5 minute read

Membentangkan Pesan Melalui Wayang Beber

Apa kabar wayang purwa?

Wayang potehi? Wayang beber? Wayang golek? Beragam jenis wayang memang belum musnah, namun kritis. Masing-masing berjuang sendiri di semesta masa kini. Sungguh berat. Campur tangan pemerintah pada situasi ini rasanya menjadi wajib, tidak hanya karena undang-undang mengamanatkannya, namun karena pemerintah sebagai bagian dari unsur negara juga memiliki tanggung-jawab moral untuk melestarikannya. Komunitas atau perorangan yang peduli dan melestarikan warisan budaya takbenda tersebut tentunya patut kita apresiasi.

Advertisement

Rasanya --hampir pasti-- hanya karena cinta seseorang begitu bersetia menjaga warisan kearifan leluhur itu demi sejarah, kenangan, dan ilmu pengetahuan. Mari kita temui Indra Suroinggeno (kelahiran 1986), pecinta wayang yang mendirikan Museum Wayang Beber Sekartadji di Kanutan, Sumbermulyo, Bambanglipuro,

Bantul DI Yogyakarta dengan kocek pribadinya. Ia mencintai wayang beber dari hulu, dengan menanam pohon glugu (Broussonetia paapyrifera foliage) yang menghasilkan kertas dluwang, hingga hilir dengan menyebarkan pengetahuan wayang beber kepada anak-anak sekolah.

Indra membangun museum wayang beber di kediamannya, yang kemudian ia perluas dengan membeli rumah di sampingnya, milik kerabat. Tidak mudah mendirikan museum sendiri. Selain alasan finansial, regulasi juga harus diperhatikan. Indra pernah ditolak pemerintah daerah saat mendaftarkan museumnya, karena memenuhi syarat, misalnya tidak ada penyejuk ruangan untuk menjaga keawetan koleksi. Indra menjalani semua proses dengan sabar hingga museumnya kini dipercaya oleh sekolah kejuruan seni sebagai salah satu tujuan “kerja lapangan”. Jika pembaca Indonesiana ingin berkunjung ke Museum Wayang Beber Sekartadji, alamat dengan mudah dapat dicari di internet.

“Menanam pohon glugu itu mudah, karena akarnya tunas, jadi nanam satu tumbuh seribu. Yang sulit adalah kesabaran memproses kulit daging pohon menjadi kertas dluwang. Kertas dluwang ini dulu diproduksi untuk menggantikan lontar, mengakhiri era lontar, lalu berkembang hingga sekarang memakai kain. Tapi kertas dluwang ini masih dipakai juga,” tutur Indra ketika kami temui di museumnya yang asri, Juli 2022.

Pembuatan satu lembar kertas bisa memakan waktu satu pekan. Kulit pohon setelah diambil (diiris, dicukil, dilepaskan) dari batangnya lalu ditempa lebih dari seribu kali hingga tipis. Setelah itu kulit kayu difermentasi sampai tiga kali, dan dikuwuk atau dihaluskan dengan batu atau kerang menjadi sangat halus. Harganya? Rp 75 untuk satu sentimeter persegi.

Indra yang bernama asli Trias Indra Setiawan menempuh jalan berliku untuk sampai kepada titik mengabdikan diri pada pelestarian wayang beber. Setelah lulus STM Pembangunan jurusan Informatika pada tahun 2006 ia melanglang buana ke berbagai negara, bekerja di restoran dan kapal pesiar. Ia bertemu dengan banyak orang yang mengagumi budaya Indonesia dan bahkan menabung untuk bisa ke Indonesia. Saat itu Indra bertekad untuk pulang dan berkreasi di bidang kebudayaan. Orang asing sedemikian mengagumi budaya Indonesia, mengapa ia harus tinggal di luar negeri?

Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 2013, Indra menjadi pemandu wisata di Sono Budoyo Yogyakarta. Hatinya makin terpaut dengan tradisi Nusantara, khususnya wayang, hingga pada tahun

2015 mendapatkan beasiswa dari Sri

Sultan HB X untuk menuntut ilmu di Akademi Komunitas Negeri Seni Busaya Yogyakarta selama setahun. “Saat masih di Sono Budoyo, saya mendirikan Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit dan juga nyantrik di Pak Sagiyo Kasongan. Kata Pak Sagiyo, emosi kita harus menyatu dengan wayang yang sedang kita buat, misalnya membuat Semar, emosi kita harus berubah seperti Semar, harus bijaksana. Itu tidak mudah,” kata Indra.

Cerita Wayang Beber

Wayang beber diperkirakan telah ada sejak abad ke-9 dan berkembang pada tahun 1145 pada zaman Kerajaan

Jenggala era Prabu Suryawisesa yang menggunakan daun siwalan atau lontar sebagai “kanvas” menggambar. Seiring zaman, lontar diganti menjadi kertas dluwang, dan diganti lagi menjadi kain yang lebih fleksibel untuk digulung dan dibentangkan. Disebut wayang beber karena cara menceritakan dan memainkan wayangnya dengan cara melukiskannya di atas selembar kain (atau kertas) yang dapat digulung, lantas dibentangkan (dibeber) sedikit demi sedikit, perlahan, sesuai urutan penceritaan wayang yang telah dikelompokkan dalam beberapa pejagong (episode).

Pada masa mula keberadaannya, wayang beber mengambil cerita dari relief-relief di candi-candi, lantas digunakan untuk sarana penyebaran agama. Mengutip

Bagyo Suharyono dalam buku Wayang

Beber Wonosari (2005), kini hanya ada dua versi wayang beber yang dikenal masyarakat, keduanya wayang beber Pacitan dengan cerita Joko Kembang Kuning dan wayang beber Wonosari dengan cerita Remeng Mangunjaya.

Koleksi Museum Wayang Beber Sekartadjati cukup memadai meski tidak benar-benar lengkap. Museum ini menjadi museum yang memang khusus menyimpan koleksi wayang beber dan memberi rupa-rupa pengetahuan serta pelatihan wayang beber bagi para pecinta wayang utamanya para siswa sekolah dan mahasiswa. Hal itu patut diapresiasi.

Satu koleksi yang menarik perhatian kami adalah wayang beber lontar Sutasoma yang belum terdeteksi tahun pembuatannya, merupakan wayang beber tertua kedua dari daun lontar (wayang beber tertua kabarnya dilukis di atas batu sedangkan tertua ketiga ditulis di atas kertas dluwang). Wayang ini menceritakan barata yudha cangka ottara. Koleksi lain adalah wayang beber kamasan Ramayana dengan gambar

Indra mendapatkan hibah wayang beber Sabdo Praloyo Genggong yang menceritakan Arjuna dan wayang beber Romo Mangun Joyo dan Joko Kembang

Kuning yang merupakan wayang beber Pacitan. Sebagian koleksi Indra memang didapat dari hibah dan sebagian lain ia dapat dengan membeli kepada kolektor sebelumnya.

Kami berjalan pelan menelusuri koleksi milik Indra yang luar biasa itu. Kami berhenti di wayang beber Ireng Putih Nusantara yang indah. “Wayang adalah cahaya, adalah bayangan kita sebagai manusia. Saya yakin wayang tidak akan musnah karena kita bagian dari wayang. Kalau pakem, itu sesuatu yang diciptakan lalu disetujui serta dikukuhkan oleh masyarakat atau kelompok, sehingga kita tidak bisa memaksakan pakem kita pada yang lain,” tutur Indra.

Wayang Beber Pancasila

Indra pada tahun 2017 mengembangkan wayang beber Pancasila, yakni wayang beber yang menyuguhkan adegan-adegan yang menggambarkan pengamalan nilai-nilai dalam lima sila

Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Ia memandang bahwa wayang beber dapat menjadi media yang menarik untuk mengajak generasi muda lebih memahami nilai-nilai luhur Pancasila, sekaligus melestarikan wayang. Sekali tepuk, dua nyamuk tertangkap. “Bahasa kerennya, ini misi penguatan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam wayang beber melalui pendidikan karakter bagi masyarakat,” tutur Indra.

Indra yang menjadi pelukis sekaligus dalang menorehkan cerita di atas selembar kain berukuran 450 cm X 100 cm yang dibagi dalam lima pejagong dan tiap pejagong menggambarkan sila dalam

Pancasila. Pejagong pertama berjudul

“Gusti tan Kena Kinira, tan Kena Kinaya

Apa”, yang berarti Tuhan itu ada namun wujudnya tidak dapat diperkirakan.

Episode ini bercerita mengenai cara mencintai Tuhan secara vertikal maupun horisontal sesuai sila pertama Pancasila.

Secara visual, tergambar adegan seorang raja yang sedang mengajarkan putranya untuk bersembahyang dan bertoleransi dengan penganut agama lain. Visual lain adalah bangunan pura, stupa candi, orang-orang, dan hewan-hewan.

Pejagong kedua berjudul “Ratu Adil”, yang bercerita tentang prinsip-prinsip keadilan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Visualnya adalah sosok ratu, pohon rindang, ornamen kala, ornamen dua anak kecil bersayap, beberapa lelaki dan perempuan, congklak, tiga raksasa, dan bebatuan.

Pejagong ketiga yang berjudul “Gending Syailendra” menceritakan pentingnya membangun rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai keberagaman bhinneka tunggal ika. Tampak sekelompok orang sedang memainkan gamelan dengan kompak dan harmonis, lantas tampak pula sosok Sabdo Palon dan Naya Genggong yang tengah menari.

Adegan dalam pejagong keempat dengan judul “Rembug Manunggal Rasa” sebagai penggambaran sila keempat Pancasila adalah sekelompok warga yang tengah berkumpul di pelataran candi untuk bermusyawarah. Di sana terdapat tiga ornamen berbentuk matahari, stupa, dan arca-arca.

Sila kelima Pancasila tergambar dalam pejagong kelima yang diberi judul “Guyub Samudra”, yang ceritanya melanjutkan pejagong keempat. Kultur gotong royong diwujudkan dalam pelayaran di tengah samudra, maka itu visualnya berupa perahu, nahkoda, beberapa pemuda sedang mendayung, dan gelombang laut. Ada pula ornamen gajah, dua sosok leluhur, sekelompok perempuan, dan ornamen kala.

Meski disimpan di museum bersama koleksi-koleksi lain, Wayang Beber Pancasila paling kerap “keluar kandang” untuk dipanggungkan. Wayang beber mampu bertahan. Rasanya baik jika muncul cerita-cerita inspiratif lain menggunakan media wayang beber. Apakah tetap harus bergambar wayang? Nah, agaknya butuh diskusi panjang menyoal ini.

(Susi Ivvaty, Indonesiana)

This article is from: