6 minute read

Keris Membumikan Budaya

Keris pada awalnya merupakan senjata penusuk pendek atau senjata tikam yang terdiri dari dua bagian utama, yaitu bilah dan ganja yang melambangkan lingga dan yoni serta mencerminkan simbol harapan atas kesuburan, keabadian, dan kekuatan.

Keris bentuknya indah, asimetris (baik lurus ataupun luk), dan terbuat dari dua, tiga, atau beberapa macam logam yang ditempa menjadi satu, seperti dikatakan

Advertisement

Bambang Hasrinuksmo dalam Ensiklopedi

Keris (2008) dan Haryono Guritno dalam Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar (2006). Dalam perkembangannya, keris meninggalkan fungsi teknomiknya sebagai senjata dan berkembang dengan lebih menonjolkan makna-nilai falsafah dan filsafat hidup masyarakat Indonesia.

Keris dalam budaya masyarakat

Indonesia dihadirkan dalam seluruh fase perjalanan hidup sejak lahir hingga mati.

Keris sebagai sarana untuk membangun kesadaran manusia agar senantiasa ingat kepada penciptanya (Tuhan YME). Oleh karena itu, upacara-upacara keagamaan seringkali menghadirkan keris sebagai kelengkapan yang penting.

Keris, budaya asli dan jenius lokal masyarakat Indonesia itu pada awalnya berkembang di Jawa sejak abad ke-8, kemudian menyebar di hampir seluruh wilayah Nusantara, demikian disebut

Mubirman dalam Keris Senjata Pusaka (1980) dan Hamzuri dalam Keris (1993).

Bahkan menurut para pakar keris seperti Bambang Hasrinukso, Haryono

Guritno, dan Darmosugito, keris juga merambah Malaysia, Singapura, Brunei

Darussalam, Thailand, Myanmar, dan Filipina. Persebaran keris terjadi melalui perdagangan, perang, perkawinan, dan hubungan politik. Fakta ini kemudian melahirkan berbagai corak dan gaya keris yang mencerminkan karakteristik masyarakat pendukungnya, sehingga memperkaya khasanah dunia perkerisan.

Keberadaan budaya keris saat ini

Keris tergolong warisan budaya dalam domain kemahiran tradisional. Penciptaan keris tidak lagi hanya dipahami pada pembuatan bilahnya saja, namun juga warangka, hulu, pendok, selud, singep, blawong, dan perabot keris lainnya. Penciptaan keris mulai merata di berbagai wilayah di Indonesia. Jika beberapa waktu lalu dominan tumbuh di Madura, Surakarta, dan Yogyakarta, saat ini penciptaan keris di Jawa juga tumbuh di Surabaya, Malang, Tulungagung, Madiun, Magetan, Karanganyar, Kendal, Banyumas, Jepara, Kota Gede, Bantul, Gunung Kidul, Bandung, dan Bogor. Pembuatan keris juga tumbuh di Sopeng, Bone, dan Mandar (Sulawesi), lalu di Tabanan, Klungkung, Karangasem, Gianyar, dan Badung (Bali), serta Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Timur (Lombok). Di Kalimantan, terutama dijumpai di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Adapun di Sumatera Barat, Riau, Palembang, dan Jambi cukup menonjol seniman pembuat kelengkapan keris.

Penciptaan keris berdampak positif pada tumbuhnya upacara-upacara adat yang keberlangsungannya menghadirkan keris. Upacara daur hidup seperti tujuh bulanan kehamilan (mitoni), tedak siten, khitanan, perkawinan, sedekah desa, selamatan, hingga kirab budaya membutuhkan keris. Yang menarik saat ini semakin berkembang penggunaan keris dalam busana adat ataupun berbusana modern.

Pemerintah bersinergi dengan komunitas dan pemangku kepentingan secara proporsional mewujudkan berbagai rencana aksi yang tertuang dalam proposal keris ke UNESCO, juga mengacu pada langkah setrategis sesuai UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Berbagai langkah strategis tersebut antara lain:

1. Lahirnya Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) sebagai wadah insan perkerisan Indonesia yang dibidani oleh pemerintah melalui Puslitbang Kemdikbud pascainskripsi keris di UNESCO. Saat ini SNKI telah tumbuh menjadi organisasi yang cukup besar dengan beranggotakan lebih dari 200 sanggar/paguyuban di hampir seluruh wilayah Indonesia. SNKI aktif dalam berbagai kegiatan mulai penelitian, advokasi, publikasi, hingga edukasi. SNKI juga secara aktif melaporkan pekembangan budaya keris dalam kancah Internasional serta membumikan keris di mancanegara.

2. Berdirinya prodi keris di ISI Surakarta sebagai langkah strategis menuju “krisologi” melalui dunia pendidikan formal. Prodi keris merupakan mandat pemerintah, dan berdiri di Institut Seni Indonesia Surakarta semenjak tahun 2012 serta telah banyak meluluskan sarjana diploma empat yang mumpuni dibidang perkerisan. Alumni prodi keris memiliki kompetensi unggulan dalam aspek penciptaan, konservator, serta kurator keris dan senjata tradisional nusantara.

3. Berdirinya Museum Keris Nusantara di Surakarta yang didirikan oleh pemerintah melalui Kemendikbudristek. Museum dengan koleksi ribuan keris dari berbagai daerah Indonesia, dilengkapi ruang audio visual, besalen penempaan keris, dan ruang konservasi.

4. Standardisasi profesi bidang keris guna menjawab tantangan kebutuhan zaman sejak 2021 hasil kerjasama Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan dengan SNKI. Terdapat 29 skema bidang perkerisan yang merujuk pada aspek penciptaan, kuratorial, dan konservasi keris.

5. Pameran, bursa, dan lokakarya sebagai media edukasi dan promosi yang berdampak positif pada tumbuhnya ekonomi kreatif bidang pekerisan hasil sinergi dunia akademisi, sanggar/paguyuban, dan museum dan pemerintah. Muncullah

Keris Festival yang diinisiasi ISI

Surakarta, Jogjakarta International Heritage Festival (JIHF), Kirab Pusaka di Kabupaten Ponorogo, Kirab Keris Kyai

Tengoro (Museum Keris Surakarta), dan Tulungagung Keris Fest.

Tantangan

Sebagai karya budaya tradisi yang sarat makna nilai, dibutuhkan tranformasi yang kreatif guna memenuhi kebutuhan zamannya, namun transformasi budaya perlu dijaga secara ketat agar maknanilainya tetap terjaga dengan baik. Di sisi lain, tumbuhnya teknologi modern yang makin maju mendudukkan dunia ada di genggaman. Segala pengetahuan dan informasi terdapat di gawai.

Tantangan nomor satu adalah pewarisan pada generasi milenial. Budaya keris telah menunjukan perjalanan sejarahnya yang diwariskan turun-temurun semenjak ratusan tahun yang silam (dari abad ke-8). Namun demikian seiring perkembangan zaman dan derasnya pengaruh budaya luar, perubahan pola hidup dan kebutuhan di era modern yang serba praktis, cepat, dan instan, sehingga dibutuhkan pola pewarisan dan edukasi keris sesuai dengan pola dan pemahaman generasi milenial.

Tantangan kedua adalah maraknya keris sebagai media penipuan.

masyarakat, namun perlu dibekali pemahaman mendalam dan didudukkan secara proporsional. Selain itu maraknya keris-keris buatan baru yang dibuat kesan kuno menjadi bagian dari komoditi perdagangan, juga menumbuhkan traumatik masyarakat untuk memiliki keris.

Tantangan ketiga, penataan pangsa pasar keris sebagai ekonomi kreatif. Pangsa pasar yang meluas hingga mancanegara memberikan peluang ekonomi yang menjanjikan. Sayang, pengelolaan belum baik sehingga sering terjadi tumpang tindih. Suburnya monopoli oleh beberapa pihak makin memperlebar jarak kesenjangan antar pelaku budaya keris.

Terbatasnya edukasi, minimnya kurator yang mumpuni, dan banyak pembiasan pegetahuan keris, seringkali mendudukkan keris sebagai media penipuan. Pemahaman mistik, gaib, bertuah, dan keramat seringkali tidak dipahami secara utuh sehingga banyak masyarakat yang menjadi korban. Hal-hal mistis diyakini oleh sebagian

Tantangan keempat, lemahnya kuratorial. Tumbuhnya budaya keris saat ini tidak diimbangi dengan kuratorial yang mumpuni, berdampak sering memicu silang pendapat, dan berpotensi pemahaman yang bias. Oleh karena itu sertifikasi kuratorial penting segera dilakukan agar lahir kuratorkurator yang kompeten.

Tantangan kelima, pelestarian ekosistem keris yang belum merata. Tumbuh suburnya budaya keris bila dicermati belum merata dalam ekosistemnya. Berbagai bidang keris belum dikelola dengan baik, sehingga menjadi mata rantai yang rapuh dan mengancam budaya keris. Contohnya: Minimnya pewarisan panjak atau penempa, bahan kayu untuk warangka/hulu, minimnya pembuat perabot keris, kurangnya konservator dan kurator.

Minimnya aktivitas adat dan busana di mana arti penting keris dihadirkan juga perlu disikapi. Budaya keris seolah menjadi benda hias semata, sementara spirit yang dibentuk atas nilai-nilainya tak lagi hadir secara utuh. Kunci keberterimaan suatu warisan budaya hanya dimungkinkan karena adanya ekosistem yang terpelihara dengan baik, membuminya koridor makna-nilai, serta kreativitas yang berpijak pada akarnya secara kuat. Peran pemerintah, komunitas, dan seluruh pemangku kepentingan secara proporsional sangat dibutuhkan. Lestarilah budaya keris, jayalah bangsa Indonesia.

This article is from: