yang terakhir Sam Bacile memfasilitasi pembuatan film ‘Innocence of Muslims’. Memang mereka begitu cepat populer namun sekaligus kematiannya menjadi target kaum muslim se dunia. Kemarahan kaum muslim tampaknya
www.indiependen.com | www.indiependen.net
beralasan jika melihat ‘Innocence of Muslims’. Film berdurasi 2 jam tersebut menggambarkan Nabi Muhammad sebagai fedofilia, homoseks serta menampilkan adegan intim. Film ini menyita perhatian dunia Arab setelah ditulis oleh blogger Kristen Koptik asal Mesir bernama Morris Sadek yang kewarganegaraan Mesir-nya telah dicabut karena menyerukan agar Mesir diserang. Sekarang Morris menetap di California mendirikan grup anti Islam bernama National American Coptic Assembly. Sungguhpun negara-negara Islam mendesak pemerintahan Barack Obama agar melarang film yang mencederai kaum muslim tersebut namun pihak
Gedung Putih berdiplomasi bahwa karena Amerika Serikat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi maka negara tidak bisa mengintervensi hasil kreativitas warganya. Begitu juga pemerintahan Perancis, Inggris dan beberapa sekutu AS di Eropa tidak mau melarang keberadaan film “Innocence of Muslims”. GERAKAN ANTI A.S Kebencian masyarakat Arab terhadap kapitalis Amerika, Inggris, Perancis dan sekutunya yang selama ini mengobrakabrik negara mereka dengan dalih penyelamatan ternyata hanya tipu muslihat untuk meraup keuntungan lewat perdagangan senjata dan penguasaan BBM, tampaknya menemukan momentum yang tepat. Munculnya film ‘Innocence of Muslims’ menjadi pemantik kemarahan yang begitu garang. Kemarahan rakyat Libya terhadap AS ditunjukkan dengan meroket Duta Besar AS di Libya, Christopher Stevens ketika hendak melarikan diri bersama lima stafnya di di Benghazi (11/09). Adapun pada pihak pengunjuk rasa, empat orang tewas diterjang peluru tajam saat bentrok dengan polisi di sekitar Kedutaan Besar AS di Sanaa ibu kota Yaman, sementara 34 orang lainnya mengalami cedera ( 13/09). Bentrok di Mesir mengakibatkan 224 orang cedera dan delapan di antaranya harus dilarikan ke rumah sakit. Peserta demo di Teheran, ibu kota Iran begitu ekspresif, sepanjang aksi massa terus berteriak, “Mampus Amerika.... Mampus
Amerika....” Begitu juga di Kuwait, ribuan pendemo menyerbu kantor kedutaan Amerika Serikat di Kuwait City (13/09). Di Asia, khususnya Pakistan suasanya begitu panas saat polisi menembaki demonstran. Massa menyerang bioskop Firdaus juga bioskop Shama, mereka marah lalu memecahkan jendela serta membakarnya (21/09). Demonstrasi besar-besaran itu membuat Pemerintah Pakistan menetapkan hari itu sebagai hari libur nasional. Sehari sebelumnya, bentrokan juga terjadi di Islamabad, 50 orang dikabarkan terluka. Peluncuran film ‘Innocence of Muslims’ memicu demonstrasi yang terus bergulir di seantero negara dunia. Sebagian besar aksi berujung bentrok. Bahkan, intensitas demo semakin meningkat setelah majalah Prancis, Charlie Hebdo meluncurkan karikatur Rasulullah SAW. REKOMENDASI N.U Gerakan anti Amerika meluas hingga ke Indonesia. Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat sambil menggelar spanduk mengecam pemerintah AS karena melakukan pembiaran terhadap peredaran film tersebut. Aksi unjuk rasa dan demo terkait film Innocence of Muslims terus berlanjut. Ratusan anggota HMI Jakarta Timur mengadakan aksi di depan Kedubes Amerika Serikat. Selain itu elemen-elemen Islam di Depok mengadakan konvoi. Dalam aksinya, demonstran menyatakan bahwa satusatunya hukuman yang pantas bagi para pembuat film itu adalah hukuman mati. Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) telah menghasilkan beberapa rekomendasi yang terkait dengan berbagai masalah bangsa ini juga sudah diberikan kepada Presiden SBY. Keempat rekomendasi yang ditetapkan pada Senin (17/9) tersebut antara lain; Politik dan Persoalan Korupsi, Persoalan Pajak, Pendidikan: Nilai-nilai Kepesentrenan dalam Kurikulum Pendidikan Karakter dan International menyangkut film Innocence of Muslims. Oleh karena NU merekomendasi agar lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan OKI membuat Konvensi yang mewajibkan semua orang untuk tidak melakukan tindakan yang melecehkan dan atau menodai simbol-simbol yang dihormati agama. Dan, umat Islam agar tidak mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan yang tidak terkendali dan destruktif oleh segala bentuk serangan seperti yang dilakukan pembuat film Innocent of Muslims. iin
NOVEL THE SATANIC VERSES
The Satanic Verses adalah novel keempat karya pengarang Salman Rushdie kelahiran Mumbai, India. Novel yang terbit pada 1988 ini memicu kontroversi, utamanya di Iran. Novel itu dinilai menggambarkan dan menyinggung kehidupan Nabi Muhammad dan proses turunnya Alquran secara tidak benar.
Adegan film Submission
FILM SUBMISSION
Film ‘Submission’ dirilis pada 2004, merupakan film pendek berdurasi 11 menit disutradarai Theo Van Gogh dan skenarionya ditulis Ayaan Hirsi Ali, mantan anggota parlemen Belanda. Film ini ditayangkan di jaringan TV publik Belanda (VPRO) pada 29 Agustus 2004.
KARTUN THE LIFE OF MUHAMMAD Film kartun ‘The Life of Muhammad’ dirilis April 2008, dibuat oleh politisi Belanda kelahiran dan keturunan Iran, Ehsan Jami. Film ini menceritakan kehidupan Nabi Muhammad dengan istrinya yang masih berusia 9 tahun, Aisyah namun dalam sudut pandang seksual. Film itu juga menggambarkan wajah Nabi Muhammad, yang di dalam Islam tidak diizinkan.
KARTUN NABI DI DENMARK
Pada September 2005, surat kabar Denmark, Jylland-Posten memuat kartun Nabi Muhammad yang menggambarkan wajah Nabi Muhammad. Selain itu digambarkan Nabi Muhammad memakai sorban lilit dengan sumbu bom di bagian atasnya.
FILM FITNA
Film ini dirilis pada 2008 yang dibuat oleh anggota Parlemen Belanda, Geert Wilders. Film berdurasi 17 menit ini bercerita tentang Islam, tentang ayatayat Alquran dan potongan-potongan aksi terorisme yang dilakukan oleh umat Islam. Film ini menyimpan pesan bahwa Al Quran memotivasi orang untuk membenci siapa saja yang menyerang Islam. Alhasil, film yang diunggah di situs video internet ini diblok. iin
indiependen | EDISI 4 | 2012
23
MIMBAR BEBAS
Potret Pudar Budaya Timur
SEREMONI
“Gak duwe dur..!” Itulah sekilas kalimat yang saya dengar dari gerutu seorang kakek yang duduk di depan pagar rumah di area perkampungan yang padat, seraya menoleh dengan tatapan nyinyir pada tiga ABG (baca: remaja belasan tahun) yang tidak merasa bersalah tertawa terbahak-bahak bersenda gurau dan juga tanpa merasa risih jika materi candanya terdengar menyebutkan hal-hal yang tidak layak diungkapkan remaja seusia mereka. AHOK KE MEDAYU AGUNG. Kemenangan Jokowi – Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) - tidak hanya membanggakan masyarakat Jakarta tapi hampir seluruh masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali Oei Hiem Hwie dan Ongko Digdojo pendiri perpustakaan, Medayu Agung. Sewaktu menjabat sebagai Bupati Belitung Ahok pernah bertandang ke perpustakaan tersebut untuk menyaksikan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer maupun Bung Karno. Ahok ditemani Murdaya Poo dan beberapa sahabatnya merasa surprise bisa menyaksikan buku-buku langka.
I
Keguyuban masyarakat masih tampak pada saat terjadi pemakaman, selain dihadiri sanak keluarga juga banyak tetangga yang bersikap peduli.
TULAH sekilas contoh potret kehidupan sehari-hari yang dewasa ini kerap menjadi bahan pembicaraan kaum sepuh yang dengan serta merta flash back membandingkan dengan ajaran yang mereka terima pada era dulu. Pelajaran budi pekerti yang seharusnya menjadi tolok ukur bagi tatanan masyarakat yang beradab kini banyak dipertanyakan eksistensinya. Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang santun, sangat-sangat menerima berbedaan, ajaran atau “sesuatu’ yang baru tetapi dengan koridor dan tanpa melanggar etika budaya ketimuran tentunya. Fenomena pergeseran adat istiadat dan kebiasaan baik kini dirasakan sangat kental menuju degradasi. Banyak kita temui di jalan raya, pengendara yang tipis toleransi, sangat cerdas mencari peluang “melanggar” peraturan lalu-lintas. Jargon hormatilah pejalan kaki kini tidak lagi berlaku. Saling serobot di traffic light dalam jeda pergantian lampu banyak dilakukan dengan alasan tergesa-gesa, “time is money bung !”. Sungguh salah satu dampak kultur hedonis. Dalam pergumulan asimilasi budaya dan agama, banyak pula tradisi yang mulai bergeser. Terlebih di kawasan pemukiman yang tergolong elit. Kita bisa ambil contoh prosesi “Tahlilan” (Baca: Berdo’a bersama pasca wafatnya seseorang dalam ranah Nahdliyin), yang semestinya dilaksanakan atas semangat kebersamaan tanpa mengharapkan nilai lebih dari segi finansial (Lepas dari perbedaan mahzab/faham yang ad ). Tetapi kini dalam konteks
24
indiependen | EDISI 4 | 2012
keterbatasan peduli dan egaliterisasi maka kebutuhan tersebut dapat teratasi dengan “mengundang” warga/ jama’ah dari luar kompleks, tentunya dengan tempelan “ucapan terima kasih”. Jika dilihat dari perspektif amar ma’ruf (Baca: Berbuat baik) memang bisa dinilai sebagai amalan yang postif, tetapi jika ditinjau dari sisi tingkat kepedulian sesama warga dirasa kurangnya kebersamaan (Sekali lagi terlepas dari perbedaan mahzab/faham yang ada). Namun atmosfir kebersamaan masih lebih terasa pada level masayarakat kelas menengah dan bawah yang hidup di kawasan perumahan yang padat dan plural. Dengan tingkat pendidikan dan strata ekonomi yang lebih beragam dirasa tetap terjalinnya suasana keakraban. Terbukti dengan masih adanya pertemuan ibu-ibu PKK, PAUD, Posyandu dan lain-lain. Jika memang pergeseran kultur timur menjadi western yang banyak diaplikasikan masyarakat kita secara massive namun hanya pada permukaan tanpa mengabaikan esensi positif serta edukasi yang mumpuni, itulah saat bagi runtuhnya generasi Indonesia Raya yang dulu sangat disegani bak mercu suar di samudera kemerdekaan dan perubahan yang diidamkan negara-negara lain. Ada baiknya kita memulai sadar untuk memikirkan langkah selanjutnya bagi proses regenerasi yang tetap sarat dengan nilai luhur ketimuran yang menjunjung budi pekerti luhur yang tetap menjadikan kebersamaan sebagai panglima bagi perekat tetap utuhnya Republik tercinta dan menjadikan budaya sendiri sebagai tuan rumah yang ramah namun memiliki prinsip. Mawan Mardijanto
DONOR DARAH. Gerakan Fajar Nusantara Jawa Timur telah menggelar aksi donor darah ketiga diikuti oleh 141 donatur umum serta anggota Gafatar dari Surabaya dan Gresik bertempat di sekretariat Gafatar, Jl. Gayungsari I/8 Surabaya. Aksi kemanusiaan tersebut dibuka oleh Ketua DPD Gafatar Jatim, Supardan pada hari Minggu (22/09) pagi yang dimeriahkan dengan berbagai hiburan.
HALAL BIHALAL. Keluarga besar Tabloid Indiependen mengadakan acara halal bihalal di café Dargo Surabaya. Acara yang dihadiri oleh para wartawan senior, praktisi pendidikan dan relasi itu dihibur oleh live music (02/09). Acara serupa juga digelar bersama warga Kampung Malang Kulon I Surabaya (16/09).
AKSI KEMANUSIAN. Sebagai bentuk kepedulian terhadap korban konflik di Sampang, keluarga besar PT Permata Inti memberikan sumbangan sembako dan diserahkan lewat redaksi Tabloid Indiependen. Diharapkan aksi ini menggugah elemen masyarakat untuk memberikan bantuan serupa. www.indiependen.com | www.indiependen.net
DIALOG PIPIT ROCHIJAT KARTAWIDJAJA
Proses Pelaksanaan UU di Indonesia Semrawut
S
UDAH 21 tahun terakhir, Pipit bekerja di sebagai pejabat publik yang melayani peluang kerja, dia juga membentuk LSM Watch Indonesia Berlin. Di sela-sela masa cuti selama enam pekan di tanah air, dia sempat bertandang ke kantor redaksi Indiependen. Dan sebagaimana biasa, teman-temannya menimba pengetahuannya hingga larut malam, kemudian disusun Rokimdakas dalam sajian berikut:
Sejak 1971 Pipit Ruchdijat Kartawidjaja (63), melanjutkan studi elektro di Berlin, Jerman hingga sampai sarjana muda. Ketika menyaksikan otoritarian rezim orde baru Soeharto, bersama kalangan mahasiswa di Jerman, Pipit melakukan berbagai aksi perlawanan yang berakibat paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia. Selama di Jerman, dia bersinggungan dengan beragam pemikiran yang menjadikan dirinya begitu kritis dalam membaca dinamika Indonesia.
KETIKA ANGGOTA DPR RI MELAKUKAN LAWATAN KE JERMAN TERNYATA “DIUSIR” OLEH PERHIMPUNAN MAHASISWA INDONESIA, APA ANDA YANG MENGGERAKKAN? Pikiran orang-orang intelejen Indonesia selalu seperti itu, jika ada yang melakukan aksi selalu menuduh ada orang yang menggerakkan dari belakang. Padahal tidak selalu begitu karena teman-teman memiliki kepekaan tersendiri dalam mengkritisi hal-hal seperti itu. BAGAIMANA ANDA MENILAI TERHADAP PROGRAM STUDI BANDING SELAMA INI? Terus terang saya katakan sia-sia, muspro, buang-buang duit saja. Apa sebab? Selama ini banyak rombongan birokrasi pemerintah maupun militer ke Jerman untuk belajar tentang birokrasi. Tapi yang dipelajari hanya soal kebijakan, bukan organisasi. Ketika utusan kementrian studi ke Jerman, mereka pikir di Jerman ada instansi pemerintah. Padahal di Jerman tidak da instansi pemerintah. Begitu juga orang Jerman pun mengira bahwa yang di Indonesia itu yang ada adalah instansi negara. Mereka nggak tahu kalau di sini namanya instansi pemerintah. Jadi nggak klop. DI BIDANG TATA NEGARA APA YANG MENJADI PROBLEM INDONESIA? Kalau menurut saya Indonesia sekarang kan sedang menghadapi problem untuk menata birokrasi negara. Ketika saya diberi kesempatan untuk memandu orang-orang dari Menpan tahun 2008-2009, saya memperhatikan bahwa yang diikutkan adalah para sarjana lulusan luar negeri termasuk dari Amerika Serikat. Yang mengherankan ternyata mereka sama sekali tidak mempelajari, bagaimana orang-orang Barat mengorganisir negaranya, mereka cuma belajar tentang produk, kebijakankebijakan publik, tapi tidak masalah organisasi. APA YAN ANDA LAKUKAN UNTUK MENGUKUR PEMAHAMAN MEREKA? Cara ngetesnya gampang. Ketika saya tanya, “kamu dapat beasiswa?” Lalu dia jawab, “iya saya dapat bea siswa dari pemerintah Jerman.” Begitu dia mengatakan pemerintah Jerman, itu sudah salah, itu ngawur, sebab yang benar adalah negara. Jerman yang menganut sistem welfare state itu berkepentingan untuk mengurus seluruh tata kehidupan dalam negara. Tapi itu tidak mungkin karena yang namanya problem selalu muncul www.indiependen.com | www.indiependen.net
silih berganti. Kemudian ada elemen masyarakat yang menawarkan diri untuk menangani sampah ataulainnya dan orang Jerman menanggapi dengan gembira, mereka bersyukur karena ada yang bersedia mengurusi. Karena itu diberikanlah dana. Jadi, kalau ada LSM ingin mengurusi hal-hal semacam itu biasanya diberi dana. Dengan dana tersebut para aktivis LSM memperoleh uang, mereka bisa belanja konsumsi berarti ikut menggerakkan ekonomi domestik sehingga ada pajak yang masuk, dan sebagainya. Logikanya sederhana saja. Tapi di Indonesia kalau ada LSM, akan ngamuk. Aparat pemerintah melihatnya kayak musuh aja, mikirnya nggak muter. Duwit dimakan sendiri sehingga numpuk di atas sedangkan di lapisan bawah, tidak. Kalau masalah UMR dan macam-macam nilainya selalu ditekan tapi fasilitas elite makin menjadi-jadi. Akhirnya kita sendiri yang rugi, potensi ekonomi domestik tidak bergerak. APA YANG MEMBEDAKAN INDONESIA DAN JERMAN DALAM MELAKSANAKAN UNDANGUNDANG? Kalau di Jerman ketika Undang Undang turun itu yang melaksanakan birokrasi atau administrator negara, pemerintah tidak ikut campur. Pihak administratur negara merupakan eksekutor undang-undang, pemerintah hanya pembuat kebijakan RUU atau program tanpa boleh campur tangan. Tapi di Indonesia, dalam UUD 45 ada pasal yang merepotkan, seperti disebutkan, untuk menjalankan Undang Undang perlu Peraturan Pemerintah (PP). Hal elementer ini tidak dipahami, kalau dipamahi kendalanya harus diamandemen. Sedangkan kalau mau amandemen banyak pihak yang menginginkan kalau bisa UUD 45 itu jangan diotak-atik. Namun menurut saya itu harus dicoret. ITU PRINSIP? Memang, jika tidak ada PP – Peraturan Pemerintah – undang-undang tidak bisa dijalankan. Namun untuk menjalankan PP masih perlu adanya Peraturan Menteri atau Surat Menteri. Surat menteri tidak bisa
jalan jika tidak ada Surat Dirjen. Itu yang menyusahkan Indonesia, jika menterinya ganti maka berubah juga atensinya. Begitu banyak kesulitannya dan begitu banyak UU nggak bisa dijalankan. Contohnya UU Jaminan Sosial jamannya Megawati, dia bikin tahun 2004 sebelum dia turun sebagai presiden tapi sampai sekarang, mana realisasinya? KENAPA BEGITU? Ya karena SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red) tidak menerbitkan Peraturan Pemerintah. Kan bisa saja presidennya ketika berkuasa mogok tidak mau meneruskan kebijakan pendahulunya. Lalu bikin UU yang bagus lagi tapi presiden penggantinya nggak bikin PP ya nggak jalan. Itu bedanya dengan di Jerman, begitu UU disyahkan, langsung bisa jalan. Karena birokrasinya yang menjalankan. Ini ada teman saya, Bupati Kutai periode 1998 sampai 2008, memerintahkan Dinas Sosial dan Satpol PPnya untuk membersihkan kotanya dari pengemis. Lalu dilakukan sehingga bersih dari pengemis. Lalu dia tanya, “kalau di Berlin gimana?” Kalau kamu turunkan tanpa Perda, Dinas Sosial dan Satpol PP tidak akan bergerak. Tapi kalau ada Perda tanpa diperintahpun jalan. Berlin sekarang direpotkan oleh kehadiran pengemis dari Rumani, gypsigypsi itu pada musim panas berdatangan, diusir nggak bisa karena mereka juga warga Uni Eropa. UU anti pengemis juga tidak ada kemudian Walikotanya dan DPRDnya mau bikin Perda tapi Dinas Sosialnya protes, jangan bikin perda. Kok bisa Dinas Sosialnya protes tanpa takut dipecat. Apa di Indonesia bisa begitu? Jelas nggak bisa. APA ANDA PERNAH DIMINTA UNTUK MEMBANTU PENYUSUNAN RUU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN? Pada tahun 2009 saya pernah diminta untuk melobi tentang pengajuan Rancangan UU Administrasi Pemerintahan. Saya melobi sampai kemana-mana, akhirnya ke Setneg. Di Jerman, jika parpol koalisi punya rancangan undang-undang cukup bicarakan
di kabinet, setuju apa tidak? Kalau setuju ya sudah lalu masuk DPR. Ternyata di Indonesia tidak, UU itu setelah lewat dari DPR disaring dulu di Setneg. APA ESENSI DARI RUU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN? RUU Administrasi Pemerintahan itu bicara soal keputusan. Sebelum dijatuhkan suatu keputusan, pihakpihak yang terlibat harus didengar pendapatnya. Dalam hal ini SBY (presiden, red) merasa, bahwa keputusannya juga akan digituin. Ternyata ini problem hukum Indonesia. Padahal bukan begitu. Undang-undang itu bicara soal hubungannya dengan publik. Yang baru saya ketahui di Indonesia itu ternyata ada dua pengertian keputusan, keputusan umum abstrak dan ada keputusan individual konkrit. Keputusan umum abstrak itu dalam bentuk kebijaksanaan politik, misalnya SBY bikin keputusan politik. Itu yang nggak disentuh sama undang-undang. Nah, kalau yang individual konkrit itu seperti soal tanah, KTP, dan sejenisnya. Hanya saja istilah keputusan ini tidak didefinisikan secara jelas. Karena itu istilah hukum di Indonesia begitu semrawut. SEMRAWUT BAGAIMANA? Kita kan tahu bahwa yang namanya Sekretaris Jenderal DPR itu adalah aparat pemerintah yang diperbantukan pada DPR. Ini kan aneh, eksekutif kok ikut-ikut di legislatif. Kalau DPR mau mereorganisir Sekjen DPR ternyata juga tidak gampang karena harus seijin Menpan. Lho legislatif kok minta ijin Menpan, gimana sih? Sehingga ada istilah yang aneh, di jaman Sutijoso, “Anggota DPRD Propinsi Jakarta meminta pada gubernur agar gajinya dinaikkan” Lho gaji legislative kok minta pada gubernur. Lha kalau gubernurnya ngasih kan berarti menyuap. Bukan itu saja, KPU juga begitu. Sekjen KPU itu aparat pemerintah. Itu sebabnya dalam KPU itu ada dua rezim, dua kamar. Yaitu mereka yang dipilih dan birokrasi yang loyalitasnya pada pemerintah, kalau sudah begitu independennya KPU dimana? Ini yang bikin kacau. Jadi, sebaik apapun undangundang produk DPR akan terhambat oleh masalah seperti itu. KENDALA SEMACAM ITU KAN TIDAK MUNGKIN TIDAK DISADARI OLEH PEMERINTAH? Tahun 2009 saya pernah saya sampaikan permasalahan itu kepada Budiman Sujatmiko (anggota DPR RI, red), lalu dia hanya geleng-geleng , “iya ya, kenapa ya..” Itu saja ucapannya. Mereka sadar, tetapi untuk mengubahnya ternyata menghadapi perlawanan. Mereka menganggap yang ada sekarang itu sudah benar. Apalagi pihak Universitas Gajahmada yang menjadi perancangnya juga menilai begitu, padahal orang-orang itu belajarnya di luar negeri semua, tidak terkecuali yang ahli administrasi negara. Yang jadi pertanyaan, benernya dimana? Berarti waktu di luar negeri mereka tidak belajar dengan benar. indiependen | EDISI 4 | 2012
25
LAYANAN PUBLIK NUNING RODIYAH - KETUA KPP JATIM
Pengaduan Tanah dan Kependudukan Masih Dominan
S
UDAH risiko pekerjaan, harus dihadapi dengan dingin, sabar, tetapi tegas. Semua menuntut perhatian dan penyelesaian masalahnya,” tutur Nuning Rodiyah, SPd.I, MPd.I, Ketua KPP Jawa Timur. Prinsipnya, orang mengadu itu butuh didengar, diakomodasi aduannya, dan dilayani dengan membantu menyelesaikan masalahnya. “Kadang-kadang emosi saya ikut larut dalam persoalan yang diadukan. Tapi itu manusiawi kan,” ujar wanita yang nampak lebih matang dari usia sejatinya. Ia lahir di Bojonegoro, 10 Desember 1979. Tapi seperti apa komitmen KPP Jatim terhadap kasus-kasus di bidang pertanahan ? Badan Pertanahan Nasional (BPN), menurut Nuning, menjadi catatan tersendiri bagi KPP Jatim. Sebab sejak KPP Jatim berdiri (2006), BPN selalu menempati posisi dalam tiga besar permasalahan yang diadukan ke KPP Jatim. “Itu sesuai dengan laporan publik yang kami rilis secara periodik,” kata Nuning. Bahkan, menurut Nuning, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, juga berpesan agar KPP Jatim memberi tekanan tersendiri terhadap kasus-kasus pertanahan. “Maksudnya agar KPP Jatim memberi perhatian lebih dalam proses penanganan kasus-kasus pertanahan,” ujar Nuning mengutif pesan Gubernur pasca pelantikan pengurus KPP Jatim beberapa bulan lalu. Nuning menegaskan, sistem dan proses pengurusan dokumen pertanahan masih perlu terus dibenahi. Nuning tidak menampik bahwa BPN di satu sisi memang sudah melakukan perbaikan. Meski begitu harus ada komitmen dari pihak-pihak terkait dalam proses penanganan masalah pertanahan ini. “Tujuannya agar pelayanan di bidang pertanahan ini berjalan dengan baik, semua stakeholder yang tergabung di dalamnya harus
D
INAS Kependudukan, Perusahaan Daerah Air Minum Surabaya dan Badan Pertanahan Nasional adalah instansi yang terbanyak diadukan dari 26 instansi penyelenggara pelayanan publik. Hal ini tercermin dari laporan publik KPP Jatim yang disampaikan Hardly Stefano. Dari 105 pengaduan yang masuk, kata Hardly, 56 pengaduan atau 43,34 % ditujukan kepada instansi penyedia pelayanan publik tersebut. Secara rinci, dikatakan, Dispenduk dan PDAM Surabaya masing-masing diadukan sebanyak 19 kali atau 18,10 %. Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang selama ini menempati peringkat tertinggi diadukan, mengantongi prosentase 17,14 % atau setara dengan 18 pengaduan. Terkaiat dengan penanganan pengaduan yang dilakukan
26
indiependen | EDISI 4 | 2012
Kasus pertanahan dan kependudukan masih menjadi primadona di kantong pengaduan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur. Beraneka ragam gaya pengaduannya, itulah yang kini coba diurai pengurus KPP Jatim yang baru. Memang tidak gampang karena semua menuntut prioritas.
Nuning Rodiyah, SPd.I, MPd.I, Ketua KPP Jawa Timur
memiliki komitmen kuat dalam memberikan pelayanan yang baik,” kata Nuning bersemangat. BERANI KRITIS Di sisi lain Nuning mengaku prihatin terhadap masih tingginya ketakutan atau keraguan masyarakat untuk mengurus dokumen tanah secara mandiri tanpa mengandalkan pihak ke tiga. “Hal itu menyebabkan proses pengurusan dokumen pertanahan menjadi berbelit dan memunculkan permasahan panjang,” jelas wanita muda ini. Terkait dengan itu Nuning berpesan sebaiknya pihak terkait memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada masyarakat agar memiliki pemahaman komprehensif. “Terlebih dapat melakukan pengurusan dokumen
secara mandiri dan berani bersikap kritis,” kata Nuning. Kasus lain yang menonjol, menurut Nuning, ada di bidang kependudukan. Diakui, memang ada upaya perbaikan dari lembaga penyelenggara pelayanan terkait. “Namun kompleksitas kebutuhan masyarakat menyebabkan permintaan dokumen kependudukan semakin meningkat sehingga membutuhkan pelayanan yang lebih optimal,” katanya. Hal itu, menurut Nuning, menuntut penyelenggara pelayanan publik untuk lebih mengoptimalkan kinerja pelayanan yang dimilikinya. Dari sisi kelengkapan pelayanan publik, Standar Pelayanan Publik (SPP) harus diperjelas dan diketahui masyarakat secara luas sehingga sengketa dan komplain pelayanan publik dapat diminimalkan.
DISPENDUK - PDAM - BPN
Paling Banyak Diadukan
terhadap ketiga lembaga tersebut, Kepala Divisi Mediasi dan Advokasi KPP Jatim, Suprapto, SH, MH, M.Psi, menyatakan bahwa sebagian
dari kasus tersebut telah ditangani dan diselesaikan. Sedang yang lain masih dalam proses penanganan. Pada bagian lain mengenahi
TIDAK ADA MASALAH Sejauh ini Nuning mengaku, KPP Jatim dalam menjalankan tugasnya aman-aman saja. Artinya, tidak ada masalah dengan institusi atau lembaga pengawas lain. Apalagi friksi tajam yang bisa mengancam keharmonisan kinerja mereka. “Ya karena batas-batasnya sudah jelas dan bisa saling menghormati,” katanya. Dengan lembaga pengawas lain seperti Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jatim dan inspektorat, misalnya, dalam proses penanganan pengaduan tidak pernah ada permasalahan. “Hal ini bisa terjadi karena ada kesepakatan dan upaya untuk saling menghormati dan bersinergi antara satu pihak dan pihak lain,” jelasnya. Sinergitas dengan ORI, kata Nuning, KPP Jatim telah sepakat, setiap pengadu sebelum mengadu ditanya apa sudah melapor ke ORI atau belum. “Kalau sudah, dipersilahkan untuk meneruskan proses di ORI, tapi kalau belum baru ditangani KPP,” jelas Nuning. Misalnya ada kasus yang mencoba diadukan ke KPP, sementara proses penanganan oleh ORI belum selesai maka kasus tersebut jelas ditolak KPP. Sementara hubungannya dengan inspektorat, ada kewenangan yang berbeda. Inspektorat menangani masalah internal sedang KPP eksternal. Jika inspektorat menangani pegawai negeri dan perilakunya, KPP menangani proses pelayanan publik berbasis pada tata laksana pelayanan publik. Tapi dalam beberapa contoh kasus, inspektorat dan KPP bisa menangani secara bersamasama. Dalam penyelesaian kasus pertanahan di Surabaya, misalnya, mediasi yang dilaksanakan di kantor KPP, inspektorat dilibatkan. “Masih banyak lagi kasus yang penanganannya seperti itu. Prinsipnya kita menjaga harmonisasi kinerja,” pungkas Nuning. CS instansi terlapor atau teradu, Ketua Komisi A DPRD Jatim, Sabron D. Pasaribu, mengatakan,”apa yang dilakukan KPP Jatim selama paruh tahun ini menunjukkan adanya respon positif masyarakat.” Karena itu instansi terlapor atau teradu seyogyanya memperhatikan pengaduan yang sedang ditangani KPP.”Sehingga instansi terlapor dapat melakukan perbaikan pelayanan,” jelas Sabron. Sehubungan dengan kinerja penanganan pengaduan yang dilakukan KPP, Wakil Ketua Komisi A DPRD Jatim, Kusnadi, menyatakan mendukung penuh langkah KPP. Menurut Kusnadi apa yang dilakukan KPP harus diapresiasi secara baik sebab merupakan faktor penting dalam peningkatan kualitas pelayanan publik di Jawa Timur. iin www.indiependen.com | www.indiependen.net
BERDIKARI NUR HIDAYAH Sudah 14 tahun Nur Hidayah, 32, membuka Rumah Pintar sebagai ajang belajar bagi anak-anak kampung agar mampu menguasai pelajaran sekolah. Yang menggembirakan banyak siswanya yang berhasil lulus dengan nilai bagus kemudian diterima di SMP maupun SMA Negeri. “Saya anggap kegiatan ini merupakan sarana untuk mengamalkan ilmu.” Warga Pandugo VI/8A Rungkut Surabaya ini menuturkan dengan bangga.
S
EBANYAK 60 anak yang duduk di bangku SD kelas 1 - 6 maupun SMP kelas 1 sampai 3 setiap sore bertandang ke rumah Nur Hidayah untuk belajar bersama agar bisa menguasai mata pelajaran sekolah. “Umumnya para orang tua mereka sibuk mencari uang sementara pelajaran sekolah semakin sulit sehingga membutuhkan orang lain yang bisa mendampingi anak-anak mereka,” tutur istri dari Suyitno (36) ini. Memang ada orang tua yang bisa membimbing anak mereka belajar tapi sebagian besar sudah tidak mampu mengikuti perkembangan pelajaran. Pelajaran anak-anak SD sekarang dulu materinya SMP sedangkan yang SMP mempelajari porsi SMA, jadi kalau tidak memperbaruhi pengetahuan tentu tidak akan bisa mengimbangi.
mampu. Secara getok tular, dari dua anak tersebut kemudian jumlahnya berkembang dan sekarang mencapai 60 anak. Jika semuanya hadir, mereka berdesakan hingga ruang tengah. Nur Hidayah merupakan anak sulung dari tiga bersaudara, putri pasangan Djasi dan Umaisaroh. Meski bapaknya berprofesi sebagai tukang becak namun dia mendorong anak-anaknya agar menempuh pendidikan sampai sarjana. Mbak Nur kemudian melanjutkan studi di Unitomo, adiknya Siti Su’diyah juga
14 Tahun Membimbing Belajar Anak-Anak Kampung Dikisahkan, “Ada siswa kelas 3 anak seorang urban yang dimintai biaya les Rp 30 ribu per bulan oleh gurunya namun orang tuanya mengaku tidak punya. Oleh gurunya anak tersebut akhirnya tidak diperbolehkan mengikuti les. Sekarang anak itu saya tampung dan telah menunjukkan perkembangan.” Nur Hidayah merupakan sosok yang tak bisa diam, mengasuh Rumah Pintar merupakan salah satu aktivitasnya disamping memproduk kerupuk dan tas dari enceng gondok. Setelah bimbingan belajar dia lanjutkan untuk membungkusi kerupuk hingga pukul 01.00 dinihari untuk dititipkan di warung-warung.
Hanif, seorang siswa kelas 5 SDN Panjaringansari mengaku bawah awalnya dia ikut temannya yang lebih belajar di Mbak Nur, kini sudah 3 tahun berlangsung Hanif masih betah belajar bersama. “Kalau di rumah tidak ada yang bisa membantu menggarap PR – pekerjaan rumah – tapi kalau di Mbak Nur akan dibimbing sampai mengerti,” tuturnya. Jadwal belajarnya disesuaikan dengan jadwal mengaji, pada pukul 15.00 anak-anak sudah mulai berdatangan, puncaknya seusai Maghrib dan berlangsung hingga pukul 21.00. “Jika ada ulangan atau belum bisa menghafal atau memahami pelajaran maka anaknya tidak boleh boleh pulang. Apalagi untuk siswa kelas 6, akan mendapat perhatian khusus,” tutur Suyitno (36) saat menyaksikan istrinya mengajar. Kisah Rumah Pintarnya dimulai sekita anak sulung dari tiga bersaudara ini semasih kuliah. Seorang tetangganya meminta tolong untuk mengajari anaknya menggarap tugastugas sekolah karena dia merasa tidak www.indiependen.com | www.indiependen.net
berhasil menyelesaikan kuliahnya sedangkan adik ragilnya Menik hanya sampai SMA. Mbak Nur mengaku, dengan mendampingi anak-anak belajar membuat dirinya harus selalu mempelajari perkembangan materi. Jadwal belajarnya berlangsung selama sepekan dan hari Sabtu libur. “Saya meminta pada anak-anak agar saya diberi waktu istirahat hari Sabtu, karena saya lakukan sendiri kalau tidak ada istirahatnya ya berat jugalah,” kata ibu dari Jasmin Aurellia Rahmadani, ini. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Dr. Sutomo Surabaya ini mengaku, dulu kegiatan belajarnya dimulai pukul 13.00 tapi ternyata dia merasa terlampau capek kemudian diubah dan pada pukul 14.00 dia gunakan untuk tidur agar meras segar saat mengajar. Pola yang diterapkan Mbak Nur adalah membimbing secara personan bukan klasikal, setiap anak dibimbing secara sendiri-sendiri. Ditanya tentang tarip, Mbak Nur mengaku seikhlasnya, malah untuk anak dhuafah dia bebaskan tanpa biaya.
KRUPUK DAN ENCENG GONDOK Mulanya Nur Hidayah bekerja di sebuah bank namun dia tinggalkan demi anaknya yang butuh perhatian. Di saat menganggur tanpa penghasilan dia sepertinya mendapat hidayah atau petunjuk, sisa uangnya yang hanya Rp 24 ribu digunakan membuat krupuk lalu dititipkan di warung-warung. Dalam beberapa bulan modalnya berkembang menjadi Rp 3 juta. Itulah omzet penjualannya per bulan. Kapasitas produksinya per hari baru 500 bungkus , menghabiskan tepung terigu sekitar 7 kg. Hasil gorengannya di titipkan di warung-warung seputar Rungkut. Begitulah penuturan Nur Hidayah yang bersama suaminya Suyitno bahu membahu mengembangkan usahanya. Dengan harga jual Rp 500 per bungkus, pemilik warung mendapat keuntungan Rp 100. Selain menjual kerupuk matang juga menawarkan ‘krecek’ atau kerupuk mentah dengan harga fluktuatif. Jika harga bawang putih cutting di pasaran sedang murah maka per kilonya dijualnya seharga Rp 16 ribu tapi bila bawang sedang mahal maka nilainya bisa melonjak hingga Rp 25 ribu per kilo. “Saya benar-benar menjaga kualitas dengan memperbanyak campuran bawang putihnya agar lebih terasa gurih. Untuk penggorengan, saya juga
selalu menggunakan minyak yang baru. Minyaknya hanya untuk sekali goreng lalu jelantahnya saya jual ke pasar. Dengan begitu rasa kerupuknya tidak serik dan selama ini tak satupun ada yang balik. Artinya dari 500 bungkus selalu habis terjual,” tutur Nur Hidayah dengan wajah semringah. Yang dipikirkan Nur Hidayah sekarang adalah cara memperoleh kredit agar bisa mengembangkan usahanya untuk memproduk krecek karena prospeknya cukup bagus. “Saudara saya yang di Bali yang lebih dulu membua usaha krupuk sekarang omzetnya per bulan mencapai Rp 8 juta. Itu yang ingin saya tiru agar bisa lebih berkembang, tapi pada siapa saya harus meminta tolong untuk memperoleh kredit?” Mengamati kiprah Nur Hidayah, ternyata tidak hanya kerupuk yang dia geluti, ibu satu anak inipun menerapkan ilmunya yang didapat dari pelatihan pembuatan tas berbahan enceng gondok. Dari 25 peserta kursus hanya dia yang mengembangkan menjadi pekerjaan di rumah. Untuk bahannya jika membeli harga per kilonya seharga Rp 20 ribu. Karena cukup mahal kemudian dia bersama suaminya mencari enceng gondok di sungai-sungai. Apabila cuaca panas maka dalam tiga hari sudah bisa diolah. Dalam sehari dia bisa menghasilkan dua buah tas yang kemudian dipasarkan secara getok tular oleh tetangganya yang bekerja di pabrik. Untuk tas berukuran kecil di banderol Rp 25 ribu sedang yang besar Rp 65 ribu, pelunasannya waktu gajian hari Sabtu. Itulah sosok Nur Hidayah yang tak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa aktivitas yang bermanfaat. Meski selalu berusaha memperbaiki taraf hidupnya dengan memproduk krupuk dan kerajinan enceng gondok, dia juga mencurahkan pikirannya untuk membimbing belajar anak-anak tetangganya. Sebuah pengabdian yang sarat makna. Iin indiependen | EDISI 4 | 2012
27
BLITZ Istilah junk food mengacu pada makanan yang cepat dan mudah dibuat, cepat disajikan dan lezat dikonsumsi. Junk food ini sangat rendah atau nol dalam nilai gizi tetapi tinggi lemak, garam, gula, dan atau kalori. Junk food meliputi asinan, camilan, gorengan, dan minuman berkarbonasi.
J
UNK FOOD telah menjadi masalah besar, dan banyak negara telah mengambil tindakan untuk hal ini. Misalnya, melarang iklan makanan di program anak-anak, melarang penjualan di sekolah-sekolah dan bahkan memberlakukan pajak lemak. Junk food mengandung emak trans. Lemak trans berperilaku seperti lemak jenuh ketika masuk ke dalam tubuh. Lemak ini akan menimbulkan plak pada pembuluh darah yang berpotensi timbulnya penyakit jantung dan stroke. Dalam hal plak ini menyumbat arteri, seseorang akan mati mendadak (serangan jantung).
IBU HAMIL/MENYUSUI Medical Report 2008 menunjukkan bahwa ibu yang makan junk food saat hamil atau menyusui memiliki anak yang lebih rentan terhadap obesitas. Anaknya juga lebih rentan terhadap diabetes, meningkatnya kadar kolesterol, dan mengakibatkan penyakit tekanan darah tinggi. Pasokan asam lemak berlebihan sangat merugikan selama perkembangan janin, dapat mengubah komposisi asam lemak dari fosfolipid membran (lipid/sel lemak dalam membran -dan berdampak pada kegemukan anak) dan penyimpanan trigliserida. Janin sudah mulai menyimpan kalori yang tidak terpakai pada manusia, yang berkaitan dengan kesehatan jantung, gangguan dalam lingkungan seluler, struktur dan fungsi. Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang makan gula tinggi dan lemak tinggi melahirkan bayi yang cenderung menjadi
28
indiependen | EDISI 4 | 2012
pecandu junk food. Hal ini terjadi karena tinggi lemak berpengaruh langsung pada aktivitas otak. Makanan dengan gizi rendah semacam junk food ini juga cenderung mengurangi tingkat IQ anak-anak. “MEMUKUL” OTAK! Studi yang dipublikasikan pada tahun 2009 dalam The Journal of Clinical Investigation, menunjukkan bahwa lemak
dari lemak asam sangat mempengaruhi otak. Penelitian oleh Deborah Clegg, Asisten Profesor of Internal Medicine di University of Texas, menyarankan bahwa ketika kita makan sesuatu yang tinggi lemak, langsung “memukul” otak. Asam, dan molekul lemak menyebabkan otak tidak dapat mengirim pesan ke sel-sel tubuh, mengabaikan sinyal penekan selera makan dari hormon leptin dan insulin, yang terlibat dalam pengaturan berat badan. Studi lain dari aspek neurology menunjukkan bahwa makan junk food terlalu banyak atau makanan kaya lemak trans dapat mengecilkan otak serupa dengan gejala penyakit Alzheimer. Menghindari lemak terhidrogenasi juga penting bagi pertumbuhan otak anak-anak karena dapat menyebabkan gangguan perhatian defisit hiperaktif (ini adalah gangguan kejiwaan terutama pada anak-
anak). Studi juga menunjukkan bahwa mengkonsumsi junk food akan mengubah kimia otak, menjadi adiktif. Tinggi fruktosa sirup jagung (HFCS), monosodium glutamat (MSG), minyak terhidrogenasi, disempurnakan garam, bahan pengawet serta berbagai reaksi kimia lain yang ditemukan dalam junk food bertingkah sama sebagaimana kokain. Penelitian lain yang dilakukan oleh University of Texas di Austin (UT) dan Oregon Research Institute menemukan beberapa efek junk food. SETARA ZAT ADIKTIF Seperti halnya obat-obatan, mereka yang kecanduan junk food membutuhkan jumlah yang semakin meningkat. Dalam studi korelatif, peneliti mengidentifikasi kesamaan dalam
tingkat produksi dopamin antara obat adiktif dan pecandu junk food. Kecanduan, pada dasarnya adalah reseptor otak yang menerima sinyal dopamin, kehilangan respon mereka. Akibatnya, pecandu membutuhkan peningkatan jumlah zat adiktif untuk menerima tingkat kepuasan yang sama dengan sebelumnya. PENYAKIT YANG TAK TERSEMBUHKAN Studi di kedua universitas itu, juga menunjukkan bahwa sejak usia 20, penyumbatan arteri sudah dimulai dan meletakkan dasar bagi serangan jantung di kemudian hari. Junk food yang dimakan anakanak mempertinggi risiko mereka terhadap prostat dan kanker payudara. Osteoporosis dan hipertensi merupakan penyakit lain yang mulai berakar di masa kecil sejak mereka memiliki kebiasaan makan junk food.
ANAK-ANAK SANGAT RENTAN Pola makan yang buruk seperti ini memperlambat pertumbuhan gigi, pembusukan gigi, meningkatkan obesitas dan menabur benih penyakit yang melemahkan; yang pada akhirnya menyebabkan penyakit tak tersembuhkan. IMPOTENSI ALIAS DISFUNGSI SEKSUAL Dokter-dokter di Harvard University, Amerika dan University of Murcia, Spanyol, telah menemukan bahwa junk food dapat membuat seseorang kehilangan fungsi seksual, bahkan jika mereka secara fisik fit
dan dalam kesehatan terlihat baik. Mereka yang makan banyak junk food, ditemukan memiliki sperma kualitas rendah dibanding rekan-rekan mereka yang makan makanan bergizi tinggi, seperti dalam biji-bijian, sayuran dan ikan. Secara khusus, partisipan yang mengonsumsi lemak trans tingkat tinggi, ditemukan memiliki kualitas sperma terburuk --yaitu, sperma yang paling mungkin untuk bertahan hidup dalam perjalanan membuahi sel telur. Sementara itu, plak-plak lemak yang menempel pada dinding pembuluh darah, menghambat aliran darah pada jaringan erektil baik pada perempuan mau pun lelaki. Bagi lelaki, dapat mengakibatkan ereksi penis tidak optimal dan pada gilirannya mengalami dis-ereksi, impotensi atau disfungsi seksual. Yon Noroyono www.indiependen.com | www.indiependen.net
SENI
Oleh: Rokimdakas
A
DA kesenian yang dicipta dari hasil perenungan atas suatu fenomena krusial namun tidak jarang lahir dari keisengan. Meskipun iseng namun jika diolah secara intensif tentu akan menyita perhatian. Seperti itu yang dialami kesenian Seronen, sebuah musik arakarakan asal Desa Seronggi yang kemudian diklaim sebagai ikon kesenian Sumenep, Madura. Sayangnya pemerintah daerah tersebut belum pernah memberi bantuan agar kesenian itu mampu mengembangkan kualitas sajiannya bertahan di tengah kompetisi hiburan yang begitu sarat. Sejak kapan Seronen hadir? ”Menurut para orang tua, kesenian seronen dihadirkan oleh buyut kemudian kami warisi bersama keluarga besar,” tutur Abdullah yang dipercaya sebagai juru bicara. Meski tidak memperoleh penjelasan akurat namun dia menafsir, kesenian Seronen lahir dari keisengan para petani dalam menghibur diri seusai mengolah sawah. Lokasi Desa Seronggi berjarak 5 km selatan Sumenep, di kawasan tersebut terdapat kesenian wayang topeng yang legendaris. Di situ juga terdapat satusatunya lokalisasi di Pulau Madura namun sekarang hanya tersisah satu dua wisma. Tipografi persawahannya merupakan tadah hujan tempat sebagian penduduknya menggantungkan hidup seraya menanam jagung, ubi atau padi bila air mencukupi. Bisa dibayangkan bagaimana suasana malam hari Desa Seronggi di tahun 1960an ketika belum ada listrik dan taraf kehidupannya masyarakat begitu miskin. Salah satu penerangan yang tampak hanya lampu ting yang ditempatkan berjajar di depan masing-masing halaman rumah. Itupun kalau empunya rumah mempunyai sisa minyak tanah. Baru ketika bulan purnama suasananya berubah terang benderang dan anak-anak menggelar www.indiependen.com | www.indiependen.net
dolanan. Sebagian lainnya menonton beberapa orang tua bermain tabuhan. “Karena merasa keasyikan kemudian mereka tidak hanya menabuh ketika bulan purnama tetapi di hari-hari biasa pun sering berkumpul untuk bermain tabuhan. Hitung-hitung untuk menghibur diri setelah mengolah sawah. Apalagi hiburannya kalau tidak tabuhan?. Kadang ada pementasan wayang topeng namun itu pun tergantung keberuntungan petani menanam tembakau,”
kendang, gong besar dan kecil, kenong dan kecer. Kini kesenian tersebut dimainkan oleh Abdullah berusia 39 tahun memainkan kenong, Abdul Somad (23, kendang), Sahruwi (23, kecer), Jumani (24, kenong), Mardi (25, kenong besar), Abdurrahman (39, gong), Asdumo (41, seronen), Latif (41, seronen) dan Rafiq (26) menabuh kecer. Antar-mereka memiliki ikatan keluarga dan merupakan generasi pewaris keempat.
tutur Abdullah menirukan cerita bapaknya tentang kelahiran kesenian Seronen. Lama kelamaan warga sekitar Seronggi mengetahui kalau ada yang senang bermain musik kemudian diminta untuk mengiringi karapan sapi. Sejak itulah kesenian Seronen mulai diketahui masyarakat. Irama permainannya seperti iringan wayang topeng Madura dalam bentuk yang jauh lebih sederhana karena tidak menggunakan gamelan. Seronen merupakan alat tiup yang terbuat dari bahan kayu dengan bagian ujung melebar lalu mengecil ke belakang. Modelnya hampir sama dengan terompet reog Ponorogo namun karakter nada dan iramanya berbeda. Seronen inilah yang menjadi melodi dalam komposisi musik iringan penari yang sekaligus menjadi penabuhnya. Kesenian ini dilengkapi
IKON SUMENEP Karena kesenian tersebut diilhami wayang topeng maka tata busananya pun sebagian menggunakan ornamen wayang dengan tata warna mencolok. Bentuk bajunya lengan panjang berwarna kuning, celana merah dengan penutup kain biru langit, kaos kaki warna kuning bergaris hijau dengan sepatu cats putih. Tutup kepalanya menggunakan udeng kuning dengan hiasan mahkota warna keemasan. Tata busana dengan komposisi semeriah itu seakan menyiratkan kerinduan masyarakat Madura akan nuansa alam yang penuh warna sementara realitanya mereka dikepung oleh alam bebatuan, kering kerontang yang membentang sepanjang mata memandang. Lima jenis alat musik tersebut disajikan dalam komposisi rancak untuk
mengiringi langkah peraga yang bergerak seragam sementara tangan mereka sibuk memainkan perkusi. Dua peniup seronen yang berada pada posisi depan mengapit penabuh kecer, mereka tampil bersautan kemudian duet beriringan ditingkah kendang yang menjadi pengendali irama. Yang tampak atraktif adalah penampilan dua penabuh kenong dan gong yang berjalan mat-matan sambil mengayunayunkan gong yang mereka pikul sehingga menjadi daya pikat tersendiri. Lebih dari setengah abad kesenian Seronen mewarnai peta kesenian Jawa Timur lalu oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Sumenep dicatat sebagai salah satu ikon kesenian Madura. Menanggapi masalah tersebut Abdullah mengatakan, ”meskipun telah dijadikan ikon namun sampai sekarang belum pernah mendapat bantuan dana dari Pemda Sumenep, padahal kami perlu membeli peralatan yang lebih bagus juga ingin menambah koleksi kostum agar penampilan kami lebih menarik. Toh dimanapun kami tampil selalu membawa nama Sumenep.” Menurut Muhammad, pimpinan kesenian Seronen, pendapatan mereka selama ini hanya mengandalkan hasil tanggapan dari panitia karapan sapi, hajatan pengantin, acara sunatan atau mengiringi karnaval. Nilai kontraknya untuk kawasan Sumenep sekitar Rp 1,5 juta apabila di luar kota ditambah biaya konsumsi dan transportasi. Ditanya tentang pengembangan, menurutnya, patra gerak dan kostumnya akan selalu diubah untuk menyesuaikan dengan selera jaman. Untuk itu kelompoknya melakukan latihan rutin setiap Rabu malam. Disamping itu juga melakukan regenerasi dengan melatih anak-anak. Kini mereka tinggal melatih staminanya agar mampu menabuh sambil menari karena di situlah kekuatan Seronen sebagai musik pengiring. indiependen | EDISI 4 | 2012
29
BUDAYA
Bumi Nusantara Indonesia
Paling Makmur di Dunia BAGIAN KETIGA
Oleh: Deddy Endarto
Banyak pihak berteori dan mengklaim bahwa peradaban mereka yang dibangun paling awal mewarnai sejarah dunia, tetapi kita justru punya lebih dari cukup bukti-bukti arkeologisnya. Bahkan sampai saat ini tercatat dalam “Buku Rekor Dunia (Guiness Book of Record)”: fosil manusia purba tertua yang pernah ditemukan adalah: Pithecanthropus Erectus yang diperkirakan hidup dimasa 1,5 juta tahun yang lalu. Walaupun diketemukan juga fosil yang jauh lebih tua yaitu: Meganthropus Paleojavanicus, diperkirakan hidup dimasa 2 juta tahun yang lalu (tetapi spesies ini belum tercatat sebagai yang tertua menggantikan Pithecanthropus Erectus). Kita tercatat pula mempunyai 1.128 suku bangsa, dan 748 bahasa daerah yang bersumber pada 69 bahasa utama. Jelas untuk mencapai semuanya itu dibutuhkan waktu yang cukup panjang dalam sejarah peradaban yang kita miliki.
J
EJAK peradaban kita mengalami jatuh bangun, hal ini disebabkan karena Nusantara adalah lokasi pemilik gunung berapi aktif yang paling banyak di dunia. Sehingga ada hubungan cukup erat antara kehancuran peradaban di Nusantara dengan aktivitas gunung berapi.Tengok saja di catatan rekor dunia, letusan di era modern yang mampu dicatat ada dua letusan besar berasal dari kawasan ini : Krakatau dan Tambora. Yang letusan keduanya bukan saja mempengaruhi Nusantara tapi juga mempengaruhi iklim dunia. Apakah hanya itu? Jawabannya adalah tidak. Karena ada beberapa letusan jaman purba yang diperkirakan letusannya beratusratus kali lebih dahsyat, yaitu gunung purba Toba, diperkirakan merupakan letusan terdahsyat yang pernah ada di muka bumi. Hal ini dibuktikan dengan sisa ledakan berupa kaldera terluas di dunia, yang saat ini kita kenal sebagai danau Toba dan pulau Samosirnya. Debu vulkanis yang dihasilkan oleh erupsi gunung berapi telah menjadikan Nusantara sebagai tanah tersubur di dunia menjadi alasan kenapa penduduknya bertahan sekaligus menggoda kaum migran untuk datang membangun kembali peradaban di Nusantara yang rusak karena bencana. MIGRAN INDIA Adanya beberapa kejadian mega bencana telah mengubur peradaban yang ada di sekelilingnya termasuk jejak dan catatan yang ada, ini jelas menyulitkan para peneliti sejarah, walaupun ada juga yang kemudian seiring waktu tersingkap keberadaannya. Sebagai contoh ilustrasi yang terjadi dalam pendidikan sejarah di Indonesia : setelah membahas keberagaman sebaran manusia purba di seluruh kawasan Nusantara dan peninggalannya, kita kesulitan menemukan jejak peradaban berikutnya dalam suatu urutan akademis yang pasti. Tiba-tiba saja muncul hikayat tua tentang datangnya kaum migran dari India ke pulau Jawa: “Hikayat AJISAKA”. Diceritakan di dalamnya tentang datangnya kaum migran mencari tanah baru dalam jumlah rombongan cukup besar, akan tetapi ketika mendarat di pulau Jawa separuh dari rombongan harus menemui kematian karena faktor alam, penyakit, binatang buas dan dimangsa raksasa dan hantu penunggu pulau Jawa. Sehingga sisa rombongan memutuskan kembali ke India dan mereka kembali lagi setelah menambah jumlah rombongannya. Yang menarik disini adalah adanya keterangan bahwa rombongan mengalami serangan oleh hantu dan raksasa, sebagai peneliti tentunya ini bukan mitos belaka tetapi penggambaran kejadian berdasarkan pemahaman dan kosa kata pelakunya. Setelah menganalisa lebih lanjut, kemungkinan yang dimaksud dengan hantu dan raksasa adalah manusia asli pulau Jawa. Disebut hantu karena mempunyai kemampuan datang dan pergi tanpa bisa diketahui oleh rombongan migran, hal ini bisa saja terjadi karena penduduk asli lebih paham lokasi dan berkemampuan menyamarkan dirinya kedalam elemen alam (bayangkan saja kesamaannya dengan saudara kita suku Dayak
30
indiependen | EDISI 4 | 2012
Bekas aliran Bengawan Solo Purba di wilayah Kab Gunung Kidul
di Kalimantan, ketika berburu mereka mampu menyamar menyatu dengan alam sekelilingnya dan bergerak sangat cepat karena paham akan medan atau lokasinya). Sedangkan anggapan di mangsa oleh “Raksasa” adalah pemahaman yang dekat dengan ciri fisik, dari hasil singkapan arkeologi purba atas manusia Jawa diketahui beberapa diantaranya mempunyai fisik lebih besar dari ukuran manusia modern. Sehingga saya simpulkan bahwa rombongan Ajisaka saat itu sedang berhadapan dengan penduduk asli dari pulau Jawa yang saat itu masih menganut tata nilai kanibalisme . (Memangsa setiap lawan yang dibunuh untuk diambil kekuatannya dan agar arwahnya tidak bisa balas dendam, di sebagian suku bangsa Nusantara kebiasaan ini masih berlaku hingga saat ini. Tetapi mereka tidak memangsa komunitasnya atau pihak lain yang berinteraksi sebagai kawan atau sahabat). Kedatangan pertama rombongan ini ternyata kami jejaki terjadi di daerah pantai landai di wilayah Jawa Timur, tepatnya kawasan sekitar Situbondo. Dan analisa ini jadi masuk akal begitu kami cocokan di sekitar pegunungan yang berbatasan dengan wilayah tersebut ditemukan peninggalan goa purba, situs batu megalithikum, dan banyak jejak peradaban purba di sana. Kedatangan kedua bergeser lebih ke timur dan tersebar dalam beberapa rombongan kecil, ada yang sandar di pulau Bawean, pulau Madura, pulau Bali dan induk rombongan di wilayah Banyuwangi. Pergesekan peradaban tetap terjadi, akan tetapi dapat diatasi oleh kedua belah pihak bahkan lebih jauh terjadi asimilasi atau perkawinan diantara ras yang berbeda dan membentuk peradaban baru di kawasan yang saat ini kita kenal dengan “Alas Purwo” di semenanjung Blambangan, Banyuwangi. Titik awal perdamaian itulah yang diabadikan dalam pembentukan peradaban baru dalam kosa kata bahasa Jawa awal dan berlaku hingga saat ini: HANACARAKA - DATASAWALA - PADHAJAYANYA - MAGABATHANGA tetapi diperkirakan memakai aksara yang dibawa oleh kaum migran yaitu: PALLAWA. Juga ditetapkan sistem kalender Jawa yang pertama kali yang mengacu pada kaum migran juga tetapi telah dimodifikasi menjadi: CAKA - JAWI (jauh lebih
Arah Bengawan Solo dilihat dari Google Map
tua dari era Masehi karena masih dekat dengan era mega bencana global). Beberapa ratus atau ribu tahun kemudian(?) ada bagian dari komunitas hasil asimilasi ini yang memisahkan diri membentuk peradaban baru di wilayah pegunungan Raung dan Argopuro. Mereka ini sudah mempunyai peradaban tetapi mempunyai fisik yang masih besar dibandingkan manusia modern (terjejak dari ukuran peninggalannya mirip dengan tinggalan era megalithikum tetapi dengan pengerjaan yang jauh lebih rumit dan halus). Sepertinya golongan ini berusaha mengembalikan tata nilai asli milik leluhurnya, di kawasan ini dipercaya mereka merubah aksara Pallawa menjadi Aksara JAWI (yang pertama) dengan tetap mempertahankan kosa kata HANACARAKA - DATASAWALA - PADHAJAYANYA - MAGABATHANGA tetapi merubah sistem kalender CAKA - JAWI yang awalnya berpedoman ke masa edar Matahari
menjadi masa edar Rembulan. Sampai saat ini dua wilayah gunung Raung dan Argopuro merupakan sisi mistis dan rawan untuk dijejaki oleh arkeolog maupun pendaki gunung sekalipun. Harap dibedakan secara tegas bahwa: Aksara JAWI dan CAKA JAWI pernah mengalami beberapa kali penyempurnaan, baik di era Kerajaan KAHURIPAN (Airlangga), Kerajaan KADIRI (Jayabhaya) bahkan di era Kerajaan Mataram Islam (Sultan Agung). Yang kita kenal sebagai aksara Jawa saat ini adalah: CARAKAN JAWA hasil penyempurnaan dari Kerajaan Mataram Islam. Untuk tahun CAKA JAWA saat ini adalah perhitungan mundur dari Dinasti Isyana. Kalau era AJISAKA atau era ARGOPURO jelas jauh lebih tua lagi. Tiba-tiba catatan sejarah kita terputus sama sekali dalam era yang cukup panjang (di duga ada mega bencana yang menghilangkan jejak peradaban itu) dan baru muncul kembali di era yang jauh di bawahnya. Sebab kami masih melihat banyak peninggalan terutama di sisi selatan pesisir pulau Jawa yang menyisakan peradaban peralihan dari purba ke peradaban tinggi tetapi tidak menemukan catatan peradaban pendukungnya. Muncul catatan melompat ke dinasti DIENG, suatu komunitas yang naik ke atas dataran tinggi dengan alasan menghindari banjir besar yang menimpa pulau Jawa dan letusan gunung Merapi (?). Jelas ada kekosongan catatan peradaban yang cukup jauh dari era kerajaan purba menjadi kerajaan kuno ini. Dinasti dari Dieng inilah, yang setelah air surut kembali turun ke wilayah Semarang dan Jogjakarta dan sekitarnya, mereka kemudian mendeklarasikan diri sebagai wangsa SYAILENDRA dan menamakan kerajaannya sebagai MATARAM (dikenal luas sebagai Mataram Kuno). Tetapi ada hal yang cukup menarik di beberapa prasasti mereka, bahwa dijelaskan kerajaan Mataram yang dibangunnya adalah meneruskan dan mengabadikan kerajaan leluhurnya yang juga bernama Mataram. Ini yang mengusik para peneliti, bahwa sesungguhnya di atas dinasti Dieng ada kerajaan bernama Mataram yang mewariskan peradabannya (karena peninggalan dinasti Dieng sudah cukup maju). Maka diberikanlah suatu penanda bahwa Mataram sebelum dinasti Dieng sebagai Mataram Purba yang diperkirakan lokasinya berada di wilayah pesisir selatan pulau Jawa (Kab. Pacitan, Kab. Wonogiri, Kab. Gunung Kidul). Yang kemungkinan tenggelam akibat kenaikan muka air laut atau mega tsunami atau bahkan tertimbun di sepanjang pegunungan selatan pesisir tanah Jawa. Maka adalah tanggung jawab bagi kita semua untuk menyatukan kembali semua catatan peradaban yang kita miliki, baik yang terekam dari situs purbakala, hikayat/cerita rakyat, maupun catatan peradaban lainnya (inskripsi). Hal ini mempunyai arti cukup penting, karena dari catatan peradaban itu kita mengetahui potensi kemampuan dasar maupun potensi ancaman bagi peradaban selanjutnya. Dan yang lebih penting adalah timbulnya kebanggaan, harga diri dan nasionalisme pada kita selaku pewaris dan pemilik setiap jengkal tanah Nusantara yang makmur ini. Jaya-Jaya - Wijayanti. www.indiependen.com | www.indiependen.net
BUDAYA
Memahami Kepercayaan & Adat Istiadat Dalam Budaya Jawa Oleh: Bowo
Menelaah akar budaya Indonesia tidak akan lepas dari budaya Jawa sebagai salah satu unsur budaya daerah yang memperkaya budaya bangsa. Seperti yang kita pahami, budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dari unsur alam semesta, kepercayaan dan perilaku manusianya yang diuraikan dalam bentuk ajaran bersifat dinamis sebagai warisan nenek moyang suku bangsa Jawa.
S
EBAGIAN orang memahami budaya Jawa sarat akan simbol-simbol dan makna tersembunyi, sehingga bagi mereka yang tidak mau berpikir lebih lanjut menganggap bahwa budaya Jawa “identik dengan klenik”. Tetapi tidak demikianlah sesungguhnya, karena suatu istilah klenik akan muncul apabila suatu hal tidak dapat dijelaskan dan tidak bisa diterima oleh akal dan hati. Berbalik dengan hal itu, budaya Jawa justru mampu mengurai dengan sangat detail setiap maksud dari tata cara maupun tata laku yang dimilikinya, sehingga pemberian konotasi klenik “tidak dapat dikenakan kepadanya”. Keluguan dan kearifan manusia Jawa dalam menjalankan peri kehidupannya, telah mendorong proses pencarian jatidirinya seiring pembangunan peradaban Jawa yang dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan lintas generasi) dalam waktu yang cukup panjang. Pencerahan demi pencerahan yang diperoleh oleh para “sesepuh adat” berusaha disampaikan secara terbuka dalam bentuk tata cara dan tata laku adat dengan penjelasan rincinya, walau ada juga ada beberapa hal yang dianggap “sakral” hanya diperuntukkan golongan tertentu saja. Sering orang salah tanggap, menganggap kepercayaan adat Jawa identik dengan agama (yang dikonotasikan peninggalan agama jaman purba sebelum ajaran agama samawi masuk ke Nusantara, sebagian menyebut animisme atau dinamisme bahkan pantheisme). Kita harus secara tegas memberi garis batas agar kerancuan ini tidak terjadi lagi pada generasi berikutnya, khususnya pemahaman antara “Agama” dan “Adat”. Ketika manusia diciptakan, terdapat dua elemen dasar yang membedakan dari www.indiependen.com | www.indiependen.net
mahluk lainnya, yaitu : “Akal dan Hati Nurani”. Akan tetapi kedua elemen ini selain merupakan kelebihan bisa juga merupakan kelemahan dari mahluk yang dinamakan manusia, dipandang kelemahan karena keduanya bisa tergoda oleh pengaruh dari luar (godaan materi, bendawi dan sebagainya) maupun pengaruh dari dalam tubuhnya (nafsu, emosi dan sebagainya). Ketika manusia mengalami itu maka dia bagai tinggal di ruang gelap (buta arah dan tujuan) dan turun derajatnya (perilakunya dapat menyerupai nafsu hewani dan sebagainya). Adalah berkah bagi kita semua ketika dalam kegelapan tersebut, kembali Tuhan menganugrahkan alat bantu agar kita mengerti arah dan tujuan dari hidup. Anugrah itu berupa “Agama atau Kepercayaan dan Adat”, agama atau kepecayaan adalah tata nilai kebenaran yang secara khusus ditujukan guna menerangi kegelapan hati sedangkan adat adalah tata nilai kebenaran yang secara khusus ditujukan untuk menerangi kegelapan akal. Itulah sebabnya ada petunjuk agama yang sulit dipahami lewat akal tetapi lebih mudah dipahami dengan hati nurani dan sebaliknya adat lebih mudah dipahami dengan akal dari pada dengan hati nurani. PAHAMI ALAM SEMESTA Ada petunjuk dari salah satu agama samawi kurang lebih mempunyai arti : “Bila engkau ingin memahami Tuhanmu, maka pahami terlebih dahulu alam semesta sebagai wujud kebesaranNya”. Disini cukup jelas menggambarkan perbedaan obyek seperti bahasan sebelumnya, ada Dzat Tuhan dan ada alam semesta ciptaanNya. Dzat Tuhan inilah yang kemudian diurai panjang lebar pemahamannya dalam ajaran agama atau kepercayaan sedangkan alam semesta diuraikan dalam tata adat istiadat setempat.
Dalam perkembangan peradaban yang dibangunnya, manusia Jawa juga mempunyai “kepercayaan” akan eksistensi Tuhan selain berupaya juga menjaga keselarasan hidup dengan alam sekelilingnya yang di tuangkan dalam “adat istiadat”. Kepercayaan tentang adanya Dzat yang paling perkasa yang mengendalikan hidup dapat ditemukan dalam kosa kata Jawa : Sang Hyang Tunggal (Dzat yang Maha Tunggal) atau Sang Hyang Kawekas (Dzat yang Akhir setelah semua kehidupan hancur). TIDAK DIPERDEBATKAN Kemudian ada struktur dibawahnya yang menunjukkan keperkasaan sifat Tuhan (dalam agama Islam disebut 99 nama Tuhan), misalnya : Sang Hyang Wenang (Dzat yang mempunyai Kekuasaan terbesar), Sang Hyang Manon (Dzat yang Berkehendak atas semesta) dan banyak lagi. Tetapi sampai detik ini, belum pernah kepercayaan Jawa tersebut di deklarasikan sebagai suatu ajaran agama. Karena masyarakat Jawa berpedoman bahwa agama atau kepercayaan itu adalah untuk dilakukan dan bukannya dicarikan pengakuan apalagi untuk diperdebatkan, perilaku ini menyebabkan tanah Jawa menjadi bagian yang paling cair atau bisa menerima penyebaran berbagai agama yang ada di Nusantara selama ajarannya seiring dengan pemahaman kepercayaan asli mereka. Agama Budha, Hindu, Islam, Kristen, Katholik, dan lainnya ketika masuk ke tanah Jawa telah mengalami proses asimilasi kepercayaan yang justru memperkaya rasa ke imanan bagi pemeluknya. Tak jarang adanya istilah : Budha Jawi, Hindu Jawi, Islam Kejawen, Kristen / Katholik Jawi, dan itu bukan hanya sebuah nama tetapi lebih jauh dari itu agama yang berasal dari luar Nusantara telah menemukan pemahaman baru tentang keimanan
yang justru tidak muncul di tempat aslinya. Kearifan lokal dan peran adat istiadat mewarnai peri kehidupan keagamaan yang ada, mampu menjadi pondasi yang cukup kokoh bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Tapi semuanya dapat terjungkir balikan seperti yang terjadi saat ini, ketika ajaran agama tadi ditampilkan seperti aslinya oleh sebagian pemeluknya yang fanatis maka kearifan lokal hilang dan menawarkan pertikaian antar pemeluk beragama. Jelas ini masalah sulit, menerapkan sesuatu nafas adat yang mewarnai agama versi : India, Timur Tengah, Yerusalem, China dan sebagainya diatas tanah adat yang mempunyai getaran berbeda (atas berkah dan kehendak Tuhan) : JAWA. Andai saja mereka semua paham, bahwa kearifan lokal adat Nusantara khususnya Jawa telah berhasil membawa mercusuar keimanan keseluruh penjuru dunia. Lihat saja Budha Nusantara dengan Borobudurnya telah mampu menginspirasi negara asal agamanya bahkan jauh ke atas Tibet di pegunungan Himalaya sana, Hindhu Nusantara dengan Prambanan dan kearifan lokal Bali menjadi acuan dunia hingga saat ini, Islam Jawa dengan peran Walisongonya yang menjadi tempat belajar ulama se Asia Tenggara, Gereja Jawi Wetan yang memakai bahasa lokal dan Keuskupan Nusantara yang suaranya di dengar Vatikan karena kearifannya dan agama lainnya yang ada di Nusantara. Kesimpulannya “Agama adalah miliknya Hati, Adat Istiadat atau Budaya adalah milik perilaku dan akal. Jadi tempatkan semuanya sesuai dengan derajatnya, ketika kita membolak-balikan posisinya, itu sama artinya mematahkan pertolongan Tuhan lewat Agama dan Adat atas kegelapan Hati dan Akalmu”. indiependen | EDISI 4 | 2012
31
M
ULAI edisi ke-4, Tabloid INDIEPENDEN bekerjasama dengan WILWATIKTA Online Museum melakukan “Kampanye Kebudayaan dan Peradaban Nusantara”. Kegiatan ini mempunyai tujuan untuk memberi kesadaran kepada segenap masyarakat Indonesia tentang tingginya peradaban yang pernah dimiliki oleh para leluhur bangsa kita. “Lebih baik satu kali melihat daripada seribu kali mendengar”, adalah suatu ungkapan yang paling sesuai atas tema di atas. Maka kami sajikan berbagai gambar dari warisan peninggalan peradaban leluhur bangsa Indonesia. Dengan melihat dan mengetahui secara langsung diharapkan masyarakat meyakini kembali akan tingginya nilai budaya asli Indonesia. Agar dapat menjadi bekal kebanggaan dan meningkatkan rasa percaya diri (atas nasionalisme bangsa) dalam percaturan masyarakat dunia. Ini penting artinya, karena sebagai bukti tak terbantahkan bahwa bangsa Indonesia telah meletakkan pondasi kebangsaan
32
indiependen | EDISI 4 | 2012
dan peradabannya sejak ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Pengalaman pahit di masa lalu juga telah mendera bangsa kita, era penjajahan yang panjang telah meninggalkan “Luka Sejarah secara Fisik dan Batin” yang harus segera kita obati. Luka fisik yang terjadi adalah dengan banyaknya benda-benda bersejarah milik kita yang dijarah ataupun dihancurkan di masa itu. Benda-benda yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (terbuat dari emas dan batu mulia), bernilai estetika tinggi (indah dan rumit pengerjaannya), ataupun yang dianggap mempunyai kekuatan “supranatural” (mempunyai kekuatan magis dan atau memiliki daya menaikkan heroisme bagi seseorang atau sekumpulan / komunitas tertentu) dijarah dan dikirim ke negara penjajah. Baik dengan alasan sebagai bahan penelitian atas peradaban ataupun diperjual belikan secara bebas di negara mereka. JAYA - JAYA - WIJAYANTI Menang - Menang - dan Menang untuk selamanya.
www.indiependen.com | www.indiependen.net