Catatan Legislasi Indonesia

Page 1


Kata Pengantar Genap 12 bulan perjalanan Departemen Kajian Strategis memberikan karya-karya terbaiknya bagi Kema Unpad. Awalnya, berbagai perencanaan yang telah dilakukan dengan optimistis. Kami tidak pernah menyadari bahwa tantangan yang dihadapi adalah adanya wabah penyakit yang menimbulkan krisis multidimensional dalam segala bidang kehidupan. Dari situasi ini, kami kemudian melakukan banyak penyesuaian kerja, merubah mimpi-mimpi ideal kami, dan nilai-nilai yang sudah disiapkan menjadi suatu sistem baru yang berprinsip pada nilai resilien. Bahwa pada titik ini, kami harus bisa mempertahankan relevansi kajian strategis di tengah dunia pergerakan yang memasuki babak baru, berbeda dengan apa yang generasi terdahulu hadapi. Departemen Kajian Strategis memiliki peran sebagai “Katalisator gagasan dalam membangun gerakan BEM Kema Unpad 2020 yang Responsif, Produktif, dan Representatif�. Mimpi ini direalisasikan melalui penurunan fungsi yang terbagi menjadi analisis, pertimbangan, pengembangan gagasan, dan eskalasi gerakan. Muara dari mimpi ini adalah bagaimana nantinya BEM Kema Unpad menjadi stakeholders strategis yang diperhitungkan dalam proses agenda setting serta evaluasi kebijakan serta turut berpartisipasi aktif dalam proses penciptaan tekanan publik yang menekan pihak yang berwenang agar membentuk kebijakan publik yang sehat dan berpihak pada rakyat. Fungsi analisis direalisasikan melalui proses pengkajian terhadap isu-isu kebijakan publik yang berdampak pada masyarakat secara luas. Fungsi ini akan menghimpun tahapan manajemen isu, proyeksi, elaborasi, dan produksi output yang berlandaskan pada kaidah ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Nilai kaidah ilmiah serta pertanggungjawaban secara keilmuan menjadi harga yang tidak bisa digantikan. Artinya, semua output yang dikeluarkan oleh Departemen Kajian Strategis harus memiliki kualitas yang baik. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas gerakan ke arah yang lebih substantif. Hal ini ditunjukan dengan cara pengembangan sumber daya departemen melalui pelatihan, studi banding departemen, peer review sebelum publikasi, serta evaluasi dan monitoring hasil publikasi. Fungsi pengembangan gagasan berkaitan dengan penciptaan diskursus publik melalui program-program yang tepat guna dan tepat sasaran. Dalam hal ini, untuk dapat memastikan


program yang dikeluarkan memenuhi kualifikasi tepat guna dan tepat sasaran, maka yang dilakukan adalah survei publik yang dilakukan Biro Riset dan Data, asesmen ke departemen kajian dan aksi di fakultas lewat forum kastrat satu unpad, juga sinergisasi dengan masukan dari BPM Kema Unpad. Fungsi pertimbangan berkaitan dengan Departemen Kajian Strategis yang memberikan pertimbangan saran atas sikap yang akan dikeluarkan oleh Ketua dan Wakil Ketua BEM Kema Unpad secara solutif dan dapat dipertanggungjawabkan melalui outputoutput yang sudah dikeluarkan oleh Departemen Kajian Strategis. Fungsi eskalasi disini berkaitan dengan Departemen Kajian Strategis yang berperan aktif dalam koordinasi dengan Departemen Propaganda dan Aksi untuk merumuskan rancangan gerakan yang akan dibentuk BEM Kema Unpad bersama stakeholders lainnya. Hal ini ditujukan agar Departemen Kajian Strategis dan Departemen Propaganda dan Aksi memiliki keselarasan dan kesamaan cara pandang dalam mengeskalasikan suatu isu. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Departemen Kajian Strategis diisi orang-orang terbaik yang sangat luar biasa kompeten di bidangnya. 15 orang dengan kepala dan pemikiran yang berbeda dan dibagi ke dalam 4 kedirjenan, yaitu kedirjenan politik, hukum dan HAM; kedirjenan sosial ekonomi; kedirjenan medika, dan; kedirjenan energi dan agro. Hal ini didasari oleh evaluasi 2 kepengurusan sebelumnya dimana banyak sumber daya manusia yang bekerja namun tidak sesuai dengan bidang keilmuannya, juga dimaksudkan agar pembentukan output menjadi produktif. Terkhusus dalam menjalankan fungsi analisis, Departemen Kajian Strategis berhasil mempublikasikan 50 output yang terdiri dari 34 tulisan, 2 podcast, 2 video, dan 12 infografis. Berikut merupakan kompilasi tulisan dengan tema Catatan Legislasi Indonesia yang sudah kami publikasikan dan menjadi bukti bahwa apa yang kami banggakan bukan sekedar omong kosong belaka.



Diskursus RKUHP di Tengah Pandemi: DPR Cari Celah? Pendahuluan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini berlaku berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. KUHP mulai diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918. Berlakunya KUHP di Indonesia bahkan jauh lebih tua dibandingkan usia Negara Indonesia sendiri. Hal ini dipahami karena KUHP tersebut berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie (WvS) yang disusun oleh Belanda pada 1918. Pengadopsian WvS menjadi KUHP adalah upaya Pemerintah Indonesia untuk meniadakan kekosongan hukum terkait pidana saat negara ini berdiri, melalui asas konkordansi sebagaimana diatur dalam Ketentuan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945. Pembaharuan hukum pidana nasional (criminal law reform) yang sudah dimulai sejak tahun 1963 sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan suatu KUHP yang “tambal sulam� (baik dengan pendekatan evolusioner, global maupun kompromi antara keduanya), melainkan diharapkan terbentuknya KUHP nasional yang berkepribadian Indonesia yang sangat menghormati nilai-nilai agamis dan adat, bersifat modern dan sesuai pula dengan nilai-nilai, standard dan asas serta kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsabangsa beradab di dunia. Setelah melewati berbagai dinamika pembahasan, RKUHP kembali dan diserahkan kembali ke DPR oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Juni 2015 untuk dibahas secara bersamasama. Dalam penjelasan RKUHP yang diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR dinyatakan bahwa penyusunan RKUHP tidak lagi membawa misi tunggal, yaitu misi dekolonisasi hukum pidana, akan tetapi juga mengandung tiga misi penting lainnya yaitu demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, dan adaptasi serta harmonisasi terhadap berbagai perkembangan baru di bidang hukum pidana. Keempat misi inilah yang diklaim Pemerintah akan membawa nuansa baru dalam hukum pidana yang bertujuan untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan


kepentingan individu dalam Negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Namun, diskursus mengenai RKUHP masih belum selesai hingga saat ini. Perkembangan RKUHP selalu menemui jalan buntu setelah mengalami banyak penolakan. Puncaknya ketika 24 September 2019 dimana golongan masyarakat menciptakan narasi #ReformasidiKorupsi yang salah satu point tuntutannya adalah penolakan terhadap pasalpasal bermasalah di RKUHP. Hal ini menyeebabkan molornya pengesahan RKUHP hingga detik ini. Publik kembali dikejutkan dalam situasi pandemi seperti ini, dimana DPR bersikeras menyelenggarakan sidang dengan teknik virtual. Salah satu pembahasan agenda sidang dalam surat bernomor PW/04718/DPR RI/IV/2020, yang mana dalam point 5 menegaskan bahwa agenda sidang adalah “persetujuan terhadap tindak lanjut pembahasan RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana�. Hal ini malah membuat pertanyaan bagi para wakil rakyat. Di tengah kondisi seperti ini, DPR malah terkesan memanfaatkan situasi untuk mengesahkan RUU-RUU yang dianggap bermasalah oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena RKUHP merupakan isu sensitif yang menarik perhatian publik sejak awal draft RUU ini dimasukan ke Baleg DPR. Pasal-pasal RKUHP yang Menjadi Sorotan Publik Penundaan pengesahan RKUHP menimbulkan sebuah pertanyaan apakah penundaan tersebut merupakan cara pemerintah untuk menghindari penolakan masyarakat atau memang berupaya untuk memperbaiki pasal-pasal yang dianggap dapat membahayakan masyarakat itu sendiri apabila diterapkan di masa yang akan datang. Kembali diingatkan bahwa pasal-pasal kontroversial tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:2 1. Isu Makar, Penghinaan Terhadap Presiden,Penghinaan Terhadap Pemerintah Pasal makar yang terdapat pada Pasal 167, lalu aturan penghinaan terhadap Presiden termuat dalam Bab II dengan judul Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Poin penghinaan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam empat pasal, yakni 217, 218, 219, dan 220. Selanjutnya, Penghinaan terhadap Anugerah Rizki Akbari., dkk. 2019. Membedah Konstruksi Buku I Rancangan KUHP. Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera., hlm. 181 2 Tim ICJR. 2019. Tanggapan atas Keterangan Menkumham tentang RKUHP. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform., hlm. 1-14 1


pemerintah yang sah dan kekuasaan umum/ lembaga negara Pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan antara lain Pasal 241, 247, atau 354. 2. Perzinaan, Kohabitasi, Pasal kriminalisasi pencabulan dengan memuat unsur “sama jenis kelaminnya� Pasal 417 tentang Perzinaan menyatakan bahwa Persetubuhan dengan orang yang bukan suami/istri Delik aduan: suami/istri, orang tua, anak. Berlaku bagi semua orang serta tidak ada keharusan pengaduan harus diikuti gugatan perceraian. Selanjutnya Pasal 418 tentang Kohabitasi menyatakan Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Serta Pasal 421 tentang Pencabulan menyatakan bahwa Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya. Pasal tersebut tanpa menyematkan unsur “yang berbeda atau sama jenis kelaminnya� tetap bisa diberlakukan, tanpa perlu merumuskan orientasi seksual. 3. Isu Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Adapun pasal yang bermasalah adalah 604, 605 & 607, di mana pasal-pasal tersebut memiliki pidana yang rendah dibanding dengan pidana yang ada di UndangUndang Tipikor. Adapun alasan menentang adanya pasal ini adalah korupsi telah dianggap sebagai extra-ordinary crime dimana pengaturan dalam RKUHP akan menghilangkan sifat extraordinary crime sehingga membuatnya menjadi tindak pidana biasa. 4. Isu Kesehatan: Aborsi, Alat Kontrasepsi Pasal 470 ayat 1 tentang Aborsi menyatakan bahwa Setiap perempuan yang menggugurkan

atau

mematikan

kandungannya

atau

meminta

orang

lain

menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Selanjutnya perihal alat kontrasepsi, Pasal 414 menyatakan

Setiap

Orang

yang

secara

terang-terangan

mempertunjukkan,

menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda kategori I. 5. Pelaku Santet/Teluh

paling

banyak


Pasal 252 Ayat 1 RKUHP mengatur pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak kategori IV (Rp200 juta), bagi setiap orang yang menyatakan dirinya

mempunyai

kekuatan

gaib,

memberitahukan,

memberikan

harapan,

menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain. Pidana bisa diterapkan apabila karena perbuatannya menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik. 6. Aturan Mengenai Hewan (Memperkosa Hewan, Kecerobohan Pemilik Hewan) Ayat 1 Pasal 341 RKUHP menyatakan Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, setiap orang yang: a. Menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan melampaui batas atau tanpa tujuan yang patut. b. Melakukan hubungan seksual dengan hewan. Selanjutnya, Pasal 340 RKUHP menyatakan Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II. 7. Penggelandangan Pasal 432 tentang Penggelandangan, menyatakan Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. Namun hal yang banyak menjadi sorotan masyarakat sipil adalah mau tidak mau tingkat kemiskinan di Indonesia masih besar. Bahkan sudah menjadi tanggungjawab negara untuk melindungi fakir miskin dan golongan terlantar. Adanya pasal ini berpotensi mengkriminalisasi masyarakat miskin yang sebenarnya membutuhkan perlindungan negara 8. Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat : penyimpangan asas legalitas/ kriminalisasi yang tidak jelas Pasal 598 tentang Living Law menyebutkan dalam ayat 1 menyebutkan “Setiap Orang, yang melakukan perbuatan menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana�.


Pada akhirnya harus disadari bahwa dalam penegakan hukum pidana asas legalitas memegang peranan sentris dimana asas legalitas menjamin penegakan hukum berdasarkan hukum yang tertulis. Sementara hukum adat bersifat sangat dinamis, komunal, subjektif, dan berlaku pada komunitas tertentu. Berlakunya pasal seperti ini akan mengakibatkan munculnya potensi penyalahgunaan. 9. Tindak Pidana Narkotika Pasal 611- 616 tentang Pengaturan tindak pidana narkotika. Dalam hal ini yang menjadi perhatian dalam RKUHP adalah pengaturan tentang tindak pidana narkotika tidak akan mengubah kondisi penerapan pasal kepemilikan, pembelian, penguasaan narkotika terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahguna narkotika. Disamping itu pendekatan yang dicoba dalam menyelesaikan kasus narkotika adalah pendekatan pidana. Walaupun tidak salah sepenuhnya, namun beberapa negara maju sudah menerapkan penanganan kasus narkotika melalui pendekatan kesehatan masyarakat. RKUHP sebagai Pembaharuan Hukum di Indonesia Di samping terdapatnya beberapa pasal yang dianggap kontroversial, kita tidak dapat memungkiri bahwa perjalanan panjang pembentukan RKUHP merupakan suatu bentuk usaha pembaharuan KUHP, di samping ditujukan terhadap pembaharuan dan peninjauan kembali terhadap 3 (tiga) permasalahan utama dalam hukum pidana, yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act), perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan perumusan sanksi baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment), juga berusaha secara maksimal memberikan landasan filosofis terhadap hakikat KUHP, sehingga lebih bermakna dari sisi nilai-nilai kemanusiaan (humanitarian values) baik yang berkaitan dengan pelaku tindak pidana (offender) maupun korban (victim).3 Prof.Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. bahkan menyatakan bahwa asas-asas dan sistem hukum pidana nasional dalam RUU KUHP disusun berdasarkan ‘ide keseimbangan’ yang mencakup: keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perseorangan; keseimbangan antara ide perlindungan/kepentingan

3

Muladi. 2006. Beberapa Catatan Terhadap RKUHP. Jakarta: Elsam., hlm. 1


korban dan ide individualisasi pidana; keseimbangan antara unsur/faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan subyektif (orang batiniah/sikap batin) (ide ‘daad-dader strafrecht’); keseimbangan antara kriteria formal dan material; keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan; dan keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/universal.4 Pembentukan RKUHP telah dilakukan langkah penyusunan konsepnya sejak Maret 1981. Disusun oleh dua Tim yang bekerja secara bersamaan, yaitu Tim Pengkajian dan Tim Rancangan yang kemudian dileburkan ke dalam satu Tim. Berturut-turut yang menjadi pimpinan Tim ini adalah : Prof. Sudarto, S.H. (meninggal tahun 1986); Prof. Mr. Roeslan Saleh (meninggal 1988); dan terakhir, Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H. (sejak tahun 19871993). Tim yang terakhir inilah yang berhasil memformulasinya dalam bentuk RUU. Pada 13 Maret 1993, Tim Mardjono Reksodiputro ini menyerahkan draft tersebut kepada Menteri Kehakiman yang pada waktu itu dijabat oleh Ismail Saleh, S.H. Tetapi draft ini berhenti di tangan Menteri Kehakiman, dan direvisi kembali oleh Menteri Kehakiman berikutnya dengan Tim yang baru, sampai akhirnya direvisi kembali di bawah Tim yang baru yang dipimpin oleh Prof. Muladi. RUU KUHP di bawah Tim Prof. Muladi dapat dikatakan merupakan produk pemikiran generasi baru ahli hukum pidana Indonesia. Di antaranya terdapat namanama seperti Prof. Barda Nawawi, Prof. Muladi, Prof. Dr. Emong Komariah, dan Dr. Mudzakkir. Generasi baru ini tentu memiliki kompetensi akademis dan semangat zaman yang berbeda dengan generasi ahli hukum pidana sebelumnya (generasi Prof. Sudarto, S.H.). 5 Namun kita tidak dapat memungkiri perbedaan kompetensi akademis, konteks zaman, dan kepentingan antar generasi perancang RUU KUHP, akan mempengaruhi pula hasil masing-masing Tim Penyusunan. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian lebih oleh DPR RI ketika memang berniat untuk segera mungkin mengesahkan RKUHP. Perlu dipahami pula bahwa RKUHP bukan hanya perihal perubahan pasal saja, melainkan pula perubahan terhadap Asas-asas Hukum Pidana yang tentunya ini akan mempengaruhi pengaturan Hukum Pidana diluar RKUHP nantinya. Indonesia memang sangat memerlukan sebuah pembaharuan hukum untuk dapat lebih menjangkau perkembangan hukum yang terus Ibid., Disampaikan pada Seminar “Pembaruan KUHP : Melindungi Hak Asasi Manusia, Kepentingan Umum dan Kebijakan Negara�, yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta, 24 November 2005. 4 5


berjalan seiringnya waktu. Hanya saja, menjadi sangat tidak bijaksana apabila pengesahan yang dilakukan oleh DPR RI tidak diiringi dengan revisi terlebih dahulu untuk memperbaiki pasal-pasal yang dapat merugikan masyarakat tersebut. Diskursus Pengesahan RKUHP di tengah Pandemi Polemik global Covid-19 yang belum berhenti serta Omnibus Law yang kian menuai pro kontra telah menjadikannya isu panas yang kian memunculkan kabut tak terlihat dengan menjadi objek yang mampu mengesampingkan masalah lain yang kian terlupakan. Di pekan yang sibuk dengan wabah Covid-19, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru sibuk bergerilya membahas dan akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Segenap ahli kemudian memberikan komentar kepada DPR atas tindakannya yang dinilai terburu-buru dan seakan tidak menunjukan niat baik jika membahas lalu mengesahkan RKUHP ditengah bencana nasional yang kian genting ini. Erasmus Napitulu, direktur dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan pembahasan RKUHP yang hanya dilakukan selama sepekan oleh DPR bukanlah pembahasan yang mendalam, sedangkan ketika akan membahas Rancangan Undang-undang ini, pembahasan yang komprehensif menjadi suatu keperluan agar RKUHP dalam penerapannya dapat berkualitas sebab tidak mengesampingkan kualitas substansi dari RKUHP. Menurutnya, langkah ini akan mencitrakan visual yang buruk bagi DPR dan Pemerintah serta menjadi kabar yang memperihatinkan karena tidak menunjukkan niat baik dari keduanya, baik DPR dan Pemerintah.6 Jika kita lihat kilas balik di tahun 2019, terdapat kesamaan terkait waktu yang digunakan dalam pembahasan dan pengesahan dari RKUHP, yakni dilakukan secara tergesa-gesa. Padahal, selaku Wakil Rakyat, penyerapan aspirasi dari rakyat serta kajian yang dilakukan secara mendalam menjadi suatu kebutuhan sebab akan sangat berdampak pada orang yang diwakili oleh DPR yaitu Rakyat. Menurut pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar, tahun lalu sempat menyampaikan bahwa revisi terhadap RKUHP dinilai memperlihatkan arogansi dari politikus parlemen yang enggan mendengarkan suara rakyat. Sikap ini menurutnya, telah menyangsikan kehadiran rakyat dan tak lepas dari keberadaan oligarki yang hanya peduli Haryanti Puspa Sari. 2020. RKUHP Dibahas di Masa Pandemi Covid-19, DPR dan Pemerintah Dinilai Tak Tunjukan Niat Baik Kompas. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/04/03/12213711/rkuhp-dibahas-di-masa-pandemi-covid-19dpr-dan-pemerintah-dinilai-tak Pada 3 April 2020 Pukul 17.33 WIB. 6


pada kepentingan kelompoknya sendiri.7 Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia, aliansinya mencatat bahwa perubahan RKUHP perseptember 2019 masih banyak memiliki pasal yang bermasalah dan dinilai terlalu overkriminalisasi. Beberapa pasal tersebut diantaranya, Pasal terkait penghinaan Presiden, dan pemerintah, pasal hukum yang hidup di masyarakat, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, dan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, contempt of court, makar, kriminalisasi penghinaan yang eksesif, tindak pidana terhadap agama, rumusan tindak pencabulan yang diskriminatif, tindak pidana narkotika dan pelanggaran HAM berat. Pasal-pasal tersebut sepatutnya dievaluasi kembali oleh pemerintah agar ketika akan disahkan sudah matang secara substansi dan dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Depenalisasi dan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana juga harus dilakukan sebab kondisi yang overcrowding dapat terjadi karena adanya over-kriminalisasi yang gagal dientaskan dalam RKUHP.8 Pembahasannya juga harus melibatkan banyak pihak dari beragam keahlian. Selama ini, pembahasan RKUHP hanya banyak melibatkan kalangan pakar Hukum Pidana dan seakan melupakan pakar lainnya seperti ahli ekonomi, kesehatan, kesehatan masyarakat dan sebagainya. Oleh karena itu, agar RKUHP ini dapat ditegakkan dalam tatanan kehidupan dengan baik, maka pengkajian bersama ahli lainnya sangat diperlukan. Skala konsultasi juga perlu diberdayakan dan tidak terpusat di Pulau Jawa, agar masukan dan kritik dari beragam daerah di Indonesia dapat terharmonikan dan dapat berjalan selaras di semua wilayah di Indonesia. Kemudian, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan, tindakan yang diambil oleh DPR dalam siatuasi yang sedang mendera rakyat di Indonesia menjadi suatu refleksi tidak pekanya DPR kepada rakyat yang kini sedang berperang melawan Covid-19. Menurutnya bisa jadi, DPR memasukan kepentingan atau agenda yang sebelumnya mereka paksa masukkan agar dapat disahkan tanpa melalui partisipasi publik yang memadai. Hal tersebut bukanlah tindakan cermat karena

CNN Indonesia. 2019. Pakar Pidana: RKUHP Bentuk Arogansi Politikus. diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918211445-12-431761/pakar-pidana-rkuhp-bentukarogansi-politikus Pada 3 April 2020 Pukul 17.50 WIB 8 Dani Prabowo. 2020. ICJR: Masih Banyak Pasal Bermasalah dan Over-kriminalisasi dalam RKUHP. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/04/03/08471171/icjr-masih-banyak-pasal-bermasalahdan-over-kriminalisasi-dalam-rkuhp Pada 3 April 2020 Pukul 18.32 WIB. 7


terjadi ketidaksinkronan tindakan dengan situasi sulit yang tengah dihadapi rakyat. 9 Iftitahsari, peneliti lain dari ICJR, menambahkan, evaluasi dari RKUHP perlu digalakan kembali dengan memperhatikan tatanan sosial, politik dan, ekonomi pasca pandemi Covid-19 ini selesai.10 Hal tersebut sejatinya menjadi logis, sebab mungkin saja akan terjadi perubahan pada kehidupan sosial pasca Covid-19 yang dapat mempengaruhi hukum pidana, sehingga pembahasan RKUHP pasca pandemi ini selesai dapat menjadi suatu masukan agar pemerintah mengambil langkah untuk menimbang-nimbang kembali agar hal yang sebelumnya tidak terpikirkan dalam naskah dapat menjadi kritikan dalam pembuatan kebijakan hukum pidana saat ini, untuk masa yang akan mendatang. Melihat beragam kritikan yang kian memojokkan DPR, Ketua Komisi III DPR, Herman Hery, membantah kritikan yang mengatakan Pemerintah memanfaatkan siatuasi ditengah pandemi untuk pengesahan RKUHP yang dinilai terburu-buru. Menurutnya, DPR tidak melakukannya secara cepat sebab RKUHP sudah masuk dalam daftar Carry over sejak DPR di periode sebelumnya. Selain itu, menurutnya walau sedang ada bencana nasional tidak berarti DPR ikut berhenti melakukan pekerjaannya. Adapun “waktu sepekan� yang dikatakan oleh Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsudin, menurutnya merupakan bentuk kesalahan penyampaian sebab tidak mungkin selesai dalam waktu seminggu. Terkait evaluasi pasalpasal bermasalah, saat ini Komisi III DPR sedang melakukan pembahasan kembali.11 Sementara, menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, bahwa DPR memiliki maksud tersembunyi yang diselundupkan di tengah bencana. Tidak hanya RKUHP namun juga RUU Pemasyarakatan dan RUU Omnibus law Cipta Kerja. Ia juga mengatakan, tindakan tersebut merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan sebab dilakukan ketika pemerintah sedang melakukan pembatasan sosial berskala besar. Kegiatan mereka dengan tetap bekerja ditengah pandemi, berimplikasi pada adanya

Rini Kustiasih. 2020. Bahas RUU Bermasalah di Tengah Pandemi Covid-19, DPR Dinilai Tidak Peka. Diakses dari https://bebas.kompas.id/baca/bebas-akses/2020/04/03/dpr-tak-peka-dengan-kondisirakyat/ Pada 3 April 2020 Pukul 19.29 WIB. 10 Pebriansyah Ariefana. 2020. Bahas RKUHP saat Corona, Jokowi dan DPR Tambah Rakyat Menderita. Diakses dari https://www.suara.com/news/2020/04/03/154028/bahas-rkuhp-saat-corona-jokowi-dandpr-tambah-rakyat-menderita Pada 3 April 2020 Pukul 19.40 WIB. 11 Muhammad Irfan. 2020. Di Tengah Pandemi Corona, Pemerintah dan DPR Dinilai Tak Punya Niat Baik Terhadap Rakyat. Diakses dari https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01360473/di-tengahpandemi-corona-pemerintah-dan-dpr-dinilai-tak-punya-niat-baik-terhadap-rakyat Pada 4 April 2020 Pukul 20.15 WIB. 9


pegawai-pegawai yang dipaksa bekerja disituasi seperti ini padahal mereka harusnya berada di rumah.12 DPR Jangan Salah Fokus Isu terkait penanganan Covid-19 telah menjadi isu yang meresahkan masyarakat. Dalam kenyataannya, isu ini telah memaksa pemerintah untuk mengambil sejumlah tindakan demi menghentikan penyebaran virus ini. beberapa hal yang telah dilakuan pemerintah diantara lain merelokasi anggaran demi penanganan Covid, menerapkan rapid test massal, menerapkan dan mengkampanyekan physical distancing, hingga yang terbaru menetapkan status keadaan darurat kesehatan masyarakat. Dalam proses penanganan ini, pemerintah sebagai ujung tombak telah melibatkan banyak stakeholders. Bukan tidak aneh bahwa penanganan virus covid memang mengharuskan pemerintah untuk dapat berkolaborasi, kolaborasi tersebut dapat dilakukan baik dengan pihak dalam negeri maupun pihak luar negeri. Dalam konteks check and balances, hal inilah yang membuat pemerintah banyak membentuk kebijakan-kebijakan, dimana dalam kebijakan tersebut selalu memantik polemik pro dan kontra. Bahkan bukan bohong, bila banyak pihak yang mengkritik bahwa kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19 dirasa salah sasaran. Mau tidak mau dalam konteks penyelenggaraan good governance, tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah harus dapat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif. Hal ini tidak lain ditunjukan agar pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan ngawur yang malah membahayakan masyarakat. Namun, ditengah kondisi seperti ini, nampaknya DPR masih bersikeras untuk menyelenggarakan persidangan. Sebenarnya, hal tersebut bukanlah suatu hal yang aneh jika DPR melaksanakan fungsinya. Namun, hal yang hendak disoroti adalah DPR malah bersikeras untuk membahas dan mengesahkan RUU-RUU yang masih kontroversial, salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Hal tersebut dapat diketahui dalam surat bernomor PW/04718/DPR RI/IV/2020, yang mana dalam point 5 menegaskan bahwa agenda sidang adalah “persetujuan terhadap tindak Tsarina Maharani. 2020. Pusako: DPR dan Pemerintah Semestinya Tak Munculkan Polemik Pembahasan RUU Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/04/03/11563421/pusako-dpr-danpemerintah-semestinya-tak-munculkan-polemik-pembahasan-ruu Pada 4 April 2020 Pukul 20.25 WIB. 12


lanjut pembahasan RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana�.13 Bahkan, Azis Syamsuddin—Wakil Ketua DPR—mengatakan bahwa pimpinan komisi II DPR meminta waktu satu pekan untuk mengesahkan RKUHP.14 Ia juga menegaskan bahwa waktu 1 pekan itu akan digunakan untuk membahas pasal-pasal kontroversial sebelum dilanjut ke rapat paripurna selanjutnya.15 Bilamana kita berbicara mengenai fungsi dari DPR, hal ini mengingatkan pada konsep doktrin pembagian kekuasaan yang digaungkan oleh Montesquieu tentang konsepsi mengenai pembagian kekuasaan yang disebut The Separatism of Power. Doktrin yang dikenal dengan nama Trias Politica ini membagi kekuasaan negara kedalam 3 fungsi, yaitu fungsi eksekutif sebagai pelaksana undang-undang; fungsi legislatif sebagai pembuat undang-undang; dan fungsi yudikatif untuk mengadili atau menghakimi. Doktrin Montesquieu menjadi bahan acuan bagi negara-negara modern untuk memisahkan kekuasaan-kekuasaan dalam negara kepada badan-badan yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan negara tidak saling mengintervensi kewenangan masing-masing dan tidak ada badan yang memonopoli kekuasaan negara secara penuh. Fungsi legislatif dalam praktiknya melekat pada lembaga legislatif atau lembaga perwakilan rakyat. Di Indonesia sendiri, fungsi legislatif menjelma dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Walaupun dalam kenyataannya, para ahli masih menganggap bahwa DPD belum mampu dikatakan sebagai lembaga legislatif, DPD sendiri masih dikatakan sebagai salah satu lembaga penunjang bagi DPR. Dimana konsep awal pembentukan DPD adalah untuk mereformasi sistem parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral) yang terdiri dari DPR sebagai perwakilan politik dan DPD sebagai perwakilan daerah. DPR sendiri memiliki fungsi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Terkait fungsi pengawasan, sebenarnya fungsi ini merupakan identitas bagi lembaga perwakilan sebagai CNN Indonesia. 2020. DPR Gelar Paripurna Lanjutkan Pembahasan RKUHP. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200402101619-32-489451/dpr-gelar-paripurna-lanjutkanpembahasan-rkuhp pada 04 April 2020 14 CNN Indonesia. 2020. Komisi II DPR Target Sahkan RKUHP dalam Sepekan. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200402170100-32-489709/komisi-iii-dpr-target-sahkanrkuhp-dalam-sepekan pada 04 April 2020 15 Sebagaimana harus diketahui bahwa sidang paripurna merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi dalam tubuh DPR 13


‘wakil’ rakyat. lembaga perwakilan tak ayal merupakan wadah dimana kepentingan dan aspirasi rakyat itu diperdengarkan dan diperjuangkan untuk menjadi kebijakan dan agar kebijakan tersebut dilaksanakan secara tepat untuk kepentingan rakyat itu sendiri.16 Jika dirinci lebih lanjut, pengawasan dari DPR harus meliputi hal-hal sebagai berikut17 a. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan; b. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan c. Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara; d. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara; e. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan; f. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik. Berbicara masalah kebijakan yang merupakan instrumen yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, pada hakikatnya pembentukan kebijakan akan berkaitan dengan prinsip kebebasan bertindak (freis ermessen) yang dibuat untuk mencapai suatu tujuan pemerintahan yang dibenarkan secara hukum.18 Dalam hal ini, setiap tindakan pemerintah memang memiliki kewajiban untuk mencapai tujuan pemerintahan yang merepresentasikan aspirasi masyarakat. Bilamana melihat urgensitas Covid-19 yang sekarang menyerang Indonesia, dimana pemerintah dengan merespon hal tersebut dengan banyak membentuk kebijakan dalam bentuk instrumen hukum, maka fungsi pengawasan harus dikedepankan oleh DPR. Bilamana kita merefleksikan sistem politik kita yang dapat dikatakan memiliki ciri executive heavy dimana kekuasaan presiden sangat dominan.19 Maka pengawasan DPR sangat diperlukan agar tidak ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang malah cenderung sewenang-wenang ditengah kondisi seperti ini. Hal ini ditujukan agar ditengah kondisi seperti ini, mekanisme check and balances20 tetap terjaga.

Irfan Nur Rachman. 2010. Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif terhadap Eksekutif Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 8, No. 2, April 2010., hlm. 77 17 Ibid., 18 Bagir Manan. 2000. Teori dan Politik Konstitusi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendiidkan Nasional., hlm. 231 19 M. Arsyad Mawardi. 2008. Pengawasan dan Keseimbangan Antara DPR dan Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum Vol. 15, No. 1 Januari 2008., hlm. 69 20 Miriam Budiardjo menyatakan bahwa mekanisme check and balances adalah suatu sistem dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi satu sama lain 16


Hal ini akan berkaitan dengan konteks menjaga kepercayaan publik terhadap DPR. Perlu diingat bahwa RKUHP adalah salah satu RUU yang turut mendapat kritik tajam dari banyak kalangan. Bahkan pada 24 September 2019, dilakukan aksi besar-besaran dari masyarakat yang salah satu tuntutanya adalah penolakan pasal-pasal ngawur dalam RKUHP. Sebagaimana kita sadari, bahwa kepercayaan publik merupakan suatu keniscayaan yang harus dijaga oleh lembaga-lembaga negara. Chanley mengatakan bahwa tanpa adanya kepercayaan rakyat, institusi negara tidak dapat berfungsi. Lebih jauh dari itu, Hetherington mengatakan bahwa kepercayaan politik yang menghubungkan rakyat dan institusi yang mewakili mereka, meningkatkan legitimasi dan keefektifan dari pemerintah yang demokratis.21 Bilamana DPR tidak bisa mengatur tingkat kefokusannya ini dengan tetap bersikeras membahas pasal bermasalah dalam RKUHP—bahkan sampai mengesahkannya—tanpa melibatkan partisipasi publik. Maka, tak dapat dipungkiri bila legitimasi moril dari rakyat akan merosot tajam. Bagaimanapun juga, legitimasi pemerintahan bisa berada dalam posisi yang berbahaya bila sebagian besar rakyatnya tidak mempercayai pemerintahan tersebut dalam jangka waktu yang lama.22 Penutup Diskursus RKUHP telah menjadi isu sensitif bagi masyarakat sipil sejak awal masuknya draft RUU ini ke Baleg DPR. Di satu sisi, pembaharuan hukum dalam sistem hukum pidana kita memang menjadi suatu kewajiban dimana yang menjadi salah satu motifnya adalah untuk mendekolonialisasi sistem hukum Indonesia yang masih menggunakan hukum warisan pemerintah kolonial Belanda. Namun, dalam situasi pandemi seperti ini membuat DPR seharusnya jangan ‘salah fokus’ dengan mencoba mengesahkan salah satu isu sensitif tanpa adanya pegawasan secara langsung dari publik. Hal ini dimaksudkan agar DPR periode baru dapat menjaga kepercayaan publik sejak awal periode. Jangan sampai periode baru ini membuat DPR kehilangan legitimasi sejak awal, hal ini akan berpengaruh pada kinerja DPR selama menjalani masa jabatannya. M. Hetherington. 1998. The Political Relevance of Trust. American Political Science Review, 92(4)., hlm 791-808 22 R. Erber dan R Lau. 1990. Political Cynicism Revisited. American Journal of Political Science, 34(1)., hlm 263 21


DPR seharusnya fokus terhadap pengawasan penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah,

mengingat

pemerintah

banyak

sekali

membentuk

kebijakan-kebijakan

penanganan Covid yang tidak luput dari kritik publik, bukan cari celah mensahkan RUU bermasalah dalam kondisi seperti ini. Referensi Buku Anugerah Rizki Akbari., dkk. 2019. Membedah Konstruksi Buku I Rancangan KUHP. Jakarta: Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bagir Manan. 2000. Teori dan Politik Konstitusi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendiidkan Nasional Muladi. 2006. Beberapa Catatan Terhadap RKUHP. Jakarta: Elsam Tim ICJR. 2019. Tanggapan atas Keterangan Menkumham tentang RKUHP. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform Jurnal Irfan Nur Rachman. 2010. Penguatan Fungsi Pengawasan Legislatif terhadap Eksekutif Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 8, No. 2, April 2010 M. Arsyad Mawardi. 2008. Pengawasan dan Keseimbangan Antara DPR dan Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum Vol. 15, No. 1 Januari 2008 M. Hetherington. 1998. The Political Relevance of Trust. American Political Science Review, 92(4) R. Erber dan R Lau. 1990. Political Cynicism Revisited. American Journal of Political Science, 34(1) Media Daring CNN Indonesia. 2019. Pakar Pidana: RKUHP Bentuk Arogansi Politikus. diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918211445-12-431761/pakar-pidana-rkuhpbentuk-arogansi-politikus Pada 3 April 2020 Pukul 17.50 WIB CNN Indonesia. 2020. Komisi II DPR Target Sahkan RKUHP dalam Sepekan. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200402170100-32-489709/komisi-iii-dpr-targetsahkan-rkuhp-dalam-sepekan pada 04 April 2020 Dani Prabowo. 2020. ICJR: Masih Banyak Pasal Bermasalah dan Over-kriminalisasi dalam RKUHP. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/04/03/08471171/icjr-masih-


banyak-pasal-bermasalah-dan-over-kriminalisasi-dalam-rkuhp Pada 3 April 2020 Pukul 18.32 WIB. Haryanti Puspa Sari. 2020. RKUHP Dibahas di Masa Pandemi Covid-19, DPR dan Pemerintah Dinilai Tak Tunjukan Niat Baik Kompas. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/04/03/12213711/rkuhp-dibahas-di-masa-pandemicovid-19-dpr-dan-pemerintah-dinilai-tak Pada 3 April 2020 Pukul 17.33 WIB Muhammad Irfan. 2020. Di Tengah Pandemi Corona, Pemerintah dan DPR Dinilai Tak Punya Niat Baik Terhadap Rakyat. Diakses dari https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr01360473/di-tengah-pandemi-corona-pemerintah-dan-dpr-dinilai-tak-punya-niat-baikterhadap-rakyat Pada 4 April 2020 Pukul 20.15 WIB Pebriansyah Ariefana. 2020. Bahas RKUHP saat Corona, Jokowi dan DPR Tambah Rakyat Menderita. Diakses dari https://www.suara.com/news/2020/04/03/154028/bahas-rkuhp-saatcorona-jokowi-dan-dpr-tambah-rakyat-menderita Pada 3 April 2020 Pukul 19.40 WIB. Rini Kustiasih. 2020. Bahas RUU Bermasalah di Tengah Pandemi Covid-19, DPR Dinilai Tidak Peka. Diakses dari https://bebas.kompas.id/baca/bebas-akses/2020/04/03/dpr-tak-pekadengan-kondisi-rakyat/ Pada 3 April 2020 Pukul 19.29 WIB. Tsarina Maharani. 2020. Pusako: DPR dan Pemerintah Semestinya Tak Munculkan Polemik Pembahasan RUU Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/04/03/11563421/pusako-dpr-dan-pemerintahsemestinya-tak-munculkan-polemik-pembahasan-ruu Pada 4 April 2020 Pukul 20.25 WIB.


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com Membedah Definisi Omnibus Law Pendahuluan Pada 22 Januari 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah resmi mengesahkan Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 yang berisi 50 Rancangan UndangUndang (RUU). Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah adanya empat RUU yang bertajuk Omnibus Law, yaitu RUU Cipta Kerja, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara. Adanya RUU bertajuk omnibus law merupakan salah satu langkah progresif Pemerintah di bidang hukum. Hal ini disinyalir karena kegeraman Presiden Joko Widodo atas melempemnya progres Indonesia di bidang investasi. Berdasarkan laporan Ease of Doing Business 2019, Indonesia menempati peringkat 73 dari 190 negara.1 Pembentukan omnibus law—khususnya di bidang perekonomian—diharapkan mampu untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan bahwa salah satu tujuan dari adanya omnibus law ini adalah untuk menungkatkan peringkat Indonesia di Ease of Doing Business.2 Pemerintah melalui Airlangga Hartanto—Menko Perekonomian—telah resmi menyerahkan Surat Presiden dan draft omnibus law RUU Cipta Kerja ke Pimpinan DPR RI pada 12 Februari 2020. Menurut Puan Maharani—Ketua DPR—RUU ini terdiri dari 79 RUU, 15 bab, dan 174 pasal yang rencananya akan melibatkan tujuh komisi terkait untuk pembahasannya.3 Adanya omnibus law tidak lepas dari perhatian masyarakat, terutama banyaknya halhal bermasalah dimulai dari konsep, prosedur pembuatan, hingga subtansi dari pasal-pasal di dalamnya. Namun, sebelum lanjut lebih jauh membahas substansi dari draft omnibus law yang beredar di masyarakat, alangkah baiknya jika memahami terlebih dahulu konsep dan letak omnibus law dalam sistem hukum Indonesia itu sendiri.

Apa Sih Omnibus Law? 1

World Bank. 2019. Doing Business 2019, Training for Reform. Diakses dari https://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/Annual-Reports/English/DB2019report_web-version.pdf pada 21 Februari 2020 2 BBC Indonesia. 2019. Omnibus Law: Harapan Menarik Investasi dan Pembahasan yang ‘sentralistik’. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50837794 pada 21 Februari 2020 3 Haris Prabowo. 2020. Ganti Nama, Pemerintah Akhirnya Serahkan RUU Cipta Kerja ke DPR. Diakses dari https://tirto.id/ganti-nama-pemerintah-akhirnya-serahkan-ruu-cipta-kerja-ke-dpr-eyvupada pada 21 Februari 2020


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com Bryan A. Garner dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan bahwa omnibus merupakan “relating to or dealing with numerous object or item at once; including many thing or having various purposes”.4 Dimana jika dipadankan dengan kata law maka dapat didapatkan bahwa omnibus law merupakan hukum yang mengatur berbagai macam objek, item dan tujuan dalam satu instrumen hukum. The Duhaime Legal Dictionary mengatakan bahwa omnibus law merupakan “a draft law before a legislature which contains more than one substantive matter, or several minor matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of convenience”.5 Dalam hal ini, The Duhaime Legal Dictionary menyoroti bahwa omnibus law merupakan suatu rancangan undang-undang yang menyoroti lebih dari satu masalah substantif atau masalah-masalah kecil yang telah digabung dalam satu instrumen hukum. Menurut Barbara Sinclair, omnibus bill merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.6 Dalam hal ini, Barbara menitik fokuskan omnibus bill sebagai proses dalam membentuk aturan hukum yang kompleks. Fachri Bachmid menyatakan bahwa omnibus law merupakan suatu konsep produk hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik.7 Menurut Bivitri Susanti, ruang lingkup omnibus law lazim menyasar isuisu besar yang terdapat dalam suatu negara.8 Louis Massicotte menyatakan ada beberapa alasan mengapa para legislator menggunakan teknik omnibus law dalam membentuk suatu undang-undang. Pertama, hal ini dikarenakan terjadi negosiasi yang kompleks dari masing-masing orientasi legislator, selain itu teknik omnibus membuat pemerintah dapat memangkas waktu dan prosedur legislatif 4

Sarah Safira Aulianisa. 2019. Menakar Kompabilitas Transplantasi Omnibus Law dalam Konteks Peraturan Perundang-undangan dengan Sistem Hukum Indonesia. Paper dipresentasikan di Konferensi Ilmiah Hukum dan HAM 2019, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia 5 Louis Massicotte. 2013. Omnibus Bills in Theory and Practice. Canadian Parliamentary Review/ Spring 2013., hlm. 14 6 Barbara Sinclair. 2012. Unortodhox Lawmaking: New Legislative Processes in the U.S Congress. Los Angeles: Sage., hlm. 33 7 Agnes Fitryantica. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan., vol. 6, edisi 3, Oktober-November 2019., hlm. 303 8 Ibid.,


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com dalam membentuk suatu undang-undang. Kedua, praktik ini ditujukan untuk menggalang dukungan publik pada suatu undang-undang, sehingga menekan golongan oposisi untuk tunduk pada agenda pemerintah.9 Teknik omnibus bill kebanyakan dipergunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Sistem hukum common law merupakan sistem hukum yang berkembang di Inggris sejak abad 16 dan berkembang pesat hingga di luar negara Inggris seperti Kanada, Amerika, dan negara-negara bekas koloni Inggris.10 Menurut Louis Massicotte, omnibus law dimulai ketika Desember 1967 ketika Pierre Trudeau—Menteri Hukum Kanada—mengenalkan Criminal Law Amandement Bill yang mengatur berbagai macam isu seperti homoseksualitas, aborsi, kontrasepsi, kepemilikan senjata, kekerasan terhadap binatang, dll.11 Di Amerika, omnibus law sendiri dapat dilihat dari peraturan Transportation Equity Act for the 21st Century (TEA-21) yang merupakan undang-undang pengganti dari Intermodal Surface Transportation Efficiency Act (ISTEA). Selain itu dapat dilihat dari Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988 (OCTA) yang disusun dalam rangka memperbaiki defisit neraca perdagangan Amerika Serikat pada saat itu. UU ini mengatur secara luas revisi terhadap ketentuan perdaganganm penyesuaian bantuan, dorongan ekspor, harmonisasi tarif, kebijakan perdagangan internasional, investasi asing, dll.12 Di Australia, omibus law juga dapat terlihat dalam Civil Law and Justice Act 2015. UU ini mengubah peratuuran di dalam 16 UU yang memiliki materi muatan yang berbeda. Diantaranya adalah UU Bandung Administratif Tribunal 1975, UU Kebangkrutan 1966, UU Pengadilan Federal 1976, UU Arbitase Internasional 1974, dll.13 Menurut Firman Freaddy Busroh, ada beberapa tujuan terkait pembentukan omnibus law, antara lain (1) mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien; (2) menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; (3) pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien, dan efektif; (4) mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama; (5) meningkatnya hubungan koordinasi 9

Louis Massicotte., op.cit hlm. 15 Farihan Aulia dan Sholahuddin Al-Fatih. 2017. Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal Legality, vol. 25, No. 1, Maret 2017., hlm. 103 11 Louis Massicotte., loc.cit 12 Agnes Fitryantica., op.cit hlm. 304 13 Ibid., 10


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com antar instansi terkait karena telah diatur dlaam kebijakan omnibus yang terpadu; (6) adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.14 Namun, dalam putusan commonwealth vs Barnett yang dikeluarkan Commonwealth Court of Pennsylvania, terdapat komentar terhadap proses legislasi dalam putusan tersebut. Pengadilan bahkan menyebutkan omnibus bill sebagai crying evil karena mengaduk-adukan subjek yang tidak sesuai.15 Dimana Letak Omnibus Law dalam Sistem Hukum Indonesia? Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut dengan norma dasar atau grundnorm.16 Hans Nawiasky—murid Hans Kelsen—mengembangkan teori gurunya tentang jenjang noma dalam kaitannya dengan suatu negara. Ia berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum di suatu negara itu juga berkelompokkelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan verordnung & autonome satzung. 17 Teori ini turut menjadi dasar yang berlaku di negaranegara modern mengenai hierarki peraturan perundang-undangan.

14

Firman Freaddy Busroh. 2017. Konseptualitas Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum, Vol. 10, No. 2, Agustus 2017., hlm. 247 15 Louis Massicotte., loc.cit 16 Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius., Hlm. 41 17 Ibid,


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com

staatsfundamen talnorm

staatsgrundgesetz

formell gesetz

verordnung & Autonome satzung

Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah sebagai berikut 1. UUD Negara Republik Indonesia 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Dalam hal ini, konteks daripada teori yang dicanangkan Hans Nawiasky dapat tercermin dalam sistem hukum Indonesia. staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut ada dalam

butir-butir

Pancasila

yang

terkandung

dalam

pembukaan

UUD

1945,

staatsgrundgesetz yang tercermin dalam UUD 1945, formell gesetz yang tercermin dalam UU, verordnung & autonome satzung yang merupakan peraturan pelaksana dan peraturan otonom tercermin dalam hierarki PP kebawah. Dimanakah letak omnibus law ? Dalam hal ini, omnibus law yang dimaksud dalam sistem hukum Indonesia merupakan bentuk undang-undang yang mengatur berbagai macam objek dalam satu instrumen hukum. sehingga pada dasarnya, kedudukan dari omnibus law yang diperbincangkan adalah setara dengan undang-undang.


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com Pembentukan omnibus law memiliki mekanisme layaknya membentuk undang-undang seperti pada umumnya, yaitu meliputi tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan yang harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada dasarnya, bilamana berbicara mengenai peraturan perundang-undangan— sebagaimana dikatakan oleh Crabbe—maka tidak hanya berbicara mengenai pengaturannya, tetapi juga sampai ke pembentukannya yang harus sesuai dengan asas-asas yang berkaitan dengan materi muatannya.18 Maria Farida Indrati menyatakan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.19 Salah satu asas yang menjadi syarat dalam materi muatan perundang-undangan yang baik adalah asas pengayoman dan kemanusiaan, dimana asas ini memiliki definisi otentik yaitu bahwa setiap materi muatan perundang-undangan harus memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat dan harus mencerminkan

perlindungan dan

penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Adanya proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang sedemikian rupa merupakan bentuk perwujudan dari digunakannya konsep negara hukum kesejahteraan. Menurut Bagir Manan, konsep tersebut menempatkan negara atau pemerintah tidak hanya menjadi sekedar penjaga malam, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan umum bagi rakyatnya.20 Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi asas formal yang mencakup tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ atau lembaga yang tepat, materi muatan yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali. Juga harus meliputi asas material seperti sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum, sesuai dengan prinsip pemerintah berdasarkan konstitusi.21 Yang mana 18

VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited., hlm. 4 Maria Farida Indrati., op.cit hlm.252 20 Syauqi dan Habibullah. 2016. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio Informa Vol. 2, No. 01, Januari-April 2016., hlm. 20 21 Maria Farida Indrati., opcit hlm. 331 19


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com hal tersebut secara langsung ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Partisipasi masyarakat menjadi suatu hal yang wajib ada dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama untuk individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan atas substansi dari peraturan perundang-undangan. 22 Namun, Ombudsman menyoroti bahwa pembentukan omnibus law Cipta Kerja minim partisipasi publik.23 Secara konsep, pembentukan undang-undang haruslah aspiratif dan partisipatif yang dalam hal ini mengandung makna proses dan substansi. Proses dalam pembentukan undangundang haruslah transparan, sehingga aspirasi masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan masukan-masukan. Sementara substansi berkaitan dengan materi yang diatur harus ditujukan bagi kepentingan masyarakat sehingga menghasilan undang-undang yang demokratis, aspiratif, partisipatif, dan berkarakter responsif.24 Menurut Handoyo, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membuka ruang partisipasi masyarakat, yaitu25 1. Membuka akses informasi seluruh kmponen masyarakat tentang proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan 2. Merumuskan aturan main khususnya yang menyangkut transparansi penyusunan dan perumusan rancangan peraturan perundang-undangan 3. Merumuskan secara bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara

mengakomodi

aspirasi masyarakat dalam pembahasan peraturan perundang-undangan 4. Menyusun kode etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunannya terdiri dari unsur DPR, masyarakat, akademisi, dan media massa 5. Memperluas jaringan kerjasama di kalangan civil society yang selama ini sifatnya ad hoc. Jaringan tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada pembagian tugas dan tanggung jawab memantau proses perumusan kaidah hukum.

22

Vide pasal 96 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Gosanna Oktavia. 2020. Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka Kesempatan Pengaduan. Diakses dari https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-law-minim-partisipasi-publik-ombudsman-bukakesempatan-pengaduan pada 22 Februari 2020 24 Joko Riskiyono. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015., hlm. 160 25 Ibid., 23


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com Penutup Konsep omnibus law merupakan teknik yang lazim dipraktekan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Namun dalam hal ini, bukanlah suatu anomali apabila dipraktekan di negara yang bukan menganut sistem common law. Hal ini dikarenakan, hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman, apalagi dewasa ini sistem hukum telah mengalami konvergensi antara satu sama lain. Omnibus law sebagai instrumen hukum yang mengatur dan mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik haruslah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan omnibus law adalah terus dilakukannya transparansi dan dibukanya keran aspirasi yang besar bagi masyarakat. Hal ini ditujukan untuk membentuk karakter peraturan perundang-undangan yang demokratis, aspiratif, partisipatif, dan berkarakter responsif.


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com Referensi Buku Barbara Sinclair. 2012. Unortodhox Lawmaking: New Legislative Processes in the U.S Congress. Los Angeles: Sage Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited

Karya Tulis Agnes Fitryantica. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan., vol. 6, edisi 3, Oktober-November 2019 Farihan Aulia dan Sholahuddin Al-Fatih. 2017. Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal Legality, vol. 25, No. 1, Maret 2017 Firman Freaddy Busroh. 2017. Konseptualitas Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum, Vol. 10, No. 2, Agustus 2017 Joko Riskiyono. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015 Louis Massicotte. 2013. Omnibus Bills in Theory and Practice. Canadian Parliamentary Review/ Spring 2013 Sarah Safira Aulianisa. 2019. Menakar Kompabilitas Transplantasi Omnibus Law dalam Konteks Peraturan Perundang-undangan dengan Sistem Hukum Indonesia. Paper dipresentasikan di Konferensi Ilmiah Hukum dan HAM 2019, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Syauqi dan Habibullah. 2016. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio Informa Vol. 2, No. 01, Januari-April 2016

Laporan World Bank. 2019. Doing Business 2019, Training for Reform. Diakses dari https://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/AnnualReports/English/DB2019-report_web-version.pdf pada 21 Februari 2020


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS PADJADJARAN Sekretariat: Student Center Kav. 23 Kampus Unpad Jatinangor Website: kema.unpad.ac.id, E-mail: bemkemaunpad@gmail.com

Media Daring BBC Indonesia. 2019. Omnibus Law: Harapan Menarik Investasi dan Pembahasan yang ‘sentralistik’. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50837794 pada 21 Februari 2020 Gosanna Oktavia. 2020. Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka Kesempatan Pengaduan. Diakses dari https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-lawminim-partisipasi-publik-ombudsman-buka-kesempatan-pengaduan pada 22 Februari 2020 Haris Prabowo. 2020. Ganti Nama, Pemerintah Akhirnya Serahkan RUU Cipta Kerja ke DPR. Diakses dari https://tirto.id/ganti-nama-pemerintah-akhirnya-serahkan-ruu-ciptakerja-ke-dpr-eyvupada pada 21 Februari 2020



Pendahuluan Pada 22 Januari 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah resmi mengesahkan Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 yang berisi 50 Rancangan UndangUndang (RUU). Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah adanya empat RUU yang bertajuk Omnibus Law, yaitu RUU Cipta Kerja, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara. Adanya RUU bertajuk omnibus law merupakan salah satu langkah progresif Pemerintah di bidang hukum. Hal ini disinyalir karena kegeraman Presiden Joko Widodo atas melempemnya progres Indonesia di bidang investasi. Berdasarkan laporan Ease of Doing Business 2019, Indonesia menempati peringkat 73 dari 190 negara.1 Pembentukan omnibus law—khususnya di bidang perekonomian—diharapkan mampu untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan bahwa salah satu tujuan dari adanya omnibus law ini adalah untuk menungkatkan peringkat Indonesia di Ease of Doing Business.2 Pemerintah melalui Airlangga Hartanto—Menko Perekonomian—telah resmi menyerahkan Surat Presiden dan draft omnibus law RUU Cipta Kerja ke Pimpinan DPR RI pada 12 Februari 2020. Menurut Puan Maharani—Ketua DPR—RUU ini terdiri dari 79 RUU, 15 bab, dan 174 pasal yang rencananya akan melibatkan tujuh komisi terkait untuk pembahasannya.3 Adanya omnibus law tidak lepas dari perhatian masyarakat, terutama banyaknya halhal bermasalah dimulai dari konsep, prosedur pembuatan, hingga subtansi dari pasal-pasal di dalamnya. Dari sinilah BEM Kema Unpad 2020 mencoba memberikan beberapa catatan kritis terhadap RUU Cipta Kerja dalam tajuk omnibus law.

1

World Bank. 2019. Doing Business 2019, Training for Reform. Diakses dari https://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/Annual-Reports/English/DB2019report_web-version.pdf pada 21 Februari 2020 2 BBC Indonesia. 2019. Omnibus Law: Harapan Menarik Investasi dan Pembahasan yang ‘sentralistik’. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50837794 pada 21 Februari 2020 3 Haris Prabowo. 2020. Ganti Nama, Pemerintah Akhirnya Serahkan RUU Cipta Kerja ke DPR. Diakses dari https://tirto.id/ganti-nama-pemerintah-akhirnya-serahkan-ruu-cipta-kerja-ke-dpr-eyvupada pada 21 Februari 2020


Konsep Omnibus Law Bryan A. Garner dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan bahwa omnibus merupakan “relating to or dealing with numerous object or item at once; including many thing or having various purposes”.4 Dimana jika dipadankan dengan kata law maka dapat didapatkan bahwa omnibus law merupakan hukum yang mengatur berbagai macam objek, item dan tujuan dalam satu instrumen hukum. The Duhaime Legal Dictionary mengatakan bahwa omnibus law merupakan “a draft law before a legislature which contains more than one substantive matter, or several minor matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of convenience”.5 Dalam hal ini, The Duhaime Legal Dictionary menyoroti bahwa omnibus law merupakan suatu rancangan undang-undang yang menyoroti lebih dari satu masalah substantif atau masalah-masalah kecil yang telah digabung dalam satu instrumen hukum. Menurut Barbara Sinclair, omnibus bill merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.6 Dalam hal ini, Barbara menitik fokuskan omnibus bill sebagai proses dalam membentuk aturan hukum yang kompleks. Fachri Bachmid menyatakan bahwa omnibus law merupakan suatu konsep produk hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik.7 Menurut Bivitri Susanti, ruang lingkup omnibus law lazim menyasar isuisu besar yang terdapat dalam suatu negara.8 Louis Massicotte menyatakan ada beberapa alasan mengapa para legislator menggunakan teknik omnibus law dalam membentuk suatu undang-undang. Pertama, hal ini 4

Sarah Safira Aulianisa. 2019. Menakar Kompabilitas Transplantasi Omnibus Law dalam Konteks Peraturan Perundang-undangan dengan Sistem Hukum Indonesia. Paper dipresentasikan di Konferensi Ilmiah Hukum dan HAM 2019, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia 5 Louis Massicotte. 2013. Omnibus Bills in Theory and Practice. Canadian Parliamentary Review/ Spring 2013., hlm. 14 6 Barbara Sinclair. 2012. Unortodhox Lawmaking: New Legislative Processes in the U.S Congress. Los Angeles: Sage., hlm. 33 7 Agnes Fitryantica. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan., vol. 6, edisi 3, Oktober-November 2019., hlm. 303 8 Ibid.,


dikarenakan terjadi negosiasi yang kompleks dari masing-masing orientasi legislator, selain itu teknik omnibus membuat pemerintah dapat memangkas waktu dan prosedur legislatif dalam membentuk suatu undang-undang. Kedua, praktik ini ditujukan untuk menggalang dukungan publik pada suatu undang-undang, sehingga menekan golongan oposisi untuk tunduk pada agenda pemerintah.9 Teknik omnibus bill kebanyakan dipergunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Sistem hukum common law merupakan sistem hukum yang berkembang di Inggris sejak abad 16 dan berkembang pesat hingga di luar negara Inggris seperti Kanada, Amerika, dan negara-negara bekas koloni Inggris.10 Menurut Louis Massicotte, omnibus law dimulai ketika Desember 1967 ketika Pierre Trudeau—Menteri Hukum Kanada—mengenalkan Criminal Law Amandement Bill yang mengatur berbagai macam isu seperti homoseksualitas, aborsi, kontrasepsi, kepemilikan senjata, kekerasan terhadap binatang, dll.11 Di Amerika, omnibus law sendiri dapat dilihat dari peraturan Transportation Equity Act for the 21st Century (TEA-21) yang merupakan undang-undang pengganti dari Intermodal Surface Transportation Efficiency Act (ISTEA). Selain itu dapat dilihat dari Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988 (OCTA) yang disusun dalam rangka memperbaiki defisit neraca perdagangan Amerika Serikat pada saat itu. UU ini mengatur secara luas revisi terhadap ketentuan perdaganganm penyesuaian bantuan, dorongan ekspor, harmonisasi tarif, kebijakan perdagangan internasional, investasi asing, dll.12 Di Australia, omibus law juga dapat terlihat dalam Civil Law and Justice Act 2015. UU ini mengubah peratuuran di dalam 16 UU yang memiliki materi muatan yang berbeda. Diantaranya adalah UU Bandung Administratif Tribunal 1975, UU Kebangkrutan 1966, UU Pengadilan Federal 1976, UU Arbitase Internasional 1974, dll.13 Menurut Firman Freaddy Busroh, ada beberapa tujuan terkait pembentukan omnibus law, antara lain (1) mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif,

9

Louis Massicotte., op.cit hlm. 15 Farihan Aulia dan Sholahuddin Al-Fatih. 2017. Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal Legality, vol. 25, No. 1, Maret 2017., hlm. 103 11 Louis Massicotte., loc.cit 12 Agnes Fitryantica., op.cit hlm. 304 13 Ibid., 10


dan efisien; (2) menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; (3) pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien, dan efektif; (4) mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama; (5) meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dlaam kebijakan omnibus yang terpadu; (6) adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.14 Namun, dalam putusan commonwealth vs Barnett yang dikeluarkan Commonwealth Court of Pennsylvania, terdapat komentar terhadap proses legislasi dalam putusan tersebut. Pengadilan bahkan menyebutkan omnibus bill sebagai crying evil karena mengaduk-adukan subjek yang tidak sesuai.15 Dimana Letak Omnibus Law dalam Sistem Hukum Indonesia? Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut dengan norma dasar atau grundnorm.16 Hans Nawiasky—murid Hans Kelsen—mengembangkan teori gurunya tentang jenjang noma dalam kaitannya dengan suatu negara. Ia berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum di suatu negara itu juga berkelompokkelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan verordnung & autonome satzung.17 Teori ini turut menjadi dasar yang berlaku di negaranegara modern mengenai hierarki peraturan perundang-undangan.

14

Firman Freaddy Busroh. 2017. Konseptualitas Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum, Vol. 10, No. 2, Agustus 2017., hlm. 247 15 Louis Massicotte., loc.cit 16 Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius., Hlm. 41 17 Ibid,


staatsfundamen talnorm

staatsgrundgesetz

formell gesetz

verordnung & Autonome satzung

Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah sebagai berikut 1. UUD Negara Republik Indonesia 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Dalam hal ini, konteks daripada teori yang dicanangkan Hans Nawiasky dapat tercermin dalam sistem hukum Indonesia. staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut ada dalam

butir-butir

Pancasila

yang

terkandung

dalam

pembukaan

UUD

1945,

staatsgrundgesetz yang tercermin dalam UUD 1945, formell gesetz yang tercermin dalam UU, verordnung & autonome satzung yang merupakan peraturan pelaksana dan peraturan otonom tercermin dalam hierarki PP kebawah. Dimanakah letak omnibus law ? Dalam hal ini, omnibus law yang dimaksud dalam sistem hukum Indonesia merupakan bentuk undang-undang yang mengatur berbagai macam objek dalam satu instrumen hukum. sehingga terdapat penyebaran wacana terkait omnibus


law yang disamakan dengan UU Payung, yaitu UU yang menjadi induk dari UU lain yang masih satu sektor. Namun, apabila omnibus law dinarasikan sebagai UU Payung, maka omnibus law tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karenanya omnibus law dalam konteks Indonesia dinarasikan sebagai undang-undang Konsep Negara Hukum dan Pentingnya Partisipasi Masyarakat Pada dasarnya, bilamana berbicara mengenai peraturan perundang-undangan— sebagaimana dikatakan oleh Crabbe—maka tidak hanya berbicara mengenai pengaturannya, tetapi juga sampai ke pembentukannya yang harus sesuai dengan asas-asas yang berkaitan dengan materi muatannya.18 Maria Farida Indrati menyatakan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.19 Adanya proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang sedemikian rupa merupakan bentuk perwujudan dari digunakannya konsep negara hukum kesejahteraan. Menurut Bagir Manan, konsep tersebut menempatkan negara atau pemerintah tidak hanya menjadi sekedar penjaga malam, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan umum bagi rakyatnya.20 Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi asas formal yang mencakup tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ atau lembaga yang tepat, materi muatan yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali. Juga harus meliputi asas material seperti sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum, sesuai dengan prinsip pemerintah berdasarkan konstitusi.21 Sebagaimana dikatakan oleh A. Hamid S. Attamimi, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik secara material haruslah sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam hal ini, konsep negara hukum dapat pula dipahami sebagai filsafat teori politik yang menetukan 18

VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited., hlm. 4 Maria Farida Indrati., op.cit hlm.252 20 Syauqi dan Habibullah. 2016. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio Informa Vol. 2, No. 01, Januari-April 2016., hlm. 20 21 Maria Farida Indrati., opcit hlm. 331 19


sejumlah persyaratan mendasar terhadap hukum, ataupun sebagai sarana prosedural (prosedural device) yang diperlukan oleh mereka yang memerintah berdasarkan hukum.22 Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang ia sebut dengan istilah rechtsstaat mencakup empat elemen penting yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara.23 Merujuk pada apa yang dikatakan Stahl, bahwa pemerintah dalam negara yang menganut kedaulatan hukum harus bertindak berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan hukum tertulis yang mengatur bagaimana cara membentuk suatu undang-undang yaitu UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam omnibus law cipta kerja versi pemerintah, teknik omnibus justru dibuat untuk merubah yang terdiri atas pencabutan, penggantian atau menambah materi berbagai macam ketentuan dalam berbagai UU dalam satu instrumen hukum, bukan membuat suatu undangundang baru. Dalam hal ini, perubahan suatu undang-undang tentu bukanlah suatu hal yang inkonstitusional. Namun, ketika berbicara konteks pembentukan undang-undang, maka harus mengacu pada materi muatan yang telah ditentukan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu (1) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945; (2) perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang; (3) pengesahan perjanjian internasional; (4) tindak lanjut putusan MK dan; (5) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Jelas, bilamana omnibus law yang dibentuk pemerintah didasarkan pada perintah sesuatu undang-undang maka pertanyaannya undang-undang mana yang memberikan amanat perubahan UU harus dilakukan menggunakan teknik omnibus? Secara historis, bentuk undang-undang di Indonesia menganut single subject clause rule. Daniel N. Boger dalam tulisannya menyatakan bahwa single subject clause rule melarang suatu undang-undang mengandung berbagai macam subjek.24 Jelas mencampuradukan berbagai macam subjek dalam satu undang-undang menimbulkan pertanyaan sendiri dimana landasan yang mengatur penggunaan teknik omnibus dalam membentuk undang-undang di Indonesia. 22

Hilaire Barnett.2002. Constitutional and Administrative Law. London: Cavendish Publishing Ltd., hlm.9 Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika., hlm. 125 24 Daniel N. Boger. 2017. Constitutional Avoidance: The Single Sunject Rule As An Interpretive Principle. Virginia Law Review Vol. 103: 1247., hlm. 1249 23


Bilamana argumen yang dipakai menggunakan logika pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat, maka hal yang wajib dipenuhi adalah adanya Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama untuk individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan atas substansi dari peraturan perundang-undangan.25 Namun, Ombudsman menyoroti bahwa pembentukan omnibus law Cipta Kerja minim partisipasi publik.26 Hal ini tentu menjadi catatan aneh ketika omnibus law cipta kerja malah minim partisipasi masyarakat. Pembentukan undang-undang haruslah aspiratif dan partisipatif yang dalam hal ini mengandung makna proses dan substansi. Proses dalam pembentukan undang-undang haruslah transparan, sehingga aspirasi masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan masukan-masukan. Sementara substansi berkaitan dengan materi yang diatur harus ditujukan bagi kepentingan masyarakat sehingga menghasilan undang-undang yang demokratis, aspiratif, partisipatif, dan berkarakter responsif.27 Dalam hal ini, proses pembentukan omnibus law cipta kerja harus melibatkan partisipasi publik secara masif. Menurut Handoyo, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membuka ruang partisipasi masyarakat, yaitu28 1. Membuka akses informasi seluruh komponen masyarakat tentang proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan 2. Merumuskan aturan main khususnya yang menyangkut transparansi penyusunan dan perumusan rancangan peraturan perundang-undangan 3. Merumuskan secara bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara

mengakomodi

aspirasi masyarakat dalam pembahasan peraturan perundang-undangan 4. Menyusun kode etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunannya terdiri dari unsur DPR, masyarakat, akademisi, dan media massa

25

Vide pasal 96 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Gosanna Oktavia. 2020. Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka Kesempatan Pengaduan. Diakses dari https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-law-minim-partisipasi-publik-ombudsman-bukakesempatan-pengaduan pada 22 Februari 2020 27 Ibid., 28 Joko Riskiyono. 2015. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015., hlm. 160 26


5. Memperluas jaringan kerjasama di kalangan civil society yang selama ini sifatnya ad hoc. Jaringan tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada pembagian tugas dan tanggung jawab memantau proses perumusan kaidah hukum. Dengan kata lain, menurut Nonet dan Selznick, pentingnya peran masyarakat dalam pembentukan produk hukum harus terlihat pada proses pementukannya yang partisipatif dengan mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu maupun kelompok masyarakat. Selain itu harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan masyarakat bukan hanya kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.29 Itulah substansi dari pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat yang ideal dengan mengedepankan proses deliberatif sebagai kunci agar hukum dapat diterima masyarakat. Pada akhirnya, pembentukan omnibus law sendiri harus mengikuti mekanisme layaknya membentuk undang-undang seperti pada umumnya, yaitu meliputi tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan yang harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dalam hal ini tentu pemerintah alangkah lebih baiknya jika memfokuskan dulu melegalkan bentuk omnibus law dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini didasari agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam menentukan langkah progresif di bidang hukum, mengingat segala bentuk tindakan pemerintah harus didasari oleh undang-undang, bukan hanya pidato semata. Politik Hukum yang Rawan Kepentingan Geliat membentuk omnibus law telah ditunjukan Presiden Joko Widodo sejak mengikuti kontestasi elektoral. Dalam Debat Presiden dan Wakil Presiden ke-5, presiden menyinggung kegeramannya atas pencapaian investasi Indonesia yang kalah dengan negaranegara tentangga di Asia Tenggara. Pada saat pelantikan, presiden mendeklarasikan akan membentuk omnibus law yang ditujukan untuk memangkas regulasi yang dirasanya terlalu berbelit. Hal ini ditujuk meningkatkan tingkat investasi di Indonesia, sebagaimana sesuai dengan laporan ease of

29

Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang yang Responsif. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015., hlm. 331


doing business, dimana perizinan yang berbelit membuat peringkat Indonesia mangkrak dibawah negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Dari sini, kita dapat melihat secara tesirat adanya tujuan pembentukan omnibus law adalah untuk meningkatkan tingkat investasi Indonesia, yang dalam hal ini akan dikupas secara lebih dalam segmen geliat investasi Indonesia. Dalam hal ini, Tengku Muhammad Radi mendefinisikan tujuan pembentukan hukum atau yang lazim disebut sebagai politik hukum adalah pernyataan kehendak dari penguasa mengenai tujuan tertentu yang ingin dicapai lewat hukum.30 Dari sini, satu hal yang hendak disoroti adalah adanya penyamarataan politik hukum dalam RUU Cipta Kerja. Dalam kenyataannya, RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang sebagai terobosan baru dalam bidang hukum di Indonesia terdiri dari 11 klaster, 15 bab dan 174 pasal yang menyosor sekitar 79 UU yang hendak diubah. Dalam konteks ini kita telah berbicara bahwa wujud omnibus law berbentuk multi subject clause yang mengatur berbagai macam sektor, ambil contoh UU Ketenagakerjaan, UU Pendidikan Tinggi, UU Kehutanan, UU Guru dan Dosen, UU Varietas Tanaman, UU Pendidikan Dokter yang pasti dalam proses pembentukannya memiliki politik hukum yang berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, politik hukum investasi akan memengaruhi jalan logika dari UU-UU yang akan diubah dalam RUU Cipta Kerja sehingga dapat memenuhi kehendak pemerintah dalam meningkatkan tingkat investasi Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah penyamarataan tersebut malah justru bagus bila diterapkan hanya untuk memuaskan kepentingan politik demi memuluskan investasi? Secara pragmatis, interaksi hukum dan politik berada dalam derajat determinasi yang seimbang antara satu sama lain. Karenanya, hal ini tidak menafikan bahwa hukum adalah produk politik, namun kehidupan politik juga harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Konfigurasi politik akan memengaruhi karakter dari produk hukum dan hukum harus menjadi guideline, agar konfigurasi politik yang dilakukan oleh para elite tidak menyimpang dari tujuan bernegara.31 Oleh karenanya, dibutuhkan adanya politik hukum dalam pembangunan hukum di Indonesia. Hal ini didasari agar hukum terus menjadi wahana yang responsif terhadap 30

Moh. Mahfud M.D. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: LP3ES., hlm. 10 Merdi Hajiji. 2013. Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Rechtsvinding Vol. 2, No. 3, Desember 2013., hlm. 369 31


kebutuhan masyarakat.Politik hukum sendiri berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan dan menunjukan sifat dan arah kemana hukum akan dibangun dan ditegakan. Secara praktik, terdapat banyak kritik terhadap RUU Cipta Kerja, yaitu dapat mengkambing hitamkan hak masyarakat dan dianggap terlalu memihak kalangan elite. Sejumlah praktisi dan masyarakat pun menilai, lahirnya RUU Cipta kerja lebih memihak pada pengusaha daripada buruh. Faisal Basri mengatakan bahwa omnibus law bisa menjadi bias yang menguntungkan dunia usaha, karena komposisi tim penyusun yang mayoritas diisi oleh kalangan pengusaha.32 Pada akhirnya, berbicara tentang politik hukum yang sederhananya diartikan sebagai tujuan dibentuknya suatu hukum. Kita tidak dapat menjauhkan hubungan politik dan hukum. di satu sisi, keduanya bagai tulang dan daging yang sulit terpisah satu sama lain. Hukum merupakan produk politik sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum. Namun, hukum tidak boleh dibentuk tanpa adanya suatu politik hukum yang berorientasi kebutuhan rakyat. maka pembentukan politik hukum yang menyerap aspirasi dan kebutuhan rakyat secara riil dibutuhkan dalam hal merumuskan tujuan pembentukan omnibus law melalui cara-cara yang telah disebutkan di segmen sebelumnya dalam melibatkan partisipasi masyarakat. Salah Kaprah Asas Lex Supreriori Derogat Legi Inferiori Salah satu problematika lainnya ialah kerancuan yang terdapat pada Pasal 170 yang menyatakan bahwa Undang-undang dapat diubah ketentuannya melalui Peraturan Pemerintah. Sebelum meninjau polemik ini, mari kita lihat terlebih dahulu ketentuan Perundang-undangan mengenai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut : Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis dan berisikan norma hukum yang bersifat mengikat untuk umum baik yang ditetapkan oleh badan legislator maupun oleh regulator atau lembaga pelaksana Undang-undang untuk menetapkan peraturanperaturan tertentu menurut Peraturan yang berlaku. Produk legislatif dalam hal ini merupakan peraturan yang berbentuk Undang-undang dan dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pembahasannya dilakukan bersama dengan Presiden/ pemerintah untuk mendapatkan persetujuan bersama yang setelah mendapatkan persetujuan bersama akan 32

Efrem Siregar. 2020. Faisal Basri Kritik Omnibus Law Jokowi, Apa Alasannya?. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20191218211906-4-124277/faisal-basri-kritik-omnibus-law-jokowiapa-alasannya pada 19 Maret 2020


disahkan oleh Presiden dan kemudian diundangkan sebagaimana mestinya atas perintah dari Presiden. Bagi undang-undang tertentu pembahasan bersama dilakukan dengan melibatkan peran dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Disamping peraturan yang berbentuk Undangundang ada pula peraturan yang disusun dan ditetapkan oleh lembaga eksekutif pelaksana Undang-undang dimana lembaga eksekutif pelaksana diberi kewenangan regulasi oleh Undang-undang dalam rangka menjalankan Undang-undang terkait. Selain itu, pemerintah karena fungsinya juga diberi kewenangan untuk menetapkan suatu peraturan yang regulasinya ditentukan oleh lembaga regulasi tertentu pula. Menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat jenis dan hierarki yang terdiri atas : a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian, mari kita lihat pengertian dan isi dari masing-masing peraturan khususnya mengenai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut : a. Undang-undang. Produk Undang-undang merupakan bentuk hukum yang paling tinggi statusnya setelah Undang-undang Dasar. Jika kita komparasikan dengan sistem hukum di Belanda Undang-undang dapat disepadankan dengan wet yang memiliki kedudukan tertinggi dibawah grondwet, atau seperti di Amerika Serikat dengan Act (Legislative Act) dan berada dibawah Constitution sebagai produk hukum, Undangundang baru mengikat untuk umum sebagai algemene verbidende vioorschiften atau peraturan yang mengikat untuk umum yaitu ketika diundangkan. Bentuk administrasi pengundangan Undang-undang dilakukan dengan cara menerbitkan naskah Undang-undang dimaksud melalui Lembaran Negara Republik Indonesia (LN-RI). Sementara itu, untuk naskah penjelasannya dalam Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia (TLN-RI).33 Sederhananya, Undang-undang merupakan hanya salah satu bentuk peraturan yang dibentuk oleh DPR, dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, dan disahkan oleh Presiden dan diundangkan sebagaimana mestinya atas perintah Presiden sehingga menjadi norma hukum yang mengikat untuk umum. Dengan begitu, Undang-undang berbeda dengan pengertian Peraturan Perundang-undangan pada umumnya. Peraturan Perundang-undangan itu adalah segala bentuk peraturan negara dari jenis yang tertinggi di bawah Undangundang dasar hingga yang terendah, yang dihasilkan dan ditetapkan secara atributif dari peraturan yang lebih tinggi atau secara delegasi dari pemegang kekuasaan pembentuk Undang-undang (Legislative Power, Wet gevende macht, atau gesetzgebende gewalt). Maka artinya Undang-undang Dasar tidak terklasifikasikan ke dalam pengertian Peraturan Perundang-undangan. b. Peraturan Pemerintah Menurut ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya karena Peraturan Pemerintah diadakan untuk melaksakan Undang-undang tidak mungkin bagi Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada Undang-undangnya. Dengan demikian, Undang-undang selalu mendahului Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Pemerintah dapat dibentuk hanya atas dasar perintah Undang-undang dengan kata lain Peraturan Pemerintah merupakan bentuk pendelegasi legislasi yaitu kewenangan yang didelegasikan oleh Principal Legislator (Pembentuk Undang-undang) kepada Presiden sebagai kepala pemerintah yang akan melaksanakan (Executive) Undang-undang yang bersangkutan. Jika dikuatirkan terjadi penyimpangan dalam Peraturan Pemerintah maka terdapat mekanisme untuk mengujinya ke Mahkamah Agung. Pasal 24 A Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menentukan, “Mahkamah Agung berwenang‌ menguji mengatur peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-undang,...â€?34. Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-undang yang bersangkutan. Jika, sekiranya tidak 33

Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press., hlm. 166. Komparasikan Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1984 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 34


diperintahkan secara eksplisit pun oleh Undang-undang, Peraturan Pemerintah tetap dapat dikeluarkan oleh Pemerintah sepanjang materinya tidak bertentangan dengan Undang-undang, dan hal tersebut memang diperlukan sesuai dengan kebutuhan yang timbul dalam praktik untuk maksud “… menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya…”. Perihal kerancuan Pasal dalam RUU Ciptaker mulai meluap sebab dalam bunyi Pasalnya terkandung kata yang seakan menyalahi ketentuan dalam hierarki Konstitusi, yakni Pasal 170 Ayat (2) “Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Berdasarkan persfektif Hukum, pernyataan dalam Pasal 170 merupakan bentuk penyimpangan yang menyalahi aturan Konstitusi Republik Indonesia, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yakni Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. Pasal 20 Ayat (1) menunjukkan adanya norma yang menginstruksikan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat-lah yang memiliki peran kekuasaan legislatif untuk dapat membentuk Undang-undang. Pernyataan pada Pasal 170 RUU Ciptaker memproyeksikan adanya pengambil alihan wewenang DPR oleh Presiden (Pemerintah Pusat) dengan jalan mengubah Undang-undang melalui Peraturan Pemerintah (PP). Pengambil alihan dalam Pasal tersebut menjadi catatan bahwa Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak boleh menyalahi ketentuan yang diatur dalam UUD yang menabrak muatan-muatan Konstitusi. Kerancuan Pasal 170 membuka potensi pemerintah yang otoriter sebab rusaknya konstitusi akan mendobrak sistem ketatanegaraan yang akan bersifat Sentralistik. Sedangkan, jika kita lihat perubahan pasca Reformasi, melalui amandemen UUD 1945 kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif dititikberatkan sebagai lembaga yang berwenang dalam pembentukan Undang-undang. Kemudian, disamping menyimpangi Pasal 20 Ayat (1) di atas, pada Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Menurut Muhammad Nur Solikhin, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan terdapat dua kedudukan dari Peraturan Pemerintah (PP) ; a. Secara hierarki, kedudukan Peraturan Pemerintah berada dibawah Undang-undang sebab Undang-undanglah yang menentukan kebutuhan dalam pembentukannya;


b. karena dari posisinya sudah tidak sejajar maka materi muatan norma dalam Peraturan Pemerintah dan Undang-undang pun berbeda, PP memiliki materi muatan yang jauh bersifat teknis dibanding dengan Undang-undang. Selain berfokus pada substansi wewenang DPR yang seakan dikebiri, terdapat pihak lain yang perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan amanat kepada Kementerian Hukum dan Ham dengan memberikan tugas berupa mengharmonisasi. Pembulatan, dan pemantapan Rancangan Undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah. Merujuk pada Pasal 51 Ayat (4) penyelarasan RUU diselaraskan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Undang-undang lain serta hal teknis lainnya. Dengan adanya kerancuan pada Pasal 170 yang menyalahi ketentuan UUD 1945, maka terdapat suatu indikasi bahwa terdapat kelalaian dalam proses penyelarasan yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Kejadian demikian juga sekaligus menyiratkan pertanyaan atas apakah Rancangan Undang-undang Cipta Kerja dilakukan tanpa melalui proses penyelarasan terlebih dahulu atau tidak, tanggapan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengakatakan bahwa materi yang termuat dalam Undang-undang tidak bisa diganti atau diubah melalui Peraturan Pemerintah, pun jika akan dilakukan penggantian Undang-undang salah satu caranya adalah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Kesalahan yang terdapat dalam RUU Ciptaker menurut Mahfud MD35 dan Menteri Hukum dan Ham Yasona Laoly36 bisa saja merupakan kekeliruan karena salah ketik. Akan tetapi sepatutnya pemerintah teliti sebelum mengeluarkan suatu regulasi, sebab ketidak telitian dalam pembentukan sebuah Rancangan Undang-undang bisa merugikan kepentingan publik dan menyebabkan timbulnya korban-korban kebijakan di masa depan. Disamping menbrak sistem hukum, RUU Ciptakerja seakan memberi kesan untuk dapat menghalalkan segala cara dalam menumbuhkan investasi di Indonesia 35

Chandra Gian Asmara. 2020. Mahfud MD Tegaskan Pasal 170 RUU Cipta Salah Ketik!. Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218134358-4-138675/mahfud-md-tegaskan-pasal-170-ruucipta-kerja-salah-ketik Pada 7 Maret 2020 36 Muhammad Genantan Saputra. 2020 . Menkumham Sebut Ada Salah Ketik di RUU Omnibus Law. Diakses di https://www.liputan6.com/news/read/4181369/menkumham-sebut-ada-salah-ketik-di-ruu-omnibus-law Pada 7 Maret 2020


dan menjadikan hukum sebagai alat dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Joko Widodo dalam keterangannya membantah tuduhan dalam polemik Pasal 170. Menurutnya pemerintah telah bersikap terbuka dan tidak mengeliminasi peran dari DPR sebab hingga saat ini RUU Omnibus Law masih dalam pembahasan hingga lima bulan ke depan dan mengharapkan adanya masukan-masukan dari masyarakat.37

Banyaknya Delegated Regulation Sejak debat calon presiden dan wakil presiden kelima, Presiden Joko Widodo terus menggarisbawahi bahwa permasalahan terkait lesunya tingkat investasi di Indonesia dikarenakan terlalu banyak peraturan yang mengekang cara berinvestasi. Banyaknya peraturan tersebut juga tidak dibarengi dengan upaya untuk menyelaraskan peraturan antara satu sama lain, sehingga menyebabkan terjadinya tumpang tindih peraturan yang telah dibuat. Omnibus law ditujukan sebagai kartu as Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan permasalahan tumpang tindih aturan, sehingga diharapkan pembentukan suatu undangundang yang menggunakan teknik omnibus akan mengurangi jumlah peraturan terkait investasi. Bukannya malah mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan, justru terdapat fenomena dalam Draft RUU Cipta Kerja sebagai omnibus law pemerintahan Jokowi yang menimbulkan tanya mengenai semangat untuk mengurangi jumlah peraturan perundangundangan di Indonesia, fenomena tersebut adalah fenomena banyaknya pendelegasian peraturan dari RUU Cipta Kerja ke Peraturan Pemerintah. Bilamana mencermati Draft RUU Cipta Kerja yang dibuat pemerintah, terdapat 465 amanat dari RUU Cipta Kerja untuk membentuk peraturan pemerintah yang akan menjabarkan ketentuan lebih lanjut mengenai substansi RUU Cipta Kerja. Dengan adanya amanat ini, tentu akan menambah jumlah peraturan perundang-undangan di tingkat peraturan pemerintah. Dalam artikel yang ditulis oleh Wicipto Setiadi, jumlah peraturan perundangundangan di Indonesia adalah 40.903, dengan rincian (1) Undang Undang Dasar sebanyak 10; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebanyak 5; (3) Undang-Undang

37

Restu Diantina Putri,. 2020. Cara Anak Buah Jokowi Lepas Tangan soal Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Diakses di https://tirto.id/cara-anak-buah-jokowi-lepas-tangan-soal-pasal-170-ruu-cipta-kerja-eAqZ pada 8 Maret 2020


sebanyak 1902; (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebanyak 172; (5) Peraturan Pemerintah sebanyak 4836; (6) Peraturan Presiden sebanyak 1882; (7) Peraturan Menteri sebanyak 12.829 ; (8) Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementrian sebanyak 3625; (9) Peraturan Daerah sebanyak 15.205.38 Wicipto juga menyebutkan bahwa jumlah peraturan ini masih belum pasti, dikarenakan perbedaan jumlah peraturan yang disimpan di masing-masing database milik pemerintah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peraturan atau regulasi diperlukan sebagai dasar dalam melaksanakan tugas atau fungsi daripada pemerintahan. Hans Nawiasky—murid Hans Kelsen—mengembangkan teori gurunya tentang jenjang noma dalam kaitannya dengan suatu negara. Ia berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum di suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum

dalam

suatu

negara

itu

terdiri

atas

empat

kelompok

besar

yaitu

staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan verordnung & autonome satzung.39 Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah sebagai berikut a. UUD Negara Republik Indonesia 1945 b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah e. Peraturan Presiden f. Peraturan Daerah Provinsi g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Dalam hal ini, konteks daripada teori yang dicanangkan Hans Nawiasky dapat tercermin dalam sistem hukum Indonesia. staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut ada dalam

38

butir-butir

Pancasila

yang

terkandung

dalam

pembukaan

UUD

1945,

Wicipto Setiadi. 2018. Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha. Jurnal Rechtsvinding Vol. 7, No. 3, Desember 2018., hlm. 322 39 Maria Farida Indrati. Op.cit Hlm. 46


staatsgrundgesetz yang tercermin dalam UUD 1945, formell gesetz yang tercermin dalam UU, verordnung & autonome satzung yang merupakan peraturan pelaksana dan peraturan otonom tercermin dalam hierarki Peraturan Pemerintah kebawah. Peraturan pemerintah adalah suatu instrumen yang dikeluarkan pemerintah dan ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang, dengan kata lain Peraturan Pemerintah merupakan verordnung atau peraturan pelaksana. Peraturan Pemerintah merupakan bentuk pendelegasi legislasi yaitu kewenangan yang didelegasikan oleh Principal Legislator (Pembentuk Undang-undang) kepada Presiden sebagai kepala pemerintah yang akan melaksanakan (Executive) Undang-undang yang bersangkutan. Dalam hal ini, delegasi kewenangan

dalam

pembentukan

peraturan

perundang-undangan

(delegatie

van

wetgevingsbevoesgheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundangundangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak.40 Penyelenggaraan pemerintah dengan melakukan pembentukan peraturan perundangundangan memang secara teori dan praktik menjadi suatu hal yang wajib dilakukan oleh pemerintah yang mendapat kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar, termasuk halnya pembentukan omnibus law. Namun, pemerintah perlu memerhatikan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara efisien. Bilamana kita melihat tujuan mulia Presiden Jokowi dalam membentuk omnibus law diperuntukan untuk mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan, maka omnibus law yang mendelegasikan pembentukan 465 peraturan pemerintah malah memperlihatkan pertentangan antara tujuan untuk mengurangi peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang diaturnya. Dengan ini, jelas malah memperlihatkan inefisiensi regulasi. Efisiensi regulasi dapat dilihat dari kualitas regulasi yang baik dan kuantitas regulasi yang proporsional.41 Bilamana kita melihat kualitas regulasi yang bermasalah dari segi substansi dan segi kuantitas yang tidak proporsional karena pada praktiknya banyak sekali mendelegasikan pembentukan regulasi baru, maka omnibus law cipta kerja malah menunjukan adanya inefisiensi regulasi itu sendiri. Tujuan Presiden Jokowi dalam mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan dengan omnibus law menjadi tujuan mulia yang sesuai dengan teori simplifikasi peraturan 40

Ibid., Petrus Kadeh Suherman. 2017. Delegasi Regulasi dan Simplifikasi Regulasi dalam Pembentukan Peraturan Kepala Daerah. Jurnal Advokasi Vol. 7, No. 1 (2017)., hlm. 2 41


perundang-undangan. Simplifikasi merupakan penyederhanaan peraturan perundangundangan yang dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan sehingga menjadi proporsional jumlahnya. Simplifikasi penting untuk memastikan efektivitas dan mencegah tumpang tindih peraturan perundang-undangan, selain itu dapat ditujukan untuk memangkas prosedur yang panjang dan mengurangi biaya yang berlebihan.42 Dalam hal ini, memang penting untuk memangkas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan investasi. Hal ini juga ditujukan untuk meningkatkan tingkat perekonomian. Namun, jangan sampai teknik simplifikasi malah bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan, dimana substansi hukum yang dibentuk malah cenderung berpihak pada kalangan investor. Tetapi harus dilakukan demi kepentingan rakyat, dengan cara tidak ada substansi yang bermasalah dengan rasa keadilan rakyat hanya demi mempermudah investor untuk masuk. Selain itu proporsionalitas jumlah undang-undang perlu diperhatikan agar menghindari peraturan yang tidak harmonis dan multitafsir. Dalam hal ini, jangan sampai teknik simplifikasi malah membuat over regulasi sehingga membuat penggunaan teknik ini sia-sia. Investasi dan Omnibus law Sebagai presiden terpilih Republik Indonesia untuk periode 2019 – 2024, Joko Widodo menyampaikan sejumlah agenda utama pemerintahan yang akan dipimpinya untuk 5 tahun kedepan dalam sebuah pidato politik yang berjudul “Visi Indonesia”43. Secara subtantif, pidato ini memuat 5 visi pemerintahan Joko Widodo – KH Ma’aruf Amin, dimana pembukaan investasi yang seluas – luasnya dalam rangka memperluas lapangan pekerjaan masuk dalam agenda utama pemerintahan Joko Widodo – KH Ma’aruf Amin. Menurut Salim HS dan Budi Sutrisno, Investasi adalah aktivitas penanaman modal yang dilakukan oleh investor, baik itu investor dalam negeri maupun investor dari luar negeri yang saling berkaitan dalam berbagai bidang jenis usaha44. Sebagai negara dengan perekonomian yang terbuka, sudah sangat wajar Indonesia membuka ruang investasi bagi investor domestik maupun investor luar negeri. Namun, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan lebih

42

Wicipto Setiadi., op.cit hlm. 326 Dandy Bayu Bramasta. 2019. 5 Visi Jokowi untuk Indonesia. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/20/151257765/5-visi-jokowi-untuk-indonesia?page=all pada 3 Maret 2020 44 Budi Sutrisno dan Salim H. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada., hlm 33 43


lanjut, diantaranya adalah perihal waktu/momentum dan trade off dari penyusunan kebijakan yang dapat bertindak sebagai stimulan investasi investasi. Omnibus Law cipta kerja merupakan sebuah payung hukum dari bundling kebijakan pemerintah yang digadang – gadang dapat meningkatkan kinerja investasi Indonesia yang bermuara pada perluasan lapangan pekerjaan. Lantas bagaimana kah kinerja investasi Indonesia ? Menilik Kinerja Investasi Indonesia Dalam “Visi Indonesia”, penekanan perluasan investasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesempatan kerja yang seluas – luasnya. Semangat ini bisa dibilang sebagai kelanjutan dari semangat perluasan investasi pada periode sebelumnya, mengingat semangat perluasan investasi juga sudah didorong oleh Joko Widodo pada Periode Pertama pemerintahanya. Presiden Joko Widodo mengeluhkan loyonya kinerja investasi dan kinerja ekspor Indonesia45. yang ditenggarai menjadi penyebab pertumbuhan Investasi di Indonesia yang ditenggarai menjadi salah satu penyebab kenapa pertumbuhan ekonomi Indonesia mentok di angka 5%46. Namun, kinerja investasi Indonesia bisa dibilang cukup baik setidaknya jika dibandingkan dengan negara – negara ASEAN, walaupun terdapat beberapa catatan - catatan terkait dengan kualitas investasi Indonesia. Dari segi pertumbuhan investasi, Kecuali pada tahun 2018, pertumbuhan realisasi investasi Indonesia dalam kurun waktu 2015 - 2019 selalu berada diatas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam 5 tahun terakhir, secara konsisten realisasi investasi Indonesia selalu mengalami peningkatan, walaupun dengan taraf pertumbuhan yang fluktuatif.

45

Hendra Kusuma. 2019. Jokowi Kesal Ekspor dan Investasi RI Loyo. Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4464956/jokowi-kesal-ekspor-dan-investasi-ri-loyo pada 2 Maret 2020 46 Trio Hamdani. 2020. Investasi Loyo dan Daya Beli Lesu Biang Kerok Ekonomi Mentok 5%. Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4891785/investasi-loyo-dan-daya-beli-lesu-biang-kerokekonomi-mentok-5 pada 2 Maret 2020


Dalam Triliun Rupiah

Realisasi PMA dan PMDN Indonesia tahun 2015 - 2019

1000 800 600 400 200 0 2015

2016

Sum of target

2017

2018

2019

Sum of realisasi

Grafik 1 : Realisasi PMA dan PMDN (Sumber : Katada.co.id)

Dibanding 2015, realisasi investasi Indonesia pada tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 14,01%. Untuk tahun 2017,peningkatan realisasi investasi sebesar 11,42%. Jika dibandingkan dengan 2018, Realiasi investasi Indonesia mengalami peningkatan sebesar 12,24%. Selama 2015 hingga 2019, Investasi Indonesia mengalami peningkatan sebesar 48,41%47. Fluktuasi pertumbuhan ini dalam analisis kami lebih diakibatkan oleh kondisi eksternal, walaupun kondisi internal juga berpengaruh terhadap fluktuasi pertumbuhan investasi ini.Terlebih pada fakta bahwa pertumbuhan realisasi investasi Indonesia yang “hanya” berada ditaraf 4,11% pada tahun 2018 jika dibandingkan dengan 2017. Semakin memanasnya perang dagang menjadi salah satu penyebab pertumbuhan investasi “hanya” di taraf 4,11%. Meningkatkanya tarif yang dikenakan berdampak pada biaya produksi dan harga dari China dan Amerika Serikat menurunnya daya beli. Dampak ini berpengaruh terhadap negara – negara lain, terlebih lagi terhadap negara – negara yang memiliki hubungan ekonomi yang cukup masif terhadap kedua negara ini. 47

Dwi Hadya Jayani. 2020. Realisasi Investasi Indonesia 2019 Naik 48,4% dalam 5 Tahun. Diakses melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/29/realisasi-investasi-indonesia-2019-naik-484-dalam-5tahun pada 2 Maret 2020


Dari segi sumbangsih terhadap PDB, jika dibandingkan dengan negara – negara anggota ASEAN, porsi investasi terhadap PDB Indonesia merupakan salah satu yang terbaik. Mengalahkan negara – negara yang memiliki iklim investasi lebih baik seperti negara Singapura dan Vietnam.

Dalam Persen

Total Investment (% to GDP) ASEAN Countries 2015 - 2019 40 35 30 25 20 15 10 5 0

2015

2016

2017

2018

2019

Axis Title Filipina.

Indonesia.

Malaysia.

Singapura.

Thailand.

Brunei Darussalam.

Vietnam.

Myanmar.

Kamboja.

Laos.

48

Grafik 2 : Total Investment (% to GDP) ASEAN Countries. (Sumber : imf.org)

Dari data diatas nampak bahwa dalam kurun waktu 2015 – 2019, jika dibandingkan dengan negara – negara ASEAN, sumbangsih Investasi terhadap GDP tidak pernah keluar dari 3 peringkat teratas dari negara – negara ASEAN. Untuk tahun 2018, persentase sumbangsih Investasi Indonesia terhadap GDP hanya lebih rendah dari Myanmar dan Brunei Darussalam untuk tahun dan hanya lebih rendah dari Myanmar untuk tahun untuk proyeksi tahun 2019. Jika dilihat dari besaran Foreign direct investment inflow untuk tahun 2017 dan 2018, Indonesia termasuk kedalam jajaran 20 negara tertinggi peneriman foreign dircet investment.49 Lebih tinggi dibandingkan dengan negara – negara yang memiliki peringkat investasi lebih tinggi, seperti Malaysia (12) dan Thailand (21).

48 49

Data untuk Negara Laos tidak tersedia di IMF – World Economic Outlook United Nations. 2019. World Investment Report 2019. New York: United Nations Publications


Grafik 3 : Top 20 Penerima Foreign Direct Investment (FDI) 2017 dan 2018. (Sumber : United Nations 2019)

Dari data dan beberapa perbandingan antar waktu dan melakukan perbandingan dengan beberapa negara – negara anggota ASEAN serta beberapa kelompok negara lainya, maka bisa dikatakan kinerja Investasi Indonesia saat ini sudah cukup baik. Dari segi Pertumbuhan Investasi, pertumbuhan realisasi Investasi Indonesia selalu diatas pertumbuhan ekonomi Indonesia, kecuali untuk pertumbuhan investasi 2018. Dari segi porsi investasi terhadap GDP, selama 2015 hingga 2019 porsi investasi terhadap GDP Indonesia jika dibandingkan dengan negara – negara ASEAN, Indonesia secara konsisten selalu berada di 3 peringkat teratas. Dari segi penerimaan Foreign direct investment (FDI) untuk tahun 2017 dan 2018, Indonesia masuk kedalam top 20 penerima Foreign direct investment (FDI). Meskipun dapat dikatakan cukup baik, terdapat beberapa catatan terkait kualitas kinerja Investasi Indonesia. Bagaimana investasi tersebut dibelanjakan merupakan salah satu catatan terkait kinerja investasi. Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri menyoroti terkait kualitas Investasi Indonesia pada bagaimana investasi tersebut dibelanjakan. Beliau menjelaskan


bahwasanya investasi lebih banyak dialirkan dalam bentuk bangunan. Sedangkan Investasi kepada peralatan produksi dan mesin – mesin hanya berada pada kisaran 10%. Tentu hal ini benar – benar menjadi masalah jika peningkatan investasi juga ditunjukan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, maka pertumbuhan produktivitas dari investasi yang dilakukan tidak akan terlalu signifikan. Hal yang harus diperhatikan adalah jika investasi lebih ditujukan untuk alat – alat produksi langsung, maka secara sendirinya investor akan terus melakukan investasi secara berkesinambungan, tentunya dengan asumsi bahwa faktor – faktor lain yang mempengaruhi proses bisnis dan investasi dari lingkungan eksternal dan lingkungan internal dianggap konstan. Ketika terjadi bottleneck50 dalam proses produksi misalnya, otomatis untuk mengejar produktifitas yang lebih tinggi investor harus mengatasi keadaan bottleneck tersebut dengan meningkatkan investasi minimal untuk mengatasi kesendatan tersebut. Maka dari itu, memastikan kualitas belanja investasi juga merupakan hal yang penting untuk terus diperhatikan, meskipun pada akhirnya belanja investasi ini menjadi ranah sektor privat dimana negara tidak mampu memberikan intervensi secara langsung dalam pembuatan keputusan tersebut. Masalah – Masalah Terkait Investasi di Indonesia Rancangan Omnibus Law cipta kerja yang diajukan oleh pemerintah secara subtantif ditujukan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Beberapa ahli berpendapat bahwa Investasi di Indonesia seringkali terhambat oleh birokrasi yang berbelit – belit dan juga beberapa peraturan serta kebijakan yang tidak harmonis antar pemerintah pusat dan daerah. Hal inilah yang ditenggarai menjadi sebab jebloknya peringkat kemudahan bisnis yang dikeluarkan oleh World Bank pada laporanya yang bertajuk Easy of doing business 2020. Peringkat Indonesia jauh dibawah negara – negara Asia Tenggara lainya, seperti Singapura ( peringkat 2), Malaysia(peringkat 12),Thailand (peringkat 21), Brunei Darussalam (67) dan Vietnam (70)51. Selain dua faktor tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang dapat menghambat investasi Indonesia. Executive Opinion Survey yang dilakukan pada World Economic Forum 50

Bottlenack adalah suatu kondisi dimana proses produksi mengalami performa yang kurang maksimal dikarenakan salah satu atau lebih alat atau alurproduksi memiliki kapasitas produksi yang lebih rendah dari pada alat atau alur produksi yang lain. 51 World Bank. 2017. Doing Business 2018 : Reforming to Create Jobs (English). Doing Business 2018. Washington, D.C. : World Bank Group.


2017 menghasilkan beberapa faktor – faktor yang dianggap menjadi faktor penghambat kegiatan Investasi Indonesia. Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah :

MOST PROBLEMATIC FACTORS FOR DOING BUSINESS IN INDONESIA EXECUTIVE OPINION SURVEY 2017 BY WORLD ECONOMIC FORUM

16 14 12 10 8 6 4 2 0

13.6 11.1 9.2

8.8

8.6 6.5

6.4

5.8

5.2

4.7

4.3

4

4

3.3

2.5

1.8

Grafik 4 : Most problematic factors for doing business in Indonesia. (Sumber : World Economic Forum)

Berdasarkan hasil survey tersebut, korupsi dianggap menjadi faktor penghambat utama dari kegiatan bisnis dan investasi di Indonesia. Korupsi dalam bentuk apapun menjadi polusi bagi iklim investasi bagi Indonesia, terutama berkaitan dengan “biaya ekstra” yang harus dikeluarkan oleh investasi. Biaya esktra yang dimaksud disini biasanya dalam bentuk suap kepada pihak – pihak pemangku jabatan, dalam rangka mempercepat alur birokrasi dan juga Dari sisi perhitungan Return on Investment (RoI), korupsi merupakan salah faktor perusak “ekosistem” sehingga seringkali RoI menjadi sulit untuk diprediksi. Return on Investment (ROI) secara sederhana dapat dijelaskan sebagai perbandingan antara besaran keuntungan yang diperoleh dengan besaran biaya investasi yang dikeluarkan. RoI biasa digunakan sebagai evaluasi investasi dan perbandingan efisiensi dari beberapa alternatif Investasi. Tentu sebagai evaluasi dan perbandingan, maka RoI yang digunakan dalam keputusan bersifat prediksi. “Ekosistem” yang sehat dapat meningkatkan tingkat prediktibilitas dari RoI, dimana kepastian arah kebijakan, stabilitas politik dalam negeri,


keamanan dan juga kepastian penegakan hukum dalam suatu negara menjadi faktor pendukung untuk terbentuknya ekosistem yang sehat ini. Namun, korupsi dapat menjadi polusi bagi ekosistem yang sehat ini. Sehingga seringkali negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, RoI menjadi suatu hal yang sangat sulit untuk diprediksi. Semakin sulit untuk memprediksi RoI, maka kecil kemungkinan investor mau melakukan investasi disebuah negara. Maka, sudah barang tentu pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama. Berangkat dari hasil survey diatas ataupun konteks ekosistem yang dapat mempengaruhi

keputusan

investor

dalam

berinvestasi,

maka

sudah

selayaknya

pemberantasan korupsi menjadi salah satu fokus utama pemerintah jika memang ingin membentuk suatu iklim investasi yang baik dan pada akhirnya akan bermuara pada daya saing investasi yang akan semakin baik. Namun, jika melihat beberapa waktu kebelakang, nampaknya pemberantasan korupsi bukanlah hal yang dianggap penting oleh pemerintah. Pelemahan KPK melalui revisi Undang – undang KPK dan beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang oleh para ahli justru dianggap sebagai kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Nampaknya peningkatan pemberantasan korupsi bukan “cost� yang dipilih oleh pemerintah untuk dapat meningkatkan investasi di Indonesia. Inefisiensi birokrasi menjadi faktor kedua penghambat kegiatan bisnis dan investasi di Indonesia. Alur yang berbelit, tumpah tindih aturan dan sederat aturan lainya dianggap sebagai penghambat Investasi di Indonesia. Hal ini tercermin dalam Index inefisiensi birokarsi dalam


Index inefisiensi Birokrasi 25

20

15

10

5

0 2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Filipina

Brunei Darusalam

Thailand

Indonesia

Malaysia

Kamboja

Laos

Vietnam

Singapura

Myanmar

2017

Grafik 5 : Index infisiensi Birokrasi : Negara anggota ASEAN. (Sumber :World Economic Forum)

Kurva diatas menunjukan index inefficient birokrasi dari negara – negara ASEAN. Rentang yang digunakan adalah 0 sampai dengan 30, dimana semakin besar maka birokrasi suatu pemerintahan semakin tidak efisien. Adapun efisiensi birokrasi pemerintahan merujuk pada sejauh mana pemerintah dapat melaksanakan program – program pembangunan secara efisien. Efisien birokrasi pemerintahah juga mengacu pada bagaimana dan seberapa cepat investor mendapatkan lisensi dan juga hal – hal lain yang berkaitan dengan persyaratan birokrasi lainya. Dalam kurun waktu 2008 hingga 2017, terjadi peningkatan efisiensi pada birokrasi pemerintah Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi perbaikan dari segi efisiensi Pemerintah52. Memang, jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainya, peningkatan efisiensi ini belum mampu meningkatkan daya saing secara signifikan. Mantan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) kabinet Indonesia Maju, Asnan Abnur menjelaskan setidaknya terdapat 6 penyakit birokrasi di

52

World Bank Group. 2020. World Development Indicators Diakses melalui http://datatopics.worldbank.org/world-development-indicators pada 3 Maret 2020


Indonesia53. Permasalahan pertama adalah kebanyakan pemerintah daerah memiliki porsi belanja operasional kebutuhan internal lebih besar dari pada kebutuhan publik. Hal ini mengakibatkan pelayanan publik yang diberikan menjadi kurang optimal. Permasalahan kedua adalah maraknya pejabat daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, permasalahan terkait dengan inefisiensi dan infektivitas pembangunan, permasalahan terkait dengan kualitas ASN yang dianggap belum mampu membantu kinerja pemerintah secara optimal, lalu masalah terkait dengan ukuran organisasi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dari keenam penyakit ini, birokrasi Indonesia menjadi begitu berbelit – berbelit. Belum lagi masalah tumpang tindih aturan, baik itu aturan pusat dengan aturan daerah ataupaun aturan setingkat yang mengatur bidang – bidang yang berbeda. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah mengajukan Omnibus Law sebagai “obat” untuk menjadikan birokrasi Indonesia menjadi lebih efisien dan lebih “nendang”. Namun, alih – alih mengajukan rancangan undang – undang yang dapat menjadi payung hukum bagi kebijakan yang dapat memotong “penyakit – penyakit” ini guna mendorong efisiensi birokrasi baik ditingkat pusat maupun daerah, Omnibus law justru diajukan untuk mengembalikan sentralisasi kebijakan di pemerintahan pusat. Dalam Pasal 170 RUU Omnibus Law disebutkan bahwa (1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana di maksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini. (2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia. Jika aturan ini sampai disahkan, dalam analisis kami justru akan menimbulkan masalah baru dalam berbagai dimensi dan berbagai sektor. Dalam hal tumpang tindih rencana pembangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam konteks pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memang mengacu pada

53

Kumparan. 2018. Menteri PAN-RB: Ada 6 Penyakit Birokrasi di Indonesia (2018). Diakses melalui https://kumparan.com/langkanid/menteri-pan-rb-ada-6-penyakit-birokrasi-di-indonesia pada 3 Maret 2020


Rencana Pembangunan Nasional, baik itu Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang Nasional (RPJPN), maupun Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menenangah Nasional (RPJMN). Namun yang harus diingat adalah acuan – acuan yang disediakan dalam Rencana pembangunan ini adalah acuan – acuan yang bersifat umum, dimana tehnis kebijakan – kebijakan yang disusun harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi aktual, baik itu pada tataran pemerintahan pusat maupun pada tataran Pemerintah Daerah. Maka, kemungkinan ketidaksinkronan kebijkan dalam tataran tehnis antara pemerintahan pusat antara pemerintahan daerah sangat mungkin terjadi. Dari segi perampingan birokrasi dan juga perampingan aturan yang merupakan salah satu fokus dari RUU Omnibus Law, namun alih – alih dapat melakukan perampingan tersebut, dalam analisis kami RUU Omnibus Law justru dapat menyebabkan komplesitas yang lebih rumit dan suatu keadaan yang disebut sebagai hyper – regulated. Hal ini tercermin RUU Omnibus Law cipta kerja yang mensyaratkan kisaran 465 aturan turunan54. Alih – alih memilih untuk meningkatkan pemberantasan korupsi dan meningkatkan efisiensi birokrasi sesuai dengan semangat desentralisasi melalui omnibus law, nampaknya pemerintah lebih memilih buruh sebagai cost dari peningkatan Investasi ini. Narasi – narasi bahwa buruh adalah “momok” utama dari investasi digaungkan oleh para elit, yang mana narasi – narasi ini bermuara pada RUU Omnibus Law Cipta kerja yang benar – benar mereduksi hak – hak buruh dan “menumbalkan” buruh.

Omnibus Law Cipta Kerja dan Ketenagakerjaan Perluasan pembukaan lapangan pekerjaan akibat dari peningkatan investasi merupakan salah satu alasan utama dan logika utama yang coba dibangun oleh pemerintah untuk meloloskan RUU Omnibus Law ini. Memang, perluasan Investasi – terutama direct investment – berkorelasi positif dengan pembukaan lapangan pekerjaan, terutama investasi yang bersifat langsung, baik itu pada sektor manufaktur, jasa, agrikultur dan berbagai sektor lainya. Hal inilah yang menjadi peluru bagi pemerintah untuk membangun kesadaran kolektif bahwa RUU Omnibus Law memang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi dan juga perluasaan pembukaan lapangan pekerjaan. Namun, melihat lebih jauh, semangat

54

Dilihat dari berbagai pasal dalam RUU Omnibus Law yang memandatkan untuk membentuk aturan turunan


perlindungan dan peningkatan kesehjatraan buruh nampaknya bukan menjadi semangat utama dari RUU Omnibus Law. Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam UU No 13 Tahun 2013 Bab 1 Pasal 1 ayat (1), Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja dan yang dimaksud dengan tenaga kerja berdasarkan Pasal 1 ayat (4) adalah Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Berangkat dari Pasal tersebut, ketika kita membicarakan masalah terkait tenaga kerja, seharusnya kita tidak hanya berfokus pada pembukaan lapangan pekerjaan. Tapi juga harus memperhatikan bagaimana hak – hak pekerja tersebut selama bekerja, melihat bagaimana instrumen – instrumen yang digunakan untuk memperluas lapangan pekerjaan dan juga hingga melihat bagaimana kondisi pekerja tersebut setelah usai bekerja dari tempat ia bekerja. Melihat kondisi tenaga kerja tentu harus melihat seberapa besar partisipasi dan akses mereka terhadap lini – lini pekerjaan, yang secara makro dapat tergambar dari tingkat persentase pengangguran. Kedua variabel ini memiliki korelasi negatif, yaitu ketika tingkat pengangguran semakin rendah, maka tingkat partisipasi tenaga kerja terhadap sektor – sektor pekerjaan semakin tinggi. Maka, perluasan tenaga kerja dapat dilihaat dari salah satunya adalah bagaimana pemerintah mampu menurunkan tingkat pengangguran.


Grafik 1: Jumlah dan tingkat Pengangguran Indonesia tahun 1998 - 2019, Sumber : katada.co.id

Dari gambar diatas, terlihat bahwa telah terjadi perbaikan akses dan partisipasi tenaga kerja terhadap lini – lini pekerjaan. Hal ini ditandai persentase pengangguran yang selalu menurun tiap tahunya. Bahkan, per februari 2019 merupakan tingkat pengangguran terendah sejak tahun 1998. Memang secara jumlah, jumlah pengangguran per 31 desember 2001 masih lebih rendah dari pada jumlah pengangguran per februari 2019. Namun hal yang harus diperhatikan lebih lanjut adalah bahwasanya penurunan persentase penganguran ini dibarengi dengan kenaikan tingkat angkatan kerja setiap tahunya. Dilihat dari jenis lapangan pekerjaan, Struktur penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan pada Februari 2019 masih didominasi oleh tiga lapangan pekerjaan utama, yaitu: Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 29,46 persen; Perdagangan sebesar 18,92 persen; dan Industri Pengolahan sebesar 14,09 persen. Berdasarkan tren lapangan pekerjaan


selama Februari 2018–Februari 2019, lapangan usaha yang mengalami peningkatan persentase penduduk yang bekerja terutama pada Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (0,43 persen poin), Perdagangan (0,39 persen poin), dan Konstruksi (0,34 persen poin). Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan utamanya pada Pertanian (1,00 persen poin); Administrasi Pemerintahan (0,23 persen poin); serta Informasi dan Komunikasi (0,06 persen poin).55 Omnibus law dan Penciptaan Lapangan Pekerjaan Secara subtansial, Omnibus law merupakan instrumen hukum yang diajukan oleh pemerintah dengan tujuaan untuk menggenjot Investasi di Indonesia. Omnibus ini akan merubah semua undang – undang tematik yang dianggap mampu menghalangi Investasi di Indonesia. Aturan didalamnya terdiri dari sebelas klaster yang salah satunya adalah fokus terkait dengan tenaga kerja dan pembukaan lapangan pekerjaan. Tidak bisa dipungkuri, investasi memang memiliki peran penting bagi per ekonomian Indonesia. Dan jelas, tujuan kajian ini disusun adalah bukan untuk menegasikan peran investasi terhadap per ekonomian Indonesia. Investasi memiliki peran yang besar bagi perekonomian Indonesia, yang salah satunya tercermin dari porsi investasi terhadap produk domestik bruto (PDB). Investasi juga tentunya akan mampu menyerap tenaga kerja, orang – perorang dan tentunya akan membuka lapangan pekerjaan baru. Juga terhadap efek multiplier yang akan dibawa oleh kegiatan investasi tersebut. Namun, poin masalah utama dalam Omnibus Law ini adalah “trade off” yang dipilih pemerintah untuk meningkatkan kinerja investasi. Narasi yang terus dibangun oleh pemerintah adalah bahwa begitu buruknya Kinerja investasi Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwasanya Investasi Indonesia justru masuk kedalam top 20 penerima Foreign direct investment (FDI)56, juga porsi investasi terhadap PDB dibandingkan dengan negara – negara ASEAN juga merupakan salah satu yang paling tinggi. Pemerintah benar – benar berusaha keras untuk membangun kesadaran kolektif bahwasanya investasi harus terus menerus digenjot, tidak peduli apapun “cost” yang harus dikeluarkan untuk penggenjotan ini.

55

Midayanti, Nurma. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2019. Berita Resmi Statistik No. 41/05/Th. XXII, 56 United Nations. 2019. World Investment Report 2019. New York: United Nations Publications


Untuk melanggengkan “nafsu” pemerintah ini, sekali lagi demi membangun kesadaran kolektif tentang butuhnya investasi, dilempar wacana bahwasanya dengan disahkanya “Kado” ini, akan terbuka lapangan pekerjaan yang semakin luas, penurunan pengangguran, hingga pertumbuhan ekonomi yang akan meroket. Namun, pada kenyataanya, dalam Omnibus Law banyak sekali aturan – aturan yang justru mereduksi hak buruh dan sama sekali tidak memperhatikan kesehjatraan buruh. Mungkin, memang buruh yang dijadikan “trade off” oleh pemerintah untuk meningkatkan investasi. Menumbalkan Buruh Seperti yang sudah dibahas pada segmen investasi, dua pokok permasalahan utama yang menghambat investasi Indonesia menurut survey yang dilakukan pada World Economic Forum 2017 adalah terkait dengan permasalahan Korupsi dan birokrasi57. Sedangkan faktor terkait dengan tenaga kerja yang menjadi penghambat berdasarkan survey tersebut adalah etos kerja (faktor penghambat ke 8), kurangnya tenaga kerja terampil (faktor penghambat ke 11) dan terkait dengan terbatasnya peraturan tenaga kerja (faktor penghambat ke 13). Namun, alih – alih memfokuskan untuk mengatasi faktor – fakto penghambat diatasnya, pemerintah lewat Omnibus Law justru memilih “menumbalkan” hak – hak tenaga kerja.

Outsourcing dan Kontrak Kerja “Perluasan dan pelegalan” sistem outsourcing merupakan salah satu permasalahan utama dalam RUU Cipta Kerja. Outsourcing atau alih daya secara sederhana dapat disebut sebagai suatu sistem mengenai penyediaan tenaga kerja oleh pihak ketiga diluar perusahaan. pekerja – pekerja outsourcing secara legal bukan merupakan bagian dari Perusahaan tempat dia bekerja, tapi merupakan bagian dari pihak penyedia Outsourcing tersebut. Meningkatnya fleksibilitas hubungan antara buruh sebagai tenaga kerja dan pemberi kerja, lalu terkait dengan pemotongan gaji karyawan sebagai “insentif” kepada penyedian layanan outsourcing adalah beberapa dampak yang akan muncul dari sistem outsourcing. Untuk alasan kedua, sudah sangat jelas kenapa buruh menolak sistem ini. Gaji hasil keringatnya dipotong sekian persen oleh pihak outsourcing, bahkan terdapat kondisi dimana 57

Browne, C., A. Di Batista, T. Geiger, and S. Verin. 2016. “The Executive Opinion Survey: The Voice of the Business Community.” The Global Competitiveness Report 2016–2017. Geneva: World Economic Forum.


pihak outsourcing tidak transparan terkait dengan pemotongan tersebut. Selain pemotongan gaji, peningkatan fleksibelat kerja ini yang mana akan sejalan dengan semakin mudahnya pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan alasan ini dan beberapa dampak lain yang sangat potensial muncul akibat diterapkanya outsourcing, sudah sangat jelas buruh menolak sistem ini. Terkait dengan outsourcing, yang menjadi pokok permasalahan dalam RUU Cipta Kerja adalah alih – alih menghapuskan sistem outsourcing, namun dalam RUU Cipta Kerja justru terdapat aturan yang melegalkan perluasan bidang – bidang pekerjaan yang dapat menggunakan sistem ini. Outsourcing yang semula hanya untuk 5 jenis pekerjaan penunjang, seperti keamanan, catering, transportasi, kebersihan dan pertambangan, namun Pasal yang membatasi jenis pekerjaan ini justru dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja. Adapun pasasl yang dimaksud adalah pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2013 yang berbunyi Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi." Dengan dihilangkannya ketentuan ini, maka outsourcing bisa dilakukan bebas di semua jenis pekerjaan. Selain perluasan sistem outsourcing, masalah kontrak kerja juga akan menjadi masalah lanjutan apabila RUU Cipta Kerja disahkan. Hal ini diindikasikan dari RUU Cipta Kerja yang menghapuskan Pasal 59 dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 59 ayat 1 berbunyi "Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu...." Ayat 4 menegaskan "Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun." Dengan dihapuskanya pasal tersebut, maka perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk mengangkat seorang pegawai yang telah bekerja sampai dengan batas waktu tertentu yang mana dalam UU nomer 13 tahun 2003 ditegaksan bahwa Pekerja Kontrak paling lama adalah 2 tahun dengan waktu perpanjangan maksimal 1 tahun. Lantas apa yang menjadi masalah ?


ketika buruh masih menjadi pegawai kontrak, bergain positioning buruh akan menjadi sangat lemah dan rentah akan eksploitasi oleh para pemberi kerja. Misal, saat sekumpulan pegawai kontrak memutuskan untuk menuntut hak nya, maka dengan mudahnya Pemberi kerja untuk memutuskan kontrak buruh tersebut atau dengan cara tidak memperpanjang kontrak buruh tersebut. Namun, apabila ketika seorang buruh menjadi pegawai tetap, buruh – buruh ini memiliki positioning untuk menuntut hak – hak nya. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Pesangon Terkait dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), dalam Pasal 156 UU 13/2003 diatur bahwa pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak jika terjadi PHK, Sementara dalam RUU Cipta kerja, uang penggantian hak dihapus. Bunyi pasal itu berubah jadi, "dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja." Uang penggantian hak yang dihapus tersebut meliputi cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang pekerja dan keluarganya ke tempat mereka diterima bekerja, penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan, dan halhal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau perjanjian bersama. Yang Harus Sejahtera Bukan Hanya Investor, tapi Buruh Juga Peraturan terkait dengan upah tertulis pada pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang mana prinsip/konsep pengupahan diarahkan untuk melindungi buruh/pekerja demi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara konsep pengupahan dalam RUU Cipta Kerja didasarkan pada kesepakatan atau peraturan perundang-undangan baik upah minimum provinsi/kabupaten/kota yang ditetapkan oleh gubernur ataupun kebijakan pengupahan nasional yang ditetapkan pemerintah pusat melalui peraturan pemerintah (PP). Namun, alih – alih memastikan buruh mendapatkan kehidupan yang layak, Pemerintah melalui Omnibus Law justru mendasarkan sistem penggajian melalui Upah Minimum Provinsi yang mana kurang relevan dan tidak sesuai dengan kebutuhan kehidupan layak untuk tiap – tiap regional dalam Wilayah Propinsi tersebut. Sebagaimana diatur dalam pasal 88C draft RUU yang berbunyi, "Gubernur menetapkan UMP yang wajib dibayar pengusaha kepada pekerja". Konsekuensi dari pasal ini adalah penghapusan UMK dan penghapusan upah minimum sektoral. Dengan kata lain, aturan ini memungkinkan skema


pengupahan dengan meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan besaran nilai gaji. Berangkat dari UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 88 ayat (1) yang berbunyi “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, lalu pasal 88 ayat (2) yang berbunyi “Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh” serta pasal 89 ayat (2) yang berbunyi “Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak”, dapat ditarik kesimpulan bahwa upah yang merupakan hak pekerja disesuaikan untuk dengan kebutuhan hidup layak yang kemudian diatur dalam kebijakan pemerintah dalam bentuk upah minimum yang kemudian diatur dalam Pasal 89 ayat (1) dimana upah minimum dapat berupa upah minimum provinsi atau juga dapat berupa upah minimum sektoral provinsi atau kabupaten. Maka, sudah jelas bahwasanya Upah Minimum Regional (UMR) yang beragam mencerminkan besaran kebutuhan hidup layak (KHL) dari setiap daerahnya. Perbedaan Upah Minimum Regional seperti yang sudah disebutkan diatas merupakan salah satu indikator bahwasanya begitu beragamnya tingkat kebutuhan hidup layak tiap daerahnya. Jika semangat pengaturan upah minimum untuk memastikan bahwa upah yang diperoleh oleh buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) maka benar – benar tidak relevan ketika Omnibus Law memusatkan pemutusan besaran upah minimum pada tingkat gubernur, yang mana akan tercermin dalam Upah minimum Provinsi. Ditambah lagi fakta bahwasanya Upah minimum Provinsi dibeberapa provinsi bahkan lebih kecil dari pada Upah Minimum Regional (UMR) kabupaten/kota di provinsi tersebut.


1810350 1831884

Kota Banjar

1768777 1913312

Dalam Rupiah

Kab Situbondo

2460968 2710654

Kab Lebak Kab Gunungkidul

1704607 1705000

Kab Banjarnegara

1742015 1748000 4276349 4276349

DKI Jakarta

Upah Minimum Kabupaten/Kota

Upah Minimum Provinsi

Grafik 2 : Perbandingan UMP dan UMR terendah di Provinsi bersangkutan pada Provinsi di Pulau Jawa

Grafik diatas menunjukan beseran Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan Upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) terendah untuk tiap – tiap provinsi dengan perbandingan antara UMP dan UMK provinsi di Jawa. Dari grafik tersebut, terlihat bahwa dari 6 provinsi, kecuali DKI Jakarta, hanya Upah minimum Provinsi Jawa Timur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten terendah diprovinsi tersebut, yaitu Kabaputen Banjarnegara. Jelas jika peraturan ini sampai disahkan, akan banyak sekali menimbulkan masalah bagi para Buruh. Jika dibandingkan dengan daerah – daerah yang memiliki tingkat UMR terendah saja masih lebih tinggi UMR, maka penetapan UMP sebagai acuan upah buruh akan sangat – sangat menyengsarakan para buruh. Fakta bahwa UMP kebanyakan lebih rendah dari pada UMR dan Omnibus Law secara lebih lanjut mengatur bahwa UMP menjadi acuan minimum untuk upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja menjadi indikasi kuat bahwasanya pembuatan aturan ini sama sekali tidak memperhatikan kesehjatraan buruh, minimal dapat memastikan upah yang didapatkan oleh buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) dari buruh tersebut. Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan larangan pengusaha membayar upah lebih rendah atau di bawah upah minimum dan mekanisme penangguhan pembayaran upah


minimum, termasuk menghapus sanksi denda dengan persentase tertentu dari upah pekerja, jika pengusaha terlambat membayar upah karena sengaja atau lalai. RUU ini juga disinyalir memangkas beberapa hak upah karena cuti pekerja/buruh ketika tidak masuk kerja dalam kondisi tertentu yang dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan upahnya tetap wajib dibayar perusahaan. Namun, dalam Pasal 93 RUU Cipta Kerja, seperti pekerja yang sedang haid, melahirkan, menikah, menjalankan perintah agama, dan lainnya seolah tidak lagi dibayar upahnya. Lebih dalam lagi, dari sisi sosiologis terdapat dua kepentingan yang sangat berbeda antara pemberi kerja dengan pekerja dalam hal upah. Bagi pemberi kerja, upah diusahakan serendah mungkin guna menurunkan ongkos produksi. Namun bagi para pekerja, upah merupakan sumber pendapatan dan penghidupan, sehingga sudah seharusnya setiap pekerja untuk mendapatkan upah yang seminimal – minimalnya mampu memenuhi kebutuhan yang mana pemerintah dapat melakukan intervensi melalui mekanisme upah minimum dan aturan terkait untuk tidak memberikan upah dibawah upah minimum. Namun, nampaknya terkait dengan kesehjatraan dan kepastian hidup layak para tidak menjadi pertimbangan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari dua hal, pertama terkait dengan penetapan gaji minimum oleh gubernur yang mana seperti sudah dijelaskan diatas dapat dikatakan tidak relevan dan terkait dengan penghapusan peraturan yang mengharuskan pemberi kerja untuk memberikan upah diatas upah minimum.

Penghapusan Prinsip Nirlaba Perguruan Tinggi Salah satu hal yang menjadi catatan kritis terhadap RUU Cipta Kerja dalam tajuk omnibus law adalah hilangnya prinsip nirlaba di perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari segmen pendidikan dan kebudayaan yang berada di pasal 67. Pasal ini mengubah ketentuan dalam pasal 63 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang semula berbunyi “otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. Akuntabilitas b. Transparansi c. Nirlaba d. Penjaminan mutu, dan e. Efektivitas dan efisiensi�


Sementara dalam Draft RUU Cipta Kerja yang disebar oleh pemerintah, pasal ini berubah dengan sebagai berikut “otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. Akuntabilitas b. Transparansi c. Penjaminan mutu, dan d. Efektivitas dan efisiensi� Dalam hal ini, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi telah memberikan definisi otentik terhadap prinsip nirlaba yang merupakan prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguran Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Dalam hal ini, Perguran Tinggi sebagai organisasi nirlaba, tentu berbeda dengan organisasi laba yang memiliki tujuan yang hendak dicapai berupa keuntungan yang maksimal. Sementara organisasi nirlaba, wujud tercapainya tujuan bukan diukur dari masala finansial, tetapi lebih pada manfaat yang diperoleh bagi komunitas yang membutuhkan organisasi nirlaba tersebut.58 Menurut Bambang Suryono, organisasi nirlaba memiliki karakteristik yaitu (1) tidak adanya pengukuran laba, dalam hal ini yang membedakan antara organisasi laba dan organisasi nirlaba merupakan orientasi pencarian keuntungan; (2) tidak selalu bergantung pada kekuatan pasar, dalam hal ini organisasi laba harus bertindak dalam batas penawaran dan permintaan yang diciptakan pasar, semakin banyaknya klien yang menyukai produknya maka semakin besar keuntungannya. Sementara organisasi nirlaba tidak bergantung pada permintaan pasar, maka dalam hal ini tidak ada hubungan antara banyaknya klien dengan suksesnya organisasi; (3) ketiadaan komparatif pertanggung jawaban, dalam hal ini organisasi laba selalu mempertimbangkan setiap usul para pemilik atau krediturnya, hal ini didasarkan agar setiap tindakan yang dilakukan organisasi sesuai dengan kepentingan para pemiliknya. Berbeda dengan organisasi nirlaba yang dalam hal ini mementingkan manfaat

58

Bambang Suryono. 1999. Organisasi Nirlaba: Karakteristik dan Pelaporan Keuangan Organisasi. Jurnal Ekuitas Vol. 3, NO. 2, Juni 1999., hlm. 78


kepada masyarakat, maka pertanggungjawabannya tidak melulu harus sesuai dengan kepentingan keuntungan yang diperolehnya.59 Dalam konteks penghapusan prinsip nirlaba dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi semakin menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia semakin terjerat sistem kapitalisme. Hal ini semakin membuat pendidikan tinggi menjadi wahana komersialisasi yang malah mendekati ciri organisasi laba dimana dengan semakin mudahnya investor masuk lewat sektor pendidikan tinggi, semakin memperlihatkan bahwa terjadi komparatif pertanggungjawaban antara penyelenggara pendidikan tinggi dengan para calon investor. Bukan suatu hal yang aneh bilamana kita menelisik bahwa Indonesia sebagai negara yang menandatangani perjanjian WTO menjadikan sektor pendidikan sebagai suatu hal yang dapat diprivatisasi dan diliberalisasi. Hal ini tentu mengingatkan kita pada polemik Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang masih menjadi sorotan terhadap celah privatisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi. Praktik privatisasi dikatakan sebagai proses gradual untuk mentransformasikan metode pengelolaan BUMN dan kekayaan publik lainnya agara dapat secara sehat berkompetisi dengan pihak swasta. Mentranformasikan berarti menyerahkan pengelolaan BUMN yang semula dipegang oleh negara kepada pihak perseorangan.60 Sementara proses liberalisasi menunjuk pada penyelenggaraan pendidikan sudah merujuk pada sistem pasar bebas, artinya pendidikan tidak dikatakan sebagai hak yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah Negara namun menjadi barang komoditas yang diperjual belikan. Hal ini sangat gamblang terlihat ketika pemerintah mengeluarkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang kemudian disusul oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 76 dan 77 tahun 2007 yang menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing maksimal sampai 49%.61 Masyarakat pun beramai-ramai mengajukan permohonan uji materiil/Judicial Review UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan kepada Mahkamah Konstitusi dikarenakan dianggap tidak sesuai dengan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi pun mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan bahwa UU tersebut batal demi hukum. 59

Ibid., Darmaningtyas dkk.2014. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani., hlm. 37 61 Ibid., 60


Pasca dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Pemerintah membentuk UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang secara substansif tidak jauh berbeda dengan UU BHP. Juga menyusul PP No. 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Badan Hukum. Hal ini menyiratkan bahwa PTNBHMN hanya ganti baju menjadi PTN-BH, hal ini juga yang menyebabkan masih adanya PTN yang berlabel Badan Hukum artinya dikatakan sebagai subjek hukum mandiri yang dapat melakukan perbuatan hukum secara bertanggung jawab. Hal ini memperlihatkan terkait dengan substansi daripada UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi masih meninggalkan polemik mengenai celah privatisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi. Bukannya membenahi permasalahan, pemerintah malah semakin menunjukan keberpihakannya kepada investor dengan kembali mengubah substansi UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjadi lebih parah, yaitu meniadakan prinsip nirlaba para perguran tinggi dengan dalih meningkatkan tingkat perekonomian negara. Pendidikan

memiliki

tugas

pokok

tuntuk

mempreservasi,

mentransfer,

dan

mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya. Tugas tersebut kemudian dijadikan amanat sederhana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Upaya untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diatur dan disesuaikan dengan kepentingan investor tentu semakin memperlihatkan gap antara tujuan pendidikan dengan tindakan yang diperlihatkan pemerintah dalam mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.

Pentingnya AMDAL Menurut Michael Allaby, lingkungan hidup sebagai “the phsycal, chemical and biotic condition surrounding and organism” (lingkungan fisik, kimia, kondisi masyarakat sekelilingnya dan organisme hidup). Dalam kamus hukum, lingkungan hidup diartikan sebagai, “the totally of phsycal, economic, cultural, aesthetic and social cirscumstances and factors wich surround and affect the desirability and value at poperty and which also effect the quality of peoples lives” (Keseluruhan lingkungan fisik, ekonomi, budaya, kesenian dan lingkugan sosial serta beberapa faktor di sekeliling yang memengaruhi niliai kepemilikan dan


kualitas kehidupan masyarakat).62 Salah satu instrument konkrit pengelolaan lingkungan hidup adalah izin. Sebagai instrument pengelolaan sumber daya lingkungan hidup, izin lingkungan mempunyai kedudukan penting. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-PPLH) izin lingkungan merupakan integrasi dari berbagai izin yang sebelum terpisah. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-PPLH) terdapat 2 (dua) jenis izin yakni; pertama, izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35). Kedua, izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36). Izin merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis preventif, dan digunakan sebagai instrument administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Karena itu, sifat suatu izin adalah preventif, karena dalam instrument izin, tidak bisa dilepaskan dengan perintah dan kewajiban yang harus ditaati oleh pemegang izin.63 Selain itu, fungsi izin adalah represif. Izin dapat berfungsi sebagai instrument untuk menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar perizinan. Artinya, suatu usaha yang memperoleh izin atas pengelolaan lingkungan, dibebani kewajiban untuk melakukan penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan yang timbul dari aktivitas usahanya. Salah satu izin yang ada di Indonesia adalah, AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pertama kali diperkenalkan pada tahun oleh National Environmental Policy Act di Amerika Serikat. Menurut UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

62 63

Hendri Campbell. 1991. Blach’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co., hlm. 369. Siahaan N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam., hlm. 239.


Bentuk hasil kajian AMDAL berupa dokumen AMDAL terdiri dari lima dokumen, yaitu:64 1. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KAAMDAL). KAAMDAL adalah suatu dokumen yang berisi tentang ruang lingkup serta kedalaman kajian AMDAL. Ruang lingkup kajian AMDAL meliputi penentuan dampak-dampak penting yang akan dikaji secara lebih mendalam dalam AMDAL dan batas-batas studi AMDAL, sedangkan kedalaman studi berkaitan dengan penentuan metodologi yang akan digunakan untuk mengkaji dampak. Penentuan ruang lingkup dan kedalaman kajian ini merupakan kesepakatan antara Pemrakarsa Kegiatan dan Komisi Penilai AMDAL melalui proses yang disebut dengan proses pelingkupan. 2. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). AMDAL adalah dokumen yang berisi telaahan secara cermat terhadap dampak penting dari suatu rencana kegiatan. Dampak-dampak penting yang telah diidentifikasi di dalam dokumen KAAMDAL kemudian ditelaah secara lebih cermat dengan menggunakan metodologi yang telah disepakati. Telaah ini bertujuan untuk menentukan besaran dampak. Setelah besaran dampak diketahui, selanjutnya dilakukan penentuan sifat penting dampak dengan cara membandingkan besaran dampak terhadap kriteria dampak penting yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tahap kajian selanjutnya adalah evaluasi terhadap keterkaitan antara dampak yang satu dengan yang lainnya. Evaluasi dampak ini bertujuan untuk menentukan dasardasar pengelolaan dampak yang akan dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. 3. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL). Mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan hidup yang bersifat negatif serta memaksimalkan dampak positif yang terjadi akibat rencana suatu kegiatan. Upayaupaya tersebut dirumuskan berdasarkan hasil arahan dasardasar pengelolaan dampak yang dihasilkan dari kajian AMDAL. 4. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). RPL adalah dokumen yang memuat program-program pemantauan untuk melihat perubahan lingkungan yang disebabkan oleh dampak-dampak yang berasal dari rencana kegiatan. Hasil

64

Siti Sundari Rangkuti. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press., hlm. 119


pemantauan ini digunakan untuk mengevaluasi efektifitas upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan, ketaatan pemrakarsa terhadap peraturan lingkungan hidup dan dapat digunakan untuk mengevaluasi akurasi prediksi dampak yang digunakan dalam kajian AMDAL. 5. Dokumen Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif adalah dokumen yang meringkas secara singkat dan jelas hasil kajian AMDAL. Hal-hal yang perlu disampaikan dalam ringkasan eksekutif biasanya adalah uraian secara singkat tentang besaran dampak dan sifat penting dampak yang dikaji di dalam AMDAL dan upaya-upaya pengelolaan dan pemantuan lingkungan hidup yang akan dilakukan untuk mengelola dampakdampak tersebut. Melaui AMDAL, dampak-dampak penting yang diperkirakan akan timbul dapat diidentifikasi, dievaluasi dan diupayakan langkah-langkah penangananya, sehingga AMDAL dapat menjadi pedoman bagi pemrakanrsa dan instansi/ lembaga yang terlibat dan terkait dengan rencana trersebut terutama dalam menentukan kebijaksanaan pengeloalaan lingkungan hidup baik pada skala tapak proyek maupun skala regional. Jangka waktu pemrosesan dokumen AMDAL menurut Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1993, sanggup selambatlambatnya 45 hari. Dinyatakan “diberikan persetujuan” AMDAL artinya “dianggap” disetujui dan pemrakanrsa dapat memulai kegiatan kegiatan mendirikan istalasi/bangunan tanpa takut tentang dampak negatifnya terdapat lingkungan. Amdal sebagai “Tumbal” Pemerintah? Saat ini eksistensi dari AMDAL tengah dipertanyakan akibat munculnya RUU Omnibus Law, khususnya Cipta Kerja yang menyatakan pemotongan birokrasi dalam pembuatan izinnya. Pemotongan perizinan Amdal diklaim pemerintah bertujuan untuk memangkas alur birokrasi yang dianggap rumit sehingga membuat investor enggan untuk melakukan investasi di Indonesia. Namun, banyak aspek perizinan Amdal yang dipangkas justru akan menimbulkan problematika baru. Ketentuan

tentang

peran

Amdal

dan

pengambilan

keputusan

tentang

penyelenggaraam sebuah usaha dan/atau kegiatan yang semula tercantum dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berencana diubah dalam RUU Omnibus Law Pasal 23. Salah satu pasal yang terdampak adalah pasal (11) yang semula berbunyi;


“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.�

Diubah pada RUU Cipta Kerja Pasal 23 ayat (11) yang berbunyi: “Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.� Perubahan ini jelas mereduksi peran Amdal sebagai salah satu variabel pertimbangan pemerintah dalam memberikan izin berusaha. Semula, Amdal berperan sebagai pengambil keputusan tentang penyelenggaraan suatu kegiatan, kini Amdal hanya dipandang sebagai pertimbangan pengambilan keputusan. Ini menunjukkan sikap pemerintah yang cenderung mengesampingkan masalah lingkungan. Naasnya, sudah tertulis secara jelas bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan lingkuhan hidup yang layak sebagaimana tertuliskan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Kriteria Amdal juga jadi salah satu poin yang berencana untuk diganti. Kriteria tersebut semula dirumuskan dalam Pada pasal 23 ayat (1) UU PPLH yang berisi; “(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan Amdal terdiri atas: 1. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; 2. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; 3. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; 4. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;


5. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; 6. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati; 7. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau 8. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup. “ Direduksi pada pasal 23 butir 3 RUU Cipker menjadi: “(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal merupakan proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.� Pemerintah menyingkat 11 kriteria Amdal hanya ke dalam 2 butir pasal. Yang menjadi sorotan adalah bagaimana pemerintah hanya mengkategorikan kriteria usaha/kegiatan wajib Amdal adalah yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya Elaborasi mengenai kriteria usaha dan.atau kegiatan yang dianggap penting kemudian akan dibahas dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini ditakutkan akan menimbulkan multi tafsir, serta dapat menjadi sarana bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang terkait untuk mendapat izin dengan mudah karena konteks kemudahan berusaha yang ingin dibangun pemerintah. karena selain konteks Amdal yang dikebiri penggunaannya sebatas pertimbangan, pembentukan PP merupakan lanjutan dari UU yang tidak melibatkan mekanisme kontrol dari publik Upaya Degradasi Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Amdal Dampak lingkungan akan dirasakan oleh semua komponen, baik biotik maupun abiotik, baik secara langsung atau tidak langsung. Masyarakat sebagai salah satu komponen akan terdampak dari apa-apa saja yang terjadi dalam lingkungan sudah sepatutnya dilibatkan


dalam proses penyusunan Amdal. Namun, dalam RUU Cipta kerja, terlihat bahwa ada pengurangan ruang gerak partisipasi dalam penyusunan Amdal. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU PPLH yang berbunyi: “(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.” “(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.” Kemudian diubah dalam RUU Cipker Pasal 26 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: “(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa.” “(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.” Pelibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal ditiadakan. Asas transparansi yang semula wajib diterapkan pada setiap dokumen Amdal juga dihilangkan. Ini memperbesar kemungkinan korporat-korporat licik untuk mencurangi proses penyusunan Amdal. Sentralisasi Pengurusan Amdal Pada RUU Cipta kerja, Pasal 24 ayat (1) sampai (4), diatur bahwa: “(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup. (2) Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (3) Pemerintah Pusat dalam melakukan Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat. “

Sebelumnya, pengurusan dokumen Amdal telah diatur pada asal 29 ayat (1) UU PPLH yang berbunyi:


“(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.” Ada beberapa poin yang mengkhawatirkan di sini, yaitu; 1) Pengurusan uji kelayakan didelegasikan pada pemerintah pusat. Padahal, masalah lingkungan hidup adalah sangat site specific. Tidak memungkinkan bagi pemerintah pusat untuk dapat mengkaji secara dalam dan komprehensif mengenai masalah lingkungan suatu daerah dengan kondisi geografis Indonesia; 2) Lembaga ahli yang dapat ditunjuk oleh pemerintah tidak memiliki kejelasan kriteria dan spesifikasi. Hal ini berpotensi untuk menghasilkan kajian yang tidak komprehensif, salah sasaran, dan berbahaya bagi lingkungan untuk kedepannya. Selain itu, upaya sentralisasi juga terdapat pada tahap pengawasan Amdal. Semula, pengawasan Amdal diatur pada Pasal 71 UU PPLH, yang berbunyi: “(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.” RUU Cipker mengubah ketentuan pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan pengawasan Amdal, yang diubah menjadi: “(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.


(2) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.� Ada pendelegasian fungsi pengawasan yang semula dimandatkan pada menteri dan pemerintahan daerah menjadi kepada Pemerintahan Pusat, terlihat adanya pemusatan segala kewenangan yang sebelumnya dimiliki pemerintahan daerah kemudian dikuasai oleh pemerintah pusat Perizinan Berbasis Risiko Izin merupakan instrumen hukum administrasi yang dibuat oleh negara untuk mengemudikan tingkah laku para warga.65 Menurut Philippus M. Hadjon, izin dalam arti luas merupakan bentuk perkenaan untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilarang. Sementara dalam arti sempit, izin merupakan suatu tindakan terlarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan diteliti diberikan batas-batas tertentu bagi setiap kasus.66 Dengan memberi izin, negara memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang, hal ini menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Selain itu, izin juga dapat diartikan bahwa pembuat aturan secara umum tidak melarang suatu perbuatan, asal saja dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku.67

65

Philippus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Yuridika., hlm. 2 Ibid., 67 S.F Marbun dan Mahfud M.D. 2000. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberti., hlm. 95 66


Dalam hal ini, izin dan hak merupakan suatu hal yang berkaitan karena merupakan kewajiban negara untuk memenuhi hak yang tercantum dalam konstitusi dengan memberikan izin. Izin yang dimaksud merupakan pengakuan negara terhadap hak-hak yang dilakukan warga negara seperti hak untuk berserikat, hak berkumpul, hak menyatakan pendapat, dan lainnya. Hal ini sebagaimana tujuan dari pada diberikannya

izin yaitu (a) keinginan

mengarahkan pengendalian aktifitas-aktifitas tertentu; (b) mencegah bahaya bagi lingkungan; (c) keinginan untuk melindungi objek-objek tertentu; (d) hendak membagi benda-benda yang sedikit; (e) pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas yang dilakukan.68 Pembuatan dan penerbitan izin adalah tindakan hukum pemerintah. sebagai tindakan hukum, maka harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasar pada asas legalitas yang akan memperbolehkan atau memperkenankan menurut hukum bagi seseorang atau badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan.69 Pendekatan berbasis regulasi (License Approach) menjadi pendekatan berbasis risiko (Risk-Based Approach) sebagaimana tercantum pada RUU Cipker tentang Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Pasal 8. Penilaian tingkat risiko dilihat dari potensi terjadinya bahaya, potensi dibagi menjadi empat, meliputi; 1) tidak pernah terjadi; 2) jarang terjadi; 3) pernah terjadi; atau 4) sering terjadi. Kemudian, hasil penilaian tersebut dibagi menjadi tiga kategori tingkat risiko, yakni; kegiatan usaha berisiko rendah; kegiatan usaha berisiko menengah; atau kegiatan usaha berisiko tinggi. Usaha dan/atau kegiatan yang nantinya wajib dikaji secara Amdal hanyalah usaha yang memiliki risiko tinggi. Namun, yang mejadi problematika adalah tidak adanya kejelasan mengenai tata cara pengategorian. Analisis risiko pun nantinya akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Meski tidak sepenuhnya dihilangkan, ini akan menghapuskan wajib Amdal bagi sebagian besar kegiatan atau usaha tanpa landasan yang jelas. Pendekatan berbasis risiko memang mempunyai beberapa keuntungan bila diimplementasikan untuk lembaga yang berfokus pada profit; seperti kegiatan perbankan. Namun, aspek lingkungan seharusnya tidak menggunakan 68 69

Philippus M. Hadjon, op.cit hlm. 4 Ibid.,


pendekatan ini, karena dapat berpotensi untuk mengabaikan risiko-risiko yang belum teridentifikasi, atau yang hanya dapat teridentifikasi di masa mendatang. Penghapusan Strict Liability dalam RUU Cipta Kerja Salah satu hal yang menarik perhatian publik dalam RUU Cipta Kerja dalam tajuk Omnibus Law adalah dihapusnya prinsip strict liability dalam penegakan hukum lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari pasal 23 RUU Cipta Kerja yang berisi perubahan terhadap pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 88 berbunyi “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” Sementara dalam Draft RUU Cipta Kerja, pasal 88 diubah ketentuannya sebagai berikut “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya”. Adanya penghapusan terhadap frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” menjadi tanda tanya besar bagi pembuat draft RUU Cipta Kerja. Hal ini didasari pada implementasi pasal 88 UU PPLH sebagai pasal sakti untuk menjerat korporasi dalam hal membayar ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan karena aktivitas yang dilakukannya. Prinsip tanggung jawab mutlak atau dikenal dengan doktrin strict liability dimaksdi dengan tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan, atau menurut Mochtar Koesoemaatmadja, prinsip tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai sesuatu yang tidak relevan mutlak dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak.70 Ketentuan tersebut dalam sistem pertanggungjawaban dikenal dengan doktrin strict liability, bilamana melihat pada sistem hukum Belanda, doktrin strict liability dikenal sebagai 70

Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan. 2014. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas Strict Liability. Jurnal Yuridis Vol. 1, No. 2, Desember 2014., hlm. 160


tanggung gugat berdasarkan resiko atau resicoaansprakelijkheid yang merupakan bentuk tanggung jawab yang tidak didasarkan pada unsur kesalahan.71 Tanggung jawab berdasarkan resiko berlaku secara terbatas, hanya untuk kegiatan sebagai berikut (1) pengelolaan bahan berbahaya; (2) instalasi pengelolaan limbah; (3) kegiatan pengeboran. Sementara di Amerika, menurut James Krier, doktrin strict liability adalah the doctrine of strict liablity for abnormally dangerous activities can be of assistence in many cases of enviromental damage, strict liability is more than a burden shifting doctrine, since it not only relieves the plaintiff of the obligation to prove fault but forecloses the defedant proving the absence of fault.72 Doktrin strict liability dapat diimplementasikan apabila kegiatan tersebut memenuhi klasifikasi sebagai berikut73 1. Mengandung resiko berbahaya yang tinggi terhadap manusia, tanah, atau benda bergerak lainnya; 2. Kemungkinan terjadinya bahaya sangat besar; 3. Ketidakmampuan meniadakan resiko; 4. Kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang lazim dilakukan; 5. Ketidaksesuaian antara sifat kegiatan yang bersangkutan dengan lingkungan atau tempat dimana kegiatan tersebut dilakukan 6. Manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat dikalahkan oleh sifat-sifat bahaya kegiatan tersebut. Lebih riil lagi, konteks kegiatan berbahaya yang dimaksudkan dalam doktrin strict liability adalah74 1. Kegiatan usaha terkait dengan limbah berbahaya beracun; 2. Penyimpanan gas dengan jumlah yang besar di dalam kota; 3. Instalasi nuklir; 4. Pengeboran minyak; 5. Penggunaan mesin pematok tiang besar; 71

Imamulhadi. 2013. Perkembangan Prinsip Strict Liability dna Precautionary Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 25, No. 3, Oktober 2013., hlm. 420 72 Ibid., 73 Ibid., 74 Ibid.,


6. Limpahan air. Bilamana dicermati, dalam doktrin strict liability yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan, dapat terlihat kesesuaian dengan penjelasan diatas di mana hal yang digaris bawahi ketika seseorang atau suatu korporasi menggunakan bahan B3 yang menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan. Namun, implementasi doktrin strict liability di Indonesia belum sampai ke tahap pertanggung jawaban pidana, tetapi hanya sebatas kewajiban untuk membayar ganti rugi secara perdata. Dalam hal ini, ketentuan strict liability dalam UU PPLH merupakan lex specialis dari pasal 1365 KUH Perdata. Kendati demikian, adanya pasal ini masih merupakan senjata ampuh dalam meminta ganti rugi terhadap korporasi-korporasi yang ‘nakal’ dalam melaksanakan aktivitasnya yang dirasa merusak lingkungan. Ambil contoh, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sering menggunakan pasal ini dalam menjerat pelaku pembakar hutan. Pada tahun 2016, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendaftarkan gugatan terhadap empat perusahaan kelapa sawit yaitu PT RKK, PT ATG, PT PU, dan PT WAG.75 Adanya penghapusan terhadap frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” mengingatkan pada pengujian UU PPLH yang diinisiasi oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada tahun 2017. Dalam permohonannya, APHI dan GAPKI meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir terhadap pasal 88 UU PPLH seperti berikut “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh orang yang bersangkutan”. Dalam hal tersebut, Hakim Konstitusi I Gde Dewa Palguna, memberikan nasihat bahwa dalam wacana hukum lingkungan, kita sering menyebut ada istilah eco terrorism dan sebagainya. Itu menjadi salah satu pendorong yang memperkuat diterimanya universalitas prinsip strict liability. dan kita juga tahu bahwa ada alasan yang membebaskan dari strict

75

Syamdysara Saragih. 2017. Gugatan Karhutla, Dua Jurus KLHK Lawan 4 Perusahaan Sawit. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20170104/99/616692/gugatan-karhutla-dua-jurus-klhk-lawan-4perusahaan-sawit pada 7 Maret 2020


liability ini yang disebut sebagai act of god, force majeure, dan sebagainya kita sudah semua tahu.76 Hal ini menjadi suatu kemunduran apabila menghapus prinsip strict liability dalam penegakan hukum lingkungan. Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa perkembangan korporasi semakin besar di Indonesia, tidak dapat dipungkiri juga bahwa aktivitas korporasi banyak yang tidak memerhatikan dampak lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan yang membahayakan sekaligus merugikan masyarakat. Oleh karenanya, penghapusan prinsip strict liability akan menjadi pelemahan penegakan hukum terhadap korporasi yang melanggar ketentuan hukum lingkungan. Gery A. Ferguson menyatakan pandangan bahwa perusahaan didirikan untuk menghasilkan keuntungan bagi para pemiliknya dan para pejabat perusahaan termotivasi semata-mata untuk meningkatkan keuntungan. Sebuah perusahaan akan melakukan aktivitas kriminal hanya ketika para pejabatnya menyimpulkan bahwa aktivitas ini lebih mungkin menghasilkan keuntungan daripada tidak melakukan pelanggaran. Karenanya, cara paling tepat untuk menghalangi kejahatan perusahaan adalah memastikan bahwa seluruh social cost yang mengalir dari perbuatan pelanggaran ditanggung oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran. Jadi, bentuk sanksi yang paling efektif adalah pemidanaan yang bersifat finansial.77

76

Edward Febriyatri Kusuma. 2017. Hakim MK Nasihati Refli Harun: Strict Liability Diterima Universal. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3514308/hakim-mk-nasihati-refly-harun-strict-liability-diterima-universal pada 8 Maret 2020 77 Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan., op.cit hlm. 157


Penutup Pada akhirnya, berbicara masalah pembentukan undang-undang berarti berbicara bagaimana negara harusnya bergerak melayani masyarakat. Sebagai suatu instrumen hukum yang akan mengatur orang banyak, pembentukan undang-undang sudah selayaknya dapat diterima oleh masyarakat luas baik dalam segi formil maupun materil. Pun halnya omnibus law sebagai suatu rancangan hukum yang akan diberlakukan di masyarakat harus dapat menaktualisasikan rasa keadilan masyarakat. Dari analisis yang telah dilakukan, nampaknya politik hukum investasi benar-benar menjadi pijakan pada setiap bentuk perubahan undang-undang yang ada dalam draft RUU Cipta Kerja. Hal ini bisa jadi senjata makan tuan bagi masyarakat, mengingat akan sangat banyak kepentingan calon investor yang akan diakomodir oleh rancangan undang-undang tersebut. Tidak aneh bila rancangan undang-undang ini banyak mendapat protes keras dari masyarakat. Omnibus law bukan sekedar masalah golongan yang terdampak bila UU tersebut dipisahkan, tapi menjadi masalah seluruh golongan apabila tidak ditanggapi dengan serius.


Referensi Buku Barbara Sinclair. 2012. Unortodhox Lawmaking: New Legislative Processes in the U.S Congress. Los Angeles: Sage Browne, C., A. Di Batista, T. Geiger, and S. Verin. 2016. “The Executive Opinion Survey: The Voice of the Business Community.” The Global Competitiveness Report 2016–2017. Geneva: World Economic Forum. Budi Sutrisno dan Salim H. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada Darmaningtyas dkk. 2014. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani. Hendri Campbell. 1991. Blach’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co Hilaire Barnett.2002. Constitutional and Administrative Law. London: Cavendish Publishing Ltd Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press Merdi Hajiji. 2013. Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Rechtsvinding Vol. 2, No. 3, Desember 2013 Moh. Mahfud M.D. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: LP3ES Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius Philippus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Yuridika Siahaan N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited

Karya Tulis Agnes Fitryantica. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan., vol. 6, edisi 3, Oktober-November 2019 Bambang Suryono. 1999. Organisasi Nirlaba: Karakteristik dan Pelaporan Keuangan Organisasi. Jurnal Ekuitas Vol. 3, NO. 2, Juni 1999., Daniel N. Boger. 2017. Constitutional Avoidance: The Single Sunject Rule As An Interpretive Principle. Virginia Law Review Vol. 103: 1247


Farihan Aulia dan Sholahuddin Al-Fatih. 2017. Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal Legality, vol. 25, No. 1, Maret 2017 Firman Freaddy Busroh. 2017. Konseptualitas Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum, Vol. 10, No. 2, Agustus 2017 Imamulhadi. 2013. Perkembangan Prinsip Strict Liability dna Precautionary Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 25, No. 3, Oktober Joko Riskiyono. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015 Louis Massicotte. 2013. Omnibus Bills in Theory and Practice. Canadian Parliamentary Review/ Spring 2013 Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang yang Responsif. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015 Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan. 2014. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas Strict Liability. Jurnal Yuridis Vol. 1, No. 2, Desember 2014 Sarah Safira Aulianisa. 2019. Menakar Kompabilitas Transplantasi Omnibus Law dalam Konteks Peraturan Perundang-undangan dengan Sistem Hukum Indonesia. Paper dipresentasikan di Konferensi Ilmiah Hukum dan HAM 2019, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia S.F Marbun dan Mahfud M.D. 2000. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberti Syauqi dan Habibullah. 2016. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio Informa Vol. 2, No. 01, Januari-April 2016 Wicipto Setiadi. 2018. Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha. Jurnal Rechtsvinding Vol. 7, No. 3, Desember 2018

Laporan


World Bank. 2019. Doing Business 2019, Training for Reform. Diakses dari https://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/AnnualReports/English/DB2019-report_web-version.pdf pada 21 Februari 2020 World Bank. 2017. Doing Business 2018 : Reforming to Create Jobs (English). Doing Business 2018. Washington, D.C. : World Bank Group. United Nations. 2019. World Investment Report 2019. New York: United Nations Publications

Media Daring BBC Indonesia. 2019. Omnibus Law: Harapan Menarik Investasi dan Pembahasan yang ‘sentralistik’. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50837794 pada 21 Februari 2020 Edward Febriyatri Kusuma. 2017. Hakim MK Nasihati Refli Harun: Strict Liability Diterima Universal. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3514308/hakim-mk-nasihati-reflyharun-strict-liability-diterima-universal pada 8 Maret 2020 Efrem Siregar. 2020. Faisal Basri Kritik Omnibus Law Jokowi, Apa Alasannya?. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20191218211906-4-124277/faisal-basri-kritikomnibus-law-jokowi-apa-alasannya pada 19 Maret 2020 Dandy Bayu Bramasta. 2019. 5 Visi Jokowi untuk Indonesia. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/20/151257765/5-visi-jokowi-untukindonesia?page=all pada 3 Maret 2020 Gosanna Oktavia. 2020. Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka Kesempatan Pengaduan. Diakses dari https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-lawminim-partisipasi-publik-ombudsman-buka-kesempatan-pengaduan pada 22 Februari 2020 Chandra Gian Asmara. 2020. Mahfud MD Tegaskan Pasal 170 RUU Cipta Salah Ketik!. Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218134358-4-138675/mahfud-mdtegaskan-pasal-170-ruu-cipta-kerja-salah-ketik Pada 7 Maret 2020


Haris Prabowo. 2020. Ganti Nama, Pemerintah Akhirnya Serahkan RUU Cipta Kerja ke DPR. Diakses dari https://tirto.id/ganti-nama-pemerintah-akhirnya-serahkan-ruu-ciptakerja-ke-dpr-eyvupada pada 21 Februari 2020 Hendra Kusuma. 2019. Jokowi Kesal Ekspor dan Investasi RI Loyo. Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4464956/jokowi-kesal-ekspor-daninvestasi-ri-loyo pada 2 Maret 2020 Kumparan. 2018. Menteri PAN-RB: Ada 6 Penyakit Birokrasi di Indonesia (2018). Diakses melalui https://kumparan.com/langkanid/menteri-pan-rb-ada-6-penyakit-birokrasi-diindonesia pada 3 Maret 2020 Muhammad Genantan Saputra. 2020 . Menkumham Sebut Ada Salah Ketik di RUU Omnibus Law. Diakses di https://www.liputan6.com/news/read/4181369/menkumham-sebut-adasalah-ketik-di-ruu-omnibus-law Pada 7 Maret 2020 Petrus Kadeh Suherman. 2017. Delegasi Regulasi dan Simplifikasi Regulasi dalam Pembentukan Peraturan Kepala Daerah. Jurnal Advokasi Vol. 7, No. 1 (2017) Restu Diantina Putri,. 2020. Cara Anak Buah Jokowi Lepas Tangan soal Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Diakses di https://tirto.id/cara-anak-buah-jokowi-lepas-tangan-soal-pasal170-ruu-cipta-kerja-eAqZ pada 8 Maret 2020 Syamdysara Saragih. 2017. Gugatan Karhutla, Dua Jurus KLHK Lawan 4 Perusahaan Sawit. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20170104/99/616692/gugatankarhutla-dua-jurus-klhk-lawan-4-perusahaan-sawit pada 7 Maret 2020 Trio Hamdani. 2020. Investasi Loyo dan Daya Beli Lesu Biang Kerok Ekonomi Mentok 5%. Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4891785/investasiloyo-dan-daya-beli-lesu-biang-kerok-ekonomi-mentok-5 pada 2 Maret 2020 World Bank Group. 2020. World Development Indicators Diakses melalui http://datatopics.worldbank.org/world-development-indicators pada 3 Maret 2020


Perbandingan Pengaturan Ketenagakerjaan di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja serta Putusan Mahkamah Konstitusi

UU No 13 tahun 2003

UU Cipta Kerja

Pasal 43 yang mengatur terkait dengan perencanaan penggunaan tenaga kerja Asing Pasal 44 yang mengatur terkait dengan ketentuan standar kompetensi dan jabatan tertentu Pasal 46 yang mengatur terkait dengan pelarangan tenaga kerja asing untuk mengurusi personalia dan/atau jabatan tertentu Pasal 56 terkait dengan kerja untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu

Pasal 43 Dihapuskan

Pasal 59 ayat 1 disalah satu poinya dengan tegas mengatur bahwa pekerjaan untuk waktu tertentu hanya dapat diberikan pada pekerjaan yang sifatnya – salah satunya – adalah diperkirakan penyelesaianya tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun

Pasal 64 yang mengatur terkait pemborongan Pasal 65 yang mengatur lebih lanjut terkait pasal 64 Pasal 66 ayat 1 yang mengatur terkait pelarangan penggunaan pekerja/buruh dari perusahaan alih daya untuk melaksanakan

Pasal 44 Dihapuskan

Pasal 46 Dihapuskan

Pasal 56 terdapat tambahan ayat, yang mana mengatur bahwa ketentuan terkait pekerjaan dengan waktu tertentu akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah Pasal 59 ayat 1 yang tadinya mengatur tentang rentang waktu paling untuk kerja dengan waktu tertentu yaitu selama 3 tahun, ketentuan paling lama 3 tahun dihapuskan di dalam UU Cipta Kerja

Diantara Pasal 61 dan 62 disisipkan pasal 61A, yang diantara mengatur tentang uang kompensasi ketika berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja atau selesainya suatu pekerjaan Pasal 64 dihapuskan Pasal 65 dihapuskan Pasal 66 ayat 1 diubah menjadi berbunyi “hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang

Putusan MK Terkait


kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali jasa untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi

diperkerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja tidak tertentu

Terdapat penambahan ayat Pada Pasal 77, yaitu adalah ayat 4 yang didalamnya mengatur bahwa jam kerja buruh di sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu, maka jam kerja ditentukan dengan berdasarkan pada perjanjian kerja antara pemberi kerja dengan pencari kerja Pasal 78 yang mengatur terkait Pasal 78 yang mengatur terkait waktu untuk lembur, dimana waktu untuk lembur, terjadi sebelumnya waktu lembur perubahan dimana waktu paling lama adalah 3 jam lembur paling lama adalah 4 dalam satu hari dan 14 jam jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu dalam satu minggu Pasal 79 yang mengatur terkait Pasal 79 yang mengatur terkait cuti dan waktu istirihat, dimana cuti dan waktu istirahat, kewajiban perusahaan untuk menghilangkan hak cuti berupa memberikan cuti dan waktu (1) tidak adanya lagi cuti 2 hari istirahat yang meliputi (1) untuk hari kerja 5 hari dalam istirahat antara jam kerja, seminggu. Namun, seperti paling sedikit setelah bekerja pasal – pasal sebelumnya, yang selama 4 jam secara terus menjadi masalah selanjutnya menerus, dan waktu istirahat adalah banyak aturan yang tidak termasuk kedalam jam tadinya diatur dalam UU No 13 kerja (2) istirahat mingguan tahun 2003 menjadi hak yang selama 1 hari untuk 6 hari kerja ditentukan dalam perjanjian dalam 1 minggu atau 2 hari kerja untuk 5 kerja dalam 1 minggu, (3) Cuti tahunan, sekurang – kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus, dan (4) istirahat panjang sekurang – kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan Pasal 88 yang mengatur terkait Pasal 88 yang mengatur terkait


pengupahan, kebijakan pengupahan ditetapkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk melindungi pekerja/buruh. Karena tidak distate pemerintah mana, maka pemerintah daerah masih memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan terkait dengan pengupahan. Terdapat 11 bentuk kebijakan pengupahan yang ditujukan untuk melindungi pekerja/buruh. Lalu terkait dengan upah minimum, pemerintah menetapkan upah minimum dengan berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi

pengupahan, kebijakan pengupahan ditetapkan secara terpusat oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan terkait dengan pengupahan. Dapat saja pemerintahan daerah, baik tingkat 1 maupun tingkat 2 untuk membuat kebijakan tersebut, namun tentunya kewenangan tersebut merupakan pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat. Selanjutnya, kebijakan pengupahan dalam pasal 88 hanya terdapat 7 bentuk, dimana pesangon diantaranya tidak disebutkan secara eksplisit. Ketentuan lebih lanjut terkait kebijakan pengupahan akan diatur melalui peraturan pemerintah Diantara pasal 88 dan pasal 89, disisipkan 5 pasal yakni pasal 88A, pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E Pasal 88B ayat 1 menimbulkan bentuk ukuran pengupahan baru, yaitu satuan waktu, dan/atau satuan hasil. Pasal 88E, dalam ayat 2 disebutkan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Yang menjadi masalah adalah tidak dijelasknya upah minimum mana yang akan digunakan, apakah upah minimum provinsi yang digunakan ataupun upah minimum kabupaten yang dibentuk dengan syarat tertentu. Pasal 89 dihapuskan Pasal 90 dihapuskan Putusan MK No.


72/PUU-XIII/2015 menyatakan penjelasan pasal 90 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat

Pasal 91 yang diantaranya mengatur bahwa upah minimum yang disepakati antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang – undangan yang berlaku Pasal 92 yang mengatur terkait struktur dan skala upah menjelaskan bahwa skala upah dibentuk dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi, lalu dilakukan peninjauan secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas

Disisipkanya 2 pasal diantara pasal 90 dan pasal 91, pasal 90A dan Pasal 90B Pasal 90A Mengatur bahwa upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan Pasal 90B disebutkan bahwa kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang – kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata – rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik Pasal 91 dihapuskan

Pasal 92 yang mengatur terkait struktur dan skala upah, langsung menjelaskan bahwa skala upah dibentuk dengan hanya memperhtikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Perubahan atas pasal 95 yang

Putusan MK No


Pasal 98 yang mengatur terkait dengan dewan pengupahan ditegaskan bahwa terdapat beberapa layer dari dewan pengupahan, yaitu layer dewan pengupahan pusat, layer dewan pengupahan daerah tingkat 1 dan layer dewan pengupahan daerah tingka 2.

Pasal 151 mensyaratkan bahwa alasan dilakukan pemberhentianya hubungan kerja harus dirundingkan terlebih dahulu dengan pemerintah, dan serikat pekerja. Namun apabila buruh bersangkutan tidak mengikuti serikat kerja, maka langsung berunding dengan

terdiri dari 3 ayat, menambah ketentuan kewajiban pembayaran upah/buruh oleh perusahaan yang pailit sebagai prioritas, kapan harus dibayar, dan kepada siapa dibayar Pasal 98 yang mengatur terkait dengan dewan pengupahan hanya mengatur bahwa terdapat dewan pengupahan. Hal ini harus ditinjau lebih jauh, mengingat kebijakan pengupahan hanya berada dipusat, sehingga dewan pengupahan setelah diberlakukanya UU Cipta Kerja hanya terdiri dari dari Dewan Pengupahan Pusat. Pasal 151 mensyaratkan bahwa alasan dilakukan pemberhentian hubungan kerja hanya sifatnya merupakan pemberitahuan

Pasal 154A menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja dapat dibenarkan terjadi dengan beberapa alasan, diantaranya (1) melakukan merger, konsolidasi, ataupun likudasi dan buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh, (2) perusahaan melakukan efisiensi, (3) perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, (4) perusahaan tutup karena keadaan memaksa, (5)

67/PUU-XI/2013 menyatakan pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat


perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, (6) perusahaan pailiti Pasal 155 Dihapuskan

Pasal 157 ayat 4 yang mengatur bahwa ketentuan penetapan upah perhari adalah sesuai dengan upah rata – rata selama 12 bulan, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota

Pasal 156 ayat 2 yang mengatur terkait dengan uang pesangon, menghilangkan diksi “paling sedikit”. Selain itu, hak penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang sebelumnya ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon dihapuskan Pasal 157 ayat 4 menegaskan apabila rata rata upah harian tidak boleh dibawah upah minimum yang berlaku diwilayah domisili perusahaan

Pasal 162 dihapuskan, yang mana didalamnya mengatur bahwa pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri tetap memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal sebelumnya Pasal 163 dihapuskan juga, intinya mah sama terkait pesangon namun akibat perubahan status, merger,

Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa frasa “belum ditetapkan” pada pasal 155 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap


konsolidasi, dll dari perusahaan. Pasal 164 dihapuskan, yang mana mengatur bahwa perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja akibat perusahaan tutup akibat perusahaan mengalami kerugian atau keadaan memaksa wajib memberikan pesangon kepada pekerja/buruh Pasal 165 dihapuskan, yang mana mengatur bahwa perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja akibat perusahaan pailit wajib memberikan pesangon kepada pekerja/buruh Pasal 166 dihapuskan, yang mana mengatur bahwa buruh yang meninggal dunia, maka perusahaan wajib membayarkan pesangon sebesar 2 kali kepada ahli warisnya Pasal 165 dihapuskan, yang mana mengatur bahwa perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja akibat usia wajib memberikan pesangon kepada pekerja/buruh Pasal 170 dihapuskan Pasal 171 dihapuskan Referensi Draft RUU Cipta Kerja 905 Halaman Draft RUU Cipta Kerja 812 Halaman Sigar Aji Poerana. 2020. Berbagai Putusan MK yang Mengubah UU Ketenagakerjaan. Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5078c83ecf921/berbagaiputusan-mk-yang-mengubah-uu-ketenagakerjaan/ pada 15/10/2020



RUU P-KS: Menunggu Sampai Kapan? Pendahuluan Kekerasan fisik dan nonfisik menjadi momok menakutkan yang selalu berkeliaran di sepanjang kehidupan, khususnya bagi perempuan. Kekerasan yang dialami oleh perempuan terus bertambah setiap tahunnya. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang dirilis setiap 8 Maret, jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan sejak 2011-2019 tercatat sebanyak 46.698 kasus. Kasus pemerkosaan menjadi kasus dengan catatan tertinggi dengan jumlah kasus sebanyak 9.039.1 Namun, fakta bahwa banyak korban kekerasan seksual yang enggan untuk melapor adalah karena masih adanya ancaman dari pelaku maupun budaya victim blaming yang terus melanggeng. Budaya menyalahkan korban adalah anggapan bahwa kekerasan seksual terjadi tidak sepenuhnya salah pelaku, tetapi juga salah korb an yang dinilai ‘mengundang’ pelaku untuk melakukan tindakan seksual yang padahal tidak diinginkan korban. Berdasarkan

CATAHU

Komnas Perempuan dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat atau sebesar 792%.2 Kasus tercatat yang disajikan pada Gambar 1 masih hanya sebagian dari jumlah Gambar 1. Diagram data peningkatan kekerasan terhadap perempuan berdasarkan data dari Badilag dan data formulir kuesioner yang diterima Komnas Perempuan dari tahun ke tahun. (Sumber: CATAHU Komnas Perempuan 2020)

kasus

sebenarnya.

Fenomena

gunung es menjadi gambaran yang paling tepat untuk menjelaskan

kekerasan seksual yang pada kondisi sebenarnya, keberadaan perempuan masih jauh dari kata

1

Santoso B. 2020. Komnas: Tiap 2 Jam, 3 Perempuan Indonesia Alami Kekerasan Seksual. Diakses melalui https://www.suara.com/news/2020/05/14/043837/komnas-tiap-2-jam-3-perempuan-indonesia-alamikekerasan-seksual pada 8 juli 2020 2 Mustafainah A, Ifrah A, dkk. 2020. Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan Dan Anak Perempuan. diakses melalui https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/Catatan%20Tahunan%20Kekerasan%20Terhadap%2 0Perempuan%202020.pdf pada 8 juli 2020


aman. Menurut Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus, dalam jangka waktu dari 2016-2019 terdapat delapan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. 3 Jika hal tersebut tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin jumlah korban akan terus bertambah. Selama ini memang jarang terekspos oleh media terkait kekerasan seksual yang di alami oleh laki-laki. Walaupun kasusnya tidak sebanyak yang terjadi pada perempuan, pada kenyataannya laki-laki tetap dapat menjadi korban kekerasan seksual. Tatanan sosial yang telah terkonstruksi sampai saat ini memperlihatkan seakan-akan laki-laki tidak dapat menjadi korban kekerasan seksual dan malu untuk mengakui mereka adalah penyintas. Ketika laki-laki menjadi korban kekerasan seksual, masih banyak yang berpandangan bahwa penanganan kasus serta cerita kesaksian mereka akan terpinggirkan. Budaya patriarki mengakibatkan laki-laki menjadi menutup dirinya atas kejadian-kejadian kekerasan seksual serta perasaan tidak diindahkan kesaksiannya. Hal tersebut mempertontonkan dengan jelas bahwa budaya patriarki tidak hanya mempengaruhi perempuan yang terjebak pada pekerjaan dapur, sumur, dan kasur saja, tetapi juga laki-laki dengan karakter maskulinitasnya yang terlampau berlebih. Maskulinitas yang berlebihan sehingga berubah menjadi racun (toxic masculinity), membuat laki-laki beranggapan bahwa mereka harus terus-menerus terlihat jantan dan tidak boleh memperlihatkan sisi lemahnya. Sebuah survei pernah dilakukan seorang guru besar Univesity of California Los Angeles (UCLA) yang bernama Lara Stamp melalui Center for Disease Control and Prevention (CDC). Pada 2014, Lara Stamp merilis sebuah esai yang menjelaskan konteks berbagai survei nasional seputar kekerasan seksual terhadap laki-laki. Kasus kekerasan seksual yang dipaksa untuk melakukan penetrasi terhadap orang lain, terdapat 1,267 juta laki-laki yang mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual, sedangkan 1,270 juta perempuan mengaku pernah diperkosa di Amerika Serikat. Melalui penelitian terbarun yang menggunakan metode telepon, 68,6% laki-laki yang melaporkan pelecehan seksual adalah korban kekerasan seksual.

3

Noroyono B. 2019. Komnas Perempuan: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual. Diakses melalui https://republika.co.id/berita/q1itky384/komnas-perempuan-indonesia-darurat-kekerasan-seksual pada 8 juli 2020


Sedangkan 79,2% responden laki-laki yang dipaksa melakukan penetrasi dilecehkan oleh perempuan. 4 Selain itu, anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan justru tidak luput dari ancaman predator seksual. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar malah menjadi tempat rawan kekerasan. Selama tahun 2019, terdapat 123 kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah. Ironinya, kebanyakan pelaku kekerasan dilakukan oleh tenaga pendidik. Dari 21 kasus kekerasan seksual, 90% pelaku adalah seorang guru dan 10% kepala sekolah. Lalu, 62% dari 21 kasus kekerasan seksual terjadi di jenjang SD, 24% persen di jenjang SMP/sederajat dan 14% di jenjang SMA. 5 Selama pandemi Covid-19 terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual yang terjadi. Berdasarkan Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sejak 1 Januari hingga 26 Juni 2020 terdapat 1.962 laporan anak menjadi korban kekerasan seksual. 6 Siswa SD menjadi korban terbanyak karena mereka dinilai lebih mudah untuk dipengaruhi dan adanya relasi kuasa guru-murid sehingga mereka cenderung akan menurut. Ketidakpahaman mereka mengenai aktivitas seksual juga menambah faktor kerentanan siswa sekolah dasar menjadi korban kekerasan seksual. Begitupun yang terjadi terhadap siswa SMP dan SMA dengan iming-iming uang dan ancaman nilai seringkali menjadi jurus jitu menakuti korban. Oleh karena itu, pencegahan tindak kekerasan serta pengawasan lebih dari orangtua dan pihak sekolah sangat diperlukan agar dapat menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.

4

Blum S. 2016. Fenomena Tersembunyi Pria Diperkosa Perempuan. Diakses melalui https://www.vice.com/id_id/article/pgpp4z/fenomena-tersembunyi-pria-yang-diperkosa-wanita pada 9 juli 2020 5 Septianto B. 2019. 123 anak jadi korban kekerasan seksual di sekolah selama 2019. Diakses melalui https://tirto.id/123-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-di-sekolah-selama-2019-ep3D pada 8 juli 2020 6 Halidi R. 2020. Selama Pandemi Corona, Hampir 2 Ribu Anak Indonesia Alami Kekerasan Seksual. Diakses melalui https://www.suara.com/health/2020/07/08/083741/selama-pandemi-corona-hampir-2-ribu-anakindonesia-alami-kekerasan-seksual pada 8 juli 2020


Perkembangan zaman dan penyebaran teknologi yang sangat cepat juga berdampak pada kasus kekerasan

dalam

jaringan.

Kekerasan berbasis gender online (KBGO)

sama

saja

seperti

kekerasan berbasis gender secara langsung

dengan

melecehkan

niatan

korban,

untuk hanya

perbedaannya KBGO terjadi di dalam jaringan. Dimulai dari tahun 2015, Komnas Perempuan telah Gambar 2. Diagram data peningkatan kekerasan siber dari tahun 2014 hingga 2018. Sumber: CATAHU Komnas Perempuan

memberikan

catatan

tentang

kekerasan terhadap perempuan yang

terkait dengan dunia online. Setiap tahunnya, jumlah laporan yang diterima oleh Komnas Perempuan cenderung terus bertambah. Berdasarkan data yang dimiliki komnas perempuan, KBGO pada tahun 2017 terdapat 65 kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya. Dari 65 kasus tersebut terdapat 8 jenis kekerasan yang terjadi yaitu pendekatan untuk memperdaya, pelecehan online, peretasan, konten ilegal, pelanggaran privasi, ancaman distribusi foto dan video pribadi, pencemaran nama baik, dan rekrutmen online. Angka tersebut terus bertambah pada tahun 2018 terjadi kelonjakan hingga 50%, hal itu menandakan kekerasan seksual berbasis online akan sangat berbahaya jika tidak dicegah dari sekarang. 7

7

Arum N S, Kusuma E. 2019. Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online diaksses melalui https://id.safenet.or.id/wp-cont ent/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf pada 9 juli 2020


Beragam aktivitas di dunia

maya

yang

dapat

dikategorikan sebagai KBGO antara

lain,

pelanggaran

privasi seperti menggunakan atau

menyebarkan

pribadi

seseorang

seizin

orang

data tanpa

tersebut.

Pengawasan dan pemantauan seperti

melacak

atau

mengawasi kegiatan orang lain

tanpa

sepengetahuan

orang tersebut. Perusakan reputasi/kredibilitas

seperti

pembuatan berita palsu untuk mencemarkan

nama

baik

Gambar 3. Diagram tipe-tipe kekerasan berbasis gender online (KBGO) pada tahun 2018. Sumber: CATAHU Komnas Perempuan 2019

seseorang. Pelecehan seperti mengirim pesan tidak senonoh. Ancaman dan kekerasan langsung seperti penjualan perempuan ataupun pencurian online. Serangan yang ditargetkan kepada komunitas tertentu seperti peretasaan website dengan maksud dan tujuan tertentu. 8 Di Balik Tingginya Angka Kekerasan Seksual Kasus kekerasan seksual yang terus bertambah setiap tahun memiliki alasan di baliknya. Adanya budaya kekeraan seksual atau yang kerap disebut dengan rape culture menjadi penyebab utama tingginya angka kekerasan seksual. Menurut Dianne F. Herman (1984), selama tindakan kekerasan seksual dibangun sebagai tindakan kotor, rendah, dan keras yang masih melibatkan dominasi laki-laki atas perempuan terus dinormalisasi, budaya kekerasan seksual akan tetap menjadi hal umum dan terus melanggeng. 9 Kata kunci yang dapat dijelaskan lebih lanjut dari gagasan Dianne adalah perihal normalisasi tindakan budaya kekerasan seksual. Hal-hal tersebut diperinci dan disusun menjadi

8 9

Ibid. Jo Freeman. 1989. Women: A Feminist Perspective. Mayfield Publishing Company: 4th Edition.


piramida tingkatan kekerasan seksual yang jika tatanan terendah tetap dinormalisasi, tatanan berikutnya akan turut serta dinormalisasi secara perlahan. Piramida kekerasan seksual yang digagas oleh komunitas 11th Principle: Consent! membantu memetakan tindakan kekerasan seksual untuk lebih mudah memahami tindakan dan cara pencegahannya. 10 Tindakan kekerasan seksual yang paling umum ditemukan adalah rape jokes atau tindak kekerasan yang kerap dijadikan lelucon dan

candaan

bernada

seksis.

Tindakan seksis yang dibalut dengan candaan menjadikannya terlihat seperti hal normal

yang

tidak

dipermasalahkan.

seharusnya

Lelucon

yang

disangkutkan dengan tindak perkosaan dianggap sebagai dark jokes yang dianggap bukan

konsumsi

masyarakat

Anggapan-anggapan Gambar 4. Piramida kekerasan seksual (rape culture pyramid). Sumber: 11th Principle: Consent!

tersebut

umum. jelas

memperlihatkan bahwa tindakan itu sudah

terlalu dinormalisasi. Sebagai contoh nyata, status Ridwan Kamil di salah satu unggahan Instagram mendapat sorotan masyarakat karena bercadaannya yang malenggengkan stereotipe gender yang berbunyi “Dibalik kerja para lelaki ini, ada wanita rajin luluran dan perawatan yang setia menyemangati. Bandung-Bogor-Trenggalek. *bersyukurlah bukan lelakinya yang rajin luluran.�11 Seksisme yang merujuk pada tindakan diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan gender melanggengkan stereotipe peran terhadap gender tertentu. Dianne menyebutkan dominasi laki-laki terhadap perempuan menjadi hal yang menormalisasi tindak kekerasan. 12 Tindakan laki-laki yang kerap ingin mendominasi perempuan disebabkan oleh karakter maskulin laki-laki secara berlebihan (hipermaskulinitas). Hipermaskulinitas adalah di mana 10

Chandra J. & Cervix. 2018. Rape Culture Pyramid. Diakses melalui https://www.11thprincipleconsent.org/consent-propaganda/rape-culture-pyramid/ pada 16 Juli 2020 11 Patresia K. 2017. Di Balik Komentar-Komentar Post Instagram Ridwan Kamil. Diakses melalui https://tirto.id/di-balik-komentar-komentar-post-instagram-ridwan-kamis-cAN2 pada 16 Juli 2020 12 Jo Freeman. Op.cit


stereotipe karakteristik laki-laki yang harus jantan, kuat, keras, agresif, dan dominan yang berbanding terbalik terhadap karakter feminitas yang dilekatkan kepada perempuan. 13 Oleh karena itu, sering terjadi di mana laki-laki membutuhkan pembuktian atas kejantanannya dengan usaha-usaha untuk mendominasi dan/atau memegang kontrol terhadap perempuan yang dilekatkan dengan karakter feminitas lemah, pasif, dan penurut. Relasi antara laki-laki dan perempuan memperlihatkan adanya ketimpangan. Berbicara soal relasi, kekerasan seksual terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Kekuasaan kerap disalahgunakan oleh pelaku untuk membuat korban menurut dengan berbagai ancaman dan tekanan. Hukum di Indonesia yang berlaku saat ini belum ada yang menjelaskan soal relasi kuasa antara pelaku dan korban kecuali dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang berbunyi sebagai berikut. “Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/Pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.� Menurut Foucault, unsur penting pada relasi kuasa antara lain posisi lebih rendah atau tinggi di organisasi maupun tanpa organisasi dan ketergantungan seseorang kepada orang lain akibat status, budaya, ekonomi, pengetahuan, dan sebagainya. 14 Unsur ini yang melahirkan ketimpangan relasi kuasa, seperti dosen-mahasiswa, dosen senior-junior, kakak tingkat-adik tingkat, guru-murid, bos-karyawan, orang tua-anak, dll. Contoh yang paling mudah dipahami salah satunya kekerasan seksual antara tenaga pendidik dan siswa yang kerap memanfaatkan otoritas tenaga pendidik sebagai pelaku untuk mengancam siswa yang menjadi korban menggunakan nilai. Kasus lainnya adalah antara bos dan karyawan dengan ancaman pemotongan gaji, penurunan pangkat, hingga pemecatan. Ketimpangan relasi kuasa memaksa

13

Novi Kurnia. 2004. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Jurnal Universitas Indonesia Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 8, Nomor 1 14 Arif S. 2018. Pengaruh Kekuasaan Atas Pengetahuan. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjVjdK f0NPqAhUbyzgGHYtQDAwQFjADegQIBBAB&url=http%3A%2F%2Fejournal.uinsuka.ac.id%2Fushuluddin%2Fref%2Farticle%2Fdownload%2F1863%2F1436&usg=AOvVaw1ZcMIcP3MNZwCH_ SbOke5n pada 17 Juli 2020


korban untuk memberikan konsensual secara terpaksa dan di bawah tekanan karena adanya faktor ketergantungan kepada pelaku yang memberikan ancaman. Di tengah itu semua, budaya patriarki menjadi saluran pelanggeng hipermaskulinitas. Budaya patriarki adalah di mana laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh pada aspek umum dalam tatanan masyarakat baik itu secara ekonomi, sosial, politik, psikologi, hingga ke ranah privat yakni pernikahan.15 Hipermaskulinitas melanggengkan budaya patriarki yang memperbesar peluang ketimpangan relasi kuasa berbasis gender. Permasalahan satu dengan lainnya saling berkaitan dalam memetakan kesolidan budaya kekerasan seksual. Meskipun begitu, mitos-mitos kekerasan seksual yang kerap mereduksi empati dan malah menggeser kesalahan tindakan kepada korban membuat kekerasan seksual semakin dinormalisasi. Di dalam mitos tersebut ada budaya victim blaming yang membuat korban takut untuk melaporkan kejadian traumatis yang dialami. Tindakan menyalahkan korban sangat banyak dijadikan alasan atas kasus kekerasan seksual, seperti cara berpakaian korban yang dianggap mengundang pelaku, korban kekerasan seksual dianggap tidak lagi suci, fakta bahwa menjadi korban akan merusak nama baik pribadi maupun institusi, dsb. Selain itu, khususnya untuk laki-laki, karakter maskulin menjadi penghalang korban kekerasan seksual laki-laki untuk melaporkan kejadian yang dialami. Hal itu disebabkan salah satunya oleh karakter kejantanan mereka yang telah melekat akan dianggap rapuh jika fakta menjadi korban kekerasan sama dengan tidak dapat menjaga diri. Maskulinitas berlebihan yang cenderung menjadi beracun (toxic masculinity) terkonstruksi karena budaya patriarki yang subur sampai saat ini. Ujaran-ujaran seperti “Masa laki-laki kalah sama perempuan?”, “Jadi laki-laki jangan cengeng!”, “Kamu laki-laki harus bisa cari duit, masa nanti istrimu yang menafkahi kamu?”, dan lainnya adalah konstruksi dari budaya patriarki yang memaksa laki-laki untuk menjadi semaskulin mungkin hingga timbul perasaan tidak boleh menunjukkan sisi lemah dan kalah dari perempuan. Fakta tersebut mempertontonkan dengan jelas bahwa budaya patriarki tidak hanya berdampak kepada

15

Sakina A. & Hasanah Siti D. 2017. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Jurnal Universitas Padjadjaran Social Work, Vol. 7, Nomor 1


perempuan saja, tetapi juga laki-laki yang mendapat tekanan dari lingkungan yang telah terkonstruksi sebagaimana saat ini. Budaya kekerasan seksual menjadi persoalan sistemik karena telah dibiasakan dan dipelihara. Berbagai permasalahan di belakangnya saling bersangkutan: hipermaskulinitas, budaya patriarki, relasi kuasa, victim blaming, hingga mitos kekerasan seksual. Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep budaya kekerasan seksual agar dapat mengurangi angka kekerasan seksual hingga perlahan melunturkan budaya tersebut. Hukum Yang Responsif Dibutuhkan RUU PKS dalam perjalanannya melalui lika – liku yang sangat rumit. Munculnya ide mengenai RUU PKS diawali di tahun 2012 saat melihat besarnya angka kekerasan seksual dalam 1 dekade terakhir yaitu tahun 2001-2011 yang setiap harinya sebanyak 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Kemudian pada tahun 2014 komnas perempuan menyatakan darurat kekerasan seksual, karena pada tahun itu terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan. 16 Kemudian pada tahun 2015 RUU PKS dimasukkan kedalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) setelah komnas perempuan mendorong DPR untuk memasukkan masalah kekerasan seksual. Dan pada tahun 2016 komnas perempuan memberikan naskah akademik dan draft RUU PKS kepada DPR dan menjadikan sebagai RUU prioritas dalam prolegnas. Pada tahun 2017 DPR mengirimkan draft RUU kepada pemerintah setelah disahkan dalam sidang paripurna. Namun dari 774 poin dari 152 pasal RUU PKS yang diusulkan oleh DPR pemerintah mengusulkan banyak perubahan Pada tahun 2018 panitia kerja melakukan lima kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komnas Perempuan, pakar hukum, PB Muhammadiyah, Aliansi Cinta Keluarga, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, dan Wanita Hindu Dharma Indonesia. Yang kemudian disepakati untuk masuk kepembahasan dan akan dibahas setelah pemilu. 17

16

Riana F. 2018. Darurat Kekerasan Seksual dan Pembahasan RUU PKS yang Lambat. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1149125/darurat-kekerasan-seksual-dan-pembahasan-ruu-pks-yanglambat/full&view=ok pada 8 juli 2020 17 CNN Indonesia.2020. Riwayat RUU PKS di DPR: Sarat Kecurigaan, Mengulur Pembahasan. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200702090607-32-519880/riwayat-ruu-pks-di-dpr-saratkecurigaan-mengulur-pembahasan pada 8 juli 2020


Pada tanggal 12 Agustus 2019 Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin meminta penundaan pembahasan RUU PKS karena menganggap RUU PKS perlu dibahas lebih panjang dengan mempertimbangkan ajaran agama islam dan agama lain yang diakui di Indonesia. RUU PKS dianggap oleh beberapa golongan masyarakat sebagai bentuk Pro zina, LGBT serta penghinaan terhadap syariat islam dan pancasila. 18 Di pengawal tahun 2020, DPR mencabut 16 RUU dari prolegnas 2020 yang salah satunya adalah RUU PKS. Alasan yang menjadi penyebab pencabutan RUU PKS adalah pembahasan RUU PKS lumayan rumit. Alasan seperti itulah yang membuat Indonesia selalu tampak tertinggal dalam menelurkan peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik mengenai perlindungan dari kekerasan seksual. Apalagi berdasarkan pemaparan fakta dalam sub bab sebelumnya, telah diketahui bahwa angka kekerasan seksual terbilang cukup memprihatinkan. Oleh karenanya, adanya RUU PKS merupakan bentuk kebutuhan masyarakat akan adanya suatu hukum yang responsif. Phillipe Nonet dan Philip Selznick menyatakan pandangannya bahwa hukum responsif merupakan fasilitator atau sarana menanggapi kebutuhan dan aspirasi sosial. 19 Artinya, terdapat tiga aspek yang merepresentasikan pendapat tersebut. Pertama, dalam proses pembuatannya menyerap aspirasi yang seluas-luasnya. Kedua, cerminan isi hukumnya adalah menggambarkan kehendak dan aspirasi umum masyarakat. Ketiga, cakupan isinya bersifat rinci, mengatur hal-hal secara jelas dan cukup detail sehingga tidak dapat ditafsirkan secara sepihak. 20 Dalam konteks ini juga, hukum yang responsif akan mencirikan dua hal, yaitu (1) hukum harus fungsional pragmatis, bertujuan, dan rasional. (2) tujuannya adalah menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan, hal ini berarti tujuan sebagai norma kritik. 21 Kedua ciri tersebut nampaknya telah terepresentasikan oleh Komnas Perempuan dalam rilis persnya yang menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini dibentuk atas 18

Alaidrus F. 2019. RUU PKS: Belum Disahkan & Tak Ada Jaminan Dibahas DPR Periode Depan. Diakses dari https://tirto.id/ruu-pks-belum-disahkan-tak-ada-jaminan-dibahas-dpr-periode-depan-eibt pada 8 juli 2020 19 Iqbal Kamaludin, dkk. 2018. Politik Hukum dalam Kebijakan Hukum Pidana LGBT. Jurnal Cita Hukum Vol. 6 No. 2 2018.,. hlm. 322 20 Sudikno Mertokusumo. 2014. Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah. Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka., hlm. 56 21 Iqbal Kamaludin, dkk., loc.cit


dasar belum adanya regulasi hukum di Indonesia yang memberikan jaminan perlindungan secara spesifik atas kasus kekerasan seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini merespon darurat kekerasan seksual dan memperbaiki penanganannya agar lebih manusiawi dan bermartabat (yang menjadi prinsip universal seluruh agama). 22 Alasan DPR yang mengambil keputusan untuk menendang RUU PKS dari prolegnas prioritas 2020 karena alasan pembahasan yang sulit semakin mencirikan bahwa proses pembuatan undang-undang menjadi arena politik yang penuh kepentingan satu dua golongan. Hal ini juga mencirikan determinasi politik atas hukum yang berlebihan dalam pembentukan undang-undang di dapur parlemen. Pada dasarnya, proses politik yang terjadi di DPR memang merupakan hal yang lumrah, karena sistem perwakilan di Indonesia pun menggunakan sistem kepartaian yang pasti membawa kepentingan. Apalagi dalam kerangka posivistik, hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi bahkan bersaingan. Atau sederhananya, hukum yang diciptakan oleh DPR merupakan produk politik. 23 Namun, pendapat tersebut juga masih menuai pro dan kontra. Karena idealnya, interaksi hukum dan politik harus berada dalam derajat determinasi yang seimbang antara satu sama lain. Karenanya, hal ini tidak menafikan bahwa hukum adalah produk politik, namun kehidupan politik juga harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Konfigurasi politik akan memengaruhi karakter dari produk hukum dan hukum harus menjadi guideline, agar konfigurasi politik yang dilakukan oleh para elite tidak menyimpang dari tujuan bernegara. 24 Oleh karenanya, agar hukum terus menjadi wahana yang responsif dalam memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, kepentingan pembentukan hukum haruslah dibarengi dengan adanya politik hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan dan menunjukan sifat dan arah kemana hukum akan dibangun dan ditegakan. 25

22

Komnas Perempuan. 2019. Siaran Pers Komnas Perempuan Hoax tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Diakses dari https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-komnas-perempuan-hoaxtentang-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-jakarta-6-februari-2019 pada 16 Juli 2020 23 Merdi Hajiji. 2013. Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Rechtsvinding Vol. 2 No. 3 Desember 2013., hlm 3 24 Ibid., 25 Moh. Mahfud M.D. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES., hlm. 3


Dalam hal politik hukum RUU PKS, konteks yang harus dihighlight adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Karena hal ini merupakan amanat UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk melindungi, menghormati, dan memajukan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. RUU PKS memang ditujukan untuk semua gender. Namun, dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, rata-rata yang mendapatkan perilaku kekerasan seksual adalah kelompok perempuan. Ema Marhumah dalam tulisannya mengatakan bahwa perempuan termasuk kelompok yang vurnelable, sekelompok yang rentan terhadap terjadinya kekerasan disamping kelompok anak dan mayoritas. 26 Perempuan masih cenderung tertinggal dan termarjinalkan dalam bidang ekonomi, pendidikan, pekerjaan, maupun politik. Hal ini dikarenakan masih kentalnya budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Pada masyarakat dengan budaya patriarki, laki-laki lebih berperan dalam memegang kekuasaan yang otomatis mendegredasi peran dan keberadaan perempuan. 27 Perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan inilah yang menyebabkan lahirnya ketidakadilan, baik bagi laki-laki terlebih lagi perempuan. Menurut Mansour Faqih ketidakadilan ini termanifestasikan dalam beberapa bentuk28, yaitu 1. Marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan; 2. Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam putusan politik; 3. Stereotip atau pelabelan negatif 4. Beban kerja yang lebih panjang atau banyak 5. Kekerasan 6. Sosialisasi ideologi nilai peran gender Ke semua bentuk ketidakadilan ini tidak bisa dipisah-pisahkan karena terkait satu sama lain dan dibakukan lewat sistem politik, agama, sosial, ekonomi, bahkan hukum.

26

Ema Marhumah. 2013. Menakar Perempuan dalam KUHP. Jurnal Musawa Vol. 12 No. 2 Juli 2013., hlm. 5 Komariah Emong Supardjadja, dkk. 2006. Laporan Akhir Kompendium Tentang Hak-Hak Perempuan. Jakarta : BPHN diakses dari https://www.bphn.go.id/data/documents/hak_hak_perempuan.pdf 28 Ibid., 27


Dalam Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, selain keadaan sosiokultural masyarakat yang direpresentasikan oleh ketidakadilan yang disebutkan Mansour Faqih, hal yang menghambat juga dianalisis dengan aspek yuridis. Permasalahan ditemukan pada aspek substansi, struktur, dan budaya hukum. Aspek substansi menekankan pada materi muatan UU yang belum maksimal melindungi hak korban dan memilah bentuk kekerasan seksual yang memiliki banyak ruang lingkup, aspek struktur yang menekankan belum adanya unit dan prosedur penanganan pada kasus kekerasan seksual, dan aspek budaya hukum yang menekankan adanya aparat penegak hukum yang masih berpegang teguh pada wacana moralitas sehingga berpengaruh pada pandangan terhadap korban kekerasan seksual. 29 Untuk mendobrak hal tersebut, perubahan yang progresif sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, perubahan progresif tersebut dapat dimulai ketika sudah adanya regulasi yang mengatur secara khusus mengenai kekerasan seksual. Mengapa? Hal ini sesuai dengan fungsi dan tujuan dari hukum itu sendiri. Meminjam pendapat Mochtar Koesoemaatmadja yang menyatakan bahwa fungsi dari hukum adalah untuk menjamin keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat, keteraturan inilah yang menyebabkan orang dapat hidup berkepastian sehingga bermuara pada keadilan. 30 Keteraturan dapat mencapai keadaan keadilan dapat dicapai manakala terdapat substansi hukum yang menjamin keamanan bagi seluruh masyarakat dan menjadi pedoman penegakan hukum yang baik. Sampai Kapan Menunggu? Diskursus RUU PKS yang terus berlarut-larut hingga saat ini terus menimbulkan tanya sampai kapan ini berakhir. DPR sebagai penjelmaan lembaga perwakilan rakyat di Indonesia— bersama DPD—yang mana memiliki salah satu fungsi sebagaimana ditegaskan dalam pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 yaitu fungsi legislasi. Fungsi legislasi dalam bentuk konkretnya terwujud dalam tindakan pembentukan undang-undang (law making function). Kewenangan ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga dengan norma hukum yang mengikat dan membatasi. 31 Fungsi legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu (1) prakarsa

29

DPR RI. 2017. Naskah Akademik RUU PKS. Jakarta: DPR RI Mochtar Koesoemaatmadja. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung : Alumni., hlm 40 31 Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press., hlm. 299 30


pembuatan undang-undang; (2) pembahasan rancangan undang-undang; (3) persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang; (4) pemberian persetujuan atas ratifikasi perjanjian internasional. Bilamana merefleksikan hal tersebut dalam lika liku RUU PKS yang dimulai sejak tahun 2015, nampaknya progress RUU ini selalu mandek karena perbedaan kepentingan sehingga menyebebkan RUU ini selalu ditunda di tahap pembahasan. Padahal proses pembahasan menjadi hal yang sacral dimana terdapat banyak aspirasi yang masuk ke DPR terkait RUU PKS. Lembaga negara—apalagi pembuat undang-undang—menurut Phillipe Nonet dan Philip Selznick haruslah memiliki kemampuan untuk dapat dengan cerdas mempertimbangkan fakta sosial yang akan ditransformasikan menjadi hukum kemudian diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Bilamana melihat dinamika yang terjadi sepanjang tahun 2020, terdapat banyak gelombang massa yang menuntut untuk segera disahkannya RUU PKS. Hal tersebut merupakan aspirasi publik yang seharusnya diserap dan dijalankan oleh DPR. Tapi nampaknya, beberapa dinamika yang terjadi malah memperlihatkan DPR yang tutup telinga dengan mendepak RUU PKS dari prolegnas prioritas 2020. Apa yang kurang dari DPR ialah adanya political will untuk segera mengesahkan RUU PKS. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, mengenai hubungan hukum dan politik yang terjadi di dalam proses pembentukan undang-undang di DPR, hukum mau tidak mau hukum merupakan das sein yang secara realistis sangat dipengaruhi oleh politik. Bahkan, Daniel S. Lev mengatakan bahwa yang paling menentukan dalam proses hukum adalah keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi ideologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya. 32 Namun, hal ini tidak boleh diberlakukan secara berlebihan karena adanya politik hukum yang tercermin dalam UUD 1945. Dalam konteks RUU PKS, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa politik hukum yang harus dikedepankan adalah perlindungan hak asasi manusia. DPR harus mengingat ini dan mengesampingkan perdebatan politis selama hal ini merupakan kebutuhan dan aspirasi

32

Mehdi Hajiji., loc.cit


rakyat. Dengan didepaknya RUU PKS dari prolegnas prioritas 2020, justru memperlihatkan ketidaksungguhan para wakil rakyat dalam menjalankan amanat UUD 1945, khususnya perlindungan HAM yang menyatakan bahwa semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi serta setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu. Penutup Dinamika yang terjadi mengenai tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia justru memperlihatkan fakta miris di belakangnya. Kekerasan seksual merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi pada salah satu jenis kelamin saja, bahkan lebih dari itu kekerasan seksual juga menghantui berbagai macam umur dan kalangan masyarakat. Ditendangnya RUU PKS dari prolegnas prioritas 2020 justru semakin membuat banyak pertanyaan mengenai komitmen para wakil rakyat untuk menjalankan amanat UUD 1945. Dengan banyaknya aspirasi yang masuk, harusnya RUU PKS segera disahkan menjadi UU. Hal ini sebagaimana pengaktualisasian fungsi dari Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945


Daftar Pustaka Dokumen Hukum Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Buku Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press Jo Freeman. 1989. Women: A Feminist Perspective. Mayfield Publishing Company: 4th Edition. Mochtar Koesoemaatmadja. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung : Alumni Moh. Mahfud M.D. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES Sudikno Mertokusumo. 2014. Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah. Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka

Jurnal Ema Marhumah. 2013. Menakar Perempuan dalam KUHP. Jurnal Musawa Vol. 12 No. 2 Juli 2013 Iqbal Kamaludin, dkk. 2018. Politik Hukum dalam Kebijakan Hukum Pidana LGBT. Jurnal Cita Hukum Vol. 6 No. 2 2018 Merdi Hajiji. 2013. Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Rechtsvinding Vol. 2 No. 3 Desember 2013 Novi Kurnia. 2004. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Jurnal Universitas Indonesia Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 8, Nomor 1 Sakina A. & Hasanah Siti D. 2017. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Jurnal Universitas Padjadjaran Social Work, Vol. 7, Nomor 1


Laporan Arum N. S. & Kusuma E. 2019. Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online diaksses melalui https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/PanduanKBGO-v2.pdf pada 9 juli 2020 Komariah Emong Supardjadja, dkk. 2006. Laporan Akhir Kompendium Tentang Hak-Hak Perempuan. Jakarta : BPHN diakses dari https://www.bphn.go.id/data/documents/hak_hak_perempuan.pdf Mustafainah A., Ifrah A., dkk. 2020. Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan Dan Anak Perempuan. Diakses melalui https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/Catatan%20Tahunan%20Kek erasan%20Terhadap%20Perempuan%202020.pdf pada 8 juli 2020

Media Daring Arif S. 2018. Pengaruh Kekuasaan Atas Pengetahuan. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&u act=8&ved=2ahUKEwjVjdKf0NPqAhUbyzgGHYtQDAwQFjADegQIBBAB&url=ht tp%3A%2F%2Fejournal.uinsuka.ac.id%2Fushuluddin%2Fref%2Farticle%2Fdownload%2F1863%2F1436&usg= AOvVaw1ZcMIcP3MNZwCH_SbOke5n pada 17 Juli 2020 Alaidrus F. 2019. RUU PKS: Belum Disahkan & Tak Ada Jaminan Dibahas DPR Periode Depan. Diakses dari https://tirto.id/ruu-pks-belum-disahkan-tak-ada-jaminan-dibahasdpr-periode-depan-eibt pada 8 juli 2020 CNN Indonesia.2020. Riwayat RUU PKS di DPR: Sarat Kecurigaan, Mengulur Pembahasan. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200702090607-32519880/riwayat-ruu-pks-di-dpr-sarat-kecurigaan-mengulur-pembahasan pada 8 juli 2020


Blum S. 2016. Fenomena Tersembunyi Pria Diperkosa Perempuan. Diakses melalui https://www.vice.com/id_id/article/pgpp4z/fenomena-tersembunyi-pria-yangdiperkosa-wanita pada 9 juli 2020

Chandra J. & Cervix. 2018. Rape Culture Pyramid. Diakses melalui https://www.11thprincipleconsent.org/consent-propaganda/rape-culture-pyramid/ pada 16 Juli 2020 Halidi R. 2020. Selama Pandemi Corona, Hampir 2 Ribu Anak Indonesia Alami Kekerasan Seksual. Diakses melalui https://www.suara.com/health/2020/07/08/083741/selamapandemi-corona-hampir-2-ribu-anak-indonesia-alami-kekerasan-seksual pada 8 juli 2020 Noroyono B. 2019. Komnas Perempuan: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual. Diakses melalui

https://republika.co.id/berita/q1itky384/komnas-perempuan-indonesia-

darurat-kekerasan-seksual pada 8 juli 2020 Patresia K. 2017. Di Balik Komentar-Komentar Post Instagram Ridwan Kamil. Diakses melalui https://tirto.id/di-balik-komentar-komentar-post-instagram-ridwan-kamiscAN2 pada 16 Juli 2020 Riana F. 2018. Darurat Kekerasan Seksual dan Pembahasan RUU PKS yang Lambat. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1149125/darurat-kekerasan-seksual-danpembahasan-ruu-pks-yang-lambat/full&view=ok pada 8 juli 2020 Santoso B. 2020. Komnas: Tiap 2 Jam, 3 Perempuan Indonesia Alami Kekerasan Seksual. Diakses melalui https://www.suara.com/news/2020/05/14/043837/komnas-tiap-2-jam3-perempuan-indonesia-alami-kekerasan-seksual pada 8 juli 2020 Septianto B. 2019. 123 anak jadi korban kekerasan seksual di sekolah selama 2019. Diakses melalui

https://tirto.id/123-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-di-sekolah-selama-

2019-ep3D pada 8 juli 2020



Menilik Kontroversi dibalik Revisi UU Minerba Pendahuluan Gelombang aksi besar-besaran pada 24 September 2019 membawa banyak tuntutan terkait dengan pembentukan undang-undang yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia. Salah satu pointnya adalah penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut RUU Minerba). Dalam perkembangannya, gelombang aksi tersebut berhasil menunda pembahasan RUU Minerba pada akhir tahun 2019 karena masalah masa jabatan DPR RI periode 2014-2019 yang hendak rampung. Namun, pada awal tahun 2020, RUU tersebut kembali dibahas dimana pemerintah dan Komisi VII DPR RI sepakat untuk membuat panitia kerja RUU Minerba pada 13 Februari 2020. 1 Hal ini tentu tidak luput dari perhatian publik, setelah RKUHP yang tiba-tiba kembali dibahas di tengah masa pandemik, kini menyusul RUU Minerba yang akan disahkan. Banyak kalangan yang mengkritik niat DPR dan Pemerintah, salah satunya adalah PWYP Indonesia melalui Aryanto Nugroho yang menyayangkan pembahasan RUU Kontroversial selama masa pandemik. 2 Selain itu, permasalahan RUU Minerba terdapat pada transparansi yang tak kunjung diberikan pada publik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Merah Johansyah dari JATAM yang mengatakan bahwa pembahasan RUU Minerba di Komisi VII sangat tertutup dan minim partisipasi publik. 3 Polemik tersebut berhenti pada 12 Mei 2020 dimana RUU Minerba akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR RI dan resmi menjadi Undang-Undang. Ketua Komisi VII DPR RI menyatakan bahwa pembahasan telah dilakukan secara intensif sepanjang 7 Februari-6 Mei 2020 yang telah melibatkan stakeholders. Namun, pengesahan ini tentu menuai banyak kritik terhadap substansi UU Minerba yang tidak kunjung mengalami perubahan yang sesuai rasa 1

Vincent Fabian Thomas. 2020. Kembali dibahas, Pemerintah dan DPR Sepakat Bentuk Panja RUU Minerba. Diakses dari https://tirto.id/kembali-dibahas-pemerintah-dpr-sepakat-bentuk-panja-ruu-minerba-eyG7 pada 20 Juli 2020 2 Yurika. 2020. DPR Diminta Tunda Pengesahan RUU Minerba. Diakses darihttps://www.dunia-energi.com/dprdiminta-tunda-pengesahan-ruu-minerba/ pada 20 Juli 2020 3 Ibid.,


keadilan rakyat Indonesia.4 Kajian ini akan berfokus pada kilas balik point kontroversial RUU Minerba yang kini telah menjadi UU Minerba. Catatan Terhadap Proses Pembentukan UU Minerba Produk Undang-undang merupakan bentuk hukum yang paling tinggi statusnya setelah Undang-undang Dasar. Jika dikomparasikan dengan sistem hukum Belanda, Undang-undang dapat disepadankan dengan wet yang memiliki kedudukan tertinggi dibawah grondwet, atau seperti di Amerika Serikat dengan Act (Legislative Act) dan berada dibawah Constitution sebagai produk hukum, Undang-undang baru mengikat untuk umum sebagai algemene verbidende vioorschiften atau peraturan yang mengikat untuk umum yaitu ketika diundangkan. Bentuk administrasi pengundangan Undang-undang dilakukan dengan cara menerbitkan naskah Undang-undang dimaksud melalui Lembaran Negara Republik Indonesia (LN-RI). Sementara itu, untuk naskah penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLN-RI).5 Sederhananya, Undang-undang merupakan hanya salah satu bentuk peraturan yang dibentuk oleh DPR, dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, dan disahkan oleh Presiden dan diundangkan sebagaimana mestinya atas perintah Presiden sehingga menjadi norma hukum yang mengikat untuk umum. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya UU P3) menjabarkan bahwa dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan—termasuk

undang-undang—meliputi

tahapan

perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Jika ditarik lebih jauh, bilamana berbicara mengenai peraturan perundang-undangan—sebagaimana dikatakan oleh Crabbe—maka tidak hanya berbicara mengenai pengaturannya, tetapi juga sampai ke pembentukannya yang harus sesuai dengan asas-asas yang berkaitan dengan materi muatannya. 6 Maria Farida Indrati menyatakan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. 7 4

Muh. Ahsan Ridhoi. 2020. Deretan Pasal Bermasalah RUU Minerba dan Alasan DPR Tetap Kebut Bahas. Diakses dari https://katadata.co.id/berita/2020/04/17/deretan-pasal-bermasalah-ruu-minerba-dan-alasandpr-tetap-kebut-bahas pada 21 Juli 2020 5 Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press., hlm. 166. 6 VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited., hlm. 4 7 Maria Farida Indrati. 2010. Ilmu Perundang-undangan I. Yogyakarta: Kanisius., hlm. 252


Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik meliputi asas formal yang mencakup tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ atau lembaga yang tepat, materi muatan yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali. Juga harus meliputi asas material seperti sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum, sesuai dengan prinsip pemerintah berdasarkan konstitusi. 8 Oleh karenanya, sebagaimana dikatakan oleh Maria Farida, bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik akan berfungsi sebagai rambu-rambu yang akan menuntun setiap pembentukan peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku, sehingga jika telah selesai nanti, hasil dari pembentukannya tidak cacat secara formil maupun cacat secara materiil. Hal ini juga berlaku dalam pembahasan RUU Minerba sebelum disahkan menjadi UU yang harus sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam UU P3, meliputi kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. 9 Namun, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ketika pembahasan RUU Minerba, banyak kelompok masyarakat yang malah mempertanyakan transparansi atau keterbukaan pembahasan RUU Minerba. Marah Johansyah dari JATAM (Jaringan Advokasi Tambang)

menyatakan bahwa pembahasan RUU Minerba terkesan tertutup dan minim

partisipasi publik baik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), dialog-dialog publik, maupun forum resmi lainnya yang dilakukan Panja RUU Minerba dengan mengundang stakeholder, khususnya masyarakat terdampak di sekitar tambang, pemerintah daerah penghasil SDA, akademisi, pemerhati energi, dan organisasi masyarakat sipil. Bahkan Panja RUU Minerba dikatakan telah menyelesaikan pembahasan 938 DIM RUU Minerba dalam sidang-sidang tertutup di kurun waktu yang singkat.10

8

Ibid., Vide pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 10 Yurika., loc.cit 9


Hal yang serupa disampaikan oleh Lucius Karius yang merupakan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang menilai DPR tertutup saat membahas revisi UU Minerba yang ditunjukan dengan tidak ada informasi terkait proses Revisi UU Minerba yang bisa diakses oleh publik. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa situs DPR tidak menginformasikan proses pembahasan RUU Minerba serta tidak adanya draft RUU Minerba di situs DPR dan Pemerintah.11 Nonet dan Selznick menekankan pentingnya peran masyarakat dalam pembentukan produk hukum harus terlihat pada proses pembentukannya yang partisipatif dengan mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu maupun kelompok masyarakat. Selain itu harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan masyarakat bukan hanya kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. 12 Menurut Handoyo, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membuka ruang partisipasi masyarakat, yaitu 13 1. Membuka akses informasi seluruh komponen masyarakat tentang proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan 2. Merumuskan aturan main khususnya yang menyangkut transparansi penyusunan dan perumusan rancangan peraturan perundang-undangan 3. Merumuskan secara bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara

mengakomodi

aspirasi masyarakat dalam pembahasan peraturan perundang-undangan 4. Menyusun kode etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunannya terdiri dari unsur DPR, masyarakat, akademisi, dan media massa 5. Memperluas jaringan kerjasama di kalangan civil society yang selama ini sifatnya ad hoc. Jaringan tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada pembagian tugas dan tanggung jawab memantau proses perumusan kaidah hukum.

11

Kompas. 2020. Strategi DPR dan Pemerintah Sahkan RUU Minerba di Tengah Wabah. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/05/12/08232201/strategi-dpr-dan-pemerintah-sahkan-ruu-minerbadi-tengah-wabah pada 21 Juli 2020 12 Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang yang Responsif. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015., hlm. 331 13 Joko Riskiyono. 2015. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015., hlm. 160


Partisipasi dalam pembentukan undang-undang merupakan jaminan terhadap rakyat agar dapat turut serta dalam proses penyelenggaraan negara dan mengakses kebijakan publik secara bebas dan terbuka. Dalam hal ini, diberlakukan untuk mewujudkan adanya demokrasi partisipatoris yang akan berkaitan dengan penjaminan partisipasi politik rakyat pasca pemilu. 14 Selain itu, sebagaimana telah disebutkan bahwa dengan dijaminnya partisipasi masyarakat akan membuat proses pembentukan undang-undang menjadi terbuka dan membuat kesan tidak ada sesuatu yang disembunyikan, sehingga legitimasi dari kebijakan yang diambil pun akan bertambah.15 Adanya catatan terhadap pembentukan undang-undang yang kurang melibatkan partisipasi masyarakat seakan menjadi lagu lama pada setiap pembentukan beberapa undangundang yang kontroversial. Bila hak partisipasi masyarakat dilanggar, suatu undang-undang dapat dikatakan berlaku namun tidak memenuhi syarat secara formal undang-undang.16 Tentu dengan berbagai catatan terhadap pembentukan UU Minerba yang telah disebutkan oleh JATAM dan Formappi, hal ini tentu menimbulkan dampak terhadap legitimasi UU Minerba itu sendiri yang berkurang karena menimbulkan kesan ada sesuatu yang disembunyikan. Catatan Terhadap Pasal yang Kontroversial 1. Penghapusan Aturan Terkait Guaranteed Royalty Terdapat beberapa bentuk sumber pendapatan yang diterima oleh pemerintah yang berasal dari kegiatan pertambangan, diantaranya adalah pajak penghasilan dari perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, pendapatan berupa dividend atau timbal balik investasi dari perusahaan pertambangan yang mana pemerintah memiliki saham di dalamnya ataupun royalti dari setiap bahan galian yang ditambang oleh perusahaan pertambangan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Tentunya pendapatan berupa dividend bergantung pada besaran dividend yang disalurkan oleh perusahaan dan besaran saham yang dimiliki. Sedangkan Royalti bergantung pada aturan terkait dan juga banyaknya mineral atau batubara yang dieksplorasi oleh perusahaan pemegang IUP.

14

Ibid., Ibid., 16 Ibid., 15


Dengan disahkanya UU Minerba terbaru, sumber pendapatan dalam bentuk royalti berpotensi sangat berkurang bahkan hilang. Hal ini dikarenakan penghapusan aturan terkait royalti tersebut, yaitu penghapusan Pasal 45 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009. Dalam pasal 45 dijelaskan bahwa : “Mineral atau batubara yang digali sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 dikenai iuran produksi” Penghapusan pasal ini sudah sangat jelas merepresentasikan kepentingan dari perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan. Dengan adanya aturan yang mengatur terkait kewajiban perusahaan membayar royalti untuk satuan mineral atau batubara yang dieksplorasi, perusahaan tentu harus mengeluarkan biaya ekstra di luar biaya operasional pertambangan. Namun dengan penghapusan aturan tersebut, perusahaan tidak lagi berkewajiban membayar royalti untuk tiap satuan batubara atau mineral. Di lain sisi, potensi pendapatan atau penerimaan pemerintah yang berasal dari royalti atas mineral atau batubara akan sangat berkurang bahkan hilang. Mengingat pihak – pihak pemegang IUP yang melakukan kegiatan pertambangan tidak lagi berkewajiban untuk membayar royalti kepada pemerintah. 2. Penghilangan Transparansi dan Kerentanan Eksploitasi Berlebihan Selain adanya potensi penurunan pendapatan pemerintah dari royalti pertambangan mineral atau bahan tambang, alasan lain kenapa UU minerba harus ditolak adalah penghapusan aturan terkait kewajiban transparansi kegiatan pertambangan dan hasil pertambangan dari pemegang Izin Usaha pertambangan (IUP) kepada pemerintah sebagai pemberi Izin Usaha Pertambangan, yaitu penghapusan pasal 43 dalam UU minerba terbaru. Pasal 43 menjelaskan bahwa : “(1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) esksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP (2) Pemegang IUP eksplorasi yang ingin menjual atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan” Penghapusan aturan terkait kewajiban melapor dari pemegang IUP kepada pemberi IUP - yang sebelumnya diatur pada Pasal 43 Undang – Undang Nomor 4


Tahun 2009 – secara langsung menggngurkan kewajiban pemegang IUP eksplorasi untuk melaporkan kegiatan pertambanganya dan hasil yang diperoleh dari kegiatan pertambangan. Dengan pengguguran kewajiban melapor ini, secara langsung akan memperlemah pengawasan pemerintah terhadap jalanya kegiatan pertambangan. Konsekuensi logis yang muncul adalah keadaan ini memberikan ruang kepada para pemegang IUP melakukan eksplorasi secara berlebihan yang justru mengarah pada eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan.

3. Reduksi Semangat Desentralisasi Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan ruh dari desentralisasi. Secara umum, aturan dan prinsip – prinsip terkait desentralisasi diatur dan dijelaskan didalam UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang selanjutnya diperbarui melalui UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah yang terakhir diubah dengan UU No 9 Tahun 2015. Dalam hal pertambangan, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara tegas telah diatur dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 4 ayat (2) UU No 4 Tahun 2009 menjelaskan bahwa : “Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah” Namun, Pasal 4 ayat (2) UU No 3 tahun 2020 yang merupakan perubahan atas Pasal 4 ayat (2) UU No 4 Tahun 2009 justru mengembalikan penyelenggaran atas kewenangan tersebut kepada pemerintah pusat. Pasal 4 ayat (2) yang diperbarui menjelaskan bahwa : “Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.” Selanjutnya, ketentuan – ketentuan pelaksanaan penguasaan ini diatur dalam pasal 4 ayat (3) UU No 3 Tahun 2020 yang berbunyi : “Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengeloiaan, dan pengawasan.”


Dampak atas perubahan Pasal 4 ayat (2) UU No 4 Tahun 2009 secara langsung adalah pemerintah daerah tidak lagi memiliki hak untuk melaksanakan kewenangan di bidang mineral dan batubara, yang mana hak ini akan tersentralisasi di pemerintah pusat. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan semangat desentralisasi, khususnya dalam hal yang kaitannya dengan mineral dan batubara. Padahal, urusan pertambangan mineral dan batu bara menjadi salah satu hal strategis dimana peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan. Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 10/PUU-X/2012 menyatakan “Bahwa di samping itu, Mahkamah juga perlu mempertimbangkan aspek lain yang juga menjadi semangat konstitusi dalam pembagian urusan pemerintahan, yaitu otonomi yang seluas-luasnya, demokratisasi politik serta pemberdayaan daerah yang diamanatkan oleh konstitusi. Menurut Mahkamah, pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam Minerba berdampak langsung terhadap daerah yang menjadi wilayah usaha pertambangan, baik dampak lingkungan yang berpengaruh pada kualitas sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan masyarakat daerah yang bersangkutan, maupun dampak ekonomi dalam rangka kesejahteraan masyarakat di daerah� Dengan kekuasaan pengelolaan minerba yang terpusat mengakibatkan terreduksinya semangat otonomi daerah sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi. Apalagi pengelolaan pertambangan minerba sangat memiliki dampak langsung bagi daerah, sehingga sangat aneh apabila daerah sendiri tidak diberikan wewenang untuk mengatur sesuatu yang akan sangat berdampak bagi daerahnya.

4. Masalah Ruang Hidup Rakyat dan Potensi Kriminalisasi Akibat Mempertahankan Ruang Hidup Dalam revisi UU Minerba menambahkan definisi baru terkait Wilayah Hukum Pertambangan (WHP) yang didefinisikan sebagai seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landasan kontinen. Penambahan definisi ini pada akhirnya berkaitan dengan ruang lingkup penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun, ICEL sendiri memberikan catatan terkait WHP akan sangat memiliki dampak dalam hubungannya dengan konsep tata ruang. WHP dalam Revisi UU


Minerba tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana posisi dan penetapan WHP di dalam konsep tata ruang nasional. Padahal, hal ini menjadi penting karena penataan ruang dan kebijakan penggunaan ruang yang memiliki peran krusial dalam mengelola trade off antara pemanfaatan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan manfaat sosial demi tercapainya pembangunan berkelanjutan.17 Kebijakan penggunaan ruang akan sangat berkaitan dengan ruang hidup masyarakat. Apalagi bila ditilik lebih lanjut, pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan merupakan salah sektor “penyumbang” terjadinya konflik agraria. Selama tahun 2018, Konsorsium Pembaruan Agraria dalam laporannya yang berjudul “Catatan Akhir Tahun 2018 : Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik” mencatat konflik agraria terjadi sedikitnya 410 kejadian, dimana perkebunan menjadi sektor “penyumbang” terbesar konflik agraria sebanyak 144 kasus (35%), sektor properti menyumbang 137 kasus (33%), sektor pertambangan sebanyak 29 kasus (7%), dan sisanya berasal dari sektor pertanian, sektor infrastrukur serta sektor pesisir/kelautan.18 Dengan penambahan makna terkait wilayah hukum pertambangan (WHP), kejadian – kejadian terkait alih fungsi lahan hingga perampasan lahan sangat berpotensi semakin membesar dengan dalih untuk kepentingan pertambangan. Di sisi lain, potensi kriminalisasi terkait dengan konflik agraria akibat perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 juga semakin tinggi. Pasal 162 UU No 3 Tahun 2020 mengatur terkait pemidanaan pihak – pihak yang dianggap menghalang – halangi kegiatan pertambangan akan sangat rawan digunakan untuk mengkriminalisasi pihak – pihak tertentu, terutama saat terjadinya sengketa lahan. Masih dari catatan akhir tahun 2018 Konsorsium Pembaruan Agraria menjelaskan bahwa tingginya angka konflik agraria tersebut karena masih banyak terjadi tumpang tindih hak atas tanah dari warga dengan perusahaan swasta ataupun

17

ICEL. 2020. Beberapa Kritik Hukum Terhadap Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara. Diakses dari https://icel.or.id/wp-content/uploads/Seri-Analisis-ICEL-Minerba.rev1_-1.pdf pada 24 Juli 2020 18 Konsorsium Pembaruan Agraria. 2019. Catatan Akhir Tahun 2018 : Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik. Diakses dari http://kpa.or.id/publikasi/baca/laporan/30/Catahu_2018_Masa_Depan_Reforma_Agraria_Melampaui_Tahun _Politik/ pada 24 Juli 2020


perusahaan milik negara, juga akibat pemberian izin baru atas lahan yang justru melanggar hak dari warga. Dengan merujuk pasal 162, maka terdapat potensi paradoks dari konflik agraria, dengan konteks konflik agraria terjadi saat kedua belah pihak yang mengklaim dirinya memiliki hak atas sebuah lahan saling berkonfrontasi untuk membela hak dengan dasar argumenya masing – masing, alih – alih kejadian – kejadian konflik agraria menurun karena perbaikan tata ruang, perbaikan perizinan dan perbaikan – perbaikan lainya yang bersifat sistemik, justru konflik agraria menghilang karena masyarakat yang mencoba membela haknya dapat dengan cepat dikriminalisasi, dengan dalih mengganggu kegiatan pertambangan seperti yang dijelaskan pada pasal 162. Ataupun lebih lanjut, masyarakat justru tidak lagi berani untuk membela hak – hak atas tanah dan ruang hidupnya yang terdegradasi akibat adanya kegiatan pertambangan karena adanya pasal 162 dalam UU No 3 Tahun 2020 ataupun kejadian – kejadian kriminalisasi akibat pasal 162 tersebut. Pada akhirnya, perusahaan pertambangan kembalilah yang akan sangat diuntungkan dengan adanya pasal tersebut. 5. Terkait Perizinan Isu terkait perizinan juga merupakan salah satu aspek yang menjadi alasan kenapa perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 sama sekali tidak mencerminkan kepentingan masyarakat, namun semata – mata hanya mengakomodir kepentingan dari perusahaan pertambangan pemegang IUP. Dalam pasal 169A dijelaskan bahwa : “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak /Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara. b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.” Dengan adanya Pasal 169A, khususnya pasal 1, perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B)


memperoleh penjaminan untuk menerima perpanjangan kontrak sebanyak dua kali dengan masing – masing kontrak memiliki jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun. Yang menjadi masalah ketika sebuah perusahaan pemegang KK ataupun PKP2B mendapatkan penjaminan perpanjangan kontrak - yang mana penjaminan ini diatur sebanyak 2 (dua) kali – adalah hilangnya proses lelang terkait dengan KK ataupun PKP2B. Dalam proses lelang, seharusnya pemerintah dapat melakukan evaluasi terhadap perusahaan pemegang KK ataupun PKP2B berkenaan dengan kepatuhan perusahaan tersebut terhadap kontrak, kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku, hingga mengevaluasi bagaimana kinerja lingkungan dari pemegang KK ataupun PKP2B. Dengan penjaminan perpanjangan kontrak ini, tentu lelang dan ruang untuk melakukan evaluasi ini sama sekali hilang. Penutup Pengesahan revisi UU Minerba yang memiliki banyak masalah baik dalam taraf proses pembentukan dan substansi tentu menambah catatan hitam dalam sejarah legislasi di Indonesia. Bagaimana tidak, DPR dan Pemerintah seharusnya menjadi lembaga yang mengedepankan akuntabilitas dalam proses pembentukan UU. Hal ini dikarenakan UU merupakan salah satu instrumen hukum yang akan membebani hak dan kewajiban rakyat, sehingga sudah seyogyanya pembentukan UU harus mengikuti kaidah yang baik dan benar. Dari beberapa analisis resiko yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengesahan UU No 3 Tahun 2020 tidak lebih adalah sebatas untuk mengakomodasi kepentingan dari para perusahaan tambang, ataupun para pemilik modal yang sedang atau akan melakukan kegiatan ekonomi di bidang pertambangan. Jika dalih yang diajukan adalah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan, penghapusan pasal 45 terkait dengan royalti dari mineral atau batubara justru menghilangkan potensi pendapatan negara yang berasal dari royalti. Di lain sisi, perusahaan tambang tidak lagi mengeluarkan biaya ekstra sebagai kompensasi atas royalti yang harus dibayarkan untuk setiap satuan mineral atau batubara yang dieksplorasi. Penghilangan kewajiban transparansi kegiatan pertambangan dan juga hasil pertambangan juga tentunya sangat menguntungkan para pengusaha tambang, dimana dengan hilangnya kewajiban transparansi ini, pengawasan dari pemerintah akan berkurang bahkan


hilang. Selain itu potensi semakin tingginya konflik agraria karena kriminalisasi berlebihan dalam pasal 162 revisi UU Minerba juga patut menjadi catatan. Apalagi permasalahan penyelesaiannya terkadang membuat rakyat terpaksa kalah karena relasi kuasa yang tak berimbang. Terakhir, permasalahan perpanjangan perizinan secara otomatis tanpa proses lelang terlebih dahulu juga akan bermasalah karena pemerintah sendiri akan kesulitan untuk melakukan evaluasi kontrak. Hal-hal itulah yang kemudian menjadi catatan terhadap revisi UU Minerba yang kini telah berlaku di Indonesia. Catatan dalam proses pembentukan dan substansinya menjadi alasan kuat dari penolakan terhadap revisi UU Minerba. Hal ini yang kemudian harus menjadi perhatian bagi segenap masyarakat agar tidak lagi kecolongan pengesahan RUU lain yang masih bermasalah.

Kontributor :  Hario Danang Pambudhi (FH 2017)  Dika Gustiana Irawan (FEB 2018)


Daftar Pustaka Buku Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press Maria Farida Indrati. 2010. Ilmu Perundang-undangan I. Yogyakarta VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited Karya Tulis ICEL. 2020. Beberapa Kritik Hukum Terhadap Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara. Diakses dari https://icel.or.id/wp-content/uploads/Seri-Analisis-ICELMinerba.rev1_-1.pdf pada 24 Juli 2020 Joko Riskiyono. 2015. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015 Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang yang Responsif. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015 Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria. 2019. Catatan Akhir Tahun 2018 : Masa Depan Reforma Agraria

Melampaui

Tahun

Politik.

Diakses

dari

http://kpa.or.id/publikasi/baca/laporan/30/Catahu_2018_Masa_Depan_Reforma_Agraria_Mel ampaui_Tahun_Politik/ pada 24 Juli 2020 Media Daring Kompas. 2020. Strategi DPR dan Pemerintah Sahkan RUU Minerba di Tengah Wabah. Diakses

dari

https://nasional.kompas.com/read/2020/05/12/08232201/strategi-dpr-dan-

pemerintah-sahkan-ruu-minerba-di-tengah-wabah pada 21 Juli 2020 Muh. Ahsan Ridhoi. 2020. Deretan Pasal Bermasalah RUU Minerba dan Alasan DPR Tetap Kebut Bahas. Diakses dari https://katadata.co.id/berita/2020/04/17/deretan-pasal-bermasalahruu-minerba-dan-alasan-dpr-tetap-kebut-bahas pada 21 Juli 2020


Vincent Fabian Thomas. 2020. Kembali dibahas, Pemerintah dan DPR Sepakat Bentuk Panja RUU Minerba. Diakses dari https://tirto.id/kembali-dibahas-pemerintah-dpr-sepakat-bentukpanja-ruu-minerba-eyG7 pada 20 Juli 2020 Yurika.

2020.

DPR

Diminta

Tunda

Pengesahan

RUU

Minerba.

Diakses

darihttps://www.dunia-energi.com/dpr-diminta-tunda-pengesahan-ruu-minerba/ pada 20 Juli 2020


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Ada Apa dengan Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi? Reformasi hukum yang diaktualisasikan dalam perubahan UUD 1945 yang terjadi pada medio 1999-2002 turut membawa semangat baru dalam demokratisasi Indonesia. Salah satunya adalah munculnya lembaga baru yang disebut sebagai Mahkamah Konstitusi (MK). MK dipahami dalam rangka mewujudkan check and balances antara cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan sebagai penyeimbang kekuasaan pembentuk undangundang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden sebagai positive legislature. Adanya MK juga menunjukan adanya pergeseran paradigma supremasi yang awalnya berada di parlemen— dalam konteks Indonesia adalah MPR—menuju supremasi konstitusi. Hans Kelsen menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi dan didaulat sebagai penjaga konstitusi dalam bentuk pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih rendah dengan aturan hukum yang lebih tinggi.1 Seiring berjalannya waktu, walau terdapat jatuh bangun dalam dinamika MK, namun kelembagaan MK mulai menemukan performa terbaiknya sebagai pengadilan konstitusi. Adapun perubahan instrumen hukum MK terus menerus berjalan dan membuat diskursus masyarakat. Hal ini sebagai bentuk harapan masyarakat akan pembaharuan kelembagaan MK yang progresif. Revisi UU MK kembali naik ke permukaan setelah masuk ke daftar prolegnas 2020-2024 yang harapannya menjawab harapan tersebut. Namun, revisi UU MK yang semula ditunggu malah menimbulkan pertanyaan atas pengesahan yang secepat kilat. Setelah revisi UU MK gagal masuk ke prolegnas, revisi UU MK kemudian masuk ke paripurna tengah tahun karena alasan sebagai salah satu daftar kumulatif terbuka. Namun, perubahannya secara substantif hanya mengatur penambahan masa jabatan hakim konstitusi dan ketua juga wakil ketua MK. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa revisi UU yang mengatur kelembagaan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berperan penting dalam menjaga

1

I D.G. Palguna, Mahkamah Konstitusi: Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan dengan Negara Lain, Jakarta: Konstitusi Press, 2018, hlm. 141.


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran demokrasi di Indonesia dilakukan seperti ketika pengesahan UU KPK yaitu tergesa-gesa. Apakah hal ini merupakan mahar politik Pemerintah dan DPR agar pengujian UU kontroversial dapat sesuai dengan keinginan pembentuk undang-undang? Peran Mahkmah Konstitusi dalam Menjaga Demokrasi di Indonesia Kita semua sepakat, bahwa perlindungan demokrasi di suatu negara sangatlah penting. Setidaknya ada beberapa alasan, yaitu pertama, demokrasi sangat menghargai posisi rakyat baik dalam konteks prosedur demokrasi maupun dalam hal praktik kekuasaan negara secara umum. Kedua, demokrasi mengandung sejumlah nilai yang harus diwujudkan dalam tataran praktik demokrasi seperti keadilan, kejujuran, transparansi, partisipasi, pemberdayaan, dan non diskriminasi serta dalam penyelenggaraan pemerintah yang terbatas kekuasannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang, dan pembatasan tersebut tercantum suatu hal yang disebut demokrasi konstitusi.2 Dengan demikian, untuk mewujudkan dan melindungi nilai-nilai tersebut sudah seyogyanya dimasukkan ke dalam sebuah konstitusi suatu negara. Mengingat konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena hal tersebut merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Artinya, dalam konteks Indonesia, maka Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) penting untuk didesain dan digunakan untuk melindungi demokrasi di Indonesia. Maka dalam rangka menjaga konstitusi dari segala penyelewengannya yang sangat mungkin terjadi, Mahkamah Konstitusi (MK) hadir selain sebagai lembaga yang mempunyai kewajiban untuk menjaga dan mengawal konstitusi3 juga menjadi benteng penegakkan keadilan konstitusional (constitutional justice) melalui putusan-putusannya atau yang sering disebut sebagai peradilan konstitusi (constitutional judiciary).4

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2002, hlm. 52. Nanang Sri Darmadi, “Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia�, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 7, No. 6, 2015, hlm. 2. 4 Ahmad Syahriza, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta: Padnya Paramita, 2006, hlm. 263. 3


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Oleh karena itu, tidak heran pemerintah menyasar Mahkamah Konstitusi yang notabene pelindung demokrasi. Dalam beberapa kasus, Mahkamah Konstitusi menjadi penghalang bagi pemerintah untuk melancarkan strategi politiknya. Misalnya, pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6//PUU-XVI/2018, yang menyatakan bahwa kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengambil langkah hukum terhadap orang yang merendahkannya sebagaimana isi undang-undang tersebut merupakan hal yang bertentangan dengan UUD 1945.5 Sayangnya, dalam beberapa kasus lainnya, upaya pemerintah dalam melemahkan Mahkamah Konstitusi sedikit banyak berpengaruh kepada ketahanan Mahkamah Konstitusi dalam melindungi demokrasi. Seperti, dalam permohonan uji materi terhadap Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang telah disetujui DPR ditolak oleh MK dengan dasar telah hilangnya objek permohonan para pemohon. Padahal, Perppu Ormas mengancam HAM minoritas karena berpotensi memantik diskriminasi, persekusi, bahkan kriminalisasi.6 Di samping itu, pelantikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang terbukti melanggar dua kali kode etik yang disyaratkan di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi. Dengan dilantiknya sosok tersebut, artinya, standar hakim MK telah diturunkan entah dengan motif apa. Kecurigaan masyarakat bukannya tidak berdasar, Arief Hidayat pernah menolak gugatan uji materi Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015 tentang Objek Hak Angket DPR. Singkatnya, keputusan yang menguntungkan DPR berkorelasi dengan lolosnya Arief Hidayat dari fit and proper test. Protes masyarakat yang dilayangkan terhadap dirinya juga dianggap angin lalu.7 Serangan yang dilempar secara bertubi-tubi dengan maksud hendak melemahkan Mahkamah Konstitusi akhirnya sampai di titik puncak, yaitu saat disahkannya Revisi Ketiga Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 1 September lalu. Hal ini tentunya sangat 5

Lihat Putusan MK Nomor 6/PUU-XVI/2018. Ninis Chairunnisa, Tempo, Alasan MK Nyatakan Uji Materi Perpu Ormas Tak Dapat Diterima, https://nasional.tempo.co/read/1041820/alasan-mk-nyatakan-uji-materi-perpu-ormas-tak-dapat-diterima, diakses 5 September 2020. 7 M. Ahsan Ridhoi, Tirto.id, Pelantikan Arief Hidayat Wujud Penurunan Kualitas Hakim MK, https://tirto.id/pelantikan-arief-hidayat-wujud-penurunan-kualitas-hakim-mk-cGQo, diakses 5 September 2020. 6


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mengherankan, sebab muatannya dianggap sarat akan kepentingan. Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, UU ini dikhawatirkan dapat menjadi barter politik.8 Pemerintah dan DPR dianggap mempunyai kepentingan karena Mahkamah Konstitusi sedang menangani judicial review sejumlah undang-undang kontroversial. Apabila hal ini terus berlanjut, akan terjadi benturan dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengawalan demokrasi dan pengujian terhadap undang-undang tentunya dapat terintervensi apabila telah ditunggangi kepentingan politik. Apabila Mahkamah Konstitusi dapat ditundukkan dengan kompromi politik seperti ini, maka tafsiran dan Putusan Mahkamah Konstitusi berpotensi hanya akan jadi satu yang turut meruntuhkan nilai-nilai konstitusi kelak9 yang berarti mengkhianati tujuan awal dibentuknya lembaga ini sebagai guardian of constitution.

Prinsip Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Tidak Diimplementasikan di Dalam Revisi Ketiga Undang-Undang Mahkamah Konstitusi? 1 September 2020 adalah salah satu tanggal yang membawa kejutan bagi masyarakat Indonesia dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang kini resmi menjadi undang-undang (UU MK). Nyatanya, RUU MK sendiri di dalam pembahasannya menerima berbagai kritikan. Tidak sampai di situ, tanda tanya besar pun muncul ketika RUU tersebut disahkan karena dianggap memiliki beberapa kejanggalan di dalamnya. Kejanggalan pertama terdapat di dalam pembahasannya yang terburu-buru dan dilakukan secara tertutup. Pendapat pun muncul dari salah satu Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Agil Oktaryal, yang mengungkapkan bahwa prinsip umum pembentukan peraturan perundang-undangan telah dilanggar di dalam pembahasan RUU MK. RUU MK sendiri dibahas oleh DPR dan Pemerintah dalam kurun waktu dua hari di tanggal 26 hingga 27

8

Ardito Ramadhan, Kompas.com, ICW Khawatir Revisi UU MK Jadi Alat Barter Politik, https://nasional.kompas.com/read/2020/08/28/15162671/icw-khawatir-revisi-uu-mk-jadi-alat-barter-politik, diakses 5 September 2020. 9 Andi Saputra, detikNews, Diduga Ada Barter Politik di Balik Pengesahan UU MK, Siapa Diuntungkan?, https://news.detik.com/berita/d-5156295/diduga-ada-barter-politik-di-balik-pengesahan-uu-mksiapadiuntungkan?, diakses 5 September 2020.


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Agustus 2020. Alhasil, dikarenakan pembahasannya yang terbilang sangat cepat menyebabkan tidak adanya kontribusi masyarakat di dalam pembahasan RUU tersebut, pembahasan yang dilakukan merupakan pencederaan Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, di mana kedua ayat tersebut berbunyi:10 “(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang.” “(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.” Ketentuan kedua ayat di atas kemudian diperkuat dengan ketentuan yang dicantumkan pada Pasal 96 yang berbunyi: “(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” “(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a.

Rapat dengar pendapat umum

b.

Kunjungan kerja

c.

Sosialisasi dan/atau

d.

Seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.”

“(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.” “(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan

10

Sania Mashabi, Kompas.com, Pembahasan Revisi UU MK Dinilai Langgar Prinsip Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, https://nasional.kompas.com/read/2020/08/28/13103001/pembahasan-revisi-uu-mkdinilai-langgar-prinsip-pembentukan-peraturan?page=all, diakses 3 September 2020.


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.” Sayangnya, masyarakat yang seharusnya menerima informasi mengenai adanya pembahasan RUU MK yang tengah dibahas oleh DPR maupun Pemerintah, tidak pernah menerima kabar tersebut. Alhasil, hak masyarakat guna menyampaikan pendapatnya pun seolah-olah diambil begitu saja oleh pemangku kepentingan. Di sisi lain, masyarakat yang juga turut menjadi pihak yang memiliki wewenang guna merencanakan, mengatur, melaksanakan, serta melakukan pengawasan serta penilaian terhadap keberlangsungan berbagai fungsi kekuasaan yang dimiliki oleh ketiga bidang kekuasaan di Indonesia, yaitu, legislatif, eksekutif, dan yudikatif pun nampaknya hanya omong kosong belaka.11 Lantas, apakah ini konsep demokrasi yang selama ini dianut oleh Indonesia? Sistem yang selama ini dikenal dengan asas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang juga didukung dengan pernyataan di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dimana disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar12 hanyalah angan-angan. Mirisnya, alasan dari pembahasan RUU MK yang dilakukan secara tutup juga dinilai tidak masuk akal. Sebagaimana dipaparkan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Shaleh bahwa pembahasan RUU MK memang dilakukan secara tertutup agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi di tengah-tengah masyarakat.13 Tidak berhenti sampai di situ, fakta lain mengenai prosedural yang berkaitan dengan RUU MK sendiri juga memiliki kejanggalan di dalamnya. Apabila merujuk pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) dipaparkan sebagai berikut: “Penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas.” Ketentuan di dalam pasal tersebut nyatanya bertentangan dengan kenyataan yang ada. Faktanya, RUU MK pada 2 April 2020 secara tiba-tiba disetujui untuk masuk ke dalam daftar kumulatif terbuka. Padahal, RUU MK sendiri tidak terdapat di dalam daftar Program 11

Cora Elly Novianti, “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 2, 2013. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 13 Sania Mashabi, Loc.cit. 12


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020. Alhasil, hal tersebut pun menunjukkan bahwa telah terjadinya penyimpangan terhadap ketentuan yang tercantum di dalam peraturan perundang-undangan yang ada.14

Pembahasan dan Pengesahan RUU MK Tidak Tahu Waktu Seperti yang kita tahu bahwa pada saat ini Indonesia masih dihadapkan dengan pandemi akibat Coronavirus yang akhirnya ditetapkan sebagai pandemi global oleh World Health Organizatiton (WHO), kenyataan ini pula yang mendasari berbagai pertanyaan mengenai perlukah dilakukannya pengesahan RUU MK di tengah pandemi? Pada situasi dan kondisi yang genting seperti ini, prioritas utama akan kebutuhan masyarakat adalah upaya guna memerangi Coronavirus yang menyebabkan penyakit COVID19. Memang betul bahwa DPR maupun Pemerintah tidak hanya diam dan berpangku tangan saja, hal ini sendiri dibuktikan dengan disetujuinya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang oleh DPR. Akan tetapi, kita juga tidak dapat memungkiri bahwa adanya eksistensi dari beberapa rancangan undang-undang yang disahkan di tengah-tengah pandemi malah tidak memiliki kaitan dengan kebutuhan masyarakat saat ini dan justru dinilai merugikan.15

Di mana Keberadaan Naskah Akademik RUU MK? Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, dibutuhkan suatu naskah akademik (NA) sebagai landasan dari setiap pasalnya. Naskah tersebut terpaut oleh landasan filosofis,

14

Ega Ramadayanti dan Ramos Adi Perisai, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi: Praktik Barter Politik yang Nihil Substantif?, http://fh.unpad.ac.id/revisi-undangundang-mahkamah-konstitusi-praktik-barter-politik-yang-nihil-substantif/, diakses 4 September 2020. 15 Fahmi Ramadhan Firdaus, Hukum Online, Potensi Masalah Hukum Jika UU Disahkan di Tengah Pandemi COVID-19, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5f0566af97b4f/potensi-masalah-hukum-jikauu-disahkan-di-tengah-pandemi-covid-19/, diakses 4 September 2020.


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yuridis, dan sosialis yang menjadi tolak ukur mengapa undang-undang tersebut harus disahkan. NA adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.16 Selain itu, NA sendiri berguna dalam memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai maksud dari pemerintah ataupun penguasa yang memiliki kewenangan ketika merancang suatu peraturan yang nantinya akan disahkan. Dengan demikian keberadaan dan peranan dari NA sangatlah krusial. Sehingga penyusunan dari NA di Indonesia turut diatur pada Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi sebagai berikut: “(3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.� Berdasarkan pemaparan di atas, maka kita dapat mengetahui seberapa pentingnya keberadaan NA dalam sebuah pembentukan peraturan. Sayangnya, hal ini tidak diimplementasikan di dalam Revisi Ketiga RUU MK yang telah disahkan menjadi UU MK saat ini. Oleh sebab itu, nihilnya NA di dalam Revisi Ketiga UU MK merupakan salah satu bentuk dari cacat prosedur dalam pembentukannya yang berujung kepada keabsahan yang patut untuk dipertanyakan.

Catatan Terhadap Aspek Materil Revisi UU MK Sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, hadirnya Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan hal esensil dalam negara hukum, di mana MK akan menjadi negative legislature sebagai penyeimbang DPR dan Pemerintah yang berperan sebagai positive legislature secara aspek politik pembentukan peraturan perundang-undangan.

16

Tri Jata Ayu Pramesti, Hukum Online, Dimana Mendapat Naskah Akademik Suatu Undang-Undang?, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt55c772768f189/dimana-mendapatkan-naskahakademiksuatu-undang-undang/, diakses 5 September 2020.


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Hal inilah yang membuat MK—sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman—memiliki tuntutan moril sebagai lembaga independen dan imparsial dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang diberikan oleh UUD 1945. Secara umum, salah satu aspek independensi tersebut mencakup dimensi fungsional yang mana memiliki definisi larangan terhadap lembaga lain dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.17 Namun, nampaknya aspek tersebut menemukan tantangan berarti di pertengahan tahun 2020 ini. UU Mahkamah Konstitusi kembali direvisi dengan secepat kilat. Hal ini masih menunjukan praktik adanya determinasi politik terhadap hukum dan secara tidak langsung menunjukan rentannya independensi kekuasaan kehakiman yang instrumen hukumnya dapat diubah sesuka hati oleh DPR dan Pemerintah tanpa pelibatan partisipasi publik secara maksimal. Setidaknya, dalam revisi UU MK ini ada beberapa substansi perubahan. Pertama, penambahan usia minimal pencalonan sebagai hakim konstitusi. Di mana dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dalam UU No. 8 Tahun 2011 batas minimal pencalonan hakim konstitusi berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan. Sementara dalam Revisi UU MK, menyatakan bahwa batas minimal pencalonan hakim konstitusi berusia paling rendah 60 Tahun. 18 Hal ini sekaligus bertalian dengan batas usia pensiun hakim konstitusi yaitu 70 tahun, penghapusan periodisasi masa jabatan hakim konstitusi, dan memiliki dampak hukum kedepan yaitu pada saat UU ini sudah diberlakukan, apabila ada hakim konstitusi yang jabatannya berakhir pada usia 60 tahun maka otomatis akan meneruskan jabatannya sampai usia 70 tahun. Kedua, penambahan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK yang semula dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dalam UU No. 8 Tahun

17

Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konsitusi, 2010, hlm. 19. 18 Pada akhirnya, kesepakatan dalam paripurna mengesahkan usia minimal hakim konstitusi menjadi 55 tahun


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2011 memiliki masa jabatan selama 2 tahun 6 bulan, kemudian dalam revisi UU MK ditambah menjadi 5 tahun. Ketiga, berkaitan dengan penghapusan pasal-pasal dalam dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dalam UU No. 8 Tahun 2011 di antaranya Pasal 22,19 Pasal 23 ayat (1) huruf d,20 27A ayat (2) huruf c, d, dan e,21 ayat (5),22 ayat (6),23 Pasal 45A,24 Pasal 57 ayat (2a),25 dan Pasal 59 ayat (2).26 Keempat, penambahan ketentuan mengenai apabila ada hakim konstitusi yang telah habis jabatannya setelah UU ini disahkan dan sudah mencapai usia 60 tahun maka otomatis akan ditambah masa jabatannya hingga 70 tahun. Perihal usia minimal hakim MK, harus disepakati bahwa secara teoritis, jabatan hakim konstitusi bukanlah jabatan politik dan harus menekankan aspek kualifikasi personal.27 Apalagi hakim dalam peradilan ketatanegaraan—sebagaimana disebut oleh Mauro Cappelleti— seringkali membutukan “higher sense of discretion than the task of interpreting ordinary statues”.28 Supratman Andi Agtas—Ketua Baleg DPR RI—menjelaskan perubahan usia minimal pencalonan hakim menjadi 60 tahun berangkat dari penilaian adanya kaitan antara usia dan kualitas seseorang, seperti kebijaksanaan dan kenegaraan yang harus dimiliki hakim MK.29

19

Berintikan masa jabatan hakim selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk 1 periode lagi Berintikan penghapusan alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi yang telah berusia 70 tahun 21 Berintikan penghapusan Majelis Kehormatan MK dari unsur DPR, Pemerintah dan Hakim Agung 22 Berintikan penghapusan sanksi etik dalam persidangan Majelis Kehormatan MK 23 Berintikan penghapusan ketentuan mengenai penetapan anggota Majelis Kehormatan MK unsur MK oleh ketetapan MK 24 Berintikan penghapusan ketentuan putusan yang tidak boleh ultra petita 25 Berintikan penghapusan penjelasan putusan MK tidak perlu memuat amar sebagaimana disebut ayat (1), perintah kepada pembuat UU, dan rumusan norma pengganti 26 Berintikan penghapusan ketentuan penyegeraan DPR dan Pemerintah untuk segera menindaklanjuti putusan MK 27 Susi Dwi Harijanti, “Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri”, Jurnal Ius Quia Iustum, Vol.21, No. 4, 2014, hlm. 538. 28 Ibid. 29 Budiarti Utami Putri. Tempo, Baleg DPR Jelaskan Alasan Usulan Usia Minimal Hakim MK 60 Tahun, https://nasional.tempo.co/read/1331404/baleg-dpr-jelaskan-alasan-usulan-usia-minimal-hakim-mk-60tahun/full&view=ok, diakses 5 September 2020. 20


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Hal tersebut tentu mendapat respon kontra dari publik. Mengenai kaitan antara usia dan kebijaksanaan serta kenegarawanan seseorang memang sesuatu yang debatable. Namun, Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gde Palguna dalam diskusi yang diselenggarakan FH UGM menyatakan dalam pengalamannya sebagai hakim konstitusi bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara usia dan kebijaksanaan hakim.30 Selain itu, dalam proses pembahasan Revisi UU MK, Siti Marwiyah membeberkan perjalanan MK yang banyak dihuni oleh hakim yang berusia di bawah 60 tahun seperti Jimly Asshidiqqie yang menjadi ketua MK pada tahun 2003 yang saat itu berusia 48 tahun, Mahfud MD yang menjadi ketua MK di usia 50 tahun yang berhasil membawa MK Indonesia pada 10 besar MK terbaik di dunia, lalu Hamdan Zoelfa yang menjadi ketua MK pada usia 50 tahun dan berhasil memperbaiki citra MK pasca kasus Akil Mochtar.31 Palguna menyinggung bahwa kebijaksanaan dan kenegarawanan hakim MK sebenarnya ditemukan dalam proses rekrutmen hakim itu sendiri. Dalam bukunya, Palguna menjelaskan bahwa berdasar Pasal 20 UU MK, terdapat 2 komponen kualifikasi utama hakim MK yaitu kapasitas yang merujuk pada pemenuhan syarat penguasaan konstitusi dan ketatanegaraan. Juga syarat integritas yang menyangkut kepribadian yang tidak tercela, adil, serta kenegarawanan.32 Hal yang harus diperhatikan oleh DPR dan Pemerintah daripada berkutat masalah batas minimal usia hakim MK adalah persoalan rekrutmen hakim konstitusi yang belum memiliki standar yang sama dan jelas di tiap lembaga pengusung.33 Proses rekrutmen hakim masih berpegang pada rumusan pasal 20 ayat (2) UU MK dimana pemilihan hakim konstitusi di tiap lembaga harus obyektif dan transparan yang dapat ditafsirkan masing-masing oleh tiap lembaga. Hal ini sempat dikritik oleh Prof. Susi Dwi Harijanti—Guru Besar Hukum Tata 30

Kanal Pengetahuan FH UGM, Menyoal Pasal Perubahan UU MK, https://www.youtube.com/watch?v=ZPVpmX_VNXA&t=5546s, diakses 5 September 2020. 31 Andi Saputra, Detik News, Syarat Usia Minimal Hakim MK 60 Tahun, Ahli Minta DPR Lihat Jimly-Hamdan, https://news.detik.com/berita/d-5016125/syarat-usia-minimal-hakim-mk-60-tahun-ahli-minta-dpr-lihat-jimlyhamdan, diakses 5 September 2020. 32 I D. G Palguna, Mahkamah Konstitusi: Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan dengan Negara Lain, Op.cit., hlm. 85. 33 Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menjelaskan MK memiliki 9 hakim yang ditetapkan oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Negara Unpad—bahwa dalam praktik proses rekrutmen hakim konstusi, pertimbangan politik tidak dapat dihindarkan karena mau tidak mau dua lembaga pengusung hakim konstitusi adalah lembaga politik.34 standar yang sama dan jelas dalam proses rekrutmen hakim konstitusi harusnya menjadi perhatian utama DPR dan Pemerintah dalam revisi UU MK karena yang hendak dipilih adalah figur-figur yang dituntut memiliki integritas kepribadian tidak tercela, adil serta kenegarawanan dan menguasai konstitusi serta ketatanegaraan. Hak ini memerlukan kesungguhan, kerja keras, dan kejujuran dalam prosesnya.35 Lagi pula, apabila yang dimasalahkan adalah kredibilitas akan kualitas hakim MK maka harusnya hal tersebut dapat dinilai secara ante factum, dimana kualifikasi calon hakim MK dapat tercermin dari pemikiran dan karyanya. Juga secara post factum, dimana kualitas hakim MK akan dinilai dari pertimbangan hukum dalam setiap putusan yang dibuatnya, termasuk ketika mengeluarkan dissenting opinion.36 Lalu, masalah batas usia maksimal hakim konstitusi yang berusia 70 tahun, DPR dan Pemerintah dalam Naskah Akademiknya menjelaskan bahwa alasan perubahan ini adalah penggunaan asas equality antara hakim agung dan hakim konstitusi. Dimana 70 tahun mengikuti ketentuan usia maksimal hakim agung. Namun anehnya, prinsip equality ini justru tidak digunakan dalam penentuan usia minimal calon hakim. Di mana tiap-tiap instrumen hukum yang mengatur mengenai usia minimal hakim berbeda. Hal ini ditegaskan oleh pemaparan Melinda Eka Yuriza—Dosen Hukum Administrasi Negara FH UGM—dalam diskusi yang diselenggarakan FH UGM, dimana dalam UU MA Perubahan, usia minimal hakim agung adalah 45 tahun, sementara di RUU Jabatan Hakim usia minimal hakim adalah 50 tahun.37 Di samping itu, adanya jalur “fast track” bagi hakim konstitusi yang saat ini menjabat akan mengikuti ketentuan yang ada di revisi UU MK dalam hal masa jabtaan ketua dan wakil ketua serta lanjut otomatis tanpa lewat proses rekrutmen dinilai sebagai mahar politik yang diberikan

34

Susi Dwi Harijanti, Loc.cit. I D. G. Palguna, Loc.cit. 36 Ibid. 37 Kanal Pengetahuan FH UGM, Loc.cit. 35


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran DPR dan Pemerintah berkaitan dengan banyaknya UU Kontroversi seperti UU KPK dan UU Minerba—bahkan UU Cipta Kerja bila nantinya disahkan—yang saat ini sedang dalam proses constitutional review agar hakim konstitusi berada di sisi Pemerintah dan DPR.38 Tidak lupa mengenai penghapusan beberapa pasal dalam revisi UU MK, sekilas memang terlihat terdapat upaya progresif seperti penghapusan mengenai penghapusan pasal yang melarang ultra petita, pasal yang mengaharuskan MK tidak boleh memberik instruksi kepada pembuat UU, dan pasal yang melarang MK untuk membuat rumusan norma pengganti UU dalam amar putusannya. Namun sebagaimana disinggung Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi yang diselenggarakan FH UGM, bahwa hal tersebut sebenarnya sudah ada dan berlaku tanpa harus diundangkan karena sudah diputus oleh MK melalui putusannya. Hal ini berkaitan dengan kekuatan hukum putusan MK yang setara UU dan berlaku secara erga omnes. Hal-hal itulah yang tercatat sebagai aspek materil dalam revisi UU MK yang baru saja disahkan dalam beberapa waktu ke belakang. Revisi UU MK memang tidak termasuk dalam prolegnas prioritas 2020, namun Revisi UU MK tetap masuk ke dalam prolegnas 2020-2024. Awalnya, revisi UU MK banyak diharapkan oleh masyarakat sipil sebagai bagian dari pembaharuan MK dalam hal kewenangan. Sehingga MK dapat memaksimalkan perannya sebagai the guardian of constitutional rights dengan menambahkan kewenangan constitutional question39 maupun constitutional complaint.40 Diskursus tersebut sudah berkembang sangat jauh bahkan di internal MK sendiri. Misalkan dalam tulisan Pan Mohammad Faiz bersama Josua Collins yang berjudul “Penambahan Kewenangan Constitutional Question di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya untuk Melindungi Hak-Hak Konstitusional Warga Negara.” Dimana penambahan wewenang MK dalam constitutional question didasari sebagai salah satu upaya penyempurnaan sistem hukum 38

Simon Butt, The University of Melbourne, The 2020 Constitutional Court Law Amandments: a “gift” to Judges?, https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/the-2020-constitutional-court-law-amendments-agift-to-judges/, diakses 5 September 2020. 39 Suatu mekanisme pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh seorang hakim di pengadilan umum yang merasa ragu-ragu terhadap konstitusionalitas suatu UU yang digunakan dalam perkara yang ditanganinya 40 Pengajuan perkara ke MK atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada instrument hukum atasannya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia lagi diatas jalur penyelesaian hukum


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan konstitusi sebagai prasyarat untuk membangun negara demokrasi konstitusional di Indonesia.41 Juga tulisan dari Heru Setiawan yang menyebutkan bahwa constitutional complaint sebagai upaya untuk memaksimalkan perlindungan hak konstitusional warga negara.42 Selain itu, diskursus yang diharapkan dari adanya revisi UU MK juga berkaitan dengan pembentukan hukum acara berperkara di MK dalam instrumen undang-undang. Hal ini didasari karena masih tercecarnya hukum acara MK dalam beberapa peraturan MK, selain itu hukum acara memang idealnya ditaruh dalam levelling undang-undang seperti hukum acara pidana, perdata dan tata usaha negara. Selain itu banyak sekali gagasan-gagasan dari akademisi dan lapisan masyarakat mengenai materi revisi UU MK yang seharusnya dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Misalkan pengujian satu atap peraturan perundang-undangan, sanksi terhadap constitutional disobedience, pelibatan MK dalam perubahan UUD 1945, penambahan wewenang preventive review di MK, dan lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, justru menggelitik bila melihat revisi UU MK sekarang yang sangat politis hanya mengatur penambahan saja. Padahal banyak ide-ide yang seharusnya dibahas dan menjadi lompatan pembaharuan Mahkamah Konstitusi. Maka tidak aneh apabila I Gde Dewa Palguna menyebut revisi UU MK ini cocoknya disebut sebagai UU tentang perubahan masa jabatan dan ketua dan wakil MK dan masa jabatan hakim konstitusi belaka. Sikap BEM KEMA Unpad dan BEM FH Unpad Hadirnya Mahkamah Konstitusi dalam konstelasi ketatanegaraan Republik Indonesia merupakan kunci penting keberhasilan transisi demokrasi yang dilakukan pasca gelombang reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Hal ini dikarenakan peran sentral MK sebagai the guardian of the constitution yang menjaga sinkronisasi antara produk hukum DPR dan

41

Josua Satria Collins dan Pan Mohammad Faiz, “Penambahan Kewenangan Constitutional Question di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya untuk Melindungi Hak-hak Konstitusional Warga Negara�, Jurnal Konstitusi, Vol. 15, No. 4, 2018, hlm. 692. 42 Heru Setiawan, “Mempertimbangkan Constitutional Complaint sebagai Kewenangan Mahkamah Konstitusi�, Lex Jurnalica, Vol. 14, No. 1, 2017, hlm. 14.


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Pemerintah dengan UUD NRI 1945, sehingga tidak ada produk UU yang dibajak oleh konsensus politik semata dan bertentangan dengan kepentingan rakyat Indonesia. Adanya Revisi UU MK patut dicurigai sebagai mahar politik DPR dan Pemerintah ketika banyaknya produk UU bermasalah yang hendak diperkarakan ke MK. Padahal, Revisi UU MK harusnya membawa banyak diskursus akan pembaharuan MK yang substansial, bukan hanya perubahan sekali pakai untuk mengakomodir masa jabatan semata. Proses yang tidak partisipatif, tergesa-gesa, bahkan tertutup juga menjadi alasan kenapa revisi UU ini harus dipermasalahkan. Atas dasar analisis tersebut, BEM Kema Unpad dan BEM FH Unpad menyatakan sikap: 1. Menolak dengan tegas Revisi UU MK yang bermasalah secara prosedur dan substansi, hal patut dicurigai sebagai mahar politik yang digunakan untuk menjinakan MK ketika banyaknya produk UU bermasalah sedang dan/atau hendak diuji konstitusionalitasnya ke MK; 2. Mendukung penuh upaya yang dilakukan aliansi masyarakat sipil dalam melakukan eskalasi hukum terhadap revisi UU MK; dan 3. Mengajak seluruh elemen masyarakat agar tetap kritis terhadap produk UU bermasalah yang dikeluarkan oleh DPR dan Pemerintah dan menjaga agar pelaku kekuasaan kehakiman tidak diintervensi oleh kepentingan politik semata.


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Daftar Pustaka Buku Ahmad Syahriza, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta: Padnya Paramita, 2006. I D.G. Palguna, Mahkamah Konstitusi: Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan dengan Negara Lain, Jakarta: Konstitusi Press, 2018. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konsitusi, 2010. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2002. Dokumen Lainnya Andi Saputra, detikNews, Diduga Ada Barter Politik di Balik Pengesahan UU MK, Siapa Diuntungkan?,

https://news.detik.com/berita/d-5156295/diduga-ada-barter-politik-di-

balik-pengesahan-uu-mk-siapadiuntungkan?, diakses 5 September 2020. ___________, detikNews, Syarat Usia Minimal Hakim MK 60 Tahun, Ahli Minta DPR Lihat Jimly-Hamdan, https://news.detik.com/berita/d-5016125/syarat-usia-minimal-hakim-mk60-tahun-ahli-minta-dpr-lihat-jimly-hamdan, diakses 5 September 2020. Ardito Ramadhan, Kompas.com, ICW Khawatir Revisi UU MK Jadi Alat Barter Politik, https://nasional.kompas.com/read/2020/08/28/15162671/icw-khawatir-revisi-uu-mk-jadialat-barter-politik, diakses 5 September 2020. Budiarti Utami Putri, Tempo, Baleg DPR Jelaskan Alasan Usulan Usia Minimal Hakim MK 60 Tahun, https://nasional.tempo.co/read/1331404/baleg-dpr-jelaskan-alasan-usulan-usiaminimal-hakim-mk-60-tahun/full&view=ok, diakses 5 September 2020. Cora Elly Novianti, “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan�, Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 2, 2013. Ega Ramadayanti dan Ramos Adi Perisai, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi: Praktik Barter Politik yang Nihil Substantif?, http://fh.unpad.ac.id/revisi-undang-undang-mahkamah-konstitusi-praktik-barter-politikyang-nihil-substantif/, diakses 4 September 2020.


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Fahmi Ramadhan Firdaus, Hukum Online, Potensi Masalah Hukum Jika UU Disahkan di Tengah

Pandemi

COVID-19,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5f0566af97b4f/potensi-masalahhukum-jika-uu-disahkan-di-tengah-pandemi-covid-19/, diakses 4 September 2020. Heru Setiawan, “Mempertimbangkan Constitutional Complaint sebagai Kewenangan Mahkamah Konstitusi”, Lex Jurnalica, Vol. 14, No. 1, 2017. Josua Satria Collins dan Pan Mohammad Faiz, “Penambahan Kewenangan Constitutional Question di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya untuk Melindungi Hak-hak Konstitusional Warga Negara”, Jurnal Konstitusi, Vol. 15, No. 4, 2018. Kanal

Pengetahuan

FH

UGM,

Menyoal

Pasal

Perubahan

UU

MK,

https://www.youtube.com/watch?v=ZPVpmX_VNXA&t=5546s, diakses 5 September 2020. M. Ahsan Ridhoi, Tirto.id, Pelantikan Arief Hidayat Wujud Penurunan Kualitas Hakim MK, https://tirto.id/pelantikan-arief-hidayat-wujud-penurunan-kualitas-hakim-mk-cGQo, diakses 5 September 2020. Nanang Sri Darmadi, “Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 7, No. 6, 2015. Ninis Chairunnisa, Tempo, Alasan MK Nyatakan Uji Materi Perpu Ormas Tak Dapat Diterima, https://nasional.tempo.co/read/1041820/alasan-mk-nyatakan-uji-materi-perpuormas-tak-dapat-diterima, diakses 5 September 2020. Sania Mashabi, Kompas.com, Pembahasan Revisi UU MK Dinilai Langgar Prinsip Pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan,

https://nasional.kompas.com/read/2020/08/28/13103001/pembahasan-revisi-uu-mkdinilai-langgar-prinsip-pembentukan-peraturan?page=all, diakses 3 September 2020. Simon Butt, The University of Melbourne, The 2020 Constitutional Court Law Amandments: a “gift” to Judges?, https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/the-2020-constitutionalcourt-law-amendments-a-gift-to-judges/, diakses 5 September 2020. Susi Dwi Harijanti, “Pengisisan Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri”, Jurnal Ius Quia Iustum, Vol. 21, No. 4, 2014.


Kajian bersama BEM KEMA Universitas Padjadjaran BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tri Jata Ayu Pramesti, Hukum Online, Dimana Mendapat Naskah Akademik Suatu UndangUndang?,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt55c772768f189/dimana-

mendapatkan-naskahakademik-suatu-undang-undang/, diakses 5 September 2020. Dokumen Hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan MK Nomor 6/PUU-XVI/2018.



RUU HIP: Memperkuat Siapa? Pendahuluan RUU Haluan Ideologi Pancasila atau dikenal dengan RUU HIP yang merupakan inisiatif DPR menjadi perbincangan yang hangat di masyarakat. Banyak pendapat yang muncul seiring dengan berjalannya proses perbincangan RUU ini, baik itu pandangan pro, kontra, hingga skeptis terkait keberadaan RUU tersebut. Petama, Merujuk pada materi muatan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UndangUndang sepatutnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum dari masyarakat sehingga tepat guna sasaran dari segi substansialnya. Sedangkan yang menjadi kebutuhan bersama saat ini adalah bagaimana penanganan covid-19 ini dapat terus digemborkan dan pemulihan secara masif dari sektor masing-masing. Tidak hanya tak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, diantaranya bahkan terdapat Rancangan Undang-Undang yang dinilai riilnya merugikan masyarakat yang diantaranya UU Mineral dan Batubara yang dinilai digarap terlalu pesat dan terburu-buru yang ironinya dibahas ketika distribusi pandemi sedang massif-masifnya. 1 Kedua, Tidak berhenti disitu, aspek kontroversialnya pun berasal dari muatan yang termuat dalam RUU HIP tersebut. Redaksional pasal-pasal tersebut pun cenderung masih sangat normatif dan multitafsir. Hal yang dikritisi oleh Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti, ialah RUU HIP memuat pasal yang sifatnya hanya definisi dan political statement. Ia menuturkan norma hukum mengatur terkait suatu perilaku juga kelembagaan, tidak hanya pernyataan belaka namun disertai dengan pasal yang mengatur perilaku berbuat sesuatu.2 Selain itu, dalam perdebatan di dalam DPR sendiri, banyak yang mempertanyakan ketiadaan TAP MPRS XXV/MPRS 1966 Tahun 1966 yang sepatutnya menjadi konsideran bagi RUU HIP tersebut. Selain itu, banyak juga yang mempertanyakan keberadaan Pasal 7 RUU HIP yang memeras pancasila menjadi trisila kemudian menjadi ekasila. 1

Fahmi Ramdhan. 2020. “ potensi masalah hukum jika UU disahkan di tengah pandemic covid-19.� Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5f0566af97b4f/potensi-masalah-hukum-jika-ruudisahkan-di-tengah-pandemi-covid-19 Pada 9 Juli 2020 2 Cahya Mulyana. 2020. Ini Alasan RUU HIP Tidak Perlu Dibuat. Diakses dari https://mediaindonesia.com/read/detail/320697-ini-alasan-ruu-hip-tidak-perlu-dibuat pada 10 Juli 2020


Dengan banyaknya pandangan tersebut tentu membawa pertanyaan dimanakah letak penguatan yang banyak digemborkan para politisi di Senayan? Namun, berbeda halnya jika konteks penguatan tersebut dikorelasikan dengan penguatan status kelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang secara jelas diamanahkan oleh RUU ini. Pancasila diatur dalam Undang-undang? Tingkatan norma tidak akan jauh dari pendapat Hans Kelsen menyatakan bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut dengan norma dasar atau grundnorm.3 Hans Nawiasky kemudian mengembangkan teori Kelsen tentang jenjang noma dalam kaitannya dengan suatu negara. Ia berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum di suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan verordnung & autonome satzung.4 Teori ini turut menjadi dasar yang berlaku di negara-negara modern mengenai hierarki peraturan perundang-undangan. Bagaimana di Indonesia? Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan perundangundangan di Indonesia ialah sebagai berikut 1. UUD Negara Republik Indonesia 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi

3 4

Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius., Hlm. 41 Ibid,


7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota . Undang-undang—sebagai salah satu bagian dari hierarki peraturan perundangundangan—merupakan bentuk penjalanan amanat atas Undang-undang Dasar yang dalam pembentukannya sebelum disahkan disebut dengan rancangan undang-undang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 Ayat (2) “Setiap rancangan undang-undang itu dibahas oleh Dewan perwakilan rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Undangundang sebagai produk legislasi dapat dipergunakan untuk mengatur, mendeklarasikan sesuatu, atau membatasi sesuatu tak terlepas dari hakikatnya sebagai sebuah regulasi. Status RUU baru berubah menjadi undang-undang setelah disetujui bersama dan disahkan oleh Presiden seperti yang disebut dalam Ayat ke- (4) “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-undang”. Menurut pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-undang merupakan suatu peraturan tertulis yang di dalamnya memuat norma hukum yang bersifat mengikat secara umum dan pembentukannya dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang dengan tetap memerhatikan prosedur yang ada dalam Peraturan Perundang-Undangan. Berbeda dengan undang-undang yang memiliki arti Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama dengan persetujuan Presiden yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 2011. Dari dua penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah seluruh peraturan tertulis yang di dalamnya memuat norma hukum yang mengikat dan dibentuk oleh lembaga negara yang berwenang. Undang-undang adalah salah satu jenis dari peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan suatu negara, pemerintah harus menetapkan dan menjalankan setiap kebijakan yang telah diatur berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu menjadi salah satu unsur negara hukum. Dalam pelaksanaannya, negara tidak diselenggarakan hanya atas dasar kemauan penguasa, melainkan berdasarkan ketetapan hukum dan baik masyarakat maupun penguasa harus tunduk pada hukum tersebut. UUD 1945 sebelum amandemen menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat). Setelah dilakukannya amandemen keempat, hal tersebut dipertegas dalam Pasal 1 ayat (3): “Negara


Indonesia adalah negara hukum�. Undang-undang dibentuk untuk dapat mengatur dan menata kehidupan dalam suatu negara agar dalam pelaksanaannya negara dapat menyelenggarakan segala bentuk kebijakan dengan maksimal. Undang-undang secara umum dibentuk dengan tujuan untuk mengatur, menata, dan membeikan kepastian dan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Lebih lanjut dari itu, mengacu pada pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, materi muatan yang patut diatur dalam Undang-Undang adalah a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945�) b. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang c. pengesahan perjanjian internasional tertentu d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat Dalam hal ini, konteks daripada teori yang dicanangkan, formell gesetz yang tercermin dalam UU merupakan bentuk tindak lanjut dari UUD. Sebagaimana yang dikatakan Kelsen, bahwa UUD pun akan merujuk pada norma yang lebih tinggi lagi atau dalam konstruksi pikir Hans Nawiasky disebut sebagai staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara. 5 Dengan kata lain, Pancasila berfungsi sebagai sumber hukum dan dasar negara yang mengilhami berbagai pembentukan regulasi dan peraturan lainnya. Peraturan-peraturan yang tertera pada hierarki diatas dijiwai langsung oleh nilai-nila Pancasila. Maka dari itu , apabila terjadi penyimpangan peraturan tersebut dari nilai Pancasila, atau pun bertentangan dengan peraturan yang hierarkinya berada diatas nya, maka produk hukum tersebut dapat dibatalkan. Maka, hal yang tidak rasional apabila Undang-Undang yang secara hakiki dijiwai oleh Pancasila yang sejatinya adalah standar nilai, justru menjadi produk nilai yang diatur oleh Undang-Undang yang kedudukannya dibawah UUD 1945 serta mengatur Pancasila yang

5

Maria Farida., loc.cit


menjadi sumber hukum dan dasar negara. Hal tersebut jelas mencederai konstitusi yang berlaku.6 Alasan Untuk Menguatkan BPIP? Berbicara mengenai lembaga negara, tentu tidak dapat terlepas dari pandangan Montesquieu mengenai The Separatism of Power. Doktrin yang dikenal dengan nama Trias Politica ini membagi kekuasaan negara kedalam 3 fungsi, yaitu fungsi eksekutif sebagai pelaksana undang-undang; fungsi legislatif sebagai pembuat undang-undang; dan fungsi yudikatif untuk mengadili atau menghakimi. Doktrin Montesquieu menjadi bahan acuan bagi negara-negara modern untuk memisahkan kekuasaan-kekuasaan dalam negara kepada badan-badan yang berbeda.7 Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan negara tidak saling mengintervensi kewenangan masing-masing dan tidak ada badan yang memonopoli kekuasaan negara secara penuh. Di Indonesia, doktrin Montesquieu kemudian dapat dikonstruksikan secara sederhana dimana kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan DPD, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman yang menciptakan tingginya demand dari masyarakat sipil terhadap struktur ketatanegaraan yang diharuskan memerhatikan perkembangan zaman, maka seiring dengan itu juga banyak muncul lembagalembaga pembantu pemegang kekuasaan utama atau dikenal dengan nama state auxiliary organ. State auxiliary organ atau lembaga negara penunjang merupakan suatu alat perlengkapan yang dibentuk untuk merealisasikan tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill). Dalam hal ini, lembaga negara penunjang—menurut Sri Soemantri—merupakan lembaga negara yang mempunyai fungsi melayani lembaga negara utama. 8 Menurutnya, hal ini

6

Refly Harun. 2020. “Mengapa kita harus tolak ruu Haluan ideologi pancasila� diakses dari Youtube https://www.youtube.com/watch?v=qFFxMkTxy0Y pada 9 Juli 2020 7 Hans Kelsen menyatakan bahwa siapa saja yang menjalankan fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum adalah suatu organ. Hanafie kemudian memberikan definisi bahwa organ atau lembaga adalah suatu badan, organisasi, kaidah, dan norma-norma baik formal maupun informal sebagai pedoman untuk mengatur perilaku segenap anggota masyarakat baik dalam kegiatan sehari-hari atau dalam mencapai tujuan tertentu 8 Sri Soemantri membagi dua sistem ketatanegaraan Indonesia dibagi menjadi dua. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam arti sempitm yakni hanya berkenaan dengan lembaga-lembaga negara yang terdapat di


didasari karena tujuan negara dewasa ini semakin kompleks, sehingga untuk mencapai tujuan tersebut tidak hanya dapat dicapai dengan lembaga utama. 9 Badan Pembinaan Ideologi Pancasila merupakan suatu lembaga negara penunjang yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018. Lembaga ini termasuk dalam ruang lingkup eksekutif yang akan membantu tugas presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi pancasila; melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standarisasi pendidikan dan pelatihan; menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan; serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementrian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya. 10 BPIP tidak lain merupakan bentuk revitalisasi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang memiliki tugas serupa dengan BPIP berdasarkan Perpres No. 57 Tahun 2017. UKP-PIP kemudian diperbaharui formatnya menjadi BPIP. Pembentukan BPIP sebagai lembaga negara penunjang oleh presiden tidak lain adalah bentuk aktualisasi kekuasaan presiden dalam bidang legislatif untuk membantu tugasnya dalam bidang yang menjadi tugas BPIP.11 Status hukum BPIP yang masih berpayung hukum perpres membuat Presiden Jokowi menginginkan adanya penguatan BPIP melalui statusnya yang diakui oleh undang-undang. Hal ini berfungsi agar dikala periode pemerintah selanjutnya eksistensi badan tersebut masih dapat dilestarikan dan tidak hanya terpaku pada kepemimpinan suatu periode .12 Hal ini

UUD 1945. Kedua, sistem ketatanegaraan dalam arti luas yakni meliputi lembaga-lembaga negara yang ada di dalam dan di luar UUD 1945. Sehingga lembaga negara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu lembaga negara utama (yang diberikan wewenang oleh UUD 1945) dan lembaga negara penunjang (lembaga negara yang dibentuk untuk membantu tugas lembaga negara utama) 9 Ahmad Basarah. 2014. Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary States Organ Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal MMH Jilid43, No.1 Januari 2014., hlm. 4 10 Vide pasal 3 Perpres No. 7 Tahun 2018 11 Nur Wasiah Adiwiyono. 2018. Kedudukan Kelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Sistem Pemerintahan Indonesia. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta., hlm. 58 12 Andhika Prasetyo. 2020. Perkuat BPIP dengan Undang-undang. diakses dari https://mediaindonesia.com/read/detail/326676-perkuat-bpip-dengan-undang-undang pada 10 Juli 2020


kemudian diwujudkan oleh RUU HIP lewat pengaturan badan yang akan melakukan pembinaan ideologi pancasila. 13 Belum Menemukan Urgensi di Masa Pandemi Refleksi pada situasi Indonesia dan bahkan hampir seluruh negara lainnya dilanda oleh wabah yang sama yang sejatinya menjadi pukulan telak bagi tiap elemen tanpa terkecuali. Berbagai upaya dari Lembaga serta oknum tertentu upaya saling bahu-membahu dan tolong menolong demi kelangsungan hidup di tengah pandemic. Kendati demikian, refleksi yang bertolak belakang saat ini ditunjukan oleh badan legislatif DPR RI yang saat ini, RUU HIP yang merupakan hasil murni inisiatif DPR dan tidak ada intervensi dari pemerintah satu pun yang hingga kini menjadi polemic dan menimbulkan kontradiksi dari banyak pihak. Bahkan tidak hanya RUU HIP, RUU Minerba pun seperti kecolongan pada masyarakat yang sepertinya DPR berfokus pada hal yang nyatanya tidak menjadi urgensi untuk situasi seperti ini. Sejatinya, terdapat 5 tahapan proses pembentukan Undang-Undang yang didasari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan yang intisarinya sebagai berikut 1. Perencanaan Perencanaan Penyusunan Undang-Undang tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang menjadi kerangka kerja pembentukan Undang-Undang upaya mewujudkan sistem hukum nasional. Selain itu pun Prolegnas terklasifikasi berdasarkan temponya menjadi dua segmentasi yaitu Prolegnas jangka menengah yang disusun untuk waktu lima tahun, serta Prolegnas Prioritas tahunan. 2. Penyusunan Pada tahap ini Rancangan Undang-Undang disusun dan disertai dengan naskah akademik yang menjadi data penyokong dari Undang-Undang tersebut yang dapat berasal dari Presiden, DPR, maupun DPD. 3. Pembahasan Pada tahap ini Bidang Eksekutif dan Legislatif melakukan pengkajian dan pembahasan rancangan Undang-Undang secara seksama yang diselenggarakan 13

Vide pasal 44-54 RUU HIP


melalui dua tingkat. Tingkat pertama yaitu Pembahasan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, serta rapat badan Anggaran atau rapat panitia Khusus. Tingkat dua adalah pembahasan dalam rapat paripurna 4. Pengesahan RUU yang disetujui oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan jangka waktu paling lama tujuh hari sejak tanggal persetujuan bersama yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang. 5. Pengundang-Undangan Undang-Undang yang telah disahkan wajib diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Mengacu pada pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 materi muatan yang patut diatur dalam Undang-Undang adalah f. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945�) g. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang h. pengesahan perjanjian internasional tertentu i.

tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

j.

pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Merujuk pasal diatas terkait pengesahan Undang-Undang di tengah masa pandemi tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat. Undang-Undang sepatutnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum dari masyarakat sehingga tepat guna sasaran dari segi substansialnya. Sedangkan yang menjadi kebutuhan bersama saat ini adalah bagaimana penanganan covid-19 ini dapat terus digemborkan dan pemulihan secara masif dari sektor masing-masing. Lembaga negara—apalagi pembuat undang-undang—menurut Phillipe Nonet dan Philip

Selznick

haruslah

memiliki

kemampuan

untuk

dapat

dengan

cerdas

mempertimbangkan fakta sosial yang akan ditransformasikan menjadi hukum kemudian


diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.14 Melihat fakta bahwa penyebaran Covid-19 yang terus menerus meningkat tentu harus membuat DPR mengarahkan fungsi-fungsinya untuk mengawal Covid-19, baik itu dalam fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam fungsi legislasi, DPR harus mulai sadar untuk mengesampingkan dahulu RUU-RUU yang belum memiliki tingkat urgensi yang berlebih. Di fungsi anggaran, tentu akuntabilitas pemerintah dalam menangani wabah menggunakan uang negara harus menjadi perhatian agar tidak sampai terjadi penyalahgunaan anggaran. Sedangkan di fungsi pengawasan akan mengawasi kinerja pemerintah lewat kebijakan-kebijakan untuk menanggulangi Covid-19. Urgensitas RUU HIP dapat dinilai politik hukum15—sebagaimana tercantum dalam konsideran—adalah ketiadaan suatu pedoman untuk berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara untuk menjalankan tugas-tugasnya dan belum adanya landasan hukum yang mengatur haluan ideologi pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut bila dikaitkan ke fakta sosial nampaknya belum memiliki nilai mendesak untuk segera dibahas dalam dapur parlemen. Apalagi dengan kenyataan bahwa pancasila merupakan staatsfundamentalnorm yang menjiwai seluruh tingkat hierarki peraturan perundang-undangan nampaknya telah membuktikan aktualisasi yang lebih jelas apabila yang dibutuhkan menurut para legislator hanya suatu guideline. Penutup Sebagai staatsfundamentalnorm, pancasila merupakan landasan filosofis yang menjiwai semua tingkatan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, semua bentuk peraturan perundang-undangan pada sederhananya adalah penjabaran teknis yang bertentangan dengan pancasila selama belum dibatalkan oleh lembaga negara yang diberikan wewenang untuk membatalkan peraturan perundang-undangan

14

Henry Arianto. 2010. Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia. Lex Jurnalica Vol. 7 No. 2, April 2010., hlm 117 15 Tengku Muhammad Radi mendefiniskan politik hukum sebagai pernyataan kehendak dari penguasa mengenai tujuan tertentu yang ingin dicapai lewat hukum


Melihat kondisi RUU HIP, pada akhirnya salah satu alasan dibentuknya RUU ini tidak lain adalah untuk memperkuat BPIP. Apakah hal tersebut salah? Sebenarnya hal tersebut kembali kepada politik hukum yang dipercayai pemerintah dan DPR. Dengan kondisi fakta sosial yang belum membuat RUU HIP menampakan nilai mendesaknya, tentu hal ini harus dipertimbangkan mengingat kondisi fakta sosial akan Covid-19 masih berada dalam taraf memprihatinkan, sehingga harus membuat DPR fokus untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam menanggulangi Covid-19.


Daftar Pustaka Buku Jimly Assidiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers. Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius Karya Tulis Ahmad Basarah. 2014. Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary States Organ Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal MMH Jilid 43, No.1 Januari 2014 Henry Arianto. 2010. Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia. Lex Jurnalica Vol. 7 No. 2, April 2010 Nur Wasiah Adiwiyono. 2018. Kedudukan Kelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Sistem Pemerintahan Indonesia. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dokumen Hukum UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perpres Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila RUU Haluan Ideologi Pancasila Media Daring Andhika Prasetyo. 2020. Perkuat BPIP dengan Undang-undang. diakses dari https://mediaindonesia.com/read/detail/326676-perkuat-bpip-dengan-undang-undang pada 10 Juli 2020 Cahya Mulyana. 2020. Ini Alasan RUU HIP Tidak Perlu Dibuat. Diakses dari https://mediaindonesia.com/read/detail/320697-ini-alasan-ruu-hip-tidak-perlu-dibuat pada 10 Juli 2020 Fahmi Ramdhan. 2020. “ potensi masalah hukum jika UU disahkan di tengah pandemic covid-19.�

Diakses

dari


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5f0566af97b4f/potensi-masalah-hukumjika-ruu-disahkan-di-tengah-pandemi-covid-19 Pada 9 Juli 2020 Refly Harun. 2020. “Mengapa kita harus tolak ruu Haluan ideologi pancasila� diakses dari Youtube https://www.youtube.com/watch?v=qFFxMkTxy0Y pada 9 Juli 2020



Meneropong RUU Masyarakat Adat

A. Pendahuluan Sejatinya, ciptaan Tuhan memulai interaksi serta membentuk tatanan sosial sebagai instrumen memperoleh tujuan yang dikehendaki secara bersama. Perilaku yang dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman secara seksama membentuk sistem masyarakat sebagai suatu komunitas yang didalamnya terdapat sistem untuk mengakomodir batasan-batasan serta metode untuk menjunjung tujuan bersama. Hal-hal yang diatur dalam sistem tersebut perihal kewajiban, hak serta peranan tiap individu yang patut diikuti oleh tiap elemen yang lambat laun menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan bertansformasi menjadi suatu adat. Dengan kata lain, adat merupakan pola kebiasaan masyarakat yang diikuti secara terus menerus oleh masyarakat setempat itu sendiri. Muatan dari prilaku adat mengalami komodifikasi pada kelompok masyarakat yag kemudian bertransformasi menjadi suatu keajegan berupa hukum adat. Namun hingga saat ini belum adanya kepastian mengenai hukum adat sebagai upaya pengukuhan dan menjaga ketetapan dari hukum adat itu sendiri. 1 Terciptanya hakikat NKRI secara manunggal tidak terlepas dari terintegrasinya entitas masyarakat adat. Masyarakat adat merupakan entitas yang tidak terpisahkan dari masyarakat secara komunal disertai hak dan kewajiban yang patut dipenuhi dan diperoleh tanpa terkecuali. Hukum adat merupakan resapan dari bahasa belanda yakni adat recht. Nomenklatur tersebut dimaknai sebagai suatu sistem pengendalian sosial yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Adat recht merupakan nomenklatur yang menunjukan sistem hukum riil yang dimana menyelaraskan dengan rasionalisasi masyarakat setempat. Hal tersebut pula dituturkan oleh Otje Salman Soemadiningrat bahwa tahapan penciptaan hukum adat merupakan cikal bakal dari kebiasaan. Merujuk pada definisi beslissingenleer yang dikemukakan oleh Ter Haar bahwa hukum adat merupakan peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan dengan penuh wibawa yang dalam teknisnya diterapkan secara begitu saja tanpa adanya restriksi pembentukan yang mengikat.2 Indonesia sendiri merisalahkan perihal tersebut dalam penuangan UUD 1945 pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi “Negara

1 2

Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, Jakarta: Prenada Media, 2017, hlm.114. I Gede dan Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa, Denpasar: Citra Aditya Bakti, 1962, hlm. 15.


mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.�Muatan tersebut mengamanatkan negara untuk mengakui serta menghormati kedudukan masyarakat hukum adat beserta hak tradisional sepanjang masih hidup dan relevan dengan azas dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3 Dengan amanat yang ditetapkan langsung oleh UUD 1945, maka ketetapan tersebut bersifat sakral dan menjadi cakupan hakikat Perundang-undangan Indonesia. Kendati UUD 1945 telah menjamin hak masyarakat hukum adat, namun implementasinya rasanya jauh dari hakikat penerapan yang layak dari amanat UUD 1945. Dinamika problematika struktural dan konflik vertikal hingga konsesi lahan menjadi proyeksi bahwa teknis tumpang tindih antar regulasi menjadi permasalahan mendasar dala pengakuan hukum adat , bahkan konfrontasi substansi antar regulasi kerap terjadi dan merugikan kepentingan masyarakat adat mengenai kepastian hak dan kewajiban yang layak. Hingga saat ini, dibutuhkan payung hukum komprehensif yang membenahi dan mengintegrasikan rangkaian regulasi mengenai masyarakat adat untuk menjawab tantangan tersebut B. Konsepsi Masyarakat Adat Dengan ada RUU Masyarakat adat yang berencana mengangkat hukum tentang masyarakat adat yang beberapa waktu yang lalu sering adanya masalah yang terjadi di daerah-daerah. Belum lagi adanya pertanyaan-pertanyaan yang lahir dikarenakan beberapa masalah yang ada di RUU Masyarakat Adat. Dilansir dari Media Indonesia, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Rukka Sombolinggi, menganggap jika dalam RUU itu masih ada beberapa masalah yang ada di RUU Masyarakat. RUU Masyarakat Adat sendiri merupakan hal yang penting bagi masyarakat Indonesia, dengan ribuan pulau dan adat yang ada di Indonesia membuat persoalan masyarakat adat ini menjadi hal yang penting. Namun apakah konsep masyarakat adat itu sendiri? Di dalam dunia internasional, belum ada definisi pasti tentang masyarakat adat. Hanya saja PBB dalam persoalan RUU Masyarakat Adat beranggapan jika tantangan yang dihadapi merupakan bagaimana melakukan 3

Ady Thea, “Ini Alasan Pentingnya RUU Masyarakat Hukum Adat� diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c6117be052e1/ini-alasan-pentingnya-ruu-masyarakathukum-adat pada 11 November 2020.


identifikasi masyarakat adat yang ada di dunia. Salah satu yang “permasalahan” yang dihadapi Indonesia merupakan hal yang sama. Rukko Sombolinggi berkata jika kurangnya pemerintah untuk mengajak perwakilan maupun orang dari masyarakat adat itu sendiri. Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah dapat mengidentifikasikan masyarakat itu sendiri. Dalam RUU Masyarakat Adat, dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 1, “Masyarakat Adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum”. 4 Penjelasan ini merupakan salah satu cara dari pemerintah agar dapat mendefinisikan apa yang dimaksud dengan dari masyarakat itu sendiri. Istilah Masyarakat Adat telah resmi ada di Indonesia sejak dulu, pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria istilah masyarakat adat telah dipakai. Istilah ini sendiri cenderung dipakai untuk keperluan akademis atau keperluan pembentukan hukum. Dapat dianggap istilah masyarakat adat tidak lazim dipakai sehari-hari di saat dulu yang membuat istilah ini hanyalah ada dalam buku namun tidak ada secara nyata. Konsep masyarakat adat sendiri telah banyak berkembang dengan kemudian adanya Deklarasi PBB tentang Hak yang dimiliki Masyarakat Adat atau United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People pada tahun 2007.5 PBB merasa jika masyarakat adat sendiri merupakan golongan-golongan yang sering dirugikan dengan kemajuan zaman. Namun seperti apa yang sebelumnya dibahas PBB sendiri memiliki banyak tantangan untuk mendefinisikan masyarakat adat itu. Dengan hal ini pentingnya untuk melakukan identifikasi siapa masyarakat adat dalam perspektif PBB. Konsep Masyarakat Adat sendiri sudah dikemukakan di Indonesia sejak dulu. Pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven dan dikemukakan Ter Haar. Ter Haar yang merupakan murid dari Cornelius van Vollenhoven melakukan eksplorasi lebih dalam tentang masyarakat ada sendiri. Ter Haar memberikan pendapat jika masyarakat adat merupakan “kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu,

4

RUU Masyarakat Adat Mekanisme Pengakuan Masyarakat Hukum Adat. (n.d.). https://bphn.go.id/data/documents/mekanisme_pengakuan_masy_hkm_adat.pdf diakses 15 November 2020. 5


mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama lamanya.� 6 Penjelasan yang diberikan jika kita menganalisis hampir sama dengan apa yang ada dalam RUU, namun memiliki perbedaan yang signifikan seperti dalam opini Ter Haar ada pembahasan tentang mempunyai kekuasaan sendiri. Hal ini mungkin dapat digambarkan cara pemerintah untuk melakukan pencocokan terhadap zaman yang berkembang. Konseptual ini dapat berakibatkan buruk jika dari pemerintah sendiri ada kurangnya untuk mengajak perwakilan dari masyarakat adat sendiri. Banyak masalah yang terjadi dari masa ke masa terhadap masyarakat adat itu sendiri. Usaha pemerintah dengan adanya RUU Masyarakat Adat walu dapat dianggap baik, bisa menjadi alat yang salah terhadap masyarakat adat itu sendiri. C. Melihat Sengketa pada Masyarakat Adat Dalam kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk, keberagaman suku, budaya, dan latar belakang masyarakat Indonesia telah menjadi hal yang lumrah. Setiap daerah memiliki potensi sumber daya alam dan bentang alam yang dapat dimanfaatkan. Masyarakat adat juga tak luput menjadi bagian dari kekayaan dan warisan bangsa yang harus dijaga dan dilindungi. Mereka telah ada jauh sebelum munculnya kerajaan dan negara Indonesia. Keberagaman bangsa Indonesia ini menumbuhkan kearifan lokal pembentuk nilai adat sebagai peleburan kebutuhan norma yang menjaring sektor sosial,ekonomi dan lingkungan wilayah adat tersebut. Pengakuan atas keberadaan masyarakat adat sesungguhnya telah tertuang secara konstitusional dalam bagian batang tubuh UUD 1945 yang telah diamandemen. Pasal 18 B Ayat (2) menjelaskan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya, pada pasal yang sama juga disebut bahwa hak-hak masyarakat adat wajib diatur dalam undang-undang. Namun, pada realitanya, hak

6

Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo., hlm. 30.


masyarakat adat belum terorganisasi dengan baik dan masih ada ketimpangan disana-sini. Kondisi ini dapat menimbulkan konflik. Konflik seolah tak lepas dari hidup bermasyarakat kita. Dalam kehidupan masyarakat adat, konflik ini berupa sengketa. Sengketa timbul dari perbedaan pemahaman dan kepentingan tentang suatu objek kepemilikian yang menimbulkan perdebatan hingga perselisihan antar pihak. Sengketa dalam masyarakat adat dapat berakibat hukum sebab setiap pihak memperjuangkan hak dan klaim kepemilikan objek yang pada beberapa kasus tak dapat diselesaikan secara damai. Sengketa masyarakat adat muncul karena masyarakat hukum adat selama ini hak-haknya tidak terlindungi dan terjamin secara optimal. Hal ini menimbulkan konflik dan mengancam ketahanan dan keamanan negara. Menurut sifatnya, sengketa dalam masyarakat adat terbagi dua: vertikal dan horizontal. Sengketa vertikal terjadi apabila pihak masyarakat adat yang telah lebih dahulu mengolah sumber daya ekonomi seperti tambang, ternak, dan hutan lalu melawan pemerintah Indonesia atau proyek perusahaan bermodal besar yang memiliki hak kuasa atas hutan, bangunan, maupun tambang. Sengketa horizontal adalah sengketa antara komunitas adat yang berbeda. Sengketa horizontal juga dapat terjadi antara masyarakat adat dan kaum pendatang seperti transmigran yang sama-sama memiliki hak kedudukan wilayah yang telah diatur dalam undang-undang.7 Mengapa bisa terjadi sengketa vertikal? Padahal, Indonesia telah merdeka selama puluhan tahun, tetapi hukum nasional masih berbenturan dengan hukum adat. Perlu diketahui bahwa kondisi masyarakat adat di Indonesia hingga kini masih belum mendapat hak-hak hidup sepenuhnya seperti dalam pendidikan, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Masyarakat adat rentan mendapat kriminalisasi dan menjadi korban dari perbuatan buruk orang lain akibat tidak bisa mempertahankan hak-haknya. Mereka masih dianggap sebelah mata dan belum mendapat prioritas pembangunan sebab masih belum diberi hak ulayat secara

utuh. Hak ulayat merupakan hak masyarakat adat atas pengelolaan dan pengaturan

wilayahnya baik itu di darat maupun di laut. Tanah ulayat merupakan komponen aset negara yang penting sebab warga negara hidup bergantung pada produktivitas agraria. 8 Hukum nasional yang selama ini menaungi masyarakat adat secara umum pun nyatanya belum 7

M.Syamsudin, “Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara�, Jurnal Hukum, Volume 15,Nomor 3, 2008, hlm. 342-343. 8 Hayatul Ismi, “Pengakuan dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat atas Tanah Ulayat dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional�, Jurnal Ilmu Hukum, Volume. 3, Nomor 1, 2012. hlm.3


sepenuhnya terimplementasi dalam penyelesaian konflik atau sengketa adat karena berbenturan dengan hukum adat.9 Konflik Persengketa Lahan Tanah Ulayat Masyarakat Suku Melayu dengan Pengelola Hutan Konflik agraria sering terjadi dan terus meningkat di Indonesia di era reformasi. Data dari Badan Pertahanan Nasional menunjukkan bahwa terdaftar 3.500 konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit sejak tahun 2011. Hal ini terjadi karena adanya tumpang tindih penggunaan lahan antara pemerintah atau pengelola lahan maupun masyarakat setempat. Dari penjelasan Hooker dalam Mutholib dijelaskan tumpang tindih pengelolaan tanah terjadi di Indonesia karena terdapapat legal pluralism. Legal pluralism merupakan keadaan dua sistem hukum yang berinteraksi dalam sebuah kehidupan sosial biasanya di masyarakat. Dikarenakan terdapat dua sistem hukum, masing-masing pihak hanya memakai satu sistem hukum demi kepentingan masing-masing.10 Salah satu kasus yang terjadi adalah tumpang tindih kepemilikan hutan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Dharmasraya di Provinsi Sumatera Barat. Dalam kepemilikan KPHP tersebut terdapat dua hukum yang ada dalam pengelolaan hukum tersebut. Hutan tersebut menjadi HTI (Hutan Tanaman Idustri) yang diberi izin oleh pihak ketiga, sedangkan di sisi lain secara hukum adat, tanah tersebut merupakan tanah ulayat Suku Melayu yang sudah lama ditempati. Hal ini memicu terjadinya konflik agraria antara negara atau pengelola dengan masyarakat adat setempat. Konflik ini sudah terjadi sejak awal tahun 2000. Pihak yang terlibat konflik ini antara lain PT Inhutani yang memiliki HTI dan PT Dhara Silva dan terjadi di lahan hutan sebesar 33.550 ha bekas HPH Ragusa. Konflik ini merupakan konflik perebutan lahan oleh masyarakat. Setelah perebutan lahan terjadi, tanah ulayat Suku Melayu itu dijualbelikan ke masyarakat luar Suku Melayu dalam skala masif dan kontinuitas. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Suku Melayu terancam kehilangan tanah ulayatnya.

9

M.Syamsudin, op.cit., hlm 349 Mutolib, A., Yonariza, Y., Mahdi, M., & Ismono, R. H. (2016). Konflik agraria dan pelepasan tanah ulayat (Studi kasus pada masyarakat suku melayu di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat). e-Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Volume 12 Nomor 3, hlm. 213-225 10


Konflik Masyarakat Adat Moronene dengan Pengelola Taman Nasional Rawa Opa Watumohai pada Kawasan Konservasi Masyarakat adat Moronene merupakan suku asli tertua yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara, di samping orang Tolaki dan Mekongga. Masyarakat adat Moronene menyebar hingga 6 kecamatan. Masyarakat adat Moronene di Kecamatan Rumbia terbagi atas 11 tobu (wilayah adat). Kepemimpinan lembaga adat dikenal dengan sebutan Mokole. Mereka telah mengelola wilayah leluhurnya di HukaEka, Lampopala dan sekitarnya sejak tahun 1920-an. Selain perkampungan lahan digunakan untuk kebun, lahan pengembalaan kerbau dan kuda, kebun jati, tambak bersama pada muara-muara sungai, kuburan dan lain-lain. Pada tahun 1952, 1953 serta tahun 1960 mereka terpaksa mengungsi meninggalkan tanah leluhurnya karena gangguan keamanan oleh gerombolan dan kini mereka tinggal berpencar pada kampung-kampung sekitarnya setelah beberapa kali dikumpulkan dan dipindahkan. Akses masyarakat adat tersebut atas kebun dan usaha tani serta padang pengembalaan telah mulai dibatasi dengan ditetapkannya sebagai Taman Buru pada tahun1972. Pada tahun 1980 wilayah tersebut menjadi calon Taman Nasional, kemudian pada tahun 1990 ditunjuk sebagai Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Proses pengambilalihan lahan di dalam kawasan hutan tersebut berlangsung tanpa melalui proses musyawarah. Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan atas hak-hak adatnya dilakukan sejak tahun 1987 dengan menulis surat secara berulang-ulang kepada Wakil Presiden RI serta pimpinan proyek taman nasional. Kesepakatan lisan dengan Tim Gabungan Pemda TK II yang diketuai oleh Kakan Sospol 16 Desember 1997 disepakati bahwa masyarakat tetap tinggal di kampungnya dan memanfaatkan hasil kebun dan hutan sebagaimana biasanya sambil menunggu pembicaraan dengan pimpinan. Usaha-usaha negosiasi damai yang diprakarsai oleh masyarakat adat dalam mempertahankan hak adatnya justru menimbulkan intimidasi, pengusiran, penyerbuan, penangkapan disertai tembakan beruntun dan pembakaran kampung serta kebun mereka di HukaEna dan Lampopala secara berulang-ulang (30 Maret 1998 dan 23 Oktober 1998) 12 hari setelah kesepakatan lisan tersebut dilakukan. Penahanan terhadap 12 masyarakat adat dilakukan tanpa adanya penjelasan tentang status serta alasan penahanannya dan tanpa proses hukum yang jelas. Penahanan tidak diikuti


dengan proses penyidikan yang jelas sampai berminggu-minggu. Kedua belas tahanan telah mendekam berbulan-bulan di dalam tahanan Polres Buton sampai dengan persidangan pada 27 April 1999, masih berstatus tahanan, terpisah jauh dari keluarga dan kerabatnya yang tinggal terpencar dalam suasana ketakutan dan tidak menentu di Taman Nasional Rawa Opa Watumohai. Konflik ini bagi Masyarakat Adat Moronene semakin memperparah keadaan ekonominya dan juga mengembalikan trauma yang telah mereka alami secara berulang-ulang pada tahun 1952, 1953, 1960, dan 1998. D. Perlindungan Hukum Masyarakat Adat Pertama-tama, jika ditelusuri pada waktu kebelakang, kehadiran hukum adat sebagai suatu masalah dalam politik hukum telah jauh diperbincangkan sejak tahun 1848. Sebelumnya, VOC tidak pernah merumuskan suatu politik hukum melainkan membiarkan bangsa Indonesia untuk hidup di bawah hukumnya sendiri tanpa pernah mempersoalkan sifat dari hukum tersebut. Kepentingan dan kehendak masyarakat Indonesia pada saat itu bukan menjadi persoalan karena yang hendak dicari adalah bagaimana memperoleh keuntungan ekonomi dan memasukkan hukum tersebut sebagai amunisi untuk memenuhi kepentingan politik Belanda.11 Adanya peristiwa tersebut menjadi gambaran historis betapa riskan dan diperlukannya perlindungan terhadap masyarakat adat di Indonesia dalam hukum nasional. Apalagi, dewasa ini dunia terus mengalami perubahan ke arah modern dan dapat menjadi suatu ancaman apabila tidak diatur dengan baik oleh negara, baik terhadap ancaman yang berasal dari ekstern negara maupun intern dari dalam negara itu sendiri. Masyarakat adat harus tetap dijaga kehadiran dan kelestariannya serta terbebas dari gerusan negatif zaman yang semakin modern. Mengingat pula, bahwa sejak dahulu kala Indonesia sudah diwarnai oleh ragam dan kekayaan budaya yang lahir seiring dengan hadir dan berkembangnya masyarakat adat. Pasca kemerdekaan RI, perlindungan terhadap masyarakat adat telah diakui secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945. Apabila ditelaah kembali, eksistensi Konstitusi Indonesia memang telah dirancang sedemikian rupa agar dapat menjadi fondasi hukum secara tertulis dalam rangka membangun negara yang modern sekaligus tetap menghormati keberagaman termasuk pluralisme sistem sosial pada masyarakat Indonesia di masa sekarang hingga yang akan datang. Peraturan terhadap masyarakat adat dalam hukum nasional telah banyak diatur dalam berbagai peraturan 11

R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986, hlm. 4.


perundang-undangan secara sektoral. The existing law saat ini merupakan bentuk penjalanan amanat UUD 1945 dalam Pasal 18 B Ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.” Kemudian, dalam Pasal 28 I Ayat (3) “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Selain dalam Konstitusi, peraturan terhadap masyarakat adat yang sepadan dengan istilah indigenous peoples juga dikristalisasikan dan diakui secara internasional melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/ UNDRIP atau Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat. Deklarasi ini diadopsi dalam sidang umum PBB pada 13 september 2007 dan mendapatkan dukungan mayoritas dari 144 negara. Sebelumnya, 4 negara yakni Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat menentang deklarasi tersebut.12 Namun, dukungan kemudian diberikan oleh ke-4 negara setahun setelah deklarasi. Adapun negara dengan status abstain terdiri dari Azerbaijan, Bangladesh, Bhutan, Burundi, Kolombia, Georgia, Kenya, Nigeria, Federasi Rusia, Samoa dan Ukraina. 13 Deklarasi tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat yang ditujukan agar masyarakat adat memperoleh hak secara individual dan kolektif, hak budaya dan identitas budaya, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh kesehatan, hak atas pekerjaan, bahasa dan lain-lain. Deklarasi ini juga berupaya menjaminkan bahwa masyarakat adat juga memilik hak untuk menikmati sepenuhnya (..to fully enjoy..) baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri seluruh hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang diakui dalam piagam PBB, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta peraturan hak asasi manusia internasional lainnya. 14 UNDRIP pada dasarnya merupakan instrumen paling komprehensif yang mengatur masyarakat adat termasuk dalam tatanan kebijakan hukum internasional. Hal ini tidak terlepas dari isi deklarasi yang mengandung standar minimum terkait pengakuan, perlindungan dan promosi hak-hak masyarakat adat. Selain itu, juga merupakan aktualisasi 12

Elvira Pulitano dan Mililani Trask, Indigenous Rights in the Age of the UN Declaration, Cambridge: Cambridge University Press, 2012, hlm. 89. 13 United Nations, State of the World's Indigenous Peoples: Implementing the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, New York: United Nations Publication, 2019, hlm. 3. 14 United Nations, “Frequently Asked Questions”, https://www.un.org/esa/socdev/unpfii/documents/faq_drips_en.pdf diakses pada 10 November 2020.


standar hak asasi manusia internasional. Keberadaan Indonesia sebagai negara yang mengakui masyarakat adat ditandai dengan dukungannya terhadap UNDRIP karena hal ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab negara dalam memenuhi hak asasi manusia semua orang tanpa terkecuali. Adanya penjaminan tersebut menjadi upaya pengakuan yang berupaya menghormati masyarakat adat sebagai bagian dari masyarakat nasional maupun internasional yang kehadirannya tidak boleh dianggap remeh melalui pengkerdilan terhadap hak-hak dasarnya sebagai manusia. Adanya dikotomi antara masyarakat modern dan masyarakat adat tidak boleh menjadikan penerapan hak asasi manusianya menjadi “terkaburkan” melalui segala perbuatan yang membedakan atau dapat mengganggu masyarakat adat dalam memperoleh hak-haknya, sebab sejatinya masyarakat adat tetap memiliki kedudukan yang sama dan setara dengan individu atau kelompok dari berbagai penjuru dunia manapun. Oleh karena itu, perlindungan hukum menjadi suatu urgensi sekaligus kebutuhan dalam memproteksi hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat karena tak lepas dari tujuan hukum yakni untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat yang damai dan adil. Beberapa hak yang diakui dan banyak menimbulkan konflik secara vertikal dalam masyarakat adat ialah hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang dimiliki masyarakat adat. Sebagaimana disebut dalam Artikel 26 (1) UNDRIP bahwa masyarakat adat “... have the right to the lands, territories and resources.. owned, occupied or otherwise used or acquired.” Adanya ketentuan ini menjaminkan bahwa masyarakat adat memiliki hak dalam untuk menggunakan, mengembangkan dan mengendalikan tanah, wilayah, dan sumber daya yang dimilikinya. Peran negara dalam melindungi hal ini disebut pada Ayat berikutnya yakni Artikel 26 (3) yang menyebut bahwa negara “…shall give legal recognition and protection to these..with due respect..” artinya negara dalam memberikan pengakuan yang sah secara hukum harus tetap menghormati adat istiadat, tradisi dan sistem penguasaan tanah masyarakat adat yang bersangkutan. Perbuatan yang tidak menghormati dan mendistorsi hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh negara menjadi suatu hal yang harus dihindari. Perbuatan yang dilakukan oleh negara setidak-tidaknya harus tercerminkan dengan implementasi yang menjunjung tindakan yang adil, tidak memihak, terbuka, proses yang transparan dan mengakui hukum masyarakat adat, kebiasaan, dan sistem kepemilikan tanah yang diakui masyarakat adat. Ketentuan lebih jelasnya disebut cukup rinci dalam Artikel 27. Dalam beberapa kasus, tindakan yang mengebiri hak-hak masyarakat adat


diawali dengan diskriminasi. Padahal dalam prinsipnya, hak asasi manusia secara jelas menentang perilaku yang mendiskriminasikan seseorang ataupun kelompok. Diskriminasi tersebut dapat tejadi dalam berbagai hal, baik berkenaan dengan haknya di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun terhadap pemenuhan hak rohaninya yakni dalam kepercayaan. Mengingat, bahwa masyarakat adat memiliki corak yang disebut dengan magis religius. Salah satu kasus diskriminasi terkait kepercayaan dapat dilihat pada kasus masyarakat adat Cigugur yang memiliki kepercayaan ajaran Djawa Sunda dimana penganutnya kerap dikucilkan bahkan memperoleh tindakan yang tidak senonoh berupa pelecehan secara fisik, bahkan dalam catatan kasusnya ada penganutnya/pemuda yang ditelanjangi. 15 Padahal, sebagaimana telah dijaminkan dalam Artikel 2 bahwa masyarakat adat secara bersama-sama maupun pribadi memiliki kebebasan dan kedudukan yang setara dengan kelompok atau individu lainnya dan harus terbebas dari diskriminasi apapun dalam menjalankan haknya, secara khusus berkaitan dengan asal usul atau identitas yang dimiliki oleh masyarakat adat. Di Indonesia, sudah cukup banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai masyarakat adat secara terpisah-pisah. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: berkaitan dengan penyelesaian konflik agraria dan sengketa yang timbul berkenaan dengan sumber daya alam, upaya perlindungan terhadap masyarakat adat diakomodir melalui Tap MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pada pokoknya, upaya perlindungan dapat dilihat merujuk pada prinsip pembaharuan agraria pada Pasal 4 Tap MPR tersebut yakni memelihara dan mempertahankam keutuhan NKRI, menghormati penegakan hukum dengan tetap mengakomodir keberagaman dalam unifikasi hukum, serta memberikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan heterogenitas budaya bangsa atas sumber daya alam/agraria. Sebagaimana dijelaskan dalam poin (C) pembahasan, adanya sengketa yang timbul kerap kali merupakan sengketa agraria yang timbul oleh adanya gesekan terhadap pemanfaatan keanekaragaman hayati yang terkandung di wilayah masyarakat adat berada. Dalam merespon hal tersebut, Indonesia melalui hukum nasionalnya mengakomodir dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati. Secara jelas disebut pada Pasal 8 huruf (j) terkait

15

Raithah Noor Sabandiah, “Diskriminasi Terhadapagama Tradisional Masyarakat Hukum Adat Cigugur�, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Volume 18 Nomor 3, 2018, hlm. 340.


konservasi yang harus mencerminkan sikap yang menghormati, melindungi dan mempertahankan atas pengetahuan, inovasi, praktik dan lokal sesuai dengan konservasi berkaitan dengan keanekaragaman hayati. Pada Pasal 15 angka 4 juga disebut dalam mengakses sumber daya hayati tersebut harus didasarkan pada persetujuan bersama, khususnya persetujuan dari pemilik sumber daya. Sebagaimana dijelaskan dalam UNDRIP, pada intinya upaya perlindungan terhadap masyarakat adat adalah untuk melindungi hakhaknya sebagai manusia. Perlindungan hak asasi manusia di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 6 Ayat (1) disebutkan dalam rangka memberikan supremasi hak asasi manusia maka terhadap diferensiasi dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi baik oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah. Kemudian pada Pasal 6 Ayat (2) secara tegas menyebut bahwa perlindungan terhadap identitas budaya sekaligus termasuk di dalamnya hak tanah ulayat diberikan perlindungan yang selaras dengan perkembangan zaman. Peraturan lainnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan masih banyak lagi. Meskipun perundang-undangan yang ada memiliki implikasi yang baik terhadap perlindungan masyarakat adat akan tetapi masih terdapat urgensi diperlukannya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai masyarakat adat agar perlindungannya semakin optimal. Pentingnya undangundang lex specialis ini tidak terlepas dari belum adanya umbrella act yang mengatur secara komprehensif dan terintegrasi masyarakat adat.16 Di Indonesia, saat ini telah ada Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat, adapun terdapat implikasi jika RUU ini diterapkan yang akan dijabarkan sebagai berikut: E. Implikasi Penerapan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Hukum merupakan karya manusia yang mengkonstruksi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Sebagai sebuah proses konstruksi, keberadannya tidak lepas dari berbagai peristiwa atau kenyataan sosial yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berhubungan

16

Ady Thea,Opcit.


satu sama lain. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. oleh karenanya hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat setempat terutama ide mengenai keadilan. 17 Melihat kepada RUU Masyarakat Hukum Adat yang dibuat dengan dasar kehendak manusia yang merasa dibutuhkannya perlindungan terhadap masyarakat hukum adat yang selama ini mengalami banyak diskriminasi padahal sejauh belum adanya hukum positif saat ini, hukum adatlah yang terlebih dahulu ada dan dipatuhi bersama. Problematika yang terjadi kepada masyarakat hukum adat tersebut sudah sering disinggung oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang telah sijelaskan sebelumnya, namun belum adanya hukum yang mengatur secara khusus tentang masyarakat hukum adat inilah yang seharusnya menjadi wacana yang perlu diperjuangkan. Namun, terdapat konsekuensi yang harus dihadapi dalam tatanan peraturan perundangundangan Indonesia apabila RUU Masyarakat Hukum adat disahkan. Yaitu, acapkali hukum yang telah dikodifikasi dalam suatu undang-undang yang kemudian berlaku sebagai hukum positif terdapat konflik norma (conflict of norms) atau pertentangan dengan undangundang yang lain. Fungsi asas hukum dalam hukum dapat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak. Bersifat mengikat karena mendasarkan eksistensinya para rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim.18 Melihat hal tersebut, kita dapat mengkategorikan bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat masuk kedalam bentuk peraturan khusus yang dalam penerapannya memerlukan adanya Asas lex specialis derogat legi generali yaitu hukum khusus menyampingkan hukum umum yang juga merupakan salah satu asas preferensi yang dikenal dalam ilmu hukum. Asas preferensi adalah asas hukum yang menunjuk hukum mana yang lebih didahulukan (untuk diberlakukan), jika dalam suatu peristiwa (hukum) terkait atau terlanggar beberapa peraturan.19Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, pertama, ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus. Kedua, 17

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 18 Zainal Asikin, Ilmu Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2015, hlm. 112 19 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1983, hlm 8 18


ketentuanketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang). Ketiga, kententuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Selain itu terdapat hal yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu20: 1. Semua ketentuannya yang bisa dapat didalam pengaaturan hukum umum harus diberlakukan, mengecualikan segala yang mengaturnya itu khusus didalam aturanya yang hukumnya khusus. 2. Semua ketentuannya lex specialis sama atau sederajat ketentuannnya lex generalis undang-undangg dengan undangundangnya yang sudah ada. 3. Semua ketentuannya lex specialis harus ada didalam suatu ruang lingkungan hukum atau kompleks yang sama oleh lex generalis. Karena nantinya RUU Masyarakat Hukum Adat apabila disahkan akan berbentuk sebagai hukum yang khusus, maka perlu adanya harmonisasi hukum yang dilakukan untuk menghindari adanya disintegrasi antar peraturan hukum lainnya. Harmonisasi merupakan kata yang sering kali muncul dan terdengar bahkan diperdengarkan dalam terma hukum, kata ini menjadi sangat sering tercetus dalam disiplin ilmu hukum terutama di Indonesia, bukan tanpa sebab melainkan sering munculnya perbedaan-perbedaan yang bersifat sektoral dalam memaknai dan mengarahkan kepada pembentukan peraturan perundanganundangan. Pentingnya harmonisasi hukum tampak dan dipertegaskan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), subprogram pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa “sasaran program ini adalah terciptanya harmonisasi peraturan perundangundangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan�. Sinkronisasi vertikal dan horisontal menelaah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang berlaku bagi 2 suatu bidang yang sama itu berkesesuaian. 21

20

Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta: FH UII PRESS, 2004, hlm.56 Kusnu Goesniadhie S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan, JP Books, Surabaya, 2006, hlm. 23. 21


Harmonisasi sistem hukum nasional meletakkan pola pikir yang mendasari penyusunan sistem hukum dalam kerangka sistem hukum nasional (legal system harmonization) yang mencakup22: a. Komponen materi hukum (legal substance) atau tata hukum yang terdiri atas tatanan hukum eksternal yaitu peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis termasuk hukum adat dan yurisprudensi, serta tatanan hukum internal yaitu asas hukum yang melandasinya; b. Komponen struktur hukum beserta kelembagaannya (legal structure), yang terdiri atas berbagai badan institusional atau kelembagaan publik dengan para pejabatnya; c. Komponen budaya hukum (legal culture), yang mencakup sikap dan perilaku para pejabat dan warga masyarakat berkenaan dengan komponen-komponen yang lain dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat. Pemikiran sistemik sedemikian itu, diperlukan perumusan langkah sebagai kerangka dan konsep dasar (basic concept) dalam melakukan harmonisasi hukum. Sebagai kerangka dan konsep dasar harmonisasi sistem hukum nasional dengan meletakkan pola pikir, yakni bermula dari paradigma Pancasila bersama-sama dengan konsep negara hukum dan prinsip pemerintahan konstitusional dalam UUD 1945. Kemudian memperhatikan rasa keadilan masyarakat (social sence of justice) dan mengakomodasi aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat. 23 Dalam kerangka demikian secara berkelanjutan, harmonisasi hukum akan terus-menerus berkembang di dalam satu kerangka sistem hukum nasional dengan pendekatan sistem dan pandangan konseptual. Perumusan konsep langkah sistemik harmonisasi hukum, sebagai kerangka umum yang memberikan pedoman dalam penyesuaian asas dan sistem hukum pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam rangka mewujudkan peraturan perundang-undangan nasional yang harmonis, terintegrasi, konsisten dan taat asas.24

22

Kusnu Goesniadhie S, ibid, hlm. 10 Sudargo Gautama, Harmonisasi Hukum di Era Global Lewat Nasionalisasi Kaidah Transnasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2011, hlm. 38 24 Roscoe Pound, An Intoduction to the Philosophy of Law, New Heaven:Yale University Press, 1954, hlm. 70 23


Melihat kepada kondisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, ketika RUU Masyarakat Hukum Adat akan disahkan, perlu diperhatikan juga perihal pengaturan masyarakat hukum adat di undang-undang lainnya untuk menghindari disintegrasi peraturan perundang-undangan yang dapat berdampak pada buruknya penerapan hukum di masyarakat secara langsung. Selain itu, melihat adanya kekhususan subjek hukum didalam RUU Masyarakat Hukum Adat tersebut pembuat undang-undang patut untuk memperhatikan lebih jauh perihal ketepatan setiap aturan yang dibuat dengan subjek hukum yang dikategorikan khusus tersebut. F. Penutup Dinamika yang berkembang mewarnai konflik vertikal dengan masyarakat adat belum juga menemui titik hentinya. Azas egaliter kebijakan yang ramah antar entitas menjadi hakikat yang dijunjung tinggi dalam membangun good governance. Proyeksi masyarakat adat kerap kali termarjinalkan dan diinferiorkan merupakan penyimpangan dari esensi UUD 1945 pasal 18 (B) ayat 2 yang mengkodifikasi pengukuhan, pengakuan, serta pemeliharaan terhadap hak-hak dan kewajiban lingkup masyarakat adat. Diantara sedemikian faktor atas insiden tersebut merupakan azas kejelasan hak dan kewajiban masyarakat adat yang tertuang dalam basis yuridis masih multitafsir dan minim implementasi secara riil. Tindakan preventif upaya menjaga keutuhan dan hak masyarakat adat dapat disiasati dengan pembentukan payung hukum yang menjadi legal stading dan menjadi kiblat yang jelas terhadap restriksi-restriksi antar kedua elemen. Hal tersebut sejatinya perlu dibentuk dengan konkretisasi tiap aspek dan audiensi secara berkala antar masyarakat adat dengan elemen pembentuk peraturan. Hal ini demi menjaga keharmonisan dan menghindari terjadinya konflik vertikal kembali dengan menyelaraskan pandangan dalam satu frekuensi. Hal ini juga tidak semena-mena dapat dioptimalkan oleh pihak pemangku kebijakan secara pragmatis untuk dijadikan sebagai manuver kebijakankebijkan politik yang tidak ramah kepentingan seksama dan cenderung merugikan pihak lainnya.


Penulis Rizki Fauzi Hanifah Alya Muhammad Fadhil M. Rafi Irsyad Nizar Fachri R. Alvita Karina

FH 2018 FH 2020 FISIP 2019 FIB 2019 FIKOM 2020 FPIK 2020


DAFTAR PUSTAKA Asikin, Z. (2015). Ilmu Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo. Ady

Thea,

“Ini

Alasan

Pentingnya

RUU

Masyarakat

Hukum

Adat�

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c6117be052e1/ini-alasanpentingnya-ruu-masyarakat-hukum-adat diakses 12 November 2020. Elvira Pulitano, M. T. (2012). Indigenous Rights in the Age of the UN Declaration. Cambridge: Cambridge University Press. Gautama, S. (2011). Harmonisasi Hukum di Era Global Lewat Nasionalisasi Kaidah Transnasional. Jakarta: Rineka Cipta. I Gede, W. (1962). Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa. Denpasar: Citra Aditya Bakti. Ismi, H. (2012). Pengakuan dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat atas Tanah Ulayat dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional. Jurnal Ilmu Hukum.Volume 3 Nomor 1. Manan, B. (2004). Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: FH UII PRESS. Mutolib, A., Yonariza, Y., Mahdi, M., & Ismono, R. H. (2016). Konflik agraria dan pelepasan tanah ulayat (Studi kasus pada masyarakat suku melayu di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat). e-Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Volume 12 Nomor 3. Pide, S. M. (2017). Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta: Prenada Media. Pound, R. (1954). An Intoduction to the Philosophy of Law. New Heaven: Yale University Press. Purnadi Purbacaraka, S. S. (1983). Perundang-undangan dan Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Rahardjo, S. (1996). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. S, K. G. (2006). Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan. Surabaya: JP Books. Sabandiah, R. N. (2018). Diskriminasi Terhadapagama Tradisional Masyarakat Hukum Adat Cigugur. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Volume 18 Nomor 3.


Soepomo, R. (1986). Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Sugiswati, B. (2012). Perlindungan hukum terhadap eksistensi masyarakat adat di indonesia. Perspektif, Volume 17 Nomor 1. Syamsudin, S. (2008). Beban masyarakat adat menghadapi hukum negara. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 15 Nomor 3. United Nations. (2019). State of the World's Indigenous Peoples: Implementing the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. New York: United Nations Publication. Asked

----------.“Frequently

Questions�,

https://www.un.org/esa/socdev/unpfii/documents/faq_drips_en.pdf diakses pada 10 November 2020. Alting, H. (2010). Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. In H. Alting. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. UN. (n.d.). Who Are Indigenous People ? United Nation Permanent Forum on Indigenous Issues. United Nations. 5session_factsheet1.pdf.

(n.d.).

Retrieved

November

15,

2020,

from

https://www.un.org/esa/socdev/unpfii/documents/5session_factsheet1.pdf Alaidrus, F. (n.d.). Pembahasan RUU Masyarakat Adat Mandek, Hak Warga Terabaikan.

tirto.id.

Retrieved

November

15,

2020,

from

https://tirto.id/pembahasan-ruu-masyarakat-adat-mandek-hak-warga-terabaikande5s developer, mediaindonesia com. (2020, September 5). 60% Subtansi RUU Masyarakat Hukum Adat Bermasalah. https://mediaindonesia.com/read/detail/342462-60subtansi-ruu-masyarakat-hukum-adat-bermasalah Mekanisme_pengakuan_masy_hkm_adat.pdf. (n.d.). Retrieved November 15, 2020, from https://bphn.go.id/data/documents/mekanisme_pengakuan_masy_hkm_adat.pdf RUU Masyarakat Adat http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ2-20171106-094054-7086.pdf


RUU Pertanahan: Dibawa Kemana Pengaturan Tanah Kita? a. Pendahuluan Dalam aksi besar-besaran yang diadakan pada 24 September 2019, gerakan reformasi dikorupsi membawa salah satu tuntutan penolakan pada RUU Pertanahan. RUU ini dianggap tidak memihak pada rakyat dan hanya mengakomodir kepentingan investor semata. Aksi tersebut kemudian menghasilkan janji bahwa RUU Pertanahan akan ditunda pengesahannya dan akan dilakukan pembahasan kembali oleh DPR dan Pemerintah secara komprehensif. Mengawali tahun 2020, RUU Pertanahan kembali masuk ke dalam daftar prolegnas 2020-2024, namun RUU Pertanahan tidak dimasukan ke dalam daftar prolegnas prioritas 2020. Artinya, secara wajar pengesahan RUU Pertanahan memang tidak mungkin berada di tahun ini. Walaupun demikian, banyak pengalaman dalam proses legislasi yang memang RUU yang semula tidak masuk daftar prolegnas prioritas tetapi kemudian disahkan secara tiba-tiba seperti revisi UU KPK dan yang terbaru revisi UU MK. Karenanya, diskursus mengenai RUU Pertanahan haruslah dirawat agar publik tidak kembali kecolongan oleh percepatan proses legislasi. Di mana sejak tahun kemarin, RUU ini masih menyimpan catatan-catatan bermasalah baik dari segi formil maupun segi materil. Apalagi bicara soal regulasi yang menatur tanah, tentu hal tersebut tidak dapat dianggap remeh karena tanah akan berkaitan dengan kehidupan rakyat secara langsung maupun tidak langsung. BEM Kema Unpad, BEM KMFP Unpad, BEM Kema FPIK Unpad, BEM Kema FTIP Unpad, dan BEM Kema Fapet Unpad berkolaborasi untuk membuat analisis terhadap poin-poin bermasalah dalam RUU Pertanahan baik dari segi formil dan materil yang kemudian menyambung pada konsep reforma agraria yang selalu digaungkan selama ini. b. Penguasaan Tanah Oleh Negara dan RUU Pertanahan Penyelenggaraan negara tidak jauh dari pandangan bagaimana negara dapat menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Secara konseptual, pandangan tersebut merupakan pandangan mengenai konsep negara kesejahteraan atau welfare state. Dalam


paham negara kesejahteraan, negara turut campur tangan atau berperan dalam aktivitas perekonomian untuk mencapai kemakmuran rakyat. Peranan tersebt pada prinsipnya digunakan ialah untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat banya seperti pendidikan, kesehatan, dan barang publik lainnya yang pada akhirnya dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.1 Indonesia secara langsung dan tak langsung memang mengadopsi pandangan tersebut ke dalam UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan komitmen Pemerintahan Negara Republik Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum yang juga bersandar pada salah satu prinsip yaitu keadilan sosial. Hal tersebut turun dalam rumusan pasal 33 UUD 1945 yang terdiri dari 5 ayat sebagai berikut (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesa-besarnya kemakmuran rakyat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang Berbicara tentang tanah, maka secara inplisit pengaturan tanah oleh negara sepenuhnya akan merujuk dalam pasal tersebut, khususnya pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kuntana Magnar, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufik dalam tulisannya menjelaskan setidaknya terdapat 2 prinsip pokok dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu prinsip “dikuasai oleh negara” dan prinsip “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.2 Pertama, prinsip dikuasai oleh negara secara langsung telah mengatribusikan kewenangan kepada subjek hukum ‘negara’ untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

1

Kuntana Magnar, dkk. 2010. Tafsir MK Atas Pasal 33 UUD 1945: (Studi Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review UU No. 7/2004, UU No. 22/2001. Dan UU No. 20/2002. Jurnal Konstitusi Vol. 7, No. 1, Februari 2010., hlm. 113 2 Ibid.,


sumber daya alam. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk mengatur, mengelola, menata, dan mengendalikan pemanfaatan, penggunaan, dan peruntukan sumber daya alam. Kewenangan tersebut harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang fundamental, yaitu asas tanggung jawab negara, legalitas, keberlanjutan, manfaat, dan subsidiaritas. 3 Kedua, prinsip untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menghendaki substansi pengaturan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam, termasik kebijakan pertanahan dan penataan ruang harus berpihak kepada rakyat demi terwujudnya kesejahteraan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam harus mengurangi setahap demi setahap angka kemiskinan di Indonesia. 4 Karena secara tidak langsung, tanah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bumi. Ia juga menjadi pijakan dimana kekayaan alam akan terkandung di dalamnya. Mengapa pengaturan tanah oleh negara sangat penting? Selain merujuk pada ide Indonesia sebagai welfare state, Hendry George juga menyebutkan bahwa seseorang bukanlah warga negara, manakala ia tidak memiliki akses terhadap tanah. 5 Hal inilah yang mendorong pasca diruntuhkannya kekuasaan kolonial di Indonesia, pemerintahan Soekarno secara progresif membuat undang-undang yang mengatur permasalahan tanah yang dapat dilihat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria (UUPA). UUPA merupakan instrumen hukum penting yang juga mengatur permasalahan tanah dan menjadi basis utama bagi kebijakan-kebijakan agraria Indonesia di masa-masa berikutnya. Salah satu hal progresif akibat lahirnya UU ini adalah mengubah paradigma penguasaan tanah oleh negara yang semula dalam pemerintah kolonial diartikan sebagai hak milik yang bersifat privat (domain) atas negara tetapi menjadi konsep penguasaan tanah atas negara atau dikenal dengan hak menguasai negara (HMN). 6 HMN dapat dilihat

3

Ibid., Ibid., 5 Walhi. 2019. Wahana Kita, Tanah Untuk Rakyat. Pontianak: Wahana Kita., hlm. 3 6 Afifah Kusumadara. 2013. Perkembangan Hak Negara Atas Tanah: Hak Menguasai Atau Hak Memiliki?. Jurnal Media Hukum Vol. 20, No. 2, Desember 2013., hlm. 265 4


dari pasal 2 ayat (2) UUPA yang berbunyi “hak menguasai dar negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemelihaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa Singkatnya, menurut UUPA, hak menguasai negara atas tanah berarti hak negara untuk mengatur dan mengelola tanah, bukan hak untuk memiliki tanah. Hal ini kemudian diperjelas oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan no. 36/PUU-X/2012, di mana MK menerjemahkan hak menguasai tanah ke dalam 5 fungsi yaitu fungsi pembuat kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. 7 Diskursus kemudian berkembang dalam RUU Pertanahan. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwasannya UUPA merupakan rujukan bagi lahirnya UU-UU Sektoral yang mengatur mengenai keagrarian. Hal ini merupakan aktualisasi fungsi pembuat kebijakan yang dimiliki negara untuk mengatur kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan permasalahan pertanahan. Kurnia Warman dalam Rapat Dengar Pendapat Umum 19 Juli 2018 mengatakan setidaknya dengan judul RUU tentang “pertanahan”, maka RUU ini berpotensi “mengganti” atau setidaknya “mengubah” UUPA karena pengaturan dalam UUPA memang mayoritas tentang tanah. 8 Jika RUU ini tidak mengubah pengaturan dalam UUPA, maka RUU pertanahan haruslah berbentuk delegasi pembuatan UU yang diamanatkan pasal 50 UUPA. Selain itu, jika UUPA memang dimaksudkan sebagai UU yang menjadi rujukan pengaturan

7

Ibid., Kurnia Warman. 2018. Perkembangan Pengaturan Pertanahan, Catatan Untuk Penyusunan RUU Pertanahan. Dipresentasikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum DPR RI 19 Juli 2018 8


agrarian secara umum, maka RUU Pertanahan sebagai lex specialis haruslah dapat meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. c. Catatan Terhadap Aspek Formil RUU Pertanahan Berbicara masalah undang-undang, tentu tidak akan terlepas dari pendapat Hans Kelsen yang mendudukan bahwasannya norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut dengan norma dasar atau grundnorm.9 Hans Nawiasky mengembangkan teori Kelsen tentang jenjang noma dalam kaitannya dengan suatu negara. Ia berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum di suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan verordnung & Autonome satzung.10 Teori ini turut menjadi dasar yang berlaku di negara-negara modern mengenai hierarki peraturan perundang-undangan. Hierarki peraturan perundang-undangan menjadi suatu hal yang mesti jelas pengaturannya. Hal ini karena berkaitan peraturan perundang-undangan sebagai suatu instrumen hukum yang akan membebankan hak dan kewajiban dari para penguasa ke rakyatnya sehingga penyusunannya harus memenuhi kriteria-kriteria yang diatur oleh hukum demi menjamin kepastian hukum itu sendiri. Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah sebagai berikut 1. UUD Negara Republik Indonesia 1945

9

Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius., Hal. 41 Ibid, hal. 44

10


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Produk Undang-undang merupakan bentuk hukum yang paling tinggi statusnya setelah Undang-undang Dasar. Jika dikomparasikan dengan sistem hukum Belanda, Undang-undang dapat disepadankan dengan wet yang memiliki kedudukan tertinggi dibawah grondwet, atau seperti di Amerika Serikat dengan Act (Legislative Act) dan berada dibawah Constitution sebagai produk hukum, Undang-undang baru mengikat untuk umum sebagai algemene verbidende vioorschiften atau peraturan yang mengikat untuk umum yaitu ketika diundangkan. Bentuk administrasi pengundangan Undangundang dilakukan dengan cara menerbitkan naskah Undang-undang dimaksud melalui Lembaran Negara Republik Indonesia (LN-RI). Sementara itu, untuk naskah penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLN-RI).11 Sederhananya, Undang-undang merupakan hanya salah satu bentuk peraturan yang dibentuk oleh DPR, dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, dan disahkan oleh Presiden dan diundangkan sebagaimana mestinya atas perintah Presiden sehingga menjadi norma hukum yang mengikat untuk umum. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya UU P3) menjabarkan bahwa dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan—termasuk

undang-undang—meliputi

tahapan

perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Jika ditarik lebih jauh, bilamana berbicara mengenai peraturan perundang-undangan—sebagaimana dikatakan oleh Crabbe—maka tidak hanya berbicara mengenai pengaturannya, tetapi juga sampai ke pembentukannya yang harus sesuai dengan asas-asas yang berkaitan dengan materi muatannya.12 Maria Farida Indrati menyatakan bahwa asas-asas pembentukan 11 12

Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press., hlm. 166. VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited., hal. 4


peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.13 Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik meliputi asas formal yang mencakup tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ atau lembaga yang tepat, materi muatan yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali. Juga harus meliputi asas material seperti sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum, sesuai dengan prinsip pemerintah berdasarkan konstitusi. 14 Oleh karenanya, sebagaimana dikatakan oleh Maria Farida, bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik akan berfungsi sebagai ramburambu yang akan menuntun setiap pembentukan peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku, sehingga jika telah selesai nanti, hasil dari pembentukannya tidak cacat secara formil maupun cacat secara materiil. Hal ini berlaku ketika membicarakan proses RUU Pertanahan yang harus selaras dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik dalam UU P3. RUU Pertanahan sendiri merupakan rancangan undang-undang yang masuk ke dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2020. 15 Namun, pada pertengahan Juli 2020, RUU ini kemudian ditarik oleh Baleg DPR RI dari list prolegnas prioritas di tahun 2020.16 Di tahun sebelumnya, RUU ini sempat menarik perhatian publik yang dapat dilihat dari masuknya penolakan terhadap RUU ini dalam aksi 24 September 2019. Terdapat beberapa catatan yang mewarnai diskursus RUU Pertanahan sejak tahun 2019 yang berkaitan dengan proses pembentukannya. Pertama, Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatatkan bahwa tujuan pembentukan RUU Pertanahan juga harus diwaspadai. Di satu sisi, masalah tanah merupakan masalah sentral bagi kehidupan 13

Maria Farida Indrati., op.cit hal.252 Maria Farida Indrati., opcit hlm. 331 15 Diakses dari http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/413 16 Delvira Hutabarat. 2020. 16 RUU Resmi Dicabut dari Prolegnas. DIakses dari https://www.liputan6.com/news/read/4294590/16-ruu-resmi-dicabut-dari-prolegnas-2020 pada 27 Agustus 2020 14


rakyat. Saat ini, pengaturan tanah masih berpatokan pada UUPA 1960 yang juga seiring berjalannya waktu memerlukan paying hukum yang lebih spesifik dan kuat untuk mengoperasionalisasikannya sekaligus mendukung agenda reformasi agrarian. Namun berkaca dari pengalaman, bahwa semangat untuk mewujudkan reforma agrarian juga dikebiri oleh pembentukan UU Sektoral yang mengejawantahkan UUPA 1960. 17 RUU Pertanahan yang berperan sebagai UU Sektoral dari UUPA 1960 pun harus diawasi baikbaik agar politik hukumnya tidak hanya menyenangkan satu atau dua pihak saja Kedua, pandangan dari Prof. Ida Nurlinda—Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Unpad—yang menyatakan bahwa sejak diinisiasi oleh DPR pada tahun 2012, ruang lingkup pengaturannya menjadi sangat lebar. Membesarnya ruang lingkup pengaturan tersebut tidak diikuti oleh proses partisipasi dalam pembahasan RUU Pertanahan yang membuat RUU ini cenderung eksklusif, bahkan sampai di tingkat pemerintah dan DPR nya sendiri. 18 Ketiga, dalam rilis pers yang dilakukan oleh Walhi, Jikalahari, HuMa, AMAN, KPA, ICEL, Sawit Watch, FWI, Tuk Indonesia, dan Dompet Dhuafa, hal yang disoroti adalah pembahasan RUU Pertanahan belum melibatkan berbagai pemangku kepentingan, khususnya masyarakat sipil. Hal ini didasari bahwa dalam pembahasan tersebut belum melibatkan secara maksimal organisasi masyarakat sipil. Bahkan dalam rilis pers menyebutkan bahwa upaya organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum justru tidak diberikan.19 Ketiga pandangan tersebut harus menjadi highlight utama dalam proses pembentukan UU Pertanahan yang harus memenuhi secara substantif aspek formil pembentukan undang-undang, hal ini dimaksudkan agar UU Pertanahan nantinya tidak menjadi cacat formil karena menyalahi prosedur yang sudah ditentukan oleh UU P3. Apalagi dengan

17

KPA. 2019. Pandangan KPA Terhadap RUU Pertanahan. Diakses dari http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/45463-pandangan-kpa-terhadap-ruu-pertanahan.pdf pada 27 Agustus 2020 18 Dahuri. 2019. Akademisi Minta RUU Pertanahan Dibahas Ulang. Diakses dari https://mediaindonesia.com/read/detail/249544-akademisi-minta-ruu-pertanahan-dibahas-ulang pada 27 Agustus 2020 19 Rilis Pers “Tolak RUU Pertanahan: 13 Bahaya RUU Pertanahan Jika Disahkan”. Diakses dari https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2019/07/Press-Rilis_Tolak-RUU-Pertanahan.pdf


ditundanya RUU Pertanahan dari prolegnas prioritas 2020, harusnya menjadi refleksi panjang agar nantinya jika RUU ini mulai dibahas tidak mendapat gelombang penolakan yang massif. d. Catatan Terhadap Aspek Materil RUU Pertanahan (1) Bank Tanah Tahun 2019, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mengeluarkan rencana untuk membentuk kebijakan mengenai bank tanah. Pembahasan mengenai Bank Tanah pertama kali diusulkan di Amsterdam, Belanda pada tahun 1890 dengan tujuan untuk mendapatkan lahan yang digunakan sebagai cadangan guna keperluan pembangunan. 20 Wacana pembentukan bank tanah di Indonesia sendiri sejatinya sudah muncul sejak tahun 1993,21 namun baru-baru ini kembali mencuat ke publik seiring dengan kemunculannya di RUU Cipta Kerja dan RUU Pertanahan. Bank tanah sendiri adalah salah satu sarana manajemen sumber daya yang penting untuk meningkatkan produktivitas pemanfaatan tanah. 22 Selain itu hal berbeda disampaikan oleh Alexander (2011) yang menyebutkan bahwa land banking is the process or policy by which local governments acquire surplus properties and convert them to productive use or hold them for long-term strategic public purposes. Melalu kedua pengertian tersebut terdapat poin penting dari pengertian bank tanah yang diperuntukan untuk memperoleh tanah guna kepentingan kesejahteraan masyarakat. Kementerian ATR menyampaikan tujuan dari adanya bank tanah ialah untuk mengelola lahan yang belum dikelola oleh kementerian atau lembaga lainnya saat ini, dimana nantinya bank tanah nantinya akan dikelola oleh lembaga independen. 23 20

Noegroho, N. 2012. Penerapan Konsep Land Banking di Indonesia untuk Pembangunan Perumahan MBR di Kawasan Perkotaan. ComTech, Volume 3, No. 2 21 Rosiana haryanti. 2020. RUU Cipta Kerja Atur Hak Pengelolaan Atas Tanah Bisa 90 Tahun. https://properti.kompas.com/read/2020/03/04/100755621/ruu-cipta-kerja-atur-hak-pengelolaan-atastanah-bisa-90-tahun (Diakses pada tanggal 13 Agustus 2020). 22 Ganindha, R. 2016. Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah sebagai Alternatif Penyediaan Tanah Bagi Masyarakat untuk Kepentingan Umum. Arena Hukum, Volume 9 Nomor 3. 23 Muhamad Fida Ul Haq. 2019. Muncul Lagi Wacana Pembentukan Bank Tanah. https://finance.detik.com/properti/d-4685827/muncul-lagi-wacana-pembentukan-bank-tanah (Diakses pada tanggal 13 Agustus 2020).


Selain itu pembentukan bank tanah bertujuan untuk mempercepat proses pengadaan tanah dalam rangka pembangunan infrastruktur di Indonesia. 24 Adapun fungsi dari adanya bank tanah menurut Siregar dalam Anna Ratnaningsih (2007), ialah: 

Land keeper sebagai penghimpun tanah yaitu inventarisasi dan pengembangan database tanah, administrasi dan penyediaan sistem informasi pertanahan.Land warrantee, pengaman tanah



Land warrantee, sebagai pengamanan tanah yaitu menjamin penyediaan tanah untuk pembangunan, menjamin nilai tanah dan efisiensi pasar tanah yang berkeadilan, dan mengamankan peruntukkan tanah secara optimal



Land purchase, sebagai pengendali tanah yaitu penguasaan tanah, penetapan harga tanah yang terkait dengan persepsi kesamaan nilai pajak bumi dan bangunanLand management, pengelola tanah



Land valuer, sebagai penilai tanah yaitu melakukan penilaian tanah yang obyektif dalam menciptakan satu sistem nilai dalam penentuan nilai tanah yang berlaku untuk berbagai keperluan



Land management, sebagai manajer tanah yaitu melakukan manajemen pertanahan yang merupakan bagian dan manajemen aset secara keseluruhan, melakukan analisis, penetapan strategi dan pengelolaan implementasi berkaitan dengan pertanahan Land distributor, sebagai penyalur tanah yaitu menjamin distribusi tanah yang wajar dan adil berdasarkan kesatuan nilai tanah, mengamankan perencanaan, penyediaan dan distribusi tanah. Mencuatnya kembali pembahasan bank tanah tidak terlepas dari masuknya klausul mengenai bank tanah kemudian ke dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan Pertanahan. Klausul tersebut diklaim oleh pemerintah dapat menjawab kebutuhan investasi, pengadaan lahan, dan hunian sekaligus mendukung reforma agraria. 25 Selain itu pemerintah juga menyebutkan tujuan dari adanya bank tanah antara lain untuk menjawab kebutuhan pemerintah atas tanah bagi

24

Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Cipta Kerja. Hal. 1388 Ridho, MM. 2020. Benarkah Bank Tanah Solusi Rakyat Punya Rumah?. https://www.asumsi.co/post/benarkah-bank-tanah-solusi-rakyat-punya-rumah (Diakses pada tanggal 13 Agustus 2020). 25


pembangunan infrastruktur, energi dan program pembangunan lainnya. Konsep mengenai bank tanah sebagaimana yang sudah dipraktekkan di berbagai negara sebenarnya sangatlah baik, bagaimana orientasi dari adanya bank tanah ialah murni untuk kepentingan rakyat. Namun, asumsi lain muncul seiring masuknya pembahasan bank tanah dalam RUU Cipta Kerja. Siapa objek yang nantinya menguasai bank tanah? Dan akan berpihak ke mana bank tanah di Indonesia? Kesejahteraan rakyat atau pada industri yang dikuasai konglomerat? Masuknya pembahasan bank tanah pada dua RUU akan mengakibatkan hilangnya fungsi sosial pada tanah sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Selain itu dengan adanya bank tanah ini mengakibatkan kontradiksi karena akan menjadikan tanah sebagai komoditas pasar dan mengakibatkan masyarakat tidak bertanah tak memperoleh akses hak atas tanah untuk dijadikan obyek reformasi agraria. 26 Padahal pasal 6 UUPA 1960 menyatakan jika “semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial�27 yang artinya kemanfaatan penggunaan tanah tersebut tidak hanya dapat dimiliki oleh pemilik hak atas tanah namun juga bagi masyarakat luas (kepentingan umum). Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum merupakan kegiatan menyediakan tanah dengan memberikan ganti rugi yang layak dan adil kepada yang berhak. 28 Sementara itu prinsip dan tujuan pendirian Bank Tanah di Indonesia ini jelas melanggar prinsip UUPA itu sendiri yang menjungjung tinggi nilai keadilan dan kerakyatan. Secara nyata tujuan pembentukannya mengesampingkan situasi agraria nasional yang saat ini sedang kronis dan timpang karena lebih diorientasikan untuk kepentingan investasi dan swasta. Melalui tujuan yang disebut untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, RUU Cipta kerja sejak awal sudah diarahkan untuk kepentingan investor. Dengan ini, persoalan dalam perolehan lahan yang telah menjadi substansi penting dalam berinvestasi telah diberi kemudahan oleh pemerintah melalui perpanjangan hak atas 26

Anita W. Puspa. 2018. Reforma Agraria: Bank Tanah untuk Siapa? http://kpa.or.id/media/baca/liputan%20khusus/431/REFORMA_AGRARIA:_Bank_Tanah_Untuk_Siapa?/ 27 Pasal 6 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peratutan Dasar Pokok-Pokok Agraria 28 Ibid.,


pengelolaan dan regulasi yang lebih mudah. Pembangunan berbasis agraria di sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisirkelautan, properti dan infrastruktur menjadi bagian dari sasaran RUU Cipta Kerja 29. Dengan adanya sasaran terhadap polemik lahan, maka RUU Cipta kerja memasukan substansi RUU Pertanahan yang didalamnya diselipkan salah satu agenda untuk memenuhi kebutuhan pengadaan tanah, yaitu pembentukkan bank tanah. Meskipun bank tanah diklaim memiliki tujuan untuk reforma agraria, tetapi sangat terlihat bahwa bank tanah disini identik untuk kepentingan investasi, bukan perbaikan konflik agraria. Adanya pembahasan mengenai bank tanah sebagai lembaga profit semakin menambah kemungkinan jika nantinya bank tanah yang akan dikelola oleh lembaga independen akan jatuh ke tangan swasta atau korporasi. Kekhawatiran lain dari adanya pembahasan mengenai bank tanah ialah mengenai cara bank tanah menginventarisir tanah. Menurut Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma, sebagaimana dilansir dari Asumsi.co mengatakan setidaknya ada tiga mekanisme yang dapat dilakukan bank tanah untuk menginventarisir tanah yang ada. Pertama ialah lahan Indonesia yang menganggur, selanjutnya menghimpun lahan yang menganggur karena perubahan rencana tata ruang wilayah seperti Hak Guna Usaha (HGU) yang berubah status menjadi Hak Guna Bangunan (HGB), menjadi aset Bank Tanah. Terakhir adalah mekanisme pembebasan atau pembelian fungsi lahan. Di dalam RUU Pertanahan diksi Bank Tanah disebut sebagai Lembaga Pengelolaan Tanah. Hal ini diperjelas pada Pasal 72 ayat (3) yang berbunyi “Lembaga Pengelolaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berfungsi sebagai bank Tanah yang melakukan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian Tanah�.30 Melalui hal inilah kemudian RUU Pertanahan dijadikan sebagai landasan hukum untuk menjalankan gagasan bank tanah bagi cadangan tanah untuk kepeentingan investasi 29

Kartika, Dewi. 2020. Pernyataan Sikap dan Tinjauan Kritis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) atas RUU Cipta Kerja. http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/150/Atas_Nama_Pengadaan_Tanah_Untuk_Kemudahan_Inv estasi__Omnibus_Law_Cipta_Kerja_Bahayakan_Petani_dan_Masyarakat_Adat/ 30 Pasal 74. Rancangan Undang-Undang Pertanahan


dan pembangunan infrastruktur yang tujuannya semakin jauh dari asas kerakyatan sebagaimana tercantum dalam UUPA 1960.31 Sejatinya bank tanah memiliki tujuan yang baik jika dikelola dengan baik dan oleh pihak yang memiliki integritas tinggi. Namun, saat ini ketika Bank Tanah masih dalam tahap pembahasan sudah menyimpang dari UUPA 1960 yang mengisyaratkan hak atas tanah memiliki fungsi sosial dan dikelola untuk kepentingan rakyat. Kemampuan manajerial pemerintah untuk mengelola bank tanah tanpa campur tangan politik pun masih banyak diragukan. 32 Jika Bank Tanah akan dibentuk, sudah harus murni untuk kepentingan rakyat dan untuk reforma agraria, bukan untuk kepentingan korporasi belaka. (2) Ancaman Kriminalisasi Pejuang Hak Atas Tanah Bilamana menengok pasal 91 dan pasal 95 ayat (1) Draft RUU Pertanahan yang secara berturut-turut berbunyi “setiap orang yag menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (4) huruf c atau orang suruhannya, dipidana sengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau benda paling banyak Rp. 500.000.000� “(1) setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama yang melakukan dan/atau membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp. 15.000.000.000� Hal tersebut menimbulkan ancaman terhadap orang-orang yang nantinya akan berjuang mempertahankan haknya bila terjadi konflik agraria. Tidak jarang dilihat bahwa dalam setiap konflik agraria, masyarakat selalu berpotensi ditindas menggunakan cara cara kekerasan. Pada tahun 2019 Tindakan brutal dan represifitas aparat menjadi penyebab terbanyak beragam letusan konflik agraria. Bahkan, keterlibatan aparat keamanan 31

Konsorsium Pembaruan Agraria. 2017. Catatan Akhir Tahun 2017 Reforma Agraria Di Bawah Bayangan Investasi. 32 Pamungkas, A., dan Winarso, H. 2017. Bentuk Kelembagaan dan Pola Pembiayaan Land Banking Publik di Indonesia. Tataloka, Vol. 20, Nomor 1


(Polisi, TNI, Satpol PP, dan pihak keamanan perusahaan) Tindakan brutal dan represifitas aparat mengakibatkan begitu banyak korban kekerasan dan penangkapan/ kriminalisasi secara sepihak oleh aparat. sebanyak 258 petani dan aktivis agraria mengalami kriminalisasi, 211 orang mengalami penganiayaan, 24 orang tertembak dan 14 orang tewas33. Kasus kekerasan ini meningkat dibandingkan pada tahun 2018 dengan jumlah korban 216 orang petani dan aktivis agraria dikriminalisasi, 132 orang dianiaya, 6 orang tertembak dan 10 orang tewas. Kekerasan tersebut didominasi oleh aparat kepolisian sebanyak 37 kasus, TNI 6 kasus, Satpol PP 6 kasus, dan petugas keamanan perusahaan sebanyak 15 kasus. 34

Perbandingan Tindakan Brutal dan Represifitas Aparat Jumlah Korban

300

258

250

216

211

200 132

150 100 50

24

6

0

14

10

Kriminalisasi

Dianiaya

Tertembak

Tewas

2018

216

132

6

10

2019

258

211

24

14

Bentuk Tindakan 2018

2019

Tabel 1: Perbandingan Tindakan Brutal dan Represifitas Aparat Bahkan kasus konflik Agraria yang masih sangat hangat di Indonesia ialah ditangkapnya Effendi Buhing, seorang ketua adat di Laman Kinipan, Kalimantan tengah dan 4 orang lainnya yang merupakan anggota komunitas adat. Beliau

33

Konsorsium Pembaruan Agraria. 2020. Catatan Akhir Tahun dari Aceh sampai Papua: Urgensi Penyelesaian Konflik Agraria Struktural dan Jalan Pembaruan Agraria ke Depan. Jakarta: KPA., hlm. 37 34 Konsorsium Pembaruan Agraria. 2019. "MASA DEPAN REFORMA AGRARIA MELAMPAUI TAHUN POLITIK. Jakarta: KPA., hlm. 17


dijemput secara paksa oleh kepolisian daerah Kalimantan Tengah tanpa memberikan surat penangkapan secara jelas dengan tuduhan pencurian gergaji mesin dan kekerasan terhadap karyawan perusahaan. Menurut beberapa pihak kenyataan yang terjadi merupakan perbuatan kriminalisasi karena PT SML hendak mengkonvesi hutan adat warga untuk dijadikan perkebunan sawit oleh karena itu masyarakat adat melakukan protes terhadap hal tersebut. Menurut Rukka Sombolinggi selaku SekJen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Effendi dan yang lainnya tidak mencuri gergaji mesin melainkan mencoba untuk menghentikan penebangan hutan dengan cara menahan gergaji mesin milik PT SML. 35 Hal ini membuktikan bahwa tanpa adanya RUU Pertanahan kriminalisasi pada masyarakat adat ataupun para petani sangat besar dan apabila RUU Pertanahan ini di sahkan dapat memperbesar kemungkinan akan kriminalisasi pada rakyat. (3) Rawan Kepentingan Investor Politik hukum yang ditunjukan dari adanya RUU Pertanahan sangat berorientasi pada kepentingan investor dibandingkan dengan pendukungan reforma agraria. Hal ini dapat dilihat dari aktualisasi panjangnya hak guna usaha yang terdapat dalam pasal 26 draft RUU Pertanahan, di mana HGU dapat diberikan dengan jangka waktu 25 tahun untuk perorangan dan 35 tahun untuk badan hukum. HGU dapat diperpanjang dengan jangka waktu yang sama hanya untuk sekali lagi saja. Namun, dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan lagi perpanjangan 20 tahun dengan mempertimbangkan umur tanaman, jenis investasi, dan daya tarik investasi. Klausul tersebut memang dibuat secara sadar oleh pemerintah sebagaimana dijelaskan oleh Kementrian ATR/BPN, di mana pemberian ini dilakukan demi

35

Syambudi, Irwan. 2020. "Perampasan Lahan dan Kriminalisasi Warga Adat di Kinipan Kalteng" diakses melalui https://tirto.id/f1Jx pada 4 Agustus 2020


menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif sekaligus bermanfaat untuk masyarakat sekitar.36 Di sisi lain, bila kembali merujuk pada pemberian HGU dalam UUPA, pemberian jangka waktu dalam UUPA dibatasi paling maksimal bagi skala perusahaan adalah 35 tahun dan hanya dapat diperpanjang sampai 25 tahun. Hal ini secara tidak langsung memberikan karpet merah bagi investor untuk dapat memonopoli tanah-tanah tertentu. Belum adanya RUU Pertanahan saja masih banyak terdapat praktik kongkalikong, apalagi diberikan karpet merah tentu akan sangat berpotensi menimbulkan praktik-praktik tidak sehat dalam penguasaan tanah. Seharusnya, Politik hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan dan menunjukan sifat dan arah kemana hukum akan dibangun dan ditegakan haruslah berpihak pada kebutuhan rakyat. Apalagi, berkaca pada prinsip utama dalam pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa prinsip untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menghendaki substansi pengaturan kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam, termasik kebijakan pertanahan dan penataan ruang harus berpihak kepada rakyat demi terwujudnya kesejahteraan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam harus mengurangi setahap demi setahap angka kemiskinan di Indonesia. e. Dibawa Kemana Reforma Agraria Kita? (1) Pengertian dan Isi Reforma Agraria secara Umum Reforma agraria merupakan suatu pembaruan bagi sistem pertanahan dengan memberikan perubahan besar pada struktur agraria. Perubahan ini kemudian diharapkan dapat mempermudah petani miskin dalam mengelola lahan, serta

36

CNN Indonesia. 2020. RUU Pertanahan, Pemerintah Usul Pengusaha Diberi HGU 90 Tahun. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190827143024-92-425036/ruu-pertanahanpemerintah-usul-pengusaha-diberi-hgu-90-tahun pada 8 September 2020


kemudahan dalam mendistribusikannya ke pasar masyarakat.37 Menurut Dewi Kartika - Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) - penataan strukur, penguasaan, penggunaan, dan kepemilikan tanah menjadi lebih berkeadilan merupakan konsep ideal dari reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria menjadi suatu keniscayaan sebagai upaya mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, yang kemudian bermuara pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya pemerintah dalam menghadapi reforma agraria dilandasi oleh peraturan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat�. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) kemudian ditegaskan kembali dengan adanya UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dari segi berlakunya, UUPA memiliki dua substansi yaitu tidak memberlakukan lagi hukum agraria kolonial dan membangun hukum agraria nasional. UUPA memiliki keterkaitan dengan salah satu aspek dari reforma agraria, landreform, yaitu menciptakan pemerataan sosial-ekonomi di berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Keterkaitan ini dapat dilihat pada pasal 7 yang membatasi kepemilikan dan penguasaan tanah, pasal 10 yang mengatur tanah pertanian wajib dikerjakan secara aktif, dan pasal 17 menetapkan batas maksimum luas kepemilikan tanah. Tujuan dari landreform kemudian dikategorikan dalam tiga tujuan yaitu ekonomis, politis, dan psikologis. Tujuan ekonomis adalah untuk memperkuat hak milik rakyat serta memberi fungsi sosial pada hak milik sehingga dapat memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat, dan menaikkan martabat hidup rakyat dengan memperbaiki produksi nasional khususnya di sektor pertanian. Berdasarkan sisi politis, landreform bertujuan untuk mengadakan pembagian

37

Fatimah. 2015. Reforma Agraria dalam Konteks Peningkatan Akses Kaum Tani Miskin Terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia. Jurnal Hukum Samudra Keadilan (Vol. 10(2), pp. 191-203). Hlm. 193


tanah yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani, mengakhiri sistem tuan tanah dan menghilangkan kepemilikan tanah yang luas. Sedangkan, dalam sisi psikologis, landreform bertujuan untuk meningkatkan semangat kerja para petani penggarap dengan memberikan kepastian hak, juga memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarap. 38 Saat ini Lembaga pemerintahan yang memiliki kewenangan atas pertanahan adalah kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Dalam mengatasi reforma agraria sendiri, Kementerian ATR/BPN melakukan berbagai program kerja, salah satunya adalah penyerahan sertifikat tanah bagi petani yang tidak memiliki kebebasan mengelola tanah. Pemberian sertifikat ini bertujuan agar meningkatkan kebebasan petani dalam mengelola tanah, sehingga dapat mengurangi sengketa tanah dan meminimalisir adanya ketimpangan sosial. (2) Reforma Agraria yang “Ideal” Secara garis besar, negara-negara maju melakukan reforma agraria sebelum industrialisasi dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan reforma agraria di Asia (seperti Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Cina), Afrika, dan Amerika Latin.39 Lin (1974) menyimpulkan bahwa reforma agraria secara ideal akan berhasil jika meliputi; 1) mandat konstitusional; 2) hukum agraria dan penegakannya; 3) organisasi pelaksana; 4) sistem administrasi agraria; 5) pengadilan; 6) desain rencana dan evaluasi; 7) pendidikan dan latihan; 8) pembiayaan; 9) pemerintahan lokal; dan 10) organisasi petani. 40

38

Zulkarnain. 2004. Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 di Kabupaten Langkat. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan. Hlm. 39-40 39 Dianto, Bachriadi. 2017. “Reforma Agraria Untuk Indonesia –Kritik Atas Reforma Agraria à La SBY.” Seri working paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru 4: 6. Hlm 5 40 Lin (ed.) (1974) Readings in Land Reform. Dikutip dari Dianto, Bachriadi. 2017. “Reforma Agraria Untuk Indonesia –Kritik Atas Reforma Agraria à La SBY.” Seri working paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru 4: 6. Hlm.6


Reforma agraria yang berhasil akan menghasilkan revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan yang kokoh. Hal ini ditandai dengan kepastian penguasaan tanah yang dapat memberikan jaminan penghidupan dan kesempatan kerja bagi petani, tata guna tanah yang memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lestari, kedaulatan pangan, dan produktivitas yang dapat mensejahterakan keluarga petani dan memungkinkan mereka melakukan reinvestasi. Singkatnya, reforma agraria secara ideal seharusnya dapat mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan keamanan melalui keadilan sosial dengan adanya keadilan agraria. 41 (3) Perjalanan Reforma Agraria di Indonesia Pelaksanaan Reforma Agraria menjadi salah satu tindakan yang dilakukan oleh berbagai negara untuk meningkatkan kemakmurannya. Adapun sejarah kebijakan agraria di Indonesia (BPN, 2007) adalah sebagai berikut:42 1. Periode Kolonial Kebijakan agraria dimulai dengan berlakunya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) tahun 1870, lalu Pemerintah Kolonial Belanda

mengeluarkan

Ordonansi Staatblad 1823 Nomor 164. Ketika masa penjajahan Belanda digantikan oleh Jepang pada 1942. Pada masa penjajahan Jepang dikeluarkan peraturan yang melarang pemindahan hak atas benda tetap/ tanah (Osamu Sierei Nomor 2 Tahun 1942). Penguasaan tanah partikelir juga dihapus oleh pemerintahan Jepang. Prinsip yang ada pada periode ini tentu masih sangat bersifat kolonilis dan feodal. 2. Periode 1945 –1960

41

Op. Cit. BPN. 2007. Program Badan Pertanahan Nasional tahun 2007. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional RI. dikutip dari “View of Harapan Dan Kenyataan: Implementasi Reformasi Agraria Di Provinsi Riau.� http://conference.unri.ac.id/index.php/unricsagr/article/view/a2/4 (September 8, 2020). Hlm. 9-10 42


Kebijakan-kebijakan pertanahan pada periode ini berfokus pada pembenahan penguasaan dan pemilikan dari sistem kolonial menjadi sistem nasional. Dalam periode ini penguasaan dan kepemilikan asing dinasionalisasi. Penguasaan, pemilikan tanah luas, perdikan, swapraja, partikelir, dan lainnya yang tidak sesuai dengan jiwa kemerdekaan diatur kembali penggunaan dan penguasaanya oleh negara untuk kepentingan nasional. 3. Periode 1960-1967 Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24 September 1960, yakni disetujuinya dan disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dengan prinsip tanah untuk rakyat. Kebijakan ini kemudian ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang pemilikan dan penguasaan tanah dan UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH), dimana kepemilikan tanah yang melewati batas maksimum kemudian akan dibagikan pada petani tak bertanah. Secara teori, semangat “Marhaenisme� sudah tepat sasaran. Namun, pelaksanaannya terhambat oleh korupsi, nepotisme, dan proses administratif yang berbelit-belit. 4. Periode 1967–1997 Reforma agraria pada era Soeharto pada era Soeharto berfokus pada penanaman modal atau investasi. Hal-hal yang bersinggungan dengan UUPA dicap komunis. Pada tahun 1967, lahir UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan yang bertolak belakang dengan UUPA. Meski swasembada pangan merupakan salah satu hal yang paling membekas di saat itu, namun kepemilikan lahan sangat berpihak pada swasta dan asing. 5. Era awal Reformasi Pada awal era reformasi, kebijakan pertanahan lebih diarahkan pada kebijakan-kebijakan yang langsung menyentuh masyarakat. Kebijakan tersebut lebih menekankan pada pendaftaran/sertifikasi tanah yang dikuasai/dimiliki golongan-golongan tidak mampu. Selanjutnya, pada pemerintahan Susilo


Bambang Yudhoyono (SBY), reformasi agraria diwujudkan melalui program Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah. Namun, pada pelaksanaannya terbilang kacau karena banyaknya simpang siur data dan hanya berfokus pada redistribusi tanah secara terbatas dan sertifikasi tanah saja. 6. Reforma Agraria di Era Kepemimpinan Joko Widodo Program landreform dicamkan secara jelas dalam Nawacita ke-5 Jokowi-JK yang berbunyi “Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, diantaranya akan dicapai melalui .. dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” dengan mendorong landreform dan kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar..”. Semangat Nawacita ini kemudian diturunkan menjadi tiga hal pokok; 1) redistribusi tanah, 2) Program Perhutanan Sosial, dan 3) Legalisasi aset. Pada periode selanjutnya (Jokowi-Maruf-Amin), landreform tidak disebutkan dalam “5 Poin Visi Pembangunan” atau yang akrab juga diketahui sebagai Nawacita II. Berbagai program disungkan demi terwujudnya yaitu legalisasi aset, redistribusi tanah dan perhutanan sosial. Target yang diinginkan pemerintah yaitu akan dilaksanakan seluas 9 juta hektar sebagaimana Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019. Skema tersebut menyebutkan legalisasi aset 4,5 juta hektar yang meliputi legalisasi terhadap tanah-tanah transmigrasi yang belum bersertifikat yaitu seluas 600.000 hektar dan legalisasi terhadap tanah-tanah yang sudah berada dalam penguasaan masyarakat seluas 3,9 juta hektar. Pada program perhutanan sosial, petani akan berperan sebagai pemegang izin pengelolaan yang nantinya akan diberikan kartu perhutanan sosial. Kartu itu berfungsi sebagai sarana pengawasan agar lahan benar-benar diolah untuk kepentingan yang produktif. Pemerintah menargetkan masa konsesi mencapai 12,7 juta ha. Namun hingga kini, realisasinya baru mencapai 2,6 juta ha yang dibagikan. Realisasi ini terkesan menjadi pemanis lantaran akar masalah reforma agraria tetap belum mampu diselesaikan oleh Jokowi.


Redistribusi tanah ditargetkan seluas 4,5 juta hektar, meliputi Hak Guna Usaha Habis, tanah terlantar dan tanah Negara lainnya seluas 400.000 hektar dan tanahtanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektar. Peran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam Reforma Agraria adalah memberikan aset dan akses. Dalam hal aset, Kementerian ATR/BPN menjamin kepastian hukum atas tanah yang dimiliki seperti memberikan sertifikat tanah, mempercepat

pendaftaran tanah dan

inventarisasi penguasaan, pemilikan dan penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam kerangka reforma agraria yang dilakukan melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Impian dan program yang dibuat oleh pemerintah nyatanya, dalam implementasi kebijakan agraria secara lapangan, banyak menemui kendala. Terbukti dari masih tingginya konflik pertanahan yang terjadi dari tahun ke tahun. Konflik lahan dan sumber daya alam dari tahun ke tahun terus meningkat. Sepanjang 2016, Ombudsman RI mencatat 450 konflik agraria dengan luas 2.829.255 hektar.43 Menurut website resmi sekretariat kabinet Republik Indonesia (RI), pada tahun 2019, kasus sengketa lahan yang tercatat pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencapai 8.959 kasus. Terus bergulirnya persoalan agraria ini membuktikan program reformasi Agraria masih terjadinya kemacetan dalam pelaksanaannya. Padahal, peran pemerintah pusat serta daerah jelas sangat dibutuhkan karena tidak adanya pemerataan untuk rakyat yang tidak memiliki tanah berpotensi membuat semakin terpuruknya mereka pada kemiskinan. Nawacita Jokowi-JK tentang landreform dicap gagal oleh banyak pihak. Dewi Kartika, sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam webinar “Ketahanan Pangan� 22 Mei 2020 menekankan bahwa kegagalan ini disebabkan oleh pelaksanaan reforma agraria yang belum maksimal dan hanya berfokus pada “bagi-bagi lahan� saja. Seharusnya, sudah waktunya bagi pemerintah bahwa

43

Gevisioner, G. (2019, January). Harapan dan Kenyataan: Implementasi Reformasi Agraria di Provinsi Riau. In Unri Conference Series: Agriculture and Food Security (Vol. 1, pp. 8-14). Hlm 11


“reforma agraria� bukan sebatas memiliki arti redistribusi dan sertifikasi tanah saja. Penutup Tanah adalah unsur esensil dalam kehidupan manusia. Bahkan pentingnya tanah menurut Hendry George akan berkaitan dengan statusnya sebagai warga negara. ia menyebutkan bahwa seseorang bukanlah warga negara, manakala ia tidak memiliki akses terhadap tanah. Oleh karenanya, pengaturan mengenai tanah haruslah merepresentasikan rasa keadilan rakyat Indonesia. Pengaturan mengenai tanah tidak boleh hanya berkiblat pada faktor investasi semata. Apalagi dengan adanya gaungan reforma agrarian, hal tersebut haruslah menjadi faktor kiblat agar pengaturan tanah sepenuhnya berpihak pada rakyat sesuai amanah UUD 1945. Atas dasar analisis di atas, maka BEM Kema Unpad, BEM KMFP Unpad, BEM Kema FPIK Unpad, BEM Kema FTIP Unpad, dan BEM Kema Fapet Unpad menyatakan sikap 1. Mendorong Pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan RUU Pertanahan dengan sepenuhnya menjalankan prinsip reforma agraria sejati 2. Menuntut Pemerintah dan DPR untuk memaksimalkan segala bentuk partisipasi masyarakat secara luas dalam pembahasan RUU Pertanahan dengan melibatkan akademisi, organisasi masyarakat, individu yang concern, dll 3. Menuntut DPR dan Pemerintah agar transparan dalam membahas RUU Pertanahan


Daftar Pustaka Academia.edu.

Reforma

Agraria:

Sejarah,

Konsep,

dan

Implementasi

https://www.academia.edu/9524718/Reforma_Agraria_Sejarah_Konsep_dan_Im plementasi. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2020 Afifah Kusumadara. 2013. Perkembangan Hak Negara Atas Tanah: Hak Menguasai Atau Hak Memiliki?. Jurnal Media Hukum Vol. 20, No. 2, Desember 2013 CNN Indonesia. 2019. Petani, Riwayatmu Dalam Reforma Agraria Ala Jokowi. https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190924082514-532-433247/petaniriwayatmu-dalam-reforma-agraria-ala-jokowi. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2020 Dahuri. 2019. Akademisi Minta RUU Pertanahan Dibahas Ulang. Diakses dari https://mediaindonesia.com/read/detail/249544-akademisi-minta-ruupertanahan-dibahas-ulang pada 27 Agustus 2020 Delvira Hutabarat. 2020. 16 RUU Resmi Dicabut dari Prolegnas. DIakses dari https://www.liputan6.com/news/read/4294590/16-ruu-resmi-dicabut-dariprolegnas-2020 pada 27 Agustus 2020 Dianto, Bachriadi. 2017. “Reforma Agraria Untuk Indonesia –Kritik Atas Reforma Agraria à La SBY.” Seri working paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru 4: 6. Fatimah. 2015. Reforma Agraria dalam Konteks Peningkatan Akses Kaum Tani Miskin Terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia. Jurnal Hukum Samudra Keadilan (Vol. 10(2), pp. 191-203). Ganindha, R. 2016. Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah sebagai Alternatif Penyediaan Tanah Bagi Masyarakat untuk Kepentingan Umum. Arena Hukum, Volume 9 Nomor 3.


Gevisioner, G. (2019, January). Harapan dan Kenyataan: Implementasi Reformasi Agraria di Provinsi Riau. In Unri Conference Series: Agriculture and Food Security (Vol. 1, pp. 8-14). Hastiyanto, F. (2019). Perencanaan Pembangunan Dan Gerakan Sosial Dalam Reforma Agraria Di Indonesia. 4(2). Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press Kartika, Dewi. 2020. Pernyataan Sikap dan Tinjauan Kritis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) atas RUU Cipta Kerja. http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/150/Atas_Nama_Pengadaan_Tanah_Unt uk_Kemudahan_Investasi__Omnibus_Law_Cipta_Kerja_Bahayakan_Petani_dan _Masyarakat_Adat/ Konsorsium pembaruan Agraria. 2020. Catatan AkhirTahun DARI ACEH SAMPAI PAPUA: Urgensi Penyelesaian Konflik Agraria Struktural dan Jalan Pembaruan Agraria ke Depan, hlm. 37 Konsorsium Pembaruan Agraria. 2019. "MASA DEPAN REFORMA AGRARIA MELAMPAUI TAHUN POLITIK, hlm. 17 Kuntana Magnar, dkk. 2010. Tafsir MK Atas Pasal 33 UUD 1945: (Studi Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review UU No. 7/2004, UU No. 22/2001. Dan UU No. 20/2002. Jurnal Konstitusi Vol. 7, No. 1, Februari 2010 Kurnia Warman. 2018. Perkembangan Pengaturan Pertanahan, Catatan Untuk Penyusunan RUU Pertanahan. Dipresentasikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum DPR RI 19 Juli 2018 KPA.

2019.

Pandangan

KPA

Terhadap

RUU

Pertanahan.

Diakses

dari

http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/45463-pandangan-kpa-terhadapruu-pertanahan.pdf pada 27 Agustus 2020 Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius


Noegroho, N. 2012. Penerapan Konsep Land Banking di Indonesia untuk Pembangunan Perumahan MBR di Kawasan Perkotaan. ComTech, Volume 3, No. 2 Pamungkas, A., dan Winarso, H. 2017. Bentuk Kelembagaan dan Pola Pembiayaan Land Banking Publik di Indonesia. Tataloka, Vol. 20, Nomor 1 Sekertariat Kabinet Republik Indonesia. 2019. Menteri ATR/Kepala BPN: Hanya Ada 8.959 Sengketa Kasus Tanah. https://setkab.go.id/menteri-atrkepala-bpn-hanyaada-8-959-sengketa-kasus-tanah/. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2020 VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited Walhi. 2019. Wahana Kita, Tanah Untuk Rakyat. Pontianak: Wahana Kita Zulkarnain. 2004. Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 di Kabupaten Langkat. Tesis. Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.


Menilik Urgensi Pengesahan

RUU PPRT


Menilik Urgensi Pengesahan RUU PPRT Pendahuluan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga atau disingkat RUU PPRT sudah menjadi diskursus publik sejak kemunculannya di program legislasi nasional atau prolegnas tahun 2004. Gegap gempita akan adanya RUU PPRT sebagai calon instrumen perlindungan hukum pekerja rumah tangga atau PRT nampak terus bergulir. Namun pada akhirnya RUU ini terus mangkrak tidak dibahas dan hanya menghuni daftar prolegnas semata. Hal ini tentu menimbulkan kritik dari masyarakat sipil yang menganggap bahwa Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR tidak serius bahkan terkesan main-main untuk menindaklanjuti RUU PPRT. Hampir 16 tahun RUU ini mangkrak, DPR—melalui Badan Legislasi—kemudian sepakat untuk menjadikan RUU PPRT menjadi usul inisiatif DPR yang akan diajukan dalam rapat paripurna. Namun naas, pada saat paripurna dilaksanakan RUU ini kembali ditolak oleh beberapa fraksi dan dirasa belum terdapatnya surat disposisi sehingga belum dapat ditindaklanjuti ke paripurna. 1 Dalam status quo, undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan belum dapat secara maksimal melindungi PRT. Hal ini dikarenakan interpretasi pemerintah terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menjangkau PRT ke dalam pengaturannya. Hal ini dikarenakan UU a quo hanya memberikan perlindungan untuk pekerja di sektor formal saja, tidak sampai ke sektor informal. Selain itu, PRT juga tidak dapat mengakses mekanisme penyelesaian perselisihan seperti pengadilan industrial karena tidak termasuk pada definisi pekerja di UU Ketenagakerjaan.2 Pemerintah kemudian membuat Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Walaupun hal ini dikatakan sebagai langkah progresif untuk melindungi PRT, namun Permenaker tersebut masih menyimpan beberapa catatan dalam pelaksanaannya dan dirasa tidak memenuhi kebutuhan dari PRT itu sendiri. PRT dalam hal ini juga memiliki hak untuk bekerja secara layak. Atas dasar itulah masyarakat sipil mendorong DPR untuk segera mengesahkan regulasi perlindungan PRT

1

Nur Azizah Rizki Astuti, 16 Tahun Mangkrak, RUU Prlindungan PRT Batal Dibawa ke Paripurna DPR, Detik News, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-5095290/16-tahun-mangkrak-ruu-perlindungan-prt-bataldibawa-ke-paripurna-dpr/2 pada 2 Agustus 2020 2 Wiwik Afifah, EKsistensi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum VOl. 14 No. 27, Februari 2018., hlm. 55


dalam satu instrumen undang-undang yang bersifat lex specialis. Hal ini lah yang akan menjadi aktualisasi komitmen negara dalam menjamin hak-hak PRT. Menilik Urgensi RUU PPRT Nomenklatur “Pekerja Rumah Tangga” (Selanjutnya disebut PRT) tidak dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebab menggunakan istilah khusus yakni “Pembantu Rumah Tangga”. 3 Istilah ini seakan menjadi pembeda antara profesi PRT dengan pekerjaan umum lainnya yang berdampak cukup signifikan dalam berbagai sektor, utamanya sosial, ekonomi hingga hukum. Rekognisi PRT sebagai “pekerjaan” mulai diakui lambat laun dan mengilhami Indonesia sejak 2004 yang mulai mengagendakan pembentukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai bentuk pelaksanaan amanat yang secara exvressi verbiz tertulis dalam Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD) yang menjunjung tinggi hak asasi, harkat dan derajat manusia yang setara. Pengakuan yang menggolongkan PRT sebagai Pekerja yang pengaturannya diatur secara jelas dan tegas dalam hukum positif Indonesia dapat menjadi salah satu bukti konkrit negara dalam menciptakan iklim kesetaraan (equality) diantara warga negaranya. Mengingat masih sporadisnya budaya labelling dan diskriminasi terhadap profesi PRT telah menempatkannya sebagai pekerjaan yang rentan dan tidak bisa lepas dan lekang dari isu Hak Asasi Manusia (HAM), dengan demikian perlu untuk diakui secara yuridis di Indonesia, utamanya mengingat pula amanat yang terkandung dalam Pasal 6 dan Pasal 7 DUHAM, International Labour Organization (ILO) Nomor 87 tentang Freedom of Association and Protection of the Right to Organize Convention, ILO Nomor 100 tentang equal Remuneation Convention, ILO Nomor 138 tentang Minimum Age Convention, ILO Nomor 182 tentang Worst Forms of Child Labour Convention, ILO Nomor 29 tentang Forced Labour Convention, dan ILO Nomor 189 tentang Convention on Domestic Workers, yang secara eksplisit juga mengakui bahwa PRT memiliki hak yang sama untuk dilindungi dan dihormati dan memperoleh hak-hak dasar berupa “(a) freedom of association and the effective recognition of the right to collective bargaining; (b) elimination of all forms of forced or compulsory labour; (c) abolition of child labour; and (d) elimination of discrimination in respect of employment

3

Muhtadi, Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga di Bandar Lampung, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No.4, desember 2014, hlm. 646.


and occupation (Pasal 3, 4, dan 11). Serta effective protection against all forms of abuse, harassment and violence (Pasal 5).4 Konstitusi Republik Indonesia juga telah menjamin persamaan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa mengeksepsikan pihak lain sebagaimana disebut dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD dalam kedudukannya yang sama dihadapan hukum dan Pemerintahan, serta kewajibannya untuk menjunjung keduanya tanpa terkecuali. Kemudian, di dalam Pasal 28 D Ayat (2) UUD “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Hadirnya PRT kerap kali terdiskreditkan bahkan dipandang sebagai profesi rendahan dengan kehidupan tidak layak yang diproyeksikan oleh fakta bahwa PRT di Indonesia tidak memiliki jaminan sosial dan kesehatan, bekerja tanpa mengenal batas waktu, rentan mengalami kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi karena belum memiliki payung hukum yang mengatur secara tegas dan mengikat berkenaan dengan PRT, sehingga upaya proteksi terhadap profesi ini semakin riskan, rentan dan sukar dilakukan secara optimal. Ruang lingkup kerja yang bersifat privat juga semakin mempersulit implementasi Pemerintah dalam melindungi dan mengawasi PRT di Indonesia. Terlebih PRT bahkan tidak termasuk sebagai profesi yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUK) karena termasuk ke dalam sektor ekonomi nonformal dan bekerja di bawah “Pemberi kerja”. Padahal ILO telah mengakui bahwa PRT merupakan “Pekerjaan” sebagaimana disebut dalam Konvensi Nomor 189 tahun 2011 bahwa “Domestic work is work. Domestic workers are, like other workers, entitled to decent work.” Nomenklatur yang digunakan dalam UUK juga berbeda dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (selanjutnya disebut Permenaker PPRT) yang menggunakan istilah “Pengguna PRT” (selanjutnya disebut Pengguna). Dalam UUK “Pekerja” diartikan sebagai seseorang yang menerima upah atau imbalan lain, (Lihat Pasal 1 UUK) perbedaan antara PRT dengan Pekerja lain terlihat dari bentuk majikan yang bukan termasuk sebagai “Pengusaha” (Badan Usaha) yang tunduk kepada standar kewajiban usaha yang diatur dalam Undang-Undang. Sedangkan “Pemberi Kerja” pada PRT tidak tunduk pada standar kewajiban usaha dan hanya memiliki resposibilitas dalam 4

ILO, Convention No. 189 Decent work for domestic workers, International Labour Organization, diakses dari https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/--travail/documents/publication/wcms_161104.pdf Pada 29 Juli 2020 Pukul 21.08 WIB.


melindungi kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan, baik secara psikis ataupun fisik pekerjanya (lihat Pasal 35 UUK).5 Padahal PRT sudah memenuhi pekerjaan yang memenuhi unsur atas upah, perintah dan pekerjaan sebagaimana disebut dalam Pasal 1 Angka 15 UUK, sehingga dengan demikian memiliki hak normatif dalam memperoleh perlindungan yang sama sebagaimana didapatkan oleh para pekerja pada umumnya atau pekerja formal. Perlindungan yang tegas melalui regulasi menjadi urgensi tersendiri mengingat Indonesia sebagai Negara Hukum yang segala bentuk perbuatannya harus dilegitimasi secara tegas dan jelas, hal ini tak terlepas dari besarnya kuantitas PRT yang terus mengalami kenaikan. Menurut kepada data International Labour Organization (ILO) angka PRT di Indonesia mengalami eskalasi hingga 2 (dua) kali lipat dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun dari 2008-2015 yang mulanya 2,6 juta menjadi 4 jutaan PRT.6 Jika dikomparasikan dengan negara lain seperti India dan Philiphina, Indonesia berada di posisi pertama PRT terbanyak dengan kisaran angka secara berurutan 4,2 Juta, 3,8 Juta, dan 2,6 Juta PRT.7 Menurut kepada Teori Excess of Labour Supply Approach, fenomena semakin maraknya PRT dapat dijelaskan dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand). PRT yang dikategorikan sebagai pekerjaan non-formal atau informal lahir karena profesi pada sektor formal bersifat terbatas dan tidak bisa menyerap kelebihan daripada tenaga kerja yang ada. Hal ini juga didorong oleh adanya kualifikasi syarat-syarat tertentu pada sektor formal yang tidak bisa dijangkau atau dipenuhi oleh semua orang. Akibatnya, orang yang tidak dapat memenuhi kualifikasi pada sektor formal mencari alternatif lain dengan menjadi pekerja informal, salah satunya menjadi PRT.8 Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Indonesia sendiri baru memiliki regulasi yang mengatur PRT dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Isi dari Permenaker tersebut yaitu mengatur tentang hak-hak yang

5

ILO, Peraturan tentang Pekerja Rumah Tangga di Indonesia; Perundangan yang ada, Standar Internasional dan Praktik Terbaik, 2006, Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, hlm. 10. 6 ILO, Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, International Labour Organization, diakes dari https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/presentation/wcms_553078.pdf Pada 30 Juli 2020 Pukul 9.16 WIB. 7 DPR, Urgensi dan Pokok-pokok Pikiran Pengaturan Penyusunan RUU PPRT, Dewan Perwakilan Rakyat, diakses dari http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ5-20200226-054930-5717.pdf Pada 30 Juli 2020 Pukul 10.21 WIB. 8 Lovvi Malino, Relasi Sosial Buruh dan Majikan (Studi pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Kemplang di Kampung Sekip Rahayu Kelurahan Bumi Waras Kota Bandar Lampung) SKRIPSI, 2018, Bandar Lampung: Universitas Lampung, hlm. 18.


harus dipenuhi oleh yayasan penyalur maupun majikan kepada pembantu rumah tangga. Dalam Permenaker itu telah diatur bahwa pembantu rumah tangga harus mendapatkan upah, cuti, dan jaminan sosial sesuai kesepakatan dan perlakuan yang manusiawi. Regulasi ini juga mengatur tentang pengetatan eksistensi yayasan penyalur PRT yang ada dengan melibatkan pemerintah daerah provinsi sebagai penyaring yayasan dan pengawas ketenagakerjaan sektor pembantu rumah tangga. Termasuk, larangan bagi yayasan penyalur untuk mengambil keuntungan dari pembantu rumah tangga. Artinya yayasan hanya boleh mengambil keuntungan dari pihak pengguna atau majikan dari pembantu rumah tangga yang bersangkutan. Prinsip pokok Permenaker PPRT, yaitu Pertama, negara hadir melindungi pekerja di seluruh Indonesia sampai yang ada di rumah tangga sekalipun. Kedua, Permenaker ini tetap menghormati tradisi, konvensi dan adat istiadat yang berlaku terkait dengan PRT. Ketiga, gubernur dan pemerintah daerah (Pemda) berperan sebagai pengawas, pemberi izin, dan pemberi sanksi bagi LPPRT yang melakukan pelanggaran. Keempat, penegasan kepada LPPRT bahwa tidak boleh memungut dana apapun dari calon PRT. Kelima, PRT berhak atas upah, cuti, waktu ibadah, jaminan sosial dan perlakuan manusiawi, serta mendapat hak sesuai kesepakatan dengan pengguna jasa. Keenam, Rukun Tetangga (RT) atau lingkungan berperan untuk turut serta mengawasi, sebab perjanjian antara PRT dan pengguna jasa harus diketahui oleh ketua RT atau kepala lingkungan. Ketujuh, izin operasional LPPRT dicabut oleh gubernur dan bila tidak ada perpanjangan izin. Kedelapan, pemberian perlindungan semua PRT melalui LPPRT maupun langsung direkrut oleh pengguna jasa. Kesembilan, pengaturan mengenai standar penampungan PRT, dan Kesepuluh, pengaturan PRT diserahkan pada pemerintah daerah untuk diatur lebih lanjut melalui peraturan daerah 9. Permenaker No. 2 tahun 2015 mengutamakan perlindungan dengan menggunakan skema pelaksanaan hak-hak normatif sebagai pekerja namun tetap menghormati kebiasaan, budaya dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat setempat. Terkait sanksi bagi LPPRT (Lembaga Penyalur Pekerja Rumah Tangga) yang melakukan pelanggaran, aturan Permenaker No. 2 tahun 2015 mengancam memberikan sanksi tegas. Mulai dari sanksi yang paling ringan berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau selutuh kegiatan usaha LPPRT

9

Arrista Trimaya, Mencermati Penerbitan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RechtsVinding Online, 2015, hlm. 1


sampai pencabutan ijin oleh Gubernur. Untuk pembinaan dan pengawasan LPPRT dilakukan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Termasuk soal pemberian izin, perpanjangan dan pencabutannya serta pengawasannya diserahkan kepada gubernur. 10 Penetapan Permenaker tersebut sebagai upaya memberikan perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga atau Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik terkait hak normatif maupun soal eksistensi yayasan atau Lembaga Penyalur PRT (LPPRT), dan merupakan bentuk konkret kehadiran negara untuk melindungi sektor rumah tangga di dalam negeri. Walaupun sekilas nampak memiliki politik hukum yang ideal, namun bukan berarti hal tersebut tanpa masalah. Menurut data JALA PRT angka kekerasan terhadap PRT cukup tinggi, sepanjang 2018 hingga april 2020 jumlah kasus kekerasan secara mental, fisik, seksual, ekonomi, dan pelecehan mencapai 1.458 kasus. 11 Dinamisnya angka kekerasan dapat menjadi salah satu refleksi bahwa Permenaker a quo tidak efektif untuk memberikan perlindungan pada PRT. Hal ini juga sebagai evaluasi bahwa diperlukannya regulasi berupa Undang-Undang dalam melindungi profesi ini. Adapun eksistensi Permenaker PPRT belum dapat melindungi secara jelas dan tegas karena secara general hanya memuat substansi penempatan penyaluran. Sebagai contoh, pengaturan berkenaan dengaan hak PRT dalam Pasal 7 Permenaker PPRT huruf (e) dan (f) mengenai cuti dan waktu istirahat tidak dijelaskan secara merinci pengaturannya dan hanya didasarkan pada kesepakatan. Konsensus privat semacam ini justru sangat riskan disimpangi oleh Pengguna yang sewaktu-waktu dapat menyalahi kesepakatan dengan PRT, apalagi selama ini PRT sering di posisikan sebagai pihak yang lemah. Terlebih, sebagaimana diungkap Koordinator Nasional JALA PRT Indonesia, Lita Anggraini hubungan kerja antara Pengguna dengan PRT acapkali tidak didasarkan pada kontrak secara tertulis. Hal demikianlah yang menjadikan PRT sukar dalam memperoleh hak-haknya seperti mendapatkan informasi, menerima bantuan pelatihan dan pendidikan, serta bentuk-bentuk hak lainnya yang lazim didapatkan oleh pekerja pada sektor formal. Ketidaktegasan secara yuridis ini juga berdampak terhadap PRT yang menyalahi aturan berkenaan dengan usia kerja. Menurut data dari ILO pada

10

Nur Hidayati, Perlindungan terhadap Pembantu Rumah Tangga (PRT) Menurut Permenaker No. 2 Tahun 2015, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 14 No. 3, Desember 2014, hlm. 214 11 Kompas, Jala PRT: Pekerja Rumah Tangga Soko Guru Ekonomi yang Luput Perhatian, Kompas News, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/07/05/19031311/jala-prt-pekerja-rumah-tangga-soko-guruekonomi-yang-luput-perhatian?page=all Pada 31 Juli 2020 Pukul 20.16 WIB.


2012, sebanyak 172.000 PRT di Indonesia berusia di bawah 15 tahun. Fakta ini menjadi ironi sebab menjadi salah satu bentuk eksploitasi yang memanfaatkan anak dalam sektor ekonomi. Padahal ketentuan usia juga telah disinggung dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) bahwa “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spritualnya.” PRT juga memiliki hak sebagai pekerja untuk memperoleh jaminan kesehatan. Akan tetapi, menurut kepada hasil survei jaminan sosial sejumlah 4.296 PRT tidak memperoleh jaminan atas kesehatan, alih-alih dijamin mereka justru harus membayarnya sendiri dari upah yang rendah untuk memperoleh jaminan tersebut. Berkaitan dengan gaji, kepastian upah yang diperoleh PRT juga sering bermasalah. Dalam data yang diperoleh dari JALA PRT pada 2015, terdapat 536 kasus upah. Fakta yang sejatinya bertentangan dengan Pasal 38 Ayat (4) UU HAM bahwa “Setiap orang…berhak atas upah yang adil sesuai prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan hidup keluarganya.” Pengakuan PRT bukan sebagai pekerjaan juga membuatnya tidak bisa mendapatkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Hal demikian inilah yang seakan menjadi bentuk diskriminasi profesi karena timpangnya hak dan kewajiban dimana PRT diberikan hak yang minimal dengan kewajiban yang kerap maksimal. Padahal jika menilik pada Pasal 14 dan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), telah mengamanatkan bahwa pada dasarnya “setiap orang… wajib menjadi peserta program jaminan sosial” dan “Pemberi kerja… wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.” Secercah titik terang perlindungan terhadap PRT kini mulai menyingsing tatkala dimasukannya RUU PPRT kembali dalam prolegnas prioritas tahun 2020. Secara garis besar, RUU PPRT berhaluan untuk memberantas berbagai bentuk penindasan, diskriminasi, dan stigmatisasi apapun yang bersifat merendahkan PRT, dengan meningkatkan kesejahteraan PRT melalui pemberian hak yang setara dalam memperoleh kesehatan dan pendidikan. Perlindungan dari kekerasan oleh pengguna PRT juga telah diatur dalam Bab XII tentang sanksi pada Pasal 29. Kemudian, dalam rencana aksi global, melalui SDGs dan sesuai tujuan SDGs nomor 8 mengenai layak kerja yang berlandaskan hak asasi manusia dan kesetaraan,


juga menjadi bentuk implementasi dari prinsip “No one left behind.” atas “kesalahan” yang terjadi sebelumnya ketika 4,2 juta PRT ditinggalkan.

Menanti Komitmen Negara Perjalanan RUU PPRT telah melalui sejarah yang cukup panjang. Usulan RUU ini sudah dimulai sejak 2004 dan masuk ke dalam Prolegnas namun selalu mengalami penundaan hingga 16 (enam belas) tahun. Pada periode 2009-2014, RUU PPRT dimasukan kembali dalam prioritas sejak 2010 hingga 2014. Pada 2010, RUU ini dibahas oleh Komisi IX DPR RI dan dilakukan penelitian ke 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota. Pada 2012, dilakukan uji publik ke 3 (tiga) Kota, yaitu Makassar, Malang dan Medan. Selain melakukan riset dalam negeri, dilakukan pula studi banding ke negara lain yaitu Afrika Selatan dan Argentina. Pada 2013, Komisi IX menyerahkan draft berupa RUU PPRT kepada Baleg DPR RI. Di tahun 2014, RUU PPRT sempat terhenti di baleg DPR, akan tetapi kembali dimasukkan ke dalam daftar tunggu (waiting list) Prolegnas pada masa bakti 2014-2019. Pada periode 2019-2024, RUU PPRT kembali lagi dimasukkan ke Prolegnas dan pada 2020 menjadi prolegnas prioritas. Pada 1 Juli 2020, Baleg DPR RI akan mengusulkan RUU PPRT sebagai usul inisiatif DPR yang akan dibawa ke paripurna. Namun, dalam pembahasan paripurna, RUU PPRT kemudian ditolak menjadi salah satu agenda paripurna DPR sehingga masyarakat harus kembali “menunggu” karena RUU PPRT kembali ditolak. Dalam pembahasan yang melibatkan sejumlah ahli seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Sosiolog, JALA PRT, dan aktivis buruh, pada awalnya RUU ini telah disetujui oleh 7 fraksi DPR, namun mengalami penolakan oleh sejumlah fraksi besar dan digadang menjadi penyebab kembali “mangkraknya” RUU PPRT. Adapun hal tersebut dilatar belakangi oleh alasan administratif berupa belum didisposisikannya surat sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Baleg, Willy Aditya. 12 Hal ini sontak membuat RUU PPRT kembali kalah dalam proses politik yang terjadi di dapur parlemen. Sebagaimana yang telah ditelaah dalam sub bab sebelumnya, bahwa urgensi pengesahan RUU PPRT haruslah menjadi perhatian DPR karena selama ini instrumen hukum yang melindungi PRT tidak efektif menjamin hak-hak dari PRT sendiri.

12

Tsarina Maharani, RUU Pelindungan PRT Batal Dibawa ke Paripurna DPR Kamis Siang Ini, Kompas News, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/07/16/10581081/ruu-pelindungan-prt-batal-dibawa-keparipurna-dpr-kamis-siang-ini?page=all pada 1 Agustus 2020 Pukul 9.11 WIB.


Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan atas komitmen negara untuk mengakui hak-hak PRT di Indonesia. Perlu diingat bahwa Indonesia sendiri telah meratifikasi Kovenan Hak Ekosob melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR. Dalam hal ini, Kovenan Hak Ekosob mengharuskan negara untuk mengakui, menghormati, dan melindungi hak pekerja sebagai salah satu hak asasi manusia yang bersifat universal dan tidak dapat diganggu gugat. Politik hukum hak asasi manusia menjadi satu jalan pikir esensil dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini harusnya menjadi bentuk aktualisasi komitmen negara untuk membentuk hukum yang menjawab kebutuhan masyarakat secara adil. DPR sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi legislasi atau dalam bentuk konkretnya terwujud dalam tindakan pembentukan undang-undang (law making function)— sebagaimana disebut Phillipe Nonet dan Philip Selznick—haruslah memiliki kemampuan untuk dapat dengan cerdas mempertimbangkan fakta sosial yang akan ditransformasikan menjadi hukum kemudian diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. 13 RUU PPRT akan menjadi substansi hukum yang akan menopang penegakan hukum agar berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, RUU PPRT juga akan menjadi pembaharu budaya hukum masyarakat yang masih kental dengan diskriminasi terhadap PRT agar menghormati PRT sebagai mitra kerja yang memiliki hak-hak yang dilindungi oleh instrumen hukum positif. Jika ketiga hal tersebut—in casu substansi, penegakan, dan budaya hukum—berjalan dengan baik dan beriringan tentu akan menciptakan sistem hukum yang ideal terhadap perlindungan hukum yang dalam hal ini ditujukan bagi PRT. Oleh karenanya untuk memulai sistem perlindungan hukum PRT yang ideal haruslah dimulai dengan pembentukan substansi hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat atas perlindungan PRT.

Penutup Pekerja rumah tangga yang merupakan salah satu pekerjaan dalam sektor informal juga memiliki hak untuk bekerja dengan layak. Hak tersebut tidak lain merupakan hak asasi manusia yang bersifat universal dan terklasifikasikan dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mana membutuhkan peran aktif negara untuk menjamin hak tersebut.

13

Henry Arianto, Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Lex Jurnalica Vol. 7 No. 2, April 2010., hlm. 117


Walaupun terdapat Pemenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, bukan berarti hal tersebut tanpa masalah. Beberapa permasalahan yang tercatat antara lain (1) Angka kekerasan terhadap PRT masih tinggi. Baik itu kekerasan secara mental, fisik, seksual, ekonomi, hingga pelecehan; (2) Pengaturan dalam Permenaker yang belum tegas sehingga masih mudahnya hak PRT untuk tereksploitasi; (3) Kepastian upah yang sering bermasalah dan tidak diselesaikan lewat jalur litigasi; (4) Masih banyak PRT yang tidak terlindungi oleh jaminan kesehatan. Hal inilah yang menjadi evaluasi dan refleksi agar RUU PPRT segera disahkan sebagai undang-undang yang akan berperan sebagai substansi hukum yang akan menopang secara efektif penegakan hukum dan mendobrak budaya hukum masyarakat tentang perlakuan terhadap PRT yang acapkali diskriminatif.

Kontributor Hario Danang Pambudhi (FH 2017) Hanifah Alya Chairunisaa (FH 2017) Muhammad Rafi Irsyad (FIB 2019) Rizki Fauzi (FH 2018)


REFERENSI Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Arrista Trimaya, Mencermati Penerbitan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RechtsVinding Online, 2015 DPR, Urgensi dan Pokok-pokok Pikiran Pengaturan Penyusunan, Dewan Perwakilan Rakyat, diakses dari http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ5-20200226-0549305717.pdf Wiwik Afifah, EKsistensi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum VOl. 14 No. 27, Februari 2018 ILO, Convention No. 189 Decent work for domestic workers, International Labour Organization, diakses dari https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/--protrav/---travail/documents/publication/wcms_161104.pdf -------, Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, International Labour Organization, diakes dari https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/presentation/wcms_553078.pdf -------, Peraturan tentang Pekerja Rumah Tangga di Indonesia; Perundangan yang ada, Standar Internasional dan Praktik Terbaik, 2006, Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional Henry Arianto, Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Lex Jurnalica Vol. 7 No. 2, April 2010 Kompas, Jala PRT: Pekerja Rumah Tangga Soko Guru Ekonomi yang Luput Perhatian, Kompas

News,

diakses

dari

https://nasional.kompas.com/read/2020/07/05/19031311/jala-prt-pekerja-rumahtangga-soko-guru-ekonomi-yang-luput-perhatian?page=all Lovvi Malino. 2018. Relasi Sosial Buruh dan Majikan (Studi pada Industri Rumah Tangga Pembuatan Kemplang di Kampung Sekip Rahayu Kelurahan Bumi Waras Kota Bandar Lampung) SKRIPSI. Bandar Lampung: Universitas Lampung.


Muhtadi. 2014. Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga di Bandar Lampung, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8 No.4. Nur Hidayati, Perlindungan terhadap Pembantu Rumah Tangga (PRT) Menurut Permenaker No. 2 Tahun 2015, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 14 No. 3, Desember 2014 Nur Azizah Rizki Astuti, 16 Tahun Mangkrak, RUU Prlindungan PRT Batal Dibawa ke Paripurna DPR,

Detik News,

diakses dari https://news.detik.com/berita/d-

5095290/16-tahun-mangkrak-ruu-perlindungan-prt-batal-dibawa-ke-paripurna-dpr/2 pada 2 Agustus 2020 Tsarina Maharani, RUU Pelindungan PRT Batal Dibawa ke Paripurna DPR Kamis Siang Ini,

Kompas

News,

diakses

dari

https://nasional.kompas.com/read/2020/07/16/10581081/ruu-pelindungan-prt-bataldibawa-ke-paripurna-dpr-kamis-siang-ini?page=all


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.