Misconception of Gross Domestic Product

Page 1

Ketidakakuratan GDP Sebagai Pengukur Pertumbuhan Ekonomi


#BreakingDownBarriers

“measure everything except that which makes life worthwhile” - Robert F Kennedy

01 | THINK BEYOND MECHANICAL

S

aat kita melakukan perbandingan terhadap kualitas kehidupan dan perekonomian di suatu negara, satu hal yang pasti muncul di benak kita adalah Produk Domestik Bruto atau biasa disebut dengan Gross Domestic Product (selanjutnya dibaca GDP). Berbagai negara berlomba-lomba mempublikasikan besaran dan juga pertumbuhan GDP mereka, mulai dari YoY sampai dengan Quarterly GDP terus menjadi perhatian pemerintah. Mungkin hal tersebut bukan tanpa alasan karena Produk Domestik Bruto terkadang memiliki berbagai macam implikasi ke berbagai sektor, salah satu contohnya adalah sektor investasi dalam skala makro dan dampak mikro di produk pasar modal seperti saham. Mengapa? Hal itu disebabkan oleh persepsi Investor yang akan menilai GDP dari suatu negara sebagai salah satu komponen yang penting dalam menentukan prospek investasi di suatu negara, sebagai contoh jika GDP dari suatu negara bernilai cukup tinggi maka akan ada banyak barang yang di produksi di negara tersebut, suatu perusahaan tentunya akan mendapat laba yang cukup besar yang dapat membuat para Investor tertarik untuk melakukan Investasi di Indonesia, hal itu berdampak positif ke sektor pasar modal. Sebaliknya, jika GDP bernilai negatif dari tahun ke tahun, Investor akan menilai bahwa Investasi di negara dan sebuah perusahaan bersangkutan tidak memiliki prospek yang baik. Tanpa Investasi asing, suatu negara atau perusahaan di negara tersebut tidak akan Perform dengan semestinya. Hal tersebut juga akan mempengaruhi performa perusahaan di Stock Market. Dengan dampak yang cukup besar dan sistemik, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan Produk Domestik Bruto? GDP pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau


merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di dalam suatu negara dalam tempo waktu tertentu. Jika ditinjau secara definitif, mungkin PDB terdengar proper untuk dijadikan parameter penentu keadaan suatu negara, tetapi jika ditinjau lebih dekat, GDP mulai menunjukan suatu anomali yang dapat membuat pemahaman yang salah terhadap persepsi khalayak luas. Anomali tersebut pertama kali diungkapkan oleh Robert Francis Kennedy, seperti yang tertuang di judul tulisan ini, GDP dapat mengukur segalanya tetapi tidak dapat mengukur kualitas kehidupan dari negara itu sendiri. Amerika Serikat sendiri baru menerapkan GDP sebagai indikator perekonomian di negaranya pada tahun 1991 setelah sebelumnya menggunakan Gross National Product sebagai parameter utama meskipun banyak ekonom yang berasal dari Amerika Serikat yang sangat mendukung prinsip GDP seperti Simon Kuznets.

GDP menjadi sangat populer karena pada masa lampau, tepatnya pada tahun 1944, GDP sendiri resmi diadopsi menjadi salah satu parameter perekonomian suatu negara pada konferensi Bretton Woods yang dihadiri 730 delegasi dari 44 negara sekutu. Berangkat dari titik inilah penggunaan GDP menjadi sangat masif karena diadaptasi di banyak negara. Saat istilah GDP pertama kali dikenalkan kualitas kehidupan bukan merupakan hal yang penting untuk dipikirkan apalagi diprioritaskan. Pada masa itu, negaranegara disibukan dengan perang dan ego sektoral masing-masing tanpa ikut memperhatikan dampakdampak lain seperti dampak lingkungan. Secara fundamental, pola seperti ini juga tercetak dalam cara kerja penghitungan GDP, dimana penilaian sangat terfokus pada produksi barang dan jasa pada suatu negara. Hal ini selaras dengan keadaan pada masa itu, dimana negara-negara besar yang

mengadopsi sistem ini banyak memproduksi barang-barang secara masif, salah satu contohnya adalah alutsista dan amunisi yang digunakan dalam perang dunia pertama dan kedua. GDP dalam kasus ini akan mendapat tren positif karena jumlah barang yang diproduksi di dalam sangat masif, tetapi GDP tidak mempertimbangkan kerusakan karena perang, dampak psikologis, korban-korban yang sebenarnya jika kita tinjau kualitas hidupnya pada masa itu sangatlah jauh dari kata ideal. Ketidakselarasan GDP terhadap kualitas hidup di suatu negara juga disebabkan oleh perhitungan GDP yang memukul rata tanpa melihat aktivitas dan produk yang dihasilkan bersifat produktif atau destruktif bagi negara tersebut. Selain itu, GDP juga meliputi penghasilan perusahaan multinasional yang beroperasi di dalam negeri tanpa mempertimbangkan kemana aliran dana yang didapat oleh perusahaan tersebut. Misalnya, terdapat suatu perusahaan p e r t a m b a n g a n multinasional yang beroperasi di suatu negara. Hasil tambang yang diekstraksi oleh perusahaan tersebut tidak akan terhitung secara langsung ke dalam GDP. Hal ini tentunya akan berdampak besar kepada negaranegara berkembang yang sebenarnya memiliki potensi untuk memaksimalkan

APRIL 2021 | 02


#BreakingDownBarriers sumber daya alamnya, tetapi ternyata sudah tereksploitasi oleh perusahaan asing. GDP juga dinilai kurang akurat dalam mengukur bagaimana keadaan aktual dalam suatu negara. Jika dapat diibaratkan, proyeksi GDP dalam suatu negara bagaikan sebuah tachometer di dalam sebuah mobil yang tidak dapat menggambarkan kecepatan riil mobil. Besarnya GDP belum tentu dapat menggambarkan seberapa makmur keadaan di suatu negara. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, (beberapa contoh sudah penulis jabarkan pada paragraf sebelumnya, tetapi beberapa hal belum dijelaskan) salah satu contohnya adalah GDP tidak mempertimbangkan barang setengah jadi yang diproduksi di dalam suatu negara. Misalnya terdapat sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi engine block. Barang tersebut tidak akan dihitung sebagai salah satu komponen GDP, GDP hanya mengkalkulasi produk final yang diproduksi di suatu negara.

Dalam kasus ini hanya produksi mobil yang akan dikalkulasikan ke dalam GDP negara tersebut. Dapat disimpulkan bahwa masih banyak kekurangan dalam implementasi GDP sebagai indikator utama keadaan sebuah negara, mulai dari kesenjangan sosial, teknis kalkulasi GDP, serta aspekaspek kualitas hidup yang mencakup faktor ekologis, kesehatan, dan psikologis dari negara tersebut. Oleh karena itu, pencarian tolok ukur baru yang lebih memperhatikan aspekaspek diatas dinilai perlu untuk dilakukan seiring dengan bertambahnya awareness manusia terhadap isu sosial, lingkungan, dan juga ekonomi itu sendiri.

Written by : Mochamad Fadly (K.49) Designed by: Aditya Ahmad Fauzan (K.62) Referensi : Van den Bergh, J. C. J. M. J. Econ. Psychol. 30, 117–135 (2009) Wilkinson, R. G. & Pickett, K. The Spirit Level: Why Greater Equality Makes Societies Stronger(Bloomsbury, 2009). Costanza, R., Kubiszewski, I., Giovannini, E., Lovins, H., McGlade, J., Pickett, K. E., ... & Wilkinson, R. (2014). Development: Time to leave GDP behind. Nature News, 505(7483), 283.

03 | THINK BEYOND MECHANICAL


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.