4 minute read

Rumah Tuo Kampai Nan Panjang Masa Lalu untuk Masa Depan

Gerakan arsitektur berkelanjutan menjadi topik yang sering dibahas dewasa ini, terlihat dari tren desain perumahan yang mengusung konsep ruang terbuka, tanpa sekat, serta bukaan berdimensi lebar. Gerakan itu muncul untuk menyikapi pertumbuhan lingkungan binaan yang tidak diiringi dengan perencanaan yang bijak, sehingga menjadi salah satu penyumbang perubahan iklim dunia. Perencanaan semakin jauh dari penyesuaian iklim setempat, yang berujung mengandalkan teknologi sebagai rekayasa iklim penyebab pemborosan energi dan meningkatnya emisi karbon.

Union internationale des Architectes (UIA), organisasi asosiasi arsitek nonprofit yang mewadahi lebih dari satu juta arsitek di 124 negara menyatakan bahwa banyak bangunan dan industri konstruksi berdampak pada perubahan iklim. Dimulai dari peralihan lahan hijau menjadi lahan bangunan, proses pembangunan, hingga bangunan tesebut dimanfaatkan. Lantas, apakah kita menyadari bahwa bangunan tradisional Indonesia telah menggunakan konsep arsitektur berkelanjutan sejak dulu kala?

Advertisement

Arsitektur berkelanjutan merupakan arsitektur berwawasan lingkungan.

Mempunyai prinsip menciptakan lingkungan binaan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Indonesia mempunyai beraneka ragam arsitektur tradisional yang dapat menjadi sumber inspirasi dan pengajaran untuk penerapan nilai-nilai ekologis dalam membangun lingkungan binaan. Pada bangunan tradisional, masyarakat membangun melalui proses ujicoba.

Pengalaman sehari-hari merupakan referensi untuk setiap keputusan perencanaan.

Prinsip arsitektur berkelanjutan dapat dicapai melalui metode desain pasif, yaitu merancang bangunan sesuai dengan kondisi alam setempat seperti pada proses pembangunan bangunan tradisional. Metode ini menekankan pada kualitas ruang: kenyamanan termal, cahaya, penghawaan alami, serta kesehatan pengguna bangunan. Bangunan desain pasif akan menggunakan lahan secara bijak, dengan mengintegrasikan lansekap ke dalam perancangan, sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB).

Rumah Tradisional Minangkabau Rumah tuo kampai nan panjang, rumah tradisional Minangkabau merupakan salah satu contoh asitektur berkelanjutan, dibangun tahun 1700an. Merupakan rumah adat tertua di Nagari Balimbing, Batusangkar, Sumatera Barat, didirikan oleh Dt. Penghulu Basa dari suku Kampai. Rumah ini terdaftar sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Falsafah “Alam Takambang jadi Guru” menjadi prinsip dalam pembangunan rumah gadang. Alam adalah sumber dari pengajaran, sehingga rumah yang dibangun harus harmonis dengan alam sekitarnya dengan desain yang menawan dan menyatu dengan latar perbukitan.

Bukan hanya responsif terhadap iklim, rumah tuo beradaptasi dengan kebutuhan kaum pemiliknya tanpa menghilangkan sisi keindahannya. Sebuah rumah gadang bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal tetapi juga tempat mendidik anak dan kemenakan, serta menampung kegiatan kaum: musyawarah, batagak pengulu, dan kegiatan adat lain. Hal itu terungkap dalam pepatah ”Tampek maniru manuladan, paaja baso jo basi, sarato budi jo malu, kok tumbuah dilantai tampek duduak, banamo data lantai papan, licin balantai kulik, kato munfakat nan tujuan, elok diambiak jo mufakat, buruak dibuang jo rundiangan.”

Tata ruang rumah gadang dirancang lepas tanpa sekat pada ruang utama agar dapat menampung banyak orang. Bagian belakang merupakan kamar- kamar untuk anak perempuan, mengikuti sistem kekerabatan matrilineal yang dianut oleh suku Minang. Anak lelaki tidur di ruang utama, jika sudah balig akan tidur di surau. Ruangan di rumah tuo dibagi menjadi dua: bagian depan adalah ruang utama tanpa sekat untuk menampung aktivitas bersama keluarga, aktivitas kaum dan adat, ruang tamu, dan dapur. Bagian belakang adalah biliak (kamar tidur).

Rumah tuo kampai nan panjang menerapkan desain pasif yang sangat responsif dengan lingkungan sekitar.

Terlihat dari pemilihan bentuk yang diterapkan disetiap bagian bangunan. Batusangkar mempunyai iklim dengan rata-rata curah hujan dan kelembaban yang tinggi, serta suhu yang dingin pada malam hingga pagi hari, dan panas di siang hari. Curah hujan yang tinggi diatasi dengan desain atap yang curam sehingga air hujan cepat turun. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keawetan material atap, mengingat material atap asli adalah ijuk yang rentan rusak. Sedangkan untuk mengatasi suhu, rumah ini memiliki banyak bukaan lebar dan menggunakan material kayu dan bambu yang bersifat hangat ketika cuaca dingin, dan sejuk ketika panas. Atap yang tinggi juga berpengaruh dalam mengontrol suhu ruangan. Rumah ini memaksimalkan penggunaan sumber daya alami sebagai sumber energi, terutama untuk pencahayaan dan penghawaan.

Walaupun berbahan kayu dan bambu, rumah tuo kampai nan panjang masih bertahan sampai saat ini, sejak lebih dari 300 tahun lalu. Jangan heran, kayu yang ditentukan untuk struktur utama maupun elemen arsitektur adalah kayu berkualitas, dan dipilih berdasarkan kearifan lokal tentang pemilihan, penebangan, dan pengawetan kayu, sehingga kayu dapat berumur ratusan tahun. Pembangunan rumah tuo tidak menciptakan limbah karena memakai material alami.

Hal lain yang penting, dari total luas lahan 1600 m2, hanya 147 m2 yang digunakan untuk bangunan, itu sekitar 10% dari luas lahan, sedangkn 90% digunakan untuk halaman/lahan hijau. Bisa dikatakan, emisi karbon yang dihasilkan di lingkungan rumah tuo sangat kecil, kenyaman ruang akan dapat dirasakan apabila daya serap lingkungan seimbang dengan emisi gas yang dihasilkan. Tumbuh-tumbuhan dan tanah merupakan penyerap karbon alami yang paling efektif tersedia dalam jumlah banyak serta mudah didapat.

Berdasarkan data dari Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral, wilayah Batusangkar sebagian besar tersusun oleh endapan aluvium (lanau, pasir, dan kerikil, termasuk endapan rawa. (Qama) andesit Gunung Marapi, yang berumur kuarter, mengalami pelapukan yang cukup kuat berasosiasi dengan zona sesar aktif Semangko, sehingga Batusangkar termasuk daerah rawan gempa. Sadar dengan kondisi wilayah rawan gempa, rumah tuo ini menggunakan teknologi tradisional yang dapat meminimalkan kerusakan bangunan ketika terjadi gempa. Teknologi tersebut dapat dilihat dari material yang lentur dan ringan pada elemen arsitektur seperti kayu, bambu pada dinding dan lantai, serta ijuk pada atap, meski harus kokoh pada elemen struktural.

Rangka utama rumah tuo terbuat dari kayu lurus tanpa sambungan, dan harus memenuhi syarat yang sudah ditentukan. Elemen struktural dirancang lentur hingga dapat meredam gempa dengan penggunaan sambungan tidak kaku dalam menghubungkan setiap rangka utama. Sambungan antar rangka menggunakan sistem kait, ikat, dan pasak kayu yang masih fleksibel dalam menerima guncangan. Menurut penelitian, bambu mampu merespon gaya yang dihasilkan gempa lebih baik dibandingkan beton dan baja.

Dalam menentukan lokasi, rumah gadang mengikuti pepatah petitih adat: Nan lereng ditanam tabu, nan tunggang ditanam buluah, nan gurun buek ka parak, Nan bancah jadikan sawah, nan munggu ka pandam pakuburuan, nan gauang ka tabek ikan, nan lambah kubangan kabau, nan padek ka parumahan.

Pepatah ini menyampaikan pesan untuk memanfaatkan alam sesuai kondisinya, tidak perlu banyak intervensi untuk mengubah lahan. Dalam memilih lokasi rumah, misalnya, harus pada tanah yang keras dan datar sehingga tanah lebih stabil untuk meletakkan pondasi batu (sandi). Ingat ungkapan, sandi aman tiang selamat.

Rumah tuo terbukti dapat bertahan setelah ratusan tahun, sehingga dapat dijadikan rujukan prinsip arsitektur berkelanjutan yang berasal dari Indonesia. Dengan kata lain, prinsipprinsip yang dipakai oleh rumah ini dapat diterapkan pada bangunan modern saat ini, bukan dari segi masa dan bentuk, melainkan cara rumah tuo tersebut merespon lingkungan alam maupun komunitas penggunanya.

(Rohilfa Riza, S. Ars, Dit. Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemdikbudristek)

This article is from: