Telusur - Edisi 1

Page 1



edisi 01 ∙ september 2018

daftar isi

10 10 MENAPAK TANAH BAJAWA Satu langkah menujubayangan bayangankeagungan keagungan Lebih dekat menuju piramida Alam alam tertinggi Piramida tertinggi Pulau Pulau Flores Flores.

28

“THE BIG MOUNTAIN” Sekelumit kisah para Kartini Muda menebarkan semangat, mencapai atap Tanah Daeng

40

BERKENALAN DENGAN PANGGANG Latihan pemetaan sosial di sejumlah dusun yang berada di Desa Girimulyo

52

PULAU EMAS PUTIH? Ikuti perjalanan Ai dkk. mencari gua di pulau yang terkenal akan batu gamping dan garamnya

#throwback UGM International Expedition III - Trekking menuju Puncak Stok Kangri, Leh, India. Foto oleh: Arief Nasrullah

3


Para MC yang meramaikan suasana Pasar Kangen, Yogyakarta. (Iqbal S. Nugraha)

4


#artventure

Gua Cikarae, Desa Leuwikaret, Citereup, Bogor. Sesi fotografi bersama ISS dan Norman Thompson (M Reza K)

Suasana pertokoan di sebuah distrik perbelanjaan Kota Naryn. Hanya terlihat satu toko yang terbuka siang itu, dan dua orang melintas tak acuh. (Dimas Irham).

5


lingkungan

KERTAS ATAU PLASTIK? Saat kantong plastik mulai populer pada tahun 1980-an, para kasir swalayan mulai bertanya kepada pelanggannya: kantong plastik atau kertas? Sebagian memilih tas plastik karena lebih nyaman digenggam, sebagian lagi memilih tas kertas karena memiliki bentuk yang solid sehingga dapat berdiri tegak ketika diletakkan di bagasi mobilnya. Beberapa dekade sebelumnya, pelanggan tidak memiliki pilihan dalam urusan bungkus belanjaannya. Kertas merupakan satu-satunya wadah pembungkus untuk segala jenis keperluan, bahkan untuk membungkus daging atau ikan. Namun dengan perkembangan produksi HDPE dan paten desain kantong plastik oleh Celloplast — perusahaan plastik asal Swedia — pada tahun 1960-an, plastik mulai mengambil alih posisi tas kertas. Murah, kuat dan waterproof adalah alasan mengapa kantong plastik masih digunakan hingga saat ini. Sejumlah lembaga mengestimasi produksi kantong plastik mencapai satu triliun per tahunnya, terlepas dari segala masalah lingkungan yang ditimbulkan. Beberapa kota di seluruh dunia mulai melakukan perlawanan balik, seperti mengharuskan pasar swalayan menambah biaya tambahan untuk kantong plastik, atau bahkan secara penuh melarang penggunaannya. Penemuan Gustaf Thulin Sten ini memang merupakan inovasi desain yang memberikan kemudahan bagi pelanggan di seluruh dunia, meskipun di satu sisi kantong plastik juga merupakan benda yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk dapat terdegradasi secara alami. Tentu saja tas kertas juga dapat menimbulkan tumpukan sampah, belum lagi proses produksi kertas secara massal yang membutuhkan setidaknya satu pohon untuk ditebang. Pada akhirnya urusan kantong belanjaan ini bukan lagi tentang mana yang lebih ramah lingkungan, tapi tentang perang dagang antar toko/pasar swalayan. Pilihan terbaik antara kedua adalah: menggunakan kembali kantong belanjaanmu. Artikel oleh Kurt Kohlstedt , tersedia online di 99percentinvisible.org

6


teknol ogi

PERTANIAN MASA DEPAN Berkat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, pertanian saat ini tidak lagi identik

A ro u n d t h e wo rld , u rb a n fa rm s a re sp ro ut in g u p at t h e inte rs e ct i o n of dengan lahan yang tinggi. modern mulai diterapkan di berbn ew growin g teluas chn dengan o lo gi esrisiko a n d lo c alvoPertanian re m ove m e nt s . Th ey va r y in s c ale agai kota di seluruh dunia. Tujuan pertanian modern pada umumnya sama, yakni a n d fo cu s , b ut th e ir g o al s a re g e n e r ally sim il a r : p ro duce fr u it s a n d ve g e menghasilkan buah dan sayuran secara lebih efisien, murah, dan ‘hijau’. Dengan menciptakan t a ble s in m o re ef f i ci e nt , ch e a p e r a n d gre e n e r ways . lingkungan kegagalan hama, W h ile s opertumbuhan m e in it i at ive sayuran s fo cu s yang o n l aterkendali, rg e r-s c alerisiko o r cit y-sp e cif— i c seperti p ro du ct i o n , cuaca,a atau — lo dapat untuk t re n musim d i s deve p in gdiminimalisasi, at t h e sm alle rjuga e n d memungkinkan of t h e sp e ct r u m , e namemperoleh b l in g u rb a n hasil h o lebih m e own e rs a nPraktik d sm all b u sin e smodern s e s to dalam b e co m e pterbagi a r t of amenurut d i st rib ute d n et-fokus yang terukur. pertanian kota skala dan wo rk of p ro ductseperti i o n (much l ike 3 D p rintskala in g).menengah, IK E A , fo r exa m p le, skala n ow kecil/ of fe rsrumapengembangannya, indstri pertanian pertanian a npertanian ae ro p o n iterintegrasi c s k it fo r indengan do o r hsistem o m e gfasilitas a rde n inpelayanan g t hat n ekota, e d s ndsb. o s o il a n d u s es han, s e n s o rs to m o n ito r wate r leve l s biayadeve inputlomaterial teknologi untuk modern INamun, K E A al ssaat o reini, ce ntly p e d a pdan rotot yp e f a rm in g pertanian s yste m a im e d at masih let- terbilang banyak indoor farming tin g tinggi. re st auSelain r a nt situ, grow t h edari ir own in gre d i e nt yang s in -hanya h o u s e.dirancang A s wit huntuk l a rg menghasilkan bagian terbatas sayuran ketimbang buah e r-s c ale u rbtanaman a n fa rmyang s, th es e of(seperti fe r a crit i c al hijau) a dva nt a g e oveproduk r o utdo o r dan e qu ivale s: th ey re qu ire n o ro of to ps o r b a ck ya rd s to o p e r ate.. sayuran yangntrumit. Th e K RYD DA / VÄ XER hyd ro p o n i c g a rde n let s sp ro ut s e e d s wit h o ut s o il Di London, Inggris, tempat penampungan bom Perang Dunia II bawah tanah kini telu sin g a bs o rb e nt fo a m plugs t hat ke e p p l a nt s m o i st (wit h o ut ove r-wate rahin diubah ladang restoran Jerman, sebuah g, t h amenjadi n k s to a b u ilt-herba in s eyang ns o r).melayani G e rm inate d s elokal. e d s cDi a nBerlin, then b e t r a nsjaringan memperkenalkan fe rre dsupermarket to p ot s f ittelah te d into a growin g tpertanian r ay fe atumikro rin g avertikal s ol a r luntuk a m p. menanam Th e sayuran bagi pelanggan Diinpedesaan sayuran s yste m i s para desi gn e d to b ediedalam a s y totoko u s emereka. fo r eve n exp e r t gJepang, a rde n epabrik rs .

berteknologi tinggi dijalankan sepenuhnya oleh robot sehingga mampu memanen senilai 30.000 daun selada tiap harinya. (Sumber: 99 percent invisible)

7


Perjalanan menuju puncak Gunung Inerie dapat ditempuh melalui titik awal Desa Watu. Jalur ini merupakan alternatif dari Jalur Watumeze yang telah umum digunakan sebagai start dan finish point pendakian Gunung Inerie.


Sinergisme

Kampung Adat Bena

&

Gunung Inerie

9


Oleh Alfia Municha Foto oleh Sheila FIta Anjani dan Ansel Rema

Berawal dari mimpi tidak sempurna, yang sulit terwujud tanpa kerja sama Kemudian perjalanan kami pun dimulai. Di pagi hari yang cerah, kami disibukkan dengan persiapan keberangkatan 2 teman kami menuju titik impian yang selama ini kami idam-idamkan. Mereka berdua adalah jembatan awal yang menghubungkan kami dengan impian kami. Dengan tersenyum dan mengucap selamat tinggal, kami melepaskan kepergian mereka di Stasiun Lempuyangan. Tanggal 19 oktober, kami berangkat menyusul. Kami melewati jalur keberangkatan yang sama dengan 2 teman kami yang telah berangkat sebagai tim advance. Sesampainya di stasiun, kami merasa satpam di sana selalu melihat ke arah kami. Akhirnya satpam tersebut menghampiri kami dan bertanya “Mas mbak, mau kemana?” Hanif pun menjawab dengan santainya “Kami mau ke NTT pak.” “Barangnya banyak sekali, dik. Apa isinya?” Satpam tersebut kembali bertanya. “Buku, pak.” Kami mengira bapak tersebut penasaran karena melihat perawakan kami yang mayoritas kecil membawa tas ransel yang menjulang tinggi. Dugaan kami salah besar. “Dik, kalau bawaannya melebihi batas bawaan di dalam kereta, coba ditimbang dulu tasnya.” Ucapnya dengan santai. Kami heran, sebab biasanya sebanyak apapun barang bawaan tidak akan ditimbang. Akhirnya, kami semua menimbang tas kami satu per satu dan setelah itu membayar biaya kelebihan muatan. Tidak lama berselang, kami naik ke dalam dan kereta pun berangkat.

10

Hampir 8 jam kami disuguhi dengan berbagai macam pemandangan. Hingga akhirnya kereta sampai di Stasiun Wonokromo, kami pun turun. Kami disambut hawa panas Surabaya yang menyengat. Di sana kami bertemu Bang Udin, senior kami yang menawarkan diri untuk mengantarkan ke bandara. Tidak lama kemudian, kami sampai di bandara pada sore hari. Kami harus menunggu beberapa jam sebelum pesawat kami berangkat. Dengan sabar kami menunggu hingga mendekati waktu yang ditentukan, kami memasuki lounge gate untuk melakukan boarding. Masalah kembali muncul ketika tas Deswita melewati mesin x-ray. Petugas meminta Deswita untuk mengeluarkan barang gunting dan tripod yang dilarang dibawa ke dalam kabin. Alhasil aku, Deswita, dan Sheila harus mengurusnya. Ternyata pesawat kami delay selama kurang lebih 3 jam sehingga kami harus kembali menunggu. Sekitar jam 10 malam, pesawat akhirnya terbang menuju Kota Kupang.


Tak terasa, kami telah tiba di Bandara El Tari. Hawanya hampir sama seperti Surabaya, tetapi lebih pengap. Kami berterima kasih kepada orang tua dari Mas Zul sebab telah bersedia membantu kami dengan menyediakan tempat menginap. Bahkan yang membuat kami tidak enak adalah Beliau telah menunggu kami sangat lama karena keterlambatan pesawat. Kami pun pergi beristirahat walau hanya sejenak. Keesokan harinya, kami bangun pagi untuk menata logistik dan sesegera mungkin ke bandara. Oleh sebab logistik yang sangat banyak, kami mencoba meng-kargokannya. Kami pun terbagi menjadi dua tim. Tim pertama, Mas Mike dan Hanif bersama ayah Mas Zul pergi untuk mengirim kargo dan tim kedua, aku, Deswita, Sheila, dan Mbak Verent bergegas ke bandara. Awalnya, kami yang berada di bandara hanya bersantai-santai, namun mendekati waktu check in ditutup aku harus bolak-balik keluar masuk untuk mengurus boarding pass, memo-

Verent dan Deswita melintasi tumpukan kargo dalam persinggahan menanti kapal Pelni di Labuan Bajo ---

hon kepada petugas agar mencetak boarding pass tim pertama yang sedang dalam perjalanan. Untungnya 15 menit sebelum keberangkatan, mereka akhirnya tiba juga. Kami berpamitan dengan ayah Mas Zul dan berlari menuju gate keberangkatan. Kami pun kembali mengudara. Bandara yang sangat dekat dengan pantai memperlihatkan biru dan jernihnya air laut, kapal-kapal nelayan yang bersandar di tepi pantai, hingga jalanan Kota Kupang yang lenggang. Mataku tidak henti-hentinya memandang daratan yang sangat indah sampai aku melihat pemandangan putih seperti kapas dan mataku mulai terpejam. Beruntung ketika mataku kembali terbuka, aku tidak melewatkan hamparan perbukitan hijau yang indah dan jalan kecil yang meliuk-liuk seperti ular.

11


Pesawat kami mendarat di Bandara Soa yang sederhana dibandingkan bandara yang ada di kota besar. Di sana kami dijemput oleh teman Bang Andi yang memiliki jasa travel. Perjalanan dari bandara menuju Rumah Bang Andi ternyata cukup jauh. Di Rumah Bang Andi, kami disambut oleh Mbak Verent dan Ajun. Ajun kemudian menyampaikan hasil surveinya, tapi sebelum itu dia berkata “Mending kalian makan dulu deh, pusing nanti kalo tahu.” Kami pun makan siang bersama Mama Ita. Seusai makan, Ajun melanjutkan penjelasannya “Di Google Maps sudah dititikin tapi banyak banget, terus kalau mau ke puncak itu dari gambar hampir 90 derajat. Nggak tahu bisa dilewati apa nggak soalnya kalo kita keperosok, kita bakal jatuh nggelundung terus ke jurang sampai bawah.” Ujarnya sambil memperlihatkan gambar yang memperlihatkan jurang yang begitu besar di bawah jalur yang menurutnya akan menuju puncak. Kami melewati jalur yang bukan jalur pendakian umum sehingga belum ada data sama sekali mengenai jalur yang akan kami lalui. Kami hanya mendengar cerita tentang anak perempuan kepala suku Desa Watu mendaki ke puncak Inerie ketika hamil 5 bulan. Hal itu tentunya membuat kami heran karena hasil interpretasi yang kami lakukan menemukan medan yang sulit dengan kemiringan yang hampir 90 derajat. Ajun dibantu Bang Andi memiliki beberapa rencana cadangan. Kami akan berjalan tetap pada jalur sesuai di Google Maps. Jika memang tidak bisa dilanjutkan, kami akan berbalik dan menuju jalan pintas yang menghubungkan Desa Watu dengan Watumeze yang merupakan jalur yang biasa dipakai. Bang Andi juga menawarkan bantuan dengan memantau kami dari jalur Watumeze. Selesai menyusun rencana, kami segera membeli bahan makanan yang dibutuhkan. Sekitar pukul 5 sore, kami berangkat menuju Desa Watu. Melewati lenggangnya jalanan Kota Bajawa, menikmati senja dengan melihat puncak yang akan kami kunjungi dari kejauhan dengan merahnya langit sore sungguh membuat hati tenang dan tentram.

12

Dua jam kemudian kami sampai di jalan awal Desa Watu ketika hari sudah gelap. Kami disambut dan tinggal di rumah kepala adat selama semalam. Di sini, masyarakat percaya bahwa jika pendatang akan mendaki gunung harus melewati upacara adat. Jadilah kami mengikuti upacara adat agar diberi keselamatan ketika pendakian. Kami mengikuti upacara adat dengan khidmat dan tercengang karena kami belum pernah melihat upacara adat secara langsung, apalagi kami yang menjadi subjeknya. Kemudian kami diharuskan meminum minuman khas Flores ‘Moke’ dan mengusapkan darah ayam dari dagu sampai tengkuk kepala. Kemudian Bapak Niko melihat usus ayam dan membacakan ramalan dari usus tersebut. Setelahnya kami makan dan bertanya tentang jalur pendakian hingga puncak. Kami juga dikenalkan kepada anak Bapak Niko yang ketika hamil 5 bulan mencapai puncak Inerie. Bapak Niko juga menawarkan bantuan untuk mengantarkan kami ke puncak. Kami pun terlelap menanti hari esok menuju impian kami.

“Rasanya kami tidak ingin pulang”

Pagi-pagi buta, kami bangun dan sarapan bersama keluarga besar Bapak Niko. Setelah melakukan pemanasan, kami memulai pendakian. Jalanan sedikit menanjak dan jarang ada “bonus”. Kami berjalan hingga gubuk Bapak Niko yang masih dalam area perkebunan Beliau. Wajah kami jelas sudah menunjukkan lelah saat itu, tapi ini barulah awal. Kami disusul oleh dua mama dan anaknya serta saudara Bapak Niko. Mereka ternyata juga ingin menuju puncak Inerie. Dengan bekal yang sederhana, kami naik bersama. Setiap tanjakan dan tetes keringat yang terjatuh, menjadi saksi bisu bagaimana usaha kami menggapai mimpi. Setiap tulang kami seakan-akan kesemutan dengan beban logistik untuk 4 hari pendakian dan jalur yang luar biasa menanjak. Tetapi semua itu tidak membuat kami menyerah.


Kondisi medan Gunung Inerie yang mulai berubah selepas batas vegetasi, yakni semakin miring, berpasir, dan banyak batuan kecil yang ambles ketika dipijak. Untuk melewatinya dibutuhkan teknik moving together atau alat bantu seperti tali kernmantel atau webbing.

13


Ngadhu dan Bagha yang terletak di tengah Kampung Bena merupakan representasi nenek moyang laki-laki dan perempuan sebagai bentuk peninggalan tradisi megalithikum

Kami masih bisa tertawa ketika makan siang d i tempat yang curam karena tidak ada tempat datar. Di sini kami harus berpisah dengan Bapak Niko serta keluarganya dikarenakan mereka harus kembali sebelum malam. Tapi, mereka dilarang kembali sebelum mencapai puncak. Bapak Niko berkata bahwa ia akan meninggalkan tanda agar mempermudah kami di perjalanan. Setelah makan siang, kami kembali melanjutkan perjalanan yang lebih berat hingga sore menjelang. Kami sudah lelah sekali hingga membuat Ajun dan Mas Mike sedikit berselisih. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari tempat camp. Kami tidak yakin akan menemukan tempat landai yang lebih baik dari tempat kami sekarang untuk mendirikan camp. Setelah makan dan evaluasi kami pun tidur di zona kemiringan. Sedikit

14

tidak nyaman memang, tapi ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Paginya, badan kami sakit semua dan kami sudah bergeser dari posisi awal tidur. Kami segera bergegas menuju puncak dengan dipimpin oleh Hanif. Dia mengikuti petunjuk yang Bapak Niko berikan sampai pada titik di mana kami kehilangan tanda tersebut dan mencoba terus berjalan menuju batas vegetasi. Sesampainya di batas vegetasi, suasana benar-benar berbeda. Tempat itu lebih curam, lebih berpasir, lebih berbatu, dan lebih horor. Jika terperosok dan tidak bisa mengendalikan trekking pole atau kaki maka itu adalah akhir bagi kami. Ajun berkomunikasi dengan Bang Andi untuk menentukan titik koordinat di mana kami akan bertemu. Ternyata kami terlalu melipir sehingga kami harus bergerak menyamping lagi dan menyebrang ke jalur yang mengarahkan kami ke puncak. Jalur itu adalah jalur yang paling menantang dalam hidupku. Kami lama berkutat di sana. Terpeleset, terpelosok, terbentur menjadi makanan kami. Kami sampai harus melakukan moving together karena bahaya medan. Kami harus menggunakan tali agar dapat membantu kami untuk mengamankan satu sama lain. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya kami berhasil menggapai mimpi kami di ketinggian 2245 mdpl. Dari atas kami melihat kampung adat yang mengelilingi Gunung Inerie, indahnya laut dan Pantai Aimere, sabana yang membentang


Partisipasi warga Kampung Bena dalam upacara adat Wa’e Sa’o. Mereka tengah mempersiapkan bambu dan ijuk yang dibutuhkan sebagai komponen dasar penyusun atap rumah adat (bawah). ---

di bawah, serta birunya awan di langit. Semua itu seperti lukisan dalam kanvas, tapi ini nyata. Puas kami di puncak, kami turun menuju puncak bayangan tempat camp Bang Andi. Jalurnya tidak jauh berbeda, hanya saja lebih menakutkan ketika turun karena seperti perosotan berpasir dan berbatu yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan kami. Tidak lama berjalan, kami sampai di persimpangan dekat Gua Maria dan bertemu Ansel yang menemani Bang Andi mendaki Gunung Inerie. Kami mengobrol dan makan siang bersama sebelum melanjutkan perjalanan turun. Jalurnya masih cukup curam sehingga kami menuruninya seperti bermain perosotan. Kami melanjutkan perjalanan dengan lambat karena lelah. Tepat pukul 8 malam, kami sampai di Desa Watumeze yang tidak ada aktivitas penduduk lagi. Kami dijemput oleh teman Bang Andi dan kembali ke rumah.

Esoknya, kami melakukan evaluasi dan istirahat seharian sebelum akhirnya kami menuju Kampung Bena. Kami melaju membelah jalanan Flores dan sampai di rumah Bapak Thomas pada siang hari. Setelah mengobrol dan berkenalan, kami izin untuk melakukan kegiatan penelitian kami di Kampung Bena. Jarak dari Rumah Bapak Thomas tidak seberapa jauh sehingga kami cukup berjalan kaki. Kami melihat gagahnya Gunung Inerie yang selalu menjaga kampung-kampung adat yang berada di bawahnya. Malam hari, kami mendapat informasi dari Bapak Thomas bahwa besok akan ada upacara pemasangan atap rumah adat. Kami tidur lebih awal agar bisa bangun pagi untuk mengikuti acara dari awal. Pagi hari kami sarapan terlebih dahulu lalu berjalan menuju kampung. Sesampainya di sana upacara belum dimulai, tapi sudah terlihat berbagai macam persiapannya. Kami pun berpencar dahulu untuk mencari informasi. Tepat di belakang rumah yang akan dibangun, jika kita menaiki tangga kita akan menemukan patung Bun-


Foto oleh Ansel Rema


Rumah adat di Kampung Bena berderet secara teratur dari utara ke selatan dan saling berhadapan di sisi kanan dan kiri. Pada bagian depan rumah terdapat tengkorak kepala kerbau, rahang, serta taring babi yang menunjukkan status sosial individu di desa.


Foto oleh Ansel Rema


Antusiasme warga yang masih tetap terjaga hingga akhir pelaksanaan upacara Wa’e Sa’o. Prosesi akhir pelaksanaan upacara ini adalah makan bersama. Ada dua hidangan yang tidak boleh terlewat dalam upacara ini, yakni moke dan sembelihan babi


Foto oleh Hanif Nur Hassan Al-Faruqi


Masyarakat Kampung Bena tengah mempersiapkan upacara Wa’e Sa’o yang mana merupakan upacara untuk pembuatan atap rumah adat. Masyarakat adat percaya bahwa barangsiapa yang turut membantu dalam proses upacara adat Wa’e Sa’o maka akan dimudahkan oleh Tuhan dalam segala hal (atas). Agung, bocah yang pernah menjadi figur dalam acara Si Bolang, turut mengamati pelaksanaan upacara Wa’e Sa’o dari jendela rumahnya.

21


da Maria yang dilatarbelakangi oleh perbukitan hijau yang membentang. Masyarakat setempat menyebutnya Gua Maria. Aku juga melihat betapa sibuknya salah satu suku yang membantu memasak hidangan untuk seluruh kampung. Upacara pun dimulai dengan membagi sarapan kepada seluruh masyarakat yang ada di kampung. Di sini, ketika urusan masak memasak maka tuan rumah hanya boleh dibantu oleh anggota sukunya saja. Suku lain hanya tinggal menunggu makanan. Kami duduk di salah rumah bersama mama-mama lainnya. Makanan pun dibagi dan babi menjadi hidangan utama saat itu. Setiap upacara adat di sini pastilah harus berkorban babi dan minum moke. Nama hidangan yang kami makan adalah ra’arette dipadu dengan moke susu yang tidak membuat mabuk. Setelah itu keramaian pun dimulai. Kami ikut membantu mengantarkan alang-alang yang akan dipasang di atap rumah. Tarian ja’i dan musik tradisional mengiringi kami. Hal ini berlangsung hingga siang hari. Setelah selesai, tibalah saaatnya saat yang ditunggu yaitu tiga babi gemuk

22

yang akan dikorbankan untuk rumah baru ini. Setelah bergelut cukup lama, jiwa babi itu pun melayang dengan dua pukulan kapak di kepalanya. Darahnya dimasukkan kedalam mangkuk besar yang nantinya akan dipakai untuk mengolesi rumah adat dan campuran ra’arette. Kami juga melihat bagaimana proses pengolahannya, yaitu dengan membakar kulit luarnya dan yang memasak adalah para lelaki sedangkan para wanita hanya memasak nasi. Kami kembali makan ditemani moke susu, tapi beberapa orang juga meminum moke putih yang bisa membuat mabuk. Hari itu hampir seluruh masyarakat mabuk dan berbahagia. Kami pun kembali ketika matahari sudah turun. Hari-hari berikutnya, sama seperti yang kami jalani selama hampir seminggu kami di sini. Pernah di satu malam sebelum hari sumpah pemuda, kami diajak Bapak Thomas ke SDN Koloko’a untuk menghadiri pentas seni di sana. Setelahnya, kami berjalan menuju rumah salah satu guru dan makan malam dengan ditemani moke anggur. Pagi hari, kami ikut menghadiri upacara bendera dan kem-


Masyarakat Kampung Bena khususnya mama-mama menjadikan bertenun sebagai mata pencaharian utama setelah bertani. Motif tenun yang khas dari Kampung Bena adalah corak ayam, kuda dan kerbau.

bali melihat lomba fashion show. Jamuan kali ini adalah singkong dengan sambal khas Flores dan tentu saja moke. Benar-benar tiada hari tanpa mabuk. Esok harinya, kami mulai melakukan pengabdian di SD Bena dengan berbagi sedikit ilmu yang kami tahu. Selesai itu kami dijamu oleh para guru dan saling bertukar cinderamata. Ketika sore hampir tiba, kami diajak mandi di air terjun. Para warga mengatakan bahwa hanya jalan sebentar dan cukup mudah karena melewati perkebunan. Ternyata kami harus melewati jalur yang terus menurun dan harus berhati-hari karena jalanan licin. Kami baru tiba di air terjun ketika hari gelap. Langsung saja kami menceburkan diri dan merasakan hangatnya air. Puas kami bermain air, kami kembali dengan jalan yang masih sama tapi gelap. Butuh perjuangan ekstra untuk naik ke atas karena gelap dan licin. Setelah sampai, kami langsung membersihkan diri dan makan malam serta briefing untuk esok hari. Hari itu adalah hari terakhir kami. Kami mulai berjalan menuju lapangan SD Bena sembari mengumpulkan adik-adik dari desa. Sesampainya di lapangan, kami membagi mereka menjadi tiga kelompok. Permainan berlangsung sengit. Tidak ada satupun yang mau mengalah di antara tiga kelompok tersebut. Alhasil, beberapa per mainan mengalami sedikit kericuhan dilakukan adik-adik ini. Kami sungguh kagum akan antusiasme mereka. Dari awal bertemu, kami melihat bahwa mereka memiliki rasa ingin tahu yang besar dan selalu bersemangat dalam segala hal. Ketika hari mulai gelap, kami kembali ke rumah Bapak Thomas. Dari kejauhan kami melihat mobil merah Bang Andi menunggu kami. Setelah itu kami beres-beres dan berpamitan. Saat itu adalah saat yang sangat emosional. Kami sangat senang walaupun mengenal mereka dalam

waktu yang singkat. Kami belajar apa arti kerja keras dan kekeluargaan. Kami belajar bagaimana indahnya toleransi sebab semua saling menghormati satu sama lain tanpa memandang dari mana mereka berasal dan apa keluarga ataupun agama mereka. Kami pun pergi sembari melambaikan tangan melalui kaca mobil. Mobil melaju semakin kencang menembus dinginnya malam Kota Bajawa. Sesampainya kami di rumah Bang Andi, kami membakar ikan untuk makan malam. Dengan penuh kehangatan kami makan dan berbincang-bincang hingga kami terlelap. Esoknya, Bang Andi mengajak kami ke Air Terjun Ogi. Perjalanan yang kami tempuh memang agak jauh, tapi semua itu terbayar dengan melihat alam Flores yang masih hijau. Di sana, air terjun masih belum menjadi daerah wisata sehingga kami masuk dengan gratis. Air terjun tersebut kecil dan dikelilingi oleh tebing tinggi di sekitarnya. Airnya sangat sejuk dan tidak terlihat satupun sampah. Puas melihat air terjun, kami kembali pulang, tapi sebelumnya kami mampir ke Pasar Boubou untuk membeli bahan masakan. Pasar tradisional di sini benar-benar rapi, tidak seperti pasar tradisional di Jawa pada umumnya. Para pedagang dibedakan menurut barang dagangannya. Beberapa di antaranya cukup unik, sebagai contoh garam yang dijual di sana menggunakan daun lontar. Puas berbelanja, kami kembali ke rumah Bang Andi dan mulai menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak. Sebelumnya Bang Andi mengajak kami untuk camping ceria di salah satu bukit dengan pemandangan yang sangat luar biasa. Kami akan pergi pada malam hari dan sorenya kami ditawari untuk berbagi cerita di radio Bajawa. Hingga akhirnya tibalah hari terakhir kami berada di Bajawa. Kami bersiap-siap dari pagi hari dengan membeli makanan cadangan untuk di kapal. Setelah itu Bang Andi, Bang Ansel, dan Mama Ita mengantarkan kami menuju Bandara Soa. Kami akan kembali mengudara menuju Bandara Labuan Bajo. Saat akan sampai di Ban-

23


dara Labuan Bajo, hijaunya pulau-pulau kecil yang dikelilingi birunya lautan membuat kami enggan turun dari pesawat. Kami mendarat dengan selamat dan melanjutkan menuju Pelabuhan Labuan Bajo. Kapal kami baru akan tiba esok hari sehingga kami harus mencari penginapan yang tidak jauh dari sana. Malamnya, kami berjalan-jalan melihat ingar-bingar kota yang dipenuhi oleh turis asing. Kami terkejut karena melihat banyaknya restoran dan hotel yang berdiri, sedangkan pemukiman masyarakat banyak yang tersisihkan dan kekurangan air bersih. Restoran dan hotel tersebut pun kebanyakan dimiliki oleh orang luar. Pagi hari ketika kami menunggu kapal tiba, pemilik penginapan berkata bahwa kapal kami adalah kapal yang selalu terlambat. Benar saja, kapal baru berangkat pada pukul sepuluh pagi, terlambat dua jam dari waktu yang ditentukan. Dua hari kemudian, saat sore menjelang malam, kami sampai di pelabuhan Tanjung Benoa. Kami pun langsung menuju sekretariat Wanaprastha Dharma untuk bersilaturahmi. Di sana, kami bersenda gurau, bercerita, dan saling mengenal satu sama lain. Pagi-pagi buta, aku, Sheila, Deswita, dan Mbak Verent pergi untuk mencari makan. Tidak lama kemudian, Mas Mike, Ajun, dan Hanif menyusul kami. Selesai makan kami membuat rencana untuk berjalan-jalan keliling Denpasar. Ajun dan Hanif kembali ke sekretariat dan sisanya pergi menjelajahi Denpasar mencari oleh-oleh hingga sore menjelang. Kami telah kembali ke sekretariat ketika sore hari. Malamnya kami menuju Terminal Ubung dengan diantar teman baru kami. Sayan-

24

gnya, bus berikutnya baru berangkat pada pukul sebelas malam, jadi sembari menunggu kami ngopi dan bercerita dengan teman baru kami. Mendekati waktunya kami menaiki bus dan berpisah dengan mereka. Tetapi, bus tidak juga berjalan hingga pukul 12 malam karena menunggu penumpang. Kami berdoa semoga waktu ini cukup untuk mengejar kereta pagi hari. Sekitar pukul 2 dini hari, kami sampai di Pelabuhan Gilimanuk dan segera membeli tiket penyeberangan. Subuh dini hari, kami sampai di Pelabuhan Ketapang lalu berjalan menuju Stasiun Banyuwangi Baru. Jalanan sangat sepi dan lenggang, kami hanya melihat satu atau dua pejalan kaki yang menuju masjid untuk beribadah. Tepat pukul 06.30, kereta berangkat. Di dalam kereta yang kami lakukan hanyalah tidur, makan, mengambil foto. Begitu seterusnya hingga kami sampai Jogja pada pukul 19.30. Kami dijemput teman-teman lainnya kembali ke sekretariat Mapagama. Tiga minggu yang penuh perjuangan, kerja keras, dan usaha untuk menggapai mimpi kami. Dalam prosesnya, suka dan duka kami alami bersama, berbagai pertengkaran dan kesalahpahaman muncul seiring dengan waktu. Kami pernah kehilangan semangat dan kehilangan rasa percaya diri. Tapi, kami berusaha bangkit kembali dan menyusun kepingan impian kami hingga menjadi puzzle yang utuh. Dan akhirnya, salah satu impian kami telah terwujud. Memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan tidaklah mudah untuk sampai di sini. Tetapi, asalkan kami bersama dan bekerja sama, kami pasti bisa mewujudkan impian kami. []



Menggapai Pucuk Latimojong


Selain menuntaskan misi pendakian Gunung Latimojong, tim Kartini menyempatkan untuk mampir ke Kampung Ramang-Ramang yang dikenal sebagai kampung karst


Oleh Chordya Iswanti Foto oleh Sheila FIta Anjani

Malam ini, kami menginap di rumah bapak kepala dusun. Beliau biasa dipanggil dengan sebutan Ambe Sinu atau Pak Sinu. Begitu sampai di rumahnya, kami langsung disambut senyuman hangat dan dipersilakan untuk beristirahat. ***

“Kita naik mobil ini des? Bukannya naik jeep, ya?”, tanyaku penasaran pada Deswita.

Pagi-pagi aku merasa seseorang menggoncang-goncang lenganku.

Aku menatap mobil terbuka berwarna biru yang dijejali triplek, tabung LPG, beras, minyak goreng, dan barang keperluan rumah tangga lainnya. Setahuku, kami akan melanjutkan perjalanan ke Karangan dari Baraka dengan naik jeep.

Aku membuka mataku untuk mencari tahu apa yang terjadi. “Mbak, bangun,” kata Deswita yang berbaring di sebelahku. Oiya, dari hasil briefing semalam kami kan harus bangun pukul lima pagi.

“Iya mbak harusnya naik jeep, nggak tau kok jadi naik ini.” jawab Deswita. Sepertinya hari ini kami kurang beruntung. Menurut Kepala Desa Baraka, sudah tidak ada lagi mobil yang akan berangkat menuju Karangan sehingga mau tidak mau kami harus menumpang truk pengangkut barang. Jadilah kami ber-sebelas berdiri berdesak-desakan di bak belakang truk itu bersama tumpukan barang dan carrier yang rata-rata berkapasitas 70-80 L. Sialnya, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya dan langsung merusak suasana ceria yang tercipta. Padahal kami sedang asyik-asyiknya menikmati panorama hamparan sawah nan hijau yang dikelilingi perbukitan. Sopir truk langsung memasang terpal untuk melindungi kami dan barang-barang bawaannya. Tapi tetap saja, terpal tersebut tak mampu menghindarkan kami dari tetesan air hujan karena air tetap masuk melalui lubang-lubang kecil pada terpal. Aku duduk murung di atas karung beras sembari menutup hidungku dengan jaket karena bau minyak yang menguar kuat. Setelah kurang lebih 3,5 jam berkendara akhirnya kami sampai di Karangan, dusun terakhir sebelum pendakian. Tadi, di tengah perjalanan kami sempat berganti kendaraan menjadi mobil berjenis hardtop karena ternyata truk tersebut tak cukup kuat untuk membawa kami ke Karangan.

28

“Des di luar hujan deras, mending tidur lagi,” aku bergumam pelan. Sepertinya Deswita mengikuti saranku karena dia kembali meringkuk dan mencari kehangatan di kantong tidur. Setelah menempuh perjalanan panjang nan melelahkan dari Yogyakarta, rasanya kami pantas mendapat waktu istirahat lebih. Tak berapa lama aku kembali terbangun. Dengan wajah mengantuk aku berjalan gontai ke teras. Begitu keluar, aku langsung disambut bukit-bukit berselimut halimun. Seketika, aku pun membayangkan rantai Pegunungan Latimojong yang panjang, membujur dari barat ke timur, membentang dari selatan ke utara dengan tujuh puncaknya yang membelah empat kabupaten. Tanahnya yang subur memberikan penghidupan bagi masyarakat yang tinggal di kaki pegunungan ini. Wilayah Pegunungan Latimojong dikenal menghasilkan kopi Arabika kualitas juara. Kebun-kebun kopi milik warga bahkan bisa ditemukan di sekitar jalur pendakian.

Pantas saja Latimojong mendapat julukan “The Big Mountain”


Pagi ini, suasana lengang benar-benar terasa. Tak banyak aktivitas warga yang terlihat. Mungkin karena jumlah warganya yang relatif sedikit. Dari atas rumah panggung, aku melihat seorang pria paruh baya tengah menggenggam parang, sepertinya hendak menuju ke kebun.

Perjalanan tim menuju Desa Karangan mengunakan truk. Jalan sempit, terjal dan tikungan tajam sebuah pengalaman yang cukup menguji adrenalin, ---

Dusun Karangan yang dihuni oleh suku Duri ini sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari bertani. Selain kopi, komoditas lain yang diusahakan pun cukup beragam, di antaranya padi, ubi, jagung, bawang merah, dan kacang merah.

“Loh, ini yang naik cewek-cewek aja ya mbak?” tanya salah seorang pria yang baru saja turun dari Rante Mario dan bermalam di rumah Ambe Sinu.

Usai menatap kepergian pria itu, tiba-tiba mataku tertuju pada tanah yang kering. Tak terlihat tanda-tanda hujan lebat mengguyur dusun kecil ini. Lalu aku menyadari bahwa tadi itu bukan suara hujan tetapi gemuruh jeram Salu (Sungai) Karangan. Aku pun menertawai diriku sendiri. Hari ini, tepat pada hari Kartini, kami akan mengajar terlebih dahulu di SDN 186 Karangan. Rencananya kami akan memberikan edukasi mengenai Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas pada siswa/siswi kelas 4 sampai 6. Kami baru akan melakukan pendakian keesokan harinya.

***

“Iya bang, ini mau ngerayain hari kartini jadinya cewek-cewek aja,” jawabku santai. Untuk kesekian kalinya kami mendapat pertanyaan serupa sejak tiba di Makassar. Juga pertanyaan-pertanyaan seperti “Wah, kok berani mbak naik cewek-cewek aja?” atau “Yakin mbak enggak ditemenin cowok naiknya? Latimojong treknya susah lho.” Beberapa kali kami diminta untuk berpikir ulang mengenai rencana kami untuk menyambangi atap Sulawesi tanpa didampingi. Di samping peserta pendakian yang semuanya perempuan, memang ada beberapa hal yang harus kami pertimbangkan baik-baik. Salah satunya mengenai karakteristik Gunung Latimojong

29


Seorang siswi SDN Karangan datang ke sekolah tidak hanya untuk belajar, namun juga membantu perekonomian keluarganya dengan berjualan gorengan (kiri). Pengabdian tim kartini yang mengangkat tema pendidikan seksual, yakni pengenalan bagian tubuh manusia beserta fungsinya yang jarang diajarkan karena masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat (kanan).

30


31


Salah satu siswa kelas IV SDN Karangan mengintip materi yang sedang disampaikan oleh tim kartini. Dari sudut jendela ini dapat kita amati minimnya perhatian terhadap fasilitas penunjang pendidikan di sekolah ini.



yang tentunya berbeda dengan gunung-gunung di Jawa. Ini menjadi tantangan tersendiri karena hanya satu orang dari kami yang pernah mendaki gunung di luar Pulau Jawa sebelumnya. Kami tak memiliki gambaran pasti mengenai medan yang akan kami hadapi. Tapi, bukankah itu asyiknya bertualang? Setelah diskusi panjang, akhirnya kami membulatkan tekad untuk tetap pada rencana awal kami. Aku, Isma, Eva, Deswita, Nabilla, Sita, Sheila, dan Alfira tetap akan merayakan hari Kartini di Puncak Rante Mario tanpa didampingi teman-teman pria. Kami tentunya tak hanya bermodalkan semangat saja. Secara fisik kami merasa siap dengan semua latihan yang sudah kami jalani. Sebagai antisipasi apabila berada dalam kondisi darurat kami membawa telepon satelit. Kami juga memiliki tim base camp yang berjaga di rumah Ambe Sinu. Kami akan melaporkan kondisi tim secara berkala melalui HT. Beruntungnya juga kami ditemani Kak Ipeh dan Faiz dari Korpala Unhas. Kak Ipeh menemani kami naik sementara Faiz menemani Mbak Ana menjadi tim base camp. *** Pukul setengah delapan pagi, barisan carrier sudah berjejer rapi di halaman rumah. Sebelum memulai perjalanan, kami ber-sembilan melakukan pemanasan dan berdoa untuk kelancaran pendakian ini. Perjalanan menuju Pos 1 dimulai dengan melewati jalan yang juga merupakan jalur bagi warga desa untuk menuju ke kebun kopi. Beberapa bagian jalan sudah dicor semen, selebihnya jalan tanah berbatu. Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan panorama hamparan kebun kopi milik warga yang bertengger di lereng-lereng bukit. Butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk mencapai Pos 1 dari rumah kepala dusun. Pos 1 yang disebut Buntu Kaciling ini tak terlalu luas dan berada di wilayah terbuka yang di kepung bukit-bukit hijau. Aku langsung menandai posisi kami di GPS. Sementara itu, Sita memberi laporan kepada Sekretariat Mapagama.

34

Chordya melintasi hutan berlumut penuh kabut pada pendakian hari kedua. ---

Setelah beberapa puluh meter meninggalkan Pos 1, kami dihadapkan pada tanjakan yang mengarah pada jalan setapak kecil. Jalur yang kami lewati mulai terasa sulit. Kami menyusuri jalan becek yang diapit pepohonan dan semak belukar. Sebagian besar jalur yang kami lewati sedikit menanjak dan berkelok, serta banyak pula jalur menurun. Jalur ini juga mengharuskan kami berjalan meniti tubir jurang. Di sisi kiri kami, jurang menganga layaknya mulut buaya yang siap menerkam siapapun yang lengah. Beberapa kali kami harus mengangkangi pohon tumbang sambil berpegangan pada akar atau dahan pohon untuk menjaga keseimbangan. “Pokoknya kalau udah kedengaran suara aliran sungai berarti pos 2 udah dekat,� kata Kak Ipeh menyemangati. Akhirnya, setelah berjalan selama kurang lebih 2 jam kami tiba di Pos 2. Pos ini berada di tepian sungai dengan aliran jernih nan menyegarkan. Untuk sampai di seberang sungai, aku harus melewati jembatan yang terbuat dari dua bilah papan. Di depanku, berdiri tegak tebing batu yang menaungi semacam gua kecil di bawahnya. Gua yang dinamai Sarung Pakpak ini biasanya digunakan pendaki untuk bermalam. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 ketika kami selesai mengisi air untuk perbekalan. Kami pun menunda keberangkatan dan memutuskan untuk makan siang di sini. Hujan yang mulai turun membuat kami segera berkemas dan memakai jas hujan. Jalur menuju pos 2 ini menjadi semacam mimpi buruk bagi kami. Kami dihadapkan pada jalan menanjak yang licin dengan kemiringan sekitar 80 derajat. Hujan yang terus mengguyur membuat jalur ini semakin bertambah licin. Untungnya ada rotan yang ditambatkan pada akar pohon yang bisa kami gunakan sebagai pegangan. Tanjakan tanpa ampun terus menghantam kami.



Untuk mengalihkan perhatian dari jalur yang ‘luar biasa’ ini, kami terus bercanda sepanjang perjalanan. Deswita dan Sheila tentu saja penyanyi kebanggaan kami. Duet maut mereka menyanyikan jingle iklan sukses membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Kami terus berjalan konstan tanpa berhenti dan setelah satu jam akhirnya kami melihat plang Pos 3 (Lantang Nase) yang ditempel di batang pohon. Pos ini tidak terlalu luas dan berada di ketinggian…. Hujan masih terus mengguyur dan belum ada tanda-tanda untuk reda. Untungnya perjalanan menuju Pos 4 (Buntu Lebu) tidak sesulit perjalanan menuju Pos 3. Jalur menanjak tentunya masih menjadi santapan utama kami. Perjalanan menuju Pos 5 (Soloh Tama) terasa lebih lama dibandingkan pos-pos sebelumnya karena tenaga kami yang sudah cukup terkuras. Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam dan bergelut dengan pikiran masing-masing. Sepatu kami sudah basah sepenuhnya dan membuat langkah terasa lebih berat. Langkah-langkah berat itu perlahan tapi pasti terus membawa kami semakin dalam memasuki belantara hutan Sulawesi yang merupakan rumah bagi kawanan Anoa____hewan endemik Sulawesi. Aku mulai berjalan semakin pelan. Perutku terus berbunyi minta diisi. “Eh berhenti bentar dong, aku laper banget pengen ngemil,” ujarku. Deswita yang berjalan di belakangku langsung mengiyakan. “Iya, makan dulu aja kor sekalian istirahat bentar,” Eva menimpali. Teman-teman yang lain pun langsung mengambil posisi istirahat. Segera aku membuka carrier dan mengeluarkan toples berisi biskuit, cokelat, dan buah kering. Didera hujan selama berjam-jam membuat suhu tubuh menurun sehingga tubuh bekerja keras dengan membakar lebih banyak kalori untuk menghasilkan energi. Maka dari itu, dalam kondisi dingin tubuh cenderung cepat lapar. Pe-

36

rut keroncongan harus segera diisi karena aktivitas pendakian membutuhkan banyak energi. Rencananya, kami akan beristirahat dan mendirikan tenda di pos 5. Pos 5 cukup luas dan ada sumber air yang melimpah. Untuk sampai di sumber air membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit setelah menuruni jalur yang curam. Menjelang senja, kami mulai memasak makan malam. Aroma masakan yang memenuhi tenda sungguh menggugah selera. Menu makan malam kami hari ini: ayam goreng dan tumis kangkung. Dalam waktu dua puluh menit semua sudah kenyang melahap makanan yang tersedia. Secangkir teh hangat dan energen coklat menjadi penutup makan malam yang nikmat. Lega rasanya bisa merebahkan tubuh setelah melewati jalur yang menguras tenaga. Sebelum tidur, aku, Deswita, dan Sheila membicarakan apa saja sampai kantuk menghampiri. Akhirnya, kantung tidur dan sepasang kaus kaki rajut pun mengantarkanku menuju alam mimpi. *** Alarm yang berdering bersahut-sahutan membangunkanku dari tidur. Udara pagi nan dingin langsung menyapa begitu aku membuka pintu tenda. Aku, Eva, Deswita, dan Isma kebagian jatah untuk menyiapkan sarapan. Bihun goreng sayur sepertinya pilihan yang tepat. Praktis dan mengenyangkan. Pukul sembilan pagi kami memulai perjalanan menuju Pos 6 (Buntu Latimojong) yang memakan waktu sekitar 50 menit. Kami berjalan melewati hutan lumut yang memikat. Atmosfer misterius yang menyelimutinya membuat hutan ini agak seram sekaligus menarik. Entah kenapa, pemandangan ini langsung mengingatkanku pada film The Lord of The Rings. Kel e m b ap an yang tinggi khas hutan hujan tropis sangat cocok bagi pertumbuhan lumut. Tak heran aneka jenis lumut menutupi permukaan tanah hingga cabang-cabang pepohonan.


Semakin ke atas, Cantigi mulai mendominasi di area yang relatif terbuka. Jalur masih terus menanjak. Hanya saja kali ini kami melewatinya dengan hati riang karena tidak perlu memanggul carrier yang berat. Kami hanya membawa logistik yang kami butuhkan seperti makanan, air minum, flysheet, dan jas hujan. Perjalanan menuju Pos 7 (Kolong Buntu) sekitar 1,5 jam. Pos 7 berada di wilayah terbuka, ada jalur menurun yang mengantarkan kita pada sumber air yang merupakan sumber air terakhir sebelum puncak. *** Baru sekitar 3 menit berjalan kami dihadapkan pada medan yang cukup menantang. Kami harus berpegangan pada dahan pohon untuk menaiki dinding tanah yang licin. Selanjutnya, kami melewati jalanan landai di mana tak terdapat banyak vegetasi. Cantigi mendominasi dan sepertinya hampir tak memiliki saingan. Di depan terlihat jalur menanjak. Sepertinya, itu trek terakhir yang harus kami lewati untuk sampai ke puncak. Aku berjalan dengan penuh semangat.

Ketika sampai di atas hatiku terasa mencelos. “Sial!�, aku mengumpat di dalam hati. Ternyata masih ada punggungan lainnya yang harus dilewati. Inilah salah satu hal menyebalkan ketika mendaki gunung. Ketika kamu berpikir puncak sudah berada di depan mata tetapi itu hanyalah tipuan. Kali ini aku berjalan santai. “Tuh kan benar, masih ada jalan lagi.� kataku tertawa pada Eva. Aku, Sita, dan Eva tiba di puncak terlebih dahulu. Sepuluh menit kemudian kami ber-sembilan sudah berdiri menatap tugu trianggulasi yang menjadi penanda puncak Latimojong. Kabut yang cukup tebal mengelilingi, sehingga tak ada panorama lain yang bisa kami lihat. Aku sangat bersyukur semesta merestui kami untuk menginjakkan kaki di Rante Mario yang merupakan titik tertinggi Pulau Sulawesi. Hujan bulan April kembali turun. Aku berjalan meninggalkan Rante Mario dan membayangkan nikmatnya bergelung di kantung tidur sembari menyeruput secangkir teh panas di tenda. Ah Rante Mario. Sebuah momen singkat yang manis. []

Hujan dan kabut lembut mengiringi ketibaan tim kartini di Puncak Rante Mario

37


Oleh Kresna Muharram

belajar memahami

masyarakat Beserta Segala Liku Interaksi Sosialnya

38

sepotong cerita perjalanan

Foto oleh Sitaresmi, Dimas Irham, Iqbal Setya Nugraha, Kurnia Fahmy, Aulia Romadhona, dan Miftachul Hanifah


Ramainya pasar di pagi hari, menjadi pusat untuk transaksi penjual dan pembeli, baik dalam mencari rezeki maupun memenuhi kebutuhan sehari-hari.


S

ejarah pada 10 Februari adalah sejarah penindasan. Tahun 1258, Pasukan Mongol menginvasi Baghdad dan membumihanguskan seribu penduduk sekaligus melengserkan kekhalifahan Abbasiyah. Hampir 7 abad kemudian, Pasukan Jerman berusaha menduduki Uni Soviet lewat pertempuran berdarah di Lenninggrad–kelak Saint Petersburg. Di tanggal yang sama, pada tahun berbeda dan di bawah atap M7A, sejarah kembali tercatat. Sejarah kecil yang berarti besar bagi kami, sejarah besar yang bukan penindasan. Pada malam itu, kami, angkatan Bara Cempaka bersama-sama mempresentasikan skenario masing-masing tentang kegiatan kami, kegiatan social mapping. Kegiatan presentasi ini sesungguhnya adalah tahap akhir dalam rangkaian kegiatan pra PCAM Mapagama. Hanya untuk pertama dan terakhir kali beropini pribadi di tulisan ini, saya begitu tertarik untuk menuliskan pengalaman bermanajemen agak ribet ini hingga di lapangan kelak, sebab banyak sekali sudut pandang baru yang saya terima. Terlebih di zaman yang menuntut semuanya cepat dan terburu-buru. Zaman yang memproduksi semuanya dengan tergesa-gesa, termasuk bermenejemen dan meraih pengetahuan. Selalu takut akan tertinggal. Zaman yang tergagap-gagap, zaman yang maju, katanya. Akhirnya rancangan skenario kami ditolak. Namun, kami tetap berangkat sesuai tanggal dan waktu yang kami rencakan, yaitu 15 Februari 2018 sore untuk kloter pertama, berlanjut kloter selanjutnya yang berangkat ketika malam tiba. Keberangkatan kami didasari dari presentasi ulang di depan anggota pada hari Selasa, tepat dua malam sebelum berangkat. Skenario kami sudah matang, terlahir kembali bukan untuk dievaluasi lagi, tapi untuk memamerkan semangat dan pengetahuan kami. Skenario sudah sangat matang dan lengkap. Sayangnya, berbekal pengetahuan kami bahwa manusia hanya mampu merencakan, ternyata te-

40

pat sehari sebelum berangkat hingga pulang tiba di rumah, Tuhan selalu memberi kejutan. Layaknya sebuah formulasi, dimana ada Bara Cempaka berkegiatan, disitu Tuhan selalu memberi kejutan. Dua hal tersebut seakan dibaca dengan satu tarikan napas. *** Tanggal 15 Februari sore waktu itu adalah saat dimana hujan turun dengan derasnya. Rasanya waktu itu hujan turun dimana saja, di Yogyakarta, di Jawa, diseluruh Indonesia, di mana-mana. Hujan benar-benar mengguyur apa saja, mengguyur genting, rumah, hingga mengguyur Bara Cempaka dan bara semangat kami. Tapi kami tetap berangkat, walaupun kloter pertama terpaksa mundur 2 jam dari seharunya dari pukul 16.00. Sesuai yang diajarkan sebelumnya, hujan ataupun tidak, deras ataupun rintik, malam ini di proposal kami tetap saja kegiatan social mapping dimulai, tidak berganti hari, hujan siap menguji manajemen resiko kami. Hujan belum berhenti tapi motor anggota kami sudah mulai bertumbangan. Motor Kresna sudah berjalan terkentut-kentut menanjaki daerah perbukitan di Panggang. Namun ada yang lebih sial, naas bagi motor Hafidz dan Septi yang bannya bocor dikoyak bumi. Hujan telah membuat empunya salah berkoordinasi dengan motornya hingga mengorientasikan bannya ke kerak-kerak bumi yang tak ditutupi aspal. Ketika berkumpul di check point terakhir, kami masih ingin menangis membayangkan jadi Septi, tapi tidak mantap saja rasanya menangis di bawah seng yang dirajam air hujan dan berbunyi “cetok cetok cetok�. Terlepas dari itu semua, ingin bersyukur rasanya, kami semua telah tiba di masing-masing padukuhan. Walaupun dari rencana semula telah menambah kloter keberangkatan hingga tiga dan tepat pukul 20.00 sesuai jam di pergelangan tangan korlap belum semua kloter telah tiba, kami telah sampai tanpa ada kekurangan satu hal apapun. Malah kami semua tiba membawa


Informan pemetaan sosial dari dari DUsun Prahu, Kadisobom Tanggung dan Macanmati.

41


tambahan logistik air yang menempel di baju dan sepatu kami. Tak ada tempat menetap berfasilitas hotel saat kami bermalam disini. Tapi mengasyikkan rasanya tidak terganggu dengan dengung koloni manusia berkakikan roda. Asyik mendengarkan cerita mereka, bahwa Yogyakarta tidak hanya mempunyai Ambarrukmo. Damai melihat anakanak yang menyimak ketika siapapun bercerita. Kata Pak Dukuh, tempat-tempat di sini mengandung mitos, tapi yang kami lihat adalah cinta. *** Belum semua tim terbangun di masing-masing padukuhan. Teman-teman dari Macanmati sudah tergenapi dengan bau asap. Makanan sudah siap tersedia sebelum pukul 07.00. Tapi di belahan padukuhan yang lain, agak bergeser ke utara, berita lelayu diserukan dari Padukuhan Kadisobo. Sendok yang terangkat diturunkan, mata yang masih belum terbangun membuka dengan sendirinya, yang sudah terbangun terdiam. Semua menyimak, Desa Girimulyo berduka. Setelahnya, tim di Padukuhan Kadisobo bersiap memulai aktivitas dengan melayat dan di padukuhan lain menjalankan sesuai skenario. Diantar oleh Pak Warsito, tim dari Padukuhan Kadisobo setelah melayat bertemu dengan kepala RT 6 yang menyampaikan bahwa aktivitas warga dimulai sejak pagi hingga menjelang petang, yang berarti tidak ada rumah yang didiami penghuninya dalam rentang waktu tersebut. Padukuhan lain juga demikian, sehingga observasi berjalan lebih lama dari skenario. Seolah tidak mau berdiam diri, waktu tersebut juga kami gunakan untuk observasi membuat peta wilayah. *** Siang-siang sebelum ibadah Jumat hampir dimulai, kami masih berada di jalan, menjelajahi seisi desa, mengamati rutinitas warga, menangkap aktivitas masyarakat dukuh, menjelajahi sawah, hingga bahkan menjelajah ke dalam ker-

42

ak bumi. Banyak tertangkap di penglihatan kami, warga menjemur jagung-jagung berbiji kuning besar di depan rumahnya. Deret biji jagung yang dihamparkan begitu saja di teras rumah seakan membuat biji jagung tersebut bercerita tentang hari-hari mereka yang membawa berkah bagi masyarakat. Semua makhluk di Desa Girimulyo seolah berkonspirasi untuk merawat bangsa dari generasi ke generasi dengan cara masing-masing. *** Kami benar-benar mencoba mengimplementasikan materi penelitian yang kami dapat yaitu observasi partisipatif. Hal itu membuat penjelajahan dilanjutkan hingga ke ladang tempat bulir jagung tersebut dituai. Rasa takjub sungguh meliputi kami ketika mata kami dihadapkan ke ladang yang coklat dan kering. Padahal kemarinnya hujan turun dengan deras dan cukup lama. Kondisi tanah benar-benar keras dan tidak ada gembur dan lembek seperti bekas didera hujan. Hasil ladang juga tumbuh dengan formasi yang unik pula. Hamparan sawah berbaris rapi dipagari jagung atau ketela. Meskipun kondisi kering, tapi tumbuhan tersebut masih mampu untuk tetap angkuh tumbuh subur melawan iklim. Kentara sekali sejak bibit-bibitnya ditanam, sejak benihnya disemai, ada warisan yang dirawat turun-temurun. Karya bersama yang dijaga, yang kelak ketika kami bertanya ke warga, mereka menyebutnya dengan sistem tumpangsari. *** Kegiatan selanjutnya setelah observasi adalah kembali ke rumah induk semang masing-masing. Yang menjalankan ibadah jumat serentak berangkat menunaikan ibadah sedangkan sisanya beristirahat. Tidak banyak yang bisa dilakukan di saat ini atau saat selepas ibadah jumat. Ada tim yang melanjutkan observasi sembari mencari camilan di pedagang pinggir jalan raya Panggang, ada yang melanjutkan tidur, bermain, dan ada juga yang membuka percakapan dengan anak kecil seperti di Padukuhan Macanmati.


Tim mempersiapkan segala bumbu dan bahan masakan dari dapur milik kepala dukuh Dusun Prahu. Aktivitas ini wajib dilakukan sebelum matahari beranjak meninggalkan ufuk timur (atas). “Bukan kemewahan seperti gedung olahrga dan lapangan sintetis yang menimbulkan kebahagian bagi anak-anak ini. Hanya perlu sepetak tanah kosong dan sebuah bola yang dimainkan bersama-sama� pungkas Nugie (samping).

43


Disaat yang lain sedang mencari atau telah menemukan ketenangan, Padukuhan Macanmati malah menjadi gaduh. Kami diserbu pertanyaan dari anak yang bernama Dimas. Sebetulnya tidak mengeherankan karena Dimas sesungguhnya masih duduk di bangku kelas 2 SD maka wajar baginya untuk bertanya apapun kepada orang asing seperti kami. Tidak enak juga rasanya bagi kami untuk mengkerdilkan mata besarnya sekarang, mata besar yang pernah dimiliki oleh kita semua saat masih kecil, mata yang selalu melihat hal baru, mata yang haus akan semua jawaban. Mulut Dimas selalu mencuap mengarahkan obrolan dari barat menuju ke timur. Awalnya kami jawab semua pertanyaan darinya dengan telaten dan semangat, tapi lama kelamaan jawaban kami mulai bergeser dan belok ke utara menuju ke selatan, mulai tak sesuai dengan isi pertanyaannya. Seolah tahu bahwa yang ditanya sudah lelah, Dimas pun berhenti bertanya dan sekonyong-konyong menunjuk ke arah gua. Kami juga turut diam dan kini berganti kami yang mendesak pertanyaan ke Dimas. Namun, Dimas tetap diam tidak menjawab pertanyaan kami, tapi pandangan matanya

44

Gua Klampok, gua yang penuh akan sejarah berdirinya dusun Macanmati sekaligus sebagai tempat yang sakral bagi dusun Macanmati (atas). Segores cakaran seekor macan yang hingga saat ini masih membekas disebuah pohon besar di dekat gua klampok yang tidak akan pernah terlupakan oleh warga dusun Macanmati (bawah).


seolah mengisyaratkan bahwa: ini adalah informasi penting dari Padukuhan ini, orang lain tidak akan tahu, hanya aku di seluruh Padukuhan Macanmati yang mengetahuinya! Tidak ada salah seorang pun yang menyangka, tidak dari Padukuhan Prahu, tidak dari Padukuhan Kadisobo, tidak dari Padukuhan Tanggung yang menyangka bahwa semua hasil dan isi dari kegiatan social mapping ini akan bisa didapatkan semua walaupun hanya berdurasi satu siang. Karena pada saat siang itu sesungguhnya hasil semua tugas telah selesai karena dirangkum oleh satu sumber, yaitu mulut Dimas. Karena akhirnya setelah menunjuk gua itu, seolah lelah dengan hasratnya yang ingin bercerita, maka kalimat itu pun keluar. “Itu lho mas, mbak, ituu‌.â€? Katanya yang langsung kami catat ke note kami. *** Selanjutnya saat senja mulai habis dan langit mulai kekurangan cahaya untuk memantulkan warna birunya ke laut, maka saat itulah aktivitas kami dimulai (kembali). Tepat pukul 18.30 kami bertamu ke rumah ibu dan beruntung saat itu ibu telah menyelesaikan aktivitasnya dan bersedia menerima tamu. Setelahnya banyak wawancara dilakukan ke berbagai orang dan berbagai latar belakang. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, sudah sangat gelap ketika disana. Hanya sedikit rumah yang masih menerima tamu di ruang tamunya, jika sudah jam segini memang lebih banyak yang menjamu tamunya tidak di ruang tamu tapi di depan teras rumah, menggelar tikar dan duduk bersila. Tapi jika kondisi rumah sepi tanpa tamu atau tanpa ada aktivitas lagi, maka kebanyakan semua sudah mengunci pintu rumah dan menutup rapat rapat tirainya. Seperti masyarakat disini, walaupun agak lebih malam karena sehabis pulang kami masih melakukan eval dan menggambar peta wilayah. Saat selesai pintu rumah induk semang pun kemudian kami kunci dan tirai kami tutup, tepat pukul 24.00 kami pun juga beristirahat.

Aktivitas pemetaan sosial dilakukan sejak pagi hingga sore hari dari rumah ke rumah, balai padukuhan, gua, sampai tegalan warga

*** Tanggal 17 Februari 2018 kemarin adalah hari ketiga kami berada di 4 padukuhan yang tersebar di Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Mengawali pagi pada hari ini rasanya benar-benar beda. Kami terbangun dengan aroma lain, berbeda dengan kemarin saat terbangun dengan bumbungan asap dari tungku dan aroma nasi yang tanak. Bangun-bangun seperti ini sudah membuat kami semua terdistraksi, bingung ada apa yang terjadi di rumah. *** Selang beberapa lama kami terbangun dan hendak menuntaskan pekerjaan kami membersihkan rumah, induk semang kami lalu menyapa kami. Terlihat sekali wajah mereka yang belum sempurna dari bangun dan langsung terburu-buru bersujud untuk menyempurnakan kehambaan. Setelah sholat dan tunai sudah tugas kami membersihkan rumah, perlahan-lahan kami berjalan ke mereka dan bertanya tentang apa yang terjadi. *** Di saat itulah kami mendapat jawaban bahwa dini hari tadi pukul 02.00 terjadi gempa. Setelah kami cek di web BMKG, ternyata benar bahwa telah terjadi gempa baru saja saat kami sedang terlelap. Walau gempa hanya berkekuatan 3.3 SR

45


dan tidak dikategorikan berat. Namun, gempa tersebut telah mengguncang tanah Girimulyo dan mengguncang ketenangan batin mereka. Sekecil apapun dayanya, tetap saja masih sulit bagi mereka untuk melupakan tragedi tahun 2006 kemarin. Kami mendengar banyak tentang kisah waktu itu dari mereka. Tentang bagaimana rusaknya Desa Girimulyo waktu itu, sengsaranya masyarakat yang menunggu bantuan, hancurnya rumah dan mata pencaharian mereka, semua disampaikan kepada kami. Setelah cukup lama dan mendengar cukup banyak, lamat-lamat kami mendongak ke atas dan melihat ke tatapan mata mereka, terlihat penyesalan sangat menggelayuti pelupuk mata mereka. Setelah itu aktivitas berjalan biasa dan kami mulai mengikuti skenario korlap yang sudah diganti karena aktifitas warga sudah dimulai sejak pagi dan akan berakhir ketika malam tiba. Demi tidak membunuh waktu dengan kesia-siaan maka kami mulai melanjutkan membuat peta wilayah, ada juga anggota kami yang melanjutkan dengan menginput data, ada yang mengobservasi sekitar, dan melakukan apa saja untuk mencari sebanyak banyaknya data agar dapat menunjang penelitian kami. Sembari menunggu malam, hal tersebutlah yang bisa kami lakukan, yang penting tidak untuk dibuat tidur saja kata korlap kami. *** Ternyata hanya sejenak menunggu untuk senja tiba jika dijalankan dengan kesibukan. Malam benar-benar hanya sekita sejam atau dua jam untuk tiba, dan itu pertanda kami harus menenteng buku kami dan memasuki pintu rumah yang sudah kami data ketika bertanya ke Pak Dukuh. Saat maghrib berkumandang, dan sejenak menunggu untuk menunaikan kewajiban, barulah kami berhamburan layaknya laron-laron di musim penghujan. Ada yang bertamu ke mbok darmi, mbak ros, dan pak agiri. Dikala tujuan kami untuk mencari data penelitian ternyata kami justru lebih banyak belajar tentang kehidupan, apalagi

46

saat ada sosok yang sulit kami temui karena sibuknya mengajar dan menjadi Badan Pengawas Desa dan kami baru sanggup menemuinya semalam sebelum kami pulang, beliau adalah Pak Rugiyana. *** Malam itu justru Pak Rugiyana lah yang datang ke kami. Beliau katanya datang karena diamanati istrinya bahwa ada mahasiswa yang sudah mendatangi rumahnya berkali kali sejak sore. Dan memang kami berkali-kali mengetuk pintu rumah beliau dan tak pernah ada sahutan sama sekali dari rumahnya, kecuali yang terakhir saat kita bertemu istrinya dan menitip pesan. Pak Rugiyana datang dengan menunggangi motor Yamaha Kingnya yang berwarna hitam. Beliau datang saat kami semua sedang sembahyang di masjid sehingga waktu kami pulang kami melihat beliau dijamu oleh bu dukuh dan memperkenalkan kami kemudian. *** Kami bertanya banyak hal saat itu ke Pak Rugiyana, bertanya tentang masalah warga di sini, tentang potensi desa ini, hingga tentang birokrasi di desa tempat beliau menetap. Beliau bercerita saat-saat pertama kali kembali dari Jakarta ke kampung masa kecilnya di Dusun Tanggung. Beliau menuturkan sedikit kisah hidupnya tentang pergulatannya untuk berada di posisinya sekarang. Pernah menjajakan gorengan dan membuka angkringan di sudut jalan, kemudian ikut tes CPNS dan diterima di kementrian agama. Barulah beliau mulai mensuarakan kegelisahan dengan birokrasi di desanya. *** Berawal dari menggeliatnya pembangunan di Padukuhan Tungu waktu itu, beliau mencurigai bahwa ada yang tidak beres dari proyek tersebut. Dalam penuturan beliau, harapan yang dijunjung tinggi adalah adanya transparansi dalam pengelolaan anggaran di desanya. Beliau sangat menginginkan dana besar yang dimiliki desa


Hasil olahan peneilitan berupa Peta Jaringan Dusun Macanmati (atas) dan Peta Jaringan Dusun Tanggung (bawah).

47


Hasil olahan peneilitan berupa Diagram Pentagon asset Dusun Prahu (atas) dan Diagram Pentagon Asset Dusun Kadisobo (bawah).

48


adalah semurni-murninya untuk kemakmuran hajat hidup orang banyak. Mengingat dengan latar belakang beliau yang harus menyuapi mulutnya sendiri karena mengganti persekutuan beliau dari ibu kandungnya ke ibukota demi belajar. Beliau sedari kecil sudah hidup mandiri mencukupi kebutuhan sendiri demi tekat untuk bersekolah. Hingga saat itu tiba, saat masa kuliahnya sudah menginjak semester 10, saat pikirannya rebut dengan tugas akhir, akhirnya beliau nekat untuk memilih lulus saja. Kata beliau, beliau tetap ingin melanjutkan pengabdiannya di BPD. Karena beliau adalah sosok yang pernah berkubang lumpur di padukuhan mereka saat masih kecil, sama seperti setiap narasumber yang kami wawancarai. Oleh sebab itu sungguh berdosa menurutnya apabila masih ada yang senasib dengan masa kecilnya dahulu. Tidak ada ketakutan dan kesedihan yang diutarakan Pak Rugiyana saat itu, sebab dalam kehidupan Pak Rugiyana dan kehidupan warga Desa Girimulyo kesedihan hanya berumur selama air mata belum mengering. Itupun jika air mata sampai menetes, karena terkadang hanya terisak. Bagi mas Rugiyana hidup adalah berkah dan kemuliaan yang diberikan oleh sang pencipta. Wajib untuk diperjuangkan, meskipun menetap sejak kecil dan menggelandang di kota orang, di bawah atap yang tak bisa hangat ketika kehujanan dan tak mampu menjadi dingin ketika matahri sedang terik, tidak pernah merubah niat baik beliau untuk berhenti menuntut ilmu dan mencari pekerjaan halal. Bagi beliau, harta sedikit memang akan selalu kurang, harta yang banyak juga pasti akan tetap kurang. *** Besoknya, kami berpamitan dengan induk semang masing-masing. Beruntung sebelumn-

ya kami sudah dititipi pesan untuk ketika bertemu juga menjelaskan perihal kedatangan dan kepulangan kami, sehingga sembari bertamu kami juga mengucapkan pamit saat medatangi rumah warga yang kami wawancarai. Sehingga di akhir acara kami, pagi-pagi pukul 08.00 kami sudah siap dengan barang bawaan kami yang sudah dikemas untuk mengucapkan terimakasih telah menampung kami selama empat hari tiga malam. Sebelum pulang kami juga diberi wejangan untuk jangan sungkan apabila ada kesempatan untuk bertamu lagi kesana. Agar perjalanan pulang kami juga tenang tak lupa kami juga membalas budi para induk semang kami dengan sekantung penuh sembako dan uang makan. Tepat pukul 08.00 kami berangkat, menuju titik kumpul kami semua di Balai Desa Girimulyo, untuk memulai presentasi. *** Hasil-hasil yang kami buat seperti peta wilayah, pentagon asset, dan peta jaringan dipaparkan ke anggota kami dan senior. Kami dating kemari dengan tidak membawa solusi dan memang tidak ada penyelesaian sederhana dari persoalan yang rumit seperti di Desa Girimulyo ini. Namun, setidaknya kami kini tahu masalah apa yang dihadapi dan kemana orang yang harus pertama kami tuju. Harapannya kelak kami mampu memghadirkan solusi dari semua masalah yang dialami disana, tapi jika tidak izinkan kami membuka pintu komunikasi dengan pihak-pihak lain. Karena sekali unsur elemen Indonesia sedikit saja bergoyang maka turut mengguncang Negara kita. Semua pihak pada akhirnya akan berada di posisi kalah, lagi-lagi warga di elemen akar rumput yang paling rugi. []

49


Tenaga sapi betina sangat krusial dengan fungsi utama membajak ladang dan fungsi lain - dilombakan dalam ajang balap sapi. Jika dilihat lebih detail, alat kendali sapi agak berbeda dengan di daerah Jawa Timur misalnya. Alat tersebut bernama Pangunung, di mana menjadi alat kontrol laju sapi dan adanya penambahan penutup mulut berfungsi untuk membatasi sapi memakan hasil ladang sembarangan.


Berburu Goa di Batuputih


Psttt, katanya kalau banyak tebar senyum nanti ada yang suka, lho,” beberapa kalimat nyeplos keluar sebelum kami berangkat menuju desa terpilih untuk karakterisasi karst dan ditimpali dengan canda tawa. Pagi pertama di Desa Batuputih Daya disibukkan dengan mengantri mandi dan memasak guna persiapan hingga sore di lapangan. Lalu setelah semua siap dan kamar tempat kami akan menginap seminggu kedepan dikunci, kami menunggu jemputan pick up yang akan membawa kami mengitari tiga desa observasi; Batuputih Daya, Dang Gedang dan Badur. Saya – Farah Aida Ilmiatul Kulsum datang bersama 5 orang kawan, yakni Fahmi Arsyad, Suryo Abdi Pangestu, Sonya Maharani, Eni Paryani dan Heni Ismawati. Kami adalah Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada (MAPAGAMA), Yogyakarta. Kami berangkat menuju Kabupaten Sumenep, Madura Jawa Timur dalam rangka Gladimadya Ambu Udan divisi Susur Gua di Ds. Batu Daya Putih, Ds. Dang Gedang, dan Ds.

52

Badur, Kecamatan Batuputih, Kabupaten Sumenep, Madura Jawa Timur. Gladimadya adalah tahap pendidikan akhir guna mendapatkan nomor anggota penuh dalam lingkungan organisasi kepecintaalaman. Kami melangkahkan kaki turun dari bus di pertigaan Kalianget, tempat pemberhentian bus sebelum sampai di terminal. Tempat ini kerap dijadikan pemberhentian mengingat banyak becak, ojek dan penjemput menunggu di halte. Saya segera menelpon teman yang akan menjemput kami. Bulan purnama menemani perjalanan kami menembus jejalanan gelap tak berlampu dan rerumputan setinggi paha orang dewasa di kanan-kiri jalan. Suara deburan ombak terdengar jelas dari sisi kiri saya dan memang betul, sepanjang mata memandang hanyalah pantai dan ladang. Gelap malam menguasai. Desa yang kami datangi terletak kurang lebih 20 kilometer dari Terminal Bus Kalianget. Sinyal cukup susah didapat dan terbatas di beberapa lokasi desa. Vendi dan Wahid – orang yang men-


Tim sedang melakukan penelitian yang bertema karakterisasi karst di Ds. Batudaya putih, Dang Gedang dan Badur. Di foto, suryo tengah berjalan melintasi jejalanan kapur yang melintang di antara bebukitan gamping

Oleh Farah Aida Ilmiatul Kulsum

jemput kami – tampak tampil santai dengan kaos pendek, kopyah hitam, bersarung dan bersandal. Saya menginjakkan kaki di sebuah kamar yang telah ditata rapi dengan satu karpet besar dan empat bantal. Kami segera menaruh barang bawaan dan duduk bersama Vendi dan Wahid. Malam itu, kami mendapatkan banyak cerita sekaligus petuah dan candaan lucu.

Kami kembali bertemu Wahid setelah makan, ia sepertinya cemas dengan batuk yang saya bawa dari Jogja. “Apakah kamu sakit?� Saya hanya membalasnya dengan tersenyum dan bertanya mengenai letak kantor kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari rumah Pak Kalibun.

Mata saya mengerjap-ngerjap sembari memandangi atap kamar. Kruyuk.., kruyuk..., bunyi perut lapar mengindikasikan sudah saatnya saya harus bangun. Di samping saya, Fahmi masih tidur pulas. Sisa perjalanan kemarin masih tampak dalam bayang wajah kami, namun perut lapar harus diatasi. Setelah shalat dan mandi, saya berjalan keluar mencoba mencari warung. Banyak orang melintasi saya dengan tatap tanya dan tersenyum, saya hanya balas tersenyum. Jalanan aspal memperlihatkan kontur tanah yang naik turun. Selama berkegiatan di sini, kami tinggal di rumah Pak Kalibun Harno, sebutan untuk kepala desa. Sekitar 100 meter berjalan dari rumah beliau, sebuah bangunan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Muqtashid berdiri. Anak-anak laki-laki berseragam pramuka ramai bermain kelereng. Sedang anak-anak perempuan duduk di dekat satu-satunya kantin milik seorang nenek, yang dikemudian hari baru saya tahu namanya, Nenek Maida – neneknya si Wahid. Kaki saya terus berjalan menuju warung dan membeli air galon, dan mendapati fakta tidak ada warung makan di desa ini. Setelah dibantu seorang bocah untuk berbicara dengan Nenek Maida yang tidak dapat berbahasa Indonesia, saya akhirnya membeli beberapa bungkus nasi kepal dan kerupuk. Di pedesaan, kerap ditemukan penambangan kapur. Sayangnya, minimnya analisa lingkungan keberlanjutan membuat banyak ditemukan penambangan yang sekali pakai. Sekali pakai diartikan, setelah potensi kapur digali lantas ditinggalkan. Meningalkan lubang menganga pada muka tanah desa.

Letak kecamatan kira-kira 5 (lima) kilometer dari rumah, begitu pula pasar terdekat, Pasar Batuputih yang berjarak sekitar 7 (tujuh) kilometer. Jika hendak ke pasar, alangkah baiknya datang pada shubuh hingga pagi hari karena stok barang dagangan seperti sayuran terbatas dan akan habis saat siang hari. Juga, persiapkan untuk membawa uang tunai rupiah jumlah kecil seperti seribu hingga sepuluh ribu agar proses jual beli mudah. Bahasa Indonesia telah dipahami oleh sebagian pedagang berusia di bawah empat puluh tahun dan bagi mereka yang pernah bersekolah minimal di bangku madrasah, sedang bagi yang tua mayoritas tidak mengerti bahasa Indonesia.


Jagung bayi merupakan varietas lokal yang menjadi hasil tani pokok selain kacang. Minimnya sumber air di muka tanah, membuat hanya beberapa jenis tanaman tani saja yang dapat tumbuh di Tanah Madura (kiri). Anak-anak berenang di kolam pemandian umum yang dipercaya tidak pernah kekeringan walaupun musim kemarau melanda. (kanan)

54


55


Gua kerap kali identik terletak di doline, menariknya foto di atas diambil di atas bukit kapur cadas dan kami diantar oleh belasan warga dan beberapa bapak menunggu kami hingga selesai eksplorasi. ---

Kedatangan tim kloter dua tiba saat malam hari. Saya dan Fahmi menjemput mereka menggunakan moda transportasi bernama stasen, bentuknya seperti angkutan umum len. Pemiliknya adalah seorang lelaki berusia tiga puluh tahun-an beranak satu. “Di desa, Cuma ada dua saja stasen macam ini. Alhamdulillah, rejeki saya lancar meski usia stasen sudah tua,� saya mengangguk-angguk sembari mendengarkan cerita Bapak yang saya lupa namanya. Setelah menunggu sekitar satu jam dan memandangi bus yang datang silih berganti di pertigaan Kalianget, terlihat empat orang turun bersama tas gunung

56

dan satu tas daffel. Stasen dinyalakan dan kami semua dibawanya menuju rumah Pak Kalibun. Tawa seketika membahana dan satu persatu akhirnya terlelap setelah sampai di kamar. “Yo mandi, ennnn...,� saya melihat seorang ibu tengah menyuruh anaknya untuk ikut mandi bersamanya. Juga para Ibu dan Bapak yang tengah memasukkan jagung ke dalam karung karena acara 1000 hari selametan akan dimulai siang nanti sesudah shalat Jumat. Kemarin, para ibu memasak kue bersama-sama. Riuh rendah suara berbahasa madura silih berganti masuk ke telinga saya. Sayangnya saya tidak dapat membantu – saya tertidur pulas di kamar setelah mengurus perizinan di kecamatan. Jagung adalah salah satu produk ladang utama di sini. Bentuknya lebih kecil daripada jagung yang kerap dijump-


ai di pertanian subur di Yogyakarta. Lingkungan tanah yang berbatu dan minim sumber air serta panas terik sepanjang hari, membuat warga harus berusaha keras untuk berladang. Saya, Isma, Sonya dan Eni bertugas untuk membantu warga dan Suryo akan berangkat untuk observasi kawasan bersama Fahmi dengan menaiki motor. Sejak pagi, tenda telah didirikan dan para ibu serta gadis juga anak-anak yang masih menjadi sanak famili keluarga yang berduka datang ke Tanian Lanjheng Bapak Kalibun Harno. Tanian Lanjheng adalah sebutan bagi tanah keluarga, di mana satu keturunan yang sama akan tinggal di satu tanah yang sama, sehingga melahirkan lingkungan kekeluargaan yang erat dan baik bagi pertumbuhan, kebudayaan dan citarasa keluarga anak-anak. Kami pun akhirnya membantu para Ibu di rumah yang disulap menjadi tempat aneka macam kue. Anak-anak ikut membantu dengan mengangkat kotak jajanan untuk didistribusikan keluar rumah. Di antara para wanita, memakai perhiasan emas cukup banyak adalah simbol kemakmuran. Meski berkerudung, kalung emas menjuntai keluar dan gelang-gelang emas berukuran besar akan bergemerincing saat tangan penggunanya bergerak. Cing.., cing.... Suryo dan Fahmi terus menyusuri jejalanan aspal dan berbelok searah tanda panah di gps. Aspal pun berganti jalan desa berupa batu gamping putih yang panjangnya mengular hingga tiada lagi jalanan. Selaksa ular putih – memantulkan cahaya silau saat sinar matahari siang mengenai kulitnya. Pemandangan selain perbukitan dan ladang adalah lokasi tambang batu bata gamping yang dilakukan secara tradisional, yakni dengan menyekop lapisan batu gamping. Setelah sumberdaya habis, lokasi penambangan dibi-

arkan begitu saja. Memperlihatkan bukit yang terluka dengan luka menganga dan tetumbuhan yang tumbuh di pinggir lokasi galian. Mirisnya, penambangan tidak hanya dilakukan oleh tim namun juga individu yang akan membangun rumah. Dengan kualitas batu gamping terbaik di Madura, lahirlah nama Batuputih – yang berarti batu yang putih atau secara umum disebut batu gamping. Deburan ombak terus mengikis garis pantai yang kerap langsung berhadapan dengan tanah humus. Motor yang ditunggangi berjalan cepat melintasi jejalanan dan kembali menuju rumah. Hari telah sore dan acara selametan telah selesai. Kami kembali berkumpul untuk makan malam dan dilanjutkan dengan evaluasi dan briefing. “Viva Mapagama! so! so! so!� Kami meneriakkannya dengan bersemangat dan mulai bergerak menuju pick up yang akan membawa kami menuju titik yang akan dituju. Karakterisasi kawasan dilakukan dengan berjalan menyisiri perbukitan menuju lokasi yang telah ditandai di peta. Pick up menurunkan kami di titik tengah antara tim A dan B. Sinar terik menyengat dan kami mulai bergerak dengan dituntun gps dan insting. Saya, mendata karakterisasi kawasan ke arah barat bersama eni dan fahmi. Sisanya, Suryo, Sonya dan Isma berjalan menuju arah timur. Kombinasi bukit berbatu, lembah kering dan bentukan sungai intermetten membantu saya dan eni dalam pendataan. Tepat pada pukul dua belas siang, kedua tim bertemu di atas pick up. Empat titik masih menunggu untuk didatangi. Menariknya, satu-satunya mata air di antara tiga desa observasi; Ds. Batuputih Daya, Ds. Dang Gedang dan Ds. Badur hanyalah di Ds. Badur. Air membuncah jernih dan dimanfaatkan oleh warga sebagai air sumber. Di hari yang panas, anak-anak berenang di salah satu bilik yang dibangun di atas sumber air. Di belakang bilik, sebuah sungai mengalir dan bermuara di laut. Tidak jauh dari sumber pertama, mata air muncul ke permukaan namun memiliki debit lebih kecil. Seorang nenek tengah mencuci baju

57


Pemetaan gua menjadi salah satu target tim Gladimadya Caving angkatan Ambu Udan guna memperkaya inventaris peta gua. Di gambar, Ai tampak sedang memberikan headlamp kepada pemotret - Sonya (kiri). ---

saat saya dan eni datang untuk mengecek ph air. Ah, tanpa disadari tangan saya menepuk-nepuk muka air. Kami bergerak pulang dan melewati ladang, kembali bertemu para bapak dan ibu yang bergerak pulang dengan membawa serta kedua sapi yang lehernya dikaitkan dengan Pangunung. Pangunung adalah alat pembajak yang memiliki sebuah belalai sebagai pegangan tangan. Para ibu berjalan cepat sembari menyunggi satu karung di atas kepalanya. Pick up berjalan cepat. Selama perjalanan, saya melihat banyak orang tua yang sedang memanen hasil ladang kacang tanah. Para ibu menyunggi satu karung di atas kepala dan berjalan pulang. Bagi yang memiliki pick up, hasil ladang akan diangkut di atasnya. Bersama kami, sesepuh di Tanian Lanjheng Pak Kalibun menumpang untuk pulang dengan membawa satu karung kacang. Wajah mereka tampak tua namun berseri-seri dan cahaya sore menerpa kepala-kepala kami yang bergoyangan saat mobil melewati kelokan jejalanan. Saya memanggul tas anti air dan tripod di pundak. Hari masih pagi saat kami memulai pemetaan di Gua Lawang. Gua ini terletak tidak jauh dari jalan raya dan berbentuk seperti kepala jamur dengan banyak chamber di dalamnya. Tipikal gua pesisir atau dikenal dengan flank marginal cave menurut J.R. Mylroie dan J.E. Mylroie dalam karya ilmiah berjudul Development of the carbonate island karst model, yakni the largest caves in carbonate islands as being the

58

result of mixing zone dissolution in the distal margin of the fresh-water lens, under the flank of the enclosing land mass. Indikasi adanya bentukan gua horizontal dan tidak memiliki lorong yang panjang menjadi gambaran banyak gua pesisir di pulau karbonat, seperti di wilayah Batuputih, Pulau Madura Provinsi Jawa Timur. “Dulu orang bilang kalua gua ini memanjang sampai pantai di Badur, tapi saya juga tidak berani masuk. Gelap dan ada kelelawar,” sebelum kami memasuki gua, Wahid bercerita atas mitos dan cerita mistis Gua Lawang. Wajahnya enggan untuk masuk dan dengan ekspresi lebih baik menunggu di luar. Gua ini memiliki banyak kelelawar yang tinggal berkoloni dan berterbangan saat kami menyoroti mereka dengan cahaya. Para semut juga membangun istananya di salah satu sisi chamber, membuat kami harus berhati-hati saat menginjakkan kaki di lantai gua. Saya pun mendapati dua entrance yang ditutup dengan batu gamping. Berdasarkan cerita, orang terdahulu di desa kerap melakukan I’tikaf di dalam gua hingga empat puluh hari lamanya. Salah satu entrance saya buka dan kami mendapati diri sudah berada di sisi lain bukit yang atasnya ditumbuhi tumbuhan kaktus. “Bukan hanya Gua Lawang, semua gua di sini (Kecamatan Batuputih) sudah melahirkan banyak kesimpang-siuran cerita. Takut tapi penasaran, hehe” Saya memandangi teman saya itu, Wahid dan Vendi. Meskipun takut, mereka --Gua Lawang adalah salah satu contoh gua yang terbentuk di kawasan pesisir pantai, horizontal, tidak memiliki lorong panjang, dan berbentuk seperti kepala jamur dengan banyak chamber di dalamnya. Masyarakat dahulu menggunakannya sebagai tempat semedi sehingga mereka menambahkan dinding dan bilik pintu sehingga terkesan menutup mulut gua utama.


penasaran dengan apa yang ada di dalam gua perasaan yang juga dimiliki oleh banyak warga desa, terlebih dengan kedatangan kami di desa. Saya dan kawan-kawan pun segera memulai pemetaan yang berlangsung cepat dan selesai pada waktu makan siang. Kami melanjutkan untuk mengeksplorasi sekitar gua bersama dua warga desa yang telah kami bekali dengan peralatan survey; helm dan lampu. Setengah anggota tim melanjutkan untuk survey gua Ghangen yang dalam bahasa Indonesia berarti daun kelor, dan sisanya menunggu di mobil pick up. Hari telah sore namun cahaya matahari masih terik. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah. Pakpakpak.., burung merpati yang tengah diadu terbang saling mengepak dan adu cepat menuju para betina yang menunggu di ujung lintasan. Para lelaki tampak berseragam dengan kaos yang penuh sablon sponsor tiap tim. Setiap minggu, mereka kerap ikut lomba adu terbang burung melati dan mendapat hadiah yang langsung diberikan oleh Mas Vendi selaku sekretaris Desa Batuputih Daya. “Aku, ibadah di kota dulu ya!� Sonya berang-

kat bersama Fahmi menuju satu-satunya gereja di Kota Sumenep setelah berganti pakaian. Mayoritas pemeluk agama di sini adalah Islam. Sama halnya dengan banyaknya sekolah berbasis madrasah baik di kota maupun desa. Bahkan, sekolah dasar yang dibangun pemerintah di desa terancam akan ditutup karena para orangtua calon murid memilih untuk menyekolahkan anaknya di madrasah ungkap Tut, salah satu anak yang telah menikah di usia dini sebab tidak melanjutkan sekolah di tingkat SMA atau setara dengan Madrasah Aliyah. Gua kedua yang kami datangi adalah sebuah gua yang berlokasi di atas bukit berbatu. “Antheng.., ya Antheng,� ucap salah seorang bapak yang menjadi penunjuk arah menuju mulut gua. Kami tidak datang sendiri, banyak dari warga desa yang ikut naik bersama kami atau menyusul naik saat kami sudah di mulut gua. Bebatuan yang cukup tajam untuk membuat kulit tanpa penutup tergores membuat kami harus berhati-hati saat berjalan naik setengah memanjat. Kami sampai di sebuah kekar dan menawarkan sebuah celah berkedalaman sepuluh meter yang dilalui dengan tali oleh Suryo dan Eni. Kami pun bergerak turun karena Gua Antheng tidak ber-

59


Plan view

D

dangan baru akan kehidupan di desa Batuputih Daya.

A

4,0 E

C

B

4,2

G

H

3,5 0,7

F

Peta Gua Lawang (Bunguel) oleh Suryo Abdi, dipetakan oleh tim survei Sonya Maharani, Eni Paryani, dan Farah Aida I.K.

potensial untuk dipetakan dan segera menuju titik ketiga, Gua Kandang. Bersama Pak Safi’i dan temannya, kami berjalan sekitar 400 meter. Tiada korelasi antara kandang dengan gua yang memiliki entrance setinggi lima meter. Hanya ada sekawanan monyet yang menggantung di atas pohon. Saya bertugas menjadi sketcher dan Suryo sebagai leader segera memulai pemetaan. Gua dengan dua lorong ini adalah bentuk sesar dan di beberapa titik terdapat stalagtit. Di luar gua, Isma menunggu kami hingga pemetaan selesai. Saya berjalan beriringan dengan kawankawan menuju pick up. Jalanan desa tampak lengang dan hanya ada beberapa hewan ternak seperti sapi dan kambing yang kami temui. Pick up datang setelah lima belas menit menunggu. Udara segar menerpa kami dengan halus. Rambut sonya berterbangan tertampar angin dan saya sibuk dalam pikiran – bahwa, hari-hari berjalan cepat dan semakin banyak yang saya ketahui tentang desa membuat saya mendapat banyak pan-

60

Gua terakhir yang kami petakan berada tidak jauh dari rumah, sekitar lima belas menit perjalanan dengan mobil lalu dilanjutkan dengan berjalan menuju mulut gua yang berada di antara bebatuan dan ladang jagung. Gua Sarukin memiliki banyak ornament aktif seperti stalaktit dan stalagmit, juga kami menemukan pilar, curtain, shark teeth, dan flowstone berukuran besar. Miris, banyak vandalisme yang kami temukan. “Itu (Ornamen) dijual hingga satu juta lebih namun harga di Jakarta sampai puluhan juta, ” Wahid bercerita mengenai aksi yang dilakukan entah oleh siapa. Saya menerawang, mungkin saja jika aksi tersebut tidak dilakukan mungkin harumnya tetap akan dijual. Dengan cara dan kondisi yang berbeda. Kami pulang menjelang sore. Langit cerah tak berawan dan tidak terasa waktu bergulir cepat. “Kakak besok sudah kembali ke Jogja, ya?” Tut bertanya dengan mata ingin tahu. Saya mengangguk pelan. Tut telah menikah sejak ia dinyatakan lulus dari bangku Madrasah Diniyah atau setara SMP. Letak SMP yang cukup jauh dan membutuhkan banyak uang untuk bersekolah, menjadi faktor utama selain kemalasan yang Tut rasakan saat belajar di kelas. Dia menikah dengan seorang keluarga dekat dan bercerai setahun kemudian. “Kakak, jangan lupakan Tut ya! Juga kami semua di sini…” Saya membalasnya dengan tersenyum. Tut suka bercerita dan menggendong Eni, seorang balita anak pamannya. Rambutnya kerap digerai panjang dan dikuncir. Bukan hanya Tut yang menikah dini di desa, beberapa anak berusia di atas lima belas tahun juga sudah menikah. Lebih baik menikah dini daripada berzina, ungkap para tetua desa. “Makanya, merantau saja haha!” ungkap Wahid jika tidak ingin dinikahkan dini. Saya dan kawan-kawan menghabiskan hari terakhir dengan karakterisasi kawasan. Tim


A SARUKIN

on

h Daya, Batuputih, Sumenep, East Java 02E 9236867N in 20th of February 2018 iswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada

(BCRA) : Suryo Abdi P, Sonya Maharani, Eni Paryani & Farah Aida I.K (2018) out & Design by: Suryo Abdi P (2018)

B

dibagi menjadi tiga, saya dan Fahmi, Sonya dan Isma , dan Suryo bersama Eni. Kami mendatangi tujuh titik. Saya dan Fahmi menaiki motor dan mulai bergerak menuju empat titik yang terletak berdekatan dalam satu lembah kering. Menariknya, selama berkendara saya melihat banyak D A B lading hingga ke lokasi yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki atau memaksa motor melewati jalan setapak di pinggir ladang. Seorang Bapak tampak menarik dua sapinya dengan alat bernama Pangunung, sebuah alat kayu dengan H G I ragam hias Madura. Hari makin terik. Tim dua dan tiga menyelesaikan karakterisasi tiga titik dengan cepat dan melanjutkan untuk mendatangi Gua Bakar. Sebuah cerukan berukuran besar SCALE 1 : 250 dengan0 banyak ditemukannya bekas dinding ter10 20 Meters LEGEND bakar.

8,0

-5m

0m

D C

-10m

-5m

A F H

-10m

-10m

13

-15m

-15m

10

0,8

Step

Boulder or pebble

Walldengan presentaMalam hari kami habiskan Flowstone Sand sediments si hasilStalactite setelah berkemas untuk kembali ke YoStalagmite Ceiling height gyakarta. Bintang-bintang terlihat jauh namun Cave entrance Pit open to the suface berkelip-kelip. Saya menghela napas, akhirnya Column / pillar kami pulang. Selamat tinggal Cak Kosim! Saya masih juga tidak dapat merasakan sate Madura – tidak ada yang berjualan sate rupanya. []

3,0

G 1,0

I

21,4

Peta Gua Sarukin (atas) dan Gua Kandang (bawah) oleh Suryo Abdi dan Farah Aida I.K. Tim survei Sonya Maharani, Eni Paryani, Suryo Abdi P. dan Farah Aida I.K.

61


62


63


TelusuR

Sekretariat Mapagama, Perumahan Dosen UGM Jalan Bougenville Blok N30, Sekip, Sinduadi, Mlati, Sleman, DIY. 55281


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.