Booklet Output Gladimadya Penelusuran Gua Mapagama 2019 : Journey To The East

Page 1

GLADIMADYA PENELUSURAN GUA

A JOURNEY TO THE EAST

Eksplorasi Pendidikan dan Pemetaan Gua Kontekstual

-2019-


Kata Pengantar Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan YME atas terlaksananya kegiatan Gladimadya penelusuran gua “A Journey to the East�, yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2019 di Desa Donorojo, Pacitan. Berjalannya kegiatan ini pun bukan tanpa hambatan - cukup banyak tantangan yang perlu dihadapi oleh tim bahkan sebelum melaksanakan kegiatan. Terima kasih kami berikan kepada pihak UGM maupun pihak-pihak lainnya yang terlibat, yang telah mendukung kegiatan ini sehingga dapat berjalan dengan baik. Tak lupa pula, saya ucapkan selamat kepada tim pelaksana yang berhasil menyelesaikan tahap Gladimadya di Mapagama. Booklet ini disusun oleh tim pelaksana sebagai salah satu bentuk kreativitas mereka dalam mengolah pengalaman dan cerita yang mereka dapatkan selama berada di sana, dan juga hasil pengamatan mereka dalam bentuk tulisan dan gambar, dan saya harapkan booklet ini dapat menjadi salah satu contoh bagi tim-tim lainnya yang ingin mengolah hasil kegiatannya menjadi sesuatu yang bermanfaat dan informatif bagi orang lain. Akhir kata, saya atas nama tim memohon maaf apabila dalam booklet ini masih ada beberapa kesalahan maupun kekurangan di sana-sini dalam penyusunan maupun teksnya, dan kesalahan apapun semoga dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi orang lain maupun tim ke depannya. Yogyakarta, 6 Februari 2020 Ketua Mapagama,

Iqbal Setya N


Daftar isi 01 Selayang Pandang 02 Peta Kawasan Desa Sekar 03 Menuju Kota 1001 Gua 04 Karst di dalam Kelas 06 Waktunya Caving 09 Waktu Luang 10 Kembali ke Titik Nol 11 Gua Ndawung 13 Ciri Khas Orang Pacitan 14 Kuliner Khas Pacitan 15 Rumah Tradisional Pacitan 16 Kepercayaan Orang Pacitan 17 Kekayaan Alam Pacitan 18 Suka Duka Tim 20 Kata Mereka


Selayang Pandang Pacitan merupakan sebuah kabupaten yang memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan. Baik pada bidang pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, kerajinan batu alam, kerajinan batik tulis, dan yang tidak kalah potensial adalah keindahan alamnya yang mampu mengundang banyak wisatawan domestik maupun mancanegara. Kabupaten Pacitan memiliki banyak sekali objek wisata alam. Goa merupakan salah satu destinasi wisata popular di Pacitan, sehingga tak heran apabila daerah ini mendapat julukan 1001 goa. Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kabupaten Pacitan

01 | A Journey to the East


A Journey to the East | 02


Menuju Kota 1001 Gua Oleh: Rima Russelina

S

“Suasana belakang rumah Pak Nardi, lahan terlihat kering hanya jagung yang dapat bertahan.�

elasa 17 September 2019, Rima dan Dirham sebagai tim advance berkumpul di sekre D11 untuk melakukan breafing keberangkatan. Namun seperti biasa, lagi-lagi jam keberangkatan menjadi molor karena ada beberapa hal yang belum siap dan kami pun belum juga sarapan. Akhirnya, kami memutuskan bahwa Dirham mencari sarapan, ditemani oleh sepeda kecil sekre, sedangkan Rima menemui Nora di fakultas teknik untuk mengambil proposal dan segala bentuk surat perizinan. Sesampainya di teknik terlihat Nora sedang lari tergopoh-gopoh ke tempat fotokopi-an. Rima pun menunggu sekitar setengah jam lalu kembali ke sekretariat D11. Waktu menunjukkan semakin siang, Rima dan Dirham bersiap berangat ke Pacitan dan diantarkan penghuni sekre hingga halaman depan. Perjalanan menuju Pacitan awalnya seperti perjalanan darat yang biasa saja. Namun, ketika sampai di dekat kota Wonosari, Rima merasakan kantuk yang teramat sangat. Lalu mereka berhenti di Indomaret Siyono sekitar delapan menit dan melanjutkan perjalanan kembali. Ketika sampai di perbatasan Semanu-Pracimantoro, Dirham menunjukkan antusiasnya karena telah sampai di Jawa Tengah. Ketika sampai di suatu tanjakkan yang cukup curam, Dirham menceritakan ke Rima bahwa dua tahun yang lalu An-

03 | A Journey to the East

gkatan Sajan juga melewati jalan tersebut dan salah seorang dari mereka jatuh dari motor hingga terpental. Tak lama setelah cerita tersebut dibicarakan, terlihat gapura selamat datang di Kota Pacitan yang membuat perjalanan 2jam ini menjadi terbayarkan. Namun, mereka masih harus menancapkan gas beberapa kilometer lagi untuk sampai di basecamp yang akan menampung tim gladimadya ini untuk beberapa hari ke depan. Siang semakin terik, laju motor menjadi perlahan dan akhirnya menepi. Mereka telah sampai di basecamp Dusun Krajan, Desa Sekar, tepatnya Rumah Pak Nardi. Saat itu, ternyata yang menyambut mereka adalah istri Pak Nardi. Mereka diperkenankan masuk dan meletakkan barang-barang. Tak lama kemudian, berpamitan kepada istri Pak Nardi untuk mengurus perizinan di Kota Pacitan. Perjalanan ke Kota Pacitan ditempuh dengan jarak yang tidak dekat. Apalagi ditambah jalan pintas menuju kota Pacitan sedang dalam perbaikan yang membuat tim advance melewati jalan bus dan lebih jauh. Sesampainya di Kota Pacitan, tempat pertama yang mereka tuju adalah dinas pariwisata lalu bakesbangpol. Sayangnya, pada hari itu perizinan belum dapat keluar karena kepala dinas ada kepentingan lainnya. Akhirnya Rima dan Dirham kembali ke Rumah Pak Nardi.


D

esa Sekar merupakan bagian dari kawasan bentang alam karst Gunungsewu yang membentang dari Kabupaten Bantul hingga sisi barat Kabupaten Pacitan. Seperti kawasan karst pada umumnya, Desa Sekar mengalami kesulitan air pada musim kemarau. Namun di sisi lain juga memiliki potensi air bawah tanah yang melimpah bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan penghidupan masyarakat sekitar.

Pagi ini saya bersama kelima teman saya akan melakukan kegiatan pendidikan kontekstual tentang kawasan karst di SDN 1 Sekar, Donorojo, Pacitan. Muatan pendidikan yang kami bawa berasal dari sebuah gagasan sederhana, yaitu bagaimana siswa-siswa sekolah dasar bisa memahami tentang kondisi lingkungan dimana mereka tinggal. Kebetulan topik ini sangat linier dengan fokus kegiatan kami, penelusuran gua.

Karst dalam Karst di dalam A Journeydi to the East Kelas Kelas Oleh: Dirham MG 2017287

Oleh: Dimas Irham MG 2017287

Tim kami dibagi menjadi dua kelompok; saya, Rima, dan Toki mengajar di kelas V; sementara Suryo, Lyan, dan Alfira mengajar di kelas IV. Untungnya murid di kelas saya hanya ada 11 anak, kelas IV juga hanya 15 anak. Setidaknya, kelas jadi lebih mudah dikendalikan karena tidak terlalu ramai. Kesan pertama saya ketika masuk kelas, “wah senyap sekali kelas ini,� mereka duduk siap dengan tangan dilipat di atas meja dan tidak berbicara sedikit pun sebelum kelas kami mulai. Sangat jauh berbeda dengan murid SD yang biasa saya temui ketika melakukan pengabdian mengajar. Meja dan kursi di kelas 5 disusun melingkar, membentuk huruf ‘U’, menghadap papan tulis. Sisi kiri dan kanan diisi oleh 3 orang, sementara sisi yang menghadap depan diisi 5 orang. Sementara meja guru terletak persis di tengah, membelakangi papan tulis. Saya pikir susu-

nan tempat duduk yang seperti ini lebih menyenangkan karena setiap anak bisa melihat wajah temannya masing-masing. Selain itu, dengan susunan meja-kursi seperti ini juga menghindari adanya kesenjangan antara kelompok anak duduk belakang vs kelompok anak duduk depan. Berdasarkan pengalaman saya 12 tahun duduk di bangku sekolah, mereka yang duduk di barisan belakang seringkali dicap sebagai golongan siswa malas dan tidak antusias. Sementara mereka yang duduk di barisan depan juga dicap entah cari muka di depan guru atau memang tidak bisa membaca tulisan di papan karena rabun. Rima sibuk menyiapkan laptop dan materi di meja guru, sementara Toki hanya berdiri di tengah mengamati suasana. Akhirnya saya lah yang berinisiatif menjadi badut untuk memecah keheningan di kelas ini. Pertama saya meminta mereka untuk memperkenalkan nama, hobi, dan A Journey to the East | 04


cita-citanya masing-masing. Adalah suatu hal yang menyenangkan ketika mengetahui semua anak disini memiliki hobi dan cita-cita yang beragam. Tidak jarang yang bercita-cita jadi dokter dan guru, pun juga tidak jarang saya dengar yang hobi membaca dan menulis. Yang unik buat saya adalah hobi bersepeda, memasak, dan ada juga yang bercita-cita jadi fotografer. Saya jadi terharu, baru sekali ini saya dengar di dalam kelas ada yang bercita-cita menjadi fotografer. Tapi yang lebih bikin terharu justru saya yang suka memotret malah belum berani untuk bilang bahwa cita-cita saya menjadi seorang fotografer. Kelas V memiliki tujuh murid perempuan dan empat murid laki-laki. Tentu saja saya hanya ingat nama murid yang laki-laki: Reza, Agung, Jamal dan Hasel. Uniknya murid di sini belum ada yang pernah mengenal ice-breaking pasarannya para mahasiswa, seperti lagu ikan buntal, teko kecil, marina menari, tepuk semangat dan tepuk mantul. Waktu pertama ice-breaking dimulai, Toki yang paling semangat dan gembira. Saking meluap-luap energinya, dia sampai lupa lirik dan gerakannya tepuk semangat. Bahkan sampai kedua kalinya tepuk itu diulang, dia masih

05 | A Journey to the East

percaya diri dan bingung letak kesalahannya dimana. Kikuk, semangat, dan percaya diri, racikan yang pas untuk membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Hal yang menyenangkan dari pendidikan kontekstual ketika diajarkan di dalam kelas adalah topiknya yang ringan dan dekat, sehingga anak-anak mudah merasa antusias untuk mendengarkannya. Selama penyampaian materi tentang kawasan karst, bisa dibilang kami tidak mendapat kesulitan sama sekali. Pertama, karena murid-murid disini terbilang cukup pintar berbahasa Indonesia sehingga komunikasi diantara kita tidak terkendala bahasa. Kedua, karena mereka semua patuh, nurut, lucu dan imut. Kemudian sebelum materi ditutup, kami mengajak salah satu dari mereka memperagakan alat pengaman saat berkegiatan penelusuran gua. Mereka memang malu-malu, tapi saya tahu sebenarnya mereka sangat ingin mencoba helm stabilo yang menyilaukan itu. Akhirnya seorang anak perempuan berani mencoba, dan ekspresinya sangat menggemaskan. Dia mainkan tombol on/off yang ada di headlamp dengan rasa penuh heran tapi sambil tertawa-tawa sendiri. “Welcome to the cave, my dear.�


Waktunya Caving! Oleh: Ichsanu Balya N Q

“Tempat ini kami jadikan lokasi umtuk bermalam selama melakukan penelusuran gua. Tempat ini dipilih karena memiliki karakteristik tanah yang padat dan terletak lebih tinggi dari permukaan aliran air. Sebelum melanjutkan pergerakan penelusuran gua, kami menyiapkan segala perbekalan, memakai kembali coverall dan sepatu boots kami�

J

um’at, 20 September tibalah waktunya untuk susur gua. Suryo dan Rima bertugas untuk menyiapkan makan pagi bersama Bu Nardi, sedangkan lainnya mengemasi logistik yang akan dibawa. Setelah makan pagi, sekitar pukul 08.00 kami memulai berangkat ke Luweng Ndawung. Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit. Setibanya di lokasi kami langsung orientasi tempat untuk menentukan tempat camp kami yang nyaman. Kami saling berbagi tugas untuk mendirikan flying basecamp sampai tak terasa waktu telah menunjukan pukul 10.30. Kemudian kami masuk gua yang dipandu oleh Pak Tarno. Pak Tarno merupakan seseorang yang dipercaya warga sekitar untuk menyimpan kunci masuk gua tersebut. Pada kesempatan kali ini, beliau menawarkan untuk turut serta dalam ekspedisi kami. Kami memasuki mulut gua yang nampaknya vertikal, namun masih dapat kami jangkau sehingga tidak memerlukan peralatan SRT untuk memasukinya. Setelah melewati lorong vertikal tersebut, kami langsung berhadapan dengan tubuh sungai bawah tanah. Atap yang rendah, lorong yang sempit, dan

air yang mengalir nampaknya menjadi kesan pertama kami memasuki gua ini. Setelah berjalan cukup lama, kami diajak Pak Tarno untuk melihat sebuah ruangan raksasa dengan berbagai ornamen yang menghiasinya. Lantainya terbuat dari flowstone yang masih putih seperti susu, terdapat juga stalagmit raksasa, stalaktit, bahkan kami menemukan sebuah sinter pool di atasnya! Bukan main indahnya. “Biasanya warga sini menyebutnya piramid, kalo mau naik jangan lupa sepatunya dilepas agar tidak mengotori ya�, terang Pak tarno. Rupanya beliau masuk karena ingin menunjukan pada kami sebuah mahakarya Tuhan yang sangat indah di desa ini dan juga menjaganya agar tidak terjadi kerusakan padanya. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan hingga tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 1 siang, kamipun berhenti untuk istirahat. Pada titik itu pula Pak Tarno mengatakan itulah titik terjauh yang pernah ia dan warga jelajahi. Lorong di depan masih nampak gelap walau kami telah menyinarinya seolah menantang kami untuk terus dijalahi. Di tengah suasana yang hening dan air sungai yang dingin kami berdiskusi kecil

A Journey to the East | 06


untuk memutuskan tempat ini akan kami jadikan sebagai stasiun nol pemetaan. Setelah beristirahat, kami kembali lagi untuk membuat camp di dalam gua. Sebelum sampai di camp, Pak Tarno memutuskan untuk keluar dan mempersilahkan kami untuk berkegiatan. Kami mendirikan camp pada daerah yang relatif lebih tinggi dari muka air bawah tanah. Aku dan Dirham, kembali keatas untuk laporan komunikasi sedangkan Ilham dan Alfira tinggal dibawah untuk menyiapkan tempat camp. Pada hari itu juga terjadi pertukaran orang yang bertugas menjaga flying basecamp dengan yang masuk gua. Rima dan Suryo mendapat kesempatan untuk masuk sedangkan Dirham jaga atas. Kamipun kembali kebawah untuk makan malam dan istirahat. *** i dalam gua, seolah tak ada bedanya antara jam 5 pagi maupun jam 12 siang karena di sini gelap dan suhu relatif konstan. Setelah sarapan, kami langsung mengemasi peralatan karena hari ini kami akan mulai pemetaan gua. Sesuai dengan kesempakatan kemarin, kami kembali ke titik terakhir yang kami pilih sebagai stasiun nol. Waktu masih menunjukkan pukul 8 ketika kami sampai di tempat tujuan. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi lagi. Ternyata gua ini masih sangat panjang. Selain itu medannya bervariasi, mulai dari berlajan, berenang, merangkak, hingga chimneying. Satu jam kami puas menjelajahi area yang mungkin belum tersentuh manusia, kami kembali ke stasiun nol dan memulai pemetaan. Kami menggunakan metode forward dengan arah pergerakan bottom to top untuk pemetaan kali ini. Sesi pemetaan ini bisa dikatakan “spaneng� karena kami dihadapkan dengan data, angka, sketsa, ditambah medan yang tidak mudah juga. Kami harus tetap fokus agar data yang kami dapat memiliki akurasi tinggi. Disela-sela pemetaan, kami memutuskan untuk istirahat sejenak dan dilanjutkan fotografi karena terdapat spot yang lumayan menarik untuk menampilkan kesan heroik selama penjelajahan. Tempat tersebut berupa

D

07 | A Journey to the East

lorong yang bawahnya merupakan sungai, menggambarkan hanya ada dua pilihan bagi kami untuk melewatinya, berenang atau meniti pinggiran lorong, namun opsi terakhir juga memaksa kami untuk berenang sebenarnya. Setelah melakukan fotografi, kami makan siang dan melanjutkan pemetaan kembali. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, sedangkan pemetaan masih harus berlangsung. Akhirnya diputuskan Suryo dan Alfira kembali ke atas untuk laporan komunikasi sedangkan kami tetap melanjutkan pemetaan. Akhir dari pemetaan ini adalah camp kami didalam gua. Kami optimis bisa menyelesaikan di hari ketiga esok. Setelah pergantian penjaga flying basecamp, kini Dirham kembali masuk ke dalam gua. Sebelum memulai ritual makan malam, tak lupa kami menyanyikan lagu happy birthday kepada Dirham yang berulang tahun pada hari itu. Sebuah pengalaman perayaan ulang tahun ke-22 di dalam gua yang


mungkin tidak akan terulang. Malam itu, kami juga banyak bersenda gurau dengan bermain permainan kecil seperti Truth or Dare sebelum tidur. *** iba di hari terakhir, hari di mana kami harus menyelesaikan PR data peta gua. Setelah bangun dan sarapan, kami langsung tancap gas untuk kembali memetakan Ndawung ini dari tempat kami camp menuju mulut gua. Memang tak sepanjang kemarin, tapi medan kali ini lebih menanjak karena melewati lorong vertikal. Sekitar pukul 12 siang kami telah merampungkan pemetaan kami. Sedikit lebih cepat dibangin kemarin. Setelah sampai di mulut gua, kami kembali ke bawah untuk melakukan fotografi. Sesi foto kali ini cukup panjang karena sudah tidak ada target lagi di dalam gua. Namun sebelum berfoto, aku dan Ilham kembali ke dalam untuk memasang marker sebagai batas kami melakukan pemetaan. Kami mencoba berbagai spot

T

foto. Ilham dan Rima mendapat sesi foto pada draperies. Sebuah ornamen gua yang memiliki kenampakan seperti gorden jendela dan akan membuat kesan seperti ada ada cahaya yang berpendar apabila disinari. Kami juga berfoto di sinterpool. Pada saat tersebut juga, terjadi tragedi pada teman kami, Rima, yang tersengat oleh listrik akibat flash yang ia bawa terkena air. Hari sudah sore, jam menunjukan pukul 3. Kami kembali ke atas untuk berkemas dan meninggalkan tempat ini. Tiga hari di dalam gua seolah membuat kami lupa akan apa itu cahaya matahari. Udara segar diperbukitan ditemani sang surya yang kian condong ke arah barat menandai akhir kegiatan kami. Banyak kesan namun sulit disampaikan, namun saat itu kami juga harus melanjutkan perjalanan. Pick up yang kami sewa sudah menunggu. Dengan sisa tenaga kami mengangkat semua logistik kami dan pulang ke rumah Mas Nardi. A Journey to the East | 08


Waktu Luang

P

Oleh: Suryo Abdi

agi datang tak seperti biasanya, kami bisa bangun lebih siang dari hari-hari sebelumnya. Hari ini adalah hari kami bisa bersantai melepas penat setelah 3 hari berkelut dengan gelap, basah, dan kotor. Kala sinar mentari mucul kami sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing, pergi ke pasar, memasak, menyiapkan alat yang harus dibersihkan, dan ada yang masih berkutat dengan kehangatan selimut, hingga kami berkumpul untuk menikmati perjamuan pagi itu. Setelah perjamuan pagi kami bersiap untuk berangkat menuju tempat yang kami sebelumnya tak ketahui, tempat yang berlimpah air guna membersihkan alat yang kami gunakan untuk melakukan penelusuran gua. iang itu kami bercengkrama sembari membersihkan alat yang kotor terkena lumpur. Cukup banyak memang alat yang harus kami bersihkan, mentari memberikan semangat kepada kami

Sekretariat Pacitan Speleologi Club Indonesia

S

09 | A Journey to the East

untuk segera menyudahi membersihkan alat karena suhu dikala itu tak seperti biasa yang kami rasakan di Yogyakarta. Setelah semua alat bersih dari lumpur kami pun berpindah tempat untuk sedikit membagikan ilmu penelusuran gua kami kepada teman-teman pengiat alam bebas di Pacitan yang baru merintis untuk mengembangkan wisata penelusuran gua. Siang hingga malam kami berlatih bersama sembari bercengkrama memberikan sedikit ilmu kami bercerita kesana kemari hingga tak terasa kami harus mengakhiri pertemuan kami di hari itu. Sebelum kami mengakhiri pertemuan dengan teman-teman Pacitan Speleologi Club (PSC) kami dijamu dengan kehangatan dan kenikmatan masakan rumahan yang memberikan pengalaman tersendiri bagi kami. Setelah menyantap makan malam, kami berpamitan dan berfoto bersama untuk dapat kami kenang saat kegiatan ini sudah berakhir. Kami harus menyudahi pertemuan kami selama seminggu di Pacitan dan harus kembali menju Yogyakarta untuk melanjutakan kehidupan kami masing-masing.


Kembali Ke Titik Nol Oleh: Muh Ilham

S

epi adalah kata yang pas untuk menggambarkan sepanjang jalan lintas selatan Jawa. Hari ini tepat seminggu kami berada di Pacitan. Tak terasa pula kami akan kembali lagi ke Jogja. Gladimadya telah berakhir, entah mengapa aku bisa sedikit merasa lega dan mulai saat ini kami akan dibayang-bayangi oleh laporan dan tugas kuliah yang menumpuk. September, seharusnya sudah memasuki musim hujan, tetapi kemarau masih berlanjut di sini dan juga di belahan Jawa lainnya. Betapa musim penghujan adalah hal paling dinanti di sini. Sebab kemarau adalah sinonim dari kata kekeringan. Aku baru setahun berada di Jawa, di kampung halamanku iklim masih stabil dan justru kami tak berharap ingin hujan. Berbeda di selatan Jawa tepatnya di GunungSewu Geopark, jikalau kemarau tiba, kadang kala mereka membeli air dan apabila kemarau berkepanjangan seperti ini, akan ada banyak kesempatan untuk membeli air dan sedikit kesempatan untuk menggarap tanah yang kering. Perjalanan ini sedikit-banyak memberikanku arti bersyukur. Evan telah tiba di rumah Pak Nardi. Sedikit berbincang tentang kondisi Jogja selepas kami tinggal, kami lantas lanjut makan siang. Suhu di sini panas apalagi ketika matahari tepat di atas kepala. Mayoritas orang di sini menghabiskan hari di dalam rumah atau bahkan di beranda. Aku sendiri sudah terbiasa dengan iklim panas, tetapi tidak untuk teman-teman yang lain. Selepas makan siang, kami berbincang sejenak, lalu bergegas memindahkan logistik ke dalam mobil dan kemudian pamit kepada Pak Nardi dan keluarga. Saling menyapa dan berikut kalimat-kalimat rindu, juga pada anak-anak Pak Nardi yang menggemaskan. Kami melaju ke barat, menuju Kota Jogja melewati jalan yang sama ketika kami berangkat ke sini dan seperti kataku tadi jalan di sini sepi. Tak banyak kendaraan lalu lalang dan beberapa jalan besar ini bahkan tak memiliki lampu lalu lintas. Kami melaju cepat, kadang juga lambat. Sementara yang lain sedang mencoba tertidur, aku tetap termangu menatap keluar jendela mobil sembari menyelesaikan puisiku. Tanah kering, batu gamping, dan pohon jati adalah pemandangan yang kami temukan dari Doronojo sampai Semanu. Kami semula terbagi dua rombongan, ada yang naik motor dan naik mobil. Di motor ada Lyan dan Suryo dan di mobil ada Dirham, Alfira, Rima, Evan, dan aku. Sewaktu di Wonosari rombongan terpisah. Kami singgah untuk membeli cendol dawet karena cuaca yang kian panas, sementara Lyan dan Suryo tetap melanjutkan perjalanan ke Jogja. Kami tampak kebingungan sewaktu mencari pedagang cendol dawet dan beberapa menit berselang kami akhirnya bersua. Singgah sebentar, lalu melanjutkan perjalanan. Mendekati Kota Jogja, hening justru menjadi latar kami. Tak ada lagi cerita, tak ada lagi Tik-tok-an, dan yang tersisah hanyalah lelah. Kami tiba di Sekretariat ketika sore tiba, jamnya pun sudah kulupa. Yang aku tahu sesudah itu, aku hanya ingin rebahan. A Journey to the East | 10


Deskripsi Deskripsi Luweng Luweng Dawung Dawung Oleh: Alfira Ihda

G

ua Ndawung adalah salah satu gua bertipe horizontal. Gua Ndawung ini belum banyak dikenal oleh masyarakat luar namun sudah banyak warga sekitar gua yang masuk dan menelusurinya. Gua Ndawung memiliki sungai bawah tanah yang cukup dalam dibeberapa tempat sehingga untuk menelusurinya dibutuhkan pelampung bagi penelusur yang tidak ahli dalam berenang. Panjang dari Gua Ndawung yang kami telusuri ± 1 km dan tinggi atap mencapai ± 56 m.

“Ruang utama Luweng Dawung yang dialiri air sepanjang tahun, di sisi kiri dari arah mulut gua terdapat ruangan besar yang berisi ornamen putih bersih dan sangat terjaga”

11 | A Journey to the East

G

ua ini dimulai dengan memasuki mulut gua yang bertipe semi vertikal dengan kedalaman 10 m. Aliran air dimulai saat setelah menuruni mulut gua, disini ada tangga yang dibuat oleh warga sekitar untuk memudahkan para penelusur turun. Awal dari sungai ini memiliki lorong yang sempit sehingga perlu jalan jongkok untuk melewatinya. Air dari sungai di awal lorong ini tidak terlalu jernih dengan ketinggian ± 50 cm. Setelah berjalan menyusuri sungai selama 10 menit terdapat persimpangan dengan aliran sungai di sebelah kanan dan daratan pasir di sebelah kiri. Sebelum sampai di persimpangan ini sepanjang lorong terdapat tali tampar yang dipasang oleh warga sekitar untuk memudahkan penelusur. Di dataran pasir ini dapat digunakan untuk bermalam apabila akan melakukan kegiatan multiday caving, karena lokasinya yang cukup luas dan datar juga tidak terkena aliran sungai.


D

i lorong selanjutnya terdapat jempatan yang telah dibuat untuk memudahkan penelusur melewatinya, lebih tepatnya jembatan untuk penelusur berpegangan karena untuk jalan yang dilewati cukup sempit, curam dan licin. Setelah melewati jembatan yang cukup curam terdapat ruangan yang cukup besar atau biasa disebut dengan chamber. Pada chamber ini terdapat 2 sisi yaitu sisi sungai dan sisi batuan. Sehingga di lorong ini masih bisa berjalan tanpa melewati sungai. Warga yang sudah pernah menelusuri Gua Ndawung ini hanya sampai pada lorong ini dan belum pernah ada yang masuk lebih dalam lagi. Pada chamber ini terdapat spot yang dikeramatkan oleh warga sekitar. Lokasi dari spot tersebut berada di paling atas chamber yang cukup tinggi. Di spot ini terdapat ornamen flowstone, pilar, stalakmit dan stalaktit dengan war-

na putih sehingga warga sekitar menyarankan untuk tidak memakai alas kaki ketika memasuki spot ini. Ada suatu yang menarik dibagian ini yaitu gourdam atau bendungan mirip petak sawah, yang terbentuk ketika pengendapan air, zat asam arangnya menghilang dan menyisakan kalsit yang tersusun susun. Sungai yang berada di lorong ini cukup dalam dan untuk melanjutkan ke lorong selanjutnya hanya bisa dengan melewati sungai ini. Karena kondisi sungai yang cukup dalam sehingga membutuhkan suatu bantuan seperti pelampung. Banyak ditemukan banyak gourdam di sepanjang lorong Gua Ndawung yang teraliri air. Terdapat lorong dengan batuan yang tertutup lumpur dan harus dilewati untuk mencapai lokasi lorong yang terakhir. Di lorong terakhir membentuk chamber yang cukup besar dengan banyak gourdam dengan aliran air.

A Journey to the East | 12


Ciri Ciri Khas Khas Orang Orang Pacitan Pacitan Oleh: Ichsanu Balya N Q

M

asyarakat Pacitan, terutama di Desa Sekar, bersifat heterogen karena juga banyak yang merupakan imigran dari daerah lain. Namun dibalik itu, baik pendatang maupun masyarakat setempat dapat hidup harmonis. Hal ini dibuktikan dengan masih dijalankan tradisi-tradisi di sana yang melibatkan semua elemen masyarakat, terutama pemuda. Masyarakat pendatang pun tak sungkan untuk berbaur. Masyarakat di sini pun juga ramah-ramah. Dalam kesehariannya, masyarakat setempat menggunakan bahasa jawa untuk berkomunikasi. Walaupun berada didaerah Jawa Timur, bahasa Jawanya tidak se-khas orang ‘Jawa Timuran’, lebih mendekati ke bahasa Jawa Solo-Jogjakarta yang identik dengan ‘alus’, namun juga tidak sepenuhnya mirip juga. Seperti semacam ada transisi an-

13 | A Journey to the East

tara dua bahasa Jawa, ya itulah Pacitan. Dalam hal mata pencaharian, masyarakat Pacitan sangat bervariasi, melihat dari kondisi dan potensi daerah yang mereka tinggali. Masyarakat yang tinggal dekat pantai umumnya akan menekuni pekerjaannya sebagai nelayan. Kemudian masyarakat tinggal di desa umumnya akan bertani dan berternak. Namun karena Pacitan merupakan kawasan karst yang cukup sulit untuk mendapatkan air bersih, maka pada musim kemarau sawahsawah atau ladang akan dibiarkan saja tanpa digarap. Memasuki daerah perkotaan, masyarakat umumnya bergelut dibidang industri. Hal ini karena industri di sana cukup berkembang dan memiliki produk unggulan seperti industri kayu, batu mulia, batik tulis, dan gerabah.


P

acitan selain terkenal dengan kawasan karst dan kota 1001 gua, ternyata juga memiliki kekayaan kuliner tak kalah dari kota di Jawa Timur lainnya. Kuliner khas Pacitan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan daerah sekitarnya seperti Yogyakarta, Jawa tengah, maupun Jawa Timur. Hanya saja ada beberapa hal

yang sedikit berbeda dari segi tampilan maupun bahannya. Berangkat dari letak geografis pacitan yang berada di ujung selatan Jawa Timur membuat kota ini memiliki potensi maritim yang dimanfaatkan menjadi olahan khas Pacitan yang berbahan

Kuliner Khas Pacitan Oleh: Rima Russelina

Gambar: Google

dasar ikan tuna. Tuna yang beberapa tahun terakhir mulai diangkat oleh menteri kelautan dan perikanan ini dapat diolah menjadi sosis, otak-otak, siomay, rolade, dan yang menjadi khas dari Pacitan adalah tahu tuna. Resepnya memang sama seperti tahu bakso pada umumnya. Bedanya, daging yang digunakan adalah ikan tuna tanpa duri yang diperoleh dari nelayan di pesisir Pacitan langsung. Masih di daerah pesisir pacitan, banyak ditemui pula soto Pacitan. Soto Pacitan dapat dilihat kasat mata. Yang biasanya soto tidak menggunakan kacang-kacangan, soto Pacitan menggunakan kacang tanah sebagai topping. Kuahnya bening, tidak seperti soto Lamongan yang terdapat kuah koya dan berwarna kuning. Makanan ringan selain tahu tuna adalah jadah bakar dan punten. Makanan ini biasanya menjadi hidangan wajib yang disuguhkan tuan rumah ke tamu. Seperti tim gladimadya kami yang sempat mencicipi lezatnya jadah dan punten pemberian pemilik basecamp tempat kami tinggal selama di Pacitan. Jadah bakar memiliki cita rasa yang gurih sedangkan punten manis. Sehingga makanan ini sangat cocok disandingkan dengan teh hangat. Kuliner khas Pacitan yang tak kalah diminati oleh kaum pencinta kuliner adalah jenang Pacitan. Warnanya coklat pekat dan rasanya manis. Mirip seperti dodol garut namun bedanya adalah jenang ini terdapat campuran wijen. Sehingga membuat sensasi sendiri dilidah para penikmatnya. A Journey to the East | 14


Rumah Tradisional Pacitan Oleh: Dimas Irham

B

icara tentang budaya Pacitan, tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Jawa pada umumnya. Secara historis Pacitan masih termasuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram sampai dengan tahun 1680-an, hingga kemudian sampai pada masa okupansi Hindia Belanda, wilayah Pacitan dan sekitarnya tergabung dalam Keresidenan Madioen. Sehingga dialek bahasa, arsitektur, makanan, hingga seni pertunjukan di wilayah Pacitan ini lebih condong mengarah ke jawa-tengah-an dibandingkan kejawa-timur-an. Meskipun sudah lebih 74 tahun jadi bagian dari Provinsi Jawa Timur, pengaruh arek ngalaman dan cakcuk suroboyoan masih belum mendarah daging. Kalau ditanya, apa Pacitan punya rumah tradisional sendiri? Jawabannya ya, sama seperti di belahan Jawa Tengah dan Jawa Timur lainnya, rumah tradisional di Pacitan juga dikenal dengan nama Rumah Joglo. Di Kecamatan Donorojo, khususnya Desa Sekar sendiri, terbilang masih cukup banyak penduduk yang mempertahankan bentuk rumah joglo untuk kediamannya. Tipikal bangunan terbuat dari kayu, dengan atap berbentuk limasan atau joglo. Biasanya mereka memiliki halaman depan rumah yang cukup luas, baik dalam bentuk sudah diplester atau berupa tanah padat. Halaman depan ini biasa digunakan

15 | A Journey to the East

“Bentuk rumah yang sangat umum ditemui di Pacitan, Rumah dengan atap limasan dengan ukuran yang khas.�

untuk tanaman hias, tanaman mponmpon (kebutuhan masak sehari-hari), atau lahan buat ayam bebas berkeliaran. Uniknya dari rumah-rumah penduduk di Pacitan adalah, terserah mereka mau menggunakan konstruksi lama, atau konstruksi campuran semi modern, setidaknya atap masih berbentuk limasan dan dilengkapi dengan ukiran dari seng pada bagian atasnya. Ukiran ini dapat bermacam-macam bentuknya, bisa tokoh dalam perwayangan (misalnya: gareng, petruk, bagong, semar), bisa juga lambang kenegaraan seperti garuda pancasila, atau hewan peliharaan seperti ayam, kuda, lembu, dll. Ukiran seng ini lah yang dapat memberikan informasi tentang kapan rumah itu dibangun karena persis di bawah lambang tersebut terdapat tulisan yang terdiri dari empat angka, perlambang tahun pembangunan. Coba sekali-sekali main ke wilayah Pacitan dan sekitarnya, pasti kamu akan menemukan hal yang sama.


KKepercayaan epercayaanO Orang rang PPacitan acitan Oleh: Muh Ilham

P

acitan, negeri seribu gua. Julukan itu memang ada benarnya, sepanjang perjalanan, kami kerap bertemu mulut gua, entah di simpang jalan atau bahkan di tengah ladang. Di Donorojo sendiri, banyak penduduk yang merupakan pendatang dari barat, bukan bule loh yah. Tapi, dari Jawa Tengah maupun Yogyakarta, itulah yang kami temukan ketika berbincang dengan beberapa penduduk lokal. Dari segi bahasa, daerah ini adalah peralihan dari Jawa Tengah atau Yogyakarta dengan Jawa Timur. Maka dari itu, masyarakatnya lebih condong ke Jawa Tengah dibanding Jawa Timur-an, pola masyarakat dan sistem sosial maupun kepercayaan di sini juga hampir sama dengan yang bisa kami lihat di Yogyakarta. Besok, kami akan multiday caving, tiga hari yang akan kami lalui esoknya adalah dunia tanpa cahaya— cahaya matahari. Dan jujur saja, pengalaman itu adalah pengalaman yang tak terlupakan. Mencari narasumber di sini, gampang-gampang-susah. “Tidak, di sini tidak ada mitos-mitos. Di sini biasa-biasa saja.� Kata warga yang Lyan dan aku wawancarai.

Bagiku, mengulik informasi adalah sesuatu yang sulit. Cenderung sulit untuk orang yang pendiam sepertiku. Lyan pun juga sama. Tapi, kami masih punya satu senjata ampuh yakni pendekatan dari segi bahasa oleh Lyan. Setidaknya, jika berbahasa Jawa dengan orang Jawa adalah pintu keterbukaan dan itulah yang belum aku miliki. Sebagian orang di sini masih menganut ajaran kejawen dan untuk daerah pedesaan seperti yang kami kunjungi ini rerata hampir semua beragama Islam. Kentalnya kepercayaan dengan nuansa Islam membuat masyarakat Pacitan memiliki sifat wirang, sifat yang diambil dalam kata wara’ dalam bahasa Arab yang berarti takut kepada Tuhan. Sifat wirang ini menimbulkan kepribadian perwira, yakni perpaduan antara sifat malu, jujur dan berani mengakui kelemahan dirinya. Salah satu manifestasi dari karakter orang Pacitan yang menjunjung rasa wirang ini adalah bersikukuhnya mereka untuk tidak mau meminta-minta. Kesulitan ekonomi seperti apapun yang dihadapi oleh orang Pacitan, tidak akan menjadi pengemis.

A Journey to the East | 16


Kekayaan Alam Pacitan Oleh: Suryo Abdi

“Lansekap sisi timur Kabupaten Pacitan, dari kejauhan samar terlihat bukit kembar Watu Limo dan Tebing Sepikul yang memanjakan mata.�

K

ala itu sedang Pacitan merindukan kedatangan musim penghujan, memang tempat kami berkegiatan sedang dilanda musim kering, air yang turun dari hujan tidak tertampung dalam tanah namun air itu masuk ke celah-celah bebatuan dan mengalir didalam gua, tak banyak yang kami ketahui tentang misteri keunikan pada bentang alam karst. Karst merupakan bentang alam yang pembentukannya akibat pelarutan air pada batuaan gamping. Pacitan termasuk dalam bentang alam karst dengan vegetasi penyusun berupa tanaman Jati sebagi

17 | A Journey to the East

pohon yang dominan ditanam, singkong, jagung, kacang dan padi juga menjadi tanaman yang banyak ditanam, tetapi padi dan kacang sering ditanam pada musim penghujan saja karena memang musim penghujanlah yang memberikan berkah bagi warga di kawsan karst. Bentang alam karst di Pacitan terdapat banyak bukit yang menjulang oleh karena itu warga sekitar memanfaatkan bentang lahan untuk bercocok tanam dengan membuat terasering, warga sekitar juga menampung air hujan saat musim penghujan dan digunakan saat musim kemarau.


Suka Suka Duka Duka Tim Tim Koordinator Tim Koortim menurut saya, susah gampang karena menentukan seberapa cepat laju sebuah tim, namun juga didukung kerjasama dari anggota tim. Menjadi koordinator tim adalah tantangan tersendiri karena harus menggerakan, dan memanage tim dengan berbagai keunikan dan kesibukan masing-masing untuk mencapai tujuan bersama yang dikemas dalam gladimadya ini. Memang terkadang sedikit kesal juga karena anggota tim tidak semuanya bisa mengikuti jadwal yang sudah ditentukan. Tetapi yang yang paling asyik adalah mengenal keunikan tim ini.

Koordinator Lapangan Menjadi seorang koordinator lapangan menuntut untuk cermat mengambil sebuah keputusan. Tak ayal berbagai skenario yang sudah dibuat di awal dapat berubah seiring melihat kondisi lapangan. Dari situlah menurutku tantangan seorang koorlap. Namun dibalik itu semua juga rasa was-was akan risiko dari setiap improvisasi dan tindakan akan terus menjadi beban pikiran seorang koorlap. Baiknya bila semua sudah beres dan target tercapai, ada kebahagiaan tersendiri yang tidak terdefinisi.

Logistik

Sejak masuk di divisi caving sampai selesai gladimadya, saya benar-benar kosong dengan semua istilah-istilahnya, belum lagi alat-alatnya yang sangat banyak. Berawal dari situ, saya mengambil sie logistik. Tujuannya biar biar lebih mengenal alat-alat penelusuran gua. Selama berproses sebagai logistik, saya merasa sangat banyak mengalami evaluasi tentang lupa, keteledoran, atau hal-hal tolol lainnya. Tapi toh ini bagian dari proses. Dukanya, banyak sih. Jika yang lain lagi sibuk kadang antar surat sendiri, packing sendiri, balikin alat, belum lagi nyuci alatnya. Tapi setelah masuk gua, semua duka berubah jadi suka, apalagi jika ada sungainya. Hmm, main air. Udah gitu aja.

Konsumsi

Sukanya, bisa bikin menu sesuka sendiri tapi kadang malah jadi bingung sendiri mau bikin menu apa. Dukanya, selalu jadi ganti penanggung jawab masak padahal udah dibagi penanggung jawab masak setiap jam waktu makan. Dukanya pas bikin skenario yang pake daftar kalori kalori itu bolak balik salah karena harus nge-hitung banyak kalori disetiap bahan makan di menu yang dibuat.

A Journey to the East | 18


Administrasi Jadi sekretaris bendahara menurutkku susah susah gampang, sukanya ya gak neko-neko gitu tugasnya mintain surat, notulensi, ngrekap pemasukan pengeluaran, dll. Dukanya pas udah ngantuk dan ga fokus terus harus ngrekap atau ngitung uang saat itu juga. Yang agak ga enaknya lagi mungkin bikin proposal sama lpj sih karena pada ngaret ngirim kontennya atau tiba-tiba revisi pas udah mau di print jadi ngeditnya hectic dan hasilnya kurang rapi.

Pendamping & P3K Gladimadya ini merupakan gladimadya ke-4 ku di Mapagama, berbeda dari gladimadya yang sebelumnya, aku diposisikan menjadi seorang pendamping sekarang. Kala tim ini bergejolak aku ditarik untuk ikut dalam kegiatan, ya mau bagaimana lagi aku mengiyakan ajakan mereka karena mereka cukup progresif untuk kegiatan ini. Dalam tim aku diberi tanggung jawab menjadi penanggung jawab PPPK, jobdes ini biasa menurutku, karena dalam beberapa kegiatan aku sering mengambil peran tersebut. Bersyukurnya dalam kegiatan gladimadya ini tidak terjadi kendala yang serius dilapangan. Sebagai penanggung jawab PPPK aku cukup lega karena tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Manager & Dokumentasi Pengalamanku dampingi anak-anak selaw selama Gladimadya ini sebenarnya teramat sangat biasa. Nggak deng, pertama harus saya akui mereka cukup solid terlepas dari semua naik turun, jungkir balik, belok kanan, belok kirinya tim ini. Seingatku tim ini mulai terbentuk di sekitar bulan Februari – Maret, kemudian berangkat lapangan di bulan September, yang awalnya target berangkat di bulan Agustus tapi mundur dikit karena pergolakan batiniyah dan lahiriyah. Kalau dihitung kasarannya proses persiapan mereka menuju ke lapangan itu makan waktu sekitar 8 bulan. Yang awalnya cuma bisa caving di Jlamprong, sampe Gunung Bolong yang dalemnya mungkin lima kalinya Jembatan Babarsari. Akhirnya bisa dapet pemetan lebih dari seribu meter sungai bawah tanah di Gua Dawung itu udah merupakan pencapaian yang boleh lah disombongkan ke adik-adiknya nanti. Bolehlah sombong, asal tetep latihan dan ajari adik-adiknya. Percuma kalau mereka nanti hanya bisa dengar kisah heroik kalian tanpa menyaksikan langsung ketika beraksi di lapangan. Tapi menurutku emang kelewat selaw sih mereka ini, serius, kayaknya mending kalian seangkatan kumpul lagi dah bikin nama baru.

19 | A Journey to the East


KKata ata Mereka Mereka

Kepala SDN 01 Sekar

Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh Yth. Mapagama Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kami atas nama lembaga SD I Sekar mengucapkan banyak terimakasihatas kunjungannya yang berbentuk Pengabdian Pendidikan Karst. Karena dengan kegiatan ini siswa dan siswi kami tambah pengalaman dan mencintai alam lingkungan sekitar. Mudah mudahan semua yang diperoleh dari Tim Gladimadya Mapagama dapat bermanfaat dan berguna untuk sekolah yang lebih tinggi. Tak lupa siswa siswi kami mohon doa restunya karena sebentar lagi akan menempuh PTS (Penilaian Akhir Semester I) mudah-mudahan mendapat nilai yang memuaskan. Begitu juga kepada rombongan saya ucapkan selamat menempuh ujian semoga berjalan lancar dan sukses. Semoga apa yang sudah dilaksanakan di SD I Sekar Kecamatan Donorojo mendapat imbalan dari Alloh SWT. Tak ada gading yang tak retak, jika keluarga SD I Sekar banyak kekhilafan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh - Ibu Asih Mulyani -

Pemilik Basecamp Kami senang Mapagama mau singgah digubuk kami. Banyak ilmu yang kami dapat khususnya untuk anak-anak kami, semoga anak-anak kami bisa mandiri dan pintar seperti kakaknya Mapagama. Harapan kami agar Mapagama bisa mengembangkan potensi-potensi yang ada di Desa Sekar Donorojo, agar desa semakin berkembang dan masyarakatnya bisa meningkatkan ekonominya menjadi lebih baik. - Pak Nardi dan Keluarga -

A Journey to the East | 20



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.