Itbmagz #3

Page 1

JUNI 2013

JUNI 2013

1


ADVERTORIAL

P Belajar Merintis Usaha

embangunan negara Indonesia akan terpacu dengan cepat seiring dengan pertumbuhan jumlah wirausaha. Usaha untuk memperbanyak calon wirausaha masa depan juga dilakukan oleh institusi ataupun lembaga pendidikan seperti Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB). SBM ITB memfasilitasi mahasiswa S1 untuk melakukan praktis bisnis dalam mata kuliah Integrative Business Experience (IBE). Ia dirancang dalam 11 satuan kredit semester (SKS) yang terbagi dalam IBE fase I sebanyak 5 SKS pada semester 4, dan IBE fase II sebanyak 6 SKS. Dalam mata kuliah IBE akan dibagi beberapa grup yang disebut company. Salah satu company yang terbentuk dalam IBE adalah Borneo Company. Ia terdiri atas 20 mahasiswa S1 SBM ITB yang dipimpin oleh seorang chief executive officer (CEO) dan terbagi atas tiga divisi yaitu, marketing, opersasi, dan keuangan. Sementara, jabatan sekretaris perusahaan langsung berada di bawah CEO. Dalam perintisan praktik bisnis di IBE, Borneo Company melakukan dua tahap proyek besar, yaitu konseptualisasi pada IBE I dan eksekusi pada IBE II. Pada dasarnya, IBE I merupakan periode untuk penyelesaian rencana bisnis, sementara itu IBE II adalah periode pelaksanaan bisnis. Pada tahap konseptualisasi IBE I, Borneo Company menentukan profil perusahaan, analisa pasar, target pasar dan positioning statement, produk, ukuran pasar, strategi pemasaran, dan rencana operasi dan keuangan. Seluruh unsur persiapan praktik bisnis tersebut diwujudkan dalam sebuah rencana bisnis. Setelah melakukan brainstorming, diskusi dan rapat mingguan dengan koordinasi dari dosen dan tutor IBE. Pada akhirnya, Borneo Company menetapkan sebuah visi perusahaan yaitu “A Company Who Delivers Practical Fashionable World for Traveling.� Dengan membawa visi tersebut, Borneo Company melakukan peluncuran produk pada 15 Januari 2013 dengan membawa merek fashion Deer River. Produknya adalah tas punggung, tas slempang, tas traveling, kemeja pria, kemeja wanita, kaos unisex, tas kantong (pouch bag), dan pashmina. Seluruh produk tersebut memiliki konsep practical, cultural, dan elegant yang sangat cocok untuk para pemuda, terutama penggemar traveling dan hang out.


IBE II adalah masa eksekusi rencana bisnis yang telah disusun. Pada periode ini, divisi pemasaran harus melaksanakan strategi penjualan yang tepat. Contohnya adalah dengan mengikuti acara seperti Indonesia Fashion Week, Inacraft, Next Level, I Love Bazaar Jakarta. Berikutnya adalah dengan menjual secara persona (personal selling) oleh setiap anggota perusahaan, business to business (B2B) ke perusahaan-perusahaan besar, dan penjualan online melalui twitter, instagram, dan situs web. Divisi operasional melakukan koordinasi produksi dengan vendor agar permintaan dari para pelanggan terpenuhi. Selain itu, divisi operasional harus mempertahankan kualitas di setiap produk untuk menjaga kepercayaan konsumen. Divisi keuangan akan melakukan rekap transaksi keuangan yang dilakukan oleh Borneo Company dan dibuat dalam laporan keuangan bulanan. Sinergi kerja sama antar divisi dan sekretaris perusahaan dipandu oleh CEO sangat mempengaruhi kinerja dari Borneo Company. Penilaian dari mata kuliah IBE ini adalah terutama dilihat dari konsistensi antara rencana bisnis yang disusun pada IBE I dan eksekusi yang dilaksanakan pada IBE II. Setelah mata kuliah IBE berakhir dengan penilaian laporan akhir dan presentasi final, setiap anggota Borneo Company berhak memilih untuk melanjutkan pemasaran merek Deer River atau tidak. Dengan adanya mata kuliah IBE ini, mahasiswa akan mendapatkan pengalaman praktik bisnis setelah mengaplikasikan teori dan ilmu pengetahuan bisnis yang diberikan dosen dan tutor. Oleh karena itu, mata kuliah IBE merupakan katalis untuk mendorong generasi muda menjadi entrepreneur yang berkontribusi dalam pembangunan negara. â–

Contact Phone: 087722741113 (Ezza) Twitter: @DeerRiverID Instagram: DeerRiver Website: deerriver.us


EDITORIAL

Membangun Mimpi Inovasi But I, being poor, have only my dreams; I have spread my dreams under your feet; Tread softly because you tread on my dreams. ― W.B. Yeats, The Wind Among the Reeds 1899

Majalah ini diterbitkan oleh Direktorat Humas dan Alumni Wakil Rektor Komunikasi Kemitraan dan Alumni Institut Teknologi Bandung

PENANGGUNG JAWAB Hasanuddin Z. Abidin

Sudah banyak kiranya keluhan terdengar tentang apresiasi yang masih rendah bagi para peneliti kita. Dana kurang, fasilitas minim, dan gaji rendah. Sudah pun begitu, dana penelitian biasanya turun terlambat. Klise memang, tapi itu lah kenyataannya. Prof. Andrianto Handojo, Ketua Dewan Riset Nasional (DRN), saat bertemu Wapres Boediono merangkum situasi ini dengan sebuah kalimat tajam: “Terkadang laporan keuangan lebih tebal dibandingkan laporan penelitian itu sendiri.” Tidaklah mengherankan jika kemudian saat ini peneliti merupakan komunitas minoritas di Republik ini. Memang, memutuskan untuk menjadi peneliti berarti harus tahan untuk hidup dalam dunia yang relatif sepi, jauh dari sorot lampu panggung, asing dari sorak-sorai tepuk tangan, dan bersiap untuk menjalani keseharian yang sederhana, meskipun mungkin diselimuti kebahagiaan batiniah tersendiri. Di pihak lain, Presiden SBY dalam berbagai kesempatan sebenarnya sudah mengutarakan pentingnya inovasi. Misalnya, awal tahun lalu saat memberikan penghargaan kepada 69 pelaku di bidang industri, beliau berpesan kepada para pemenang agar terus melakukan inovasi produknya sehingga dapat berdaya saing di luar negeri. Di titik ini, perlu kiranya pemerintah meninjau ulang berbagai kebijakannya. Pertumbuhan ekonomi saat ini, yang diklaim stabil dan tinggi oleh pemerintah, masih ditopang oleh sektor-sektor yang tidak berkesinambungan. Agar pembangunan bisa berkelanjutan, perekonomian harus ditopang oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, ilmu pengetahuan serta kreatifitas.

DIREKTUR PELAKSANA: Dhany Dewantara DIREKTUR KREATIF: Iman Sudjudi ADMINISTRASI: Anis Sussieyani, Binarti Dyah Pertiwi PEMASARAN & DISTRIBUSI: Budi Mulyadi, Abid Alhayyu KUNJUNGI KAMI http/www.itbmagz.com

REDAKSI PEMIMPIN REDAKSI I Ketut Adnyana EDITOR PELAKSANA Niken Prasasti

Menuju negara yang inovatif memang tidak mudah. Namun, sebenarnya negara ini tak kurang orang pintar dengan mimpi besar. Di antaranya adalah mereka yang tekun bekerja di bilik-bilik laboratorium dan menyebarkan ilmu dari balik sekat ruang kelas. Di tengah kondisi yang serba kekurangan, hanya mimpi yang ditopang teguh oleh ilmu pengetahuan dan kreatifitas lah yang akhirnya menggerakkan orang-orang ini. Mimpi dan semangat untuk memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara, serta keilmuan dan kemanusiaan.

EDITOR Ismail Al Anshori, Dewi Pramesti

Jika mendapatkan dukungan yang memadai dari bangsa dan negara, para pahlawan dan pendekar inovasi tersebut beserta mimpi-mimpi luhurnya, akan menjadi kekuatan besar yang — meminjam kata-kata bung Karno — mampu mengguncang dunia. Semoga ■

ARTISTIK Azizah Assattari, Anastasia, Deni As

Hasanuddin Z. Abidin

Artikel atau informasi kegiatan dapat dikirimkan ke: redaksi@itbmagz.com

4

DIREKTUR: Marlia Singgih Wibowo

JUNI 2013

KONTRIBUTOR Dyshelly Nurkartika Pascapurnama, Irene Shofia, Christian Wibisono, Pijar

ALAMAT REDAKSI Kantor Direktorat Humas dan Alumni. Gd. CCAR Lt. 1 Jl. Tamansari No. 64 Bandung. Tel. 022 - 2500935

HUBUNGI KAMI E: redaksi@itbmagz.com Facebook: facebook.com/itbmagz Twiter: twitter.com/itbmagz


DAFTAR ISI | Juni 2013

COVER STORY

7 34

42

Opini

Kasih Sayang dalam Keragaman Budaya

46

Penelitian

37

Snapshot

48

Penelitian

40

Snapshot

50

Resensi

36

Sosok

Kang Emil Beberes Bandung Snapshot

Indonesia “Tenggelam�

Golkar: Negara Harus Tangkas!

Antara Mimpi, Janji, dan Demokrasi Kartu Baru yang Memudahkan

Pasar dan Hotel Melebur di Kosambi Mengenal Sistem Pasar

JUNI 2013

5


Contact Phone: 087722741113 (Ezza) Twitter: @DeerRiverID Instagram: DeerRiver Website: deerriver.us

PRACTICAL. CULTURAL. ELEGANT.

6

JUNI 2013


COVER STORY

Kenali Sekitarmu

S

oekarno, dalam pidatonya di depan BPUPKI pada 1 Juni 1945, mengusulkan dasar negara Indonesia: kebangsaan, nasionalisme, permusyawaratan-perwakilan, kesejahteraan, dan ketuhanan. Kelimanya kemudian dikenal dengan Pancasila. Jika lima asa ini terlalu banyak, Soekarno lalu menawarkan untuk diperas menjadi tiga: sosionasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Jika tiga ini pun masih dianggap merepotkan, dia merampingkannya ke dalam satu frasa: gotong royong. Negara Gotong Royong, ungkapnya, akan menjadi filosofi dasar yang mengarahkan setiap pikiran dan tindakan segenap rakyat Indonesia. Asas-asas yang dikemukakan oleh Soekarno tersebut bisa dikatakan dijiwai oleh semangat dan cita-cita mewujudkan sebuah bangsa yang adil dan masyarakat yang saling peduli. Asa ini, jelasnya, tidak akan tercipta begitu saja tanpa ada upaya dari masyarakatnya. Ia harus terus dipupuk dan dirawat dari waktu ke waktu, dari jaman ke jaman, hingga kemudian menghasilkan buah yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Kini, setelah Indonesia merdeka hampir tujuh dekade, apakah harapan tersebut terwujud? Atau justru kian menjauh? Mencoba menjawab pertanyaan tersebut, edisi ini memulai dengan mengurai beberapa isu yang ada di sekitar perkotaan. Secara kebetulan ia terdiri dari lima tema: nilai-nilai (values), aspirasi warga, ruang publik, kebijakan lingkungan, dan keadilan sosial. Kelima essai tersebut tidak hanya mengupas persoalanpersoalan yang ada, mereka juga menawarkan alternatif cara pandang, lalu mengusulkan beberapa pilihan pemecahannya. â–

8 Reklame Komersial dan Kolonialisme Budaya

12 Memartabatkan Pasar Bermartabat

18 Antara Lampu dan Ruang Publik

24

Memungut Serpihan Hutan Kota

30 Stop Menimbun Rumah!

JUNI 2013

7


FOKUS Oleh: Ismail Al Anshori Progam Magister Studi Pembangunan SAPPK-ITB

Reklame Komersial Dan Kolonialisme Budaya Setiap orang ingin bahagia. Cara yang ditempuh untuk mencapai kebahagiaan tersebut pun bermacam-macam. Namun, ada cara cepat menuju bahagia, yakni Anda hanya perlu membeli bendabenda atau menikmati jasa-jasa tertentu. Kalau perlu pengakuan lebih lanjut, Anda bisa memamerkannya kepada teman, tetangga, atau saudara. Itu lah kira-kira inti pesan dari berbagai macam bentuk iklan komersial yang Anda lihat sehari-hari. Ironisnya, pesan ini begitu meresap di dalam kehidupan masyarakat kita. Situasi ini memunculkan pertanyaan, apakah dengan mengonsumsi dan memiliki benda-benda akan membuat seseorang menjadi bahagia?

D

alam sebuah artikelnya, Neal Lawson dari Guardian menulis, “Adverts are not there to inform but to sell one thing: unhappiness.� Secara sederhana, iklan komersial adalah sebuah bentuk upaya untuk menginformasikan sebuah produk barang atau jasa kepada calon konsumen. Umumnya ia bersifat persuasif, dalam arti mengajak orang lain untuk mengonsumsi produk yang ditawarkan.

dan harga lebih murah dalam jangka waktu yang singkat. Melalui berbagai teknik marketing, produsen kemudian merayu calon konsumen untuk membeli produk terbaru tersebut. Umumnya konsumen di Indonesia menyambut hangat ajakan ini meskipun barang yang lama belum rusak dan teknologinya masih terbilang mumpuni untuk keperluan sehari-hari. Tidak aneh lagi jika ada sekelompok orang rela berjam-jam antri untuk membeli produk terbaru.

Iklan, menurut Lawson, adalah proyeksi paham materialisme dan konsumerisme. Seperti halnya agama dan budaya lokal yang mengusung nilai-nilai tertentu, kedua paham ini pun menawarkan nilainilainya sendiri. Dalam hal kebahagiaan umpamanya, paham materialisme berpendapat bahwa seseorang bisa menemui kebahagiaan pada benda-benda yang dimilikinya. Sementara itu, konsep bahagia pada paham konsumerisme adalah saat seseorang bisa membeli sesuatu, dan kebahagiaan tersebut akan bertahan selama belum ada produk baru yang keluar. Begitu ada produk terbaru diluncurkan, seketika kebahagiaan tersebut goyah. Konsumsi dan koleksi menjadi mantra baru bagi kebahagiaan. Situasi ini memicu pemborosan teknologi akibat spesifikasi yang melebihi kebutuhan penggunanya.

Tak Bisa Memilih

Fenomena tersebut bisa ditemui dengan mudah di bidang elektronik dan gadget. Perkembangan teknologi yang begitu pesat membuat produsen bisa mengeluarkan produk-produk yang semakin canggih

8

> Berbagai poster tak henti merayu calon pelanggan.

JUNI 2013

Di era teknologi informasi yang kian maju saat ini, masyarakat dijejali ratusan atau bahkan ribuan material iklan setiap harinya. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari iklan di koran, majalah, radio, televisi, komputer, tablet, dan smart phone. Bukan hanya di ranah privat, iklan pun dapat ditemui di ruang publik, seperti billboard, brosur, stiker, badan bus, terminal, bahkan hingga kantor-kantor pemerintahan. Apa yang membedakan di antara berbagai macam bentuk iklan tersebut? Jawab annya adalah setiap media “disuguhkan� kepada masyarakat dengan cara yang berbeda. Karena itu masing-masing media memberikan peluang untuk memilih yang berbedabeda pula. Media seperti televisi, radio, majalah, koran, dan internet mampu menghadirkan iklan langsung ke daerah paling privat, yaitu di tengah-tengah ruang keluarga. Namun demikian, saat menggunakan media ini kita bisa memilih saluran televisi mana yang akan kita lihat, halaman koran yang akan kita buka, bagian


membuat orang lain merasa cemas, tidak aman, tidak puas, dan tidak percaya diri. Proses ini berlangsung begitu halus sehingga banyak orang tidak menyadarinya. Karena itu, ketika iklan tersebut diberikan dalam bentuk reklame yang ada di ruang publik, masyarakat dipaksa secara terus-menerus untuk menerima pesan yang disampaikan. Sebagai contoh, kampanye produk-produk kosmetik dan alat kebugaran yang menampilkan orang-orang yang memiliki penampilan “ideal” (warna kulit maupun berat badan) membuat masyarakat tidak nyaman dengan diri mereka sendiri. Di sini ada standarisasi kata “cantik” atau “menarik,” sesuai dengan kepentingan produk yang ditawarkan. Contoh lain, iklan layanan masyarakat yang menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan organik bertujuan membujuk orang sehingga tidak nyaman dengan pola hidup saat ini yang didominasi oleh sumber makanan non-organik. Contoh berikutnya, anak muda yang selama ini telah merasa cukup bisa produktif dengan laptop, menjadi ingin membeli tablet karena merasa laptop tidak memberikan cukup kemudahan mengakses informasi. majalah mana yang ingin kita baca, atau website apa yang ingin kita kunjungi. Berbeda dengan media luar ruang — sering disebut reklame — yang diletakkan di ruang publik. Reklame tidak menyediakan pilihan bagi orang untuk melihatnya atau tidak. Kita tidak bisa memilih untuk tidak berada di ruang publik, melalui jalan raya, menggunakan bus, atau mendatangi terminal. Dalam kata lain, terkait reklame di ruang publik ini, kita tidak bisa menentukan bagian kota mana yang tidak ingin kita lihat. Sehingga, jika ada iklan di ruang publik, mau tidak mau orang pasti akan melihatnya.

Ujungnya, reklame-reklame tersebut ingin agar masyarakat mengatasi rasa tidak nyaman tersebut dengan membeli produk tertentu. Dalam kata lain, ada semacam kampanye bahwa satu-satunya cara untuk bahagia dan puas dengan diri sendiri adalah dengan mendapatkan produk-produk terbaru. Tentunya kebahagiaan semacam ini hanya akan bertahan hingga muncul produk yang lebih baru lagi. Pihak penjual ingin memastikan paham tentang kebahagiaan tersebut menjadi sesuatu yang tidak mungkin ditolak, baik secara kultur maupun emosional. Tidak heran kemudian

Alasan tersebut membuat media luar ruang dianggap memiliki keuntungan lebih dibandingkan dengan media lainnya, yaitu ia bisa menjangkau target masyarakat dengan cara “memaksa”. Serta, media luar ruang lebih praktis karena tidak membutuhkan berbagai macam riset yang detail seperti media lainnya. Pasalnya, untuk beriklan di media cetak dan elektronik dibutuhkan riset tentang pola kebiasaan masyarakat membaca, menonton, atau mendengarkan (Iveson, 2011). Lalu, apa “bahaya” dari situasi ini? Reklame, seperti layaknya iklan pada umumnya, memiliki satu tujuan umum: membuat orang lain tidak nyaman dengan kondisi hidup yang sedang dijalaninya (Lawson, The Guardian). Gambar-gambar yang berisi porsi tubuh yang ideal, gadget yang keren, dan berbagai produk lainnya didesain dan ditampilkan di berbagai tempat untuk

> Antrian ribuan orang untuk membeli sebuah gadget terbaru di Jakarta. Sumber: media.viva.co.id

JUNI 2013

9


Fokus 1 pernyataan tersebut bahwa kota yang bermartabat adalah kota yang mampu menyediakan jasa pelayanan kepada masyarakatnya yang bisa mendukung terwujudnya kebersihan, kebersihan, kemakmuran, ketaatan, ketakwaan, dan kedipilinan masyarakatnya

ketika tujuan ini tercapai, ada sebagian masyarakat yang berubah menjadi “zombie” — saat sebuah produk terbaru diluncurkan, mereka menjadi kehilangan rasionalitasnya sehingga harus rela antri berjam-jam, berebut, dan bahkan saling sikut demi untuk bisa membeli produk tersebut. Seolah rasa peduli akan sesama menjadi hilang saat ingin mendapatkan produk. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa iklan-iklan luar ruang tersebut menjajah masyarakat. Dalam sudut pandang reklame, masyarakat (society) dipandang sebagai sebuah sekelompok calon konsumen, bukan sebagai sebuah komunitas yang memiliki nilainilai dan cita-citanya sendiri.

“Bermartabat” Dan Penjajahan Budaya Berbagai bentuk media luar ruang memberikan pemasukan yang cukup signifikan bagi pemerintah. Dikutip dari pikiran-rakyat. com, berdasarkan Panitia Khusus (Pansus) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Walikota Bandung, sepanjang 2011 Pemkot Bandung melalui Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) mengeluarkan 5.891 izin pemasangan reklame, atau dua kali lipat dari target yang dipatok. Pemasukan pajak yang bisa didapatkan adalah sekitar Rp 16,8 miliar. Namun, kata Anggota Pansus LKPj Lia Noer Hambali, jumlah tersebut hanya setengah dari target yang diinginkan sebesar Rp 32 miliar. Di sisi lain, kota Bandung memiliki slogan “Bermartabat” yang merupakan rangkuman visi Kota Bandung — Bersih, Makmur, Taat, dan Bermartabat (bandung.go.id). Makna dari visi tersebut adalah: 1. Kota bandung sebagai kota jasa harus bersih dari sampah, dari praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), serta penyakit masyarakat dan perbuatan tercela lainnya yang bertentangan dengan moral dan agama dan budaya masyarakat dan bangsa. 2. Kota yang memberikan kemakmuran bagi warganya. 3. Harus memiliki warga yang taat kepada agama hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan ketertiban kota. 4. Harus memiliki warga yang bersahabat santun akrab dan dapat menyenangkan bagi orang yang berkunjung, serta menjadikan kota yang bersahabat dalam pemahaman kota yang ramah lingkungan. Secara harfiah, kata “bermartabat” bisa diartikan sebagai harkat atau harga diri yang menunjukkan eksistensi masyarakat kota yang dapat dijadikan teladan. Karena itu, bisa disimpulkan dari

10

JUNI 2013

Sementara itu, misi atau tugas yang diemban untuk mewujudkan visi tersebut yaitu: 1. Mengembangkan sumber daya manusia yang handal yang religius; yang mencakup pendidikan, kesehatan, dan moral keagamaan. 2. Mengembangkan perekonomian kota yang adil; yang mencakup peningkatan perekonomian kota yang tangguh, sehat, dan berkeadilan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan kesempatan berusaha. 3. Mengembangkan sosial budaya kota yang ramah dan berkesadaran tinggi, serta berhati nurani; yang mencakup peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka meningkatkan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan sosial, keluarga, pemuda, dan olah raga serta kesetaraan gender. 4. Meningkatkan penataan kota, yang mencakup pemeliharaan serta peningkatan prasarana dan sarana kota agar sesuai dengan dinamika peningkatan kegiatan kota dengan tetap memperhatikan tata ruang kota dan daya dukung lingkungan kota. 5. Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara professional, efektif, efisien, akuntabel, dan transparan. 6. Mengembangkan sistem keuangan kota, mencakup sistem pembiayaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Perlu disadari akibat dari kampanye di media yang begitu gencar ini adalah konsumerisme, sebagai anak kandung kapitalisme, terus tumbuh berkembang. Dalam hal ini, industri periklanan berusaha memastikan bahwa keinginan untuk terus menerus mengkonsumsi akan menjadi sebuah way of life (Iveson, 2011). Hingga kemudian nilai sosial masyarakat menuju pada materialisme, dimana ukuran kualitas hidup seseorang adalah dilihat dari kepemilikannya atas berbagai benda. Dalam kasus ini, ada unsur yang bertentangan dengan salah satu nilai dalam slogan “Bermartabat” tersebut, yaitu nilai keadilan. John Rawls (1971) menyebutkan keadilan berarti bahwa setiap individu bebas untuk mengikuti hati nurani,


kekuasaannya untuk memengaruhi masyarakat, yang mana mereka mampu “membeli” ruang-ruang publik, lalu menggunakan ruang publik tersebut untuk kepentingan mereka. Sedangkan di sisi lain, masyarakat umum tidak memiliki kuasa yang cukup untuk menghentikan hal ini. Di sini ada prinsip-prinsip kebebasan (freedom) yang tercederai. Diantara prinsip kebebasan adalah berada dalam kondisi tidak dipaksa oleh kekuatan luar. Ini berarti bahwa seseorang atau masyarakat bisa memiliki kendali atas dirinya, serta dapat menentukan jalan dan arah hidupnya secara mandiri. Karena itu, kebebasan juga berarti bahwa seseorang atau masyarakat memiliki kekuatan dan pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, meyakini atau tidak meyakini suatu nilai. memutuskan nilai-nilai yang akan dianut, dan memilih jalan hidupnya. Karena reklame berkomunikasi secara satu arah (one-way flow) dan bersifat “memaksa” orang yang berada di ruang publik tersebut untuk melihat, maka ia bisa menimbulkan ketidakadilan (Molina, 2006). Sesuai dengan paham liberalisme, memang ada jaminan hak bagi semua orang untuk menjalankan usaha dan mengkomunikasikan usaha tersebut ke masyarakat. Namun hak tersebut harus selaras dengan hak orang lain, misalnya hak untuk menumbuhkan nilai-nilai dalam dirinya. Jika ditarik lebih jauh, negara harus memberikan hak bagi masyarakat untuk tidak melihat atau membaca iklan. Pasalnya, reklame yang berada di ruang publik membuat masyarakat tidak memiliki pilihan dan kesempatan untuk mencegah masuknya nilai-nilai konsumerisme dan materialisme ke dalam hidup mereka. Atau dalam kata lain, masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk “melarikan diri” dari situasi ini. Salah satu contohnya adalah reklame rokok yang bertebaran di berbagai sudut kota menyulitkan orang tua dalam hal mencegah anak-anak mereka untuk tidak merokok. Orang tua tidak memiliki kendali untuk mencegah reklame tersebut agar tidak memengaruhi anak mereka. Di sisi ini, kepentingan publik telah dikalahkan oleh kepentingan individu atau golongan tertentu.

Terkait dengan misi “Bermartabat” pada poin ketiga, “Mengembangkan sosial budaya kota yang ramah dan berkesadaran tinggi, serta berhati nurani,” masyarakat harus dilihat sebagai sebuah entitas komunitas yang memiliki nilai dan aspirasi, bukan sekedar sekelompok calon konsumen. Disini lah pemerintah perlu mengatur persoalan media luar ruang ini agar sesuai dengan nilainilai keadilan dan kebebasan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, mengatur kembali penempatan iklan agar bisa memenuhi dimensi keamanan dan keadilan masyarakat, misalnya tidak sembarangan memberikan ruang bagi iklan rokok untuk melindungi anak-anak. Kedua, perlu ada alokasi untuk iklan-iklan non-komersial yang bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. Bisa pula dengan memberikan alokasi khusus kepada komunitas setempat untuk mengiklankan diri mereka sendiri. Ketiga, pengendalian jumlah reklame, dengan mempertimbangkan unsur pendapatan daerah, kepentingan usaha, dan tetap menjaga nilai-nilai masyarakat. Jika pemasangannya tidak dikendalikan, maka reklame yang bersifat hegemonik tersebut akan berkembang lagi menjadi masalah sampah polusi. ■

Sementara itu, bagi kaum kapitalis, tatanan dunia yang ideal bagi mereka adalah masyarakat yang lebih sibuk, lebih mobile, dan tidak lagi menggunakan berbagai perangkat tradisional (Molina, 2006). Karena itu, kampanye menggunakan media luar ruang (outdoor advertising) merupakan opsi terbaik (Molina, 2006). Melalui media luar ruang tersebut, pemaksaan nilai-nilai konsumerisme dan materialisme kepada masyarakat dilakukan secara terus-menerus dan sistematik. Kaum kapitalis yang berlimpah sumber daya menggunakan

JUNI 2013

11


FOKUS Oleh: Gatut Aribowo, Ismail Al Anshori, Norma Mariana, Oke Hendra, Vini Verdani. Progam Magister Studi Pembangunan SAPPK-ITB

Memartabatkan Pasar Bermartabat Bandung, tercermin dalam slogan “Bermartabat,” memiliki visi menjadi kota yang bersih, makmur, taat, dan bermartabat. Secara harfiah, kata “bermartabat” bisa diartikan sebagai harkat atau harga diri yang menunjukkan eksistensi masyarakat kota yang dapat dijadikan teladan.

B

isa disimpulkan dari pernyataan tersebut, kota yang bermartabat adalah kota yang mampu menyediakan jasa pelayanan kepada masyarakatnya yang bisa mendukung terwujudnya kebersihan, kebersihan, kemakmuran, ketaatan, ketakwaan, dan kedipilinan masyarakatnya. Namun, Pasar Ciroyom yang membawa nama “Bermartabat” justru kian jauh dari visi tersebut.

rangka penataan dan pembangunan Pasar/ Terminal Ciroyom dan Pasar Andir di Kelurahan Ciroyom Kecamatan Andir Kota Bandung, tanggal 29 Juli 2004;

Pasar Ciroyom dibangun pada 2005. Wilayah pasar ini meliputi Pasar Ciroyom Bermartabat dan sub-terminal Ciroyom. Sebelum pasar ini dibangun, lahan tempat berdirinya bangunan adalah terminal Ciroyom yang melayani cukup banyak trayek (13 trayek).

Surat Perjanjian Kerjasama antara pemerintah Kota bandung dengan PT Anugrah Parahyangan jaya Nomor 602.2/608-Huk/2004 Tentang Pembangunan Pasar Ciroyom Bermartabat dan Penataan Sub Terminal Ciroyom di Jl. Ciroyom Kecamatan Andir Kota Bandung, tanggal 26 Oktober 2004.

Pasar ini merupakan pasar yang dikelola oleh PD Pasar melalui pihak ketiga, yaitu PT. Anugerah Parahyangan Jaya (PT. APJ). Pembangunannya berdasarkan penunjukan pengembang sesuai ketentuan pada Pasal 9 Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Kerjasama. Selain Peraturan Daerah (Perda), penunjukan pembangunan Pasar Ciroyom oleh pihak ketiga juga diatur dalam: Keputusan DPRD Kota Bandung Nomor 15 Tahun 2004 tentang Persetujuan Pelaksanaan Kerjasama antara Pemerintah Kota Bandung dengan Pihak Ketiga dalam

12

JUNI 2013

Keputusan Walikota Bandung Nomor 602/ Kep-650-Huk/2004 tentang Pelaksanaan Kerjasama antara Pemerintah Kota Bandung dengan Perseroan Terbatas (PT) Anugerah Parahyangan Jaya, tanggal 27 Agustus 2004;

Ide awal pembangunan Pasar Ciroyom serta penataan sub-terminalnya dilandasi oleh keinginan Pemerintah Kota Bandung untuk menertibkan dan menampung para pedagang kaki lima (PKL) di sekitar Jalan Sudirman dan Jalan Rajawali. Mereka diarahkan untuk berjualan di dalam pasar dengan membeli secara kredit lapak/kios yang telah disediakan. Tujuannya agar mereka tidak memenuhi pinggiran jalan dan mengurangi kemacetan lalu lintas di jalan-jalan tersebut. Berdasarkan Keputusan Dewan, Keputusan Walikota, dan Surat Perjanjian Kerjasama


> Kondisi lantai 1 Pasar Ciroyom yang kosong.

tersebut, PT. APJ berkewajiban melakukan revitalisasi pasar dan terminal Ciroyom dengan model kerjasama build, operate, and transfer (BOT) dengan jangka waktu 20 tahun. Ini berarti bahwa PT. APJ berhak mengelola Pasar Ciroyom selama 20 tahun dan memperoleh pendapatan dari pengganti investasi biaya pembangunan dari hasil penjualan lahan ruang dagang dari para pedagang. Sementara itu, Pemerintah Kota Bandung berhak menerima bangunan pasar dan sub-terminal beserta sisa lahan ruang dagang yang tidak terjual setelah habis masa kerja sama tersebut. Bangunan pasar Ciroyom terdiri dari 3 lantai yang terdiri dari 2 lantai sebagai ruang dagang dan 1 lantai sebagai lahan parkir. Sedangkan pembagian jenis dagangan per zona adalah sebagai berikut: • Lantai Dasar untuk dagangan kering seperti pedagang sembako, daging, dan sayuran; • Lantai Satu dipakai bagi dagangan basah seperti pedagang ikan air tawar dan ikan laut; • Lantai Dua digunakan untuk lahan parkir, kantor, dan masjid. Selain bangunan pasar dan sub terminal, PT APJ juga diwajibkan membangun sarana dan prasarana serta fasilitas umum lainnya seperti pohon pelindung, tempat penampungan sampah sementara (TPSS), jaringan air bersih, listrik dan telepon, sumur resapan, generator set, dan lampu penerangan jalan.

Peralihan Peruntukan Pasar Sebelum dibangun menjadi bangunan tiga lantai seperti sekarang, Pasar Ciroyom merupakan pasar tradisional yang terletak di bagian utara pasar yang ada sekarang. Posisi pasar lama tersebut cukup dekat

> Rencana peruntukan Pasar Ciroyom.

dengan rel kereta api dan jalan raya (Jl. Sudirman sampai dengan Jl. Jamika). Ini membuatnya menjadi salah satu faktor yang mengganggu kelancaran arus lalu lintas di daerah itu. Pada saat ini, area bekas pasar para PKL tersebut menjadi Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) Pasar Ciroyom. Karena masa kontrak pasar tersebut dengan pemerintah sudah habis dan pemerintah saat itu berinisiatif untuk menertibkan para PKL yang ada di sepanjang jalan — terutama Jl. Sudirman-Jl.Jamika dan Jl. Rajawali-Jl. Waringin — maka pemerintah membangun Pasar Ciroyom Bermartabat yang bertujuan menampung para PKL tersebut. Dalam perjalanannya, tujuan awal untuk menampung para PKL ini tidak tercapai dengan memuaskan. Setelah pasar yang baru diresmikan, ruang-ruang dagang di pasar tersebut tidak terisi secara maksimal oleh para PKL. Berdasarkan keterangan Mbam Rusli, Kepala Sub-Bidang Pengembangan Program Perusahaan Daerah (PD) Pasar Bermartabat, setelah selesai pembangunan Pasar Ciroyom, semua pedagang PKL masuk ke dalam pasar untuk berjualan. Tetapi, ternyata ada pedagang PKL baru di sekitar pasar yang tidak dimasukkan ke dalam pasar. Kemudian setelah sekitar tiga bulan, beberapa pedagang di dalam pasar berpindah keluar karena merasa dagangannya kurang laku atau kalah bersaing dengan pedagang PKL yang berjualan di luar pasar. Mbam Rusli melanjutkan, “Ada PKL yang membandel, tidak mau masuk. Nah, disitulah ada PKL yang sudah masuk di dalam, semacam sirik, iri. Yang lain masih bisa berdagang di luar, kita (pedagang) udah masuk di dalam. [Pedagang yang merasa] kurang laku, atau tidak laku, akhirnya keluar lagi.” Persaingan usaha ini, diakui oleh Mbam, merupakan konsekuensi logis dari tempat dagang di luar yang lebih mudah dijangkau dibandingkan di dalam gedung. Dia mencontohkan, “Pada umumnya, apabila jenis dagangannya sama pada setiap lantai, dagangan di lantai atas akan kurang laku dibandingkan lantai di bawahnya. Fenomena ini, terjadi pula pada pasar-pasar lain selain Pasar Ciroyom.” Sementara menurut Koordinator Lapangan dan Petugas Monitoring PT. APJ, Nevi Effendi, para pedagang PKL enggan

JUNI 2013

13


> Lingkungan becek (atas) dan sampah padat berceceran (bawah).

mengikuti peruntukan zona. Misalnya, dari segi jenis lantai, dinding, ventilasi maupun sistem drainasenya disesuaikan dengan kebutuhan jenis pedagang yang menempati setiap zona tersebut. Dengan pemeliharaan sanitasi yang baik, diharapkan akan bisa menjaga kesehatan para pedagang maupun pembeli di pasar tersebut. Sanitasi didefinisikan sebagai upaya membuang limbah cair domestik dan sampah untuk menjamin kebersihan dan lingkungan hidup sehat, baik di tingkat rumah tangga maupun di lingkungan perumahan. Sanitasi terbagi dalam 3 (tiga) subsektor, yaitu: i) air limbah, ii) persampahan, dan iii) drainase tersier. Ia adalah suatu proses multi-langkah, di mana berbagai jenis limbah dikelola dari titik timbulan (sumber limbah) ke titik pemanfaatan kembali atau pemrosesan akhir (Buku Panduan Sanitasi, Tim Teknis Pembangunan Sanitasi, 2010).

masuk ke Pasar Ciroyom karena menganggap harga kios di dalam pasar dirasakan terlalu mahal. Harga kios tersebut adalah 36 juta rupiah, yang mana bisa dicicil seharga 25 ribu hingga 30 ribu rupiah per hari selama 5 tahun. Untuk mengatasi hal ini, PT APJ lalu menurunkan harga sehingga cicilan per hari menjadi kurang dari 20 ribu rupiah. Namun sayangnya, upaya ini tidak mengubah situasi. Akibatnya, terjadi peralihan peruntukan dari yang telah direncanakan di awal. Lantai dasar yang diperuntukkan bagi dagangan kering ternyata kosong karena ditinggalkan oleh penghuninya. Karena itu, dagangan basah yang awalnya ditempatkan di lantai 1 beralih ke lantai dasar. Sehingga hanya lantai dasar saja yang terisi oleh pedagang, sedangkan lantai 1 kini kosong. Pengelola pasar pernah berhasil menarik pedagang pakaian bekas untuk mengisi lantai satu yang kosong. Tapi ia hanya bertahan disana selama 5 bulan karena kurang laku. Dengan demikian, Pasar Ciroyom kemudian dikenal sebagai pasar basah yang menjual ikan air tawar dan ikan laut, di mana jam operasionalnya adalah malam hari. Sedangkan pada siang hari, bisa dikatakan pasar ini tidak beroperasi — hanya segelintir pedagang yang memanfaatkannya untuk berjualan.

Masalah Sanitasi Jika melihat rencana awal pembangunan pasar yang telah menetapkan zona dagangan, seharusnya konstruksi bangunan dalam aspek sanitasinya

14

JUNI 2013

Namun kondisi infrastruktur sanitasi yang ada di pasar ternyata tidak sesuai dengan peruntukannya. Kapasitas saluran air di dalam pasar (gutter) dan drainasenya kurang memadai untuk menampung buangan dari aktifitas perdagangan. Selain karena faktor infrastruktur tersebut, situasi ini diperparah oleh perilaku pedagang yang membuang limbah secara sembarangan. Limbah tersebut berupa air sisa packaging pengiriman ikan dan limbah organik jeroan ikan. Misalnya, air dibuang begitu saja ke pelataran di sekitar pasar. Pasar tipikal dengan sekitar 1000 kios (asumsi luas setiap kios adalah 6 meter persegi) akan mengonsumsi air sebesar 200 meter kubik per hari, yang sebagian besar (sekitar 90 persen) dibuang ke dalam saluran drainase dan jaringan pengumpul air limbah. Isi perut ikan dan cumi di pasar ini pun dibuang begitu ke lantai, bukan membuangnya ke dalam wadang khusus untuk sampah. Air limbah pasar ini yang berasal dari kegiatan memotong, mencuci, dan memproses daging dan ikan, serta kegiatan membersihkan kios mengandung suspended solid (SS) dalam jumlah besar. Air limbah dari pasar tradisional pada dasarnya mirip air limbah rumahtangga. Tetapi, konsentrasi SS dan biological oxygen demand (BOD) air limbah pasar tradisional lebih tinggi. Kondisi ini membuat Pasar Ciroyom menjadi lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan bakteri-bakteri yang mengancam kesehatan manusia. Limbah anorganik pun diperlakukan serupa — tanpa ada pengelolaan dan infrastruktur yang memadai. Masalahnya adalah, limbah organik dan anorganik yang bercampur akan membuat proses pembusukan menghasilkan bau yang lebih menyengat dibandingkan hanya limbah organik saja. Berbagai masalah lingkungan yang diakibatkan oleh aktifitas


perdagangan di malam hari ini akan sangat terasa pada saat siang hari. Saat siang hari, limbah-limbah organik tersebut telah membusuk, sehingga tidak heran jika di pasar ini akan ditemui bau busuk yang menyengat. Selain itu, akan dijumpai pula sampah yang memenuhi saluran air dan genangan air yang menyebabkan ‘becek’. Ini tentu saja mengakibatkan citra (image) pasar menjadi negatif — dikatakan sebagai pasar yang kumuh dan bau.

Dengan demikian, kondisi lingkungan Pasar Ciroyom yang kurang sehat ini kemudian terjadi. Kondisi lingkungan Pasar Ciroyom yang terjadi saat ini adalah akumulasi dari berbagai permasalahan, bukan karena peralihan peruntukan saja. Dari data wawancara dengan pihak pemerintah yang diwakili oleh PD Pasar Bermartabat dan PT APJ, serta dari dokumen perjanjian kerjasama antara pemerintah dengan pihak pengembang, dapat diambil kesimpulan bahwa masalah ini dimulai dari komunikasi yang tidak terjalin dengan baik. Akibatnya, berbagai persoalan yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama antara pemerintah Kota Bandung dengan PT. APJ tidak mendapatkan solusi.

Menurut Koordinator Lapangan PT APJ, Nevi Effendi, pihaknya mengalami kesulitan untuk membuang air limbah. “Makanya saya sudah membuat laporan ke pemerintah untuk membuat lubang-lubang air yang harusnya lebih banyak untuk membuang air yang di Ciroyom ini. Karena di Ciroyom itu airnya banyak tapi pembuangannya cuma satu lubang,” ucapnya.

Dalam perjanjian kerjasama yang ada, Pemerintah Kota Bandung wajib menggiring para PKL untuk masuk kedalam pasar. Sementara PT APJ berkewajiban membangun dan mengelola pasar. Namun yang terjadi, masuknya para PKL ke dalam pasar tidak berlangsung lama, yaitu hanya 3 bulan. Akibatnya, dari dua lantai bangunan pasar, hanya lantai dasar yang terisi.

Dirinya memberi contoh, “Ciroyom ini satu hari sampai mengeluarkan berapa kubik air, tapi pembuangannya cuma satu, yang di pojok ini nih. Pembuangan dari semua pasar ini ke situ. Jadi kalo ada air tersumbat di situ ya susah.” Nevi juga mengeluhkan pemerintah yang kurang tegas dalam mengatur saluran drainase. Pasalnya, saluran pembuangan air dari pasar ini menyatu dengan saluran dari pemukiman. “Harusnya nggak boleh kan? Ada pembuangan air yang besar, tapi (saluran) pembuangan itu ada di bawah (perumahan) penduduk.” Sementara untuk sampah padat, sebenarnya telah dikelola oleh PT APJ dengan cara memisahkan sampah organik dan anorganik, dan pembuangannya pada TPSS di belakang pasar. Tapi karena penduduk sekitar pasar juga membuang sampah di tempat yang sama, maka terjadi kelebihan kapasitas (overload) sampah di TPSS. Nevi Effendi mengatakan, “(Sampah) di pembuangan sana nyampur. Jadi mau misahin (sampahnya) susah. ‘Kan (sampah dari penduduk) lebih banyak daripada pasar ini. Ampe 5 kontainer sehari kalo nggak salah. Ada 1 kecamatan Andir (yang membuang sampah kesini), ada 6 kelurahan.” Kondisi ini terjadi, jelas Nevi, karena tidak ada pembuangan sampah di tempat yang lain. Sehingga selain sampah yang menggunung di TPSS, sampah pun bertumpuk di pinggir jalan.” Dari gambaran yang diberikan pengelola pasar di atas dapat dilihat bahwa sarana penunjang sanitasi, yaitu infrastruktur saluran pembuangan air, tidak memadai.

> Limbah jeroan ikan dibuang secara sembarangan ke lantai dasar.

Penertiban PKL oleh Satpol PP sudah beberapa kali dilakukan di awal-awal bangunan pasar ini berdiri. Namun akhirnya berhenti karena terjadi kerusuhan saat dilakukan penertiban, di mana ada perlawanan dari PKL hingga ada insiden pelemparan terhadap anggota Satpol PP. Pernah pula dilakukan penertiban gabungan yang melibatkan Satpol PP, Koramil, pihak Kecamatan, dan PD Pasar bermartabat. Tapi karena khawatir terjadi kerusuhan lagi, penertiban gabungan tersebut batal dan kondisi di sekitar pasar Ciroyom dibiarkan begitu saja demi menjaga situasi keamanan tetap kondusif. Karena banyak kios yang kosong di pasar, pihak pengelola dan pemerintah merugi. Imbasnya, pembagian keuntungan tidak sesuai dengan dalam perjanjian kerjasama. Artinya pendapatan pengelola pasar tidak sesuai target karena banyak lapak yang tidak terisi. Pihak PT. APJ telah beberapa kali mengirimkan surat kepada PD Pasar untuk memperbaiki situasi ini. Namun tidak ada tindak lanjut dari pihak pemerintah untuk menertibkan PKL. Ini membuat PT APJ terus mengalami kerugian sehingga tidak dapat melaksanakan kewajiban kepada pemerintah dalam hal pemeliharaan infrastruktur pasar dan sub terminal. Yang termasuk dalam lingkup pemeliharaannya di sini antara lain bangunan fisik pasar, infrastruktur sanitasi, dan pengerasan jalan. Akhirnya

JUNI 2013

15


terjadilah pembiaran terhadap infrastruktur pasar selama hampir 6 tahun belakangan ini, sehingga kondisi lingkungan pasar semakin buruk dari waktu ke waktu. Slogan bermartabat hendaknya bukan hanya menjadi rangkaian huruf tanpa makna. Ia perlu dibuktikan dalam tindakan nyata dan dilestarikan di berbagai aspek kehidupan kota. Berkaitan dengan masalah sanitasi yang ada di Pasar Ciroyom Bermartabat, ia terjadi bukan karena masalah infrastruktur semata. Terdapat masalah tata kelola, yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pada tahapan pengoperasian. Ketiganya menjadi faktor penting yang tidak dapat dipisahkan dan harus “bergerak bersama.�

> Saluran drainase kurang memadai (atas), serta limbah organik dan anorganik bercampur (bawah) di dalam saluran tersebut.

Tujuan pembangunan Pasar Ciroyom Bermartabat adalah untuk menertibkan dan menampung para pedagang kaki lima (PKL). Mereka diberi tempat berjualan di dalam pasar dengan cara membeli secara kredit lapak atau kios yang telah disediakan. Tujuannya agar mereka tidak memenuhi pinggiran jalan dan mengurangi kemacetan lalu lintas di jalanjalan sekitar Ciroyom. Namun tentunya pasar ini dibuat bukan hanya untuk memindahkan aktivitas berdagang, ia juga diarahkan agar dapat mengangkat kesejahteraan pedagang PKL.

Namun kenyataan yang terjadi, sebagian pedagang PKL enggan menempati ruang di dalam pasar. Pihak pengelola pasar telah mengkomunikasikan hal ini kepada pemerintah, namun tidak ada tanggapan. Hingga akhirnya situasi ini menimbulkan masalah sanitasi di Pasar Ciroyom. Masalah lingkungan, menurut Ulrich Beck, tidak bisa hanya dilihat dari kacamata scientific. Ia harus pula dilihat sebagai sesuatu yang socially constructed. Sudut padang secara scientific adalah melulu melihat secara teknis. Sedangkan melihat dalam konteks sosial akan membuat sudut pandang lebih kaya, karena berbagai masalah lingkungan pada umumnya memiliki sebab, sekaligus akibat, yang berada pada ranah sosial. Serta, masyarakat umumnya cenderung menilai sesuatu berdasarkan kesepakatan atau konsensus yang terjadi di antara mereka. Atau bisa diartikan pula bahwa sebuah kondisi lingkungan dianggap sebagai masalah atau bukan merupakan hasil dari dinamika sosial masyarakat. Di sini, objektifitas merupakan subjektifitas yang telah disepakati oleh pihak-pihak terkait. Sebagai contoh, secara scientific, berdasarkan pemantauan secara kualitatif, kondisi sanitasi di Pasar Ciroyom kemungkinan besar akan dinilai tidak memenuhi standar kesehatan. Karena itu pasar ini tidak layak untuk dijadikan tempat berdagang. Namun, bagi para pedagang dan pembeli di Pasar Ciroyom, kondisi tersebut telah dimaklumi. Bahkan sampai menganggap kondisi tersebut sebagai sebuah kewajaran, yaitu bahwa pasar tradisional memang biasanya becek. Lebih jauh, anggapan bahwa lingkungan Pasar Ciroyom bermasalah pun berbeda antara pedagang dan pembeli di siang hari, dengan pedagang dan pembeli di malam hari. Pada saat malam hari, karena bau yang tidak menyengat, para pedagang dan pembeli bisa menikmati aktifitas jual-beli. Namun, pada siang hari saat bau busuk sangat menyengat, pedagang enggan berdagang di pasar dan pembeli pun berat hati untuk mendekati pasar. Hal ini terbukti dengan Pasar Cimol (pasar yang menjual pakaian second atau sisa impor) di lantai satu (lantai atas) yang tidak bertahan lama karena sepi pembeli. Karena itu, menurut Beck, perlu ada proses untuk menyamakan persepsi mengenai masalah yang ada di Pasar Ciroyom ini. Jika persepsi bersama tidak tercapai, tidak heran ada pihak yang tidak merasa perlu untuk menyelesaikan “masalah� tersebut.

16

JUNI 2013


Beberapa Pelajaran Sementara itu, menurut Michel Foucault, tata kelola melibatkan jaringan relasi yang kuat antara yang dikelola dan mengelola. Karena itu Foucault menentang paham kekuasaan yang berpusat pada pusat kekuasaan negara. Atau, dalam kata lain, tata kelola yang baik tidak mengacu pada satu sistem yang didominasi oleh sebuah kelompok kepada kelompok yang lain, tetapi ia tersusun dari hubungan kekuasaan yang beragam dan saling terkait. Kekuasaan pada suatu masyarakat, menurut Foucault, ada dimana-mana. Dalam kata lain, kekuasaan berasal dari segala arah atau dari semua pihak yang berkepentingan. Dalam kasus Pasar Ciroyom ini, pihak-pihak yang berkepentingan seperti PD Pasar Bermartabat, PT APJ sebagai pengelola pasar, pedagang PKL, pejabat RT/RW setempat, dan “penguasa wilayah� adalah subjek kekuasaan. Sementara itu, pasar adalah obyek kekuasaan. Konsesus dan negosiasi adalah instrumen (tools) dari kekuasaan yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah bentuk sistem tata kelola. Karena itu, ketika ditemui permasalahan di tengah perjalanan perjanjian kerjasama antara kedua pihak seperti dalam Pasar Ciroyom ini, hendaknya para pihak melakukan renegosiasi perjanjian tersebut (yaitu antara pihak Pemerintah dan PT APJ sebagai pengelola pasar). Lebih jauh, menurut Foucault, kekuasaan membentuk antikekuasaan, atau akan ada perlawanan terhadap kekuasaan. Anti kekuasaan akan melahirkan kekuasaan baru sebagai penyeimbang kekuasaan dari pihak lainnya. Jika benturan kekuasaan ini tidak dikelola dengan baik, akan timbul permasalahan pada suatu sistem tertentu (dalam hal ini permasalahan tata kelola lingkungan pasar). Serta, Foucault secara umum membagi tata kelola dalam tiga dimensi, yaitu interaksi antar manusia (human interconnections), komunikasi, dan kapasitas untuk berubah (the capacities of change). Dari sisi interaksi komunitas di pasar tersebut, ada salah satu pihak yang mendominasi dan ada pihak lain yang ditinggalkan. Padahal, masing-masing pihak di antara pedagang, pengelola pasar, dan pemerintah memiliki tugas, peran, hak, dan kewajiban yang setara di dalam komunitas pasar tersebut. Dalam hal komunikasi, sirkulasi informasi dan pengetahuan merupakan strategi kekuasaan. Dalam ranah ini, terlihat bahwa terdapat proses yang tidak berjalan dengan baik di antara ketiga pihak tersebut. Foucault menegaskan, ada perbedaan mendasar antara relasi kekuasaan yang mendominasi dengan relasi kekuasaan yang partisipatif. Pada relasi kekuasaan yang mendominasi, informasi atau pengetahuan yang disirkulasikan dalam proses komunikasi adalah berupa perintah-perintah yang harus ditaati dari satu pihak kepada pihak lain. Sedangkan dalam relasi yang partisipatif, informasi dan pengetahuan yang

1

Masalah dimulai dari pemerintah yang kurang tegas dalam memindahkan PKL ke dalam bangunan pasar. Akibatnya, ada sebagian pedagang PKL yang tetap berada di luar bangunan pasar. Ini membuat pedagang yang berada di luar pasar kalah bersaing dengan pedagang yang berada di luar bangunan, sehingga mereka pindah lagi ke luar bangunan.

2

Peralihan peruntukan dari pasar kering ke pasar basah tidak dibarengi dengan penyesuaian infrastruktur sanitasi.

3

Ada pembiaran kondisi infrastruktur sanitasi. Pembiaran ini terjadi karena pihak PT APJ mengalami kerugian akibat lantai 1 tidak ditempati oleh pedagang. Atau dalam kata lain, PT APJ kekurangan dana untuk memperbaiki infrastruktur sanitasi tersebut.

4

Terdapat perbedaan persepsi dalam menilai masalah lingkungan yang ada di Pasar Ciroyom. Karena itu, pihak-pihak yang terkait tidak selaras dalam menyikapi kondisi tersebut.

5

Ada sebagian pihak yang merasa berkuasa, dan ada pihak lain yang merasa “ditinggalkan.� Ini membuat proses interaksi dan komunikasi tidak berjalan dengan baik, sehingga gagal membentuk sebuah sistem tata kelola yang baik.

disirkulasikan merupakan aspirasi-aspirasi dari masingmasing pihak. Proses komunikasi ini memegang peranan yang penting. Pasalnya ia bisa menentukan apakah informasi tersampaikan dengan baik ke semua pihak dan menghasilkan kebijakan yang memberi jalan keluar, atau malah membuat keadaan semakin rumit. Karena itu di sini pemerintah memiliki peran yang berbeda, bukan sebagai regulator, namun menjadi fasilitator. Diakui oleh pihak pengelola bahwa dalam perumusan rencana pendirian pasar, pihak pedagang PKL dan penghuni daerah setempat tidak dilibat secara aktif. Pemerintah saat itu, melalui PD Pasar Bermartabat, membuat perencanaan berdasarkan asumsi-asumsi yang terbukti tidak tepat dan justru menimbulkan masalah baru. Bahkan, untuk memindahkan pedagang PKL ke dalam pasar pun sempat melibatkan Satpol PP dan Koramil, di mana ini menunjukkan bahwa pemeritah belum menyadari sepenuhnya arti masyarakat yang demokratis dan pentingnya partisipasi warga. Sementara itu, dari sisi kapasitas untuk berubah, bisa dilihat bahwa peralihan peruntukan ternyata tidak diimbangi oleh kemampuan untuk menyesuaikan kebutuhankebutuhannya. Dalam hal ini, pihak pemerintah dan pengelola pasar tidak berhasil membangun interaksi yang tanggap akan perubahan. â–

JUNI 2013

17


FOKUS Oleh: Ismail Al Anshori Progam Magister Studi Pembangunan SAPPK-ITB

Antara Lampu dan Ruang Publik Mobilitas yang tinggi dan aktifitas yang padat ala kehidupan kota merupakan dua hal yang harus diselaraskan agar bisa menjamin kenyamanan warga. Mobilitas tersebut, di Kota Bandung, hampir selalu dilakukan melalui jalan raya. Namun jalan raya bukan hanya berfungsi sebagai fasilitas transportasi. Ia juga berfungsi sebagai ruang publik. Sebagai ruang publik, jalan raya dikenal sebagai lingkungan yang rawan, terutama pada malam hari. Dengan demikian, fasilitas penerangan jalan umum (PJU) merupakan salah satu elemen penting untuk mengupayakan sifat publik (publicness) dari sebuah ruang publik.

S

ifat publik tersebut terkait dengan keterlihatan (visibility) dan keterbukaan (openness). Keduanya berkaitan erat dengan isu keselamatan, keamanan, dan ikatan masyarakat ke dalam ruang publik di lingkungan sekitarnya. Sayangnya, kondisi PJU di Kota Bandung saat ini bisa dikatakan dalam keadaan kurang baik. Ditemukan bahwa masalah tata kelola resiko dan partisipasi warga merupakan hal pokok dalam isu ini.

Mobilitas Tinggi Kota Bandung adalah wilayah yang padat penduduk, memiiki mobilitas tinggi, dan komposisi masyarakatnya sangat majemuk. Karena itu, untuk menjaga kualitas hidup masyarakatnya, faktor keselamatan dan keamanan lingkungan menjadi isu yang penting. Kualitas hidup warga ini terkait dengan pengelolaan berbagai resiko yang ada di lingkungan sekitarnya. Ada resiko-resiko yang diakibatkan oleh faktor alam, misalnya banjir, tanah longsor, gempa, penyebaran penyakit, dan badai. Namun, karena penduduk yang sedemikian padat dan aktifitasnya yang begitu beragam, resiko di lingkungan perkotaan juga diakibatkan oleh kegiatan masyarakatnya sendiri. Contohnya adalah dalam hal polusi, sampah, sanitasi, kriminalitas, dan kecelakaan lalu lintas. Karena wilayahnya yang terbilang sempit dibanding kota lainnya, Bandung memiliki tantangan lebih terkait tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi. Salah satunya, tingkat kepadatan penduduk sebuah kota berbanding lurus dengan tingkat mobilitas atau sirkulasi kota tersebut. Sirkulasi barang maupun orang di dalam kota merupakan hal yang vital bagi keberlangsungan kehidupan bagi kota tersebut.

18

JUNI 2013


Ruang publik diasosiasikan oleh para filosof politik, seperti Jürgen Habermas, sebagai öffentlichkeit. Artinya, ia langsung mengacu pada ruang sosial yang memiliki karakterisitik keterbukaan (openness) dan keterlihatan (visibility).”

kepentingan. Lingkup jalan raya yang dibicarakan di makalah ini meliputi jalan untuk kendaraan dan trotoar sebagai fasilitas bagi pedestrian. Sementara itu, kondisi lampu penerangan jalan umum (PJU) di beberapa ruas jalan Kota Bandung berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Dalam arti hanya menyala beberapa buah dalam satu ruas jalan, atau bahkan semua lampu di ruas jalan tersebut mati total. Menurut Edi Siswadi (@edisistweet), Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Bandung, kota ini hanya memiliki lampu PJU sebanyak 19.000 titik dari jumlah ideal sebesar 45.000 titik. Sementara itu, 35 persen di antara 19.000 titik tersebut dalam keadaan tidak menyala atau mati. Lampu PJU yang mati total ini bisa ditemui di jalan-jalan utama seperti Jalan Diponegoro dan Jalan Surapati, serta persimpangan antara Jalan Djuanda dengan Jembatan Pasupati. Sayangnya, situasi ini terjadi hingga beberapa hari. Akibatnya, pada malam hari jalanan tersebut menjadi wilayah yang tidak lagi aman dan nyaman bagi warganya.

Pencahayaan dan Ruang Publik Untuk memenuhi sirkulasi yang begitu tinggi, fasilitas jalan raya dibangun secara masif. Jalan diperlebar dan diperhalus. Tidak cukup hanya jalan yang berada di permukaan tanah, jalan layang baru pun dibangun untuk memudahkan akses pengendara kendaraan. Bisa dibilang bahwa jalan raya merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat perkotaan. Menggunakan berbagai kendaraan — kecil maupun besar, roda dua maupun roda empat — warga berlomba-lomba mencapai tujuan masing-masing. Kendaraan pengangkut barang saling berebut jalur dengan moda transportasi lainnya. Dari pagi buta hingga tengah malam, warga tumpah ruah ke jalan-jalan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ditambah dengan membanjirnya kendaraan pada akhir pekan, jalan raya di Bandung menjadi kian penuh dan ramai. Situasi ini membuat jalan raya menjadi wilayah yang rawan bagi keselamatan dan keamanan. Keselamatan kurang lebih sering dikaitkan dengan isu kesehatan atau nyawa seseorang. Sedangkan keamanan diasosiasikan dengan kriminalitas, baik terhadap pribadi maupun properti (seperti kendaraan). Meski fungsi dasar jalan raya adalah untuk mobilitas, bukan berarti berbicara jalan raya hanya membahas tentang moda transportasi beserta para pemilik, pengendara, dan penumpangnya. Pembahasan tentang jalan raya harus menaruh perhatian kepada aktiftas sirkulasi dari para pejalan kaki dan orang-orang di sekitarnya. Atau dalam kata lain, berbicara tentang jalan raya adalah berbicara tentang ruang publik. Pasalnya, seperti umumnya ruang publik, jalan raya menjadi tempat pertemuan (atau persinggungan) warga kota dari berbagai golongan dan

“Public space is not space in the city but the city itself. Not nodes but circulation routes; not buildings and plazas, but roads and bridges. Public space is leaving home, and giving up all the comforts of the clusterplaces that substitute for the home.” - Vito Acconci, Public Space in a Private Time. Berpindah menuju ruang publik artinya meninggalkan ruang pribadi miliknya yang nyaman. Aktifitas di ruang publik bisa menjadi sebuah hal yang menakutkan manakala seseorang menjadi khawatir akan keselamatan dirinya, atau dia takut akan menjadi korban tindak kejahatan. Jika sudah begini, masyarakat akan enggan beraktifitas di ruang publik dan cenderung menarik diri beserta aktifitasnya ke dalam ruang pribadinya masing-masing. Ruang publik diasosiasikan oleh para filosof politik, seperti Jürgen Habermas, sebagai öffentlichkeit. Artinya, ia langsung mengacu pada ruang sosial yang memiliki karakterisitik keterbukaan (openness) dan keterlihatan (visibility). Lebih jauh, para sosiolog interaksi (interraction sociologist) umumnya memahami ruang publik sebagai ruang untuk interaksi sosial dan arena yang mengakomodasi kesaling-terlihatan (intervisibility) dari masing-masing aktor. Aspek kesalingterlihatan ini memungkinkan terjadinya koordinasi dalam aktifitas sosial. Dalam kasus pada makalah ini, aktifitas mobilitas di jalan raya dimungkinkan bisa terjadi secara harmonis karena masing-masing aktor bisa saling terlihat (intervisibility). Aktor disini berupa aktor manusia (pengendara kendaraan

JUNI 2013

19


> Tergesa-gesa di tengah kegelapan.

adalah dengan mengatur kontras antara “ruang” yang satu dengan “ruang” yang lain. Sebuah ruang yang sebenarnya terbuka, dalam artian tidak ada sekat, bisa dibuat bersekat dengan mengatur tingkat pencahayaan. Dalam kata lain, “ruang- ruang” tersebut bisa diciptakan dengan memainkan kontras pencahayaan ruangan.

dan pejalan kaki), maupun aktor non manusia (seperti jalan raya, rambu lalu lintas, dan pembatas jalan). Karena itu, kemudian muncul pengertian lain di beberapa literatur studi perkotaan yang menyebutkan bahwa ruang publik adalah ruang yang terlihat (visible space). Dengan demikian, di sini ruang publik memiliki aspek material dan spasial. Jika disimpulkan lebih lanjut, terdapat tiga kata kunci untuk menggambarkan ruang publik: keterbukaan (openness), keterlihatan (visibility), dan ritme sosial (Brighenti, 2010).

Seringkali, agar ruang-ruang yang diciptakan bisa dipersepsikan dengan jelas, dibutuhkan tingkat kontras yang tinggi. Permainan kontras ini umum dipakai misalnya pada stadion olahraga, panggung pertunjukan, dan galeri seni. Wilayah yang memiliki tingkat pencahayaan lebih terang dibanding sekitarnya seakan mengatakan “lihatlah kami!” Atau, ia mengundang orang untuk memusatkan perhatian. Sebaliknya, wilayah yang lebih gelap dimaksudkan agar orang menjauhkan perhatian dari wilayah tersebut. Kontras yang tinggi ini bisa bekerja layaknya kaca cermin satu arah. Ini terjadi karena mata manusia bekerja memisahkan gelap dan terang secara relatif. Orang yang berada di wilayah yang gelap akan mudah melihat sesuatu di wilayah yang terang. Sebaiknya, mereka yang berdiri di tempat yang lebih terang akan kesulitan melihat orang lain yang ada di tempat yang gelap.

Untuk menciptakan kondisi keterlihatan (visibility), arsitektur merupakan elemen yang sangat dominan. Artefak arsitektural seperti dinding dapat mengubah sifat publik dari sebuah ruang. Dinding tersebut menciptakan ruang yang tertutup atau terspesialisasi. Sosiolog interaksi menyebut ruang tertutup (ruang yang memiliki sekat) adalah ruang yang menuntut atau memungkinkan bahasa dan tingkah laku interaksi yang spesifik. Misalnya, toilet umum yang terletak di sebuah plaza memungkinkan orang untuk menjalankan ritual membuang kotoran, yang mana aktifitas tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa adanya dinding sebagai sekat.

Sebagai contoh, pada sebuah ruas jalan terdapat sebagian lampu jalan yang mati. Kondisi ini akan menciptakan tingkat pencahayaan yang tidak merata di sepanjang jalan tersebut, yaitu ada bagian yang terang dan ada bagian yang gelap. Pengemudi kendaraan yang baru saja melintas bagian yang terang akan sulit melihat jika ada pejalan kaki yang melintas pada bagian jalan yang gelap. Kondisi tersebut memperbesar resiko pejalan kaki tersebut tertabrak mobil. Atau skenario lainnya, pelaku kejahatan akan mudah “menyembunyikan diri” di wilayah yang gelap, sambil menunggu pejalan kaki melintas didekatnya. Di sini, kondisi buruknya lampu jalan bisa meningkatkan angka kriminalitas.

Sedangkan pada kasus jalan raya, sekat bukan berwujud dinding. Aspal dan marka jalan bisa berperan sebagai sekat bagi lingkungan sekitarnya (misalnya trotoar atau rerumputan). Di jalan raya ini, yaitu ruang yang beraspal dan bermarka, membuat orang bisa menjalankan mobilitasnya dengan nyaman. Di sebuah ruang yang beraspal tersebut, seseorang yang mengendarai mobil bisa menuntut orang yang memarkir kendaraan di tengah-tengah jalan. Pasalnya, terdapat ruang lain yang khusus untuk memarkir mobil, yaitu di pinggiran jalan atau di tempat parkir.

Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka jalan raya pada malam hari akan kehilangan jati dirinya sebagai ruang publik. Pasalnya, jalan raya berubah menjadi tempat yang menakutkan bagi warganya. Karena itu, dalam membicarakan pencahayaan di ruang publik, selain tingkat penerangan yang cukup, kemerataan distribusinya menjadi faktor penting untuk menciptakan sifat publik dari ruang publik tersebut. Dengan kata lain, tingkat pencahayaan yang cukup dan merata berguna menjaga keharmonisan ritme sosial di dalamnya.

Namun, pada malam hari, bukan hanya dinding (termasuk pagar) yang membuat sekat-sekat bagi ruang publik. Di dunia profesi desain pencahayaan, telah umum dipahami bahwa lampu pun berperan sebagai sekat pada sebuah ruang. Caranya

Secara psikologis, pada umumnya orang memang akan cenderung memilih wilayah yang lebih terang dibanding sekitarnya. Ini bisa dilihat pada ruang-ruang publik pada malam hari, orang umumnya memilih bergerombol di

20

JUNI 2013


bawah lampu penerangan dibandingkan wilayah lain yang lebih gelap. Selain keterlihatan, aspek penting berikutnya dalam ruang publik adalah keterbukaan (openness). Atau, dalam praktiknya, keterbukaan ini menyangkut tentang teritorial (wilayah dan batasnya) sebuah ruang publik. Karena itu, keterbukaan sering diasosiasikan dengan aksesibilitas. Pada dasarnya, sebuah wilayah disebut ruang publik jika memiliki halangan yang minimal. Namun bukan berarti tidak ada satu pun halangan, karena ruang publik pun butuh sekat (misalnya pagar) untuk menjaga lingkungannya. Sebagai contoh, sebuah taman kota dianggap representatif jika masyarakat bisa mengaksesnya dengan mudah karena memiliki pintu masuk yang berada di berbagai penjuru. Namun, halangan di sini tidak hanya berwujud material fisik. Halangan bagi aksesibilitas ruang publik pun bisa dalam ranah psikologis. Sebagai ilustrasi, terdapat sebuah pengajian ibu yang diadakan di sebuah lapangan pada sebuah kompleks perumahan. Sebagai sebuah kegiatan ibadah, tentunya pihak panitia tidak

bangunan pemerintah yang menyimpan dokumendokumen rahasia. Orang luar tidak bisa melihat dan mengakses ke dalam, sehingga mereka yang di dalam ruangan tersebut bisa bertindak sesuka hati tanpa khawatir diketahui oleh orang lain. Pada kasus pencahayaan dan ruang publik, ruang isolasi terjadi di sebuah wilayah yang gelap, yang mana bukan hanya tidak mendukung keterlihatan (orang di luar wilayah tersebut sulit melihat ke sana), namun juga area tersebut susah diakses. Ruang isolasi ini bisa ditemui pada fenomena munculnya wilayah- wilayah di jalanan perkotaan yang dikenal rawan kejahatan pada malam hari. Umumnya daerah tersebut memang memiliki pencahayaan yang tidak memadai. Jalanan yang sebenarnya ruang terbuka berubah menjadi tempat yang mendukung bagi tindak kejahatan karena tindakan tersebut dilindungi oleh kegelapan malam. Kasus lainnya, ruang isolasi di jalanan Kota Bandung bisa ditemui pada ruas-ruas jalan yang sering kejadian tabrak lari. Salah satunya, menurut

Gabungan dari nihilnya aspek keterlihatan (visibility) dan aksesibilitas dalam pencahayaan adalah munculnya ruang isolasi di ranah publik. Ruang isolasi tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah bangunan rumah yang melindungi properti pribadi, dinding kantor perusahaan yang melindungi rahasia usaha, atau bangunan pemerintah yang menyimpan dokumen- dokumen rahasia. mendiskriminasi pengunjungnya. Namun, sekelompok pemuda yang hanya berpakaian celana pendek dan kaos oblong bisa jadi akan sungkan untuk datang karena hambatan psikologis. Demikian pula dalam kaitannya pada kasus jalan raya. Memang lingkungan jalan raya umumnya tidak memiliki sekat-sekat yang kaku (rigid), sehingga setiap orang bisa lewat di atasnya dengan bebas. Namun, jika kondisi penerangannya tidak baik, orang akan enggan memasuki dan beraktifitas di ruang-ruang tersebut. Faktornya bermacam-macam, dari persoalan kenyamanan hingga kekhawatiran akan tindak kejahatan. Ini menunjukkan bahwa ruang publik yang gelap cenderung menjadi lebih sulit diakses. Gabungan dari nihilnya aspek keterlihatan (visibility) dan aksesibilitas dalam pencahayaan adalah munculnya ruang isolasi di ranah publik. Ruang isolasi tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah bangunan rumah yang melindungi properti pribadi, dinding kantor perusahaan yang melindungi rahasia usaha, atau

salah satu narasumber pedagang kaki lima, di Jalan Diponegoro sering terjadi tabrak lari. Dari pengamatan lapangan pada akhir Desember 2012, kondisi lampu penerangan jalan di ruas Jalan Diponegoro ini memang semuanya mati. Minimnya pencahayaan ini memperbesar resiko kecelakaan dan meningkatkan kecenderungan pelaku (penabrak) untuk lari dari tanggung jawab. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa pencahayaan memiliki peran yang dominan dalam menciptakan teritorial-teritorial di ruang publik. Fungsi teritorial dari pencahayaan tersebut akan menentukan apakah masyarakat memiliki ikatan yang kuat dengan ruang publiknya, apakah warga merasa nyaman dan aman beraktifitas di dalamnya, dan sebagainya. Imbasnya, pencahayaan memiliki peran yang cukup penting untuk menjaga keharmonisan ritme sosial yang terjadi di dalam ruang publik.

JUNI 2013

21


Masyarakat Beresiko dan Partisipasi Warga “...the built-in equipment of urban open spaces is essential to sustain and enhance their very publicness.” Jane Jacobs (1961) Untuk mengelola ruang publik, Foucault (1982) memberikan sebuah kerangka berdasarkan relasi kuasa. Kuasa, kata Foucault, adalah cara untuk membuat teritori dan menghilangkan teritori dalam ruang publik. Hal ini berarti bahwa kuasa tersebut adalah kemampuan untuk menyatukan atau memisahkan, mendistribusikan atau menghalangi, serta memperlihatkan atau menutupi. Termasuk di dalam kuasa ini adalah kemampuan untuk mengendalikan dan menjaga aktifitas di dalam teritori tersebut. Misalnya, dalam kasus jalan raya, pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur sirkulasi kendaraan di jalan raya melalui kualitas jalan dan ketersediaan rambu lalu lintas. Artinya, kualitas jalan yang baik dan ramburambu lalu lintas berperan dominan dalam menjaga keharmonisan mobilitas di jalan. Namun, mengandalkan kualitas jalan dan rambu-rambu saja akan kurang optimal saat malam hari. Pada situasi tersebut, lampu penerangan jalan menjadi aktor yang tidak kalah dominan. Dominasi lampu penerangan jalan tersebut, seperti telah disebutkan di bagian sebelumnya, terkait dengan aspek keterlihatan (visibility) dan aksesibilitas ruang publik. Ia mendominasi ruang sedemikian rupa sehingga menentukan apakah ruang tersebut terbuka atau tertutup, mudah dilihat atau sulit dilihat, aman atau tidak aman, dan sebagainya. Dengan demikian, berbagai perkakas yang ada di ruang publik merupakan hal yang esensial untuk menjaga dan meningkatkan sifat publik (publicness) dari ruang publik tersebut (Jacobs, 1961). Karena itu, mengelola “kesehatan” lampu penerangan jalan umum (PJU) adalah elemen penting untuk menjaga keharmonisan ritme sosial di dalamnya. Kemudian, berbicara mengenai tata kelola ruang publik tentunya tidak lepas dari peranan birokrasi yang menjadi representasi pemerintah sebagai penguasa wilayah. Birokrasi, menurut Foucault, diperlukan untuk mencapai bentuk kuasa secara legal-rasional, berdasarkan spesialisasi kompetensi dan standardisasi prosedur. Dalam hal ini, birokrasi harus menghitung berbagai kemungkinan yang akan terjadi dari hal-hal yang ditanganinya. Jika meninjau buruknya kondisi lampu jalan di Kota Bandung, hal tersebut merupakan sesuatu yang ironis. Kemajuan yang ditunjukkan dengan ramainya moda transportasi modern (mobil dan sepeda motor) di jalanan

22

JUNI 2013

tidak diikuti dengan cara-cara pengelolaan yang juga modern. Masyarakat modern, menurut Beck (2009), memiliki arti yaitu telah terbentuk kesadaran masyarakat terhadap resiko, yang mana ini akan membuat masyarakat tersebut lebih waspada dan terencana. Resiko yang dan bersifat probabilistik atau tidak menentu (uncertain), bisa dibuat menjadi menentu (certain) dan dapat dikendalikan (manageable) melalui cara-cara pengelolaan tertentu. Karena itu masyarakat modern bisa diartikan pula sebagai masyarakat beresiko (risk society). Terkait resiko padamnya lampu jalan ini, bola lampu (bolam) dan berbagai perangkat listrik pendukungnya memiliki waktu operasional tertentu, tergantung dari jenis materialnya. Karena itu, penggantian perkakas tersebut bisa dilakukan secara sistematik sebelum umur pakainya terlampaui, tidak harus menunggu hingga lampu tersebut mati satu per satu. Artinya, hidup dan matinya lampu di area kota bisa diprediksi kapan dan dimana. Ciri-ciri lain dari masyarakat modern dibandingkan dengan masyarakat tradisional atau masyarakat modern tahap awal (early-simple modern society), menurut Beck, adalah pada “kelenturan” dalam melihat struktur. Masyarakat modern memiliki struktur yang fleksibel, yaitu lebih mementingkan agen dibandingkan harus terbelenggu oleh struktur (aturan, kewenangan, dan/atau sumber daya). Artinya, ketika ada masalah, masyarakat modern lebih mementingkan pada bagaimana menciptakan agen yang bisa segera menyelesaikan masalah tanpa terpaku oleh struktur tersebut. Di sisi ini, tatanan terdiri dari aktoraktor yang berada dalam susunan yang egaliter, bukan hierarkis. Karena itu, ilmu pengetahuan dan komunikasi menjadi kunci dalam sistem ini. Perspektif ini bisa digunakan untuk melihat fakta bahwa ada sebagian lampu PJU yang berada di dalam Kota Bandung, namun pihak Pemerintah Kota sebagai ‘tuan rumah’ tidak bisa ikut mengelola karena bukan di dalam kewenangannya. Contohnya adalah lampu PJU di Jalan Pasupati, meski berada di dalam kota, namun Pemerintah Kota tidak bisa segera memperbaiki karena lampu PJU tersebut merupakan kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum. Masalah ini bisa diatasi segera jika perawatan PJU tersebut tidak dibatasi oleh sekat-sekat struktural. Salah satu caranya, Kementerian Pekerjaan Umum dan pihak Pemerintah Kota bisa bernegosiasi untuk menyerahkan kewenangan perawatan kepada agen yang bisa bereaksi lebih cepat. Contohnya, perawatan diserahkan kepada Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Binamarga karena institusi ini “lebih dekat” dengan sumber masalah. Atau bisa pula dibentuk sebuah lembaga baru untuk menjembatani masalah kewenangan ini. Intinya adalah, lembaga tersebut harus bisa tanggap bergerak untuk


[..] ketika ada masalah, masyarakat modern lebih mementingkan pada bagaimana menciptakan agen yang bisa segera menyelesaikan masalah tanpa terpaku oleh struktur. menyelesaikan masalah tanpa dibatasi sekat- sekat struktural. Pasalnya, semakin lama masalah terbengkalai, kian rawan pula keselamatan dan keamanan lingkungan, sehingga masyarakat lah yang akan menjadi korbannya. Beck juga menjelaskan bahwa berbagai masalah lingkungan tidak bisa hanya dilihat dari kacamata scientific. Perlu disadari bahwa lingkungan dengan semua dinamika di dalamnya merupakan hasil dari proses konstruksi sosial (socially constructed). Kacamata scientific umumnya dianggap akan memberikan penilaian yang bersifat “objektif.” Namun, masalah lingkungan sebenarnya adalah masalah tentang manusia, atau kumpulan manusia. Oleh sebab itu, resiko perlu dilihat dari konteks sosial, sehingga sudut pandang akan lebih kaya dan sesuai dengan sasaran. Ini karena pada umumnya masyarakat menilai sesuatu berdasarkan kesepakatan atau konsensus yang terjadi di antara mereka. Atau bisa diartikan pula bahwa sebuah kondisi lingkungan dianggap sebagai masalah atau bukan masalah merupakan hasil dari dinamika sosial masyarakat. Di sini, berlaku pameo yang menyatakan bahwa objektifitas merupakan subjektifitas yang telah disepakati. Dengan pemikiran tersebut, keterlibatan masyarakat terkait pengelolaan lampu PJU di Kota Bandung ini menjadi hal yang penting. Partisipasi masyarakat dalam urusan publik, menurut Cooke (2000), memiliki manfaat yaitu meningkatkan kualitas moral, praktis, dan intelektual mereka. Partisipasi ini tidak hanya membentuk masyarakat yang lebih baik, tapi membuat warga menjadi individu yang lebih baik pula (Campbell, 2005). Ia juga bermanfaat agar terwujud ikatan sosial (social engagement) yang kuat di antara sesama masyarakat dan pemerintah. Sementara itu, terkait dengan mekanisme untuk mendeteksi kerusakan, pihak Pemerintah Kota mengklaim terdapat patroli yang dilakukan setiap hari, serta ada jalur laporan masyarakat melalui Badan Komunikasi dan Informatika (Bakominfo). Untuk kota seluas Bandung, bisa diperkirakan bahwa patroli ini tidak akan berjalan efektif. Karena itu, peran masyarakat untuk ikut memantau kondisi PJU merupakan hal yang krusial.

Epilog “...a generic face, somehow, a face that would become invisible in any crowd...” Paul Auster, Invisible. Menurut Campbell (2005), terdapat dua isu terkait partisipasi ini. Pertama adalah tentang pola interaksi yang “intim,” dan kedua adalah kepercayaan (trust) harus terbentuk. Terkait mekanisme laporan masyarakat kepada Bakominfo, terdapat masalah dalam hal media apa yang harus digunakan untuk keperluan ini. Untuk mencapai keintiman interaksi dan menciptakan kepercayaan, media ini harus bisa menjamin kemudahan akses sekaligus kredibilitas informasi. Salah satu solusinya, dalam era teknologi informasi yang telah maju seperti saat ini, media seperti website dan jejaring sosial bisa dimanfaatkan. Aspek kepercayaan pun harus bisa dibuktikan dengan menunjukkan respon yang tanggap atas laporan-laporan yang ada. Pasalnya, jika respon yang diberikan tidak sesuai dengan harapan, maka masyarakat akan enggan untuk berpartisipasi kembali. Sistem pencahayaan dan ruang publik pada malam hari memiliki keterkaitan yang erat, yang mana sistem pencahayaan akan menentukan sifat publik dari ruang publik tersebut. Sifat publik ini ditunjukkan dengan keterlihatan (visibility) dan keterbukaan (openness). Namun sayangnya, kondisi pencahayaan di beberapa ruas jalan utama Kota Bandung berada pada kondisi yang buruk. Situasi tersebut meningkatkan resiko kecelakaan dan ancaman keamanan. Serta, ia semakin mengasingkan masyarakat dari ruang publik, dalam hal ini jalan raya. Menggunakan kacamata masyarakat beresiko (risk society), matinya lampu penerangan jalan yang serba tidak pasti (unpredictable) tersebut bisa diubah menjadi terkendali (certain) dengan kiat-kiat pengelolaan yang sistematis. Kondisi buruk yang dibiarkan secara terus menerus akan membuat masyarakat apatis terhadap lingkungannya. Meminjam kalimat Paul Auster, dalam ranah ruang publik ini kira-kira bisa berarti bahwa masalah yang telah umum terjadi akan membuat orang menjadi tidak peduli dan abai. Karena itu, melihat luasnya wilayah dalam persoalan ini, keterlibatan masyarakat merupakan hal yang penting untuk menjaga keharmonisan aktifitas sosial di lingkungan masing-masing. Sudah saatnya pemerintah bekerja bersama masyarakat dalam mengembangkan berbagai program untuk merawat fasilitas umum. Kerjasama ini penting untuk membangun rasa kepemilikan warga dan menjaga lingkungan sekitar. ■

JUNI 2013

23


FOKUS Oleh: Wahyu Sunyoto Hari Adi Progam Magister Studi Pembangunan SAPPK-ITB

Babakan Siliwangi

TI

idak banyak ruang terbuka hijau (RTH) di kotakota besar bisa menjadi ruang publik yang nyaman, aman dan ramah. Di tengah sumpeknya aktivitas perkotaan, keberadaan hutan kota Babakan Siliwangi di pusat Kota Bandung bisa menjadi harapan akan tersedianya ruang terbuka hijau yang memberikan fungsi ekologis sekaligus sosial bagi masyarakatnya. Masalah muncul ketika Pemerintah Kota membuat rencana komersialisasi kawasan Babakan Siliwangi. Tak pelak, kontroversi dan perdebatan dari berbagai pihak pun muncul terkait bagaimana memanfaatkan dan mengelola Babakan Siliwangi. Perdebatan ini melibatkan berbagai aktor —pemerintah, masyarakat, maupun swasta — berdasarkan perspektif dan kepentingan masing-masing.

sejak awal abad ke-20. Namun sejalan dengan perkembangan Kota Bandung, secara perlahan, sebagian dari kawasan ini mulai dijadikan area pemukiman oleh masyarakat. Sementara, sebagian lagi tetap sebagai areal persawahan dan kolam pemancingan. Sebagian besar kepemilikan lahan masih menjadi milik Pemerintah Daerah Bandung. Hanya beberapa bagian dari kawasan ini yang merupakan kepemilikan pribadi. Ditengarai mereka adalah penduduk asli (Siregar, 1990). Sekitar 1980-an mulai dibangun restoran Babakan Siliwangi oleh Pemerintah Kota Bandung beserta Sanggar Olah Seni dan Sanggar Mitra Seni dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat. Tujuannya adalah untuk menghidupkan kawasan Babakan Siliwangi sebagai salah satu tempat kunjungan wisata budaya di Bandung.

Babakan Siliwangi, sebuah hutan kota yang berada di kawasan lembah Cikapundung, merupakan satu-satunya “paru-paru� Kota Bandung. Sejarah Kawasan Babakan Siliwangi sendiri dimulai sebagai bagian dari Kawasan Lebak Siliwangi. Sejak zaman Belanda, kawasan ini merupakan green belt kota Bandung yang berupa area persawahan. Semasa pemerintahan Jepang sempat direncanakan sebagai tempat pembangunan museum. Namun proyek ini tidak terealisasi. Dapat dilihat bahwa kawasan ini memang sejak dahulu sudah menarik banyak pengembang karena lokasinya yang cukup strategis (Kunto, 1986).

Selain itu, di kawasan ini juga memiliki acara kesenian yang cukup unik, yaitu seni ketangkasan domba yang telah berlangsung sejak 1960-an hingga kini. Ia dilakukan oleh Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI). Pelaksanannya adalah setiap bulan pada minggu pertama. Tempatnya di sebuah lapangan khusus yang disediakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat.

Hingga 1970-an, Kawasan Lebak Siliwangi masih merupakan area persawahan dengan beberapa rumah-rumah yang terpencar-pencar. Rumah-rumah ini telah ada di kawasan ini

24

JUNI 2013

Berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh Prof. Otto Sumarwoto, kawasan Lebak Siliwangi ini juga merupakan lahan percobaan bagi pertanian. Tercatat pada kawasan ini pernah ditanam padi (Mina Padi) yang saat itu merupakan salah padi jenis unggul di Indonesia. Apabila dilihat dari sejarahnya, kawasan ini sebenarnya cukup memiliki nilai budaya dan ilmiah yang cukup penting di Kota Bandung.


State

Capital

Media

>Model “tiga sisi pilar masyarakat� oleh Johan Galtung.

Civil Society

Sejalan dengan perkembangan waktu dan kebutuhan, Kawasan Lebak Siliwangi mulai mengalami perubahan. Perubahan yang terbesar terjadi pada saat ITB membangun sarana olahraga pada kawasan ini. Pembangunan ini pada mulanya mendapat tentangan dari Pemerintah Kota Bandung dengan alasan ingin mempertahankan kawasan tersebut sebagai ruang terbuka hijau. Namun setelah adanya kesepakatan antara pihak ITB dengan pemerintah kota Bandung, bahwa ITB akan menghijaukan daerah Lebak Siliwangi, pembangunan sarana olahraga mendapatkan izin. Kesepakatan yang terjadi saat itu menyebutkan bahwa peruntukkan lahan kawasan ini adalah “fasilitas rekreasi, budaya dan pendidikan yang tidak bersifat hunian permanen.� Pengembangan sarana olahraga tidak mengambil seluruh lahan yang ada. Sisa lahan tetap dibiarkan hijau dengan pepohonan dan melestarikan fungsi-fungsi yang telah ada sebelumnya. Lahan sisa ini lah yang kini dikenal dengan sebutan Babakan Siliwangi.

Namun, sebagai sebuah ruang terbuka hijau yang menjadi paru-paru Kota Bandung, Babakan Siliwangi justru dianggap sebagai beban bagi Pemerintah Kota karena tidak memberikan pemasukan PAD. Fungsifungsi yang ada di kawasan ini, seperti restoran dan sanggar seni, dinilai tidak menghasilkan keuntungan. Karena itu, usulan rencana pembangunan rumah makan dan apartemen pada kawasan ini dinilai sebagai hal positif dalam upaya mendapatkan pemasukan yang besar bagi PAD kota. Dalam rencana pengembangan tersebut pihak Pemkot akan bekerjasama dengan pihak swasta. Keterbatasan dana dalam mengelola ruang terbuka hijau publik menjadi latar belakang kerjasama pengelolaan dengan pihak swasta. Namun rencana tersebut menimbulkan polemik di masyarakat karena khawatir akan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Selain itu, komersialisasi akan membuat Babakan Siliwangi hanya bisa diakses oleh kalangan masyarakat tertentu saja.

Demi PAD? Perkembangan Kota Bandung sebagai kota jasa, terutama setelah masa otonomi daerah, menuntut peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal tersebut mempengaruhi kebijakan pengembangan kota. Ditambah fakta bahwa Kota Bandung cenderung mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik sebagai daerah tujuan wisata maupun sebagai pusat pendidikan. Peningkatan jumlah pendatang dan penduduk ke Kota Bandung dianggap sebagai salah satu potensi untuk mengembangkan fungsi hunian dan komersial. Namun lahan yang terbatas di pusat kota merupakan hambatan dalam upaya pengembangan fungsi-fungsi tersebut. Tak pelak, kawasan Babakan Siliwangi yang berada di pusat kota menjadi incaran banyak pelaku bisnis. Dengan luas area 3,84 hektar, kawasan ini memiliki lokasi yang cukup strategis karena dekat dengan perguruan tinggi dan pusat aktivitas Kota Bandung.

Polemik tersebut membuat Babakan Siliwangi terlantar dan menjadi hunian ilegal bagi para pengemis dan pemulung, serta tempat berdagang bagi pedagang kaki lima. Pemerintah dan pihak pengembang sendiri belum memiliki sikap pasti tentang tindak lanjut pengelolaan Babakan Siliwangi ini.

Tata Kelola Lingkungan Wacana tentang pemerintahan di masa lalu terlalu condong merujuk pada aktor yang terlibat atau pemegang otoritas. Akibatnya, wacana yang bergulir sangat sarat dengan kepentingan sepihak pemerintah. Yang beredar saat itu adalah cara pandang yang hanya sensitif terhadap kepentingan pemerintah, sedangkan kepentingan masyarakat atau sektor non-pemerintah kurang diperhatikan.

JUNI 2013

25


Untuk menghindari kesepihakan dan kesemenamenaan pemerintah, orientasi pemikiran tentang pemerintahan perlu digeser sedemikian rupa sehingga lebih bisa mengedepankan fenomena interaksi pihak-pihak yang terkait. Jan Kooiman (1993) misalnya, memetakan adanya dua pihak: pemerintah dan masyarakat. Paradigma yang demikian ini kemudian diberi nama governance, atau dalam bahasa Indonesia kemudian dikenal sebagai tata kelola. Terkait dengan topik yang dibicarakan kali ini, maka digunakan istilah environmental governance (tata kelola lingkungan). Relevansi dari kosep environmental governance adalah pada keperluan untuk memahami dan mengelola hubungan timbal balik antara sistem sosial dengan ekosistem. Lebih dari itu, sistem sosial perlu dikelola dengan mengedepanan nilainilai ekologis, dan sebaliknya, ketahanan ekosistem bisa dipelihara melalui pengelolaan sistem sosial yang terbimbing oleh kaidah-kaidah ekologis. Konsep tata kelola menekankan interaksi antara pihak-pihak yang terkait dan saling memengaruhi dalam permasalahan lingkungan. Salah satu bentuk interaksi ini dapat terlihat dari model tiga sisi pilar masyarakat yang digambarkan oleh Johan Galtung (1993). Pilar “masyarakat” ini terdiri dari negara atau pemerintah sebagai aparatusnya, “modal” atau kekuatan-kekuatan pasar, dan “masyarakat sipil” atau aktivitas-aktivita masyarakat yang nonpemerintah dan nirlaba. Dalam tatanan ini, “media” berada dalam posisi mengambang diantara tiga pilar tersebut. Salah satu wujud interaksi antar aktor ini adalah dalam menentukan perubahan yang dikehendaki terkait suatu persoalan. Dalam domain publik, wujud interaksi ini terkait dengan berbagai negosiasi terhadap formulasi suatu kebijakan publik. Konflik kebijakan bukan masalah sederhana

26

JUNI 2013

akibat pilihan rasional diantara alternatif pilihan yang tersedia. Perumusan kebijakan lebih merupakan kontestasi dari kepentingan politik, pengetahuan, dan kekuasaan. Perubahan-perubahan kebijakan sangat tergantung pada kemampuan suatu diskursus tertentu apakah dapat membangkitkan ide-ide baru dan diteima berbagai aktor atau tidak (Lubell, 2004). Suatu kebijakan tertentu dibangun oleh peran aktif dari berbagai aktor — misalnya akademisi, lembaga donor, politisi, dan LSM — serta jaringan yang dapat mereka bangun sehingga dapat memanfaatkan ruang yang tersedia dalam konteks, situasi, dan waktu tertentu.

Saatnya Berbenah Kontroversi pemanfaatan dan pengelolaan hutan kota Babakan Siliwangi memunculkan respon dan opini yang beragam dari berbagai pihak. Berikut ini beberapa cuplikannya. Dikutip dari inilah.com pada 26 September 2011. Dada [Rosada] mengatakan, kerja sama antara Pemkot dengan PT. EGI sudah dilakukan sejak lama, bahkan sebelum dia menjadi wali kota. Karena itu, dia mengaku hanya melanjutkan saja. “Saya pikir ini merupakan bentuk kepedulian swasta yang ingin membantu mengelola kawasan Baksil (Babakan Siliwangi). Mereka pun hanya membangun bangunan yang memang dibutuhkan masyarakat, yaitu rumah makan saja,” kilahnya. Dia melihat pembangunan itu tidak masalah karena tidak mengurangi RTH. Apalagi, kata dia, pembangunan rumah makan itu diklaim berada di luar kawasan hutan Baksil. Dikutip dari harian Pikiran Rakyat pada 27 Mei 2012, Wali Kota Bandung masih konsisten terhadap pengembangan Babakan Siliwangi. “Site plan dan izin bangunan sedang dibuat, mudah-mudahan bulan ini selesai sehingga pembangunan bisa cepat dilaksanakan,” kata Wali Kota Bandung Dada Rosada. Dada menegaskan, pembangunan yang akan berlangsung di kawasan Babakan Siliwangi hanya berupa rumah makan. “Saya tegaskan tidak akan ada kondominium, tidak ada hotel, dan semacamnya.”


Fungsi Ekologis

PT Esa Gemilang Indah (EGI) selaku pengembang juga diminta untuk taat pada kontrak yang telah dibuat, terutama mengenai luas bangunan. “Pembangunan hanya boleh dilakukan seluas tapak tanah rumah makan yang dulu pernah ada.” Dikutip dari Pikiran Rakyat pada 21 September 2011, Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, terkesan memberikan restu pengembangan kawasan Babakan Siliwangi, meskipun hal ini disampaikan dalam pernyataan yang cenderung normatif. Pembangunan restoran di kawasan Babakan Siliwangi yang dikelola PT Esa Gemilang Indah, bisa berdampingan dengan pengembangan hutan kota yang digagas dalam Tunza International Children and Youth Conference on the Environment mendatang. Sinyal positif itu dilontarkan Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Lingkungan Hidup Rasio Ridahosani, saat mendampingi Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta di kawasan Babakan Siliwangi. Rasio memaparkan, semestinya, fungsi ekologis dan fungsi ekonomi bisa berjalan beriringan tanpa merugikan satu sama lain. “Jadi bisa sinergi antara kepentingan bisnis, lingkungan, dan sosial. Itu bisa diimplementasikan melalui pembangunan berkelanjutan. Jika hutan asri, maka tamu-tamu restoran pun bisa menikmati keindahannya. Itu nilai tambahnya. Tidak hanya datang dan makan.” Sementara itu, Meneg LH Gusti Muhammad Hatta membeberkan, sesuai aturan, ruang terbuka hijau di suatu daerah, harus mencapai 30 persen dari total wilayah daerah tersebut. Karena itu, Gusti sangat mendukung penyelenggaraan Tunza Internasional yang satu agenda utamanya ialah pengembangan hutan kota di Baksil. Dikuti dari Galamedia pada 21 September 2011, PT. Esa Gemilang Indah (EGI) selaku pihak swasta yang mendapat hak untuk mengelola Babakan Siliwangi menunjukkan kehendak yang kuat untuk melakukan pnegelolaan ini.

Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang terbuka hijau adalah “area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.” Ia memiliki fungsi-fungsi intrinsik, yaitu berupa fungsi ekologis, yaitu:

1

Penyerap karbon dioksida Dengan semakin berkurangnya hutan sebagai penyerap karbon dioksida, maka keberadaan RTH menjadi sangat dibutuhkan. Wilayah perkotaan saat ini memiliki tingkat konsentrasi karbon dioksida yang tinggi, baik dari hasil pernafasan manusia yang kian padat, hasil pembakaran mesin transportasi, maupun gas buang industri. Gas karbon dioksida yang konsentrasinya terus meningkat ini akan mengakibatkan efek rumah kaca. Keberadaan tanaman di lingkungan perkotaan akan membantu membersihkan udara melalui proses fotosintesis. Dalam proses tersebut, zat hijau daun dengan bantuan sinar matahari akan mengolah karbon dioksida menjadi oksigen yang sangat dibutuhkan oleh manusia.

2

Pelestarian air tanah Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan mengurangi tingkat erosi, menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan kondisi air tanah di lingkungan sekitarnya. Pada musim hujan, laju aliran permukaan dapat dikendalikan oleh penutupan vegetasi yang rapat. Sedangkan pada musim kemarau, potensi air tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di lingkungan perkotaan. Taman dengan luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan (run off) akibat hujan dan meresapkan air ke dalam tanah sekitar sepuluh ribu meter kubik setiap tahun.

3

Penahan angin Taman bisa berfungsi sebagai penahan angin yang mampu mengurangi kecepatan angin sekitar 75 hingga 80 persen. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain ruang terbuka hijau untuk menahan angin adalah menanam tanaman yang memiliki dahan yang kuat, dan memilih pohon yang selalu hijau sepanjang tahun.

4

Ameliorasi iklim RTH di perkotaan bisa berfungsi untuk menurunkan suhu pada waktu siang hari. Serta sebaliknya pada malam hari suhu dapat lebih hangat karena tajuk pohon menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah pantulan radiasi matahari di sebuah taman atau hutan sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan cuaca, dan posisi lintang. Karena itu, pepohonan dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal, dan baja. Daerah perkotaan yang disebut heat island ini umumya memiliki suhu udara 3 hingga 10 derajat Celcius lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Faktor suhu ini lah yang membuat lingkungan perkotaan di sekitar taman atau hutan menjadi lebih nyaman.

5

Habitat hidupan liar RTH bisa berfungsi sebagai habitat hidupan liar yang beranekaragam. RTH yang terjaga dengan baik bisa menjadi lingkungan yang alami bagi keanekaragaman tumbuhan. Karena itu ia bisa memberikan tempat berlindung dan menyediakan nutrisi bagi berbagai jenis satwa, terutama burung, mamalia kecil, dan serangga.

JUNI 2013

27


Meningkatkan Kualitas Kota Selain fungsi intrinsik, atau sebagai penopang ekologi, RTH juga memiliki fungsi-fungsi ekstrinsik. Ia bisa menjadi pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut. Dengan demikian, bentuk dan lokasi RTH bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota. Fungsi ekstrinsik RTH ada tiga macam, yaitu: 1.

Fungsi sosial RTH yang dirancang dengan baik dan bisa diakses oleh berbagai kalangan masyarakat kota akan memberikan berbagai manfaat sosial. Diantaranya adalah menurunkan tingkat stress masyarakat, konservasi situs alami sejarah, menurunkan konflik sosial, mendukung keamanan kota, dan meningkatkan produktivitas masyarakat.

2.

Fungsi ekonomi Manfaat RTH dalam aspek ekonomi bisa diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, manfaat ekonominya diperoleh dari penjualan atau penggunaan hasil RTH berupa kayu bakar maupun kayu perkakas. Penanaman jenis tanaman yang bisa menghasilkan biji, buah, atau bunga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti meningkatkan taraf gizi, kesehatan, dan penghasilan masyarakat. Sebagai contoh, buah kenari selain untuk dikonsumsi juga dapat dimanfaatkan untuk kerajinan tangan. Bunga tanjung dapat diambil bunganya. Buah sawo, pala, kelengkeng, duku, asam, menteng dan lain-lain dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan gizi dan kesehatan. Sedangkan secara tidak langsung, manfaat ekonomi RTH adalah menambah kenyamanan lingkungan dan meningkatkan nilai estetika lingkungan kota. RTH juga dapat meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat dengan cara menarik minat wisatawan dan peluang-peluang bisnis lainnya. Misalnya, orang-orang akan menikmati kehidupan dan berbelanja dengan waktu yang lebih lama di sepanjang jalur hijau; kantor-kantor dan apartemen di areal yang berpohon akan mudah dipasarkan; serta harga dan lama waktu sewa apartemen dan hotel yang tinggi. Selain itu, lokasi perkantoran yang berada di sekitar daerah yang banyak pepohonan akan memberikan produktivitas pekerja yang tinggi.

3.

28

Fungsi arsitektural Komposisi vegetasi dengan strata yang bervariasi di lingkungan kota akan menambah nilai keindahan kota tersebut. Bentuk tajuk yang bervariasi dengan penempatan (pengaturan tata ruang) yang sesuai akan memberi kesan keindahan tersendiri. Tajuk pohon juga berfungsi untuk memberi kesan lembut pada bangunan di perkotaan yang cenderung bersifat kaku. Sebuah studi yang dilakukan terkait keberadaan RTH terhadap nilai estetika kota menunjukkan bahwa masyarakat bersedia untuk membayar lebih bagi RTH karena ia bisa memberikan rasa keindahan dan kenyamanan.

JUNI 2013

“Kita akan bangun rumah makan di tapak yang sudah ada. Bangunan berdiri di lahan seluas 2.000 meter persegi dan 5.000 meter persegi untuk parkir, sisanya untuk penghijauan,” ujar perwakilan dari PT EGI, Iwan, usai rapat persiapan Tunza International Children and Youth Conference di BPLHD Jabar. Dikatakannya, untuk parkir dan pembangunan akan disesuaikan dengan arahan dari Pemkot Bandung. “Kita mengacu pada yang sudah lama dan disesuaikan dengan arahan dari Distarcip (Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya),” ungkapnya. Dari 3,8 hektar lahan Baksil yang dikerjasamakan, kata Iwan, PT. EGI hanya membangun sebagian kecil. Selain itu PT. EGI memiliki kewajiban untuk menjaga ekosistem. “[Baksil] Ini ‘kan ruang terbuka hijau (RTH). Meski RTH enggak menutup kemungkinan ada kegiatan, cuma kegiatannya enggak merusak ekosistem,” terangnya. Dikutip dari Pikiran Rakyat pada 15 Oktober 2011, muncul banyak penolakan dari masyarakat, salah satunya: Perjanjian antara Pemerintah Kota Bandung dengan PT. Esa Gemilang Indah (EGI) atas pemberian izin pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi (Baksil) harus dihentikan. Bila Pemkot tidak bisa membayarkan kembali apa yang sudah diterimanya dari PT. EGI, aktivis lingkungan yang tergabung dalam Bandung Inisiatip akan menggalang “Koin untuk Baksil.” Hal itu dikatakan Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Dedi Kurniawan, di selasela peringatan ulang tahun Walhi Indonesia ke 31 di kawasan Babakan Siliwangi Kota Bandung. Wacana perdebatan kemudian berkembang menjadi pertentangan antara isu ekonomi dengan isu ekologi. Isu ekologi yang berkembang tidak lagi sebatas Babakan Siliwangi sebagai ruang hijau terbuka namun melebar menjadi daerah resapan air. Pihak Pemerintah Kota Bandung, dalam berbagai kesempatan, telah mengemukakan alasan-alasan mengapa mereka bersikeras


untuk memberikan izin pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi kepada pihak swasta. Alasan pertama, karena kawasan ini sudah lama diterlantarkan, dan Pemerintah Kota ingin agar kawasan hijau ini menjadi lebih terpelihara. Mengakui ketidakmampuannya untuk mengurus ruang terbuka hijau sendiri, membuat Pemerintah Kota memilih untuk menyerahkan tanggung jawab ini kepada pihak pengembang yaitu PT. EGI. Kedua, ada nostalgia yang mendalam tentang keberadaan sebuah rumah makan di era 1970 hingga 1980-an yang menyediakan rupa-rupa makanan khas parahyangan, seperti lauk emas dan sayur haseum yang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan dari luar Kota Bandung. Alasan ketiga adalah karena dari kerjasama ini Pemerintah Kota akan mendapatkan pemasukan dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Argumen-argumen di atas cukup masuk akal. Keterusterangan Pemerintah Kota mengemukakan keterbatasannya untuk mengelola ruang publik sendiri, tanpa melibatkan pihak ketiga, cukup mengundang simpati. Walaupun demikian, Pemerintah Kota harus pula menerima kenyataan bahwa cukup banyak (kalau bukan sebagian besar) masyarakat Bandung saat ini ternyata kurang (atau tidak) setuju dengan pemberian izin eksklusif pengelolaan kawasan Babakan Siliwangi kepada pihak swasta. Kasus Babakan Siliwangi juga dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk mengemukakan harapan mereka tentang cara Pemerintah Kota mengelola ruang kota ke depan. Ada beberapa situasi yang melatarbelakangi penentangan dari masyarakat ini. Salah satu latar belakang yang sangat mempengaruhi sikap masyarakat Bandung yang kritis belakangan ini adalah kekecewaan atas perilaku Pemerintah Kota di masa lalu. Pemkot dianggap kurang transparan, kurang mau berkomunikasi, dan

lebih mau mendengar suara atau kepentingan kelompok tertentu (dalam hal ini para pemodal) ketimbang masukan akademis dan teknis dari para pakar maupun suara dari komponen masyarakat sipil lainnya. Tidak ada informasi yang jelas kepada publik tentang bagaimana persisnya rencana yang akan diterapkan di kawasan Babakan Siliwangi. Informasi yang ada berubah-ubah dan penuh dengan kesimpangsiuran, sehingga menimbulkan banyak kecurigaan. Apalagi selama ini publik sering merasa dikecewakan dan bahkan merasa dikelabui oleh Pemkot. Contohnya, izin-izin pemanfaatan ruang ternyata menghasilkan pembangunan yang dinilai tidak layak dari sisi lingkungan, tata ruang, maupun keadilan sosial, seperti apa yang telah terjadi di Kawasan Bandung Utara (KBU) dan daerah seputar Dago. Jelas terlihat ada kepercayaan yang telah luntur antara pihak pemerintah dan masyarakat di sini. Karena itu, jika ingin polemik ini berakhir, pihak Pemerintah Kota harus berupaya menumbuhkan dan membina kepercayaan masyarakatnya.â–

Tidak ada informasi yang jelas kepada publik tentang bagaimana persisnya rencana yang akan diterapkan di kawasan Babakan Siliwangi. Informasi yang ada berubah-ubah dan penuh dengan kesimpangsiuran, sehingga menimbulkan banyak kecurigaan. Apalagi selama ini publik sering merasa dikecewakan dan bahkan merasa dikelabui oleh Pemkot.

JUNI 2013

29


FOKUS Oleh: Ismail Al Anshori Progam Magister Studi Pembangunan SAPPK-ITB

Stop Menimbun Rumah! Secara umum, masalah perumahan di Bandung telah memasuki babak yang mengkhawatirkan. Harian Pikiran Rakyat 6 April yang lalu memberikan contoh, NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di Jalan Pajajaran adalah Rp 4,5 juta per meter persegi. Namun, harga riil (harga jual/ pasar) di daerah tersebut telah menyentuh Rp 12 juta hingga Rp 15 juta per meter persegi. Pergerakan harga ini diperkirakan disebabkan oleh tingginya permintaan untuk keperluan bisnis dan menimbun rumah dalam bungkus “investasi.� Sayangnya, pemerintah pun tidak tegas dalam menegakkan peruntukan bangunan sesuai dengan rencana tata kota. Serta, hingga kini tidak ada peraturan yang mengatur tentang hal tersebut. Ia hanya mengatur legal-formal status kepemilikan rumah.

30

JUNI 2013

M

engutip pemberitaan bisnis-jabar.com 5 Desember 2012, Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit properti periode Januari hingga Oktober 2012 naik sekitar 30-43 persen. Angka ini, menurut Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI Jabar dan Banten Lucky Fathul Aziz Hadibrata, terlalu tinggi. Kenaikannya dipandang tidak terukur. Sebagai contoh, tidak ada harga jual perumahan atau apartemen di bawah Rp 100 juta. Sebagian besar dipatok pada harga lebih dari Rp 200 juta. Padahal biaya pembangunan perumahan tersebut tidak lebih dari Rp 50 juta. Pemerintah, menurut Lucky, harus segera menerbitkan kebijakan yang mengatur perumahan. “Kalau kondisi ini terus dibiarkan, akan berpotensi terjadi bubble,� tandasnya. Data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan harga rumah yang tidak wajar ini sebenarnya terjadi sejak 7 tahun belakangan. Menurut data tersebut, sejak akhir 2005 harga rumah di Bandung untuk kelas menengah dan mewah meningkat tajam.


Sementara itu, dalam laporan yang bertajuk Jawa Barat Dalam Angka 2010, terdapat backlog atau kekurangan pasokan rumah yang cukup tinggi, yaitu sekitar 171 ribu unit rumah. Jumlah keluarga yang membutuhkan rumah di Bandung hingga 2010, dengan asumsi satu keluarga membutuhkan rumah satu unit, adalah 721 ribu. Sedangkan jumlah rumah, menurut data pelanggan listrik PLN, yakni sekitar 550 ribu unit.

Fungsi Sosial Sebuah Rumah Secara fisik, rumah berfungsi sebagai tempat perlindungan seseorang dari bahaya, baik karena dari lingkungan alam maupun bahaya kriminalitas. Ia juga merupakan tempat bagi seseorang untuk mengembangkan aspek-aspek kehidupan pribadinya, seperti beribadah, istirahat, dan membangun keluarga.

bahwa suatu barang atau jasa memiliki nilai karena ia berada dalam kondisi langka (scarce). Namun, Fred Hirsh menyatakan, kelangkaan tidak hanya terjadi karena keterbatasan secara fisik, tapi juga secara sosial (social limits to growth). Terminologi “kelangkaan sosial” di sini kemudian dikatakan Hirsh sebagai positional economy. Hirsh lalu membagi kelangkaan sosial ini menjadi dua. Pertama adalah “kelangkaan sosial langsung” (direct social scarcity). Ia mengacu pada keinginan yang mendasarkan kepuasannya dari fenomena kelangkaannya itu sendiri. Contohnya pengoleksi seni: jika kepuasan memiki karya Rembrandt datang hanya (atau didominasi) oleh fakta bahwa objek tersebut langka, maka itu disebut kelangkaan sosial langsung.

Secara finansial, Dalton Conley menyebutkan bahwa rumah juga bisa berfungsi sebagai asuransi keuangan pribadi (private financial insurance). Ada dua pilihan untuk mendapatkan tempat tinggal, yaitu membeli atau menyewa. Jika memutuskan untuk membeli, maka besaran cicilan rumah — baik riil maupun relatif terhadap inflasi — berkurang seiring waktu. Cicilan pun biasanya selesai sebelum usia produktif seseorang berakhir. Kondisi sebaliknya jika menyewa rumah. Karena itu, membeli rumah lebih menguntungkan untuk jangka panjang. Lebih jauh, efek memiliki rumah, menurut Adel Daoud, adalah memupuk solidaritas sosial. Seseorang yang berkeluarga dan menetap di suatu tempat akan memiliki keterikatan terhadap tempat tersebut. Pasalnya, keluarga sebagai “akar kehidupan” seseorang bertumbuh di dalam rumah dan berkembang bersandingan dengan dinamika lingkungan sekitarnya.

Kelangkaan (Scarcity) Sebagai Konstruksi Sosial Dalam kebijakan kepemilikan perumahan di Indonesia saat ini yang sering menjadi pokok pembicaraan adalah bagaimana “menyeimbangkan” pasokan rumah dengan keinginan (permintaan). Jika lahan untuk hunian tapak (landed) sudah habis, maka dibangunlah hunian vertikal. Sementara bagaimana aktor-aktor yang mempengaruhi perilaku pasar tidak begitu diperhitungkan. Tak heran kemudian jika rumah dianggap komoditas konsumsi (consumption goods), dan bahkan sebagai instrumen investasi. Akibatnya, meski pasokannya selalu ada, masyarakat tetap sulit menikmati rumah. Kelangkaan merupakan salah satu pokok pembicaraan di dalam ilmu ekonomi. Secara kasar bisa dikatakan

Kedua adalah “kelangkaan sosial insidental,” yaitu kelangkaan yang terwujud sebagai akibat dari interaksi sosial. Kelangkaan tipe ini berasal dari “kemacetan” (congestion) sosial sekaligus fisik. Congestion sosial terbentuk murni dari relasi sosial, misalnya peluang kerja atau posisi kepemimpinan (seperti kapten tim sepakbola atau kepala organisasi). Posisi-posisi sosial tersebut secara intrinsik memang langka. Sementara congestion fisik terjadi akibat pasokan tidak bisa mengikuti permintaan (keinginan).

> Indeks harga rumah kota Bandung 2004-2012. Sumber: Bank Indonesia

Konsep kelangkaan sosial insidental bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana interaksi sosial membuat pergerakan harga rumah di Bandung menjadi liar. Telah disebut di bagian awal tulisan ini bahwa ada backlog (secara material) sebesar 171 ribu unit. Namun, informasi backlog ini kurang bisa menjelaskan mengapa kenaikan harga rumah tidak wajar.

JUNI 2013

31


> Di lingkungan yang asri di sekitar Jalan Pager Gunung ini rumah-rumah banyak yang tidak ditinggali atau telah berubah menjadi tempat usaha.

Jika mengamati perumahan di lingkungan Bandung bagian utara (misalnya daerah Dago, sekitar Gedung Sate, dan Jalan Riau), bisa dilihat bahwa perubahan peruntukan dan spekulasi merupakan penyebab utamanya. Keduanya tersebut membentuk “backlog sosial” yang cukup signifikan. Sehingga bisa disimpulkan, harga rumah yang tidak wajar saat ini terjadi karena backlog rumah yang sebenarnya — yaitu terdiri backlog material dan backlog sosial — jauh di atas 171 ribu unit.

Spekulasi dan Efisiensi Pasar Di dalam pasar properti, menurut Gaffney, terminologi “spekulasi” umumnya mengacu pada tindakan membeli lahan lalu menahan lahan tersebut beberapa waktu, kemudian berniat menjualnya saat harganya naik di masa depan, tanpa ada investasi apapun untuk meningkatkan nilai dalam lahan tersebut. Kemudian, tindakan spekulasi ini disebut oleh Feder sebagai “enrichment without reason,” sehingga menimbulkan masalah keadilan sosial dan distribusi kesejahteraan bagi masyarakat. Penjelasan di atas cukup mengambarkan bagaimana situasi perumahan di Bandung. Saat ini, meski ada sebagian masyarakat yang sulit memiliki rumah, namun ironisnya banyak rumah di kawasan elit yang tidak ditinggali oleh pemiliknya. Hanya setengah dari rumah-rumah tersebut yang ditempati oleh pemiliknya. Selain dari Bandung, pelaku investasi rumah banyak yang merupakan pelarian dari Jabodetabek. Warga daerah ini memang memiliki penghasilan beberapa kali lipat dibandingkan orang Bandung. Pada 2011, pendapatan perkapita warga Jakarta rata-rata hampir tiga kali lipat orang Bandung. Sementara, kelompok kelasnya (20 persen teratas) berpendapatan 6 kali lipat dibandingkan dengan kebanyakan warga Bandung. Tak heran kemudian jika mereka meraja-lela menguasai rumah-rumah di Bandung. Ada pula pelaku lain yang menjarah rumah di Bandung. Mereka adalah para pencuci uang. Menurut seorang sumber dari kalangan LSM di Bandung, diperkirakan ada 1.000 rumah yang dimiliki golongan ini. Jumlahnya memang tidak signifikan dibandingkan penduduk Bandung yang berjumlah 2,4 juta jiwa. Tapi mereka memiliki uang dalam jumlah begitu banyak berbentuk tunai. Uang tersebut harus segera diselamatkan, baik dari penciuman penegak hukum maupun jangkauan kutu atau tikus yang bisa (literally) menggerogotinya. Biasanya mereka bersedia membeli tanpa banyak pertimbangan saat penjual membanderol harga jauh lebih tinggi dibandingkan yang sebenarnya. Spekulasi ini, menurut Triantafyllopoulos, dilakukan oleh pelaku pasar berdasarkan pengalaman di masa lalu, tradisi budaya, ekspektasi jangka pendek, dan harapan di masa

32

JUNI 2013

depan. Hal-hal tersebut membentuk persepsi masingmasing aktor tentang apa yang menjadi “opsi terbaik” untuk kehidupan personal, keluarga, atau bisnisnya. Bahkan Ludwig von Mises lebih tegas menyatakan bahwa setiap aksi adalah ekonomik, dan setiap orang berspekulasi. Motifnya, menurut Mises, adalah untuk mendapatkan manfaat (profit) akibat ketidakpastian pasar. Pernyataan tersebut senada dengan konsep Herbert Simon tentang bounded rationality. Jika spekulasi properti hanya dilihat dari sudut pandang individualistik, ia bisa dianggap sebagai tindakan rasional ekonomik yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Namun, ketika spekulasi tersebut dilakukan oleh secara luas, lalu dipandang dari sudut pandang kebijakan publik, maka ia merupakan sebuah perilaku yang menyebabkan pasar — sebagai instrumen untuk distribusi sumber daya — tidak bisa bekerja secara efisien. Lebih jauh, Keogh dan D’Arcy memodifikasi konsep bounded rationality dalam spekulasi ini menjadi “bounded efficiency.” Makna “efisiensi” dalam spekulasi ini dirangkum dalam frasa “efficiency for a person.” Atau, efisiensi memiliki makna yang berbeda untuk tiap individu atau sekelompok pelaku pasar. Aktifitas spekulasi rumah di Bandung juga didorong oleh pergeseran peruntukan kawasan pemukiman. Sejak awal periode 2000-an, perubahan peruntukan kawasan perumahan terjadi secara masif. Di berbagai sudut kota mudah ditemui


> Di pinggir Jalan Hasanudin ini praktis sudah tidak ada lagi “rumah tinggal.”

rumah yang awalnya rumah tinggal lalu berubah menjadi daerah komersial. Beberapa tahun belakangan ini Bandung memang semakin mengukuhkan dirinya sebagai salah satu lokasi favorit para wisatawan dari berbagai daerah. Karena itu, biasanya perubahan peruntukan tersebut terkait dengan aktifitas wisata, seperti restoran, kafe, hotel, dan tempat belanja. sekaligus membatas tindakan spekulasi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan kebijakan “isolasi.” Konsepnya adalah mengisolasi tindakan spekulasi dengan cara mengijinkan perubahan peruntukan dan kepemilikan ganda hanya pada rumah di kawasan tertentu, atau rumah-rumah yang berada di pinggir jalan tertentu.

Lokasi yang strategis merupakan modal utama bagi pelaku usaha untuk mengumpulkan pundi-pundi keuntungan. Ketika mendapatkan rumah yang diinginkan, maka mereka akan bersedia membayarnya walaupun sang penjual rumah memberikan harga yang tidak masuk akal. Ditambah lagi, persaingan usaha terkait wisata di Bandung kian ketat, sehingga mendorong pengusaha untuk mengambil resiko yang lebih besar. 3.

Mengatur penyewaan rumah. Peluang usaha menyewakan rumah merupakan salah satu motif untuk memiliki rumah lebih dari satu. Perlu ada pengaturan, misalnya mewajibkan ijin usaha bagi penyewaan rumah. Di Finlandia, ada ketentuan bahwa yang berwenang menyewakan rumah adalah badan usaha, bukan perorangan (Ruonavaara).

4.

Kebijakan selektif. Berikutnya, “kebijakan selektif” bagi properti yang dibangun oleh pemerintah. Teknisnya, penentuan siapa yang bisa membeli didasarkan pada kebutuhan akan tempat tinggal dan tingkat penghasilan, bukan hanya menggunakan mekanisme “first come first served” (Ruonavaara). Ide dasarnya adalah pemerintah harus memprioritaskan mereka yang paling membutuhkan atau kurang beruntung, bukan kepada pihak yang telah mampu mencukupi kebutuhan jasa atau barang secara sendiri.

5.

Disinsentif bagi spekulan. Untuk membatasi gerak spekulan, bisa dilakukan melalui ketentuan finansial. Misalnya di Cina, ada peraturan bahwa nilai down payment (DP) rumah pertama dan rumah berikutnya berbeda (Ge, 2011). DP rumah pertama sebesar 30 persen, lalu yang kedua 50 persen. Sementara pengajuan kredit untuk pembelian rumah ketiga biasanya ditolak. Dalam jangka pendek, kebijakan ini memang menurunkan aktifitas spekulasi properti.

Alternatif Solusi Pancasila memberikan amanat, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Untuk mewujudkan harapan tersebut, perlu upaya “dekomodifikasi” rumah yang bertujuan untuk menjaga harga rumah pada level yang sesuai dengan daya beli masyarakatnya. Berikut beberapa contohnya: 1.

Membatasi kepemilikan rumah. Inti dari kebijakan ini adalah untuk membatasi seseorang memiliki rumah lebih dari satu buah. Salah satu caranya adalah memberikan ketentuan setiap rumah harus ditempati oleh pemiliknya. Jika tidak, maka dikenai oleh pajak yang tinggi. Instrumen pajak juga bisa ditargetkan bagi pemilik rumah dari luar kota dengan mengenakan tarif yang tinggi. Alasannya, rumah sebagai sumber daya di suatu tempat diprioritaskan bagi penduduk yang bermukim atau bekerja di tempat tersebut.

2.

Mengatur-ulang peruntukan rumah di Bandung. Penting ada pengaturan ulang tentang peruntukan wilayah Kota Bandung. Pengaturan ini harus bisa mengapresiasi inisiatif warga Bandung dalam mengembangkan bisnis,

Su S Sum u bi bi ini ni dibia ni dibi di ibia b rka bi biarka rkan rk k n terb tterbeng er eng er erb engk en engkal k lai dan kal di eru di dik erumun rumun mun mu u i rrump ump mputt lia mp iar ar d dan an n sem semak em mak k bel b uka be uk r. r

Inti dari berbagai solusi tersebut adalah pemerintah perlu berperan aktif mengatur perilaku para pelaku pasar perumahan, tidak bisa begitu saja diserahkan kepada mekanisme pasar. Sebenarnya, situasi saat ini sudah tergolong gawat karena muncul persoalan lingkungan akibat perumahan merambah daerah resapan. Isu kemacetan dan produktifitas pun lahir akibat lokasi rumah yang kian jauh dari aktifitas sehari-hari. ■

JUNI 2013

33


SOSOK

Kang Emil Beberes Bandung M. Ridwan Kamil Tempat, tanggal lahir Okupansi Almamater

Bandung saat ini, secara ekonomi, dapat dikatakan berdinamika sangat tinggi. Namun di dalamnya terdapat lima masalah utama: sampah, kemacetan, infrastruktur, kesemrawutan, dan kemiskinan. Ridwan Kamil, biasa dipanggil Kang Emil, berbagi beberapa solusi yang bisa dijalankan.

Luasan daerah resapan menyusut karena tergusur oleh pemukiman, sehingga penyediaan air di dalam tanah berkurang. Kondisi ini menurunkan tingkat kenyamanan hidup bagi warga Bandung. Untuk menyiasati kondisi tersebut, dalam jangka pendek ini Kang Emil membantu menyediakan air bersih melalui instalasi pengolah air (water treatment). Ia ditujukan untuk beberapa kawasan pemukiman padat di kota ini.

Memperbaiki Infrastruktur Air

Mengurai Kemacetan

Pertumbuhan ekonomi Bandung masa kini justru menyebabkan masalah infrastruktur. Pertama, masalah banjir. Jumlah sungai di kota ini hanya 40. Sungai-sungai ini pun umumnya sempit dan dangkal. Akibatnya, saat hujan air langsung merambah ke jalan karena sungai tidak mampu menampung dan gorong-gorong pun banyak yang tidak berfungsi. Kondisi sungai dan goronggorong, serta lahan hijau yang sudah jadi beton, adalah tiga hal yang menyebabkan banjir cepat terjadi.

Setelah perbaikan infrastruktur air selesai dilaksanakan, sarana transportasi umum akan dapat digunakan dengan maksimal. Saat ini jumlah angkutan umum yang ada di Bandung, ujar Kang Emil, hanya digunakan oleh 25 persen warga Bandung. Itu berarti 75 persen lainnya menggunakan kendaraan pribadi. Tak heran kemudian jika Bandung kini semakin tidak nyaman karena macet.

Ketiadaan air bersih lalu menjadi salah satu persoalan yang kerap dihadapi warga Kota Bandung. Sumber utama air di Kota Bandung sendiri berasal dari hujan. Curah hujan per tahun di Kota Kembang ini mencapai 2.000 milimeter, sedangkan lama hujan dalam setahun mencapai 160 hari, dan rata-rata curah hujan per hari sebesar 12,5 mm. Kondisi ini relatif tetap setiap tahunnya. Meski demikian, ancaman krisis air semakin nyata setiap tahun. Warga kota semakin banyak, sedangkan ketersediaan air kian berkurang. Kondisi ini antara lain disebabkan penurunan luasan resapan air hujan dan penyedotan air tanah secara berlebihan.

34

: Bandung, 4 Oktober 1971 : Dosen Teknik Arsitektur ITB : Institut Teknologi Bandung (S1), University of California (S2)

JUNI 2013

Kebutuhan akan transportasi massal bisa terjawab, diantaranya dengan membangun monorail dan menambah jumlah jalur bus rapid transit Trans Metro Bandung yang saat ini baru ada dua jalur. Kebiasaan bersepeda, klaimnya, akan jadi alternatif yang sangat berpengaruh untuk menurunkan tingkat kemacetan. Lebih lanjut Kang Emil mengatakan, pada dasarnya kemacetan merupakan buah dari ketidakdisiplinan masyarakat dalam berlalu-lintas. Tanpa ada pendatang dari kota lain pun Bandung kini terasa jauh lebih macet dari tahun-tahun lalu. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang kontinu untuk meningkatkan kesadaran para pengguna jalan.

Sampah Rumahan Nol Persen Saat ini pengelolaan sampah di Bandung masih melalui jalur konvensional: sampah rumahan diangkut, disimpan di tempat pembuangan sementara (TPS), lalu “disimpan� di tempat pembuangan akhir (TPA). Masalah timbul


saat ada jalur yang terhambat. Misalnya, tidak ada yang mengangkut dari perumahan, atau tidak tersedia tempat pembuangan. Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dan pihak lain masih menemui berbagai halangan. Contohnya, membakar sampah melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) memang tampak sebagai sebuah alternatif yang menarik. Namun, tutur Kang Emil, ia masih perlu kajian dari sisi sosiologi secara mendalam. Masalah sampah, menurut Kang Emil, sebenarnya bisa diatasi mulai dari rumah sendiri. Seperti di daerah Cigadung, jelasnya, sudah dimulai kampanye dan ajakan bagi penduduk untuk melaksanakan zero waste home, yaitu mengurangi sampah rumahan hingga nol persen. “Asal ada keinginan yang kuat, sampah yang kita hasilkan bisa digunakan kembali untuk barang yang memiliki fungsi lain, sehingga tidak menumpuk menjadi beban sampah rumahan,” terangnya.

Menata Kembali Fungsi Kawasan Bandung merupakan kota dengan berbagai identitas. Di antaranya identitas pusat ekonomi kreatif Indonesia, identitas pariwisata urban, dan identitas pendidikan. Identitas tersebut, kata Kang Emil, membuat arah perbaikan Kota Bandung menjadi jelas. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi beban kota. Misalnya dengan memindahkan fungsi-fungsi yang sudah tidak relevan ke luar kota. Inti dari ide ini adalah membuat pusat pertumbuhan baru. “Yang sebelumnya ramai di tengah [Kota Bandung] ke [arah] utara, menjadi ke selatan, timur, atau barat,” ucapnya. Bandung, tambahnya, juga harus punya sistem zonasi. Bangunan-bangunan tinggi yang di utara sebaiknya diratakan ke tengah-timur-barat. Selanjutnya, dia menyarankan sebaiknya tidak ada lagi pembangunan di daerah Bandung bagian utara. “Boleh saja membangun, tapi ada fungsi-fungsi atau kepadatan-kepadatan yang harus diatur,” ungkapnya. Pasalnya, Bandung saat ini masih kekurangan ruang terbuka hijau (RTH ), yaitu masih di bawah 10 persen. Pedagang kaki lima (PKL) pun harus diatasi segera. Ia menimbulkan lingkungan colak-caling karena mereka sering mengambil badan dan bahu-bahu jalan. Bahkan sekarang merambat ke taman-taman kota. Satuan Polisi Pamong Praja, kata Kang Emil, merupakan salah satu bagian yang harus direformasi dalam upaya menanggulangi pelanggaranpelanggaran tata ruang ini.

Aktif Melibatkan Warga Pemerintah, Kang Emil berpendapat, harus punya gagasan yang inovatif dengan menyertakan warga Bandung. “Sekarang dapat dilihat warga-warga Bandung sudah semakin kompak, banyak komunitas peduli lingkungan yang beraktifitas membantu Bandung menjadi lebih baik,” tuturnya. Kang Emil menyebutkan dirinya telah mempunyai 100 gagasan yang merupakan ide-ide praktis yang dapat membantu menyelesaikan persoalan Kota Bandung. Lima di antara gagasan-gagasan tersebut, klaimnya, sudah terealisasikan.

Saya kira yang punya motif beberes Kota Bandung bukan saya seorang. Yang lain juga pasti ke arah sana. Gerakan Bandung Berkebun dan bike sharing telah berjalan. Hingga kini , sudah ada banyak kota mengadopsi gerakan berkebun sehingga ia berkembang menjadi Indonesia Berkebun. Sementara untuk gerakan bersepeda, di Bandung sudah ada 10 halte yang bisa digunakan warga untuk mobilitas dalam jarak dekat. Terkait dengan taman, ada program “satu taman satu komunitas.” “Sekarang sudah ada tamantaman Songkeng, Cempaka, dan Angklung yang merupakan taman-taman yang terbengkalai lalu diadopsi oleh beberapa komunitas,” ucapnya. Solusi banjir dengan biopori, lanjutnya, juga sudah terlaksana bekerja sama dengan beberapa media. Yang terakhir adalah program “satu kampung satu taman bermain” dengan memanfaatan taman yang dibeli pihak swasta untuk jadi taman bermain. Semua masalah Kota Bandung ini, imbuhnya, dapat diselesaikan dimulai dari kedisiplinan dan kemauan yang keras untuk memperbaiki kota ini. “Saya kira yang punya motif beberes (membenahi) Kota Bandung bukan saya seorang. Yang lain juga pasti ke arah sana,” ujar Kang Emil. Saat tulisan ini dibuat, hasil hitung cepat menempatkan dirinya sebagai Walikota Bandung periode 2013-2018. Wilujeng beberes, Kang Emil! ■ Niken Prasasti

JUNI 2013

35


SNAPSHOT

Gondjang-Gandjing Kampoes Keluarga Mahasiswa ITB

Kasih Sayang dalam Keragaman Budaya INDONESIA merupakan negara yang memiliki kekayaan budaya sangat tinggi. Setiap daerah memiliki kebudayaan dengan keunikan masing-masing. Ia tercermin dalam kekhasan budaya pada berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Keragaman budaya ini merupakan unsur pemersatu bangsa.

> Dewi Sinta dan Jatayu.

Atas dasar itu lah Kementrian Seni dan Budaya Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan acara Gondjang-Gandjing Kampoes dengan tema “Kasih Sayang Dalam Budaya,” pada Jumat 15 Februari yang lalu. Ia merupakan acara yang mengedepankan interaksi dan kolaborasi antar elemen seni dan budaya di ITB. Sejumlah unit kegiatan mahasiswa (UKM) dari rumpun kebudayaan dan himpunan mahasiswa turut berpartisipasi menyuguhkan berbagai penampilan yang menarik. Adalah suatu keunikan tersendiri dalam acara Gondjang Gandjing Kampoes tahun ini. Sebelum gelaran berlangsung, Kementerian Seni dan Budaya KM ITB juga mengadakan program Exchange Unit. Dalam program ini beberapa anggota UKM dapat saling bertukar untuk mempelajari kebudayaan di UKM lainnya seperti tari-tarian, seni pertunjukkan musik, dan lagu. Program berlangsung selama satu bulan dan hasilnya ditampilkan dalam acara Gondang Gandjing Kampoes ini. Bukan saja kebudayaan daerah yang ditonjolkan dalam acara ini, tapi juga kebudayaan nasional. Ia mengandung unsur kebudayaan daerah, kebudayaan asing yang masuk, serta proses kreatif yang menghasilkan sebuah karya baru. Acara ini berhasil menarik animo pengunjung yang cukup tinggi. Rupanya penampilan hasil program Exchange Unit menjadi daya tarik utamanya. Beragam tarian, mulai dari persembahan Infinity, Tari Ratoh Duek dari Unit Kebudayaan Aceh (UKA), Tari Bedana Unit Kebudayaan Lampung (UBALA), dan Tari Gekitei Ondo dari Unit Kebudayaan Jepang (UKJ), membuat penonton bersorak dan sesekali terlihat mengikuti gerakan dengan asyik. Selain persembahan tari-tarian, Paduan Suara Mahasiswa (PSM) dan Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan Jawa (PSTK) pun memberikan persembahan kolaborasi dengan membawakan medley

36

JUNI 2013

lagu tradisional dari daerah Jawa. Sementara itu, kelompok musik paduan dari unit APRES!, Unit Kesenian Sumatera Utara (UKSU), Maha Gotra Ganesha (MGG), dan Unit Kebudayaan Minangkabau (UKM) membuat suatu gebrakan perpaduan antara musik tradisional dan modern yang disambut meriah oleh penonton. Tak mau kalah, pihak himpunan mahasiswa pun menampilkan karyanya. Keluarga Mahasiswa Teknik Industri (MTI), Himpunan Mahasiswa Pertambangan (HMT), dan Himpunan Mahasiswa SITH Nymphaea menyajikan kolaborasi Tari Kicir-Kicir — sebuah tarian asli Betawi. Dan malam pun masih panjang. Acara dilanjutkan dengan tarian Kecak Satu ITB yang pesertanya merupakan mahasiswa Tahap Persiapan Bersama (TPB) di bawah bimbingan Maha Gotra Ganesha (MGG). Berikutnya Lingkung Seni Sunda (LSS) menyajikan seni drama tari (sendratari) Rama Shinta. Kemudian ia ditutup dengan pembacaan puisi oleh unit Lingkar Sastra. Acara Gonjang Gandjing Kampoes yang bertema “Kasih Sayang Dalam Budaya” ini tentunya bukan sekedar sarana hiburan mahasiswa di kala penat menjalani perkuliahan. Esensinya lebih dalam daripada itu. Ia berhasil menunjukkan bahwa keragaman seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia bukan untuk menonjolkan perbedaan. Sebaliknya, keberagaman merupakan pemersatu bangsa. Ini lah yang membuat Indonesia semakin kaya. ■ Dyshelly Nurkartika


SNAPSHOT

Pidato Kebudayaan Awal Tahun 2013

Indonesia “Tenggelam” sebutan kolam Indonesia Tenggelam memiliki dua arti yang berbeda. Salah satunya adalah arti sebenarnya, yakni kolam yang di dasarnya terdapat peta Indonesia. Namun, kolam Indonesia Tenggelam dapat pula diartikan lain sebagai kritik dan pengingat terhadap keadaan bangsa Indonesia saat ini yang dapat dikatakan akan atau telah “tenggelam.”

Wajah Indonesia “tenggelam” di dasar kolam. Di balik suatu karya yang terletak di Plaza Widya ITB ini, jika dipahami lebih dalam, terdapat petunjuk yang secara sadar maupun tidak telah diakui kebenarannya. Wujud Indonesia tenggelam ini menjadi metafora yang menggambarkan kenyataan dan keadaan bangsa Indonesia kini. KENYATAAN seperti apa yang sedang dihadapi oleh bangsa kita ini? Telah banyak diberitakan bahwa bangsa ini sedang dihadapkan pada penyakit moral dan konflik sosial seperti korupsi dan kekerasan. Konflik laksana gunung es yang hanya sedikit muncul di permukaan namun mengakar dalam dan meluas. Apakah karena itu Indonesia pada akhirnya akan benar-benar “tenggelam”? Masih adakah harapan untuk menyelamatkan negara tercinta kita ini? Bagaimana kita harus bersikap? Malam itu, 28 Januari 2013, sekitar kolam Indonesia Tenggelam sangat ramai. Adalah gelaran Pidato Kebudayaan Awal Tahun yang membuat hadirin, yang mayoritas mahasiswa, rela berdesak-desakan duduk memenuhi area selasar hingga larut. Acara yang menyambut tahun 2013 ini bertajuk “Indonesia Tenggelam.” Ia diprakarsai oleh Forum Studi Kebudayaan (FSK) – FSRD ITB bekerja sama dengan Common Room Networks Fundation, YAP Institute, dan KM ITB. Tema “Indonesia Tenggelam,” menurut Yasraf Amir Piliang dalam pidato pembukaannya, diambil dari filosofi kolam Indonesia Tenggelam yang terletak di Plaza Widya ITB. Menurutnya,

Dijelaskan Piliang, latar belakang acara ini adalah keinginan untuk membudayakan sikap kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar, terutama pada kalangan mahasiswa. Pidato kebudayaan ini, lanjut Piliang, diharapkan dapat membangun semangat dan menginspirasi mahasiswa untuk melakukan perubahan. Pasalnya, mahasiswa merupakan penggerak dan calon pemimpin bangsa ini demi masa depan. Pidato kebudayaan ini juga diadakan untuk membuka mata dalam melihat bencana dan konflik yang ada. Ia dirancang untuk membuka pikiran dan kesadaran bahwa solusi atas berbagai masalah di Indonesia adalah dengan integrasi berbagai bidang keilmuan, termasuk aspek humanitasnya. Hal-hal yang dibicarakan dalam kesempatan tersebut memang terasa sangat pesimistis. “Namun [dengan] pidato ini [kami] ingin membuka mata kita mengenai permasalahan negeri ini dari sudut pandang berbeda,” Acep, Ketua FSK ITB. Sasarannya acara ini adalah, “kebiasaan diskusi di kalangan masyarakat semakin berkembang dan terjalin hubungan yang baik antara dosen dan mahasiswa. Oleh karena itu kami menggandeng KM-ITB untuk membuat generasi mahasiswa ini turut berpartisipasi,” lanjutnya dikutip dari www.itb.ac.id. Beberapa pakar budaya, dosen, dan seniman, antara lain Yasraf Amir Piliang, Iwan Pranoto, Setiawan Sabana, Hendra Gunawan, T. Bachtiar, Gustaff H. Iskandar, Aat Suratin, Gilang Permata, dan Anjar Dimara Sakti hadir menjadi pembicara dalam acara ini. Selama tiga jam para pembicara “menyelami” Indonesia dengan filosofi dan pandangannya masing-masing mengenai permasalahan di Indonesia. Berbagai aspek yang dibahas, mulai dari kebangsaan, lingkungan, media sosial, pendidikan, budaya, hingga humanitas, serta tak lupa usulan solusinya. Selain penuturan pembicara, ada pula pembacaan puisi oleh Acep Iwan Saidi serta penampilan musik Martha Topeng dan Harry Pocang.

JUNI 2013

37


Menatap Hari Esok Seperti apa hari esok? Akan berwujud apa pada 2045, ketika Indonesia berusia 100 tahun? Melihat banyaknya konflik sosial, korupsi, dan kebobrokan lainnya maka tak salah jika dikatakan bahwa saat ini Indonesia sedang berada di titik nadir. Di masa depan apakah Indonesia hanya akan dilihat sebagai negara yang kaya sumber daya alam untuk dieksploitasi? Atau akan turut diperhitungkan sebagai salah satu dari tujuh negara maju berpengaruh di dunia? Pada 2045 Indonesia akan memiliki bonus demografi, yakni jumlah penduduk dominan usia produktif dibandingkan anak-anak dan lanjut usia. Namun bagaimana kondisi mereka? Mampukah membawa Indonesia menjadi negara maju? Masalahnya, kualitas manusia Indonesia saat ini dirasa masih kurang. Situasi ini, menurut Hendra Gunawan, dosen Matematika ITB, merupakan dampak dari pragmatisme dan tidak berkembangnya akal sehat (nir-nalar) di dunia pendidikan. Akibatnya, dunia pendidikan yang diandalkan ini nantinya hanya menghasilkan “kacung” semata. Bagaimana Indonesia bisa bersaing di masa mendatang bila peradaban bangsa masih jauh tertinggal di belakang? Maju atau tidaknya sebuah negara, menurut Hendra, bukan dinilai dari sisi ekonomi, melainkan dari peradabannya. Jika Indonesia ingin menjadi negara maju dan beradab, tentu ada banyak pekerjaan yang harus digarap. Salah satu pekerjaan yang berat adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan hanya melalui pendidikan formal tapi juga melalui pendidikan non formal. Di sini, perguruan tinggi memiliki peran yang sentral untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan beradab di tangan pemuda masa depan melalui pendidikan. Pasalnya, perguruan tinggi bukan hanya bertindak sebagai institusi pengajaran, tapi juga menjadi tempat untuk menyiapkan para pendidik di masyarakat. Kondisi nalar ini pun menjadi sorotan

38

Iwan Pranoto, dosen Matematika ITB yang juga sekaligus penggagas Indonesia Bernalar. Dia memulai dengan membahas tentang merangkai dasar optimisme. Adalah berlebihan ketika kita, kata Pranoto, yakin bahwa pada 2016, 2025, dan 2045 Indonesia menjadi negara maju yang kaya. “Itu merupakan optimisme berlebihan yang tidak mendasar,” tandasnya. Bangsa Indonesia saat ini, menurutnya, kurang bernalar dan hanya mengedepankan optimisme tanpa mengenal pesimisme. Di tengah kondisi Indonesia yang “bobrok” ini, lanjut Pranoto, optimisme baru bermakna jika pesimisme diperbolehkan. Sudah seharusnya bangsa yang bernalar untuk menjadi optimis. Sikap tersebut bisa dimulai dengan memahami kebobrokan yang dihadapi, lalu menemukan strategi untuk keluar dari jurang kebobrokan tersebut. Dengan demikian, ia adalah optimisme yang beralasan dan berdasarkan nalar. Lebih jauh, Pranoto juga menaruh perhatian pada dunia pendidikan yang nir-nalar dan tidak seimbang yang terjadi di Indonesia. Kondisi tersebut menimbulkan rasa pesimis terhadap perkembangan bangsa ini. Sebagai contoh, ketidakadilan dapat dilihat dari kondisi pendidikan di daerah yang tidak merata. Meski kondisi siswa, fasilitas, dan guru bervariasi di berbagai daerah, namun standar kelulusannya dipaksakan sama untuk semua wilayah. Memang ironis jika mengingat bahwa tidak banyak perhatian ditujukan kepada ketidakadilan di dunia pendidikan ini. Senada dengan Hendra, Pranoto juga menekankan bahwa pendidikan tanpa nalar hanya akan menghasilkan “kacung.” Untuk menyelamatkannya, usul Pranoto, gerakan budaya bernalar lebih tepat untuk dijalankan dibandingkan gerakan politik yang sudah terlalu pragmatis.

> Tiar Bachtiar memaparkan permasalahan lingkungan

sudut pandang yang lain. Gustaff H. Iskandar, misalnya, mengetengahkan isu sosial dan budaya. Aspek sosialbudaya di Indonesia, menurutnya, telah mengalami degradasi akibat pengaruh tekanan dari berbagai penjuru, terutama dari negara lain. Arus peradaban dunia yang didominasi oleh negara-negara tertentu banyak berpengaruh pada aspek sosial budaya dan ideologi bangsa Indonesia. Sebagai akibat dari kuatnya arus budaya global tersebut adalah masyarakat semakin menjauh dari nilai-nilai yang dimilikinya. Tak heran jika berbagai keputusan publik yang diambil pemerintah dianggap “irasional,” karena tidak sesuai dengan situasi dan aspirasi masyarakatnya. Irasionalitas ini bisa terjadi, kata Iskandar, karena keputusan diambil atas dasar fanatisme, sentimen dan — lagi-lagi — tanpa nalar.

Berbagai Dimensi Para pembicara pada kesempatan ini juga membahas dari berbagai

JUNI 2013

Hasil dari fenomena tersebut adalah kekacauan sosial, yaitu kondisi yang


order menjadi disorder. Setiap harinya, kata Iskandar, “lihat saja hampir tidak ada berita baik di negeri ini. Mayoritas menunjukkan chaos.” Di sisi lain, masyarakat yang sangat beragam membuat upaya perubahan di Indonesia tidak semudah yang diperkirakan. Namun demikian, lanjutnya, Indonesia memiliki potensi anak muda yang luar biasa. Potensi tersebut harus digarap dengan baik sehingga akan menjadi kekuatan, bukan malah menjadi beban yang merusak peradaban bangsa.

Lebih jauh, Aat Soeratin, menekankan bahwa dalam hubungan manusia dengan alam, tak seharusnya alam selalu dijadikan objek. Hubungan yang baik, jelasnya, adalah hubungan antara subjek dengan subjek. Karena, bila alam terus menerus dijadikan objek, bukan hubungan baik yang terjalin, yang ada hanyalah eksploitasi. Untuk memperbaikinya, usul Soeratin, diperlukan pembentukan ekosistem antar subjek dalam masyarakat sehingga tercipta hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Kondisi lingkungan hidup pun ternyata juga mengalami hal yang sama. Seperti yang dipaparkan Tiar Bahtiar, anggota tim riset Cekungan Bandung, lingkungan semakin rusak oleh pembangunan dan tangan-tangan jahil bangsa sendiri. Padahal lingkungan yang rusak ini lambat laun menyebabkan kualitas hidup masyarakat kian melemah. Salah satunya yang paling terasa, jelasnya, adalah kualitas udara dan air yang kian tercemar. Dampak langsung dari lingkungan yang tidak nyaman adalah berkurangnya kreativitas dan produktivitas masyarakat.

Untuk mewujudkan hubungan antar subjek manusia dan alam tersebut, kata Soeratin, dibutuhkan kesadaran diri terhadap lingkungan dan tujuan masa depan. Bila tak ada kesadaran alam akan selalu menjadi objek penderita, sehingga terjadilah bencana alam. Padahal bencana alam tersebut merugikan bagi manusia sendiri.

Lingkungan yang rusak tak hanya menurunkan kualitas hidup masyarakat, lanjutnya, tapi juga spesies kunci dalam ekosistem seperti kunang-

Budayawan sekaligus sutradara ini kemudian menjelaskan bahwa Indonesia dapat tenggelam karena tiga sebab. Pertama, matinya kreativitas sehingga mengalami kehilangan identitas. Berikutnya adalah matinya akal sehat sehingga dikuasai pemikiran nir-nalar. Dan terakhir, matinya rasa kesadaran atau empati dalam setiap individu. “Kesadaran dan kepedulian manusia seharusnya dapat menciptakan ruang kehidupan yang lebih luas dari masa kini,” ucapnya. Tanpa kesadaran dan kepedulian, Indonesia bisa jadi akan benar-benar “tenggelam” secara batin. Dalam pidato yang menjadi penutup dalam acara malam itu, Soeratin menyadari bahwa rasa sadar dan peduli memang sulit ditemukan dalam setiap individu masa kini. Dia mengkhawatirkan, kedua hal tersebut yang menjadi penyebab utama tenggelam”nya Indonesia. Agar Indonesia tidak “tenggelam,” tegasnya, masyarakat harus meningkatkan rasa empati, menjaga akal sehat, dan menghindari krisis identitas.

> Martha Topeng membawakan lagu

kunang, burung, dan serangga. Ini menunjukkan bahwa lingkungan semakin tidak bersahabat dengan penghuninya. Kondisi tersebut, kata Bahtiar, disebabkan karena kesadaran yang rendah dalam menjaga lingkungan. Karena itu, “peningkatan kesadaran masyarakat melalui gerakan-gerakan konkret akan sangat membantu menyelamatkan lingkungan yang sudah sekarat ini,” tandasnya.

Pidato Kebudayaan ini menjadi ajang untuk menstimulasi budaya berpikir dan bersikap kritis, sekaligus sebagai wadah penyalur aspirasi. Mahasiswa, sebagai sasaran utama acara ini, harus memiliki kesadaran untuk bergerak membawa perubahan bagi Indonesia. Karena itu, mahasiswa tidak boleh hanya tenggelam dalam keilmuan masing-masing. Mereka harus peka dan bersinergi agar Indonesia tidak “tenggelam” di masa depan. ■ Dyshelly Nurkartika

JUNI 2013

39


SNAPSHOT

Golkar: Negara Harus Tangkas!

G

erakan politik berbasis ideologi kian langka saat ini. Kian hari kian kentara bahwa para pelaku dunia politik hanya mengejar kekuasaan dan materi. Tudingan ini berlaku untuk semua partai, tidak terkecuali Golkar atau Golongan Karya. Sebagai mantan penguasa rezim orde baru, partai ini sering dipandang sebagai lambang anti perubahan. Namun pemandangan berbeda ditunjukkan di kampus ITB Jatinangor pada 1 Mei 2013. Golkar mengundang para akademisi untuk bertukar pikiran terkait dokumen Visi 2045. Tidak tanggung-tanggung, negara kesejahteraan, atau lebih dikenal sebagai welfare state, yang tercantum dalam dokumen tersebut merupakan antitesis terhadap rezim pemerintahan SBY yang cenderung liberal. Yang menarik untuk dicermati, ia menawarkan inovasi sebagai penggerak ekonomi.

KETUA UMUM GOLKAR Abu Rizal Bakrie, yang lebih dikenal sebagai Ical, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai asalkan kebijakan ekonomi yang dipilih tidak konservatif. Contoh kebijakan yang konservatif tersebut, kata Ical, adalah ketentuan yang menyebutkan defisit anggaran tidak boleh lebih dari 3 persen. Sementara, “Subsidi BBM yang terlampau tinggi menjadi salah satu penyebab defisit anggara ini,” ujarnya. Karena itu, untuk menjaga angka defisit tidak melebihi ketentuan dalam undang-undang, maka harus memotong anggaran di setiap kementerian. Hal ini lah, menurut Ical, yang membuat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Situasi saat ini, lanjutnya, kian mengkhawatirkan. Pasalnya, peran industri dalam produk domestik bruto (PDB) semakin rendah dari waktu ke waktu. “Pembangunan [negara] belum mendasarkan bahwa pembangunan industri itu didukung oleh teknologi,” ungkap Ical. Kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengembangkan perekonomian adalah, “Menumbuhkan kemauan menciptakan teknologi dan menggabungkannya dengan enterpreneurship.” Agar dapat bersaing di tingkat global, Ical berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dari 6,2 persen. Dalam kebijakan yang diambil ke depan, “Pemerintah harus mengambil

40

JUNI 2013

intervensi terhadap pembangunan kesejahteraan rakyat,” tandasnya. Dia mencontohkan, masih banyak masyarakat yang tidak mampu sekolah karena terhambat biaya. “Oleh karenanya harus dibuat visi ke depan sekolah gratis 12 tahun,” jelasnya. Mengenai isu bahan bakar minyak (BBM) yang menghangat akhir-akhir ini, Ical mengusulkan agar dibuat kompensasinya seperti apa, terutama terhadap pendidikan dan kesehatan. “[Dengan] mengganti subsidi energi menjadi subsidi langsung kepada rakyat miskin, maka pemerintah mampu menyimpan 80 persen anggaran,” klaimnya.

Teknosains Dan Teknokultur Di lain pihak, Yasraf Amir Piliang mengingatkan bahwa aspek kebudayaan dalam pengembangan teknologi juga harus diperhatikan. Situasi saat ini, jelasnya, menunjukkan banyak perkembangan teknologi tidak mempertimbangkan kondisi budaya masyarakat. “Pembangunan adalah menggunakan sumber daya produktif untuk meningkatkan kondisi kehidupan dari orang yang paling tidak beruntung. Sehingga pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dari berbagai bidang,” ungkapnya. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi, Piliang berargumen bahwa PDB yang meningkat tidak berarti bahwa kesejahteraan sosial masyarakatnya juga meningkat. Penyebabnya adalah “pertumbuhan ekonomi yang dinikmati oleh sekelompok elit, [sehingga] yang paling menderita adalah masyarakat miskin yang paling


tidak beruntung,” ujar Piliang. Fenomena ini, ungkapnya, merupakan contoh dari pertumbuhan ekonomi yang seringkali tidak sejalan dengan pertumbuhan kebudayaan. Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan sosial adalah dengan memperkenalkan teknologi ke dalam kehidupan masyarakatnya. Namun demikian, Piliang menandaskan, “yang menjadi permasalahan bukan hanya soal teknologinya, tapi apa manfaat dari teknologi itu.” Teknologi, lanjutnya, dapat membukakan sebuah kehidupan yang baru. Contohnya Jembatan Suramadu. Oleh perencananya ia diklaim akan membuka peluang baru untuk membangun kota wilayah Madura. Tapi kenyataannya justru terjadi kemacetan yang parah pada saat jam sibuk karena banyak orang Madura yang pergi ke Surabaya untuk bekerja. “Lalu apakah itu yang disebut dengan kesejahteraan?” ujar Piliang. Contoh di atas memperlihatkan bahwa teknologi memiliki sifat membingkai. Penjelasan lainnya bisa dilihat pada masuknya teknologi komunikasi ke dalam masyarakat pedesaan. Ia memang mampu membuka suatu cara baru dalam berkomunikasi. Terlihat bahwa teknologi memberi peluang untuk memasuki dunia yang baru. Namun, kata Piliang, teknologi juga dapat mengancam tradisi dan kebudayaan yang sudah ada. “Apakah [keberadaan teknologi] sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat kita?” tanyanya. Dalam hubungan antara teknologi dan kebudayaan, simpulnya, tidak jarang teknologi justru menjadi pemangsa bagi kebudayaan. Lebih jauh, Yasraf menuturkan bahwa teknologi akhirnya dikembangkan sekedar sebagai alat komersial untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Implikasinya, penelitian dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri. Sehingga saat ini pembangunan dilakukan secara product oriented, tidak berorientasi pada landasan filosofis. Karena itu, Yasraf menawarkan usulan model pengembangan teknologi dengan menggarap 4 ranah: ranah kreatifitas, ranah ekspresi (misalnya museum riset dan perpustakaan riset), ranah diseminasi, dan ranah apresiasi. Ia, kurang lebih, berarti bahwa teknosains — pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk masyarakat — juga harus peka terhadap situasi sosial masyarakatnya. Dalam kata lain, konsep teknosains harus bertransformasi sehingga melebur ke dalam kerangka teknokultur — integrasi antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan.

Menumbuhkan Dunia Industri Kesejahteraan negara memiliki beberapa indikator, di antaranya adalah pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan. Di sisi lain, Indonesia memiliki industri-industri yang dikategorikan sebagai industri strategis. Industri strategis

Persentase kenaikan ekspor industri Indonesia terus meningkat. Banyak industri dalam negeri. Tapi bahan baku banyaknya impor.” -Ina Primiana Syinar memiliki pengertian yang kurang lebih “industri yang mampu menghasilkan dan merawat kesejahteraan bangsa,” kata Ari Samadhi, Fakultas Teknologi Industri (FTI) ITB. Sebagai contoh, industri kesehatan untuk menjamin kesehatan penduduk, dan industri energi guna menopang aktivitas ekonomi nasional. Di sisi lain, Ina Primiana Syinar dari Fakultas Ekonomi Unpad menyatakan bahwa perdagangan hasil pengolahan industri Indonesia mengalami penurunan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. “Persentase kenaikan ekspor industri Indonesia terus meningkat. Banyak industri dalam negeri. Tapi bahan baku banyaknya impor,” ungkapnya. Situasi saat ini, jelasnya, ranking daya saing industri Indonesia terus turun. Sektor unggulan yang tidak jelas, biaya logistik mahal, konektivitas rendah, kepastian hukum minim, dan terlambat melakukan pengamanan terhadap industri lokal merupakan penyebabnya. Untuk meningkatkan daya saing strategis, Ina menyarankan agar pemerintah bergerak cepat guna mengatasi pelemahan kinerja industri strategis melalui evaluasi secara komprehensif. Di antaranya adalah harus membenahi infrastruktur dan konektivitas dan meninjau kembali hal-hal yang selama ini menjadi beban biaya logistik. Di masa mendatang, berbagai pihak menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara makmur jika dilihat dari sisi pertumbuhan PDB. Pertumbuhan tersebut terutama disebabkan oleh sektor industri. Mulyo Widodo dari Prodi Teknik Mesin ITB menyatakan bahwa jika melihat ke negara Cina, transformasi dari negara agraris menjadi industri memerlukan upaya yang sangat besar. Namun, berbeda dengan di Indonesia, “Cina diawali dengan pemerintah. Ada town and village enterprises dan joint venture enterprises,” jelasnya. Untuk mencapai hal ini, lanjutnya, pemerintah harus dekat dengan pelaku-pelaku lain yang terkait dengan sektor industri. Belajar dari Korea Selatan, kata Mulyo, presidennya giat berkoordinasi dan berkonsultasi dengan berbagai pihak. “Setiap bulan presiden [Korea Selatan] rapat dengan pihak swasta, menteri, dan bank untuk membahas negaranya,” ucapnya. ■Ismail Al Anshori

JUNI 2013

41


OPINI

Energi Panas Bumi

Antara Mimpi, Janji, dan Demokrasi “If we can drill and recover just a fraction of the geothermal heat that exists, there will be enough to supply the entire planet with energy – energy that is clean and safe,” hal tersebut dinyatakan oleh Are Lund, peneliti senior SINTEF Materials and Chemistry, Norwegia. Jika pernyataan Are Lund itu benar, maka Indonesia bisa jadi merupakan negara paling beruntung di dunia.

S >Tabel Potensi dan Cadangan Panas Bumi di Indonesia (Tahun 2010).

alah satu julukan Indonesia, yang terkenal dari sudut pandang geologi, yakni“cincin api.” Sebabnya ia berlokasi di antara bagian timur Sabuk Vulkanis Mediterania dan bagian barat Sabuk Vulkanis Sirkum Pasifik.Ini lah yang membuat Indonesia memiliki cadangan panas bumi yang melimpah. Bahkan diperkirakan merupakan yang terbesar di dunia.

Dari tahun ke tahun hasil penelitian menunjukkan angka potensi panas bumi di Indonesia semakin besar. Namun demikian, menurut data Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) hingga 2013 ini baru sebesar 1.314 megawatt (MW) saja yang telah dikembangkan.

Data terbaru dari Badan Geologi tahun 2011 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 29.215 megawattelektrik (Mwe) atau sekitar 40 persen potensi energi panas bumi yang ada di dunia. Ia terdiri atas 13.195 MWe potensi sumber daya panas bumi dan sisanya sebesar 16.020 MWe berupa cadangan. Lokasinya tersebar di 285 daerah berbeda pada sejumlah pulau di Indonesia.

Serupa Memasak Air

Sumber Daya Pulau

Cadangan

Hipotek (WMe)

Terduga (WMe)

Sumatera

4785

2086

6250

15

380

12

Jawa

1935

1836

3848

658

1815

1124

Bali-Nusa Tenggara

410

359

983

-

15

-

Kalimantan

115

-

-

-

-

-

Sulawesi

925

67

1299

150

78

60

Maluku

535

43

376

-

-

-

Papua

75

0

-

-

-

-

8780

4391

12756

823

2288

1196

Total Lokasi:276

13171

Mungkin (WMe)

Terbukti (zWMe)

Terpasang (MWe)

Spekulatif (WMe)

15867 29.038

Sumber:Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

42

JUNI 2013

Sistem untuk mendapatkan energi panas bumi tidak jauh berbeda dengan memasak air di dapur. Bedanya, kali ini panasnya didapatkan dari batuan panas di bumi. Karena itu, ia disebut juga dengan sistem hidrotermal. Di Indonesia sendiri, sistem yang ada didominasi sistem vulkanis hidrotermal. Sebabnya Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng aktif yang memungkinkan panas dari sumber kerak bumi dialirkan ke permukaan melalui rekahan. Sistem tersebut berasosiasi dengan sistem vulkanisme dan pembentukan gunung api pada zona batas lempeng yang aktif. Pada daerah inilah terdapat aliran panas (heat flow) yang tinggi. Posisi yang strategis tersebut menyebabkan Indonesia kaya akan sistem hidrotermal yang tersebar di sepanjang busur vulkanis. Sistem seperti


> Skema pembangkit listrik oleh energi panas bumi. Sumber: earthlyissues.com

ini lah yang menyebabkan sebagian besar potensi panas bumi Indonesia memiliki entalpi tinggi. Berdasarkan fluida yang dihasilkannya, terdapat dua jenis sistem hidrotermal: sistem dominasi uap dan sistem dominasi air. Sistem dominasi uap menghasilkan fluida yang hampir seluruhnya uap dan bertemperatur tinggi (lebih dari 235 derajat Celcius). Indonesia memiliki 2 buah lapangan dominasi uap yang telah dikembangkan, yaitu lapangan panas bumi Kamojang dan Darajat di Jawa Barat. Pemanfaatan energi panas bumi untuk pembangkit listrik dengan sistem dominasi uap dilakukan dengan pengeboran sumur hingga kedalaman sekitar 1-4 km. Uap kemudian diproses melalui proses penyisihan partikel-partikel tak berguna sehingga tidak merusak kinerja turbin. Uap bersih kemudian dipasok ke dalam turbin untuk menggerakkan generator yang nantinya memproduksi listrik.

Power Producer (IPP). IPP adalah model yang diyakini mampu memberikan harga listrik yang menarik bagi investor atau pengembang swasta. Demi mendukung model tersebut, pemerintah mengeluarkan Kepres N0. 76 Tahun 2000 untuk mempercepat pemanfaatan energi panas bumi. Selain itu, pemerintah juga membentuk Asosiasi Panasbumi Indonesia (API).

Sistem lainnya yang lebih umum adalah sistem dominasi air. Ia memiliki temperatur berkisar antara 150 hingga 300 derajat Celcius. Sebelum masuk ke dalam pembangkit, fluida yang terdiri atas uap dan air dipisahkan terlebih dahulu melalui separator sehingga hanya uap yang masuk ke dalam turbin. Air yang tidak digunakan lalu disuntikkan kembali ke dalam perut bumi melalui sumur injeksi.

Sayangnya, dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1971 itu Indonesia hanya membangun pembangkit sebesar 1.196 MW atau hanya 4 persen dari potensinya. Sebenarnya pemerintah mulai menunjukkan keseriusannya kembali pada 1995. Saat itu pemerintah meneken 11 kontrak pengembangan PLTP yang tertulis dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VI. Kapasitas pembangkit yang ditargetkan adalah 3.692 MW, dengan 1.498 MW diantaranya akan diselesaikan antara 1998 hingga 2002. Tapi krisis ekonomi yang melanda tahun 1997-1998 membuat pemerintah menunda 11 proyek pengembangan PLTP.

Mimpi Lama Suryadarma dalam World Geothermal Congress 2010 menerangkan bahwa awal perkembangan energi panas bumi sebagai pembangkit listrik di Indonesia bisa dikatakan cukup lambat. Awal mula perkembangannya adalah saat terjadi krisis minyak bumi yang melanda dunia pada 1971. Sejak itu Pemerintah mulai menggalakkan sejumlah kebijakan energi selain minyak bumi, di antaranya survey dan eksplorasi sumber daya energi batubara dan panas bumi. Upaya diversifikasi tersebut bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi serta pemberdayaan sumber daya energi alternatif. Kebijakan pemanfaatan panas bumi pertama kali diatur melalui Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1974, diikuti Kepres No. 22 dan No. 23 Tahun 1981, serta Kepres No. 45 dan No. 49 Tahun 1991. Ketiganya menunjuk Pertamina untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, hingga pemanfaatan fluida panas bumi sebagai pembangkit listrik. Dalam periode tersebut, pemerintah juga memperkenalkan istilah Penghasil Energi Independen, namun kemudian lebih dikenal sebagai Independent

Kebijakan panas bumi berikutnya adalah UU No. 27 Tahun 2003 yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2007. Keduanya menawarkan transparansi proses dan arena bermain yang lebih jelas, serta kebijakan lisensi lapangan uap panas bumi. Berikutnya, melalui PP No. 33 Tahun 2006 energi panas bumi ditargetkan berkontribusi minimal 5 persen dari kebutuhan energi nasional. Untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM tentang kebijakan harga untuk menarik perhatian para pengembang. Selanjutnya pemerintah mencetuskan Keputusan Menteri No. 14 Tahun 2008 yang kemudian direvisi oleh Keputusan Menteri No. 5 Tahun 2009. Kepmen tersebut dimaksudkan agar proyek panas bumi bersifat adil bagi semua pihak.

JUNI 2013

43


> Peneliti sedang melakukan sampling manifestasi panas bumi di Rajabasa. Sumber: energitoday.com

kegiatan pertambangan. Keterbatasan regulasi ini lah yang menghambat eksploitasi sumur panas bumi. Untuk membuka kunci ini, pihak Kementerian ESDM berkoordinasi dengan pihak Kementerian Kehutanan dalam merencanakan pengembangan 28 titik potensi panas bumi.

Yang paling hangat adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 2 Tahun 2010 yang mencatumkan proyek percepatan 10.000 MW Tahap II. Tidak seperti Proyek Pengembangan 10.000 MW Tahap I yang didominasi PLTU, pada tahap II ini energi panas bumi dan air berkontribusi besar. Terdapat 10 lokasi PLTP yang akan dibangun oleh PLN, sedangkan 33 lainnya dibangun oleh pihak swasta. Dikutip dari Majalah Tempo, Dirjen Kelistrikan Kementerian ESDM Jarman mengungkapkan bahwa proyek ini baru akan selesai sekitar 2018. Sedangkan pengembangan tahap I sendiri baru akan selesai tahun 2015. Dia menyatakan bahwa pihaknya terus mendorong agar PLN bersikap tegas terhadap kontraktor yang tidak tertib dan terlambat dalam mengerjakan proyek.

Berselang setahun sejak momen tersebut, masalah tumpang tindih lahan ternyata tidak kelar juga. Dalam acara Indonesian EBTKE Conex 2012, Sekretaris Dirjen EBTKE Djadjang Sukarna menyatakan perlu mengubah dan melakukan revisi peraturan. Untuk merevisi peraturan tersebut, lanjutnya, pihaknya sudah mengusulkan kepada Sekretaris Negara dan DPR. Di lain kesempatan, pada Februari 2013, pihak Kementerian Kehutanan melakukan pembelaan. Dikutip dari Harian Tempo, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Iman Santoso membantah pihaknya berusaha mengganjal proses izin pemanfaatan hutan konservasi untuk kepentingan energi terbarukan. Dia justru berpendapat bahwa pengembangan energi terbarukan tak butuh lahan besar. “Kami siap mempermudah proses izin pemanfaatan hutan lindung bagi pengembangan energi terbarukan,” ujarnya. Kesulitan pengembangan lapangan panas bumi lebih, lanjut Imam, disebabkan oleh masalah birokrasi dengan pemerintah setempat dan penolakan masyarakat sekitar. “Seperti proyek panas bumi Bedugul di Bali, itu karena ada penolakan masyarakat dan dari Pemerintah Daerah setempat. Jadi bukan kementerian menghalanginya,” ungkapnya.

Lahan Masih Menjadi Ganjalan Salah satu kendala lain bagi pengembangan panas bumi adalah tumpang tindih lahan.Dalam jumpa pers di penghujung tahun 2011, Menteri ESDM Jero Wacik menerangkan bahwa hambatan tersebut terjadi karena pelaksanaannya tidak kompak dengan Kementerian Kehutanan. Pasalnya, sumber panas bumi umunya terletak di daerah lereng gunung berapi yang biasanya berada pada kawasan hutan lindung. Berdasarkan undang-undang kehutanan, kegiatan pertambangan dilarang berada di wilayah hutan lindung. Sementara, undang-undang lainnya menyebutkan bahwa pemanfaatan panas bumi merupakan

44

JUNI 2013

Meski demikian, dia akhirnya mengakui bahwa investor masih sering terkendala izin masuk hutan lindung. Karena itu pihaknya menjanjikan kemudahan izin, meskipun akan tetap selektif menerbitkan izin pemanfaatan hutan konservasi. “Sepanjang berdampak positif bagi perputaran roda perekonomi daerah,” Iman menegaskan, “tak ada alasan bagi kementerian untuk mempersulit izin permohonan tersebut.” Ternyata masalah lahan masih belum berakhir. Kejadian paling hangat adalah kasus PT Supreme Energy yang masih menunggu izin dari Kementerian Kehutanan hingga Maret 2013. Izin tersebut dibutuhkan untuk melaksanakan pengembangan potensi panas bumi di Gunung Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.


PLTP Dalam Program 10.000 Tahap II PLTP yang Dibangun PLN 1. PLTP Tangkuban Perahu I, Jawa Barat berkapasitas 2x55 MW. 2. PLTP Kamojang 5 dan 6, Jawa Barat berkapasitas 1x40 MW dan 1x60 MW. 3. PLTP Ijen, Jawa Timur berkapasitas 2x55 MW. 4. PLTP Lyang Argopuro, Jawa Timur berkapasitas 1x55 MW 5. PLTP Wilis/Ngebel, Jawa Timur berkapasitas 3x55 MW. 6. PLTP Sungai Penuh, Jambi berkapasitas 2x55 MW. 7. PLTU Hululais, Bengkulu berkapasitas 2x55 MW. 8. PLTP Kotamobagu 1 dan 2, Sulawesi Utara berkapasitas 2x20 MW. 9. PLTP Kotamobagu 3 dan 4, Sulawesi Utara berkapasitas 2x20 MW. 10. PLTP Sembalun, Nusa Tenggara Barat berkapasitas 2x10 MW. 11. PLTP Tulehu, Maluku berkapasitas 2x10 MW PLTP yang dibangun oleh swasta: 1. PLTP Rawa Dano, Banten berkapasitas 1x110 MW. 2. PLTP Cibuni, Jawa Barat berkapasitas 1x10 MW. 3. PLTP Cisolok-Cisukarame, Jawa Barat berkapasitas 1x50 MW. 4. PLTP Drajat, Jawa Barat berkapasitas 2x55 MW. 5. PLTP Karaha Bodas, Jawa Barat berkapasitas 1x30 MW dan 2x55 MW. 6. PLTP Patuha, Jawa Barat berkapasitas 3x60 MW. 7. PLTP Salak, Jawa Barat berkapasitas 1x40 MW 8. PLTP Tampomas, Jawa Barat berkapasitas 1x45 MW 9. PLTP Tangkuban Perahu II, Jawa Barat berkapasitas 2x30 MW 10. PLTP Wayang Windu, Jawa Barat berkapasitas 2x120 MW.

PT Supreme Energy adalah induk dari PT Supreme Energy Rajabasa dan PT Supreme Energy Rantau Dadap. Sejak dua tahun yang lalu ia telah mengajukan dua permohonan izin pinjam pakai hutan lindung untuk melakukan eksplorasi panas bumi kepada Kementerian Kehutanan. Namun baru satu izin yang dikeluarkan, yaitu lapangan panas bumi di Rantau Dadap saja. Melalui media beritasatu.com, Head of Business Relations PT Supreme Energy Argo Ismoyo mengutarakan bahwa secara teknis semua persyaratan sudah dipenuhi untuk mendapatkan izin eksplorasi tersebut. “Hingga saat ini, kegiatan panas bumi di Rajabasa masih menunggu tandatangan Menteri Kehutanan untuk izin eksplorasi,” ungkapnya.

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

PLTP Baturaden, Jawa Tengah berkapasitas 2x110 MW. PLTP Dieng, Jawa Tengah berkapasitas 1x55 MW dan 1x60 MW. PLTP Guci, Jawa Tengah dengan kapasitas1x55 MW PLTP Ungaran, Jawa Tengah berkapasitas 1x55 MW PLTP Seulawah Agam, Nanggroe Aceh Darussalam berkapasitas 1x55 MW PLTP Jaboi, Nanggroe Aceh Darusalam berkapasitas 1x7 MW PLTP Sarulla 1, Sumatera Utara berkapasitas 3x110 MW PLTP Sarulla 2, Sumatera Utara berkapasitas 2x55 MW PLTP Sorik Merapi, Sumatera Utara berkapasitas 1x55 MW PLTP Muaralaboh, Sumatera Barat berkapasitas 2x110 MW PLTP Lumut Balai, Sumatera Selatan berkapasitas 4x55 MW PLTP Rantau Dadap, Sumatera Selatan berkapasitas 2x110 MW. PLTP Rajabasa, Lampung berkapasitas 2x110 MW PLTP Ulubelu 3 dan 4, Lampung berkapasitas 2x55 MW. PLTP Lahendong 5 dan 6, Sulawesi Utara berkapasitas 2x20 MW. PLTP Bora, Sulawesi Tengah berkapasitas 1x5 MW PLTP Merana/Masaingi, Sulawesi Tengah berkapasitas 2x10 MW PLTP Mangolo, Sulawesi Tenggara berkapasitas 2x5 MW PLTP Huu, Nusa Tenggara Barat berkapasitas 2x10 MW PLTP Atadei, Nusa Tenggara Timur berkapasitas 2x2,5 MW. PLTP Sukoria, Nusa Tenggara Timur berkapasitas 2x2,5 MW. PLTP Jailolo, Maluku Utara berkapasitas 2x5 MW PLTP Songa Wayaua, Maluku Utara berkapasitas 1x5 MW

Lapangan panas bumi yang akan digarap di Gunung Rajabasa sebanyak 50 hingga 70 persen berada di kawasan hutan lindung. Namun Argo meyakinkan bahwa energi panas bumi merupakan energi yang ramah lingkungan, sehingga tidak akan merusak hutan lindung. Argo menyatakan bahwa pihaknya telah memperoleh sejumlah dukungan dari Pemerintah Daerah Lampung Selatan, DPRD Lampung Selatan, hingga masyarakat setempat. Harapannya, dukungan tersebut akan membuat Menteri Kehutanan bersedia memberikan izin eksplorasi kepada perusahannya. “Proyek ini masuk FTP (fast track program) atau Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Berkapasitas 10.000 Megawatt Tahap II. Jadi begitu keluar izin, kami langsung garap,” tandasnya.

Panas bumi merupakan sumber energi bersih yang potensinya begitu besar. Jika mengingat kebutuhan energi nasional yang terus meningkat dan janji pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan, seharusnya pengembangan panas bumi menjadi prioritas. Namun fakta yang ada selama ini menunjukkan bahwa rencanarencana yang dibuat pemerintah justru terkendala oleh mesin birokrasinya sendiri. Akibatnya target-target yang diucapkan oleh pemerintah serasa basabasi belaka. Apakah ingin dikenang sebagai pemerintahan yang berprestasi, atau malah dikenal sebagai orde penuh janji, semuanya kembali kepada niat dan paradigma sang penguasa. ■ Akbari

JUNI 2013

45


PENELITIAN

Terapi Anak Disleksia

Kartu Baru yang Memudahkan Anak adalah anugerah Tuhan yang memiliki keistimewaan dalam setiap pribadinya. Mayoritas dapat menjalani kehidupan secara normal tanpa kekurangan, namun ada pula beberapa yang memiliki kondisi spesial dan berkebutuhan khusus. Salah satu contoh tipe anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan spektrum disleksia.

D

isleksia dapat dilihat sebagai gangguan kesulitan memahami huruf dan kata-kata. Salah satu metode dalam praktik terapi disleksia adalah menggunakan alat bantu bernama kartu SSW (Story Starter Writing). Ia digunakan untuk memudahkan penguasaan kosakata, pemahaman, dan kelancaran komunikasi. Sayangnya media tersebut dirancang dalam Bahasa Inggris, sehingga sulit diterapkan karena memiliki konteks yang berbeda dengan Bahasa Indonesia. Di dunia setidaknya terdapat 5 hingga 10 persen anak yang mengalami disleksia. Pada kasus-kasus khusus tak jarang anak dengan disleksia juga mengalami kesulitan (komorbiditas) dalam menulis, membuat perencanaan dan keputusan, dan keterbatasan gerakan. Gejala lainnya adalah mereka memiliki kecenderungan berbicara dengan cepat namun tidak jelas dan gagap. Karen itu ia bisa menjadi hambatan dalam berkomunikasi sehari-hari. Untuk menyikapi hal tersebut, Achmad Syarief, MSD., PhD., dosen Program Studi Desain Produk FSRD ITB, melakukan perancangan ulang dan pengembangan kartu SSW yang cocok untuk diterapkan di Indonesia dengan konteks visual dan verbal yang tepat. Namun Syarif tidak melakukannya sendiri. Dia bekerja bersama tim yang terdiri dari Alvanov Zpalanzani, M.T. (dosen Program Studi Desain Komunikasi Visual ITB), Lies N Budiarti, M.Psi., Rosita Hardiyati, M.Ds., dr. Poerboyo Solek, SpA(K), dan dr. Kristiantini Dewi, SpA(K). Penelitian pengembangan kartu SSW ini dimulai dari penelitian mahasiswa S2 yang bekerja sama dengan CDC (Children Development Center) Santosa Hospital. Ia menyediakan layanan untuk beberapa jenis anak berkebutuhan khusus seperti autisme, diseleksia, sindrom asperger, dan cerebral palsy. Penelitian tentang kartu SSW sebelumnya hanya mengubah struktur kata dari Bahasa Inggris ke Indonesia. Setelah dilakukan konsultasi lebih lanjut dengan tim dokter di CDC Santosa Hospital, yakni dr. Poerboyo dan dr. Kristiantini (ketua Asosiasi Disleksia Indonesia), maka diputuskan untuk melakukan penelitian dengan tujuan mendesain ulang kartu SSW.

46

JUNI 2013

>Achmad Syarief

Lingkupnya adalah pada segi struktur bahasa dan visualisasi gambar dalam kartunya. Alasan perancangan ulang stuktur bahasa dan visualisasi dalam kartu SSW adalah karena anak dengan spektrum disleksia kesulitan untuk belajar dan berkomunikasi. Struktur bahasa dan visualisasi pada kartu SSW sebelumnya, yang diperoleh dari Inggris, ternyata sulit dipahami saat sesi terapi oleh anak disleksia. Kondisi di luar negeri yang memang jauh berbeda dengan di Indonesia sedikit banyak berpengaruh pada proses belajar anak-anak tersebut. Pada sisi visual, kartu SSW sebelumnya sangat khas negeri-negeri di bagian Barat, seperti visualisasi salju dan musim panas. “Visual tersebut termasuk sulit dan tidak mungkin dipahami dengan cepat oleh anak Indonesia yang normal sekali pun,� tutur Syarief. “Sehingga kita lakukan perancangan ulang kartu SSW baru agar dihasilkan satu set baru bisa diterapkan pada sesi terapi disleksia di Indonesia dengan lebih mudah.� Dalam proses perancangannya, Syarief dan tim, yang terdiri dari multi disiplin ilmu, banyak melakukan diskusi dan observasi. Desain kartu SSW dibuat mudah dipahami dan bersahabat dari segi struktur kata maupun visual yang ditampilkan. Kartu SSW sebelumnya yang berbahasa Inggris memiliki kumpulan kata yang tidak dipilah berdasarkan kegunaannya. Dalam merancang ulang kartu SSW berbahasa Indonesia ini, Syarief dan tim melakukan modifikasi pada pemilihan struktur kata. Beragam struktur kata dikumpulkan dengan basis Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim dokter CDC Santosa Hospital juga sebelumnya telah


Uji coba dilakukan pada anak-anak dengan disleksia sebagai responden. Sekitar lima sampai tujuh buah kartu diperkenalkan kepada mereka selama sesi terapi. Para terapis memandu mereka untuk belajar dan mengeksplorasi beberapa jenis kata benda, kata kerja, dan kata sifat yang berhubungan dengan kartu selama lima menit untuk setiap kartunya. “Melalui trial test kartu SSW yang telah dirancang ulang, ada indikasi bahwa dalam sesi terapi penerapan kartu ini dapat membuat anak lebih aktif mengasosiasikan kata-kata dan peristiwa dengan lebih mudah,” kata Syarief. Meskipun uji coba lebih lanjut diperlukan, “Penelitian ini telah menunjukkan bahwa keakraban dan asosiasi visual dapat meningkatkan kemungkinan proses intervensi dalam terapi anak berkebutuhan khusus, terutama disleksia,” tandasnya.

memiliki pengalaman mengenai pemilihan struktur kata yang sederhana hingga yang sulit diajarkan saat sesi terapi. Kumpulan struktur kata tersebut kembali dikelompok-kelompokkan berdasarkan kegunaannya, yakni kata sifat, kata kerja, dan kata benda. Selain pengelompokan struktur kata berdasarkan kegunaan dan penentuan visual yang tepat, tim ini juga melakukan pengelompokkan kartu secara keseluruhan mulai dari tingkatan yang mudah hingga yang sulit. Ia bertujuan untuk memudahkan proses belajar dan komunikasi saat menjalani terapi. “Pengelompokkan kartu SSW mulai dari yang sederhana hingga yang rumit ini akan disesuaikan penggunaannya berdasarkan tingkat spektrum disleksia yang dialami. Kelompok-kelompok kartu ini nantinya akan diberikan secara bertahap,” jelas Syarief. Penelitian mengenai pengembangan dan perancangan ulang kartu SSW ini dilakukan dalam tiga tahap. Yang pertama adalah persiapan proses mulai dari pengumpulan hingga pengklasifikasian struktur kata dan visual yang cocok untuk dicantumkan dalam kartu. Kemudian dilakukan eksperimen perancangan ulang kartu sesuai set visual dan verbal. Melalui proses itu dihasilkan sebanyak 33 kartu dengan 80 kata benda, 41 kata kerja, 42 kata sifat, dan visual. Tahap terakhir, sebanyak 33 sampel kartu SSW hasil perancangan ulang tersebut kemudian diujicobakan pada sesi terapi anak disleksia di CDC Santosa Hospital dan Klinik IndiGrow.

Dari hasil trial test ditemukan sebanyak enam kartu, dari total tiga puluh tiga, yang dianggap sulit untuk digunakan. Hal ini, menurut Syarief, mungkin karena visual yang masih abstrak dan sulit untuk dipahami oleh anak diseleksia. Sehingga kondisi visual yang ada tidak relevan dengan sejumlah kata yang seharusnya mampu dipahami. Kartu-kartu SSW yang sulit dipahami ini lalu ditarik dan dievaluasi kembali untuk menghindari kesulitan dari sisi terapis maupun anak yang menjalani terapi. “Secara keseluruhan feedback yang diterima dari adanya uji coba kartu SSW baru ini sangat baik. Anak disleksia lebih mudah menangkap dan membayangkan ketika melihat visual kartu. Terapisnya pun lebih mudah mengarahkan anak belajar,” ujar Syarief. Dia menambahkan, “Meskipun terapi disleksia menjadi mudah karena adanya set kartu SSW baru ini, bukan berarti terapi dapat dilakukan secara mandiri oleh orang tua di rumah. Dalam keberjalanannya, terapi tetap harus dibantu oleh terapis yang sudah terlatih dan berpengalaman serta memahami seluk beluk terapi untuk anak berkebutuhan khusus. Sementara orang tua akan diberikan pengarahan oleh dokter dan terapis mengenai apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan di rumah.” Kini kartu SSW hasil penelitian ini telah digunakan di CDC Sentosa. Sejauh ini belum ada standar yang jelas mengenai ketentuan kartu SSW di Indonesia, sehingga penelitian ini menjadi pelopor dalam pengembangan kartu SSW untuk terapi disleksia di Indonesia. Setelah sukses dengan pengembangan set kartu SSW baru ini, Syarief menyatakan bahwa dia dan tim akan terus melakukan kerjasama dengan dokter, terapis, dan psikolog untuk penelitian lainnya. Misalnya, pengembangan alat olah raga untuk anak dengan spektrum autisme, serta alat peraga untuk anak berkebutuhan khusus lain seperti anak dengan sindrom asperger. Pasalnya, kata Syarif, hingga saat ini belum ada pengembangan serupa di Indonesia. ■ Dyshelly Nurkartika

JUNI 2013

47


PENELITIAN

Pasar dan Hotel Melebur di Kosambi Bangunan utama Pasar Kosambi terdiri dari 6 lantai, namun saat ini bagian yang terisi pedagang hanya pada lantai semi-basemen hingga lantai satu saja. Pedagang terlihat lebih ramai di kios luar area bangunan dan di area pasar tumpah di pagi hari. Dari 2.037 kios yang terdapat pada bangunan pasar Kosambi, tercatat hanya 624 atau sekitar 24 persen saja yang masih beraktifitas.

> Gabungan pasar dan hotel.

K

eberadaan pasar tradisional memberikan andil besar dalam pembangunan struktur ekonomi perkotaan, tidak terkecuali di Kota Bandung. Pasar tradisional berkembang sebagai suatu kebutuhan primer sebagian besar masyarakat. Akan tetapi, eksistensi pasar tradisional dalam sistem perkotaan selalu dipandang sebagai benalu ruang kota. Sebabnya, ia identik dengan kesemrawutan, gangguan transportasi, dan ketidaknyamanan. Citra pasar tradisional yang kurang baik tersebut sudah semestinya mendapat perhatian yang cukup besar lantaran di dalamnya terkait dengan hajat hidup orang banyak. Membenahi pasar tradisional menjadi tempat belanja yang bercitra positif adalah tantangan yang berat. Namun demikian, ia harus diupayakan sebagai rasa tanggung jawab kepada publik. Pasar Kosambi merupakan salah satu pasar tradisional yang masih aktif di Kota Bandung.

48

JUNI 2013

Dari masalah tersebut, muncul pertanyaan: bagaimana cara menghidupkan kembali pasar Kosambi? Dapatkah Pasar Kosambi menjadi pasar tradisional yang meningkatkan nilai ekonomi dan memiliki nilai tambah bangunan? Mencoba menjawab pertanyaan tersebut, William Sutoyo, seorang mahasiswa Program Magister Teknik Arsitektur, menawarkan sebuah rancangan yang memadukan fungsi pasar dan hotel untuk merevitalisasi lokasi ini. Lalu, bagaimana pasar dan hotel tersebut dapat memenuhi kriteria ekonomi? Bagaimana bangunan tersebut dapat mencirikan Kota Bandung, memanfaatkan potensi kota, dan menjadi trademark atau kebanggaan kota?

Fashion+Kuliner+Hotel Ide rancangan tersebut memanfaatkan potensi Kota Bandung sebagai kota wisata. Ia menawarkan sebuah integrasi unik antara pusat kuliner, fashion, dan tempat beristirahat bagi para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Kedua macam wisatawan ini memiliki perbedaan karakter. Pelancong domestik, seperti dari Jakarta, akan mencari kepuasan kuliner. Sedangkan turis


> Memasukkan desain lanskap ke dalam bangunan.

> Sirkulasi transportasi yang teratur (atas). Penghubung pasar dan hotel.

manacanegara, misalnya dari Malaysia, akan memenuhi kebutuhan akan sandang yang murah di Bandung. Pada rancangan ini, Pasar Kosambi dibuat tetap memiliki fungsi pasar tradisionalnya (pasar basah). Berikutnya, fungsi lain dipertajam dengan memuat pusat oleh-oleh (snack heaven ala Indonesia) dan pasar kerajinan tangan sebagai ciri khas kreativitas yang dimiliki Bandung. Untuk mewadahi kebutuhan turis beristirahat, sebagian wilayah pasar dialokasikan untuk pembangunan hotel bintang tiga. Di sisi lain, hingga saat ini Bandung belum memiliki hotel khusus bagi para backpacker. Lokasi Kosambi ini sebenarnya memenuhi persyaratan sebagai lokasi hotel backpacker yang baik. Pasalnya, ia berada di pusat kota, bisa digapai bermacam transportasi, bersebelahan dengan tempat makan murah, serta dekat dengan kantorkantor travel agency. Karena itu, perpaduan hotel bintang tiga dan hotel backpacker merupakan pilihan fungsi yang relevan. Terkenang Selalu Faktor penting yang menjadi perhatian perancang dalam mengembangkan ide revitalisasi Pasar Kosambi ini adalah bagaimana agar bangunan memiliki nilai tambah (added value). Dia kemudian menggunakan pendekatan desain Genius Loci pada perancangan. Menggunakan desain Genius Loci berarti bangunan dirancang agar pendatang merasakan suasana

tempat yang “memorable,� bertahan dalam ingatan. Ia dirancang memiliki suasana ruang yang unik dengan menggabungkan lanskap ke dalam pasar. Suasana pasar yang hijau serta susunan ruang yang tidak lazim menjadi senjata andalan supaya pasar ini memiliki atmosfer yang berbeda. Susunan ruang yang tidak lumrah — perpaduan pasar tradisional dan hotel — ditujukan agar para pendatang tidak mudah merasa bosan, dan kemudian tertarik untuk mendatangi tempat ini di waktu mendatang. Bayangkan, di satu tempat yang sama, orang bisa merayakan pesta pernikahan dengan pemandangan pasar di sekelilingnya. Itu lah gambaran integrasi unik antara fungsi pasar dan hotel di Kosambi ini.

Desain Yang Ramah Selain hal-hal tersebut, si perancang menerapkan prinsip kontekstual desain lingkungan urban di dalam rancangan ini. Desain urban memiliki arti bangunan yang dirancang memiliki sense of space yang baik, yaitu bangunan

sangat memperhatikan skala manusia. Tidak gigantic, tidak pula hobbitic. Suasana ruang publik yang semarak (vibrant) merupakan salah satu prinsip arsitektur urban. Ia merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat akan suatu ruang publik yang ramah, terdefinisi dengan baik, dan mendorong terjadinya interaksi sosial. Arsitektur urban juga menuntut agar bangunan ini untuk menjadi identitas setempat, sehingga keberadaannya akan mendorong aktifitas ekonomi di sekelilingnya. Secara pribadi, si perancang memiliki kepercayaan pribadi akan kontekstualitas bangunan terhadap waktu: sebuah bangunan harus mencirikan jaman keberadaannya. Bangunan dirancang tanpa menggunakan pakem gaya apapun. Desain perancangan Pasar Kosambi ini muncul bukan dari apa yang diinginkan oleh perancang, namun akan jadi seperti apakah bangunan ini di eranya nanti. â– Niken Prasasti

> Desain potongan hotel dan pasar.

JUNI 2013

49


RESENSI

Mengenal Sistem Pasar Teknologi, atau benda-benda teknis, merupakan jawaban yang cukup bisa menjawab pertanyaan ini. Teknologi masa kini memang jauh lebih rumit dan jangkauannya lebih luas dibandingkan satu abad yang lalu. Tapi kerumitan teknologi tersebut sebenarnya merupakan cerminan betapa kompleksnya koordinasi sosial masa kini. Bagaimana memahami hal ini? Anda bisa memulai dari ilustrasi di bawah ini.

Apa yang membedakan antara kehidupan di masa kini dengan satu abad yang lalu?

JIKA ada seseorang bertanya kepada Anda, “Bagaimana harimu?” Mungkin sebagian besar dari Anda akan berpikir bahwa hari Anda biasa-biasa saja. Memang secara umum, aktifitas manusia dewasa bisa dirangkum sebagai berikut: bangun tidur, membersihkan diri, sarapan, berangkat kerja, makan siang, rapat pekerjaan, pulang kerja, lalu melakukan hal-hal yang biasa Anda nikmati selepas bekerja; serta kegiatan ibadah di sela-sela aktifitas tersebut bagi sebagian orang. Dalam kata lain, hidup Anda sederhana, tidak ada yang istimewa. Kalaupun ada yang istimewa, itu bukanlah sesuatu yang revoulusioner. Namun pernahkah Anda membayangkan bahwa kehidupan Anda yang biasa-biasa tersebut tidak akan bisa terwujud 100 tahun yang lalu? Dalam kalimat lain, tahukah Anda bahwa dibutuhkan sebuah mekanisme yang begitu rumit untuk menopang hari-hari Anda yang sederhana tersebut? Di sini, Anda membutuhkan ilustrasi tambahan. Agar bisa mandi pagi, Anda perlu air yang dialirkan dari instalasi pengolahan air bersih atau dari sumur. Untuk mengolah air ini perlu mesin pengolah air bersih, operator mesin, dan energi listrik. Listrik tersebut diproduksi oleh pembangkit listrik yang memerlukan berbagai macam mesin, suku cadang, bahan bakar, dan jasa-jasa keteknikan. Lalu listrik tersebut dialirkan melalui jaringan listrik. Serta, kembali ke persoalan air, untuk mengalirkan dari pengolahan ke rumah penduduk memerlukan jaringan pipa air yang masif. Sementara itu, masih ada aktifitas Anda yang lain seperti memasak,

50

The Market System Penulis: Charles E. Linblom Penerbit: Yale University Press Tahun: 2001 Tebal: 296 halaman

makan, minum, berpindah tempat menggunakan moda transportasi dan jalan raya, bekerja, menyalakan elektronik, membangun rumah, dan lain-lain. Dari ilustrasi sederhana tersebut bisa tergambar berapa macam keahlian yang dibutuhkan dan berapa jumlah orang yang terlibat. Serta, masingmasing pelaku tersebut memiliki kepentingan yang berbeda, karena itu bisa diperkirakan bagaimana sulitnya mendapatkan kesepakatan atas negosiasi antar pihak tersebut. Dengan sedikit membayangkan bagaimana orang-orang di sekitar Anda bisa menyediakan berbagai keperluan Anda atau bekerja seperti yang Anda inginkan, maka Anda akan mulai menemukan betapa rumitnya mengkoordinasikan pergerakan barang dan jasa saat ini. Pertanyaannya adalah, bagaimana sebuah sistem yang sangat rumit ini bisa berjalan dengan baik dan — yang tidak kalah penting untuk digarisbahwahi — damai?

JUNI 2013

Di negara komunis seperti Korea Utara, koordinasi sosial tersebut diatur oleh penguasa. Apa yang akan dimakan oleh masyarakat, bekerja di mana, bagaimana distribusi kekayaan, bahkan hingga apa yang boleh dan tidak boleh dipikirkan, semuanya diatur oleh pemerintah. Namun di Indonesia, dan hampir seluruh negara di dunia, koordinasinya menggunakan sistem pasar. Artinya, sumber daya berupa aset maupun jasa diproduksi, didistribusikan, dan dipindah-tangankan melalui mekanisme jual-beli — dengan cara barter maupun menggunakan perantara uang. Jual-beli dalam konteks ini bermakna bahwa para pelaku yang terlibat dalam koordinasi ini melakukan transaksi secara suka rela (voluntary). Pelakunya pun beragam karena negara menjamin hak setiap orang untuk memilih peran yang diinginkan pada hampir semua sektor. Dengan demikian, pengetahuan tentang bagaimana sistem pasar bekerja merupakan hal mendasar bagi mereka yang ingin mendalami realitas dunia sosial, bisnis, politik, hingga teknologi di masyarakat. Untuk keperluan tersebut, buku yang ditulis oleh Charles E. Lindblom ini bisa menjadi referensi yang jitu. Buku ini berbicara tentang ekonomi, namun tanpa terjebak menawarkan jargon-jargon atau label ideologi tertentu. Sebaliknya, ia secara kritis menyingkap realitas yang ada di masyarakat, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat jargon dan ideologi yang berkembang. “Think society, not economy,” kata Lindblom. ■ Ismail Al Anshori


AGENDA


52

JUNI 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.