4 minute read

Hutan Adat Cisitu Leuweung MasyarakatHejo,Ngejo

“Mun aya, diayakeun, mun eweuh ulah diaya ayakeun…” begitulah pesan penting

Abah Yoyo Yohenda, Ketua Kasepuhan

Advertisement

Adat Cisitu kepada masyarakat dan tim verifikasi teknis hutan adat sebelum melakukan verifikasi subjek dan objek usulan hutan adat Cisitu. Abah Yoyo berpesan agar masyarakat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya serta tidak menambah atau mengurangi informasi kepada Tim Terpadu Verifikasi

Hutan Adat Kasepuhan Cisitu.

Tim Terpadu terdiri dari beberapa satuan kerja dan unit pelaksana teknis di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Informasi dan

Geospasial, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan

Masyarakat Adat Ditjen Kebudayaan

Kemdikbudristek, serta STKIP Setia

Budhi Rangkasbitung. Tim Terpadu yang dipimpin oleh Herry Yogaswara dari Badan Riset dan Inovasi Nasional memverifikasi berkas usulan hutan adat dari masyarakat adat Kasepuhan Cisitu terkait keberadaan subjek masyarakat adat dan objek hutan adat.

Hutan adat merupakan salah satu skema perhutanan sosial yang diberikan pemerintah melalui Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Skema lain meliputi hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), dan kemitraan kehutanan. Hutan adat harus dikelola oleh masyarakat hukum adat, yakni masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan peraturan daerah.

Untuk wilayah Kesepuhan Cisitu, struktur adat dipimpin oleh Abah Yoyo Yehenda yang yang dibantu oleh beberapa baris kolot Baris kolot tersebut terdiri dari dukun kolot, bengkong, catur galur, penghulu, paraji, dan pembantu dalam bidang lainnya. Dalam penerapan hukum adat, dikenal istilah tilu sapamilu, yakni tiga unsur penegak kebijakan yang harus diselaraskan penerapan, yaitu nagara, syara, dan mahaka (negara, agama, dan adat).

Masyarakat adat Kasepuhan Cisitu memiliki konsep tradisional dalam tata ruang wilayah adat yaitu leuweung tutupan (leuweung kolot), leuweung titipan, dan leuweung awisan. Leuweung tutupan/ leuweung kolot merupakan wilayah hutan yang sakral atau sama sekali tidak boleh digarap oleh masyarakat. Leuweung titipan adalah titipan dari karuhun sehingga untuk menggarapnya diperlukan wangsit dari leluhur. Lahan ini bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan mendesak, tentunya atas seizin dari sesepuh (ketua kasepuhan). Leuweung awisan adalah lahan cadangan, yaitu perluasan dari lahan garapan yang sudah dilakukan. Di lain pihak, negara melalui

Taman Nasional Gunung Halimun Salak memiliki zonasi dalam pengelolaan taman nasional, seperti zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lainnya (zona tradisional, zona religi, tradisional, rehab, khusus).

Tim verifikasi kemudian melihat tumpang susun dan irisan konsep pemanfaatan hutan dengan konsep zonasi dari taman nasional, dan ternyata terdapat persamaan fungsi hutan antara masyarakat adat kasepuhan dengan konsep dari taman nasional. Leuwung tutupan, misalnya, mempunyai fungsi yang sama dengan zona inti pada zonasi taman nasional, yaitu sebagai kawasan konservasi. Meski demikian, adakalanya temuan di lapangan menunjukkan adanya perbedaan pengelolaan antara konsep negara dan masyarakat adat, misalnya fungsi hutan produksi (sebelumnya dikelola oleh Perhutani) ternyata merupakan areal persawahan yang sudah dikelola oleh masyarakat sejak lama. Bisa jadi sawah juga merupakan leuweung (hutan) garapan.

Sebelum mengusulkan penetapan hutan adat kepada pemerintah, masyarakat adat terlebih dahulu harus mendapatkan penetapan sebagai masyarakat hukum adat, dengan peraturan daerah jika lokasi yang diusulkan berada dalam wilayah hutan negara, dan dengan SK bupati jika wilayah yang diusulkan berada di luar wilayah hutan negara (Permen LHK No. 9 tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial). Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu sendiri sudah diakui oleh pemerintah melalui Perda Kab. Lebak No. 8 tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Kab. Lebak.

Dalam proses persiapan maupun verifikasi penatapan hutan adat, wilayah adat maupun calon lokasi hutan adat haruslah “bersih”, misalnya sudah ada kesepakatan dengan wilayah adat atau pemerintahan desa tetangga dan tidak ada konflik. Proses-proses itu sekaligus menjadi media resolusi konflik terkait wilayah adat antara masyarakat adat internal maupun eksternal kasepuhan. Lebih lanjut, pemetaan partisipatif bertujuan agar masyarakat adat dapat mengenali objek maupun potensi di wilayah adatnya.

Interaksi dengan Hutan

Hutan pada masyarakat adat Kasepuhan

Cisitu memilki banyak fungsi. Leuweng tutupan berperan menjadi fungsi konservasi, menjaga kelestarian ekosistem, maupun sebagai wilayah tangkapan air yang dapat menjaga kampung kasepuhan dari bencana banjir dan longsor. Didalam hutan adat juga terdapat potensi hasil hutan yang dapat digunakan untuk kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya. Di dalam hutan terdapat rotan yang bisa dijadikan benda kerajinan atau aksesoris, seperti boboko (tempat nasi), tas kaneron, maupun gelang tangan.

Terdapat juga bambu, yang bisa dijadikan alat kesenian seperti angklung buhun yang terdiri dari gong-gong, panembal, kingking, inclok, Lower, dan dog-dog. Dalam suatu kesempatan diskusi dengan pemain angklung buhun, disampaikan bahwa permainan angklung menyampaiakan pesan bahwa alunan nada angklung buhun menyimbolkan keselarasan hubungan antara pemerintah, pelaku adat, hingga incu putu. Hal ini tercermin dalam keselarasan alunan nada yang keluar dari angklung buhun.

Potensi obat-obatan tradisional?

Tentu ada, sebut saja akar picung sebagai obat sakit perut, dengan cara direbus. Ada pula tuak ilat dari ilalang, yang diolah dengan cara mengambil airnya, kemudian diminum. Ramuan ini digunakan untuk mengobati batuk ataupun juga untuk obat mata dengan cara meneteskannya ke mata yang sedang sakit.

Banyak hal harus dilakukan pascapenetapan hutan adat, tidak hanya terkait konservasi namun juga interaksi antara masyarakat pemilik hutan adat dan adatnya. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam interaksi budaya masyarakat karena kebutuhan ekonomi, sosial, dan sarana budaya juga berada dalam wilayah hutan. Dalam kaitan dengan budaya, terdapat bahanbahan makanan tradisional ataupun obat-obatan tradisional yang terhimpun dalam memori dan pengetahuan masyarakat pemiliknya.

Pengetahuan tradisional mengenai pengolahan makanan atau pengenalan tetumbuhan sebagai obat tradisional hingga meraciknya hanya dimiliki oleh generasi tua. Proses pewarisan pengetahuan itu kadang mengalami kendala. Oleh karena itu, semangat anakanak muda adat perlu dibangkitkan, untuk menemukenali potensi budaya di dalam hutan adat.

Revitalisasi Adat Kasepuhan

Upaya-upaya tindak lanjut setelah penetapan sangatlah penting. Hutan adat haruslah dirasakan manfaatnya oleh incu putu yang ada di kasepuhan.

Undang-Undang No. 5 tentang Pemajuan Kebudayaan menyebutkan bahwa objek kebudayaan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan identitas bangsa maupun menunjang kekuatan ekonomi. Namun, sebelum itu, generasi muda dan incu putu lainnya harus mau menggali pengetahuan terkait objek pemajuan kebudayaan yang ada di wilayah adatnya beserta dengan potensi pengembangan dan pemanfaatannya. Pemerintah pusat maupun daerah juga turut hadir.

Generasi muda harus bersemangat untuk menggali pengetahuan tradisional dari para sesepuh/ kolot-kolot kasepuhan, dan selanjutnya menciptakan wadah atau ruang untuk pewarisan pengetahuan tradisional tersebut. Abah Yoyo Yohenda menekankan bahwa pengenalan budaya kepada generasi muda harus terus-menerus dilakukan agar mereka dapat memahami budayanya, kearifan lokal, maupun pengetahuan tradisional kokolot. Upaya nyata, misalnya, dengan mengikuti praktik-praktik budaya atau ritual yang dilakukan oleh para tetua, misalnya pada saat persiapan ataupun pelaksanaan seren taun, upacara selamatan dari suatu siklus penanaman padi.

Penetapan hutan adat diharapakan mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Cisitu. Pemanfaatan hutan adat haruslah seimbang antara kebutuhan ekonomi, keseimbangan ekologis, serta pemajuan kebudayaan. Dengan demikian, cita-cita masyarakat adat dapat terwujud, seperti slogan mereka: leuweung hejo, masyarakat ngejo (hutan lestari masyarakat sejahtera).

(Wewen Efendi, Pamong Budaya Pertama

Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat)

This article is from: