4 minute read

SAMAN ACEH Quo Vadis

Sejak tarian saman asal Aceh ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda (WBTb) oleh UNESCO pada tanggal 24 November 2011, banyak harapan tersemat kepadanya, dari rakyat

Indonesia dan warga Aceh khususnya.

Advertisement

Betapa tidak, UNESCO dalam sidang penetapan yang diikuti sekitar 400 peserta dari 137 negara di Nusa Dua Bali mencatatkan tari saman asal Aceh, yang itu berarti sebuah kepercayaan sekaligus tantangan.

Banyak orang berdecak kagum saat menonton secara langsung tarian saman, mulai dari gerak lekuk yang ditampilkan, kekompakan, ketepatan, hingga kecepatannya. Popularitas tari saman di Indonesia termasuk istimewa,

“geleng-geleng” kepala ini. Setiap kegiatan kecil di sekolah atau desa hingga hajatan akbar pemerintah tingkat nasional, tari saman menjadi favorit dan selalu hadir. Tampilannya tak mengenal waktu, baik pada saat pembukaan acara formal atau non formal, penerimaan tamu, festival, bahkan pada penutupan acara apapun. Tari saman sangat luwes dan populer untuk ditampilkan di mana pun dan kapan saja, meski kemudian makna filosofinya mulai terkikis.

Menyoal Asal Usul

tidak berbeda dengan di Aceh, tempat asal lahir tarian

Saat tari saman mulai muncul ke tingkat nasional dan bahkan internasional, terutama pasca perdamaian Aceh, persoalan-persoalan mendasar mulai terkuak. Asal usul tari saman misalnya, ataupun susunan gerakan dalam tarian tersebut, juga lirik syair (lagu) di dalam tarian. Alih-alih perkembangannya hingga saat ini, sejarah tari saman pun kini diperdebatkan, yang oleh sebagian pendapat saling mencari dalil untuk memperkuat argumentasinya.

Meskipun asal usul tari saman disebut diprakarsai dan diperkenalkan oleh Syekh Saman, akan tetapi biografi tokoh ini pun tidak dijumpai secara detail. Beberapa sumber menyebutkan --meskipun harus ada pembuktian terhadap kajian-kajian sebelumnya-- bahwa Syekh Saman datang ke Aceh dan menyebarkan ajaran tarekatnya dengan syair dan gerakangerakan zikir. Namun di dalam berbagai sumber kontemporer, baik buku ataupun media daring, hanya disebut nama Syekh Saman yang datang dari Madinah ke Aceh pada abad ke-18 Masehi, tidak ada informasi lebih lanjut yang lebih komprehensif.

Dalam catatan Snouck “De Atjehers” disebutkan bahwa saman berasal dari tradisi luar yang meresap dalam tradisi tarian masyarakat Aceh. Diyakini bahwa tarian saman diadopsi dan dikembangkan dari tarekat Samaniyah (sammaniyyah) yang dibawa dari Madinah, kemudian tradisi keagamaan tersebut digemari oleh anak negeri yang beragama Islam. Namun tidak ada informasi bagaimana kemudian tarian saman masuk ke pelosok dan menyatu dengan masyarakat di tanah daratan tinggi, oleh sebab tarekat Saman atau Samaniyah itu beredar di pesisir Aceh.

Patut menjadi catatan bahwa tarekat Samaniyah, yang kemudian dianggap sebagai inisiator lahirnya tarian saman, diinisiasi oleh Syekh Muhammad bin

Abdul Karim al-Samani al-Hasani alMadani (1718-1775) yang menyebar ke beberapa kawasan, seperti Maroko, Sudan, Mesir, dan termasuk ke Indonesia.

Khusus di Aceh, tarekat Samaniyah juga digandrungi selain tarekat-tarekat muktabarah lain pada masa tersebut.

Walaupun belum ada penelitian komprehensif terkait persebaran tarekat tersebut di Aceh, akan tetapi ada tokohtokoh penting menjadi pengikut dan penyebar tarekat Saman, seperti Syekh Muhammad Saman yang berguru kepada Syekh Marhaban dan Muhammad Saleh. Tokoh-tokoh utama tersebut sezaman dengan Teungku Chik Di Tiro di masa rakyat Aceh melawan kolonial Belanda, bahkan Syekh Saman masih memiliki tali kekeluargaan dengan panglima besar Chik Di Tiro.

Lantas, benarkah mereka yang menyebarkan ajaran tarekat Samaniyah berafiliasi kepada penemu tarian saman?

Apakah Syekh Saman dan para penyebar tarekat lainnya memiliki kesamaan konsep terhadap tarian saman, atau itu salah satu kreasi yang dikembangkan oleh pengikut-pengikut tarekat

Samaniyah. Perlu ditambahkan, tokohtokoh tersebut tinggal dan berada di

Saman berbeda dari ratoeh jaroehttps://www.shutterstock.com/ image-photo/aceh-indonesia-august-13-2017-10001-1658244697 kawasan pesisir pantai utara Aceh, bukan dari dataran tinggi dan pedalaman.

Terlepas dari berbagai persoalan historis asal usul dan penyebaran tari saman di Aceh yang belum tuntas, muncul persoalan lain, yakni hak klaim dan status dasar tari saman yang disebut berasal dari wilayah tertentu di Aceh. Muncul protes dari pihak lain yang menganggap merekalah yang lebih berhak mendapat hak kepemilikan tarian saman. Persoalan tersebut muncul saat tari saman mulai menyebar antardaerah, melintasi wilayah-wilayah di seluruh Aceh, menembus etnis dan suku yang ada di kawasan Aceh. Tari saman pun menjamur di seluruh Aceh, meski setiap kelompok (baca: suku) mulai mempertanyakan orisinalitas dan keaslian tarian. Hadirnya variasi-variasi baru, syair atau lirik dalam sajiannya, hingga jumlah penari saman juga menjadi persoalan “klasik” hingga saat ini.

Perdebatan tarian saman juga merambah pada inovasi yang muncul dalam penampilan-penampilan tarian saman, mulai di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Misalnya, jumlah personil saat tampil menari seharusnya terbatas, bukan menjadi tarian massal. Sebagian seniman menganggap tari saman massal adalah terobosan baru, inovasi masa kini. Namun, kelompok “konservatif” menilai inovasi itu telah keluar dari aturan dan rukun tarian saman.

Penari Saman Perempuan

Persoalan “seksi” dan menarik tentang tari saman adalah munculnya para penari kaum hawa. Pembahasan ini banyak diminati oleh para seniman, pengamat, dan akademisi, yang tentu sangat hangat diperbincangkan. Apalagi ketika obrolan dan tulisan disandingkan dengan syariat Islam mengenai bagaimana seharusnya perempuan tampil di depan kaum pria, terkecuali anak perempuan yang belum baligh.

Gerakan tari oleh para perempuan penari tidak lagi patuh pada pakem saman.

Oleh karena itu, sebagian seniman menyebutnya tari ratoeh jaroe (gerakan tangan), istilah baru yang muncul dalam seni tari Aceh karena penampilannya didominasi kaum perempuan. Tujuannya bukan untuk menandingi saman, akan tetapi sebaliknya memperkuat seni tari dengan gerakan super cepat tersebut. Sejauh ini, para seniman menyepakati bahwa tari saman hanya ditampilkan oleh para lelaki, sehingga jika tari yang sama/ mirip ditampilkan oleh perempuan maka sebutannya menjadi berbeda, termasuk ratoeh jaroe itu.

Mencari Maestro

Persoalan yang juga belum mendapat solusi adalah keberlanjutan “syekh” dalam tari saman, atau sang maestro tari saman seharusnya menjadi program berkesinambungan mengenai pewarisan. Maestro adalah pehikayat saman yang dapat tampil di kancah nasional ataupun internasional. Ia harus mampu memahami dan menjabarkan makna serta nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam seni tari saman berikut liriknya. Dampaknya adalah pada menguatnya edukasi saman di berbagai daerah. Namun, saat ini hampir tidak ada lagi maestro.

Setali tiga uang, program edukasi dan pembinaan tari saman yang menjadi tanggung jawab pemerintah Aceh, terutama kabupaten/kota yang membidangi pendidikan dan kebudayaan, juga masih mandul. Tidak ada kurikulum dan muatan lokal tentang tari saman untuk jenjang sekolah-sekolah di Aceh. Ini aneh dan ironis. Saman sebagai warisan budaya takbenda dunia semestinya diselamatkan dari potensi kepunahan, sekaligus penyemangat untuk mempopulerkan seni tari lain yang mulai langka dan punah.

Tari saman telah menjadi milik dunia. Oleh karena itu, jangan sampai hilang ingatan kolektif masyarakat Aceh akan saman. Peringatan saman sebagai WBTb

UNESCO saban 24 November harus ditumbuhkan kembali. Pemerintah dan warga Aceh perlu menghidupkan nilainilai filosofi dalam tari saman: kecepatan, ketepatan, kekompakan, kebersamaan, penghargaan, toleransi, gotong royong, yang menjadi jati diri orang Aceh.

(Hermansyah, Akademisi UIN Ar-Raniry dan Filolog Aceh)

This article is from: