3 minute read

Mencecap Manis Kipo, Mengunyah Kenangan

Merasa kepo dengan kipo? Datanglah ke Pasar Kotagede Yogyakarta, di sanalah pusatnya kipo, jajanan ringan sederhana yang bersejarah dan telah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda (WBTb) Indonesia pada 15 Agustus 2019. Kipo, penganan tradisional yang lazim disebut jajan pasar itu kabarnya hanya ada di Kotagede, pun hanya sedikit orang yang membuatnya. Hmmm…, apa benar?

Kami awalnya tidak terlalu percaya jika kipo hanya dijual di Kotagede. Di zaman sekarang, pisang ijo khas Makassar pun banyak kita jumpai di Jakarta. Aneka penganan dari berbagai daerah mudah kita jumpai di toko pusat oleh-oleh. Maka itu, sebelum menuju Pasar Kotagede, kami mampir ke Pasar Pathuk, untuk mengecek keberadaan kipo, dan ternyata memang tidak satu pun pedagang jajanan menjualnya. Meski demikian, fakta itu belum membuktikan bahwa kipo tidak dijual di pasar lain.

Advertisement

Kami membeli sepuluh bungkus kipo terakhir di sebuah lapak makanan tradisional di Pasar Kotagede. Satu bungkus berisi lima kipo, satu kipo berukuran satu ruas jempol tangan. Betapa mungilnya ukuran kipo, satu buah pasti kurang, lima buah terasa pas bahkan kurang. Mengenai ukuran kipo yang sangat kecil itu pasti ada penjelasannya, mungkin untuk memudahkan orang melahapnya, langsung satu kali santap, tidak perlu digigit. Jika hanya ingin mencicip sedikit, satu kipo cukup. Bentuk sebesar jempol tangan itu menjadi keunikan dan kekhasan kipo sehingga mudah diingat.

Paduan manisnya gula aren, gurihnya kelapa parut, dan pulennya tepung ketan memang terasa pas di lidah. Banyak jajanan tradisional yang menggunakan isian enten-enten atau unti kelapa yaitu campuran kelapa parut dan gula merah, sebut saja kue mendut, kue ku, kue poci, dan dadar gulung. Akan tetapi, tambahan bahan lain membuat rasa masing-masing jajanan berbeda sehingga namanya puh berbeda. Cara memasak dan kemasan juga membuat masing-masing penganan menjadi khas.

Penganan zaman dulu memang tidak rumit, karena disesuaikan dengan kebutuhan. Nama kipo konon adalah kependekan dari iki opo? (ini apa?), satu kalimat tanya pendek yang dilontarkan seorang anak sewaktu melihat penganan yang awalnya belum punya nama. Kipo merupakan jenis kue basah tradisional yang dimasak dengan cara dipanggang. Bahan utamanya adalah tepung ketan, kelapa parut, dan gula merah. Bahan tambahan meliputi daun suji untuk pewarna,

Hijau yang menggugah selera - https:// www.freepik.com/premium-photo/ kipo-traditional-food-from-kotagedeyogyakarta-indonesia-made-from-glutinous-rice-flour-dough-which-is-shapedflat-filled-with-grated-coconut-which-iscooked-with-brown-sugar_22427405. htm#query=kipo&position=12&from_ view=search&track=sph tepung tapioka untuk campuran adonan unti kelapa, dan kapur sirih untuk campuran adonan kulit.

Proses pembuatannya sederhana. Kulit kipo dibuat dari tepung ketan yang telah dicampur dengan air daun suji dan air kapur sirih. Isinya adalah enten-enten atau untuk kelapa yang dibuat dari paduan kelapa muda parut, gula merah, dan tepung tapioka yang diaduk rata hingga kalis dan tidak lengket. Setelah entenenten dimasukkan ke dalam adonan kulit ketan dan dibentuk sangat kecil, seukuran jempol tangan, lalu dipanggang. Pemanggangan kipo secara tradisional menggunakan pemanggang dari tanah liat yang dilambari daun pisang yang telah diolesi minyak goreng. Kipo pun dibolak-balik hingga matang.

Membalik-balik kipo dengan tangan kerap membuat orang tidak sabar, tidak telaten. Satu kilogram tepung ketan dapat menghasilkan 80 porsi dengan satu porsi berisi 5-6 biji kipo yang dibungkus daun pisang. Dibutuhkan waktu satu jam untuk menghasilkan 25 porsi. Sebetulnya jika alat pemanggang berukuran besar,

Apakah terpikir untuk memanggang kipo dengan menggunakan mesin oven, misalnya? Saya kira banyak orang berpikir demikian, namun hasilnya akan berbeda, dan kipo sebagai jajanan tradisional memang selama ini pun dibuat secara tradisional.

Penganan Bangsawan

Mataram

Kipo konon adalah satu di antara sekian jenis penganan para bangsawan Kraton Mataram, namun pamornya meluruh seiring runtuhnya Kerajaan Mataram dan bahkan merosot menjadi penganan rakyat jelata. Pada tahun 80-an kipo nyaris lenyap dari daftar jajanan pasar khususnya di Kotagede karena hampir tidak ada orang yang memproduksi.

Adalah Paijem Djito Soehardjo, seorang perempuan asli Kotagede, yang tidak pernah berhenti membuat kipo dan mengikuti pameran-pameran serta ruparupa perlombaan untuk mengangkat kembali pamor kipo.

Berawal tahun 1986, ketika Bu Djito menjadi peserta pameran makanan berbahan khusus tepung ketan di Hotel

Ambarukmo Palace yang digelar oleh

Dinas Pariwisata dan PHRI dan meraih juara empat, seperti dikutip dari buku

Kipo Bu Djito: Makanan Khas Kotagede Asli dan Pertama terbitan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Yogyakarta (2018).

Sejak itu, pameran demi pameran ia ikuti, seperti pameran di Manggala Wana

Bakti Jakarta yang dihadiri Tien Soeharto dan Pameran Adati Kraton Yogyakarta

Yogyakarta apalagi hanya Kotagede. Kipo diterima menjadi menu andalan untuk tamu, hajatan pernikahan, dan beragam acara.

Bu Djito mewarisi resep kipo dari ibunya, Mangun Irono, yang dulu kerap memasak kipo bersama teman-temannya. Mbah Mangun pada tahun 1946 menyerahkan pembuatan kipo kepada putrinya karena penglihatan matanya tidak lagi awas. Sejak itu, warung kipo milik keluarga yang berlokasi di Jalan Mondorakan Kotagede pun dinamai Kipo Bu Djito, merujuk nama peraciknya.

Karena Bu Djito makin berusia senja, putrinya Istri Rahayu melanjutkan usaha Kipo Bu Djito pada tahun 1991. Jenama Kipo Bu Djito tidak diubah karena nama itu sudah melekat kuat dan telah ditetapkan menjadi merek dagang. Istri meneruskan upaya mendiang ibunya untuk mempertahankan pamor kipo

Kipo Bu Djito meraih juara dua lomba makanan tradisional “Wisata Kampus” yang digelar Lembaga Pengabdiann

Masyarakat dan Dharma Wanita IKIP

Yogyakarta pada 1996 dan juara harapan dalam Lomba dan Pameran Makanan

Indonesia Kotamadya Dati II Yogyakarta pada 1999.

Kipo Bu Djito niscaya paling laris dipesan. Ketika kami mengunjungi tokonya di Kotagede, kipo sudah habis. Di atas meja ada tiga wadah besar berisi ratusan bungkus kipo yang semuanya sudah dipesan pelanggan untuk hajatan. “Kalau datang lebih pagi, mungkin masih kebagian,” kata cucu Bu Djito yang kami temui di tokonya. Apa boleh buat, lain kali kami pasti akan datang lebih pagi.

Membaca buku bahwa kipo telah ada pada zaman Mataram dan kini menjadi kekhasan Kotagede, rasanya perkataan Peter Munz dalam Historical

This article is from: