4 minute read
Urat Nadi PeradabanBatanghari Sungai
Sungai Batanghari adalah kawasan penting dalam sejarah peradaban
Nusantara, khususnya Pulau
Advertisement
Sumatra. Jejak arkeologis dan historis memperlihatkan jalinan hubungan ekonomi dan politik kerajaan-kerajaan di kawasan Sungai Batanghari dengan India dan Cina. Hal tersebut tergambar dari tinggalan budaya di sepanjang Sungai
Batanghari, sungai yang menjadi jalan utama, urat nadi peradaban Sumatra.
Kawasan yang kini menjadi prioritas di sekitar Sungai Batanghari adalah
Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, . Berdasarkan catatan perjalanan Cina, Muarajambi pada abad ke-5 dan ke-6 menjadi pusat pendidikan
Buddhisme. Pada abad ke-7 dan ke-8, Muarajambi menjadi bagian dari Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya sebagai pusat peribadatan agama Buddha terluas di Nusantara. Sungai Batanghari menjadi saksi kemegahan Muarajambi. Sungai
Batanghari menjadi ruang penyimpan memori jaringan perdagangan, hubungan politik, serta interaksi budaya yang terjadi pada abad-abad tersebut. Di sepanjang sungai inilah peradaban pesat berkembang.
Berabad kemudian, sejumlah anak muda menyusuri kembali Sungai Batanghari, guna memaknai kembali tinggalan budaya Batanghari dan menjadikannya pelajaran bagi masa kini juga nanti.
Ekspedisi
Ekspedisi Sungai Batanghari berlangsung pada 12-22 Juli 2022. Pagi hari, 12 Juli 2022, lima puluh peserta Ekspedisi
Sungai Batanghari bersiap di Sungai
Dareh, Dharmasraya, Sumatra Barat.
Hari itu adalah pelepasan peserta untuk menyusuri kekayaan budaya di sekitar Sungai Batanghari. Mereka adalah peneliti, mahasiswa, dan pegiat komunitas budaya dari seluruh
Indonesia yang menekuni beragam ilmu, diantaranya sejarah, antropologi, arkeologi, teknik lingkungan, pariwisata, dan sosiologi. Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan dan Direktur Pelindungan Kebudayaan, Irini
Dewi Wanti memberi sambutan saat acara pembukaan, sedangkan Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Ahmad Mahendra melepas peserta ekspedisi.
Para peserta yang dibagi menjadi 10 kelompok itu menyusuri kekayaan budaya dari Dharmasraya di Provinsi Sumatra Barat hingga Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Timur di Provinsi Jambi.
Perjalanan tidak sepenuhnya melalui transportasi sungai. Ketinggian air yang dangkal di beberapa titik mengharuskan kami berganti-ganti moda, dari perahu tempel di Sungai Dareh sampai Situs
Candi Pulau Sawah, lantas naik bus menuju Situs Padang Roco. Di kedua situs tersebut para peserta makin memahami arti penting pelibatan masyarakat dalam upaya pelestarian cagar budaya.
Titik henti ketiga adalah Kerajaan Siguntur. Setelah menyebrangi sungai dengan ponton, kami disambut dengan pertunjukan tari toga, silek pangean, dan diperlihatkan pula pembuatan rendang paku. Observasi kemudian berlanjut di Masjid Tua Siguntur, Makam Raja-raja Siguntur, dan Istana Siguntur.
Keesokan harinya kami melakukan observasi di Situs Teluk Kuali, Tebo, Jambi, yang merupakan objek diduga cagar budaya. Tahun 1990-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui unit pelaksana teknisnya di Jambi pernah melakukan pendataan dan ekskavasi atas objek ini. Namun, dari struktur bata yang ditemukan dalam cekungan situs, kemungkinan bentuk candi belum dapat direkonstruksi. Kami juga mengobservasi Kawasan Kota Tua Tebo. Di sana terdapat makam, kantor pos, asrama benteng, pompa minyak, dan rumah sakit peninggalan kolonial, serta struktur tanggo rajo. Pada malam hari para peserta melihat praktik tari tari kliklang, lagu doa, nek pung, lagu panjang, dan turun mandi ke aek
Pada hari ketiga kami menuju Rambutan
Masam yang disambut Wakil Bupati
Batang Hari, H. Bakhtiar. Kami menikmati sajian kompangan, tari sekapur sirih, dan tari ngebeng. Kami juga mengobrol dengan para pemelihara situs di Makam
Keramat Johor dan Makam Keramat Adi
Tuo. Pada malam hari, kami mempelajari banyak hal mengenai tradisi nengok tuah budak, zikir syarrofal anam, mujuk selang, bakohak, juga kuliner gulai aghis pisang, permainan ayam-ayaman, dan permainan elang-elangan. Kami juga melihat objek diduga cagar budaya artefak keramat milik Desa Rambutan Masam.
Memasuki hari kelima, ekpedisi menggunakan jalur sungai. Perjalanan mulai terasa menantang. Para peserta tampak sangat berbinar mengarungi sungai dengan kapal milik Korps
Kepolisian Air dan Udara (Polairud) dan kapal milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kedua kapal tersebut membawa kami ke Muara Tembesi, kawasan yang memiliki bangunan-bangunan peninggalan kolonial. Kami seakan dibawa ke masa kolonial.
Pada 16 Juli 2022, berangkat dari Ancol, Kota Jambi, kami kembali mengarungi Sungai Batanghari dengan kapal Polairud dan BNPB. Misi berikutnya adalah menyusuri tinggalan budaya di Desa Simpang Tua Kabupaten Batang
Hari berupa pengetahuan tradisional pembuatan kapal. Bak jantung kehidupan desa, dari pembuatan kapal berdenyut kehidupan mayoritas warga. Selanjutnya, kami menuju Situs Makam Orang
Kayu Hitam di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yakni makam seorang tokoh penting dalam perkembangan pemerintahan Islam pada abad ke-16 di Jambi yang dikenal dengan nama
Orang Kayu Hitam. Meski tak berkaitan, di sekitar makam terdapat pula tinggalan berupa strukturstruktur bercorak Buddha.
Perjalanan berlanjut ke arah timur. Menjelang senja, kami tiba di Teluk Majelis, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Peserta menyaksikan tradisi kompangan, silat kampilan, dan babalas syair, juga mengulik sejarah Teluk Majelis, Manuskrip Syekh
Arifin, dan bahasa Teluk Majelis. Tari inai, tarian pada upacara pernikahan masyarakat Melayu sangat menarik hati para peserta. Malam terasa riang. Keesokan hari, kami menuju Tanjung
Solok, tempat tinggal Suku Duano yang termasuk suku laut tertua yang mendiami Kuala Jambi, Tanjung Solok. Kami disambut oleh warga yang antusias menjelaskan tradisi membuat jaring, bakul, tongkah, dan kapur dari kerang, juga penjelasan ihwal bahasa, cerita Sumbun, dan pengetahun melaut yang turun temurun di suku Duano. Oh ya, kami juga mengikuti ritual mandi mandi safat.
Pada 18 Juli 2022, kami berbalik ke barat ke Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi lalu ke Candi Gumpung dan Candi Kedaton. Hiburan malam berupa senandung jolo, musik gambang dano lamo, dzikir berdah, dan tkud membuat hati kami penuh.
Kegiatan berikutnya adalah seminar bertema “Batanghari: Dulu, Kini, dan Nanti” yang diharapkan dapat merekatkan para pemangku kepentingan dan masyarakat. Dirjen Kebudayaan
Hilmar Farid dan Gubernur Jambi Al Haris hadir memberikan kata sambutan. Para pembicara di antaranya Junus Satrio A. (Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional); Bambang Budi Utomo (IAAI); dan Lono L. Simatupang (Anggota Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia).
Rangkaian seminar diakhiri dengan pembacaan rekomendasi dan penutupan oleh Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Judi Wahjudin.
Kebudayaan dan Isu
Lingkungan
Sungai Batanghari mengalir di tengah
Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi, menghubungkan Sumbar
(hulunya di Gunung Rasan) dan Jambi. Sungai Batanghari bermuara di Selat Berhala, di Pantai Timur Sumatra ke Laut Cina Selatan. Sepanjang aliran sungai inilah banyak terjadi interaksi budaya yang jejaknya masih dapat dijumpai hingga kini. Ekspedisi ini membuktikan bahwa sebagain besar tinggalan budaya di sepanjang Sungai Batanghari identik dengan kehidupan masyarakat sungai, masyarakat maritim yang telah terbiasa hidup berdampingan dengan keragaman budaya.
Tradisi seperti turun mandi ke aek dan mandi air asin memperlihatkan bahwa masyarakat di sekitar Sungai Batanghari masih mempraktikan warisan budaya yang identik dengan sungai. Namun, air tidak lagi menggunakan air dari Sungai Batanghari karena sudah tercemar merkuri dari penambangan emas.
Pemukiman di sekitar Sungai Batanghari pun terdampak perubahan lingkungan. Akibat abrasi, hunian masyarakat di Teluk Majelis semakin bergeser. Mereka kehilangan banyak daratan. Permukiman di Teluk Majelis tidak lagi berhadapan langsung dengan sungai seluruhnya. Hal ini disebabkan perubahan besarbesaran di wilayah hutan disertai dampak gelombang dari kapal besar yang melintas dan menghantam tepian sungai.
Sungai Batanghari adalah penyimpan memori raksasa yang wilayah sekitarnya tidak hanya menjadi permukiman semata. Sungai Batanghari dan sekitarnya saat ini dimanfaatkan pula sebagai kebun rakyat, perkebunan kelapa sawit, pembudidayaan ikan, dan tempat penimbunan batu bara (stockpile). Pemanfaatan kawasan tersebut tentu memberi dampak pada lingkungan dan masyarakat.
Ekpedisi Sungai Batanghari menjadi satu usaha untuk kembali menyusuri urat nadi peradaban Sumatra. Hasil ekspedisi diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perumusan kebijakan yang bertujuan meningkatkan pembangunan kebudayaan di kawasan Sungai Batanghari.