4 minute read

NYOBENG

Sembah Syukur Dayak Bidayuh

Paduapm, ritual memanggil atau mengundang roh leluhur untuk datang dalam ritual Nyobeng, sekaligus memohon izin atas ritual yang akan dilaksanakan - Dit. Kepercayaan terhadap

Advertisement

Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat

Nyobeng merupakan upacara adat untuk mengungkapkan rasa syukur atas perlindungan Tuhan, menghormati perjuangan leluhur, dan mempererat persatuan antarsuku Dayak Bidayuh agar damai dan tidak terjadi kesalahpahaman. Upacara nyobeng merupakan tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Dayak Bidayuh Sebujit di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dalam bahasa daerah Dayak Bidayuh Sebujit, nyobeng berarti gawia nibakng atau bermain sibakng, sebuah instrumen perkusi, drum panjang yang digantung di dalam dan di luar rumah tradisional baluk.

Nyobeng sangatlah sakral. Puncaknya ialah membersihkan tengkorak manusia hasil pengayauan (membunuh musuh untuk diambil kepalanya) nenek moyang suku Dayak Bidayuh. Saat ini tentu tidak ada lagi pegayauan. Nyobeng dilakukan justru sebagai simbol untuk mendamaikan pihak-pihak yang pernah atau sedang bersengketa.

Dahulu kala suku Dayak Bidayuh yang tinggal di kampung Sebujit Desa Lhi

Buie Kecamatan Siding, Kabupaten

Bengkayang, Kalimantan Barat, kerap berperang demi mengumpulkan batas wilayah kekuasaan, dan hasil mengayau kepala musuh mereka bawa pulang sebagai tanda kemenangan.

Kepala musuh kemudian disimpan di memiliki citra sebagai orang-orang pemburu kepala. Mengapa kepala?

Ini dikarenakan suku Dayak Bidayuh meyakini bahwa kepala manusia memiliki kekuatan supranatural. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang telah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia serta penangkal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit, menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen, dan mengusir roh-roh jahat.

Hingga pada tahun 1894 lahirlah perjanjian tumbang anoy yang disepakati seluruh suku Dayak di daratan kalimantan (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam). Perjanjian itu berisikan kesepakatan untuk menghentikan berganti menjadi ritual. Setiap tahun pada bulan Juni, ritual nyobeng atau gawia nibakng berganti menjadi upacara perdamaian dan pertemuan sanak saudara serta penghormatan kepada rohroh leluhur. Mereka meminta restu langit atas nikmat hasil bumi, juga keberkahan.

Upacara nyobeng dilakukan untuk menghormati arwah para leluhur yang diyakini masih menjaganya. Tengkorak musuh dikumpulkan di rumah adat yang terletak di tengah desa. Setiap tahun, tengkorak yang dihasilkan dari ngayau dimandikan dan dibersihkan. Meskipun tengkorak itu pernah menjadi musuh, rasa hormat itu diturunkan dari generasi ke generasi. Upacara nyobeng tahunan merupakan simbol perdamaian,

Pelaksanaan Upacara

Tradisi nyobeng juga menjadi identitas suku Dayak Bidayuh serta menjadi daya tarik wisatawan bahkan menjadi upacara adat tahunan terbesar masyarakat Dayak. Oleh karena ini, pelaksanaan ritual tidak bisa sembarangan. Beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum ritual. Pak Amin, tetua adat suku Dayak Bidayuh bersama warga mempersiapkan berbagai keperluan ritual seperti sesaji berupa daun sirih, daun pinang, kapur sirih, tembakau, dan daun gambir. Warga juga membuat janur untuk digantung di depan rumah mereka, lalu juga menyembelih seekor babi yang darahnya akan dilumurkan di tiap tengkorak kepala. Para tetua adat menyiapkan berbagai sesaji yang ditetesi darah dari bagian sayap ayam.

Keesokan harinya sebelum matahari terbit upacara nyobeng diawali dengan ritual pemanggilan roh leluhur di rumah baluk, rumah adat berbentuk limas setinggi 15 meter. Ritual dipimpin oleh

Pak Amin. Ritual pemanggilan serta meminta izin ruh leluhur diiringi dengan mantra serta pemukulan sibakang atau bedug dan alat musik tradisional lainnya. Tujuannya untuk memberi semangat kepada kaum pria agar tidak gugup menghadapi musuh. Dalam konteks masa kini, musuh yang dimaksud bisa sangat beragam dan personal.

Setelah rumah baluk dibuka, mantra serta musik tradisional yang ada di dalam rumah harus terus dimainkan tanpa henti, alunan musik yang dimainkan juga sebagai tanda persahabatan. Sesaji tersusun rapih, ini merupakan penanda bahwa ritual nyobeng akan segera dimulai. Namun sebelum itu tetua adat dan masyarakat berkumpul di pelataran rumah baluk, melakukan ritual memotong bambu untuk sangiang atau tempat sesajian. Ritual dilanjutkan dengan namwey atau penyambutan tamu yang dilakukan oleh tetua adat dan para ksatria yang perlahan menuruni rumah baluk dan berjalan menuju batas desa.

Pada tahap ini para tamu undangan digambarkan sebagai anggota kelompok yang datang dari mengayau. Penyambutan dilakukan dengan pakaian adat sumpit, mandau, dan senapan lantak yang dibunyikan ketika para tamu undangan memasuki batas desa. Tetua adat dan ksatria juga berseru-seru sambil mengacungkan senjata. Seruan dan letupan lantak memang menjadi syarat dalam memanggil roh para leluhur sekaligus meminta izin berlangsungnya nyobeng.

Sebelum tamu benar-benar diperbolehkan memasuki desa, para perempuan melempar telur kepada seorang tamu. Jika telur ayam tidak pecah, maka tamu undangan yang datang dianggap tidak tulus atau masih ragu-ragu, sebaliknya jika pecah di badan berarti tamu undangan datang dengan ikhlas atau tidak ragu-ragu. Para tamu kemudian disuguhi makanan dan minuman ringan. Mereka juga diberi beras kuning yang ditaburkan ke bawah untuk mahluk halus serta beras putih yang dilempar keatas untuk Tipa Iyakng (Tuhan). Ketua adat membaca doa dan rombongan tamu diantar ke rumah adat baluk.

Ritual memotong kepala anjing menjadi salah satu ritual yang mengundang perhatian. Kepala anjing menjadi sesajian untuk para leluhur sekaligus sebagai penolak bala. Setelah itu, tetua adat, masyarakat, dan para tamu menari bersama.

Ritual yang bersifat hiburan dalam nyobeng adalah panjat aur atau memanjat pohon secara terbalik. Para tetua membaca mantra lalu memanjat tiang bambu dan memercikkan air ke tubuh para peserta dengan daun amhuang. Seluruh peserta menari di sekitar tiang bambu. Tradisi ini konon dilakukan oleh ksatria untuk menunjukkan kekuatan mereka.

Nyobeng bukan sekedar perayaan bagi suku Dayak Bidayuh, namun juga sebentuk ibadah dan ekspresi kegembiraan. Orang-orang dari berbagai suku berkumpul untuk melakukan tarian ini selama festival, untuk syukuran panen atau upacara pernikahan. Pertunjukan di pesta pernikahan sangat populer karena menarik banyak kerabat yang hadir. Nyobeng niscaya adalah bagian penting dari budaya Dayak yang menyatukan banyak orang. Tari nyobeng telah berkembang menjadi sebentuk seni unik dan menarik bagi penonton tradisional serta non-tradisional. Setiap kali digelar nyobeng, selalu ada warga Malaysia turut serta, bukan hanya karena mereka adalah bagian dari keluarga Dayak

Bidayuh, tetapi juga karena desa Hli Buei (Sebujit) terletak di daerah perbatasan.

Dayak Bidayuh hidup dalam tradisi berkerabat, juga percaya pada kekuatan gaib dari masyarakat primitif di sekitarnya. Mereka adalah bagian dari alam sehingga sering melakukan pengorbanan atau persembahan sebagai penghormatan terhadap alam. Kelahiran, kematian, dan keselamatan diminta dan dihindari melalui ritual. Penghormatan pada leluhur dan penghargaan akan kematian yang dilakukan Dayak Bidayuh mungkin didasarkan pada mitologi. Dalam konteks ini, mitologi membuat orang menyadari bahwa ada kekuatan magis di dunia ini, dan mitologi membantu manusia untuk menghargai kemampuan ini untuk mempengaruhi dan mengendalikan kekuatan alam dan suku-sukunya.

Nyobeng, yang sebelumnya adalah perayaan kemenangan atas musuh, kini menjadi ungkapan syukur atas hasil panen selama satu tahun, dan sekaligus mendoakan agar mereka tetap hidup damai.

(Darus

This article is from: