Indonesiana Vol.15 Kilau Budaya Indonesia

Page 1

Indonesia Bertutur

WargaTerhibur

VOLUME 9 772406 806005 ISSN 2406-8063 15
Ketika Musik Tradisi Unjuk Gigi di Danau Toba Menghimpun Aksi Budaya demi Kehidupan Berkelanjutan
2022
Perahu Sandeq Pewarisan dan Pendidikan Karakter Muhammad Ali bin Achmad (Ali Pon) - Zul Lubis

RESTU GUNAWAN

Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan

Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan

Kata Pengantar

Puji syukur Alhamdullilah di penghujung tahun 2022, Majalah Indonesiana Volume 15 dapat bisa hadir di tengah pembaca yang terhormat. Dengan apresiasi dan antusias masyarakat pembaca setia terhadap majalah Indonesiana, Tim Redaksi Majalah Indonesiana berusaha memberikan yang terbaik agar majalah ini dapat terbit. Majalah Indonesiana tahun ini terbit dalam dua bahasa, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Hadirnya Majalah Indonesiana diharapkan dapat menjadi media diplomasi budaya yang mengenalkan serta menyebarluaskan informasi kekayaan budaya dari berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Tahun ini menjadi tahun yang membanggakan bagi kita, di mana Indonesia

bertindak sebagai tuan rumah perhelatan G20. Mengangkat tema “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia menyalakan semangat untuk pulih bersama dan lebih kuat dalam pelaksanaan berbagai kegiatan, salah satunya pelaksanaan kegiatan kebudayaan yang dilakukan oleh

Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Bentuk semangat berbudaya

terangkum dalam rubrik kabar budaya seperti Indonesia Bertutur, Festival Musik Tradisi Indonesia hingga Menghimpun Aksi Budaya demi Kehidupan Berkelanjutan. Selain itu tersaji juga cerita budaya dari berbagai daerah di Indonesia seperti Perahu Sandeq yang menjadi bagian dari Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia, Revitalisasi Bahasa Daerah Maluku Utara, Membangkitkan Naga di Pecinan Glodok hingga Hutan Adat Cisitu Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo.

Program-program kebudayaan yang dilaksanakan tersebut tidak lepas dari aspek Objek Pemajuan Kebudayaan yakni tradisi, ritual, upacara adat, seni pertunjukan, pengetahuan tradisional dan perayaan kebudayaan – yang tidak hanya sekadar memiliki fungsi praktis namun juga mengandung nilai-nilai yang berhubungan dengan siklus lingkaran hidup manusia. Apresiasi berbagai negara terhadap sajian seni dan budaya selama rangkaian kegiatan G20 tentunya harus menjadi motivasi bagi kita untuk terus mengembangkan, memanfaatkan, melindungi, melestarikan dan tentunya menyebarluaskan ke berbagai pihak. Menyongsong tahun 2023, kita berharap

kondisi bidang kebudayaan Indonesia akan semakin pulih dan baik, hingga semakin banyak nilai budaya yang dapat diangkat dan diketahui oleh masyarakat luas, baik di dalam maupun luar negeri.

Berbagai cerita budaya di Nusantara yang terekam dan tergambar di Majalah Indonesiana volume 15, menjadi bukti komitmen dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, melalui program yang diampu oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan dalam menjalankan misi kebudayaan yang merujuk pada UU Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017.

Semoga bacaan ini menjadi inspirasi bagi setiap pembaca, terutama masyarakat Indonesia, untuk terus berkontribusi dalam memajukan kebudayaan, mengapresiasi karya dari berbagai daerah di Indonesia, dan tetap menjaga nyala budaya.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 1
PENGANTAR

KILAU BUDAYA INDONESIA

Pengarah HILMAR FARID

Pengarah HILMAR FARID

Penanggung Jawab

RESTU GUNAWAN

Direktur Jenderal Kebudayaan

Koordinator Umum

YAYUK SRI BUDI RAHAYU

Penanggung Jawab

RESTU GUNAWA N

Pemimpin Redaksi

SUSI IVVATY

Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaa n

Redaktur Pelaksana

SINATRIYO DANUHADININGRAT

Salam Redaksi

Koordinator Umum & Pemimpin Redaks i

Redaktur Konten

ALFIAN SIAGIAN

BINSAR SIMANULLANG

Redaktur Bahasa

MARTIN SURYAJAYA

Redaktur Pelaksan a SUSI IVVAT Y

Redaktur Foto

SYEFRI LUWIS

Sekretaris

Redaktur Naska h

JESSIKA NADYA OGESVELTRY

MARTIN SURYAJAYA

Desain dan Tata Letak

ALFIAN S. SIAGIAN

ZUL LUBIS

Penyelaras Bahasa

PRIMA ARDIANI

ANNISA MAYASARI

Redaktur Fot o SYEFRI LUWIS

Penerjemah DWI ANGGOROWATI INDRASARI

Tata Letak

WIESKE OCTAVIANI SAPARDAN

Kontributor

Fotografe r

RENNY AMELIA SUSANTI

PRITA WIKANTYASNING

JESSIKA NADYA OGESVELTRY

ANGGORO CAHYADI

YUDHI WISNU ARYAND I

THAMRIN JUNAIDI NADAPDAP

Administrasi

Sekretariat

AHMAD ZUNITA

Hingga tiba di penghujung tahun 2022, pandemi Covid-19 belum sepenuhnya reda, bahkan dikabarkan muncul varian virus baru yang lagi-lagi menjadi momok warga bangsa. Akan tetapi, kita tentu lebih siap menghadapinya setelah serangkaian lara melanda, apalagi vaksin pun telah tersedia. “Pulih Bersama, Pulih Lebih Kuat”, demikian narasi hajatan presidensi G20 yang dihadiri oleh para pemimpin dunia di Bali, September 2022. Pertemuan tingkat menteri bidang kebudayaan di Borobudur juga membawa harapan besar bagi kebudayaan demi kehidupan yang berkelanjutan. Kita menyaksikan gerakan akar rumput mencanangkan Amanat Borobudur. Lebih lanjut mengenainya dapat Anda baca di Indonesiana Vol 15 ini.

POKJA PENGEMBANGAN DIREKTORAT PPK

E. CHRISTISIA MELATI PUTRI SORAYA AIDID

Distribusi

RACHMAT GUNAWAN

HERY MANURUNG

BAYU HARDIAN YUDHI WISNU ARYANDI

Majalah Indonesiana memang sejatinya hadir untuk menggelorakan kerja-kerja kebudayaan di berbagai bidang dan berbagai level di semua wilayah se-Nusantara. Indonesia Vol 15 hadir dengan sejumlah artikel menarik karya para penulis dan peneliti yang mahir di bidangnya. Topik utama masih tentang warisan budaya takbenda yang telah diinskripsi di UNESCO, menyajikan tiga WBTb terakhir yang belum dibahas di volume sebelumnya, yakni tari saman, pantun (nominasi bersama dengan Malaysia), dan keris.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia

Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesi a Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan

Gedung E . Lt. 9 , Jl. Jenderal Sudirman Kav. 4-5 Senayan, Jakarta 10270

Gedung E. Lt. 9, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 4-5 Senayan, Jakarta 10270

(021) 5725534

(021) 5725534

(021) 5725534

indonesiana.diversity@gmail.com

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id

(021) 5725534 indonesiana.diversity@gmail.com http://kebudayaan.kemdikbud.go.i d

Rubrik Kabar Budaya menyajikan beberapa tulisan terkait kegiatan di lingkungan direktorat jenderal kebudayaan, seperti Festival Musik Tradisi Indonesia, Indonesia Bertutur, dan tentu saja “G20 Cultural Ministers Meeting”. Objek-objek pemajuan kebudayaan seperti termaktub dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 dibahas dengan sudut pandang menarik, misalnya tentang perahu sandeq khas suku Mandar Sulawesi Barat, pengetahuan tradisional yang masih terjaga hingga kini. Rubrik wastra menyuguhkan tenun ulap doyo khas suku Dayak Benuaq yang aduhai. Apa lagi? Penasaran? Segera saja bolak-balik lembaran majalah ini.

Majalah Indonesiana bertujuan

untuk promosi budaya Indonesia, dan tidak diperjualbelikan. Komentar atas artikel, foto dan lain-lain ditujukan kepada: indonesiana.diversity@gmail.com

Majalah Indonesiana bertujuan untuk promosi budaya Indonesia, dan tidak diperjualbelikan. Komentar atas artikel, foto dan lain-lain ditujukan kepada: indonesiana.diversity@gmail.co m

Mengutip Richard Schechner (2002), dunia ini rasanya tidak lagi tampak seperti buku untuk dibaca namun suatu pertunjukan untuk kita berpartisipasi di dalamnya. Begitulah asyiknya berkecimpung di alam kebudayaan, kita (seharusnya) tidak sekadar menjadi penonton, namun terlibat kuat, karena kebudayaan Indonesia adalah kita. Bukankah dunia menjadi tampak lebih baik? Selamat membaca!

Sampul depan:

Sampul depan: Gaya bertenaga buruh pabrik genteng Jatisura

Gerak Gerik Raga Bertutur – Irnie Wanda

(foto: Pandu Rahadian )

Sampul belakang :

Sampul belakang: Penari Caci dan kain Songke. (foto: Dodi Sandradi)

Nelayan Sandeq mengarungi lautan lepasMuhammad Ridwan Alimuddin

Pemimpin Redaksi

2 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
2 INDONESIANA VOL. 10, 2021
VOLUME
2021 2 I INDONESIANA VOL. 15 2022 VOLUME
14

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia

Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan

Dunia saat ini menghadapi berbagai tantangan: pandemi, konflik bersenjata, intranegara maupun antarnegara, ancaman terorisme dan ekstremisme, tanggung jawab mengelola arus pengungsi, dan bencana alam. Tantangan-tantangan itu memang serius, menuntut banyak perhatian dan energi. Tidak mungkin hanya satu jenis solusi untuk menyelesaikan semua persoalan pembangunan. Setiap upaya untuk menemukan satu solusi bagi semua masalah hanya akan menambah masalah. Setiap tantangan pembangunan muncul dalam konteks geografis yang unik dan harus diatasi melalui penguatan potensi lokal yang ada, bukan menerapkan resep umum yang dianggap berlaku di mana pun dan kapan pun. Keragaman masalah menuntut keragaman metode, atau lebih baik lagi, keragaman “sebagai” metode.

Dengan cara berpikir demikianlah kita sampai pada budaya. Tidak ada budaya di dunia ini yang tidak dipengaruhi oleh budaya lain. Keanekaragaman budaya bukanlah halangan bagi pembangunan; sebaliknya, keragaman budaya merupakan landasan pembangunan berkelanjutan. Hanya dengan memperhatikan secara serius keragaman budaya, hanya dengan memperhatikan konteks budaya tertentu, kita dapat menciptakan keharmonisan daerah yang menjaga identitas nasional dan sekaligus menumbuhkan rasa kebersamaan dalam komunitas daerah.

Budaya tidak mengenal batas administrasi karena budaya ada sebelum struktur politik modern beserta batas administrasinya. Hibridisasi, peminjaman, dan pengadopsian unsur budaya antar kelompok lintas batas negara merupakan fakta sejarah. Pada saat yang sama, kami menyadari tantangan dan kompleksitas kontemporer kami dalam mengelola keanekaragaman budaya, seperti perubahan iklim, migrasi, pertumbuhan populasi yang cepat, kerawanan pangan, degradasi lahan, perang, teror, konflik, dan ketidaksetaraan. Budaya dan alam saling melengkapi, tidak dapat dipisahkan, dan saling bergantung, yang sangat penting untuk mengatasi tantangan ini. Menciptakan lingkungan yang kondusif sangat penting untuk melindungi keragaman ekspresi budaya. Yang kita butuhkan saat ini adalah upaya pelestarian budaya, konservasi dan pemanfaatan alam secara lestari, partisipasi masyarakat, serta perlindungan dan pemajuan keanekaragaman budaya dan ekosistem alam yang berkontribusi terhadap kesejahteraannya, baik dalam konteks lokal maupun global.

Dengan kekayaan potensi lokal di setiap negeri, terdapat contoh bagaimana pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mengandalkan kekuatan endogen. Fokusnya harus pada penguatan ekosistem budaya masyarakat: melindungi berbagai praktik dan pengetahuan tradisional dan lingkungan alam sekitarnya

yang menginspirasi mereka, menciptakan inovasi dengan sentuhan teknologi yang demokratis, dan membangun jaringan pemanfaatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Untuk mengatasi relasi sosial yang timpang, perlu penguatan peran perempuan dan pemuda dalam menggulirkan inisiatif demi memajukan budaya lokal. Karya konservasi dan inovasi kearifan lokal yang mereka rintis akan mampu memperkuat ekosistem produksi pengetahuan yang sehat dan berkeadilan yang juga harus dibarengi dengan pemerataan akses terhadap sumber daya lokal. Dalam hal ini, keragaman budaya adalah cara kita menemukan jalan keluar dari persoalan hidup sehari-hari.

Untuk itu, saya menyambut baik penerbitan Majalah Indonesiana Volume 15 yang diterbitkan tepat setelah Indonesia berhasil menggelar “G20 Culture Ministers Meeting” dengan pesan kunci “budaya bagi kehidupan yang berkelanjutan”. Semoga lewat bacaan ini, kita semua dapat memetik inspirasi untuk mengolah potensi budaya setempat secara kreatif untuk mencari jawab bagi tantangan-tantangan dunia hari ini.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 3 SAMBUTAN

DAFTAR ISI

SAMBUTAN

1 Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan

2 Redaksi

3 Direktur Jenderal Kebudayaan

TOPIK UTAMA

6 “Quo Vadis” Saman Aceh

12 Satu Pantun Dua Negeri

16 Membumikan Budaya Keris

KABAR BUDAYA

21 Indonesia Bertutur Warga Terhibur

26 Berdaya dan Berbudaya Dimulai dari Desa

30 Menghimpun Aksi Budaya demi Kehidupan Berkelanjutan

36 Ketika Musik Tradisi Unjuk Gigi di Danau Toba

40 Geliat OPK

KOMIKSTRIP INFOGRAFIS

44 Komik Tradisi (Kepercayaan dan Masyarakat Adat) Dit. Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat

46 Nomenlaktur, Balai Pelestarian Kebudayaan

WASTRA

48 Tenun Ulap Doyo Kearifan Dayak Benuaq

52 Perahu Sandeq Pewarisan dan Pendidikan Karakter

56 NYOBENG Sembah Syukur Dayak Bidayuh

PENGETAHUAN TRADISIONAL RITUAL BAHASA

60 Revitalisasi Bahasa Daerah Malut Ngom Ua Nage Ana Adi

4 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Kolaborasi
PEMDA-Masayarakat

WARISAN DUNIA

64 Apa Kabar Tambang Batu Bara

OMBILIN

ARSITEKTUR

68 Rumah Tuo Kampai Nan Panjang Masa Lalu untuk Masa Depan

SENI PERTUNJUKAN

72 Miss Tjitjih Jelang 95 Tahun Sandiwara Sunda

KULINER

76 Mencecap Manis Kipo, Mengunyah Kenangan

ADAT ISTIADAT

78 Sungai Batanghari, Urat Nadi Peradaban

SEJARAH

82 Membangkitkan Naga di Pecinan Glodok

MUSEUM

86 Membentangkan Pesan Melalui Wayang Beber

FIGUR

86 Melati Suryodarmo: Dari Indonesia untuk Dunia

GALERI FOTO

86 Ritual Buka Kampung Maluku Mengenang Patriotisme, Memperbarui Diri

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 5

SAMAN ACEH Quo Vadis

TOPIK UTAMA
Totalitas para penari menjadi ruhRizky Fadly

Sejak tarian saman asal Aceh

ditetapkan menjadi warisan budaya

takbenda (WBTb) oleh UNESCO

pada tanggal 24 November 2011, banyak

harapan tersemat kepadanya, dari rakyat

Indonesia dan warga Aceh khususnya.

Betapa tidak, UNESCO dalam sidang

penetapan yang diikuti sekitar 400

peserta dari 137 negara di Nusa Dua Bali mencatatkan tari saman asal Aceh, yang itu berarti sebuah kepercayaan sekaligus tantangan.

Banyak orang berdecak kagum saat menonton secara langsung tarian saman, mulai dari gerak lekuk yang

ditampilkan, kekompakan, ketepatan, hingga kecepatannya. Popularitas

tari saman di Indonesia

termasuk istimewa,

“geleng-geleng” kepala ini. Setiap kegiatan kecil di sekolah atau desa hingga hajatan akbar pemerintah tingkat nasional, tari saman menjadi favorit dan selalu hadir. Tampilannya tak mengenal waktu, baik pada saat pembukaan acara formal atau non formal, penerimaan tamu, festival, bahkan pada penutupan acara apapun. Tari saman sangat luwes dan populer untuk ditampilkan di mana pun dan kapan saja, meski kemudian makna filosofinya mulai terkikis.

Menyoal Asal Usul

tidak

berbeda dengan di Aceh, tempat asal lahir tarian

Saat tari saman mulai muncul ke tingkat nasional dan bahkan internasional, terutama pasca perdamaian Aceh, persoalan-persoalan mendasar mulai terkuak. Asal usul tari saman misalnya, ataupun susunan gerakan dalam tarian tersebut, juga lirik syair (lagu) di dalam tarian. Alih-alih perkembangannya hingga saat ini, sejarah tari saman pun kini diperdebatkan, yang oleh sebagian pendapat saling mencari dalil untuk memperkuat argumentasinya.

Meskipun asal usul tari saman disebut diprakarsai dan diperkenalkan oleh Syekh Saman, akan tetapi biografi tokoh ini pun tidak dijumpai secara detail. Beberapa sumber menyebutkan --meskipun harus ada pembuktian terhadap kajian-kajian sebelumnya-- bahwa Syekh Saman datang ke Aceh dan menyebarkan ajaran tarekatnya dengan syair dan gerakangerakan zikir. Namun di dalam berbagai sumber kontemporer, baik buku ataupun media daring, hanya disebut nama Syekh Saman yang datang dari Madinah ke Aceh pada abad ke-18 Masehi, tidak ada informasi lebih lanjut yang lebih komprehensif.

Dalam catatan Snouck “De Atjehers” disebutkan bahwa saman berasal dari tradisi luar yang meresap dalam tradisi tarian masyarakat Aceh. Diyakini bahwa tarian saman diadopsi dan dikembangkan dari tarekat Samaniyah (sammaniyyah) yang dibawa dari Madinah, kemudian tradisi keagamaan tersebut digemari oleh anak negeri yang beragama Islam. Namun tidak ada

informasi bagaimana kemudian tarian saman masuk ke pelosok dan menyatu dengan masyarakat di tanah daratan tinggi, oleh sebab tarekat Saman atau Samaniyah itu beredar di pesisir Aceh.

Patut menjadi catatan bahwa tarekat Samaniyah, yang kemudian dianggap sebagai inisiator lahirnya tarian saman, diinisiasi oleh Syekh Muhammad bin

Abdul Karim al-Samani al-Hasani alMadani (1718-1775) yang menyebar ke beberapa kawasan, seperti Maroko, Sudan, Mesir, dan termasuk ke Indonesia.

Khusus di Aceh, tarekat Samaniyah juga digandrungi selain tarekat-tarekat muktabarah lain pada masa tersebut.

Walaupun belum ada penelitian komprehensif terkait persebaran tarekat tersebut di Aceh, akan tetapi ada tokohtokoh penting menjadi pengikut dan penyebar tarekat Saman, seperti Syekh Muhammad Saman yang berguru kepada Syekh Marhaban dan Muhammad Saleh. Tokoh-tokoh utama tersebut sezaman dengan Teungku Chik Di Tiro di masa rakyat Aceh melawan kolonial Belanda,

bahkan Syekh Saman masih memiliki tali kekeluargaan dengan panglima besar Chik Di Tiro.

Lantas, benarkah mereka yang menyebarkan ajaran tarekat Samaniyah berafiliasi kepada penemu tarian saman?

Apakah Syekh Saman dan para penyebar tarekat lainnya memiliki kesamaan konsep terhadap tarian saman, atau itu salah satu kreasi yang dikembangkan oleh pengikut-pengikut tarekat

Samaniyah. Perlu ditambahkan, tokohtokoh tersebut tinggal dan berada di

Saman berbeda dari ratoeh jaroehttps://www.shutterstock.com/ image-photo/aceh-indonesia-august-13-2017-10001-1658244697

8 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

kawasan pesisir pantai utara Aceh, bukan dari dataran tinggi dan pedalaman.

Terlepas dari berbagai persoalan historis asal usul dan penyebaran tari saman di Aceh yang belum tuntas, muncul persoalan lain, yakni hak klaim dan status dasar tari saman yang disebut berasal dari wilayah tertentu di Aceh. Muncul protes dari pihak lain yang menganggap merekalah yang lebih berhak mendapat hak kepemilikan tarian saman. Persoalan tersebut muncul saat tari saman mulai menyebar antardaerah, melintasi

wilayah-wilayah di seluruh Aceh, menembus etnis dan suku yang ada di kawasan Aceh. Tari saman pun menjamur di seluruh Aceh, meski setiap kelompok (baca: suku) mulai mempertanyakan orisinalitas dan keaslian tarian. Hadirnya variasi-variasi baru, syair atau lirik dalam sajiannya, hingga jumlah penari saman juga menjadi persoalan “klasik” hingga saat ini.

Perdebatan tarian saman juga merambah pada inovasi yang muncul dalam penampilan-penampilan tarian saman,

mulai di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Misalnya, jumlah personil saat tampil menari seharusnya terbatas, bukan menjadi tarian massal. Sebagian seniman menganggap tari saman massal adalah terobosan baru, inovasi masa kini. Namun, kelompok “konservatif” menilai inovasi itu telah keluar dari aturan dan rukun tarian saman.

Penari Saman Perempuan

Persoalan “seksi” dan menarik tentang tari saman adalah munculnya para penari kaum hawa. Pembahasan ini banyak

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 9
10 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Saman mencari maestro -

diminati oleh para seniman, pengamat, dan akademisi, yang tentu sangat hangat diperbincangkan. Apalagi ketika obrolan dan tulisan disandingkan dengan syariat Islam mengenai bagaimana seharusnya perempuan tampil di depan kaum pria, terkecuali anak perempuan yang belum baligh.

Gerakan tari oleh para perempuan penari tidak lagi patuh pada pakem saman.

Oleh karena itu, sebagian seniman menyebutnya tari ratoeh jaroe (gerakan tangan), istilah baru yang muncul dalam seni tari Aceh karena penampilannya didominasi kaum perempuan. Tujuannya bukan untuk menandingi saman, akan tetapi sebaliknya memperkuat seni tari dengan gerakan super cepat tersebut. Sejauh ini, para seniman menyepakati bahwa tari saman hanya ditampilkan oleh para lelaki, sehingga jika tari yang sama/ mirip ditampilkan oleh perempuan maka sebutannya menjadi berbeda, termasuk ratoeh jaroe itu.

Mencari Maestro

Persoalan yang juga belum mendapat solusi adalah keberlanjutan “syekh” dalam tari saman, atau sang maestro tari saman seharusnya menjadi program berkesinambungan mengenai pewarisan. Maestro adalah pehikayat saman yang dapat tampil di kancah nasional ataupun internasional. Ia harus mampu memahami dan menjabarkan makna

serta nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam seni tari saman berikut liriknya. Dampaknya adalah pada menguatnya edukasi saman di berbagai daerah. Namun, saat ini hampir tidak ada lagi maestro.

Setali tiga uang, program edukasi dan pembinaan tari saman yang menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh, terutama kabupaten/kota yang membidangi pendidikan dan kebudayaan, juga masih mandul. Tidak ada kurikulum dan muatan lokal tentang tari saman untuk jenjang sekolah-sekolah di Aceh. Ini aneh dan ironis. Saman sebagai warisan budaya takbenda dunia semestinya diselamatkan dari potensi kepunahan, sekaligus penyemangat untuk mempopulerkan seni tari lain yang mulai langka dan punah.

Tari saman telah menjadi milik dunia. Oleh karena itu, jangan sampai hilang ingatan kolektif masyarakat Aceh akan saman. Peringatan saman sebagai WBTb

UNESCO saban 24 November harus ditumbuhkan kembali. Pemerintah dan warga Aceh perlu menghidupkan nilainilai filosofi dalam tari saman: kecepatan, ketepatan, kekompakan, kebersamaan, penghargaan, toleransi, gotong royong, yang menjadi jati diri orang Aceh.

(Hermansyah, Akademisi UIN Ar-Raniry dan Filolog Aceh)

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 11
Memulai harmoniRizky Fadly

Dua Negeri Satu Pantun

Ketika kita membincangkan kebudayaan global, saat itu juga segala sekat primordial mustinya diruntuhkan. Populasi dunia menurut Perserikatan Bangsa Bangsa kini telah mencapai 8 miliar, dan di abad ke-21 ini rasanya hampir tidak ada kebudayaan di suatu tempat yang tidak beririsan dengan kebudayaan lain. Ketika mengulas budaya Melayu, misalnya, maka kita akan melihat kelompok masyarakat yang menghuni Semenanjung Malaya, Sumatra bagian timur, bagian selatan Thailand, pantai selatan Burma, Borneo pesisir termasuk Brunei, Kalimantan Barat, Serawak, dan Sabah.

12 I INDONESIANA VOL. 15, 2022 TOPIK UTAMA

Melayu tua telah masuk dan menyebar ke Nusantara sejak 2.500 Sebelum

Masehi dan identitas kemelayuan pun bertransformasi menjadi kemelayuan Indonesia, kemelayuan Malaysia, dan lainnya, seperti dikatakan dosen dan peneliti tarian Melayu, Julianti Parani, dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya (2011). Ada akar rumpun yang pernah menyatukan dan berkembang menjadi identitas masingmasing negara. Pada masa lampau, kemelayuan memiliki potensi beradaptasi yang melintas batas Nusantara maupun

Asia Tenggara bahkan hingga Taiwan, Zanzibar, dan Australia.

Maka itu, ketika kita membahas pantun, lebih khusus lagi pantun Melayu, tidaklah mungkin karya budaya itu hanya dimiliki dan diwariskan di Indonesia. Bahkan, kemelayuan di Malaysia, Singapura, dan Brunei bisa dikatakan lebih kental karena Melayu dipahami sebagai ras dengan variabel etnisitas yang luas (agama Islam, adat-istiadat, dan bahasa), berbeda dengan Melayu di Indonesia yang hanya merujuk pada satu etnik. Oleh karena itu, inskripsi pantun ke dalam daftar warisan budaya takbenda (WBTb) joint nomination Indonesia dan Malaysia di UNESCO pun menjadi masuk akal.

Proses pengusulan pantun ke UNESCO hingga diinskripsi pada Daftar WBTb

Representatif (Representative List of the ICH of Humanity) pada tanggal 17

Desember 2020 dalam sidang di Prancis dan Jamaika terbilang cukup panjang.

Selintas menengok ke belakang, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bersama Lembaga

Adat Melayu (LAM) mengajukan pantun kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan pada tahun 2016 dan pada 7—29 September 2016 digelar pertemuan awal untuk mengusulkan pantun sebagai WBTb UNESCO. Setelah paparan naskah akademik tanggal 3 November, muncul masukan-masukan, di antaranya belum ada penjelasan untuk mengantisipasi kemungkinan klaim oleh

Malaysia yang juga menggunakan bahasa

Melayu. Menjawab hal itu, pengusulan pantun bersama negara-negara

serumpun dirasa lebih tepat. Namun, karena Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand ternyata belum siap, usulan pantun akhirnya hanya berdua dengan

Malaysia.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 13
Berbalas pantun dalam acara hantaran - Fatma Adnan

Keputusan usulan bersama ini sempat

menuai penolakan, karena merasa

Indonesia lebih berhak. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa pantun masih

digunakan oleh masyarakat Melayu, Bajau, Ida’an, Kedayan, dan Baba Nyonya di Malaysia. Adapun di Indonesia, pantun

tidak hanya dikenal di Provinsi Riau dan

Kepulauan Riau, tetapi menyebar hingga

ke Lampung melalui tradisi kias, juga

di masyarakat Minangkabau, terus ke

Betawi melalui pertunjukan palang pintu

dan rancak hingga ke Kalimantan Selatan, Manado, dan Ambon.

Pada perkembangannya, joint nomination

pengusulan WBTb justru menjadi pilihan

yang nyaman dan masuk akal, karena

alasan teknis maupun ideologis. Menurut

Ketua Umum ATL, Pudentia MPSS, UNESCO pun mendorong pengusulan

bersama oleh dua atau beberapa negara

yang memang memiliki sejarah budaya

yang beririsan. Kita tahu, belum lama

ini Singapura bersama Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand dikabarkan

mengajukan kebaya menjadi WBTb ke UNESCO.

Pantun yang Penuh Kiasan

Pantun yang kita kenal merupakan tradisi

lisan yang turun-temurun di dalam

masyarakat Melayu. Linguis dan orientalis berkebangsaan Inggris, William Marsden, di dalam bukunya

The History of Sumatra

(1783), menyebutkan bahwa karakteristik

pantun Melayu penuh dengan kiasan dan merupakan ruh dari tradisi lisan tersebut. Adapun linguis Charles Adrian van Opuijsen menyebut pantun mempunyai kedudukan yang sama dengan genre puisi awal, karena pantun juga muncul dalam kehidupan awal masyarakat Nusantara. Menurut pakar bahasa

Melayu, Richard James Wilkinson, pantun menggunakan kata sembunyi, yang bersajak atau rima; bunyi yang menjadi sugesti bagi pendengarnya.

Pantun dihadirkan dalam peristiwaperistiwa religius-magis pada masa lalu. Pantun lantas berkembang memasuki ruang komunal seperti ritual dan upacara adat, yang bersama gurindam dan pepatah-petitih mampu menyemarakkan acara-acara adat, menjadi panggung kepiawaian berbahasa figuratif orangorang Melayu sampai kini. Selanjutnya, pantun masuk ke wilayah popular, dalam bentuk ekspresi-ekspresi estetis seperti dalam nyanyian/lirik lagu, dan pernyataan-pernyataan emosi dalam pergaulan antarindividu sehari-hari.

Dalam naskah akademik pantun yang disampaikan ke UNESCO, disebutkan beberapa contoh penggunaan pantun dalam kehidupan masyarakat di Riau. Dalam upacara adat, kita mengenal babalian (di daerah Rantau Kuantan), bulian (Talang Mamak), belian (Petalangan), bedewo atau mambang dewo-dewo (Bonai), tu-un jin atau buang lancang (Penipahan), buang talam (Bengkalis), bedikei (Sakai), dan upah-upah (Rokan).

Pantun dalam peristiwa komunal digunakan dalam aktivitas ekonomi seperti menggetah kuaran (di daerah Kuantan dan Kampar), batobo (Kampar, Rantau Kuantan, dan Tiga Lorong), menumbai, mengayun enau, timang

padi, dan menangkap ikan. Pantun juga digunakan dalam upacara-upacara daur hidup. Pantun dalam seni pertunjukan, sangatlah banyak. Kita mengenal zapin (pesisir dan pedalaman), gambus batandang (Talang Mamak), kayat, randai (Rantau Kuantan), koba (Rokan), timang onduo (Rokan/Bonai), nandung (Inderagiri), badondong, basiacuong, (Kampar), gaden (Bengkalis), olang-olang (Sakai), dan masih banyak lainnya.

Peneliti pantun, Rendra Setyadiharja menukil

satu pantun karya Haji

Ibrahim dalam bukunya

Mengantar pengantin laki-laki dengan pantun - Fatma Adnan
14 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

Pantun-pantun Melayu Kuno (1877) berisikan metafora atau komunikasi simbolik (Media Indonesia, 20/22/2022):

Buah berembang hanyut ke lubuk

Anak undan meniti batang

Kalbu abang terlalu mabuk

Menentang bulan di pagar bintang

Kata bulan melambangkan sempadan waktu atau suasana dan makna yang berhubungan dengan takdir serta masa depan, juga dapat melambangkan suasana romantis antarmanusia. Pantun ini boleh jadi menceritakan pemuda yang merasa romantis namun kurang elok untuk diperlihatkan, ditandai dengan kalbu abang yang terlalu mabuk.

Kita bisa melihat bahwa sampiran dalam pantun memang bukan sekadar kata penghias untuk mempermanis rima, namun juga berperan mengantarkan

maksud dari pantun. Sampiran mampu mendeskripsikan kearifan lokal setempat, sehingga dari sampirannya saja kita dapat mengetahui bagaimana peristiwa, sejarah, budaya, tradisi, atau adat yang dimiliki. Pada intinya pantun mewarnai seluruh falsafah kehidupan orang Melayu.

Maka itulah, saat kita mendengar jenis “pantun buah-buahan” (pantun dengan sampiran nama-nama buah), rasanya ruh pantun menjadi terdistorsi, asal membuat rima. Misalnya, “Buah mangga buah delima, kalau adik sengsara abang pun menderita”, atau “Buah nenas buah jambu, hatiku panas melihatnya dirayu”. Jika melihat sisi positif, bolehlah “pantun buah-buahan” itu menjadi cara belajar, toh tidak mudah juga memproduksi kata-

kata dengan diksi menarik hati.

Dipikir-pikir, memang tidak mudah mencipta pantun, apalagi dilakukan secara spontan. Begitu sulit. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pembelajaran secara terus-menerus, satu di antaranya dengan menyemarakkan upacara adat, perayaan daur hidup, seni pertunjukan, dan lain-lain dengan tebaran pantun. Ditetapkannya pantun sebagai WBTb

UNESCO milik bersama, Indonesia dan Malaysia, mustinya membuat pelestarian pantun menjadi lebih mudah, karena dipikirkan oleh “dua kepala”. Satu pantun milik dua negeri. Bukankah seharusnya demikian?

(Susi Ivvaty, Indonesiana).

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 15
pantun buka pintu (sambutan) antara perwakilan pengantin laki-laki dań perempuan - Fatma Adnan Berpantun dalam Penyerahan Sertifikat Pantun ICH-UNESCO – Dit. Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan
VOL. 15, 2022 I 15

Keris Membumikan Budaya

TOPIK UTAMA 16 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

Keris pada awalnya merupakan

senjata penusuk pendek atau

senjata tikam yang terdiri dari

dua bagian utama, yaitu bilah dan ganja

yang melambangkan lingga dan yoni serta

mencerminkan simbol harapan atas

kesuburan, keabadian, dan kekuatan.

Keris bentuknya indah, asimetris (baik

lurus ataupun luk), dan terbuat dari dua, tiga, atau beberapa macam logam yang

ditempa menjadi satu, seperti dikatakan

Bambang Hasrinuksmo dalam Ensiklopedi

Keris (2008) dan Haryono Guritno

dalam Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar (2006). Dalam perkembangannya, keris

meninggalkan fungsi teknomiknya

sebagai senjata dan berkembang dengan

lebih menonjolkan makna-nilai falsafah dan filsafat hidup masyarakat Indonesia.

Keris dalam budaya masyarakat

Indonesia dihadirkan dalam seluruh fase

perjalanan hidup sejak lahir hingga mati.

Keris sebagai sarana untuk membangun

kesadaran manusia agar senantiasa ingat

kepada penciptanya (Tuhan YME). Oleh

karena itu, upacara-upacara keagamaan

seringkali menghadirkan keris sebagai kelengkapan yang penting.

Keris, budaya asli dan jenius lokal

masyarakat Indonesia itu pada awalnya

berkembang di Jawa sejak abad ke-8, kemudian menyebar di hampir seluruh

wilayah Nusantara, demikian disebut

Mubirman dalam Keris Senjata Pusaka (1980) dan Hamzuri dalam Keris (1993).

Bahkan menurut para pakar keris

seperti Bambang Hasrinukso, Haryono

Guritno, dan Darmosugito, keris juga

merambah Malaysia, Singapura, Brunei

Darussalam, Thailand, Myanmar, dan Filipina. Persebaran keris terjadi melalui perdagangan, perang, perkawinan, dan hubungan politik. Fakta ini kemudian melahirkan berbagai corak dan gaya keris yang mencerminkan karakteristik masyarakat pendukungnya, sehingga memperkaya khasanah dunia perkerisan.

Keberadaan budaya keris saat ini

Keris tergolong warisan budaya dalam domain kemahiran tradisional. Penciptaan keris tidak lagi hanya dipahami pada pembuatan bilahnya saja, namun juga warangka, hulu, pendok, selud, singep, blawong, dan perabot keris lainnya. Penciptaan keris mulai merata di berbagai wilayah di Indonesia. Jika beberapa waktu lalu dominan tumbuh di Madura, Surakarta, dan Yogyakarta, saat ini penciptaan keris di Jawa juga tumbuh di Surabaya, Malang, Tulungagung, Madiun, Magetan, Karanganyar, Kendal, Banyumas, Jepara, Kota Gede, Bantul, Gunung Kidul, Bandung, dan Bogor. Pembuatan keris juga tumbuh di Sopeng, Bone, dan Mandar (Sulawesi), lalu di Tabanan, Klungkung, Karangasem, Gianyar, dan Badung (Bali), serta Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Timur (Lombok). Di Kalimantan, terutama dijumpai di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Adapun di Sumatera Barat, Riau, Palembang, dan Jambi cukup menonjol seniman pembuat kelengkapan keris.

Penciptaan keris berdampak positif pada tumbuhnya upacara-upacara adat yang keberlangsungannya menghadirkan

keris. Upacara daur hidup seperti tujuh bulanan kehamilan (mitoni), tedak siten, khitanan, perkawinan, sedekah desa, selamatan, hingga kirab budaya membutuhkan keris. Yang menarik saat ini semakin berkembang penggunaan keris dalam busana adat ataupun berbusana modern.

Pemerintah bersinergi dengan komunitas dan pemangku kepentingan secara proporsional mewujudkan berbagai rencana aksi yang tertuang dalam proposal keris ke UNESCO, juga mengacu pada langkah setrategis sesuai UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Berbagai langkah strategis tersebut antara lain:

1. Lahirnya Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) sebagai wadah insan perkerisan Indonesia yang dibidani oleh pemerintah melalui Puslitbang Kemdikbud pascainskripsi keris di UNESCO. Saat ini SNKI telah tumbuh menjadi organisasi yang cukup besar dengan beranggotakan lebih dari 200 sanggar/paguyuban di hampir seluruh wilayah Indonesia. SNKI aktif dalam berbagai kegiatan mulai penelitian, advokasi, publikasi, hingga edukasi. SNKI juga secara aktif melaporkan pekembangan budaya keris dalam kancah Internasional serta membumikan keris di mancanegara.

2. Berdirinya prodi keris di ISI Surakarta sebagai langkah strategis menuju “krisologi” melalui dunia pendidikan

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 17
Menempa dengan barahttps://www.freepik.com/premium-photo/asian-blacksmith-forging-molten-metal-with-hammer-make-keris_6434134.htm#query=keris&position=3&from_view=search&track=sph

formal. Prodi keris merupakan mandat pemerintah, dan berdiri di Institut Seni Indonesia Surakarta semenjak tahun 2012 serta telah banyak meluluskan sarjana diploma empat yang mumpuni dibidang perkerisan. Alumni prodi keris memiliki kompetensi unggulan dalam aspek penciptaan, konservator, serta kurator keris dan senjata tradisional nusantara.

3. Berdirinya Museum Keris Nusantara di Surakarta yang didirikan oleh pemerintah melalui Kemendikbudristek. Museum dengan koleksi ribuan keris dari berbagai daerah Indonesia, dilengkapi ruang audio visual, besalen penempaan keris, dan ruang konservasi.

4. Standardisasi profesi bidang keris guna menjawab tantangan kebutuhan zaman sejak 2021 hasil kerjasama Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan dengan SNKI. Terdapat 29 skema bidang perkerisan yang merujuk pada aspek penciptaan, kuratorial, dan konservasi keris.

5. Pameran, bursa, dan lokakarya sebagai media edukasi dan promosi yang berdampak positif pada tumbuhnya ekonomi kreatif bidang pekerisan hasil sinergi dunia akademisi, sanggar/paguyuban, dan museum dan pemerintah. Muncullah

Keris Festival yang diinisiasi ISI

Surakarta, Jogjakarta International Heritage Festival (JIHF), Kirab Pusaka di Kabupaten Ponorogo, Kirab Keris Kyai

Tengoro (Museum Keris Surakarta), dan Tulungagung Keris Fest.

Tantangan

Sebagai karya budaya tradisi yang sarat makna nilai, dibutuhkan tranformasi yang kreatif guna memenuhi kebutuhan zamannya, namun transformasi budaya perlu dijaga secara ketat agar maknanilainya tetap terjaga dengan baik. Di sisi lain, tumbuhnya teknologi modern yang makin maju mendudukkan dunia ada di genggaman. Segala pengetahuan dan informasi terdapat di gawai.

Tantangan nomor satu adalah pewarisan pada generasi milenial. Budaya keris telah menunjukan perjalanan sejarahnya yang diwariskan turun-temurun semenjak ratusan tahun yang silam (dari abad ke-8). Namun demikian seiring perkembangan zaman dan derasnya pengaruh budaya luar, perubahan pola hidup dan kebutuhan di era modern yang serba praktis, cepat, dan instan, sehingga dibutuhkan pola pewarisan dan edukasi keris sesuai dengan pola dan pemahaman generasi milenial.

Tantangan kedua adalah maraknya keris sebagai media penipuan.

masyarakat, namun perlu dibekali pemahaman mendalam dan didudukkan secara proporsional. Selain itu maraknya keris-keris buatan baru yang

dibuat kesan kuno menjadi bagian dari komoditi perdagangan, juga menumbuhkan traumatik

masyarakat untuk memiliki keris.

Tantangan ketiga, penataan pangsa pasar keris sebagai ekonomi kreatif. Pangsa pasar yang meluas hingga mancanegara memberikan peluang ekonomi yang

menjanjikan. Sayang, pengelolaan belum baik sehingga sering terjadi tumpang tindih. Suburnya monopoli oleh beberapa pihak makin memperlebar jarak kesenjangan antar pelaku budaya keris.

Terbatasnya edukasi, minimnya kurator yang mumpuni, dan banyak pembiasan pegetahuan keris, seringkali mendudukkan keris sebagai media penipuan. Pemahaman mistik, gaib, bertuah, dan keramat seringkali tidak dipahami secara utuh sehingga banyak masyarakat yang menjadi korban. Hal-hal mistis diyakini oleh sebagian

Tantangan keempat, lemahnya kuratorial. Tumbuhnya budaya keris saat ini tidak diimbangi dengan

18 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Menyucikan untuk melestarikan –Basuki Teguh Yuwono

kuratorial yang mumpuni, berdampak sering memicu silang pendapat, dan berpotensi pemahaman yang bias. Oleh karena itu sertifikasi kuratorial penting segera dilakukan agar lahir kuratorkurator yang kompeten.

Tantangan kelima, pelestarian ekosistem keris yang belum merata. Tumbuh suburnya budaya keris bila dicermati belum merata dalam ekosistemnya. Berbagai bidang keris belum dikelola dengan baik, sehingga menjadi mata rantai yang rapuh dan mengancam budaya keris. Contohnya: Minimnya pewarisan panjak atau penempa, bahan

kayu untuk warangka/hulu, minimnya pembuat perabot keris, kurangnya konservator dan kurator.

Minimnya aktivitas adat dan busana di mana arti penting keris dihadirkan juga perlu disikapi. Budaya keris seolah menjadi benda hias semata, sementara spirit yang dibentuk atas nilai-nilainya tak lagi hadir secara utuh. Kunci keberterimaan suatu warisan budaya hanya dimungkinkan karena adanya ekosistem yang terpelihara dengan baik, membuminya koridor makna-nilai, serta kreativitas yang berpijak pada akarnya secara kuat. Peran pemerintah, komunitas, dan seluruh pemangku kepentingan secara proporsional sangat dibutuhkan. Lestarilah budaya keris, jayalah bangsa Indonesia.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 19
Beberapa koleksi museum kerisSyefri Luwis

Indonesia Bertutur WargaTerhibur

Festival Indonesia Bertutur merupakan satu dari serangkaian kegiatan G20 bidang kebudayaan yang digelar pada 7--11 September 2022 di Kawasan Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Indonesia Bertutur mengusung tema “Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan Masa Depan”, dengan harapan bahwa masyarakat dapat memaknai peristiwa atau sejarah di masa lalu dengan cara-cara baru yang relevan pada masa kini. Tujuan utama Indonesia Bertutur adalah menjaga budaya yang berkelanjutan melalui kegiatan yang edukatif, inspiratif, dan penuh pengalaman. Banyak seniman dari dalam maupun luar negeri terlibat, para pelaku seni pertunjukan, film, dan seni media baru, yang menampilkan karya-karya mereka, yakni implementasi dari narasi cagar budaya yang disesuaikan dengan konteks kekinian.

KABAR BUDAYA
Beberapa koleksi
20 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

Festival ini melibatkan empat ruang seni yang berada di seputar Candi Borobudur yaitu Virama, Anarta, Kiranamaya, dan Visaraloka. Di dalam Virama terdapat panggung senja yang menampilkan pertunjukan musik, tari, dongeng, dan area kuliner yang menyuguhkan rupa-rupa makanan tradisional seperti bakso, siomay, lumpia, mi ayam, dan jamu. Anarta atau panggung lumbini menyuguhkan berbagai macam pertunjukan kontemporer dari bidang musik, tari, dan teater, khususnya kelompok yang telah melakukan proses

eksperimen panjang untuk berkolaborasi dengan teknologi modern dalam karyanya.

Di Kiranamaya terdapat suguhan beragam pemetaan video dan tatanan instalasi cahaya dari karya-karya seniman dengan teknologi pencahayaan interaktif dan arsitektural. Pengunjung mendapatkan pengalaman pencahayaan istimewa di Borobudur pada saat malam hari layaknya sebuah festival cahaya yang dapat dinikmati di panggung aksobya. Di sini ada pula layarambha menyajikan

berbagai macam film peran dan film pendek dari film-film tari karya senimanseniman berbagai negara termasuk Indonesia. Adapun Visaraloka adalah tempat pameran seni media.

Kemeriahan Seni

Pada hari pertama Indonesia Bertutur, suasana langsung meriah, sejak pembukaan pameran seni media

Visaraloka yang menampilkan karyakarya epik dari seniman seni media dan seni pertunjukan, seperti lukisan yang dipamerkan di Eloprogo Art House

museum keris - Tulus menyanyi untuk InturIrnie Wanda
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 21
Berbagai tarian yang tampil dalam Festival Indonesia BertuturIrnie Wanda

karya Sony Santosa dan seni instalasi

karya Gilang Anom. Terdapat tiga lokasi

lain sebagai tempat pameran karya

yaitu Limanjawi Art House, Museum H.

Hidayat, dan Apel Watoe Art Gallery.

Salah satu yang menarik adalah karya

Mella Jaarsma dan Agus Ongge yang

dipamerkan di Museum H. Hidayat,

sebuah instalasi busana dari kain kulit

kayu yang diperagakan oleh beberapa model. Kita seolah dibawa ke masa

manusia purba, apalagi disisi yang

lain ada video karya Lisa Reihana yang

berjudul “In Persuit of Venus” yang

menggambarkan bagaimana kehidupan manusia purba pada masa itu.

Indonesia Bertutur dibuka oleh Direktur

Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek

Hilmar Farid didampingi Direktur

Perfilman, Musik, dan Media Ahmad

Mahendra, dan Direktur Artistik Indonesia

Bertutur Melati Suryodarmo di area

panggung Lumbini Candi Borobudur. Acara pembukaan paling menyedot perhatian. Panggung Lumbini sendiri sudah menarik, berbentuk setengah lingkaran dengan dominasi warna putih berhiaskan tanaman di sisi panggung

dan berlatarkan Candi Borobudur

yang megah menjulang. Eksotis. Meski diselimuti mendung dan sempat turun hujan, para penonton bertahan untuk menyaksikan pertunjukan seni.

Indonesia Bertutur dibuka dengan

sebuah upacara selamatan bersama masyarakat kawasan Borobudur serta para pelaku budaya yang terlibat. Upacara selamatan massal ini melibatkan warga dari 20 desa Kecamatan Borobudur, meliputi kirab gunungan dan topeng ireng massal, selamatan di pelataran Candi

22 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Latar Candi Borobudur disorot dengan pemetaan video karya para seniman - Irnie Wanda

Borobudur, dan upacara peresmian di lapangan Lumbini yang diawali dengan pementasan tari soreng, tari tradisional khas Magelang. Para penari penuh ekspresi dan energi, gerakan kaki dan tangannya melambangkan kegigihan sebagai petarung kehidupan dari lereng

pegunungan. Tampilan tarian topeng ireng yang dibawakan oleh Komunitas Lima Gunung menutup acara.

Pengunjung semakin ramai memadati

Kawasan Candi Borobudur pada hari

kedua. Acaranya sangat beragam, seperti dongeng dari Kak Aio/Ariyo Zidni

(Founder Ayo Dongeng Indonesia), Kak BudiBaikBudi, pendongeng yang juga ventriloquist, dan Kak Hendra Hensem yang selalu bisa membawa suasasa menjadi menjadi jenaka. Aneka rupa tari dari sanggar-sanggar seni setempat juga menarik. Penampilan penyanyi Ardhito Pramono dan Peni Candrarini sontak membuat riuh suasana area panggung senja, membuat penonton terhanyut dalam suasana lagu-lagu pilihan. Yang tak kalah seru, di area layarambha ada diskusi film bersama Garin Nugroho, Razan Wirjosandjojo, Iphul Ashyari, dan Iin Ainar Lawide disusul pemutaran film

,”Anerca, Breath of Life”, “Lucy” dan “Touching The Skin of Eeriness”. Beragam film diputar di arena ini pada hari-hari berikutnya. Penampilan Tulus menjadi agenda yang ditunggu oleh 7000-an pengunjung di tengah suasana yang cukup magis dengan tata cahaya yang membuat panggung semakin megah.

Latar Candi Borobudur disorot dengan pemetaan video karya para seniman, seperti Rampages Production x Toopfire yang menampilkan pemetaan proyeksi berdasarkan kisah budaya tradisional Indonesia. Isi cerita didasarkan pada

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 23

spiritualitas kuno, pengetahuan kuno, dan simbol identitas nasional, yang menggambarkan dunia cahaya dan bayangan yang penuh kegembiraan dengan warna-warna cerah dan gambar yang hidup. Termasuk elemen tari Bali, wayang, batik, dan lain-lain untuk mengekspresikan tradisi dan pengetahuan Indonesia. Keseluruhan cerita berakhir klimaks dengan efek kerlip yang ditampilkan secara modern untuk mewakili budaya masa lalu dan warisan masa depan.

Festival Indonesia Bertutur 2022 yang

memiliki tema “Mengalami Masa

Lalu, Menumbuhkan Masa Depan”

mempertontonkan pemetaan video dari Vulture Studio yang mengangkat

cerita tentang kekuatan dan kejayaan peradaban di Trowulan, Jawa Timur, yang perkembangannya tak jauh dari pengaruh peradaban Majapahit. Tema “mengalami masa lalu” juga terasa pada pertunjukan dari Studio Gambar Gerak yang mengangkat tema cagar budaya

Gunung Kawi di Banjar Panaka, Desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. Motionhouse Indonesia menampilkan legenda Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.

Festival Indonesia Bertutur 2022 tetap dipadati penonton pada hari-hari berikutnya meski cuaca kurang bersahabat. Mana mungkin meninggalkan penampilan Letto dengan

lagu-lagu romantisnya, Om Wawes, dan Paksi Band dengan keroncong-dangdutcampursarinya. Pertunjukan teater pun tak kalah menarik. Ada Prehistoric Body Theater yang menampilkan lakon A Song for Sangiran 17, lalu Fitri Setyaningsih, Mila Rosinta, Choy Ka Fai - Postcolonial Spirit, Senyawa, dan Teater Garasi.

Lima hari di Festival Indonesia Bertutur 2022 membuat kami terhibur. Kami juga mendapat pengalaman berharga, bahwa sejarah masa lalu ternyata mampu ditampilkan dalam kemasan modern. Ini adalah sebentuk edukasi dalam kemasan yang menyenangkan dan kekinian.

(Irnie Wanda, Direktorat Perfilman, Musik dan Media).

24 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 25
Antusiasme anak-anak menyaksikan dongeng InturIrnie Wanda

Berdaya dan Berbudaya Dimulai dari Desa

Program pemajuan kebudayaan desa merupakan salah satu program prioritas Direktorat

Jenderal Kebudayaan yang mengaktifkan kembali desa sebagai sumber

penghidupan, lumbung budaya, dan akar ekosistem budaya. Desa bukan hanya objek pembangunan, melainkan subjek pembangunan itu sendiri.

Program pemajuan kebudayaan desa dirancang untuk menjawab berbagai tantangan globalisasi yang mengubah wajah desa menjadi kota dan membuat desa kehilangan jati dirinya.

Ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi telah

menggerus jaringan tolong-menolong antarwarga dan kearifan lokal yang tumbuh dari praktik masyarakat desa, selain juga menimbulkan permasalahanpermasalahan baru seperti kerusakan lingkungan dan kesenjangan sosial.

Untuk mengatasi dampak negatif ini, pemajuan kebudayaan desa hadir sebagai program pemerintah untuk memberdayakan potensi desa secara kontekstual sebagai modal utama pembangunan yang lebih menyeluruh ketimbang sekadar pertumbuhan ekonomi. Dengan begitu, diharapkan akan tercipta suatu pertumbuhan yang bersifat endogen, yang muncul dari daya kekuatan desa itu sendiri.

KABAR BUDAYA
26 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

Warga

Di sepanjang sejarahnya desa berperan sebagai wadah tempat terwujudnya interaksi budaya masyarakat Indonesia dan menyimpan endapan nilai-nilai kehidupan sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Desa merupakan komunitas terkecil dari pemerintahan dan merupakan akar identitas budaya Indonesia.

Desa memiliki potensi yang sangat besar baik berupa alam, manusia, budaya benda dan takbenda, bahkan

sejarah yang dapat dimanfaatkan untuk membangun desa berdasarkan imajinasi warga tentang masa depan desa.

Imajinasi warga adalah pedoman yang andal bagi pembangunan kontekstual karena tidak ada yang lebih berhak berbicara tentang masa depan desa kecuali warga desa itu sendiri yang mengalami langsung pergulatan hidup pedesaan yang konkrit.

Bagaimana warga desa menginginkan desanya berkembang menjadi seperti yang mereka angankan? Bagaimana usaha warga bekerja sama mewujudkannya? Itulah titik berangkat pembangunan yang endogen.

Lewat laku imajinasi warga ini, seluruh insan kebudayaan di desa terlibat mulai dari anak-anak sampai orang tua, baik itu perempuan maupun laki-laki dengan berbagai profesi mereka. Termasuk juga di dalamnya adalah kaum difabel serta kaum rentan lainnya.

Berbekal imajinasi warga, pemajuan

kebudayaan desa dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama merupakan tahap temukenali potensi budaya, tahap kedua adalah tahap pengembangan dan tahap ketiga adalah tahap pemanfaatan.

Keseluruhan proses itu dijalankan di atas dasar pengakuan pada daya yang dimiliki warga desa dan oleh karena itu ketiga tahap itu selalu menjunjung prinsip Inklusi sosial, kesetaraan, kemandirian, keberlanjutan, praktis dan partisipatif.

Lumbung Kebudayaan

Nasional

Terkadang kita tidak sadar bahwa kita memiliki potensi yang besar dalam berbagai hal, begitupun dengan desa. Dalam tahap temukenali masyarakat diajak untuk menemukan dan mengenali kembali budaya yang mereka miliki, baik itu berupa cagar budaya maupun yang bersifat takbenda, selain juga sejarah desa serta kondisi alam tempat mereka tinggal. Dalam prosesnya, temukenali ini juga akan memetakan kelompokkelompok masyarakat yang menunjang keberlanjutan aneka praktik budaya tersebut.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 27
Harmoni desa dalam seniRadian B. Sena

Konsep pemetaan partisipatif

diharapkan mampu memotret potensi

yang dimiliki desa serta permasalahan

yang ada. Selain itu, dalam tahapan ini juga akan dipetakan harapan-harapan

masyarakat tentang bagaimana

desanya di masa yang akan datang. Dari

situlah tercipta dialog bersama untuk

merumuskan pengembangan segala

potensi melalui pembuatan rencana aksi.

Tahap kedua dari program ini adalah

tahap pengembangan Pada tahap ini, peta potensi budaya yang sudah disusun

kemudian dikembangkan sesuai dengan

Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan

antara lain melalui pengkajian atas

kemungkinan inovasi budaya. Pengayaan

keragaman kemudian dilakukan

melalui upaya mendorong dialog dan percampuran dengan budaya dari tempat lain.

Pengembangan potensi ini juga

diarahkan untuk dapat menyelesaikan

berbagai permasalahan yang ada di desa melalui jalan kebudayaan, seperti masalah ketahanan pangan melalui

upaya pertanian tradisional yang ramah

lingkungan dan pemanfaatan padi lokal

sebagai sumber daya genetik. Sebagai

upaya untuk mengaktifkan gerakan warga

desa, perlu didapatkan kesepakatankesepakatan sosial dalam merencanakan

rencana aksi pengembangan kebudayaan

melalui sarasehan desa, forum diskusi

desa, penyelenggaraan forum budaya

bersama, penyelarasan peta partisipatif dan pendalaman ekosistem potensi

budaya yang dimiliki warga bersamasama dengan seluruh elemen dalam masyarakat desa itu sendiri.

Tahap ketiga adalah tahap pemanfaatan yang bertujuan meningkatkan ketahanan

budaya, kolaborasi antarbudaya, kesejahteraan masyarakat dan pembangunan karakter desa. Dalam

tahap pemanfaatan ini, warga sudah dapat mengidentifikasi dan memilih mitra strategis program, merencanakan pembiayaan program serta membentuk organisasi penggerak.

Selanjutnya rencana aksi yang telah dibuat kemudian disinkronkan dengan hasil Musyawarah Perencanaan

Pembangunan (MUSRENBANG) tingkat desa agar mendapatkan hak penggunaan dana desa. Langkah ini kemudian

disusul dengan publikasi potensi desa antara lain melalui film dan buku, serta menginternalisasi kembali budaya desa kepada anak-anak melalui pendidikan muatan lokal, mengaktifkan sanggarsanggar sebagai ruang budaya warga, dan sebagainya.

Desa yang Berkarakter Lokal

Pemajuan kebudayaan desa tidak sama dengan mengubah semua desa menjadi “desa wisata”. Pola pengelolaan desa

28 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
NDX menjadi bintang tamu - Apresiasi pemerintah bagi yang sukses menggerakkan ekosistem budaya di desa dan berkontribusi dalam pemajuan budaya desaDit. PPK Sosialisasi pemajuan kebudayaan desa wilayah Makasar, Sulawesi Selatan Utara, Manado, Papua, Maluku, Maluku utaraDit. PPK

semacam itu belakangan marak di Indonesia. Seakan-akan potensi budaya setiap desa adalah dan hanya mungkin diwujudkan sebagai potensi wisata. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ada desa yang lebih mandiri sebagai desa pertanian dan bukan desa pariwisata komersial.

Oleh karena itu, apa yang selalu diingat dalam pelaksanaan program pemajuan kebudayaan desa adalah pembangunan

yang kontekstual: tidak menggunakan satu rumus atau exemplary model untuk diterapkan di sembarang desa.

Pemajuan kebudayaan desa didesain untuk membangun desa yang berdaya dengan kekuatan potensi yang dimilikinya sendiri serta mendorong kolaborasi dengan desa-desa lain. Kerja ini adalah kerja jaringan, memanfaatkan seluruh jejaring sosial yang menghubungkan setiap desa. Tujuannya

bukanlah membuat desa menjadi kota, melainkan membangun asosiasi bebas yang menghimpun kekuatan budaya dari berbagai desa untuk pemajuan kebudayaan bangsa.

(Maya Krishna, Direktorat PPK Kemdikbudristek)

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 29
Bercengkerama bersama musik dan lagu - Radian B.Sena Ketika warga menyejahterakan desanya - Radian B.Sena Perempuan desa berdayaRadian B.Sena
30 I INDONESIANA VOL. 15, 2022 KABAR BUDAYA
Mas Menteri bercengkrama dengan seorang anak dari peserta kirabDokumentasi Kemdikbudristek

Menghimpun Aksi Budaya demi Kehidupan Berkelanjutan

“G20 Culture Ministers Meeting” atau Pertemuan Menteri-Menteri Bidang Kebudayaan G20 pada 13

September 2022 di Kawasan Candi Borobudur mengangkat tema Kebudayaan untuk Kehidupan Berkelanjutan (Culture for Sustainable Living). Pemilihan tema ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dunia sedang dilanda krisis di bidang-bidang yang sangat mendasar, seperti sandang, pangan, dan

papan. Gaya hidup lama yang konsumtif dan serba instan telah menciptakan tekanan berat pada daya dukung lingkungan hidup. Pertemuan itu digagas sebagai forum untuk menggulirkan konsensus baru dalam memulihkan relasi manusia dengan alam dengan menimba inspirasi dari aneka praktik budaya lokal yang menghormati daur hidup alam.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 31

Pertemuan tingkat menteri itu bukanlah sebuah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan puncak dari suatu rangkaian proses konsolidasi aneka praktik lokal yang terjadi di berbagai daerah dan di berbagai negeri. Di berbagai daerah di Indonesia telah terdapat banyak prakarsa pengelolaan budaya yang tepat guna bagi terciptanya gaya hidup yang

lebih berkelanjutan, yang berupaya

mengembalikan relasi harmonis manusia

dan alam. Aneka prakarsa itu terwujud mulai dari tingkat akademik, kaum muda hingga gerakan akar rumput.

Gerakan Akar Rumput

Di lingkungan gerakan akar rumput, khususnya di tingkat desa, telah tumbuh berbagai prakarsa untuk menemukenali potensi budaya setempat dan menjadikannya modal utama bagi

pembangunan yang lebih ramah

lingkungan dan menunjang kehidupan

sosial-ekonomi yang lebih manusiawi. Program Desa Pemajuan Kebudayaan adalah himpunan dari aneka prakarsa semacam itu. Seluruh desa di kawasan Borobudur pun berhimpun dan menggelar rangkaian Pasar Budaya pada Juli hingga September 2022, yang menghadirkan berbagai produk unggulan yang dihasilkan selama mengikuti

program Desa Pemajuan Kebudayaan.

Semuanya adalah contoh nyata

32 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Ornamen babi dalam kirab budayaDokumentasi Kemdikbudristek

bagaimana budaya lokal dapat menjadi sumber inspirasi bagi terciptanya gaya hidup baru yang lebih berkelanjutan.

Bergulir pula rangkaian kegiatan

Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) yang diselenggerakan di tingkat kabupaten/ kota di seluruh Indonesia. Ini merupakan ruang-ruang interaksi inklusif bagi semua prakarsa publik dalam memajukan budaya daerah, yakni himpunan wadah bagi para pegiat seni dan budaya di

berbagai daerah di Indonesia untuk mengolah ekspresi mereka ke dalam bentuk festival yang dihelat secara berkala. Dari PKD, aneka cara cermat olah peluang dapat ditemukan. Budaya setempat bisa jadi inspirasi dalam mengatur siasat cemerlang dalam mengatasi rintangan hidup kekinian.

Konsolidasi Kekuatan

Aneka prakarsa rakyat yang telah bergulir sejak awal 2022 itu berhimpun

menjadi satu kekuatan raksasa yang

menjadi landasan bagi “G20 Culture Ministers Meeting”. Semua ide dan praktik dihadirkan dalam sebuah wadah permufakatan masyarakat, yakni Pekan

Konsolidasi Tenaga Budaya (PEKAT Budaya) yang diselenggarakan pada awal bulan September 2022. Kegiatan itu mempertemukan perwakilan dari setiap pelaku prakarsa budaya untuk hidup berkelanjutan, meliputi para akademisi, gerakan pemuda, Desa Pemajuan

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 33
Ruwatan BumiDokumentasi Kemdikbudristek Ruang-ruang interaksi inklusifDokumentasi Kemdikbudristek

Kebudayaan dan PKD. Dilaksanakan

secara paralel di lima desa di kawasan

Borobudur (Wringin Putih, Karanganyar, Karangrejo, Wanurejo, Candirejo), forum

musyawarah kolektif itu mempertemukan

pelaku budaya, akademisi, dan warga desa untuk menciptakan pesan kunci yang disampaikan pada pertemuan

tingkat menteri negara-negara G20 pada

13 September 2022.

Untuk mengantarkan pesan kunci itu, warga desa di kawasan Borobudur

menggelar kirab budaya dari Candi

Pawon ke Borobudur pada 12 September

dan mengadakan rapat raksasa setibanya di Lapangan Lumbini, Borobudur.

Kirab budaya itu menjadi manifestasi dari keseriusan masyarakat untuk

mencipta perubahan gaya hidup, suatu pengejawantahan dari tenaga kolektif

pelaku budaya sebangsa dan setanah air untuk menciptakan dunia baru yang lebih adil, makmur, dan sejahtera secara jasmani dan rohani. Melalui arakarakan selama 45 menit itu, tampak kehendak umum untuk mengembalikan keselarasan kosmik, menyudahi keretakan metabolis antara manusia dan alam, melalui jalan kebudayaan. Rapat raksasa ribuan warga tersebut menjadi titik kulminasi dari gerakan ini. Di sana mereka menggelar ritual makan bersama sebagai simbol solidaritas dengan sesama makhluk seisi alam dan menyampaikan aspirasi mereka melalui rangkaian pertunjukan yang merupakan adaptasi artistik dari aneka isu yang telah mereka diskusikan dalam rangkaian kegiatan sebelumnya.

Komitmen Baru

Keseluruhan rangkaian ini pada

akhirnya bermuara pada “G20

Culture Ministers Meeting” di Plataran Hotel, 13 September

2022. Perwakilan dari

gerakan tingkat akar rumput

menyampaikan Amanat

Borobudur, sebuah

manifesto yang

memuat pendirian para pelaku budaya

dari berbagai

daerah dan

negara mengenai

apa yang harus

dilakukan

jika

34 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Antusiasme masyarakat ketika menonton kirabDokumentasi Kemdikbudristek

kehidupan di muka bumi mau

dilanjutkan. Amanat ini menyatakan antara lain bahwa “kita harus

mewariskan alam semesta dengan

kondisi yang lebih baik dari hari ini”.

Pembacaan deklarasi itu menjadi

salah satu pertimbangan kunci bagi perumusan hasil pertemuan menteri-menteri dari negara

anggota G20 di bidang kebudayaan.

Selaras dengan Amanat Borobudur, pertemuan tersebut

menghasilkan komitmen bersama untuk mendorong peningkatan peran budaya dalam menggulirkan perubahan sistem dan gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI dalam pernyataan ketua acara (chair’s ststement) menyampaikan bahwa budaya memiliki nilai intrinsik di luar manfaat sosial dan ekonominya, bahwa penting untuk mendorong perubahan signifikan dalam cara hidup masyarakat yang mempromosikan keragaman, kesetaraan, inklusi. “Tidak kalah pentingnya adalah komitmen bersama untuk menjajaki pembentukan global arts dan culture recovery fund yang dapat dikelola oleh

UNESCO, atas dasar sukarela, untuk memulihkan sektor ekonomi budaya dan untuk mempromosikan kehidupan yang

berkelanjutan, yang akan dibahas dalam

“Finance Track G20”.

Untuk memperkuat pesan pemulihan global berbasis budaya itu, digelarlah

Ruwatan Bumi di Borobudur.

Ratusan delegasi bersama ribuan

peserta menyaksikan rangkaian ritual performatif yang menonjolkan musik

vokal tradisional dari berbagai belahan

Nusantara. Pesan-pesan kehidupan

berkelanjutan berbasis budaya tradisi tampil melalui jalinan narasi lokal. “G20

Culture Ministers Meeting” niscaya

menjadi bagian dari aksi-aksi budaya dari berbagai daerah dan belahan dunia yang menghendaki perubahan sistem demi kehidupan yang berkelanjutan.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 35
(Martin Suryajaya, Indonesiana)

Ketika Musik Tradisi Unjuk Gigi di Danau Toba

Kutipan diatas adalah jawaban dari Bang Ucok, seorang teknisi rigging panggung setelah saya tanya mengapa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun sebuah rigging panggung pertunjukan Road Show Lake Toba Music Festival di Sidikalang, Kabupaten Dairi Sumatera Utara bulan Mei 2022 lalu.

Hal ini sangat dimaklumi karena kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam merespon pandemi Covid-19 sangat berdampak pada hilangnya aktivitasaktivitas seni pertunjukan yang sebelumnya rutin digelar. Menurut catatan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

(Kemendikbudristek) pada Agustus 2021, sebanyak 65% pelaku budaya nasional telah kehilangan pekerjaan yang berpengaruh pada penurunan pendapatan hingga 70%, serta 70% ruang seni dan organisasi kebudayaan menjadi tidak aktif.

Kembalinya pekerja-pekerja pendukung seni pertunjukan seperti Bang Ucok dalam melakukan aktivitas-aktivitas kebudayaan mulai terasa terutama sejak pemerintah memberlakukan pelonggaran kebijakan PPKM dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini.

Tulisan ini bermaksud menguraikan pengalaman

KABAR BUDAYA
“Maaf Bang, udah dua tahun ga ada event, saya sampai lupa cara pasang riggingnya.. hehe”
36 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

yang didapatkan dari pelaksanaan rangkaian

acara Lake Toba Music Festival 2.0 yang

dilaksanakan bulan

Mei-Agustus 2022

Kawasan Danau Toba, Sumatera Utara sebagai salah satu best practice upaya pemulihan ekosistem senibudaya pascapandemi yang diinisiasi oleh masyarakat dan

komunitas setempat.

Peran Komunitas

Salah satu komunitas yang menyambut baik kebijakan pelonggaran PPKM

adalah Rumah Karya Indonesia (RKI) yang berbasis di Sumatera Utara. Komunitas ini lahir atas dasar

pemikiran bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya akan suku bangsa. Di Sumatera Utara sendiri, setidaknya ada puluhan kelompok masyarakat etnis yang selama ini hidup berdampingan. Kelompok-kelompok masyarakat itu memiliki sejumlah peninggalan karya seni tradisi yang bernilai tinggi. Sayangnya karya-karya seni tradisi itu, belum dikembangkan dengan baik.

Bahkan cenderung terlupakan. Alhasil, banyak karya seni tradisi yang punah, termasuk instrumen pendukung maupun pengetahuan yang ada padanya. Aktivitas

RKI berfokus pada pengelolaan serta manajerial pertunjukan, riset, publikasi, dan dokumentasi musik tradisi.

Harmoni inangDit. Perfilman, Musik dan Media
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 37
MarsadaDit. Perfilman, Musik dan Media

Sejak 2021 RKI telah menginisiasi

pelaksanaan festival musik tradisi yang

bertujuan untuk membangun ekosistem

kebudayaan sebagai bagian dari upaya

pemajuan kebudayaan dan percepatan

ekonomi di Kawasan Danau Toba melalui

festival musik tradisi. Serta mendukung

mewujudkan tema Presidensi G20

‘Recover Together, Recover Stronger’.

Lake Toba Music Festival 2.0

Danau Toba atau Kaldera Toba sudah

ditetapkan sebagai UNESCO Global

Geopark. Kawasan ini memiliki kaitan

geologis dan warisan tradisi yang tinggi

dengan masyarakat lokal, khususnya

dalam hal budaya. Beberapa daerah di Indonesia bahkan Asia Tenggara juga

memiliki beberapa geopark atau taman

geologi. Sama halnya dengan Danau

Toba, di beberapa wilayah yang memiliki

taman geologi juga pasti memiliki

warisan tradisi yang tinggi khususnya hal

budaya. Dengan kesamaan ini, Lake Toba

Traditional Music Festival 2.0 mengundang

jaringan musisi tradisi di kawasan taman

geologi. Baik lokal, nasional, maupun mancanegara.

Kegiatan Lake Toba Music Traditional Festival 2.0 adalah sebuah gagasan

dari Rumah Karya Indonesia, di mana

seniman/pekarya dari 4 puak di Kawasan

Danau Toba akan menciptakan sebuah

karya dengan berkolaborasi antar seniman, dan tentunya juga sangat

melibatkan masyarakat lokal, mengenai

Danau Toba melalui karya seni musik. Kegiatan ini akan dilakukan di pinggiran

Danau Toba, yang memiliki ekosistem dan potensi kebudayaan. Sehingga

kegiatan ini juga memiliki dampak positif kepada masyarakat dan kepada pengunjung.

Tahun 2022 merupakan tahun ke-2

dilaksanakannya Lake Toba Traditional Music Festival yang merupakan bagian

dari Festival Musik Tradisi Indonesia

dengan tema Suara Danau: Memaknai, Merawat dan Menghidupkan Musik

Tradisi. Tiga elemen tersebut dihadirkan dalam sajian berbentuk festival.

Festival tersebut mendorong agar

kita mengetahui proses pengetahuan, proses pembelajaran, dan proses perkembangannya menjadi satu bagian yang secara holistik harus kita lihat.

Lake Toba Traditional Music Festival

2.0 merupakan kegiatan puncak, melanjutkan hajatan sebelumnya

yakni Eta Margondang yang telah

dilaksanakan di empat kabupaten

dengan konsep kegiatan yang berbedabeda. Lake Toba Traditional Music Festival 2.0 juga merupakan bagian dari program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi berkerja sama dengan Rumah Karya

38 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Toba penyatu harmoniDit. Perfilman, Musik dan Media

Indonesia yang merupakan upaya untuk mewujudkan pemajuan kebudayaan, khususnya dalam memperkuat ekosistem musik tradisi Indonesia sebagai bentuk perwujudan amanat Undang Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Salah satu daya dari pertunjukan ini adalah Eta Margondang, menghadirkan para pemusik-pemusik muda dari empat puak sekitaran Danau Toba yang sudah berlatih dan berproses untuk menciptakan karya baru untuk disajikan kepada penikmat musik tradisi. Eta

Margondang ini juga dikolaborasikan dengan 500 orang pemain seruling dari sekitaran Danau Toba. Selain penampilan Eta Margondang, ada pula pertunjukan grup musik lokal lintas generasi yang cukup terkenal dengan memainkan kolaborasi musik tradisi serta modern.

Merujuk pada tema Presidensi G20, Recover Together, Recover Stronger yang secara harfiah berarti ‘Pulih bersama, Pulih lebih kuat’, tentunya upaya percepatan pemulihan ekosistem musik tradisi tidak bisa lepas dari dukungan masyarakat melalui peran komunitaskomunitas yang peduli dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya sendiri.

Aktivasi kesenian musik tradisi yang dilakukan oleh RKI merupakan salah satu bentuk praktik kebudayaan yang menjamin keberlangsungan kehidupan berkelanjutan. Karena kegiatan seni pertunjukan yang diadvokasi oleh RKI ini  juga merupakan bentuk dari ritual kebudayaan di mana masyarakat berkumpul, berkreasi, dan melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi yang

melibatkan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Musik tradisi yang merupakan salah satu bentuk kongkrit dari kebudayaan yang berperan untuk kehidupan yang berkelanjutan.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 39
(Denison Wicaksono, Direktorat PMM Kemdikbudrsitek) Transfer bunyi antar generasiDit. Perfilman, Musik dan Media

GELIAT OPK KOLABORASI PEMDA-MASYARAKAT

KABAR BUDAYA
40 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Masyarakat menjadi bagian dari kegiatan yang adaDinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang

Indonesia kaya akan alam dan budaya. Tidak salah jika Asisten Direktur

Jenderal Bidang Budaya (ADG Culture) UNESCO Francesco Bandarin berkata kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir

Effendy bahwa Indonesia merupakan negara “super power” di bidang budaya. Pernyataan ini disampaikan di sela-sela kehadiran mereka di Sidang Umum UNESCO ke-39 yang berlangsung di Markas Besar UNESCO, Paris, November 2017. Fakta berkata bahwa di seluruh belahan bumi ini hanya Indonesia yang memiliki begitu banyak keragaman alam dan budaya.

Indonesia memiliki 17 ribu pulau yang tersebar di 38 provinsi (termasuk 4 provinsi baru di Papua: 2022), 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 74.957 desa, dan 8.490 kelurahan (data tahun 2019). Sebuah potensi yang sangat luar biasa. Lantas, seperti apa tata kelola bidang kebudayaan dan bagaimana peran pemerintah daerah (Pemda) dalam mengembangkan dan memanfaatkan potensi budaya atau objek pemajuan kebudayaan di wilayahnya merupakan tantangan yang mesti dijawab dengan cara mengimplementasikan Undangundang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Pemajuan Kebudayaan

Tanggung Jawab Bersama

Amanah UU No. 5/2017 sangat jelas, yaitu, Pemajuan Kebudayaan berada di bawah dikoordinasi Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan karena hal ini merupakan upaya peningkatan ketahanan budaya dan merupakan

kontribusi budaya Indonesia bagi peradaban dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan kebudayaan. Pemajuan kebudayaan kita berasaskan toleransi, keberagaman, kelokalan, lintas wilayah, partisipatif, dan manfaat, Keberlanjutan, kebebasan berekspresi, keterpaduan, kesederajatan, dan gotong-royong sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5/2017 Pasal 3.

Tujuan pemajuan kebudayaan kita sangatlah mulia yaitu menjadi haluan pembangunan nasional, di antaranya: mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan citra bangsa, mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melestarikan warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia sebagaimana tertuang dalam UU No. 5/2017 Pasal 4.

Teknis pelaksanaan Pemajuan

Kebudayaan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat, baik individu maupun komunitas. Namun, pemerintah daerah (Pemda) berperan penting dalam tata kelola objek pemajuan kebudayaan. Peran ini melekat secara berjenjang dari tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang

Pemajuan Kebudayaan terkait tugas kabupaten/kota dalam mitigasi potensi budaya di daerahnya dengan menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) sebagai acuan pemajuan kebudayaan

Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD)

Pemajuan kebudayaan berpedoman pada PPKD kabupaten/kota, PPKD provinsi, strategi kebudayaan, dan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) sebagaimana termaktub dalam UU No. 5/2017 Pasal 8. PPKD menjadi basis pemajuan kebudayaan secara berjenjang mulai dari kabupaten/kota kemudian naik ke tingkat provinsi dan nasional sebagai modal menyusun strategi kebudayaan selanjutnya menjadi acuan RIPK (UU No. 5/2017 Pasal 10). PPKD kabupaten/ kota menggambarkan kondisi terkini OPK, sumberdaya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan, pranata kebudayaan, sarana prasarana, potensi masalah pemajuan kebudayaaan, dan analisis rekomendasi untuk implementasi pemajuan kebudayaan di setiap kabupaten/kota (lihat UU No. 5/2017 Pasal 11 ayat 2).

Data terkini yang dihimpun Pusat Data dan Informasi Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dari 514 kabupaten/kota, memperlihatkan bahwa penyusunan PPKD bergerak dinamis dengan rincian sebagai berikut:

Tahun 2018: 301

Tahun 2019: 59

Tahun 2020: 32

Tahun 2021: 19

Tahun 2022: 18

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 41

Data menyatakan bahwa dari total 429 kabupaten/kota yang ada, 79 kabupaten/ kota belum menyusun PPKD, termasuk di antaranya Provinsi DKI Jakarta yang

terdiri dari 6 (enam) kota. Perlu diketahui, PPKD merupakan hal krusial yang harus disusun oleh kabupaten/kota sebagai

bentuk komitmen dan kesungguhan dalam pemajuan kebudayaan. Sebuah

komitmen yang wajib diperbaharui dari waktu ke waktu sebagai dasar kebijakan dan skala prioritas dalam pemajuan kebudayaan di setiap kabupaten/kota.

Contoh Baik Pemajuan Kebudayaan di Tingkat Pemda

Pemajuan kebudayaan di sebuah wilayah

memerlukan komitmen yang kuat antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, diperlukan kreativitas, kerja keras, jejaring kerja, dan pembiayaan agar program dan kegiatan bisa berlangsung, berdampak luas, menginspirasi, memberikan kontribusi pada pelestarian budaya dan peningkatan ekonomi masyarakat. Sebagai tambahan, perlu adanya kesadaran kolektif untuk mewariskan OPK, khususnya kepada generasi muda.

Komitmen pemajuan kebudayaan

bermula dari tata kelola institusi sebagai pengelola bidang kebudayaan. Data yang

dikumpulkan hingga bulan November 2021 menunjukkan bahwa dari 34 provinsi baru 7 provinsi yang memiliki dinas kebudayaan, yakni Sumatera Barat, DKI Jakarta, Riau, Bali, Kepulauan Riau, dan DI Jogjakarta. Hal ini sejalan dengan

UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan

Daerah, para gubernur dan bupati atau walikota dapat membentuk Organisasi

Perangkat Daerah (OPD) untuk mengelola urusan penting daerahnya, termasuk kebudayaan.

Sementara itu, kabupaten/kota yang telah memiliki dinas yang khusus menangani kebudayaan adalah

Kota Sawahlunto, Kabupaten Buton, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Kutai Timur, Kota Makassar. Dinas-

dinas tersebut difokuskan untuk mengurus OPK secara berkelanjutan dan memberikan perhatian lebih, terlihat dari program kerja, pada kegiatan bidang kebudayaan yang didukung pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ataupun dana lain dari berbagai sumber.

Kabupaten Belitung Timur berkomitmen untuk mengembangkan rempah dan kebaharian, membangun museum kebaharian sebagai dukungan pada revitalisasi budaya rempah dan menyelenggarakan festival Jelajah Pesona Jalur Rempah (JPJR).

Sementara itu, Pesta Kesenian Bali (PKB) dapat berlangsung puluhan tahun. PKB

NDX menjadi bintang tamuDinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang
42 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Bupati Sragen beserta jajarannya dalam SangiRUN Night Trail 2022 – Jessika Nadya

dikelola secara sistemik melalui program, mekanisme penyelenggaraan, jejaring dan dukungan pendanaan yang baik.

Oleh karena itu, PKB sudah menjadi agenda tahunan yang ditunggu-tunggu dan melibatkan seluruh komponen masyarakat Bali. Kedua pemda di atas merupakan contoh baik upaya pemajuan kebudayaan hasil kolaborasi pemerintah daerah dan masyarakat.

Meskipun demikian, pemda yang tidak memiliki dinas kebudayaan tersendiri juga memiliki komitmen terhadap kebudayaan. Beberapa pemda tersebut terlihat menggeliat dan bersemangat dalam mengangkat potensi dan kearifan budayanya dengan cara yang lebih kreatif dan diterima masyarakat. Mereka

juga berjejaring dan membuat kegiatan kekinian yang lebih menyenangkan (fun) dan unik sehingga diminati oleh masyarakat.

Komitmen mereka ditunjukkan dengan menyelenggarakan beragam kegiatan pelestarian kebudayaan dengan melibatkan masyarakat dan berjejaring dengan berbagai pemangku kepentingan serta berkomunikasi dengan pemerintah pusat dalam hal advokasi program dan pengembangannya. Hal ini sangat positif, mengingat dengan berjejaring dengan berbagai pihak akan meningkatkan exposure media maupun dampak yang ditimbulkan dibandingkan melakukan sendirian. Untuk itu sangat penting untuk membangun jejaring kerja antar

instansi maupun masyarakat baik individu maupun komunitas bersinergi menggeliatkan pemajuan kebudayaan di tingkat daerah.

Bagaimanapun, OPK daerah harus bergerak, kreatif dan melibatkan seluruh unsur yang ada dalam masyarakat. Gotong royong menjadi keharusan dalam mengembangkan program, pendanaan dan pelaksanaan kegiatan. Selain itu bersinergi, saling mendukung dan kepedulian serta komitmen pemda adalah kunci utama dalam pemajuan kebudayaan di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Salam Budaya.

(Yayuk Sri Budi R: Kapokja Pengembangan)

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 43
44 I INDONESIANA VOL. 15, 2022 KOMIKSTRIP
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 45

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah IV

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah I

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah II

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah III

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah VII

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah V

Balai Pelestarian Kebudayaan WilayahVI

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah XII

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah VIII

Balai

Pelestarian

Kebudayaan

Wilayah IX

Balai

Pelestarian

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII

Balai Pelestarian Cagar Budaya

(BPCB) dan Balai Pelestarian Nilai

Budaya (BPNB) telah lama menjadi unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Kebudayaan di daerah.

Namun perkembangan di lapangan

menunjukkan bahwa pemisahan

tata kelola cagar budaya dan nilai

budaya kerap menjadi rintangan bagi upaya pemajuan kebudayaan.

Alih-alih berfokus pada ekosistem kebudayaan yang menyeluruh, pembagian itu dipandang menciptakan sekat-sekat pengelolaan yang membatasi ruang

gerak pemajuan kebudayaan. Oleh karena itu, sejak 1 November 2022 struktur BPCB dan BPNB dilebur ke dalam Balai

Pelestarian Kebudayaan (BPK) dengan fungsi menjalankan pelestarian terhadap cagar budaya dan objek pemajuan kebudayaan. Dengan struktur baru ini diharapkan dapat terwujud pengelolaan warisan budaya yang dapat memperkuat ekosistem kebudayaan di setiap daerah.

Kebudayaan

Wilayah X Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah XI

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV

46 I INDONESIANA VOL. 15, 2022 INFOGRAFIS

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah XIV

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah XVII

Balai

Pelestarian Kebudayaan

Wilayah XXI

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah XXIII

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah XXII

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah XVIII

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XX

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX

Balai Pelestarian Kebudayaan

Wilayah XVI

NOMENKLATUR, BALAI PELESTARIAN KEBUDAYAAN

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I

Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh

Provinsi Aceh

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II

Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III

Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera

Barat

Provinsi Sumatera Barat

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IV

Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau

Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V

Kota Jambi, Provinsi Jambi

Provinsi Jambi dan Provinsi Bangka Belitung

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI

Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan

Provinsi Sumatera Selatan

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII

Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu

Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII

Kota Serang, Provinsi Banten

Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX

Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X

Kabupaten Sleman, Provinsi D.I.Yogyakarta

Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI

Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur

Provinsi Jawa Timur

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII

Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat

Provinsi Kalimantan Barat

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII

Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah

Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi

Kalimantan Selatan

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV

Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur

Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi

Kalimantan Utara

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV

Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI

Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara

Provinsi Nusa Tenggara Timur

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVII

Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara

Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII

Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah

Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi

Barat

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX

Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan

Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi

Tenggara

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XX

Kota Ambon, Provinsi Maluku

Provinsi Maluku

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXI

Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara

Provinsi Maluku Utara

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXII

Kota Jayapura, Provinsi Papua

Provinsi Papua

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXIII

Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat

Provinsi Papua Barat

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 47

Tenun Ulap Doyo Kearifan Dayak Benuaq

WASTRA
48 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

Pulau Kalimantan memiliki

kekayaan budaya jenis tekstil

tradisional yang unik dan khas.

Satu di antara banyak produk tekstil

tersebut adalah tenun ulap doyo. Kain

tenun ini menjadi semacam identitas bagi suku Dayak Benuaq yang mendiami

sebagian Kalimantan Timur. Bahan baku, proses pembuatan, dan motif khas kain tenun ini merupakan warisan budaya

masyarakat Dayak Benuaq yang tak ternilai harganya.

Ulap doyo merupakan produk asli

Kalimantan Timur yang hanya ada di daerah Kutai Barat dan Kutai

Kartanegara. Mengapa hanya di dua wilayah tersebut? Dalam cerita yang

berkembang, pada suatu ketika suku Dayak Benuaq merantau ke Kalimantan

Selatan dan membawa tanaman doyo, namun ternyata tanaman itu tidak bisa tumbuh. Masyarakat Dayak Benuaq akhirnya kembali dan menanam doyo di daerah asalnya, dan membudidayakannya sebagai tanaman yang digunakan untuk membuat kain. Karena alasan sejarah itulah ulap doyo disebut sebagai tumbuhan regiosentris khas daerah Kalimantan Timur.

Tanaman doyo (Curliglia latifolia) dan berbagai tumbuhan yang digunakan untuk pewarna alami kini sulit didapatkan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan

di Kutai Barat sejak tahun 90-an.

Kawasan hutan jadi semakin jauh dari permukiman penduduk. Doyo yang biasa tumbuh di ladang penduduk juga tak dapat ditemukan karena para petani beralih menjadi pekerja tambang dan perkebunan kelapa sawit.

Kain tenun doyo terkenal karena memiliki kualitas yang bagus dan lebih alami. Ulap doyo berarti daun doyo. Tanaman doyo memiliki serat daun yang kuat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai benang dan ditenun menjadi kain oleh suku Dayak

Benuaq. Kain ini memiliki beragam motif yaitu motif Dayak dengan motif flora dan fauna. Keunikan lain dari tenun doyo adalah produknya bersifat eco-natural,

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 49
Rumah Panjang Dayak BenuaqEdy Gunawan

artinya tidak menggunakan bahan kimia. Proses produksi juga menggunakan caracara yang alami. Menenun dengan sistem

gedogan tidak menggunakan mesin.

Pewarnaannya menggunakan rempahrempah dan tumbuh-tumbuhan yang

ada di sekitar lingkungan seperti kunyit

kuning, hijau pandan, daun ketapang, serta aneka buah-buahan hutan yang

sangat bermanfaat dalam proses

produksi tenun doyo

Proses pembuatan tenun doyo dimulai

dengan pengambilan daun doyo sekitar

60-100 lembar di hutan. Daun doyo

kemudian direndam di air sungai hingga daging daunnya hancur. Setelah itu, serat daun doyo diambil dengan cara dikerik menggunakan sebilah pisau bambu. Proses penenuan dimulai dari memintal (moyong) serat doyo dengan cara membelah serat-serat doyo menjadi

2-3 mm dan kemudian dipilin menjadi benang. Serat ini kemudian ditenun dan dipilin menjadi benang kasar. Benang daun doyo tersebut kemudian diwarnai dengan menggunakan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan. Pada dasarnya, warna asli serat doyo untuk bahan tenun adalah berwarna putih atau krem. Agar

warna kain tenun doyo menjadi bervariasi sehingga memunculkan motif-motif yang indah, maka digunakan berbagai jenis bahan pewarna.

Warna-warna dan bahan pewarna yang biasa digunakan dalam tenun doyo seperti disebut dalam buku Tenun

Doyo Daerah Kalimantan Timur karya U Achmad U, M Thafer, dan C.J Taihuttu (1994) meliputi: 1. Hitam. Warna ini diperoleh dari asap hasil pembakaran damar yang dicampur dengan cairan pekat. Selain itu, bahan pewarna hitam juga dapat diperoleh dari daun pohon kebuau yang sudah tua. Serat daun kebuau tersebut direbus bersama dengan serat daun doyo sehingga serat tersebut menjadi berwarna hitam.

2. Merah. Bahan pewarna merah untuk tenun doyo terdiri dari tiga macam, yaitu batu alam, biji buah glinggam, dan kulit batang pohon uar. Batu alam atau lado yang diperoleh dari Sungai Lawa Bentian Besar di daerah Tanjung Isuy ini hanya merupakan alat untuk memberi warna merah pada tenun. Caranya, batu alam digosokkan pada piring putih dengan sedikit campuran air, kemudian dicoletkan pada benang tenun. Lalu, biji buah glinggam (Annatto bixa orellana) yang agak tua yang telah dicampur dengan air diremas di dalam mangkuk hingga mengeluarkan cairan berwarna merah kental. Setelah itu, cairan berwarna merah tersebut dioleskan atau dicoletkan pada benang tenun kulit batang pohon uar. Kulit pohon dikupas dan dipotongpotong, kemudian ditumbuk hingga air getahnya keluar, dan selanjutnya direndam selama satu malam hingga airnya menjadi merah tua. Setelah itu, serat daun doyo direndam dalam air getah kulit luar selama beberapa jam hingga serat tersebut menjadi merah.

50 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Alat tenun Ulap DoyoEdy Gunawan Dokumentasi foto yang disimpan dalam rumah panjang - Edy Gunawan

3. Hijau. Warna ini dapat diperoleh

dari daun putri malu (Aminosa pudica)

dengan cara terlebih dahulu dilumatkan, kemudian direbus hingga berwarna

hijau kental, dan selanjutnya dioleskan

pada benang tenun. 4. Kuning. Warna ini diambil dari umbi kunyit (Curcuma longa)

dengan cara diparut dan diberi air sedikit, kemudian diperas hingga mengeluarkan

cairan berwarna kuning kental, dan selanjutnya dioleskan pada benang

tenun. 5. Coklat. Warna ini diperoleh

dari akar kayu uwar dan oter dengan

cara diambil getahnya dan kemudian dioleskan pada benang tenun.

Proses selanjutnya adalah menyambung

serat benang satu demi satu hingga

panjangnya mencapai 100-200 meter, kemudian digulung (muntal lawai) seperti bola sebesar kepalan tangan. Setelah itu, benang disusun dan dikencangkan

hingga menjadi rapi dengan menggunakan alat yang disebut ngorak uta. Selanjutnya, benang diikat dan dilipat dua hingga menjadi sehelai kain. Helaian kain tersebut kemudian diberi warna dasar dan motif-motif sesuai keinginan pengrajin sebelum dijemur hingga kering. Langkah terakhir, pinggir kain dipotong dan dijahit sehingga terbentuklah lembaran kain doyo yang siap untuk diproses menjadi berbagai pakaian jadi.

Teknik pembuatan kain tenun doyo telah diwariskan secara turun-temurun melalui proses yang unik. Perempuan Dayak Benuaq mulai menguasai proses pembuatan tenun ini secara spontan sejak usia belasan tahun. Mereka menguasai tekniknya hanya dengan mengamati pekerjaan wanita yang lebih tua seperti ibu mereka dan orang tua mereka berulang-ulang, lalu mempraktikannya. Karena transfer keterampilan khas ini, hampir pasti sulit menemukan orang di luar suku Dayak Benuaq yang menguasai teknik tenun doyo

Motif Tenun Ulap Doyo

Secara umum, motif pada kain keramat doyo terinspirasi dari flora dan fauna di tepian Sungai Mahakam atau tema perang antara manusia dan naga. Motif pada kain juga menjadi identitas pemakainya. Motif waniq ngelukng misalnya digunakan oleh masyarakat biasa, sedangkan motif jaunt nguku digunakan oleh para bangsawan atau raja. Perbedaan strata sosial ini menandakan adanya sistem kasta yang berlaku dalam masyarakat, seperti yang terdapat pada umat

Cara memakai

kain khas Kalimantan

Timur ini cukup beragam dalam

kehidupan masa lampau. Tenun ulap

doyo dapat digunakan baik oleh pria maupun wanita dalam upacara adat, tarian, maupun dalam kehidupan seharihari suku Dayak Benuaq. Tenun ulap

doyo yang memiliki nilai sejarah, seni dan budaya lokal, merupakan salah satu dari 33 kain tradisional yang ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kita kini tidak hanya menjumpai tenun doyo dalam bentuk kain atau pakaian, melainkan untuk bahan tas, kerajinan tangan, dan topi. Perkembangan itu seiring peningkatan permintaan ulap doyo terutama dari wisatawan asing yang berkunjung ke sentra pembuatan ulap doyo di Kutai Kartanegara dan Kutai Barat.

(Edy Gunawan, BPCB Provinsi Kalimantan Timur)

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 51
Ornamen pada wastra Ulap DoyoEdy Gunawan

Perahu Sandeq

Pewarisan dan Pendidikan Karakter

PENGETAHUAN TRADISIONAL
52 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Sandeq untuk negeriMuhammad Ridwan Alimuddin

“Pada saat meminta perizinan ke kepala

sekolah sepertinya beliau ragu untuk

mengizinkan, karena kami berdua

perempuan semua. Beliau berkata

kenapa bukan laki-laki saja yang ditunjuk, untungnya kami memberi argumen dan memperlihatkan surat izin dari orang

tua kami. Mau tidak mau beliau tetap

mengizinkan kami,” catat Humauerah Nur Izzatinnisa, usai berlayar bersama perahu

legendaris Sulawesi Barat, sandeq.

Humauerah dan 20 siswa perwakilan

SMA se-Kabupaten Majene, Sulawesi

Barat mengikuti kegiatan Student on Sandeq, praktik berlayar yang diadakan

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bekerjasama dengan

Dinas Pariwisata Kabupaten Majene dan panitia Festival Sandeq 2022, 1 September 2022.

Saya mendapat kepercayaan dari

pemerintah Provinsi Sulbar untuk

mengkoordinir kegiatan pelayaran

sandeq dari Sulbar ke Kalimantan dalam

tajuk Festival Sandeq 2022. Kegiatan tersebut juga mengikutsertakan tujuh

perahu sandeq klasik, merupakan model asli perahu sandeq yang seharihari digunakan untuk menangkap ikan. Berbeda dengan sandeq lomba yang

tidak bisa dinaiki oleh non-pelomba, sandeq klasik lebih lempang dan aman. Nah, para siswa bisa menaikinya untuk merasakan sensasi berlayar.

Lomba perahu sandeq klasik bukan adu kecepatan, tetapi adu paling presisi membuat perahu sandeq klasik (sandeq penangkap ikan tradisional) ala-ala pelaut masa bahari. Siapa dapat memperlihatkan perahunya sebagai sandeq klasik, maka dialah pemenangnya. Nelayan

berupaya membuat sandeq semirip mungkin dengan sandeq masa silam. Misal penggunaan tali organik, alat masak dan makan dari tanah liat, dan alat tiup kerang. Kepada “orang darat” diperlihatkan bahwa inilah wujud sandeq yang asli.

Sandeq yang dibuat dalam beberapa tahun terakhir nyaris semua adalah sandeq lomba. Bentuknya mirip dengan sandeq klasik, tapi ukuran dan fungsi berbeda. Jika sandeq klasik hanya menggunakan bahan baku layar 50-60 meter, sandeq lomba bisa mencapai 130 meter. Lebar sandeq klasik bisa satu meter dengan tambahan semacam balai-balai di kanan kirinya agar ‘ruang’ di atas sandeq luas, adapun sandeq lomba dibuat amat ramping, lambung tipis, dan tanpa balai-balai. Panjang perahu sandeq lomba lebih dari 11 meter, sedangkan sandeq penangkap ikan di bawah 10 meter. Sandeq lomba hanya digunakan untuk lomba, usai lomba disimpan di darat, nanti ada lomba baru dipakai lagi.

Bukan Semata Perahu

Sandeq bukan semata perahu. Fisik sandeq terdiri dari lambung perahu, dengan ujung haluan buritan dibuat sedemikian rupa agar mudah membelah laut. Di bagian atas lambung perahu, melintang balok cadik yang disebut baratang. Di ujung baratang ada tadiq, batang kayu lamtoro berbentuk L terbalik. Ujung atas tadiq terikat di cadik, ujung bawah terhubung ke palatto atau katir dari bambu petung.

peloang atau bom layar. Bagian vertikal terpasang ke tiang layar dan yang horizontal di bom layar. Kalau layar tak digunakan, kainnya ‘tertumpuk’ di bom layar, agar tak lepas dililiti tali. Ketika mau dikembangkan, tali yang melalui semacam katrol di bagian atas tiang layar ditarik. Maka layar yang berada di bom layar akan terentang.

Sandeq bukan semata perahu. Di balik layar sandeq ada warisan pengetahuan dan karakter. Kita jangan terlena dengan nyanyian, “Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa…” Lagu ciptaan Bu Sud tersebut harusnya melecut generasi ‘tua’ untuk mengajak generasi muda (kembali) ke laut.

Di luar negeri, misalnya Amerika

Serikat, Prancis, dan Jepang, melatih generasi muda berlayar sudah lama dilakukan. Ada upaya sistematis yang diajarkan sejak dini, karena berlayar mencakup tiga hal penting: keselamatan, kesenangan, dan pembelajaran. Aspek terpenting adalah agar pelaut muda belajar untuk benar-benar mencintai laut serta memberi penghormatan dan penghargaan terhadap laut. Saat anak-anak dan remaja berlayar, mereka ditantang dengan berbagai kemungkinan, yakni mengemudikan perahu, navigasi, mengenal lingkungan laut, hingga mitigasi bencana.

Layar perahu sandeq yang berbentuk segitiga terletak di haluan, kira-kira seperempat dari panjang total perahu. Tiang layar disebut pallajarang. Bagian bawah tiang layar ada bambu yang melintang ke arah buritan, disebut

Bagaimana di Indonesia? Saat memasukkan kata kunci “latihan berlayar untuk anak muda” ke mesin pencari di internet, yang muncul adalah sekolahsekolah pelayaran formal. Tak ada yang dikelola komunitas. Pewarisan ilmu berlayar memang terjadi secara alami di komunitas pelaut/nelayan. Ketika

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 53

sang ayah mengajak anaknya ikut kerja di laut, maka sang anak akan melihat apa yang dilakukan ayahnya. Belum ada upaya sistematis untuk mengajarkan

keterampilan berlayar kepada anak-anak dan pemuda yang tidak hidup dalam tradisi laut.

Pewarisan ilmu dan kecintaan terhadap perahu bagi masyarakat hanya terjadi saat lomba perahu sandeq. Hanya saja, kegiatan tersebut lebih dominan aspek pariwisatanya. Upaya pendidikan masih

minim untuk tidak mengatakan tidak ada. Maka itu, saatnya sandeq untuk pendidikan, sebagai upaya mewariskan ilmu kebaharian kepada generasi muda. Hal inilah yang dicoba dalam kegiatan Student on Sandeq

“Pelajaran yang dapat dipetik yaitu tidak ada manusia yang dapat bekerja secara sendiri dan tidak saling bergantungan, karena posisi manusia atau pekerjaan sudah diatur masing-masing, serta kebersamaan akan mendatangkan suatu

cerita dan pengalaman yang baru buat hidup,” tulis Muhammad Faisal, peserta Student on Sandeq

Puncak Kebudayaan Mandar

Sandeq adalah puncak kebudayaan Mandar dalam bidang kebaharian. Untuk melihat “keutuhan” sandeq, diperlukan banyak sudut pandang. Ya, sandeq memang perahu bercadik tercepat di kawasan Austronesia, dari Madagaskar ke Pulau Paskah, dari Taiwan ke Selandia Baru. Bak seorang wanita, sandeq tidak hanya cantik fisik belaka, tapi cantik yang memancar dari dalam diri. Sandeq memiliki banyak keindahan dan keagungan yang kasat mata, sehingga butuh pengamatan telaten untuk menyingkapnya, dan sebagian terbungkus dalam rahasia-rahasia.

Jauh hari sebelum pohon ditebang di hutan, ketika pemesan dan penebang kayu membuka lembar rumus mistis bernama “kutika” yang kumuh guna mencari hari baik, sejak itulah kita

Anak-anak menarikan tarian Pattuqduq Tommuane - Jeffry Pembukaan lomba SandeqJeffry
54 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Sandeq di Istana NegaraMuhammad Ridwan Alimuddin

mulai melihat sandeq. Ketika kayu dibawa ke battilang, ketika sang tukang memulai ritual pembuatan, dan ketika perut sandeq pertama kali menyentuh air laut, semuanya memiliki cerita.

Itu baru awal. Bagaimana gerangan ketika sang punggawa mengikat leher kemudi ke kottaq sanggilang (sanggar kemudi)? Di saat tali layar ditarik, ketika punggawa menarik-ulur baya-baya (tali daman), ketika angin datang dari sisi kanan, ketika tak ada arus, ketika angin begitu hebat, ketika ombak tak bersahabat, dan ketika sandeq merapat kembali di pantai? Itu baru sebagian. Alasan apa yang ada di benak nelayan sehingga sandeq harus selalu putih dan bersih? Apa latar

belakang sehingga ada filosofi Lopi sandeq na malolo (perahu sandeq yang cantik)?

Bisa dikatakan sandeq asli menjelang kepunahan. Nyaris tak ada lagi sandeq untuk

menangkap ikan yang dibuat lagi. Yang ada pun tinggal menunggu

hancur digerogoti

cuaca atau dijual pemiliknya untuk

peruntukan lain, misal dinding

rumah atau

malah jadi

kayu bakar.

Maka itu, sandeq

jangan ditinggalkan di hari-hari terakhirnya. Sandeq memiliki aura untuk tetap dibuat dan dilayarkan, meski bukan untuk menangkap ikan.

Dewasa ini sandeq sudah menjadi “budaya pop” bagi masyarakat Sulawesi Barat, sebagaimana K-Pop untuk Korea Selatan dan Hollywood untuk Amerika Serikat. Sandeq tak lagi melulu berlayar di laut. Sandeq ada di berbagai macam logo mulai instansi pemerintah hingga komunitas, sering menjadi media ekspedisi para pemuda yang melakukan kegiatan petualang, menjadi nama media, tukang sandeq diwawancarai media, sandeq menjadi koleksi museum di Australia, sandeq diundang ke Prancis, sandeq dibuatkan lagu, sandeq dilayarkan di halaman Istana Negara, dan filosofi sandeq dijadikan penyemangat.

“Kita harus seperti sandeq, kecil tapi cepat,” kata Pejabat Gubernur Sulawesi

Barat, Akmal Malik, yang menginisiasi Festival Sandeq dengan dana lebih empat miliar bukan dari APBD/APBN. “Kita harus menjadikan sandeq sebagai alat diplomasi. Nyaris tak ada yang menonjol di Sulawesi Barat yang bisa menjadi modal sosial kita selain perahu sandeq,” katanya ketika sandeq tiba di Manggar, Balikpapan. Ia pun turut berlayar dengan sandeq klasik.

Perahu sandeq adalah puncak evolusi perahu bercadik di kawasan Austronesia. Jika perahu-perahu bercadik lain sudah punah, sandeq masih berevolusi hingga kini. Jika awalnya terjadi karena Sandeq Race yang dilakoni pelaut-pelaut asli, semoga nanti sandeq juga dilayarkan oleh anak muda ‘orang darat’. Mereka akan menemukan sendiri gaya sandeq yang cocok, sandeq yang bisa mengajarkan karakter bahari.

(Muhammad Ridwan Alimuddin/Peneliti Perahu Sandeq).
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 55
Sandeq Sinar BanggaeJeffry

NYOBENG

Sembah Syukur Dayak Bidayuh

Paduapm, ritual memanggil atau mengundang roh leluhur untuk datang dalam ritual Nyobeng, sekaligus memohon izin atas ritual yang akan dilaksanakan - Dit. Kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat

Nyobeng merupakan upacara adat untuk mengungkapkan rasa syukur atas perlindungan Tuhan, menghormati perjuangan leluhur, dan mempererat persatuan antarsuku Dayak Bidayuh agar damai dan tidak terjadi kesalahpahaman. Upacara nyobeng merupakan tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Dayak Bidayuh Sebujit di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dalam bahasa daerah Dayak Bidayuh Sebujit, nyobeng berarti gawia nibakng atau bermain sibakng, sebuah instrumen perkusi, drum panjang yang digantung di dalam dan di luar rumah tradisional baluk.

RITUAL
56 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

Nyobeng sangatlah sakral. Puncaknya ialah membersihkan tengkorak manusia hasil pengayauan (membunuh musuh untuk diambil kepalanya) nenek moyang

suku Dayak Bidayuh. Saat ini tentu tidak ada lagi pegayauan. Nyobeng

dilakukan justru sebagai simbol untuk

mendamaikan pihak-pihak yang pernah atau sedang bersengketa.

Dahulu kala suku Dayak Bidayuh yang

tinggal di kampung Sebujit Desa Lhi

Buie Kecamatan Siding, Kabupaten

Bengkayang, Kalimantan Barat, kerap berperang demi mengumpulkan

batas wilayah kekuasaan, dan hasil mengayau kepala musuh mereka bawa pulang sebagai tanda kemenangan.

Kepala musuh kemudian disimpan di

memiliki citra sebagai orang-orang pemburu kepala. Mengapa kepala?

Ini dikarenakan suku Dayak Bidayuh meyakini bahwa kepala manusia memiliki kekuatan supranatural. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang telah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia serta penangkal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit, menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen, dan mengusir roh-roh jahat.

Hingga pada tahun 1894 lahirlah perjanjian tumbang anoy yang disepakati seluruh suku Dayak di daratan kalimantan (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam). Perjanjian itu berisikan kesepakatan untuk menghentikan

berganti menjadi ritual. Setiap tahun pada bulan Juni, ritual nyobeng atau gawia nibakng berganti menjadi upacara perdamaian dan pertemuan sanak saudara serta penghormatan kepada rohroh leluhur. Mereka meminta restu langit atas nikmat hasil bumi, juga keberkahan.

Upacara nyobeng dilakukan untuk menghormati arwah para leluhur yang diyakini masih menjaganya. Tengkorak musuh dikumpulkan di rumah adat yang terletak di tengah desa. Setiap tahun, tengkorak yang dihasilkan dari ngayau dimandikan dan dibersihkan. Meskipun tengkorak itu pernah menjadi musuh, rasa hormat itu diturunkan dari generasi ke generasi. Upacara nyobeng tahunan merupakan simbol perdamaian,

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 57
Indonesia adalah cintaDit. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat

Pelaksanaan Upacara

Tradisi nyobeng juga menjadi identitas suku Dayak Bidayuh serta menjadi daya tarik wisatawan bahkan menjadi upacara adat tahunan terbesar masyarakat Dayak. Oleh karena ini, pelaksanaan ritual tidak bisa sembarangan. Beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum ritual. Pak Amin, tetua adat suku Dayak Bidayuh bersama warga mempersiapkan berbagai keperluan ritual seperti sesaji berupa daun sirih, daun pinang, kapur sirih, tembakau, dan daun gambir. Warga juga membuat janur untuk digantung di depan rumah mereka, lalu juga menyembelih seekor babi yang darahnya akan dilumurkan di tiap tengkorak kepala. Para tetua adat menyiapkan berbagai sesaji yang ditetesi darah dari bagian sayap ayam.

Keesokan harinya sebelum matahari terbit upacara nyobeng diawali dengan ritual pemanggilan roh leluhur di rumah baluk, rumah adat berbentuk limas setinggi 15 meter. Ritual dipimpin oleh

Pak Amin. Ritual pemanggilan serta meminta izin ruh leluhur diiringi dengan mantra serta pemukulan sibakang atau bedug dan alat musik tradisional lainnya. Tujuannya untuk memberi semangat kepada kaum pria agar tidak gugup menghadapi musuh. Dalam konteks masa kini, musuh yang dimaksud bisa sangat beragam dan personal.

Setelah rumah baluk dibuka, mantra serta musik tradisional yang ada di dalam rumah harus terus dimainkan tanpa henti, alunan musik yang dimainkan juga sebagai tanda persahabatan. Sesaji tersusun rapih, ini merupakan penanda bahwa ritual nyobeng akan segera dimulai. Namun sebelum itu tetua adat dan masyarakat berkumpul di pelataran rumah baluk, melakukan ritual memotong bambu untuk sangiang atau tempat sesajian. Ritual dilanjutkan dengan namwey atau penyambutan tamu yang dilakukan oleh tetua adat dan para ksatria yang perlahan menuruni rumah baluk dan berjalan menuju batas desa.

Pada tahap ini para tamu undangan digambarkan sebagai anggota kelompok yang datang dari mengayau. Penyambutan dilakukan dengan pakaian adat sumpit, mandau, dan senapan lantak yang dibunyikan ketika para tamu undangan memasuki batas desa. Tetua adat dan ksatria juga berseru-seru sambil mengacungkan senjata. Seruan dan letupan lantak memang menjadi syarat dalam memanggil roh para leluhur sekaligus meminta izin berlangsungnya nyobeng.

Sebelum tamu benar-benar diperbolehkan memasuki desa, para perempuan melempar telur kepada seorang tamu. Jika telur ayam tidak pecah, maka tamu undangan yang datang dianggap tidak tulus atau masih ragu-ragu, sebaliknya jika pecah di badan berarti tamu undangan datang dengan ikhlas atau tidak ragu-ragu. Para tamu kemudian disuguhi makanan dan minuman ringan. Mereka juga diberi beras kuning yang ditaburkan ke bawah

58 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Persiapan area upacaraDit. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat

untuk mahluk halus serta beras putih yang dilempar keatas untuk Tipa Iyakng (Tuhan). Ketua adat membaca doa dan rombongan tamu diantar ke rumah adat baluk.

Ritual memotong kepala anjing menjadi salah satu ritual yang mengundang perhatian. Kepala anjing menjadi sesajian untuk para leluhur sekaligus sebagai penolak bala. Setelah itu, tetua adat, masyarakat, dan para tamu menari bersama.

Ritual yang bersifat hiburan dalam nyobeng adalah panjat aur atau memanjat pohon secara terbalik. Para tetua membaca mantra lalu memanjat tiang bambu dan memercikkan air ke tubuh para peserta dengan daun amhuang. Seluruh peserta menari di sekitar tiang bambu. Tradisi ini konon dilakukan oleh ksatria untuk menunjukkan kekuatan mereka.

Nyobeng bukan sekedar perayaan

bagi suku Dayak Bidayuh, namun juga sebentuk ibadah dan ekspresi kegembiraan. Orang-orang dari berbagai suku berkumpul untuk melakukan tarian ini selama festival, untuk syukuran panen atau upacara pernikahan. Pertunjukan di pesta pernikahan sangat populer karena menarik banyak kerabat yang hadir. Nyobeng niscaya adalah bagian penting dari budaya Dayak yang menyatukan banyak orang. Tari nyobeng telah berkembang menjadi sebentuk seni unik dan menarik bagi penonton tradisional serta non-tradisional. Setiap kali digelar nyobeng, selalu ada warga Malaysia turut serta, bukan hanya karena mereka adalah bagian dari keluarga Dayak

Bidayuh, tetapi juga karena desa Hli Buei (Sebujit) terletak di daerah perbatasan.

Dayak Bidayuh hidup dalam tradisi berkerabat, juga percaya pada kekuatan gaib dari masyarakat primitif di sekitarnya. Mereka adalah bagian dari alam sehingga sering melakukan pengorbanan atau persembahan sebagai penghormatan terhadap alam. Kelahiran, kematian, dan keselamatan diminta dan dihindari melalui ritual. Penghormatan pada leluhur dan penghargaan akan kematian yang dilakukan Dayak Bidayuh mungkin didasarkan pada mitologi. Dalam konteks ini, mitologi membuat orang menyadari bahwa ada kekuatan magis di dunia ini, dan mitologi membantu manusia untuk menghargai

kemampuan ini untuk mempengaruhi dan mengendalikan kekuatan alam dan suku-sukunya.

Nyobeng, yang sebelumnya adalah perayaan kemenangan atas musuh, kini menjadi ungkapan syukur atas hasil panen selama satu tahun, dan sekaligus mendoakan agar mereka tetap hidup damai.

(Darus

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 59
Hadi, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Ditjen Kebudayaan Kemdikbudristek) Ritual buka rumah BaluqDit. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Upacara penyambutan tamuDit. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat

Revitalisasi Bahasa Daerah Malut Ngom Ua Nage Ana Adi

Penggunaan bahasa daerah dalam beberapa tahun belakangan ini terus menurun, karena beberapa

faktor, di antaranya penutur jati sudah

enggan menggunakan bahasa daerahnya dalam kehidupan sehari-hari. Keengganan

penutur jati dalam bertutur bahasa daerah

disebabkan oleh perubahan pola pikir yang menganggap bahwa penggunaan bahasa

daerah di lingkungan keluarga sehari-hari

menjadi salah satu penyebab kebodohan.

Hal ini dikarenakan penguasaan bahasa

daerah membuat anak-anak atau siswa

“malas” menggunakan Bahasa

Indonesia sebagai bahasa negara.

Tentu pola pikir seperti ini keliru, dan bertentangan dengan upaya pelestarian bahasa daerah.

Pengutamaan bahasa negara menjadi suatu hal yang mutlak. Namun, pengutamaan bahasa negara harus memberikan ruang dalam pelestarian bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa, baru

daerah yang dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mencegah kepunahan suatu bahasa daerah adalah revitalisasi

BAHASA
60 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar

Makarim. Kebijakan revitalisasi bahasa daerah perlu menjadi perhatian utama bagi pemerintah daerah. Program ini sebagai langkah awal dalam upaya peningkatan penutur bahasa daerah.

Berdasarkan Pasal 42 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2009 tentang

Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan:

“Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan

melindungi Bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia”. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah dalam upaya pelestarian bahasa

daerah adalah wajib.

Pemetaan bahasa daerah yang telah dilakukan oleh BPPB (data tahun 2019), bahasa daerah di Maluku Utara yang terpetakan berjumlah 19 bahasa yang tersebar di sembilan kabupaten/kota.

Sembilan belas bahasa daerah tersebut yaitu bahasa Bacan, Bajo, Buli, Galela, Gane, Gorap, Ibu, Kadai, Makean Dalam/ Timur, Makean Luar/Barat, Melayu, Modole, Patani, Sahu, Sawai, Sula, Taliabu, Ternate, dan Tobelo. Hal ini berbeda

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 61
Salah satu desa di pesisir Pantai Pulau Mangoli, Kab. Kepulauan Sula - Nurul Istiqamallah

dengan Pasal 1 ayat (8) Peraturan Daerah

Provinsi Maluku Utara Nomor 9 Tahun

2009 tentang Pemeliharaan Bahasa

dan Sastra Daerah yang menyebutkan

bahwa bahasa daerah yang tumbuh dan berkembang di Maluku Utara sebanyak

31 bahasa. Mencermati jumlah bahasa

daerah di dua peraturan tersebut, kita

melihat bahwa dalam kurun waktu

sepuluh tahun ada penurunan 12

bahasa daerah. Sehubungan dengan hal

tersebut, pencegahan bahasa daerah dari

kepunahan melalui revitalisasi bahasa

daerah menjadi suatu keniscayaan.

Pasal 23 ayat (1) Peraturan Presiden

Nomor 63 Tahun 2019 tentang

Penggunaan Bahasa Indonesia

menyebutkan, “Bahasa Indonesia wajib

digunakan sebagai bahasa pengantar

dalam pendidikan nasional”. Selanjutnya

dalam ayat (2) Bahasa Indonesia sebagai

bahasa pengantar dalam pendidikan

nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam seluruh jenjang pendidikan”.

Lebih lanjut dalam ayat (3) “Selain Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, atau bentuk lain yang sederajat pada tahun pertama dan kedua untuk mendukung pembelajaran”. Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah seharusnya justru meningkatkan kompetensi siswa di daerah, bukan malah sebaliknya sebagai hambatan,

agar eksistensi bahasa daerah bertahan dan jumlah penutur meningkat.

Revitalisasi Empat Bahasa

Terdapat empat bahasa daerah yang direvitalisasi di Maluku Utara pada

tahun 2022, yaitu bahasa Ternate di Kota Ternate, bahasa Sula di Kabupaten Kepulauan Sula, bahasa

Tobelo di Kabupaten Halmahera

Utara, dan bahasa Makean Timur di Kabupaten Halmahera Selatan. Kegiatan revitalisasi bahasa daerah (RBD)

diselenggarakan oleh Kantor Bahasa

Provinsi Maluku Utara di antaranya

adalah pelatihan guru master yang

62 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Nelayan Lokal di Perairan Kepulauan SulaNurul Istiqamallah

terus dipantau hingga pascapelatihan dan pelaksanaan Festival Tunas

Bahasa Ibu (FTBI) di tingkat kabupaten/ kota dan provinsi. Sebelumnya, para pemangku kepentingan bertemu untuk menyamakan persepsi.

Pelatihan guru master dilaksanakan di masing-masing kabupaten/kota yang

menjadi sasaran RBD. Tujuannya untuk

melatih guru-guru/pengajar bahasa

daerah dalam pengimbasan bahasa

daerah, baik ke sesama guru/pengajar yang lain, ke siswa, atau ke sesama siswa.

Adapun pemantauan pascapelatihan

guru master bertujuan untuk memantau

pengimbasan pengajaran bahasa

daerah yang telah dilakukan guru master di sekolah dan komunitas. Dari

hasil pemantauan ini rata-rata sekolah dan komunitas sudah melakukan pengimbasan pengajaran pascapelatihan dan mempersiapkan siswa atau peserta didik dalam ajang Festival Tunas Bahasa Ibu.

FTBI tingkat kabupten/kota di Provinsi Maluku Utara tahun 2022 dilaksanakan oleh dua pemerintah daerah yaitu Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Kepulauan Sula. Adapun Kabupaten Halmahera Selatan dan Kota Ternate dapat mengikuti FTBI tingkat provinsi berdasarkan data hasil pemantauan oleh Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara dan rekomendasi dari dinas terkait. FTBI dilaksanakan sebagai bentuk apresiasi pengajaran bahasa daerah dalam bentuk lomba. Terdapat enam kategori dalam FTBI tingkat provinsi, yaitu lomba mendongeng, membaca puisi, dan tembang tradisi

untuk tingkat siswa sekolah dasar; serta lomba berpidato, menulis cerpen, dan lawakan tunggal atau komedi tunggal (stand up comedy) untuk tingkat siswa sekolah menengah pertama.

Revitalisasi bahasa daerah diharapkan meningkatkan penutur bahasa daerah di kalangan generasi muda agar eksistensi bahasa daerah tetap terjaga dan terpelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Urgensi dari revitalisasi bahasa daerah sejalan dengan pernyataan bahwa satu bahasa punah sama dengan satu peradaban punah, dan untuk membangun sebuah peradaban membutuhkan waktu ribuan tahun. Ngom ua nage ana adi, kalau bukan kita, siapa lagi? Ayo, selamatkan dan lestarikan bahasa daerah!

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 63
(Nurul Istiqmallah, S.H., M.H, Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara).

Apa Kabar Tambang Batu Bara

he Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto (OCMHS) / Warisan Tambang Batu Bara Ombilin –Sawahlunto adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa cagar budaya yang digabung menjadi satu narasi cerita bernilai global dan diusulkan menjadi warisan dunia. Merupakan satu kesatuan sistem transportasi pengangkutan batubara dari lokasi penambangan, melewati rel kereta api di sepanjang Danau Singkarak, kemudian sampai di tujuan akhir yaitu tempat penyimpanan batubara terakhir sebelum diangkut ke dalam kapal menuju daratan Eropa.

Persaingan antar negara-negara kolonial untuk menguasai sumber daya energi turut mendorong Pemerintah Hindia Belanda untuk pencarian sumber daya energi di daerah-daerah koloni. Penemuan sejumlah besar deposit batubara di Cekungan Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, menarik minat Pemerintah Belanda untuk melakukan investasi dalam operasi penambangan batubara di wilayah tersebut karena potensi dan nilainya yang sangat besar.  Oleh sebab itu, mulailah pembukaan tambang batubara OCMHS di Sawahlunto pada tahun 1891. Pembangunan tambang dan

WARISAN DUNIA
64 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Mak Itam - Alfian Siagian

sistem transportasi batubara sampai

tempat penyimpanan akhir ini dibangun secara bertahap sampai dengan awal tahun 1900-an, sesuai perkembangan kebutuhannya di masa itu.

Sejak pertama kali ditemukan dan dioperasikan, kepemilikan dan pengelolaan tambang batubara Ombilin sudah beberapa kali berganti pihak.

Walau begitu, kegiatan eksploitasi dan pengelolaan tambang batubara Ombilin tetap berjalan sampai dengan tahun

1980-an yaitu saat tambang batubara

Ombilin dinyatakan sudah tidak efisien

lagi untuk dieksploitasi dan kegiatan eksploitasi tambang dihentikan pada

tahun 2002. Hampir 40 % penduduk sawahlunto yang mayoritas para pekerja tambang mulai meninggalkan kota yang mengakibatkan kota tersebut perlahan menjadi kota mati.

Pada tahun 2001, Walikota Sawahlunto pada masa itu, Amran Noor, menetapkan visi kota Sawahlunto: “Tahun 2020 Sawahlunto Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”, sebagai langkah awal memajukan dan menghidupkan kota kembali. Di satu sisi, rencana pengembangan kota demi

Objek-objek yang Perlu Dilestarikan

Ada 12 komponen Cagar Budaya yang terdapat di area Warisan Tambang Batu Bara Ombilin – Sawahlunto, yang berlokasi di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, tepatnya berada di Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Kota Solok, Kabupaten Solok, Kota Sawahlunto. Adapun luasan area zona intinya adalah 268,18 hektar, dengan luasan area zona penyangga adalah 7356,92 hektar.

memajukan dan menghidupkan kota kembali mampu membangun optimisme masyarakat Kota Sawahlunto. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran dari para pelestari tentang bagaimana bentuk pengembangan kota. Karena selama ini konotasi pembangunan adalah pengrusakan.

Oleh karena itu, mengajukan OCMHS menjadi warisan dunia UNESCO diharapkan dapat mendukung pelestarian kota, juga dapat membantu menghidupkan kota dan mendatangkan income (menyejahterakan) bagi masyarakat setempat melalui site visitation (kunjungan).

Area A: Situs dan Kota Tambang

Sawahlunto, berisi:

- Komponen A1. Situs Tambang

Soengai Doerian. (terdiri dari 5

atribut: Kompleks Lubang Tambang

Doerian, Kompleks Lubang Tambang

Padang Pandjang, Kompleks Lubang

Tambang Soengai Doerian, Lubang Tambang Loento, Terowongan Tambang).

- Komponen A2. Sekolah Tambang. (terdiri dari 1 atribut: Sekolah Tambang)

- Komponen A3. Kompleks Penyaringan dan Pemrosesan Batu Bara. (terdiri dari 1 atribut: Kompleks Penyaringan dan Pemrosesan Batu Bara).

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 65
Kemegahan arsitektur kolonial gedung PT. Bukit Asam, Tbk. - Alfian Siagian

- Komponen A4. Transportasi

Perkeretaapian Ombilin. (terdiri dari 4

atribut: Stasiun Keretaapi Sawahlunto, Pembangkit Listrik Kubang Sirakuak, Terowongan Keretaapi Kalam/ Lubang Kalam, Stasiun Keretaapi Muara Kalaban).

- Komponen A5. Kota Tambang. (terdiri

dari 5 atribut: Kompleks Perkantoran

Administrasi Tambang, Kompleks

Tempat Tinggal/ Perumahan Pekerja

Tambang, Fasilitas Kesehatan, Pasar, Fasilitas-fasilitas Pendukung).

- Komponen A6. Pembangkit Listrik

Salak dan Stasiun Pemompaan

Air Rantih. (terdiri dari 2 atribut: Kompleks Pembangkit Listrik Salak, Kompleks Stasiun Pemompaan Air Rantih).

Area B: Fasilitas Perkeretaapian & Struktur-struktur Pendukungnya, terdiri

dari:

- Komponen B1. Sistem Perkeretaapian. (terdiri dari 1 atribut: Sistem Perkeretaapian).

- Komponen B2. Stasiun Keretaapi Batu Tabal. (terdiri dari 1 atribut: Stasiun Keretaapi Batu Tabal).

- Komponen B3. Stasiun Keretaapi Padang Pandjang. (terdiri 1 atribut: Stasiun Keretaapi Padang Pandjang).

- Komponen B4. Jembatan Tinggi. (terdiri dari 1 atribut: Jembatan Tinggi).

- Komponen B5. Stasiun Keretaapi Kayu Tanam. (terdiri dari 1 atribut: Stasiun Keretaapi Kayu Tanam).

Area C: Fasilitas Penyimpanan Batu Bara di Pelabuhan Emmahaven (sekarang bernama Pelabuhan Teluk Bayur), terdiri

dari:

- Komponen C1. Penyimpanan Batu Bara Silo Gunung. (terdiri dari 1 atribut: Penyimpanan Batu Bara Silo Gunung).

Upaya Pelestarian

Sebagaimana disampaikan di atas bahwa mengajukan OCMHS menjadi

warisan dunia UNESCO adalah cara untuk dapat tetap mengembangkan wilayah, memakmurkan masyarakat setempat, namun tetap dapat menjalankan pelestarian. Dengan kata lain, pengajuan ini adalah upaya pembangunan berkelanjutan dengan tetap menjalankan pelestarian. Dengan kata lain, hal ini adalah upaya pelestarian yang menyejahterakan; karena menyejahterakan, maka berpotensi dapat berkelanjutan. Pengajuan cagar budaya menjadi warisan dunia UNESCO juga merupakan upaya diplomasi budaya pemerintah Indonesia dalam menunjukkan keberpihakannya terhadap pelestarian yang menyejahterakan.

Bersamaan dengan itu, terdapat beberapa isu pelestarian di dalam area kawasan OCMHS yang mengemuka, di antaranya adalah potensi pengrusakan rona lanskap area akibat penambangan liar, ketidakterawatan bangunan-

Pemanfaatkan bekas lubang ventilator di area tambang Soegar menjadi atraksi wisataAlfian Siagian

Penerang dalam lorong gelapAlfian Siagian

66 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

bangunan yang menjadi atribut, serta rencana pengembangan di dalam area kawasan.  Isu-isu pelestarian tersebut diselesaikan melalui hubungan kerjasama pengelolaan kawasan antar pihak terkait.

Sebagai contoh: Untuk mengatasi isu penambangan liar di area bekas tambang di Kota Sawahlunto, PT Bukit Asam, Tbk, selaku penguasa area dan konsesi, telah mengajukan perpanjangan konsesi

untuk wilayah

penguasaan

tambang

batubaranya.

Hal ini ditujukan

untuk

melindungi

area kawasan

dari para

penambang

liar, juga

melindungi dari

kemungkinan

pemberian izin

penambangan baru dari kementerian terkait.

Selain itu, perpanjangan izin

tambang PT Bukit Asam, Tbk, dimanfaatkan untuk ujian praktek

penambangan dalam (deep mining) oleh

sekolah tambang yang dibangun di area tersebut. Jadi praktek tambang yang

sekarang masih dilakukan dalam skala sangat kecil untuk keperluan edukasi.

Sehubungan dengan isu

ketidakterawatan bangunan-bangunan yang menjadi atribut, pemerintah (melalui Unit Pelaksana Teknis) bekerja

sama dengan pemerintah daerah, mendaftarkan bangunan-bangunan yang menjadi atribut OCMHS untuk dijadikan

cagar budaya, baik di level setempat, bahkan di level nasional. Sedangkan di tingkat masyarakat, dilakukan sosialisasi atau diseminasi tentang pelestarian tentang hal yang disarankan untuk dilakukan pada suatu cagar budaya, juga hal apa yang tidak

dikarenakan wabah virus covid-19 yang melanda dunia. Masa karantina wilayah pada tahun 2020-2021 untuk menekan jumlah orang terpapar virus covid-19 dimanfaatkan oleh para pengelola OCMHS untuk melakukan pemeliharaan rutin dan memonitor kondisi keterawatan/ketidakterawatan asetnya di Kota Sawahlunto dan di sepanjang jalur keretaapi Sawahlunto-Teluk Bayur.

Selain hal-hal tersebut di atas, ada sejumlah rekomendasi pelestarian yang disarankan oleh ICOMOS. Namun tidak semua hal bisa disampaikan karena masih dalam tahap proses pengerjaan. Demikianlah, pengajuan OCMHS menjadi warisan dunia UNESCO adalah wujud upaya Indonesia dalam menjamin pelestarian dan keberlanjutan kondisinya di masa mendatang.

Isu-isu pelestarian seperti tersebut di atas diharapkan dapat diselesaikan melalui hubungan kerjasama pengelolaan kawasan antar pihak terkait.

disarankan untuk dilakukan terhadap cagar budaya, khususnya pada objek yang berstatus warisan dunia.

Terkait rencana pengembangan di dalam area kawasan, pemerintah telah melakukan inisiasi penerapan Kajian Dampak Cagar Budaya (KDCB) pada beberapa objek atribut. Pasca pencatatan OCMHS sebagai warisan dunia UNESCO tahun 2019, tingkat kunjungan wisata ke area OCMHS sempat meningkat.

Namun hal tersebut tidak bertahan lama

Ahli Muda Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbudristek)

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 67
(Prita Wikantyasning, Pamong Budaya
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 67

Rumah Tuo Kampai Nan Panjang Masa Lalu untuk Masa Depan

Gerakan arsitektur berkelanjutan menjadi topik yang sering dibahas dewasa ini, terlihat dari tren desain perumahan yang mengusung konsep ruang terbuka, tanpa sekat, serta bukaan berdimensi lebar. Gerakan itu muncul untuk menyikapi pertumbuhan lingkungan binaan yang tidak diiringi dengan perencanaan yang bijak, sehingga menjadi salah satu penyumbang perubahan iklim dunia. Perencanaan semakin jauh dari penyesuaian iklim setempat, yang berujung mengandalkan teknologi sebagai rekayasa iklim penyebab pemborosan energi dan meningkatnya emisi karbon.

ARSITEKTUR
68 I INDONESIANA VOL. 15, 2022 68 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Kampai nan Panjang - Rohilfa Riza

Union internationale des Architectes (UIA), organisasi asosiasi arsitek nonprofit yang mewadahi lebih dari satu juta

arsitek di 124 negara menyatakan

bahwa banyak bangunan dan industri konstruksi berdampak pada perubahan iklim. Dimulai dari peralihan lahan

hijau menjadi lahan bangunan, proses pembangunan, hingga bangunan tesebut dimanfaatkan. Lantas, apakah kita

menyadari bahwa bangunan tradisional Indonesia telah menggunakan konsep arsitektur berkelanjutan sejak dulu kala?

Arsitektur berkelanjutan merupakan

arsitektur berwawasan lingkungan.

Mempunyai prinsip menciptakan

lingkungan binaan yang harmonis

dengan lingkungan sekitarnya. Indonesia

mempunyai beraneka ragam arsitektur

tradisional yang dapat menjadi sumber

inspirasi dan pengajaran untuk

penerapan nilai-nilai ekologis dalam

membangun lingkungan binaan. Pada

bangunan tradisional, masyarakat

membangun melalui proses ujicoba.

Pengalaman sehari-hari merupakan

referensi untuk setiap keputusan perencanaan.

Prinsip arsitektur berkelanjutan dapat dicapai melalui metode desain pasif, yaitu merancang bangunan sesuai dengan kondisi alam setempat seperti pada proses pembangunan bangunan tradisional. Metode ini menekankan pada kualitas ruang: kenyamanan termal, cahaya, penghawaan alami, serta kesehatan pengguna bangunan. Bangunan desain pasif akan menggunakan lahan secara bijak, dengan mengintegrasikan lansekap ke dalam perancangan, sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB).

Rumah Tradisional Minangkabau Rumah tuo kampai nan panjang, rumah tradisional Minangkabau merupakan salah satu contoh asitektur berkelanjutan, dibangun tahun 1700an. Merupakan rumah adat tertua di Nagari Balimbing, Batusangkar, Sumatera Barat, didirikan oleh Dt. Penghulu Basa dari suku Kampai. Rumah ini terdaftar sebagai cagar budaya yang dilindungi

oleh Negara. Falsafah “Alam Takambang jadi Guru” menjadi prinsip dalam pembangunan rumah gadang. Alam adalah sumber dari pengajaran, sehingga rumah yang dibangun harus harmonis dengan alam sekitarnya dengan desain yang menawan dan menyatu dengan latar perbukitan.

Bukan hanya responsif terhadap iklim, rumah tuo beradaptasi dengan kebutuhan kaum pemiliknya tanpa menghilangkan sisi keindahannya. Sebuah rumah gadang bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal tetapi juga tempat mendidik anak dan kemenakan, serta menampung kegiatan kaum: musyawarah, batagak pengulu, dan kegiatan adat lain. Hal itu terungkap dalam pepatah ”Tampek maniru manuladan, paaja baso jo basi, sarato budi jo malu, kok tumbuah dilantai tampek duduak, banamo data lantai papan, licin balantai kulik, kato munfakat nan tujuan, elok diambiak jo mufakat, buruak dibuang jo rundiangan.”

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 69 VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 69

Tata ruang rumah gadang dirancang lepas tanpa sekat pada ruang utama agar dapat menampung banyak orang. Bagian belakang merupakan kamar- kamar

untuk anak perempuan, mengikuti sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh suku Minang. Anak lelaki tidur di ruang utama, jika sudah balig akan tidur di surau. Ruangan di rumah tuo dibagi menjadi dua: bagian depan adalah ruang utama tanpa sekat untuk menampung

aktivitas bersama keluarga, aktivitas kaum dan adat, ruang tamu, dan dapur. Bagian belakang adalah biliak (kamar tidur).

Rumah tuo kampai nan panjang menerapkan desain pasif yang sangat responsif dengan lingkungan sekitar.

Terlihat dari pemilihan bentuk yang diterapkan disetiap bagian bangunan. Batusangkar mempunyai iklim dengan rata-rata curah hujan dan kelembaban yang tinggi, serta suhu yang dingin pada

malam hingga pagi hari, dan panas di siang hari. Curah hujan yang tinggi diatasi dengan desain atap yang curam sehingga air hujan cepat turun. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keawetan material atap, mengingat material atap asli adalah ijuk yang rentan rusak. Sedangkan untuk mengatasi suhu, rumah ini memiliki

banyak bukaan lebar dan menggunakan material kayu dan bambu yang bersifat hangat ketika cuaca dingin, dan sejuk ketika panas. Atap yang tinggi juga berpengaruh dalam mengontrol suhu ruangan. Rumah ini memaksimalkan penggunaan sumber daya alami

sebagai sumber energi, terutama untuk pencahayaan dan penghawaan.

Walaupun berbahan kayu dan bambu, rumah tuo kampai nan panjang masih

bertahan sampai saat ini, sejak lebih dari 300 tahun lalu. Jangan heran, kayu yang ditentukan untuk struktur utama maupun elemen arsitektur adalah kayu

berkualitas, dan dipilih berdasarkan kearifan lokal tentang pemilihan, penebangan, dan pengawetan kayu, sehingga kayu dapat berumur ratusan tahun. Pembangunan rumah tuo tidak menciptakan limbah karena memakai material alami.

Hal lain yang penting, dari total luas lahan 1600 m2, hanya 147 m2 yang digunakan untuk bangunan, itu sekitar 10% dari luas lahan, sedangkn 90% digunakan untuk halaman/lahan hijau. Bisa dikatakan, emisi karbon yang dihasilkan di lingkungan rumah tuo sangat kecil, kenyaman ruang akan dapat dirasakan apabila daya serap lingkungan seimbang dengan emisi gas yang dihasilkan. Tumbuh-tumbuhan dan tanah merupakan penyerap karbon alami yang paling efektif tersedia dalam jumlah banyak serta mudah didapat.

70 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

Berdasarkan data dari Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral, wilayah Batusangkar sebagian besar tersusun oleh endapan aluvium (lanau, pasir, dan kerikil, termasuk endapan rawa. (Qama) andesit Gunung Marapi, yang berumur kuarter, mengalami pelapukan yang cukup kuat berasosiasi dengan zona sesar aktif Semangko, sehingga Batusangkar termasuk daerah rawan gempa. Sadar dengan kondisi wilayah rawan gempa, rumah tuo ini menggunakan teknologi tradisional yang dapat meminimalkan kerusakan bangunan ketika terjadi gempa. Teknologi tersebut dapat dilihat dari material yang lentur dan ringan pada elemen arsitektur seperti kayu, bambu pada dinding dan lantai, serta ijuk pada atap, meski harus kokoh pada elemen struktural.

Rangka utama rumah tuo terbuat dari kayu lurus tanpa sambungan, dan harus memenuhi syarat yang sudah

ditentukan. Elemen struktural dirancang lentur hingga dapat meredam gempa dengan penggunaan sambungan tidak kaku dalam menghubungkan setiap rangka utama. Sambungan antar rangka menggunakan sistem kait, ikat, dan pasak kayu yang masih fleksibel dalam menerima guncangan. Menurut penelitian, bambu mampu merespon gaya yang dihasilkan gempa lebih baik dibandingkan beton dan baja.

Dalam menentukan lokasi, rumah gadang mengikuti pepatah petitih adat: Nan lereng ditanam tabu, nan tunggang ditanam buluah, nan gurun buek ka parak, Nan bancah jadikan sawah, nan munggu ka pandam pakuburuan, nan gauang ka tabek ikan, nan lambah kubangan kabau, nan padek ka parumahan.

Pepatah ini menyampaikan pesan untuk memanfaatkan alam sesuai kondisinya, tidak perlu banyak intervensi untuk mengubah lahan. Dalam memilih lokasi

rumah, misalnya, harus pada tanah yang keras dan datar sehingga tanah lebih stabil untuk meletakkan pondasi batu (sandi). Ingat ungkapan, sandi aman tiang selamat.

Rumah tuo terbukti dapat bertahan setelah ratusan tahun, sehingga dapat dijadikan rujukan prinsip arsitektur berkelanjutan yang berasal dari Indonesia. Dengan kata lain, prinsipprinsip yang dipakai oleh rumah ini dapat diterapkan pada bangunan modern saat ini, bukan dari segi masa dan bentuk, melainkan cara rumah tuo tersebut merespon lingkungan alam maupun komunitas penggunanya.

(Rohilfa Riza, S. Ars, Dit. Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemdikbudristek)

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 71

Miss Tjitjih

Jelang 95 Tahun Sandiwara Sunda

Kelompok Sandiwara khas Sunda Miss Tjitjih pada tahun 2023 yang akan datang akan berusia 95 tahun. Berdirinya kelompok toneel khas berbahasa Sunda ini ditandai dengan pertemuan Diva Sandiwara Sunda Sumedang, yaitu Miss Tjitjih dengan Aboebakar Bafaqih pemilik Komedie Stamboel keliling. Pertemuan itu terjadi di Sumedang ketika pemilik kelompok sandiwara keliling tersebut berpentas keliling Jawa Barat.

Menurut Syarifah Rohmah, ketua kelompok Sandiwara Miss Tjitjih, menuturkan bahwa pada tahun 1926, Sayyed Aboebakar Bafaqih, membawa toneel pimpinannya yang berbahasa melayu pasar mentas di kota Sumedang. Di sanalah Bafaqih kepincut dengan bertemu dengan Nyi Tjitjih yang sangat multitalenta serta cantik, bermain dan menyanyi dalam kelompok Sandiwara lokal di Sumedang.

Syarifah Rohmah atau Bu Omah, cucu Aboebakar Bafagih, mengisahkan bahwa ketika itu, Bafaqih terpesona dengan

bakat Tjitjih yang pada usia 18 tahun telah sangat piawai berakting, menyanyi, dan menari itu. Memang, pada kisaran tahun 1926 saja Nyi Tjitjih sudah sering dipanggil mempertunjukkan kemampuan berkeseniannya di depan bupati Sumedang dan tamu-tamu undangannya.

Setelah pertemuan itu, Bafagih mengajak Nyi Tjitjih yang sudah berusia 18 tahun untuk diboyong ke Batavia dan bergabung dalam kelompok toneel keliling yang baru bentukan Bafagih yang diberi nama Opera Valencia. Bafaqih langsung tertarik mengajaknya masuk ke dalam perkumpulan sandiwara bentukannya, Opera Valencia. Ajakan Bafaqih tersebut disambut baik Nyi Tjitjih. Mulai saat itu Nyi Tjitjih menjadi bagian dari Opera Valencia.

Bu Omah selanjutnya menggambarkan betapa Tjitjih adalah kelahiran Sumedang tahun 1908 itu meskipun hanya berbicara dalam Bahasa ibunya, Bahasa Sunda, namun berkat kecerdasannya Opera Valencia terangkat dan digemari masyarakat, khususnya kalangan pribumi di Batavia.

SENI PERTUNJUKAN
Syarifah Rohmah (Bu Omah) seusai pentaskan Mencari Kembang Wijaya Kusuma di Teater Besar TIMAlfian Siagian

KELOMPOK TONEEL MISS TJITJIH

Bagaimanapun, munculnya Miss Tjitjih

tidak dapat dielakkan dari kedatangan kelompok sandiwara “Bimanyurupa

Bangsawan” pimpinan Abubakar Bafagih

ke Sumedang. Dadang Badoet, sutradara muda dan pembelajar teater yang

sekarang tinggal dalam lingkungan Miss

Tjitjih ikut menambahkan bahwa Nyi

Tjitjih, pada awalnya hanyalah seorang gadis lugu asal Sumedang, Jawa Barat.

Dadang menambahkan bahwa Tjitjih

muda memiliki paras cantik, kreatif dan penuh disiplin dalam berkesenian.

Dalam perjalanannya, Miss Tjitjih

tampil sebagai primadona kelompok

sandiwara “Opera Valencia” di bawah

arahan Bafagih yang sangat piawai dalam

mengembangkan kisahan, carangan dan teknik berteater ala Bimanyurupa Bangsawan. Kelompok ini dalam waktu singkat menjelma kelompok yang paling digemari dan diminta mentas dari satu tempat ke tempat lain, dari satu panggung ke panggung lain. Sebagai sebuah penghargaan pada tahun 1928 Opera Valencia diubah menjadi Miss Tjitjih Toneel Gezelschap yang awalnya bahasa pengantar Melayu menjadi Sunda.

Bu Omah Kembali berkisah bahwa pada tahun 1928 rombongan Miss Tjitjih pada masa awalnya menempati sebuah tanah kosong sebelah Bioskop REK di Kramat Munde Senen Jakarta Pusat. Perjalanan sebuah kelompok kesenian yang sangat panjang dan berliku-liku, sejak saat itu Miss Tjitjih telah menjadi bagian penting

bagi kehidupan masyarakat Jakarta, namanya semakin terkenal sehingga Miss Tjitjih tidak dapat dipisahkan dari nuansa budaya Jakarta. Bu Omah selanjutnya menambahkan bahwa pada tahun

1931, kelompok sandiwara ini pernah di undang untuk melakukan pertunjukan di Istana Bogor. Hal ini menandakan bahwa kelompok sandiwara ini cukup diakui oleh kalangan Pemerintahan Kolonial Belanda kala itu.

Menurut Bu Omah, sebagaimana dikisahkan secara turun temurun dalam kelompok Miss Tjijih, kelompok sandiwara Miss Tjitjih termasuk kelompk yang sangat produktif. Kelompok ini pentas keliling Jawa Barat dan termasuk Jawa Tengah. Repertoire-repertoir seperti Gelung Ciyoda (sanggul Ciyoda), Gelung Cianjur (gelung Cianjur), Gejed Milo,

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 73 VOL. 73
Mess kediaman keluarga besar Miss Tjitjih di Cempaka Putih Jakarta - Alfian Siagian

Karnadi Bandar Bangkong (Karnadi Saudagar Kodok), Eulis Acih, Gagak Solo, Srigawa, Bentang Jaarbeurs (Bintang Jaarbeurs), Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama (Kesalahan anak dosanya orang tua), Mugiri, dan lain-lain merupakan andalan kelompok tersebut untuk dipersembahkan kepada masyarakat penontonnya. Memang, sebagian besar karya tersebut merupakan kisahan khas dari tatar Sunda.

Omah menambahkan, “semua tempat bisa dijadikan panggung. Miss Tjitjih bisa mentas di gedung bioskop, alunalun, pasar, atau lapangan kosong. Masyarakat pada waktu itu silih berganti mengundang pentas sehingga Miss Tjitjih harus berpindah-pindah. Dadang berkata bahwa semua jenis alat angkut sudah dimaksimalkan untuk memindahkan property dan perlengkapan pentas.

MISS TJITJIH DALAM PERKEMBANGAN ZAMAN

Sebagaimana diketahui bahwa yang khas dari Miss Tjitjih adalah di manapun berpentas mereka menggunakan

Bahasa Sunda, selain Nyi Tjitjih sendiri tidak bisa berbahasa Melayu—bahasa yang digunakan dalam kultur para kelompok sandiwara Stamboel kala itu. Bagaimanapun, Miss Tjitjih adalah kelompok sandiwara yang hidup dalam tradisi Tatar Sunda. Sudah dijelaskan di atas bahwa selain berbahasa Sunda kelompok ini memainkan repertoirerepertoir yang didasarkan pada kisahan yang hidup dan berkembang di tanah

Sunda. Tradisi Sunda inilah yang menjadi pembeda antara kelompok ini dengan kelompok sandiwara lain yang ada pada zaman yang sama seperti Mis Riboet, Miss Dja, dan tentu saja Dardanella.

Nyi Tjitjih meninggal dalam usia muda dan tidak sempat menikmati kemashuran kelompok toneel ini. Pada tanggal 27 Agustus 1939, Tuhan memanggilnya pada saat pentas di atas panggung setelah tuntas memerankan Sulastri dalam ceritera Gagak Solo.

Ada sebuah repertoire yang cukup fenomenal, yaitu Mencari Kembang

Wijaya Kusuma. Miss Tjijih, sang primadona digambarkan sebagai kembang indah yang sulit dicari dan tiada bandingannya. Pada puncak perhelatan Festival Teater Jakarta, pada penutupan Lebaran Teater (12/12/2022)

Dewan Kesenian Jakarta memilih lakon ini sebagai pemuncak perhelatan akbar tersebut.

Meskipun berkolaborasi dengan Wayang Orang Bharata dan berbagai kelompok silat dan sandiwara tradisi

74 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Kolaborasi Miss Tjitjih dengan kelompok teater tradisi pentaskan lakon Mencari Kembang Wijaya Kusuma - Alfian Siagian

Betawi, Miss Tjitjih tetap memilih untuk mementaskannya dalam bahasa Sunda di Teater Besar TIM. Dadang Badoet berkata

bahwa bagi Miss Tjitjih pementasan ini merupakan sebuah usaha dari periode ‘baru’ yang coba dibangun dari sebuah kelompok sandiwara ‘lokal’

yang masih bertahan, dalam usahanya mempertahankan identitas ‘sunda’ melalui konsistensi penggunaan Bahasa

Sunda dalam kultur pementasannya, juga

sekaligus usaha memperluas jangkauan penonton kekiniaan, disaat sandiwara

Sunda yang sudah mulai kehilangan animo menonton dalam kultur tontonan kekinian.

Dadang menambahkan bahwa Miss Tjitjih tidak hanya berhenti di titik ini. Miss Tjitjih juga berupaya menengok ke tradisi lain, yakni tradisi Eropa. Dadang

Badoet yang juga merupakan lulusan ISBI

Bandung ini menjelaskan bahwa Miss Tjitjih juga berupaya melihat kebudayaan lin, bahkan dari Eropa. Miss Tjitjih juga membawakan naskah Hamlet dalam versi Bahasa Sunda hasil terjemahan

Balai Pusataka sebagaimana di pentaskan di Makara Art Center UI (29/11/2018).

Dadang Badoet menambahkan bahwa hal itu merupakan semacam proses

‘perjumpaan’ dari sebuah kelompok lokal sandiwara terhadap ‘universal’ teater yang sudah lama berkembang.

Miss Tjitjih merupakan salah satu

aset penting dalam pelestarian dan pengembangan Seni Budaya daerah khususnya Seni Budaya Sunda Jawa

Barat. Untuk menghargai kesetiaan

dalam berkarya tersebut, atas prakarsa

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan

Yayasan Pembangunan Jawa Barat maka

pada Tahun 1987 didirikan Gedung

Pertunjukan Sandiwara Miss Tjitjih di Jl. Kabel Pendek Cempaka Putih Jakarta Pusat.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 75
(Alfian S. Siagian, Indonesiana) Bu Imas (Berkrudung/Sutradara Miss Tjitjih), Bu Omah (Ketua Miss Tjitjih), dan Sebagian pendukung pentas Mencari Kembang Wijaya Kusuma - Alfian Siagian Anak Wayang/Aktor-aktor Miss Tjitjih siap pentas - Alfian Siagian

Mencecap Manis Kipo, Mengunyah Kenangan

Merasa kepo dengan kipo? Datanglah ke Pasar Kotagede Yogyakarta, di sanalah pusatnya kipo, jajanan ringan sederhana yang bersejarah dan telah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda (WBTb) Indonesia pada 15 Agustus 2019. Kipo, penganan tradisional yang lazim disebut jajan pasar itu kabarnya hanya ada di Kotagede, pun hanya sedikit orang yang membuatnya. Hmmm…, apa benar?

KULINER
Iki
-
76 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
opo?
Zul Lubis

Kami awalnya tidak terlalu percaya jika kipo hanya dijual di Kotagede. Di zaman sekarang, pisang ijo khas Makassar pun banyak kita jumpai di Jakarta. Aneka penganan dari berbagai daerah mudah kita jumpai di toko pusat oleh-oleh. Maka itu, sebelum menuju Pasar Kotagede, kami mampir ke Pasar Pathuk, untuk mengecek keberadaan kipo, dan ternyata memang tidak satu pun pedagang jajanan menjualnya. Meski demikian, fakta itu belum membuktikan bahwa kipo tidak dijual di pasar lain.

Kami membeli sepuluh bungkus kipo terakhir di sebuah lapak makanan

tradisional di Pasar Kotagede. Satu bungkus berisi lima kipo, satu kipo berukuran satu ruas jempol tangan. Betapa mungilnya ukuran kipo, satu buah pasti kurang, lima buah terasa pas bahkan kurang. Mengenai ukuran kipo yang sangat kecil itu pasti ada penjelasannya, mungkin untuk memudahkan orang melahapnya, langsung satu kali santap, tidak perlu digigit. Jika hanya ingin mencicip sedikit, satu kipo cukup. Bentuk sebesar jempol tangan itu menjadi keunikan dan kekhasan kipo sehingga mudah diingat.

Paduan manisnya gula aren, gurihnya kelapa parut, dan pulennya tepung ketan memang terasa pas di lidah. Banyak jajanan tradisional yang menggunakan

isian enten-enten atau unti kelapa yaitu campuran kelapa parut dan gula merah, sebut saja kue mendut, kue ku, kue poci, dan dadar gulung. Akan tetapi, tambahan bahan lain membuat rasa masing-masing jajanan berbeda sehingga namanya puh berbeda. Cara memasak dan kemasan juga membuat masing-masing penganan menjadi khas.

Penganan zaman dulu memang tidak rumit, karena disesuaikan dengan kebutuhan. Nama kipo konon adalah kependekan dari iki opo? (ini apa?), satu kalimat tanya pendek yang dilontarkan seorang anak sewaktu melihat penganan yang awalnya belum punya nama. Kipo merupakan jenis kue basah tradisional yang dimasak dengan cara dipanggang. Bahan utamanya adalah tepung ketan, kelapa parut, dan gula merah. Bahan tambahan meliputi daun suji untuk pewarna,

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 77
Pasar tempat kipo dijualPasang Budy

Hijau yang menggugah selera - https:// www.freepik.com/premium-photo/ kipo-traditional-food-from-kotagedeyogyakarta-indonesia-made-from-glutinous-rice-flour-dough-which-is-shapedflat-filled-with-grated-coconut-which-iscooked-with-brown-sugar_22427405. htm#query=kipo&position=12&from_ view=search&track=sph

tepung tapioka untuk campuran adonan unti kelapa, dan kapur sirih untuk campuran adonan kulit.

Proses pembuatannya sederhana. Kulit kipo dibuat dari tepung ketan yang telah dicampur dengan air daun suji dan air kapur sirih. Isinya adalah enten-enten atau untuk kelapa yang dibuat dari paduan kelapa muda parut, gula merah, dan tepung tapioka yang diaduk rata hingga kalis dan tidak lengket. Setelah entenenten dimasukkan ke dalam adonan kulit ketan dan dibentuk sangat kecil, seukuran jempol tangan, lalu dipanggang. Pemanggangan kipo secara tradisional

menggunakan pemanggang dari tanah liat yang dilambari daun pisang yang telah diolesi minyak goreng. Kipo pun dibolak-balik hingga matang.

Membalik-balik kipo dengan tangan kerap membuat orang tidak sabar, tidak telaten. Satu kilogram tepung ketan dapat menghasilkan 80 porsi dengan satu porsi berisi 5-6 biji kipo yang dibungkus daun pisang. Dibutuhkan waktu satu jam untuk menghasilkan 25 porsi. Sebetulnya jika alat pemanggang berukuran besar,

Apakah terpikir untuk memanggang

kipo dengan menggunakan mesin oven, misalnya? Saya kira banyak orang berpikir demikian, namun hasilnya akan berbeda, dan kipo sebagai jajanan tradisional memang selama ini pun dibuat secara tradisional.

Penganan Bangsawan

Mataram

Kipo konon adalah satu di antara sekian jenis penganan para bangsawan Kraton Mataram, namun pamornya meluruh seiring runtuhnya Kerajaan Mataram dan bahkan merosot menjadi penganan rakyat jelata. Pada tahun 80-an kipo

78 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Bahan-bahan pembuat KipoZul Lubis

nyaris lenyap dari daftar jajanan pasar

khususnya di Kotagede karena hampir

tidak ada orang yang memproduksi.

Adalah Paijem Djito Soehardjo, seorang

perempuan asli Kotagede, yang tidak

pernah berhenti membuat kipo dan mengikuti pameran-pameran serta ruparupa perlombaan untuk mengangkat

kembali pamor kipo.

Berawal tahun 1986, ketika Bu Djito

menjadi peserta pameran makanan

berbahan khusus tepung ketan di Hotel

Ambarukmo Palace yang digelar oleh

Dinas Pariwisata dan PHRI dan meraih

juara empat, seperti dikutip dari buku

Kipo Bu Djito: Makanan Khas Kotagede Asli

dan Pertama terbitan Dinas Perpustakaan

dan Kearsipan Kota Yogyakarta (2018).

Sejak itu, pameran demi pameran ia ikuti, seperti pameran di Manggala Wana

Bakti Jakarta yang dihadiri Tien Soeharto

dan Pameran Adati Kraton Yogyakarta

Yogyakarta apalagi hanya Kotagede. Kipo diterima menjadi menu andalan untuk tamu, hajatan pernikahan, dan beragam acara.

Bu Djito mewarisi resep kipo dari ibunya, Mangun Irono, yang dulu kerap memasak kipo bersama teman-temannya. Mbah Mangun pada tahun 1946 menyerahkan pembuatan kipo kepada putrinya karena penglihatan matanya tidak lagi awas. Sejak itu, warung kipo milik keluarga yang berlokasi di Jalan Mondorakan Kotagede pun dinamai Kipo Bu Djito, merujuk nama peraciknya.

Karena Bu Djito makin berusia senja, putrinya Istri Rahayu melanjutkan usaha Kipo Bu Djito pada tahun 1991. Jenama Kipo Bu Djito tidak diubah karena nama itu sudah melekat kuat dan telah ditetapkan menjadi merek dagang. Istri meneruskan upaya mendiang ibunya untuk mempertahankan pamor kipo

Kipo Bu Djito meraih juara dua lomba makanan tradisional “Wisata Kampus” yang digelar Lembaga Pengabdiann

Masyarakat dan Dharma Wanita IKIP

Yogyakarta pada 1996 dan juara harapan dalam Lomba dan Pameran Makanan

Indonesia Kotamadya Dati II Yogyakarta pada 1999.

Kipo Bu Djito niscaya paling laris dipesan. Ketika kami mengunjungi tokonya di Kotagede, kipo sudah habis. Di atas meja ada tiga wadah besar berisi ratusan bungkus kipo yang semuanya sudah dipesan pelanggan untuk hajatan. “Kalau datang lebih pagi, mungkin masih kebagian,” kata cucu Bu Djito yang kami temui di tokonya. Apa boleh buat, lain kali kami pasti akan datang lebih pagi.

Membaca buku bahwa kipo telah

ada pada zaman Mataram dan kini menjadi kekhasan Kotagede, rasanya perkataan Peter Munz dalam Historical

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 79
Dijual bersama jajanan pasar lainnya - Pasang Budy

Urat Nadi PeradabanBatanghari Sungai

Sungai Batanghari adalah kawasan penting dalam sejarah peradaban

Nusantara, khususnya Pulau

Sumatra. Jejak arkeologis dan historis memperlihatkan jalinan hubungan

ekonomi dan politik kerajaan-kerajaan di kawasan Sungai Batanghari dengan India dan Cina. Hal tersebut tergambar dari tinggalan budaya di sepanjang Sungai

Batanghari, sungai yang menjadi jalan

utama, urat nadi peradaban Sumatra.

Kawasan yang kini menjadi prioritas di sekitar Sungai Batanghari adalah

Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, . Berdasarkan catatan perjalanan Cina, Muarajambi pada abad ke-5 dan ke-6 menjadi pusat pendidikan

Buddhisme. Pada abad ke-7 dan ke-8, Muarajambi menjadi bagian dari Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya sebagai pusat peribadatan agama Buddha terluas di Nusantara. Sungai Batanghari menjadi saksi kemegahan Muarajambi. Sungai

Batanghari menjadi ruang penyimpan memori jaringan perdagangan, hubungan politik, serta interaksi budaya yang terjadi pada abad-abad tersebut. Di sepanjang sungai inilah peradaban pesat berkembang.

Berabad kemudian, sejumlah anak muda menyusuri kembali Sungai Batanghari, guna memaknai kembali tinggalan budaya Batanghari dan menjadikannya pelajaran bagi masa kini juga nanti.

Ekspedisi

Ekspedisi Sungai Batanghari berlangsung

pada 12-22 Juli 2022. Pagi hari, 12 Juli 2022, lima puluh peserta Ekspedisi

Sungai Batanghari bersiap di Sungai

Dareh, Dharmasraya, Sumatra Barat.

Hari itu adalah pelepasan peserta untuk menyusuri kekayaan budaya di sekitar Sungai Batanghari. Mereka adalah peneliti, mahasiswa, dan pegiat komunitas budaya dari seluruh

Indonesia yang menekuni beragam ilmu, diantaranya sejarah, antropologi, arkeologi, teknik lingkungan, pariwisata, dan sosiologi. Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan dan Direktur Pelindungan Kebudayaan, Irini

80 I INDONESIANA VOL. 15, 2022 CAGAR BUDAYA

Dewi Wanti memberi sambutan saat acara pembukaan, sedangkan Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Ahmad Mahendra melepas peserta ekspedisi.

Para peserta yang dibagi menjadi 10 kelompok itu menyusuri kekayaan budaya dari Dharmasraya di Provinsi Sumatra Barat hingga Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Timur di Provinsi Jambi.

Perjalanan tidak sepenuhnya melalui transportasi sungai. Ketinggian air yang dangkal di beberapa titik mengharuskan

kami berganti-ganti moda, dari perahu tempel di Sungai Dareh sampai Situs

Candi Pulau Sawah, lantas naik bus

menuju Situs Padang Roco. Di kedua situs tersebut para peserta makin memahami arti penting pelibatan masyarakat dalam upaya pelestarian cagar budaya.

Titik henti ketiga adalah Kerajaan Siguntur. Setelah menyebrangi sungai dengan ponton, kami disambut dengan pertunjukan tari toga, silek pangean, dan diperlihatkan pula pembuatan rendang paku. Observasi kemudian berlanjut di Masjid Tua Siguntur, Makam Raja-raja Siguntur, dan Istana Siguntur.

Keesokan harinya kami melakukan observasi di Situs Teluk Kuali, Tebo, Jambi, yang merupakan objek

diduga cagar budaya. Tahun 1990-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui unit pelaksana teknisnya di Jambi pernah melakukan pendataan dan ekskavasi atas objek ini. Namun, dari struktur bata yang ditemukan dalam cekungan situs, kemungkinan bentuk candi belum dapat direkonstruksi. Kami juga mengobservasi Kawasan Kota Tua Tebo. Di sana terdapat makam, kantor pos, asrama benteng, pompa minyak, dan rumah sakit peninggalan kolonial, serta struktur tanggo rajo. Pada malam hari para peserta melihat praktik tari tari kliklang, lagu doa, nek pung, lagu panjang, dan turun mandi ke aek

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 81
Mengarungi peradaban BatanghariDit. Perlindungan Kebudayaan

Pada hari ketiga kami menuju Rambutan

Masam yang disambut Wakil Bupati

Batang Hari, H. Bakhtiar. Kami menikmati

sajian kompangan, tari sekapur sirih, dan tari ngebeng. Kami juga mengobrol

dengan para pemelihara situs di Makam

Keramat Johor dan Makam Keramat Adi

Tuo. Pada malam hari, kami mempelajari

banyak hal mengenai tradisi nengok

tuah budak, zikir syarrofal anam, mujuk

selang, bakohak, juga kuliner gulai aghis

pisang, permainan ayam-ayaman, dan

permainan elang-elangan. Kami juga

melihat objek diduga cagar budaya

artefak keramat milik Desa Rambutan Masam.

Memasuki hari kelima, ekpedisi menggunakan jalur sungai. Perjalanan mulai terasa menantang. Para peserta tampak sangat berbinar mengarungi sungai dengan kapal milik Korps

Kepolisian Air dan Udara (Polairud) dan kapal milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kedua kapal tersebut membawa kami ke Muara Tembesi, kawasan yang memiliki bangunan-bangunan peninggalan kolonial. Kami seakan dibawa ke masa kolonial.

Pada 16 Juli 2022, berangkat dari Ancol, Kota Jambi, kami kembali mengarungi Sungai Batanghari dengan kapal Polairud dan BNPB. Misi berikutnya adalah menyusuri tinggalan budaya di Desa Simpang Tua Kabupaten Batang

Hari berupa pengetahuan tradisional pembuatan kapal. Bak jantung kehidupan desa, dari pembuatan kapal berdenyut kehidupan mayoritas warga. Selanjutnya, kami menuju Situs Makam Orang

Kayu Hitam di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yakni makam seorang tokoh penting dalam perkembangan pemerintahan Islam pada abad ke-16 di Jambi yang dikenal dengan nama

Orang Kayu Hitam. Meski tak berkaitan, di sekitar makam terdapat pula tinggalan berupa strukturstruktur bercorak Buddha.

Perjalanan berlanjut ke arah timur. Menjelang senja, kami tiba di Teluk Majelis, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Peserta menyaksikan tradisi kompangan, silat kampilan, dan babalas syair, juga mengulik

sejarah Teluk Majelis, Manuskrip Syekh

Arifin, dan bahasa Teluk Majelis. Tari inai, tarian pada upacara pernikahan masyarakat Melayu sangat menarik hati para peserta. Malam terasa riang. Keesokan hari, kami menuju Tanjung

Solok, tempat tinggal Suku Duano yang termasuk suku laut tertua yang mendiami Kuala Jambi, Tanjung Solok. Kami disambut oleh warga yang antusias menjelaskan tradisi membuat jaring, bakul, tongkah, dan kapur dari kerang, juga penjelasan ihwal bahasa, cerita Sumbun, dan pengetahun melaut yang turun temurun di suku Duano. Oh ya, kami juga mengikuti ritual mandi mandi safat.

Pada 18 Juli 2022, kami berbalik ke barat ke Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi lalu ke Candi Gumpung dan Candi Kedaton. Hiburan malam berupa senandung jolo, musik gambang dano lamo, dzikir berdah, dan tkud membuat hati kami penuh.

Kegiatan berikutnya adalah seminar bertema “Batanghari: Dulu, Kini, dan Nanti” yang diharapkan dapat merekatkan para pemangku kepentingan dan masyarakat. Dirjen Kebudayaan

Hilmar Farid dan Gubernur Jambi Al Haris hadir memberikan kata sambutan. Para pembicara di antaranya Junus Satrio A. (Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional); Bambang Budi Utomo (IAAI); dan Lono L. Simatupang (Anggota Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia).

Rangkaian seminar diakhiri dengan pembacaan rekomendasi dan penutupan oleh Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Judi Wahjudin.

Kebudayaan dan Isu

Lingkungan

Sungai Batanghari mengalir di tengah

Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, menghubungkan Sumbar

82 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Tari Putri Teluk Kembang dari Tebo, JambiDit. Perlindungan Kebudayaan

(hulunya di Gunung Rasan) dan Jambi. Sungai Batanghari bermuara di Selat Berhala, di Pantai Timur Sumatra ke Laut Cina Selatan. Sepanjang aliran sungai inilah banyak terjadi interaksi budaya yang jejaknya masih dapat dijumpai hingga kini. Ekspedisi ini membuktikan bahwa sebagain besar tinggalan budaya di sepanjang Sungai Batanghari identik dengan kehidupan masyarakat sungai, masyarakat maritim yang telah terbiasa hidup berdampingan dengan keragaman budaya.

Tradisi seperti turun mandi ke aek dan mandi air asin memperlihatkan bahwa masyarakat di sekitar Sungai Batanghari masih mempraktikan warisan budaya yang identik dengan sungai. Namun, air

tidak lagi menggunakan air dari Sungai Batanghari karena sudah tercemar merkuri dari penambangan emas.

Pemukiman di sekitar Sungai Batanghari pun terdampak perubahan lingkungan. Akibat abrasi, hunian masyarakat di Teluk Majelis semakin bergeser. Mereka kehilangan banyak daratan. Permukiman di Teluk Majelis tidak lagi berhadapan langsung dengan sungai seluruhnya. Hal ini disebabkan perubahan besarbesaran di wilayah hutan disertai dampak gelombang dari kapal besar yang melintas dan menghantam tepian sungai.

Sungai Batanghari adalah penyimpan memori raksasa yang wilayah sekitarnya tidak hanya menjadi permukiman semata. Sungai Batanghari dan

sekitarnya saat ini dimanfaatkan pula sebagai kebun rakyat, perkebunan kelapa sawit, pembudidayaan ikan, dan tempat penimbunan batu bara (stockpile). Pemanfaatan kawasan tersebut tentu memberi dampak pada lingkungan dan masyarakat.

Ekpedisi Sungai Batanghari menjadi satu usaha untuk kembali menyusuri urat nadi peradaban Sumatra. Hasil ekspedisi diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perumusan kebijakan yang bertujuan meningkatkan pembangunan kebudayaan di kawasan Sungai Batanghari.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 83
(Annisa Mardiani, Tim Ekspedisi Sungai Batanghari, Direktorat Pelindungan Kebudayaan) Meneliti peninggalan di MuarajambiDit. Perlindungan Kebudayaan Mendengar kisah masyarakat di Muara TembesiDit. Perlindungan Kebudayaan Pembuatan perahu di Desa Simpang TuaDit. Perlindungan Kebudayaan
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 83
Sambutan warga Tanjung Jabung TimurDit. Perlindungan Kebudayaan

Hutan Adat Cisitu Leuweung MasyarakatHejo,Ngejo

“Mun aya, diayakeun, mun eweuh ulah diaya ayakeun…” begitulah pesan penting

Abah Yoyo Yohenda, Ketua Kasepuhan

Adat Cisitu kepada masyarakat dan tim verifikasi teknis hutan adat sebelum

melakukan verifikasi subjek dan objek

usulan hutan adat Cisitu. Abah Yoyo

berpesan agar masyarakat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya

serta tidak menambah atau mengurangi

informasi kepada Tim Terpadu Verifikasi

Hutan Adat Kasepuhan Cisitu.

Tim Terpadu terdiri dari beberapa

satuan kerja dan unit pelaksana teknis di Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan, Badan Informasi dan

Geospasial, Direktorat Kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan

Masyarakat Adat Ditjen Kebudayaan

Kemdikbudristek, serta STKIP Setia

Budhi Rangkasbitung. Tim Terpadu

yang dipimpin oleh Herry Yogaswara

dari Badan Riset dan Inovasi Nasional

memverifikasi berkas usulan hutan adat

dari masyarakat adat Kasepuhan Cisitu

terkait keberadaan subjek masyarakat

adat dan objek hutan adat.

Hutan adat merupakan salah satu skema perhutanan sosial yang diberikan pemerintah melalui Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Skema lain meliputi hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), dan kemitraan kehutanan. Hutan adat harus dikelola oleh masyarakat hukum adat, yakni masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan peraturan daerah.

Untuk wilayah Kesepuhan Cisitu, struktur adat dipimpin oleh Abah Yoyo Yehenda yang yang dibantu oleh beberapa baris kolot Baris kolot tersebut terdiri

dari dukun kolot, bengkong, catur galur, penghulu, paraji, dan pembantu dalam bidang lainnya. Dalam penerapan hukum adat, dikenal istilah tilu sapamilu, yakni tiga unsur penegak kebijakan yang harus diselaraskan penerapan, yaitu nagara, syara, dan mahaka (negara, agama, dan adat).

Masyarakat adat Kasepuhan Cisitu memiliki konsep tradisional dalam tata ruang wilayah adat yaitu leuweung tutupan (leuweung kolot), leuweung titipan, dan leuweung awisan. Leuweung tutupan/ leuweung kolot merupakan wilayah hutan yang sakral atau sama sekali tidak boleh digarap oleh masyarakat. Leuweung titipan adalah titipan dari karuhun sehingga untuk menggarapnya diperlukan wangsit dari leluhur. Lahan ini bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan mendesak, tentunya atas seizin dari sesepuh (ketua kasepuhan). Leuweung awisan adalah lahan cadangan, yaitu perluasan dari lahan garapan yang sudah dilakukan. Di lain pihak, negara melalui

Taman Nasional Gunung Halimun Salak memiliki zonasi dalam pengelolaan taman nasional, seperti zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lainnya (zona tradisional, zona religi, tradisional, rehab, khusus).

Tim verifikasi kemudian melihat tumpang susun dan irisan konsep pemanfaatan hutan dengan konsep zonasi dari taman nasional, dan ternyata terdapat persamaan fungsi hutan antara

84 I INDONESIANA VOL. 15, 2022 ADAT ISTIADAT

masyarakat

adat kasepuhan

dengan konsep dari taman nasional. Leuwung tutupan, misalnya, mempunyai fungsi yang sama dengan zona inti pada zonasi taman nasional, yaitu sebagai kawasan konservasi. Meski demikian, adakalanya temuan di lapangan menunjukkan adanya

perbedaan pengelolaan antara konsep negara dan masyarakat adat, misalnya fungsi hutan produksi (sebelumnya dikelola oleh Perhutani) ternyata merupakan areal persawahan yang sudah dikelola oleh masyarakat sejak lama. Bisa jadi sawah juga merupakan leuweung (hutan) garapan.

Sebelum mengusulkan penetapan hutan adat kepada pemerintah, masyarakat adat terlebih dahulu harus mendapatkan penetapan sebagai masyarakat hukum adat, dengan peraturan daerah jika lokasi

yang

diusulkan

berada dalam

wilayah hutan negara, dan dengan SK bupati jika wilayah yang diusulkan berada di luar wilayah hutan negara (Permen LHK No. 9 tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial). Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu sendiri sudah diakui oleh pemerintah melalui Perda Kab. Lebak No. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Kab. Lebak.

Dalam proses persiapan maupun verifikasi penatapan hutan adat, wilayah adat maupun calon lokasi hutan adat

haruslah “bersih”, misalnya sudah ada kesepakatan dengan wilayah adat atau pemerintahan desa tetangga dan tidak ada konflik. Proses-proses itu sekaligus menjadi media resolusi konflik terkait wilayah adat antara masyarakat adat internal maupun eksternal kasepuhan. Lebih lanjut, pemetaan partisipatif bertujuan agar masyarakat adat dapat mengenali objek maupun potensi di wilayah adatnya.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 85
Situs Pasir Tugu yang berada di Wilayah Adat Kasepuhan Cisitu - TimDu (Tim Terpadu) Verivikasi Teknis (Vertek) Hutan Adat (HA) Kasepuhan Cisitu

Interaksi dengan Hutan

Hutan pada masyarakat adat Kasepuhan

Cisitu memilki banyak fungsi. Leuweng

tutupan berperan menjadi fungsi

konservasi, menjaga kelestarian

ekosistem, maupun sebagai wilayah

tangkapan air yang dapat menjaga

kampung kasepuhan dari bencana banjir

dan longsor. Didalam hutan adat juga

terdapat potensi hasil hutan yang dapat digunakan untuk kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya. Di dalam hutan

terdapat rotan yang bisa dijadikan benda

kerajinan atau aksesoris, seperti boboko (tempat nasi), tas kaneron, maupun gelang tangan.

Terdapat juga bambu, yang bisa dijadikan

alat kesenian seperti angklung buhun yang terdiri dari gong-gong, panembal, kingking, inclok, Lower, dan dog-dog. Dalam suatu kesempatan diskusi dengan pemain angklung buhun, disampaikan bahwa permainan angklung menyampaiakan pesan bahwa alunan nada angklung buhun menyimbolkan keselarasan hubungan antara pemerintah, pelaku adat, hingga incu putu. Hal ini tercermin dalam keselarasan alunan nada yang keluar dari angklung buhun.

Potensi obat-obatan tradisional?

Tentu ada, sebut saja akar picung sebagai obat sakit perut, dengan cara direbus. Ada pula tuak ilat dari ilalang, yang diolah dengan cara mengambil

airnya, kemudian diminum. Ramuan ini digunakan untuk mengobati batuk ataupun juga untuk obat mata dengan cara meneteskannya ke mata yang sedang sakit.

Banyak hal harus dilakukan pascapenetapan hutan adat, tidak hanya terkait konservasi namun juga interaksi antara masyarakat pemilik hutan adat dan adatnya. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam interaksi budaya masyarakat karena kebutuhan ekonomi, sosial, dan sarana budaya juga berada dalam wilayah hutan. Dalam kaitan dengan budaya, terdapat bahanbahan makanan tradisional ataupun obat-obatan tradisional yang terhimpun

86 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu sedang memainkan Ankglung Buhun - Wewen Efendi (Dit. KMA/ Anggota TimDu Vertek HA Cisitu)

dalam memori dan pengetahuan masyarakat pemiliknya.

Pengetahuan tradisional mengenai pengolahan makanan atau pengenalan tetumbuhan sebagai obat tradisional hingga meraciknya hanya dimiliki oleh generasi tua. Proses pewarisan pengetahuan itu kadang mengalami kendala. Oleh karena itu, semangat anakanak muda adat perlu dibangkitkan, untuk menemukenali potensi budaya di dalam hutan adat.

Revitalisasi Adat Kasepuhan

Upaya-upaya tindak lanjut setelah penetapan sangatlah penting. Hutan adat haruslah dirasakan manfaatnya oleh incu putu yang ada di kasepuhan.

Undang-Undang No. 5 tentang Pemajuan Kebudayaan menyebutkan bahwa objek kebudayaan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan identitas bangsa maupun menunjang kekuatan ekonomi. Namun, sebelum itu, generasi muda dan incu putu lainnya harus mau menggali pengetahuan terkait objek pemajuan kebudayaan yang ada di wilayah adatnya beserta dengan potensi pengembangan dan pemanfaatannya. Pemerintah pusat maupun daerah juga turut hadir.

Generasi muda harus bersemangat untuk menggali pengetahuan tradisional dari para sesepuh/ kolot-kolot kasepuhan, dan selanjutnya menciptakan wadah atau ruang untuk pewarisan pengetahuan

tradisional tersebut. Abah Yoyo Yohenda menekankan bahwa pengenalan budaya kepada generasi muda harus terus-menerus dilakukan agar mereka dapat memahami budayanya, kearifan lokal, maupun pengetahuan tradisional kokolot. Upaya nyata, misalnya, dengan mengikuti praktik-praktik budaya atau ritual yang dilakukan oleh para tetua, misalnya pada saat persiapan ataupun pelaksanaan seren taun, upacara selamatan dari suatu siklus penanaman padi.

Penetapan hutan adat diharapakan mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Cisitu. Pemanfaatan hutan adat haruslah seimbang antara kebutuhan ekonomi, keseimbangan ekologis, serta pemajuan kebudayaan. Dengan demikian, cita-cita masyarakat adat dapat terwujud, seperti slogan mereka: leuweung hejo, masyarakat ngejo (hutan lestari masyarakat sejahtera).

(Wewen Efendi, Pamong Budaya Pertama

Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat)

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 87
Lahan sawah garapan masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu - : Wewen Efendi (Dit. KMA/ Anggota TimDu Vertek HA Cisitu) Bentang Alam wilayah Kasepuhan Cisitu - : Wewen Efendi (Dit. KMA/ Anggota TimDu Vertek HA Cisitu)

Membangkitkan Naga di Pecinan Glodok

SEJARAH
88 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Klenteng Jin De Yuan saat ini diyakini merupakan klenteng tertua di Jakarta yang diperkirakan sudah ada sejak awal abad ke18 - Ary Sulistyo, Indonesia Hidden Heritage Creative Hub

Tema konferensi Tingkat Tinggi

G20 di Nusa Dua, Bali pada 15-16

November 2022 yakni “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Bangkit Lebih Kuat” terasa sejalan dengan tujuan pembangunan

berkelanjutan (sustainable development goals) khususnya mengenai kota dan pemukiman inklusif, aman, tahan lama, serta berkelanjutan demi menguatkan upaya untuk melindungi dan menjaga

warisan budaya dan alam (Bappenas, 2019). Kota berkelanjutan secara sederhana berarti kehidupan masyarakat

yang berkembang dan berubah. Kota yang berkelanjutan juga berarti ruang menarik bagi masyarakat, budaya, perdagangan, dan ekonomi. Ruang tersebut menyediakan kesempatan untuk saling berinteraksi, bekerja, dan beraktivitas, sama seperti pendidikan yang mengembangkan potensi manusia, seperti ditulis Steven Cohen dan Guo Dong dalam The Sustainable City (edisi kedua, 2021). Tidak kalah penting pula adalah tantangan dalam pembinaan komunitas atau masyarakat berkelanjutan.

Kawasan Pecinan Glodok di Jakarta Barat

dengan jejak peninggalan sejarahnya

dapat dikatakan sebagai sumber daya

budaya kota, sesuai pernyataan Ashworth

dan Turnbridge dalam The Tourist-Historic

City: Retrospect and Prospect of Managing the Heritage City (2000), bahwa sejarah

telah menjadi warisan dan warisan

menjadi sumber daya kota. Pendekatan

manajemen sumber daya budaya dapat

diaplikasikan secara praktis untuk

merekam, mengevaluasi, melindungi, dan menyajikan peninggalan masa lalu untuk

masa depan kepada masyarakat, seperti

ditulis Carman dalam Archaeological

Resource Management: An International Perspective (2015). Peninggalan masa

lalu merupakan salah satu produk

dari wisata berbasis budaya yang jenis

kegiatan pariwisatanya menggunakan

budaya masa lalu. Sumber daya budaya

kawasan Pecinan Glodok yang dimaksud

adalah sebuah kawasan yang menyimpan

memori kolektif warganya melalui bukti fisik peninggalan masa lalu.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 89

Pariwisata kota dimulai tahun 80-an

terutama negara-negara di Amerika

Serikat dan Kanada (Anglo-American), berupa kegiatan pariwisata dihubungkan

dengan rekreasi ke luar kota atau

daerah pedesaan serta kontak langsung

dengan alam, meski dalam pandangan para industrialis, kota dipahami sebagai

tempat untuk kerja, perdagangan, dan pemerintahan. Di Kota Bologna, Italia

pada era 70-an dan 80-an, masyarakat

lokal memiliki inisiatif dan upaya dalam

mendorong inisiatif kewirausahaan yang

modern, seperti pariwisata, dengan

menciptakan peluang sinergi antara

konservasi bangunan bersejarah dengan

perbaikan lingkungan, termasuk dalam

regulasi perencanaan kota regional. Di

Indonesia, kita bisa melihat Kota Bandung, yang pada satu dekade belakangan terus dipercantik dan menjadi destinasi pariwisata berbasis warisan masa lalu, seperti di kawasan Braga.

Perkembangan dan pertumbuhan

Batavia (sekarang Kota Tua Jakarta) sejak

tahun 1645 tidak bisa dilepaskan dari

jasa Phoa Bing Am, seorang kapten Cina (kapitein der Chinezen) yang membangun

kanal. Ia membangun kanal-kanal pada

tahun 1648 untuk melancarkan jalur

kayu ke daerah pembuatan kapal dan ke

Pelabuhan Sunda Kelapa, dan daerah di

sepanjang kanal berkembang menjadi pemukiman yang didominasi oleh imigran Cina dan Eropa. Kota Batavia termasuk daerah yang sangat disukai imigran Cina sejak awal abad ke-19. Mereka berperan sebagai pedagang dan melayani jasa sebagai pialang antara pedagang pribumi dari pedalaman ke pasar internasional Asia Tenggara, meski Belanda lantas membatasi jumlah penduduk Cina dengan membuat peraturan imigrasi di kota-kota pesisir yang memicu pemberontakan.

Setelah pemberontakan tahun 1740, orang-orang Cina mulai ditempatkan di sekitar Kota (ommelanden), di kawasan yang dikenal dengan mana Petak Sembilan, mengacu pada peta lama bernama Chine Kwartier Sebanyak 5000 orang Cina yang memberontak dibunuh di belakang

Balai Kota Batavia atas perintah

Gubemur Jenderal Adrian Valckenier (1695-1751). Situasi memburuk karena meluasnya wabah malaria, kolera, dan pes di kawasan muara Sungai Ciliwung. Pascapembubaran VOC pada tahun 1795, Kota Batavia masih berkembang namun tidak lagi sehat. Gubernur Jendral H.W. Daendels saat memimpin pada 18081811 membongkar sebagian tembok kota dan kastil untuk pembangunan kota ke arah selatan atau weltevreden, kini daerah

Sumalyo dalam

Tua (2007)).

Sumber Daya Budaya Pecinan

Sumber daya budaya

dapat dipandang

sebagai rekaman

sejarah masingmasing suku bangsa, yang mencerminkan

kehidupan dan

penghidupan bangsa

Indonesia dengan segala aspeknya, baik sosial-budaya, ekonomi, maupun agama. Menurut sifatnya, sumber daya budaya dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu, yang bersifat fisik (tangible) dan nonfisik (intangible), dan keduanya merupakan kekayaan sekaligus kepribadian budaya bangsa. Panjangnya

rekaman sejarah manusia tersebut akan melahirkan warisan budaya, termasuk lansekap dan kawasan, yang di dalamnya terdapat sumber daya arkeologi.

Kawasan Pecinan berkembang dan memiliki sejarah yang panjang seiring dengan pertumbuhan

kota-kota praindustri

terutama kota-kota

kerajaan lokal (Denys

Lombard dalam

Nusa Jawa Silang

90 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Rumah berlanggam Cina ini dimiliki oleh Keluarga Souw, Keluarga Souw dulu terkenal sebagai keluarga kaya raya dan pernah menjabat sebagai liutenant der Chinezeen pada abad ke 19 - Ary Sulistyo, Indonesia Hidden Heritage Creative Hub Salah satu bagian Klenteng di Jin De YuanKITLV 41709

Budaya Jilid III: Warisan Kerajaan-Kerajaan

Konsentris, 2005), yang kemudian

mengalami kolonialisasi Belanda pada abad 17—20. Kota Batavia pada abad ke-18 begitu juga makin banyaknya migran dari daratan Cina yang datang dan berakulturasi dan berasimiliasi serta membentuk kawasan Pecinan (Glodok) sekarang. Di kawasan Glodok, Kecamatan

Tamansari, Jakarta Barat, misalnya, karakter historis kawasan tersebut sangat potensial untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah, yang pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu pusat kegiatan sakral dan pusat kegiatan profan.

Pusat kegiataan sakral diwakili oleh bangunan klenteng atau vihara dan gereja.

Klenteng dan vihara di kawasan pecinan Glodok cukup banyak, selain itu terdapat pula rumah abu marga, khusus untuk marga tertentu atau keluarga. Ada sekitar 5 klenteng atau vihara besar di kawasan pecinan Glodok, di antaranya adalah Vihara Budhi Dharma/Klenteng

Li Tie Guai, Vihara Ariya Marga/Klenteng

Nan Jing Miao, Klenteng Toa Se Bio, dan Klenteng Djin De Yuan, sedangkan gereja ada Gereja Kristen Indonesia

(GKI) Perniagaan dan Gereja Santa Maria De Fatima. Sedangkan pusat kegiatan profan, dalam hal ini adalah pusat-pusat aktivitas ekonomi yang dapat dijadikan destinasi wisata budaya dan warisan yang masih berdenyut meliputi pasar, jalan, atau gang, sekolah, dan rumah di kawasan Pecinan Glodok dan masih menunjukkan karakter kawasan bagian dari Kotatua Jakarta.

Pemanfaatan cagar budaya dapat dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Keberadaan sumber daya budaya di Pecinan Glodok yang menunjang tujuan pembangunan berkelanjutan ke 11: membangun kota dan pemukiman inklusif, aman, tahan lama dan berkelanjutan, target ke 4: menguatkan upaya untuk melindungi dan menjaga warisan budaya dan alam. Namun demikian, upaya pemanfaatan harus hati-hati dengan tetap mengedepankan prinsip meminimalisir kerusakan, juga mempertimbangkan pengembangan ekonomi kreatif berbasis cagar budaya lainnya, seperti pemanduan wisata, kerajinan dan lain-lain (Wiwin D Ramelam dalam Model Pemanfaatan Kawasan Cagar Budaya Trowulan Berbasis Masyarakat, 2015).

Dalam menunjang pembangunan kota berkelanjutan, kawasan pariwisata di perkotaan adalah bagian dari proses produksi sebuah kota yang tidak hanya dijadikan konsumsi. Jika berbagai upaya tersebut kita lakukan, boleh jadi kita sedang membangkitkan naga di Glodok, agar tegak berdiri lagi dan menyemburkan api.

(Ary Sulistyo, Penulis dan Peminat Sejarah Budaya)

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 91
Sekolah Menengah Atas Negeri 19 Jakarta Barat, dulunya merupakan markasnya organisasi nasionalis THHK (Tionghoa Hwe Kuan) tahun 1900 sebelum lahirnya Boedi Ooetomo - Ary Sulistyo, Indonesia Hidden Heritage Creative Hub
25723
Klenteng di Jin De Yuan pada tahun 1900anKITLV

Membentangkan Pesan Melalui

Wayang Beber

Apa kabar wayang purwa?

Wayang potehi? Wayang

beber? Wayang golek? Beragam

jenis wayang memang belum musnah, namun kritis. Masing-masing berjuang sendiri di semesta masa kini. Sungguh berat. Campur tangan pemerintah

pada situasi ini rasanya menjadi wajib, tidak hanya karena undang-undang mengamanatkannya, namun karena pemerintah sebagai bagian dari unsur negara juga memiliki tanggung-jawab

moral untuk melestarikannya. Komunitas atau perorangan yang peduli dan melestarikan warisan budaya takbenda tersebut tentunya patut kita apresiasi.

Rasanya --hampir pasti-- hanya karena cinta seseorang begitu bersetia menjaga warisan kearifan leluhur itu demi sejarah, kenangan, dan ilmu pengetahuan. Mari kita temui Indra Suroinggeno (kelahiran 1986), pecinta wayang yang mendirikan Museum Wayang Beber Sekartadji di Kanutan, Sumbermulyo, Bambanglipuro,

Bantul DI Yogyakarta dengan kocek pribadinya. Ia mencintai wayang beber dari hulu, dengan menanam pohon glugu (Broussonetia paapyrifera foliage) yang menghasilkan kertas dluwang, hingga hilir dengan menyebarkan pengetahuan wayang beber kepada anak-anak sekolah.

Indra membangun museum wayang beber di kediamannya, yang kemudian ia perluas dengan membeli rumah di sampingnya, milik kerabat. Tidak mudah mendirikan museum sendiri. Selain alasan finansial, regulasi juga harus diperhatikan. Indra pernah ditolak pemerintah daerah saat mendaftarkan museumnya, karena memenuhi syarat, misalnya tidak ada penyejuk ruangan untuk menjaga keawetan koleksi. Indra menjalani semua proses dengan sabar hingga museumnya kini dipercaya oleh sekolah kejuruan seni sebagai salah satu tujuan “kerja lapangan”. Jika pembaca Indonesiana ingin berkunjung ke Museum Wayang Beber Sekartadji, alamat dengan mudah dapat dicari di internet.

“Menanam pohon glugu itu mudah, karena akarnya tunas, jadi nanam satu tumbuh

MUSEUM
92 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Selamat datang di Museum Wayang Beber Sekartaji - Yudhi Wisnu

seribu. Yang sulit adalah kesabaran memproses kulit daging pohon menjadi kertas dluwang. Kertas dluwang ini dulu diproduksi untuk menggantikan lontar, mengakhiri era lontar, lalu berkembang hingga sekarang memakai kain. Tapi kertas dluwang ini masih dipakai juga,” tutur Indra ketika kami temui di museumnya yang asri, Juli 2022.

Pembuatan satu lembar kertas bisa memakan waktu satu pekan. Kulit pohon setelah diambil (diiris, dicukil, dilepaskan) dari batangnya lalu ditempa lebih dari seribu kali hingga tipis. Setelah itu kulit kayu difermentasi sampai tiga kali, dan dikuwuk atau dihaluskan dengan batu atau kerang menjadi sangat halus. Harganya? Rp 75 untuk satu sentimeter persegi.

Indra yang bernama asli Trias Indra Setiawan menempuh jalan berliku untuk sampai kepada titik mengabdikan diri pada pelestarian wayang beber. Setelah lulus STM Pembangunan jurusan Informatika pada tahun 2006 ia melanglang buana ke berbagai negara, bekerja di restoran dan kapal pesiar. Ia bertemu dengan banyak orang yang mengagumi budaya Indonesia dan bahkan menabung untuk bisa ke Indonesia. Saat itu Indra bertekad untuk pulang dan berkreasi di bidang kebudayaan. Orang asing sedemikian mengagumi budaya Indonesia, mengapa ia harus tinggal di luar negeri?

Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 2013, Indra menjadi pemandu wisata di Sono Budoyo Yogyakarta. Hatinya

makin terpaut dengan tradisi Nusantara, khususnya wayang, hingga pada tahun

2015 mendapatkan beasiswa dari Sri

Sultan HB X untuk menuntut ilmu di Akademi Komunitas Negeri Seni Busaya Yogyakarta selama setahun. “Saat masih di Sono Budoyo, saya mendirikan Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit dan juga nyantrik di Pak Sagiyo Kasongan. Kata Pak Sagiyo, emosi kita harus menyatu dengan wayang yang sedang kita buat, misalnya membuat Semar, emosi kita harus berubah seperti Semar, harus bijaksana. Itu tidak mudah,” kata Indra.

Cerita Wayang Beber

Wayang beber diperkirakan telah ada sejak abad ke-9 dan berkembang pada

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 93
Bahan pembuat wayangYudhi Wisnu Gambar-gambar yang akan ditampilkan - Yudhi Wisnu
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 93
Trian Indra Setiawan, pengabdi wayang beber - Zul Lubis

tahun 1145 pada zaman Kerajaan

Jenggala era Prabu Suryawisesa yang

menggunakan daun siwalan atau lontar sebagai “kanvas” menggambar. Seiring zaman, lontar diganti menjadi kertas dluwang, dan diganti lagi menjadi kain yang lebih fleksibel untuk digulung dan dibentangkan. Disebut wayang beber karena cara menceritakan dan memainkan wayangnya dengan cara melukiskannya di atas selembar kain (atau kertas) yang dapat digulung, lantas dibentangkan (dibeber) sedikit demi sedikit, perlahan, sesuai urutan penceritaan wayang yang telah dikelompokkan dalam beberapa pejagong (episode).

Pada masa mula keberadaannya, wayang beber mengambil cerita dari relief-relief di candi-candi, lantas digunakan untuk sarana penyebaran agama. Mengutip

Bagyo Suharyono dalam buku Wayang

Beber Wonosari (2005), kini hanya ada dua versi wayang beber yang dikenal masyarakat, keduanya

wayang beber Pacitan dengan cerita Joko Kembang Kuning dan wayang beber Wonosari dengan cerita Remeng Mangunjaya.

Koleksi Museum Wayang Beber Sekartadjati cukup memadai meski tidak benar-benar lengkap. Museum ini menjadi museum yang memang khusus menyimpan koleksi wayang beber dan memberi rupa-rupa pengetahuan serta pelatihan wayang beber bagi para pecinta wayang utamanya para siswa sekolah dan mahasiswa. Hal itu patut diapresiasi.

Satu koleksi yang menarik perhatian kami adalah wayang beber lontar Sutasoma yang belum terdeteksi tahun pembuatannya, merupakan wayang beber tertua kedua dari daun lontar (wayang beber tertua kabarnya dilukis di atas batu sedangkan tertua ketiga ditulis di atas kertas dluwang). Wayang ini menceritakan barata yudha cangka ottara. Koleksi lain adalah wayang beber kamasan Ramayana dengan gambar

Indra mendapatkan hibah wayang beber Sabdo Praloyo Genggong yang menceritakan Arjuna dan wayang beber Romo Mangun Joyo dan Joko Kembang

Kuning yang merupakan wayang beber Pacitan. Sebagian koleksi Indra memang didapat dari hibah dan sebagian lain ia dapat dengan membeli kepada kolektor sebelumnya.

Kami berjalan pelan menelusuri koleksi milik Indra yang luar biasa itu. Kami berhenti di wayang beber Ireng Putih Nusantara yang indah. “Wayang adalah cahaya, adalah bayangan kita sebagai manusia. Saya yakin wayang tidak akan musnah karena kita bagian dari wayang. Kalau pakem, itu sesuatu yang diciptakan lalu disetujui serta dikukuhkan oleh

masyarakat atau kelompok, sehingga kita tidak bisa memaksakan pakem kita pada yang lain,” tutur Indra.

Wayang Beber Pancasila

Indra pada tahun 2017 mengembangkan wayang beber Pancasila, yakni wayang beber yang menyuguhkan

adegan-adegan yang menggambarkan pengamalan nilai-nilai dalam lima sila

Memamerkan salah satu koleksi - Zul Lubis Salah satu sudut Museum Wayang Beber - Yudhi Wisnu

Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Ia memandang bahwa wayang beber

dapat menjadi media yang menarik

untuk mengajak generasi muda lebih

memahami nilai-nilai luhur Pancasila, sekaligus melestarikan wayang. Sekali

tepuk, dua nyamuk tertangkap. “Bahasa

kerennya, ini misi penguatan nilai-nilai

luhur yang terdapat dalam wayang

beber melalui pendidikan karakter bagi masyarakat,” tutur Indra.

Indra yang menjadi pelukis sekaligus

dalang menorehkan cerita di atas

selembar kain berukuran 450 cm X 100 cm yang dibagi dalam lima pejagong dan tiap pejagong menggambarkan sila dalam

Pancasila. Pejagong pertama berjudul

“Gusti tan Kena Kinira, tan Kena Kinaya

Apa”, yang berarti Tuhan itu ada namun wujudnya tidak dapat diperkirakan.

Episode ini bercerita mengenai cara

mencintai Tuhan secara vertikal maupun horisontal sesuai sila pertama Pancasila.

Secara visual, tergambar adegan seorang raja yang sedang mengajarkan putranya

untuk bersembahyang dan bertoleransi dengan penganut agama lain. Visual

lain adalah bangunan pura, stupa candi, orang-orang, dan hewan-hewan.

Pejagong kedua berjudul “Ratu Adil”, yang bercerita tentang prinsip-prinsip keadilan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Visualnya adalah sosok ratu, pohon rindang, ornamen kala, ornamen dua anak kecil bersayap, beberapa lelaki dan perempuan, congklak, tiga raksasa, dan bebatuan.

Pejagong ketiga yang berjudul “Gending Syailendra” menceritakan pentingnya membangun rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai keberagaman bhinneka tunggal ika. Tampak sekelompok orang sedang memainkan gamelan dengan kompak dan harmonis, lantas tampak pula sosok Sabdo Palon dan Naya Genggong yang tengah menari.

Adegan dalam pejagong keempat dengan judul “Rembug Manunggal Rasa” sebagai penggambaran sila keempat Pancasila adalah sekelompok warga yang tengah berkumpul di pelataran candi untuk

bermusyawarah. Di sana terdapat tiga ornamen berbentuk matahari, stupa, dan arca-arca.

Sila kelima Pancasila tergambar dalam pejagong kelima yang diberi judul “Guyub Samudra”, yang ceritanya melanjutkan pejagong keempat. Kultur gotong royong diwujudkan dalam pelayaran di tengah samudra, maka itu visualnya berupa perahu, nahkoda, beberapa pemuda sedang mendayung, dan gelombang laut. Ada pula ornamen gajah, dua sosok leluhur, sekelompok perempuan, dan ornamen kala.

Meski disimpan di museum bersama koleksi-koleksi lain, Wayang Beber Pancasila paling kerap “keluar kandang” untuk dipanggungkan. Wayang beber mampu bertahan. Rasanya baik jika muncul cerita-cerita inspiratif lain menggunakan media wayang beber. Apakah tetap harus bergambar wayang? Nah, agaknya butuh diskusi panjang menyoal ini.

(Susi Ivvaty, Indonesiana)

INDONESIANA I 95
Infografik Sejarah Perkembangan Wayang Beber - Zul Lubis

Melati Suryodarmo: Dari Indonesia untuk Dunia

Gelaran “Indonesia Bertutur” di kawasan Candi Borobudur mampu menarik perhatian masyarakat luas, dari generasi baby boomers hingga Gen Z. Melati Suryodarmo adalah salah seorang peracik di balik hajatan itu. Di jagat seni pertunjukan, siapa tidak mengenal sosok Melati? Ia berkesenian sejak kecil. Bakat itu ia warisi dari ibunya, seorang penari, dan ayahnya, Suprapto Suryodarmo, pendiri taman budaya desa Padepokan Lemah Putih di  Desa Plesungan, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, yang juga dikenal  penggagas olah gerak Joget Amerta atau Amerta Movement. Maka itu, berbincang dengan Melati seperti membuka ruang pemahaman lain mengenai makna kesenian dan bekerja untuk kesenian.

Mbak Melati, bisakah diceritakan latar belakang Anda sebagai seniman dan apakah kesibukan Anda saat ini?

Saya lahir di kota Solo, 12 Juli 1969. Saat ini saya sedang mempersiapkan

tiga karya performans baru. Yang

pertama akan saya tampilkan di Kochi

Muziris Biennale di Kochi, Kerala, India, Desember ini. Yang dua lagi adalah

performance-lecture, sebuah presentasi

gagasan yang digabung dengan aksi

performatif untuk membahas ulang

karya-karya lama saya yang metode penciptaannya adalah poetic action (aksi puitis). Keduanya akan ditampilkan di Singapore pada Januari 2023 nanti.

Selain itu saya juga mengajar di Nanyang Academy of Fine Arts Singapore.

Bisa diceritakan kiprah Anda dalam Indonesia Bertutur?

Saya dipercaya oleh Direktur Perfilman, Musik dan Media dan Dirjen Kebudayaan sebagai Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2022. Tugas saya merancang keseluruhan konteks dan tema-tema terkait misi Ditjen. Kebudayaan dan Direktorat PMM (Perfilman, Musik dan Media). Tujuannya adalah menghadirkan kembali kesadaran akan warisan budaya dan menghubungkannya dengan kehidupan kita saat ini di era digital.

96 I INDONESIANA VOL. 15, 2022 FIGUR
96 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Potret diriDokumentasi Melati Suryodarmo
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 97 VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 97
Melati sedang melakukan aktivitas ritual di acara InTurDokumentasi Kemdikbudristek Melati sedang melakukan briefing di acara InTurDokumentasi Kemdikbudristek

Namun sejak awal proses, saya tidak sendirian tentunya. Indonesia Bertutur adalah proses panjang yang melibatkan

banyak pelaku di manajemen, venue, dan kerjasama yang seksama dengan tim PMM.

Apa dasar pemikiran di balik tema Indonesia Bertutur?

Tema utama Indonesia Bertutur adalah

“Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan

Masa Depan”. Tema ini muncul dari semangat untuk menelusuri sejarah dan ilmu pengetahuan masa lampau bangsa

Indonesia, untuk mengembangkan pengetahuan tersebut menjadi pengetahuan yang menginspirasi, menguatkan, dan memperbaiki kehidupan saat ini melalui kebudayaan dan teknologi.

Apakah bekerja dengan banyak seniman yang punya pikiran dan karakter berbeda menjadi tantangan?

Oh pasti! Saya sendiri sebagai seniman yang masih aktif berkarya dan melakukan kegiatan lainnya di luar berkarya, di Intur mendapatkan tugas untuk memberikan arahan artistik, mengkurasi program dan memilih seniman yang terlibat untuk sebuah acara besar seperti ini. Hal ini tentunya sangat menantang karena di sini saya bukan sebagai seniman yang hadir dengan karya seninya, tapi menjadi perancang pemikiran dan pilihan artistik dari keseluruhan peristiwa. Tantangan yang paling utama adalah untuk tidak berpihak pada subjektivitas pribadi dalam soal selera estetik dan jenis kesenian.

Bagaimana perjalanan kesenimanan Anda hingga saat ini? Ada pengalaman yang tak terlupakan? Bagaimana lika-likunya?

Karena seniman adalah artist dan bukan “artis” maka prinsipnya bekerja mulai dari nol dan karyalah yang menentukan. Pemerhati senilah yang menentukan apakah karya seniman itu memiliki manfaat di luar nilai-nilai keindahan atau nominal saja. Demikian pula saya mulai dari bawah, dari nol. Banyak sekali produksi seni rupa dan seni pertunjukan yang mengandalkan modal dulu baru bekerja; saya justru sebaliknya, bekerja dulu baru memikirkan persoalan uang.

Apakah “performance art” merupakan “passion” sejak kecil atau ada sosok yang menginspirasi?

98 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

Saya tumbuh dari keluarga seniman tari dan musik di Solo. Ayah saya seniman dan guru tari dan seni ritual. Ibu saya dulu penari Jawa yang bagus. Saya lihat performance art pertama kali tahun

1989 ketika saya di Bandung nonton tayang film rekaman Joseph Beuys “I

Like America and America Likes me” (1974). Ketika saya diajak Marintan Sirait,

sahabat saya di Bandung, untuk gabung dengan Perengkel Jahe, sebuah kelompok eksplorasi aksi seni, saya mulai belajar beberapa bentuk alternatif yang tidak konvensional. Tari yang bukan tari biasa, musik tapi bukan lagu, teater tanpa acting, dan lain sebagainya. Bagi saya memang seni performans yang menjadi passion saya, terutama ketika sejak kuliah di Jerman, saya mempelajari praktik dan teori, sejarah estetika yang terkait dengan praktik ini.

Dari pandangan Anda, bagaimana sih dunia seni pertunjukan di Indonesia saat ini? Apakah sudah ideal?

Tergantung dari perspektif yang mana kita mengamatinya. Dunia seni pertunjukan banyak macamnya dan berbeda-beda ranahnya. Ada yang berasal dari kesenian tradisional, di daerah-daerah yang masih hidup dekat dengan kelokalannya yang khas. Cara produksi mereka pun bermacammacam, juga arahan kerja artistiknya berbeda-beda. Seni pertunjukan juga banyak yang dikelola dengan sistem manajemen industri dan bergerak di ranah hiburan. Yang ideal itu nilai di balik itu semua, yaitu kembali pada hakikatnya seni: apakah ia memberi inspirasi bagi peminatnya untuk memahami kehidupan yang sangat berlapis-lapis maknanya ini. Di Indonesia, apresiasi terhadap seni

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 99
Melati dalam penampilan I’m A Ghost in My Own HouseDokumentasi Melati Suryodarmo

semestinya ditumbuhkan terus, dan diperkuat di berbagai wilayah negara ini. Supaya tidak hanya tersentralkan di ibukota saja.

Apakah seni pertunjukan Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara-negara tetangga?

Kalau melihat soal sumber inspirasi, saya kira Indonesia tidak pernah akan kalah. Dalam percaturan internasional, from my humble opinion, yang utama

adalah bagaimana karya seni itu bisa

menyentuh pemahaman manusia melalui

pembahasaan rasa dan logika yang

universal sifatnya. Artinya jika tema karya

bisa menyentuh rasa dan pemahaman

masyarakat global atas tema tersebut, saya kira tidak diragukan pasti akan

menembus batas regional maupun internasional. Menurut saya, seni tidak

bisa dipisahkan dari bahasa rasa dan pengetahuan tentang kemanusiaan. Jika

kita melihat karya seni yang diciptakan

ratusan tahun yang lampau masih bisa

menyentuh masyarakat modern saat ini, salah satunya karena makna dari karya

tersebut masih menyentuh tema-tema kehidupan manusia di zaman sekarang.

Potensi apa yang seharusnya atau masih bisa digali lebih jauh terkait kebudayaan Indonesia? Apakah perlu kolaborasi antardisiplin seni?

Memperhatikan potensi sumber pemikiran dan inspirasi kreatif yang luar biasa kayanya di tanah air kita ini, sepertinya kebudayaan tidak akan pernah mati. Kebudayaan selalu berkaitan erat dengan bagaimana masyarakat kita tumbuh bersamanya. Kolaborasi yang alih wahana sebenarnya menarik juga terutama ketika pengetahuan diterjemahkan melalui kreativitas seni yang inovatif dan menginspirasi masyarakat banyak untuk mendapatkan pengalaman rohani seni sekaligus menambah wawasan pengetahuan. Misalnya dengan bercermin dari bentukbentuk ritual tradisi kita yang penuh dengan simbol-simbol dan pemikiran yang sangat memperhatikan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.

Di era modern ini, apa yang harus dilakukan agar kita bisa mencetak seniman yang ideal?

Seniman harus sadar di jalur mana dia bergerak. Ia juga harus paham tentang sistem produksi, jejaring dan bisa menjadi PR-nya sendiri, serta bisa swakelola. Ia harus paham apa agency dia melalui seni. Penting sekali bagi seniman untuk sadar akan waktu dan energi. Saya rasa karakter kemandirian dan kontinuitas dalam bekerja dan dengan keinginan untuk terus eksplorasi atau bereksperimenlah yang akan teruji. Profesionalisme tidak bisa didapat dengan tiba-tiba; ia membutuhkan proses pembelajaran yang bertahap. Dalam kerja kesenian, seniman harus bisa bertanggung jawab sepenuhnya atas karyanya, baik secara wawasan maupun artistik. Oleh karenanya, kita tidak bisa mencetak seniman, karena seseorang harus bisa memutuskan sendiri, apakah ia ingin menjadi seniman yang andal atau tidak.

(Prima Ardiani, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemdikbudristek).

100 I INDONESIANA VOL. 15, 2022

Melati Suryodarmo

Tempat dan tanggal lahir: Solo, 12 Juli 1969

Pendidikan : 1988-1993 : Universitas Padjajaran, Bandung, Jurusan Hubungan Internasional.

1994-2001 : Seni pertunjukan dan seni patung di The Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman.

2001-2002 : Postgraduate Program in Performance Art, The Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman

Dua perempuan yang menjadi pembimbing studi Melati dan mempengaruhi karya-karya seninya adalah Prof Anzu Furukawa dari Jepang dan Prof Marina Abramovic dari Serbia. Pada tahun 1996, Melati menampilkan tari “Kasyhyakashya Muttiku” bersama Yuko Negoro dari Jepang. Semenjak itulah, berbagai kegiatan seni pertunjukan di negaranegara Eropa ia ikuti. Pada tahun 1999 Melati tampil untuk Cardiff Art in Time di Wales, Inggris dan “Performance Festival Odense” di Odense, Denmark. Tahun 2000-2001 Melati tampil pada pameran “Anableps” di Gallery Miscetti dan juga “Festa dell’arte” Aquario Diroma di Roma Italia. Di Cork, Irlandia, Melati tampil dalam “Get That Balance”, National Sculpture Factory, Opera House.

VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 101
Exergie - Butter Dance Photo by Isabel Matthaeus, photo courtesy of Melati Suryodarmo

Ritual BukaKampung

Mengenang Patriotisme, Memperbarui Diri

Banda merupakan wilayah dengan penduduk yang majemuk, tersebar di delapan kampung adat. Mereka memiliki tradisi yang melimpah, satu di antaranya adalah ritual buka kampung, yang digelar jauh hari sebelum perayaan besar, didahului dengan musyawarah para tokoh adat. Ritual niscaya menjadi doa agar segala urusan di masa mendatang lancar dan penuh berkah. Oleh karena itu, selama sepekan ritual masyarakat harus menjaga kebersihan pikiran, hati, dan lingkungan. Perlengkapan ritual disiapkan: janur, bunga tujuh rupa, dupa, dan pernak-pernik sesajen. Malam hari setelah isya ritual pun dimulai. Pemuka adat menyiapkan tampak sirih atau wadah anyaman dari janur yang jumlahnya sesuai dengan jumlah makam leluhur yang akan diziarahi keesokan hari. Para perempuan menghiasi tampak siri dengan roncean bunga dan mengisinya dengan kapur, sirih, pinang, gambir, dan tembakau. Masyarakat juga menggelar ritual buka puang dua hari sebelum puncak perayaan, yaitu membuka jantung kelapa, memasang gerbang, dan kubah bambu. Puang yang dibuka diletakkan secara tertutup di rumah-rumah adat bersisian dengan benda-benda pusaka, properti tarian cakalele, dan perahu belang. Sesungguhnya ini adalah puncak pelaksanaan ritual buka kampung. Seusai buka kampung, masyarakat pun menari cakalele dan perahu kora-kora untuk

102 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
FOTO
GALERI
napak tilas jalur rempah, yang
102 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Tampa Sirih atau wadah seperti mangkuk Sesajen dalam tampa sirih yang berisi gambir, pinang, daun sirih, kapur, dan tembakau yang menyimbolkan 5 penggalan waktu

merepresentasikan patriotisme dalam

melawan penjajah di masa lalu. Saat hari besar, masyarakat di Banda Neira

menerima masyarakat Banda Eli yang

bermukim di kepulauan Kei, Maluku

Tenggara, yang pada 4 abad silam

bermigrasi. Tarian cakalele di Istana

Mini Banda Neira terasa lebih meriah

karena penarinya dari berbagai wilayah di Maluku. Ritual ditutup dengan tutup kampung. Setelah itu, cakalele dan perahu belang tidak boleh dipertunjukkan lagi hingga ritual buka kampung berikutnya.

(Darus Hadi, Direktorat Kepercayaan

Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemdikbudristek).

Tampa sirih yang telah diisi dan dihias dikumpulkan di rumah adat
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 103
Menganyam 11 helai janur, perlambangan 5 rukun Islam dan 6 Rukun Iman Mendoakan para arwah leluhur Mama adat meronce bunga untuk hiasan tampa sirih Ritual Buka Puang sebagai puncak ritual Buka Kampung
104 I INDONESIANA VOL. 15, 2022
Berjalan tanpa alas kaki dari rumah adat sambil membawa tampa sirih menuju tempat ziarah Persiapan Tari Cakalele Tari ‘perang’ Cakalele
VOL. 15, 2022 INDONESIANA I 105
Rombongan Bapak Adat dan pemuda bersiap berangkat ziarah
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Gedung E. Lt. 9, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 4-5 Senayan, Jakarta 10270 (021) 5725534 (021) 5725534 indonesiana.diversity@gmail.com http://kebudayaan.kemdikbud.go.id TIDAK UNTUK DIJUAL

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.