4 minute read

Membangkitkan Naga di Pecinan Glodok

Tema konferensi Tingkat Tinggi

G20 di Nusa Dua, Bali pada 15-16

Advertisement

November 2022 yakni “Recover Together, Recover Stronger” atau “Pulih Bersama, Bangkit Lebih Kuat” terasa sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) khususnya mengenai kota dan pemukiman inklusif, aman, tahan lama, serta berkelanjutan demi menguatkan upaya untuk melindungi dan menjaga warisan budaya dan alam (Bappenas, 2019). Kota berkelanjutan secara sederhana berarti kehidupan masyarakat yang berkembang dan berubah. Kota yang berkelanjutan juga berarti ruang menarik bagi masyarakat, budaya, perdagangan, dan ekonomi. Ruang tersebut menyediakan kesempatan untuk saling berinteraksi, bekerja, dan beraktivitas, sama seperti pendidikan yang mengembangkan potensi manusia, seperti ditulis Steven Cohen dan Guo Dong dalam The Sustainable City (edisi kedua, 2021). Tidak kalah penting pula adalah tantangan dalam pembinaan komunitas atau masyarakat berkelanjutan.

Kawasan Pecinan Glodok di Jakarta Barat dengan jejak peninggalan sejarahnya dapat dikatakan sebagai sumber daya budaya kota, sesuai pernyataan Ashworth dan Turnbridge dalam The Tourist-Historic

City: Retrospect and Prospect of Managing the Heritage City (2000), bahwa sejarah telah menjadi warisan dan warisan menjadi sumber daya kota. Pendekatan manajemen sumber daya budaya dapat diaplikasikan secara praktis untuk merekam, mengevaluasi, melindungi, dan menyajikan peninggalan masa lalu untuk masa depan kepada masyarakat, seperti ditulis Carman dalam Archaeological

Resource Management: An International Perspective (2015). Peninggalan masa lalu merupakan salah satu produk dari wisata berbasis budaya yang jenis kegiatan pariwisatanya menggunakan budaya masa lalu. Sumber daya budaya kawasan Pecinan Glodok yang dimaksud adalah sebuah kawasan yang menyimpan memori kolektif warganya melalui bukti fisik peninggalan masa lalu.

Pariwisata kota dimulai tahun 80-an terutama negara-negara di Amerika

Serikat dan Kanada (Anglo-American), berupa kegiatan pariwisata dihubungkan dengan rekreasi ke luar kota atau daerah pedesaan serta kontak langsung dengan alam, meski dalam pandangan para industrialis, kota dipahami sebagai tempat untuk kerja, perdagangan, dan pemerintahan. Di Kota Bologna, Italia pada era 70-an dan 80-an, masyarakat lokal memiliki inisiatif dan upaya dalam mendorong inisiatif kewirausahaan yang modern, seperti pariwisata, dengan menciptakan peluang sinergi antara konservasi bangunan bersejarah dengan perbaikan lingkungan, termasuk dalam regulasi perencanaan kota regional. Di

Indonesia, kita bisa melihat Kota Bandung, yang pada satu dekade belakangan terus dipercantik dan menjadi destinasi pariwisata berbasis warisan masa lalu, seperti di kawasan Braga.

Perkembangan dan pertumbuhan

Batavia (sekarang Kota Tua Jakarta) sejak tahun 1645 tidak bisa dilepaskan dari jasa Phoa Bing Am, seorang kapten Cina (kapitein der Chinezen) yang membangun kanal. Ia membangun kanal-kanal pada tahun 1648 untuk melancarkan jalur kayu ke daerah pembuatan kapal dan ke

Pelabuhan Sunda Kelapa, dan daerah di sepanjang kanal berkembang menjadi pemukiman yang didominasi oleh imigran Cina dan Eropa. Kota Batavia termasuk daerah yang sangat disukai imigran Cina sejak awal abad ke-19. Mereka berperan sebagai pedagang dan melayani jasa sebagai pialang antara pedagang pribumi dari pedalaman ke pasar internasional Asia Tenggara, meski Belanda lantas membatasi jumlah penduduk Cina dengan membuat peraturan imigrasi di kota-kota pesisir yang memicu pemberontakan.

Setelah pemberontakan tahun 1740, orang-orang Cina mulai ditempatkan di sekitar Kota (ommelanden), di kawasan yang dikenal dengan mana Petak Sembilan, mengacu pada peta lama bernama Chine Kwartier Sebanyak 5000 orang Cina yang memberontak dibunuh di belakang

Balai Kota Batavia atas perintah

Gubemur Jenderal Adrian Valckenier (1695-1751). Situasi memburuk karena meluasnya wabah malaria, kolera, dan pes di kawasan muara Sungai Ciliwung. Pascapembubaran VOC pada tahun 1795, Kota Batavia masih berkembang namun tidak lagi sehat. Gubernur Jendral H.W. Daendels saat memimpin pada 18081811 membongkar sebagian tembok kota dan kastil untuk pembangunan kota ke arah selatan atau weltevreden, kini daerah

sekitar Gambir

Sumalyo dalam

Tua (2007)).

Sumber Daya Budaya Pecinan

Sumber daya budaya dapat dipandang sebagai rekaman sejarah masingmasing suku bangsa, yang mencerminkan kehidupan dan penghidupan bangsa

Indonesia dengan segala aspeknya, baik sosial-budaya, ekonomi, maupun agama. Menurut sifatnya, sumber daya budaya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu, yang bersifat fisik (tangible) dan nonfisik (intangible), dan keduanya merupakan kekayaan sekaligus kepribadian budaya bangsa. Panjangnya rekaman sejarah manusia tersebut akan melahirkan warisan budaya, termasuk lansekap dan kawasan, yang di dalamnya terdapat sumber daya arkeologi.

Kawasan Pecinan berkembang dan memiliki sejarah yang panjang seiring dengan pertumbuhan kota-kota praindustri terutama kota-kota kerajaan lokal (Denys

Lombard dalam

Nusa Jawa Silang

Budaya Jilid III: Warisan Kerajaan-Kerajaan

Konsentris, 2005), yang kemudian mengalami kolonialisasi Belanda pada abad 17—20. Kota Batavia pada abad ke-18 begitu juga makin banyaknya migran dari daratan Cina yang datang dan berakulturasi dan berasimiliasi serta membentuk kawasan Pecinan (Glodok) sekarang. Di kawasan Glodok, Kecamatan

Tamansari, Jakarta Barat, misalnya, karakter historis kawasan tersebut sangat potensial untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata sejarah, yang pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu pusat kegiatan sakral dan pusat kegiatan profan.

Pusat kegiataan sakral diwakili oleh bangunan klenteng atau vihara dan gereja.

Klenteng dan vihara di kawasan pecinan Glodok cukup banyak, selain itu terdapat pula rumah abu marga, khusus untuk marga tertentu atau keluarga. Ada sekitar 5 klenteng atau vihara besar di kawasan pecinan Glodok, di antaranya adalah Vihara Budhi Dharma/Klenteng

Li Tie Guai, Vihara Ariya Marga/Klenteng

Nan Jing Miao, Klenteng Toa Se Bio, dan Klenteng Djin De Yuan, sedangkan gereja ada Gereja Kristen Indonesia

(GKI) Perniagaan dan Gereja Santa Maria De Fatima. Sedangkan pusat kegiatan profan, dalam hal ini adalah pusat-pusat aktivitas ekonomi yang dapat dijadikan destinasi wisata budaya dan warisan yang masih berdenyut meliputi pasar, jalan, atau gang, sekolah, dan rumah di kawasan Pecinan Glodok dan masih menunjukkan karakter kawasan bagian dari Kotatua Jakarta.

Pemanfaatan cagar budaya dapat dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Keberadaan sumber daya budaya di Pecinan Glodok yang menunjang tujuan pembangunan berkelanjutan ke 11: membangun kota dan pemukiman inklusif, aman, tahan lama dan berkelanjutan, target ke 4: menguatkan upaya untuk melindungi dan menjaga warisan budaya dan alam. Namun demikian, upaya pemanfaatan harus hati-hati dengan tetap mengedepankan prinsip meminimalisir kerusakan, juga mempertimbangkan pengembangan ekonomi kreatif berbasis cagar budaya lainnya, seperti pemanduan wisata, kerajinan dan lain-lain (Wiwin D Ramelam dalam Model Pemanfaatan Kawasan Cagar Budaya Trowulan Berbasis Masyarakat, 2015).

Dalam menunjang pembangunan kota berkelanjutan, kawasan pariwisata di perkotaan adalah bagian dari proses produksi sebuah kota yang tidak hanya dijadikan konsumsi. Jika berbagai upaya tersebut kita lakukan, boleh jadi kita sedang membangkitkan naga di Glodok, agar tegak berdiri lagi dan menyemburkan api.

(Ary Sulistyo, Penulis dan Peminat Sejarah Budaya)

This article is from: