Tonggak Sejarah Masyarakat Kulit Hitam Di Amerika. Pada tahun 1619, di suatu hari yang cerah kapal Belanda berlabuh di koloni Inggris Jamestown, Virgina. Namun ada yang berbeda dari biasanya, terdapat 20 orang keturunan Afrika yang ikut berlabuh, turun dari dek dan menginjakkan kaki ditanah. Pada saat mereka pertama kali berdiri di dunia baru tersebutlah, sejarah Amerika yang kelam dimulai. Sejarah di mana orang kulit hitam merasakan “neraka� dalam bumi yang permai, indah dan kaya tersebut. Di mana mereka dan keturunannya ditindas, dihinakan, dan direnggut kebebasannya menjadi budak selama berabad-abad lamanya dan masih memperjuangkan haknya hingga kini.
Sejarah mencatatkan penderitaan orang kulit hitam yang panjang di tanah Amerika ini. Beberapa sejarahwan memperkirakan terdapat 6-7 juta orang kulit hitam yang dibawa dari Afrika untuk dijadikan budak selama abad ke-18. Meskipun pada tanggal 4 Juli 1776, Amerika mendeklarasikan kemerdekaannya dari Britania Raya dan deklarasi tersebut dianggap sebagai dokumen resmi yang merepresentasikan kemerdekaan dan kebebasan individu, namun hal tersebut tidak berlaku untuk orang kulit hitam. Perbudakan terus berlanjut, terutama di negara bagian Selatan. Walaupun kemudian, perbudakan orang kulit hitam ditentang oleh negara-negara bagian utara dan terjadilah perang sipil Amerika serikat pada abad ke19, antara negara bagian utara yang pro persatuan melawan negara bagian selatan yang memisahkan diri dan membentuk konfederasi Amerika. Hasil dari perang ini adalah konfederasi menyerah dan perbudakan diabolisi di seluruh negara bagian. Meskipun orang kulit hitam telah merdeka dari perbudakan secara resmi dalam amandemen ke-13 saat itu, tetapi mereka masih menghadapi rasisme dan bersusah payah mendapatkan hak-haknya. Kebencian dan
prasangka dalam hati orang kulit putih yang ditujukan kepada orang kulit hitam tidaklah hilang. Hukum-hukum yang mendiskriminasi orang kulit hitam masih diberlakukan, salah satunya hukum Jim Crow yang diberlakukan di negara bagian Selatan. Hukum tersebut melegalkan segregasi dengan slogannya “separate but equal� yang memisahkan orang kulit hitam dan kulit putih dalam berbagai penggunaan fasilitas. Hukum tersebut baru dihapuskan pada pertengahan abad ke-20 setelah perang dunia kedua, dimana pada saat itu Gerakan-gerakan anti rasisme dan hak-hak sipil menggelora. Pada akhirnya, pada tahun 1964 undang-undang hak sipil yang melarang segala macam diskriminasi diberlakukan setelah demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan Marthin Luther King. Jr.
A
kan tetapi, walaupun hukumhukum yang penuh gejolak tersebut tinggalah sejarah, hati kebanyakan orang kulit putih tidaklah berubah. Masih banyak orang yang mengagumi hukum jim crow dan hukumhukum yang melegalkan diskriminasi lainnya. Walaupun secara de jure orang-orang kulit hitam merupakan manusia yang bebas dan setara dengan orang kulit putih, secara de facto tidaklah demikian. Masih banyak orang-orang kulit hitam yang mengalami rasisme atau diskriminasi di lingkungan rumah, sekolah, kantor-kantor, dan bahkan di pengadilan. Pembunuhan George Floyd akhir-akhir ini oleh polisi negara bagian membuktikannya. Ia melanjutkan daftar kekelaman sejarah orang kulit hitam di Amerika.
Kronologis Black Lives Matter Melihat keadaan pada saat ini, tentunya gerakan “Black Lives Matter” menjadi suatu kata yang sangat sering dilontarkan oleh setiap orang. Seluruh penjuru dunia serentak menyuarakan slogan “Black Lives Matter” melalui berbagai platform dunia sosial. Tokoh-tokoh dunia, selebriti, atlet, bahkan masyarakat biasa juga menunjukkan kepeduliannya terhadap gerakan ini. Dapat terlihat dari segi sepakbola sendiri, pemain Dortmund, Jadon Sancho menunjukkan solidaritasnya melalui lapangan hijau dengan mengenakan baju yang bertuliskan, “Justice For George Floyd”. Lain daripada itu, klub besar di Inggris, Liverpool juga
m e n u n j u k k a n penghormatannya dengan berlutut dengan satu kaki di dalam Stadion Anfield, menirukan aksi kejam polisi tersebut yang
menewaskan Floyd. Begitu juga dengan para pemain American Football, salah satunya Colin Kaepernick bersama rekannya y a n g
berlutut dengan satu kaki ketika lagu kebangsaan Amerika Serikat berkumandang sebelum dimulainya pertandingan. Selain itu, di Amerika Serikat juga, beberapa warga daerah seperti di Minnesota dan
Washington melakukan aksi demonstrasi untuk meminta keadilan akan apa yang terjadi saat ini. Berbagai macam kericuhan, layaknya tragedi 98’ di Indonesia terus terjadi di negara Amerika Serikat hingga saat ini. Bahkan salah satu toko ritel di Amerika Sendiri, Target, mengalami penjarahan secara besar-besaran. Lalu sebenarnya mengapa kata ini begitu cenderung dilantunkan oleh setiap masyarakat di dunia? Semua berasal dari tragedi pada tanggal 25 Mei 2020 di Amerika Serikat dimana seorang penduduk Minneapolis, George Floyd, 46, yang terbunuh secara tragis setelah ditangkap dan dicekik menggunakan lutut seorang polisi setempat bernama, Derek Chauvin. Kejadian bermula ketika karyawan Cup Foods di seberang jalan
melaporkan bahwa Floyd mencoba membelanjakan uang palsu pecahan US$ 20 (Rp 290 ribu) untuk membeli sebungkus rokok. Laporan
ini dibuat oleh karyawan Cup Foods tersebut pada malam hari tanggal 25 Mei 2020. Meyakini uang kertas US$ 20 yang telah ia berikan merupakan tiruan, seorang karyawan toko melaporkannya ke polisi.
F
loyd sendiri telah tinggal di Minneapolis selama beberapa tahun setelah pindah ke sana dari kota asalnya Houston, Texas. Dia baru-baru ini bekerja sebagai tukang pukul di kota itu, tetapi, seperti jutaan orang Amerika lainnya, tidak memiliki pekerjaan karena pandemi dari Virus Corona saat ini. Floyd sendiri diketahui merupakan pelanggan setia di perusaha Cup Foods. Menurut pemiliki took, Mike Abumayyaleh kepada NBC, pelaporan tagihan yang mencurigakan, karyawan remajanya tersebut juga hanya mengikuti protocol yang ada di toko tersebut. Menurut kesaksian dari karyawan toko tersebut, diketahui bahwasannya Geroge Floyd berada dalam keadaan mabuk dan tidak mengendalikan dirinya sendiri.
T
ak lama setelah panggilan, sekitar pukul 20:08, dua petugas polisi tiba. Pada saat kejadian ini sendiri, Floyd sedang duduk dengan dua orang lain di mobil yang diparkir tepat berada di sudut toko. Setelah mendekati mobil, salah satu petugas, Thomas Lane, mengeluarkan senjatanya dan memerintahkan George Floyd untuk menunjukkan tangannya. Dalam sebuah laporan tentang insiden itu, jaksa tidak menjelaskan mengapa Lane berpikir perlu menarik senjatanya. Jaksa penuntut sendiri menjelaskan, “Thomas Lane meletakkan tangannya pada George Floyd, dan menariknya keluar dari mobil�.
N
amun, setelah diborgol, Floyd menjadi patuh sementara Lane menjelaskan bahwa dirinya ditangkap karena “memberikan uang palsu�. Ketika petugas mencoba untuk memasukkan George Floyd ke dalam mobil patroli, keributan terjadi. Derek Chauvin sendiri tiba di tempat kejadian. Dia dan petugas lainnya terlibat dalam upaya lebih lanjut untuk memasukkan Floyd ke mobil polisi. Selama kejadian ini, sekitar pukul 20:19, Chauvin menarik Floyd menjauh dari sisi penumpang, menyebabkannya jatuh ke tanah, kata laporan itu. Dia berbaring di sana, menghadap
R.I.P George Floyd
ke bawah, masih terborgol. Saat itulah saksi mulai memfilmkan George Floyd, yang tampaknya dalam keadaan tertekan. Momen-momen ini, ditangkap pada beberapa ponsel dan dibagikan secara luas di media sosial. Pada saat momen tersebut, Floyd ditahan oleh petugas, sementara Chauvin menempatkan lutut kirinya di antara kepala dan lehernya. “I Can’t Breathe” ucap Floyd berulang kali, memohon ibunya dan meminta pertolongan “help, help, help”. Lebih kurang, selama delapan menit dan 46 detik, Chauvin berlutut di leher Floyd, kata laporan jaksa penuntut hingga pada akhirnya George Floyd sendiri lemas dan tidak bergerak (mati).
S
ekitar enam menit memasuki kejadian itu, George Floyd menjadi tidak responsif. Dalam video-video kejadian, ini adalah momen disaat Floyd terdiam. Ketika para pengamat mendesak para petugas untuk memeriksa denyut nadinya. Salah satu petugas lainnya, JA Kueng, melakukan hal itu, memeriksa pergelangan tangan kanan Floyd, tetapi “tidak dapat menemukannya”. Pada pukul 20:27, Derek Chauvin akhirnya mengangkat lututnya dari leher George Floyd. Tanpa bergerak, Floyd dibawa ke kereta dorong dan dibawa ke Pusat Medis Kabupaten Hennepin dengan ambulans. Dia dinyatakan meninggal sekitar satu jam kemudian dan sisanya merupakan sejarah. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan berbagai m a c a m keributan y a n g ada di
negara Amerika Serikat. Peran sosial media begitu kuat hingga tragedi ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tagar “Black Lives Matter” juga mulai disuarakan pada saat itu melalu berbagai sosial media. Karena seperti yang diketahui, tindakan rasisme hingga saat ini, bukan hanya di Amerika Serikat, namun negara lainnya masih terus terjadi. Kericuhan seperti yang diketahui juga terjadi di Amerika Serikat, tokoh-tokoh dunia mulai bertindak menyuarakan pendapatnya masingmasing, bahkan Anonymous yang merupakan aktivis atau hacktivist internasional terdesentralisasi yang dikenal luas karena b e r b a g a i serangan maya
terhadap beberapa pemerintah, lembaga pemerintah dan perusahaan juga bergerak menyuarakan pendapatnya. Namun, hal berbeda terjadi kepada kepala pemerintahan Amerika Serikat, Donald Trump, yang justru kabur dari tanggung jawab dirinya sebagai Presiden. Diketahui, Donald Trump justru bersembunyi di dalam bunker yang berada di Gedung Putih Amerika Serikat. Dirinya sendiri mulai bersembunyi ketika demonstran mulai bergerak ke arah Gedung Putih yang terletak di Washington, DC tersebut. Bahkan diketahui, Gedung Putih atau yang lebih dikenal dengan White House mematikan lampu eksternalnya pada minggu malam ketika kerusuhan mulai terjadi. Seperti yang diketahui, kegiatan mematikan lampu eksternal dari Gedung Putih ini pertama kali terjadi dalam sejarah Amerika Serikat. Hal yang lebih
konyol lagi tentunya, diketahui jika satusatunya protokol dimana lampu eksternal Gedung Putih ini dimatikan ketika seorang presiden dari Amerika Serikat meninggal dunia. Media berita The Guardian melaporkan bahwa “Dalam waktu normal, mereka (Gedung Putih) hanya dimatikan ketika seorang presiden meninggal”.
S
eperti yang diketahui, Donald Trump sendiri sempat memberikan sedikit tanggapan melalui platform Twitter mengenai keributan yang terjadi di Amerika Serikat saat ini. Trump sendiri melalui cuitannya menyiratkan bahwa pengunjuk rasa di Minnesota harus ditembak setelah kekerasan dan kerusuhan di negara itu. ““Premanpreman ini tidak menghormati George Floyd, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Baru saja berbicara dengan Gubernur Tim Walz dan mengatakan kepadanya bahwa militer bersamanya sepanjang jalan. Kesulitan apapun dan kami akan mengambil kendali, tetapi, ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai. Terima kasih!”, ucapnya melalui Twitter. Tentunya hal ini menimbulkan amarah yang besar oleh salah seorang selebriti terkenal, Taylor Swift. Dirinya sendiri pada momen kerusuhan ini tidak tinggal diam dan menyuarakan pendapatnya. Menanggapi ucapan dari Donald Trump, Swift sendiri membalas dengan “Setelah menyalakan api supremasi kulit putih dan rasisme seluruh kepemimpinan Anda. Anda masih memiliki keberanian untuk berpura-pura superioritas moral sebelum mengancam kekerasan? ‘Ketika penjarahan mulai, penembakan dimulai?’ Kami akan memilih Anda keluar pada bulan November kelak”. Lain daripada itu pada hari selasa kemarin, tagar “Blackout Tuesday” juga mulai berkumandang di berbagai sosial media.
ww
Mengutip laman USA Today, gerakan ini dimulai oleh eksekutif musik Jamila Thomas dan Brianna Agyemang, yang menulis di sebuah situs bahwa Selasa, 2 Juni 2020, akan menjadi hari di mana semua industri berhenti, termasuk industri musik, untuk menentang ‘rasisme dan ketidaksetaraan’. Tujuan dari gerakan ini juga sebagai tanggapan dan rasa kepedulian setiap individu atas kematian sesosok Geroge Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat sendiri. Blackout Tuesday sendiri diketahui dilakukan dengan cara menyerukan semua orang untuk mem-posting gambar hitam ke platform sosial media yang ada.
T
idak berhenti disana, muncul juga suatu tagar baru yang begitu berbeda dengan seruan awal dari kejadian ini, yaitu “All Lives Matter”. Black lives matter adalah slogan untuk memperjuangkan kehidupan orang kulit hitam. Namun all lives matter mengusung ide tandingan bahwa bukan hanya hidup orang kulit hitam saja yang penting, melainkan hidup semua orang juga penting, tidak perlu ada yang dibeda-bedakan. Ashley Atkins dalam jurnal Social Epistemology menilai all lives matter muncul berdasarkan pemahaman
masyarakat AS terhadap ideologi ‘kebutaan warna’ (color-blindness). Ideologi colorblindness bertujuan agar masyarakat tidak menganggap ras sebagai kategori penting dalam kehidupan publik, artinya ras bukanlah masalah yang perlu diributkan. Tentunya hal ini menimbulkan berbagai kritisi dari publik. Dianggap bahwasannya pernyataan tersebut justru melenceng dari tujuan awal dilakukannya protes keras di Amerika Serikat sendiri. Berbagai tokoh, terutama dari industry hiburan di Amerika Serikat memberikan kritisi kerasa terhadap slogan ini. Salah satunya melalui artis dan musisi terkenal, Billie Eilish. Melalui platform Instagram, Eilish sendiri menyatakan bahwasannya bukan saatnya untuk menyerukan pernyataan all lives matter. Hal ini dilatar belakangi oleh pendapatnya mengenai orang-orang yang justru tidak memfokuskan kepada tujuan awal dari permasalahan ini dimana etnis kulit hitam yang hingga detik ini masih tertindas di negara mereka. Menurutnya sendiri, jika kita menyuarakan slogan ini, tentunya. Eilish kemudian menyatakan bahwa para pendukung “All Lives Matter” membuat halhal tentang diri mereka sendiri, dan dengan tegas menyatakan jika “Anda tidak dalam kebutuhan. Anda tidak dalam bahaya”. Di Instagram, Eilish juga menulis, “Mau kalian suka atau tidak, kalian itu istimewa. Masyarakat memberi kalian kestimewaan karena kalian memiliki kulit putih. Kalian dapat miskin, kesusahan, namun tetap kalian akan diberikan keistimewaan karena kalian itu ‘putih’. Jika all lives matter, lalu mengapa orang hitam dibunuh hanya menjadi hitam?”. Ia juga melanjutkan dengan mengatakan, “Mengapa para imigran dianiaya? Mengapa orang putih diberikan peluang yang orang-
mengatakan bahwasannya semua hidup tidak harus dipedulikan! Kami menyerukan black lives matter seperti orang banyak karena kami ingin diperlakukan sama serta hormat yang sama dengan setiap orang lainnya! Sejujurnya, ini begitu simple. Kami akan terus berjuang untuk orang kami dan berusaha untuk didengar bagaimanapun caranya!”
P
orang dari ras lainnya tidak”. Di lain sisi, aktor Hollywood terkenal Seth Rogen juga menyuarakan pendapatnya mengenai slogan all lives matter ini. Rogen, bersama dengan selebriti besar lainnya, telah vokal di Twitter dan Instagram setelah pembunuhan George Floyd. Sejak kejadian tersebut, ketika protes telah melanda Amerika dan bagian-bagian dunia lainnya, aktor dan sutradara itu telah membantu melalui rantai sumbangan ke Dana Kebebasan Minnesota, mendorong para selebriti seperti Steve Carell, Don Cheadle, dan Ben Schwartz untuk mencocokkannya, serta telah menggunakan platformnya untuk memposting tentang rasisme kepada 8,5 juta pengikutnya di Twitter. Melalui Twitter, dirinya menyatakan “Selalu lebih kritis terhadap orang-orang yang menegakkan sistem rasis daripada orang-orang yang berjuang melawannya”. Dirinya juga menyuarakan pendapatnya sendiri secara kasar melalui Instagram dengan umpatan kepada setiap komentar yang menyerukan pernyataan all lives matter. Bahkan untuk mempejelas akan mengapa slogan dari all lives matter ini salah atau tidak tepat diserukan pada momen seperti ini, pemain basket Golden State Warriors, Eric Paschall menyatakan melalui Instagram dan Twitter, “Ketika kami menyerukan black lives matter, kami tidak
erlu kita pahami jika terkadang beberapa orang mencoba untuk merubah tujuan awal dari apa yang terjadi saat ini. Mereka menciptakan suatu suara baru, namun justru mengakibatkan tujuan awal dari semua itu buram. Perlu kita pahami, apakah kalian mendapatkan dampak yang sama dengan mereka? Tolong, stop memikirkan diri kalian sendiri. Sangat membingungkan bagaimana seseorang mampu menciptakan hal ini kembali menjadi untuk diri mereka sendiri. Sangat diperlukan pemahaman dan pola pikir bahwasannya pada saat ini ada yang lebih penting dari diri kalian. Bukan saat untuk menyerukan “All Lives Matter”, tetapi “Black Lives Matter”. Yang tertindas itu mereka, bukan kalian. Apakah kalian merasakan rasisme seperti mereka? Apakah kalian merasakan penyiksaan yang sama seperti mereka? Apakah kalian tertindak sama seperti mereka? Jika tidak, lalu mengapa masih menyuarakan “All Lives Matter?” Stop bertindak secara egois serta berpikir seara singkat dan mulailah peduli terhadap sesama. Jangan mudah terpengaruh dan mulai berpikir secara kritis terhadap segala macam tindakan dan berita yang ada pada saat ini. Tidak perlu jauh hingga menuju Amerika Serikat sana, bahkan saudara kita sendiri di Timur hingga saat ini masih tertindas, mengalami hal yang sama, rasisme yang sama, cibiran yang sama, tanpa ada alasan tertentu. Namun, setiap diri kalian berpikir, apa yang saat ini sedang dialami sama seperti mereka? Tentu tidak.