4 minute read
Tenun Ulap Doyo Kearifan Dayak Benuaq
Pulau Kalimantan memiliki kekayaan budaya jenis tekstil tradisional yang unik dan khas.
Satu di antara banyak produk tekstil tersebut adalah tenun ulap doyo. Kain tenun ini menjadi semacam identitas bagi suku Dayak Benuaq yang mendiami sebagian Kalimantan Timur. Bahan baku, proses pembuatan, dan motif khas kain tenun ini merupakan warisan budaya masyarakat Dayak Benuaq yang tak ternilai harganya.
Advertisement
Ulap doyo merupakan produk asli
Kalimantan Timur yang hanya ada di daerah Kutai Barat dan Kutai
Kartanegara. Mengapa hanya di dua wilayah tersebut? Dalam cerita yang berkembang, pada suatu ketika suku Dayak Benuaq merantau ke Kalimantan
Selatan dan membawa tanaman doyo, namun ternyata tanaman itu tidak bisa tumbuh. Masyarakat Dayak Benuaq akhirnya kembali dan menanam doyo di daerah asalnya, dan membudidayakannya sebagai tanaman yang digunakan untuk membuat kain. Karena alasan sejarah itulah ulap doyo disebut sebagai tumbuhan regiosentris khas daerah Kalimantan Timur.
Tanaman doyo (Curliglia latifolia) dan berbagai tumbuhan yang digunakan untuk pewarna alami kini sulit didapatkan akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan di Kutai Barat sejak tahun 90-an.
Kawasan hutan jadi semakin jauh dari permukiman penduduk. Doyo yang biasa tumbuh di ladang penduduk juga tak dapat ditemukan karena para petani beralih menjadi pekerja tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Kain tenun doyo terkenal karena memiliki kualitas yang bagus dan lebih alami. Ulap doyo berarti daun doyo. Tanaman doyo memiliki serat daun yang kuat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai benang dan ditenun menjadi kain oleh suku Dayak
Benuaq. Kain ini memiliki beragam motif yaitu motif Dayak dengan motif flora dan fauna. Keunikan lain dari tenun doyo adalah produknya bersifat eco-natural, artinya tidak menggunakan bahan kimia. Proses produksi juga menggunakan caracara yang alami. Menenun dengan sistem gedogan tidak menggunakan mesin.
Pewarnaannya menggunakan rempahrempah dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar lingkungan seperti kunyit kuning, hijau pandan, daun ketapang, serta aneka buah-buahan hutan yang sangat bermanfaat dalam proses produksi tenun doyo
Proses pembuatan tenun doyo dimulai dengan pengambilan daun doyo sekitar
60-100 lembar di hutan. Daun doyo kemudian direndam di air sungai hingga daging daunnya hancur. Setelah itu, serat daun doyo diambil dengan cara dikerik menggunakan sebilah pisau bambu. Proses penenuan dimulai dari memintal (moyong) serat doyo dengan cara membelah serat-serat doyo menjadi
2-3 mm dan kemudian dipilin menjadi benang. Serat ini kemudian ditenun dan dipilin menjadi benang kasar. Benang daun doyo tersebut kemudian diwarnai dengan menggunakan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan. Pada dasarnya, warna asli serat doyo untuk bahan tenun adalah berwarna putih atau krem. Agar warna kain tenun doyo menjadi bervariasi sehingga memunculkan motif-motif yang indah, maka digunakan berbagai jenis bahan pewarna.
Warna-warna dan bahan pewarna yang biasa digunakan dalam tenun doyo seperti disebut dalam buku Tenun
Doyo Daerah Kalimantan Timur karya U Achmad U, M Thafer, dan C.J Taihuttu (1994) meliputi: 1. Hitam. Warna ini diperoleh dari asap hasil pembakaran damar yang dicampur dengan cairan pekat. Selain itu, bahan pewarna hitam juga dapat diperoleh dari daun pohon kebuau yang sudah tua. Serat daun kebuau tersebut direbus bersama dengan serat daun doyo sehingga serat tersebut menjadi berwarna hitam.
2. Merah. Bahan pewarna merah untuk tenun doyo terdiri dari tiga macam, yaitu batu alam, biji buah glinggam, dan kulit batang pohon uar. Batu alam atau lado yang diperoleh dari Sungai Lawa Bentian Besar di daerah Tanjung Isuy ini hanya merupakan alat untuk memberi warna merah pada tenun. Caranya, batu alam digosokkan pada piring putih dengan sedikit campuran air, kemudian dicoletkan pada benang tenun. Lalu, biji buah glinggam (Annatto bixa orellana) yang agak tua yang telah dicampur dengan air diremas di dalam mangkuk hingga mengeluarkan cairan berwarna merah kental. Setelah itu, cairan berwarna merah tersebut dioleskan atau dicoletkan pada benang tenun kulit batang pohon uar. Kulit pohon dikupas dan dipotongpotong, kemudian ditumbuk hingga air getahnya keluar, dan selanjutnya direndam selama satu malam hingga airnya menjadi merah tua. Setelah itu, serat daun doyo direndam dalam air getah kulit luar selama beberapa jam hingga serat tersebut menjadi merah.
3. Hijau. Warna ini dapat diperoleh dari daun putri malu (Aminosa pudica) dengan cara terlebih dahulu dilumatkan, kemudian direbus hingga berwarna hijau kental, dan selanjutnya dioleskan pada benang tenun. 4. Kuning. Warna ini diambil dari umbi kunyit (Curcuma longa) dengan cara diparut dan diberi air sedikit, kemudian diperas hingga mengeluarkan cairan berwarna kuning kental, dan selanjutnya dioleskan pada benang tenun. 5. Coklat. Warna ini diperoleh dari akar kayu uwar dan oter dengan cara diambil getahnya dan kemudian dioleskan pada benang tenun.
Proses selanjutnya adalah menyambung serat benang satu demi satu hingga panjangnya mencapai 100-200 meter, kemudian digulung (muntal lawai) seperti bola sebesar kepalan tangan. Setelah itu, benang disusun dan dikencangkan hingga menjadi rapi dengan menggunakan alat yang disebut ngorak uta. Selanjutnya, benang diikat dan dilipat dua hingga menjadi sehelai kain. Helaian kain tersebut kemudian diberi warna dasar dan motif-motif sesuai keinginan pengrajin sebelum dijemur hingga kering. Langkah terakhir, pinggir kain dipotong dan dijahit sehingga terbentuklah lembaran kain doyo yang siap untuk diproses menjadi berbagai pakaian jadi.
Teknik pembuatan kain tenun doyo telah diwariskan secara turun-temurun melalui proses yang unik. Perempuan Dayak Benuaq mulai menguasai proses pembuatan tenun ini secara spontan sejak usia belasan tahun. Mereka menguasai tekniknya hanya dengan mengamati pekerjaan wanita yang lebih tua seperti ibu mereka dan orang tua mereka berulang-ulang, lalu mempraktikannya. Karena transfer keterampilan khas ini, hampir pasti sulit menemukan orang di luar suku Dayak Benuaq yang menguasai teknik tenun doyo
Motif Tenun Ulap Doyo
Secara umum, motif pada kain keramat doyo terinspirasi dari flora dan fauna di tepian Sungai Mahakam atau tema perang antara manusia dan naga. Motif pada kain juga menjadi identitas pemakainya. Motif waniq ngelukng misalnya digunakan oleh masyarakat biasa, sedangkan motif jaunt nguku digunakan oleh para bangsawan atau raja. Perbedaan strata sosial ini menandakan adanya sistem kasta yang berlaku dalam masyarakat, seperti yang terdapat pada umat
Cara memakai kain khas Kalimantan
Timur ini cukup beragam dalam kehidupan masa lampau. Tenun ulap doyo dapat digunakan baik oleh pria maupun wanita dalam upacara adat, tarian, maupun dalam kehidupan seharihari suku Dayak Benuaq. Tenun ulap doyo yang memiliki nilai sejarah, seni dan budaya lokal, merupakan salah satu dari 33 kain tradisional yang ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kita kini tidak hanya menjumpai tenun doyo dalam bentuk kain atau pakaian, melainkan untuk bahan tas, kerajinan tangan, dan topi. Perkembangan itu seiring peningkatan permintaan ulap doyo terutama dari wisatawan asing yang berkunjung ke sentra pembuatan ulap doyo di Kutai Kartanegara dan Kutai Barat.
(Edy Gunawan, BPCB Provinsi Kalimantan Timur)