“Mana kala aku belum tahu, aku berkeinginan untuk tahu. Disaat ada kesempatan untuk tahu, aku bekerja keras untuk lebih tahu dan memahaminya. Setelah aku tahu, aku mencoba membaginya dengan yang lain karena engkau sahabat sejatiku. Seperti alam nan indah, disana banyak tersimpan pelajaran. Pelajaran hidup dan kehidupan.”
Kata Pengantar
KeluargaMahasiswaPencintaAlamGiriBahamamerupakanunitkegiatan mahasiswa di Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta yang bergerak di bidang kepencintaalaman dengan sifat kekeluargaan. Organisasi ini berdiri sejak tahun 1995 sampai batas waktu yang tidak ditentukan guna menghimpunmahasiswayangberkemauanuntukbelajardanberkembangterhadap dunia kepencintaalaman dalam perspektif ilmu geografi. Struktur kepemimpinan KMPA Giri Bahama periode 2022 - 2023 mempunyai beberapa bidang, salah satunya ialah bidang outdoor yang mana mempunyai tugas untuk mengelola seluruhkegiatanyangbersifatalambebasdiKMPAGiriBahama.
Periode ini bidang outdoor mempunyai program kerja untuk mengadakan ekspedisi dan atau eksplorasi berdasarkan garis besar program kerja. Ekspedisi Negeri Sabah Latimojong ditanah Celebes menjadi pilihan karena memiliki daya tarik sendiri dimana Gunung Latimojong masih memiliki hal-hal yang belum terjamah terkait dengan sejarah gunung tersebut maupun pada masyarakat lokal sekitar. Ekspedisi ini mempunyai misi untuk memetakan lintas jalur pendakian Gunung Latimojong via Jalur Merah dan via Karangan serta membuat laporan perjalananhal-halyangmenarikselamakegiatanberlangsung.
Ucapan Terima Kasih
Puji dan syukur saya panjatkan kepadaTuhanYang Maha Esa, karena atas berkat danrahmat-Nya,kamisegenaptimekspedisimewakiliseluruhanggotaKeluarga
MahasiswaPecintaAlamGiriBahamamengucapkanbanyakterimakasihkepada seluruh pihak yang turut mensukseskan kegiatan ini dari awal perencanaan, persiapan kegiatan, seluruh kawan - kawan selama perjalanan, dan segala hal-hal lainnya yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan. Sehubungan dengan telah selesainyakegiataninidenganpenuhkerendahanhatimenyampaikanrasaterima kasih, adapun pihak-pihak yang tidak dapat dituliskan dalam lembar ini, kami ucapkanterimakasihbanyak.
1. Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta atas dukungan dan izin kegiatan ini.
2. Pengelola Basecamp DusunAngin-angin serta Dusun Karangan atas izin penginapan, dan bantuan juga arahannya dilapangan.
3.Anggota Keluarga Mahasiswa PecintaAlam Giri Bahama atas segala bimbingan, motivasi, dan bantuan sehingga dapat terlaksanakannya kegiatan ini.
4. Pimpinan Keluarga Mahasiswa PecintaAlam Giri Bahama tahun 2022-2023 yang penuh polemik.
5. Segenap kawan-kawan Mahasiswa PecintaAlam PoltekAti Makassar yang selalu membantu dan menemani kami selama di Makassar.
6. Bang Herman dan Bang Cikles serta teman-teman yang telah menemani selama perjalanan dari Surabaya menuju Makassar dengan cerita-cerita misteriusnya.
7. Teman-teman MapalaAKBA, Mapala UIM, Mapala STIKTM atas jamuan semalamannya dan segala ilmu baru di Makassar.
Daftar Isi
Pro l Tim
Alfi Setia Fajar / Lanjar
282/XXVII/21-GB
Koordinator Lapangan
Shahid Nafiuddin J / Kadal
283/XXVII/21-GB
Bendahara dan Transportasi
M. Jawwad Riyanto / Tembel
284/XXVII/21-GB
Dokumentasi dan Perlengkapan
Shintiya Nurul B / Teteg
277/XXVI/20-GB
Sekretaris
Gunung Latimojong adalah satu nama
gunung di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Indonesia. Gunung Latimojong berada di tengahtengah Sulawesi Selatan. Sebagian besar pegunungan ini terletak di daerah Kabupaten Enrekang. Gunung Latimojong merupakan gunung yang tertinggi di Sulawesi Selatan dengan ketinggian 3.478 meter, puncaknya yang bernama Bulu Rante Mario. Jalur pendakian Gunung Latimojong via Jalur Merah Dusun Angin-angin dan via Dusun Karangan terletak didalam satu desa yang sama, yaitu Desa Latimojong, Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Jarak tempuh selama 2 jam dari Baraka menggunakan jeep atau ojek, atau 9 Jam dari Kota Makassar.
Aksebilitas
Perjalanan dari Surakarta menuju ke Desa Latimojong ada berbagai cara untuk sampai ke sana, berikut akses yang digunakan tim ekspedisi Negeri
Sabah Latimojong untuk sampai ke DusunAngin-angin dan Dusun Karangan, Desa Latimojong sebagai berikut :
kec. baraka
dusun angin-angin dan dusun karangan
Surakarta Surabaya makassar enrekang Bus atau Kereta Jeep atau Ojek Jeep atau OjekPerjalanan
Memulai perjalanan dari Surakarta menuju Makassar dengan jarak lebih dari 1000 Kilometer memerlukanwaktukuranglebih3hari.PerjalanandaratdimulaidariSurakartamenggunakan transportasi umum menuju Surabaya untuk melanjutkan kemudian melanjutkan perjalanan menggunakankapalmelintasiLautJawadengantotalwaktu28jamuntuksampaikeMakassar. SetelahsampaidiMakassar,busataumobilcarterantujuanTanaTorajamenjadisasaranuntuk ditumpangi menuju Baraka. Hal yang mungkin tidak kita jumpai di Jawa, transportasi disini bukanlah seperti angkutan pada umumnya, namun mobil seperti kijang, panther, avanza dan sejenisnya. Sekali jalan mampu menampung tujuh orang, bahkan terkadang dipaksakan hingga sembilan orang untuk kejar target pendapatan, bukan hanya mengangkut manusia, namun mereka juga menjadi kurir paket antar kabupaten. Cukup berdesakan, penumpang juga harus banyak bersabar karena Makassar menuju Baraka memerlukan waktu 7-9 jam perjalanan. Sampai di Baraka, kemudian mencari jeep atau ojek motor untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Latimojong, sampai ke Dusun AnginanginataukeDusunKarangan.
keluarga mahasiswa pecinta alam giri bahamaPendakian Gunung Latimojong
Ekspedisi Negeri Sabah Latimojong memulai pemetaan jalur pendakian melalui Jalur Merah Dusun Angin-angin dan turun melalui Jalur Karangan. Kedua jalur ini adalah jalur yang sudah legal yang ada di Gunung Latimojong. Pengambilan data ini menggunakan GPS Garmis 64s untuk tracking jalur, perhitungan luas, ketinggian, dengan akurasi rata-rata 3 m. Hal-hal yang dipaparkan adalah data yang telah diperoleh tim Ekspedisi Negeri Sabah Latimojong ketika melakukan pemetaan.
Pendakian via Jalur Merah
Pendakian Gunung Latimojong via Jalur Merah, Dusun Angin-angin menjadi salah satu dusun jalur pendakian yang jarang sekali dilewati, jarak yang lumayan jauh untuk ditempuh menuju puncak Rante Mario. Kemudian untuk sampai kesini, pendaki harus menggunakan ojek atau jeep dari baraka sejauh 2 jam perjalanan. Keunikan dari jalur ini adalah kita harus melewati 4 puncak sebelum sampai ke puncak tertinggi, jalur ini tergolong landai dan tidak terlalu curam, hutan hujan tropis menyimpan riubuan jenis lora yang indah. Biaya registrasi jalur merah dipatok seharga 20 ribu rupiah satu kali pendakian, cukup murah bukan.
Pos Registrasi Jalur Merah
Pos registrasi berada di salah satu rumah warga, rumah pertama setelah memasuki gapura dusun. Para pendaki yang hendak naik dari jalur ini harus melakukan perizinan dan registrasi terlebih dahulu disini, karena pengelola dari Jalur Merah adalah masyarakat dari dusun ini sendiri.
Pintu Rimba
Menempuh perjalanan selama 90 menit dari pos registrasi, sampailah pada pintu rimba. Sebuah jembatan kayu yang melintang disungai kecil menjadi batas antara hutan dan ladang warga. Para pendaki dapat mengambil air di sungai ini untuk perbekalan.
Pos 1
Berada diketinggian 1.954 Mdpl dengan dimensi 14 m2 pos ini memiliki area cukup luas untuk mendirikan tenda dengan 4 tenda kapasitas 4-5P, tidak ada sumber air di pos ini. Vegetasi diarea ini cukup lebat, pohon-pohon besar, lumut-lumut tebal, tumbuhan paku pakuan, dan beraneka bentuk jamur.
Pos 2
Pos 2 dengan ketinggian 2.296 Mdpl, pos ini berada didekat aliran sungai kurang lebih berjarak 10 m dan terdapat kubangan air dengan luas 2 m2. Total luas area ini sekitar 24 m2, didominasi dengan hutan lumut dan pohon berkayu besar yang menjulang tinggi membuat area ini terasa dingin. Tempat ini dapat menampung sekitar 4 tenda kapasitas 4p. Sayangnya, banyak sampah yang tidak dibawa turun kembali sehingga menumpuk dan berserakan disudut-sudut area ini.
Etlingera
Etlingera adalah genus tumbuhan berbunga tahunan herba dalam famili Zingiberaceae. Etlingera Spinulosa berada kategori endangered, spesies ini tepat berada dipinggir jalur pendakian sehingga perlu perhatian semua pihak untuk menjagan-ya agar tetap lestari.
Pos 3 Mt. Pentialloan
Puncak Pentialloan 2.699 atau Pos 3, Puncak pertama di jalur merah bernama “Pentialloan” memiliki arti tempat berjemur. Hal ini dikarenakan pada saat pagi hari matahari sangat cepat menyinari tempat ini dan dijadikan tempat berjemur oleh masyarakat dulu. Luas area ini 35,5 m2 cukup untuk menampung 6-7 tenda kapasitas 4p. Tidak ada sumber air di Pos ini. Disini banyak ditemukan spesies palem dan rotan. Selain itu, banyak juga ditemui spesies Etlingera dan Alpinia yang berukuran kecil serta pendek.
Pos 4
Hal menarik terdapat di pos 4, yakni berupa pohon besar yang diselimuti lumut dan akarnya merambat membentuk seperti lorong, Luas pos ini 10 m2 dengan vegetasi yang lebat, berada dilembah punggungan, dan jauh dari sumber air. Pos ini berada diketinggian 2.650 Mdpl. Vegetasi tumbuhan masih banyak ditemukan palem, rotan dan Alpinia yang berukuran kecil.
Pos 5 Mt. Pokapinjan
Pos 5 memiliki ketinggian menengah 2.970 mdpl, memiliki sumber air yang relatif dekat. Keluar dari hutan lumut, vegetasi disini kami menemukan spesies tikus endemik Sulawesi di jalur pendakian ini.
Pos 5 dikenal juga sebagai puncak “Pokapinjan” yang memiliki arti Poka (pecahan) dan Pinjan (Piring). Sehingga Pokapinjan dapat diartikan sebagai pecahan piring. Bagi masyarakat lokal pemberian nama ini karena adanya sebuah peristiwa pada masa lampau. Di tempat ini sering ditemukan pecahan-pecahan piring dengan berbagai motif dan kami
sangat beruntung menemukan dua pecahan yang memiliki motif seperti daun. Menurut cerita turun temurun, pecahan-pecahan piring ini dikarenakan dua peristiwa. Cerita pertama mengatakan bahwa dulu ada orang sangat kaya yang menghuni Gunung Latimojong dan sering melemparkan piringnya pada tempat ini. Cerita kedua mengatakan bahwa dulu orang Duri dan orang Luwu membuat perjanjian di tempat ini. Lalu orang Duri memecahkan piring di tempat ini sebagai sebuah penguatan bahwa jika piring yang telah terpecah ini dapat bersatu kembali maka wilayah orang Duri dan Luwu dapat bersatu. Karena tidak dapat bersatu, hingga kini wilayah ini terpisah menjadi Kabupaten Luwu dan Kabupaten Enrekang.
Pos 6
Perjalanan menuju ke pos 6 dan ke 7 memiliki beberapa jalur pendakian, turunan dan cukup banyak yang mendatar. Awal perjalanan dari pos 5, kami melihat puluhan hektar lahan hutan bekas kebakaran beberapa tahun yang lalu. Pos 6 dengan ketinggian 2.951 Mdpl dan memiliki luas 13,79 m2.
Mt. Tillok 3.037 Mdpl
Puncak ke 3 di jalur merah bernama “Buntu Tillok” dengan ketinggian 3037 mdpl. Buntu memiliki arti gunung sedangkan Tillok berarti paruh burung. Sehingga Buntu Tillok memiliki makna sebagai gunung yang berbentuk seperti paruh burung. Masyarakat lokal memberikan nama Buntu Tillok pada puncak ini karena jika dilihat dari jalur Karangan, bentuk gunung ini menyerupai bentuk paruh burung.
Pos 7
Pos 7 memiliki kelembaban yang sangat tinggi dan basah. Hal ini membuat pos ini kurang nyaman untuk ngecamp dalam waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena posisinya yang berada di lembah dan sangat sedikit mendapat penyinaran matahari. Selain itu, sumber air di pos ini juga lebih jauh dibandingkan dengan pos-pos sebelumnya. Pos ini memiliki ketinggian 2.963 Mdpl dan luas 45 m2.
Puncak Tinakbang memiliki ketinggian 3220 mdpl. Nama Tinakbang diartikan sebagai jalur yang terlalu curam. Hal ini karena perjalanan dari pos 7 ke puncak Tinakbang melalui rute yang curam dan mencapai kemiringan 60 – 70 derajat. Rute yang curam inilah yang menjadi alasan pemberian nama puncak Tinakbang.
Sumber Air Pos 7
Sumber air yang dekat Pos 7 berupa air yang keluar dari celah batu, dengan ketinggian elevasi 2.842 Mdpl.
Pos 8
Pos 8 berpotensi sebagai camp area untuk 4 tenda kapasitas 3-4p dengan luas 7.5 m2. Pos ini memiliki ketinggian 3.246 Mdpl. Tumbuhan yang kami temukan pada ketinggian ini seperti Anaphalis longifolia, Gentiana sp, Anggrek, dan Rhododendron eymae. Vegetasi pada ketinggian ini sudah sangat berbeda dengan ketinggian sebelumnya yang lebih rendah.
PUNCAK RANTE MARIO 3.443 MDPL
Puncak Rante Mario yang berarti “Tanah Bahagia” sedangkan bagi
masyarakat setempat, tempat tersebut lebih dikenal sebagai “Buntu Bolong” yang memiliki arti Batu Hitam. Pasalnya, bebatuan yang berada di puncak Rante Mario memiliki warna yang lebih gelap. Ketinggian 3.443 Mdpl menyuguhkan pemandangan yang sangat menakjubkan sayang sekali tim ekspedisi hanya dapat menikmati pemandangan yang cukup singkat karena kabut dan gerimis yang datang dengan cepat. Area disekitaran puncak ini sangat luas, dapat digunakan untuk mendirikan camp 15 tenda bahkan lebih. Namun, area ini rawan terjadi badai.
Perjalanan tim setelah dari puncak melanjutkan perjalanan turun melalui jalur Dusun Karangan. Kondisi puncak yang hujan deras dan angin kencang membuat tim untuk segera turun dan melalui jalur Karangan. Perjalanan dari puncak menuju ke pos 7 Karangan melewati jalur dengan bebatuan yang berwarna-warni dan beberapa batu yang sengaja ditumpuk-tumpuk. Kondisi telaga dan pos 7 Karangan saat itu sangat dingin dan kabut.
Nepenthes nigra
DOKUMENTASI EKSPEDISI NEGERI SABAH LATIMOJONGDusun Karangan di Desa Latimojong dikenal sebagai pintu masuk ke gunung ini. Perjalanan dari Kota Makassar – Dusun Karangan berjarak sekitar 280 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 9 jam berkendara, sedangkan dari ibukota Enrekang menuju Dusun Karangan di kaki gunung, berjarak sekitar 60 kilometer dengan waktu tempuhnya sekitar 2,5 – 3 jam berkendara. Basecamp disini berupa rumah panggung milik penduduk Dusun Karangan, ada mushola, lapangan, kamar mandi, dan pos registrasi.
Pos Registrasi
Pendakian dimulai dari ketinggian 1.448 Mdpl , melewati rumahrumah panggung milik penduduk sejauh 300 meter hingga memasuki perkebunan kopi, jalanan disini berupa semen dan beberapa bagian masih berupa tanah padat.
Pos 1 Buntu Kaciling
Pos 1 terletak diperbatasan antara perkebunan kopi milik warga dan hutan, ketinggian pos ini 1.840 Mdpl. Pos 1 ditandai dengan adanya rumah panggung di ujung perkebunan, dengan luas pos 37.5 m2.
Pos 2 Sarumpa’pak
Pos ini berada dibibir sungai, dan terdapat gua yang bernama gua pa’pak, dengan ketinggian 1.869 Mdpl. Mempunyai luas area 10 m2 mampu menampung 3-4 tenda. Sumber air sangat dekat, namun dapat menjadi potensi bahaya apabla air sungai dan longsor,
Pos 3 To’Nase
Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 tidak terlalu panjang, tapi sangatlah terjal, dengan kemiringan lereng 80 derajat sepanjang perjalanan cukup menguras waktu perjalanan. Pos ini berada diketinggian 2.067 Mdpl dengan luas 6,4 m2 cukup menampung 2 tenda kapasitas 4. Pos ini jauh dari sumber air.
Pos 4 Peuwean
Memiliki elevasi 2.288 Mdpl, etape ini tidak seekstrem sebelumnya. Dari Pos 3 perlu waktu 1,5 jam untuk mencapai Pos 4. Di pos ini berupa tanah rata seluas 9,7 m2 dan tidak terdapat sumber air.
Gerbang Muhabba
Salah satu spot unik ini berupa pohon yang terbelah menjadi 2 membentuk gerbang yang dinamai Gerbang Cinta, berada di tengah Jalur pendakian antara pos 4 dan pos 5.
Pos 5 Solohtama
Area yang cukup luas, dengan ketinggian 2.632 Mdpl, dan dapat menampung banyak tenda. Selain itu di sini juga ada sumber mata air yang dapat dicapai dengan menuruni lereng terjal sejauh sekitar 200 meter. Vegetasi tumbuhan di jalur Karangan juga sangat beragam. Kami menemukan beberapa spesies Rhododendron, Aeschynanthus, Alpinia dengan beragam warna buah, rotan yang mendominasi, Etlingera, dan Begonia.
Sumber Air Pos 5
Sumber air ini berada lembahan dibawah pos 5 dengan elevasi 2.596 Mdpl. Selepas pos 5 jalan bercabang, ke arah kiri dengan menuruni lereng sejauh 200 meter akan kita temui aliran sungai yang cukup besar, aliran ini muncul dari celah tebing, sedangkan ke arah kanan akan menuju ke pos 6.
Pos 7 Kolongbuntu
Memiliki ketinggian 3.212 Mdpl, pos 7 berupa area lapang terbuka. Meski dekat sumber air dengan jarak 100 meter ke arah barat laut dari pos 7, di pos ini rawan terjadi badai, luas area ini sekitar 65 m2 mampu menampung 10-15 tenda kapasitas 4. Apabila sedang cerah, pemandangan dipos ini berupa pegunungan Latimojong
Pos 6 Perangian
Pos 6 memiliki ketinggian 2.868 Mdpl dengan vegetasi yang tidak begitu rapat, namun masih didominasi dengan lumut-lumut yang beranekaragam. Pos ini jauh dari sumber air dan potensi bahayanya adalah pohon tumbang. Luas area pos ini 12.3 m2.
Gambar 2. Kubangan musiman di alun-alun yang terdapat diatas pos 7 Gambar 1 dan 4. Medan dari pos 7 menuju puncak rante mario Gambar 3. Medan terjal menuju puncak rante mario (1) (2)ESTIMASI PENDAKIAN VIA DUSUN KARANGAN
PETA PENDAKIAN GUNUNG LATIMOJONG
GIRI BAHAMA EXPEDITION : NEGERI SABAH LATIMOJONG
PINDAI BARCODE
UNTUK MENGUNDUH
PETA PENDAKIAN VIA
JALUR MERAH DAN VIA
JALUR KARANGAN
BEREFENSI SPASIAL
Suku Duri Dalam Dusun Karangan
Mengulik Pegunungan Latimojong tidak lepas dari kebudayaan masyarakatnya terutama tengtang suku yang tinggal disana yaitu Suku Duri dan Suku Toraja yang memiliki kemiripan. Secara bahasa yang digunakan oleh Suku Duri dan Toraja hampir mirip tetapi agama yang dianut berbeda dimana Suku Duri menganut agama Islam sedangkan Suku Toraja sebagian besar menganut agama Kristen dan animisme (Aluk To Dolo). Dahulu Suku Duri juga memiliki budaya yang sama sebelum Islam datang, rumah rumah yang ada di daerah tersebut juga sama yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu yang dibangun secara gotong royong oleh warga dusun. Jejak-jejak kebudayaan sebelum agama Islam masuk suku duri sudah hilang dan ditinggalkan sejak lama berganti dengan anjaran agama islam, pada saat pendakian mencapai pos 2 ditemukan mushola syekh yusuf. Syekh yusuf mungkin orang wali karena orang-orang dulu percaya informasi seperti ada dalam mimpi. Mayoritas pekerjaan masyarakat di desa ini merupakan petani petani kopi dan sayur-sayuran, sementara itu dengan adanya jalur pendakian disini turut membantu perekonomian masyarakat sekitar.
Menurut kepala Dusun Karangan terbentuknya Desa Karangan memiliki hubungan dengan adanya suku duri, dulunya di dusun karangan hanya memiliki 2 penduduk saja, 2 penduduk tersebut berasal dari “buntubatu” dan suku duri disini dan merasa aman disini hingga akhirnya mereka menertap dan berdomisili di desa karangan dan berkembang menjadi warga hingga saat ini, yang dulunya hanya satu pasang, atas dasar tersebut yang membuat desa tersebut menjadi Dusun Karangan. Karangan memiliki arti bertambah terus menerus, (karanganan).
Seiring berjalanannya waktu, manusia selalu dibawa menuju perubahanperubahan mengikuti perkembangan zaman, seperti halnya suku duri. Tidak banyak informasi mengenai Suku Duri yang tersisa hingga saat ini, baik dari silsilah adat maupun budaya khusus.
Serba-Serbi Rumah Panggung
Memasuki daerah Baraka, kita akan disuguhkan dengan rumah-rumah berbentuk panggung dengan arsitektur yang beranekaragam. Penyebaran luas rumah panggung didukung oleh keunggulannya dalam beradaptasi pada lingkungan. Rumah yang dibangun dalam bentuk panggung memungkinkan penempatan pada topogra i berlereng khususnya seperti di Dusun Karangan dan landasan yang tidak stabil (seperti bantaran sungai, pesisir pantai, atau tanah rawa). Pembangunan di tanah datar pada masyarakat tradisional memberikan fungsi keamanan dari hewan liar maupun fungsi peternakan dengan membangun kandang ternak di bagian bawah lantai. Beruntungnya pada saat tim melakukan observasi di Dusun Karangan, masyarakat dusun sedang melakukan pembuatan rumah panggung, biasanya rumah panggung baru akan dibuat apabila ada penduduk baru, renovasi, dan pengantin baru yang ingin mempunyai huniannya sendiri. Pembangunan rumah panggung ini dalam biaya bahan menghabiskan berkisar dari 30 - 40 Jt itu pun dapat bertambah tergantung dengan arsitektur yang ingin ditambahkan dan tergantung luas rumah, sedangkan total pengeluaran 70-80 jt, termasuk dengan biaya konsumsi selama pembuatan rumah panggung. Bahan pembuatan rumah ini berasal dari kayu yang diambil dari kebun masyarakat sendiri, untuk satu buah rumah panggung menghabiskan lebih dari 20 pohon besar. Satu tiang dalam rumah panggung memakai satu pohon, yang mana dalam satu rumah memiliki 20 tiang utama. Pembangunan rumah memakan waktu selama 1-2 minggu tanpa mencari bahan bakunya. Setiap pembuatan rumah panggung dibantu oleh warga satu kampung. Uniknya selama pengerjaan rumah panggung, kebutuhan konsumsi dimasak oleh ibu-ibu di dusun secara gotong royong, dalam sehari bisa memasak hingga 40l nasi dan 150 ekor ayam hingga rumah jadi dan siap di huni.
Panggung
Memasuki daerah Baraka, kita akan disuguhkan dengan rumah-rumah berbentuk panggung dengan arsitektur yang beranekaragam. Penyebaran luas rumah panggung didukung oleh keunggulannya dalam beradaptasi pada lingkungan. Rumah yang dibangun dalam bentuk panggung memungkinkan penempatan a i berlereng khususnya seperti di Dusun Karangan dan landasan yang tidak stabil (seperti bantaran sungai, pesisir pantai, atau tanah rawa). Pembangunan di tanah datar pada masyarakat tradisional memberikan fungsi keamanan dari hewan liar maupun fungsi peternakan dengan membangun kandang ternak di bagian bawah lantai. Beruntungnya pada saat tim melakukan observasi di Dusun Karangan, masyarakat dusun sedang melakukan pembuatan rumah panggung, biasanya rumah panggung baru akan dibuat apabila ada penduduk baru, renovasi, dan pengantin baru yang ingin mempunyai huniannya sendiri. Pembangunan rumah panggung ini dalam biaya bahan menghabiskan berkisar dari 30 - 40 Jt itu pun dapat bertambah tergantung dengan arsitektur yang ingin ditambahkan dan tergantung luas rumah, sedangkan total pengeluaran 70-80 jt, termasuk dengan biaya konsumsi selama pembuatan rumah panggung. Bahan pembuatan rumah ini berasal dari kayu yang diambil dari kebun masyarakat sendiri, untuk satu buah rumah panggung menghabiskan lebih dari 20 pohon besar. Satu tiang dalam rumah panggung memakai satu pohon, yang mana dalam satu rumah memiliki 20 tiang utama. Pembangunan rumah memakan waktu selama 1-2 minggu tanpa mencari bahan bakunya. Setiap pembuatan rumah panggung dibantu oleh warga satu kampung. Uniknya selama pengerjaan rumah panggung, kebutuhan konsumsi dimasak oleh ibu-ibu di dusun secara gotong royong, dalam sehari bisa memasak hingga 40l nasi dan 150 ekor ayam hingga rumah jadi dan siap di huni.
Menjelajah Negeri
Perjalanan dimulai dari Pulau Jawa tepatnya di
Surakarta di akhir bulan Juni 2023 tanggal 22 oleh empat atlet Ekspedisi Negeri Sabah Latimojong Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Giri Bahama. Personel yang berangkat yaitu Al i (Lanjar) sebagai coordinator lapangan, Jawwad (Tembel), Shahid (Kadal) dan Shintiya (Teteg) yaitu saya sendiri. Pelaksanaan training center harus dilewati oleh calon atlet guna menyiapkan isik dan materi sebelum ekspedisi dilaksanakan. Jalur untuk menuju titik tujuan menggunakan jalur laut dan darat, dimulai dari Terminal Tirtonadi Solo ke Terminal Bungurasih menggunakan bus Sumber Selamat kemudian menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menggunakan mobil. Kami naik kapal Dharma Kencana VII untuk menuju Pelabuhan Soekarno Hatta Makasar selama kurang lebih 29 jam di atas kapal. Sampai di Makasar kami singgah di Mahapati Politek ATI Makasar untuk perjalanan ke basecamp Angin-Angin Gunung Latimojong. Perjalanan menggunakan mobil sampai Bakara selama kurang lebih 9 jam, dilanjutkan menggunakan Hardtop menuju dusun Angin-Angin.
Menuju puncak tertinggi Pulau Sulawesi tidaklah mudah, terdapat empat jalur resmi yaitu Jalur Angin-Angin (Jalur Merah) dan Karangan yang berada di Kabupaten Enrekang, Jalur Timur di Kabupaten Luwu dan via Kecamatan Mengkedek Kabupaten Tana Toraja. Tim Ekspedisi memilih lintas jalur dengan naik via Angin-Angin turun via Karangan. Jalur Angin-Angin memiliki trek lebih panjang dengan 8 pos dan 3 sumber air yang terletak di pos 2, pos 5 dan pos 7. Terdapat dua puncak sebelum menuju puncak tertinggi Rante Mario yaitu Puncak Mt. Tillok setelah pos 6 dan Puncak Tinakbang setelah pos 7. Mulai dari pos 5 menuju puncak tertinggi jalur yang dilalui berupa puncak perbukitan sehingga mengharuskan untuk jalan naik dan turun. Hujan gerimis dan kabut menemani sepanjang perjalan yang kami tempuh, menyusuri hutan hujan tropis yang sulit untuk ditembus sinar matahari membuat jalur ditumbuhi lumut sehingga seperti memasuki negeri dongeng. Pemandangan kontras dari pos 6 menuju pos 8 dimana sebelah
kiri merupakan hutan hujan tropis dan sebelah kanan seperti hutan mati hal ini dikarenakan terjadi kebakaran hutan.
Sabah Latimojong
Puncak Rante Mario yang berarti Tanah Bahagia dengan ketinggian 3443 mdpl menyuguhkan pemandangan yang sangat menakjubkan sayang sekali tim ekspedisi hanya dapat menikmati pemandangan yang cukup singkat karena kabut dan gerimis yang datang dengan cepat. Jalur turun yang ditempuh melewati 7 pos menuju basecamp Karangan, jalur yang dilewati jauh berbeda saat naik menuju puncak dimana ada banyak titik yang harus turun menggunakan tali karena medan yang berbahaya, apalagi pada perjalanan malam. Jurang yang dalam, pijakan berbatu atau tanah yang licin, pohon tumbang dan jalanan gelap harus dilewati. Turunan terjal sebelum pos 2 harus sangat hati hati karena sebelah kiri merupakan jurang dengan mengikuti alur sungai yang akan ditemui di pos 2. Objek unik juga ditemui di pos 2 yaitu sebuah gua yang disebut Gua Pa'Pak, objek unik lain yang dapat dijumpai yaitu pohon yang terbelah seperti huruf A berada di antara pos 4 dan 5 yang konon merupakan pintu masuk dunia lain. Sebelum basecamp dan rumah penduduk merupakan kebun kopi dan objek wisata Sivin Camp.
Mengulik Pegunungan Latimojong tidak lepas dari kebudayaan masyarakatnya terutama tengtang suku yang tinggal disana yaitu Suku Duri dan Suku Toraja yang memiliki kemiripan. Menurut ketua Dusun Karangan warga yang pertama kali tinggal di dusun tersebut berasal dari daerah Buntu Batu merupakan Suku Duri asli yang menghindar dari penjajan Belanda yang akhirnya menjadi sebuah pemukiman. Secara bahasa yang digunakan oleh Suku Duri dan Toraja hampir mirip tetapi agama yang dianut berbeda dimana Suku Duri menganut agama Islam sedangkan Suku Toraja sebagian besar menganut agama Kristen dan animisme (Aluk To Dolo). Dahulu Suku Duri juga memiliki budaya yang sama sebelum Islam datang, rumah rumah yang ada di daerah tersebut juga sama yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu yang dibangun secara gotong royong oleh warga dusun. Jejak-jejak kebudayaan sebelum agama Islam masuk suku duri sudah hilang dan ditinggalkan sejak lama berganti dengan anjuran agama islam.
Serpihan Cerita Tanah Para Leluhur Tana Toraja
Toraja merupakan salah satu bentuk suatu wilayah yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki keindahan yaitu antara manusia dan alam terjadi keseimbangan. Masyarakat suku Toraja memiliki anggapan bahwa alam merupakan ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan. Hal tersebut juga sebagai suatu bentuk penghormatan kepada arwah para leluhur mereka yang dahulu telah menjaga alamnya dengan baik. Toraja juga dikenal memiliki banyak kebudayaan di dalamnya. Kebudayaan tersebut tercipta sejak dahulu oleh para leluhur hingga saat ini dan menjadi kebudayaan turuntemurun yang masih dilakukan dan dilestarikan oleh masyarakat suku Toraja. Dalam tradisi upacara adat terdapat ritual-ritual yang merupakan simbol dan masing-masing memiliki makna tersendiri. Mulai dari pakaian, nyanyian, doa, tarian serta benda-benda yang harus ada dalam pelaksanaan ritual upacara adat tersebut, upacara adat dari suku Tana Toraja yaitu upacara adat kematian atau Rambu Solo'. Menurut Nugroho (2015:22) Rambu Solo' merupakan ritual upacara adat yang berkaitan dengan kematian seseorang. Tujuannya adalah untuk menghormati arwah atau jiwa seseorang yang meninggal tersebut dan mengantarkannya menuju alam roh atau dapat dikatakan sebagai bentuk penyempurnaan arwah manusia yang telah meninggal.
Upacara adat Rambu Solo' ini juga dilakukan sebagai bentuk pemujaan kepada arwah nenek moyang dan para leluhur mereka. Masyarakat Toraja mengenal adanya tiga tingkatan sosial, yaitu bangsawan, orang biasa, dan budak. Selain itu, masyarakat Toraja juga menganut sistem garis keturunan dari pihak wanita atau biasa disebut matrilineal. Jadi, kelas sosial masyarakat suku Toraja ditentukan dan diturunkan melalui garis keturunan ibu.
Tim Ekspedisi Negeri Sabah Latimojong melanjutkan perjalanan menuju Tana Toraja, menyempatkan singgah sebentar mencari hal-hal menarik di Tana Toraja. Selepas dari Dusun Karangan, keesokan harinya tim berangkat menuju Tana Toraja menggunakan mobil carteran, waktu tempuh dari Baraka sekitar 3 Jam perjalanan, jalanan disini sudah cukup bagus. Tibalah di Makale, Toraja Utara tim bergegas menggunakan kendaraan umum menuju Rante Pao, Pusat kota Toraja. Tujuan pertama tim menuju rumah adat di Desa Pallawa. Pada dulu kala, Desa Adat Pallawa mempunyai tradisi kanibal. Yang mana, jika ada perang antar desa, manusia yang menjadi korban, dagingnya akan dimakan, dan darahnya akan diminum. Namun, dengan berjalannya waktu, pihak tetua adat suku Toraja menghilangkan tradisi makan daging manusia tersebut dan menggantinya dengan makan ayam, yang mana dikenal dengan nama Pallawa manuk. Desa Adat Pallawa merupakan salah satu tujuan wisata yang ada di Kecamatan Sesean.
Desa ini memiliki jarak sekitar 12 km dari Rantepao, di Desa Pallawa terdapat 11 tongkonan, dalam setiap tongkonan memiliki lumbung padi yang terdapat dibagian atap. Atap tongkonan terbuat dari bambu yang ditumbuhi oleh beragam tumbuhan liar. Hal ini dikarenakan usia rumah tongkonan yang telah ratusan tahun. Untuk struktur bangunannya pun terbilang unik karena terbuat dari kayu besi, sehingga tetap berdiri gagah hingga saat ini. Kini, tongkonan tidak lagi ditinggali. Karena pada dasarnya rumah tongkonan merupakan milik dari keluarga besar, sehingga tidak bisa dimiliki oleh pribadi saja. Jadi, masyarakat setempat membangun rumah-rumah baru yan g berada di belakang tongkonan tersebut.
Tanduk kerbau yang berderet dibagian depan bangunan. Tanduk kerbau tersebut adalah simbol bahwa pemilik rumah sudah melakukan upacara rambu solo,
Ke’te’ Kesu’
Lokasinya sekitar 5 km dari pusat kota Rantepao dengan melalui jalur darat. .Hari dimana tim sampai di Ke'te Kesu, kami melewatkan salah satu rangkaian upacara rambu solo', karena ketika kami sampai acara Tedong Silaga sudah selesai. sebagai salah satu rangkaian acara dalam rambu solo' memiliki tujuan untuk memberikan penghiburan bagi keluarga yang sedang berduka. Meski sedang bersedih karena kehilangan orang tersayang, masyarakat Suku Toraja yakin bahwa kematian memang boleh ditangisi, tetapi juga tetap harus bergembira karena mengantarkan manusia kembali ke surga. Acara ini juga bertujuan menghibur masyarakat yang saling membantu membuat pondok-pondok untuk upacara rambu solo’. Tidak hanya kuburan batu, di Ke;te Kesu juga terdapat batu menhir di tengah sawah–penanda jalan menuju bukit mistis bernama Bukit Buntu Ke'su yang merupakan situs pemakaman kuno berusia 700 tahun.
Rumah kayu dengan ukiran batu ditengahnya yang digunakan sebagai tempat pemakaman ini disebut Patane. Salah satu Patane yang sangat besar yang ada di Kete Kesu dengan ukiran Pa'bare Allo di bagian depannya baru berusia 20 tahun. Pa'bare Allo memiliki arti matahari terbit, dan ukiran matahari terbit tersebut terlihat sangat jelas pada Patane tersebut. Patane digunakan untuk 1 rumpun keluarga, jadi bukan hanya untuk 1 orang saja, itulah alasan mengapa patane ini dibuat sangat besar.
Batu Lemo
Lemo adalah salah satu kompleks makam yang terkenal dengan kuburannya. Peti mati dilekatkan di dinding tebing bukit tinggi. Peti mati tersebut di letakkan dalam tebing batu kapur. Cara penguburannya di sini adalah dengan melubangi batu, dipahat secara manual. Biasanya, satu lubang diisi oleh satu keluarga dan ditutup kayu. Masyarakat Toraja memiliki kesadaran yang sangat kuat akan sebuah kehidupan dan kematian, mereka percaya kalau kehidupan itu sifatnya hanya sementara waktu. Selama tidak ada seorang pun yang mampu menahan tenggelamnya matahari, maka kematian bukanlah sesuatu yang bisa ditunda atau bahkan dihindari. Kematian merupakan sebuah titik awal menuju keabadian. Bagi keluarga yang mengalami kedukaan akibat ditinggal oleh orang yang mereka sayangi, sesuai dengan kepercayaan yang masih diyakini maka masyarakat toraja akan memakamkannya di tebing perbukitan dengan asumsi rohnya
Toraja
I
Gua garba
tempatku datang
Gua Londa
jalanku pulang
II
Kucari keliling Toraja
tak kujumpa di mana Sa'dang bermuara
Di lereng-lereng bukit terjal
kujumpa muara ajal
III
Berpuluh ekor kerbau belang berbaris di awang-awang sedang yang berbulu kumbang
beratus di belakang
Yang paling depan aku tidak tahu
mungkin aku sendiri tapi
mungkin juga kau
– 1981 –
DAFTAR PUSTAKA
[1] Saroenggalo, Tino. 1958. “Ayah Anak, Beda Warna: Anak
Toraja Kota Yang Menggugat”. Cet. 3. Yogyakarta: it tembi. 2010.
[2] Alfian, Anggra. “Bule n Celebica : Flora Atap Sulawesi”. Makassar. 2021.
[3] Sitonda, M. N. 2005. Toraja warisan dunia. Makassar: Pustaka
Refleksi.
[4] Nugroho, F. 2015. Kebudayaan Masyarakat Toraja. Surabaya
JePe Press Media Utama.