Tbm Bulletin June 2017

Page 1


E

mansipasi di Indonesia merupakan dogma yang nyaris tanpa kritik sejak memoar R. A Kartini tertuang dengan tinta emas dalam lembaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya wanita, pria pun sampai detik ini meyakini derap kemajuan emansipasi wanita Indonesia dicapai berkat gerakan emansipasi yang dipelopori R. A Kartini. Sepanjang sejarah, wanita telah berjuang untuk emansipasi mereka, namun sayangnya alih-alih mendapatkan hak dari emansipasi tersebut mereka malah seolah kembali terjerumus kepada dampak lain dari emansipasi yang tidak atau belum disadari. Banyak dari wanita merasa dirinya merdeka atas hak-hak sebagai makhluk sosial yang berkedudukan, tanpa dirasakan mereka telah terjebak oleh paradoks modernisasi ketika mereka mengeksploitasi diri terhadap kemerdekaan. Jika kita kembali menengok ke belakang saat fenomena pembebasan emansipasi yang dipelopori dan diperjuangkan oleh R. A Kartini. Sejarah mencatat bahwa wanita pada jaman sebelum tercetusnya emansipasi tidak diberikan kesempatan untuk maju dan berkembang, tetapi mereka hanya dipaksa menerima segala warisan yang diturunkan oleh nenek moyangnya. Lebih mirisnya lagi, mereka hanya dididik tentang bagaimana berbakti kepada suami. Bahkan stigma yang beredar pada saat itu adalah, kedudukan atau derajat wanita lebih rendah daripada laki-laki. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki oleh kaum laki-laki, baik itu kebebasan untuk menuntut ilmu di sekolah, kebebasan untuk bekerja, dan lebih-lebih menduduki jabatan dalam kehidupan sosial masyarakat, semua itu tidak dimiliki oleh kaum wanita. Fakta seperti itulah yang dialami R. A Kartini, namun sebagai anak keturunan kaum priayi R. A Kartini mendapat kesempatan untuk menikmati bangku pendidikan sederajat dengan kaum laki-laki. Beliau terus mengembangkan pendidikan dan kemudian beliau bercita-cita untuk membebaskan kaum wanita dari kejahiliahan paradigma masyarakat pribumi saat itu. R.A Kartini tak henti dan terus memperjuangkan nasib kaum wanita dengan bermodalkan pendidikan dan wawasan berlandaskan buku-buku mengenai sejarah kaum perjuangan wanita di belahan bumi lain yang secara historis sama dengan masyarakat tradisional dengan segala macam pera-

turan adatnya. Seperti terisolirnya masyarakat Indonesia pada saat itu, namun mereka (kaum wanita di belahan bumi lain - red) telah jauh melangkah. Dirinya tahu bahwa jalan yang dilalui itu tak berliku, namun beliau terus berusaha. Seperti tercermin pada suratnya: Saya tahu tentang jalan yang saya tempuh itu, sukar banyak duri dan onaknya dan lubang-lubangnya. Jalan itu berbatu-batu, berlekuk-lekuk, licin, jalan itu belum dirintis. Dan biarpun saya tidak beruntung sampai ke jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumi Putera merdeka dan berdiri sendiri. Sudah senang benarlah hati saya bila ibu bapak gadis lainnya, yang hendak berdiri sendiri pula, tiada dapat lagi mengatakan: “Belum ada seorang jua pun orang kita yang berbuat demikian�. Dari isi surat tersebut jelaslah bahwa tekad R. A Kartini bulat walaupun ia nanti sudah tiada dan belum berhasil dalam melaksanakan cita-citanya, tetapi sudah membuka dan merintis jalan ke arah apa yang ia cita-citakan. Yakni membebaskan kaum wanita dari belenggu kejahiliahan akibat pengaruh adat, sehingga bagi seorang wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan dianggap tabu atau melanggar adat.

Yakni membebaskan kaum wanita dari belenggu kejahiliahan akibat pengaruh adat, sehingga bagi seorang wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan dianggap tabu atau melanggar adat. Dilema yang kini muncul adalah mindset kebanyakan orang (khususnya wanita) mempertontonkan atau “mengomersialisasikan� bagian tubuh mereka yang seharusnya tidak diperlihatkan pada khalayak ramai menjadi sesuatu yang lumrah. Hal ini menjadikan gerakan emansipasi yang didominasi budaya barat membius sebagian kaum wanita, sehingga tanpa sadar mereka rela tetap ditindas dan digagahi jati dirinya. Budaya barat yang terlihat lebih dominan saat ini ialah proses eksploitasi besar-besaran, cenderung instan, dan memproduksi tren secara massal. Menurut salah satu pakar psikologi, Sri Kuncorodiyati mengatakan, “Secara kodrati kaum pria terpesona kepada kemolekan, keindahan tubuh,


dan seksualitas kaum wanita, sehingga tak mengherankan bahwa budaya barat kemudian mengeksploitasi kaum wanita untuk kepuasan seksualitas kaum pria”. Bila melihat fakta di lapangan, kita tengah terjebak oleh paradigma budaya barat, dimana banyak dari kita menerima atau menjiplak paradigma budaya barat tersebut. Namun apakah benar bila kita menerima tanpa menyaring paradigma tersebut? R. A Kartini bahkan menyerang kebudayaan dan peradaban barat. Hal ini tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902: “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban dan kebudayaan?”

“Kita harus membuat sejarah. Kita mesti menentukan masa depan yang sesuai dengan keperluan sebagai kaum perempuan dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti kaum laki-laki.” -R.A Kartini

“Komersialisasi” ya stigma itulah konotasi aib buah dari budaya kebarat-baratan. Tak jarang kita melihat wanita-wanita muda dengan rok mini dan pakaian seksi yang berpose sedemikian indah sehingga seringkali wanita dijadikan sebagai objek komersialisasi. Alih-alih mendapatkan feedback yang positif dari khalayak ramai malah menjadikan krisis moral terhadap budaya bangsa ini. Entah sadar atau tidak sadar wanita yang dengan tanpa malu mengenakan pakaian mini dan berpose seksi menjadi objek seksualitas kaum pria. Ini membuat mereka seolah-olah meninggalkan esensi jati diri sebagai kaum yang memiliki “keistimewaan” dari Sang Maha Kuasa. Kebebasan atau emansipasi ini menjadikan alasan kepada beberapa wanita untuk melakukan hal yang semestinya tak mereka lakukan. Sudah seharusnya kita sebagai bangsa yang cerdas mengembalikan lagi budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kita harus sesuai dalam menyikapi polemik yang terjadi serta menggeser paradigma dan stigma mengenai budaya komersialisasi yang tentunya melenceng dari emansipasi yang seharusnya.

written by Giska Pramesti K.14

Think Beyond Mechanical Bulletin June 2017


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.