4 minute read
Melati Suryodarmo: Dari Indonesia untuk Dunia
Gelaran “Indonesia Bertutur” di kawasan Candi Borobudur mampu menarik perhatian masyarakat luas, dari generasi baby boomers hingga Gen Z. Melati Suryodarmo adalah salah seorang peracik di balik hajatan itu. Di jagat seni pertunjukan, siapa tidak mengenal sosok Melati? Ia berkesenian sejak kecil. Bakat itu ia warisi dari ibunya, seorang penari, dan ayahnya, Suprapto Suryodarmo, pendiri taman budaya desa Padepokan Lemah Putih di Desa Plesungan, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, yang juga dikenal penggagas olah gerak Joget Amerta atau Amerta Movement. Maka itu, berbincang dengan Melati seperti membuka ruang pemahaman lain mengenai makna kesenian dan bekerja untuk kesenian.
Mbak Melati, bisakah diceritakan latar belakang Anda sebagai seniman dan apakah kesibukan Anda saat ini?
Advertisement
Saya lahir di kota Solo, 12 Juli 1969. Saat ini saya sedang mempersiapkan tiga karya performans baru. Yang pertama akan saya tampilkan di Kochi
Muziris Biennale di Kochi, Kerala, India, Desember ini. Yang dua lagi adalah performance-lecture, sebuah presentasi gagasan yang digabung dengan aksi performatif untuk membahas ulang karya-karya lama saya yang metode penciptaannya adalah poetic action (aksi puitis). Keduanya akan ditampilkan di Singapore pada Januari 2023 nanti.
Selain itu saya juga mengajar di Nanyang Academy of Fine Arts Singapore.
Bisa diceritakan kiprah Anda dalam Indonesia Bertutur?
Saya dipercaya oleh Direktur Perfilman, Musik dan Media dan Dirjen Kebudayaan sebagai Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2022. Tugas saya merancang keseluruhan konteks dan tema-tema terkait misi Ditjen. Kebudayaan dan Direktorat PMM (Perfilman, Musik dan Media). Tujuannya adalah menghadirkan kembali kesadaran akan warisan budaya dan menghubungkannya dengan kehidupan kita saat ini di era digital.
Namun sejak awal proses, saya tidak sendirian tentunya. Indonesia Bertutur adalah proses panjang yang melibatkan banyak pelaku di manajemen, venue, dan kerjasama yang seksama dengan tim PMM.
Apa dasar pemikiran di balik tema Indonesia Bertutur?
Tema utama Indonesia Bertutur adalah
“Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan
Masa Depan”. Tema ini muncul dari semangat untuk menelusuri sejarah dan ilmu pengetahuan masa lampau bangsa
Indonesia, untuk mengembangkan pengetahuan tersebut menjadi pengetahuan yang menginspirasi, menguatkan, dan memperbaiki kehidupan saat ini melalui kebudayaan dan teknologi.
Apakah bekerja dengan banyak seniman yang punya pikiran dan karakter berbeda menjadi tantangan?
Oh pasti! Saya sendiri sebagai seniman yang masih aktif berkarya dan melakukan kegiatan lainnya di luar berkarya, di Intur mendapatkan tugas untuk memberikan arahan artistik, mengkurasi program dan memilih seniman yang terlibat untuk sebuah acara besar seperti ini. Hal ini tentunya sangat menantang karena di sini saya bukan sebagai seniman yang hadir dengan karya seninya, tapi menjadi perancang pemikiran dan pilihan artistik dari keseluruhan peristiwa. Tantangan yang paling utama adalah untuk tidak berpihak pada subjektivitas pribadi dalam soal selera estetik dan jenis kesenian.
Bagaimana perjalanan kesenimanan Anda hingga saat ini? Ada pengalaman yang tak terlupakan? Bagaimana lika-likunya?
Karena seniman adalah artist dan bukan “artis” maka prinsipnya bekerja mulai dari nol dan karyalah yang menentukan. Pemerhati senilah yang menentukan apakah karya seniman itu memiliki manfaat di luar nilai-nilai keindahan atau nominal saja. Demikian pula saya mulai dari bawah, dari nol. Banyak sekali produksi seni rupa dan seni pertunjukan yang mengandalkan modal dulu baru bekerja; saya justru sebaliknya, bekerja dulu baru memikirkan persoalan uang.
Apakah “performance art” merupakan “passion” sejak kecil atau ada sosok yang menginspirasi?
Saya tumbuh dari keluarga seniman tari dan musik di Solo. Ayah saya seniman dan guru tari dan seni ritual. Ibu saya dulu penari Jawa yang bagus. Saya lihat performance art pertama kali tahun
1989 ketika saya di Bandung nonton tayang film rekaman Joseph Beuys “I
Like America and America Likes me” (1974). Ketika saya diajak Marintan Sirait, sahabat saya di Bandung, untuk gabung dengan Perengkel Jahe, sebuah kelompok eksplorasi aksi seni, saya mulai belajar beberapa bentuk alternatif yang tidak konvensional. Tari yang bukan tari biasa, musik tapi bukan lagu, teater tanpa acting, dan lain sebagainya. Bagi saya memang seni performans yang menjadi passion saya, terutama ketika sejak kuliah di Jerman, saya mempelajari praktik dan teori, sejarah estetika yang terkait dengan praktik ini.
Dari pandangan Anda, bagaimana sih dunia seni pertunjukan di Indonesia saat ini? Apakah sudah ideal?
Tergantung dari perspektif yang mana kita mengamatinya. Dunia seni pertunjukan banyak macamnya dan berbeda-beda ranahnya. Ada yang berasal dari kesenian tradisional, di daerah-daerah yang masih hidup dekat dengan kelokalannya yang khas. Cara produksi mereka pun bermacammacam, juga arahan kerja artistiknya berbeda-beda. Seni pertunjukan juga banyak yang dikelola dengan sistem manajemen industri dan bergerak di ranah hiburan. Yang ideal itu nilai di balik itu semua, yaitu kembali pada hakikatnya seni: apakah ia memberi inspirasi bagi peminatnya untuk memahami kehidupan yang sangat berlapis-lapis maknanya ini. Di Indonesia, apresiasi terhadap seni semestinya ditumbuhkan terus, dan diperkuat di berbagai wilayah negara ini. Supaya tidak hanya tersentralkan di ibukota saja.
Apakah seni pertunjukan Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara-negara tetangga?
Kalau melihat soal sumber inspirasi, saya kira Indonesia tidak pernah akan kalah. Dalam percaturan internasional, from my humble opinion, yang utama adalah bagaimana karya seni itu bisa menyentuh pemahaman manusia melalui pembahasaan rasa dan logika yang universal sifatnya. Artinya jika tema karya bisa menyentuh rasa dan pemahaman masyarakat global atas tema tersebut, saya kira tidak diragukan pasti akan menembus batas regional maupun internasional. Menurut saya, seni tidak bisa dipisahkan dari bahasa rasa dan pengetahuan tentang kemanusiaan. Jika kita melihat karya seni yang diciptakan ratusan tahun yang lampau masih bisa menyentuh masyarakat modern saat ini, salah satunya karena makna dari karya tersebut masih menyentuh tema-tema kehidupan manusia di zaman sekarang.
Potensi apa yang seharusnya atau masih bisa digali lebih jauh terkait kebudayaan Indonesia? Apakah perlu kolaborasi antardisiplin seni?
Memperhatikan potensi sumber pemikiran dan inspirasi kreatif yang luar biasa kayanya di tanah air kita ini, sepertinya kebudayaan tidak akan pernah mati. Kebudayaan selalu berkaitan erat dengan bagaimana masyarakat kita tumbuh bersamanya. Kolaborasi yang alih wahana sebenarnya menarik juga terutama ketika pengetahuan diterjemahkan melalui kreativitas seni yang inovatif dan menginspirasi masyarakat banyak untuk mendapatkan pengalaman rohani seni sekaligus menambah wawasan pengetahuan. Misalnya dengan bercermin dari bentukbentuk ritual tradisi kita yang penuh dengan simbol-simbol dan pemikiran yang sangat memperhatikan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.
Di era modern ini, apa yang harus dilakukan agar kita bisa mencetak seniman yang ideal?
Seniman harus sadar di jalur mana dia bergerak. Ia juga harus paham tentang sistem produksi, jejaring dan bisa menjadi PR-nya sendiri, serta bisa swakelola. Ia harus paham apa agency dia melalui seni. Penting sekali bagi seniman untuk sadar akan waktu dan energi. Saya rasa karakter kemandirian dan kontinuitas dalam bekerja dan dengan keinginan untuk terus eksplorasi atau bereksperimenlah yang akan teruji. Profesionalisme tidak bisa didapat dengan tiba-tiba; ia membutuhkan proses pembelajaran yang bertahap. Dalam kerja kesenian, seniman harus bisa bertanggung jawab sepenuhnya atas karyanya, baik secara wawasan maupun artistik. Oleh karenanya, kita tidak bisa mencetak seniman, karena seseorang harus bisa memutuskan sendiri, apakah ia ingin menjadi seniman yang andal atau tidak.
(Prima Ardiani, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemdikbudristek).