TBM Bulletin August 2017

Page 1


The accord of paris N

ovember 2012. Pria gemuk berjas hitam itu duduk di kursi terdepan berlabelkan tamu VIP. Ia memajukan kursinya sedikit lalu merogoh saku celananya. Gadget merk Samsung kesukaannya kemudian ia keluarkan. Lalu, tanpa memedulikan keriuhan disekitarnya ia membuka aplikasi twitter dan mulai mengetik. Lima belas detik kemudian pemandu acara memanggil sebuah nama untuk memberikan sambutan. Pria bertubuh gempal itupun segera mengirimkan tweet-nya itu, mengembalikan gadget ke saku, dan berdiri. Semua orang mengenalinya dan mengagungkannya, Donald Trump. Tapi itu tak bertahan lama, semua orang mulai bergidik tatkala melihat tweet yang ia baru saja kirimkan berbunyi: “The concept of global warming was created by and for the Chinese in order to make U.S. manufacturing non competitive.�

Copenhagen, 2009 Politikus dari ratusan negara yang tergabung dalam UNFCCC milik PBB berkumpul di Copenhagen, Denmark. Tujuannya adalah untuk membicarakan dan mencoba mencari solusi dari masalah terbesar dunia saat ini, perubahan iklim akibat pemanasan global. Sayangnya, konferensi selama sebelas hari itu gagal dalam mencapai kesepakatan besar untuk menyelamatkan dunia dari bahaya yang nyata karena berbagai dalih. Ketika apa-apa yang coba disetujukan mulai dibahas, beberapa kekurangan mulai mencuat. Salah satunya adalah ketika negara-negara maju diwajibkan untuk memberikan bantuan kepada negara berkembang secara ekonomi. Bantuan ekonomi berupa suntikan dana tersebut diharapkan mampu membuat setiap negara memiliki kontribusi yang sama dalam memerangi perubahan iklim. Hal ini seketika membuat negara maju seperti Amerika Serikat melayangkan keberatannya. Presiden Amerika Serikat saat itu, Barrack Obama, menganggap hal ini sangat memberatkan dan merugikan negara-negara maju secara ekonomi. Kendati demikian, jalan tengah tidak mampu dicapai dalam hal tersebut. Setelah peristiwa tersebut, konferensi di Denmark ini

193 Nations One World One Problem

semakin menuju ke arah yang tidak menyatukan. Puncaknya adalah pada hari terakhir diadakannya konferensi, negeri paman sam, Amerika Serikat menyatakan dengan tegas bahwa ia tidak akan menandatangani persetujuan yang akan dihasilkan. Obama menyatakan bahwa Amerika Serikat hanya akan “mempertimbangkan� hasil konferensi, namun tidak akan menjadikannya sebagai dasar dalam bertindak. Tak lama setelah itu, negara-negara besar lain seperti Cina, Afrika Selatan, Brasil, dan India mengikuti jejak AS untuk mundur dari kesepakatan. Hal ini tentunya menjadi pukulan yang telak bagi dunia karena negara-negara tersebut merupakan negara yang termasuk dalam sepuluh negara dengan emisi gas rumah kaca yang terbesar di dunia. Ini pun menjadi dasar para ahli untuk mengatakan bahwa konferensi ini adalah sebuah kegagalan Kegagalan di Denmark seakan menjadi peringatan bagi seluruh ilmuwan bahwa sains telah gagal menyatukan dunia. Bantuan dari para ahli ekonomi dan politik diperlukan untuk akhirnya dapat menyatukan setiap negara di dunia. Apapun itu yang dibutuhkan, ilmuwan dan pecinta lingkungan dari seluruh dunia harus dengan cepat menyatukan dunia untuk melawan perubahan iklim. Karena alam tidak akan menunggu untuk akhirnya menghancurkan umat manusia.

Paris, 2016 Mundurnya Amerika Serikat dari Persetujuan Copenhagen tahun 2009, ditambah sebuah tweet yang menyatakan sebuah skeptisisme terhadap pemanasan global dari Donald Trump pada 2012 membuat negara adidaya tersebut seakan menjadi tokoh antagonis dalam drama pertempuran umat manusia dengan perubahan iklim. Beruntung bagi dunia, sebuah konferensi di Paris pada penghujung 2016 seakan mengubah alur cerita kearah yang jauh lebih baik. Masih dengan agenda yang sama seperti saat di Denmark, namun dengan alur pendekatan yang berbeda, konferensi ini akhirnya dapat menyatukan hampir seluruh negara di dunia untuk bersatu melawan


perubahan iklim.

194/196

Pada konferensi kali ini, PBB secara langsung mengundang semua negara di dunia untuk turut serta dalam konferensi ini. Setiap negara diharapkan mengumpulkan sebuah berkas yang dinamai Intended Nationally Determined Contribution atau INDC sebelum konferensi dimulai. INDC berisikan target pencapaian setiap negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Besaran target dalam INDC bagi tiap negara bersifat bebas sesuai dengan kemampuan tiap negara. Melalui kebebasan ini, PBB berharap setiap negara akan turut serta dan memiliki andil dalam konferensi di Paris untuk kemudian mencapai kesepakatan untuk memerangi perubahan iklim yang tengah terjadi.

Persetujuan Paris yang ditandatangani oleh 194 negara memanglah besar, namun faktanya saat ini ada 196 negara (termasuk Taiwan) yang berdaulat di dunia. Lalu kemanakah dua negara lain yang tidak menjadi bagian dari persetujuan ini? Lebih jauh lagi, ternyata skeptisisme mengenai persetujuan ini masih banyak bermunculan, bahkan dari institusi pendidikan sekalipun. Kirakira alasan apa yang mendasari mereka untuk berbeda pikiran dengan PBB terkait perubahan iklim ini?

Transparansi menjadi poin yang dikedepankan pada konferensi di Paris ini. Selain INDC yang dapat diakses oleh masyarakat umum, setiap negara juga diwajibkan membuka seluruh data terkait pencapaian INDC yang telah ditetapkan. Semua data tersebut dapat diakses publik melalui situs resmi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC). Kemudian, setiap negara yang telah menyetujui juga diwajibkan untuk berkumpul kembali setiap lima tahun dengan tujuan untuk membahas kemajuan setiap negara dan strategi-strategi baru dalam mengurangi efek dari perubahan iklim. Selama konferensi, satu kata terus digemakan oleh semua pihak. Kata tersebut adalah pelestarian alam. Dalam konferensi yang berlangsung selama hampir dua minggu ini, semua negara sepakat bahwa umat manusia harus melestarikan alam untuk mencegah perubahan iklim terjadi. Hal ini menjadi penting karena alam adalah kunci seluruh kehidupan di muka bumi. Pelestarian berbagai sektor alam seperti hutan, laut, sungai, dan lainnya menjadi strategi utama tiap negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Karena melalui alamlah umat manusia dapat hidup dan melalui alam pula manusia akan terus hidup di muka bumi. Pemberian kebebasan, transparansi, dan pelestarian alam menjadi kunci kesuksesan PBB untuk menyatukan dunia memerangi perubahan iklim. Tercatat 194 negara telah menandatangani kesepakatan yang sekarang dikenal dengan Paris Agreement atau Persetujuan Paris. Termasuk dalam 194 negara tersebut adalah Amerika Serikat, Cina, dan India yang menurut data menghasilkan sekitar 42% dari seluruh emisi gas rumah kaca. Semua negara tersebut menyepakati target agar suhu rata-rata permukaan bumi tidak naik hingga 1.5 derajat Celcius. Sebuah angka dimana jika tercapai akan memusnahkan seluruh kehidupan di bumi manusia ini.

Tidak seperti yang dirumuskan di Denmark, pasalpasal dalam Persetujuan Paris dibuat tidak mengikat. Jika suatu negara gagal mencapai target yang mereka tetapkan sendiri, PBB dan negara-negara lain tidak dapat berbuat apapun selain menerima. Inilah yang dinilai sebagai kelemahan terbesar Persetujuan Paris bagi mereka yang skeptis, termasuk Nicaragua, satu dari dua negara yang tidak menandatangani Persetujuan Paris (negara lainnya adalah Suriah yang sedang dalam perang saudara). Menurut sebuah riset yang dilakukan oleh Prager University, jika segala target yang disetujui dalam Persetujuan Paris tercapai, hasilnya tetap tidak akan mampu menyelamatkan dunia dari perbuhan iklim. Menurut perhitungan yang mereka lakukan, jika setiap negara berhasil dan mampu mempertahankan penurunan emisi gas rumah kaca tersebut hingga 2100, suhu rata-rata bumi hanya akan turun sebesar 0.4 derajat Celcius lebih sedikit daripada kenaikannya jika tanpa Persetujuan Paris. Angka yang sangat tidak signifikan. Melalui angka itu pula dapat disimpulkan bahwa dengan Persetujuan Paris, dunia hanya memundurkan waktu “kiamat� akibat perubahan iklim selama tujuh bulan.


Pada awal tahun 2017 ini, dunia kembali dikejutkan oleh mundurnya Amerika Serikat dari Persetujuan Paris. Presiden ke-45 AS, Donald Trump, menyatakan bahwa apa yang telah disetujui di Paris tidaklah menguntungkan bagi warga AS. Beberapa warganet bahkan menganggap kejadian ini adalah karena Donald Trump yang masih belum percaya akan perubahan iklim itu sendiri, persis seperti apa yang ia tweet lima tahun sebelumnya. Mundurnya AS (yang kedua kali) dari sebuah persetujuan melawan perubahan iklim dikhawatirkan akan mengundang negara-negara lain untuk menyusul.

Pemerintah Indonesia, sesuai INDC-nya, memiliki target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26% pada 2020 dan 29% pada 2030 atau bahkan hingga 41% jika mendapat suntikan dana dari negara-negara asing.

Tindakan Trump memang sangat mengkhawatirkan, namun faktanya, butuh waktu hingga empat tahun bagi suatu negara untuk benar-benar keluar dari Persetujuan Paris (dimana dalam kurun waktu tersebut Donald Trump mungkin telah turun dari jabatannya) menjadikan hal ini hanya sebagai batu sandungan kecil bagi umat manusia.

1.Penggunaan energi terbarukan sebesar >23% pada 2025 dan >31% pada tahun 2050

Persetujuan Paris mungkin memang bukanlah sesuatu yang sempurna dalam menyelamatkan dunia. Namun begitu, menurut mereka yang mendukung, ini hanyalah sebuah awalan bagi sesuatu yang lebih besar. Setidaknya, seluruh dunia telah sepakat bahwa perubahan iklim adalah masalah yang besar dan nyata bagi seluruh umat manusia. Kesadaran tersebut diharapkan dapat menjadi modal yang mendasari strategi-strategi besar lainnya untuk menyelamatkan umat manusia.

Indonesia dan Paris Sekitar 12.000 km timur Prancis, sebuah negara republik juga turut memberikan komitmen dan andilnya dalam Persetujuan Paris dan perlawanan terhadap perubahan iklim. Indonesia, negara yang menyumbang 479.365 kilo ton CO2 ke atmosfer pada tahun 2013, turut serta mengirimkan INDC dan menandatangani Persetujuan Paris. Pemerintah Republik Indonesia dibawah presiden Joko Widodo mengeluarkan UU No. 16 Tahun 2016 sebagai persetujuan dan penandatanganan Persetujuan Paris. Bersama dengan itu maka Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan yang telah tercantum dalam INDC.

Terlepas dari INDC, sejatinya Pemerintah Indonesia juga telah menunjukkan keterikatannya dalam melestarikan alam. Terbukti melalui PP No. 79 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah menetapkan beberapa target bauran energi primer nasional yang antara lain

2.Penggunaan minyak bumi sebesar <25% pada 2025 dan <20% pada 2050 3.Penggunaan batu bara sebesar <30% pada 2025 dan <25% pada 2050 4.Penggunaan gas alam sebesar >22% pada 2025 dan >24% pada 2050 Jika kita melirik kepada apa-apa yang tercantum dalam INDC Indonesia dan PP No. 79 Tahun 2014, terlihat dengan jelas kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam melestarikan lingkungan dan perubahan iklim dunia. Karena sejatinya, setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sesuai dengan Pasal 28H UUD 1945. Melihat kembali kepada dunia dan masalah-masalah yang digelutinya selama ini, perubahan iklim menjadi salah satu yang paling lambat dalam proses terjadi hingga mempengaruhi manusianya. Namun bagaimanapun, proses yang lambat itu akan berakhir tidak lama lagi dan kitalah yang akan menjadi pemeran-pemeran pada halaman terakhir drama perubahan iklim ini. Persetujuan Paris mencoba mendatangkan akhir yang bahagia bagi semua mahkluk yang hidup. Namun sayangnya, Tuhan sang penulis cerita indah ini belum tertarik untuk mengubah alur cerita kepada akhir yang baik. Drama perlawanan umat manusia melawan umat manusia yang lainnya pun berlanjut untuk mencegah cerita berakhir dengan tengik.

TBM Bulletin August 2017 Written by Reza Edriawan Designed by Gilang Fauzan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.