Indonesia Bertutur
WargaTerhibur
WargaTerhibur
Puji syukur Alhamdullilah di penghujung tahun 2022, Majalah Indonesiana Volume 15 dapat bisa hadir di tengah pembaca yang terhormat. Dengan apresiasi dan antusias masyarakat pembaca setia terhadap majalah Indonesiana, Tim Redaksi Majalah Indonesiana berusaha memberikan yang terbaik agar majalah ini dapat terbit. Majalah Indonesiana tahun ini terbit dalam dua bahasa, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Hadirnya Majalah Indonesiana diharapkan dapat menjadi media diplomasi budaya yang mengenalkan serta menyebarluaskan informasi kekayaan budaya dari berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Tahun ini menjadi tahun yang membanggakan bagi kita, di mana Indonesia
bertindak sebagai tuan rumah perhelatan G20. Mengangkat tema “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia menyalakan semangat untuk pulih bersama dan lebih kuat dalam pelaksanaan berbagai kegiatan, salah satunya pelaksanaan kegiatan kebudayaan yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Bentuk semangat berbudaya
terangkum dalam rubrik kabar budaya seperti Indonesia Bertutur, Festival Musik Tradisi Indonesia hingga Menghimpun Aksi Budaya demi Kehidupan Berkelanjutan. Selain itu tersaji juga cerita budaya dari berbagai daerah di Indonesia seperti Perahu Sandeq yang menjadi bagian dari Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia, Revitalisasi Bahasa Daerah Maluku Utara, Membangkitkan Naga di Pecinan Glodok hingga Hutan Adat Cisitu Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo.
Program-program kebudayaan yang dilaksanakan tersebut tidak lepas dari aspek Objek Pemajuan Kebudayaan yakni tradisi, ritual, upacara adat, seni pertunjukan, pengetahuan tradisional dan perayaan kebudayaan – yang tidak hanya sekadar memiliki fungsi praktis namun juga mengandung nilai-nilai yang berhubungan dengan siklus lingkaran hidup manusia. Apresiasi berbagai negara terhadap sajian seni dan budaya selama rangkaian kegiatan G20 tentunya harus menjadi motivasi bagi kita untuk terus mengembangkan, memanfaatkan, melindungi, melestarikan dan tentunya menyebarluaskan ke berbagai pihak. Menyongsong tahun 2023, kita berharap
kondisi bidang kebudayaan Indonesia akan semakin pulih dan baik, hingga semakin banyak nilai budaya yang dapat diangkat dan diketahui oleh masyarakat luas, baik di dalam maupun luar negeri.
Berbagai cerita budaya di Nusantara yang terekam dan tergambar di Majalah Indonesiana volume 15, menjadi bukti komitmen dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, melalui program yang diampu oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan dalam menjalankan misi kebudayaan yang merujuk pada UU Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017.
Semoga bacaan ini menjadi inspirasi bagi setiap pembaca, terutama masyarakat Indonesia, untuk terus berkontribusi dalam memajukan kebudayaan, mengapresiasi karya dari berbagai daerah di Indonesia, dan tetap menjaga nyala budaya.
KILAU BUDAYA INDONESIA
Pengarah HILMAR FARID
Pengarah HILMAR FARID
Penanggung Jawab
RESTU GUNAWAN
Direktur Jenderal Kebudayaan
Koordinator Umum
YAYUK SRI BUDI RAHAYU
Penanggung Jawab
RESTU GUNAWA N
Pemimpin Redaksi
SUSI IVVATY
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaa n
Redaktur Pelaksana
SINATRIYO DANUHADININGRAT
Koordinator Umum & Pemimpin Redaks i
Redaktur Konten
ALFIAN SIAGIAN
BINSAR SIMANULLANG
Redaktur Bahasa
MARTIN SURYAJAYA
Redaktur Pelaksan a SUSI IVVAT Y
Redaktur Foto
SYEFRI LUWIS
Sekretaris
Redaktur Naska h
JESSIKA NADYA OGESVELTRY
MARTIN SURYAJAYA
Desain dan Tata Letak
ALFIAN S. SIAGIAN
ZUL LUBIS
Penyelaras Bahasa
PRIMA ARDIANI
ANNISA MAYASARI
Redaktur Fot o SYEFRI LUWIS
Penerjemah DWI ANGGOROWATI INDRASARI
Tata Letak
WIESKE OCTAVIANI SAPARDAN
Kontributor
Fotografe r
RENNY AMELIA SUSANTI
PRITA WIKANTYASNING
JESSIKA NADYA OGESVELTRY
ANGGORO CAHYADI
YUDHI WISNU ARYAND I
THAMRIN JUNAIDI NADAPDAP
Administrasi
Sekretariat
AHMAD ZUNITA
Hingga tiba di penghujung tahun 2022, pandemi Covid-19 belum sepenuhnya reda, bahkan dikabarkan muncul varian virus baru yang lagi-lagi menjadi momok warga bangsa. Akan tetapi, kita tentu lebih siap menghadapinya setelah serangkaian lara melanda, apalagi vaksin pun telah tersedia. “Pulih Bersama, Pulih Lebih Kuat”, demikian narasi hajatan presidensi G20 yang dihadiri oleh para pemimpin dunia di Bali, September 2022. Pertemuan tingkat menteri bidang kebudayaan di Borobudur juga membawa harapan besar bagi kebudayaan demi kehidupan yang berkelanjutan. Kita menyaksikan gerakan akar rumput mencanangkan Amanat Borobudur. Lebih lanjut mengenainya dapat Anda baca di Indonesiana Vol 15 ini.
POKJA PENGEMBANGAN DIREKTORAT PPK
E. CHRISTISIA MELATI PUTRI SORAYA AIDID
Distribusi
RACHMAT GUNAWAN
HERY MANURUNG
BAYU HARDIAN YUDHI WISNU ARYANDI
Majalah Indonesiana memang sejatinya hadir untuk menggelorakan kerja-kerja kebudayaan di berbagai bidang dan berbagai level di semua wilayah se-Nusantara. Indonesia Vol 15 hadir dengan sejumlah artikel menarik karya para penulis dan peneliti yang mahir di bidangnya. Topik utama masih tentang warisan budaya takbenda yang telah diinskripsi di UNESCO, menyajikan tiga WBTb terakhir yang belum dibahas di volume sebelumnya, yakni tari saman, pantun (nominasi bersama dengan Malaysia), dan keris.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia
Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesi a Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan
Gedung E . Lt. 9 , Jl. Jenderal Sudirman Kav. 4-5 Senayan, Jakarta 10270
Gedung E. Lt. 9, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 4-5 Senayan, Jakarta 10270
(021) 5725534
(021) 5725534
(021) 5725534
indonesiana.diversity@gmail.com
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id
(021) 5725534 indonesiana.diversity@gmail.com http://kebudayaan.kemdikbud.go.i d
Rubrik Kabar Budaya menyajikan beberapa tulisan terkait kegiatan di lingkungan direktorat jenderal kebudayaan, seperti Festival Musik Tradisi Indonesia, Indonesia Bertutur, dan tentu saja “G20 Cultural Ministers Meeting”. Objek-objek pemajuan kebudayaan seperti termaktub dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 dibahas dengan sudut pandang menarik, misalnya tentang perahu sandeq khas suku Mandar Sulawesi Barat, pengetahuan tradisional yang masih terjaga hingga kini. Rubrik wastra menyuguhkan tenun ulap doyo khas suku Dayak Benuaq yang aduhai. Apa lagi? Penasaran? Segera saja bolak-balik lembaran majalah ini.
Majalah Indonesiana bertujuan
untuk promosi budaya Indonesia, dan tidak diperjualbelikan. Komentar atas artikel, foto dan lain-lain ditujukan kepada: indonesiana.diversity@gmail.com
Majalah Indonesiana bertujuan untuk promosi budaya Indonesia, dan tidak diperjualbelikan. Komentar atas artikel, foto dan lain-lain ditujukan kepada: indonesiana.diversity@gmail.co m
Mengutip Richard Schechner (2002), dunia ini rasanya tidak lagi tampak seperti buku untuk dibaca namun suatu pertunjukan untuk kita berpartisipasi di dalamnya. Begitulah asyiknya berkecimpung di alam kebudayaan, kita (seharusnya) tidak sekadar menjadi penonton, namun terlibat kuat, karena kebudayaan Indonesia adalah kita. Bukankah dunia menjadi tampak lebih baik? Selamat membaca!
Sampul depan:
Sampul depan: Gaya bertenaga buruh pabrik genteng Jatisura
Gerak Gerik Raga Bertutur – Irnie Wanda
(foto: Pandu Rahadian )
Sampul belakang :
Sampul belakang: Penari Caci dan kain Songke. (foto: Dodi Sandradi)
Nelayan Sandeq mengarungi lautan lepasMuhammad Ridwan Alimuddin
Pemimpin Redaksi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia
Dunia saat ini menghadapi berbagai tantangan: pandemi, konflik bersenjata, intranegara maupun antarnegara, ancaman terorisme dan ekstremisme, tanggung jawab mengelola arus pengungsi, dan bencana alam. Tantangan-tantangan itu memang serius, menuntut banyak perhatian dan energi. Tidak mungkin hanya satu jenis solusi untuk menyelesaikan semua persoalan pembangunan. Setiap upaya untuk menemukan satu solusi bagi semua masalah hanya akan menambah masalah. Setiap tantangan pembangunan muncul dalam konteks geografis yang unik dan harus diatasi melalui penguatan potensi lokal yang ada, bukan menerapkan resep umum yang dianggap berlaku di mana pun dan kapan pun. Keragaman masalah menuntut keragaman metode, atau lebih baik lagi, keragaman “sebagai” metode.
Dengan cara berpikir demikianlah kita sampai pada budaya. Tidak ada budaya di dunia ini yang tidak dipengaruhi oleh budaya lain. Keanekaragaman budaya bukanlah halangan bagi pembangunan; sebaliknya, keragaman budaya merupakan landasan pembangunan berkelanjutan. Hanya dengan memperhatikan secara serius keragaman budaya, hanya dengan memperhatikan konteks budaya tertentu, kita dapat menciptakan keharmonisan daerah yang menjaga identitas nasional dan sekaligus menumbuhkan rasa kebersamaan dalam komunitas daerah.
Budaya tidak mengenal batas administrasi karena budaya ada sebelum struktur politik modern beserta batas administrasinya. Hibridisasi, peminjaman, dan pengadopsian unsur budaya antar kelompok lintas batas negara merupakan fakta sejarah. Pada saat yang sama, kami menyadari tantangan dan kompleksitas kontemporer kami dalam mengelola keanekaragaman budaya, seperti perubahan iklim, migrasi, pertumbuhan populasi yang cepat, kerawanan pangan, degradasi lahan, perang, teror, konflik, dan ketidaksetaraan. Budaya dan alam saling melengkapi, tidak dapat dipisahkan, dan saling bergantung, yang sangat penting untuk mengatasi tantangan ini. Menciptakan lingkungan yang kondusif sangat penting untuk melindungi keragaman ekspresi budaya. Yang kita butuhkan saat ini adalah upaya pelestarian budaya, konservasi dan pemanfaatan alam secara lestari, partisipasi masyarakat, serta perlindungan dan pemajuan keanekaragaman budaya dan ekosistem alam yang berkontribusi terhadap kesejahteraannya, baik dalam konteks lokal maupun global.
Dengan kekayaan potensi lokal di setiap negeri, terdapat contoh bagaimana pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mengandalkan kekuatan endogen. Fokusnya harus pada penguatan ekosistem budaya masyarakat: melindungi berbagai praktik dan pengetahuan tradisional dan lingkungan alam sekitarnya
yang menginspirasi mereka, menciptakan inovasi dengan sentuhan teknologi yang demokratis, dan membangun jaringan pemanfaatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Untuk mengatasi relasi sosial yang timpang, perlu penguatan peran perempuan dan pemuda dalam menggulirkan inisiatif demi memajukan budaya lokal. Karya konservasi dan inovasi kearifan lokal yang mereka rintis akan mampu memperkuat ekosistem produksi pengetahuan yang sehat dan berkeadilan yang juga harus dibarengi dengan pemerataan akses terhadap sumber daya lokal. Dalam hal ini, keragaman budaya adalah cara kita menemukan jalan keluar dari persoalan hidup sehari-hari.
Untuk itu, saya menyambut baik penerbitan Majalah Indonesiana Volume 15 yang diterbitkan tepat setelah Indonesia berhasil menggelar “G20 Culture Ministers Meeting” dengan pesan kunci “budaya bagi kehidupan yang berkelanjutan”. Semoga lewat bacaan ini, kita semua dapat memetik inspirasi untuk mengolah potensi budaya setempat secara kreatif untuk mencari jawab bagi tantangan-tantangan dunia hari ini.
1 Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan
2 Redaksi
3 Direktur Jenderal Kebudayaan
TOPIK UTAMA
6 “Quo Vadis” Saman Aceh
12 Satu Pantun Dua Negeri
16 Membumikan Budaya Keris
KABAR BUDAYA
21 Indonesia Bertutur Warga Terhibur
26 Berdaya dan Berbudaya Dimulai dari Desa
30 Menghimpun Aksi Budaya demi Kehidupan Berkelanjutan
36 Ketika Musik Tradisi Unjuk Gigi di Danau Toba
40 Geliat OPK
KOMIKSTRIP INFOGRAFIS
44 Komik Tradisi (Kepercayaan dan Masyarakat Adat) Dit. Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat
46 Nomenlaktur, Balai Pelestarian Kebudayaan
48 Tenun Ulap Doyo Kearifan Dayak Benuaq
52 Perahu Sandeq Pewarisan dan Pendidikan Karakter
56 NYOBENG Sembah Syukur Dayak Bidayuh
60 Revitalisasi Bahasa Daerah Malut Ngom Ua Nage Ana Adi
64 Apa Kabar Tambang Batu Bara
OMBILIN
68 Rumah Tuo Kampai Nan Panjang Masa Lalu untuk Masa Depan
72 Miss Tjitjih Jelang 95 Tahun Sandiwara Sunda
76 Mencecap Manis Kipo, Mengunyah Kenangan
78 Sungai Batanghari, Urat Nadi Peradaban
82 Membangkitkan Naga di Pecinan Glodok
86 Membentangkan Pesan Melalui Wayang Beber
FIGUR
86 Melati Suryodarmo: Dari Indonesia untuk Dunia
86 Ritual Buka Kampung Maluku Mengenang Patriotisme, Memperbarui Diri
Sejak tarian saman asal Aceh
ditetapkan menjadi warisan budaya
takbenda (WBTb) oleh UNESCO
pada tanggal 24 November 2011, banyak
harapan tersemat kepadanya, dari rakyat
Indonesia dan warga Aceh khususnya.
Betapa tidak, UNESCO dalam sidang
penetapan yang diikuti sekitar 400
peserta dari 137 negara di Nusa Dua Bali mencatatkan tari saman asal Aceh, yang itu berarti sebuah kepercayaan sekaligus tantangan.
Banyak orang berdecak kagum saat menonton secara langsung tarian saman, mulai dari gerak lekuk yang
ditampilkan, kekompakan, ketepatan, hingga kecepatannya. Popularitas
tari saman di Indonesia
termasuk istimewa,
“geleng-geleng” kepala ini. Setiap kegiatan kecil di sekolah atau desa hingga hajatan akbar pemerintah tingkat nasional, tari saman menjadi favorit dan selalu hadir. Tampilannya tak mengenal waktu, baik pada saat pembukaan acara formal atau non formal, penerimaan tamu, festival, bahkan pada penutupan acara apapun. Tari saman sangat luwes dan populer untuk ditampilkan di mana pun dan kapan saja, meski kemudian makna filosofinya mulai terkikis.
tidak
berbeda dengan di Aceh, tempat asal lahir tarian
Saat tari saman mulai muncul ke tingkat nasional dan bahkan internasional, terutama pasca perdamaian Aceh, persoalan-persoalan mendasar mulai terkuak. Asal usul tari saman misalnya, ataupun susunan gerakan dalam tarian tersebut, juga lirik syair (lagu) di dalam tarian. Alih-alih perkembangannya hingga saat ini, sejarah tari saman pun kini diperdebatkan, yang oleh sebagian pendapat saling mencari dalil untuk memperkuat argumentasinya.
Meskipun asal usul tari saman disebut diprakarsai dan diperkenalkan oleh Syekh Saman, akan tetapi biografi tokoh ini pun tidak dijumpai secara detail. Beberapa sumber menyebutkan --meskipun harus ada pembuktian terhadap kajian-kajian sebelumnya-- bahwa Syekh Saman datang ke Aceh dan menyebarkan ajaran tarekatnya dengan syair dan gerakangerakan zikir. Namun di dalam berbagai sumber kontemporer, baik buku ataupun media daring, hanya disebut nama Syekh Saman yang datang dari Madinah ke Aceh pada abad ke-18 Masehi, tidak ada informasi lebih lanjut yang lebih komprehensif.
Dalam catatan Snouck “De Atjehers” disebutkan bahwa saman berasal dari tradisi luar yang meresap dalam tradisi tarian masyarakat Aceh. Diyakini bahwa tarian saman diadopsi dan dikembangkan dari tarekat Samaniyah (sammaniyyah) yang dibawa dari Madinah, kemudian tradisi keagamaan tersebut digemari oleh anak negeri yang beragama Islam. Namun tidak ada
informasi bagaimana kemudian tarian saman masuk ke pelosok dan menyatu dengan masyarakat di tanah daratan tinggi, oleh sebab tarekat Saman atau Samaniyah itu beredar di pesisir Aceh.
Patut menjadi catatan bahwa tarekat Samaniyah, yang kemudian dianggap sebagai inisiator lahirnya tarian saman, diinisiasi oleh Syekh Muhammad bin
Abdul Karim al-Samani al-Hasani alMadani (1718-1775) yang menyebar ke beberapa kawasan, seperti Maroko, Sudan, Mesir, dan termasuk ke Indonesia.
Khusus di Aceh, tarekat Samaniyah juga digandrungi selain tarekat-tarekat muktabarah lain pada masa tersebut.
Walaupun belum ada penelitian komprehensif terkait persebaran tarekat tersebut di Aceh, akan tetapi ada tokohtokoh penting menjadi pengikut dan penyebar tarekat Saman, seperti Syekh Muhammad Saman yang berguru kepada Syekh Marhaban dan Muhammad Saleh. Tokoh-tokoh utama tersebut sezaman dengan Teungku Chik Di Tiro di masa rakyat Aceh melawan kolonial Belanda,
bahkan Syekh Saman masih memiliki tali kekeluargaan dengan panglima besar Chik Di Tiro.
Lantas, benarkah mereka yang menyebarkan ajaran tarekat Samaniyah berafiliasi kepada penemu tarian saman?
Apakah Syekh Saman dan para penyebar tarekat lainnya memiliki kesamaan konsep terhadap tarian saman, atau itu salah satu kreasi yang dikembangkan oleh pengikut-pengikut tarekat
Samaniyah. Perlu ditambahkan, tokohtokoh tersebut tinggal dan berada di
Saman berbeda dari ratoeh jaroehttps://www.shutterstock.com/ image-photo/aceh-indonesia-august-13-2017-10001-1658244697
kawasan pesisir pantai utara Aceh, bukan dari dataran tinggi dan pedalaman.
Terlepas dari berbagai persoalan historis asal usul dan penyebaran tari saman di Aceh yang belum tuntas, muncul persoalan lain, yakni hak klaim dan status dasar tari saman yang disebut berasal dari wilayah tertentu di Aceh. Muncul protes dari pihak lain yang menganggap merekalah yang lebih berhak mendapat hak kepemilikan tarian saman. Persoalan tersebut muncul saat tari saman mulai menyebar antardaerah, melintasi
wilayah-wilayah di seluruh Aceh, menembus etnis dan suku yang ada di kawasan Aceh. Tari saman pun menjamur di seluruh Aceh, meski setiap kelompok (baca: suku) mulai mempertanyakan orisinalitas dan keaslian tarian. Hadirnya variasi-variasi baru, syair atau lirik dalam sajiannya, hingga jumlah penari saman juga menjadi persoalan “klasik” hingga saat ini.
Perdebatan tarian saman juga merambah pada inovasi yang muncul dalam penampilan-penampilan tarian saman,
mulai di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Misalnya, jumlah personil saat tampil menari seharusnya terbatas, bukan menjadi tarian massal. Sebagian seniman menganggap tari saman massal adalah terobosan baru, inovasi masa kini. Namun, kelompok “konservatif” menilai inovasi itu telah keluar dari aturan dan rukun tarian saman.
Persoalan “seksi” dan menarik tentang tari saman adalah munculnya para penari kaum hawa. Pembahasan ini banyak
diminati oleh para seniman, pengamat, dan akademisi, yang tentu sangat hangat diperbincangkan. Apalagi ketika obrolan dan tulisan disandingkan dengan syariat Islam mengenai bagaimana seharusnya perempuan tampil di depan kaum pria, terkecuali anak perempuan yang belum baligh.
Gerakan tari oleh para perempuan penari tidak lagi patuh pada pakem saman.
Oleh karena itu, sebagian seniman menyebutnya tari ratoeh jaroe (gerakan tangan), istilah baru yang muncul dalam seni tari Aceh karena penampilannya didominasi kaum perempuan. Tujuannya bukan untuk menandingi saman, akan tetapi sebaliknya memperkuat seni tari dengan gerakan super cepat tersebut. Sejauh ini, para seniman menyepakati bahwa tari saman hanya ditampilkan oleh para lelaki, sehingga jika tari yang sama/ mirip ditampilkan oleh perempuan maka sebutannya menjadi berbeda, termasuk ratoeh jaroe itu.
Mencari Maestro
Persoalan yang juga belum mendapat solusi adalah keberlanjutan “syekh” dalam tari saman, atau sang maestro tari saman seharusnya menjadi program berkesinambungan mengenai pewarisan. Maestro adalah pehikayat saman yang dapat tampil di kancah nasional ataupun internasional. Ia harus mampu memahami dan menjabarkan makna
serta nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam seni tari saman berikut liriknya. Dampaknya adalah pada menguatnya edukasi saman di berbagai daerah. Namun, saat ini hampir tidak ada lagi maestro.
Setali tiga uang, program edukasi dan pembinaan tari saman yang menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh, terutama kabupaten/kota yang membidangi pendidikan dan kebudayaan, juga masih mandul. Tidak ada kurikulum dan muatan lokal tentang tari saman untuk jenjang sekolah-sekolah di Aceh. Ini aneh dan ironis. Saman sebagai warisan budaya takbenda dunia semestinya diselamatkan dari potensi kepunahan, sekaligus penyemangat untuk mempopulerkan seni tari lain yang mulai langka dan punah.
Tari saman telah menjadi milik dunia. Oleh karena itu, jangan sampai hilang ingatan kolektif masyarakat Aceh akan saman. Peringatan saman sebagai WBTb
UNESCO saban 24 November harus ditumbuhkan kembali. Pemerintah dan warga Aceh perlu menghidupkan nilainilai filosofi dalam tari saman: kecepatan, ketepatan, kekompakan, kebersamaan, penghargaan, toleransi, gotong royong, yang menjadi jati diri orang Aceh.
(Hermansyah, Akademisi UIN Ar-Raniry dan Filolog Aceh)
Ketika kita membincangkan kebudayaan global, saat itu juga segala sekat primordial mustinya diruntuhkan. Populasi dunia menurut Perserikatan Bangsa Bangsa kini telah mencapai 8 miliar, dan di abad ke-21 ini rasanya hampir tidak ada kebudayaan di suatu tempat yang tidak beririsan dengan kebudayaan lain. Ketika mengulas budaya Melayu, misalnya, maka kita akan melihat kelompok masyarakat yang menghuni Semenanjung Malaya, Sumatra bagian timur, bagian selatan Thailand, pantai selatan Burma, Borneo pesisir termasuk Brunei, Kalimantan Barat, Serawak, dan Sabah.
Melayu tua telah masuk dan menyebar ke Nusantara sejak 2.500 Sebelum
Masehi dan identitas kemelayuan pun bertransformasi menjadi kemelayuan Indonesia, kemelayuan Malaysia, dan lainnya, seperti dikatakan dosen dan peneliti tarian Melayu, Julianti Parani, dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya (2011). Ada akar rumpun yang pernah menyatukan dan berkembang menjadi identitas masingmasing negara. Pada masa lampau, kemelayuan memiliki potensi beradaptasi yang melintas batas Nusantara maupun
Asia Tenggara bahkan hingga Taiwan, Zanzibar, dan Australia.
Maka itu, ketika kita membahas pantun, lebih khusus lagi pantun Melayu, tidaklah mungkin karya budaya itu hanya dimiliki dan diwariskan di Indonesia. Bahkan, kemelayuan di Malaysia, Singapura, dan Brunei bisa dikatakan lebih kental karena Melayu dipahami sebagai ras dengan variabel etnisitas yang luas (agama Islam, adat-istiadat, dan bahasa), berbeda dengan Melayu di Indonesia yang hanya merujuk pada satu etnik. Oleh karena itu, inskripsi pantun ke dalam daftar warisan budaya takbenda (WBTb) joint nomination Indonesia dan Malaysia di UNESCO pun menjadi masuk akal.
Proses pengusulan pantun ke UNESCO hingga diinskripsi pada Daftar WBTb
Representatif (Representative List of the ICH of Humanity) pada tanggal 17
Desember 2020 dalam sidang di Prancis dan Jamaika terbilang cukup panjang.
Selintas menengok ke belakang, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bersama Lembaga
Adat Melayu (LAM) mengajukan pantun kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan pada tahun 2016 dan pada 7—29 September 2016 digelar pertemuan awal untuk mengusulkan pantun sebagai WBTb UNESCO. Setelah paparan naskah akademik tanggal 3 November, muncul masukan-masukan, di antaranya belum ada penjelasan untuk mengantisipasi kemungkinan klaim oleh
Malaysia yang juga menggunakan bahasa
Melayu. Menjawab hal itu, pengusulan pantun bersama negara-negara
serumpun dirasa lebih tepat. Namun, karena Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand ternyata belum siap, usulan pantun akhirnya hanya berdua dengan
Malaysia.
Keputusan usulan bersama ini sempat
menuai penolakan, karena merasa
Indonesia lebih berhak. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa pantun masih
digunakan oleh masyarakat Melayu, Bajau, Ida’an, Kedayan, dan Baba Nyonya di Malaysia. Adapun di Indonesia, pantun
tidak hanya dikenal di Provinsi Riau dan
Kepulauan Riau, tetapi menyebar hingga
ke Lampung melalui tradisi kias, juga
di masyarakat Minangkabau, terus ke
Betawi melalui pertunjukan palang pintu
dan rancak hingga ke Kalimantan Selatan, Manado, dan Ambon.
Pada perkembangannya, joint nomination
pengusulan WBTb justru menjadi pilihan
yang nyaman dan masuk akal, karena
alasan teknis maupun ideologis. Menurut
Ketua Umum ATL, Pudentia MPSS, UNESCO pun mendorong pengusulan
bersama oleh dua atau beberapa negara
yang memang memiliki sejarah budaya
yang beririsan. Kita tahu, belum lama
ini Singapura bersama Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand dikabarkan
mengajukan kebaya menjadi WBTb ke UNESCO.
Pantun yang Penuh Kiasan
Pantun yang kita kenal merupakan tradisi
lisan yang turun-temurun di dalam
masyarakat Melayu. Linguis dan orientalis berkebangsaan Inggris, William Marsden, di dalam bukunya
The History of Sumatra
(1783), menyebutkan bahwa karakteristik
pantun Melayu penuh dengan kiasan dan merupakan ruh dari tradisi lisan tersebut. Adapun linguis Charles Adrian van Opuijsen menyebut pantun mempunyai kedudukan yang sama dengan genre puisi awal, karena pantun juga muncul dalam kehidupan awal masyarakat Nusantara. Menurut pakar bahasa
Melayu, Richard James Wilkinson, pantun menggunakan kata sembunyi, yang bersajak atau rima; bunyi yang menjadi sugesti bagi pendengarnya.
Pantun dihadirkan dalam peristiwaperistiwa religius-magis pada masa lalu. Pantun lantas berkembang memasuki ruang komunal seperti ritual dan upacara adat, yang bersama gurindam dan pepatah-petitih mampu menyemarakkan acara-acara adat, menjadi panggung kepiawaian berbahasa figuratif orangorang Melayu sampai kini. Selanjutnya, pantun masuk ke wilayah popular, dalam bentuk ekspresi-ekspresi estetis seperti dalam nyanyian/lirik lagu, dan pernyataan-pernyataan emosi dalam pergaulan antarindividu sehari-hari.
Dalam naskah akademik pantun yang disampaikan ke UNESCO, disebutkan beberapa contoh penggunaan pantun dalam kehidupan masyarakat di Riau. Dalam upacara adat, kita mengenal babalian (di daerah Rantau Kuantan), bulian (Talang Mamak), belian (Petalangan), bedewo atau mambang dewo-dewo (Bonai), tu-un jin atau buang lancang (Penipahan), buang talam (Bengkalis), bedikei (Sakai), dan upah-upah (Rokan).
Pantun dalam peristiwa komunal digunakan dalam aktivitas ekonomi seperti menggetah kuaran (di daerah Kuantan dan Kampar), batobo (Kampar, Rantau Kuantan, dan Tiga Lorong), menumbai, mengayun enau, timang
padi, dan menangkap ikan. Pantun juga digunakan dalam upacara-upacara daur hidup. Pantun dalam seni pertunjukan, sangatlah banyak. Kita mengenal zapin (pesisir dan pedalaman), gambus batandang (Talang Mamak), kayat, randai (Rantau Kuantan), koba (Rokan), timang onduo (Rokan/Bonai), nandung (Inderagiri), badondong, basiacuong, (Kampar), gaden (Bengkalis), olang-olang (Sakai), dan masih banyak lainnya.
Peneliti pantun, Rendra Setyadiharja menukil
satu pantun karya Haji
Ibrahim dalam bukunya
Mengantar pengantin laki-laki dengan pantun - Fatma AdnanPantun-pantun Melayu Kuno (1877) berisikan metafora atau komunikasi simbolik (Media Indonesia, 20/22/2022):
Anak undan meniti batang
Kalbu abang terlalu mabuk
Menentang bulan di pagar bintang
Kata bulan melambangkan sempadan waktu atau suasana dan makna yang berhubungan dengan takdir serta masa depan, juga dapat melambangkan suasana romantis antarmanusia. Pantun ini boleh jadi menceritakan pemuda yang merasa romantis namun kurang elok untuk diperlihatkan, ditandai dengan kalbu abang yang terlalu mabuk.
Kita bisa melihat bahwa sampiran dalam pantun memang bukan sekadar kata penghias untuk mempermanis rima, namun juga berperan mengantarkan
maksud dari pantun. Sampiran mampu mendeskripsikan kearifan lokal setempat, sehingga dari sampirannya saja kita dapat mengetahui bagaimana peristiwa, sejarah, budaya, tradisi, atau adat yang dimiliki. Pada intinya pantun mewarnai seluruh falsafah kehidupan orang Melayu.
Maka itulah, saat kita mendengar jenis “pantun buah-buahan” (pantun dengan sampiran nama-nama buah), rasanya ruh pantun menjadi terdistorsi, asal membuat rima. Misalnya, “Buah mangga buah delima, kalau adik sengsara abang pun menderita”, atau “Buah nenas buah jambu, hatiku panas melihatnya dirayu”. Jika melihat sisi positif, bolehlah “pantun buah-buahan” itu menjadi cara belajar, toh tidak mudah juga memproduksi kata-
kata dengan diksi menarik hati.
Dipikir-pikir, memang tidak mudah mencipta pantun, apalagi dilakukan secara spontan. Begitu sulit. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pembelajaran secara terus-menerus, satu di antaranya dengan menyemarakkan upacara adat, perayaan daur hidup, seni pertunjukan, dan lain-lain dengan tebaran pantun. Ditetapkannya pantun sebagai WBTb
UNESCO milik bersama, Indonesia dan Malaysia, mustinya membuat pelestarian pantun menjadi lebih mudah, karena dipikirkan oleh “dua kepala”. Satu pantun milik dua negeri. Bukankah seharusnya demikian?
(Susi Ivvaty, Indonesiana).
Keris pada awalnya merupakan
senjata penusuk pendek atau
senjata tikam yang terdiri dari
dua bagian utama, yaitu bilah dan ganja
yang melambangkan lingga dan yoni serta
mencerminkan simbol harapan atas
kesuburan, keabadian, dan kekuatan.
Keris bentuknya indah, asimetris (baik
lurus ataupun luk), dan terbuat dari dua, tiga, atau beberapa macam logam yang
ditempa menjadi satu, seperti dikatakan
Bambang Hasrinuksmo dalam Ensiklopedi
Keris (2008) dan Haryono Guritno
dalam Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar (2006). Dalam perkembangannya, keris
meninggalkan fungsi teknomiknya
sebagai senjata dan berkembang dengan
lebih menonjolkan makna-nilai falsafah dan filsafat hidup masyarakat Indonesia.
Keris dalam budaya masyarakat
Indonesia dihadirkan dalam seluruh fase
perjalanan hidup sejak lahir hingga mati.
Keris sebagai sarana untuk membangun
kesadaran manusia agar senantiasa ingat
kepada penciptanya (Tuhan YME). Oleh
karena itu, upacara-upacara keagamaan
seringkali menghadirkan keris sebagai kelengkapan yang penting.
Keris, budaya asli dan jenius lokal
masyarakat Indonesia itu pada awalnya
berkembang di Jawa sejak abad ke-8, kemudian menyebar di hampir seluruh
wilayah Nusantara, demikian disebut
Mubirman dalam Keris Senjata Pusaka (1980) dan Hamzuri dalam Keris (1993).
Bahkan menurut para pakar keris
seperti Bambang Hasrinukso, Haryono
Guritno, dan Darmosugito, keris juga
merambah Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, Thailand, Myanmar, dan Filipina. Persebaran keris terjadi melalui perdagangan, perang, perkawinan, dan hubungan politik. Fakta ini kemudian melahirkan berbagai corak dan gaya keris yang mencerminkan karakteristik masyarakat pendukungnya, sehingga memperkaya khasanah dunia perkerisan.
Keris tergolong warisan budaya dalam domain kemahiran tradisional. Penciptaan keris tidak lagi hanya dipahami pada pembuatan bilahnya saja, namun juga warangka, hulu, pendok, selud, singep, blawong, dan perabot keris lainnya. Penciptaan keris mulai merata di berbagai wilayah di Indonesia. Jika beberapa waktu lalu dominan tumbuh di Madura, Surakarta, dan Yogyakarta, saat ini penciptaan keris di Jawa juga tumbuh di Surabaya, Malang, Tulungagung, Madiun, Magetan, Karanganyar, Kendal, Banyumas, Jepara, Kota Gede, Bantul, Gunung Kidul, Bandung, dan Bogor. Pembuatan keris juga tumbuh di Sopeng, Bone, dan Mandar (Sulawesi), lalu di Tabanan, Klungkung, Karangasem, Gianyar, dan Badung (Bali), serta Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Timur (Lombok). Di Kalimantan, terutama dijumpai di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Adapun di Sumatera Barat, Riau, Palembang, dan Jambi cukup menonjol seniman pembuat kelengkapan keris.
Penciptaan keris berdampak positif pada tumbuhnya upacara-upacara adat yang keberlangsungannya menghadirkan
keris. Upacara daur hidup seperti tujuh bulanan kehamilan (mitoni), tedak siten, khitanan, perkawinan, sedekah desa, selamatan, hingga kirab budaya membutuhkan keris. Yang menarik saat ini semakin berkembang penggunaan keris dalam busana adat ataupun berbusana modern.
Pemerintah bersinergi dengan komunitas dan pemangku kepentingan secara proporsional mewujudkan berbagai rencana aksi yang tertuang dalam proposal keris ke UNESCO, juga mengacu pada langkah setrategis sesuai UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Berbagai langkah strategis tersebut antara lain:
1. Lahirnya Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) sebagai wadah insan perkerisan Indonesia yang dibidani oleh pemerintah melalui Puslitbang Kemdikbud pascainskripsi keris di UNESCO. Saat ini SNKI telah tumbuh menjadi organisasi yang cukup besar dengan beranggotakan lebih dari 200 sanggar/paguyuban di hampir seluruh wilayah Indonesia. SNKI aktif dalam berbagai kegiatan mulai penelitian, advokasi, publikasi, hingga edukasi. SNKI juga secara aktif melaporkan pekembangan budaya keris dalam kancah Internasional serta membumikan keris di mancanegara.
2. Berdirinya prodi keris di ISI Surakarta sebagai langkah strategis menuju “krisologi” melalui dunia pendidikan
formal. Prodi keris merupakan mandat pemerintah, dan berdiri di Institut Seni Indonesia Surakarta semenjak tahun 2012 serta telah banyak meluluskan sarjana diploma empat yang mumpuni dibidang perkerisan. Alumni prodi keris memiliki kompetensi unggulan dalam aspek penciptaan, konservator, serta kurator keris dan senjata tradisional nusantara.
3. Berdirinya Museum Keris Nusantara di Surakarta yang didirikan oleh pemerintah melalui Kemendikbudristek. Museum dengan koleksi ribuan keris dari berbagai daerah Indonesia, dilengkapi ruang audio visual, besalen penempaan keris, dan ruang konservasi.
4. Standardisasi profesi bidang keris guna menjawab tantangan kebutuhan zaman sejak 2021 hasil kerjasama Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan dengan SNKI. Terdapat 29 skema bidang perkerisan yang merujuk pada aspek penciptaan, kuratorial, dan konservasi keris.
5. Pameran, bursa, dan lokakarya sebagai media edukasi dan promosi yang berdampak positif pada tumbuhnya ekonomi kreatif bidang pekerisan hasil sinergi dunia akademisi, sanggar/paguyuban, dan museum dan pemerintah. Muncullah
Keris Festival yang diinisiasi ISI
Surakarta, Jogjakarta International Heritage Festival (JIHF), Kirab Pusaka di Kabupaten Ponorogo, Kirab Keris Kyai
Tengoro (Museum Keris Surakarta), dan Tulungagung Keris Fest.
Sebagai karya budaya tradisi yang sarat makna nilai, dibutuhkan tranformasi yang kreatif guna memenuhi kebutuhan zamannya, namun transformasi budaya perlu dijaga secara ketat agar maknanilainya tetap terjaga dengan baik. Di sisi lain, tumbuhnya teknologi modern yang makin maju mendudukkan dunia ada di genggaman. Segala pengetahuan dan informasi terdapat di gawai.
Tantangan nomor satu adalah pewarisan pada generasi milenial. Budaya keris telah menunjukan perjalanan sejarahnya yang diwariskan turun-temurun semenjak ratusan tahun yang silam (dari abad ke-8). Namun demikian seiring perkembangan zaman dan derasnya pengaruh budaya luar, perubahan pola hidup dan kebutuhan di era modern yang serba praktis, cepat, dan instan, sehingga dibutuhkan pola pewarisan dan edukasi keris sesuai dengan pola dan pemahaman generasi milenial.
Tantangan kedua adalah maraknya keris sebagai media penipuan.
masyarakat, namun perlu dibekali pemahaman mendalam dan didudukkan secara proporsional. Selain itu maraknya keris-keris buatan baru yang
dibuat kesan kuno menjadi bagian dari komoditi perdagangan, juga menumbuhkan traumatik
masyarakat untuk memiliki keris.
Tantangan ketiga, penataan pangsa pasar keris sebagai ekonomi kreatif. Pangsa pasar yang meluas hingga mancanegara memberikan peluang ekonomi yang
menjanjikan. Sayang, pengelolaan belum baik sehingga sering terjadi tumpang tindih. Suburnya monopoli oleh beberapa pihak makin memperlebar jarak kesenjangan antar pelaku budaya keris.
Terbatasnya edukasi, minimnya kurator yang mumpuni, dan banyak pembiasan pegetahuan keris, seringkali mendudukkan keris sebagai media penipuan. Pemahaman mistik, gaib, bertuah, dan keramat seringkali tidak dipahami secara utuh sehingga banyak masyarakat yang menjadi korban. Hal-hal mistis diyakini oleh sebagian
Tantangan keempat, lemahnya kuratorial. Tumbuhnya budaya keris saat ini tidak diimbangi dengan
kuratorial yang mumpuni, berdampak sering memicu silang pendapat, dan berpotensi pemahaman yang bias. Oleh karena itu sertifikasi kuratorial penting segera dilakukan agar lahir kuratorkurator yang kompeten.
Tantangan kelima, pelestarian ekosistem keris yang belum merata. Tumbuh suburnya budaya keris bila dicermati belum merata dalam ekosistemnya. Berbagai bidang keris belum dikelola dengan baik, sehingga menjadi mata rantai yang rapuh dan mengancam budaya keris. Contohnya: Minimnya pewarisan panjak atau penempa, bahan
kayu untuk warangka/hulu, minimnya pembuat perabot keris, kurangnya konservator dan kurator.
Minimnya aktivitas adat dan busana di mana arti penting keris dihadirkan juga perlu disikapi. Budaya keris seolah menjadi benda hias semata, sementara spirit yang dibentuk atas nilai-nilainya tak lagi hadir secara utuh. Kunci keberterimaan suatu warisan budaya hanya dimungkinkan karena adanya ekosistem yang terpelihara dengan baik, membuminya koridor makna-nilai, serta kreativitas yang berpijak pada akarnya secara kuat. Peran pemerintah, komunitas, dan seluruh pemangku kepentingan secara proporsional sangat dibutuhkan. Lestarilah budaya keris, jayalah bangsa Indonesia.
Festival Indonesia Bertutur merupakan satu dari serangkaian kegiatan G20 bidang kebudayaan yang digelar pada 7--11 September 2022 di Kawasan Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Indonesia Bertutur mengusung tema “Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan Masa Depan”, dengan harapan bahwa masyarakat dapat memaknai peristiwa atau sejarah di masa lalu dengan cara-cara baru yang relevan pada masa kini. Tujuan utama Indonesia Bertutur adalah menjaga budaya yang berkelanjutan melalui kegiatan yang edukatif, inspiratif, dan penuh pengalaman. Banyak seniman dari dalam maupun luar negeri terlibat, para pelaku seni pertunjukan, film, dan seni media baru, yang menampilkan karya-karya mereka, yakni implementasi dari narasi cagar budaya yang disesuaikan dengan konteks kekinian.
Festival ini melibatkan empat ruang seni yang berada di seputar Candi Borobudur yaitu Virama, Anarta, Kiranamaya, dan Visaraloka. Di dalam Virama terdapat panggung senja yang menampilkan pertunjukan musik, tari, dongeng, dan area kuliner yang menyuguhkan rupa-rupa makanan tradisional seperti bakso, siomay, lumpia, mi ayam, dan jamu. Anarta atau panggung lumbini menyuguhkan berbagai macam pertunjukan kontemporer dari bidang musik, tari, dan teater, khususnya kelompok yang telah melakukan proses
eksperimen panjang untuk berkolaborasi dengan teknologi modern dalam karyanya.
Di Kiranamaya terdapat suguhan beragam pemetaan video dan tatanan instalasi cahaya dari karya-karya seniman dengan teknologi pencahayaan interaktif dan arsitektural. Pengunjung mendapatkan pengalaman pencahayaan istimewa di Borobudur pada saat malam hari layaknya sebuah festival cahaya yang dapat dinikmati di panggung aksobya. Di sini ada pula layarambha menyajikan
berbagai macam film peran dan film pendek dari film-film tari karya senimanseniman berbagai negara termasuk Indonesia. Adapun Visaraloka adalah tempat pameran seni media.
Kemeriahan Seni
Pada hari pertama Indonesia Bertutur, suasana langsung meriah, sejak pembukaan pameran seni media
Visaraloka yang menampilkan karyakarya epik dari seniman seni media dan seni pertunjukan, seperti lukisan yang dipamerkan di Eloprogo Art House
museum keris - Tulus menyanyi untuk InturIrnie Wandakarya Sony Santosa dan seni instalasi
karya Gilang Anom. Terdapat tiga lokasi
lain sebagai tempat pameran karya
yaitu Limanjawi Art House, Museum H.
Hidayat, dan Apel Watoe Art Gallery.
Salah satu yang menarik adalah karya
Mella Jaarsma dan Agus Ongge yang
dipamerkan di Museum H. Hidayat,
sebuah instalasi busana dari kain kulit
kayu yang diperagakan oleh beberapa model. Kita seolah dibawa ke masa
manusia purba, apalagi disisi yang
lain ada video karya Lisa Reihana yang
berjudul “In Persuit of Venus” yang
menggambarkan bagaimana kehidupan manusia purba pada masa itu.
Indonesia Bertutur dibuka oleh Direktur
Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek
Hilmar Farid didampingi Direktur
Perfilman, Musik, dan Media Ahmad
Mahendra, dan Direktur Artistik Indonesia
Bertutur Melati Suryodarmo di area
panggung Lumbini Candi Borobudur. Acara pembukaan paling menyedot perhatian. Panggung Lumbini sendiri sudah menarik, berbentuk setengah lingkaran dengan dominasi warna putih berhiaskan tanaman di sisi panggung
dan berlatarkan Candi Borobudur
yang megah menjulang. Eksotis. Meski diselimuti mendung dan sempat turun hujan, para penonton bertahan untuk menyaksikan pertunjukan seni.
Indonesia Bertutur dibuka dengan
sebuah upacara selamatan bersama masyarakat kawasan Borobudur serta para pelaku budaya yang terlibat. Upacara selamatan massal ini melibatkan warga dari 20 desa Kecamatan Borobudur, meliputi kirab gunungan dan topeng ireng massal, selamatan di pelataran Candi
Borobudur, dan upacara peresmian di lapangan Lumbini yang diawali dengan pementasan tari soreng, tari tradisional khas Magelang. Para penari penuh ekspresi dan energi, gerakan kaki dan tangannya melambangkan kegigihan sebagai petarung kehidupan dari lereng
pegunungan. Tampilan tarian topeng ireng yang dibawakan oleh Komunitas Lima Gunung menutup acara.
Pengunjung semakin ramai memadati
Kawasan Candi Borobudur pada hari
kedua. Acaranya sangat beragam, seperti dongeng dari Kak Aio/Ariyo Zidni
(Founder Ayo Dongeng Indonesia), Kak BudiBaikBudi, pendongeng yang juga ventriloquist, dan Kak Hendra Hensem yang selalu bisa membawa suasasa menjadi menjadi jenaka. Aneka rupa tari dari sanggar-sanggar seni setempat juga menarik. Penampilan penyanyi Ardhito Pramono dan Peni Candrarini sontak membuat riuh suasana area panggung senja, membuat penonton terhanyut dalam suasana lagu-lagu pilihan. Yang tak kalah seru, di area layarambha ada diskusi film bersama Garin Nugroho, Razan Wirjosandjojo, Iphul Ashyari, dan Iin Ainar Lawide disusul pemutaran film
,”Anerca, Breath of Life”, “Lucy” dan “Touching The Skin of Eeriness”. Beragam film diputar di arena ini pada hari-hari berikutnya. Penampilan Tulus menjadi agenda yang ditunggu oleh 7000-an pengunjung di tengah suasana yang cukup magis dengan tata cahaya yang membuat panggung semakin megah.
Latar Candi Borobudur disorot dengan pemetaan video karya para seniman, seperti Rampages Production x Toopfire yang menampilkan pemetaan proyeksi berdasarkan kisah budaya tradisional Indonesia. Isi cerita didasarkan pada
spiritualitas kuno, pengetahuan kuno, dan simbol identitas nasional, yang menggambarkan dunia cahaya dan bayangan yang penuh kegembiraan dengan warna-warna cerah dan gambar yang hidup. Termasuk elemen tari Bali, wayang, batik, dan lain-lain untuk mengekspresikan tradisi dan pengetahuan Indonesia. Keseluruhan cerita berakhir klimaks dengan efek kerlip yang ditampilkan secara modern untuk mewakili budaya masa lalu dan warisan masa depan.
Festival Indonesia Bertutur 2022 yang
memiliki tema “Mengalami Masa
Lalu, Menumbuhkan Masa Depan”
mempertontonkan pemetaan video dari Vulture Studio yang mengangkat
cerita tentang kekuatan dan kejayaan peradaban di Trowulan, Jawa Timur, yang perkembangannya tak jauh dari pengaruh peradaban Majapahit. Tema “mengalami masa lalu” juga terasa pada pertunjukan dari Studio Gambar Gerak yang mengangkat tema cagar budaya
Gunung Kawi di Banjar Panaka, Desa Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. Motionhouse Indonesia menampilkan legenda Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Festival Indonesia Bertutur 2022 tetap dipadati penonton pada hari-hari berikutnya meski cuaca kurang bersahabat. Mana mungkin meninggalkan penampilan Letto dengan
lagu-lagu romantisnya, Om Wawes, dan Paksi Band dengan keroncong-dangdutcampursarinya. Pertunjukan teater pun tak kalah menarik. Ada Prehistoric Body Theater yang menampilkan lakon A Song for Sangiran 17, lalu Fitri Setyaningsih, Mila Rosinta, Choy Ka Fai - Postcolonial Spirit, Senyawa, dan Teater Garasi.
Lima hari di Festival Indonesia Bertutur 2022 membuat kami terhibur. Kami juga mendapat pengalaman berharga, bahwa sejarah masa lalu ternyata mampu ditampilkan dalam kemasan modern. Ini adalah sebentuk edukasi dalam kemasan yang menyenangkan dan kekinian.
(Irnie Wanda, Direktorat Perfilman, Musik dan Media).
Program pemajuan kebudayaan desa merupakan salah satu program prioritas Direktorat
Jenderal Kebudayaan yang mengaktifkan kembali desa sebagai sumber
penghidupan, lumbung budaya, dan akar ekosistem budaya. Desa bukan hanya objek pembangunan, melainkan subjek pembangunan itu sendiri.
Program pemajuan kebudayaan desa dirancang untuk menjawab berbagai tantangan globalisasi yang mengubah wajah desa menjadi kota dan membuat desa kehilangan jati dirinya.
Ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi telah
menggerus jaringan tolong-menolong antarwarga dan kearifan lokal yang tumbuh dari praktik masyarakat desa, selain juga menimbulkan permasalahanpermasalahan baru seperti kerusakan lingkungan dan kesenjangan sosial.
Untuk mengatasi dampak negatif ini, pemajuan kebudayaan desa hadir sebagai program pemerintah untuk memberdayakan potensi desa secara kontekstual sebagai modal utama pembangunan yang lebih menyeluruh ketimbang sekadar pertumbuhan ekonomi. Dengan begitu, diharapkan akan tercipta suatu pertumbuhan yang bersifat endogen, yang muncul dari daya kekuatan desa itu sendiri.
Warga
Di sepanjang sejarahnya desa berperan sebagai wadah tempat terwujudnya interaksi budaya masyarakat Indonesia dan menyimpan endapan nilai-nilai kehidupan sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Desa merupakan komunitas terkecil dari pemerintahan dan merupakan akar identitas budaya Indonesia.
Desa memiliki potensi yang sangat besar baik berupa alam, manusia, budaya benda dan takbenda, bahkan
sejarah yang dapat dimanfaatkan untuk membangun desa berdasarkan imajinasi warga tentang masa depan desa.
Imajinasi warga adalah pedoman yang andal bagi pembangunan kontekstual karena tidak ada yang lebih berhak berbicara tentang masa depan desa kecuali warga desa itu sendiri yang mengalami langsung pergulatan hidup pedesaan yang konkrit.
Bagaimana warga desa menginginkan desanya berkembang menjadi seperti yang mereka angankan? Bagaimana usaha warga bekerja sama mewujudkannya? Itulah titik berangkat pembangunan yang endogen.
Lewat laku imajinasi warga ini, seluruh insan kebudayaan di desa terlibat mulai dari anak-anak sampai orang tua, baik itu perempuan maupun laki-laki dengan berbagai profesi mereka. Termasuk juga di dalamnya adalah kaum difabel serta kaum rentan lainnya.
Berbekal imajinasi warga, pemajuan
kebudayaan desa dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama merupakan tahap temukenali potensi budaya, tahap kedua adalah tahap pengembangan dan tahap ketiga adalah tahap pemanfaatan.
Keseluruhan proses itu dijalankan di atas dasar pengakuan pada daya yang dimiliki warga desa dan oleh karena itu ketiga tahap itu selalu menjunjung prinsip Inklusi sosial, kesetaraan, kemandirian, keberlanjutan, praktis dan partisipatif.
Lumbung Kebudayaan
Nasional
Terkadang kita tidak sadar bahwa kita memiliki potensi yang besar dalam berbagai hal, begitupun dengan desa. Dalam tahap temukenali masyarakat diajak untuk menemukan dan mengenali kembali budaya yang mereka miliki, baik itu berupa cagar budaya maupun yang bersifat takbenda, selain juga sejarah desa serta kondisi alam tempat mereka tinggal. Dalam prosesnya, temukenali ini juga akan memetakan kelompokkelompok masyarakat yang menunjang keberlanjutan aneka praktik budaya tersebut.
Konsep pemetaan partisipatif
diharapkan mampu memotret potensi
yang dimiliki desa serta permasalahan
yang ada. Selain itu, dalam tahapan ini juga akan dipetakan harapan-harapan
masyarakat tentang bagaimana
desanya di masa yang akan datang. Dari
situlah tercipta dialog bersama untuk
merumuskan pengembangan segala
potensi melalui pembuatan rencana aksi.
Tahap kedua dari program ini adalah
tahap pengembangan Pada tahap ini, peta potensi budaya yang sudah disusun
kemudian dikembangkan sesuai dengan
Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan
antara lain melalui pengkajian atas
kemungkinan inovasi budaya. Pengayaan
keragaman kemudian dilakukan
melalui upaya mendorong dialog dan percampuran dengan budaya dari tempat lain.
Pengembangan potensi ini juga
diarahkan untuk dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan yang ada di desa melalui jalan kebudayaan, seperti masalah ketahanan pangan melalui
upaya pertanian tradisional yang ramah
lingkungan dan pemanfaatan padi lokal
sebagai sumber daya genetik. Sebagai
upaya untuk mengaktifkan gerakan warga
desa, perlu didapatkan kesepakatankesepakatan sosial dalam merencanakan
rencana aksi pengembangan kebudayaan
melalui sarasehan desa, forum diskusi
desa, penyelenggaraan forum budaya
bersama, penyelarasan peta partisipatif dan pendalaman ekosistem potensi
budaya yang dimiliki warga bersamasama dengan seluruh elemen dalam masyarakat desa itu sendiri.
Tahap ketiga adalah tahap pemanfaatan yang bertujuan meningkatkan ketahanan
budaya, kolaborasi antarbudaya, kesejahteraan masyarakat dan pembangunan karakter desa. Dalam
tahap pemanfaatan ini, warga sudah dapat mengidentifikasi dan memilih mitra strategis program, merencanakan pembiayaan program serta membentuk organisasi penggerak.
Selanjutnya rencana aksi yang telah dibuat kemudian disinkronkan dengan hasil Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (MUSRENBANG) tingkat desa agar mendapatkan hak penggunaan dana desa. Langkah ini kemudian
disusul dengan publikasi potensi desa antara lain melalui film dan buku, serta menginternalisasi kembali budaya desa kepada anak-anak melalui pendidikan muatan lokal, mengaktifkan sanggarsanggar sebagai ruang budaya warga, dan sebagainya.
Pemajuan kebudayaan desa tidak sama dengan mengubah semua desa menjadi “desa wisata”. Pola pengelolaan desa
semacam itu belakangan marak di Indonesia. Seakan-akan potensi budaya setiap desa adalah dan hanya mungkin diwujudkan sebagai potensi wisata. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ada desa yang lebih mandiri sebagai desa pertanian dan bukan desa pariwisata komersial.
Oleh karena itu, apa yang selalu diingat dalam pelaksanaan program pemajuan kebudayaan desa adalah pembangunan
yang kontekstual: tidak menggunakan satu rumus atau exemplary model untuk diterapkan di sembarang desa.
Pemajuan kebudayaan desa didesain untuk membangun desa yang berdaya dengan kekuatan potensi yang dimilikinya sendiri serta mendorong kolaborasi dengan desa-desa lain. Kerja ini adalah kerja jaringan, memanfaatkan seluruh jejaring sosial yang menghubungkan setiap desa. Tujuannya
bukanlah membuat desa menjadi kota, melainkan membangun asosiasi bebas yang menghimpun kekuatan budaya dari berbagai desa untuk pemajuan kebudayaan bangsa.
(Maya Krishna, Direktorat PPK Kemdikbudristek)
“G20 Culture Ministers Meeting” atau Pertemuan Menteri-Menteri Bidang Kebudayaan G20 pada 13
September 2022 di Kawasan Candi Borobudur mengangkat tema Kebudayaan untuk Kehidupan Berkelanjutan (Culture for Sustainable Living). Pemilihan tema ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dunia sedang dilanda krisis di bidang-bidang yang sangat mendasar, seperti sandang, pangan, dan
papan. Gaya hidup lama yang konsumtif dan serba instan telah menciptakan tekanan berat pada daya dukung lingkungan hidup. Pertemuan itu digagas sebagai forum untuk menggulirkan konsensus baru dalam memulihkan relasi manusia dengan alam dengan menimba inspirasi dari aneka praktik budaya lokal yang menghormati daur hidup alam.
Pertemuan tingkat menteri itu bukanlah sebuah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan puncak dari suatu rangkaian proses konsolidasi aneka praktik lokal yang terjadi di berbagai daerah dan di berbagai negeri. Di berbagai daerah di Indonesia telah terdapat banyak prakarsa pengelolaan budaya yang tepat guna bagi terciptanya gaya hidup yang
lebih berkelanjutan, yang berupaya
mengembalikan relasi harmonis manusia
dan alam. Aneka prakarsa itu terwujud mulai dari tingkat akademik, kaum muda hingga gerakan akar rumput.
Gerakan Akar Rumput
Di lingkungan gerakan akar rumput, khususnya di tingkat desa, telah tumbuh berbagai prakarsa untuk menemukenali potensi budaya setempat dan menjadikannya modal utama bagi
pembangunan yang lebih ramah
lingkungan dan menunjang kehidupan
sosial-ekonomi yang lebih manusiawi. Program Desa Pemajuan Kebudayaan adalah himpunan dari aneka prakarsa semacam itu. Seluruh desa di kawasan Borobudur pun berhimpun dan menggelar rangkaian Pasar Budaya pada Juli hingga September 2022, yang menghadirkan berbagai produk unggulan yang dihasilkan selama mengikuti
program Desa Pemajuan Kebudayaan.
Semuanya adalah contoh nyata
bagaimana budaya lokal dapat menjadi sumber inspirasi bagi terciptanya gaya hidup baru yang lebih berkelanjutan.
Bergulir pula rangkaian kegiatan
Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) yang diselenggerakan di tingkat kabupaten/ kota di seluruh Indonesia. Ini merupakan ruang-ruang interaksi inklusif bagi semua prakarsa publik dalam memajukan budaya daerah, yakni himpunan wadah bagi para pegiat seni dan budaya di
berbagai daerah di Indonesia untuk mengolah ekspresi mereka ke dalam bentuk festival yang dihelat secara berkala. Dari PKD, aneka cara cermat olah peluang dapat ditemukan. Budaya setempat bisa jadi inspirasi dalam mengatur siasat cemerlang dalam mengatasi rintangan hidup kekinian.
Konsolidasi Kekuatan
Aneka prakarsa rakyat yang telah bergulir sejak awal 2022 itu berhimpun
menjadi satu kekuatan raksasa yang
menjadi landasan bagi “G20 Culture Ministers Meeting”. Semua ide dan praktik dihadirkan dalam sebuah wadah permufakatan masyarakat, yakni Pekan
Konsolidasi Tenaga Budaya (PEKAT Budaya) yang diselenggarakan pada awal bulan September 2022. Kegiatan itu mempertemukan perwakilan dari setiap pelaku prakarsa budaya untuk hidup berkelanjutan, meliputi para akademisi, gerakan pemuda, Desa Pemajuan
Kebudayaan dan PKD. Dilaksanakan
secara paralel di lima desa di kawasan
Borobudur (Wringin Putih, Karanganyar, Karangrejo, Wanurejo, Candirejo), forum
musyawarah kolektif itu mempertemukan
pelaku budaya, akademisi, dan warga desa untuk menciptakan pesan kunci yang disampaikan pada pertemuan
tingkat menteri negara-negara G20 pada
13 September 2022.
Untuk mengantarkan pesan kunci itu, warga desa di kawasan Borobudur
menggelar kirab budaya dari Candi
Pawon ke Borobudur pada 12 September
dan mengadakan rapat raksasa setibanya di Lapangan Lumbini, Borobudur.
Kirab budaya itu menjadi manifestasi dari keseriusan masyarakat untuk
mencipta perubahan gaya hidup, suatu pengejawantahan dari tenaga kolektif
pelaku budaya sebangsa dan setanah air untuk menciptakan dunia baru yang lebih adil, makmur, dan sejahtera secara jasmani dan rohani. Melalui arakarakan selama 45 menit itu, tampak kehendak umum untuk mengembalikan keselarasan kosmik, menyudahi keretakan metabolis antara manusia dan alam, melalui jalan kebudayaan. Rapat raksasa ribuan warga tersebut menjadi titik kulminasi dari gerakan ini. Di sana mereka menggelar ritual makan bersama sebagai simbol solidaritas dengan sesama makhluk seisi alam dan menyampaikan aspirasi mereka melalui rangkaian pertunjukan yang merupakan adaptasi artistik dari aneka isu yang telah mereka diskusikan dalam rangkaian kegiatan sebelumnya.
Keseluruhan rangkaian ini pada
akhirnya bermuara pada “G20
Culture Ministers Meeting” di Plataran Hotel, 13 September
2022. Perwakilan dari
gerakan tingkat akar rumput
menyampaikan Amanat
Borobudur, sebuah
manifesto yang
memuat pendirian para pelaku budaya
dari berbagai
daerah dan
negara mengenai
apa yang harus
dilakukan
jika
kehidupan di muka bumi mau
dilanjutkan. Amanat ini menyatakan antara lain bahwa “kita harus
mewariskan alam semesta dengan
kondisi yang lebih baik dari hari ini”.
Pembacaan deklarasi itu menjadi
salah satu pertimbangan kunci bagi perumusan hasil pertemuan menteri-menteri dari negara
anggota G20 di bidang kebudayaan.
Selaras dengan Amanat Borobudur, pertemuan tersebut
menghasilkan komitmen bersama untuk mendorong peningkatan peran budaya dalam menggulirkan perubahan sistem dan gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI dalam pernyataan ketua acara (chair’s ststement) menyampaikan bahwa budaya memiliki nilai intrinsik di luar manfaat sosial dan ekonominya, bahwa penting untuk mendorong perubahan signifikan dalam cara hidup masyarakat yang mempromosikan keragaman, kesetaraan, inklusi. “Tidak kalah pentingnya adalah komitmen bersama untuk menjajaki pembentukan global arts dan culture recovery fund yang dapat dikelola oleh
UNESCO, atas dasar sukarela, untuk memulihkan sektor ekonomi budaya dan untuk mempromosikan kehidupan yang
berkelanjutan, yang akan dibahas dalam
“Finance Track G20”.
Untuk memperkuat pesan pemulihan global berbasis budaya itu, digelarlah
Ruwatan Bumi di Borobudur.
Ratusan delegasi bersama ribuan
peserta menyaksikan rangkaian ritual performatif yang menonjolkan musik
vokal tradisional dari berbagai belahan
Nusantara. Pesan-pesan kehidupan
berkelanjutan berbasis budaya tradisi tampil melalui jalinan narasi lokal. “G20
Culture Ministers Meeting” niscaya
menjadi bagian dari aksi-aksi budaya dari berbagai daerah dan belahan dunia yang menghendaki perubahan sistem demi kehidupan yang berkelanjutan.
Kutipan diatas adalah jawaban dari Bang Ucok, seorang teknisi rigging panggung setelah saya tanya mengapa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun sebuah rigging panggung pertunjukan Road Show Lake Toba Music Festival di Sidikalang, Kabupaten Dairi Sumatera Utara bulan Mei 2022 lalu.
Hal ini sangat dimaklumi karena kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam merespon pandemi Covid-19 sangat berdampak pada hilangnya aktivitasaktivitas seni pertunjukan yang sebelumnya rutin digelar. Menurut catatan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek) pada Agustus 2021, sebanyak 65% pelaku budaya nasional telah kehilangan pekerjaan yang berpengaruh pada penurunan pendapatan hingga 70%, serta 70% ruang seni dan organisasi kebudayaan menjadi tidak aktif.
Kembalinya pekerja-pekerja pendukung seni pertunjukan seperti Bang Ucok dalam melakukan aktivitas-aktivitas kebudayaan mulai terasa terutama sejak pemerintah memberlakukan pelonggaran kebijakan PPKM dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini.
Tulisan ini bermaksud menguraikan pengalaman
“Maaf Bang, udah dua tahun ga ada event, saya sampai lupa cara pasang riggingnya.. hehe”
yang didapatkan dari pelaksanaan rangkaian
acara Lake Toba Music Festival 2.0 yang
dilaksanakan bulan
Mei-Agustus 2022
Kawasan Danau Toba, Sumatera Utara sebagai salah satu best practice upaya pemulihan ekosistem senibudaya pascapandemi yang diinisiasi oleh masyarakat dan
komunitas setempat.
Peran Komunitas
Salah satu komunitas yang menyambut baik kebijakan pelonggaran PPKM
adalah Rumah Karya Indonesia (RKI) yang berbasis di Sumatera Utara. Komunitas ini lahir atas dasar
pemikiran bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya akan suku bangsa. Di Sumatera Utara sendiri, setidaknya ada puluhan kelompok masyarakat etnis yang selama ini hidup berdampingan. Kelompok-kelompok masyarakat itu memiliki sejumlah peninggalan karya seni tradisi yang bernilai tinggi. Sayangnya karya-karya seni tradisi itu, belum dikembangkan dengan baik.
Bahkan cenderung terlupakan. Alhasil, banyak karya seni tradisi yang punah, termasuk instrumen pendukung maupun pengetahuan yang ada padanya. Aktivitas
RKI berfokus pada pengelolaan serta manajerial pertunjukan, riset, publikasi, dan dokumentasi musik tradisi.
Harmoni inangDit. Perfilman, Musik dan MediaSejak 2021 RKI telah menginisiasi
pelaksanaan festival musik tradisi yang
bertujuan untuk membangun ekosistem
kebudayaan sebagai bagian dari upaya
pemajuan kebudayaan dan percepatan
ekonomi di Kawasan Danau Toba melalui
festival musik tradisi. Serta mendukung
mewujudkan tema Presidensi G20
‘Recover Together, Recover Stronger’.
Lake Toba Music Festival 2.0
Danau Toba atau Kaldera Toba sudah
ditetapkan sebagai UNESCO Global
Geopark. Kawasan ini memiliki kaitan
geologis dan warisan tradisi yang tinggi
dengan masyarakat lokal, khususnya
dalam hal budaya. Beberapa daerah di Indonesia bahkan Asia Tenggara juga
memiliki beberapa geopark atau taman
geologi. Sama halnya dengan Danau
Toba, di beberapa wilayah yang memiliki
taman geologi juga pasti memiliki
warisan tradisi yang tinggi khususnya hal
budaya. Dengan kesamaan ini, Lake Toba
Traditional Music Festival 2.0 mengundang
jaringan musisi tradisi di kawasan taman
geologi. Baik lokal, nasional, maupun mancanegara.
Kegiatan Lake Toba Music Traditional Festival 2.0 adalah sebuah gagasan
dari Rumah Karya Indonesia, di mana
seniman/pekarya dari 4 puak di Kawasan
Danau Toba akan menciptakan sebuah
karya dengan berkolaborasi antar seniman, dan tentunya juga sangat
melibatkan masyarakat lokal, mengenai
Danau Toba melalui karya seni musik. Kegiatan ini akan dilakukan di pinggiran
Danau Toba, yang memiliki ekosistem dan potensi kebudayaan. Sehingga
kegiatan ini juga memiliki dampak positif kepada masyarakat dan kepada pengunjung.
Tahun 2022 merupakan tahun ke-2
dilaksanakannya Lake Toba Traditional Music Festival yang merupakan bagian
dari Festival Musik Tradisi Indonesia
dengan tema Suara Danau: Memaknai, Merawat dan Menghidupkan Musik
Tradisi. Tiga elemen tersebut dihadirkan dalam sajian berbentuk festival.
Festival tersebut mendorong agar
kita mengetahui proses pengetahuan, proses pembelajaran, dan proses perkembangannya menjadi satu bagian yang secara holistik harus kita lihat.
Lake Toba Traditional Music Festival
2.0 merupakan kegiatan puncak, melanjutkan hajatan sebelumnya
yakni Eta Margondang yang telah
dilaksanakan di empat kabupaten
dengan konsep kegiatan yang berbedabeda. Lake Toba Traditional Music Festival 2.0 juga merupakan bagian dari program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi berkerja sama dengan Rumah Karya
Indonesia yang merupakan upaya untuk mewujudkan pemajuan kebudayaan, khususnya dalam memperkuat ekosistem musik tradisi Indonesia sebagai bentuk perwujudan amanat Undang Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Salah satu daya dari pertunjukan ini adalah Eta Margondang, menghadirkan para pemusik-pemusik muda dari empat puak sekitaran Danau Toba yang sudah berlatih dan berproses untuk menciptakan karya baru untuk disajikan kepada penikmat musik tradisi. Eta
Margondang ini juga dikolaborasikan dengan 500 orang pemain seruling dari sekitaran Danau Toba. Selain penampilan Eta Margondang, ada pula pertunjukan grup musik lokal lintas generasi yang cukup terkenal dengan memainkan kolaborasi musik tradisi serta modern.
Merujuk pada tema Presidensi G20, Recover Together, Recover Stronger yang secara harfiah berarti ‘Pulih bersama, Pulih lebih kuat’, tentunya upaya percepatan pemulihan ekosistem musik tradisi tidak bisa lepas dari dukungan masyarakat melalui peran komunitaskomunitas yang peduli dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya sendiri.
Aktivasi kesenian musik tradisi yang dilakukan oleh RKI merupakan salah satu bentuk praktik kebudayaan yang menjamin keberlangsungan kehidupan berkelanjutan. Karena kegiatan seni pertunjukan yang diadvokasi oleh RKI ini juga merupakan bentuk dari ritual kebudayaan di mana masyarakat berkumpul, berkreasi, dan melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi yang
melibatkan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Musik tradisi yang merupakan salah satu bentuk kongkrit dari kebudayaan yang berperan untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Indonesia kaya akan alam dan budaya. Tidak salah jika Asisten Direktur
Jenderal Bidang Budaya (ADG Culture) UNESCO Francesco Bandarin berkata kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir
Effendy bahwa Indonesia merupakan negara “super power” di bidang budaya. Pernyataan ini disampaikan di sela-sela kehadiran mereka di Sidang Umum UNESCO ke-39 yang berlangsung di Markas Besar UNESCO, Paris, November 2017. Fakta berkata bahwa di seluruh belahan bumi ini hanya Indonesia yang memiliki begitu banyak keragaman alam dan budaya.
Indonesia memiliki 17 ribu pulau yang tersebar di 38 provinsi (termasuk 4 provinsi baru di Papua: 2022), 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 74.957 desa, dan 8.490 kelurahan (data tahun 2019). Sebuah potensi yang sangat luar biasa. Lantas, seperti apa tata kelola bidang kebudayaan dan bagaimana peran pemerintah daerah (Pemda) dalam mengembangkan dan memanfaatkan potensi budaya atau objek pemajuan kebudayaan di wilayahnya merupakan tantangan yang mesti dijawab dengan cara mengimplementasikan Undangundang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Tanggung Jawab Bersama
Amanah UU No. 5/2017 sangat jelas, yaitu, Pemajuan Kebudayaan berada di bawah dikoordinasi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan karena hal ini merupakan upaya peningkatan ketahanan budaya dan merupakan
kontribusi budaya Indonesia bagi peradaban dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan kebudayaan. Pemajuan kebudayaan kita berasaskan toleransi, keberagaman, kelokalan, lintas wilayah, partisipatif, dan manfaat, Keberlanjutan, kebebasan berekspresi, keterpaduan, kesederajatan, dan gotong-royong sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5/2017 Pasal 3.
Tujuan pemajuan kebudayaan kita sangatlah mulia yaitu menjadi haluan pembangunan nasional, di antaranya: mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan citra bangsa, mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melestarikan warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia sebagaimana tertuang dalam UU No. 5/2017 Pasal 4.
Teknis pelaksanaan Pemajuan
Kebudayaan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat, baik individu maupun komunitas. Namun, pemerintah daerah (Pemda) berperan penting dalam tata kelola objek pemajuan kebudayaan. Peran ini melekat secara berjenjang dari tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang
Pemajuan Kebudayaan terkait tugas kabupaten/kota dalam mitigasi potensi budaya di daerahnya dengan menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) sebagai acuan pemajuan kebudayaan
Pemajuan kebudayaan berpedoman pada PPKD kabupaten/kota, PPKD provinsi, strategi kebudayaan, dan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) sebagaimana termaktub dalam UU No. 5/2017 Pasal 8. PPKD menjadi basis pemajuan kebudayaan secara berjenjang mulai dari kabupaten/kota kemudian naik ke tingkat provinsi dan nasional sebagai modal menyusun strategi kebudayaan selanjutnya menjadi acuan RIPK (UU No. 5/2017 Pasal 10). PPKD kabupaten/ kota menggambarkan kondisi terkini OPK, sumberdaya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan, pranata kebudayaan, sarana prasarana, potensi masalah pemajuan kebudayaaan, dan analisis rekomendasi untuk implementasi pemajuan kebudayaan di setiap kabupaten/kota (lihat UU No. 5/2017 Pasal 11 ayat 2).
Data terkini yang dihimpun Pusat Data dan Informasi Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dari 514 kabupaten/kota, memperlihatkan bahwa penyusunan PPKD bergerak dinamis dengan rincian sebagai berikut:
Tahun 2018: 301
Tahun 2019: 59
Tahun 2020: 32
Tahun 2021: 19
Tahun 2022: 18
Data menyatakan bahwa dari total 429 kabupaten/kota yang ada, 79 kabupaten/ kota belum menyusun PPKD, termasuk di antaranya Provinsi DKI Jakarta yang
terdiri dari 6 (enam) kota. Perlu diketahui, PPKD merupakan hal krusial yang harus disusun oleh kabupaten/kota sebagai
bentuk komitmen dan kesungguhan dalam pemajuan kebudayaan. Sebuah
komitmen yang wajib diperbaharui dari waktu ke waktu sebagai dasar kebijakan dan skala prioritas dalam pemajuan kebudayaan di setiap kabupaten/kota.
Pemajuan kebudayaan di sebuah wilayah
memerlukan komitmen yang kuat antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, diperlukan kreativitas, kerja keras, jejaring kerja, dan pembiayaan agar program dan kegiatan bisa berlangsung, berdampak luas, menginspirasi, memberikan kontribusi pada pelestarian budaya dan peningkatan ekonomi masyarakat. Sebagai tambahan, perlu adanya kesadaran kolektif untuk mewariskan OPK, khususnya kepada generasi muda.
Komitmen pemajuan kebudayaan
bermula dari tata kelola institusi sebagai pengelola bidang kebudayaan. Data yang
dikumpulkan hingga bulan November 2021 menunjukkan bahwa dari 34 provinsi baru 7 provinsi yang memiliki dinas kebudayaan, yakni Sumatera Barat, DKI Jakarta, Riau, Bali, Kepulauan Riau, dan DI Jogjakarta. Hal ini sejalan dengan
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah, para gubernur dan bupati atau walikota dapat membentuk Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) untuk mengelola urusan penting daerahnya, termasuk kebudayaan.
Sementara itu, kabupaten/kota yang telah memiliki dinas yang khusus menangani kebudayaan adalah
Kota Sawahlunto, Kabupaten Buton, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Kutai Timur, Kota Makassar. Dinas-
dinas tersebut difokuskan untuk mengurus OPK secara berkelanjutan dan memberikan perhatian lebih, terlihat dari program kerja, pada kegiatan bidang kebudayaan yang didukung pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ataupun dana lain dari berbagai sumber.
Kabupaten Belitung Timur berkomitmen untuk mengembangkan rempah dan kebaharian, membangun museum kebaharian sebagai dukungan pada revitalisasi budaya rempah dan menyelenggarakan festival Jelajah Pesona Jalur Rempah (JPJR).
Sementara itu, Pesta Kesenian Bali (PKB) dapat berlangsung puluhan tahun. PKB
NDX menjadi bintang tamuDinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarangdikelola secara sistemik melalui program, mekanisme penyelenggaraan, jejaring dan dukungan pendanaan yang baik.
Oleh karena itu, PKB sudah menjadi agenda tahunan yang ditunggu-tunggu dan melibatkan seluruh komponen masyarakat Bali. Kedua pemda di atas merupakan contoh baik upaya pemajuan kebudayaan hasil kolaborasi pemerintah daerah dan masyarakat.
Meskipun demikian, pemda yang tidak memiliki dinas kebudayaan tersendiri juga memiliki komitmen terhadap kebudayaan. Beberapa pemda tersebut terlihat menggeliat dan bersemangat dalam mengangkat potensi dan kearifan budayanya dengan cara yang lebih kreatif dan diterima masyarakat. Mereka
juga berjejaring dan membuat kegiatan kekinian yang lebih menyenangkan (fun) dan unik sehingga diminati oleh masyarakat.
Komitmen mereka ditunjukkan dengan menyelenggarakan beragam kegiatan pelestarian kebudayaan dengan melibatkan masyarakat dan berjejaring dengan berbagai pemangku kepentingan serta berkomunikasi dengan pemerintah pusat dalam hal advokasi program dan pengembangannya. Hal ini sangat positif, mengingat dengan berjejaring dengan berbagai pihak akan meningkatkan exposure media maupun dampak yang ditimbulkan dibandingkan melakukan sendirian. Untuk itu sangat penting untuk membangun jejaring kerja antar
instansi maupun masyarakat baik individu maupun komunitas bersinergi menggeliatkan pemajuan kebudayaan di tingkat daerah.
Bagaimanapun, OPK daerah harus bergerak, kreatif dan melibatkan seluruh unsur yang ada dalam masyarakat. Gotong royong menjadi keharusan dalam mengembangkan program, pendanaan dan pelaksanaan kegiatan. Selain itu bersinergi, saling mendukung dan kepedulian serta komitmen pemda adalah kunci utama dalam pemajuan kebudayaan di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Salam Budaya.
(Yayuk Sri Budi R: Kapokja Pengembangan)
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah IV
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah I
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah II
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah III
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah VII
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah V
Balai Pelestarian Kebudayaan WilayahVI
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah XII
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah VIII
Balai
Pelestarian
Kebudayaan
Wilayah IX
Balai
Pelestarian
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII
Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) dan Balai Pelestarian Nilai
Budaya (BPNB) telah lama menjadi unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Kebudayaan di daerah.
Namun perkembangan di lapangan
menunjukkan bahwa pemisahan
tata kelola cagar budaya dan nilai
budaya kerap menjadi rintangan bagi upaya pemajuan kebudayaan.
Alih-alih berfokus pada ekosistem kebudayaan yang menyeluruh, pembagian itu dipandang menciptakan sekat-sekat pengelolaan yang membatasi ruang
gerak pemajuan kebudayaan. Oleh karena itu, sejak 1 November 2022 struktur BPCB dan BPNB dilebur ke dalam Balai
Pelestarian Kebudayaan (BPK) dengan fungsi menjalankan pelestarian terhadap cagar budaya dan objek pemajuan kebudayaan. Dengan struktur baru ini diharapkan dapat terwujud pengelolaan warisan budaya yang dapat memperkuat ekosistem kebudayaan di setiap daerah.
Kebudayaan
Wilayah X Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah XI
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah XIV
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah XVII
Balai
Pelestarian Kebudayaan
Wilayah XXI
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah XXIII
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah XXII
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah XVIII
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XX
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX
Balai Pelestarian Kebudayaan
Wilayah XVI
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh
Provinsi Aceh
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II
Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III
Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera
Barat
Provinsi Sumatera Barat
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IV
Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau
Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V
Kota Jambi, Provinsi Jambi
Provinsi Jambi dan Provinsi Bangka Belitung
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI
Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Sumatera Selatan
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII
Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu
Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII
Kota Serang, Provinsi Banten
Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX
Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X
Kabupaten Sleman, Provinsi D.I.Yogyakarta
Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI
Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XII
Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Barat
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII
Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi
Kalimantan Selatan
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV
Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi
Kalimantan Utara
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV
Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali
Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVI
Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVII
Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII
Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi
Barat
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX
Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi
Tenggara
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XX
Kota Ambon, Provinsi Maluku
Provinsi Maluku
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXI
Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara
Provinsi Maluku Utara
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXII
Kota Jayapura, Provinsi Papua
Provinsi Papua
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXIII
Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat
Provinsi Papua Barat
Pulau Kalimantan memiliki
kekayaan budaya jenis tekstil
tradisional yang unik dan khas.
Satu di antara banyak produk tekstil
tersebut adalah tenun ulap doyo. Kain
tenun ini menjadi semacam identitas bagi suku Dayak Benuaq yang mendiami
sebagian Kalimantan Timur. Bahan baku, proses pembuatan, dan motif khas kain tenun ini merupakan warisan budaya
masyarakat Dayak Benuaq yang tak ternilai harganya.
Ulap doyo merupakan produk asli
Kalimantan Timur yang hanya ada di daerah Kutai Barat dan Kutai
Kartanegara. Mengapa hanya di dua wilayah tersebut? Dalam cerita yang
berkembang, pada suatu ketika suku Dayak Benuaq merantau ke Kalimantan
Selatan dan membawa tanaman doyo, namun ternyata tanaman itu tidak bisa tumbuh. Masyarakat Dayak Benuaq akhirnya kembali dan menanam doyo di daerah asalnya, dan membudidayakannya sebagai tanaman yang digunakan untuk membuat kain. Karena alasan sejarah itulah ulap doyo disebut sebagai tumbuhan regiosentris khas daerah Kalimantan Timur.
Tanaman doyo (Curliglia latifolia) dan berbagai tumbuhan yang digunakan untuk pewarna alami kini sulit didapatkan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan
di Kutai Barat sejak tahun 90-an.
Kawasan hutan jadi semakin jauh dari permukiman penduduk. Doyo yang biasa tumbuh di ladang penduduk juga tak dapat ditemukan karena para petani beralih menjadi pekerja tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Kain tenun doyo terkenal karena memiliki kualitas yang bagus dan lebih alami. Ulap doyo berarti daun doyo. Tanaman doyo memiliki serat daun yang kuat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai benang dan ditenun menjadi kain oleh suku Dayak
Benuaq. Kain ini memiliki beragam motif yaitu motif Dayak dengan motif flora dan fauna. Keunikan lain dari tenun doyo adalah produknya bersifat eco-natural,
artinya tidak menggunakan bahan kimia. Proses produksi juga menggunakan caracara yang alami. Menenun dengan sistem
gedogan tidak menggunakan mesin.
Pewarnaannya menggunakan rempahrempah dan tumbuh-tumbuhan yang
ada di sekitar lingkungan seperti kunyit
kuning, hijau pandan, daun ketapang, serta aneka buah-buahan hutan yang
sangat bermanfaat dalam proses
produksi tenun doyo
Proses pembuatan tenun doyo dimulai
dengan pengambilan daun doyo sekitar
60-100 lembar di hutan. Daun doyo
kemudian direndam di air sungai hingga daging daunnya hancur. Setelah itu, serat daun doyo diambil dengan cara dikerik menggunakan sebilah pisau bambu. Proses penenuan dimulai dari memintal (moyong) serat doyo dengan cara membelah serat-serat doyo menjadi
2-3 mm dan kemudian dipilin menjadi benang. Serat ini kemudian ditenun dan dipilin menjadi benang kasar. Benang daun doyo tersebut kemudian diwarnai dengan menggunakan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan. Pada dasarnya, warna asli serat doyo untuk bahan tenun adalah berwarna putih atau krem. Agar
warna kain tenun doyo menjadi bervariasi sehingga memunculkan motif-motif yang indah, maka digunakan berbagai jenis bahan pewarna.
Warna-warna dan bahan pewarna yang biasa digunakan dalam tenun doyo seperti disebut dalam buku Tenun
Doyo Daerah Kalimantan Timur karya U Achmad U, M Thafer, dan C.J Taihuttu (1994) meliputi: 1. Hitam. Warna ini diperoleh dari asap hasil pembakaran damar yang dicampur dengan cairan pekat. Selain itu, bahan pewarna hitam juga dapat diperoleh dari daun pohon kebuau yang sudah tua. Serat daun kebuau tersebut direbus bersama dengan serat daun doyo sehingga serat tersebut menjadi berwarna hitam.
2. Merah. Bahan pewarna merah untuk tenun doyo terdiri dari tiga macam, yaitu batu alam, biji buah glinggam, dan kulit batang pohon uar. Batu alam atau lado yang diperoleh dari Sungai Lawa Bentian Besar di daerah Tanjung Isuy ini hanya merupakan alat untuk memberi warna merah pada tenun. Caranya, batu alam digosokkan pada piring putih dengan sedikit campuran air, kemudian dicoletkan pada benang tenun. Lalu, biji buah glinggam (Annatto bixa orellana) yang agak tua yang telah dicampur dengan air diremas di dalam mangkuk hingga mengeluarkan cairan berwarna merah kental. Setelah itu, cairan berwarna merah tersebut dioleskan atau dicoletkan pada benang tenun kulit batang pohon uar. Kulit pohon dikupas dan dipotongpotong, kemudian ditumbuk hingga air getahnya keluar, dan selanjutnya direndam selama satu malam hingga airnya menjadi merah tua. Setelah itu, serat daun doyo direndam dalam air getah kulit luar selama beberapa jam hingga serat tersebut menjadi merah.
3. Hijau. Warna ini dapat diperoleh
dari daun putri malu (Aminosa pudica)
dengan cara terlebih dahulu dilumatkan, kemudian direbus hingga berwarna
hijau kental, dan selanjutnya dioleskan
pada benang tenun. 4. Kuning. Warna ini diambil dari umbi kunyit (Curcuma longa)
dengan cara diparut dan diberi air sedikit, kemudian diperas hingga mengeluarkan
cairan berwarna kuning kental, dan selanjutnya dioleskan pada benang
tenun. 5. Coklat. Warna ini diperoleh
dari akar kayu uwar dan oter dengan
cara diambil getahnya dan kemudian dioleskan pada benang tenun.
Proses selanjutnya adalah menyambung
serat benang satu demi satu hingga
panjangnya mencapai 100-200 meter, kemudian digulung (muntal lawai) seperti bola sebesar kepalan tangan. Setelah itu, benang disusun dan dikencangkan
hingga menjadi rapi dengan menggunakan alat yang disebut ngorak uta. Selanjutnya, benang diikat dan dilipat dua hingga menjadi sehelai kain. Helaian kain tersebut kemudian diberi warna dasar dan motif-motif sesuai keinginan pengrajin sebelum dijemur hingga kering. Langkah terakhir, pinggir kain dipotong dan dijahit sehingga terbentuklah lembaran kain doyo yang siap untuk diproses menjadi berbagai pakaian jadi.
Teknik pembuatan kain tenun doyo telah diwariskan secara turun-temurun melalui proses yang unik. Perempuan Dayak Benuaq mulai menguasai proses pembuatan tenun ini secara spontan sejak usia belasan tahun. Mereka menguasai tekniknya hanya dengan mengamati pekerjaan wanita yang lebih tua seperti ibu mereka dan orang tua mereka berulang-ulang, lalu mempraktikannya. Karena transfer keterampilan khas ini, hampir pasti sulit menemukan orang di luar suku Dayak Benuaq yang menguasai teknik tenun doyo
Secara umum, motif pada kain keramat doyo terinspirasi dari flora dan fauna di tepian Sungai Mahakam atau tema perang antara manusia dan naga. Motif pada kain juga menjadi identitas pemakainya. Motif waniq ngelukng misalnya digunakan oleh masyarakat biasa, sedangkan motif jaunt nguku digunakan oleh para bangsawan atau raja. Perbedaan strata sosial ini menandakan adanya sistem kasta yang berlaku dalam masyarakat, seperti yang terdapat pada umat
Cara memakai
kain khas Kalimantan
Timur ini cukup beragam dalam
kehidupan masa lampau. Tenun ulap
doyo dapat digunakan baik oleh pria maupun wanita dalam upacara adat, tarian, maupun dalam kehidupan seharihari suku Dayak Benuaq. Tenun ulap
doyo yang memiliki nilai sejarah, seni dan budaya lokal, merupakan salah satu dari 33 kain tradisional yang ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kita kini tidak hanya menjumpai tenun doyo dalam bentuk kain atau pakaian, melainkan untuk bahan tas, kerajinan tangan, dan topi. Perkembangan itu seiring peningkatan permintaan ulap doyo terutama dari wisatawan asing yang berkunjung ke sentra pembuatan ulap doyo di Kutai Kartanegara dan Kutai Barat.
(Edy Gunawan, BPCB Provinsi Kalimantan Timur)
“Pada saat meminta perizinan ke kepala
sekolah sepertinya beliau ragu untuk
mengizinkan, karena kami berdua
perempuan semua. Beliau berkata
kenapa bukan laki-laki saja yang ditunjuk, untungnya kami memberi argumen dan memperlihatkan surat izin dari orang
tua kami. Mau tidak mau beliau tetap
mengizinkan kami,” catat Humauerah Nur Izzatinnisa, usai berlayar bersama perahu
legendaris Sulawesi Barat, sandeq.
Humauerah dan 20 siswa perwakilan
SMA se-Kabupaten Majene, Sulawesi
Barat mengikuti kegiatan Student on Sandeq, praktik berlayar yang diadakan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bekerjasama dengan
Dinas Pariwisata Kabupaten Majene dan panitia Festival Sandeq 2022, 1 September 2022.
Saya mendapat kepercayaan dari
pemerintah Provinsi Sulbar untuk
mengkoordinir kegiatan pelayaran
sandeq dari Sulbar ke Kalimantan dalam
tajuk Festival Sandeq 2022. Kegiatan tersebut juga mengikutsertakan tujuh
perahu sandeq klasik, merupakan model asli perahu sandeq yang seharihari digunakan untuk menangkap ikan. Berbeda dengan sandeq lomba yang
tidak bisa dinaiki oleh non-pelomba, sandeq klasik lebih lempang dan aman. Nah, para siswa bisa menaikinya untuk merasakan sensasi berlayar.
Lomba perahu sandeq klasik bukan adu kecepatan, tetapi adu paling presisi membuat perahu sandeq klasik (sandeq penangkap ikan tradisional) ala-ala pelaut masa bahari. Siapa dapat memperlihatkan perahunya sebagai sandeq klasik, maka dialah pemenangnya. Nelayan
berupaya membuat sandeq semirip mungkin dengan sandeq masa silam. Misal penggunaan tali organik, alat masak dan makan dari tanah liat, dan alat tiup kerang. Kepada “orang darat” diperlihatkan bahwa inilah wujud sandeq yang asli.
Sandeq yang dibuat dalam beberapa tahun terakhir nyaris semua adalah sandeq lomba. Bentuknya mirip dengan sandeq klasik, tapi ukuran dan fungsi berbeda. Jika sandeq klasik hanya menggunakan bahan baku layar 50-60 meter, sandeq lomba bisa mencapai 130 meter. Lebar sandeq klasik bisa satu meter dengan tambahan semacam balai-balai di kanan kirinya agar ‘ruang’ di atas sandeq luas, adapun sandeq lomba dibuat amat ramping, lambung tipis, dan tanpa balai-balai. Panjang perahu sandeq lomba lebih dari 11 meter, sedangkan sandeq penangkap ikan di bawah 10 meter. Sandeq lomba hanya digunakan untuk lomba, usai lomba disimpan di darat, nanti ada lomba baru dipakai lagi.
Bukan Semata Perahu
Sandeq bukan semata perahu. Fisik sandeq terdiri dari lambung perahu, dengan ujung haluan buritan dibuat sedemikian rupa agar mudah membelah laut. Di bagian atas lambung perahu, melintang balok cadik yang disebut baratang. Di ujung baratang ada tadiq, batang kayu lamtoro berbentuk L terbalik. Ujung atas tadiq terikat di cadik, ujung bawah terhubung ke palatto atau katir dari bambu petung.
peloang atau bom layar. Bagian vertikal terpasang ke tiang layar dan yang horizontal di bom layar. Kalau layar tak digunakan, kainnya ‘tertumpuk’ di bom layar, agar tak lepas dililiti tali. Ketika mau dikembangkan, tali yang melalui semacam katrol di bagian atas tiang layar ditarik. Maka layar yang berada di bom layar akan terentang.
Sandeq bukan semata perahu. Di balik layar sandeq ada warisan pengetahuan dan karakter. Kita jangan terlena dengan nyanyian, “Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa…” Lagu ciptaan Bu Sud tersebut harusnya melecut generasi ‘tua’ untuk mengajak generasi muda (kembali) ke laut.
Di luar negeri, misalnya Amerika
Serikat, Prancis, dan Jepang, melatih generasi muda berlayar sudah lama dilakukan. Ada upaya sistematis yang diajarkan sejak dini, karena berlayar mencakup tiga hal penting: keselamatan, kesenangan, dan pembelajaran. Aspek terpenting adalah agar pelaut muda belajar untuk benar-benar mencintai laut serta memberi penghormatan dan penghargaan terhadap laut. Saat anak-anak dan remaja berlayar, mereka ditantang dengan berbagai kemungkinan, yakni mengemudikan perahu, navigasi, mengenal lingkungan laut, hingga mitigasi bencana.
Layar perahu sandeq yang berbentuk segitiga terletak di haluan, kira-kira seperempat dari panjang total perahu. Tiang layar disebut pallajarang. Bagian bawah tiang layar ada bambu yang melintang ke arah buritan, disebut
Bagaimana di Indonesia? Saat memasukkan kata kunci “latihan berlayar untuk anak muda” ke mesin pencari di internet, yang muncul adalah sekolahsekolah pelayaran formal. Tak ada yang dikelola komunitas. Pewarisan ilmu berlayar memang terjadi secara alami di komunitas pelaut/nelayan. Ketika
sang ayah mengajak anaknya ikut kerja di laut, maka sang anak akan melihat apa yang dilakukan ayahnya. Belum ada upaya sistematis untuk mengajarkan
keterampilan berlayar kepada anak-anak dan pemuda yang tidak hidup dalam tradisi laut.
Pewarisan ilmu dan kecintaan terhadap perahu bagi masyarakat hanya terjadi saat lomba perahu sandeq. Hanya saja, kegiatan tersebut lebih dominan aspek pariwisatanya. Upaya pendidikan masih
minim untuk tidak mengatakan tidak ada. Maka itu, saatnya sandeq untuk pendidikan, sebagai upaya mewariskan ilmu kebaharian kepada generasi muda. Hal inilah yang dicoba dalam kegiatan Student on Sandeq
“Pelajaran yang dapat dipetik yaitu tidak ada manusia yang dapat bekerja secara sendiri dan tidak saling bergantungan, karena posisi manusia atau pekerjaan sudah diatur masing-masing, serta kebersamaan akan mendatangkan suatu
cerita dan pengalaman yang baru buat hidup,” tulis Muhammad Faisal, peserta Student on Sandeq
Puncak Kebudayaan Mandar
Sandeq adalah puncak kebudayaan Mandar dalam bidang kebaharian. Untuk melihat “keutuhan” sandeq, diperlukan banyak sudut pandang. Ya, sandeq memang perahu bercadik tercepat di kawasan Austronesia, dari Madagaskar ke Pulau Paskah, dari Taiwan ke Selandia Baru. Bak seorang wanita, sandeq tidak hanya cantik fisik belaka, tapi cantik yang memancar dari dalam diri. Sandeq memiliki banyak keindahan dan keagungan yang kasat mata, sehingga butuh pengamatan telaten untuk menyingkapnya, dan sebagian terbungkus dalam rahasia-rahasia.
Jauh hari sebelum pohon ditebang di hutan, ketika pemesan dan penebang kayu membuka lembar rumus mistis bernama “kutika” yang kumuh guna mencari hari baik, sejak itulah kita
Anak-anak menarikan tarian Pattuqduq Tommuane - Jeffry Pembukaan lomba SandeqJeffrymulai melihat sandeq. Ketika kayu dibawa ke battilang, ketika sang tukang memulai ritual pembuatan, dan ketika perut sandeq pertama kali menyentuh air laut, semuanya memiliki cerita.
Itu baru awal. Bagaimana gerangan ketika sang punggawa mengikat leher kemudi ke kottaq sanggilang (sanggar kemudi)? Di saat tali layar ditarik, ketika punggawa menarik-ulur baya-baya (tali daman), ketika angin datang dari sisi kanan, ketika tak ada arus, ketika angin begitu hebat, ketika ombak tak bersahabat, dan ketika sandeq merapat kembali di pantai? Itu baru sebagian. Alasan apa yang ada di benak nelayan sehingga sandeq harus selalu putih dan bersih? Apa latar
belakang sehingga ada filosofi Lopi sandeq na malolo (perahu sandeq yang cantik)?
Bisa dikatakan sandeq asli menjelang kepunahan. Nyaris tak ada lagi sandeq untuk
menangkap ikan yang dibuat lagi. Yang ada pun tinggal menunggu
hancur digerogoti
cuaca atau dijual pemiliknya untuk
peruntukan lain, misal dinding
rumah atau
malah jadi
kayu bakar.
Maka itu, sandeq
jangan ditinggalkan di hari-hari terakhirnya. Sandeq memiliki aura untuk tetap dibuat dan dilayarkan, meski bukan untuk menangkap ikan.
Dewasa ini sandeq sudah menjadi “budaya pop” bagi masyarakat Sulawesi Barat, sebagaimana K-Pop untuk Korea Selatan dan Hollywood untuk Amerika Serikat. Sandeq tak lagi melulu berlayar di laut. Sandeq ada di berbagai macam logo mulai instansi pemerintah hingga komunitas, sering menjadi media ekspedisi para pemuda yang melakukan kegiatan petualang, menjadi nama media, tukang sandeq diwawancarai media, sandeq menjadi koleksi museum di Australia, sandeq diundang ke Prancis, sandeq dibuatkan lagu, sandeq dilayarkan di halaman Istana Negara, dan filosofi sandeq dijadikan penyemangat.
“Kita harus seperti sandeq, kecil tapi cepat,” kata Pejabat Gubernur Sulawesi
Barat, Akmal Malik, yang menginisiasi Festival Sandeq dengan dana lebih empat miliar bukan dari APBD/APBN. “Kita harus menjadikan sandeq sebagai alat diplomasi. Nyaris tak ada yang menonjol di Sulawesi Barat yang bisa menjadi modal sosial kita selain perahu sandeq,” katanya ketika sandeq tiba di Manggar, Balikpapan. Ia pun turut berlayar dengan sandeq klasik.
Perahu sandeq adalah puncak evolusi perahu bercadik di kawasan Austronesia. Jika perahu-perahu bercadik lain sudah punah, sandeq masih berevolusi hingga kini. Jika awalnya terjadi karena Sandeq Race yang dilakoni pelaut-pelaut asli, semoga nanti sandeq juga dilayarkan oleh anak muda ‘orang darat’. Mereka akan menemukan sendiri gaya sandeq yang cocok, sandeq yang bisa mengajarkan karakter bahari.
(Muhammad Ridwan Alimuddin/Peneliti Perahu Sandeq).Paduapm, ritual memanggil atau mengundang roh leluhur untuk datang dalam ritual Nyobeng, sekaligus memohon izin atas ritual yang akan dilaksanakan - Dit. Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat
Nyobeng merupakan upacara adat untuk mengungkapkan rasa syukur atas perlindungan Tuhan, menghormati perjuangan leluhur, dan mempererat persatuan antarsuku Dayak Bidayuh agar damai dan tidak terjadi kesalahpahaman. Upacara nyobeng merupakan tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Dayak Bidayuh Sebujit di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dalam bahasa daerah Dayak Bidayuh Sebujit, nyobeng berarti gawia nibakng atau bermain sibakng, sebuah instrumen perkusi, drum panjang yang digantung di dalam dan di luar rumah tradisional baluk.
Nyobeng sangatlah sakral. Puncaknya ialah membersihkan tengkorak manusia hasil pengayauan (membunuh musuh untuk diambil kepalanya) nenek moyang
suku Dayak Bidayuh. Saat ini tentu tidak ada lagi pegayauan. Nyobeng
dilakukan justru sebagai simbol untuk
mendamaikan pihak-pihak yang pernah atau sedang bersengketa.
Dahulu kala suku Dayak Bidayuh yang
tinggal di kampung Sebujit Desa Lhi
Buie Kecamatan Siding, Kabupaten
Bengkayang, Kalimantan Barat, kerap berperang demi mengumpulkan
batas wilayah kekuasaan, dan hasil mengayau kepala musuh mereka bawa pulang sebagai tanda kemenangan.
Kepala musuh kemudian disimpan di
memiliki citra sebagai orang-orang pemburu kepala. Mengapa kepala?
Ini dikarenakan suku Dayak Bidayuh meyakini bahwa kepala manusia memiliki kekuatan supranatural. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang telah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia serta penangkal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit, menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen, dan mengusir roh-roh jahat.
Hingga pada tahun 1894 lahirlah perjanjian tumbang anoy yang disepakati seluruh suku Dayak di daratan kalimantan (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam). Perjanjian itu berisikan kesepakatan untuk menghentikan
berganti menjadi ritual. Setiap tahun pada bulan Juni, ritual nyobeng atau gawia nibakng berganti menjadi upacara perdamaian dan pertemuan sanak saudara serta penghormatan kepada rohroh leluhur. Mereka meminta restu langit atas nikmat hasil bumi, juga keberkahan.
Upacara nyobeng dilakukan untuk menghormati arwah para leluhur yang diyakini masih menjaganya. Tengkorak musuh dikumpulkan di rumah adat yang terletak di tengah desa. Setiap tahun, tengkorak yang dihasilkan dari ngayau dimandikan dan dibersihkan. Meskipun tengkorak itu pernah menjadi musuh, rasa hormat itu diturunkan dari generasi ke generasi. Upacara nyobeng tahunan merupakan simbol perdamaian,
Tradisi nyobeng juga menjadi identitas suku Dayak Bidayuh serta menjadi daya tarik wisatawan bahkan menjadi upacara adat tahunan terbesar masyarakat Dayak. Oleh karena ini, pelaksanaan ritual tidak bisa sembarangan. Beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum ritual. Pak Amin, tetua adat suku Dayak Bidayuh bersama warga mempersiapkan berbagai keperluan ritual seperti sesaji berupa daun sirih, daun pinang, kapur sirih, tembakau, dan daun gambir. Warga juga membuat janur untuk digantung di depan rumah mereka, lalu juga menyembelih seekor babi yang darahnya akan dilumurkan di tiap tengkorak kepala. Para tetua adat menyiapkan berbagai sesaji yang ditetesi darah dari bagian sayap ayam.
Keesokan harinya sebelum matahari terbit upacara nyobeng diawali dengan ritual pemanggilan roh leluhur di rumah baluk, rumah adat berbentuk limas setinggi 15 meter. Ritual dipimpin oleh
Pak Amin. Ritual pemanggilan serta meminta izin ruh leluhur diiringi dengan mantra serta pemukulan sibakang atau bedug dan alat musik tradisional lainnya. Tujuannya untuk memberi semangat kepada kaum pria agar tidak gugup menghadapi musuh. Dalam konteks masa kini, musuh yang dimaksud bisa sangat beragam dan personal.
Setelah rumah baluk dibuka, mantra serta musik tradisional yang ada di dalam rumah harus terus dimainkan tanpa henti, alunan musik yang dimainkan juga sebagai tanda persahabatan. Sesaji tersusun rapih, ini merupakan penanda bahwa ritual nyobeng akan segera dimulai. Namun sebelum itu tetua adat dan masyarakat berkumpul di pelataran rumah baluk, melakukan ritual memotong bambu untuk sangiang atau tempat sesajian. Ritual dilanjutkan dengan namwey atau penyambutan tamu yang dilakukan oleh tetua adat dan para ksatria yang perlahan menuruni rumah baluk dan berjalan menuju batas desa.
Pada tahap ini para tamu undangan digambarkan sebagai anggota kelompok yang datang dari mengayau. Penyambutan dilakukan dengan pakaian adat sumpit, mandau, dan senapan lantak yang dibunyikan ketika para tamu undangan memasuki batas desa. Tetua adat dan ksatria juga berseru-seru sambil mengacungkan senjata. Seruan dan letupan lantak memang menjadi syarat dalam memanggil roh para leluhur sekaligus meminta izin berlangsungnya nyobeng.
Sebelum tamu benar-benar diperbolehkan memasuki desa, para perempuan melempar telur kepada seorang tamu. Jika telur ayam tidak pecah, maka tamu undangan yang datang dianggap tidak tulus atau masih ragu-ragu, sebaliknya jika pecah di badan berarti tamu undangan datang dengan ikhlas atau tidak ragu-ragu. Para tamu kemudian disuguhi makanan dan minuman ringan. Mereka juga diberi beras kuning yang ditaburkan ke bawah
untuk mahluk halus serta beras putih yang dilempar keatas untuk Tipa Iyakng (Tuhan). Ketua adat membaca doa dan rombongan tamu diantar ke rumah adat baluk.
Ritual memotong kepala anjing menjadi salah satu ritual yang mengundang perhatian. Kepala anjing menjadi sesajian untuk para leluhur sekaligus sebagai penolak bala. Setelah itu, tetua adat, masyarakat, dan para tamu menari bersama.
Ritual yang bersifat hiburan dalam nyobeng adalah panjat aur atau memanjat pohon secara terbalik. Para tetua membaca mantra lalu memanjat tiang bambu dan memercikkan air ke tubuh para peserta dengan daun amhuang. Seluruh peserta menari di sekitar tiang bambu. Tradisi ini konon dilakukan oleh ksatria untuk menunjukkan kekuatan mereka.
Nyobeng bukan sekedar perayaan
bagi suku Dayak Bidayuh, namun juga sebentuk ibadah dan ekspresi kegembiraan. Orang-orang dari berbagai suku berkumpul untuk melakukan tarian ini selama festival, untuk syukuran panen atau upacara pernikahan. Pertunjukan di pesta pernikahan sangat populer karena menarik banyak kerabat yang hadir. Nyobeng niscaya adalah bagian penting dari budaya Dayak yang menyatukan banyak orang. Tari nyobeng telah berkembang menjadi sebentuk seni unik dan menarik bagi penonton tradisional serta non-tradisional. Setiap kali digelar nyobeng, selalu ada warga Malaysia turut serta, bukan hanya karena mereka adalah bagian dari keluarga Dayak
Bidayuh, tetapi juga karena desa Hli Buei (Sebujit) terletak di daerah perbatasan.
Dayak Bidayuh hidup dalam tradisi berkerabat, juga percaya pada kekuatan gaib dari masyarakat primitif di sekitarnya. Mereka adalah bagian dari alam sehingga sering melakukan pengorbanan atau persembahan sebagai penghormatan terhadap alam. Kelahiran, kematian, dan keselamatan diminta dan dihindari melalui ritual. Penghormatan pada leluhur dan penghargaan akan kematian yang dilakukan Dayak Bidayuh mungkin didasarkan pada mitologi. Dalam konteks ini, mitologi membuat orang menyadari bahwa ada kekuatan magis di dunia ini, dan mitologi membantu manusia untuk menghargai
kemampuan ini untuk mempengaruhi dan mengendalikan kekuatan alam dan suku-sukunya.
Nyobeng, yang sebelumnya adalah perayaan kemenangan atas musuh, kini menjadi ungkapan syukur atas hasil panen selama satu tahun, dan sekaligus mendoakan agar mereka tetap hidup damai.
(Darus
Penggunaan bahasa daerah dalam beberapa tahun belakangan ini terus menurun, karena beberapa
faktor, di antaranya penutur jati sudah
enggan menggunakan bahasa daerahnya dalam kehidupan sehari-hari. Keengganan
penutur jati dalam bertutur bahasa daerah
disebabkan oleh perubahan pola pikir yang menganggap bahwa penggunaan bahasa
daerah di lingkungan keluarga sehari-hari
menjadi salah satu penyebab kebodohan.
Hal ini dikarenakan penguasaan bahasa
daerah membuat anak-anak atau siswa
“malas” menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara.
Tentu pola pikir seperti ini keliru, dan bertentangan dengan upaya pelestarian bahasa daerah.
Pengutamaan bahasa negara menjadi suatu hal yang mutlak. Namun, pengutamaan bahasa negara harus memberikan ruang dalam pelestarian bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa, baru
daerah yang dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mencegah kepunahan suatu bahasa daerah adalah revitalisasi
oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar
Makarim. Kebijakan revitalisasi bahasa daerah perlu menjadi perhatian utama bagi pemerintah daerah. Program ini sebagai langkah awal dalam upaya peningkatan penutur bahasa daerah.
Berdasarkan Pasal 42 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan:
“Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan
melindungi Bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia”. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah dalam upaya pelestarian bahasa
daerah adalah wajib.
Pemetaan bahasa daerah yang telah dilakukan oleh BPPB (data tahun 2019), bahasa daerah di Maluku Utara yang terpetakan berjumlah 19 bahasa yang tersebar di sembilan kabupaten/kota.
Sembilan belas bahasa daerah tersebut yaitu bahasa Bacan, Bajo, Buli, Galela, Gane, Gorap, Ibu, Kadai, Makean Dalam/ Timur, Makean Luar/Barat, Melayu, Modole, Patani, Sahu, Sawai, Sula, Taliabu, Ternate, dan Tobelo. Hal ini berbeda
dengan Pasal 1 ayat (8) Peraturan Daerah
Provinsi Maluku Utara Nomor 9 Tahun
2009 tentang Pemeliharaan Bahasa
dan Sastra Daerah yang menyebutkan
bahwa bahasa daerah yang tumbuh dan berkembang di Maluku Utara sebanyak
31 bahasa. Mencermati jumlah bahasa
daerah di dua peraturan tersebut, kita
melihat bahwa dalam kurun waktu
sepuluh tahun ada penurunan 12
bahasa daerah. Sehubungan dengan hal
tersebut, pencegahan bahasa daerah dari
kepunahan melalui revitalisasi bahasa
daerah menjadi suatu keniscayaan.
Pasal 23 ayat (1) Peraturan Presiden
Nomor 63 Tahun 2019 tentang
Penggunaan Bahasa Indonesia
menyebutkan, “Bahasa Indonesia wajib
digunakan sebagai bahasa pengantar
dalam pendidikan nasional”. Selanjutnya
dalam ayat (2) Bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar dalam pendidikan
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam seluruh jenjang pendidikan”.
Lebih lanjut dalam ayat (3) “Selain Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, atau bentuk lain yang sederajat pada tahun pertama dan kedua untuk mendukung pembelajaran”. Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah seharusnya justru meningkatkan kompetensi siswa di daerah, bukan malah sebaliknya sebagai hambatan,
agar eksistensi bahasa daerah bertahan dan jumlah penutur meningkat.
Terdapat empat bahasa daerah yang direvitalisasi di Maluku Utara pada
tahun 2022, yaitu bahasa Ternate di Kota Ternate, bahasa Sula di Kabupaten Kepulauan Sula, bahasa
Tobelo di Kabupaten Halmahera
Utara, dan bahasa Makean Timur di Kabupaten Halmahera Selatan. Kegiatan revitalisasi bahasa daerah (RBD)
diselenggarakan oleh Kantor Bahasa
Provinsi Maluku Utara di antaranya
adalah pelatihan guru master yang
terus dipantau hingga pascapelatihan dan pelaksanaan Festival Tunas
Bahasa Ibu (FTBI) di tingkat kabupaten/ kota dan provinsi. Sebelumnya, para pemangku kepentingan bertemu untuk menyamakan persepsi.
Pelatihan guru master dilaksanakan di masing-masing kabupaten/kota yang
menjadi sasaran RBD. Tujuannya untuk
melatih guru-guru/pengajar bahasa
daerah dalam pengimbasan bahasa
daerah, baik ke sesama guru/pengajar yang lain, ke siswa, atau ke sesama siswa.
Adapun pemantauan pascapelatihan
guru master bertujuan untuk memantau
pengimbasan pengajaran bahasa
daerah yang telah dilakukan guru master di sekolah dan komunitas. Dari
hasil pemantauan ini rata-rata sekolah dan komunitas sudah melakukan pengimbasan pengajaran pascapelatihan dan mempersiapkan siswa atau peserta didik dalam ajang Festival Tunas Bahasa Ibu.
FTBI tingkat kabupten/kota di Provinsi Maluku Utara tahun 2022 dilaksanakan oleh dua pemerintah daerah yaitu Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten Kepulauan Sula. Adapun Kabupaten Halmahera Selatan dan Kota Ternate dapat mengikuti FTBI tingkat provinsi berdasarkan data hasil pemantauan oleh Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara dan rekomendasi dari dinas terkait. FTBI dilaksanakan sebagai bentuk apresiasi pengajaran bahasa daerah dalam bentuk lomba. Terdapat enam kategori dalam FTBI tingkat provinsi, yaitu lomba mendongeng, membaca puisi, dan tembang tradisi
untuk tingkat siswa sekolah dasar; serta lomba berpidato, menulis cerpen, dan lawakan tunggal atau komedi tunggal (stand up comedy) untuk tingkat siswa sekolah menengah pertama.
Revitalisasi bahasa daerah diharapkan meningkatkan penutur bahasa daerah di kalangan generasi muda agar eksistensi bahasa daerah tetap terjaga dan terpelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Urgensi dari revitalisasi bahasa daerah sejalan dengan pernyataan bahwa satu bahasa punah sama dengan satu peradaban punah, dan untuk membangun sebuah peradaban membutuhkan waktu ribuan tahun. Ngom ua nage ana adi, kalau bukan kita, siapa lagi? Ayo, selamatkan dan lestarikan bahasa daerah!
he Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto (OCMHS) / Warisan Tambang Batu Bara Ombilin –Sawahlunto adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa cagar budaya yang digabung menjadi satu narasi cerita bernilai global dan diusulkan menjadi warisan dunia. Merupakan satu kesatuan sistem transportasi pengangkutan batubara dari lokasi penambangan, melewati rel kereta api di sepanjang Danau Singkarak, kemudian sampai di tujuan akhir yaitu tempat penyimpanan batubara terakhir sebelum diangkut ke dalam kapal menuju daratan Eropa.
Persaingan antar negara-negara kolonial untuk menguasai sumber daya energi turut mendorong Pemerintah Hindia Belanda untuk pencarian sumber daya energi di daerah-daerah koloni. Penemuan sejumlah besar deposit batubara di Cekungan Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, menarik minat Pemerintah Belanda untuk melakukan investasi dalam operasi penambangan batubara di wilayah tersebut karena potensi dan nilainya yang sangat besar. Oleh sebab itu, mulailah pembukaan tambang batubara OCMHS di Sawahlunto pada tahun 1891. Pembangunan tambang dan
sistem transportasi batubara sampai
tempat penyimpanan akhir ini dibangun secara bertahap sampai dengan awal tahun 1900-an, sesuai perkembangan kebutuhannya di masa itu.
Sejak pertama kali ditemukan dan dioperasikan, kepemilikan dan pengelolaan tambang batubara Ombilin sudah beberapa kali berganti pihak.
Walau begitu, kegiatan eksploitasi dan pengelolaan tambang batubara Ombilin tetap berjalan sampai dengan tahun
1980-an yaitu saat tambang batubara
Ombilin dinyatakan sudah tidak efisien
lagi untuk dieksploitasi dan kegiatan eksploitasi tambang dihentikan pada
tahun 2002. Hampir 40 % penduduk sawahlunto yang mayoritas para pekerja tambang mulai meninggalkan kota yang mengakibatkan kota tersebut perlahan menjadi kota mati.
Pada tahun 2001, Walikota Sawahlunto pada masa itu, Amran Noor, menetapkan visi kota Sawahlunto: “Tahun 2020 Sawahlunto Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”, sebagai langkah awal memajukan dan menghidupkan kota kembali. Di satu sisi, rencana pengembangan kota demi
Ada 12 komponen Cagar Budaya yang terdapat di area Warisan Tambang Batu Bara Ombilin – Sawahlunto, yang berlokasi di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, tepatnya berada di Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Kota Solok, Kabupaten Solok, Kota Sawahlunto. Adapun luasan area zona intinya adalah 268,18 hektar, dengan luasan area zona penyangga adalah 7356,92 hektar.
memajukan dan menghidupkan kota kembali mampu membangun optimisme masyarakat Kota Sawahlunto. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran dari para pelestari tentang bagaimana bentuk pengembangan kota. Karena selama ini konotasi pembangunan adalah pengrusakan.
Oleh karena itu, mengajukan OCMHS menjadi warisan dunia UNESCO diharapkan dapat mendukung pelestarian kota, juga dapat membantu menghidupkan kota dan mendatangkan income (menyejahterakan) bagi masyarakat setempat melalui site visitation (kunjungan).
Area A: Situs dan Kota Tambang
Sawahlunto, berisi:
- Komponen A1. Situs Tambang
Soengai Doerian. (terdiri dari 5
atribut: Kompleks Lubang Tambang
Doerian, Kompleks Lubang Tambang
Padang Pandjang, Kompleks Lubang
Tambang Soengai Doerian, Lubang Tambang Loento, Terowongan Tambang).
- Komponen A2. Sekolah Tambang. (terdiri dari 1 atribut: Sekolah Tambang)
- Komponen A3. Kompleks Penyaringan dan Pemrosesan Batu Bara. (terdiri dari 1 atribut: Kompleks Penyaringan dan Pemrosesan Batu Bara).
- Komponen A4. Transportasi
Perkeretaapian Ombilin. (terdiri dari 4
atribut: Stasiun Keretaapi Sawahlunto, Pembangkit Listrik Kubang Sirakuak, Terowongan Keretaapi Kalam/ Lubang Kalam, Stasiun Keretaapi Muara Kalaban).
- Komponen A5. Kota Tambang. (terdiri
dari 5 atribut: Kompleks Perkantoran
Administrasi Tambang, Kompleks
Tempat Tinggal/ Perumahan Pekerja
Tambang, Fasilitas Kesehatan, Pasar, Fasilitas-fasilitas Pendukung).
- Komponen A6. Pembangkit Listrik
Salak dan Stasiun Pemompaan
Air Rantih. (terdiri dari 2 atribut: Kompleks Pembangkit Listrik Salak, Kompleks Stasiun Pemompaan Air Rantih).
Area B: Fasilitas Perkeretaapian & Struktur-struktur Pendukungnya, terdiri
dari:
- Komponen B1. Sistem Perkeretaapian. (terdiri dari 1 atribut: Sistem Perkeretaapian).
- Komponen B2. Stasiun Keretaapi Batu Tabal. (terdiri dari 1 atribut: Stasiun Keretaapi Batu Tabal).
- Komponen B3. Stasiun Keretaapi Padang Pandjang. (terdiri 1 atribut: Stasiun Keretaapi Padang Pandjang).
- Komponen B4. Jembatan Tinggi. (terdiri dari 1 atribut: Jembatan Tinggi).
- Komponen B5. Stasiun Keretaapi Kayu Tanam. (terdiri dari 1 atribut: Stasiun Keretaapi Kayu Tanam).
Area C: Fasilitas Penyimpanan Batu Bara di Pelabuhan Emmahaven (sekarang bernama Pelabuhan Teluk Bayur), terdiri
dari:
- Komponen C1. Penyimpanan Batu Bara Silo Gunung. (terdiri dari 1 atribut: Penyimpanan Batu Bara Silo Gunung).
Sebagaimana disampaikan di atas bahwa mengajukan OCMHS menjadi
warisan dunia UNESCO adalah cara untuk dapat tetap mengembangkan wilayah, memakmurkan masyarakat setempat, namun tetap dapat menjalankan pelestarian. Dengan kata lain, pengajuan ini adalah upaya pembangunan berkelanjutan dengan tetap menjalankan pelestarian. Dengan kata lain, hal ini adalah upaya pelestarian yang menyejahterakan; karena menyejahterakan, maka berpotensi dapat berkelanjutan. Pengajuan cagar budaya menjadi warisan dunia UNESCO juga merupakan upaya diplomasi budaya pemerintah Indonesia dalam menunjukkan keberpihakannya terhadap pelestarian yang menyejahterakan.
Bersamaan dengan itu, terdapat beberapa isu pelestarian di dalam area kawasan OCMHS yang mengemuka, di antaranya adalah potensi pengrusakan rona lanskap area akibat penambangan liar, ketidakterawatan bangunan-
Pemanfaatkan bekas lubang ventilator di area tambang Soegar menjadi atraksi wisataAlfian Siagian
Penerang dalam lorong gelapAlfian Siagian
bangunan yang menjadi atribut, serta rencana pengembangan di dalam area kawasan. Isu-isu pelestarian tersebut diselesaikan melalui hubungan kerjasama pengelolaan kawasan antar pihak terkait.
Sebagai contoh: Untuk mengatasi isu penambangan liar di area bekas tambang di Kota Sawahlunto, PT Bukit Asam, Tbk, selaku penguasa area dan konsesi, telah mengajukan perpanjangan konsesi
untuk wilayah
penguasaan
tambang
batubaranya.
Hal ini ditujukan
untuk
melindungi
area kawasan
dari para
penambang
liar, juga
melindungi dari
kemungkinan
pemberian izin
penambangan baru dari kementerian terkait.
Selain itu, perpanjangan izin
tambang PT Bukit Asam, Tbk, dimanfaatkan untuk ujian praktek
penambangan dalam (deep mining) oleh
sekolah tambang yang dibangun di area tersebut. Jadi praktek tambang yang
sekarang masih dilakukan dalam skala sangat kecil untuk keperluan edukasi.
Sehubungan dengan isu
ketidakterawatan bangunan-bangunan yang menjadi atribut, pemerintah (melalui Unit Pelaksana Teknis) bekerja
sama dengan pemerintah daerah, mendaftarkan bangunan-bangunan yang menjadi atribut OCMHS untuk dijadikan
cagar budaya, baik di level setempat, bahkan di level nasional. Sedangkan di tingkat masyarakat, dilakukan sosialisasi atau diseminasi tentang pelestarian tentang hal yang disarankan untuk dilakukan pada suatu cagar budaya, juga hal apa yang tidak
dikarenakan wabah virus covid-19 yang melanda dunia. Masa karantina wilayah pada tahun 2020-2021 untuk menekan jumlah orang terpapar virus covid-19 dimanfaatkan oleh para pengelola OCMHS untuk melakukan pemeliharaan rutin dan memonitor kondisi keterawatan/ketidakterawatan asetnya di Kota Sawahlunto dan di sepanjang jalur keretaapi Sawahlunto-Teluk Bayur.
Selain hal-hal tersebut di atas, ada sejumlah rekomendasi pelestarian yang disarankan oleh ICOMOS. Namun tidak semua hal bisa disampaikan karena masih dalam tahap proses pengerjaan. Demikianlah, pengajuan OCMHS menjadi warisan dunia UNESCO adalah wujud upaya Indonesia dalam menjamin pelestarian dan keberlanjutan kondisinya di masa mendatang.
Isu-isu pelestarian seperti tersebut di atas diharapkan dapat diselesaikan melalui hubungan kerjasama pengelolaan kawasan antar pihak terkait.
disarankan untuk dilakukan terhadap cagar budaya, khususnya pada objek yang berstatus warisan dunia.
Terkait rencana pengembangan di dalam area kawasan, pemerintah telah melakukan inisiasi penerapan Kajian Dampak Cagar Budaya (KDCB) pada beberapa objek atribut. Pasca pencatatan OCMHS sebagai warisan dunia UNESCO tahun 2019, tingkat kunjungan wisata ke area OCMHS sempat meningkat.
Namun hal tersebut tidak bertahan lama
Ahli Muda Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbudristek)
Gerakan arsitektur berkelanjutan menjadi topik yang sering dibahas dewasa ini, terlihat dari tren desain perumahan yang mengusung konsep ruang terbuka, tanpa sekat, serta bukaan berdimensi lebar. Gerakan itu muncul untuk menyikapi pertumbuhan lingkungan binaan yang tidak diiringi dengan perencanaan yang bijak, sehingga menjadi salah satu penyumbang perubahan iklim dunia. Perencanaan semakin jauh dari penyesuaian iklim setempat, yang berujung mengandalkan teknologi sebagai rekayasa iklim penyebab pemborosan energi dan meningkatnya emisi karbon.
Union internationale des Architectes (UIA), organisasi asosiasi arsitek nonprofit yang mewadahi lebih dari satu juta
arsitek di 124 negara menyatakan
bahwa banyak bangunan dan industri konstruksi berdampak pada perubahan iklim. Dimulai dari peralihan lahan
hijau menjadi lahan bangunan, proses pembangunan, hingga bangunan tesebut dimanfaatkan. Lantas, apakah kita
menyadari bahwa bangunan tradisional Indonesia telah menggunakan konsep arsitektur berkelanjutan sejak dulu kala?
Arsitektur berkelanjutan merupakan
arsitektur berwawasan lingkungan.
Mempunyai prinsip menciptakan
lingkungan binaan yang harmonis
dengan lingkungan sekitarnya. Indonesia
mempunyai beraneka ragam arsitektur
tradisional yang dapat menjadi sumber
inspirasi dan pengajaran untuk
penerapan nilai-nilai ekologis dalam
membangun lingkungan binaan. Pada
bangunan tradisional, masyarakat
membangun melalui proses ujicoba.
Pengalaman sehari-hari merupakan
referensi untuk setiap keputusan perencanaan.
Prinsip arsitektur berkelanjutan dapat dicapai melalui metode desain pasif, yaitu merancang bangunan sesuai dengan kondisi alam setempat seperti pada proses pembangunan bangunan tradisional. Metode ini menekankan pada kualitas ruang: kenyamanan termal, cahaya, penghawaan alami, serta kesehatan pengguna bangunan. Bangunan desain pasif akan menggunakan lahan secara bijak, dengan mengintegrasikan lansekap ke dalam perancangan, sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB).
Rumah Tradisional Minangkabau Rumah tuo kampai nan panjang, rumah tradisional Minangkabau merupakan salah satu contoh asitektur berkelanjutan, dibangun tahun 1700an. Merupakan rumah adat tertua di Nagari Balimbing, Batusangkar, Sumatera Barat, didirikan oleh Dt. Penghulu Basa dari suku Kampai. Rumah ini terdaftar sebagai cagar budaya yang dilindungi
oleh Negara. Falsafah “Alam Takambang jadi Guru” menjadi prinsip dalam pembangunan rumah gadang. Alam adalah sumber dari pengajaran, sehingga rumah yang dibangun harus harmonis dengan alam sekitarnya dengan desain yang menawan dan menyatu dengan latar perbukitan.
Bukan hanya responsif terhadap iklim, rumah tuo beradaptasi dengan kebutuhan kaum pemiliknya tanpa menghilangkan sisi keindahannya. Sebuah rumah gadang bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal tetapi juga tempat mendidik anak dan kemenakan, serta menampung kegiatan kaum: musyawarah, batagak pengulu, dan kegiatan adat lain. Hal itu terungkap dalam pepatah ”Tampek maniru manuladan, paaja baso jo basi, sarato budi jo malu, kok tumbuah dilantai tampek duduak, banamo data lantai papan, licin balantai kulik, kato munfakat nan tujuan, elok diambiak jo mufakat, buruak dibuang jo rundiangan.”
Tata ruang rumah gadang dirancang lepas tanpa sekat pada ruang utama agar dapat menampung banyak orang. Bagian belakang merupakan kamar- kamar
untuk anak perempuan, mengikuti sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh suku Minang. Anak lelaki tidur di ruang utama, jika sudah balig akan tidur di surau. Ruangan di rumah tuo dibagi menjadi dua: bagian depan adalah ruang utama tanpa sekat untuk menampung
aktivitas bersama keluarga, aktivitas kaum dan adat, ruang tamu, dan dapur. Bagian belakang adalah biliak (kamar tidur).
Rumah tuo kampai nan panjang menerapkan desain pasif yang sangat responsif dengan lingkungan sekitar.
Terlihat dari pemilihan bentuk yang diterapkan disetiap bagian bangunan. Batusangkar mempunyai iklim dengan rata-rata curah hujan dan kelembaban yang tinggi, serta suhu yang dingin pada
malam hingga pagi hari, dan panas di siang hari. Curah hujan yang tinggi diatasi dengan desain atap yang curam sehingga air hujan cepat turun. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keawetan material atap, mengingat material atap asli adalah ijuk yang rentan rusak. Sedangkan untuk mengatasi suhu, rumah ini memiliki
banyak bukaan lebar dan menggunakan material kayu dan bambu yang bersifat hangat ketika cuaca dingin, dan sejuk ketika panas. Atap yang tinggi juga berpengaruh dalam mengontrol suhu ruangan. Rumah ini memaksimalkan penggunaan sumber daya alami
sebagai sumber energi, terutama untuk pencahayaan dan penghawaan.
Walaupun berbahan kayu dan bambu, rumah tuo kampai nan panjang masih
bertahan sampai saat ini, sejak lebih dari 300 tahun lalu. Jangan heran, kayu yang ditentukan untuk struktur utama maupun elemen arsitektur adalah kayu
berkualitas, dan dipilih berdasarkan kearifan lokal tentang pemilihan, penebangan, dan pengawetan kayu, sehingga kayu dapat berumur ratusan tahun. Pembangunan rumah tuo tidak menciptakan limbah karena memakai material alami.
Hal lain yang penting, dari total luas lahan 1600 m2, hanya 147 m2 yang digunakan untuk bangunan, itu sekitar 10% dari luas lahan, sedangkn 90% digunakan untuk halaman/lahan hijau. Bisa dikatakan, emisi karbon yang dihasilkan di lingkungan rumah tuo sangat kecil, kenyaman ruang akan dapat dirasakan apabila daya serap lingkungan seimbang dengan emisi gas yang dihasilkan. Tumbuh-tumbuhan dan tanah merupakan penyerap karbon alami yang paling efektif tersedia dalam jumlah banyak serta mudah didapat.
Berdasarkan data dari Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, wilayah Batusangkar sebagian besar tersusun oleh endapan aluvium (lanau, pasir, dan kerikil, termasuk endapan rawa. (Qama) andesit Gunung Marapi, yang berumur kuarter, mengalami pelapukan yang cukup kuat berasosiasi dengan zona sesar aktif Semangko, sehingga Batusangkar termasuk daerah rawan gempa. Sadar dengan kondisi wilayah rawan gempa, rumah tuo ini menggunakan teknologi tradisional yang dapat meminimalkan kerusakan bangunan ketika terjadi gempa. Teknologi tersebut dapat dilihat dari material yang lentur dan ringan pada elemen arsitektur seperti kayu, bambu pada dinding dan lantai, serta ijuk pada atap, meski harus kokoh pada elemen struktural.
Rangka utama rumah tuo terbuat dari kayu lurus tanpa sambungan, dan harus memenuhi syarat yang sudah
ditentukan. Elemen struktural dirancang lentur hingga dapat meredam gempa dengan penggunaan sambungan tidak kaku dalam menghubungkan setiap rangka utama. Sambungan antar rangka menggunakan sistem kait, ikat, dan pasak kayu yang masih fleksibel dalam menerima guncangan. Menurut penelitian, bambu mampu merespon gaya yang dihasilkan gempa lebih baik dibandingkan beton dan baja.
Dalam menentukan lokasi, rumah gadang mengikuti pepatah petitih adat: Nan lereng ditanam tabu, nan tunggang ditanam buluah, nan gurun buek ka parak, Nan bancah jadikan sawah, nan munggu ka pandam pakuburuan, nan gauang ka tabek ikan, nan lambah kubangan kabau, nan padek ka parumahan.
Pepatah ini menyampaikan pesan untuk memanfaatkan alam sesuai kondisinya, tidak perlu banyak intervensi untuk mengubah lahan. Dalam memilih lokasi
rumah, misalnya, harus pada tanah yang keras dan datar sehingga tanah lebih stabil untuk meletakkan pondasi batu (sandi). Ingat ungkapan, sandi aman tiang selamat.
Rumah tuo terbukti dapat bertahan setelah ratusan tahun, sehingga dapat dijadikan rujukan prinsip arsitektur berkelanjutan yang berasal dari Indonesia. Dengan kata lain, prinsipprinsip yang dipakai oleh rumah ini dapat diterapkan pada bangunan modern saat ini, bukan dari segi masa dan bentuk, melainkan cara rumah tuo tersebut merespon lingkungan alam maupun komunitas penggunanya.
(Rohilfa Riza, S. Ars, Dit. Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemdikbudristek)
Kelompok Sandiwara khas Sunda Miss Tjitjih pada tahun 2023 yang akan datang akan berusia 95 tahun. Berdirinya kelompok toneel khas berbahasa Sunda ini ditandai dengan pertemuan Diva Sandiwara Sunda Sumedang, yaitu Miss Tjitjih dengan Aboebakar Bafaqih pemilik Komedie Stamboel keliling. Pertemuan itu terjadi di Sumedang ketika pemilik kelompok sandiwara keliling tersebut berpentas keliling Jawa Barat.
Menurut Syarifah Rohmah, ketua kelompok Sandiwara Miss Tjitjih, menuturkan bahwa pada tahun 1926, Sayyed Aboebakar Bafaqih, membawa toneel pimpinannya yang berbahasa melayu pasar mentas di kota Sumedang. Di sanalah Bafaqih kepincut dengan bertemu dengan Nyi Tjitjih yang sangat multitalenta serta cantik, bermain dan menyanyi dalam kelompok Sandiwara lokal di Sumedang.
Syarifah Rohmah atau Bu Omah, cucu Aboebakar Bafagih, mengisahkan bahwa ketika itu, Bafaqih terpesona dengan
bakat Tjitjih yang pada usia 18 tahun telah sangat piawai berakting, menyanyi, dan menari itu. Memang, pada kisaran tahun 1926 saja Nyi Tjitjih sudah sering dipanggil mempertunjukkan kemampuan berkeseniannya di depan bupati Sumedang dan tamu-tamu undangannya.
Setelah pertemuan itu, Bafagih mengajak Nyi Tjitjih yang sudah berusia 18 tahun untuk diboyong ke Batavia dan bergabung dalam kelompok toneel keliling yang baru bentukan Bafagih yang diberi nama Opera Valencia. Bafaqih langsung tertarik mengajaknya masuk ke dalam perkumpulan sandiwara bentukannya, Opera Valencia. Ajakan Bafaqih tersebut disambut baik Nyi Tjitjih. Mulai saat itu Nyi Tjitjih menjadi bagian dari Opera Valencia.
Bu Omah selanjutnya menggambarkan betapa Tjitjih adalah kelahiran Sumedang tahun 1908 itu meskipun hanya berbicara dalam Bahasa ibunya, Bahasa Sunda, namun berkat kecerdasannya Opera Valencia terangkat dan digemari masyarakat, khususnya kalangan pribumi di Batavia.
Bagaimanapun, munculnya Miss Tjitjih
tidak dapat dielakkan dari kedatangan kelompok sandiwara “Bimanyurupa
Bangsawan” pimpinan Abubakar Bafagih
ke Sumedang. Dadang Badoet, sutradara muda dan pembelajar teater yang
sekarang tinggal dalam lingkungan Miss
Tjitjih ikut menambahkan bahwa Nyi
Tjitjih, pada awalnya hanyalah seorang gadis lugu asal Sumedang, Jawa Barat.
Dadang menambahkan bahwa Tjitjih
muda memiliki paras cantik, kreatif dan penuh disiplin dalam berkesenian.
Dalam perjalanannya, Miss Tjitjih
tampil sebagai primadona kelompok
sandiwara “Opera Valencia” di bawah
arahan Bafagih yang sangat piawai dalam
mengembangkan kisahan, carangan dan teknik berteater ala Bimanyurupa Bangsawan. Kelompok ini dalam waktu singkat menjelma kelompok yang paling digemari dan diminta mentas dari satu tempat ke tempat lain, dari satu panggung ke panggung lain. Sebagai sebuah penghargaan pada tahun 1928 Opera Valencia diubah menjadi Miss Tjitjih Toneel Gezelschap yang awalnya bahasa pengantar Melayu menjadi Sunda.
Bu Omah Kembali berkisah bahwa pada tahun 1928 rombongan Miss Tjitjih pada masa awalnya menempati sebuah tanah kosong sebelah Bioskop REK di Kramat Munde Senen Jakarta Pusat. Perjalanan sebuah kelompok kesenian yang sangat panjang dan berliku-liku, sejak saat itu Miss Tjitjih telah menjadi bagian penting
bagi kehidupan masyarakat Jakarta, namanya semakin terkenal sehingga Miss Tjitjih tidak dapat dipisahkan dari nuansa budaya Jakarta. Bu Omah selanjutnya menambahkan bahwa pada tahun
1931, kelompok sandiwara ini pernah di undang untuk melakukan pertunjukan di Istana Bogor. Hal ini menandakan bahwa kelompok sandiwara ini cukup diakui oleh kalangan Pemerintahan Kolonial Belanda kala itu.
Menurut Bu Omah, sebagaimana dikisahkan secara turun temurun dalam kelompok Miss Tjijih, kelompok sandiwara Miss Tjitjih termasuk kelompk yang sangat produktif. Kelompok ini pentas keliling Jawa Barat dan termasuk Jawa Tengah. Repertoire-repertoir seperti Gelung Ciyoda (sanggul Ciyoda), Gelung Cianjur (gelung Cianjur), Gejed Milo,
Karnadi Bandar Bangkong (Karnadi Saudagar Kodok), Eulis Acih, Gagak Solo, Srigawa, Bentang Jaarbeurs (Bintang Jaarbeurs), Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama (Kesalahan anak dosanya orang tua), Mugiri, dan lain-lain merupakan andalan kelompok tersebut untuk dipersembahkan kepada masyarakat penontonnya. Memang, sebagian besar karya tersebut merupakan kisahan khas dari tatar Sunda.
Omah menambahkan, “semua tempat bisa dijadikan panggung. Miss Tjitjih bisa mentas di gedung bioskop, alunalun, pasar, atau lapangan kosong. Masyarakat pada waktu itu silih berganti mengundang pentas sehingga Miss Tjitjih harus berpindah-pindah. Dadang berkata bahwa semua jenis alat angkut sudah dimaksimalkan untuk memindahkan property dan perlengkapan pentas.
Sebagaimana diketahui bahwa yang khas dari Miss Tjitjih adalah di manapun berpentas mereka menggunakan
Bahasa Sunda, selain Nyi Tjitjih sendiri tidak bisa berbahasa Melayu—bahasa yang digunakan dalam kultur para kelompok sandiwara Stamboel kala itu. Bagaimanapun, Miss Tjitjih adalah kelompok sandiwara yang hidup dalam tradisi Tatar Sunda. Sudah dijelaskan di atas bahwa selain berbahasa Sunda kelompok ini memainkan repertoirerepertoir yang didasarkan pada kisahan yang hidup dan berkembang di tanah
Sunda. Tradisi Sunda inilah yang menjadi pembeda antara kelompok ini dengan kelompok sandiwara lain yang ada pada zaman yang sama seperti Mis Riboet, Miss Dja, dan tentu saja Dardanella.
Nyi Tjitjih meninggal dalam usia muda dan tidak sempat menikmati kemashuran kelompok toneel ini. Pada tanggal 27 Agustus 1939, Tuhan memanggilnya pada saat pentas di atas panggung setelah tuntas memerankan Sulastri dalam ceritera Gagak Solo.
Ada sebuah repertoire yang cukup fenomenal, yaitu Mencari Kembang
Wijaya Kusuma. Miss Tjijih, sang primadona digambarkan sebagai kembang indah yang sulit dicari dan tiada bandingannya. Pada puncak perhelatan Festival Teater Jakarta, pada penutupan Lebaran Teater (12/12/2022)
Dewan Kesenian Jakarta memilih lakon ini sebagai pemuncak perhelatan akbar tersebut.
Meskipun berkolaborasi dengan Wayang Orang Bharata dan berbagai kelompok silat dan sandiwara tradisi
Betawi, Miss Tjitjih tetap memilih untuk mementaskannya dalam bahasa Sunda di Teater Besar TIM. Dadang Badoet berkata
bahwa bagi Miss Tjitjih pementasan ini merupakan sebuah usaha dari periode ‘baru’ yang coba dibangun dari sebuah kelompok sandiwara ‘lokal’
yang masih bertahan, dalam usahanya mempertahankan identitas ‘sunda’ melalui konsistensi penggunaan Bahasa
Sunda dalam kultur pementasannya, juga
sekaligus usaha memperluas jangkauan penonton kekiniaan, disaat sandiwara
Sunda yang sudah mulai kehilangan animo menonton dalam kultur tontonan kekinian.
Dadang menambahkan bahwa Miss Tjitjih tidak hanya berhenti di titik ini. Miss Tjitjih juga berupaya menengok ke tradisi lain, yakni tradisi Eropa. Dadang
Badoet yang juga merupakan lulusan ISBI
Bandung ini menjelaskan bahwa Miss Tjitjih juga berupaya melihat kebudayaan lin, bahkan dari Eropa. Miss Tjitjih juga membawakan naskah Hamlet dalam versi Bahasa Sunda hasil terjemahan
Balai Pusataka sebagaimana di pentaskan di Makara Art Center UI (29/11/2018).
Dadang Badoet menambahkan bahwa hal itu merupakan semacam proses
‘perjumpaan’ dari sebuah kelompok lokal sandiwara terhadap ‘universal’ teater yang sudah lama berkembang.
Miss Tjitjih merupakan salah satu
aset penting dalam pelestarian dan pengembangan Seni Budaya daerah khususnya Seni Budaya Sunda Jawa
Barat. Untuk menghargai kesetiaan
dalam berkarya tersebut, atas prakarsa
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan
Yayasan Pembangunan Jawa Barat maka
pada Tahun 1987 didirikan Gedung
Pertunjukan Sandiwara Miss Tjitjih di Jl. Kabel Pendek Cempaka Putih Jakarta Pusat.
Merasa kepo dengan kipo? Datanglah ke Pasar Kotagede Yogyakarta, di sanalah pusatnya kipo, jajanan ringan sederhana yang bersejarah dan telah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda (WBTb) Indonesia pada 15 Agustus 2019. Kipo, penganan tradisional yang lazim disebut jajan pasar itu kabarnya hanya ada di Kotagede, pun hanya sedikit orang yang membuatnya. Hmmm…, apa benar?
Kami awalnya tidak terlalu percaya jika kipo hanya dijual di Kotagede. Di zaman sekarang, pisang ijo khas Makassar pun banyak kita jumpai di Jakarta. Aneka penganan dari berbagai daerah mudah kita jumpai di toko pusat oleh-oleh. Maka itu, sebelum menuju Pasar Kotagede, kami mampir ke Pasar Pathuk, untuk mengecek keberadaan kipo, dan ternyata memang tidak satu pun pedagang jajanan menjualnya. Meski demikian, fakta itu belum membuktikan bahwa kipo tidak dijual di pasar lain.
Kami membeli sepuluh bungkus kipo terakhir di sebuah lapak makanan
tradisional di Pasar Kotagede. Satu bungkus berisi lima kipo, satu kipo berukuran satu ruas jempol tangan. Betapa mungilnya ukuran kipo, satu buah pasti kurang, lima buah terasa pas bahkan kurang. Mengenai ukuran kipo yang sangat kecil itu pasti ada penjelasannya, mungkin untuk memudahkan orang melahapnya, langsung satu kali santap, tidak perlu digigit. Jika hanya ingin mencicip sedikit, satu kipo cukup. Bentuk sebesar jempol tangan itu menjadi keunikan dan kekhasan kipo sehingga mudah diingat.
Paduan manisnya gula aren, gurihnya kelapa parut, dan pulennya tepung ketan memang terasa pas di lidah. Banyak jajanan tradisional yang menggunakan
isian enten-enten atau unti kelapa yaitu campuran kelapa parut dan gula merah, sebut saja kue mendut, kue ku, kue poci, dan dadar gulung. Akan tetapi, tambahan bahan lain membuat rasa masing-masing jajanan berbeda sehingga namanya puh berbeda. Cara memasak dan kemasan juga membuat masing-masing penganan menjadi khas.
Penganan zaman dulu memang tidak rumit, karena disesuaikan dengan kebutuhan. Nama kipo konon adalah kependekan dari iki opo? (ini apa?), satu kalimat tanya pendek yang dilontarkan seorang anak sewaktu melihat penganan yang awalnya belum punya nama. Kipo merupakan jenis kue basah tradisional yang dimasak dengan cara dipanggang. Bahan utamanya adalah tepung ketan, kelapa parut, dan gula merah. Bahan tambahan meliputi daun suji untuk pewarna,
Hijau yang menggugah selera - https:// www.freepik.com/premium-photo/ kipo-traditional-food-from-kotagedeyogyakarta-indonesia-made-from-glutinous-rice-flour-dough-which-is-shapedflat-filled-with-grated-coconut-which-iscooked-with-brown-sugar_22427405. htm#query=kipo&position=12&from_ view=search&track=sph
tepung tapioka untuk campuran adonan unti kelapa, dan kapur sirih untuk campuran adonan kulit.
Proses pembuatannya sederhana. Kulit kipo dibuat dari tepung ketan yang telah dicampur dengan air daun suji dan air kapur sirih. Isinya adalah enten-enten atau untuk kelapa yang dibuat dari paduan kelapa muda parut, gula merah, dan tepung tapioka yang diaduk rata hingga kalis dan tidak lengket. Setelah entenenten dimasukkan ke dalam adonan kulit ketan dan dibentuk sangat kecil, seukuran jempol tangan, lalu dipanggang. Pemanggangan kipo secara tradisional
menggunakan pemanggang dari tanah liat yang dilambari daun pisang yang telah diolesi minyak goreng. Kipo pun dibolak-balik hingga matang.
Membalik-balik kipo dengan tangan kerap membuat orang tidak sabar, tidak telaten. Satu kilogram tepung ketan dapat menghasilkan 80 porsi dengan satu porsi berisi 5-6 biji kipo yang dibungkus daun pisang. Dibutuhkan waktu satu jam untuk menghasilkan 25 porsi. Sebetulnya jika alat pemanggang berukuran besar,
Apakah terpikir untuk memanggang
kipo dengan menggunakan mesin oven, misalnya? Saya kira banyak orang berpikir demikian, namun hasilnya akan berbeda, dan kipo sebagai jajanan tradisional memang selama ini pun dibuat secara tradisional.
Mataram
Kipo konon adalah satu di antara sekian jenis penganan para bangsawan Kraton Mataram, namun pamornya meluruh seiring runtuhnya Kerajaan Mataram dan bahkan merosot menjadi penganan rakyat jelata. Pada tahun 80-an kipo
nyaris lenyap dari daftar jajanan pasar
khususnya di Kotagede karena hampir
tidak ada orang yang memproduksi.
Adalah Paijem Djito Soehardjo, seorang
perempuan asli Kotagede, yang tidak
pernah berhenti membuat kipo dan mengikuti pameran-pameran serta ruparupa perlombaan untuk mengangkat
kembali pamor kipo.
Berawal tahun 1986, ketika Bu Djito
menjadi peserta pameran makanan
berbahan khusus tepung ketan di Hotel
Ambarukmo Palace yang digelar oleh
Dinas Pariwisata dan PHRI dan meraih
juara empat, seperti dikutip dari buku
Kipo Bu Djito: Makanan Khas Kotagede Asli
dan Pertama terbitan Dinas Perpustakaan
dan Kearsipan Kota Yogyakarta (2018).
Sejak itu, pameran demi pameran ia ikuti, seperti pameran di Manggala Wana
Bakti Jakarta yang dihadiri Tien Soeharto
dan Pameran Adati Kraton Yogyakarta
Yogyakarta apalagi hanya Kotagede. Kipo diterima menjadi menu andalan untuk tamu, hajatan pernikahan, dan beragam acara.
Bu Djito mewarisi resep kipo dari ibunya, Mangun Irono, yang dulu kerap memasak kipo bersama teman-temannya. Mbah Mangun pada tahun 1946 menyerahkan pembuatan kipo kepada putrinya karena penglihatan matanya tidak lagi awas. Sejak itu, warung kipo milik keluarga yang berlokasi di Jalan Mondorakan Kotagede pun dinamai Kipo Bu Djito, merujuk nama peraciknya.
Karena Bu Djito makin berusia senja, putrinya Istri Rahayu melanjutkan usaha Kipo Bu Djito pada tahun 1991. Jenama Kipo Bu Djito tidak diubah karena nama itu sudah melekat kuat dan telah ditetapkan menjadi merek dagang. Istri meneruskan upaya mendiang ibunya untuk mempertahankan pamor kipo
Kipo Bu Djito meraih juara dua lomba makanan tradisional “Wisata Kampus” yang digelar Lembaga Pengabdiann
Masyarakat dan Dharma Wanita IKIP
Yogyakarta pada 1996 dan juara harapan dalam Lomba dan Pameran Makanan
Indonesia Kotamadya Dati II Yogyakarta pada 1999.
Kipo Bu Djito niscaya paling laris dipesan. Ketika kami mengunjungi tokonya di Kotagede, kipo sudah habis. Di atas meja ada tiga wadah besar berisi ratusan bungkus kipo yang semuanya sudah dipesan pelanggan untuk hajatan. “Kalau datang lebih pagi, mungkin masih kebagian,” kata cucu Bu Djito yang kami temui di tokonya. Apa boleh buat, lain kali kami pasti akan datang lebih pagi.
Membaca buku bahwa kipo telah
ada pada zaman Mataram dan kini menjadi kekhasan Kotagede, rasanya perkataan Peter Munz dalam Historical
Sungai Batanghari adalah kawasan penting dalam sejarah peradaban
Nusantara, khususnya Pulau
Sumatra. Jejak arkeologis dan historis memperlihatkan jalinan hubungan
ekonomi dan politik kerajaan-kerajaan di kawasan Sungai Batanghari dengan India dan Cina. Hal tersebut tergambar dari tinggalan budaya di sepanjang Sungai
Batanghari, sungai yang menjadi jalan
utama, urat nadi peradaban Sumatra.
Kawasan yang kini menjadi prioritas di sekitar Sungai Batanghari adalah
Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, . Berdasarkan catatan perjalanan Cina, Muarajambi pada abad ke-5 dan ke-6 menjadi pusat pendidikan
Buddhisme. Pada abad ke-7 dan ke-8, Muarajambi menjadi bagian dari Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya sebagai pusat peribadatan agama Buddha terluas di Nusantara. Sungai Batanghari menjadi saksi kemegahan Muarajambi. Sungai
Batanghari menjadi ruang penyimpan memori jaringan perdagangan, hubungan politik, serta interaksi budaya yang terjadi pada abad-abad tersebut. Di sepanjang sungai inilah peradaban pesat berkembang.
Berabad kemudian, sejumlah anak muda menyusuri kembali Sungai Batanghari, guna memaknai kembali tinggalan budaya Batanghari dan menjadikannya pelajaran bagi masa kini juga nanti.
Ekspedisi Sungai Batanghari berlangsung
pada 12-22 Juli 2022. Pagi hari, 12 Juli 2022, lima puluh peserta Ekspedisi
Sungai Batanghari bersiap di Sungai
Dareh, Dharmasraya, Sumatra Barat.
Hari itu adalah pelepasan peserta untuk menyusuri kekayaan budaya di sekitar Sungai Batanghari. Mereka adalah peneliti, mahasiswa, dan pegiat komunitas budaya dari seluruh
Indonesia yang menekuni beragam ilmu, diantaranya sejarah, antropologi, arkeologi, teknik lingkungan, pariwisata, dan sosiologi. Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan dan Direktur Pelindungan Kebudayaan, Irini
Dewi Wanti memberi sambutan saat acara pembukaan, sedangkan Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Ahmad Mahendra melepas peserta ekspedisi.
Para peserta yang dibagi menjadi 10 kelompok itu menyusuri kekayaan budaya dari Dharmasraya di Provinsi Sumatra Barat hingga Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Timur di Provinsi Jambi.
Perjalanan tidak sepenuhnya melalui transportasi sungai. Ketinggian air yang dangkal di beberapa titik mengharuskan
kami berganti-ganti moda, dari perahu tempel di Sungai Dareh sampai Situs
Candi Pulau Sawah, lantas naik bus
menuju Situs Padang Roco. Di kedua situs tersebut para peserta makin memahami arti penting pelibatan masyarakat dalam upaya pelestarian cagar budaya.
Titik henti ketiga adalah Kerajaan Siguntur. Setelah menyebrangi sungai dengan ponton, kami disambut dengan pertunjukan tari toga, silek pangean, dan diperlihatkan pula pembuatan rendang paku. Observasi kemudian berlanjut di Masjid Tua Siguntur, Makam Raja-raja Siguntur, dan Istana Siguntur.
Keesokan harinya kami melakukan observasi di Situs Teluk Kuali, Tebo, Jambi, yang merupakan objek
diduga cagar budaya. Tahun 1990-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui unit pelaksana teknisnya di Jambi pernah melakukan pendataan dan ekskavasi atas objek ini. Namun, dari struktur bata yang ditemukan dalam cekungan situs, kemungkinan bentuk candi belum dapat direkonstruksi. Kami juga mengobservasi Kawasan Kota Tua Tebo. Di sana terdapat makam, kantor pos, asrama benteng, pompa minyak, dan rumah sakit peninggalan kolonial, serta struktur tanggo rajo. Pada malam hari para peserta melihat praktik tari tari kliklang, lagu doa, nek pung, lagu panjang, dan turun mandi ke aek
Pada hari ketiga kami menuju Rambutan
Masam yang disambut Wakil Bupati
Batang Hari, H. Bakhtiar. Kami menikmati
sajian kompangan, tari sekapur sirih, dan tari ngebeng. Kami juga mengobrol
dengan para pemelihara situs di Makam
Keramat Johor dan Makam Keramat Adi
Tuo. Pada malam hari, kami mempelajari
banyak hal mengenai tradisi nengok
tuah budak, zikir syarrofal anam, mujuk
selang, bakohak, juga kuliner gulai aghis
pisang, permainan ayam-ayaman, dan
permainan elang-elangan. Kami juga
melihat objek diduga cagar budaya
artefak keramat milik Desa Rambutan Masam.
Memasuki hari kelima, ekpedisi menggunakan jalur sungai. Perjalanan mulai terasa menantang. Para peserta tampak sangat berbinar mengarungi sungai dengan kapal milik Korps
Kepolisian Air dan Udara (Polairud) dan kapal milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kedua kapal tersebut membawa kami ke Muara Tembesi, kawasan yang memiliki bangunan-bangunan peninggalan kolonial. Kami seakan dibawa ke masa kolonial.
Pada 16 Juli 2022, berangkat dari Ancol, Kota Jambi, kami kembali mengarungi Sungai Batanghari dengan kapal Polairud dan BNPB. Misi berikutnya adalah menyusuri tinggalan budaya di Desa Simpang Tua Kabupaten Batang
Hari berupa pengetahuan tradisional pembuatan kapal. Bak jantung kehidupan desa, dari pembuatan kapal berdenyut kehidupan mayoritas warga. Selanjutnya, kami menuju Situs Makam Orang
Kayu Hitam di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yakni makam seorang tokoh penting dalam perkembangan pemerintahan Islam pada abad ke-16 di Jambi yang dikenal dengan nama
Orang Kayu Hitam. Meski tak berkaitan, di sekitar makam terdapat pula tinggalan berupa strukturstruktur bercorak Buddha.
Perjalanan berlanjut ke arah timur. Menjelang senja, kami tiba di Teluk Majelis, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Peserta menyaksikan tradisi kompangan, silat kampilan, dan babalas syair, juga mengulik
sejarah Teluk Majelis, Manuskrip Syekh
Arifin, dan bahasa Teluk Majelis. Tari inai, tarian pada upacara pernikahan masyarakat Melayu sangat menarik hati para peserta. Malam terasa riang. Keesokan hari, kami menuju Tanjung
Solok, tempat tinggal Suku Duano yang termasuk suku laut tertua yang mendiami Kuala Jambi, Tanjung Solok. Kami disambut oleh warga yang antusias menjelaskan tradisi membuat jaring, bakul, tongkah, dan kapur dari kerang, juga penjelasan ihwal bahasa, cerita Sumbun, dan pengetahun melaut yang turun temurun di suku Duano. Oh ya, kami juga mengikuti ritual mandi mandi safat.
Pada 18 Juli 2022, kami berbalik ke barat ke Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi lalu ke Candi Gumpung dan Candi Kedaton. Hiburan malam berupa senandung jolo, musik gambang dano lamo, dzikir berdah, dan tkud membuat hati kami penuh.
Kegiatan berikutnya adalah seminar bertema “Batanghari: Dulu, Kini, dan Nanti” yang diharapkan dapat merekatkan para pemangku kepentingan dan masyarakat. Dirjen Kebudayaan
Hilmar Farid dan Gubernur Jambi Al Haris hadir memberikan kata sambutan. Para pembicara di antaranya Junus Satrio A. (Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional); Bambang Budi Utomo (IAAI); dan Lono L. Simatupang (Anggota Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia).
Rangkaian seminar diakhiri dengan pembacaan rekomendasi dan penutupan oleh Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Judi Wahjudin.
Sungai Batanghari mengalir di tengah
Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, menghubungkan Sumbar
(hulunya di Gunung Rasan) dan Jambi. Sungai Batanghari bermuara di Selat Berhala, di Pantai Timur Sumatra ke Laut Cina Selatan. Sepanjang aliran sungai inilah banyak terjadi interaksi budaya yang jejaknya masih dapat dijumpai hingga kini. Ekspedisi ini membuktikan bahwa sebagain besar tinggalan budaya di sepanjang Sungai Batanghari identik dengan kehidupan masyarakat sungai, masyarakat maritim yang telah terbiasa hidup berdampingan dengan keragaman budaya.
Tradisi seperti turun mandi ke aek dan mandi air asin memperlihatkan bahwa masyarakat di sekitar Sungai Batanghari masih mempraktikan warisan budaya yang identik dengan sungai. Namun, air
tidak lagi menggunakan air dari Sungai Batanghari karena sudah tercemar merkuri dari penambangan emas.
Pemukiman di sekitar Sungai Batanghari pun terdampak perubahan lingkungan. Akibat abrasi, hunian masyarakat di Teluk Majelis semakin bergeser. Mereka kehilangan banyak daratan. Permukiman di Teluk Majelis tidak lagi berhadapan langsung dengan sungai seluruhnya. Hal ini disebabkan perubahan besarbesaran di wilayah hutan disertai dampak gelombang dari kapal besar yang melintas dan menghantam tepian sungai.
Sungai Batanghari adalah penyimpan memori raksasa yang wilayah sekitarnya tidak hanya menjadi permukiman semata. Sungai Batanghari dan
sekitarnya saat ini dimanfaatkan pula sebagai kebun rakyat, perkebunan kelapa sawit, pembudidayaan ikan, dan tempat penimbunan batu bara (stockpile). Pemanfaatan kawasan tersebut tentu memberi dampak pada lingkungan dan masyarakat.
Ekpedisi Sungai Batanghari menjadi satu usaha untuk kembali menyusuri urat nadi peradaban Sumatra. Hasil ekspedisi diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perumusan kebijakan yang bertujuan meningkatkan pembangunan kebudayaan di kawasan Sungai Batanghari.
“Mun aya, diayakeun, mun eweuh ulah diaya ayakeun…” begitulah pesan penting
Abah Yoyo Yohenda, Ketua Kasepuhan
Adat Cisitu kepada masyarakat dan tim verifikasi teknis hutan adat sebelum
melakukan verifikasi subjek dan objek
usulan hutan adat Cisitu. Abah Yoyo
berpesan agar masyarakat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya
serta tidak menambah atau mengurangi
informasi kepada Tim Terpadu Verifikasi
Hutan Adat Kasepuhan Cisitu.
Tim Terpadu terdiri dari beberapa
satuan kerja dan unit pelaksana teknis di Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Badan Informasi dan
Geospasial, Direktorat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
Masyarakat Adat Ditjen Kebudayaan
Kemdikbudristek, serta STKIP Setia
Budhi Rangkasbitung. Tim Terpadu
yang dipimpin oleh Herry Yogaswara
dari Badan Riset dan Inovasi Nasional
memverifikasi berkas usulan hutan adat
dari masyarakat adat Kasepuhan Cisitu
terkait keberadaan subjek masyarakat
adat dan objek hutan adat.
Hutan adat merupakan salah satu skema perhutanan sosial yang diberikan pemerintah melalui Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Skema lain meliputi hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), dan kemitraan kehutanan. Hutan adat harus dikelola oleh masyarakat hukum adat, yakni masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan peraturan daerah.
Untuk wilayah Kesepuhan Cisitu, struktur adat dipimpin oleh Abah Yoyo Yehenda yang yang dibantu oleh beberapa baris kolot Baris kolot tersebut terdiri
dari dukun kolot, bengkong, catur galur, penghulu, paraji, dan pembantu dalam bidang lainnya. Dalam penerapan hukum adat, dikenal istilah tilu sapamilu, yakni tiga unsur penegak kebijakan yang harus diselaraskan penerapan, yaitu nagara, syara, dan mahaka (negara, agama, dan adat).
Masyarakat adat Kasepuhan Cisitu memiliki konsep tradisional dalam tata ruang wilayah adat yaitu leuweung tutupan (leuweung kolot), leuweung titipan, dan leuweung awisan. Leuweung tutupan/ leuweung kolot merupakan wilayah hutan yang sakral atau sama sekali tidak boleh digarap oleh masyarakat. Leuweung titipan adalah titipan dari karuhun sehingga untuk menggarapnya diperlukan wangsit dari leluhur. Lahan ini bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan mendesak, tentunya atas seizin dari sesepuh (ketua kasepuhan). Leuweung awisan adalah lahan cadangan, yaitu perluasan dari lahan garapan yang sudah dilakukan. Di lain pihak, negara melalui
Taman Nasional Gunung Halimun Salak memiliki zonasi dalam pengelolaan taman nasional, seperti zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lainnya (zona tradisional, zona religi, tradisional, rehab, khusus).
Tim verifikasi kemudian melihat tumpang susun dan irisan konsep pemanfaatan hutan dengan konsep zonasi dari taman nasional, dan ternyata terdapat persamaan fungsi hutan antara
masyarakat
adat kasepuhan
dengan konsep dari taman nasional. Leuwung tutupan, misalnya, mempunyai fungsi yang sama dengan zona inti pada zonasi taman nasional, yaitu sebagai kawasan konservasi. Meski demikian, adakalanya temuan di lapangan menunjukkan adanya
perbedaan pengelolaan antara konsep negara dan masyarakat adat, misalnya fungsi hutan produksi (sebelumnya dikelola oleh Perhutani) ternyata merupakan areal persawahan yang sudah dikelola oleh masyarakat sejak lama. Bisa jadi sawah juga merupakan leuweung (hutan) garapan.
Sebelum mengusulkan penetapan hutan adat kepada pemerintah, masyarakat adat terlebih dahulu harus mendapatkan penetapan sebagai masyarakat hukum adat, dengan peraturan daerah jika lokasi
yang
diusulkan
berada dalam
wilayah hutan negara, dan dengan SK bupati jika wilayah yang diusulkan berada di luar wilayah hutan negara (Permen LHK No. 9 tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial). Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu sendiri sudah diakui oleh pemerintah melalui Perda Kab. Lebak No. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Kab. Lebak.
Dalam proses persiapan maupun verifikasi penatapan hutan adat, wilayah adat maupun calon lokasi hutan adat
haruslah “bersih”, misalnya sudah ada kesepakatan dengan wilayah adat atau pemerintahan desa tetangga dan tidak ada konflik. Proses-proses itu sekaligus menjadi media resolusi konflik terkait wilayah adat antara masyarakat adat internal maupun eksternal kasepuhan. Lebih lanjut, pemetaan partisipatif bertujuan agar masyarakat adat dapat mengenali objek maupun potensi di wilayah adatnya.
Interaksi dengan Hutan
Hutan pada masyarakat adat Kasepuhan
Cisitu memilki banyak fungsi. Leuweng
tutupan berperan menjadi fungsi
konservasi, menjaga kelestarian
ekosistem, maupun sebagai wilayah
tangkapan air yang dapat menjaga
kampung kasepuhan dari bencana banjir
dan longsor. Didalam hutan adat juga
terdapat potensi hasil hutan yang dapat digunakan untuk kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya. Di dalam hutan
terdapat rotan yang bisa dijadikan benda
kerajinan atau aksesoris, seperti boboko (tempat nasi), tas kaneron, maupun gelang tangan.
Terdapat juga bambu, yang bisa dijadikan
alat kesenian seperti angklung buhun yang terdiri dari gong-gong, panembal, kingking, inclok, Lower, dan dog-dog. Dalam suatu kesempatan diskusi dengan pemain angklung buhun, disampaikan bahwa permainan angklung menyampaiakan pesan bahwa alunan nada angklung buhun menyimbolkan keselarasan hubungan antara pemerintah, pelaku adat, hingga incu putu. Hal ini tercermin dalam keselarasan alunan nada yang keluar dari angklung buhun.
Potensi obat-obatan tradisional?
Tentu ada, sebut saja akar picung sebagai obat sakit perut, dengan cara direbus. Ada pula tuak ilat dari ilalang, yang diolah dengan cara mengambil
airnya, kemudian diminum. Ramuan ini digunakan untuk mengobati batuk ataupun juga untuk obat mata dengan cara meneteskannya ke mata yang sedang sakit.
Banyak hal harus dilakukan pascapenetapan hutan adat, tidak hanya terkait konservasi namun juga interaksi antara masyarakat pemilik hutan adat dan adatnya. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam interaksi budaya masyarakat karena kebutuhan ekonomi, sosial, dan sarana budaya juga berada dalam wilayah hutan. Dalam kaitan dengan budaya, terdapat bahanbahan makanan tradisional ataupun obat-obatan tradisional yang terhimpun
dalam memori dan pengetahuan masyarakat pemiliknya.
Pengetahuan tradisional mengenai pengolahan makanan atau pengenalan tetumbuhan sebagai obat tradisional hingga meraciknya hanya dimiliki oleh generasi tua. Proses pewarisan pengetahuan itu kadang mengalami kendala. Oleh karena itu, semangat anakanak muda adat perlu dibangkitkan, untuk menemukenali potensi budaya di dalam hutan adat.
Revitalisasi Adat Kasepuhan
Upaya-upaya tindak lanjut setelah penetapan sangatlah penting. Hutan adat haruslah dirasakan manfaatnya oleh incu putu yang ada di kasepuhan.
Undang-Undang No. 5 tentang Pemajuan Kebudayaan menyebutkan bahwa objek kebudayaan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan identitas bangsa maupun menunjang kekuatan ekonomi. Namun, sebelum itu, generasi muda dan incu putu lainnya harus mau menggali pengetahuan terkait objek pemajuan kebudayaan yang ada di wilayah adatnya beserta dengan potensi pengembangan dan pemanfaatannya. Pemerintah pusat maupun daerah juga turut hadir.
Generasi muda harus bersemangat untuk menggali pengetahuan tradisional dari para sesepuh/ kolot-kolot kasepuhan, dan selanjutnya menciptakan wadah atau ruang untuk pewarisan pengetahuan
tradisional tersebut. Abah Yoyo Yohenda menekankan bahwa pengenalan budaya kepada generasi muda harus terus-menerus dilakukan agar mereka dapat memahami budayanya, kearifan lokal, maupun pengetahuan tradisional kokolot. Upaya nyata, misalnya, dengan mengikuti praktik-praktik budaya atau ritual yang dilakukan oleh para tetua, misalnya pada saat persiapan ataupun pelaksanaan seren taun, upacara selamatan dari suatu siklus penanaman padi.
Penetapan hutan adat diharapakan mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Cisitu. Pemanfaatan hutan adat haruslah seimbang antara kebutuhan ekonomi, keseimbangan ekologis, serta pemajuan kebudayaan. Dengan demikian, cita-cita masyarakat adat dapat terwujud, seperti slogan mereka: leuweung hejo, masyarakat ngejo (hutan lestari masyarakat sejahtera).
(Wewen Efendi, Pamong Budaya Pertama
Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat)
Tema konferensi Tingkat Tinggi
G20 di Nusa Dua, Bali pada 15-16
November 2022 yakni “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Bangkit Lebih Kuat” terasa sejalan dengan tujuan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development goals) khususnya mengenai kota dan pemukiman inklusif, aman, tahan lama, serta berkelanjutan demi menguatkan upaya untuk melindungi dan menjaga
warisan budaya dan alam (Bappenas, 2019). Kota berkelanjutan secara sederhana berarti kehidupan masyarakat
yang berkembang dan berubah. Kota yang berkelanjutan juga berarti ruang menarik bagi masyarakat, budaya, perdagangan, dan ekonomi. Ruang tersebut menyediakan kesempatan untuk saling berinteraksi, bekerja, dan beraktivitas, sama seperti pendidikan yang mengembangkan potensi manusia, seperti ditulis Steven Cohen dan Guo Dong dalam The Sustainable City (edisi kedua, 2021). Tidak kalah penting pula adalah tantangan dalam pembinaan komunitas atau masyarakat berkelanjutan.
Kawasan Pecinan Glodok di Jakarta Barat
dengan jejak peninggalan sejarahnya
dapat dikatakan sebagai sumber daya
budaya kota, sesuai pernyataan Ashworth
dan Turnbridge dalam The Tourist-Historic
City: Retrospect and Prospect of Managing the Heritage City (2000), bahwa sejarah
telah menjadi warisan dan warisan
menjadi sumber daya kota. Pendekatan
manajemen sumber daya budaya dapat
diaplikasikan secara praktis untuk
merekam, mengevaluasi, melindungi, dan menyajikan peninggalan masa lalu untuk
masa depan kepada masyarakat, seperti
ditulis Carman dalam Archaeological
Resource Management: An International Perspective (2015). Peninggalan masa
lalu merupakan salah satu produk
dari wisata berbasis budaya yang jenis
kegiatan pariwisatanya menggunakan
budaya masa lalu. Sumber daya budaya
kawasan Pecinan Glodok yang dimaksud
adalah sebuah kawasan yang menyimpan
memori kolektif warganya melalui bukti fisik peninggalan masa lalu.
Pariwisata kota dimulai tahun 80-an
terutama negara-negara di Amerika
Serikat dan Kanada (Anglo-American), berupa kegiatan pariwisata dihubungkan
dengan rekreasi ke luar kota atau
daerah pedesaan serta kontak langsung
dengan alam, meski dalam pandangan para industrialis, kota dipahami sebagai
tempat untuk kerja, perdagangan, dan pemerintahan. Di Kota Bologna, Italia
pada era 70-an dan 80-an, masyarakat
lokal memiliki inisiatif dan upaya dalam
mendorong inisiatif kewirausahaan yang
modern, seperti pariwisata, dengan
menciptakan peluang sinergi antara
konservasi bangunan bersejarah dengan
perbaikan lingkungan, termasuk dalam
regulasi perencanaan kota regional. Di
Indonesia, kita bisa melihat Kota Bandung, yang pada satu dekade belakangan terus dipercantik dan menjadi destinasi pariwisata berbasis warisan masa lalu, seperti di kawasan Braga.
Perkembangan dan pertumbuhan
Batavia (sekarang Kota Tua Jakarta) sejak
tahun 1645 tidak bisa dilepaskan dari
jasa Phoa Bing Am, seorang kapten Cina (kapitein der Chinezen) yang membangun
kanal. Ia membangun kanal-kanal pada
tahun 1648 untuk melancarkan jalur
kayu ke daerah pembuatan kapal dan ke
Pelabuhan Sunda Kelapa, dan daerah di
sepanjang kanal berkembang menjadi pemukiman yang didominasi oleh imigran Cina dan Eropa. Kota Batavia termasuk daerah yang sangat disukai imigran Cina sejak awal abad ke-19. Mereka berperan sebagai pedagang dan melayani jasa sebagai pialang antara pedagang pribumi dari pedalaman ke pasar internasional Asia Tenggara, meski Belanda lantas membatasi jumlah penduduk Cina dengan membuat peraturan imigrasi di kota-kota pesisir yang memicu pemberontakan.
Setelah pemberontakan tahun 1740, orang-orang Cina mulai ditempatkan di sekitar Kota (ommelanden), di kawasan yang dikenal dengan mana Petak Sembilan, mengacu pada peta lama bernama Chine Kwartier Sebanyak 5000 orang Cina yang memberontak dibunuh di belakang
Balai Kota Batavia atas perintah
Gubemur Jenderal Adrian Valckenier (1695-1751). Situasi memburuk karena meluasnya wabah malaria, kolera, dan pes di kawasan muara Sungai Ciliwung. Pascapembubaran VOC pada tahun 1795, Kota Batavia masih berkembang namun tidak lagi sehat. Gubernur Jendral H.W. Daendels saat memimpin pada 18081811 membongkar sebagian tembok kota dan kastil untuk pembangunan kota ke arah selatan atau weltevreden, kini daerah
sekitar GambirSumalyo dalam
Tua (2007)).
Sumber daya budaya
dapat dipandang
sebagai rekaman
sejarah masingmasing suku bangsa, yang mencerminkan
kehidupan dan
penghidupan bangsa
Indonesia dengan segala aspeknya, baik sosial-budaya, ekonomi, maupun agama. Menurut sifatnya, sumber daya budaya dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu, yang bersifat fisik (tangible) dan nonfisik (intangible), dan keduanya merupakan kekayaan sekaligus kepribadian budaya bangsa. Panjangnya
rekaman sejarah manusia tersebut akan melahirkan warisan budaya, termasuk lansekap dan kawasan, yang di dalamnya terdapat sumber daya arkeologi.
Kawasan Pecinan berkembang dan memiliki sejarah yang panjang seiring dengan pertumbuhan
kota-kota praindustri
terutama kota-kota
kerajaan lokal (Denys
Lombard dalam
Nusa Jawa Silang
Budaya Jilid III: Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, 2005), yang kemudian
mengalami kolonialisasi Belanda pada abad 17—20. Kota Batavia pada abad ke-18 begitu juga makin banyaknya migran dari daratan Cina yang datang dan berakulturasi dan berasimiliasi serta membentuk kawasan Pecinan (Glodok) sekarang. Di kawasan Glodok, Kecamatan
Tamansari, Jakarta Barat, misalnya, karakter historis kawasan tersebut sangat potensial untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah, yang pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu pusat kegiatan sakral dan pusat kegiatan profan.
Pusat kegiataan sakral diwakili oleh bangunan klenteng atau vihara dan gereja.
Klenteng dan vihara di kawasan pecinan Glodok cukup banyak, selain itu terdapat pula rumah abu marga, khusus untuk marga tertentu atau keluarga. Ada sekitar 5 klenteng atau vihara besar di kawasan pecinan Glodok, di antaranya adalah Vihara Budhi Dharma/Klenteng
Li Tie Guai, Vihara Ariya Marga/Klenteng
Nan Jing Miao, Klenteng Toa Se Bio, dan Klenteng Djin De Yuan, sedangkan gereja ada Gereja Kristen Indonesia
(GKI) Perniagaan dan Gereja Santa Maria De Fatima. Sedangkan pusat kegiatan profan, dalam hal ini adalah pusat-pusat aktivitas ekonomi yang dapat dijadikan destinasi wisata budaya dan warisan yang masih berdenyut meliputi pasar, jalan, atau gang, sekolah, dan rumah di kawasan Pecinan Glodok dan masih menunjukkan karakter kawasan bagian dari Kotatua Jakarta.
Pemanfaatan cagar budaya dapat dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Keberadaan sumber daya budaya di Pecinan Glodok yang menunjang tujuan pembangunan berkelanjutan ke 11: membangun kota dan pemukiman inklusif, aman, tahan lama dan berkelanjutan, target ke 4: menguatkan upaya untuk melindungi dan menjaga warisan budaya dan alam. Namun demikian, upaya pemanfaatan harus hati-hati dengan tetap mengedepankan prinsip meminimalisir kerusakan, juga mempertimbangkan pengembangan ekonomi kreatif berbasis cagar budaya lainnya, seperti pemanduan wisata, kerajinan dan lain-lain (Wiwin D Ramelam dalam Model Pemanfaatan Kawasan Cagar Budaya Trowulan Berbasis Masyarakat, 2015).
Dalam menunjang pembangunan kota berkelanjutan, kawasan pariwisata di perkotaan adalah bagian dari proses produksi sebuah kota yang tidak hanya dijadikan konsumsi. Jika berbagai upaya tersebut kita lakukan, boleh jadi kita sedang membangkitkan naga di Glodok, agar tegak berdiri lagi dan menyemburkan api.
(Ary Sulistyo, Penulis dan Peminat Sejarah Budaya)
Apa kabar wayang purwa?
Wayang potehi? Wayang
beber? Wayang golek? Beragam
jenis wayang memang belum musnah, namun kritis. Masing-masing berjuang sendiri di semesta masa kini. Sungguh berat. Campur tangan pemerintah
pada situasi ini rasanya menjadi wajib, tidak hanya karena undang-undang mengamanatkannya, namun karena pemerintah sebagai bagian dari unsur negara juga memiliki tanggung-jawab
moral untuk melestarikannya. Komunitas atau perorangan yang peduli dan melestarikan warisan budaya takbenda tersebut tentunya patut kita apresiasi.
Rasanya --hampir pasti-- hanya karena cinta seseorang begitu bersetia menjaga warisan kearifan leluhur itu demi sejarah, kenangan, dan ilmu pengetahuan. Mari kita temui Indra Suroinggeno (kelahiran 1986), pecinta wayang yang mendirikan Museum Wayang Beber Sekartadji di Kanutan, Sumbermulyo, Bambanglipuro,
Bantul DI Yogyakarta dengan kocek pribadinya. Ia mencintai wayang beber dari hulu, dengan menanam pohon glugu (Broussonetia paapyrifera foliage) yang menghasilkan kertas dluwang, hingga hilir dengan menyebarkan pengetahuan wayang beber kepada anak-anak sekolah.
Indra membangun museum wayang beber di kediamannya, yang kemudian ia perluas dengan membeli rumah di sampingnya, milik kerabat. Tidak mudah mendirikan museum sendiri. Selain alasan finansial, regulasi juga harus diperhatikan. Indra pernah ditolak pemerintah daerah saat mendaftarkan museumnya, karena memenuhi syarat, misalnya tidak ada penyejuk ruangan untuk menjaga keawetan koleksi. Indra menjalani semua proses dengan sabar hingga museumnya kini dipercaya oleh sekolah kejuruan seni sebagai salah satu tujuan “kerja lapangan”. Jika pembaca Indonesiana ingin berkunjung ke Museum Wayang Beber Sekartadji, alamat dengan mudah dapat dicari di internet.
“Menanam pohon glugu itu mudah, karena akarnya tunas, jadi nanam satu tumbuh
seribu. Yang sulit adalah kesabaran memproses kulit daging pohon menjadi kertas dluwang. Kertas dluwang ini dulu diproduksi untuk menggantikan lontar, mengakhiri era lontar, lalu berkembang hingga sekarang memakai kain. Tapi kertas dluwang ini masih dipakai juga,” tutur Indra ketika kami temui di museumnya yang asri, Juli 2022.
Pembuatan satu lembar kertas bisa memakan waktu satu pekan. Kulit pohon setelah diambil (diiris, dicukil, dilepaskan) dari batangnya lalu ditempa lebih dari seribu kali hingga tipis. Setelah itu kulit kayu difermentasi sampai tiga kali, dan dikuwuk atau dihaluskan dengan batu atau kerang menjadi sangat halus. Harganya? Rp 75 untuk satu sentimeter persegi.
Indra yang bernama asli Trias Indra Setiawan menempuh jalan berliku untuk sampai kepada titik mengabdikan diri pada pelestarian wayang beber. Setelah lulus STM Pembangunan jurusan Informatika pada tahun 2006 ia melanglang buana ke berbagai negara, bekerja di restoran dan kapal pesiar. Ia bertemu dengan banyak orang yang mengagumi budaya Indonesia dan bahkan menabung untuk bisa ke Indonesia. Saat itu Indra bertekad untuk pulang dan berkreasi di bidang kebudayaan. Orang asing sedemikian mengagumi budaya Indonesia, mengapa ia harus tinggal di luar negeri?
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 2013, Indra menjadi pemandu wisata di Sono Budoyo Yogyakarta. Hatinya
makin terpaut dengan tradisi Nusantara, khususnya wayang, hingga pada tahun
2015 mendapatkan beasiswa dari Sri
Sultan HB X untuk menuntut ilmu di Akademi Komunitas Negeri Seni Busaya Yogyakarta selama setahun. “Saat masih di Sono Budoyo, saya mendirikan Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit dan juga nyantrik di Pak Sagiyo Kasongan. Kata Pak Sagiyo, emosi kita harus menyatu dengan wayang yang sedang kita buat, misalnya membuat Semar, emosi kita harus berubah seperti Semar, harus bijaksana. Itu tidak mudah,” kata Indra.
Wayang beber diperkirakan telah ada sejak abad ke-9 dan berkembang pada
tahun 1145 pada zaman Kerajaan
Jenggala era Prabu Suryawisesa yang
menggunakan daun siwalan atau lontar sebagai “kanvas” menggambar. Seiring zaman, lontar diganti menjadi kertas dluwang, dan diganti lagi menjadi kain yang lebih fleksibel untuk digulung dan dibentangkan. Disebut wayang beber karena cara menceritakan dan memainkan wayangnya dengan cara melukiskannya di atas selembar kain (atau kertas) yang dapat digulung, lantas dibentangkan (dibeber) sedikit demi sedikit, perlahan, sesuai urutan penceritaan wayang yang telah dikelompokkan dalam beberapa pejagong (episode).
Pada masa mula keberadaannya, wayang beber mengambil cerita dari relief-relief di candi-candi, lantas digunakan untuk sarana penyebaran agama. Mengutip
Bagyo Suharyono dalam buku Wayang
Beber Wonosari (2005), kini hanya ada dua versi wayang beber yang dikenal masyarakat, keduanya
wayang beber Pacitan dengan cerita Joko Kembang Kuning dan wayang beber Wonosari dengan cerita Remeng Mangunjaya.
Koleksi Museum Wayang Beber Sekartadjati cukup memadai meski tidak benar-benar lengkap. Museum ini menjadi museum yang memang khusus menyimpan koleksi wayang beber dan memberi rupa-rupa pengetahuan serta pelatihan wayang beber bagi para pecinta wayang utamanya para siswa sekolah dan mahasiswa. Hal itu patut diapresiasi.
Satu koleksi yang menarik perhatian kami adalah wayang beber lontar Sutasoma yang belum terdeteksi tahun pembuatannya, merupakan wayang beber tertua kedua dari daun lontar (wayang beber tertua kabarnya dilukis di atas batu sedangkan tertua ketiga ditulis di atas kertas dluwang). Wayang ini menceritakan barata yudha cangka ottara. Koleksi lain adalah wayang beber kamasan Ramayana dengan gambar
Indra mendapatkan hibah wayang beber Sabdo Praloyo Genggong yang menceritakan Arjuna dan wayang beber Romo Mangun Joyo dan Joko Kembang
Kuning yang merupakan wayang beber Pacitan. Sebagian koleksi Indra memang didapat dari hibah dan sebagian lain ia dapat dengan membeli kepada kolektor sebelumnya.
Kami berjalan pelan menelusuri koleksi milik Indra yang luar biasa itu. Kami berhenti di wayang beber Ireng Putih Nusantara yang indah. “Wayang adalah cahaya, adalah bayangan kita sebagai manusia. Saya yakin wayang tidak akan musnah karena kita bagian dari wayang. Kalau pakem, itu sesuatu yang diciptakan lalu disetujui serta dikukuhkan oleh
masyarakat atau kelompok, sehingga kita tidak bisa memaksakan pakem kita pada yang lain,” tutur Indra.
Indra pada tahun 2017 mengembangkan wayang beber Pancasila, yakni wayang beber yang menyuguhkan
adegan-adegan yang menggambarkan pengamalan nilai-nilai dalam lima sila
Memamerkan salah satu koleksi - Zul Lubis Salah satu sudut Museum Wayang Beber - Yudhi WisnuPancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Ia memandang bahwa wayang beber
dapat menjadi media yang menarik
untuk mengajak generasi muda lebih
memahami nilai-nilai luhur Pancasila, sekaligus melestarikan wayang. Sekali
tepuk, dua nyamuk tertangkap. “Bahasa
kerennya, ini misi penguatan nilai-nilai
luhur yang terdapat dalam wayang
beber melalui pendidikan karakter bagi masyarakat,” tutur Indra.
Indra yang menjadi pelukis sekaligus
dalang menorehkan cerita di atas
selembar kain berukuran 450 cm X 100 cm yang dibagi dalam lima pejagong dan tiap pejagong menggambarkan sila dalam
Pancasila. Pejagong pertama berjudul
“Gusti tan Kena Kinira, tan Kena Kinaya
Apa”, yang berarti Tuhan itu ada namun wujudnya tidak dapat diperkirakan.
Episode ini bercerita mengenai cara
mencintai Tuhan secara vertikal maupun horisontal sesuai sila pertama Pancasila.
Secara visual, tergambar adegan seorang raja yang sedang mengajarkan putranya
untuk bersembahyang dan bertoleransi dengan penganut agama lain. Visual
lain adalah bangunan pura, stupa candi, orang-orang, dan hewan-hewan.
Pejagong kedua berjudul “Ratu Adil”, yang bercerita tentang prinsip-prinsip keadilan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Visualnya adalah sosok ratu, pohon rindang, ornamen kala, ornamen dua anak kecil bersayap, beberapa lelaki dan perempuan, congklak, tiga raksasa, dan bebatuan.
Pejagong ketiga yang berjudul “Gending Syailendra” menceritakan pentingnya membangun rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai keberagaman bhinneka tunggal ika. Tampak sekelompok orang sedang memainkan gamelan dengan kompak dan harmonis, lantas tampak pula sosok Sabdo Palon dan Naya Genggong yang tengah menari.
Adegan dalam pejagong keempat dengan judul “Rembug Manunggal Rasa” sebagai penggambaran sila keempat Pancasila adalah sekelompok warga yang tengah berkumpul di pelataran candi untuk
bermusyawarah. Di sana terdapat tiga ornamen berbentuk matahari, stupa, dan arca-arca.
Sila kelima Pancasila tergambar dalam pejagong kelima yang diberi judul “Guyub Samudra”, yang ceritanya melanjutkan pejagong keempat. Kultur gotong royong diwujudkan dalam pelayaran di tengah samudra, maka itu visualnya berupa perahu, nahkoda, beberapa pemuda sedang mendayung, dan gelombang laut. Ada pula ornamen gajah, dua sosok leluhur, sekelompok perempuan, dan ornamen kala.
Meski disimpan di museum bersama koleksi-koleksi lain, Wayang Beber Pancasila paling kerap “keluar kandang” untuk dipanggungkan. Wayang beber mampu bertahan. Rasanya baik jika muncul cerita-cerita inspiratif lain menggunakan media wayang beber. Apakah tetap harus bergambar wayang? Nah, agaknya butuh diskusi panjang menyoal ini.
(Susi Ivvaty, Indonesiana)
Gelaran “Indonesia Bertutur” di kawasan Candi Borobudur mampu menarik perhatian masyarakat luas, dari generasi baby boomers hingga Gen Z. Melati Suryodarmo adalah salah seorang peracik di balik hajatan itu. Di jagat seni pertunjukan, siapa tidak mengenal sosok Melati? Ia berkesenian sejak kecil. Bakat itu ia warisi dari ibunya, seorang penari, dan ayahnya, Suprapto Suryodarmo, pendiri taman budaya desa Padepokan Lemah Putih di Desa Plesungan, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, yang juga dikenal penggagas olah gerak Joget Amerta atau Amerta Movement. Maka itu, berbincang dengan Melati seperti membuka ruang pemahaman lain mengenai makna kesenian dan bekerja untuk kesenian.
Mbak Melati, bisakah diceritakan latar belakang Anda sebagai seniman dan apakah kesibukan Anda saat ini?
Saya lahir di kota Solo, 12 Juli 1969. Saat ini saya sedang mempersiapkan
tiga karya performans baru. Yang
pertama akan saya tampilkan di Kochi
Muziris Biennale di Kochi, Kerala, India, Desember ini. Yang dua lagi adalah
performance-lecture, sebuah presentasi
gagasan yang digabung dengan aksi
performatif untuk membahas ulang
karya-karya lama saya yang metode penciptaannya adalah poetic action (aksi puitis). Keduanya akan ditampilkan di Singapore pada Januari 2023 nanti.
Selain itu saya juga mengajar di Nanyang Academy of Fine Arts Singapore.
Bisa diceritakan kiprah Anda dalam Indonesia Bertutur?
Saya dipercaya oleh Direktur Perfilman, Musik dan Media dan Dirjen Kebudayaan sebagai Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2022. Tugas saya merancang keseluruhan konteks dan tema-tema terkait misi Ditjen. Kebudayaan dan Direktorat PMM (Perfilman, Musik dan Media). Tujuannya adalah menghadirkan kembali kesadaran akan warisan budaya dan menghubungkannya dengan kehidupan kita saat ini di era digital.
Namun sejak awal proses, saya tidak sendirian tentunya. Indonesia Bertutur adalah proses panjang yang melibatkan
banyak pelaku di manajemen, venue, dan kerjasama yang seksama dengan tim PMM.
Apa dasar pemikiran di balik tema Indonesia Bertutur?
Tema utama Indonesia Bertutur adalah
“Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan
Masa Depan”. Tema ini muncul dari semangat untuk menelusuri sejarah dan ilmu pengetahuan masa lampau bangsa
Indonesia, untuk mengembangkan pengetahuan tersebut menjadi pengetahuan yang menginspirasi, menguatkan, dan memperbaiki kehidupan saat ini melalui kebudayaan dan teknologi.
Apakah bekerja dengan banyak seniman yang punya pikiran dan karakter berbeda menjadi tantangan?
Oh pasti! Saya sendiri sebagai seniman yang masih aktif berkarya dan melakukan kegiatan lainnya di luar berkarya, di Intur mendapatkan tugas untuk memberikan arahan artistik, mengkurasi program dan memilih seniman yang terlibat untuk sebuah acara besar seperti ini. Hal ini tentunya sangat menantang karena di sini saya bukan sebagai seniman yang hadir dengan karya seninya, tapi menjadi perancang pemikiran dan pilihan artistik dari keseluruhan peristiwa. Tantangan yang paling utama adalah untuk tidak berpihak pada subjektivitas pribadi dalam soal selera estetik dan jenis kesenian.
Bagaimana perjalanan kesenimanan Anda hingga saat ini? Ada pengalaman yang tak terlupakan? Bagaimana lika-likunya?
Karena seniman adalah artist dan bukan “artis” maka prinsipnya bekerja mulai dari nol dan karyalah yang menentukan. Pemerhati senilah yang menentukan apakah karya seniman itu memiliki manfaat di luar nilai-nilai keindahan atau nominal saja. Demikian pula saya mulai dari bawah, dari nol. Banyak sekali produksi seni rupa dan seni pertunjukan yang mengandalkan modal dulu baru bekerja; saya justru sebaliknya, bekerja dulu baru memikirkan persoalan uang.
Apakah “performance art” merupakan “passion” sejak kecil atau ada sosok yang menginspirasi?
Saya tumbuh dari keluarga seniman tari dan musik di Solo. Ayah saya seniman dan guru tari dan seni ritual. Ibu saya dulu penari Jawa yang bagus. Saya lihat performance art pertama kali tahun
1989 ketika saya di Bandung nonton tayang film rekaman Joseph Beuys “I
Like America and America Likes me” (1974). Ketika saya diajak Marintan Sirait,
sahabat saya di Bandung, untuk gabung dengan Perengkel Jahe, sebuah kelompok eksplorasi aksi seni, saya mulai belajar beberapa bentuk alternatif yang tidak konvensional. Tari yang bukan tari biasa, musik tapi bukan lagu, teater tanpa acting, dan lain sebagainya. Bagi saya memang seni performans yang menjadi passion saya, terutama ketika sejak kuliah di Jerman, saya mempelajari praktik dan teori, sejarah estetika yang terkait dengan praktik ini.
Dari pandangan Anda, bagaimana sih dunia seni pertunjukan di Indonesia saat ini? Apakah sudah ideal?
Tergantung dari perspektif yang mana kita mengamatinya. Dunia seni pertunjukan banyak macamnya dan berbeda-beda ranahnya. Ada yang berasal dari kesenian tradisional, di daerah-daerah yang masih hidup dekat dengan kelokalannya yang khas. Cara produksi mereka pun bermacammacam, juga arahan kerja artistiknya berbeda-beda. Seni pertunjukan juga banyak yang dikelola dengan sistem manajemen industri dan bergerak di ranah hiburan. Yang ideal itu nilai di balik itu semua, yaitu kembali pada hakikatnya seni: apakah ia memberi inspirasi bagi peminatnya untuk memahami kehidupan yang sangat berlapis-lapis maknanya ini. Di Indonesia, apresiasi terhadap seni
semestinya ditumbuhkan terus, dan diperkuat di berbagai wilayah negara ini. Supaya tidak hanya tersentralkan di ibukota saja.
Apakah seni pertunjukan Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara-negara tetangga?
Kalau melihat soal sumber inspirasi, saya kira Indonesia tidak pernah akan kalah. Dalam percaturan internasional, from my humble opinion, yang utama
adalah bagaimana karya seni itu bisa
menyentuh pemahaman manusia melalui
pembahasaan rasa dan logika yang
universal sifatnya. Artinya jika tema karya
bisa menyentuh rasa dan pemahaman
masyarakat global atas tema tersebut, saya kira tidak diragukan pasti akan
menembus batas regional maupun internasional. Menurut saya, seni tidak
bisa dipisahkan dari bahasa rasa dan pengetahuan tentang kemanusiaan. Jika
kita melihat karya seni yang diciptakan
ratusan tahun yang lampau masih bisa
menyentuh masyarakat modern saat ini, salah satunya karena makna dari karya
tersebut masih menyentuh tema-tema kehidupan manusia di zaman sekarang.
Potensi apa yang seharusnya atau masih bisa digali lebih jauh terkait kebudayaan Indonesia? Apakah perlu kolaborasi antardisiplin seni?
Memperhatikan potensi sumber pemikiran dan inspirasi kreatif yang luar biasa kayanya di tanah air kita ini, sepertinya kebudayaan tidak akan pernah mati. Kebudayaan selalu berkaitan erat dengan bagaimana masyarakat kita tumbuh bersamanya. Kolaborasi yang alih wahana sebenarnya menarik juga terutama ketika pengetahuan diterjemahkan melalui kreativitas seni yang inovatif dan menginspirasi masyarakat banyak untuk mendapatkan pengalaman rohani seni sekaligus menambah wawasan pengetahuan. Misalnya dengan bercermin dari bentukbentuk ritual tradisi kita yang penuh dengan simbol-simbol dan pemikiran yang sangat memperhatikan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.
Di era modern ini, apa yang harus dilakukan agar kita bisa mencetak seniman yang ideal?
Seniman harus sadar di jalur mana dia bergerak. Ia juga harus paham tentang sistem produksi, jejaring dan bisa menjadi PR-nya sendiri, serta bisa swakelola. Ia harus paham apa agency dia melalui seni. Penting sekali bagi seniman untuk sadar akan waktu dan energi. Saya rasa karakter kemandirian dan kontinuitas dalam bekerja dan dengan keinginan untuk terus eksplorasi atau bereksperimenlah yang akan teruji. Profesionalisme tidak bisa didapat dengan tiba-tiba; ia membutuhkan proses pembelajaran yang bertahap. Dalam kerja kesenian, seniman harus bisa bertanggung jawab sepenuhnya atas karyanya, baik secara wawasan maupun artistik. Oleh karenanya, kita tidak bisa mencetak seniman, karena seseorang harus bisa memutuskan sendiri, apakah ia ingin menjadi seniman yang andal atau tidak.
(Prima Ardiani, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemdikbudristek).
Tempat dan tanggal lahir: Solo, 12 Juli 1969
Pendidikan : 1988-1993 : Universitas Padjajaran, Bandung, Jurusan Hubungan Internasional.
1994-2001 : Seni pertunjukan dan seni patung di The Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman.
2001-2002 : Postgraduate Program in Performance Art, The Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman
Dua perempuan yang menjadi pembimbing studi Melati dan mempengaruhi karya-karya seninya adalah Prof Anzu Furukawa dari Jepang dan Prof Marina Abramovic dari Serbia. Pada tahun 1996, Melati menampilkan tari “Kasyhyakashya Muttiku” bersama Yuko Negoro dari Jepang. Semenjak itulah, berbagai kegiatan seni pertunjukan di negaranegara Eropa ia ikuti. Pada tahun 1999 Melati tampil untuk Cardiff Art in Time di Wales, Inggris dan “Performance Festival Odense” di Odense, Denmark. Tahun 2000-2001 Melati tampil pada pameran “Anableps” di Gallery Miscetti dan juga “Festa dell’arte” Aquario Diroma di Roma Italia. Di Cork, Irlandia, Melati tampil dalam “Get That Balance”, National Sculpture Factory, Opera House.
Banda merupakan wilayah dengan penduduk yang majemuk, tersebar di delapan kampung adat. Mereka memiliki tradisi yang melimpah, satu di antaranya adalah ritual buka kampung, yang digelar jauh hari sebelum perayaan besar, didahului dengan musyawarah para tokoh adat. Ritual niscaya menjadi doa agar segala urusan di masa mendatang lancar dan penuh berkah. Oleh karena itu, selama sepekan ritual masyarakat harus menjaga kebersihan pikiran, hati, dan lingkungan. Perlengkapan ritual disiapkan: janur, bunga tujuh rupa, dupa, dan pernak-pernik sesajen. Malam hari setelah isya ritual pun dimulai. Pemuka adat menyiapkan tampak sirih atau wadah anyaman dari janur yang jumlahnya sesuai dengan jumlah makam leluhur yang akan diziarahi keesokan hari. Para perempuan menghiasi tampak siri dengan roncean bunga dan mengisinya dengan kapur, sirih, pinang, gambir, dan tembakau. Masyarakat juga menggelar ritual buka puang dua hari sebelum puncak perayaan, yaitu membuka jantung kelapa, memasang gerbang, dan kubah bambu. Puang yang dibuka diletakkan secara tertutup di rumah-rumah adat bersisian dengan benda-benda pusaka, properti tarian cakalele, dan perahu belang. Sesungguhnya ini adalah puncak pelaksanaan ritual buka kampung. Seusai buka kampung, masyarakat pun menari cakalele dan perahu kora-kora untuk
merepresentasikan patriotisme dalam
melawan penjajah di masa lalu. Saat hari besar, masyarakat di Banda Neira
menerima masyarakat Banda Eli yang
bermukim di kepulauan Kei, Maluku
Tenggara, yang pada 4 abad silam
bermigrasi. Tarian cakalele di Istana
Mini Banda Neira terasa lebih meriah
karena penarinya dari berbagai wilayah di Maluku. Ritual ditutup dengan tutup kampung. Setelah itu, cakalele dan perahu belang tidak boleh dipertunjukkan lagi hingga ritual buka kampung berikutnya.
(Darus Hadi, Direktorat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemdikbudristek).
Tampa sirih yang telah diisi dan dihias dikumpulkan di rumah adat