4 minute read
Miss Tjitjih Jelang 95 Tahun Sandiwara Sunda
Kelompok Sandiwara khas Sunda Miss Tjitjih pada tahun 2023 yang akan datang akan berusia 95 tahun. Berdirinya kelompok toneel khas berbahasa Sunda ini ditandai dengan pertemuan Diva Sandiwara Sunda Sumedang, yaitu Miss Tjitjih dengan Aboebakar Bafaqih pemilik Komedie Stamboel keliling. Pertemuan itu terjadi di Sumedang ketika pemilik kelompok sandiwara keliling tersebut berpentas keliling Jawa Barat.
Menurut Syarifah Rohmah, ketua kelompok Sandiwara Miss Tjitjih, menuturkan bahwa pada tahun 1926, Sayyed Aboebakar Bafaqih, membawa toneel pimpinannya yang berbahasa melayu pasar mentas di kota Sumedang. Di sanalah Bafaqih kepincut dengan bertemu dengan Nyi Tjitjih yang sangat multitalenta serta cantik, bermain dan menyanyi dalam kelompok Sandiwara lokal di Sumedang.
Advertisement
Syarifah Rohmah atau Bu Omah, cucu Aboebakar Bafagih, mengisahkan bahwa ketika itu, Bafaqih terpesona dengan bakat Tjitjih yang pada usia 18 tahun telah sangat piawai berakting, menyanyi, dan menari itu. Memang, pada kisaran tahun 1926 saja Nyi Tjitjih sudah sering dipanggil mempertunjukkan kemampuan berkeseniannya di depan bupati Sumedang dan tamu-tamu undangannya.
Setelah pertemuan itu, Bafagih mengajak Nyi Tjitjih yang sudah berusia 18 tahun untuk diboyong ke Batavia dan bergabung dalam kelompok toneel keliling yang baru bentukan Bafagih yang diberi nama Opera Valencia. Bafaqih langsung tertarik mengajaknya masuk ke dalam perkumpulan sandiwara bentukannya, Opera Valencia. Ajakan Bafaqih tersebut disambut baik Nyi Tjitjih. Mulai saat itu Nyi Tjitjih menjadi bagian dari Opera Valencia.
Bu Omah selanjutnya menggambarkan betapa Tjitjih adalah kelahiran Sumedang tahun 1908 itu meskipun hanya berbicara dalam Bahasa ibunya, Bahasa Sunda, namun berkat kecerdasannya Opera Valencia terangkat dan digemari masyarakat, khususnya kalangan pribumi di Batavia.
Kelompok Toneel Miss Tjitjih
Bagaimanapun, munculnya Miss Tjitjih tidak dapat dielakkan dari kedatangan kelompok sandiwara “Bimanyurupa
Bangsawan” pimpinan Abubakar Bafagih ke Sumedang. Dadang Badoet, sutradara muda dan pembelajar teater yang sekarang tinggal dalam lingkungan Miss
Tjitjih ikut menambahkan bahwa Nyi
Tjitjih, pada awalnya hanyalah seorang gadis lugu asal Sumedang, Jawa Barat.
Dadang menambahkan bahwa Tjitjih muda memiliki paras cantik, kreatif dan penuh disiplin dalam berkesenian.
Dalam perjalanannya, Miss Tjitjih tampil sebagai primadona kelompok sandiwara “Opera Valencia” di bawah arahan Bafagih yang sangat piawai dalam mengembangkan kisahan, carangan dan teknik berteater ala Bimanyurupa Bangsawan. Kelompok ini dalam waktu singkat menjelma kelompok yang paling digemari dan diminta mentas dari satu tempat ke tempat lain, dari satu panggung ke panggung lain. Sebagai sebuah penghargaan pada tahun 1928 Opera Valencia diubah menjadi Miss Tjitjih Toneel Gezelschap yang awalnya bahasa pengantar Melayu menjadi Sunda.
Bu Omah Kembali berkisah bahwa pada tahun 1928 rombongan Miss Tjitjih pada masa awalnya menempati sebuah tanah kosong sebelah Bioskop REK di Kramat Munde Senen Jakarta Pusat. Perjalanan sebuah kelompok kesenian yang sangat panjang dan berliku-liku, sejak saat itu Miss Tjitjih telah menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat Jakarta, namanya semakin terkenal sehingga Miss Tjitjih tidak dapat dipisahkan dari nuansa budaya Jakarta. Bu Omah selanjutnya menambahkan bahwa pada tahun
1931, kelompok sandiwara ini pernah di undang untuk melakukan pertunjukan di Istana Bogor. Hal ini menandakan bahwa kelompok sandiwara ini cukup diakui oleh kalangan Pemerintahan Kolonial Belanda kala itu.
Menurut Bu Omah, sebagaimana dikisahkan secara turun temurun dalam kelompok Miss Tjijih, kelompok sandiwara Miss Tjitjih termasuk kelompk yang sangat produktif. Kelompok ini pentas keliling Jawa Barat dan termasuk Jawa Tengah. Repertoire-repertoir seperti Gelung Ciyoda (sanggul Ciyoda), Gelung Cianjur (gelung Cianjur), Gejed Milo,
Karnadi Bandar Bangkong (Karnadi Saudagar Kodok), Eulis Acih, Gagak Solo, Srigawa, Bentang Jaarbeurs (Bintang Jaarbeurs), Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama (Kesalahan anak dosanya orang tua), Mugiri, dan lain-lain merupakan andalan kelompok tersebut untuk dipersembahkan kepada masyarakat penontonnya. Memang, sebagian besar karya tersebut merupakan kisahan khas dari tatar Sunda.
Omah menambahkan, “semua tempat bisa dijadikan panggung. Miss Tjitjih bisa mentas di gedung bioskop, alunalun, pasar, atau lapangan kosong. Masyarakat pada waktu itu silih berganti mengundang pentas sehingga Miss Tjitjih harus berpindah-pindah. Dadang berkata bahwa semua jenis alat angkut sudah dimaksimalkan untuk memindahkan property dan perlengkapan pentas.
Miss Tjitjih Dalam Perkembangan Zaman
Sebagaimana diketahui bahwa yang khas dari Miss Tjitjih adalah di manapun berpentas mereka menggunakan
Bahasa Sunda, selain Nyi Tjitjih sendiri tidak bisa berbahasa Melayu—bahasa yang digunakan dalam kultur para kelompok sandiwara Stamboel kala itu. Bagaimanapun, Miss Tjitjih adalah kelompok sandiwara yang hidup dalam tradisi Tatar Sunda. Sudah dijelaskan di atas bahwa selain berbahasa Sunda kelompok ini memainkan repertoirerepertoir yang didasarkan pada kisahan yang hidup dan berkembang di tanah
Sunda. Tradisi Sunda inilah yang menjadi pembeda antara kelompok ini dengan kelompok sandiwara lain yang ada pada zaman yang sama seperti Mis Riboet, Miss Dja, dan tentu saja Dardanella.
Nyi Tjitjih meninggal dalam usia muda dan tidak sempat menikmati kemashuran kelompok toneel ini. Pada tanggal 27 Agustus 1939, Tuhan memanggilnya pada saat pentas di atas panggung setelah tuntas memerankan Sulastri dalam ceritera Gagak Solo.
Ada sebuah repertoire yang cukup fenomenal, yaitu Mencari Kembang
Wijaya Kusuma. Miss Tjijih, sang primadona digambarkan sebagai kembang indah yang sulit dicari dan tiada bandingannya. Pada puncak perhelatan Festival Teater Jakarta, pada penutupan Lebaran Teater (12/12/2022)
Dewan Kesenian Jakarta memilih lakon ini sebagai pemuncak perhelatan akbar tersebut.
Meskipun berkolaborasi dengan Wayang Orang Bharata dan berbagai kelompok silat dan sandiwara tradisi
Betawi, Miss Tjitjih tetap memilih untuk mementaskannya dalam bahasa Sunda di Teater Besar TIM. Dadang Badoet berkata bahwa bagi Miss Tjitjih pementasan ini merupakan sebuah usaha dari periode ‘baru’ yang coba dibangun dari sebuah kelompok sandiwara ‘lokal’ yang masih bertahan, dalam usahanya mempertahankan identitas ‘sunda’ melalui konsistensi penggunaan Bahasa
Sunda dalam kultur pementasannya, juga sekaligus usaha memperluas jangkauan penonton kekiniaan, disaat sandiwara
Sunda yang sudah mulai kehilangan animo menonton dalam kultur tontonan kekinian.
Dadang menambahkan bahwa Miss Tjitjih tidak hanya berhenti di titik ini. Miss Tjitjih juga berupaya menengok ke tradisi lain, yakni tradisi Eropa. Dadang
Badoet yang juga merupakan lulusan ISBI
Bandung ini menjelaskan bahwa Miss Tjitjih juga berupaya melihat kebudayaan lin, bahkan dari Eropa. Miss Tjitjih juga membawakan naskah Hamlet dalam versi Bahasa Sunda hasil terjemahan
Balai Pusataka sebagaimana di pentaskan di Makara Art Center UI (29/11/2018).
Dadang Badoet menambahkan bahwa hal itu merupakan semacam proses
‘perjumpaan’ dari sebuah kelompok lokal sandiwara terhadap ‘universal’ teater yang sudah lama berkembang.
Miss Tjitjih merupakan salah satu aset penting dalam pelestarian dan pengembangan Seni Budaya daerah khususnya Seni Budaya Sunda Jawa
Barat. Untuk menghargai kesetiaan dalam berkarya tersebut, atas prakarsa
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan
Yayasan Pembangunan Jawa Barat maka pada Tahun 1987 didirikan Gedung
Pertunjukan Sandiwara Miss Tjitjih di Jl. Kabel Pendek Cempaka Putih Jakarta Pusat.