4 minute read
Dua Negeri Satu Pantun
Ketika kita membincangkan kebudayaan global, saat itu juga segala sekat primordial mustinya diruntuhkan. Populasi dunia menurut Perserikatan Bangsa Bangsa kini telah mencapai 8 miliar, dan di abad ke-21 ini rasanya hampir tidak ada kebudayaan di suatu tempat yang tidak beririsan dengan kebudayaan lain. Ketika mengulas budaya Melayu, misalnya, maka kita akan melihat kelompok masyarakat yang menghuni Semenanjung Malaya, Sumatra bagian timur, bagian selatan Thailand, pantai selatan Burma, Borneo pesisir termasuk Brunei, Kalimantan Barat, Serawak, dan Sabah.
Melayu tua telah masuk dan menyebar ke Nusantara sejak 2.500 Sebelum
Advertisement
Masehi dan identitas kemelayuan pun bertransformasi menjadi kemelayuan Indonesia, kemelayuan Malaysia, dan lainnya, seperti dikatakan dosen dan peneliti tarian Melayu, Julianti Parani, dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya (2011). Ada akar rumpun yang pernah menyatukan dan berkembang menjadi identitas masingmasing negara. Pada masa lampau, kemelayuan memiliki potensi beradaptasi yang melintas batas Nusantara maupun
Asia Tenggara bahkan hingga Taiwan, Zanzibar, dan Australia.
Maka itu, ketika kita membahas pantun, lebih khusus lagi pantun Melayu, tidaklah mungkin karya budaya itu hanya dimiliki dan diwariskan di Indonesia. Bahkan, kemelayuan di Malaysia, Singapura, dan Brunei bisa dikatakan lebih kental karena Melayu dipahami sebagai ras dengan variabel etnisitas yang luas (agama Islam, adat-istiadat, dan bahasa), berbeda dengan Melayu di Indonesia yang hanya merujuk pada satu etnik. Oleh karena itu, inskripsi pantun ke dalam daftar warisan budaya takbenda (WBTb) joint nomination Indonesia dan Malaysia di UNESCO pun menjadi masuk akal.
Proses pengusulan pantun ke UNESCO hingga diinskripsi pada Daftar WBTb
Representatif (Representative List of the ICH of Humanity) pada tanggal 17
Desember 2020 dalam sidang di Prancis dan Jamaika terbilang cukup panjang.
Selintas menengok ke belakang, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bersama Lembaga
Adat Melayu (LAM) mengajukan pantun kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan pada tahun 2016 dan pada 7—29 September 2016 digelar pertemuan awal untuk mengusulkan pantun sebagai WBTb UNESCO. Setelah paparan naskah akademik tanggal 3 November, muncul masukan-masukan, di antaranya belum ada penjelasan untuk mengantisipasi kemungkinan klaim oleh
Malaysia yang juga menggunakan bahasa
Melayu. Menjawab hal itu, pengusulan pantun bersama negara-negara serumpun dirasa lebih tepat. Namun, karena Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand ternyata belum siap, usulan pantun akhirnya hanya berdua dengan
Malaysia.
Keputusan usulan bersama ini sempat menuai penolakan, karena merasa
Indonesia lebih berhak. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa pantun masih digunakan oleh masyarakat Melayu, Bajau, Ida’an, Kedayan, dan Baba Nyonya di Malaysia. Adapun di Indonesia, pantun tidak hanya dikenal di Provinsi Riau dan
Kepulauan Riau, tetapi menyebar hingga ke Lampung melalui tradisi kias, juga di masyarakat Minangkabau, terus ke
Betawi melalui pertunjukan palang pintu dan rancak hingga ke Kalimantan Selatan, Manado, dan Ambon.
Pada perkembangannya, joint nomination pengusulan WBTb justru menjadi pilihan yang nyaman dan masuk akal, karena alasan teknis maupun ideologis. Menurut
Ketua Umum ATL, Pudentia MPSS, UNESCO pun mendorong pengusulan bersama oleh dua atau beberapa negara yang memang memiliki sejarah budaya yang beririsan. Kita tahu, belum lama ini Singapura bersama Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand dikabarkan mengajukan kebaya menjadi WBTb ke UNESCO.
Pantun yang Penuh Kiasan
Pantun yang kita kenal merupakan tradisi lisan yang turun-temurun di dalam masyarakat Melayu. Linguis dan orientalis berkebangsaan Inggris, William Marsden, di dalam bukunya
The History of Sumatra
(1783), menyebutkan bahwa karakteristik pantun Melayu penuh dengan kiasan dan merupakan ruh dari tradisi lisan tersebut. Adapun linguis Charles Adrian van Opuijsen menyebut pantun mempunyai kedudukan yang sama dengan genre puisi awal, karena pantun juga muncul dalam kehidupan awal masyarakat Nusantara. Menurut pakar bahasa
Melayu, Richard James Wilkinson, pantun menggunakan kata sembunyi, yang bersajak atau rima; bunyi yang menjadi sugesti bagi pendengarnya.
Pantun dihadirkan dalam peristiwaperistiwa religius-magis pada masa lalu. Pantun lantas berkembang memasuki ruang komunal seperti ritual dan upacara adat, yang bersama gurindam dan pepatah-petitih mampu menyemarakkan acara-acara adat, menjadi panggung kepiawaian berbahasa figuratif orangorang Melayu sampai kini. Selanjutnya, pantun masuk ke wilayah popular, dalam bentuk ekspresi-ekspresi estetis seperti dalam nyanyian/lirik lagu, dan pernyataan-pernyataan emosi dalam pergaulan antarindividu sehari-hari.
Dalam naskah akademik pantun yang disampaikan ke UNESCO, disebutkan beberapa contoh penggunaan pantun dalam kehidupan masyarakat di Riau. Dalam upacara adat, kita mengenal babalian (di daerah Rantau Kuantan), bulian (Talang Mamak), belian (Petalangan), bedewo atau mambang dewo-dewo (Bonai), tu-un jin atau buang lancang (Penipahan), buang talam (Bengkalis), bedikei (Sakai), dan upah-upah (Rokan).
Pantun dalam peristiwa komunal digunakan dalam aktivitas ekonomi seperti menggetah kuaran (di daerah Kuantan dan Kampar), batobo (Kampar, Rantau Kuantan, dan Tiga Lorong), menumbai, mengayun enau, timang padi, dan menangkap ikan. Pantun juga digunakan dalam upacara-upacara daur hidup. Pantun dalam seni pertunjukan, sangatlah banyak. Kita mengenal zapin (pesisir dan pedalaman), gambus batandang (Talang Mamak), kayat, randai (Rantau Kuantan), koba (Rokan), timang onduo (Rokan/Bonai), nandung (Inderagiri), badondong, basiacuong, (Kampar), gaden (Bengkalis), olang-olang (Sakai), dan masih banyak lainnya.
Peneliti pantun, Rendra Setyadiharja menukil satu pantun karya Haji
Ibrahim dalam bukunya
Pantun-pantun Melayu Kuno (1877) berisikan metafora atau komunikasi simbolik (Media Indonesia, 20/22/2022):
Buah berembang hanyut ke lubuk
Anak undan meniti batang
Kalbu abang terlalu mabuk
Menentang bulan di pagar bintang
Kata bulan melambangkan sempadan waktu atau suasana dan makna yang berhubungan dengan takdir serta masa depan, juga dapat melambangkan suasana romantis antarmanusia. Pantun ini boleh jadi menceritakan pemuda yang merasa romantis namun kurang elok untuk diperlihatkan, ditandai dengan kalbu abang yang terlalu mabuk.
Kita bisa melihat bahwa sampiran dalam pantun memang bukan sekadar kata penghias untuk mempermanis rima, namun juga berperan mengantarkan maksud dari pantun. Sampiran mampu mendeskripsikan kearifan lokal setempat, sehingga dari sampirannya saja kita dapat mengetahui bagaimana peristiwa, sejarah, budaya, tradisi, atau adat yang dimiliki. Pada intinya pantun mewarnai seluruh falsafah kehidupan orang Melayu.
Maka itulah, saat kita mendengar jenis “pantun buah-buahan” (pantun dengan sampiran nama-nama buah), rasanya ruh pantun menjadi terdistorsi, asal membuat rima. Misalnya, “Buah mangga buah delima, kalau adik sengsara abang pun menderita”, atau “Buah nenas buah jambu, hatiku panas melihatnya dirayu”. Jika melihat sisi positif, bolehlah “pantun buah-buahan” itu menjadi cara belajar, toh tidak mudah juga memproduksi kata- kata dengan diksi menarik hati.
Dipikir-pikir, memang tidak mudah mencipta pantun, apalagi dilakukan secara spontan. Begitu sulit. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pembelajaran secara terus-menerus, satu di antaranya dengan menyemarakkan upacara adat, perayaan daur hidup, seni pertunjukan, dan lain-lain dengan tebaran pantun. Ditetapkannya pantun sebagai WBTb
UNESCO milik bersama, Indonesia dan Malaysia, mustinya membuat pelestarian pantun menjadi lebih mudah, karena dipikirkan oleh “dua kepala”. Satu pantun milik dua negeri. Bukankah seharusnya demikian?
(Susi Ivvaty, Indonesiana).