Indonesiana Vol. 10 Kilau Budaya Indonesia

Page 1

10 VOLUME

2021

K I L A U

B U D A Y A

I N D O N E S I A

JALAN KEBUDAYAAN DARI DESA JATISURA JEJAK KOLONIAL PADA KOPI BAJAWA KURANG AFDOL TANPA DODOL

ISSN 2406-8063

9

772406

806005

2021, VOL. 10 INDONESIANA 1


1 2

4 1

1

1

1

2

1 1

21

1 2

2

8 43

1

24

17

2

3 2

1 20

2 12 BALI

SUMAT RA BA

= 2 Cagar Budaya Nasional yang terletak di 2 Provinsi, DI Yogyakarta dan Jawa Tengah

T RA

38

Dasar Hukum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Warisan Budaya Indonesia yang telah diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO JAWA T EN GA

per April 2021

2 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Tahun 1996

Tahun 2012

JAWA T EN GA

Kompleks Candi Prambanan Tahun 1991

H

Situs Manusia Purba Sangiran

Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana

H ENGA AT AW

H

52

Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto Tahun 2019 GYAKAR DI YO TA &J

Kompleks Candi Borobudur Tahun 1991


P ENGA NT AR Restu Gunawan Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan

Program Desa Pemajuan Kebudayaan Kebudayaan. Program ini dilakukan

sia-sia jika hanya dinikmati dan dilihat,

Indonesiana Volume 10 tahun 2021

untuk menemukenali kembali potensi

tanpa dikembangkan dan dimanfaatkan.

bisa hadir di depan para pembaca

yang dimiliki desa, sehingga masyarakat

Desa merupakan tatanan kita yang

yang terhormat. Dengan apresiasi dan

dapat mengembangkan serta

paling kecil. Jika budaya desa maju,

antusias masyarakat terhadap majalah

memanfaatkannya untuk kesejahteraan

maka Indonesia pun akan maju, karena

Indonesiana volume sebelumnya, Tim

melalui penguatan ekosistem budaya.

kebudayaan nasional ialah kumpulan

Redaksi Majalah Indonesiana berusaha

Paradigma pembangunan berlandaskan

dari kebudayaan-kebudayaan yang ada

memberikan yang terbaik agar majalah

kebudayaan memang sudah seharusnya

di desa.

ini dapat terbit. Dengan berbagai

dimulai dari unit terkecil yang ada

hambatan dan tantangan yang tetap

di Indonesia, yaitu desa. Interaksi

yang telah terekam dan tergambar di

ada, terlebih di tengah kondisi Indonesia

budaya yang menyimpan tatanan nilai

Majalah Indonesiana volume 10, menjadi

yang masih dilanda pandemi hingga

kehidupan ini sendiri lahir, tumbuh,

bukti komitmen dari Direktorat Jenderal

saat ini. Majalah Indonesiana tahun ini

dan berkembang secara natural pada

Kebudayaan, Kementerian Pendidikan,

terbit dalam dua bahasa, yakni Bahasa

masyarakat desa. Sesuai dengan Pasal

Kebudayaan, Riset, dan Teknologi,

Indonesia dan Bahasa Inggris. Hadirnya

4 Undang-Undang No.6 Tahun 2014

melalui program yang diampu oleh

Majalah Indonesiana vol.10 diharapkan

tentang Desa yang menyebutkan bahwa

Direktorat Pengembangan dan

dapat menjadi media diplomasi

salah satu tujuan pengaturan desa ialah

Pemanfaatan Kebudayaan dalam

budaya yang mengenalkan serta

melestarikan dan memajukan adat,

menjalankan misi kebudayaan yang

menyebarluaskan informasi kekayaan

tradisi, dan budaya masyarakat desa.

Puji syukur alhamdulillah Majalah

budaya dari berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Saat ini desa-desa yang ada di dalam

Berbagai cerita budaya di Nusantara

merujuk pada UU Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017. Semoga bacaan ini

negeri masih menyimpan kekayaan

menjadi inspirasi bagi setiap pembaca,

budaya lokal yang perlu digali kembali,

terutama masyarakat Indonesia, untuk

kita salah satunya datang dari desa.

dilestarikan dan yang terpenting

terus berkontribusi dalam memajukan

Sejak tahun 2020, Direktorat Jenderal

diwariskan ke generasi muda. Setiap

kebudayaan, mengapresiasi karya dari

Kebudayaan melalui Direktorat

desa memiliki cerita sejarah, objek

berbagai daerah di Indonesia, dan tetap

Pengembangan dan Kebudayaan telah

pemajuan kebudayaan, serta cagar

menjaga nyala budaya.

memulai program Desa Pemajuan

budaya yang khas. Namun hal ini tentu

Ragam budaya yang dimiliki bangsa

2021, VOL. 10 INDONESIANA 1


10 VOLUME

2021

K I L A U

B U D A Y A

I N D O N E S I A

Pengarah HILMAR FARID Direktur Jenderal Kebudayaan Penanggung Jawab RESTU GUNAWAN Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Koordinator Umum & Pemimpin Redaksi BINSAR SIMANULLANG Redaktur Pelaksana SUSI IVVATY Redaktur Naskah MARTIN SURYAJAYA ALFIAN S. SIAGIAN Redaktur Foto SYEFRI LUWIS Tata Letak RAFLI L. SATO Fotografer JESSIKA NADYA OGESVELTRY YUDHI WISNU ARYANDI Sekretariat POKJA PENGEMBANGAN DIREKTORAT PPK

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Gedung E. Lt. 9, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 4-5 Senayan, Jakarta 10270 (021) 5725534 (021) 5725534 indonesiana.diversity@gmail.com http://kebudayaan.kemdikbud.go.id

Majalah Indonesiana bertujuan untuk promosi budaya Indonesia, dan tidak diperjualbelikan. Komentar atas artikel, foto dan lain-lain ditujukan kepada: indonesiana.diversity@gmail.com

Sampul depan: Gaya bertenaga buruh pabrik genteng Jatisura. (foto: Pandu Rahadian) Sampul belakang: Penari Caci dan kain Songke. (foto: Dodi Sandradi)

2 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Salam Redaksi Memperbincangkan desa berarti membicarakan kita semua: saya, kami, anda, kita, dia, mereka. Di antara kita mungkin ada yang belum pernah menjamah desa, apalagi meninggalinya, namun orangtua kita berasal dari desa. Mungkin orangtua kita tidak pernah tinggal di desa, namun nenek dan kakek kita, atau buyut kita adalah warga desa. Kawasan urban terbentuk seiring dengan makin berkurangnya dominasi guna lahan pertanian di kawasan rural. Maka lantas muncul istilah desa-kota (Terry McGee, The Mega-Urban Regions of Southeast Asia, 1995), yakni desa yang makin “mengkota”, desa yang menopang kota, desa di pinggiran kota, desa dengan ekonomi yang bertumbuh seiring lahan pertanian yang menyempit, juga teknologi transportasi yang berkembang. Daerah seperti Batu, di Malang, misalnya, apakah sudah bisa disebut kota, atau desa-kota? Banyak orang menggambarkan desa secara romantis, bahwa desa adalah harmoni, sumber kedamaian. “Desaku yang permai….”. Namun, kehidupan di desa tidak selalu begitu. Santet, gendam, dan tenung juga berasal dari desa, bahkan beberapa waktu lalu mucul berita akan digelarnya festival santet. Kemiskinan juga mengoyak desa-desa, seperti digambarkan odesa.id yang turun ke desa-desa di sejumlah daerah di Jawa Barat. Banyak desa masih miskin budaya, karena kurang memiliki nilai moral, nilai ekonomi, nilai seni, dan nilai sains. ni Kita telah memiliki UU Desa Nomor 6 Tahun 2014. Tujuan peraturan itu di antanya adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa (desa dan desa adat) yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa. Maka itu, Ditjen Kebudayaan Kemdikbudristek berkewajiban untuk turut memajukan kebudayaan desa, membangun desa sesuai imaji warga tentang desanya, agar menemukan dan mengenali potensi desa dari sudut pandang warganya. Pemberdayaan masyarakat melibatkan peran aktif masyarakat sebagai subjek atau agen pembangunan, bukan objek atau penerima manfaat saja. Untuk itulah Indonesiana Volume 10 hadir, yakni untuk mengapresiasi dan menyosialisasikan desa-desa yang telah, sedang, dan akan memajukan desanya, termasuk yang sudah difasilitasi Kemdikbudristek. Desa pemajuan kebudayaan hadir sebagai topik utama di edisi yang sedang Anda baca ini, dengan menghadirkan potret beberapa desa seperti Desa Cambai Bangka Belitung, Piji Wetan Kudus Jawa Tengah, dan Jatisura Majalengka Jawa Barat. Te Kabar direktorat hadir untuk menyosialisasikan program serta kebijakan direktoratdirektorat di Ditjen Kebudayaan. Adapun kolom-kolom budaya hadir dengan merujuk objek-objek pemajuan kebudayaan sesuai UU Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017. Anda akan gembira membaca beragam artikel budaya yang berbobot namun disajikan dengan renyah. Permainan tradisional, teknologi tradisional, tradisi lisan, seni, ritual, adat-istiadat, wastra, kuliner, dan masih banyak lagi. Tidak lupa pula topik jalur rempah yang merupakan program unggulan. Kami berharap pengalaman membaca Anda akan makin kaya bersama Indonesiana. Selamat membaca. Pemimpin Redaksi


S A M BUT A N Hilmar Farid Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia

D

esa adalah lumbung

kebudayaan desa, kita akan kehilangan

tidak menghasilkan perluasan dampak.

kebudayaan Indonesia. Hampir

bahan baku kebudayaan nasional.

Kerja pemajuan kebudayaan tingkat desa

semua bentuk ekspresi budaya

Langkah penting untuk mendorong

semacam itu seyogianya dikonsolidasikan

yang ada hari ini mengambil bahan

pemajuan kebudayaan tingkat desa

ke dalam platform aksi bersama yang

bakunya dari kehidupan pedesaan.

adalah dengan menyimak kembali inisiatif

memungkinkan saling bantu dan

Nyaris seluruh kekayaan tradisi kita

apa saja yang telah ditempuh oleh warga

saling jaga sehingga langkah bagus

bersumber pada hak asal-usul desa,

desa seluruh Indonesia dalam menangani

yang dilakukan di sebuah desa dapat

yakni segenap wawasan dan khazanah

tantangan pembangunan. Sejumlah

bersambut oleh langkah-langkah baik di

budaya yang dipraktikkan secara turun

desa telah mengupayakan pendekatan

desa-desa lain.

temurun di tingkat desa. Dari bahan

kebudayaan untuk memecahkan aneka

baku kebudayaan yang luar biasa

tantangan itu, seperti menggali potensi

penerbitan Majalah Indonesiana Volume

kaya inilah aneka bentuk tanggapan

tradisi lisan, memaknai kembali aneka

10 yang mengangkat kekayaan inisiatif

terhadap budaya modern dirumuskan.

cagar budaya dan warisan budaya

pemajuan kebudayaan dari desa.

Kota adalah situs di mana tanggapan

takbenda milik desa, atau memanfaatkan

Aneka artikel telah dihimpun di sini

itu mewujud. Tetapi dari desalah bahan

kesenian sebagai sarana silaturahmi

dengan semangat merevitalisasi inisiatif

baku kebudayaan tradisi kita diproduksi

antardesa yang menunjang ketahanan

pemajuan kebudayaan di tingkat desa.

dan direproduksi. Tanpa bahan baku itu,

sosial-budaya. Langkah-langkah tersebut

Semoga lewat bacaan ini, kita semua

budaya modern tidak dapat diadaptasi ke

membuktikan bahwa kebudayaan dapat

memperoleh inspirasi untuk terus

dalam kebudayaan nasional kita.

berperan penting dalam realisasi cita-cita

memajukan kebudayaan dan kembali

pembangunan yang berkelanjutan.

memberdayakan kekayaan budaya yang

Bercermin dari realitas itu, tidak keliru bila dikatakan bahwa desa adalah

Untuk itu, saya menyambut baik

Inisiatif-inisiatif yang baik ini perlu

tersimpan bak harta karun di desa-desa

hulu pemajuan kebudayaan. Seluruh

digemakan agar menjadi inspirasi bagi

kita. Harapannya, dengan cara itu desa

upaya pelindungan, pengembangan,

publik. Sebab tantangan utama dari

sebagai lumbung kebudayaan nasional

pemanfaatan dan pembinaan di bidang

inisiatif semacam itu adalah menjaga

dapat semakin maju dan mengedepan

kebudayaan tidak akan berkelanjutan

kesinambungan. Tanpa publikasi yang

sehingga menghasilkan manfaat sebesar-

tanpa diawali dari tingkat desa. Tanpa

luas dan jaringan kerja yang sistematis,

besarnya bagi rakyat Indonesia.

perhatian yang serius terhadap ekosistem

inisiatif-inisiatif itu bisa meredup atau

2021, VOL. 10 INDONESIANA 3


DA F TA R I S I SAMBUTRN 1

Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan

3

Direktur Jenderal Kebudayaan

RUBRIK BUDAYA PENGETAHUAN TRADISIONAL 48

TOPIK UTAMA 6

Desa Adalah Jantung Kebudayaan

10

Kebangkitan Kawasaran di Minahasa

14

Jalan Kebudayaan dari Desa Jatisura

20

Saling Asah-Asih-Asuh di Kampung Budaya Piji Wetan

24

Pesan Kemanusiaan yang Multikultur dari Lima Gunung

28

Lada dan Identitas Desa Cambai

32

Komik Strip: Pemajuan Kebudayaan di Baduy

PERISTIWA 34

Pantun Kini Menjadi Warisan Budaya Takbenda Dunia

38

Hari Musik Nasional dan Tantangan Kekinian

42

Jalur Rempah : Membangun Peradaban Baru yang Bugar

46

Bersyukur demi Leluhur dalam Upacara Ka Sa’o

4 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Jejak Kolonial Pada Kopi Bajawa

WASTRA 54

Mempertahankan Motif Songke di tengah Pesanan Pasar

MANUSKRIP 60

Asmarandana “Kangsa Adu-adu”

KULINER 64

Destinasi Panorama dan Rasa Gorontalo

SENI PERTUNJUKAN 68

Persenyawaan Tak Sinkron nan Harmonis dalam Pakarena

FILM 72

Setelah 46 Tahun: Film dan Kritik Film


RUBRIK BUDAYA ARSITEKTUR

RUBRIK BUDAYA WARISAN BUDAYA 76

Berpantun Minangkabau, tak Sekadar Mencocokkan Bunyi

100

TRADISI LISAN

CAGAR BUDAYA 80

Menyelisik Kapal Karam di Enggano

106

PERMAINAN TRADISIONAL 84

Bermain Engklek Mencari Keriangan

Sopi, Palem, dan Kehidupan

MAKANAN TRADISIONAL 92

Meredupnya Pamor Ritual Manten Kucing

SEJARAH 110

PENGETAHUAN TRADISIONAL 88

Uma Dadoq, Ruang Kebersamaan Dayak Kenyah yang Nostalgik

Cerita Keberagaman dari Lasem

FIGUR 114

Tisna Sanjaya: Mengupayakan Seni yang Menggerakkan

Kurang Afdol tanpa Dodol

MUSEUM 96

Napak Tilas di Huta Batak TB Silalahi

2021, VOL. 10 INDONESIANA 5


TO P I K UT A M A

Dalam dua hingga tiga dasawarsa terakhir, kehidupan masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh beragam gejolak dan perubahan global yang sedikit banyak berperan besar dalam perkembangan kebudayaan saat ini. Perubahan iklim, krisis ekonomi, dan pandemi yang belum usai lewat setahun berjalan, adalah tiga besar dari sekian banyak gejolak dunia yang membuat napas kebudayaan cukup tersengal-sengal. Perubahan iklim yang mendorong adanya banyak bencana alam, krisis ekonomi yang mengakibatkan kelangkaan bahan baku produksi budaya, dan pandemi yang membatasi aktivitas sosial manusia, semuanya sekilas membawa pemandangan muram akan masa depan kebudayaan.

DESA KEBUDAYAAN ADALAH JANTUNG

6 INDONESIANA VOL. 10, 2021

foto: Direktorat Jenderal Kebudayaan


foto: Desa Camba Creative Community

K

endati demikian tidak bisa diabaikan satu perubahan besar yang dibawa oleh revolusi teknologi informasi dan komunikasi. Sebuah perubahan yang kemudian membentuk gaya berkebudayaan masa kini. Ragam stasiun televisi, teknologi internet dan telepon seluler, dan puncaknya terakhir adalah aneka aplikasi media sosial, seluruhnya membuat masyarakat di mana pun berada saling terhubung satu dengan yang lain, saling berbagi karya dan ekspresi. Singkatnya, perkembangan ini bukan hanya membuka penglihatan dan benak masyarakat akan ragam informasi dunia, tetapi juga membawa masyarakat pada imajinasi baru tentang kebudayaan; minimal ruang kebudayaan baru, yaitu ruang kebudayaan virtual.

Perkembangan teknologi ini pula yang mewadahi semacam ‘dampak’ positif dari perubahan-perubahan global. Bangkitnya semangat solidaritas sosial terhadap korban bencana alam telah digalang sedemikian rupa oleh para pengguna mikroblog Twitter pada saat bencana vulkanik Merapi beberapa tahun lalu. Demikian pula solidaritas sosial sebagai akibat dari pandemi berhasil menumbuhkan inisiatif dan partisipasi masyarakat untuk membangun sarana-sarana kesehatan mandiri. Pun solidaritas sosial terhadap pelaku budaya yang dihantam pandemi, yang digerakkan melalui pagelaran daring terbesar Pekan Kebudayaan Nasional 2020. Singkat kata, gerak perkembangan teknologi ini makin hari kian menumbuhkan optimisme. Indonesia sebagai negeri dengan ragam kebudayaan yang dibentuk oleh

Desa Cambai, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah, di mana mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani.

Dadak: kegiatan membersihkan gulma di selasela tanaman padi secara manual biasa dilakukan kaum perempuan dengan tujuan agar pertumbuhan tanaman padi tidak terganggu oleh gulma. Dua orang Ibu yang sedang bekerja di sawah, di Desa Penanggungan, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 7


1.340 suku bangsa dan 718 bahasa daerah, plus ragam bentang alam, dan keanekaragaman hayati, memang sudah menyerap dan mengadopsi berbagai perkembangan teknologi itu. Termasuk menyerap berbagai kebudayaan yang dibawa oleh teknologi tersebut. Seperti misalnya flash mob, drama Korea, K-Pop, bahkan bahasa Korea yang kini cukup menjangkiti generasi muda. Gaya menari hip hop Amerika pun masih terus diminati. Lalu bagaimana dengan Kebudayaan Indonesia di tengah ragam perkembangan tersebut? Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 mengamanatkan , “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Atas dasar amanat tersebut, UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menyatakan bahwa pemajuan kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Selanjutnya, pada Pasal 4 UU No. 5 Tahun 2017 disebutkan, pemajuan

kebudayaan bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa; memperkaya keberagaman budaya; memperteguh jati diri bangsa; memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa; mencerdaskan kehidupan bangsa; meningkatkan citra bangsa; mewujudkan masyarakat madani; meningkatkan kesejahteraan rakyat; melestarikan warisan budaya bangsa; dan memengaruhi arah perkembangan peradaban dunia, agar kelak kebudayaan menjadi haluan atau pengarusutamaan pembangunan nasional. Agar tujuan tersebut bisa tercapai, perlu dibangun sebuah paradigma pembangunan berlandaskan kebudayaan dari unit terkecil, yaitu desa. Mengapa harus desa? Karena desa mengandung interaksi budaya dan menyimpan tatanan nilai berkehidupan, tempat kebudayaan itu sendiri lahir, tumbuh, dan berkembang. Pasal 4 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan, salah satu tujuan pengaturan desa adalah melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa. Konsekuensinya kemudian, perkembangan kebudayaan tak bisa dipisahkan dari perkembangan masyarakatnya. UU Pemajuan Kebudayaan menempatkan masyarakat sebagai

pemilik dan penggerak kebudayaan nasional. Kepala desa, perangkat desa, anggota BPD, dan masyarakat desa adalah pihak-pihak yang paling paham akan kebutuhan dan tantangan desanya dalam memajukan kebudayaan desa. Artinya, desa merupakan subjek kebudayaan yang memiliki kewenangan mengatur serta mengurus kebudayaan desa. Pengelolaan pemajuan kebudayaan desa dilakukan secara partisipatoris dengan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan, sehingga bukan sekadar objek kebudayaan yang terus diatur dan diberi instruksi. Dengan demikian, pemajuan kebudayaan desa sebenarnya adalah jawaban Indonesia terhadap berbagai perkembangan global yang kerap membuat bangsa Indonesia terangsang untuk menggapai hal-hal yang mendunia, namun tak punya akar yang cukup kuat. Pemajuan kebudayaan desa tidak sekadar melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan hal-hal yang tradisional, tetapi juga mendialogkan yang kekinian dengan yang tradisional. Flash mob Beksan di Yogyakarta beberapa waktu lalu adalah sebentuk tampilan kolaboratif antara yang modern dan tradisional. Begitu juga dengan rupa-rupa festival desa yang dikelola secara profesional, dengan promosi

foto: Direktorat Jenderal Kebudayaan

“Dua wanita sedang menyunggi tempayan yang berisi air dan seikat kayu” menyunggi : membawa barang dengan cara meletakkan barang tersebut di atas kepala

8 INDONESIANA VOL. 10, 2021


foto: Direktorat Jenderal Kebudayaan

Keindahan Area Persawahan Lembah Gunung Tumpeng.

yang memanfaatkan media sosial. Semuanya itu tidak hanya menumbuhkan kemungkinan peningkatan kesejahteraan, tetapi juga ketahanan budaya. Memang realitas pembangunan desa, celakanya, kerap terjebak pada salah kaprah hal infrastruktur seperti membangun jalan, gedung, atau pengadaan alat-alat yang bisa dibeli dalam waktu singkat. Tidak demikian halnya dengan pembangunan melalui jalan pemajuan kebudayaan desa. Laiknya dalam dunia pertanian, maka pembangunan kebudayaan desa haruslah berpaku pada benih-benih kebudayaan yang mesti ditanam, disiangi, diberi pupuk, hingga bisa dipanen di kemudian hari. Pembangunan kebudayaan harus dimasukkan dalam paradigma ketahanan, bukan pertahanan. Menjadi penting bagi setiap desa di Indonesia untuk melihat kewenangan-

kewenangannya yang berdasarkan hak asal-usul, bukan sekadar atribut formal. Oleh karenanya, desa menjadi berdaya bukan karena bantuan pemerintah, tetapi karena adanya warisan leluhur yang mewujud dalam hak asal-usul, berikut kekayaan budaya lain di desa yang belum tercatat dalam dokumendokumen desa tetapi hidup di dalam ingatan, pengetahuan, dan pengalaman warga desa. Seandainya generasi muda desa paham akan sejarah dan seluk-beluk kehidupan desanya maka bukan tidak mungkin mereka menemukan cara untuk membangun desanya. Desa tidak boleh lagi menjadi situs keterbelakangan, justru sebaliknya, desalah segala asal-muasal peradaban Nusantara, dan Indonesia kemudian dibangun, diperkuat, hingga saatnya nanti digdaya. Desalah jantung kebudayaan Indonesia. (I Gusti Agung Anom Astika)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 9


Kebangkitan Kawasaran Di

Minahasa

Di akhir abad ke-20, kondisi memprihatinkan mendera masyarakat Minahasa. Tradisi budaya di suku yang kini “terpisah” ke dalam tujuh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara itu, mulai hilang digempur globalisasi. Satu di antaranya, kawasaran. Wadah yang menyimpan banyak nilai dan pengetahuan warisan para leluhur itu semakin ditinggalkan. Namun awal tahun 2000-an, secercah harapan muncul dari Warembungan. Satu wanua (desa) yang berada di Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Kampung halaman

10 INDONESIANA VOL. 10, 2021

tokoh penting kebangkitan Kawasaran di Minahasa kini, Rinto Taroreh dan tempat lahir Komunitas Adat Waraney Wuaya. Kawasaran berasal dari sebuah ritual yang dikenal dengan mahasasau. Upacara yang sangat penting bagi tou (orang) Minahasa. Kawasaran dari kata kawak yang berarti “melindungi” dan asaren yang berarti “sama seperti”. Jadi, Kawasaran berarti menjadi sama seperti leluhur di masa lalu, menjadi pelindung tanah, pelindung negeri, pelindung kehidupan. Kawasaran kemudian hari menjadi gerakan tari untuk meniru para

leluhur yang menjadi pelindung negeri, pelindung kehidupan. Di masyarakat Minahasa kini, tarian Kawasaran biasa dimainkan 3 babak. Babak pertama Sumakalele, dari kata Sakalele. Saka berarti perang saling adu, dan lele, ibarat orang yang saling mengejar. Saling mengejar dalam pengertian bukan sedang bermain. Leluhur Minahasa menyebut kata mahleleleley, dalam pengertian saling kejar untuk saling membunuh. Kalau disingkat lele, bermakna satu gerakan perang yang saling mengejar untuk membunuh. Sebuah perwujudan kisah-

foto: Jimmy Pontoh. https://www.shutterstock.com/g/Jimmypontoh

TO P I K UT A M A


kisah di masa lampau, di mana ada perlawanan ketika harkat, martabat, dan kehormatan coba diinjak-injak. Leluhur Minahasa dahulu mempertahankan keberadaan mereka. Jadi bukan sembarang melawan dan membunuh. Kedua, Kumoyak dari kata koyak. Ini sebuah gerakan mengayunkan pedang. Mengayunkan pedang tidak sembarangan. Gerakan ini bermaksud menenangkan jiwa dari lawan yang terpancung kepalanya. Dahulu biasanya kepala lawan yang datang mengancam dan menyerang dipancung kemudian dikumpulkan. Sesudah itu para leluhur membuat lingkaran dan menyanyikan “kidung pengantar jiwa” agar yang meninggal tentram jiwanya. Kenapa kepala dipisahkan ? Cara berpikir leluhur dulu, pikiran jahat ada di kepala jadi harus dipisahkan dan dikembalikan ke Sang Khalik. Keseimbangan itu ada di kepala dan hati. Untuk menetralkan harus dipisahkan kepala dan hati yang ada di badan. Dalam rangka menetralkan dan mendinamiskan alam. Ketiga, lalalayan. Ini tarian sukacita. Menceritakan bagaimana orang-orang tua menang perang dan merayakan kemenangan itu. Mereka mengumpulkan teman, banyak orang dan merayakan itu.

itu. Karena wilayah medan pertempuran itulah sehingga ada ahli perang yang ikut, yaitu Dotu Tinuus. Waraney (ksatria) yang satu ini mendapat gelar sebagai mahpupuis. Ksatria yang biasa mengambil kepala musuh yang dianggap mengancam masyarakat Warembungan. Tradisi yang diwariskan Dotu Tinuus adalah tradisi Kelung um Banua (pelindung negeri atau perisai negeri). Sosok seperti Tinuus adalah orangorang khusus, yang da batantu hati (menetapkan hati dengan sungguh). Tidak lagi memikirkan diri mereka, lebih mengutamakan orang lain. Mereka jadi petaruh demi orang banyak. Merekalah yang dikenal dengan Waraney um Banua. Tradisi melindungi negeri, di era Belanda mengalami pemberangusan. Sejak abad-19, segala sesuatu mulai diatur pemerintah kolonial. Termasuk tradisi-tradisi masyarakat. Salah satunya tradisi mamuis (mengambil kepala musuh) yang sudah ratusan atau bahkan ribuan tahun. Bagi orang Minahasa ini sebuah persoalan, sebab sesungguhnya tradisi

mamuis adalah penyemangat hidup untuk menjaga tanah mereka. Tradisi waraney pun akhirnya ikut dilarang, sebab pemerintah Belanda juga melihat tradisi ini bisa jadi ancaman serius bagi mereka. Seiring perjalanan waktu, semakin banyak pelarangan yang dibuat pemerintah. Tapi para orang tua di Warembungan ketika itu punya kebijaksanaan sendiri bagaimana mempertahankan tradisi, pengetahuan yang sudah ribuan tahun diwariskan oleh para leluhur. Para tetua melihat ada peluang untuk menjaga tradisi itu. Mereka kemudian menyimpan itu dalam seni. Karena seni relatif diterima banyak orang. Seolah-olah itu hanya ba aju (meniru) tradisi melindungi negeri dari tua-tua.

Baju penari Kabasaran memiliki warna merah yang berarti keberanian dan semangat. Penari Kabasaran melakukan ritual di depan Waruga sebelum menari.

Tradisi Penjaga Negeri dan Kemunduran Kawasaran Dalam catatan sejarah dan tuturan para tetua, Wanua Warembungan didirikan oleh 4 orang Dotu (leluhur). Dotu Rori (Walian = pemimpin spiritual), Dotu Tinuus (pemimpin perang), Dotu Montororing dan Dotu Tamandatu yang ahli dalam perkebunan dan mangasuh (perburuan). Wanua ini berdiri di wilayah garis depan, tempat masuknya bangsabangsa asing ke jazirah utara Selebes di masa lampau. Tahun 1820-1830, empat tokoh itu tumani (pindah dan membuka lahan pemukiman baru) dari Lotta, pusat pemerintahan Walak Kakaskasen ketika

foto: Fredy Albert - https://www.shutterstock.com/g/Fredy+Albert

2021, VOL. 10 INDONESIANA 11


foto: Fredy Albert - https://www.shutterstock.com/g/Fredy+Albert

Cara untuk menyatu dengan orangorang tua (leluhur) mengikuti apa yang dilakukan orang tua pelindung negeri, disebut maasar. Asaran berarti menjiwai. Itu kata awal Kawasaran. Di Wanua Warembungan, pengetahuan mamuis, Kelung um Banua, dan Waraney um Banua ada dalam trah Tinuus (kemudian hari keturunannya bermarga Tinus). Tidak heran pemimpin Kawasaran Warembungan sejak dahulu ada dalam trah Tinus. Pemimpin pertama adalah Laurens Tuerah (Tete Kilis). Dia adalah pemimpin Kawasaran Warembungan pertama, di akhir tahun 1800-an. Dari Laurens Tuerah, turun ke Marsela Sumarauw atau Papa Tin. Kakak tertua dari Oma Rinto Taroreh. Ayah mereka, Rulan Sumarauw, menikah dengan Dina Tinus, cucu dari Dotu Tinus. Dari Papa Tin kemudian turun ke Fredrik Moningka (Papa Erna). Dari Papa Erna ke Lambertus Koraag (Om

12 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Bitu) kemudian ke Alexander Lontaan, pemimpin Kawasaran Warembungan kini. Sampai hari ini nilai-nilai yang diwariskan para pelindung negeri Warembungan tetap dijaga. Tradisi ini terlihat pernah akan hilang pada hampir dua dekade yang lalu. Namun ada sosok yang kemudian melihat serius persoalan itu. Semangat Melanjutkan Tradisi Kawasaran sesungguhnya adalah warisan tradisi keluarga. Di Minahasa, Kawasaran diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi di keluarga-

keluarga tertentu. Rinto Taroreh sendiri mengenal tradisi ini dari keluarganya. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), ia sudah belajar dari Opanya. Seorang Teterusan (pemimpin) Kawasaran di Wanua Warembungan ketika itu, yang biasa disapa Papa Tin. Di Warembungan sendiri, saat itu tradisi Kawasaran benar-benar masih

tersimpan dan masih sakral. Tarian ini hanya dipakai dalam upacara adat. Ia dipakai dalam ritual-ritual. Di tahun 1980-an, Kawasaran di Warembungan sempat mengalami “kemunduran”. Di lingkungan keluarga Sumarauw-Tinus, ia hanya dimainkan oleh anggota keluarga dan kebanyakan mereka sudah berusia lanjut. Ketika Kawasaran di Minahasa semakin mengalami kemunduran di awal tahun 2000-an, ada kekhawatiran yang melanda benak Rinto. Tradisi leluhur sarat nilai ini terancam hilang karena sudah tidak lagi dimainkan anakanak muda. Ia pun memberanikan diri bicara dengan pemimpin Kawasaran Warembungan yang masih saudara dari ayahnya, bagaimana merekrut anak-anak muda dari luar garis keturunan pemain Kawasaran di wanua mereka. Ini salah satu upaya untuk mempertahankan tradisi Kawasaran.


penjuru wilayah adat Minahasa. Bahkan sampai ke luar Minahasa. Aktivitas itu ia lakoni sampai hari ini. Rinto tidak sendiri. Saat memulai gerakan, ia berupaya membentuk “rumah bersama” orang-orang yang Penari Kabasaran melakukan ritual di depan Waruga sebelum menari di Minahasa - Pineleng. Penari Kabasaran sedang merayakan hari kemerdekaan Indonesia 17 – 8 – 2016.

memiliki kesadaran, kecintaan terhadap tradisi dan budayanya, Minahasa. Mereka kemudian menyatu dalam visi untuk menggali, memelihara, dan terus melanjutkan nilai-nilai budaya warisan para leluhur. Spirit itulah yang memicu, menyatunya ribuan tou Minahasa dalam sebuah gerakan dan wadah yang kemudian dikenal dengan Komunitas Waraney Wuaya. Awalnya Rinto dan Komunitas Waraney Wuaya membentuk kelompok-kelompok budaya yang basisnya Kawasaran. Dalam perjalanan waktu hampir 20 tahun, Rinto dan Komunitas Waraney Wuaya telah melatih ratusan sekolah mulai dari TK, SD, SMP, SMA/SMK hingga perguruan tinggi. Mereka juga melatih komunitas-komunitas adat dan organisasi kemasyarakatan yang ada di Sulawesi Utara. Generasi tahun 2006-2012 yang dilatih dan bermain Kawasaran bersama di Komunitas Waraney Wuaya kini rata-rata telah menjadi pelatih dan pemimpin

tumpukan-tumpukan Kawasaran yang ada di Minahasa. Salah satu buah dari kerja-kerja budaya yang mereka lakukan hari ini ada ribuan penari Kawasaran aktif di Minahasa. Rinto Taroreh adalah penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 2021, kategori pelestari. Menurutnya, tradisi Kawasaran harus tetap dipertahankan. Kenapa? Ada ungkapan tua Minahasa, “Sa re’ mo werun karengan, kaliuran tamo”. Artinya, “Kalau sudah tidak akan dibuat baru (dibaharui), sudah akan dilupakan”. Dalam pengertian, api semangat harus tetap terus dinyalakan. Harus dipakai terus sehingga tradisi leluhur ini tidak akan dilupakan. Kalau kita lupa, kita bisa kaleleran (hilang jalan. “Ini pesan para leluhur agar terus mempertahankan tradisi dan tetap memelihara semangat itu. Walau kerja kita berat, kalau bersemangat, tetap dapat kita jalani,” ucap Rinto. (Mayske Rinny Liando dan Rikson Childwan Karundeng )

foto: Jimmy Pontoh. https://www.shutterstock.com/g/Jimmypontoh

Karena lama-kelamaan, kalau anakanak sudah tidak mau, Kawasaran akan berakhir. Atas restu Lambertus Koraag, pemimpin Kawasaran Wanua Warembungan ketika itu, dan Alexander Lontaan atau Om Sande’ (Sarian kini), Rinto pun mulai mengajarkan tradisi keluarga ini ke orang lain. Sejak tahun 2003-2005, ia mulai intens mengajarkan tradisi keluarga ini ke banyak orang. Tidak terbatas di Warembungan, tapi ke desa-desa lain hingga seluruh

2021, VOL. 10 INDONESIANA 13


TO P I K UT A M A

foto: Pandu Rahadian

14 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Pabrik genting tanah liat di Desa Jatisura.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 15


foto: Pandu Rahadian

Seorang pria paruh baya bertelanjang dada dengan sigap melompat ke atas panggung diiringi sorak sorai hadirin. Ia mengangkat kedua tangan dan memamerkan otot liat yang muncul dari kedua lengannya. Tubuh kerempengnya yang berkilauan oleh sorot

Ngotot, sebuah ajang kompetisi binaraga antarburuh pabrik jebor memperebutkan Jatiwangi Cup

lampu fresnel kalah terang dibandingkan sepasang gigi seri

Ini bukanlah kontes binaraga profesional yang diikuti para pria kota besar yang

yang mengkilap dari senyum

gemar berolahraga di gym dan minum suplemen protein dalam botol sebesar

yang terpacak lebar pada wajah

galon air mineral. Ini adalah Lomba Binaraga Antar Jebor 2019 yang digelar di

kakek dua cucu itu. Diambilnya

Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Perlombaan ini

dua belas genting yang tertumpuk di muka panggung dan ia angkat tinggi-tinggi itu semua hanya dengan tangan kirinya. Bersama dengan asap putih tebal mengepul dari mesin fogger di balik panggung, ribuan penonton bertempik sorak menyaksikan kekuatan sang binaragawan dadakan dari Desa Jatisura itu.

16 INDONESIANA VOL. 10, 2021

diadakan setiap tahun pada tanggal 11 Agustus untuk menyongsong perayaan kemerdekaan dan diperuntukkan bagi para buruh ratusan pabrik genteng (jebor) di Kabupaten Majalengka. 30 orang pemenang akan memperoleh hadiah bervariasi dari 200 ribu rupiah hingga 1,5 juta rupiah dan pemenang utama akan membawa pulang piala bergilir Jatiwangi Cup. Pencetus dan penyelenggara kegiatan unik ini adalah sebuah komunitas seni bernama Jatiwangi art Factory (JaF) yang didirikan oleh warga desa Jatisura. Kesenian dari Desa Lomba Binaraga Antar Jebor hanyalah satu dari aneka kegiatan seru dan unik yang digelar JaF bersama warga desa Jatisura dan desa-desa tetangga di kecamatan Jatiwangi. Inisiatif semacam itu digagas untuk mensiasati masalah


Mencetak atap Indonesia, pekerjaan sehari-hari buruh pabrik genting Jatiwangi aktual yang muncul di desa-desa dalam lingkup kecamatan Jatiwangi dan sekitarnya. Kawasan tersebut sejak puluhan tahun silam dikenal sebagai daerah penghasil genting tanah liat yang produknya tersebar luas ke seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, ratusan jebor atau pabrik genting di Jatiwangi yang telah beroperasi sejak dekade 1970an itu mulai mengalami kemerosotan permintaan akibat kemunculan banyak pabrik genting modern yang tidak

foto: Pandu Rahadian

lagi menggunakan tanah liat. Untuk

mendorong percakapan tentang seni

sebagai pemain instrumen tanah liat.

mensiasati kemerosotan ekonomi

kontemporer di kalangan warga desa

Tiga tahun kemudian, jumlah penabuh

warga desa di kecamatan Jatiwangi

yang datang saling bertandang sambil

genting itu melonjak hingga mencapai

itulah Arief Yudi, seorang seniman yang

melihat karya tersebut. Dengan cara itu,

5.000 orang. Lewat perhelatan akbar ini

lama berkiprah di Bandung, kembali ke

seni rupa kontemporer tidak lagi menjadi

tampak bagaimana lewat pendekatan

kampung halamannya di desa Jatisura

monopoli kaum elit kebudayaan dan

seni dapat diwujudkan suatu perubahan

dan membentuk kolektif seni JaF bersama

masyarakat kelas atas tetapi menjadi

dalam lanskap sosial Majalengka.

warga desa dan sejumlah seniman.

ajang silaturahmi masyarakat pedesaan.

Festival kolosal yang didesain dengan cara berpikir aktivisme seni ini

Sejak awal terbentuk pada 2005, JaF digagas sebagai proyek gotong-royong

Kebudayaan sebagai Jalan

berhasil menjadikan desa-desa dalam

masyarakat desa. Berbeda dari inisiatif

Pembangunan

kecamatan Jatiwangi bukan hanya

seni lazimnya yang dilahirkan di kota

Dalam wacana pembangunan dunia

pusat perhatian seni rupa nasional,

besar dan tumbuh dalam pergaulan

yang tercermin dalam Sustainable

melainkan juga contoh nyata bagaimana

antarseniman, JaF lahir dan tumbuh

Development Goals (SDGs) dan ditetapkan

kekuatan budaya dapat menghidupkan

dari forum-forum musyawarah warga

melalui resolusi PBB pada 2015, dikenal

perekonomian desa.

desa. Kendati begitu, JaF tidak sekadar

agenda pembangunan berkelanjutan

mengulang prosedur perencanaan

yang bersendikan kebudayaan. Dalam

partisipatoris seperti Festival Musik

pembangunan desa yang lazim

konsepsi ini, kebudayaan dipandang

Tanah Liat JaF dan warga desa Jatisura

digelar melalui Musrenbang. JaF

sebagai pendorong dan pembuka

berhasil mengorganisasikan desa-desa

memberdayakan metode seni rupa

kemungkinan (driver and enabler)

sekitar dalam kecamatan Jatiwangi

kontemporer untuk menggagas aneka

bagi pembangunan yang inklusif dan

dalam sebuah inisiatif perekonomian

kegiatan unik yang dapat menjadi

berkelanjutan. Aneka bentuk proyek

bersama. Inisiatif itu mewujud dalam

penghela pembangunan desa.

perencanaan pembangunan berbasis

model ekonomi berbasis gotong-royong

Lewat perhelatan kolosal yang bersifat

kebudayaan digelar di berbagai penjuru

warga. Contoh program yang dihasilkan

digelar oleh JaF adalah program residensi

dunia sebagai bagian dari agenda untuk

dari inisiatif ini adalah program Apamart,

seniman dalam dan luar negeri pada

mensukseskan agenda SDGs.

sebuah inisiatif bazar rakyat serba ada

Salah satu kegiatan pertama yang

tahun 2006. Lewat kegiatan bertajuk

Tiga tahun sebelum SDGs ditetapkan

yang memperjual-belikan apa saja yang

Jatiwangi International Performing Art

dalam sidang umum PBB, JaF

dimiliki warga, mulai dari kerajinan

Residency Festival ini, digelar pameran

menggelar sebuah perhelatan kesenian

lokal, kuliner, karya seni berbasis tanah

seni rupa keliling dari rumah-rumah

rakyat yang pada saat bersamaan

liat, hingga sayur-mayur yang ditanam

warga desa. Berbeda dari pakem

menggulirkan agenda pembangunan

masyarakat desa. Dengan adanya

pameran seni kontemporer yang biasa

berbasis kebudayaan. Pada tahun 2012,

aneka ragam acara kreatif semacam

dihelat di galeri-galeri dan dikunjungi

digelar Festival Musik Tanah Liat yang

itu, Jatiwangi tampil sebagai sebuah

oleh para pelaku dunia seni, program ini

melibatkan 1.500 orang pelajar sekolah

persekutuan desa swadaya yang berhasil

menghadirkan karya seni kontemporer

dasar, menengah, guru, kepolisian,

menjadikan kebudayaan sebagai modal

di ruang tamu rumah warga yang

dan tentara dari Kodim Majalengka

utama dalam pembangunan.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 17


foto: Pandu Rahadian

Apa yang dibukakan oleh JaF serta warga desa Jatisura dan sekitarnya

(Atas) Para buruh menyimpan genting di gudang penyimpanan; (Bawah) Jatiwangi Cup, piala bergilir yang diperebutkan setiap tahun dalam kompetisi binaraga antar buruh pabrik jebor

(Atas) Seorang buruh memasuki ajang perlombaan; (Tengah) Para buruh berdoa bersama sebelum tampil di ajang perlombaan; (Bawah) Seorang buruh memamerkan ototnya di panggung

18 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Budaya Tradisi Menjadi Modal Utama Sekalipun JaF dan warga desa Jatisura

adalah sebuah jalan kebudayaan menuju

banyak memanfaatkan pendekatan

pembangunan yang berkelanjutan.

seni rupa kontemporer, bukan

Mereka tidak bekerja dengan prosedur

berarti mereka mengabaikan sama

perencanaan pembangunan pada

sekali kebudayaan tradisional. Justru

umumnya yang berfokus pada

sebaliknya, aneka ekspresi budaya tradisi

penyusunan anggaran pembangunan

telah berhasil mereka berdayakan untuk

hingga lima dan sepuluh tahun ke depan.

menghasilkan pemecahan aneka masalah

Alih-alih mengikuti jalur konvensional itu

pembangunan.

mereka menjalankan sebuah inovasi

Salah satu bukti bagaimana kekayaan

dalam pembangunan, yakni dengan

budaya tradisi berperan dalam

menggelar perhelatan-perhelatan budaya

mengatasi tantangan pembangunan

yang didesain secara kreatif untuk

adalah proyek JaF untuk merevitalisasi

menjadi penghela pembangunan tingkat

aneka ritual kemasyarakatan. Sebelum

lokal. Dengan cara itu terbukti secara

menjadi sentra produksi genting tanah

nyata bagaimana kebudayaan menjadi

liat kawasan Jatiwangi semula adalah

pendorong dan pembuka kemungkinan

daerah pertanian yang produktif.

bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Namun dewasa ini praktik pertanian itu


mulai tergerus akibat urbanisasi dan munculnya aneka bentuk industri lain yang membuat khalayak muda tidak lagi tertarik untuk bercocok tanam. Oleh karena itu, JaF menghidupkan dan melakukan inovasi atas ritual pertanian sehingga kembali menarik kalangan muda dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya pertanian yang berkelanjutan. Salah satu bentuk inovasi tersebut adalah dengan mengadakan Tandur Sholawat, sebuah ritual “belas kasih untuk padi” yang diselenggarakan dengan

mempertemukan kalangan muda dan tua untuk kembali memandang profesi petani sebagai sebuah profesi yang luhur karena

foto: Pandu Rahadian

menanam benih diiringi oleh lagu-lagu sholawat. Gerakan semacam ini berhasil

dekat dengan sumber kehidupan. Acara ini diiringi pula dengan Tasbih Tanah, yakni sebuah ritual mendoakan tanah agar tetap subur dan gembur. Setelah padi siap panen, JaF bersama warga menggelar Mapag Sri atau upacara “menjemput padi” dengan arak-arakan warga yang membawa persembahan hasil bumi. Aneka ritual ini dikemas dalam semangat inovasi yang khas dalam praktik seni rupa kontemporer. Dengan demikian, terwujud perpaduan yang selaras antara dua pendekatan kultural, yakni pendekatan tradisional dan seni kontemporer yang berujung pada penguatan integrasi sosial. Inisiatif JaF dan warga desa Jatisura telah membuktikan bahwa budaya tradisi, melalui sentuhan seni kontemporer, dapat menjadi modal utama bagi pembangunan yang selaras dengan keperluan pelestarian alam dan harmoni sosial. Ini adalah jalan kebudayaan yang dimulai dari desa Jatisura dan menghubungkan desa-desa di kecamatan Jatiwangi, melebar ke kabupaten Majalengka dan, bukan tak mungkin, antardesa yang dapat terus diperkuat untuk menghubungkan seluruh desa di Indonesia. (Martin Suryajaya, pengajar Institut Kesenian Jakarta)

foto: Pandu Rahadian

menjadi platform pemajuan kebudayaan

2021, VOL. 10 INDONESIANA 19


TO P I K UT A M A

Lukisan bergaya mural bertuliskan “Kampung Budaya Piji Wetan, Asah Asih Asuh” yang didominasi warna ungu dan kuning itu berada di sisi kanan Jalan Raya Dawe, Sunan Muria Kilometer 9. Tembok yang berdekatan dengan gedung Haji Kecamatan Dawe itu menjadi pusat perhatian bagi setiap pengendara yang sedang melintas. Lukisan mural tersebut menjadi tanda, Anda sudah memasuki area Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW). Sekitar 50an meter dari lukisan mural apik itu, terdapat gang dengan hiasan gapura bambu, ditujukan untuk memandu pengunjung yang hendak datang ke pusat kegiatan KBPW.

S

iang itu, Selasa 9 Maret 2021, saya melawat ke kampung yang sedang populer di Kota Kudus. Kampung yang berada di Desa Lau, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus itu dikenal sebagai kampung budaya. Pasalnya, kampung tersebut dalam lima tahun terakhir konsisten menggelar kegiatan yang mengangkat budaya lokal desa.

20 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Nama Piji Wetan kian meroket di Kudus ketika tahun 2020 berhasil menyabet juara 2 Nasional di ajang perlombaan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Awal masuk di gang kampung Piji Wetan ini memberikan kesan berbeda, selain lukisan mural di tepi jalan, di

setiap depan halaman rumah terpasang gentong. Selain itu, perkampungan ini juga terlihat asri, karena setiap halaman depan rumah memiliki pepohonan yang rimbun. Setelah 100 meter dari gang tersebut barulah sampai di tempat pusat kegiatan KBPW. Pusat kegiatan itu didesain layaknya pasar tradisional. Bangunan yang


foto: Direktorat Jenderal Kebudayaan

Masyarakat Kampung Budaya Piji Wetan kerap mengisi waktu luang dengan melakukan permainan tradisional.

menyerupai kios itu menggunakan bahan baku bambu. Terdapat sekitar 10 bangunan dengan papan menu makanan di bagian beranda, di antaranya sego aking, sego liwet, sego pager mangkok, wedang squad, telo squad dan jagung squad dan kios yang lain diperuntukan untuk mengisi permainan tradisional. Sedangkan di sisi timur terdapat satu

bangunan khusus yang diberi nama Panggung Ngapringan. Tempat pusat kegiatan ini diberi nama Pasar Ampiran. Siang itu saya ditemani oleh Muchammad Zaini (36). Ia adalah pendiri teater Piji Wetan sekaligus salah seorang inisiator KBPW yang menyusun narasi perlombaan Kemendikbud. Dengan mengenakan pakaian casual dan

kacamata, ia menjelaskan keberadaan Pasar Ampiran yang diresmikan pada 15 November 2020 itu. Tempat ini dibangun agar semua kegiatan masyarakat dapat dipusatkan. Selain untuk pagelaran, tempat ini juga bisa dimanfaatkan baik sebagai arena bermain anakanak maupun tempat ngobrol santai masyarakat setiap harinya.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 21


foto: https://desabudaya.kemdikbud.go.id/

foto: Direktorat Jenderal Kebudayaan

“Tempat ini dibuat dengan cara gotong royong, jadi fungsinya memang untuk bersama. Tetapi di balik itu semua ada filosofi yang diambil dari budaya tutur yang diturunkan secara turun temurun oleh warga dukuh Piji Wetan,” terangnya. Laki-laki yang sudah lama malangmelintang di dunia teater Kota Kudus ini menceritakan bagaimana aneka ekspresi budaya di dukuh Piji Wetan mempunyai korelasi dengan Sunan Muria. Konon, nama dukuh pun diyakini merupakan pemberian Sunan Muria. Sedangkan

22 INDONESIANA VOL. 10, 2021

filosofi Pasar Ampiran sendiri diambil dari cerita masyarakat sekitar, bahwa pada zaman dahulu Piji Wetan menjadi tempat pemberhentian sekaligus tempat istirahat pertama orang yang hendak berziarah ke Sunan Muria. Budaya yang berkaitan erat dengan Sunan Muria tersebut dinilai menjadi kekuatan utama yang melatari konsep kampung budaya. Zaini yang kesehariannya mengajar teater di SMK Duta Karya Kudus mengisahkan bahwa gagasan membentuk kampung budaya sudah

terlintas sejak tahun 2015. Pada waktu itu, pemerintah desa Lau tengah menyelenggarakan perlombaan untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan. Salah satu jenis perlombaan adalah pementasan teater dengan tema bebas. Dukuh Piji Wetan memilih menampilkan sajian teatrikal di ajang perlombaan itu. Pengetahuan serta kemahiran dalam berteater akhirnya ditularkan Zaini. Ia mengajak para pemuda dukuh untuk terus berkarya melalui seni teater. Dari situ, terbentuk komunitas teater Piji Wetan dan mulai mendapatkan tawaran pentas di beberapa kegiatan, misalnya pentas di alun-alun Kudus dalam peringatan Hari Santri Nasional pada tahun 2019. Semangat untuk terus berkarya dan menggaungkan jargon kampung budaya terus dipompa oleh Zaini dengan bantuan adiknya, Ulul Azmi. Dengan memanfaatkan kekayaan budaya yang ada di desa, mereka terus melahirkan karya dalam pementasan teater dengan tema budaya yang merakyat. Karya yang sudah dihasilkan antara lain, Weweh, Legenda Belik Ngecis, Tonilan, dan Lelangit. “Desa kami ini ‘kan berada di lereng Muria, jadi kami memanfaatkan folklor yang diyakini oleh masyarakat, yaitu budaya yang diajarkan oleh Kanjeng Sunan Muria. Kami membuat tema-tema seperti weweh (budaya saling memberi makanan), gotong royong dan ceritacerita yang berkaitan erat dengan Sunan Muria,” kata Zaini. Di tengah upaya tersebut, ia mendengar bahwa Kemendikbud menyelenggarakan lomba Cerita Budaya Desaku pada Agustus-September 2020. Ajang ini mempertandingkan tulisan narasi yang dilengkapi dengan foto dan video berisi tentang potensi budaya yang dimiliki oleh masing-masing desa. Zaini membentuk tim yang bekerja cepat dengan tenggat dua pekan. Dalam jangka waktu yang amat pendek itu, tim sepakat menggarap naskah dengan tema


Pager Mangkok dan Topo Ngeli. Tema ini adalah ajaran yang dibawa Sunan Muria dan budayanya hingga hari ini masih dijalankan oleh masyarakat Piji Wetan. Pager Mangkok dan Topo Ngeli mempunyai nilai filosofis yang dalam dan menjadi fondasi pengembangan kampung budaya Piji Wetan. Dalam arti harfiah, topo ngeli berarti bertapa dan mengikuti arus. Sementara pager mangkok mengandung ajaran sedekah dan gotong royong. Pager Mangkok mengajarkan kepedulian terhadap sesama, bersedekah dan gotong royong. Sedangkan Topo Ngelo mengajarkan warga untuk mengikuti arus perkembangan dunia tetapi tidak hanyut terbawa gelombang. Bermodalkan dua simbol ajaran Sunan Muria, kampung Piji Wetan berhasil meraih penghargaan juara 2 dalam kategori narasi terbaik dan masuk dalam daftar 30 terbaik dari 486 desa dalam Lomba Cerita Budaya Desaku tingkat Nasional. Pengembangan Kegiatan Setelah mendapatkan penghargaan dari Kemendikbud, para inisiator

kampung Piji Wetan mengembangkan aneka kegiatan selain pertunjukan teater. Pengembangan tersebut berlandaskan keprihatinan tentang nilai-nilai tradisi yang mulai ditinggalkan oleh generasi muda, seperti permainan tradisional, makanan tradisional dan tradisi lisan. Rhy Husaini, salah seorang inisiator yang bergerak di bidang sastra, mengatakan bahwa sumbangan terpenting kebudayaan adalah membuat desa menjadi ruang mengasah laku-laku keseharian. Ia mengangankan generasi muda mempelajari kebudayaan desa sebab kemajuan ilmu dan teknologi harus dibarengi dengan pola pikir dan perilaku yang luhur. Pengembangan kegiatan tersebut selaras dengan konsep Pasar Ampiran yang digelar sebulan sekali dan menyajikan makanan tradisional khas Piji Wetan. Dalam penggunaan sehari-hari, tempat tersebut difungsikan juga sebagai sarana bermain anak-anak dan tempat diskusi santai antarwarga. “Yang terpenting itu anak-anak dapat terwadahi di tempat ini. Kami menyediakan fasilitas permainan

tradisional seperti, egrang, gobak sodor, gadrik, dakon, dan lain-lain,” tutur Rhy. Ia menambahkan, sebulan sekali pasar itu didesain mewadahi potensi lain yang dimiliki desa. Misalnya penyelenggaraan bazar yang memamerkan hasil-hasil olahan makanan masyarakat lokal. Untuk menikmati sajian makanan di Pasar Ampiran, para pengunjung harus menukarkan uang dengan koin yang sudah disediakan oleh panitia. Kampung budaya yang digagas empat orang tersebut akhirnya menuai respon positif dari pemerintah desa Lau. Rawuh Hadiyanto selaku Kepala Desa Lau menuturkan bahwa di bulan Januari 2021, Pemdes Lau sudah menganggarkan dana untuk menunjang kegiatan KBPW. Desa sangat diuntungkan dengan kegiatan yang digerakkan oleh anak-anak muda tersebut. “Meski namanya diambil dari nama dukuh, tetapi kegiatan ini mampu melibatkan semua kalangan desa Lau. Dampaknya pun dapat dirasakan oleh semua masyarakat. Terutama di sektor UMKM desa Lau sendiri,” pungkasnya. (Afthonul Afif dan Islakhul Muttaqin, penulis asal Kudus)

Aktivitas sebagian warga Kampung Budaya Piji Wetan di sore hari. Mereka biasanya menyanyikan gending Jawa dan Macapatan untuk mengisi waktu menjelang maghrib.

foto: https://desabudaya.kemdikbud.go.id/

(Atas) Mudhofar (depan) dan Sukron (belakang) memanggul bambu yang akan digunakan untuk membuat panggung budaya pagelaran Tonilan. Warga Kampung Piji Wetan lebih mengutamakan memanfaatkan barang yang ada di sekitarnya. Mereka melakukan hampir semua aktivitas dengan spirit gotong royong yang kental. (bawah) Panggung Ngapringan, sisi timur Desa Piji Wetan yang sering digunakan sebagai tempat melakukan permainan tradisional.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 23


foto: Andriani Agustina

TO P I K UT A M A

I

ndonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman ekspresi seni budaya. Kesenian yang pusparagam ini tumbuh dari kreativitas masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan bersama. Sebagai upaya untuk menjawab tantangan konkret hidup sehari-hari, kesenian dapat berperan menjalin komunikasi yang lebih erat antaranggota masyarakat dan mendorong mereka untuk bersatu memecahkan masalah yang ada. Itulah sebab mengapa di setiap kesatuan masyarakat tumbuh dan berkembang berbagai macam bentuk kesenian.

24 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Di lingkaran kaki Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, dan Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terdapat sebuah komunitas seni yang sejak tahun 2000 rutin menggelar acara kebudayaan bertajuk Festival Lima Gunung (FLG). Komunitas Lima Gunung adalah komunitas warga desa penduduk lereng gunung, petani sayur, padi dan tembakau sekaligus pegiat kesenian dan kebudayaan dengan gairah kesenian yang bebas dan penuh vitalitas kerakyatan. Sebagaimana perhelatan budaya lainnya di masa pandemi ini, FLG juga

mengalami perubahan bentuk acara. Biasanya festival dilangsungkan di suatu wilayah selama 3 hari dengan berbagai pentas seni tradisi dan kontemporer dari wilayah sekitar, luar kota hingga luar negeri. FLG tahun 2020, festival ke-19 dari Komunitas Lima Gunung, digelar di berbagai lokasi yang direntang dalam enam episode. FLG XIX episode pertama dilangsungkan di lereng Gunung Sumbing, tepatnya di Krandegan, Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Episode kedua


foto: Andriani Agustina

membuka ruang kreativitas yang lebih luas.

Kesenian Warok Cilik dari lereng Merbabu tampil dalam Festival Lima Gunung XI. Warok Cilik dari Lereng Merbabu.

Kesenian Warokan dari Lereng Merbabu.

Maka FLG di masa pandemi berlangsung unik: tidak ada penonton yang berjubel. Hanya seniman tuan rumah yang tampil. Waktu pelaksanaan pun mendadak. Di Sumbing, misalnya, pentas kesenian dilakukan bersamaan di atap rumah penduduk dan sebuah ladang bawang. Peristiwa ini menjadi pesta seni para wong nggunung yang polos apa adanya. Pandemi justru

foto: Andriani Agustina

berlangsung di kediaman budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) di Kadipiro, Yogyakarta. Episode ketiga digelar di Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Episode keempat digelar di Desa Tanjungrejo, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Episode kelima berlangsung di Candi Lumbung, Kecamatan Sawangan dan episode keenam dilangsungkan di Studio Mendut. Bagi Komunitas Lima Gunung, keterbatasan dalam pandemi justru menjadi inspirasi untuk menciptakan cara-cara baru yang adaptif dengan kondisi. Festival menjadi lebih sederhana, bisa dilaksanakan dengan jumlah personil yang terbatas tetapi tetap dapat mengangkat nilai-nilai penting festival ini sambil terus menyampaikan pesan kepada masyarakat luas akan pentingnya menjalankan protokol kesehatan.

Manusia Jawa Seperti mula digagas, penyelenggaraan FLG memang tanpa tujuan muluk-muluk, apalagi bermaksud nguri-uri (melestarikan) budaya. Tujuannya tanpa pretensi selain untuk menghibur. Di FLG, dengan ekspresi gerak, kostum, dan tembang yang beragam, semua orang berkumpul dan berekspresi bersama. Tak ada lagi jarak antara penari, pemain gamelan, dan penonton. Semua menyatu, bersentuhan tanpa sekat-sekat kelas sosial. Pengunjung bebas datang atau pulang setelah menikmati pertunjukan. Tidak ada tuntutan untuk memahami pesan yang terkandung dalam pertunjukan. Lewat

2021, VOL. 10 INDONESIANA 25


seni pula, mereka bisa membebaskan diri dari segala persoalan domestik, komunal hingga nasional, bahkan mampu menertawakan diri sendiri. Seturut Mahpur dalam kajian mengenai Hibriditas dan Menyoal Kearifan Lokal (2008), selama ini, identitas desa telah terdesak oleh konsumerisme dan gaya pembangunan modern. Desa bukan lagi kebanggaan dan kebijakan pembangunan mematikan potensi desa. Dalam paradigma pembangunan itu, keberhasilan desa dilihat dari infrastrukturnya. Potensi pertanian dimatikan oleh harga pupuk tinggi. Orang desa menjadi orang yang ‘dipaksa’ iri terhadap orang kota. Gaya hidup kota telah mengambil-alih gaya hidup orang desa. Namun arifkah ketika

26 INDONESIANA VOL. 10, 2021

foto: Andriani Agustina

foto: Andriani Agustina

Kesenian Warokan dari Lereng Merbabu

identitas budaya digeser dengan nalar liberalisasi ekonomi tanpa melihat struktur dasar kepemilikan lokal sebagai khazanah kebudayaan yang dipraktikkan sehari-hari? FLG justru memfasilitasi masyarakat Jawa yang rileks, terbuka terhadap unsur dan bentuk kebudayaan lain. Mereka percaya bahwa budaya bukan hasil produksi pabrik, bukan pula instrumen yang mendukung tata kuasa tertentu. Mereka menyerap, mengunyah, meresap, dan meramunya menjadi tampilan yang bernas. Dalam kuda lumping yang ‘khas’ Jawa Tengah bisa muncul unsur tari Bali, Papua atau bahkan Afrika dalam pementasannya. Inovasi ini menjadikannya kaya warna dan makin menarik untuk ditonton. Inilah sebuah kearifan masyarakat berbasis etika dan local genius yang terakumulasi sebagai modal ekonomi, sosial, dan simbolik. Etika seni menumbuhkan pranata estetika sebagai konkretisasi dari kecerdasan emosional

sedangkan etika sosial membangun pranata solidaritas sebagai representasi kecerdasan sosial. Hal ini menjadikan mereka independen, termasuk dari belenggu pasar. Dengan rileks mereka merayakan hasrat berkeseniannya, termasuk tidak mempedulikan jumlah penonton. Di sini, orang yang datang adalah tamu, bukan konsumen. Setiap orang diperlakukan setara, termasuk Wakil Presiden Boediono (pada waktu itu) yang dibiarkan duduk lesehan di tanah berbaur bersama penonton lain. Inilah festival, pesta komunitas yang ada dan diadakan untuk para penghayat kebudayaannya. Mereka independen dari identitas Jawa – tradisional atau kontemporer –, termasuk independen dari identitas Komunitas Lima Gunung itu sendiri. Mereka melampauinya. Humanisme Kultural FLG menyampaikan bahwa berkesenian dan berbudaya bukan milik golongan tertentu, seperti


Penari Tanen dari Lereng Merbabu.

interaksi. Menyitir Fauzan (dalam Mahpur, 2008), upaya berkelanjutan semacam ini berperan sebagai daya hidup bagi proses peradaban bangsa yang multikultur. Termasuk sebagai upaya transformasi nilai, sikap, disparitas terhadap upaya memandang modernitas dan pembangunan. Seturut Daniel Sparingga dalam tulisan Multikulturalisme Indonesia: Jawaban Terhadap Kemajemukan (2004), praktik FLG adalah bentuk nyata multikulturalisme, yaitu mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat majemuk di Indonesia dapat dikelola. Hal ini akan menjamin terpeliharanya kemajemukan dan integrasi sosial guna pencapaian cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa.

foto: Andriani Agustina

foto: Andriani Agustina

seniman atau akademisi. Setiap orang, termasuk masyarakat gunung, dapat melakukannya asal diberi kesempatan berkembang. Terbukti dalam setiap penyelenggaraan FLG dari tahun ke tahun, terdapat perubahan positif. Para seniman tradisional itu kian kreatif dengan memunculkan ide dan bentuk kesenian baru di masingmasing dusunnya, lalu membaur dengan seni kontemporer dan mampu mengemasnya dengan baik dengan tetap mempertahankan tradisi lama. Setelah memutuskan tidak lagi menerima sponsor maupun donasi (sejak penyelenggaraan ke-9 tahun 2010), ide-ide kreatif terus muncul mewarnai kegiatan. Tema-tema yang diangkat, terkesan anti-mainstream dan merefleksikan perenungan batin para penggiatnya. Sebut saja “Tapa ing Rame” (tahun 2014), “Mari Goblok Bareng” (2017), “Masih Goblok Bareng” (2018), “Gunung Lumbung Budaya (2019), dan “Donga Slamet, Waspada Virus Dunia” di tahun 2020 ini. Semua tema itu berangkat dari rasa cinta pada kehidupan dan kebudayaan. Bagi mereka, kegembiraan yang lahir dari pertunjukan seni akan menghadirkan cinta. Atas dasar cinta pula ratusan kelompok kesenian bergerak memeriahkan panggung FLG tanpa dibayar. Mereka yang datang dari luar kota atau luar negeri bahkan harus merogoh kocek sendiri untuk ongkos perjalanan. Festival ini menjadi bukti model manajemen kemanusiaan yang khas petani, khas gunung, khas pedesaan. Misalnya menyangkut pengelolaan keuangan. Orang akan bertanya-tanya bagaimana mereka membayar ratusan orang yang pentas, yang tentunya membutuhkan dana besar. Tapi toh, semuanya terus berlangsung rutin dan berkala. Dengannya, FLG ada untuk membuat penampil penyelenggara dan pemirsa ikut berbahagia; itulah makna berbudaya. Di FLG, budaya menjadi roh, menjadi tata nilai, juga kepercayaan yang membentuk

Dalam konteks multikulturalisme, menyitir Aryo Danusiri dalam Memfilmkan Indonesia (2004), peran kesenian adalah memberi ruang untuk menafsir dan mencipta-ulang berbagai pengertian mengenai aneka budaya yang ada di Indonesia. Inilah dasar pemikiran multikulturalisme kritis yang tidak mengeksploitasi makna kebudayaan, tetapi mengeksplorasinya di masyarakat sehingga menjadi relevan dengan nilainilai tradisional dan keadilan. Komunitas dan Festival Lima Gunung adalah model ekspresi kesenian, presentasi kebudayaan, dan representasi praktek kehidupan dengan panduan nalar dan nilai etis-estetis yang patut menjadi refleksi. (Purnawan Andra, staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 27


TO P I K UT A M A

Jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda mengendus timah di desa mereka yang kemudian menjadi salah satu pusat penambangan komoditi unggulan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, warga Cambai adalah para petani lada yang berdaulat. Kini, warga ingin merayakan kembali identitas mereka. Berhenti menanam lada, berarti menghilangkan identitas 1.536 warga desa. Satu upaya yang bisa dilakukan adalah mempopulerkan kembali agrowisata lada. Turunannya dapat berupa budidaya tanaman obat, seperti; bunga teratai, akar bambu kuning, kelapa kuning, dan akar pohon mangkalek. Menanam lada itu tidak hanya sekedar menanam, namun berdampak pada perilaku manusia sehari-hari. Saat menanam lada, kita diajarkan untuk sabar, tekun, dan tidak serakah. Perilaku seperti itu dapat menular dalam kehidupan sehari-hari. Sangat berbeda dengan menambang timah yang lebih praktis dan tujuannya mencari banyak keuntungan.

foto: Dok. Dato Akhmad Elvian

foto: Dok. Rafli L. Sato

28 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Cambai, Pohon Pinang Mari sejenak menengok sejarah keberadaan Desa Cambai. Dalam Kaart van het Eiland Banka 1885 J.W. Stemfoort, Cambai ditulis dengan “Djambei”, yakni satu kampung dalam distrik Pangkalpinang yang terletak setelah Ajer Messoe (Air Mesu) di sisi utara dan kampung Djeloetong di sisi selatan. Djambei atau Cambai secara geografis berbatasan dengan Gunung Langir (satu gunung di pegunungan Mangkul) dan Sungai Lempoeyang di sisi barat. Pada peta tahun 1910, di Djambei terdapat smelt huizen (tempat/rumah peleburan timah) dan uitgewerkte terrein (kawasan yang belum terbuka). Dalam peta

tahun 1925, Djambei berubah menjadi Tjambai. Toponimi Cambai berasal dari Djambei yaitu nama lain dari pohon pinang (Areca catechu), yang dalam bahasa Cina disebut pinlang atau pinkong (dialek Cina Bangka). Ada pinang sebatang, pinangyang, pinang seribu, dan pinang dua, menunjukkan banyaknya pohon pinang yang ditanam di daerah itu. Pinang juga terkait dengan budaya masyarakat Bangka. Maka itu dikenal istilah seperti dipinang, pinangan, opih pinang, bagai pinang dibelah dua, pinang kering, pinang sebatang, mabuk pinang, dan sirih pinang. Jika menengok lebih jauh lagi ke belakang, Pulau Bangka di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang

Darussalam di masa pemerintahan Sultan Susuhunan Muhammad Bahauddin (1776-1803), pernah diserang oleh bajak laut Lanun dan bajak laut dari Lingga. Lanun membangun pangkalan di sisi Utara sungai Kepo, lantas menyerang pesisir Pulau Bangka hingga menjarah ke wilayah Paku di pedalaman. Bajak laut terus lari ke Teru, Pangkul, Air Mesu, Djambei atau Cambai, Lempoeyang, Aik Moenjang, Selinta, hingga Pangkalpinang. Pada tahun 1793, berganti Panglima Raman dari Lingga memimpin perampokan dan merebut daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai Lanun. Seorang Arab bernama Abdullah Djalil berhasil mengusir Panglima Raman dan mengembalikan Pangkalpinang

foto: ANRI, 8 September 1951

Warga menjadi mudah emosi, serakah, dan inginnya yang praktis-praktis saja. “Makanya, ketika timah sedang jayajayanya, banyak warga yang terlibat pembunuhan, mabuk-mabukan, pasangan suami-istri bercerai. Setelah timah habis, tingkat kriminal jadi makin tinggi. Orang menginginkan hasil yang praktis, karena tuntutan ekonomi semakin tinggi,” tutur Hasan Basri, warga Cambai, seperti ditulis di laman desa budaya Ditjen Kebudayaan Kemdikbud. Menurut Hasan, lada memang telah ditakdirkan untuk ditanam di Pulau Bangka, karena lada tidak merusak lingkungan. Meski ditanam di lahan sempit, lada tetap bisa menguntungkan. Menanam lada adalah budaya Desa Cambai, dan terbukti membentuk karakter atau watak penduduk setempat.

(atas) Rapat Akbar Rakyat Bangka dengan Bung Karno di Lapangan Merdeka Pangkalpinang, tampak tulisan Lada Bangka Mendjamin Kemakmuran Rakjat, 8 September 1951. (bawah) Hasil panen Lada di Pulau Bangka 1930.

foto: ANRI, KIT 622/076

Menaiki tangga sahang untuk memanen lada


foto: Puji Riswanto - https://www.shutterstock.com/g/PUJI_RISWANTO

foto: Akepong Sichaichana - https://www.shutterstock.com/g/akepong+srichaichana

foto: Hasiholan Siahaan - https://www.shutterstock.com/g/HASIHOLAN+SIAHAAN

dan sekitarnya ke dalam kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam (Sumber: Report on the Island of Banka, Journal of the Indian Archipelago karangan Thomas Horsfield, 1848). Memindah Tempat Tinggal Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang berpengaruh besar bagi masyarakat Bangka adalah membangun jalan-jalan besar yang masih digunakan hingga sekarang. Kebijakan pembangunan jalanjalan baru diikuti dengan memindahkan pemukiman penduduk dari pedalaman ke dekat jalan raya. Pola pemukiman tradisional masyarakat Bangka pun berubah, dari konsep mata angin dan bubung (pemukiman terdiri atas 10-40 bubung rumah atau pondok ume) menjadi di tepi jalan, kiri atau kanan jalan. Pengelompokan penduduk di pinggir jalan ini merupakan cara efektif bagi pemerintah kolonial agar dapat mengawasi jalur gerak serta

30 INDONESIANA VOL. 10, 2021

distribusi logistik perlawanan rakyat. Dibangunlah kampung-kampung baru di sepanjang jalan raya. Tahun 1896 tercatat sekitar 2.000 rumah terbangun di perkampungan-perkampungan yang tersebar di Bangka. Masuknya pemerintah Kolonial Belanda di Pulau Bangka mengawali proses penambangan timah di Pulau Bangka secara terstruktur. Lahanlahan di Desa Cambai yang dulunya hutan dan perkebunan, dengan luas mencapai 471.000 hektare, menjelma menjadi lumbung timah. Pada saat itu, masyarakat lokal dilarang keras untuk menambang sendiri, dan berlanjut hingga era Orde Baru. Pada tahun 2000an, eksplorasi tambang timah rakyat mulai dilakukan, salah satunya di Desa Cambai, warga perlahan mulai beralih ke tambang timah yang hasilnya memang lebih menggiurkan, jika dibanding dengan berkebun lada. Hasan Basri termasuk warga Cambai yang bertahan dan tidak tergoda untuk membuka kebunnya menjadi lahan tambang. Menurutnya, aktivitas tambang timah banyak merugikan diri sendiri dan orang banyak, karena dampak lingkungan yang dihasilkannya. Hingga saat ini, Hasan Basri tetap konsisten mengurus 200 tanaman lada di lahan kurang dari satu hektare. Dari hasil menanam lada, Hasan mampu menyekolahkan dua anaknya hingga perguruan tinggi. “Hasil

Lada yang baru dipanen ditempatkan dalam keranjang. (kiri atas) Lada, kisah raja rempah. (kiri bawah) Lada putih bangka. (atas) Petani sedang menyiangi kebun Lada atau Sahang yang dibantu anak-anak tahun 1977, oleh Bapak Rozali, HS. (bawah) Panen Lada di Pulau Bangka, 1930.

dari timah hanya sementara, lahan menjadi rusak. Sedangkan lada, selesai panen masih bisa ditanam kembali,” kata Hasan, yang pernah mengalami naikturunnya harga lada serta merugi akibat lada diserang penyakit. Agrowisata Lada dan Tanaman Obat Sejak tahun 2016, di ujung Desa Cambai terdapat Agrowisata Lada sekitar enam hektare, yang dapat pula difungsikan sebagai media edukasi bagi para pemuda agar lebih mengenal lada dan pada akhirnya dapat menumbuhkan minat menanam lada. Sejak awal didirikan, banyak wisatawan lokal maupun peneliti dari luar negeri berkunjung ke agrowisata, seperti dituturkan Holib (59), pengurus Agrowisata Lada yang dikelola oleh BP3L. Namun, tiga tahun belakangan, agrowisata tersebut mulai redup dan nampak tidak terawat, karena kurangnya dukungan dari pemerintah setempat. Pohon lada yang dulu tertata rapi, kini


foto: Dok. Rozali, HS

obat di Desa Cambai selama sekitar 30 tahun dan memiliki pasien dari luar daerah seperti Kabupaten Bangka Barat, Bangka, dan Bangka Selatan. Sahrel khusus mengobati penyakit kuning akibat penumpukan zat bilirubin di dalam aliran darah atau karena kelainan pada empedu/liver. Pengobatan herbal dipilih warga karena biaya lebih murah, selain juga karena tenaga kesehatan tidak mampu lagi untuk mengobati. Jenis-jenis tumbuhan obat masih cukup mudah didapat di Desa Cambai, seperti bunga teratai, akar bambu kuning, kelapa kuning, dan akar pohon Mangkalek. Namun, berkurangnya luasan hutan di Desa Cambai tentu juga mencemaskan. Jumlah hutan semakin sedikit karena sudah berubah menjadi bangunan atau perkebunan, sehingga mengancam tanaman obat. (Dato’ Akhmad Elvian, DPMP Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung Penerima Anugerah Kebudayaan)

foto: Anatoli Styf - https://www.shutterstock.com/g/styf22

foto: ANRI, KIT 622/080

mulai ditumbuhi rumput-rumput liar, yang tingginya telah melampaui pohon lada itu sendiri. Akan tetapi, lada tetap harus ditanam. Sembari menunggu lada tumbuh besar, Holib mengembangkan tanaman pangan seperti Sorgum yang bisa dipanen empat hingga tujuh kali setahun. Pola ini diharapkan dapat menumbuhkan lagi semangat warga, karena masa tanam lada itu cukup lama hingga panen. Budaya menanam lada tentunya dapat terangsang dengan adanya agrowisata tersebut. Apalagi lada Bangka sudah terkenal hingga tingkat internasional. Agrowisata Lada diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam mengembalikan budaya serta identitas warga Desa Cambai sebagai petani lada. Selain lada, tanaman obat juga menjadi alternatif pemajuan desa, karena pengobatan herbal diyakini sangat ampuh menyembuhkan penyakit, seperti dikatakan Sahrel (59), peramu tanaman

2021, VOL. 10 INDONESIANA 31


comic strip

32 INDONESIANA VOL. 10, 2021


comic strip

2021, VOL. 10 INDONESIANA 33


p eri st i wa

Pantun Kini menjadiWarisan Budaya Takbenda Dunia Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara memiliki ribuan tradisi lisan yang diwariskan kepada generasi penerusnya, berupa cerita rakyat, peribahasa, nasihat, seni pertunjukan, rapalan, ekspresi lisan, permainan tradisional, pengobatan tradisional, dan masih banyak lagi. Melayu merupakan satu suku bangsa yang dikenal dengan kekuatan tradisi lisan pantun. Kelompok masyarakat suku Melayu adalah mereka yang menghuni Semenanjung Malaya, Sumatra bagian timur, bagian selatan Thailand, pantai selatan Burma, Borneo pesisir termasuk Brunei, Kalimantan Barat, Serawak dan Sabah yang dikenal sebagai “Alam Melayu”.

foto: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya

34 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Pada perayaan adat, masyarakat Melayu menggunakan pantun untuk menyambut tamu. Pantun digunakan hampir di semua aspek kehidupan, salah satunya pada upacara pernikahan.

yang menerimanya. Pantun mampu mendeskripsikan kearifan lokal yang berisi peristiwa, sejarah, budaya, tradisi, atau adat yang dimiliki oleh masyarakat pemilik pantun dan mampu mengantarkan maksud yang ingin disampaikan secara santun. Masyarakat Melayu biasa mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung melalui ungkapan yang berbentuk puisi terdiri atas empat baris, berpola ab-ab, baris 1 dan 2 merupakan sampiran, baris 3 dan 4 menjadi isi. Setiap baris terdiri atas 4 sampai 5 kata, tiap barisnya terdiri dari 8 sampai 12 suku kata. Pantun merupakan syair Melayu yang digunakan untuk menyampaikan gagasan dan maksud, dan telah menjadi salah satu bentuk tradisi lisan yang digunakan di sebagian besar wilayah Asia Tenggara setidaknya selama 500 tahun. Berpantun biasanya dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih, hal tersebut mengisyaratkan

kebersamaan dan kehangatan yang menjadi ciri khas masyarakat Melayu. Sampiran dalam setiap pantun umumnya merupakan keseharian yang bersumber dari lingkungan alam (gunung, hutan, laut), dengan menggunakan pantun maka akan turut menjaga kelestarian alam tempat hidup. Perjalanan Pantun Masuk ke dalam Daftar ICH UNESCO 17 Desember 2020, melalui sidang komite Intangible Cultural Heritage (ICH) ke-15 yang dilaksanakan di Prancis dan Jamaika, UNESCO telah menetapkan Pantun masuk ke dalam daftar Intangible Cultural Heritage UNESCO. Penetapan tersebut merupakan hasil perjuangan panjang komunitas pantun dalam pengusulan menjadi warisan budaya takbenda dunia. Upaya pengusulan pantun untuk masuk ke dalam daftar ICH UNESCO telah

foto: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya

P

antun berfungsi sebagai penanda jati diri masyarakat Melayu. Pantun dijunjung tinggi keberadaannya oleh masyarakat pemiliknya karena menyatu dengan kepribadian masyarakat Melayu. Sebagai tradisi lisan, pantun digunakan dalam kehidupan seharihari, adat istiadat maupun dalam ritual. Berpantun menjadi cara yang paling tepat untuk menyampaikan maksud, nasehat, dan petuah tanpa harus menyinggung perasaan orang

2020, VOL. 9 INDONESIANA 35


foto: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya

diinisiasi oleh komunitas Pantun sejak tahun 2016. Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bersama dengan Lembaga Adat Melayu (LAM) bersama-sama mengajukan usulan Pantun kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pada tahun yang sama komunitas Pencak Silat, Lariangi dan Pawukon juga mengusulkan warisan budayanya untuk didaftarkan ke UNESCO. Setelah melalui mekanisme yang berlaku, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pantun untuk dibahas pada sidang ICH tahun 2018 dan Pencak Silat pada sidang tahun 2019. Keputusan pengusulan Pantun diambil setelah mempertimbangkan kemungkinan menjadi usulan bersama (joint nomination) dengan negara Melayu

36 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Sampiran pada pantun hampir selalu berkaitan dengan alam dan lingkungan sekitar. Pada Komunitas Melayu, pantun diajarkan oleh tetua dan kepala adat kepada anak dan murid mereka

yang serumpun. Indonesia mencoba menjajaki kemungkinan pengusulan bersama dengan negara lain yang memiliki pantun seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand (bagian Selatan). Setelah beberapa waktu penjajakan, maka diputuskan Pantun akan diusulkan sebagai joint nomination Indonesia dan Malaysia karena negara lain dianggap belum siap untuk pengusulan bersama. Pengusulan ini menjadi usulan bersama yang pertama bagi Indonesia, setelah sebelumnya 9 (sembilan) warisan budaya takbenda didaftarkan oleh Indonesia sendiri. Pertemuan awal dilakukan oleh perwakilan kedua negara di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau pada akhir tahun 2016. Pertemuan tersebut membahas

kemungkinan kerjasama penelitian dan rencana aksi dalam upaya pengusulan Pantun. Penelitian Pantun dilaksanakan selama 2 (dua) bulan di beberapa wilayah sekitar Riau dan Kepulauan Riau. Penelitian dilakukan dengan melibatkan komunitas pantun melayu, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, dan tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Kemdikbud. Hasil penelitian kemudian dirumuskan bersama dan disepakati bahwa daerah persebaran pantun melayu tidak hanya di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, tetapi juga dikenal di daerah lain seperti kias di Lampung, dan rancag/rancak oleh masyarakat Betawi. Pantun juga dikenal oleh masyarakat Minangkabau, bahkan hingga ke wilayah Kalimantan Selatan, Manado, dan Ambon. Begitu pula


Pantun mengadakan pertemuan untuk menyempurnakan naskah usulan. Asosiasi Tradisi Lisan bersama Lembaga Adat Melayu kembali memperkuat kerjasama diantara komunitas Pantun, tidak hanya dengan Malaysia, tetapi juga bersama negara serumpun Melayu lainnya. Kerjasama dilakukan melalui bidang akademis penelitian bersama, juga melalui festival serta lomba pantun bagi generasi muda. Penyempurnaan naskah usulan Pantun dilaksanakan melalui beberapa pertemuan di antara komunitas pantun dan perwakilan dua negara. Naskah usulan kembali dikirimkan pada bulan Maret tahun 2019. Setelah memeriksa kembali berkas usulan perbaikan naskah, pada sidang ke-15 ICH UNESCO secara resmi menetapkan Pantun masuk ke dalam daftar ICH UNESCO. Pantun dinilai memiliki arti penting bagi masyarakat Melayu bukan hanya sebagai alat komunikasi sosial namun juga kaya akan nilai-nilai yang menjadi panduan moral. Pesan yang disampaikan melalui Pantun umumnya menekankan keseimbangan dan harmoni hubungan antarmanusia. Hingga saat ini Indonesia telah memiliki 10 Warisan Budaya Takbenda

yang masuk ke dalam daftar ICH UNESCO yaitu Keris, Wayang, Batik, Angklung, Tari Saman, Noken, Tari Bali, Pinisi, Pencak Silat, dan Pantun; serta Pendidikan dan Pelatihan membatik. Daftar panjang tersebut membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara adidaya di bidang kebudayaan. Masuknya pantun ke daftar ICH UNESCO diharapkan menjadi media diplomasi budaya dunia, khususnya bagi masyarakat serumpun Melayu yang berada di Asia Tenggara. Proses pewarisan nilai yang ada pada Pantun kepada generasi muda harus terus berjalan dengan tetap mempertimbangkan kemajuan teknologi digital. Saat ini pantun dikembangkan melalui dunia digital menjadi lagu-lagu populer dan media sosial Harapan bersama agar pantun tetap hidup dan tidak hilang ditelan zaman. mendayung sampan ke pulau Bintan sampan berlabuh menjelang malam rasa syukur kami ucapkan dari hati yang paling dalam Tahniah, pantun menjadi warisan budaya takbenda dunia. (Hery P. Manurung, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan)

foto: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya

di Malaysia, Pantun masih digunakan oleh masyarakat Melayu, Bajau, Ida’an, Kedayan, Baba Nyonya. Setelah melalui proses penyusunan dan uji publik naskah usulan, pada bulan Maret 2017 naskah Pantun dikirimkan kepada Sekretariat UNESCO untuk dibahas pada sidang ke-13 ICH UNESCO tahun 2018. Namun pada sidang tersebut UNESCO memberikan catatan terhadap naskah usulan Pantun dan memberikan status ditangguhkan (reffera ). Catatan penting yang disampaikan berkenaan dengan sistem pendataan warisan budaya takbenda dimana negara harus dapat memperbaharui dan melaporkan perkembangan pendataannya kepada UNESCO. Hal lain yang digarisbawahi yaitu, Indonesia dan Malaysia belum dapat menunjukkan kerjasama dan keterlibatan antar komunitas Pantun dalam proses pengusulan. Terkait kedua hal tersebut UNESCO memberikan status penangguhan penetapan dan memberikan saran agar kedua negara menyempurnakan usulan dan mengirimkan kembali untuk dibahas pada siklus berikutnya. Segera setelah mendapat catatan, perwakilan kedua negara dan komunitas

2021, VOL. 10 INDONESIANA 37


PE RI S T I WA

38 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Penampilan Rhoma Irama di Pekan Kebudayaan Nasional 2020

foto: Dok. Direktorat Jenderal Kebudayaan

“… musik adalah ekspresi budaya yang bersifat universal dan multidimensional yang merepresentasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan serta memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional” (Keppres No. 10 Tahun 2013)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 39


P ERI ST I WA

Hari Musik Nasional dan

Tantangan Kekinian Musik merupakan sebentuk ekspresi melalui bunyi, dengan unsur dasar berupa melodi (susunan nada), irama, dan harmoni, dengan unsur pendukung berupa gagasan, sifat, dan warna bunyi. Sejarah mencatat bahwa musik selalu mengiringi perjalanan peradaban manusia. Di Nusantara, sejak jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, penggunaan lagu atau musik sebagai ekspresi budaya terekam baik dalam memori kolektif masyarakat, melalui tradisi tutur maupun peninggalan-peninggalan peradaban lama. Kidung-kidung pengiring ritual, relief alatalat penghasil bunyi di dinding candi Borobudur, misalnya, adalah bukti betapa musik tidak pernah lepas dari perjalanan hidup masyarakat.

40 INDONESIANA VOL. 10, 2021

foto: Dok. Direktorat Jenderal Kebudayaan

K

ita merayakan anugerah musik itu, antara lain dengan menancapkan satu tonggak pengingat. Maka lahirlah Hari Musik Nasional yang diperingati setiap tanggal 9 Maret dan telah dilegalkan melalui Keputusan Presiden nomor 10 tahun 2013 dan diperingati dengan berbagai kegiatan seperti pertunjukan, diskusi, dan lokakarya. Penetapan tanggal 9 Maret merujuk kelahiran pencipta lagu kebangsaan Indonesia, Wage Rudolf Supratman, meski tanggal pasti kelahirannya masih diperdebatkan. Terlepas dari itu, ada hal yang lebih penting yaitu bagaimana momentum Hari Musik Nasional dapat menjadi titik pijak untuk mencapai tujuannya, yakni “...meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap musik Indonesia, meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi para insan musik Indonesia, serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat musik Indonesia secara nasional, regional, dan internasional”. Lantas sejauh mana ekosistem musik Indonesia berjalan, apa tantangan yang terjadi di era digital ini dan bagaimana meresponnya? Kata ekosistem biasa digunakan pada kajian-kajian biologi yang menggambarkan hubungan timbal-balik yang tak terelakkan pada antar unsur-unsur kehidupan dan lingkungannya dalam suatu lingkup

tertentu. Di bidang musik pun terdapat ekosistem dengan unsur dan aktoraktor pendukung seperti pencipta lagu, penyanyi, pengaransemen, penata suara, pemain musik, dan seterusnya. Setidaknya terdapat lima proses dalam suatu ekosistem musik, yaitu kreasi, produksi, distribusi, ekshibisi, serta apresiasi dan literasi. Kelima unsur ini berkelindan dalam ekosistem musik sekaligus satu bagian dalam ekosistem budaya yang lebih besar. Kreasi adalah hasil dari daya pikir dan khayal manusia, suatu proses “penciptaan” gagasan atau karya. Proses

ini paling sakral dan fundamental dalam ekosistem musik. Selalu ada pesan dari sang kreator yang ingin disampaikan melalui karya tersebut. Proses produksi adalah mengolah ide dari proses kreasi untuk diwujudkan dalam kemasan yang siap dinikmati dan diapresiasi, berupa lagu, musik atau susunan nada, dengan atau tanpa lirik yang menyertai. Proses berikutnya adalah distribusi, menyebarluaskan karya musik kepada penerima pesan, yang berikutnya menjadi proses ekshibisi atau pertunjukan. Ekshibisi dilakukan


Pertunjukkan musik di Pekan Kebudayaan Nasional 2020. The Sigit menggunakan pakaian tradisional saat tampil di Pekan Kebudayaan Nasional 2020.

foto: Dok. Direktorat Jenderal Kebudayaan

bersamaan dengan proses apresiasi dan literasi. Bagi apresiator, menafsir karya dapat dilakukan secara bebas dan menjadikan karya itu sebagai pijakan baru untuk menghasilkan kreasi baru. Aktor-aktor yang terlibat dalam mempertahankan eksistensi ekosistem musik antara lain pelaku seni (seniman) sebagai subjek; pemerintah sebagai regulator dan fasilitator; serta komunitas sebagai entitas kolektif yang menjalankan peran advokasi, kajian, serta hal-ihwal terkait manajemen pertunjukan. Tantangan Kekinian Setidaknya ada dua tantangan kekinian di dalam ekosistem musik di Indonesia, yaitu eksistensi media-media distribusi baru untuk melakukan ekshibisi, dan masalah-masalah yang timbul setelahnya, terutama terkait dengan perlindungan hak cipta. Sebab, keberadaan mediamedia distribusi baru selain memperluas akses apresiasi dan literasi karya musik, ternyata juga memunculkan masalah baru di dalam ekosistem musik. Contohnya adalah pergeseran dari apresiasi menjadi apropriasi. Proses apropriasi terjadi ketika kreasi dan produksi dalam konteks kekinian bergeser menjadi ‘tidak harus merupakan penciptaan karya baru’. Dengan kata lain, proses berkarya juga bisa berupa pengemasan ulang dari karya yang sudah ada. Apropriasi merujuk pada proses pengambilalihan sebagian atau keseluruhan elemen karya seni orang lain untuk digunakan sebagai kreasi baru. Sampai di sini mungkin tidak terlalu bermasalah. Namun dalam konteks

digital platform yang memungkinkan untuk melakukan monetisasi karya hasil apropriasi, hal itu dapat bermasalah, terutama menyangkut hak eksklusif kepemilikan karya, berimbas kepada hak ekonomi. Contoh paling sederhana adalah cover atau menyanyikan ulang lagu di Youtube. Pembuat konten dapat dengan mudah menyanyikan lagu karya orang lain yang direkam dan dibawakan dengan caranya sendiri, kemudian diunggah dan dimonetisasi. Ketika pengunggah video cover lagu mendapatkan uang, di situlah sebenarnya hak kekayaan intelektual sang kreator asli lagu itu tercederai. Perlindungan hak cipta tampaknya belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik, atau lebih tepatnya, tersosialisasikan dengan baik. Padahal jika merunut dokumen regulasi yang sudah ada, hak cipta atau hak atas kepemilikan kekayaan intelektual sebenarnya sudah dijamin bahkan sejak masa sebelum kemerdekaan, dengan adanya Auteurswet 1912 Nomor 600 sampai dengan dirilisnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang telah empat kali berubah. Terakhir adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berlaku hingga saat ini. Negara sebetulnya sudah memiliki perangkat regulasi yang cukup jelas, sehingga tinggal memperkuat advokasi dan pendidikan literasi musik. Advokasi dan regulasi harus berpihak kepada kreator-kreator karya musik serta memfasilitasi para pekerja seni yang terlibat. Di era digital ini, sudah saatnya ada regulasi bagi para penyedia

Kreasi

layanan musik Apresiasi Produksi digital. Musti dan Literasi ada penyaringan Ekosistem Musik terhadap pengunggah video/ audio, minimal mencantumkan Distribusi Eksebisi nama karya pencipta asli. Distribusi royalti dari hak cipta dan hak siar yang terunggah di platform-platform digital juga dapat diperjelas. Hal yang tidak kalah penting adalah penguatan literasi, bukan terbatas pada penafsiran karya musik namun juga penghargaan dan tanggung jawab moral serta material terhadap karya seni orang lain. Bisa dimulai dengan memperbaiki kurikulum pendidikan seni musik di tingkat dasar, dari sekadar keterampilan bermain musik (membaca not angka, not balok, memainkan suling atau pianika), dialihfokuskan menjadi pengalaman menyaksikan suatu pertunjukan (mendengar, melihat, mengapresiasi karya musik). Dengan demikian, para siswa terlatih untuk menghargai karya dahulu, sebelum mempelajari keterampilan bermusik. Tantangan kekinian di dalam ekosistem musik Indonesia yaitu pendayagunaan media-media digital yang diikuti dengan perlindungan hak cipta bagi kreator musik Indonesia serta penguatan literasi musik bagi masyarakat Indonesia. Selamat Hari Musik Nasional! (Denison Wicaksono, MA, Staff Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru, Ditjen Kebudayaan, Kemdikbudristek)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 41


P ERI ST I WA

Jalur Rempah: Sejarah mencatat bahwa rempahrempah telah mengharumkan Nusantara. Negeri ini pernah menjadi pemain penting dan pemasok utama dalam perdagangan dunia, jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara. Begitu pentingnya rempahrempah dalam kehidupan manusia, sehingga ia menjadi komoditas utama yang mampu memengaruhi kondisi politik, ekonomi, maupun sosial budaya dalam skala global selama berabad-abad.

42 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Akibat dari lalu lintas laut yang padat dari Asia Timur, Timur Tengah, Eropa dan sebaliknya, jalur rempah terbentuk dengan banyak peradaban berinteraksi. Jalur globalisasi Nusantara ini menjelma sebagai ruang silaturahmi antarmanusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan dan praksis, melampaui konteks ruang dan waktu, dipertemukan oleh laut, samudera, dan sungai. Studi-studi sejarah dan arkeologi menunjukkan Nusantara pernah menjadi satu pusat peradaban bahari dunia, sebagai penguasa niaga dan politik secara global dengan kebesaran armada maritimnya. Tak heran, Indonesia disebut sebagai negara bahari karena memiliki sejarah dan peradaban maritim yang amat panjang. Karakteristik negara kita disebut archipelagic state, yang diartikan

sebagai negara laut utama yang ditaburi pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut, seperti ditulis AB Lapian dalam Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (2009). Namun imajinasi bangsa kita tentang kemaritiman sudah lama kosong. Meski Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai poros maritim dunia, imaji negara agraris masih tertancap kuat, akibat pendekatan agraris buah kolonialisme bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-17. Kini kita rasakan, akibat terlalu lama ‘memunggungi’ laut, yang terjadi di daratan adalah kemiskinan, pengangguran, sekaligus seringnya bencana alam akibat “menghilangnya” hutan, digantikan oleh lahan-lahan produktif serta “industri” tanaman monokultur yang boros air dan lahan. Hilangnya hutan ini bahkan disebut sebagai penyebab pandemi global.


©whybryann

dan keamanan perdagangan dengan memperkuat diplomasi maritim, seperti ditulis dosen IPB Yonvitner di kolom opini kumparan.com, Mei 2019. Karenanya, dampak positif yang signifikan akan didapat jika jalur rempah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Selain Indonesia lebih mudah merealisasikan klaimnya sebagai poros maritim dunia dan soft diplomacy saat

Jalur Rempah PPK Jalur Rempah Indonesia Jaka Eka Sembodo

©Jaka Eka Sembodo

bernegosiasi dengan negara lain, jalur rempah merupakan pijakan sebagai modal pembangunan berkelanjutan. Dengan semangat jalur rempah ini, sektor kelautan merupakan prioritas dengan berbagai upaya menjadikan

©Raffi Chalfian

Memadukan Budaya Laut dan Darat Indonesia perlu merevitalisasi peradaban laut sebagai dasar kebudayaan bangsa. Bukan pekerjaan singkat dan mudah. Bahkan Laksamana Armada Inggris semasa Perang Dunia II, Lord Cunningham pernah menegaskan, “it takes the Navy three years to build a new ship, but it will take 300 years to build a new tradition”. Satu cara yaitu mengumandangkan jalur rempah, karena relevansinya luar biasa di masa kini, sekaligus pula melahirkan sebuah perspektif biokultur, membentuk pengetahuan tradisi dan kearifan lokal, serta kebhinekaan budaya baik di laut dan darat. Jalur rempah dapat menegaskan visi Indonesia tentang ideologi maritim kita kepada dunia yang dicirikan dari prinsip, pemahaman, tindak-tanduk kita yang sepenuhnya mengikuti gerak gelombang laut yang dijalankan dengan tujuan kita sebagai pengelola laut dengan semangat kejayaan Nusantara dalam jalur rempah. Sesungguhnya kitalah penguasa jalur perdagangan karena sebagian besar ada di ruang laut kita. Dan, kepentingan kita adalah menguasai jalur, distribusi, dan logistik barang, mengatur barang

2021, VOL. 10 INDONESIANA 43


Indonesia sebagai negara terbaik dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi lautnya. Pemanfaatan potensi laut membutuhkan pengelolaan serius

©Nanda Putri Andriani

dengan berbasis pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi terkini dan inovatif. Energi kelautan (energi pasang surut, gelombang, ocean thermal energy conversion), misalnya, dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi krisis energi listrik, farmakologi, dan lainnya. Begitu juga potensi besar pengembangan pariwisata bahari, transportasi laut, industri, dan jasa maritim. Ekonomi Kebugaran Dampak pandemi Covid-19 membuat begitu banyak orang tibatiba berbagi ketakutan yang sama: ketakutan terhadap kesehatan mereka, kekhawatiran pemenuhan kebutuhan hidup selama periode yang panjang dan tak menentu, ketakutan pekerjaan dan prospek ekonomi masa depan, serta kecemasan akan kemampuan dunia untuk pulih dari situasi ini. Manusia perlu strategi nyata yang menekankan pada penyembuhan jaringan kehidupan, membangun kembali perekonomian

dengan cara menghormati batasan ekologis. Di sinilah peran jalur rempah sebagai jalur budaya, dalam semua dimensinya. Di tengah ketakutan yang terus merebak masa pandemi ini, manusia berlomba-lomba untuk selalu bugar, yang kemudian memunculkan istilah ‘kebugaran’ atau wellness. Kebugaran di sini dipahami secara berbeda dengan “kesehatan” atau healthy. Wellness dapat digambarkan sebagai sebuah proses di mana individu membuat pilihan dan terlibat dalam kegiatan dengan cara mempromosikan mengarahkan gaya hidup yang sehat, yang pada gilirannya berdampak positif bagi kesehatan individu itu sendiri. Orang pun mulai ramai menemukenali kembali nilai-nilai hidup yang lebih baik yang berbasis pada isu-isu tradisi nenek moyang atau kearifan setempat. Menurut Global Wellness Institute, potensi pasar untuk wellness economy mencapai 4,2 triliun dolar AS atau sekitar Rp 59 kuadriliun pada 2017. Angka tersebut pun diprediksi akan tumbuh sekitar 6,4 persen per tahun. Industri wellness mencakup

Poster Jalur Rempah Nusantara Khasiat Rempah Nusantara

©Arini Annisa

44 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Jalur Rempah - Kayu Manis.

foto: https://www.shutterstock.com/g/belchonock

Jalur Rempah - Pala.

foto: https://www.shutterstock.com/g/pilipphoto

Poster Jalur Rempah

©Rahman Labaranjangi

makan sehat, perawatan dan kecantikan pribadi, nutrisi, meditasi, spa, kesehatan di tempat kerja, dan pariwisata kesehatan. Indonesia memiliki potensi yang besar dalam kebutuhan pasar yang tinggi tersebut. Hanya saja, memerlukan riset intensif yang sekarang ini masih sangat minim untuk memetakan kekayaaan pengetahuan budaya dan pembangunan. Jika jalan ini yang kita pilih-jalur rempah-, maka rute ini akan lebih cepat untuk mencapai sustainable development goals. Sebagai ilustrasi, Indonesia memiliki puluhan tradisional spa yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk kesehatan dan kecantikan ke mancanegara dan daya tarik turis. Beberapa yang sudah mulai kembali dikenalkan adalah batangeh dari Minang, oukup dari Sumatera Utara, tangas dari Betawi, bakera spa dari Minahasa, tellu sullapa eppa dari Bugis, lulur Jawa dari Jawa, Bali spa dari Bali, batimung dari Banjar, Kalimantan Selatan, serta soo so dari Madura. Penggunaan rempah-rempah, bumbubumbuan dan tumbuh-tumbuhan seperti padi, kelapa, jahe dan lain-lainnya untuk digunakan sebagai bahan penyembuhan dan relaksasi (rejuvenate) yang bersifat holistik sudah merupakan kebiasaan turun temurun sebagai kearifan lokal bangsa kita. (Mohamad Atqa, alumnus Antropologi UI, staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemendikbudristek)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 45


P ERI ST I WA

Bersyukur demi Leluhur dalam

foto: Bimo Haryo Yudhanto

UPACARA KA SA’O

Pada suatu siang, tampak dari kejauhan Gunung Inerie mengintip dari balik rerimbunan pohon yang memagari jalan setapak menuju pintu masuk Kampung Tololela. Tarian ja’i dengan iringan go laba menyambut kehadiran setiap tamu. Kampung itu dihuni oleh masyarakat Ngada di Pulau Flores, bagian dari Desa Manubhara, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Makin siang makin banyak tamu hadir, barisan tuan rumah hilir mudik menyambut setiap tamu di pintu masuk dengan berteriak lantang sambil mengacungkan parang ke udara. Seketika para tamu menghambur ikut menari ja’i ketika sang penyambut berbalik badan dan mulai menghentakkan kaki. Hari itu, awal Februari 2021, masyarakat Kampung Tololela sedang menyelenggarakan acara yang mungkin tidak akan selalu terjadi setiap tahun. Teriakan dan hentakan kaki terus bergulir hingga barisan penyambut dan tamu selesai mengitari ngadhu dan bhaga. Ngadhu adalah tiang kayu berukir dengan atap alang-alang yang membentuk payung, sedangkan bhaga berbentuk rumah adat dengan ukuran lebih kecil.

46 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Kedua benda itu menjadi representasi leluhur laki-laki dan perempuan, yang diletakkan di tengah pelataran tempat orang-orang menari ja’i. Hari itu adalah puncak pelaksanaan ka sa’o di Kampung Tololela. Sebuah ritual untuk mengungkapkan rasa syukur telah selesainya pembangunan sa’o. Dalam masyarakat Ngada pembangunan sa’o harus melalui sepuluh tahapan sampai sa’o dapat dihuni. Setiap tahapan

dari pembangunan rumah adalah perwujudan dari daur hidup manusia, dan ka sa’o sebagai perwujudan dari sebuah kedewasaan. Sa’o menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Ngada. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, sa’o memiliki beragam fungsi secara adat. Masyarakat meyakini bahwa dalam setiap sa’o bersemayam leluhur yang turut menjaga keselamatan penghuni rumah beserta lingkungan. Oleh sebab itulah, dalam setiap tahapan pembangunan rumah selalu dilaksanakan ritual untuk menghormati para leluhur. Ka sa’o adalah ritual terakhir sebagai pengesahan bahwa sa’o sudah layak dihuni sesuai dengan ketentuan adat. Tahapan persiapan ka sa’o dimulai ketika pemilik rumah (yang sudah selesai dibangun) mengadakan ritual untuk menunjuk dan membacakan orang-orang


yang bertugas pada ka sa’o keesokan harinya. Atas seizin leluhur, satu per satu nama-nama dibacakan, diiringi tuangan moke dalam batok kelapa. Arah gerak daun lontar yang mengapung dalam batok dipercaya sebagai perwujudan kehadiran leluhur. Leluhur setuju ketika daun lontar bergerak ke kiri, begitu juga sebaliknya. Acara esok hari diawali dengan teriakan sa ngaza oleh pemilik rumah. Selanjutnya pemilik rumah turun ke pelataran rumah untuk membentuk barisan penyambutan tamu. Barisan laki-laki mengacungkan parang sambil bergerak perlahan menuju pintu masuk kampung. Para tamu yang hadir pun membentuk barisan yang sama menunggu tuan rumah mengizinkan untuk masuk. Sa ngaza kembali diteriakkan sebagai penegasan tujuan kedatangan para tamu yang hadir, Setiap tamu membawa hewan yang diserahkan kepada tuan rumah untuk disembelih. Pada malam harinya dilaksanakan ritual untuk membacakan syair-syair adat yang bermakna sejarah dan penjelasan tentang sa’o untuk mengingatkan tentang asalmuasal rumah kepada para penghuninya.

Hari ketiga adalah puncak ka sa’o. Pada pagi hari petugas mulai menyembelih kerbau kemudian darahnya dipercikkan ke ngadhu sebagai bentuk persembahan kepada leluhur. Hewan-hewan yang dibawa para tamu juga disembelih untuk kemudian dimasak dan dibagikan kepada semua yang hadir. Sa ngaza semakin sering dilantunkan oleh tuan rumah, tamu yang hadir pun semakin banyak memenuhi pelataran. Go laba dibunyikan dengan kencang terusmenerus mengiringi entakan kaki hadirin. Perempuan dan laki-laki dengan suka cita menari ja’i mengitari ngadu dan bagha, seolah merasakan kehadiran para leluhur ikut serta diantara mereka. Tiga kali putaran menari ja’i sepertinya sudah cukup untuk membuat keringat mengucur deras. Pada putaran ketiga tuan rumah mengantarkan para tamu untuk menikmati hidangan di sa’o. Aktivitas tersebut akan terus berulang hingga sore hari yang ditutup dengan ritual melemparkan nasi kepada istri pemilik rumah sebagai bentuk rasa syukur kepada leluhur atas selesainya ka sa’o. Ka sa’o diakhiri dengan kela nio, ritual penutup yang diikuti oleh tuan rumah

dan para tukang yang membantu pembangunan sa’o. Dengan hening dan suasana yang khidmat pemilik rumah memutar kelapa sambil merapal syair adat. Kelapa menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan leluhur untuk meyakinkan apakah semua ritual dalam pembangunan sa’o sudah berjalan sesuai ketentuan. Tahap demi tahap ka sa’o merefleksikan bagaimana masyarakat Ngada begitu menghormati keberadaan leluhur dengan selalu menghadirkannya dalam setiap keputusan-keputusan. Rumah menjadi bagian yang tak terpisahkan dan entitas yang menghubungkan manusia dan leluhurnya. Kelapa sudah diputar, syair sudah dirapalkan, dan pesan sudah dibacakan, maka selesai sudah pelaksanaan ka sa’o. (Bimo Haryo Yudhanto) Keterangan: sa’o: rumah adat ja’i: tarian adat dari Ngada go laba: gong dan gendang sa ngaza: syair adat kela nio: ritual yang diikuti oleh tuan rumah dan para tukang yang membantu pembangunan sa’o. Dilaksanakan setelah pelaksanaan ka sa’o selesai.

Kampung Tololela

foto: Bimo Haryo Yudhanto

foto: Yakoub

(kiri) Upacara penyambutan tamu. (tengah) Barisan rombongan tamu di upacara Ka Sa’o. Para tamu yang hadir membentuk barisan dan menunggu hingga tuan rumah mengijinkan untuk masuk. (kanan) Sa’o di Kampung Tololela, barisan sa’o yang mengelilingi pelataran Kampung Tololela.

foto: Bimo Haryo Yudhanto

foto: Bimo Haryo Yudhanto

Tari Ja’i yang merupakan tarian tradisional masyarakat Ngada di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini merupakan tarian masal yang dilakukan oleh masyarakat di sana sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 47


PENGETAHUAN TRADISIONAL

Jejak Kolonial Pada

Kopi Bajawa

48 INDONESIANA VOL. 10, 2021


foto: Aldi Sanjaya Putra - https://www.shutterstock.com/g/Aldi+Sanjaya+Putra

Kopi dari Bajawa

Beberapa tahun belakangan, konsumsi kopi meningkat dengan signifikan di Tanah Air. Penandanya bukan sekadar gerai kopi yang menyebar di pelbagai tempat hingga di pelosok-pelosok kota saja, namun juga pencarian pada pelbagai jenis kopi di Nusantara. Keuntungan dari negeri kita ini memang keberagamannya. Keberagaman geografis dan juga keberagaman budaya. Dua hal ini menjadi ciri dari kopi-kopi di Indonesia, begitu juga Kopi Bajawa. 2021, VOL. 10 INDONESIANA 49


Mama dari Desa Rakaba sedang memetik biji kopi Bajawa. (atas) Perumahan di Desa Ngada, Bajawa, 1927. (KITLV 11109). (bawah) Desa Bena, Bajawa, Flores, circa 1930. (KITLV 86480).

foto: KITLV 86480

foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Kita tahu, tanaman kopi berkembang

orang-orang Eropa ketika menghirup

secara telaten oleh masyarakat di

sesuai dengan karakter tempat ia

aroma rempah, meski belum pernah

Kabupaten Ngada.

ditanam, karakter geografis dan karakter

datang ke Hindia Belanda pada abad-

budayanya. Pada wilayah tertentu,

abad yang silam.

kopi yang dihasilkan akan bercita rasa

Umur kopi Bajawa, menurut beberapa

Pada sumber-sumber lain, kita mendapatkan informasi bahwa kopi Bajawa menjadi terkenal semenjak film

tertentu yang khas, meski karakternya

sumber, tidak setua usia kolonialisme.

Ada Apa Dengan Cinta 2. Di satu adegan

sama dengan kopi-kopi dari wilayah

Bahkan belum seusia Republik Indonesia.

film itu, Rangga yang baru pulang dari

lain. Tentu saja kekhasan geografis yang

Adalah Matheus John Bey, Bupati

New York menemui perempuan Jakarta

beragam itulah penyebabnya. Di dalam

Kabupaten Ngada periode 1978-1988,

bernama Cinta yang tengah berlibur di

konteks karakter budaya, penamaan

orang paling berjasa di balik kehadiran

Jogja bersama geng SMA-nya. Di satu

pada satu jenis kopi memberikan sugesti

kopi Bajawa jenis arabika yang terkenal

kedai kopi, pasangan cinta monyet

yang berbeda pada konsumennya.

itu. Pada 1977, ia mendatangkan bibit

masa SMA itu menyeruput kopi sambil

Penamaan kopi Bajawa, misalnya,

kopi dari Jawa untuk dibudidayakan

berdiskusi.

membawa ke benak kebudayaan tanah

di Kabupaten Ngada. Kopi itu lantas

Bajawa. Hal ini bahkan terjadi pada

dibudidayakan di dua kecamatan yakni

hadir lantaran inisiatif dari seorang

konsumen yang belum pernah sama

Golewa dan Bajawa, yang ketinggiannya

pamong praja yang barangkali melihat

sekali datang ke tanah Bajawa. Ia merasa

di atas 1.000 mdpl, cocok dengan sifat

potensi di sana, sedangkan faktor yang

mereguk sesuatu dari tanah yang jauh.

arabika. Sejak itu, kopi Bajawa arabika

membuatnya menjadi sangat populer

Barangkali hal ini mirip dengan perasaan

makin meluas dan terus dibudidayakan

didorong oleh kerja kebudayaan, yakni

50 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Kopi Bajawa di Kabupaten Ngada


foto: https://www.shutterstock.com/g/ariningrumss

sebuah film. Tentu saja bukan AADC 2

ingatan orang tentangnya bisa terjaga

semata yang membuat remaja tanggung

dan bahkan dipupuk terus-menerus. Hal yang diungkapkan di atas

kopi Bajawa pada kencan pertamanya.

menunjukkan sebuah fenomena penting

Ada petani di Ngada yang begitu telaten

untuk kita. Pembangunan kebudayaan

mengerjakan kebun kopinya serta ada

mestilah berjalan beriringan dengan

distributor-distributor yang mampu

pembangunan sektor lainnya sehingga

memastikan hasil panen kopi di Bajawa

mampu membawa kemaslahatan

bisa tersaji dalam kemasan yang cantik di

untuk banyak orang. Atau kerja-

gerai-gerai kopi di Jakarta.

kerja kebudayaan mestilah juga jeli

Jika popularitas kopi Bajawa akibat

mengangkat potensi-potensi lain. Dengan

nongol sebentar di film AADC 2 itu tidak

begitu barulah tampak kesejahteraan

diimbangi infrastruktur perdagangan

secara keseluruhan.

kopi Bajawa yang baik, maka sia-sialah semuanya. Ia hanya diingat beberapa hari saja setelah orang menyaksikan film itu dan lantas dilupakan. Beruntunglah bahwa kopi itu sudah tersedia di geraigerai seusai film itu muncul. Sehingga

foto: Vectorgoods studio - https://www.shutterstock.com/g/vectorgoods

di Jakarta Selatan, misalnya, menyeruput

2021, VOL. 10 INDONESIANA 51


oto: Ariningsrumss - https://www.shutterstock.com/g/ariningrumss

Para Mama beristirahat setelah memanen biji kopi Bajawa. Kopi Bajawa, Kopi asal Flores yang sudah mendunia. Desa Bena, Bajawa, Flores

Bicara tentang kopi dan Flores,

pusat produksi kopi, hingga secangkir

saya teringat larik dari seorang

kopi jadi populer dengan nama cup of

penyair, Djoko Saryono, yang kira-

Java atau “secangkir Jawa”.

kira jika diparafrasekan berbunyi

Setali tiga uang dengan sejarah kopi,

demikian, “Ketika kuminum seteguk

ketika kita menambahkan embel-embel

kopi, sesungguhnya aku menghirup

Flores di belakang kopi maka kita pun

jejak kolonialisme”. Tentu saja larik

sesungguhnya berbenturan dengan

dari Djoko Saryono tidak setepat itu.

suatu hal yang sama. Nama Flores

Ketika membuat tulisan ini saya lupa

sendiri bukanlah nama asli. Itu adalah

meletakkan di mana buku kumpulan

nama yang muncul akibat kolonialisme

puisi beliau. Sudah coba saya cari tetapi

pula. Nama asli dari Pulau Flores sendiri

tak bersua jua. Di mesin pencari Google

sebetulnya Nusa Nipa atau Pulau Ular.

pun puisi yang saya maksudkan tidak

Nama Flores berasal dari bahasa Portugis,

saya jumpai. Namun demikian, mengapa

“cabo de flores” yang berarti “Tanjung

larik puisi ini begitu melekat pada saya,

Bunga”. Nama tersebut semula diberikan

tentu saja lantaran kebenaran yang

oleh S.M. Cabot untuk menyebut wilayah

teramat puitis di balik kalimat itu.

timur dari pulau Flores. Akhirnya dipakai

Kita barangkali jarang betul

secara resmi sejak tahun 1636 oleh

membayangkan kolonialisme ketika

Gubernur Jenderal Hindia Belanda

ngopi-ngopi cantik dengan para sahabat.

Hendrik Brouwer.

Tetapi apa yang kita banggakan

Pada nama kopi Flores – Bajawa

dengan kopi Indonesia tersebut adalah

kita sebetulnya secara berlebihan

memang warisan kolonial. Sejarah kopi

menunjukkan warisan kolonialisme.

di Indonesia mencatat bahwa pada tahun 1696 VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mendarat di Jawa. Di dalam bawaan mereka yang begitu banyak, ada pula kopi dari Malabar, India, berjenis arabika. VOC lantas menanamnya di Sumatera, Sulawesi, Bali, Timor, dan pulau-pulau lain di HIndia Belanda. Bahkan, kopi menjadi salah satu komoditas andalan untuk VOC. Ketika itu, tahun 1700-an, penjualan kopi dari Hindia Belanda begitu besarnya dan diekspor hingga ke Belanda serta memonopoli pasar kopi dunia. Pulau Jawa termasuk foto: https://www.shutterstock.com/g/vectorgoods

52 INDONESIANA VOL. 10, 2021


kini menjadi satu komoditas yang

dan nama tempat asal dari kopi yang

mengharumkan nama pulau berbentuk

dirujuk adalah nama yang diberikan oleh

mirip ular itu.

kekuatan kolonial pula. Namun demikian,

Maka, sambil menyeruput kopi

terlepas dari sejarah itu, kemampuan

Bajawa dari Flores, mari kita bertekad

kitalah yang bisa mengembalikan

melestarikan sejarah budaya kita,

warisan kolonial tersebut untuk

melestarikan warisan-warisan yang

kebutuhan dan kepentingan kita sendiri.

ada pada kita. Kita perlu menggali lagi

Dalam kasus kopi Bajawa, sesungguhnya

pemaknaan dan pemanfaatan atasnya

tampak pula upaya untuk keluar dari

di masa kini untuk kesejahteraan dan

jebakan kolonialisme itu. Kopi Bajawa

kehidupan hari ini. (Berto Tukan)

foto: Septian Intizom Armedi - https://www.shutterstock.com/g/intizom

Kopi itu sendiri adalah warisan kolonial

foto: Tony Prince - https://www.shutterstock.com/g/Tony+Prince

2021, VOL. 10 INDONESIANA 53


WA S T RA

Mempertahankan Motif

foto: Dok. Rafli L. Sato

di tengah Pesanan Pasar

54 INDONESIANA VOL. 10, 2021


foto: Dodi Sandradi

Tradisi tenun di Nusa Tenggara Timur khususnya di Flores telah berlangsung turun-temurun. Pengetahuan tentang benang yang dipintal dari kapas lokal; warna yang diproses dari berbagai jenis tanaman seperti mengkudu, bungabunga, daun, akar, dan jenis kayu tertentu; serta berbagai motif tenun, menjelaskan relasinya dengan alam dan kebudayaan setempat. Pada awal tahun 90-an masih kerap ditemukan ibu rumah tangga di kampung yang kedua tangannya menghitam kelam karena memintal benang, mewarnainya dengan bahan-bahan alam, dan menenunnya. Kini jarang terlihat tangantangan yang khas itu karena kemudahan mendapatkan benang berbagai warna di toko. Proses pencelupan dan pewarnaan secara tradisional berkurang drastis atau dapat dikatakan “tidak ada lagi”.

Para penari Caci dalam pertunjukan tariannya memakai tenun songke.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 55


Tarian Rangku Alu yang dimainkan secara berkelompok mengenakan pakaian adat khas Manggarai dan Kain Songke.

Seiring waktu, tenun dikenal secara luas melalui berbagai media promosi. Pemerintah NTT menerapkan kebijakan “wajib mengenakan pakaian kerja kantor dengan motif daerah”, yang otomatis mendongkrak produksi tenun. Tenun tidak lagi dipakai oleh kelas masyarakat tertentu dalam situasi tradisi tertentu, namun telah menjadi konsumsi masyarakat. Berbagai festival tenun di setiap kabupaten di Flores, di tingkat propinsi, nasional, bahkan hingga tingkat internasional, mengangkat pamor tenun songke dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi, kebutuhan pendidikan dan kesehatan, aktivitas sosial budaya, serta gaya hidup modern secara langsung berpengaruh pada motivasi

foto: Dodi Sandradi

Proses menenun dalam waktu lama

untuk menenun sebagai modal ekonomi. aksara lota turunan dari lontarak Bugis

Motif Songke yang Penuh Makna

(tiga sampai enam bulan) karena harus

Makassar. Ada aksara lontarak yang tidak

memintal, mewarnai, dan menentukan

terdapat di Ende, dan sebaliknya ada

motif, telah berubah. Satu lembaran

aksara lota yang tidak terdapat di Bugis-

tenunan kini dapat dihasilkan dalam

Makassar. Lontarak beradaptasi dengan

ujung timur Kabupaten Flores Timur,

waktu dua sampai tiga pekan saja.

sistem bahasa Ende menghasilkan lota.

Sikka, Ende, Nagekeo, Ngada, Manggarai

Komersialisasi sulit dihindari sebagai

Di Manggarai pengaruh Bugis-Makassar

Menelusuri motif tenun di Flores dari

Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat,

cermin dari kebutuhan ekonomi,

melahirkan budaya baru dalam hal

dapat ditemukan serangkaian mutiara

pendidikan, dan kesehatan masyarakat,

pakaian tradisional. Orang Bugis Makasar

yang tak terputuskan. Ada berbagai

serta gaya hidup masyarakat.

menyebutnya songket sedangkan orang

motif yang menggambarkan alam

Bagaimana dedang songke menghadapi

Manggarai menyebutnya songke.

pikiran makrokosmos dan mikrokosmos

tantangan zaman?

Merujuk sejarah, pada tahun 1722 Sultan

tentang sejarah asal usul, religiositas,

Gowa menyerahkan Manggarai kepada

dan falsafah hidup yang diwariskan

aktivitas menenun kain tradisional

Sultan Bima sebagai mas kawin, seperti

leluhur. Misalnya motif ula age di Flores

di Manggarai yang dikerjakan oleh

dikatakan D.N Toda dalam Manggarai

Timur adalah simbol harapan yang lahir

perempuan dewasa atau ibu rumah

Mencari Pencerahan Historiogra i

dari kultur tani-ladang. Motif utan welak

tangga. Songke disebut juga towe

(1999). Orang-orang Bajo, Bugis, dan Bima

sebagai simbol perjuangan perempuan di

atau lipa. Beberapa hasil penelitian

pun melahirkan kesenian baru, termasuk

bagian timur Kabupaten Sikka. Motiff jara

menjelaskan, asal-usul songke erat

tenun tradisional. Dalam

nggaja (untuk perempuan) dan semba

hubungannya dengan ekspansi

perkembangannya peran songke sangat

(selendang lebar khusus untuk laki-laki)

perdagangan Kerajaan Gowa (1613

potensial sebagai sarana pelestarian,

di Ende Lio. Motif ruit (belah ketupat) di

– 1640) sampai ke wilayah Indonesia

apresiasi, pendidikan, dan pelopor bagi

Mbay Nagekeo dan motif jara manu (kuda

Timur dan berpengaruh sampai ke

pertumbuhan ekonomi desa (Regorian,

dan ayam) dari Ngada.

wilayah Ende di Flores bagian tengah dan

dkk dalam Songke dalam Perpektif Sejarah

Tenun Manggarai terkenal dengan

wilayah Manggarai di Flores bagian Barat.

Ekonomi Desa Lenda Kecamatan Cibal Barat

warna dasar hitam dan dihiasi berbagai

Buktinya, di Ende --khususnya di wilayah

Kabupaten Manggarai 2005 – 2017, 2017)

motif dengan variasi warna yang indah,

Dedang songke dimengerti sebagai

pesisir selatan dan pulau Ende-- terdapat

56 INDONESIANA VOL. 10, 2021

mengesankan, dan mesti dilestarikan


serta dijaga eksistensinya. Kajian tentang tenun oleh Patrisius Batarius, dkk yang dituangkan dalam makalah Par Approach to Edge Detection for Manggarai Flores (2012) menggarisbawahi hal itu, bahwa motif tenun yang diwariskan generasi sebelumnya perlu dipertahankan agar tidak menggeser nilai signifikansi budaya dan karakter yang ada di songke. Pandangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak semua penenun dapat mempertahankan motif lokal yang tergambar dalam towe songke yang berasal dari pegunungan di daerah Manggarai. Beberapa motif songke yakni wela kawu (bunga kapuk) bermakna keterkaitan antara manusia dengan alam sekitarnya. Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda segala sesuatu ada akhirnya. Motif ntala (bintang) berkaitan dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak atau doa agar mencapai cita-cita tinggi sampai ke bintang. Adapun motif wela runu (bunga runu) melambangkan orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan hidup di tengah-tengah kefanaan ini (sumber: angelina-febunmer.blogspot.co.id, diakses 16 Maret 2021). Markus Makur dalam laman travel. kompas.com juga menulis mengenai motif songke dengan teknik sulam di Manggarai Timur. Beberapa di antaranya adalah jok melambangkan rumah gendang atau rumah adat orang Manggarai Timur, wela runus bunga berukuran kecil, dan wela kaweng bunga berukuran lebih besar yang tumbuh di

Motif kain songke yang digunakan penari Caci mempunyai makna tersendiri. foto: Dodi Sandradi

2021, VOL. 10 INDONESIANA 57


foto: Susy Ivvaty

Steven, pedagang kain di pasar di Sumba Barat Daya NTT ini menjual kain tenun dan songket dari berbagai daerah di NTT, termasuk dari Flores.

foto: Syefri Luwis

Keindahan dalam motif Songke.

Manggarai Timur. Motif mata manuk

Sungguh motif-motif yang penuh

berbentuk ruit melambangkan mata

simbol dan makna. Akan tetapi, demi

Komersialisasi memang sulit dihindari

Tuhan, titian melambangkan jembatan,

memenuhi pasar tenun, perajin mencari

dalam era global ketika komoditi beriring-

sui atau garis pembatas melambangkan

jalan pendek yang mudah yaitu dengan

jalan dengan perubahan gaya hidup serta

kehidupan masyarakat Manggarai Timur

membeli “benang toko”, “pewarna

pemenuhan kebutuhan hidup. Karenanya,

yang dibatasi oleh aturan adat istiadat.

toko”, serta motif “pesanan” dari

komersialisasi dapat dipandang

Natas atau punca selalu berada di tengah-

sejumlah agen penjualan tenun, sesuai

sebagai tantangan sekaligus peluang

tengah bagian depan sarung songke

dengan selera pasar. Motif ditentukan

pemberdayaan motif tenun. Tentu potensi

jok lambaleda, melambangkan natas

pasar sementara pemahaman para

ini memberi ruang bagi songke (dan tenun

(halaman kampung) yang selalu berada di

penenun tentang motif berubah dari

tradisional lain di Flores serta NTT) untuk

tengah kampung dan berfungsi sebagai

waktu ke waktu. Situasi itu menjadikan

berkembang dan memenuhi kompetisi

tempat bermain anak-anak.

kualitas tenun menurun. Hal itu

lokal, nasional, serta global.

58 INDONESIANA VOL. 10, 2021

terjadi di hampir semua daerah di NTT.


Hal yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya jadi diri lokal atau meleburnya jati diri lokal ke jagat global yang cenderung mengabaikan identitas. Menghentikan komersialisasi songke adalah mustahil di tengah kebutuhan pasar yang terus berkembang. Namun, penting untuk memberi batas bagi originalitas tradisi demi menjaga identitas dan pewarisan tradisi. Satu di antaranya adalah dengan mempertahankan motif-motif khusus sebagai ciri budaya tenun tradisional. Songke Manggarai yang unik itu yang sakral bagi pemiliknya. Sama halnya dengan

dan

Ende,

dan

di Ngada, diperlukan modal yang cukup untuk mempertahankan identitas. Motif-motif tenun tradisional adalah modal budaya yang mesti dikuasai. Ia tumbuh dari pilar-pilar kebudayaan seperti hubungan dengan diri sendiri, sesama, lingkungan alam, leluhur, dan Yang Mahatinggi. (Maria Matildis Banda, Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNUD foto: Syefri Luwis

Denpasar Bali)

foto: Syefri Luwis

foto: Syefri Luwis

foto: Syefri Luwis

Beberapa jenis motif Songke.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 59


m a nus kri p

Asmarandana

“Kangsa Adu-adu”

foto: Dandung Adityo

60 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Masyarakat Jawa mewarisi banyak peninggalan kebudayaan masa lampau, yakni bangunan berupa bekas kerajaan dan tempat-tempat ibadah, kesenian berupa seni tari, serta teater tradisional, dan kesusastraan berupa naskah tulis klasik atau sering disebut manuskrip. Sebagian manuskrip Jawa itu tersimpan di skriptorium. Jika diteliti menurut proses lahirnya, manuskrip tersebut merupakan sastra Jawa dari masa Jawa Baru, yaitu keraton Kasunanan Surakarta, pura Mangkunegaran Surakarta, keraton Kasultanan Yogyakarta, dan Pura Pakualaman Yogyakarta. Satu dari empat skriptorium yang saya sorot adalah skriptorium Pura Mangkunegaran Surakarta.

B

erdirinya Mangkunegaran bersamaan dengan perpindahan keraton Kartasura ke Surakarta. Sejak itu, Mangkunegaran bersama-sama dengan keraton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Pakualaman Yogyakarta, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kerajaan Jawa. Dinamika sosial politik Mangkunegaran, tentu saja ikut mempengaruhi dinamika sejarah Jawa. Pura Mangkunegaran mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Mangkunegara IV. Kejayaan itu diraih berkat kebijakan-kebijakan dan terobosan-terobosan yang diambil Raja Mangkunegara IV dalam berbagai bidang. Kebijakan dan terobosan itu berhasil meningkatkan kesejahteraan pura Mangkunegaran karena dilakukan di bidang penting seperti; tata pemerintahan, pertanian, perkebunan, ekonomi, kesenian, dan kesusastraan. Dalam bidang sastra, Mangkunegara IV terkenal dengan karya-karya yang memuat ajaran atau pendidikan. Paling tidak, terdapat 35 judul yang dapat diidentifikasi sebagai karya Mangkunegara IV termasuk cerita karangan sendiri yang masih bersumber dari Mahabarata atau Ramayana. Dalam

bidang pewayangan, raja ingin memberi ajaran kepada rakyatnya sebagai bahan refleksi dari tata kehidupan masyarakat Jawa. Terobosan lain adalah naskah cerita wayang yang ditulis oleh sang raja menggunakan bentuk puisi atau macapat karena cerita wayang ditulis dalam katakata arkais, apalagi jika dirangkai dalam sebuah kisah yang panjang. Ini menjadi tradisi baru kesusastraan Jawa; dalam berbentuk puisi, menggunakan bahasa Jawa baru dan terikat dengan unsurunsur persajakan atau metrum. Sebuah wacana yang ditawarkan pengarang agar karya sastra tersebut mudah diingat, dihafal, dan dipahami.

Satu naskah yang dibahas dalam wacana itu adalah naskah Kangsa AduAdu. Naskah setebal 192 halaman folio tersebut terdiri dua lakon wayang yang dirinci dalam pupuh atau bab. Pupuh pertama sampai pupuh kedua sebagai pengantar cerita, pupuh 3 sampai dengan pupuh 27, bait 12 berisi lakon Kangsa AduAdu, sedangkan pupuh 28 sampai dengan pupuh 49 berisi lakon Wirathaparwa. Masyarakat Jawa sangat akrab dengan têmbang macapat dalam kehidupan sehariharinya. Pada dasarnya têmbang macapat adalah puisi yang terikat pada pola persajakan dan mengandung unsur titi laras (nada), baik pola persajakan maupun pola titi laras tergantung pada jenis pola persajakan yang digunakan. Dengan demikian, jenis pola persajakan sangat menentukan guru gatra (jumlah baris pada setiap bait), guru wilangan (jumlah suku kata setiap baris), dan guru lagu (jatuhnya bunyi vokal pada akhir baris). Tembang macapat pada umumnya dinyatakan dalam bentuk bahasa yang indah, agar dapat menimbulkan kenikmatan bagi yang mendengarkan

Naskah Kangsa Adu-adu Pura Mangkunegaran pakem Ringgit halaman 23

foto: Dandung Adityo

Naskah Kangsa Adu-adu Radya Pustaka.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 61


foto: Dandung Adityo

lagunya dan si pembaca syair-syairnya. Imam Sutardjo, seorang ahli têmbang macapat, mencatat bahwa masyarakat Jawa mengenal 11 jenis tembang, yaitu; Dhandhanggula, Sinom, Kinanthi, Mijil, Pangkur, Durma, Asmaradana, Maskumambang, Megatruh, Pocung, dan Gambuh. Tembang macapat yang memiliki macam-macam nama itu adalah pertanda bahwa penggunaan pupuh tembang tidak boleh sekehendak hati, melainkan harus disesuaikan dengan sifat/watak tembang tersebut. Masing-masing tembang juga memiliki karakter tersendiri, satu tembang memiliki karakter ceria, biasanya menggambarkan sesuatu yang berhubungan dengan nuansa tembang. Macapat: Gambaran Watak Teks Metrum Asmaradana adalah metrum yang dominan muncul di dalam teks. Secara umum metrum ini

62 INDONESIANA VOL. 10, 2021

selalu digambarkan dengan nuansa keprihatinan, kesedihan, nelangsa, kebahagiaan, kebijaksanaan, dan kasmaran; baik kepada diri sendiri, lingkungan, keluarga, lawan jenis, dan ilmu yang dimiliki. Sinom menggambarkan nuansa yang dipenuhi dengan sifat menggebu-gebu, antusias kepada hal-hal yang baru yang akan terjadi, kecekatan, kelincahan gerak, dan mengutamakan keadaan “aji mumpung”. Karena yang diceritakan adalah para pemuda, maka metrum cenderung dinamis seperti pemuda menyerap apa pun ilmu yang didapati supaya bisa digunakan dengan sebaik mungkin dalam menghadapi perjalanan hidup. Pangkur menggambarkan nuansa yang memuncak. Jika marah, maka kemarahannya memuncak seperti puncak kemarahan Pamadi atas raksaksa Gending Curing, juga kemarahan Wasi Birawa, Kakrasana, dan Narayana pada Suratimantra. Jika cinta,

Naskah Kangsa Adu-adu Pura Mangkunegaran Pakem Ringgit, halaman 24. Naskah Kangsa Adu-adu Pura Mangkunegaran Pakem Ringgit, halaman 25.


Mandura. Selain itu juga menggambarkan nuansa pengajaran yang diceritakan pada saat Begawan Padmanaba memberikan semua ilmunya kepada Narayana. Metrum Dhandhanggula yang berwatak luwes sesuai dengan penggambaran cerita apa pun, di dalam teks diceritakan peristiwa yang senang dan sedih, keduanya dituliskan dalam satu pupuh sekaligus. Metrum Gambuh menggambarkan nuansa yang akrab, yaitu dalam peristiwa Arya Prabu Ugrasena meminta bantuan jago yang sakti ke negeri Ngastina yang dipimpin oleh Raja Drestarata masih memiliki ikatan keluarga dengan Raja Basudewa, dan juga pada peristiwa Arya Prabu Rukmaka yang meminta bantuan kepada Brahmana Hom dan mengajukan muridnya bernama Wasi Birawa, dan ternyata juga masih ada ikatan keluarga dengan Raja Basudewa. Metrum Kinanthi menggambarkan nuansa asih, bahagia karena dapat bertemu dengan keluarga yang terpisah, karena Kinanthi berasal dari kata kanthi yang berarti ‘bergandengan’ atau ‘bersama’. Selain memiliki watak, tembang

macapat juga memiliki bermakna filosofis yaitu gambaran daur hidup manusia. Manusia hidup dari lahir hingga meninggal tidak lepas dari adanya proses daur hidup, yaitu metu atau ‘lahir’, manten atau ‘menikah’, dan mati. Gambaran daur hidup manusia tersebut yang direpresentasikan secara filosofis melalui tembang macapat adalah: Mijil (kelahiran); Sinom dan Durma (masa muda). Setelah itu, masuk Asmaradana (kasmaran atau jatuh cinta); Kinanthi (bergandengan, berkeluarga, masa perkawinan); Dhandhanggula (mulai merasakan tua, mengatur dan menyelaraskan kehidupan, dan bijaksana); Gambuh (usia matang, dapat ‘jumbuh’ sesuai kebutuhan lahir dan batin, masyarakat dan Tuhan; Pangkur (masa lanjut usia atau uzur, mengesampingkan duniawi, mengekang hawa nafsu negatif; dan Pocung (dipocong atau mati, meninggal dan hubungan dengan dunia terputus. Begitulah gambaran metrum-metrum macapat dalam naskah Kangsa Adu-adu. (Dandung Adityo, alumnus Filologi UI)

foto: Dandung Adityo

maka rasa cinta juga memuncak seperti saat Pamadi merasakan getaran asmara pada pandangan pertama saat berjumpa Wara Sumbadra. Metrum Pocung digunakan untuk memunculkan nuansa santai, jenaka, dan cenderung menghindari ketegangan agar jalannya cerita tidak selalu serius, wataknya yang kendur mampu menawar nuansa yang kaku. Metrum Durma mengisyaratkan suasana yang menggambarkan nuansa menggurui, seperti penyampaian perintah; yang terjadi pada saat peristiwa Kakek Abyasa memerintahkan Pamadi untuk menolong Nyai Sagopi yang sedang mengalami kesulitan karena dikejar-kejar oleh prajurit raksasa. Metrum Mijil menggambarkan nuansa peristiwa yang juga berisi nasihat, himbauan namun himbauan yang licik. Hal tersebut terceritakan pada saat Suratimantra memberitahukan siasatnya kepada Kangsa untuk melenyapkan tiga putra Mandura, yaitu Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng. Jika rencana itu dilaksanakan maka akan dengan mudah Kangsa akan mewarisi tahta kerajaan

2021, VOL. 10 INDONESIANA 63


KULI NER

Destinasi Panorama dan Rasa

Gorontalo 64 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Benteng Otanaha Gorontalo yang dipergunakan Kerajaan Gorontalo untuk melawan Portugis – Gorontalo.

foto: Ricki Prz- https://www.shutterstock.com/g/RickiPrz

Provinsi Gorontalo di bagian utara Pulau Sulawesi, terletak di kawasan Wallacea, zona transisi antara Kawasan Timur dan Australia. Dengan demikian, kawasan tersebut memiliki keanekaragaman hayati serta spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain. Tempat ini adalah nirwana yang relatif belum tersentuh, dengan kehidupan laut yang elok, danau, sungai, pemandangan yang indah, benteng serta sejarah yang menarik. Pelancong menyadari bahwa kota ini berpotensi menjadi tujuan utama pecinta makanan yang ingin bepergian jauh ke suatu tempat untuk menikmati makanan dan minuman yang ditawarkan.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 65


foto: Affandi Rahman Halim - https://www.shutterstock.com/g/affandirh

Proses pemanggangan Ilabulo Gorontalo. Pemandangan ikan hiu menambah keindahan laut di gorontalo.

K

ota Gorontalo dapat ditempuh dalam tiga jam penerbangan dari Jakarta, melalui transit di Makassar. Teluk Tomini yang tidak jauh dari kota mempunyai situs menyelam kelas dunia. Sejumlah pulau kecil yang tersebar di sekitar perairan laut Gorontalo memiliki terumbu karang dan spesies laut yang melimpah, sehingga merupakan sumber makanan laut yang sangat beragam. Mereka yang dibesarkan di sana dapat membedakan antara ikan segar dan ikan yang mulai kurang baik dari tampilan ikan dan rasanya. Ikan segar selalu terasa sangat enak meski dimasak tanpa bumbu yang berlebihan. Bilenthango adalah ikan belah yang di atasnya penuh bumbu-bumbu, khususnya cabai, bawang, dan tomat. Biasanya ikan digoreng dengan sedikit minyak di atas lapisan daun pisang. Untuk menjaga ikan tetap utuh, sisiknya tidak dibersihkan sepenuhnya dan ikan hanya digoreng di satu sisi tanpa dibalik, dengan percikan minyak panas untuk mematangkan bumbu di atas ikan. Arifasno Napu, pakar gizi yang melakukan penelitian doktoralnya tentang makanan tradisional Gorontalo, mengidentifikasi setidaknya 15 jenis makanan pokok; selain nasi, ada juga sagu, jagung, dan singkong. Secara tradisional ada 10 masakan sayur dengan bahan lokal atau berbahan dasar nabati yang umum di Indonesia yaitu terong, kangkung, dan pakis. Ada juga 15 lauk dengan bahan baku yang berasal dari danau dan laut, termasuk ikan air tawar dan hidangan laut. Salah satu hidangan yang paling kaya dengan bumbu dan rempah adalah Tabu Moitomo. Ini adalah sup hitam berbahan daging sapi, ayam, atau sayur-mayur

66 INDONESIANA VOL. 10, 2021

yang kaya dengan lebih dari 30 ramuan tradisional, termasuk bumbu-bumbu dan rempah-rempah. Masakan ini biasa disajikan dalam acara pernikahan, kumpul keluarga, dan acara khusus lainnya. Warna kehitaman pada kuahnya berasal dari kelapa yang disangrai, tidak sampai gosong dan kemudian ditumbuk. Di antara bahan-bahan untuk Tabu Moitomo termasuk bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, ketumbar, jintan, kunyit, lengkuas, jahe, asam, daun kemangi, daun jeruk, daun pandan, dan daun bawang. Mempersiapkan Tabu Moitomo, merupakan waktu kebersamaan yang nyaman karena butuh waktu lama dan banyak orang untuk mengulek bumbu dan rempah serta menunggu daging empuk. Tidak ada yang tahu mengapa Gorontalo memiliki hidangan berbumbu pamungkas ini yang memperlihatkan percampuran pengaruh citarasa Arab, Bugis, dan Ternate. Menurut literatur, di antara alasan orang Gorontalo menggunakan rempah-rempah dalam makanan mereka adalah untuk rasa, aroma, tekstur, pewarna, pengawet, nutrisi, penambah kekebalan tubuh, obat-obatan, zat pelangsing dan afrodisiak. Semangkuk Tabu Moitomo Gorontalo dapat memberikan suasana, aroma, dan jejak kekayaan rempahrempah Nusantara. Sebagian besar makanan tradisional Gorontalo berbahan dasar kelapa, baik yang dimasak dengan kelapa parut segar, santan, atau minyak kelapa buatan sendiri, yang disebut yinulo. Kelapa digunakan untuk bumbu, pada makanan pembuka, makanan ringan, hidangan utama, makanan penutup dan

juga minuman. Untuk membuat 700 ml yinulo, santan diperas dari 10 butir kelapa. Kemudian direbus sekitar tiga jam dan diaduk terus, sehingga memberikan rasa dan aroma yang berbeda dan sangat gurih. Minyak kelapa buatan sendiri selalu dicari untuk sambal, hidangan tumis dan gorengan. Kelapa parut dihasilkan dengan menggunakan alat tradisional yang disebut dudangata. Seorang pemarut duduk pada semacam bangku yang di depannya (terhubung ke bangku) ada parutan kelapa tajam dengan logam yang digunakan untuk mengikis daging dari batok kelapa. Kelapa yang diparut dengan dudangata memiliki tekstur yang berbeda dibandingkan dengan yang menggunakan alat modern. Ada pepatah di Gorontalo: hiyambola dudangata debo mohangato, yang berarti “bahkan parutan kelapa pun meminta imbalan,” karena sering ada kelapa parut yang tertinggal di dudangata. Ini merupakan analogi, dudangata pun korupsi, apalagi manusia. Hidangan Gorontalo berbahan kelapa parut yang paling masyhur adalah binthe biluhuta, sup jagung tradisional, dan makanan yang disukai banyak orang di daerah tersebut. Binthe biluhuta adalah hidangan yang sehat, segar, dan serbaguna yang bahan-bahan lokalnya dapat disesuaikan menurut selera masing-masing. Koki William Wongso selalu menyajikan binthe biluhuta dalam jamuan kenegaraan di dalam dan di luar negeri dengan tampilan menawan, dan selalu disambut dengan antusias oleh yang menyantapnya. Bahan utama binthe biluhuta meliputi pipilan jagung, kelapa parut, cabai merah,


foto: beginer subhan - https://www.shutterstock.com/g/beginer+subhan

bawang merah, daun kemangi, daun bawang, garam, air jeruk nipis, dan sedikit ikan tongkol, atau udang kecil. Makanan ini juga dapat dibuat vegetarian. Dengan melihat kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan serat, jelas bahwa biluhuta binthe itu menyegarkan, meningkatkan daya tahan tubuh, dan baik untuk pencernaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah menetapkan binthe biluhuta sebagai warisan budaya tak benda. Makanan Gorontalo lainnya yang diakui sebagai warisan budaya tak benda, adalah ilabulo (makanan dari sagu, seperti pepes, dengan jeroan ayam), tiliaya (makanan berbahan dasar santan dan gula aren). Menurut Arifasno Napu, ada 35 jenis jajanan Gorontalo yang secara tradisional tidak terbuat dari tepung terigu melainkan jagung, singkong, ubi, pisang, dan tepung beras. Umumnya menggunakan gula aren yang disebut pahangga sebagai pemanis utamanya. Penggunaan pahangga dalam jajanan tradisional Gorontalo sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu ketika

gula rafinasi tidak dikenal dan tidak memengaruhi kebiasaan makan manusia. Dalam membuat pahangga, konsentrat nira aren dituang ke batok kelapa yang dibelah dua dan dibiarkan mengeras menjadi gumpalan gula aren. Perajin kemudian menumpuk dua bongkahan gula aren padat dan membungkusnya dengan daun woka kering. Dibutuhkan keterampilan untuk membungkus pahangga yang pada tahap akhirnya berbentuk seperti wajik. Bentuk pahangga selalu hadir dalam ragam hias dan dekorasi pada ritual kehidupan siklus kehidupan manusia seperti di kelahiran, sunatan, maupun pernikahan. Hidup di wilayah pertanian dengan sumber daya laut yang melimpah, sangat jarang ada keluarga yang kelaparan di Gorontalo, meski hanya memiliki pendapatan yang minim. Makanan yang dijual di rumah makan kebanyakan adalah makanan lokal. Namun karena kini banyak ditemukan waralaba rumah makan di Gorontalo, ini telah merubah peran makanan lokal sehingga mulai ada anak muda kurang

familiar dengan makanan dan jajanan lokal. Rumah-rumah penduduk setempat masih menjadi tempat terbaik untuk menemukan makanan Gorontalo otentik yang lezat. Mengundang tamu ke rumah dengan meja makan penuh masakan Gorontalo yang lezat dianggap sebagai cara untuk menghormati kerabat dan handai tolan. Di berbagai negara, biasanya tuan rumah menawarkan secangkir kopi, itu pertanda tamu diundang untuk tinggal lebih lama. Tetapi di Gorontalo ada ungkapan: Mamotowuli ju, wanu woluo huduhudu mai kopi lo polondulo. Artinya: “Saya akan pergi saat kopi sudah disajikan.” Kopi lo Polondulo adalah kopi yang ditawarkan dengan pesan halus bahwa kunjungan atau acara akan segera berakhir. Jadi, ketika bepergian ke Gorontalo dan diundang menikmati makanan di rumah penduduk setempat, ingatlah bahwa ketika mereka menyajikan kopi, itu adalah waktunya untuk segera pulang. (Amanda Katili, Ketua Omar Niode Foundation)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 67


foto: Fathul Muin

Seni P ert unjuka n

68 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Tari Kipas Pakarena merupakan salah satu kesenian tradisional dari Sulawesi Selatan yang sangat populer.

foto: Fathul Muin

Tari kipas pakarena mencerminkan sifat teduh, hening, dan kontemplatif.

Tari Pakarena itu unik bukan hanya karena khusus ditarikan perempuan, akan tetapi juga karena ada perbedaan antara ritme gerak tari yang lambat dengan tempo musik pengiring yang cepat. Tari yang anggun itu mengalir secara halus bagai alunan ombak yang tenang. Gerak kaki pun hanya berupa geseran kecil di balik sarung penari. Pun, mata senantiasa merunduk ke bawah menatap kaki sang penari.

D

ua penggendang, bersama peniup suling/puik puik dan beberapa pemusik lain, memukul gendang bertalu-talu. Iramanya bergerak ritmis dan dinamis. Mengiringi sang penari yang bergerak pelan dan halus. Pakarena itu adalah sebuah tarian yang Ibarat wanita, halus tetapi tegar meski digempur badai kehidupan. Persenyawaan yang tidak sinkron dan tidak sinkretis namun tetap menghasilkan perpaduan harmonis yang memukau dan menyentuh sanubari siapapun yang

melihatnya. Sebuah daya kreativitas tari yang tidak sebagaimana biasanya, yang menuntun siapapun menuju alam kontemplasi pada kedalaman makna dan nilai tradisi ini. Tari pakarena adalah tari tradisional dari Sulawesi Selatan yang merupakan ikon budaya Bugis-Makassar, dua kelompok etnik yang sesungguhnya memiliki varian budaya sendiri-sendiri meskipun banyak persamaannya. Tari ini berkembang di lingkungan istana raja-raja Bugis maupun Makassar.

Awalnya, Tari ini bersifat sakral. Tari ritual ini diyakini diturunkan langsung oleh dewa-dewa untuk mengajari manusia agar bersikap benar. Epos Sureq’ Galigo, sastra lisan yang tersohor itu, mengisahkannya dan mengisahkan asal-usul etnis di wilayah ini. Dalam Sureq’ Galigo dikisahkan para bissu melakukan ritual kontak dengan dewa-dewa melalui tari dan mantra. Pada masa kerajaan Gowa (peradaban Islam) ritual animistik diubah menjadi upacara profan hiburan istana dan ikon keagungan kerajaan. Ibunda Sultan Hasanuddin, I Li’Motakontu, memperhalus tari Pakarena agar dapat digunakan untuk berbagai kepentingan istana kerajaan Gowa. Peradaban Islam membawa perkembangan yang baru bisa mengadopsi elemen budaya masa lalu ataupun yang terhapus seperti pada masa

2021, VOL. 10 INDONESIANA 69


pemberontakan separatis Kahar Muzakar 1950an, setelah Kemerdekaan Indonesia. Dalam suasana politik yang mencekam, preservasi kesenian tradisional bisa terlaksana melalui para maestro tradisional , antara lain Anrong Guru Coppong Daeng Rannu (Gowa) dan Daeng Manda (Sidenreng). Lebih lanjut, dalam pembangunan kebudayaan nasional, berbagai proses revitalisasi terstruktur dilaksanakan tari ini dilaksanakan oleh Institut Kesenian Sulawesi Selatan yang didirikan 1962 oleh tiga perempuan, Andi Siti Nurhani Sapada, Munasiah Najamuddin, dan Ida Joesoef Madjid. Andi Siti Nurhani yang lebih senior dari dua yang lain, sebelum berdirinya Institut Kesenian Sulawesi Selatan, telah mengadakan berbagai penelitian menggali tari Pakarena sejak awal 1950 an. Menurut catatan Nurhani Sapada (Nuansa Pelangi, 1997) tari Pakarena mulai diperkenalkan kepada publik pada tahun 1951-1952 oleh organisasi Seni Budaya Mangkasara di bawah pimpinan Fachrudin Daeng Romo dan Mappaselang Daeng Magan dengan menampilkan Anrong Pakarena bernama Parancing dari daerah Polombangkeng. Setelah itu, tari Pakarena mulai dikembangkan, direvitalisasi, dan

direkonstruksi untuk kepentingan sosialisasi kepada masyarakat di luar istana Gowa. Pakarena Terutama dikembangkan melalui jalur pendidikan formal ke dalam kurikulum SD-SMPSMA di Sulsel. Inilah yang membuat perkembangan tari tradisional daerah ini sejalan dengan relasi budaya di daerah lain, seperti di Sulawesi Tenggara. Tari ini mendapat pengakuan tingkat nasional, ketika diundang untuk memeriahkan perayaan 17 Agustusan di Istana Negara (1952), kemudian diikuti dengan penyertaannya dalam berbagai misi kebudayaan ke luar negeri. Generasi berikutnya, Wiwiek Sipala, lahir di Raha Muna-Sulawesi Tenggara, alumni Institut Kesenian Jakarta, menciptakan berbagai kreasi tari tradisional Sulawesi Selatan sejak 1978 sampai kini, untuk dikembangkan dalam menjunjung budaya tradisi Sulawesi Selatan selanjutnya. Selanjutnya, muncul berbagai macam tari Pakarena di daerah lainya dari Sulawesi Selatan. Peneliti dan koreografer Halilintar Lathief dalam Kumpulan Sinopsis Warisan Tari Tradisional Daerah Sulawesi Selatan (1994) mencatat bahwa terdapat dua puluh dua tari Pakarena yang tersebar di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.

Salah satu yang terpenting adalah Pakarena Gantarang dari Selayar. Tari ini untuk digali dari sejarah bahwa tari ini untuk pertama kalinya ditarikan oleh para perempuan pada abad 18 pada penobatan Pangali Patta Raja sebagai raja dari Gantarang Lalang Bata pulau Selayar. Tari ini memiliki latar belakang yang sama yaitu kepercayaan bahwa para dewa yang turun ke bumi untuk memberi bimbingan kepada manusia. Hanya saja, musik pengiring tari ini sedikit berbeda, ditambah Gong dan Kannong. Selanjutnya, digali pula Pakarena Ballabulo, juga dari Selayar, Pakarena Bulutana dari Gowa, Pakarena Olie dari Jeneponto, dan sebagainya. Institut Kesenian Sulawesi Selatan menciptakan dan mengembangkan berbagai varian tari tradisional seperti tari Bosara, Padendang, Paduppa, Pattennung, dll. Sedangkan Wiwiek Sipala, antara lain, telah meneliti eksistensi tari Pakarena di beberapa daerah pesisir, pegunungan dan kepulauan Sulsel. Sipala berguru pada Anrongguru Coppong, Munasiah Najamuddin, Daeng Manda, Daeng Mille, Daeng Serang, dan Sirajuddin Bantang. Kemudian Ia menciptakan Akkarena (2010), Pakarena Simombala (2000) dan Pakarena Se’reang Bori (2012) dan berbagai kreasi baru tari tradisional dan kontemporer lainnya.

Tarian ini menceritakan hubungan antara manusia dengan penciptanya sesuai dengan ritme kehidupan. Baju bodo merupakan pakaian khas masyarakat Bugis yang dikenakan oleh penari.

foto: Fathul Muin

70 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Selanjutnya, Nurlina Sharir dosen Universitas Negeri Makassar juga meneliti Pakarena Sere Jaga Nigandang dalam proses studi pascasarjana, merekonstruksi hasil penelitiannya dengan maestro Daeng Manda, tahun 2014. Kata Sere dilekatkan pada pakarena karena ada makna aktivitas ritual di dalamnya. Kata ini digunakan untuk menamakan tari tradisional Makassar yang memiliki makna ritual. Sejalan dengan perkembangan waktu, ketika istana raja-raja menggunakan tarian sebagai hiburan maka disebut saja sebagai tari Pakarena. Kata ‘Pa’ berarti pelaku, dan kata ‘karena’ berarti bermain, kemudian disatukan menjadi pakarena berarti penari dan sekaligus dinisbatkan sebagai nama tarian ini. Perhatian besar terhadap kesenian Sulawesi Selatan berkembang, terutama pada Sureq’ Galigo dengan Bissu dan tari Pakarena ketika di akhir 1990an Rhoda Grauer, producer TV tari dunia kenamaan dari Amerika Serikat, melakukan penelitian untuk pembuatan sebuah film tentang Bissu. Ia, kemudian, bersama Restu Imansari Kusumaningrum, penari dan pendiri Yayasan Purnati di Bali, mendekati Robert Wilson, sutradara selebriti dari Amerika Serikat (2000), untuk menggarap sebuah mega proyek seni pertunjukan dunia dengan topik I La Galigo. I La Galigo, yang di dalamnya memuat tari pakarena, pentas keliling dunia dan banyak mendapat pujian maupun kritik, antara lain dari Margaret Hamilton, spesialis postdramatic theatre dari University Wollongong–Australia (performance Review I La Galigo di Melbourne Festival 2006,. Robert Wilson sebagai sutradara dibantu dramaturg Rhoda Grauer, pemusik Rahayu Supanggah, komposer Indonesia asal Solo, didukung 50 seniman Indonesia, baik dari Sulsel sendiri maupun daerah lain, dan sejumlah spesialis tata pentas skenografi dari Barat. Perjalanan panjang I La Galigo tersebut dinilai berhasil karena didukung oleh tokoh seniman Sulsel terutama penari dan koreografer tari pakarena, seperti; Andi Ummu Tunru, Arongguru Pakarena Coppong Daeng Rannu, Bissu Puang Matoa Saidi, penari tradisi Mak Cida, revitalisator Munasiah Najamuddin, dengan beberapa perubahan seniman pendukung melalui regenerasi seperlunya dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun usianya. (Julianti Parani Ph.D, koreografer-penari, peneliti- penulis, dosen senior IKJ)

foto: Fathul Muin

2021, VOL. 10 INDONESIANA 71


Setelah 46 Tahun:

F I LM

72 INDONESIANA VOL. 10, 2021


P

ersoalan kritik film sejak puluhan tahun lalu seolah tak beranjak dari tempatnya, berputar di situsitu saja, yaitu mempersoalkan urusan kualitas dan bobot kritik yang rendah. Pada tahun 1975, Salim Said, kritikus film Indonesia yang tersohor pada zamannya, dalam esainya Film Indonesia dan Kritik (dibukukan dalam kumpulan esai Pantulan Layar Putih), mempermasalahkan kritik film dan hubungannya dengan kualitas film Indonesia. Said mengatakan bahwa mutu kritik film saat itu rendah, disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor terbesar adalah mutu film Indonesia sendiri yang kualitasnya mengkhawatirkan. Maju mundurnya kritik tergantung sepenuhnya pada maju mundurnya sang obyek (Said, 1975). Menurutnya, film Indonesia layaknya barang dagangan semata, tanpa menaruh perhatian pada kedalaman makna.

Kini, 46 tahun setelah tulisan itu, ternyata mutu kritik film masih saja menjadi persoalan, padahal objek (film) yang bisa dikritik mutunya sudah lebih baik. Meski, tetap saja masih banyak film yang diperlakukan hanya sebagai barang dagangan semata dan meminggirkan aspek kedalaman makna. Film-film jenis “dagangan” ini tetap menguasai bioskop-bioskop di negeri ini. Tetapi film-film dengan mutu baik dan memiliki kedalaman makna juga tumbuh dan berkembang, berdampingan dengan jenis-jenis film “dagangan” itu. Beberapa tahun belakangan ini, katakanlah 15 tahun terakhir, film Indonesia hampir tak pernah absen di kancah festival film internasional, sebut saja The Photograph karya Nan T. Achnas, Atambua 39º karya Riri Riza, Post Cards From The Zoo karya Edwin, Marlina Pembunuh Dalam Empat Babak karya

Mouly Surya, 27 steps of May karya Ravi Bharwani dan Rayya Makarim, Kucumbu Tubuh Indahku karya Garin Nugroho, The Science of Fictions karya Yosep Anggi Noen, dan puluhan film lainnya. Jika kembali kepada pernyataan Said dalam esainya itu, apakah kita masih bisa menganggap bahwa objek (film) yang menjadi satu faktor kritik film, tak berkembang? Kini objek (film) yang dikritik sudah tersedia, lalu apa penyebab kritik film tak juga berkembang dan melahirkan mutu yang baik? Saya kira satu dari sekian banyak penyebab adalah penulis kritik film yang kini terjebak ke dalam pemahaman mengenai definisi kritik film. Mereka menganggap bahwa kritik film adalah mencerca dan mencari-cari kelemahan dari suatu film tanpa argumentasi yang kuat. Cercaan berdasarkan selera suka dan tidak suka. Mereka terjebak pada kata kritik dalam kritik film.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 73


Sumber gambar: Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru

Sumber gambar: Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru

Kata kritik seharusnya dilihat secara diakronis. Kata kritik berasal dari bahasa Yunani, kritikos yang berarti mampu membuat penilaian, lalu diserap ke bahasa Inggris criticism, yang dalam Oxford Dictionary diberi arti; The analysis and Judgement of the merits and faults of a literary or artistic work (Analisis dan penilaian terhadap kelebihan dan kekurangan sebuah karya sastra atau karya artistik). Dan padanan kata kajian adalah kata study; a detailed investigation and analysis of a subject or situation (Analisis dan investigasi secara rinci atas suatu subjek atau situasi). Jadi, kritik dan kajian sama-sama tindakan menganalisis, tetapi kajian lebih rinci dan mendalam, tak ada arti kecaman serta baik-buruk. Jika kita memahami kata kritik secara diakronis, maka mengkritik film adalah menganalisis serta menilai kekurangan dan kelebihan film, tentu dengan menggunakan argumentasi kuat, berlandaskan pada berbagai macam pengetahuan dan teori-teori film. Pengetahuan itu bisa berurusan dengan film sebagai medium (style) maupun film sebagai naratif, yang ketika keduanya bertemu akan tercipta suatu makna dan pemahaman yang ingin disampaikan oleh sineas. David Brodwell dan Kristin Thompson menyebutnya dengan formal system. Banyak kritikus ketika membahas suatu film, ia lupa akan medium (aspek style) dari film itu sendiri. Ia membahas cerita dengan panjang lebar dan

74 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Sumber gambar: Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru

tak sedikit pun membahas mediumnya, bahkan cenderung melupakan medium itu. Sehingga seolah tak ada bedanya antara kritik film dengan kritik sastra. Kalaupun membahas mediumnya, sebagian besar hanya mengatakan, misalnya, gerak kamera yang smooth, editing yang rapi, tata cahaya yang ciamik, dan sejenisnya. Padahal, sesungguhnya pembahasan mengenai medium itu tak bisa dilepaskan dengan narasi (cerita) yang ia sedang bahas. Ia menjadi satu kesatuan. Style memobilisasi makna yang ada dalam naratif dan begitupun sebaliknya. Tentu dengan begitu, maka bagi seorang kritikus yang baik, diperlukan penguasaan film tidak saja dalam soal naratif beserta kedalaman artinya tetapi juga menguasai aspek dari medium (style) film itu. Tugas seorang kritikus film tidak hanya menjelaskan dan mengurai kekuatan dan juga kelemahan sebuah film, tetapi juga mampu “menemukan” film-film yang tak dilihat sebagai film bermutu oleh khalayak ramai. “Penemuan” ini, misalnya, dilakukan oleh Andre Bazin, kritikus dan teoritikus film tersohor. Ketika film Citizen Kane yang sangat masyhur itu ditayangkan di publik pada tahun 1941, sebagian memuji tapi

banyak pula yang “menyerang” (Film ini mendapat sembilan nominasi Oscars tapi hanya mendapatkan satu penghargaan, skenario terbaik). Bazinlah yang kemudian memuji dan menulis kritik soal film Citizen Kane dalam tulisannya “The Technique of Citizen Kane”. Bazin menjelaskan film pertama Orson Welles itu adalah pencapaian baru bahasa sinema dan bagaimana sinema menjadi lebih dekat kepada realitas, satu di antaranya dengan penggunaan deep focus dan blocking pemain tanpa harus terus menerus mengandalkan editing cut to cut kepada subjek. Bazin membuka

pemahaman penonton terhadap film Citizen Kane hingga film itu terus dibicarakan dan menjadi bahan studi sampai saat ini. Alangkah baiknya jika kita belajar dari sejarah sinema dunia dan juga sejarah kita sendiri untuk tidak mengulangi hal yang sama tentang kritik film yang perbincangannya hanya berputar di situsitu saja. Agar kita bisa beranjak dan tak kembali kepada persoalan 46 tahun lalu yang membicarakan kualitas kritik film kita, yang tak kunjung berkembang dengan baik. (Nurman Hakim, sutradara film)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 75


WARI SA N B U DA Y A

76 INDONESIANA VOL. 10, 2021


P

Rumah Gadang.

foto: Zamri Koto -https://www.shutterstock.com/g/zamri+koto

ada suatu hari saya diminta membahas tentang strategi menulis pantun Minangkabau dan dari strategi itu apa perbedaan mendasarnya dari pantun Melayu umumnya. Hal pertama yang selalu saya tekankan tentang pantun Minangkabau adalah perihal hubungan analogis yang mesti kuat antara sampiran dan isi. Seperti pantun berikut ini: Nan kuriak iolah kundi/Yang kurik ialah kundi Nan merah iolah sago/Yang merah ialah saga Nan baiak ialah budi/Yang baik ialah budi Nan indah iolah baso/Yang indah ialah bahasa Mari kita simak baris kedua pada akhir sampiran, yaitu kata “saga” yang di bagian isi berhubungan dengan kata “bahasa”. Pesan utama dari bagian isi tersebut mengatakan bahwa bahasa yang indah (dalam hal ini merujuk pada bahasa sastrawi) bersifat abadi. Karena pesan bagian isi tersebut menekankan perihal keabadian dari “bahasa” yang “indah”, maka bagian sampirannya mesti menyiratkan perihal keabadian tersebut, yaitu melalui penggunaan kata “saga” yang berwarna “merah”. Mengapa pantun tradisional di atas memilih menggunakan kata “sago/ saga” dibanding kata lainnya dalam dunia tumbuh-tumbuhan yang juga banyak berwarna merah? Mengapa tidak menggunakan kata “lado/lada” yang juga berwarna “merah”? Alasan utamanya justru karena merahnya sago/saga lebih abadi dibanding merahnya lado/laga. Sago/saga akan selalu berwarna merah sedangkan merahnya lado/lada hanya terjadi dalam rentang waktu tertentu saja. Pada mulanya lado/lada berwarna hijau, lalu kemudian kuning-orens, merah, dan kemudian coklat gelap. Oleh karena itulah kata “lado/lada” yang “merah” tidak bisa digunakan untuk menyampaikan isi tentang keabadian “bahasa” yang “indah”.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 77


foto: Friedrich Himawan -https://www.shutterstock.com/g/Friedrich+Himawan

Dengan demikian, dalam pantun Minangkabau, ikatan antara sampiran dan isi tidak hanya dari kesamaan bunyi (rima) di akhir baris. Bunyi tentu saja penting, tapi ada yang tak kalah krusial. Sampiran dan isi mesti terhubung dalam satu logika internal yang sama, agar apa yang disampaikan pada bagian isi mesti bisa kita rujuk logikanya di sampiran. Maka, untuk membuat pantun Minangkabau, tidak bisa hanya bermodalkan kemampuan bermain kata-kata dan mencocok-cocokkan bunyi saja. Untuk itulah hal terpenting untuk dibahas adalah perihal kemampuan seperti apa yang mesti kita miliki untuk menulis pantun khas Minangkabau. Prasyarat utama yang jelas-jelas bisa kita temukan yaitu perihal kapasitas si penulis pantun dalam memahami lingkungan sekitarnya sampai ke tahap yang paling filosofis. Hal ini sangat berguna agar setiap kata yang dipilih dan digunakan dalam pantun harus benar-benar sesuai

78 INDONESIANA VOL. 10, 2021

dengan kebutuhan isi dan bentuk pantun itu sendiri. Bila kita ingin menulis suatu pantun yang berbicara kerapuhan, misalnya, maka pemilihan kata-kata mesti sudah menunjukkan logika perihal kerapuhan itu sendiri. Agar mempunyai kemampuan dalam memahami lingkungan sekitar sampai ke tataran filosofis seperti itu maka seseorang mesti tidak berjarak dengan lingkungannya, dalam artian bahwa ia benar-benar mengenali lingkungan dengan begitu konkret dan detail. Sebagai contoh, bila ia tinggal di daerah pantai, maka ia harus sangat memahami tentang karakteristik sampan, air pasangsurut, kondisi jalan di pantai, karakter pasir, bunyi ombak, dan segala fenomena alam di wilayah pantai. Dan dari pemahaman yang mendalam terhadap lingkungan itulah seorang penulis pantun bisa menimbang-memilih dengan tepat kata apa yang harus ia gunakan di dalam pantun agar sesuai antara sampiran

dan isi. Ini contoh lain dari pantun Minangkabau yang ditulis menggunakan kehidupan dunia pantai: Layia putiah alah takambang/Layar putih sudah terkembang Kapa di lauik baharullah/Kapal di laut baharullah Kalau ado talabiah-takuruang/Kalau ada terlebih-terkurang Sarahkan sajo pado Allah/Serahkan saja pada Allah Apa hubungan analogis antara “layar putih sudah terkembang” di bagian sampiran dengan “kalau ada terlebihterkurang?” di bagian isi? Layar putih sudah terkembang adalah tanda bahwa kapal siap sedia untuk berangkat. Artinya, telah terjadi perpindahan dari satu urusan (darat) dan sesaat lagi urusan selanjutnya (laut) akan segera dimulai. Hal ini tentu analogis dengan baris “kalau ada terlebih-terkurang” yang merupakan suatu pernyataan etis yang biasa diucapkan seseorang setelah


Tradisi makan bersama dalam budaya Minang, dalam kegiatan ini biasanya terselip pantun-pantun khas Minang. Tradisi makan bersama dalam budaya Minang, dalam kegiatan ini biasanya terselip pantun-pantun khas Minang.

luas nantinya. Atau ketika kita akan memulai suatu urusan baru, maka tak ada jaminan seperti apa urusan itu akan kita selesaikan nantinya. Apa yang akan terjadi ke depan tidak sepenuhnya bisa diprediksi dengan pasti. Dalam konteks seperti itulah baris-sampiran tersebut menjadi analogis dengan baris-isi yang berbunyi “serahkan saja pada Allah” yang merupakan suatu pernyataan tawakal bahwa manusia hanya bisa berencana dan hanya Tuhan yang bisa menentukan nasib rencana tersebut. Berserah dirinya seorang hamba kepada Allah, sebagaimana disiratkan dalam pantun itu, dianalogikan seperti berlayarnya kapal di suatu laut yang maha luas. Hadapi dulu sebaik-baik mungkin. Setelah itu adalah urusan-Nya. Pada sampiran itu, walaupun hanya tertulis baris “layar putih sudah terkembang”, namun penciptaan baris tersebut mesti dengan pemahaman yang baik perihal dunia pelayaran, seperti misalnya pemahaman tentang makna layar putih, kondisi seperti apa yang ditandakan oleh naiknya layar putih, pada saat seperti apa kapal akan menaikkan

layar putihnya, mengapa layar putih perlu ditegakkan terlebih dahulu sebelum menuju lautan luas dan seterusnya. Hal yang sama juga berlaku untuk setiap pemilihan perumpamaan yang akan digunakan di dalam suatu pantun. Bila misalnya kita ingin menyampaikan perihal keterpisahan masyarakat, maka kita mesti teliti memilih benda apa yang akan kita jadikan perumpamaan di dalam sampiran nantinya. Misalnya, kita bisa menggunakan kata “gelas kaca” dengan alasan bahwa ketika gelas kaca dipecahkan, mereka tak bisa lagi disatukan kembali, sesuai dengan sifat-sifat khusus yang dikandungnya. Kalaupun bisa disatukan, tetap ada jejakjejak yang tertinggal. Beda misalnya dengan “gelas lilin”, yang seberapa pun kita hancurkan, maka karena sifat-sifat khususnya, kita bisa merekonstruksi kembali seperti bentuk awalnya. Maka, pada gilirannya, menentukan memilih perumpamaan “gelas kaca” atau “ gelas lilin” tergantung pada bentuk keterpecahan masyarakat seperti apa yang ingin kita sampaikan. (Heru Joni Putra, penyair)

ffoto: Friedrich Himawan -https://www.shutterstock.com/g/Friedrich+Himawan

menyelesaikan suatu pekerjaan yang diberikan orang lain kepadanya dan di saat yang berdekatan ia akan berpindah ke urusan lainnya. Perihal perpindahan dari suatu urusan ke urusan lainnya itulah yang menjadi logika internal yang mengikat sampiran dan isi. Sementara itu, baris “kapal di laut baharullah” pada sampiran terikat secara analogis dengan baris “serahkan saja pada Allah” karena baris-sampiran itu menunjukkan bagaimana kita tidak bisa memperkirakan dengan pasti nasib sebuah kapal yang lautan yang maha

2021, VOL. 10 INDONESIANA 79


foto: Tim BPCB Jambi

CAG A R B UDA Y A

Menyelisik Kapal Karam di

Enggano 80 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Pulau Enggano merupakan pulau terluar di sisi Barat Indonesia yang masuk wilayah Provinsi Bengkulu. Catatan sejarah tentang Enggano merujuk perjalanan Cornelis de Houtman pada tahun 1596 ketika mencari rempah-rempah di kepulauan Nusantara. Asal kata Enggano diduga berasal dari bahasa Portugis yang artinya “kecewa”. Saat itu sebuah kapal Portugis singgah ke Pulau Enggano untuk mendapatkan air bersih dan perbekalan karena sudah berminggu-minggu berlayar. Para awak merasa kecewa karena sikap agresif penduduk yang menyerang dan mengusir mereka. Orang Melayu menyebutnya Pulo Telangiang yang berarti pulau orang-orang telanjang.

P

ulau Enggano diketahui mempunyai tinggalan arkeologi setelah dilakukan penelitian eksplorasi oleh Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Selatan pada tahun 2003, 2018, dan 2019. Pendataan kapal tenggelam di perairan Pulau Enggano oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jambi dilakukan pada bulan November Tahun 2020. Pendataan Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) di Pulau Enggano ini dimaksudkan untuk menindaklanjuti informasi tentang keberadaan kapal tenggelam yang terbuat dari besi yang tenggelam di kedalaman sekitar 5-6 meter dan melakukan pendataan tinggalan arkeologis di darat. Penyelidikan Dimulai Kegiatan pengumpulan data ODCB di air bertempat di perairan Pulau Dua. Pulau Dua memiliki luas 32 Ha yang merupakan pulau kosong Pulau Dua sendiri merupakan bagian dari kepulauan

Enggano yang berada di sisi timur pulau. Wilayah Pulau Dua dikelilingi perairan dangkal dengan kombinasi tutupan karang dan pasir yang landai. Laut dalam berada pada sisi timur yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Pada sisi timur inilah ditemukan kapal karam pada kedalaman 5-7 meter di bawah permukaan laut. Lokasi bangkai kapal (shipwreck) berada di sebelah Selatan Pulau Dua. Kapal mempunyai orientasi BaratTimur. Haluan kapal berada di sisi Timur. Bangkai kapal berupa geladak bagian dasar yang tersusun dari besi. Besi yang memanjang dari haluan ke buritan berjumlah lima buah. Kelima besi masing-masing berjarak 100 cm. Pada bagian tengah terdapat bentukan yang menyerupai huruf U diperkirakan sebagai

landasan tiang (maststep). Bangkai kapal berukuran lebar 4,4 meter dan panjang 57 meter. Sementara itu di sebelah Utara dari bagian haluan terdapat lima jangkar yang mempunyai bentuk dan ukuran tidak sama. Proses tenggelamnya kapal diperkirakan kapal berlayar dari sebelah Barat dan kemudian menabrak karang. Kapal mengalami kebocoran sehingga air memenuhi sisi kiri kapal yang menyebabkan kapal miring ke sisi kiri. Terjadinya kemiringan tersebut menyebabkan jangkar-jangkar yang ada di geladak jatuh ke sisi kiri. Setelah air mengisi bagian dalam kapal secara merata selanjutnya kapal tenggelam posisi tegak. Lokasi tenggelamnya kapal yang hanya di kedalaman 5-7 meter, maka diduga tidak semua bagian kapal tenggelam. Mungkin beberapa bagian kapal seperti tiang-tiang muncul di permukaan laut. Berdasarkan kondisi bangkai kapal dapat diduga bahwa kapal telah mengalami penjarahan untuk diambil besi-besinya. Peristiwa penjarahannya terjadi pada tahun-tahun yang begitu lampau sehingga masyarakat sekarang tidak ada yang mengetahui duduk perkaranya.

Tim BPCB Jambi bersiap melakukan penyelaman di titik lokasi kapal tenggelam. Persiapan menuju lokasi penyelaman dari hutan bakau Pulau Enggano. foto: Tim BPCB Jambi

2021, VOL. 10 INDONESIANA 81


foto: Tim BPCB Jambi

Menafsir Bukti Arkeologis Dalam catatan penelitian tentang Pulau Enggano, Pieters J. Ter Keurs dari Museum Nasional Etnologi Belanda menyebutkan, wilayah itu ditemukan pertama kali pada tahun 1500 oleh awak kapal Portugis. Catatan pada 5 Juni 1596 itu adalah tentang Cornelis de Houtman yang tidak dapat mendaratkan perahu. Pada 1771, Charles Miller berhasil mendaratkan dan bertemu dengan penduduk asli. Ia mencatat: “Dengan susah payah dan bahaya kami menghajar seluruh sisi barat daya, tanpa menemukan tempat di mana kami bisa mencoba mendarat. Akhirnya, bagaimanapun, kami menemukan pelabuhan yang luas di ujung Tenggara pulau dan saya segera masuk ke dalamnya dengan perahu, dan memerintahkan kapal untuk mengikuti saya secepat mungkin, karena saat itu keadaan sangat tenang. Kami mendayung langsung ke teluk ini; dan segera setelah kami sampai di sekitar pulau yang terletak di dekat pelabuhan, kami menemukan semua pantai ditutupi dengan orang-orang liar telanjang yang semuanya dipersenjatai dengan tombak dan pentungan; dan dua belas kano semuanya penuh dengan mereka yang, sampai kami melewatinya, telah bersembunyi, segera berlari ke arahku, membuat suara yang mengerikan; dan

82 INDONESIANA VOL. 10, 2021

karena saya hanya memiliki satu orang Eropa dan empat tentara kulit hitam, selain empat anak tangga yang mendayung perahu.” Akhirnya, dia bertemu dengan “bangsawan biadab” ini dan mempelajari sesuatu tentang alam, struktur matriarkal, keyakinan ateistik, dan budaya mereka. “Mereka adalah orang-orang yang tinggi dan kaya; para pria pada umumnya tingginya sekitar lima kaki delapan atau sepuluh inci; para wanita lebih pendek dan bertubuh lebih canggung. Para pria telanjang bulat, dan para wanita hanya mengenakan selembar daun pisang raja yang sangat sempit.” Penjelajah Italia Elio Modigliani mengunjungi Pulau Enggano antara 25 April dan 13 Juli 1891. Ia merinci peran perempuan yang tampaknya dominan dalam budaya Enggano di L’Isola delle Donne (Pulau Wanita), pertama kali diterbitkan pada tahun 1894. The Rijksmuseum memiliki koleksi penting artefak Enggano. Dalam sejarah penjelajahan semacam inilah reruntuhan kapal tenggelam itu mesti ditempatkan, yakni dari suatu masa di sekitar abad ke-19. Kondisi bangkai kapal hanya menyisakan sebagian kecil bagian geladak

foto: Tim BPCB Jambi

paling bawah, itu pun dalam kondisi tidak utuh lagi. Beberapa bagian penting kapal juga hilang, membuat tim kesulitan untuk mengidentifikasi secara spesifik bentuk, jenis, dimensi, dan tonase kapal. Justifikasi awal hanya berdasar pada atribut kunci yang masih bisa diidentifikasi, yaitu bahan kapal dari besi dan sebuah tonjolan berbentuk huruf “U” di bagian tengah. Kedua atribut ini biasanya melekat pada teknologi kapal uap generasi pertama yang berkembang sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Secara keseluruhan bagian kapal yang tersisa terbuat dari besi. Teknologi kapal besi yang telah berkembang sejak akhir abad ke-19. Pada masa itu pula, teknologi mesin uap yang diaplikasikan pada kapal, juga mulai berkembang dan banyak diaplikasikan. Penggunaan kayu pun mulai beralih ke besi pada periode awal tersebut mengingat kemampuan besi menahan getaran akibat adanya mesin uap di dalam badan kapal lebih baik dibanding kayu. Tonjolan berbentuk huruf “U” pada bagian tengah menjadi penanda adanya penggunaan tiang layar pada


yang masih terhitung lambat. Penalaran inilah yang kemudian menjadi dasar bagi tim BPCB untuk mengidentifikasi bangkai kapal yang karam di bagian timur Pulau Dua sebagai kapal besi dengan mesin uap dan masih memiliki tiang layar sebagai bantuan penambah kecepatan yang berasal dari abad ke-19 hingga ke-20. Adapun asal, pemilik, dan peruntukan kapal (sebagai kapal kargo atau kapal perang), belum dapat diidentifikasi lebih lanjut karena kurangnya data dan referensi. Diperlukan observasi yang lebih detail pada musim teduh dan penelusuran referensi lebih lanjut untuk mengungkap lebih banyak aspek informasi mengenai jenis, bentuk, dimensi, pemilik, rute pelayaran, dan termasuk penyebab karamnya kapal tersebut. (Yanto Manurung, Agus Sudaryadi, Mubarak A Pampang/BPCB Jambi)

Mengukur perkiraan panjang sisa kapal. Jangkar Besi yang tersisa yang berukuran sekitar 1.5 meter

foto: Tim BPCB Jambi

foto: Tim BPCB Jambi

foto: Tim BPCB Jambi

kapal (perhatikan lingkaran merah pada foto di bawah). Kapal besi yang masih menggunakan layar diketahui mulai digunakan sejak akhir abad ke19 hingga awal abad ke-20 di seluruh dunia. Pada periode ini, telah terjadi peralihan teknologi perkapalan dari yang sebelumnya menggunakan angin, kemudian beralih menggunakan uap dengan bahan bakar dari batu bara. Pada periode peralihan ini, beberapa kapal masih menggunakan tiang layar mengingat kemampuan teknologi kapal uap belum secanggih periode selanjutnya (pertengahan abad ke-20), dengan fungsi tiang layar digunakan untuk memaksimalkan kecepatan mesin uap

2021, VOL. 10 INDONESIANA 83


P E RMAI NAN T RADI SI ONAL

Bermain Engklek Mencari Keriangan

foto: spotters_studio -https://www.shutterstock.com/g/spotters

84 INDONESIANA VOL. 10, 2021


Jika sore tak begitu terik, usai belajar di madrasah, anak-anak bermain di halaman. Atau jika malam terang bulan, usai belajar mengaji di surau, anakanak juga akan bermain di halaman. Ada begitu banyak permainan rakyat dan permainan tradisional yang dapat dilakukan kanak-kanak di halaman atau di tanah lapang. Meski kini, mungkin sukar ditemukan kanak-kanak yang bermain di ruang terbuka. Tapi, itu bukan berarti bahwa permainan kanak-kanak telah hilang sama sekali.

erbagai permainan rakyat dan permainan tradisional memang biasa digelar di ruang terbuka yang cukup luas. Dari permainan khusus anak perempuan, permainan khusus laki-laki, hingga permainan yang dapat dilakukan bersama-sama (campuran). Dari permainan secara perorangan, perorangan-bertentangan, berpasangan-pasangan, berkelompok, hingga berkelompok-bertentangan. Dari permainan tanpa alat dan biasanya diiringi nyanyian; permainan dengan sarana yang harus dibeli seperti kelereng, karet gelang, gagambaran (gambar umbul), dan bepe-bepean; permainan dengan sarana yang bisa dibuat sendiri seperti pepelokan (pistol bambu), kuda-kudaan, bebeledogan

B

(meriam bambu), bandil (ketapel), dan panggal (gasing); hingga permainan dengan sarana sederhana seperti kerikil, tarawengkal (pecahan genteng), batu, pasir, dan tanah liat. Ketiadaan ruang terbuka sebagai tempat bermain, boleh jadi membuat banyak orang dewasa merasa prihatin sekaligus khawatir permainan tradisional itu akan punah, atau tergantikan oleh permainan-permainan berteknologi canggih. Namun, sebagaimana disitir Marc Armitage (2005), rupanya anakanak selalu memiliki cara yang luar biasa tak terduga, kreatif, dan cerdas, dalam menyiasati atau menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan tempat mereka bermain. Barangkali karena

itu juga, satu permainan tradisional memiliki begitu banyak varian dan banyak cara dalam memainkannya yang khas di tiap daerah. Engklek dan Boiboian Permainan engklek di kampung halaman saya, di Serang, Banten, sedikitnya memiliki empat jenis atau bentuk kotak sebagai area bermain, yaitu: (1) kotak enam dengan tiga kotak pada sisi kiri dan tiga kotak pada sisi kanan; (2) kotak tujuh berbentuk salib; (3) kotak sembilan bersayap dengan puncak gunungan; dan (4) bentuk taplak meja. Masing-masing bentuk memiliki aturan dan cara bermain yang berbeda, meski keempatnya sama-sama menggunakan

2021, VOL. 10 INDONESIANA 85


86 INDONESIANA VOL. 10, 2021

diakhiri dengan keriangan bersama. Bukan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan perspektif orang dewasa. Selain engklek, saya teringat permainan boi-boian yang juga menggunakan tarawengkal sebagai gacoan. Dalam bermain boi-boian, setumpuk tarawengkal akan dijaga “kelompok lawan” (penjaga), dan dijadikan sasaran pelemparan sebuah bola kasti oleh “kelompok kawan” (pelempar). Di kampung saja, tak ada aturan pasti mengenai berapa jumlah tarawengkal dalam permainan boi-boian. Begitupun dengan bola yang digunakan, tidak harus selalu bola kasti, tapi malah lebih sering hanya segumpal plastik, kertas, daun pisang kering, dan sabut kelapa, yang diikat dan dibuntal dengan karet gelang sebesar kepalan tangan. Masing-masing kelompok akan berada pada posisinya. “Kelompok pelempar” berdiri pada sebuah garis pada jarak tertentu, dan “kelompok penjaga” akan menunggu bola di dekat tumpukan tarawengkal. Salah seorang anggota

foto: Evri Onefive -https://www.shutterstock.com/g/Evri+yanto

foto: spotters_studio -https://www.shutterstock.com/g/spotters

tarawengkal (pecahan genteng) sebagai gacoan (alat bermain). Tak jelas kapan kita mengenal permainan engklek itu. Tetapi, permainan itu telah dikenal di banyak daerah di Indonesia sejak berpuluh tahun lalu, dengan nama yang berbeda-beda dan tentu dengan cara bermain tidak selalu sama. Konon, di negeri Belanda, permainan serupa engklek disebut zondaag mandaag. Dan permainan itulah yang kemudian diadopsi ke bahasa Sunda menjadi manda. Untuk itu, terdapat sebuah teori yang menyebut bahwa permainan engklek berasal dari Belanda dan masuk ke Nusantara pada masa kolonial. Ada juga anggapan bahwa permainan serupa engklek adalah permainan hopscotch di Britania Raya, yang sudah ada sejak zaman Romawi Kuno. Tak pasti teori mana yang benar. Yang pasti, bagi saya, bermain perlu dimaknai sebagai cara untuk menikmati permainan itu sendiri, untuk beroleh kesenangan belaka, dan

“kelompok pelempar” melempar bola dengan sasaran tumpukan tarawengkal itu. Jika lemparannya mengenai tumpukan tarawengkal itu dan menghancurkannya, membuatnya berserakan dan acak, para anggota “kelompok penjaga” akan segera berlari mengejar bola yang biasanya terlontar cukup jauh. Sementara itu, “kelompok pelempar” akan segera berupaya membangun dan menyusun kembali tarawengkal-tarawengkal itu seperti semula. Kemudian, jika “kelompok penjaga” berhasil mendapati bolanya, lalu melemparkannya dan mengenai bagian ke tubuh “kelompok pelempar” yang sedang menyusun tarawengkal, maka kedua kelompok itu bertukar peran. “Kelompok pelempar” menjadi “kelompok penjaga”, dan begitu pula sebaliknya, “kelompok penjaga” menjadi “kelompok pelempar”. Permainan berlanjut dan kembali ke tahap awal. Tetapi, jika lemparan “kelompok penjaga” meleset dan malah melontarkan


Bagi saya, bermain dalam permainan rakyat adalah demi kesenangan. Saya percaya, sebagaimana diungkapkan Webb (1984), “Sebuah permainan akan berkembang dan menyebar hanya jika permainan itu menyenangkan. Anakanak tidak memiliki perasaan ingin mempertahankan suatu permainan demi aspek historisnya”. Untuk itu, baik permainan rakyat maupun permainan tradisional, perlu dikembalikan kepada kreativitas anak-anak itu sendiri dalam menyesuaikan diri dengan tempat bermain. Orang dewasa cukup mengasuh untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan anak-anak, untuk kesenangan dan keriangan anak-anak, dan untuk permainan itu sendiri. Ayo bermain! (Niduparas Erlang, novelis)

Anak –anak sedang bermain Engklek. Melempar dan Mengejar - Boi-boian. Merapikan susunan genting - Boi-boian.

foto: Dhodi Syailendra -https://www.shutterstock.com/g/Dhodi+Syailendra

berlari. Kami mengakhiri permainan dengan riang. Tampaknya, itu semua sudah cukup bagi kami. Memang, ada begitu banyak teori tentang bermain, dan begitu melimpah kajian-kajian yang menunjukkan pentingnya bermain bagi kanak-kanak. Bahwa permainan anak, baik itu permainan rakyat maupun permainan tradisional, terbukti dibutuhkan oleh anak-anak untuk melepaskan energi yang berlebihan, untuk mengasah kemampuan afektif dan psikomotorik, dan lain sebagainya. Bahkan, seorang sejarawan sekaligus teoritisi budaya asal Belanda, Johan Huizinga, dalam bukunya Homo Ludens: a Study of Play Element in Culture (1938), menyebut bahwa “bermain itu lebih tua dari kebudayaan” (play is older than culture). Terlepas dari penyataan Huizinga yang memicu kontroversi itu, buku itu di kemudian hari membuat istilah homo ludens menjadi begitu populer untuk menyebut manusia sebagai “makhluk bermain”, “makhluk yang suka bermain”, atau “makhluk yang menciptakan permainan”.

foto: Dhodi Syailendra -https://www.shutterstock.com/g/Dhodi+Syailendra

bola lebih jauh dari area bermain, kelompok itu harus terus mengejar dan mendapatkan kembali bolanya untuk kemudian diarahkan lagi ke tubuh “kelompok pelempar” yang sedang menyusun tumpukan tarawengkal. Permainan akan dimenangkan “kelompok pelempar” jika mereka berhasil menyusun kembali tarawengkal seperti semula, sekaligus berhasil menghindari lemparan bola. Dan permainan akan berlanjut dengan “kelompok pelempar” dan “kelompok penjaga” masih dalam posisi yang sama. Ketika saya kanak-kanak, boi-boian adalah permainan yang menyenangkan. Kami hanya benar-benar bermain, tanpa tendensi untuk menang. Kami, para pemain boi-boian, tidak pernah berpikir, apa yang akan diberikan boi-boian jika kami memenangi permainan. Juga tidak berpikir, apa yang dapat kami pelajari dari bermain boi-boian. Kami tak pernah berhitung untuk mendapat piagam jika menang lomba, misalnya. Tidak. Kami menghancurkan tarawengkal dan menyusun ulang. Kami melempar bola dan menghindarinya. Kami berjaga dan

2021, VOL. 10 INDONESIANA 87


foto: Dok. Antara Foto

PENGETAHUAN TRADISIONAL

88 INDONESIANA VOL. 10, 2021


H

ari berakhir ketika toeak dituangkan, demikian Forbes mencatat berabad lalu dalam laporan perjalanannya yang berjudul On the Ethnology of Timor-Laut dalam The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland Vol. 13 (1884). Menurut kesaksiannya tentang orang Desa Ritabel di Pulau Larat, setiap pagi hari, “Setelah merapikan rambut, mereka mengambil bambu berisikan saguer atau toeak yang terisi oleh tetesan mayang di malam hari, dan kemudian memangkas kembali tunggulnya agar mayangnya senantiasa menetes sepanjang hari...” Kegiatan itu selalu mengawali kehidupan sehari-hari, seperti berkebun, melaut atau meramu dan sebagainya. Semua itu diakhiri dengan menikmati toeak (dibaca tuak) sembari mendengar seorang tua mendongengkan kisah legenda atau pengalaman hidupnya. Begitulah, hari-hari berlalu di Pulau Lahat di abad ke-19. Kisah kehadiran toeak di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari kesalinghubungan antara alam dan manusia. Toeak adalah sebutan yang umum disandangkan pada jenis minuman yang berasal dari olahan mayang pepohonan palem. Tumbuhan rumpun keluarga arecaceae ini banyak tersebar di daerah beriklim tropis dan subtropis. Berkembang dalam beragam genus dan spesies, palem mempunyai hubungan yang intim dengan peradaban manusia.

Manusia sudah memanfaatkan palem setua perjalanan mereka ke daerah yang lebih hangat ribuan tahun lalu. Begitu pula di Nusantara. Jenis-jenis palem yang tumbuh di pulau-pulau Nusantara, seperti nipah (Nypa fruticans), siwalan atau lontar (Borassus flabellife ), enau atau aren atau nira (Arengga pinata), gewang (Corypa utan), menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara, saksi atas relasi manusia dengan alam. Kayu dan seratnya menjadi bahan sandang serta papan. Daunnya menjadi atap atau menjadi kertas bahan manuskrip yang menyimpan narasi ilahiah, mitos, atau cerita rakyat di seluruh Nusantara. Adapun buah, mayang dan sadapannya, seperti singkat terulas, menjadi olahan pangan atau minuman. Dari Toeak Menjadi Sopi Beberapa tahun lalu, pada malam terakhir Saya di Pulau Aru, Maluku, seorang kenalan menggelar pesta perpisahan. Suatu perhelatan di tepi pantai Indonesia Timur, tepat ketika

terang bulan. Saya beserta para peserta duduk melingkari unggun api. Seorang mamah mulai menghidangkan beberapa sajian ikan bakar lengkap dengan sambal colo-colo atau orang Sulawesi Utara menamainya dabu-dabu. Seorang kenalan kemudian mengeluarkan satu botol ukuran kecil, “Ini sopi kelapa, dari tetesan pertama.” Ia menuangkan sedikit dan kemudian menyulutnya dengan korek api. Pijar api biru menyala, meneranginya. Ia pun menceritakan kisah tentang sopi. Sopi akrab dikenal sebagai minuman tradisional olahan sadapan palem, baik di area Sunda Kecil (disebut pula moke di Flores), Maluku, dan Sulawesi bagian Utara dengan berbagai varian nama. Seorang kawan mengatakan alasan toeak yang disaksikan oleh Forbes di abad ke-19 kini lebih dikenal dengan sebutan sopi. Konon, sebutan sopi berakar dari bahasa Belanda, yaitu zoopje yang dalam artikel-artikel populer diterjemahkan sebagai alkohol cair atau minuman ringan. Bisa juga dari istilah zopie – koktail campuran rum dan bir ditambah rempah, minuman yang muncul

Air kelapa yang telah difermentasikan dan akan segera disuling.

foto: Dok. Antara Foto

Seorang pekerja mengambil nira dari pohon kelapa sebagai bahan sopi.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 89


foto: Dok. Antara Foto

di abad ke-19 sebagai penghangat di musim dingin, dan kemudian berkembang sebagai koek-en-zopie, atau sebutan bagi penjaja warung tenda yang menyediakan cemilan dan minuman keras. Perubahan istilah toeak menjadi sopi menampilkan gambaran perkembangan minuman beralkohol di Nusantara. Kolonialisme oleh bangsa Eropa bukan semata urusan eksploitasi, tetapi juga menghadirkan akulturasi budaya. Penggunaan istilah sopi untuk merujuk olahan minuman sadapan palem menampilkan pula pertemuan dan pengaruh unsur budaya asing, yaitu hadirnya teknologi destilasi atau penyulingan. Didiamkan Semalaman Merujuk kembali karya etnografis Forbes, toeak dihasilkan dengan mendiamkan tetes mayang pohon Enau semalaman. Keesokan harinya, larutan itu secara alami mengalami fermentasi, atau mengalami perubahan senyawa glukosa menjadi etanol. Ini serupa dengan saguer atau ”air sagu,” yaitu

90 INDONESIANA VOL. 10, 2021

minuman olahan palem Minahasa yang disebut oleh Nicolas Graafland sebagai een godendrank, minuman para dewa. Sopi adalah pengolahan lebih lanjut dari toeak dengan cara memasak air hasil sadapan dan menyuling uapnya. Hal ini berlaku pula di pulau Rote dan Sawu, sebagaimana tercatat dalam karya etnografis James J. Fox (1977) dengan judul Panen Lontar. Setelah menyadap mayang lontar, para lelaki kemudian membawanya ke rumah untuk kemudian diolah oleh istri dan anak perempuannya. Sadapan lontar adalah bahan untuk berbagai olahan, seperti cuka dan lempengan gula aren, atau dapat segera dinikmati, sekalipun tidak dapat bertahan lama. Oleh sebab itu, sadapan lontar acapkali dimasak kembali, baik sebagai toeak atau memanfaatkan uapnya yang disuling menjadi bahan untuk moke atau sopi. Kehadiran teknologi penyulingan yang diperkirakan terjadi seiring kedatangan kolonialisme maupun bangsa Tionghoa mempengaruhi praktik pengolahan minuman beralkohol. Hal ini terlihat

dalam pengalaman penelitian bersama tim Pusat Kajian Antropologi-Universitas Indonesia (2017). Penyulingan secara tradisi berpengaruh terhadap munculnya ciu di Jawa Tengah dan berkembangnya saguer menjadi Cap Tikus di Minahasa, atau toeak dan saguer menjadi sopi. Warisan Kehidupan Kehadiran sopi dan beragam jenis minuman beralkohol lainnya yang bersumber dari palem dalam khazanah kebudayaan Nusantara hakikatnya adalah warisan dari perjalanan peradaban dan relasi manusia dengan alam Nusantara itu sendiri. Mengutip selorohan karakter novel Max Havellar karya Multatuli, yaitu Batavus Drystubble, pedagang kopi dari Amsterdam: “Orang-orang tidak makan di pulau Rote” dan cenderung “meminum makanannya”. Sang pedagang kopi mengutip dari manuskrip Scarftman. James J. Fox menyatakan jika praktik terkait lontar dan pengolahannya yang biasa dipanen di bulan Juni sampai November adalah perwujudan dari keunggulan


dapat menyadari betapa beragamnya karakteristik alam serta kebudayaan manusia di Nusantara. Sopi dan minuman lain adalah perwujudan dari kebiasaan dan pengetahuan yang jamak ditemui di banyak daerah di Nusantara. Ini memperlihatkan bagaimana kebiasaan dan pengetahuan atau budaya manusia selaras dengan corak alam Indonesia. (Irfan Nugraha, peneliti dan dosen)

Tetes uap nira yang telah menjadi sopi

Nira yang telah difermentasikan kemudian dituangkan di dalam drum untuk disuling.

foto: Dok. Antara Foto

Menyaring sopi ke dalam gelas.

foto: Dok. Antara Foto

ekonomi subsistensi yang tidak umum dari masyarakat pulau tersebut. Karakteristik ekologi pulau tersebut yang dikenal atas kemarau panjang akibat siklon tropis dari Australia dan berkontur tanah margalit yang mudah tergerus erosi menyebabkan minuman olahan lontar yang tahan sepanjang tahun mempunyai peranan penting dalam proses adaptasi kehidupan orang Rote dan Sawu. Hal ini didukung pula oleh fakta alamiah bahwa lontar atau palem merupakan tanaman yang tumbuh liar, sehingga tidak memerlukan perawatan yang intensif. Kehadiran sopi dan berbagai jenis minuman dari mayang sadapan palem di Nusantara merepresentasikan gambaran yang lebih kompleks atas relasi manusia dengan alam. Ini bukan semata perkara komoditas. Melalui sopi dan berbagai jenis minuman olahan itu pulalah, kita

2021, VOL. 10 INDONESIANA 91


KURANG

TANPA

DODOL 92 INDONESIANA VOL. 10, 2021

foto: nineimage -https://www.shutterstock.com/g/nineimage

MAKANAN T RADI SI ONAL


foto: Yahya Andi Saputra

foto: Yahya Andi Saputra

D

odol bagi masyarakat Betawi adalah kue yang dibuat untuk hari yang sangat khusus. Cara membuatnya pun sangat khusus. Dodol kerap dipoyokin sebagai kue silaturahmi. Disebut begitu, lantaran sejak permulaan pembuatannya sudah harus berkomunikasi atau bersilaturahmi dengan orang lain. Dodol lazimnya dibuat dalam ukuran yang besar. Pada masa lalu, tidak semua orang memiliki kawa (penggorengan/ wajan) ukuran besar yang dapat menampung adonan campuran tepung beras, gula merah, dan santan sebanyak 25 kilogram. Dahulu, kawa seperti itu hanya dimiliki oleh keluarga kaya. Makanya orang-orang yang akan membuat dodol biasanya meminjamnya kepada si empunya wajan yang kaya itu. Selain itu, jika ingin mulai membuat dodol, ia terlebih dahulu harus nyambat, atau meminta bantuan tetangga untuk menumbuk beras, memarut kelapa, dan meracik adonan. Tentu semuanya dikomandani oleh tukang dodol yang ahli. Dalam sejarah kuliner Betawi, tak ada yang dapat memastikan, kapan dodol dikreasi atau dibuat sebagai penganan. Kue basah yang berbahan utama beras (biasa atau ketan), gula merah, dan kelapa ini, pada umumnya menjadi kue andalan lebaran (Hari Raya Idul Fitri). Bagi masyarakat Betawi, kurang afdol berlebaran tanpa dodol. Sangat banyak aturan tata cara dalam dalam proses memasak dodol. Selain disebut sebagai kue silaturahmi, dodol juga dikenal sebagai kue kolektif. Artinya, pembuatan dodol tidak dapat dikerjakan hanya oleh dua tiga orang saja. Sejak terbetik niat membuat dodol, sejak itu pula seseorang akan nyambat, yaitu melakukan pendekatan kepada tetangga sekitar agar bersedia membantu. Ketika zaman belum mengenal teknologi canggih, proses pembuatan dodol serba manual dan membutuhkan waktu cukup lama, bisa dua hari dua malam. Pekerjaan pertama –tentunya-- belanja membeli bahan mentah untuk dodol. Selanjutnya orang yang punya hajat mencari tukang ngaduk dan meminjam kawa atau wajan berukuran besar. Tukang aduk biasanya memahami tata cara pembuatan dodol.

Perbandingannya (baik beras ketan maupun beras biasa) berkisar 1:2:4. Artinya jika beras satu kilogram, gulanya dua kilogram, dan kelapanya empat buah. Pada hari H pembuatan dodol, orangorang yang terlibat melakukan ritual ngukup atau slametan memohon izin dan permohonan kepada Allah SWT agar dodol yang dibuat mendapat keberkahan. Di atas tumang (tungku, biasanya terbuat dari pangkal pohon pisang) ditancapkan sate berisi cabe, bawang, dan terasi. Pada zaman dahulu (pra-Islam) ritual ini ditujukan kepada Dewi Sri, dewi kemakmuran dan kesuburan.

Mengaduk dodol di pabrik dodol. Membagikan Dodol Betawi kepada pengunjung.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 93


pane (lesung). Karena saat menumbuk beras adalah adalah yang relatif sepi, maka bunyi alu beradu dengan lesung akan menciptakan suara amat ganjil. Dari bunyi itu orang tahu bahwa ada keluarga yang sedang membuat dodol. Seorang yang memarut kelapa disarankan bukan perempuan yang sedang haid. Karena kalau demikian, hasil santannya dipercaya akan

berwarna hitam. Lantas, seseorang yang bertugas membuat minyak kelapa, haruslah orang yang sabar, bersih, dan disiplin. Jika tidak begitu, minyak kelapa tak akan pernah jadi alias gagal total, hanya menjadi blendo (ampas minyak), seberapa banyak pun santan kelapa yang dimasaknya. Tidak semua orang – laki-laki atau perempuan – mahir membuat adonan

foto: Yahya Andi Saputra

Barulah kemudian aktivitas menumbuk beras, memarut kelapa untuk santan, membuat minyak kelapa, memasak gula merah, dan membuat adonan, yang dikerjakan bersamasama. Waktu menumbuk beras biasanya dimulai ampir siang (dini hari) berbarengan dengan waktu sahur. Keluarga yang ngaduk dodol dapat diketahui dari suara tumbukan beras di

foto: Oen Michael -https://www.shutterstock.com/g/oenmichael

Dodol siap saji. Membagikan Dodol Betawi kepada pengunjung. Dodol mendidih

foto: AriefDjauhar -https://www.shutterstock.com/g/AriefDjauhar

Pembuatan Dodol

94 INDONESIANA VOL. 10, 2021


dodol. Seorang ahli membuat dodol instingnya sangat kuat, di samping memang berpengalaman cukup tinggi. Perbandingan antara jumlah beras, kelapa, gula, dan sebagainya benarbenar telah ditekuni puluhan tahun meski ia tak mencatatnya. Semuanya hanya disimpan dalam ingatannya. Lagi pula membuat dodol dari beras ketan akan lain cara penanganannya dibandingkan dengan beras biasa. Selain itu ia pun mengerti jampe-jampe pengusir makhluk halus. Kegiatan sejak nampihin (membersihkan beras menggunakan nyiru yang digerakkan naik turun) beras, menurunkan adonan ke kawa sampai menjadi koleh (dodol setengah masak) masih ditangani oleh kaum perempuan. Barulah setelah itu pekerjaan dilanjutkan oleh kaum laki-laki sampai dodol matang, diangkat, dan dimasukkan ke dalam tenong (wadah bundar berdiameter 2025 cm dengan tinggi 15 cm terbuat dari anyaman bambu). Tukang ngaduk dodol adalah laki-laki yang memiliki fisik kuat, sebab membolak-balik dodol yang menggunakan gelo (alat pengaduk dodol – gelo nginter dan gelo aduk) di kawa memerlukan tenaga yang besar. Tukang ngaduk adalah orang yang mengerti jenis arang. Arang yang bagus dan baik biasanya dari kayu rambutan. Sebab bila arang yang digunakan mengeluarkan asap, maka dodol yang dihasilkan berbau sangit (berbau hangus) dan rasanya bercampur asap. Ia pun mengerti berapa tingkat kepanasan bara arang di bawah kawa. Jika tingkat kepanasan bara tidak konstan, artinya terlalu panas atau kurang panas, atau tidak rata antara sisi kanan dan sisi kiri, dodol menjadi bantet (tidak termasak dengan sempurna) dan warnanya hitam mengeras bagai batu. Untuk kemahirannya, tukang ngaduk memperoleh bayaran yang lumayan. Pada saat kunjungan ke saudara atau tetangga di hari Lebaran, dodol

menjadi andalan utama. Sering dodol hanya berpindah rumah sebentar saja, lalu kembali lagi ke rumah yang mengantarkannya. Mengapa demikian? Karena pada umumnya dodol antaran dari saudara itu dijadikan pula sebagai kue antaran ke rumah saudara yang mengantarkan sebelumnya. Usaha Rumahan Saat ini dodol dijadikan usaha rumahan yang cukup menguntungkan. Jika Anda berkunjung ke kampung Kalibata, maka berjejerlah meja atau kotak etalase berkaca yang memajang dodol dalam berbagai ukuran dan rasa. Dodol rasa tradisional mungkin masih sebatas pada rasa vanili saja. Kini sudah tersedia dodol dalam berbagai rasa buah (durian, stroberi, anggur, jeruk, dan lain-lain). Ada lagi sentra dodol yaitu Bojong. Dodol Bojong pada umumnya dijual oleh pedagang asongan yang berjualan di terminal atau di dalam kereta api listrik (KRL) Jakarta – Bogor. Menurut beberapa orang yang menyukai dodol, tidak ada perbedaan signifikan antara dodol Kalibata dengan Bojong, namun mereka dapat membedakannya. Ada rasa khas dari masing-masing produk. Dodol dapat bertahan lama. Oleh karena itu jauh sesudah lebaran berakhir, dodol masih tersimpan apik di lemari. Meski luarnya sudah bulukan (jamuran) dan agak tengik (berbau tak sedap), tapi dalamnya dijamin masih baik, enak dan gurih, terutama jika berbahan beras ketan. Biasanya jika masih banyak, dodol pun ”didaur ulang”. Tapi umumnya hanya dibersihkan luarnya saja, dibuang jamurnya, lalu dipotong sesuai ukuran. Ada juga orang yang mengubah dodol lawas itu menjadi kue gorengan, yakni digoreng dengan lumuran tepung terigu, disajikan pagi hari bersama qohwe (kopi tubruk) atau sahi atau teh panas. (Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi)

foto: Yahya Andi Saputra

2021, VOL. 10 INDONESIANA 95


M US EUM

Napak Tilas di

Huta Batak TB Silalahi

foto: Alfian Siagian

“Rumah Adat Karo ini sudah berumur dua ratus lima puluh tahun dan masih terawat”, kata Ondi Siregar, petugas yang memandu saya memasuki museum Huta Batak. Menarik memang, ketika Anda disuguhi dua keindahan dan dua keajaiban sekaligus. Siapa pun mengakui jika Danau Toba itu adalah keindahan dan keajaiban sekaligus. Sekarang, di depan mata Anda, ada dua keindahan dan keajaiban berpadu sekaligus dengan rumah adat Karo yang sudah berumur ratusan tahun.

Perjalanan menelusuri Museum TB Silalahi yang terletak di Desa Pagarbatu Kecamatan Balige Kabupaten Toba itu tidak dimulai dari pintu masuk. Cerita tentang jejak masa lalu yang dipergelarkan di museum khas ini dimulai justru dari tengah. Ibarat sebuah pertunjukan, dimulai dari puncak, ketika kekaguman dan kemafhuman bercampur menjadi satu, ketika decak dan deguk

96 INDONESIANA VOL. 10, 2021

mendera dalam satu waktu. Itulah yang terjadi ketika pemandangan Danau Toba dan Rumah Adat Karo yang berumur ratusan tahun itu muncul di pelupuk mata dalam satu waktu. Berjalan-jalan di kesejukan udara Balige yang bertiup dari lembah Toba nan indah itu adalah ziarah batin yang tak terlupakan. Pandanglah bahal gerbang di Utara itu. Huta Batak,

demikian tertulis di sana. Nampaknya, tak perlu menjadi Batak untuk merasa tergetar menyaksikan barisan rumaruma toba atau rumah-rumah adat yang dipagelarkan dalam museum terbuka itu. Rumah kedua dari barisan ruma-ruma Batak yang di sebelah kanan adalah rumah masa kecil TB Silalahi, demikian informasi dari pemandu museum. Sebagai museum, Huta Batak ini menyimpan data terkait subjek-subjek sejarah yang menyimpan sejumlah besar cerita di baliknya. Satu di antaranya adalah ruma masa kecil Ompung TB Silalahi. Ruma itu diangkatpindahkan ke museum tersebut dari desa Pagarbatu itu juga. Selain itu, terdapat tiga ruma batak lainnya dan tiga sopo berdinding.


Dua Rumah Batak Toba yang terdapat di Museum terbutak Huta Batak merupakan rumah asli miliki masyarakat setempat yang terlah berumur ratusan tahun. Zaman dulu rumah ini merupakan tempat bernaung masyarakat setempat. Tank yang diproduksi di tahun 1970-an, kendaraan berat yang digunakan pada masa perjuangan kemerdekaan di Tanah Batak. Helikopter BO-105 merupakan salah satu koleksi dari TNI Angkatan Daran Republik Indonesian yang ada di Museum TB Silalahi.

foto: Alfian Siagian

paling ujung kiri sekali merupakan lumbung atau sopo eme. Museum terbuka Huta Batak ada gambaran kehidupan masyarakat Batak tempo dulu. Barisan ruma-ruma, sopo partungkoan, dan sopo eme adalah gambaran desa yang ditata sebagaimana aslinya dulu. Pengunjung dapat melihat bagaimana orang Batak hidup dalam komuni-komuni kecil yang disebut huta atau desa yang dipagari dengan bambu. Menurut pemahaman penulis, pohon bambu ditanam sedemikain rapat sehingga desa dapat terlindung dari bahaya. Penanda desa penting lainnya adalah pohon semacam beringin yang disebut hariara. Pengunjung dapat melihat keberadaan pohon tersebut di sana. Setidaknya, syarat pendirian sebuah desa atau huta, tanaman pelindung, tanaman penyubur dan tanaman obat/adat ada dalam museum terbuka itu. Selain itu, di museum Huta Batak terdapat sarkofagus tempat penyimpanan raja-raja Batak zaman dahulu kala. Posisi sarkofagus-sarkofagus tersebut tepat di samping sopo eme. Salah satu yang menarik adalah di sisi kanan sarkofagus terdapat sebuah patung Pangulu Balang. Patung ini dahulu diciptakan oleh seorang datu dengan ritual khusus untuk menjaga roh halus, roh jahat dan wabah penyahat serta orang jahat yang menyerang huta atau desa. Uniknya, lokasi patung Pangulu Balang tersebut, sebelum pandemi ini, digunakan oleh pengunjung terutama dari negara-negara timur jauh dan indocina untuk meletakkan sesajen mereka. Menyajikan petualangan di Museum TB Silalahi sama dengan menyajikan kehidupan asli orang Batak zaman dulu. Silahkan naik ke lantai dua Museum

Batak Dalam Ruang. Di sana pengunjung dapat menyaksikan keseharian Orang Batak di masa lalu. Sistem peralatan dan teknologi masyarakat Batak lama dipergelarkan di sana. Barangkali secara penampilan agak kurang menarik, akan tetapi, alat tenun lama ini ditempatkan di lobi lantai dua museum tepat menghadap ke danau. Barangkali, berdasarkan penempatannya, alat tenun lama ini punya keistimewaan tersendiri sehingga ditempatkan tersendiri di sana. Hasil tenun Batak memang istimewa. Di Museum TB Silalahi ada galeri Ulos Batak Toba. Koleksinya demikian beragam dan menarik. Keistimewaan tenun dari

foto: Alfian Siagian

Dua bangunan yang terletak sebelah kiri paling ujung dulunya tidak digunakan sebagai tempat tinggal melainkan sebagai tempat bermusyawarah yang disebut sopo partungkoan dan yang

2021, VOL. 10 INDONESIANA 97


foto: Alfian Siagian

foto: Alfian Siagian

foto: Alfian Siagian

Mayor Jenderal (Purn) Tiophan Bernhard Silalahi yang semasa hidupnya dikenal memiliki karakter tangguh, tidak mudah putus asa, dan kreatif dalam memecahkan masalah.

Godang Gotilan adalah ritual yang dilaksanakan masyarakat Batak toba pada saat panen raya tiba. Petani dari segala tingkatan, menyelenggarakan pesta gotilan dan mengundang pargondang gotilon sebagai ucapan rasa syukur atas panen yang mereka terima. Sarkofagus merupakan tempat menyimpan jasad yang dibuat sebagai tanda rasa hormat terhadap nenek moyang di huta Batak dataran tinggi yang sejuk itu meluas ke wilayah lain. Buktinya, koleksi ulos dari enam puak atau subetnis Batak juga dipamerkan. Ada ulos dari Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Keseharian orang Batak makin tergambar dari peralatan domestik yang mereka gunakan untuk mencari penghidupan dan mengolahnya. Di sana dipamerkan mulai dari alat menangkap

98 INDONESIANA VOL. 10, 2021

ikan atau bubu hingga alat menangkap ayam. Selain itu, terdapat koleksi penyimpanan obat-obat tradisional Batak seperti yang terbuat dari kulit maupun yang terbuat dari tanduk kerbau. Selanjutnya, tersimpan tempat penyimpanan pupuk yang terbuat dari tanduk kambing hutan. Salah satu lagi yang sangat menarik dari museum ini adalah koleksi yang luar biasa dalam sejarah masyarakat Batak, khususnya Batak Toba. Koleksi itu adalah Tungkot Tunggal Panaluan. Tongkat yang dipercaya memiliki tuah dan kesaktian ini merupakan salah satu koleksi bersejarah dan melegenda di dalam peradaban Batak. Terlebih lagi, di sana juga terdapat replika Piso Gaja Dompak, senjata pusaka yang selalu disandang oleh Raja Sisingamangaraja XII selama berperang melawan Belanda.

Tidak hanya itu, di museum ini ada ruang khusus yang disediakan untuk menghormati perjuangan Raja Sisingamangaraja XII. Ruang itu berbentuk diorama yang diberi nama Galeri Sisingamangaraja. Di sanalah replika Piso Gaja Dompak itu berada. Selanjutnya, pengunjung dapat melihat patung Raja Sisingamangaraja dalam pakaian lengkap bersandangkan Tungkot Tunggal Panaluan yang bertuah itu. Di dinding ruang diorama itu tersangkut sebuah lukisan salah pertempuran Raja Sisingamangaraja XII melawan Belanda di Tampahan di tepi danau Toba, Kabupaten Toba. Lukisan itu adalah karya seorang Cina yang tertarik melakukan riset pada peristiwa perang Batak itu. Sesuai dengan namanya, Museum TB Silalahi, Museum ini juga berisi sejarah hidup dan sejarah perjuangan Jenderal


foto: Alfian Siagian

Berbagai koleksi pakaian adat yang diberikan oleh sahabatsahabat Jenderal TB Silalahi semasa bertugas di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu koleksi paling berhaga di Museum TB Silalahi yakni rumah adat Karo yang telah berusia 250 tahun. Koleksi rumah adat ditempatkan selaras dengan pemandangan apik Danau Toba.

foto: Alfian Siagian

Tiopan Bernhard Silalahi, Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1993-1998). Di dalam museum ini tentu terdapat koleksi-koleksi pribadi Opung Silalahi, seperti; sepeda, sepeda motor, dan mobil pribadinya. Istimewanya, di museum kebanggan masyarakat Batak ini terdapat diorama ruang kerja Silalahi ketika menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Sebagai sebuah museum, Museum TB Silalahi merupakan sumber inspirasi sekaligus sumber pelajaran hidup. Pada bagian sejarah hidup TB Silalahi, pengunjung dapat memetik pelajaran bagaimana berjuang hidup sejak dari susah hingga mencapai kesuksesan. Sementara pada museum Huta Batak dan Museum Batak dalam ruang pengunjung dapat memetik pelajaran dari perjalanan hidup masyarakat Batak sejak dahulu kala. Perjalanan wisata dan ziarah etnis ini ditutup dengan bagian depan. Di halaman depan museum terdapat koleksi yang merupakan sumbangan dari TNI AD berupa tank, helikopter, dan meriam. Selamat berkunjung. (Alfian Siagian, dosen dan peneliti)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 99


AR S I T EKT U R

Uma Dadoq

Ruang Kebersamaan Dayak Kenyah yang Nostalgik

foto: Dok. Rafli L. Sato

3 1

2 6

4 5

foto: Dok. Rafli L. Sato

100 INDONESIANA VOL. 10, 2021


M

foto: Dok. Rafli L. Sato

Apa kabar uma dadoq, rumah “persatuan” keluarga besar suku Dayak Kenyah? Seiring zaman yang melaju dan pola pikir yang berubah, kini makin berkurang orang Dayak Kenyah meninggali uma dadoq atau lamin atau rumah panjang di kampungkampung. Rumah panjang berbilik-bilik itu tidak hilang sama sekali, karena pemerintah daerah berkepentingan untuk merawat warisan leluhur itu, misalnya dengan membangun desa adat yang dihuni warga Dayak Kenyah. Selain untuk kebutuhan preservasi, rumah-rumah panjang di desa adat juga menarik hati untuk tujuan wisata budaya. Nostalgik.

embicarakan uma dadoq

Terdapat sembilan subsuku bangsa

tidaklah sekadar merujuk

yang berpindah dari pusat wilayah,

bentuk dan fungsinya sebagai

yakni Bakung, Baka, Bem, Jalan, Kayan,

hunian, namun juga kebudayaan yang

Kulit, Timai, Tau, dan Tukung, seperti

melingkupinya, termasuk sejarah, bahasa,

disampaikan oleh beberapa peneliti (Edi

relasi sosial, dan terutama manusianya.

Sedyawati, EKM. Masinambow, Gunawan

Dari asal-usul katanya, uma berarti rumah

Tjahyono, dkk) dalam buku Konsep Tata

atau peternakan, dadoq berarti besar,

Ruang Suku Bangsa Dayak Kenyah di

panjang, atau tinggi, maka itu uma dadoq

Kalimantan Timur (1995).

berarti rumah panjang. Kata lain rumah

Rumah panjang orang Dayak

panjang yang biasa diucapkan oleh suku-

merupakan bentuk arsitektur vernakular

suku di Kalimantan adalah betang dan

Kalimantan, satu hunian bertata susun

lamin. Meski setiap suku membangun

memanjang dengan atap berbubung

jenis rumah panjangnya sendiri, cara

dan beranda yang dihuni sampai ratusan

pembangunan dan pengaturan ruangnya

orang. Orang Kenyah rata-rata petani

mirip. Rumah panjang Kenyah pun mirip

yang bisa harmonis tinggal bersama di

rumah tetangga mereka, suku Kayan.

satu rumah panjang. Pada masa lampau,

Dayak Kenyah yang tersebar di seantero

panjang bangunan besar uma dadoq bisa

Borneo, dan paling banyak menempati

mencapai 250 meter, disokong pilar-pilar

Kalimantan Timur itu, pada mulanya

kayu ulin yang ditancapkan ke dalam

terpusat di sepanjang Sungai Baram dan

tanah. Kayu ulin juga digunakan untuk

Gunung Apo Kayan. Mereka lantas hidup

menyangga atap. Adapun lantai dan

berpindah-pindah karena mengikuti

dinding menggunakan kayu keras. Bagi

kaidah pertanian ladang berpindah.

orang Dayak yang lahir sebelum tahun Hiasan dinding di Umah Rukun Damai, Kalimantan Timur. Bagian atas dinding serupa dengan langit, dihias dengan gambar awan dan burung; bagian tengahnya gambar wajah manusia, harimau, dan hewan lain; bagian bawah isi reptil dan hewan merayap lainnya. 1.Amin biasa, 2.Amin bangsawan, 3. Amin kepala suku (di pusat rumah panjang), 4.Perapian, 5. Serambi bersama, 6.Perapian.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 101


foto: Arief Nurdiansyah

bagian tak terpisahkan dari kehidupan

Kehidupan dalam Uma Dadoq Rumah panjang sudah menjadi

mereka. Di dalam rumah panjang

bagian dari kehidupan orang Dayak

tersebut proses sosial terjalin harmonis

sejak ratusan tahun silam. Dalam

dan manis, dari masa kanak-kanak

beberapa catatan perjalanan orang

hingga dewasa. Di sana mereka bermain,

Eropa, seperti A.W. Nieuwenhuis yang

memasak, hingga memperbincangkan

menyusuri pedalaman Kalimantan pada

hukum adat.

tahun 1894, disebutkan keramahan

Kini rumah panjang seperti itu –

dan kerendahan hati orang Dayak serta

terutama yang panjaaaang sekali-- jarang

keberadaan rumah panjang. Di beberapa

dijumpai karena keluarga kecil makin

tempat persinggahan, Nieuwenhuis dan

membutuhkan privasi sehingga satu

rombongan menginap di rumah panjang,

per satu memisahkan diri dari keluarga

terutama yang berada di tepi Sungai

besar dan membangun rumah sendiri.

Kapuas dan Mahakam, dengan ketinggian

Pada tahun 1995 masih dijumpai uma

tiang sekitar delapan meter. Jalan masuk

dadoq sepanjang 30 meter yang dihuni

ke rumah menggunakan tangga dari

9 keluarga dengan 64 orang anggota,

batang pohon yang diberi takikan kecil

kepala klennya bernama Pak Bayaq dan

untuk pijakan kaki, tanpa pegangan

Bu Tudong. Kini, jika ingin melihat uma

tangan (Hartatik dalam jurnal Naditira

dadoq, kita bisa berwisata ke Desa Adat

Widya Vol7 No1/2013 berjudul Rumah

Pampang, desa adat terdekat dari pusat

Panjang Dayak Monumen Kebersamaan

kota Samarinda, berjarak sekitar 23

yang Kian Terkikis Oleh Zaman: Studi Kasus

kilometer.

Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat).

102 INDONESIANA VOL. 10, 2021

foto: Arief Nurdiansyah

1970-an, rumah panjang merupakan

(atas) Uma Dadoq tampak Muka. (bawah) Pria Dayak sedang beristirahat dalam Uma Dadoq.


Rumah panjang Kenyah berdiri di atas

pasar. Hunian bukanlah komoditi

foto: Dok. Rafli L. Sato

foto: Dok. Rafli L. Sato

(kiri) Akses ke umah dadoq adalah melalui tangga berlekuk besar dengan ornamen khas. (kanan) Sambang lawing, tiang totem yang berfungsi sebagai penjaga rumah dan tempat tinggalnya.

Dalam keharian, usei menjadi tempat

tiang-tiang kayu yang ditanam dalam

melainkan komuniti. Meski demikian,

produksi bahan yang siap dimasak, juga

tanah, ruang di bawah untuk gudang

hierarki sosial itu tetaplah ada, dari

semacam emperan untuk menjemur

dan ternak piaraan. Unsur penyangga

yang tertinggi kaum aristrokat, lalu

gabah, jagung, jahe, dan lain-lain. Usei

berat utama dilubangi, sementara

orang biasa atau rakyat jelata, hingga

juga digunakan untuk menerima tamu,

unsur-unsur yang lebih ringan hanya

budak yang bekerja di sawah-sawah dan

maka itu dilengkapi dengan bangku

diikat. Tiang rumah terbuat dari kayu

ladang-ladang milik kaum bangsawan.

panjang yang disebut pagen, tempat

besi (Eusideroxylon zwangerii), atap

Kaum budak bahkan bisa dikorbankan

orang-orang duduk untuk berkomunikasi

sirap terbuat dari bahan yang sama.

dalam suatu upacara ritual.

antar anggota dalam satu uma dadoq

Jalan masuk melalui tangga-tangga

Kedudukan ketua di masyarakat

atau antar uma dadoq. Usei di depan

terbuat dari batang pohon yang ditakik,

terlihat pada pembangunan rumah

amin petinggi biasanya menjadi

terletak di salah satu ujung bangunan

panjang baru yang selalu dimulai

tempat berkumpul tetua adat. Secara

dan tempat-tempat strategis lainnya di

dengan didirikannya tiang utama yang

arsitektural, usei merupakan ruang

sepanjang bangunan (Gunawan Tjahjono

menunjang lantai bilik (amin) milik

terbuka di bawah lindungan atap, namun

dalam Encyclopedia Indonesian Heritage

sang ketua klen, diikuti penancapan

keunikan usei adalah pada pelayanan

Series Vol 6: Architecture, 1998).

tujuh tiang amin milik kepala suku.

kegiatannya yang serbaguna, bukan pada

Setelah itu barulah berturut-turut amin-

struktur fisiknya. Usei dibikin terbuka

rumah dalam arti bangunan tetapi

amin milik keluarga lain, menambah

untuk memudahkan pengawasan

merujuk pada pengertian tempat tinggal

panjang rumah ke kedua sisi. Di dalam

kegiatan anak-anak, misalnya, semacam

komunitas yang dipimpin oleh petinggi

uma dadoq dibangun bilik-bilik yang

“pos ronda”.

dari marga tertentu. Tidak pernah

bersebelahan, dihubungkan dengan

muncul keinginan untuk menjual rumah

beranda umum yang disebut usei.

Uma sebetulnya bukan sekadar

meski mereka sudah mengerti ekonomi

Sebagai tambahan, ada pintu kedua lebih kecil dan tersembunyi di dinding yang sama, jalan keluar jenazah

2021, VOL. 10 INDONESIANA 103


(kiri) Perempuan Suku Kenyah sedang mengolah serat, 1931-1932. (KITLV 173848) (tengah) Perempuan Suku Kenyah sedang membuat manik-manik di Apo Kayan, Kalimantan Timur, 1931-1932. (KITLV 173858). (kanan) Wanita Suku Kenyah menunjukkan hasil manik-manik buatannya yang terdapat pada tas gendong anak. 1931-1932 (KITLV 173861) foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

untuk terakhir kalinya, agar orang yang

dari setengah bubungan atap. Tidak

tengah tempat kepala keluarga besar dan

meninggal mengambil jalur lain dari jalur

ada jendela tetapi beberapa amin

keluarga airstokrat jika musuh dari desa

orang yang masih hidup.

memiliki pembukaan dinding terluar,

lain datang menyerang.

lainnya memiliki pintu belakang di

Pembagian Amin Bilik untuk keluarga aristokrat lebih

belakang. Meski bentuknya bilik di dalam rumah

Antropolog Sian E Jay dari Oxford University dalam Top 100 Cultural Wonders of Indonesia, (2012) menggambarkan

luas, sedangkan bilik untuk keluarga

besar, bisa dikatakan bilik itu adalah

bahwa hierarki sosial adalah lumrah

biasa lebih kecil. Ukuran tempat tinggal

apartemen kecil yang privat, ditandai

dan naluriah. Pembangunan amin

pribadi secara kasar sekitar sembilan

dengan adanya dapur di masing-masing

untuk kaum aristokrat paling istimewa,

meter lebar dan kedalaman enam

bilik sehingga masing-masing keluarga

waktunya lebih lama dan upayanya

sampai sembilan meter, hubungan

bisa memasak sesuai selera. Dulu, bilik

lebih keras. Atap dan langit-langit amin

bertetangga cukup dekat, bagian

yang berada di paling ujung ditempati

milik ketua klen adalah yang paling

dinding pemisah amin setinggi kurang

budak-budak, satu fungsinya adalah

tinggi. Dekorasi motif tertentu berupa

untuk melindungi bilik utama yang ada di

ukiran dan mural hanya diperuntukkan

104 INDONESIANA VOL. 10, 2021


foto: Arief Nurdiansyah

untuk kaum bangsawan, sedangkan

Seorang Pria Kenyah mempersiapkan tiang untuk ritual pengorbanan di samping Apo Kayan, 1931-1932, (KITLV 174566).

memakainya, karena pola dan motif mural mengindikasikan status pemilik amin. Desain paling menonjol dan unggul

Penari Topeng Kenyah di Apo Kajan,1931-1932. (KITLV 174564)

adalah aso atau anjing, gambaran leluhur yang antropomorfik. Ketua klen juga boleh melukis dinding biliknya dengan mural secarai detail dan rumit.

dan ruang yang dipikirkan. Suku-suku di pedalaman Kalimantan sejak ratusan tahun lalu telah membuktikan itu, membikin karya sekeren uma dadoq, rumah untuk kebersamaan. (Susi Ivvaty, founder alif.id)

foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Arsitek Louis Kahn mengatakan, arsitektur adalah pembuatan tempat

foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

Uma Dadoq tampak depan

rakyat jelata tidak diperkenakan

2021, VOL. 10 INDONESIANA 105


Meredupnya Pamor Ritual

Manten Kucing

Tra di si Li s a n

106 INDONESIANA VOL. 10, 2021

foto: Luqman Hakim


Suara Yuni (60) terdengar antusias saat ia bercerita tentang masa keemasan tradisi manten kucing. Sebagai mantan Kepala Seksi Penghayat Kepercayaan dan Tradisi Disbudpar Tulungagung, perempuan yang akrab dipanggil Bu Yun tersebut menjadi saksi naik-turunnya pamor manten kucing. Ia menuturkan, manten kucing mulai mendapat perhatian Pemkab Tulungagung sejak otonomi daerah tahun 2001. Perhatian tersebut berlanjut hingga puncaknya, pada tahun 2005, saat manten kucing tampil di TMII Jakarta sebagai perwakilan kebudayaan dari Jawa Timur. Setahun berselang, tahun 2006, manten kucing tampil di Festival Kesenian Kawasan Selatan (FKKS) yang diadakan di Candi Penataran, Blitar. Selanjutnya, kapan pun festival kebudayaan dihelat di Jawa Timur, manten kucing sebagai wakil Kabupaten Tulungagung tak pernah absen berpartisipasi. Antusiasme Bu Yun mendadak redup saat teringat kejadian tahun 2010, saat Majelis Ulama Indonesia Tulungagung mengecam ritual ini. Saat itu Bu Yun bersama dengan Radar Tulungagung, berinisiatif untuk mengadakan Festival Manten Kucing sebagai rangkaian kegiatan hari jadi ke 805 kabupaten berjuluk Kota Marmer tersebut. “Tujuan kita mengadakan festival itu ingin mengenalkan kepada anak-anak kecil yang belum tahu, o manten kucing itu seperti itu,” ujarnya. Kamis, 25 November 2010, festival yang diikuti oleh 19 kecamatan di Tulungagung itu akhirnya digelar. Para peserta, dengan kreatifitas masing-masing, menampilkan pertunjukan manten kucing dengan sangat atraktif. Penonton membludak memadati trotoar jalan utama Kabupaten Tulungagung. Semuanya berjalan lancar, hingga ada satu peserta yang bertindak di luar ketentuan. Pada saat tampil, alihalih memandikan kucing sebagaimana kesepakatan dalam technical meeting, peserta tersebut malah “mengawinkan” sepasang kucing dengan tata cara Islam. Tak pelak, kejadian itu menyulut protes keras dari MUI Tulungagung yang menganggap ritual tersebut

foto: Luqman Hakim

melecehkan nilai-nilai Islam. Merespon kecaman tersebut, Heru Tjahjono, Bupati Tulungagung saat itu, memohon maaf dan berjanji untuk tidak lagi menampilkan acara yang mengundang kegaduhan. Sejak saat itu pamor ritual manten kucing pun memudar.

Arak-arakan secara sederhana menuju lokasi pemandian prosesi memandikan kucing.

Berawal dari Kemarau Panjang Di wilayah asalnya, Desa Pelem, manten kucing merupakan ritual yang dilaksanakan dengan cara memandikan sepasang kucing di punden bernama Coban Kromo, kemudian dilanjutkan dengan slameten dan ditutup dengan tiban. Ritual ini dilaksanakan kala kemarau panjang melanda. Hujan merupakan bagian penting dari desa agraris ini. Berdasarkan data BPS 2019, luas sawah Desa Pelem mencapai

149,40 Ha dan 108,60 Ha diantaranya merupakan sawah tadah hujan. Hal ini menjadikan hujan sebagai siklus kunci yang menggerakkan aktivitas sosio kultural desa tersebut. Kebutuhan akan hujan inilah yang pada gilirannya melahirkan ritual manten kucing. Nugroho Agus (56), mantan lurah desa yang berhasil mengangkat ritual manten kucing ke tingkat kabupaten, menceritakan bahwa ritual ini berakar dari kemarau panjang dan mitos Eyang Sangkrah. Ia

2021, VOL. 10 INDONESIANA 107


Pengiring manten kucing sedang menuju lokasin pemandian

foto: Luqman Hakim

foto: Luqman Hakim

108 INDONESIANA VOL. 10, 2021

menuturkan, dulu kemarau panjang pernah melanda wilayah yang kini disebut Desa Pelem. Sawah gagal panen dan kelaparan menghantui desa. Masyarakat yang gelisah mencoba bermacam cara guna mendatangkan hujan. Akan tetapi, tak satu pun yang membuahkan hasil. Hal itu berakhir saat Eyang Sangkrah yang masih keturunan pembabat desa (Mbah Brahim) dipercaya mandi di sumber air yang kini disebut Coban Kromo. Saat mandi, kucing condromowo (kucing hitam legam) kesayangannya tiba-tiba meloncat ke dalam sumber air dan mandi bersama pemiliknya. Tak lama berselang, langit mendadak menghitam. Awan pekat menggantung di Desa Pelem dan memuntahkan hujan di bumi yang kerontang tersebut. Masyarakat bersukacita. Mereka lantas menghubungkan hujan yang tiba-tiba itu dengan mandinya Eyang Sangkrah dan kucing condromowonya di sumber air. Agus menambahkan bahwa saat Desa Pelem dipimpin oleh Demang Suto Medjo, kemarau panjang kembali datang. Demang Suto Medjo lantas mendapatkan wisik untuk kembali mengadakan ngedus (memandikan) kucing. Saat itu, dua kucing sebagai perlambang Eyang Sangkrah dan

kucing condromowonya mulai dipakai. Dua kucing tersebut diambil dari Dusun Bangak dan Sumberejo sebagai dusun paling timur dan barat dari Desa Pelem. Hal ini merupakan simbol keterlibatan seluruh masyarakat desa dalam ritual tersebut. Kucing lantas dipertemukan di kantor desa, dan dari sana secara bersama-sama diarak menuju Coban Kromo untuk dimandikan. Selepas memandikan kucing, hujan kembali mengguyur desa. Sejak saat itu, kapan pun kemarau panjang melanda, ritual ini dilaksanakan. Ritual ini kemudian terus berkembang. Slametan dan tiban perlahan menjadi bagian tak terpisahkan dalam badan ritual. Di era lurah Nugroho Agus, selain sebagai ritual sakral, manten kucing juga dikemas sebagai seni pertunjukan. Berawal dari inovasi Agus inilah ritual unik tersebut mulai tampil di berbagai hajatan kebudayaan dan mendapatkan nama manten kucing. Tergerus Zaman Selain sarana meminta hujan, bagi masyarakat Desa Pelem, manten kucing berperan sebagai media yang menjembatani masa lalu dan masa kini (mnemonic device). Ingatan tentang nenek


foto: Luqman Hakim foto: Luqman Hakim

moyang serta kejadian zaman dulu terus terawat lewat ritual. Generasi saat ini masih bisa menyerap memori tentang Eyang Sangkrah, Demang Suto Medjo, maupun pengalaman paceklik lewat ritual. Narasi yang terus awet ini pada gilirannya menggumpal menjadi memori kultural dan, pada gilirannya, membentuk identitas kultural Desa Pelem, seperti dikatakan Jan Assman dalam Collective Memory and Cultural Identity (1995:130). Identitas tersebutlah yang menciptakan kerekatan sosial (social cohesion) masyarakat desa, merujuk Andy Green dan Jan Germen Janmaat dalam Regimes of Social Cohesion (2011:6). Setiap kali ritual diadakan, masyarakat berbondongbondong datang ke Coban Kromo. Tanpa memandang jenis kelamin, usia atau status sosial, semua berbaur menjadi satu dalam suasana sakral ritual. Akan tetapi, layaknya tradisi lisan pada umumnya, eksistensi manten kucing tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Perubahan sosial yang cepat membuat ritual manten kucing semakin terhimpit. Padelan (52) Kaur perencanaan Desa Pelem yang juga aktif dalam pelaksanaan ritual manten kucing, mengatakan bahwa selain persoalan klasik seperti gesekan dengan paham agama yang mendiskreditkan ritual, manten kucing juga berhadapan dengan pergeseran komoditas pertanian. Ia mengatakan, beberapa tahun belakangan tembakau mulai digandrungi karena nilai ekonominya yang tinggi. Data BPS Tulungagung tahun 2019 menunjukkan bahwa produksi tembakau Desa Pelem mencapai 490,21 Kw, atau menempati posisi kedua setelah Desa Wates di Kecamatan yang sama. Hal ini tentu saja membuat pelaksanaan ritual manten kucing menjadi tidak seleluasa sebelumnya. Tembakau, yang tidak membutuhkan banyak air, membuat pelaksanaan ritual manten kucing harus melalui proses negosiasi terlebih dahulu. Lebih jauh, kemajuan teknologi, seperti mesin pompa juga membuat air bisa dengan mudah didapatkan tanpa harus menunggu hujan. Pada kesempatan terakhir saya bertandang ke lokasi ritual dalam pendataan PPKD (Pokok Pikiran

(atas) Membawa manten kucing, (bawah) prosesi memandikan kucing

Kebudayaan Daerah) tahun 2018 yang lalu, isu yang mengejutkan bahkan terlontar dari Padelan. Selain karena penebangan liar yang memang marak, pegunungan yang ada di Desa Pelem kini diam-diam diincar investor untuk dijadikan tambang. Pertambangan yang cenderung destruktif tidak hanya mengganggu sumber air, namun juga ekologi secara luas. Bila sumber air terganggu atau hilang, bisa dipastikan ritual manten kucing juga akan punah. Di samping masalah eksternal tersebut, masalah internal juga membayangi ritual

ini. Proses pewarisan yang tidak berjalan membuat ritual ini seolah berada di ujung tanduk. Memang pada tahun 2018 ritual ini ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Akan tetapi, di tengah pergeseran sosial dan lika-liku masalah yang menghimpitnya, muncul sebuah pertanyaan: Mampukah penganugerahan WBTb itu menjawab persoalan yang membayangi manten kucing? (Luqman Hakim, Mahasiswa Magister Kajian Tradisi Lisan di FIB UI)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 109


S ejara h

Lasem yang kita kenal melalui media arus utama dan media sosial identik dengan pecinan, karena kota kuno Lasem memang kini banyak pecinan, yang berkembang sejak bermukimnya warga etnis Tionghoa pada abad ke-15. Kalau kita tarik ke belakang sampai abad ke-7 atau lebih jauh lagi ribuan tahun lalu, kawasan pesisir Lasem dan sekitarnya telah dihuni oleh nenek moyang kita para penutur Austronesia, menilik bukti-bukti arkeologis yang ditemukan.

Cerita Keberagaman dari

Lasem

(Atas) Masjid Jami Lasem. (bawah) Bangunan cungkup Makam Mbah Sambu di Masjid Jami Lasem

110 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Data sejarah dan arkeologi di Kecamatan Lasem Rembang, Pantai Utara Jawa Tengah menyimpan banyak cerita tentang perjalanan orang-orang berbangsa-bangsa. Tidak banyak tempat di Indonesia yang memiliki data arkeologi selengkap Lasem. Situs-situs arkeologi di Lasem dapat bercerita tentang pelaut prasejarah dari 4000 tahun yang lalu. Temuan perahu kuno dari abad ke-7 hingga ke-8 berkaitan dengan Mataram Kuno, Sriwijaya, serta jaringan peradaban Buddhis. Perahu itu juga memberi bukti keberadaan pelabuhan Majapahit abad ke-14 dan puncak pengaruh peradaban Hindu serta migrasi masyarakat Tionghoa yang membentuk pecinan abad ke15 hingga ke-20. Dari Lasem kita bisa mengetahui persebaran Islam pada abad ke-16 melalui jaringan perdagangan dengan Dinasti Ming dan kesultanan di pesisir-pesisir Asia Selatan, cerita

foto: Feri Latief

kolonialisme Eropa pada abad ke-17, hingga pangkalan tentara Jepang selama Perang Dunia II. Peninggalan kebudayaan prasejarah yang paling monumental adalah situs pemakaman di Desa Plawangan dari sekitar 4000 tahun yang lalu, selain situs-situs di Desa Leran dan Kragan, Rembang. Penelitian arkeologi terhadap lebih dari 40 kerangka di pemakaman tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki kekerabatan genetik dengan masyarakat Jawa sekarang, memiliki kebiasaan mengunyah sirih pinang dan mengupam gigi yang merupakan budaya masyarakat penutur Bahasa Austronesia. Peninggalan bekal kubur mereka berupa nekara, tembikar, manik-manik, uang kepeng, benda logam, dan lain-lain bercerita bahwa mereka tergabung dalam jaringan perdagangan luas wilayah Asia Tenggara.


Kekuasaan Majapahit Pada naskah Negarakertagama (1365 M) dituliskan bahwa Lasem merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit dan dipimpin oleh seorang perempuan yang bergelar Bre Lasem. Masyarakat Lasem meyakini bahwa Keraton Bre Lasem terletak di sekitar Masjid Jami Lasem sekarang. Pada kebun penduduk di barat Pasujudan Sunan Bonang terdapat batu andesit yang dipahatkan gambar stupa yang mencirikan kebudayaan Buddhis. Pada sebelah timur Sungai Dasun dan Pecinan Lasem, di daerah Pantai Bonang terdapat peninggalan-peninggalan berupa pasujudan, masjid, makam, dan pemukiman yang dikaitkan dengan tokoh

penyebar Islam, Sunan Bonang. Tokoh sejarah ini dalam tradisi Jawa adalah putra sulung Sunan Ampel yang beraktivitas pada paruh kedua abad ke-15. Dinasti Islam Demak berasal dari Tiongkok dan ada hubungan dengan Palembang. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa Lasem merupakan salah satu daerah bersejarah penting yang mewakili masa kedatangan Cina muslim di Jawa pada

(Atas) Peta Delineasi Lasem Perkembangan Kota Lasem Lama. (bawah) Foto udara Desa Soditan

abad ke-15 dan perkembangan Islam di Jawa yang berupa akulturasi kebudayaan Cina--Jawa muslim.

foto: Feri Latief

foto: Feri Latief

Di Desa Punjulharjo, Rembang, sekitar 5 km di timur pesisir Lasem terdapat temuan perahu kuno dari abad ke-7 dan ke-8. Berdasarkan penelitian terhadap kayu perahu tersebut, diketahui bahwa perahu ini dibuat di luar Jawa, kemungkinan di wilayah Sumatera, Kalimantan, atau Semenanjung Malaysia. Berdasarkan struktur ikatnya yang kuat, lambung perahu ini kuat dan fleksibel sehingga dapat berlayar di laut lepas. Lokasi penemuan menunjukkan, perahu ini berlayar ke pedalaman melalui muara sungai tua yang terletak ±500 m dari garis pantai. Perahu ini mungkin digunakan pedagang untuk beraktivitas di pedalaman melalui muara.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 111


foto: Feri Latief

Batu Berukir Stupa di dekat Pasujudan Sunan Bonang. Dolmen di timur Pasujudan Sunan Bonang

112 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Di dekat pasujudan Sunan Bonang, terdapat dolmen yang mencirikan tradisi megalitik yang merupakan tradisi dari zaman prasejarah, bahkan pasujudan Sunan Bonang tersebut berbentuk dolmen. Hasil penelitian arkeologi di pesisir Lasem juga menunjukkan, terdapat pemakaman yang bercorak budaya Islam dengan jenazah menghadap ke barat namun menunjukkan tradisi prasejarah, yakni menyertakan bekal kubur berupa gerabah kuno. Kemungkinan besar ketika masa penyebaran Islam di abad ke-15 dan ke-16 atau mungkin hingga masa kesultanan, masyarakat umum di luar keraton masih menjalankan tradisi prasejarah. Pada abad ke-16 dan seterusnya gelombang imigrasi dari Tiongkok ke Pantura semakin banyak karena berbagai alasan antara lain ekspedisi, mencari penghidupan lebih layak, melarikan diri, dan berdagang. Pada abad ke-17 M ketika Mataram Islam berkuasa, Sultan Agung mengangkat seorang Tionghoa

peranakan menjadi Adipati Lasem. Daerah Kauman merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Jawa Kuno dari Masa Majapahit pada abad ke-14 hingga Masa Mataram Islam pada abad ke-17 di Lasem. Ikon daerah Kauman adalah Masjid Jami Lasem yang yang didirikan pada abad ke-16. Pada barat laut bangunan masjid terdapat bangunan cungkup yang dibuat dari susunan bata berlepa berdenah bulat dan memiliki tiga kubah atap yang menaungi makam Mbah Sambu (dan istrinya), tokoh Tionghoa peranakan penyebar Islam pada akhir abad ke-16. Lasem seperti layaknya daerah lain di Nusantara terikat dalam rantai jaringan perdagangan global yang dimotori oleh permintaan dunia terhadap pala dan cengkeh yang hanya tumbuh di Kepulauan Maluku. Aroma rempahrempah tersebut menghantarkan penduduk Nusantara ke dalam dialog dunia antara lain tradisi prasejarah, Hindu, Buddha, dan Islam. Namun aroma rempah juga mendatangkan dentuman meriam kapal-kapal pedagang bangsabangsa Eropa yang ingin memonopoli perdagangan rempah langsung dari asalnya. Spanyol, Portugis, Inggris, dan


foto: Feri Latief

foto: Feri Latief

Belanda saling bertarung bersama penguasa-penguasa Nusantara di lautan dan pulau hingga Belanda melalui VOC-nya berhasil mendominasi dan mendirikan koloni di Ambon dan Batavia (Jakarta sekarang) pada abad ke-17. Pada tahun 1740 M terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia kepada VOC yang dikenal sebagai peristiwa Geger Pecinan. Pemberontakan tersebut mengakibatkan pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia sehingga banyak yang mengungsi ke Lasem dan tinggal di desa-desa sekitarnya. Konflik tersebut berlanjut di Lasem pada tahun 1741 dan dikenal sebagai peristiwa Perang Kuning. Perlawanan terhadap VOC di Lasem dipimpin oleh Oey Ing Kiat yaitu Adipati Lasem di bawah Mataram Islam, Tan Kee Wie seorang pengusaha kaya, dan Raden Panji Margono yaitu putera Adipati Tejakusuma V di bawah Mataram Islam. Pada tahun 1745, pemberontakan digagalkan dan Lasem dikuasai oleh VOC Belanda. Belanda tidak pernah mendirikan pemukimannya di kota ini, mereka hanya mendirikan tangsi militer di dekat muara sungai dan mengubah aliran sungai di depan permukiman Tionghoa sehingga dok kapal tidak langsung berada di depan rumah. Pada tahun 1750, Belanda mengubah alun-alun menjadi pasar dan

menjual istana adipati kepada orang Tionghoa yang kemudian memanfaatkan lahannya untuk membangun toko. Sejak saat itu seluruh daerah Lasem merupakan pecinan. Lasem merupakan pecinan yang unik dibandingkan dengan pecinan-pecinan di Indonesia dan Asia Tenggara. Pecinan di Asia Tenggara umumnya merupakan satu daerah kecil tetapi mendominasi seluruh kota. Pecinan Lasem sebaliknya lebih terintegrasi ke permukiman Jawa karena kurangnya kontrol pemerintah kolonial. Pecinan Lasem termasuk ke dalam jaringan perdagangan candu di Asia melalui Singapura yang berkembang pada abad ke-19 dan menjadi kota yang sangat kaya. Kekayaan tersebut menghasilkan bentuk tata kota unik dengan arsitektur rumah-rumah mewah yang khas dengan tembok keliling yang dapat kita nikmati saat ini. Juga ada kekayaan batik serta kulinernya yang sangat terkenal. Kembali kepada pertanyaan dari mana kita datang dan ke mana kita menuju, Lasem menawarkan suatu sudut pandang, bahwa kita di antara berjuta orang yang mendiami ribuan pulau di Khatulistiwa yang mengikatkan diri sebagai bangsa Indonesia berasal dari banyak tempat. Kita mungkin datang sebagai pedagang, pelarian, penyebar suatu agama, yang semuanya tentu berharap mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

foto: Feri Latief

Perahu Kuno Punjulharjo. Pembatik senior di Rumah Batik Nyah Giok. Salah satu Bekal Kubur pada Makam Prasejarah Plawangan.

Pelaut prasejarah yang dimakamkan di Situs Plawangan itu, jika hidup kembali, mungkin sangat senang menemukan keturunannya masih mengunyah sirih pinang hingga saat ini. Mbah Sambu, ulama peranakan Tionghoa mungkin tidak menyangka suatu saat keturunannya akan menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4. Lima ribu tahun di Lasem memberikan gambaran bahwa kita tidak pernah menutup diri dan selalu menjadi bagian dari dialog dunia. Buktibukti sejarah dan arkeologi memberikan gambaran asal-usul kita. (Yosua Adrian Pasaribu dan Feri Latief)

2021, VOL. 10 INDONESIANA 113


Mengupayakan Seni yang Menggerakkan

114 INDONESIANA VOL. 10, 2021

foto: Dok. Tisna Sanjaya

foto: Syefri Luwis

Figur


Dalam obrolan agak santai namun tetap berbobot dengan perupa Tisna Sanjaya, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid berujar, “Kang Tisna, ayo bikin seni yang bermanfaat”. “Semua seni ya bermanfaat,” sahut Kang Tisna. “Bikin yang langsung bermanfaat”, tukas Pak Hilmar. Tentu saja keduanya sudah tahu-sama-tahu. Seni bermanfaat yang dimaksud adalah seni yang punya daya serta menggerakkan kehidupan sosial, bukan sekadar seni yang penuh metafor dan simbolik sebagai ekspresi personal (meski itu juga bermanfaat). Maka dibuatlah kincir air, persis di belakang Umah Budaya Tisna Sanjaya, di Cigondewah, Bandung.

Seni yang menggerakkan. Seni instalasi kincir air di Imah Budaya Cigondewah, salah satu sumber air bersih bagi masyarakat sekitar. Tisna terkekeh saat menceritakan

foto: Syefri Luwis

Sunaryo ingin menukar tanahnya dengan

Rumah Cigondewah telah memberi

obrolan itu kepada kami dari

sembilan lukisan pilihan, Tisna langsung

banyak manfaat. Apa lagi yang akan

Indonesiana, pada suatu Sabtu,

mengangguk. “Sembilan lukisan ditukar

dilakukan di tempat ini, yang lebih idealis,

Maret 2021, di Cigondewah. Sungguh

dengan tanah seluas 530 meter persegi.

di masa yang akan datang?

pembuka perbicangan yang hangat. Apa

Dulu di sini masih lahan kosong, tempat

semua seniman sehangat Kang Tisna

pembuangan sampah warga dan pabrik,”

menjadikan school of art yang berbeda

Sanjaya, ya? Barangkali juga karena

kata Tisna.

dengan ITB, UPI, ISBI. Sekolah seni yang

gagasan mengenai seni yang penuh

Tempat yang kemudian dinamai Umah

Ke depannya saya ingin akan

organik yang tumbuh bareng-bareng

daya itu senapas dengan pemikiran

Budaya Tisna Sanjaya itu pun menjadi

dengan mediun yang ada di sini seperti

dan upaya-upaya yang selama ini ia

ruang serbaguna: untuk pameran, diskusi

plastik, kain, dan air. Menjadi semacam

lakoni. Apalagi jika dikaitkan dengan

warga, diskusi politik, hingga khitanan

creative hub. Galerinya atau pusat

rumah di Cigondewah, serasa membuka

dan ulang tahun. Pernah suatu ketika

studinya bisa di rumah-rumah warga.

bentangan memori Tisna, ketika

lukisan di ruangan dilem untuk dipasangi

Saya ingin mengumpulkan ibu-ibu juga.

menghabiskan masa kecil di kampung

balon ultah. Kata Tisna, itu sudah risiko.

Saya sudah riset selama 12 tahun di sini,

orangtuanya itu. “Dulu kalau saya ke sini

Ada lagi cerita menarik. Pada tahun

untuk disertasi saya. Cigondewah itu

sering dikasih uang, beras, dan lain-lain.

2014 Tisna dan Joko Widodo yang saat

basisnya NU (Nahdlatul Ulama). Selain

Sekarang orang asli sini sudah habis,

itu belum menjadi presiden, membuat

ada memori di sini, juga ingin membuat

pindah, karena tanahnya dijual,” tutur

lukisan bersama di atas kanvas besar.

seni yang punya kepedulian kepada

Tisna.

Kanvas kenang-kenangan itu lantas

masyarakat, anak-anak bisa sekolah di

disimpan di sudut rumah. Suatu ketika

sini, dengan kreativitas apa sajalah tidak

sungai Cigondewah, yang menghasilkan

Tisna mendapati kanvas itu hilang, dan

seperti sekolah formal.

beras tutu hawara geulis berbentuk

ternyata dijual kiloan oleh kerabatnya

Lalu, kalau kita lihat, pendaftar ke

pipih dan sangat pulen. Sungainya

Rp 125.000. Wah, berabe. Segera Tisna

ITB itu mencapai enam ribu untuk seni

sangat bersih. Warisan leluhur itu

membelinya kembali Rp 300.000.

murni, padahal yang diterima cuma 70

kini hilang. Cigondewah makin kotor.

Walhasil, lukisan itu akhirnya dibeli oleh

orang. Anak muda sekian ribu mau apa,

Maka itu, ketika pada tahun 2009 “tuan

kolektor di Mellbourne dengan harga

harus ada terobosan seni. Bagi saya seni

tanah” Cigondewah bernama Ignatius

sangat mahal. Ah, syukurlah.

itu gak hanya estetik, tapi pedagodik, etik,

Dulu ada blok sawah di seberang

2021, VOL. 10 INDONESIANA 115


foto: Syefri Luwis

foto: Jessika Nadya

Karya-karya Tisna Sanjaya di salah satu sudut Imah Budaya. Tisna Sanjaya, Seniman dan Seni yang bermanfaat.

dan empatik. Saya ingin mengumpulkan orang-orang yang punya visi, idealisme,

Masa pandemi justru makin kreatif dan kontemplatif?

bersih dan menghidupi warga sekitar. Itu seni. Jadi seni tidak hanya painting, tapi

keterampilan, yang bisa mengajar,

“Iya, kita jadi berkontemplasi, apakah

misalnya Sardono W Kusumo, Eko

karya saya bermanfaat atau tidak. Sejauh

karena marketnya juga ada. Untuk

Supriyanto, dan teman-teman lain yang

mana karya itu bisa menginspirasi untuk

biaya juga makanya seniman harus

punya ide sama. Kita bisa belajar secara

Kerjasama dengan pihak lain. Pandemi

tekun. Tisna melihat dunia seni rupa

daring juga dan global”.

itu juga sebenarnya berasal dari sini,

Indonesia makin maju. Tolok ukurnya

kita sendiri, misalnya limbah di sungai

apa? Tidak lagi memandang art for art’s

yang sampai ke laut. Selama Korona ini,

sake, kunst für kunst, l’Art pour l’art, seni

Apa lagi yang dikerjakan selama pandemi Covid-19? Oh ya, saya berpameran tunggal di

seni yang merdeka dan menggerakkan,

kita kan tidak mudah untuk berinteraksi,

untuk seni saja, yang ia tidak sepakati

bekas bioskop Dian, 20 Desember 2020

padahal biasanya kolaborasi. Terus

juga. Tidak bisa seni hanya untuk seni,

sampai 28 Januari 2021. Bioskop itu

lihat di medsos, kok masih banyak yang

agama untuk agama, politik untuk

dulu dibangun tahun 1923 oleh Wolff

tangguh, Mas Warno (kurator Suwarno

politik. Bidang apa pun punya daya

Schoemaker. Saya zaman muda suka

Wisetrotomo) bikin buku, Ucok (perupa

untuk memberikan perubahan. Jagat

nonton film India, Cina, coboy di sana,

Aminuddin Th Siregar) tetap nulis. Luar

seni rupa tidak hanya berubah secara

jadi memori akan bioskop itu kuat

biasa. Makanya saya menyumbangkan

wacana, namun juga bentuk dan proses

sekali, dan menginspirasi saya untuk

empat karya grafis yang dipamerakan

penciptaan, seiring perubahan zaman

memunculkan gerakan kebudayaan.

di Art Jog, kepada orang-orang yang

dan kemajuan teknologi. Kini ada

Bangunannya sampai tahun 80-an masih

memberi inspirasi”.

intermedia, media baru, berkolaborasi

bagus, tapi di zaman modern ambruk.

Bincang-bincang kami makin mengalir,

dengan sastra dan teater. Di ITB kini

Aneh sekali, pusat kebudayaan itu

seperti air sungai Cigondewah yang

adalah matakuliah Sendal, yakni Seni

jaraknya hanya “sejengkal” dari rumah

diputar oleh kincir air di belakang

Desain dan Lingkungan, agar mahasiswa

dinas Walikota, tapi ambruk. Saya ingin

rumah. Bagi Tisna, seni murni saja tidak

bisa menginspirasi kotanya.

mengetuk kepedulian pemerintah

cukup, dan secara estetik harus terus

dan semua pihak agar bekas bioskop

dieksplorasi. Maka ia berkolaborasi

itu dikembalikan lagi menjadi tempat

dengan pakar air dan guru besar dari

seni budaya, jadi tujuan pameran tidak

ITB, I Gede Wenten. Saya ingin gimana

dan tantangannya dengan dulu.

semata-mata estetik tapi advokasi juga”.

air dari Cigondewah bisa ditarik jadi

Banyak lulusan seni usia 30-an sudah

116 INDONESIANA VOL. 10, 2021

Bagaimana melihat daya seniman muda sekarang? Generasi sekarang berbeda medium


Takbir - 2018.

beredar ke mana-mana, karena mereka menguasai jaringan. Proses perenungan dan kreatifnya berbeda dengan saya. Mereka memiliki kekuatan tersendiri. Saya sering ngobrol dengan anak-anak muda itu, saya pikir edan ini, prinsipnya, pilihan medianya, tapi kadang tidak dianggap. Waktu saya mahasiswa dulu, orangtua kan juga berpikir begitu, naon ini karya apa ini. Generasi saya, Harsono, Nasirun, Dadang Kristanto, A Rahmayani, ke sininya Melati (Suryodarmo), itu kan generasi 80-an, yang berupaya memerdekakan seni agar banyak ragam. Itu kemudian dibaca oleh anak-anak muda sekarang ini dan mereka pinter. Jadi, semua generasi saling mengisi. Seni yang berdaya itu, masa depannya cerah? Luar biasa, asal pimpinan institusi atau komunitas memiliki visi, tidak hanya untuk kegunaan personal tapi harus menjadi gerakan kebudayaan. Dari seni harus menjadi sesuatu yang besar, bsia jadi peristiwa politik, peristiwa agama. Saya ini, jelek-jelek, menjadi ketua Dewan Kemakmuran Masjid Nurul Huda lho, itu masjid di belakang terminal Ledeng (Bandung). Masjid nahdliyyin (NU) yang suka salawatan, merayakan peristiwa keagamaan. Saya dulu hapal sawalat nariyah dari masjid itu, he-he-he. Tibatiba ada gerakan agama yang cenderung foto: Dok. Tisna Sanjaya

radikal, ada bendera khilafah. Padahal masyarakat di situ sangat heterogen. Lalu kami rapat dan masuklah energi seni. Bikin pemilu, eh saya ditunjuk jadi ketua. Bolehlah tapi jadi imam spesial salat dzuhur dan ashar saja (kami pun terbahak). Sekarang takmirnya seniman, seperti Isa Perkasa, Kholis. Lalu dinding

puisi, lalu masuk lagi salawatan. Mereka

(kaum radikal) itu yang benar (kami

masjidnya dimural.

akhirnya menyingkir sendiri. Jadi maksud

terbahak lagi).

Wow, diprotes?

saya, energi seni bisa masuk ke mana

Itu bagian dari proses, mungkin?

Kami bertahap, bukan teriak, pelan-

pun, meski tidak mudah. Saya disebut

Persis.

pelan, jadi tidak ada yang protes.

DKM liberal oleh keluarga. Nah, tapi saya

Tantangan seniman terkait teknologi?

Lama-lama kami bikin pameran, baca

juga tidak tahu, jangan-jangan mereka

Dengan munculnya ragam media dan

2021, VOL. 10 INDONESIANA 117


ideologi yang macam-macam itu, terasa sekali perubahannya, semua orang harus “update”. Misalnya ngomongin Andy Warhol, eh orang-orang langsung terhubung ke luar negeri. Saat ini semua orang menenteng ponsel. Kalau dulu kan sering kami sering diajak ke alam, lalu disuruh merasakan bagaimana pohon itu, bagaimana akarnya, bagaimana udara, cahaya yang setiap detik berubah yang mempengaruhi gerture, rasa. Kalau mahasiswa sekarang beda. Pohon itu dipotret, lalu mereka masuk ke kafe, menggambar. Kenapa tidak langsung di sana, katanya enak dipotret saja, kan bisa di-zoom.

Potret Diri - 2018.

Ada kelebihannya, tapi ada sesuatu yang hilang. Boleh saja begitu, tapi

(Atas) Ibu, ibu - 2018 (awah) Potret diri sebagai kaum munafik - 2017

hakikat dari penghayatan terhadap suatu objek tetaplah harus diajarkan, mana yang paling benar, tapi harus disadari bahwa ada banyak metode. Kita harus menyatakan argumen yang benar tentang merasakan objek. Hal itu harus disampaikan, jangan sampai

foto: Dok. Tisna Sanjaya

supaya tidak hanya di permukaan. Bukan

mereka (seniman muda, mahasiswa

karena uang tidak seberapa. Tapi kami

seni) menganggap metodenya hanya

menginginkan upaya yang partisipatoris,

satu. Mereka jangan sampai terombang-

penyadaran pada budayawan dan

ambing, tapi dosen juga jangan killer dan

berbagai pihak yang ada di Bandung.

menganggap paling benar. Semuanya

Ketika ada komunitas yang sedang

saling belajar, dosennya juga dan berada

ambruk, ada yang peduli. Harus ada

di tengah masyarakat.

yang menggerakkan. Kita tidak bisa

Sejauh mana peran pemerintah terhadap pemajuan kebudayaan, terutama kesenian? Di tingkat lokal masih jargon, belum

juga mengandalkan pemerintah karena pemerintah banyak urusannya. Memang pemerintah memiliki kewajiban, tapi

membumi. Belum terjadi sebuah

senimannya juga harus punya sisi lain

gerakan. Misalnya kami sedang

selain peristiwa estetik. Punya sikap

menggalang dana, udunan, untuk

negarawan juga. Ada empati.

sanggar di hutan kota Babakan Siliwangi, yang telah melahirkan puluhan seniman. Tempatnya ambruk, hancur. Sudah

Agak personal, bagaimana menjalani hidup sejauh ini? Hidup itu dijalani dengan santai,

terkumpul 70 juta rupiah, masih perlu

mengalir. Memang pada prosesnya

130 juta lagi. Saya bisa saja pragmatis,

perlu konsep, visi, jaringan, tenaga, dan

misalnya menelpon siapa begitu,

sebagianya, supaya sampai pada tujuan.

118 INDONESIANA VOL. 10, 2021

foto: Dok. Tisna Sanjaya


Fokus dalam hidup. Harus punya tujuan, konsisten, punya nyali, dan sosialisasi. Insyaallah bisa bermanfaat bagi orang lain. Tampaknya sudah tercapai semua ya, selesai? Belum, ini baru awal. Besok (Minggu) mau main bola, jadi striker, lho. Ha-ha-ha. Dahsyat. (Susi Ivvaty dan Jessika Nadya Ogesveltry, Indonesiana) Bio Tisna Sanjaya: Ia adalah perupa, pengajar, dan budayawan yang lahir di Bandung, 28 Januari 1958. Dosen di Studio Seni Grafis, Program Studi Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung. Ia menikah dengan Dra. Molly Agustina, M.Pd.;

foto: Dok. Tisna Sanjaya

dengan anak-anak Muhammad Zico Albaiquni, Etza Meisyara, Nadya Jiwa Sarasvati, dan Muhammad Daffa Ananta. Tisna muncul dari generasi perupa kontemporer Indonesia dan Bandung dekade 1980-an dengan gelombang eksperimentasi mereka; namun dengan sikap, gaya, dan bahasa tersendiri. Bermula dari gambar dan etsa dalam seni grafis, penggambaran Tisna terusmenerus menemukan ruang-ruang baru seiring laju zaman. Karyanya berpadu dengan dunia peran, menjadi rupa yang menumbuh di masyarakat, tanpa lepas dari pijakan latar sosial-aktual. Ia membingkai paradoks-paradoks moral yang kecil dan besar di sekitar kita. foto: Dok. Tisna Sanjaya

Beberapa Pameran Tunggal:

Beberapa pameran bersama:

1993

1995

Tiga Menguak Takdir, Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung,

Pameran etsa, litografi, dan performance, di Galerie Brücke, Braunschweig, Jerman.

dengan Diyanto & Agus Suwage.

1997

Katakan Meskipun Pahit dan Berdo’alah, Hamburg, Jerman.

1997

Sapporo International Print Biennale, Sapporo, Jepang.

1998

Art and Football for Peace, Centre Culturel Français de Paris,

1999

The 3rd Asia-Pacific Triennial of Contemporary Ar , Brisbane,

Perancis. 2002

Art and Football for Peace, Hiroshima, Jepang.

2011

Cigondewah: An Art Project, National University of Singapore Museum, Singapura.

2018

Australia. 1999-2002 AWAS! Recent Art from Indonesia: Australia, Jepang, Belanda, Jerman, Indonesia. 2004

Taboo and Transgression in Contemporary Indonesian Art, Cornell

2008

Indonesian Invasion, Sin Sin Gallery, Hong Kong.

2013

Concept, Context, Contestation, Bangkok Art and Culture Centre

2015

Secret Archipelago, Palais de Tokyo, Paris.

University, New York, AS

Potret Diri sebagai Kaum Munafi , Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

(BACC), Bangkok, Thailand.

2021, VOL. 10 INDONESIANA 119


Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Gedung E. Lt. 9, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 4-5, Senayan, Jakarta 10270

114 INDONESIANA VOL. 10, 2021

(021) 5725534 indonesiana.diversity@gmail.com http://kebudayaan.kemdikbud.go.id

Tidak untuk dijual


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.