Itbmagz #1

Page 1


EDITORIAL

Terbitan perdana ITB Magz pada pertengahan 2012 ini merupakan momentum awal transformasi dari buletin Berkala ITB menjadi majalah ITB Magz. Ia merupakan media komunikasi seluruh civitas akademik, alumni, serta mitra ITB yang diterbitkan oleh Direktorat Humas dan Alumni ITB. Peluncuran edisi pertama ITB Magz bertepatan dengan perayaan Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia yang diperingati setiap 3 Juli. Pada tanggal ini, 92 tahun silam, didirikan De Techniche Hoogeschool te Bandung (TH) yang kemudian berubah menjadi Institut Teknologi Bandung. Pendidikan tinggi selalu menjadi isu yang hangat dalam dunia pendidikan, terutama pada dasawarsa belakangan ini, mengingat semakin ketatnya persaingan pada semua bidang kehidupan. Kualitas pendidikan tinggi menjadi salah satu tolok ukur utama dalam keberhasilan di dunia kerja. Hal ini terus berkembang, terutama dengan munculnya berbagai klasifikasi internasional yang memberikan peringkat perguruan tinggi. Untuk menanggapi hal ini, ITB Magz menghadirkan artikel utama yang bertemakan pendidikan tinggi Indonesia dan kelas dunia. Berkaitan dengan maraknya derap penelitian di Indonesia dalam menghadapi persaingan global, kami hadirkan pula artikel mengenai himbauan publikasi pada jurnal ilmiah bagi lulusan di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia. Himbauan ini memunculkan berbagai tanggapan dan pertanyaan, bagaimanakah dampaknya pada dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia, khususnya di ITB? Di lain pihak, derap reformasi dan pembaruan berlangsung dengan pesat di lingkungan ITB, bisa dilihat pada perubahan-perubahan signifikan yang terjadi belakangan ini. Salah satunya adalah tranformasi ITB dari BHMN (Badan Hukum Milik Negara) menjadi BLU (Badan Layanan Umum) yang kami angkat pada salah satu artikel kami. Semoga pembaruan tersebut memberikan manfaat yang lebih besar, baik untuk civitas ITB, masyarakat sekitar, maupun bangsa Indonesia seutuhnya, bahkan dunia internasional. Atas nama redaksi ITB Magz, tak lupa kami sampaikan duka cita kami yang sebesar-besarnya atas berpulangnya salah satu alumni kami, Giri Suseno Hadihardjono di usia 71 tahun, dimana ia pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan pada era Kabinet Reformasi Pembangunan. Selamat membaca! ■ Marlia Singgih Wibowo

2

/ JULI 2012

PENERBIT Majalah ini diterbitkan oleh Direktorat Humas dan Alumni Wakil Rektor Komunikasi Kemitraan dan Alumni Institut Teknologi Bandung Penanggung Jawab Hasanuddin Z. Abidin Direktur Marlia Singgih Wibowo Administrasi Anis Sussieyani Binarti Dyah Pertiwi Budi Mulyadi -----------------------------------

REDAKSI Chief Editor Veinardi Suendo Excutive Editor Ismail Al Anshori Tim Redaksi Dhany Dewantara Dyshelly Nurkartika Pascapurnama Vernida Shofia Diviezetha Nofri Andis Redaktur Artistik Mario Rinaldi Yugi Adzani Alamat Redaksi Kantor Direktorat Humas dan Alumni. Gd. CCAR Lt. 1 Jl. Tamansari No. 64 Bandung. Tel. 022 - 2500935 Anda dapat mengirimkan artikel atau menginformasikan kegiatan Anda. Hubungi kami melalui Email: redaksi@berkala.itb.ac.id


Daftar Isi 4

C

urat Pembaca, Menyoal Wajib Kelulusan

B

ertahan atau Berkembang ?

over Story Reth!nking Higher Education

16

A

pa dan Bagaimana ITB BHMN menuju BLU

17 6 10

M

M

embuka Kotak Pandora

L

ika - liku Peringkat Perguruan Tinggi

TIM PARISH

5

S

14

enggugat Ujian Nasional

19

A

genda Kegiatan

JULI 2012 \

3


SURAT PEMBACA

Menyoal Wajib Publikasi untuk Kelulusan Dunia akademisi sedang dihebohkan oleh surat yang diterbitkan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementrian Pendidikan Nasional nomor 152 tahun 2012. Ia menyatakan bahwa publikasi ilmiah menjadi syarat kelulusan mahasiswa sarjana (S1), magister (S2), dan doktor (S3). Keputusan baru ini menimbulkan polemik di kalangan akademisi. Namun, ini wajar karena setiap aturan baru yang keluar pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Di sini saya akan coba memaparkan pandangan saya terkait surat edaran tersebut dari kacamata seorang mantan mahasiswa. Tetapi sebelumnya saya mencoba menceritakan pengalaman saya saat menjadi mahasiswa S3. Sewaktu saya kuliah S3, saat itu belum ada aturan Dikti yang mewajibkan publikasi di jurnal internasional sebagai syarat kelulusan. Tapi di program studi Fisika ITB, syarat tersebut diberlakukan untuk mendapatkan gelar cum laude, bukan syarat kelulusan. Awalnya syarat tersebut saya rasa cukup berat untuk dicapai. Pasalnya, tidak mudah untuk mendapatkan label ”accepted” dari jurnal internasional. Apalagi kelulusan saya sempat tertunda 1 tahun — awalnya direncanakan lulus dalam waktu 3 tahun namun menjadi 4 tahun — ”hanya” gara-gara menunggu paper saya diterima dalam jurnal internasional. Proses menulis saya mulai setelah mendapatkan data hasil penelitian disertasi. Yang saya rasakan, sulit sekali menulis — bagaimana menyampaikan ide-ide dalam bentuk tulisan dan memberikan jiwa dalam tulisan tersebut sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik dan tentunya enak dibaca. Pertama kali kami (saya dan para pembimbing) submit ke jurnal IEEE (Institute of Electrical and Electronics Engineers), hasilnya ditolak. Tapi manuskrip tersebut kami perbaiki hingga dirasa sudah layak untuk ditampilkan di jurnal internasional dengan impact factor lebih tinggi, yaitu ke Journal of Applied Physics. Sambil menunggu hasil penilaian dari IEEE, saya

membuat tulisan lagi sebagai ”cadangan” yang kami kirimkan ke Journal of Semiconductors dan Brazilian Journal of Physics. Tak disangka semua tulisan yang kami kirim tersebut diterima. Dari pengalaman saya, dapat ditarik kesimpulan bahwa — walaupun fasilitas serba terbatas — mahasiswa S3 di Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menampilkan karyanya dalam jurnal internasional. Dari penelitian yang sederhana pun dapat dijadikan tulisan dan kemudian dipublikasikan pada jurnal internasional jika tulisan tersebut dapat dikemas dengan baik. Jadi, tidak ada alasan bagi mahasiswa setingkat S3 menolak syarat publikasi dalam jurnal internasional. Namun, yang menjadi masalah adalah apakah syarat tersebut harus diberlakukan juga bagi mahasiswa S1 dan S2? Saya rasa ini perlu dipertimbangkan kembali oleh Dikti walaupun targetnya bukan publikasi dalam jurnal internasional. Disini terdapat sisi positif dan negatif. Positifnya, peraturan tersebut dapat meningkatkan produktivitas mahasiswa dan pembimbingnya. Mahasiswa dan dosen pembimbing akan dipicu untuk berkreasi mencari ide. Tapi tentu ini akan menguras tenaga, pikiran, dan waktu dosen pembimbing apalagi jika dosen tersebut memiliki banyak mahasiswa bimbingan. Karena itu saya kira harus ada penghargaan dalam bentuk insentif bagi para dosen pembimbing. Selain dapat meningkatkan produktivitas dan kreativitas, aturan baru ini akan bisa menekan tingkat plagiarisme. Sisi negatifnya, kualitas jurnal di bawah naungan universitas di Indonesia akan menurun. Dikhawatirkan, karena mahasiswa sarjana dan magister yang jumlahnya sangat banyak wajib mempublikasikan penelitian mereka, akan muncul jurnal ”abal-abal” yang menampung tulisan-tulisan tersebut tanpa melihat kualitas tulisannya. Disini, bukan kualitas yang diutamakan, tetapi keterpaksaan menerima tulisan dalam rangka membantu kelulusan mahasiswanya. Kekhawatiran ini tentu saja harus dicari solusinya. ■

Fatimah A. Noor

Alumni Program Doktoral Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB E-mail: fatimah@fi.itb.ac.id

4

/ JULI 2012


COVER STORY

HILLCOUNTRYPORTAL.COM

Reth!nking Higher Education

Pemikiran bersifat abstrak, yang mampu bergerak liar dan

berkembang tanpa batas. Pendidikan tinggi adalah sebuah wadah bagi pemikiran untuk dibentuk dan dikembangkan bagi kemajuan bangsa. Tantangan yang ada kini adalah menyusun kebijakan untuk dijadikan landasan yang kuat bagi pelaksanaan proses pendidikan tinggi di seluruh penjuru Indonesia. Kebijakan ini dengan sendirinya memberi arah bagi perkembangan proses pendidikan tingkat menengah dan kualitas lulusan perguruan tinggi. Pertanyaan terbesar yang ada dibenak kita adalah mau dibawa kemana pendidikan tinggi di Indonesia? Dasawarsa terakhir jumlah perguruan tinggi di Indonesia meningkat dengan pesat namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas. Tantangan ITB adalah dapatkah menjadi pelopor perbaikan pendidikan tinggi bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. â– Dhany Dewantara

JULI 2012 \

5


HIGHLIGHT

Lika-Liku Peringkat Perguruan Tinggi

T

imes Higher Education (THE) menerbitkan pemeringkatan universitas kelas dunia periode 2011-2012 barubaru ini. THE adalah media yang banyak mengulas perguruan tinggi di UK dan diakui sebagai penerbit daftar pemeringkatan paling komprehensif (Jamil Salmi, World Bank, 2008). Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, tentu

Definisi kelas dunia dikatakan beliau adalah yang memiliki kinerja sesuai kriteria yang ditentukan oleh majalah THE dan QS. “World class means, in fact, performing well according to certain criteria established by the Times Higher Education (THE) magazine and QS, an educational consultancy company, which between them annually publish a list of the top ranking universities in the world.”

Everyone wants one, no one knows what it is, and no one knows how to get one.” - Philiph G. Altbach

Seiring waktu, jumlah lembaga yang mengeluarkan pemeringkatan universitas kelas dunia terus bertambah. Daftar pemeringkatan itu diantaranya adalah ARWU - Shanghai Ranking Consultancy, THE-QS (2004-2009), THEThomson Reuters (2010-2012), US News and World Report-QS, Global Universities Ranking – Reitor, Leiden University, HEEACT - Taiwan Higher Education Accreditation and Evaluation Council, AUBR-European Commission, CHE University Ranking, U-Map – CHEPS University of Twente, U-Multirank – EU, Webometrics, dan AHELO-OECD. (Andrejs Rauhvargers, 2011, Global University Rankings and Their Impact, European University Association)

kita ingin tahu posisi universitas dari Indonesia berhasil menembus hingga posisi ke berapa. Ternyata dari 400 daftar nama universitas, tidak ada universitas dari Indonesia yang masuk. Definisi Universitas Kelas Dunia memiliki paradoks. Mengenai definisi kelas dunia ini, C.W. Watson Emeritus Profesor dari University of Kent yang sekarang menjadi tenaga pengajar di SBM ITB, menuliskan opininya di Jakarta Post pada bulan Maret lalu.

6

/ JULI 2012

Dalam laporan khusus ini, kami bandingkan beberapa pemeringkatan saja seperti Times Higher Education, baik pemeringkatan atas kolaborasinya dengan QS (2004-2009) atau kolaborasi terbarunya dengan Thomson Reuters


Terdapat 13 indikator yang menjadi penilaian dalam pemeringkatan yang dilansir THE, terbagi menjadi proses pengajaran, penelitian, transfer pengetahuan, dan internasionalisasi. Indikator performa ini diharapkan dapat mewakili aktivitas inti pendidikan tinggi. Phil Baty menjelaskan dalam blognya bahwa sistem pemeringkatan yang

(2010-2012) sebuah perusahaan penyedia data bisnis (www.timeshighereducation. co.uk), US News and World ReportQS (www.usnews.com), dan ARWUShanghai Ranking. Pemeringkatan ini menjadi fokus laporan kami berdasarkan kepada pengakuan dari institusi dunia dan banyak media internasional. Metodologi

baru ini memberikan porsi yang lebih besar untuk kriteria proses pengajaran, dibandingkan dengan porsi yang diberikan sebelumnya ketika masih bekerjasama dengan QS. Meskipun pada metode sebelumnya proses pengajaran sudah diwakilkan oleh rasio mahasiswa dan staf, Phil Baty yakin pemberian porsi ini akan lebih kuat dan memperkuat metode survei reputasi itu. Pemeringkatan 2011-2012 dikatakan akan memberikan gambaran survei reputasi akademik seluruh dunia dengan mengumpulkan 17.500 respon. Tetap pada komitmennya, THE akan berusaha mengurangi pengukuran subjektif. Untuk melakukan penilaian terhadap penelitian, THE memeriksa 50 juta sitasi dari jutaan kajian penelitian yang dipublikasikan dalam lima tahun terakhir. Pemeringkatan akan memperlihatkan jumlah sitasi antar subjek yang berbeda. Selain jumlah sitasi dan jumlah penelitian yang dipublikasi,

Metode yang dilakukan di pemeringkatan THE pada 2004, saat masih bekerjasama dengan Quacquarelli Symonds (QS), porsi terbesarnya adalah dengan analisa survei reputasi. Tetapi sejak 2010, THE bekerjasama dengan Thomson Reuters menggunakan metode yang berbeda. Phil Baty salah satu editor THE mengatakan bahwa THE mencoba memenuhi janjinya untuk menciptakan sistem evaluasi pengukuran performa pendidikan tinggi yang dapat lebih diandalkan, dan kuantitatif, dibandingkan penilaian subjektif seperti metode survei reputasi. JULI 2012 \

7


HIGHLIGHT sebagai pemeringkatan rutin dari universitas riset dunia. Seorang reporter dari Chronicle of Higher Education juga menulis ARWU sebagai pemeringkatan international yang paling berpengaruh. Para peneliti dari Center for World-Class Universities (CWCU), Shanghai Jiao Tong University yang berada di balik pemeringkatan ARWU menggunakan enam indikator objektif untuk memeringkat universitas-universitas dunia, termasuk di dalamnya jumlah alumni dan staf yang memenangi hadiah Nobel dan medali bidang ilmu, jumlah peneliti yang banyak disitasi yang tersaring oleh Thomson ScientiďŹ c, jumlah artikel yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal Nature and Science, jumlah artikel terindeks dalam Science Citation Index – Expanded and Social Sciences Citation Index, dan performa per kapita berbanding ukuran institusi tersebut. Lebih dari 1000 universitas diperingkatkan oleh ARWU, hanya 500 terbaik yang dipublikasikan dalam websitenya.

Melihat tingkatan klasiďŹ kasi jabatannya, jumlah responden tiga tertinggi adalah yang memiliki tingkat jabatan Profesor/Associate Profesor 52,3%, Kepala Departemen 11,4%, dan Asisten Profesor 6,9%. Selain tingkat jabatannya, QS juga mempertimbangkan lamanya pengalaman responden. Sebagian besar responden berpengalaman lebih dari 20 tahun (51,6%), responden yang berpengalaman 10-20 tahun menyumbang 28,5% dan sisanya adalah yang kurang dari 10 tahun. Academic Ranking of World Universities (ARWU) – Shanghai Ranking juga dikatakan Jamil Salmi dari World Bank sebagai salah satu pemeringkatan yang komprehensif. Bahkan pada 2005, The Economist juga mengatakan ARWU sebagai pemeringkatan yang banyak digunakan

8

/ JULI 2012

Posisi Tiga Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia Membandingkan peringkat yang diperoleh oleh tiga perguruan tinggi dari Indonesia, ITB, UI dan UGM yang biasanya masuk dalam pemeringkatan, didapat hasil seperti pada tabel di atas. Di pemeringkatan Times Higher Education edisi 2011-2012 dan edisi lain sejak 2010, mulai bekerjasama dengan Thomson Reuters, ketiga perguruan tersebut tidak masuk ke 400 universitas terbaik. Pada pemeringkatan ARWU juga ketiga perguruan tinggi tidak masuk 500 besar. Pada pemeringkatan yang dipublikasikan US News and World Report dengan menggunakan data dari QS, untuk peringkat dunia, ITB disebutkan berada pada rentang 451-500, UI pada posisi ke-217 mengalami kenaikan dari peringkat di tahun sebelumnya, dan UGM pada posisi ke-342 mengalami penurunan dari peringkat di tahun sebelumnya.


Dalam opini yang dituliskan C.W. Watson di Jakarta Post, mengevaluasi jumlah riset yang dipublikasikan hanya akan membedakan institusi pendidikan tinggi yang berbasis riset dan yang bukan. Karena harus diingat bahwa mengevaluasi jumlah riset bukanlah menilai baiknya universitas, tetapi menilai kinerja institusi riset. Universitas bukan sekedar institusi riset, tetapi tempat berkumpul dan berkembangnya pengetahuan dan tempat pelatihan murid-murid dengan kemampuan yang spesiďŹ k. Bill Watson yang juga Profesor Emeritus dari University of Kent ini juga berpesan jika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ingin meningkatkan kualitas riset, bisa saja mencontoh apa yang Negara lain lakukan. Yaitu menyediakan dukungan kepada setiap individu dan tim melalui sebuah sistem dewan riset dan menyediakan insentif yang layak. Dia pun mengemukakan bahwa kebutuhan Indonesia sudah jelas, yaitu pekerja yang berpendidikan untuk mengembangkan sumber daya alamnya dan mengembangkan perekonomian dalam rangka meningkatkan standar kesejahteraan dan kualitas hidup dari masyarakatnya. Semua ini dapat diakses dari pendidikan yang bagus. Mencoba melihat kualitas riset yang dimiliki Indonesia, ternyata Thomson Reuters baru-baru ini melansir bahwa meskipun jumlah publikasi penelitian Indonesia adalah kedua terendah se-Asia Tenggara, tetapi tetap memiliki kualitas dunia. Berdasarkan jumlah riset yang dikutip, Negara yang memiliki riset berkualitas di Asia Tenggara adalah Singapura, Filipina, dan Indonesia. Dengan Malaysia terendah di Asia Tenggara. Berdasarkan analisis Thomson Reuters, riset Indonesia didominasi oleh bidang ilmu hewan dan tanaman, medis, lingkungan, geologi, dan pertanian. Dengan riset yang paling banyak dikutip adalah bidang ilmu social dan humaniora, medis, pertanian, lingkungan, ekologi, dan imunologi. â– Dhany Dewantara

JULI 2012 \

9


HIGHLIGHT Oleh Budi Raharjo Staf Pengajar STEI ITB

Menggugat Ujian Nasional

B

eberapa hari yang lalu saya mengikuti diskusi tentang Ujian Nasional (UN). Ternyata ada banyak hal yang tidak saya ketahui. Ini sedikit cerita tentang yang saya pahami. Ada tiga fungsi yang dibebankan kepada UN. Pertama sebagai fungsi evaluasi/pemetaan. Berikutnya sebagai fungsi ukuran kelulusan. Dan terakhir sebagai fungsi seleksi masuk perguruan tinggi. Masalahnya adalah, ketiga fungsi tersebut tidak dapat disatukan dalam satu ujian. Padahal fungsinya sangat berbeda. Akibatnya adalah disaster dan lebih buruk lagi terjadi “pembusukan” pendidikan di Indonesia. Mari kita lihat fungsi tersebut satu persatu. FUNGSI EVALUASI/PEMETAAN. UN dapat digunakan sebagai fungsi evaluasi pendidikan di Indonesia. Ia adalah diagnostik. Seharusnya ini tidak dilakukan pada tahap akhir pendidikan. Kapan perbaikan dilakukan jika itu hanya dilakukan pada akhir pendidikan? Hal lain adalah sebagai fungsi pemetaan, dimana data tidak harus diambil dari semua siswa — tidak ada statistik yang sampelnya 100 persen. Proses pemetaan ini juga tidak harus dilakukan setiap tahun. Setelah ada evaluasi, dilakukan program perbaikan, kemudian baru dievaluasi lagi. Selain hal di atas, UN sebagai fungsi evaluasi masih layak untuk tetap dilakukan. Dengan catatan kondisinya distribusi normal. FUNGSI KELULUSAN. Nah ini kurang pas. Anak-anak yang di daerah dan memiliki fasilitas pendidikan terbatas tidak dapat disamakan dengan anak-anak di kota besar yang memiliki fasilitas sekolah sangat baik. Lulusan tidak harus sama semua. Kalau semua disamakan, maka yang diambil adalah batasan terendah, yang mana ini akan sangat rendah. Lagi pula kita bukan ingin mendapatkan buruh atau robot yang sama. Tidak semua siswa akan meneruskan ke perguruan tinggi — yang juga jenis-nya berbeda-beda. Kelulusan sebaiknya ditentukan oleh masing-masing sekolah — apakah mereka ingin masuk ke perguruan

10

/ JULI 2012

tinggi, nanti akan kita bahas kemudian. Karena dipaksa untuk menggunakan UN sebagai fungsi kelulusan, maka sekolah-sekolah mengajarkan siswanya agar lulus UN, bukan mengajarkan (dasar) ilmu. Sekolah takut dicap buruk, maka itulah yang dilakukan. Bahkan ada sekolahsekolah yang “mengatrol” nilai siswa-siswanya sejak kelas 1 — dengan nilai minimal adalah 7, dengan hadir di kelas saja akan mendapat nilai 7. Inilah yang dimaksud dengan “pembusukan” pendidikan di Indonesia. Mengapa sekolah melakukan hal ini? Selain karena takut dicap buruk, juga menyangkut masa depan siswa. Siswa yang tidak lulus UN lantas divonis tidak boleh meneruskan kemana-mana. Padahal kesalahan bukan pada mereka, tapi pada sistem. Maka sistemlah yang harus dibenahi, bukan siswa yang disalahkan. Intinya, penggunaan UN sebagai fungsi kelulusan harus ditentang. Catatan, kurva distribusi kelulusan skewed (miring) condong ke kanan, atau tidak seimbang. FUNGSI SELEKSI (MASUK KE PERGURUAN TINGGI). Fungsi ini lagi-lagi berbeda. Masing-masing fakultas, jurusan, atau program studi (prodi) membutuhkan mahasiswa dengan “bahan baku” yang berbeda. Calon mahasiswa kedokteran tentu saja berbeda dengan calon mahasiswa jurusan matematika. Maka sudah jelas fungsi UN tidak dapat digunakan. Perlu diingat, fungsi UN adalah sebagai pemetaan. Karena itu, proses seleksi (filtering) yang salah ini akan menyebabkan perguruan tinggi kesulitan dalam mendidik mahasiswanya. Dan kemudian nanti yang disalahkan adalah perguruan tinggi yang bersangkutan. Untuk penerimaan mahasiswa, perguruan tinggi seharusnya melakukan ujian sendiri, bukan UN. Bahwa beberapa perguruan tinggi bersatu untuk membuat ujian bersama, itu hal lain. Maka dari itu, fungsi seleksi masuk perguruan tinggi sangat tidak cocok bagi UN dan harus ditentang. Catatan, kurva distribusi seperti filter yang sharp (tajam) terhadap jurusan. Lantas, mulai dari mana kita membenahinya? Menurut saya harus paralel. Kita kembalikan UN seperti fungsi utamanya, yaitu sebagai alat ukur evaluasi atau pemetaan saja. Pengelola kampus harus berani mengatakan bahwa UN tidak dapat digunakan sebagai alat seleksi masuk ke kampus. Jika itu dilakukan, maka SMA-SMA tidak terlalu takut untuk berbuat jujur, memberikan nilai sesungguhnya tanpa “katrol,” toh perguruan tinggi akan melakukan ujian saringan sendiri. ■


Publikasi Karya Ilmiah sebagai Syarat Kelulusan

Bagaimana Pendapat Mereka?

P

ada 27 Januari 2012, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat edaran nomor 152/E/T/2012 perihal publikasi karya ilmiah di lingkungan perguruan tinggi. Surat edaran ini menyampaikan tentang pemberlakuan ketentuan bahwa untuk memperoleh kelulusan, mahasiswa program Sarjana (S1) harus membuat makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, mahasiswa program Pascasarjana (S2) harus membuat makalah yang terbit pada jurnal nasional (diutamakan terakreditasi Dikti), dan mahasiswa program Doktor (S3) harus membuat makalah yang terbit pada jurnal internasional terhitung Agustus 2012. Namun berdasarkan surat keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan (Atas nama Rektor) ITB nomor 191/I1.B01/PP/2012 pada tanggal 4 Juni 2012, ketentuan publikasi karya ilmiah ini akan mulai diberlakukan bagi para lulusan yang akan diwisuda pada bulan Juli 2012. Surat keputusan ini meurpakan tindak lanjut hasil keputusan Rapat Pimpinan ITB tanggal 22 Mei 2012 tentang kebijakan publikasi ilmiah bagi para calon lulusan S1, S2, dan S3 di lingkungan ITB. Dalam surat keputusan tersebut, disampaikan pula dokumen Ketentuan Publikasi Ilmiah bagi mahasiswa program Sarjana, Pascasarjana, dan Doktor di Institut Teknologi Bandung yang memuat latar belakang, deďŹ nisi, tata penyelenggaraan jurnal, materi makalah dan repositori, syarat kelulusan dalam kaitan dengan publikasi, serta SOP penerbitan yang berlaku. Adanya surat edaran dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dan surat keputusan dari pihak rektorat ITB tentu saja memunculkan

berbagai opini dari pihak civitas akademika ITB terutama para dosen dan mahasiswa program Sarjana, Pascasarjana, dan Doktor. Bagi mahasiswa program Sarjana, ketentuan ini merupakan hal yang baru mengingat sebelumnya tidak pernah ada peraturan yang mengharuskan mereka untuk mempublikasikan penelitian Tugas Akhir mereka dalam bentuk karya tulis yang dimuat dalam jurnal ilmiah sebagai suatu syarat kelulusan. Sedangkan bagi mahasiswa Program Pascasarjana, terutama Program Doktor keputusan ini merupakan hal yang lumrah karena memang sudah seharusnya hasil penelitian mereka dipublikasikan untuk kepentingan profesi maupun keilmuan yang ditekuni. Harus dengan proses yang benar Menyikapi kebijakan tersebut, Prof. Dr. Satria Bijaksana dari Program Studi Teknik GeoďŹ sika ITB menyatakan bahwa jika edaran Dirjen Dikti digunakan untuk himbauan tidak ada masalah pada ketentuan publikasi karya ilmiah tersebut, namun seharusnya ITB memiliki kemandirian untuk mengatur sendiri kebijakan tersebut. Dalam hal ini, beliau melihat ada proses-proses yang tidak diikuti dalam penentuan kebijakan terutama dalam hal penentuan publikasi karya ilmiah ini. Menurut beliau, jika kebijakan ini menjadi peraturan yang mengikat, seharusnya hal ini dibicarakan, didiskusikan, disetujui oleh senat akademik sebagai representasi dosen-dosen di ITB dengan begitu implementasi dari kebijakan ini akan menjadi lebih baik. Dengan koordinasi dan komunikasi yang lebih baik, apakah surat edaran Dirjen Dikti ini hendak dinilai sebagai himbauan atau dilihat sebagai aturan, ITB tetap memiliki kendali untuk mengikuti isi edaran atau tidak. JULI 2012 \

11


HIGHLIGHT

Apapun keputusan ITB, semua harus dilaksanakan dengan kesadaran dan persiapan yang baik. Prof. Dr. Satria Bijaksana melihat bahwa kondisi yang sekarang terjadi ini terkesan dipaksakan. Tujuan dari adanya SK dari rektorat mungkin benar, yakni untuk meningkatkan jumlah makalah ilmiah, membiasakan budaya menulis karya ilmiah, serta mengkomunikasikan secara luas hasil riset civitas akademika ITB agar lebih termanfaatkan. Akan tetapi, menurut beliau, prosedur yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut belum benar. Misalnya, apakah ITB sudah mempertimbangkan kurikulum pendidikan dan beban Tugas Akhir mahasiswa? Karena seperti kita ketahui, bobot Tugas Akhir pada mahasiswa setiap program studi berbeda-beda. Dengan begitu apakah kita dapat mengharapkan keluaran yang sama jika desainnya sejak awal tidak sama? Permasalahan lain yang muncul adalah apakah waktu bagi mahasiswa mulai dari penelitian Tugas Akhir, dan melakukan publikasi tersebut cukup? Maka dari itu, masalah bukan terletak pada ketentuan publikasi, melainkan pada proses pelaksanaannya, yang harusnya terlebih dahulu dilakukan secara proper. Prof. Dr. Satria Bijaksana menambahkan, bahwa pada sebagian bidang keilmuan, penelitian bersifat piramidal dimana mahasiswa program Doktor (S3) sebagai puncak piramid dengan mahasiswa Pascasarjana (S2) dan Sarjana (S1) dibawahnya yang juga membantu (menyokong) lewat penelitian mereka masing-masing. “Kalau mengharapkan mahasiswa S1 sudah mempublikasikan penelitian mereka, hal ini akan merontokkan piramida yang telah terbangun itu karena mahasiswa S3 tidak akan bisa lagi mempublikasikan konten penelitian yang sama secara keseluruhan sehingga nantinya yang ada adalah serangkaian hasil penelitian kecil yang banyak jumlahnya tapi mungkin tidak bermakna.� Tutur beliau. Hal ini kemungkinan akan menurunkan gairah dari dosen-dosen terhadap penelitian. Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan dalam ketentuan publikasi ilmiah bagi mahasiswa ITB, selain fasilitas, rasio ideal dosen dengan mahasiswa yang dibimbing penelitiannya juga

12

/ JULI 2012

harus diatur untuk mempermudah penulisan karya ilmiah. Dibutuhkan pula persiapan matang dari sisi dosen dan mahasiswa dan pertimbangan apakah topik penelitian jadi akan saling independen saja antaramahasiswa program Sarjana, Pascasarjana, dan Doktor agar tidak terjadi tumpang tindih. Beliau menuturkan kembali, “Kebijakan yang dibuat ITB terkesan terlalu terburu-buru. Kalaulah mau mengikuti surat edaran Dirjen Dikti, bukankan itu diberlakukan dari Agustus. Kenapa kita harus mulai dari Juli? Sehingga waktunya terkesan terlalu sempit.� Menurut beliau, publikasi karya ilmiah diutamakan untuk hal-hal yang baru. Sementara mahasiswa program Sarjana mayoritas tidak didesain untuk mengutamakan penelitian. sehingga sulit juga diharapkan untuk menjadi sebuah karya ilmiah yang diterbitkan di dalam jurnal apalagi yang terakreditasi. Karena itu untuk kejaran akreditasi tidak untuk level artikel mahasiswa program Sarjana. Sebagai perbandingan, Prof. Dr. Satria Bijaksana menyebutkan contoh kebijakan yang benar adalah SK Rektor tahun 2011 mengenai keharusan mahasiswa program Doktor untuk submisi karya ilmiah ke jurnal internasional. Kebijakan tersebut disampaikan saat mahasiswa angkatan terkait (2011) masuk sehingga ada bayangan mengenai persiapan beberapa tahun ke depan. Tujuannya memang terkesan mudah, hanya tahap submisi, namun menurut Prof. Dr. Satria Bijaksana hal ini benar karena urusan accepted dan published bukan kendali pembuat karya ilmiah. Cambuk untuk berbenah Dr. Brian Yuliarto, dari Program Studi Teknik Fisika ITB, memandang adanya kebijakan ini sebagai cambuk semangat untuk membuat tulisan karya ilmiah yang melibatkan peneliti civitas akademika dengan penelitiannya. Mata kita dibuka untuk melihat betapa Indonesia tertinggal dibandingkan negara tetangga dari sisi peneltian (publikasi jurnal ilmiah). Untuk itu, kebijakan ini dapat kita manfaatkan sebagai kesempatan untuk berbenah terutama dalam hal produktivitas penelitian dan publikasi karya ilmiah.


Beliau menambahkan, perlu ditelusuri pula mengapa Indonesia ini bisa tertinggal dari negaranegara lain di Asia (terutama Asia Tenggara)? Apakah memang karena dari pendukungnya sudah belum maksimal? Karena akan jauh lebih valid pernyataan bahwa hasil penelitian kita lebih sedikit dari negara tetangga jika kita memperhitungkan dan juga memasukkan faktor pembanding antara lain faktor peneliti, fasilitas, serta budget penelitian. Menurut Dr. Brian Yuliarto, perlu ada kebijakan turunan dari kebijakan yang telah diputuskan tersebut, sebagai pendukung dalam membangun semangat berbenah terutama dalam hal penelitian dan karya ilmiah tersebut. Misalnya dari sisi pendanaan penelitian, apakah sudah sebanding untuk menyokong para peneliti dalam menjalankan penelitiannya? Kemudian apakah pemerintah sudah memberikan fasilitas pendukung penelitian yang memadai untuk kepentingan para peneliti dan mahasiswa? Karena hal ini pula menjadi tanggung jawab pemerintah juga untuk mengurusnya, bukan hanya dibebankan pada para peneliti saja. Dalam menyikapi kebijakan ini, beberapa mahasiswa pun turut melemparkan opini mereka. Phutri Milana, mahasiswi program Pascasarjana Kimia, menuturkan bahwa dengan adanya kebijakan ini, mahasiswa mau tidak mau harus belajar menulis karya ilmiah. Kendala yang dialami terutama dari penentuan format penulisan yang belum baku dan waktu yang sempit dalam pembuatannya sehingga hasilnya tidak maksimal. Sementara Ari Dwijayanti, mahasiswi Program

Sarjana Mikrobiologi, menyatakan bahwa selain keharusan publikasi karya ilmiah, fasilitas untuk penelitian seharusnya terlebih dahulu ditingkatkan untuk menunjang penelitian. Berbeda dengan Phutri dan Ari, Dwiyantari yang akrab dipanggil Tari, mahasiswi Program Sarjana Biologi, awalnya berpikir kebijakan kewajiban penulisan karya ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan ini akan memberatkan, namun hal ini juga mendukung modal utama bagi mahasiswa yang ingin mengejar kuliah di luar negeri. Yang jadi masalah adalah batasannya serta memungkinkan atau tidak jurnal ini dibuat dengan jangka waktu yang terbatas karena menurut Tari, semuanya butuh proses yang panjang mulai dari penelitian, menulis skripsi, hingga menulis karya ilmiah. Sementara Achmad R. Wasil, mahasiswa Program Sarjana Teknik Geodesi dan Geomatika, menyebutkan bahwa jangan sampai dengan adanya kebijakan ini jumlah publikasi Indonesia menjadi meningkat namun tidak ada standarisasinya. Oleh karena itu kualitas penulisan karya ilmiah juga perlu ditargetkan selain target kuantitas. Baik Tari maupun Wasil sepakat bahwa mungkin mahasiswa akan merasa terbebani dengan adanya kewajiban menulis karya ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan, namun dengan adanya publikasi karya ilmiah dapat menfasilitasi penelitian yang karyanya tidak selalu yang bisa dilihat bentuk aslinya. Catherine Tobing, mahasiswi Program Sarjana Desain Produk,

memiliki pendapat yang berbeda. Menurut Catherine, selain terkesan mendadak, seharusnya penulisan karya ilmiah untuk publikasi dalam jurnal juga disiapkan dalam kurikulum sebagai mata kuliah sebagai sarana pembelajaran agar saat diminta membuat, mahasiswa tidak bingung. Selain itu sebagai mahasiswa yang menekuni bidang seni, Catherine menambahkan bahwa ketentuan penulisan karya ilmiah bidangnya tidak bisa disamakan dengan bidang sains maupun teknik karena mahasiswa desain dan seni murni memiliki bahasa sendiri untuk memvisualisasikan apa yang dibuat sehingga menurutnya lebih pas jika mereka menunjukkan karyanya lewat pameran yang dapat dilihat secara nyata. Karya ilmiah (tulisan) menurut Catherine dapat menjadi pendukung atas produk-produk seni yang telah dibuat. Dalam setiap penentuan kebijakan, terutama yang akan memberi pengaruh besar, hendaknya ITB menempatkan diri pada tempat yang semestinya dan melihat seberapa besar implikasinya kepada civitas akademika ITB. Pemikiran secara matang juga diperlukan agar kebijakan tidak terkesan keluar secara terburuburu. Ketika ada keputusan pemerintah yang berlaku untuk semua perguruan tinggi, ITB harus mampu mengatur diri sendiri. ITB harus memiliki fokus dan standar tersendiri mengenai pengaturan hal-hal tersebut termasuk melibatkan senat fakultas, sekolah dan senat akademik yang berperan penting dalam penentuan kebijakan. â– Dyshelly Nurkatika Pascapurnama JULI 2012 \

13


HIGHLIGHT Togar M. Simatupang Guru Besar Sains Manajemen ITB

ITB BHMN Menuju BLU

Bertahan atau Berkembang?

S

ebagai lembaga pendidikan tinggi teknik terdepan, Institut Teknologi Bandung (ITB) tidak terlepas dari sejarah pendirian dan kiprahnya pada pengembangan manusia yang bersumberdaya dalam bidang sains, rekayasa, dan seni. Pendirian ITB pada 3 Juli 1920 didasari pada misi penguasaan teknologi untuk mendorong pembangunan prasarana sosial dan ekonomi yang khas nusantara. Pada masa kini, ITB tetap diharapkan bukan hanya dapat mendidik para sarjana yang mumpuni, tapi juga menghasilkan berbagai buah pemikiran berupa inovasi yang berdampak pada masyarakat. Sarasehan tentang “Tantangan ITB� yang digagas oleh Majelis Guru Besar (MGB) pada 21 Juni 2012 justru lebih banyak menyisakan pertanyaan tentang kiprah ITB di masyarakat. Disinyalir ITB telah terhanyut dalam wacana yang berkepanjangan tentang peran ITB itu sendiri, tetapi sumbangsihnya minim. Artinya, masyarakat belum merasakan dampak kehadiran ITB sebagai salah satu aset bangsa yang terpending dalam penguasaan teknologi. Bisa dilihat bahwa produk kebijakan publik kerap tidak menghadirkan teknologi sebagai pengungkit keberhasilan program-program pembangunan. Fenomena ini membawa pada kesimpulan, ITB hanya sebatas pada misi pendidikan dalam menghasilkan para sarjana. Dua misi ITB dalam penelitian dan pengabdian — sebagai bagian dalam tridarma perguruan tinggi — belum digali secara optimal. Tidak seperti misi pendidikan yang mempunyai rutinitas yang terjadwal, misi penelitian belum berkembang karena kegiatan riset dan pengembangan di Indonesia

14

/ JULI 2012

belum menjadi sebuah industri yang matang. Perusahaan dalam negeri masih menaruh jasa penelitian dan pengembangan dari perguruan tinggi sebagai pemenuhan keingintahuan, bukan sebagai cara untuk meningkatkan daya saingnya. Mereka cenderung lebih gemar mengimpor teknologi daripada bekerjasama melakukan pengembangan dengan perguruan tinggi. Di sisi lain, upaya yang dilakukan oleh pemerintah pun belum memuaskan. Selain ketersediaan dana yang minim, penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah kerapkali tanpa fokus yang jelas dalam membangun ekonomi berbasis inovasi. Pemerintah tidak punya stamina untuk secara konsisten melakukan program penguasaan teknologi yang terpadu mulai dari pengembangan sampai menghadirkan teknologi yang tepat guna dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Nasib pelaksanaan misi pengabdian ITB tidak kalah mirisnya dengan misi penelitian. Pengabdian yang notabene adalah kepedulian ITB terhadap persoalan bangsa terdengar sayup. Secara umum, perguruan tinggi yang dulu tersohor dengan kepedulian yang kuat terhadap persoalan masyarakat telah tertinggal dibandingkan dengan kegiatan tanggung-jawab sosial yang dilaksanakan oleh perusahaan. Situasinya, perusahaan masih jarang menggandeng perguruan tinggi dalam mengembangkan kegiatan tanggung-jawab sosialnya. Mereka lebih banyak mendirikan lembaga sosial sendiri atau memanfaatkan lembaga swadaya masyarakat. Ketertinggalan ITB dalam penelitian dan pengabdian bukan berarti pelaksanaan misi pendidikan bebas dari


kritik. Melalui kewenangan otonomi pada BHMN (Badan Hukum Milik Negara), banyak kalangan menyalahartikan istilah otonomi ini sebagai “lisensi� untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Disini ITB dikritik belum menyediakan akses pendidikan bebas hambatan terhadap berbagai tingkat kemampuan ekonomi. Namun di sisi lain para pengkritik mengabaikan jumlah beasiswa yang cukup besar dan kebutuhan dana yang memadai dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi teknik. Walaupun ITB secara resmi telah menjadi perguruan tinggi pemerintah dengan bentuk Badan Layanan Umum (BLU), tidak berarti ITB memperoleh dana yang melimpah demi meningkatkan mutu pendidikannya. Selain berbagai turunan regulasi BLU yang belum tersedia, ITB masih dibebani untuk menghadirkan dana secara mandiri di luar uang kuliah dan kucuran dana pemerintah. Salah satu aspek penting disini adalah akuntabilitas, yang sayangnya ia sering diartikan secara sempit dalam hal penggunaan dana negara. Padahal akuntabilitas juga berarti tanggung-jawab dalam menjalankan misi sosial dan pengembangan teknologi. Hanya menekankan akuntabilitas keuangan tetapi mengabaikan pelayanan dan kontribusi akan melahirkan tirani tata kelola ala kadarnya yang memberikan penalti terhadap keunggulan. Dengan demikian, bila misi pendidikan belum dijalankan dengan optimum dan misi penelitian dan pengabdian masih tersendat, maka tantangan masa depan ITB tidak lain adalah memilih strategi bertahan atau berkembang. Strategi bertahan menempatkan ITB menjalankan pendidikan sebagai misi utamanya dengan koridor aturan main yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. ITB tidak lain tetap menjadi pabrik sarjana yang sama dengan perguruan tinggi lainnya. Tidak perlu ada kebutuhan untuk mencapai kinerja prima karena secara administrasi tidak ada penghargaan yang membedakan antara capaian minimum dengan capaian prima. Strategi berkembang adalah ITB mengerahkan potensinya untuk menjalankan tridarma perguruan tinggi secara utuh. Pemberdayaan menjadi ujung tombak dalam menggerakkan kemauan dan kemampuan civitas ITB dalam memberikan kiprah

penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Wahana pemberdayaan ITB terletak pada pendidikan yang bermutu — bukan hanya di ITB tetapi untuk pendidikan tinggi pada tingkat nasional, penelitian dan pengabdian yang turut menjamin keberlangsungan hidup lebih banyak orang, dan tanggung-jawab ITB pada tataran internasional. ITB perlu mempunyai target yang jelas tentang banyaknya program studi dengan mutu yang prima yang dapat menjadi etalase yang terbuka sebagai percontohan bagi perguruan tinggi lainnya. Jumlah mahasiswa yang stabil tiap program studi dengan penyelenggaraan dengan mutu prima diharapkan dapat menghasilkan calon pemimpin masa depan, atau lulusan yang dapat berkiprah pada tataran strategis sebagai cendekiawan, ahli teknik, negarawan, pewirausaha, dan ekspatriat. Program studi unggulan tersebut akan mampu melayani mahasiswa program studi sejenis melalui buku teks, standar kualiďŹ kasi, standar laboratorium, dan pendidikan dosen. Jadi, ITB bukan hanya menghasilkan sarjana ITB, tapi melipatgandakan program studi di perguruan tinggi lain untuk menghasilkan lebih banyak ahli teknik. Melalui proses pelipatgandaan ini, ITB dapat sekaligus menjaga keunggulannya. Dalam bidang penelitian dan pengabdian, ITB perlu menyediakan prasarana yang memungkinkan peningkatan produktivitas properti intelektual melalui penguasaan teknologi, alih teknologi, pelatihan, dan penciptaan produk atau usaha baru. Penelitian dan pengabdian ITB diarahkan pada pemecahan masalah kecanggihan usaha dan inovasi sebagai indikator daya saing berbasis inovasi. ITB perlu secara proaktif memberdayakan para civitas agar mempunyai karya yang dapat diaplikasikan secara nyata di masyarakat. Strategi berkembang memang membutuhkan perubahan fundamental dalam sistem tata kelola ITB untuk mendorong inovasi dan pengambilan risiko bagi para sivitas untuk mengembangkan potensinya secara maksimum. Bila ITB masih dianggap sebagai aset bangsa Indonesia yang mewadahi kaum intelektual terkemuka, maka strategi pengembangan menjalankan misi tridarma secara utuh merupakan pilihan yang patut dipertimbangkan dan dijalankan bersama. â–

yang prima terhadap perkembangan pendidikan, JULI 2012 \

15


HIGHLIGHT

ITB BHMN MENUJU BLU

Apa dan Bagaimana

S

tatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang disandang beberapa perguruan tinggi telah berubah. Kini, BHMN telah diganti menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Tujuh perguruan tinggi yang berubah status menjadi BLU adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatra Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair). Perubahan ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dengan status baru ini, diharapkan perguruan tinggi tersebut akan mampu menerapkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas yang lebih tinggi dalam pelayanan publik dengan mengandalkan penganggaran berbasis kinerja. Aturan BLU dikeluarkan sebagai jalan tengah atau alternatif pasca dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi. Alternatif ini dilakukan agar tetap ada keleluasaan untuk mencari sumber dana dari luar, termasuk dari masyarakat atau mahasiswa. Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) Dodi Nandika menjelaskan, dengan adanya perubahan status ini diharapkan dapat mencegah penyimpangan dana di lingkungan perguruan tinggi. Pasalnya, segala penerimaan dana dari masyarakat tidak perlu dilaporkan dan disetorkan lagi ke kas negara. Dengan berstatus BLU, universitas menjadi lebih leluasa dalam mengelola keuangan termasuk mengelola sumberdaya,

> Perbedaan BLU dengan BHMN

menentukan tarif, menentukan pegawai, membuat perjanjian dengan pihak ketiga. Sebabnya, BLU berbeda dengan BHMN, dimana pihak universitas harus melaporkan keuangan ke Kementrian Keuangan. Kelebihan lain dari status BLU ini adalah segala penerimaan yang diterima tidak termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga universitas tidak wajib setor ke kas negara, melainkan hanya melaporkan penerimaan dan pengeluarannya saja sebagai bentuk fungsi pemantauan. Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmaloka menyatakan, terdapat beberapa kesulitan yang mungkin muncul dalam pelaksanaan BLU, seperti dalam penyusunan perencanaan anggaran yang dilakukan satu tahun sebelumnya. “BLU lebih rumit dalam hal penyusunan perencanaan anggaran, meskipun tidak diwajibkan untuk menyetorkan dana dari masyarakat,” ujarnya dikutip dari Quantum Omega. Lebih lanjut Akhmaloka menerangkan, saat ini ITB masih dalam masa transisi yang diperkirakan akan berlangsung hingga 2013 mendatang. “Meskipun sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), kami sedikit banyak masih menggunakan pola BHMN, walaupun secara bertahap akan menggunakan pola BLU,” paparnya. Pihaknya berharap pengelolaan keuangan di universitas bisa diatur lebih fleksibel jika status BLU diterapkan. Ini karena berdasarkan ketentuan, status BLU membuat universitas dapat menata dan mengelola keuangan secara lebih luwes dan proporsional. Namun ini menjadi cukup sulit karena belum ada aturan pendukung lainnya. Dengan status BLU, perguruan tinggi harus siap menerima konsekuensi tidak lagi menerima subsidi anggaran dari negara. Selain itu masyarakat bisa saja melakukan class action jika pada kenyataannya nanti pelaksanaan BLU justru merugikan. Karena itu, keleluasaan mengatur keuangan harus selaras dengan ketentuan yang berlaku, termasuk aturan pendukung yang nanti muncul. ■ Dyshelly Nurkatika Pascapurnama

16

/ JULI 2012


KABAR KAMPUS

Diskusi Terbuka “Tantangan ITB ke Depan”

Membuka Kotak Pandora

B

anyak hal penting yang harus diperhatikan dengan serius akhir-akhir ini. Pertambahan jumlah mahasiswa dan pembentukan program studi baru; pengembangan kampus di Bekasi, Jatinangor, dan Walini yang sudah masuk dalam Peraturan Daerah; membangun pusat-pusat academic excellence dan tumbuhnya berbagai kesepakatan dengan pihak ketiga; menjadi pemimpin dalam penerapan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) koridor Jawa, dan tidak lupa memperhatikan jumlah tenaga dosen. “Berbagai komitmen itu, sudah bukan pilihan ITB, tetapi tanggung jawab,” kata Harijono A. Tjokronegoro ketua Majelis Guru Besar (MGB) Institut Teknologi Bandung (ITB) ketika membuka diskusi terbuka yang bertema “Tantangan ITB ke Depan.” Acara ini diselenggarakan oleh MGB pada 21 Juni yang lalu. Dengan diskusi ini, Harijono berharap dapat tertampung pandangan-pandangan dari dosen, mahasiswa, dan karyawan ITB terhadap tantangan-tantangan tersebut. “Diadakannya diskusi ini juga untuk mermbicarakan persoalan internal ITB yang mungkin jarang terbahas untuk menemukan solusinya bersama-sama,” tuturrnya.

Peran dan Kontribusi “We know what we don’t want but don’t know what we want.” Demikian ucap Richard Mengko mengawali pembahasan. Sebabnya, “Seringkali kita blak-blakan mengkritisi kebijakan yang tidak kita inginkan, tapi giliran ditanya maunya apa, kita (ITB) bingung,” sentilnya. Dengan banyaknya harapan dan keinginan di pundak ITB, sementara banyak pula keterbatasan yang dimiliki, maka menurut Mengko, solusinya adalah ITB harus pintar dalam mengkaji peluang, kemampuan, dan keterbatasan. Juga, ITB harus mampu menentukan prioritas target mana yang akan dicapai atau masalah mana yang akan lebih

dahulu diselesaikan. Dalam hal ini kesepakatan di dalam ITB harus dibentuk terlebih dahulu agar tercipta konsensus atas fokus yang akan dikerjakan. Perkembangan ITB, kata Mengko, tidak terlepas dari kebutuhan dan keterbatasan Indonesia. “ITB perlu menjadi pelopor dalam banyak hal di negeri ini. Oleh karena itu dibutuhkan awareness akan kebutuhan dan peluang yang dihadapi. Belajar dari pengalaman lain dapat dilakukan untuk menjadi referensi solusi membangun negara,” ungkapnya. Ada banyak pengharapan untuk perguruan tinggi, terutama ITB. Mengko mencontohkan, menjadi bagian mesin iptek, menghasilkan lulusan terbaik dan kompeten di bidangnya, mampu menyerap pengetahuan global, menjadi solusi kebutuhan negara, serta memiliki mekanisme internal untuk menumbuhkan kampus. Agar menjadi bagian dari solusi, ujar Mengko, perguruan tinggi harus mampu membedakan tujuan dan alat, mempelajari pendekatan - pendekatan baru untuk memecahkan masalah, menciptakan peluang untuk mengisi kebutuhan, serta mendorong pembuatan berbagai produk baru. “Untuk berperan memberikan kontribusi pada negara dan masyarakat, ITB harus mampu memenuhi harapan dan tantangan tersebut,” tandasnya. Mengenai kesejahteraan komunitas ITB, menurut Mengko, terletak pada apa yang dapat diberikan oleh ITB sendiri. Institusi ini harus merealisasikan diri sebagai agen untuk menyerap ilmu dunia dengan pelengkapan alat laboratorium, pendalaman ilmu mengenai energi, pangan, teknologi nano, dan biologi; bergabung dalam komunitas dunia untuk perubahan masa depan yang lebih baik; difusi iptek untuk kemajuan nasional; dan giat menulis publikasi mengenai perkembangan penelitian iptek dan aplikasinya. Sementara itu, visi dan misi ITB yang terangkum dalam tri dharma perguruan tinggi, menurut Indra Djati Sidi, tidak dapat dipisahkan dari akar permasalahan bangsa. Dia menggambarkan, pada dasarnya ITB mendapatkan “input” pelajar-pelajar terbaik Indonesia, lalu ITB berpeluang besar untuk memberikan sumbangsihnya dalam penyusunan kebijakan di Indonesia karena banyak pihak terkait berasal dari kampus ini, dan ITB pun bisa berperan besar dalam dunia perindustrian. Mengambil pelajaran dari berbagai perguruan tinggi terkemuka dunia, kata Indra, mereka menerapkan betul

JULI 2012 \

17


KABAR KAMPUS

tridharma perguruan tinggi — yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. “Mereka selalu berusaha memberikan outstanding and exceptional high education serta menerima siswa dari berbagai latar belakang kultural,” ujarnya. Tantangan ITB ke depan untuk berkembang, lanjut Indra, antara lain ledakan penduduk, kondisi politik, dan belum meratanya jangkauan ITB karena luasnya wilayan negara ini. Untuk meningkatkan

Apakah seluruh bagian dari ITB memiliki ‘budaya akademik’?” - Rudy Sayoga peran dan kontribusinya, “ITB harus memiliki manfaat nyata dan dirasakan keberadaannya. Pun harus menjadi yang disegani, kompak, solid, dan memperluas jaringan,” tandasnya. Hal-hal tersebut dapat dicapai dengan antara lain dengan memberikan pendidikan yang berbasis layanan dan menjadi pelopor solusi atas permasalahan bangsa.

Pengelolaan ke Depan Sementara itu, dengan segala tanggung jawab dan harapan yang tumbuh, kepedulian pemerintah terhadap pendidikan tinggi perlu diperbaiki, terutama dari segi sokongan biaya. “Karena jika ingin mendapatkan suatu hal yang terbaik, biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit,” Dermawan Wibisono, staf pengajar di Sekolah Bisnis dan Manajemen, dalam presentasinya yang berjudul Managing ITB to be World Class University (WCU). Karakteristik WCU, menurut Wibisono, berhubungan antara akademi dengan komunitas masyarakat, pasar, dan pemerintah. Serta dipengaruhi oleh kondisi politik, lingkungan, demografi, serta teknologi. Faktor penentu WCU sangat banyak, ada beberapa yang sudah ITB penuhi, ada yang sedang diusahakan, dan ada yang masih sulit dilakukan. Untuk menjadi WCU, lanjutnya, ITB perlu belajar dari perguruan tinggi terkemuka dunia. Mereka tidak menitikberatkan pada kuantitas melainkan pada kualitas dan keberagaman dengan menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang sosial bahkan negara.

18

/ JULI 2012

Model yang dapat digunakan untuk mengembangkan WCU, ungkapnya, antara lain adalah konsentrasi tinggi pada bakat (fakultas dan mahasiswa), menyediakan lingkungan belajar yang baik, dan mendorong penelitian. Dalam hal ini, pemerintah harus memiliki visi yang strategis, inovasi, dan fleksibilitas — tanpa birokrasi yang ruwet.

Epilog Jika melihat pada waktu lampau, ITB dikenal sebagai pelopor yang memiliki potensi untuk berperan penting dalam pembangunan bangsa dalam menjawab tantangan yang dihadapi pada saat itu”. Namun kini, dapat dikatakan bahwa ITB bukan lagi selalu dianggap sebagai yang terdepan dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintahan, dan pendidikan sains dan teknologi,” kata Rudy Sayoga, anggota MGB. Dalam menanggapi masalah-masalah yang dihadapi bangsa pun, lanjut Sayoga, ITB terkesan masih kurang memberikan solusi, sementara tantangan yang dihadapi bangsa semakin besar dan kompleks. Ini bisa jadi disebabkan oleh faktor eksternal, seperti status hukum atau peraturan perundang-undangan, kemampuan pesaing; dan faktor internal seperti tingkatan individu, komunitas, dan organisasi. Dalam upaya mengembalikan perannya, dia melemparkan pertanyaan, “Apakah seluruh bagian dari ITB memiliki ‘budaya akademik’?” Budaya ini meliputi kemauan, kepercayaan, kearifan, kebersamaan, kepedulian, kebanggaan, kerja keras, komitmen, kecerdasan, dan kemampuan berkomunikasi. Budaya akademik, menurut Sayoga, harus ditumbuhkan di masyarakat ITB; mulai tingkat individu hingga komunitas, dan harus tercermin pula dalam organisasi ITB. Dalam mewujudkannya perlu langkah-langkah strategis untuk menegakkan kembali kepeloporan ITB di Indonesia. Antara lain, ITB sebagai institusi seharusnya memiliki prioritas, fokus, dan keberanian untuk merebut posisi terdepan, berani bertindak untuk menggapai mimpi, dan memberikan sumbangsih kekayaan pengetahuan untuk kesejahteraan masyarakat. ■Dyshelly Nurkatika Pascapurnama, Dhany Dewantara


AGENDA kegiatan Juli 3 Juli: Peringatan 92 tahun Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia 4 Juli: International Conference on Technology and Operation Management 6 Juli: Grant Ceremony & Seminar on Research Findings Assisted by The Asahi Glass Foundation 2012 7 Juli: The Fourth Arte-Polis International Conference and Workshop “CREATIVE CONNECTIVITY AND THE MAKING OF PLACE” Living Smart by Design 6-7 Juli: Reuni Akbar ITB’92: “Aksi Donor 1992 Kantung Darah” 10 Juli: International Conference on System Engineering & Technology 10-12 Juli: Workshop on Next Generation Application: Mobile & Clouds Application 14 Juli: Hari Wisuda Ketiga Tahun Akademik 2011/2012 20 Juli: 2nd ITB Catalysis Symposium 30 Juli: Hari Terakhir Pengumuman Ujian Semester Pendek 2011/2012

Agustus 8-10 Agustus: Triple Helix International Conference 2012 17 Agustus: Proklamasi Kemerdekaan RI

September 18-19 September: 10th Anniversary International Sysmposium on Earth Science and Technology 2012 23 September: International Conference on Condition Monitoring and Diagnosis (CMD 2012)

JULI 2012 \

19



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.