Buku laporan proses sidang icescr

Page 1

Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA PASCA RATIFIKASI KOVENAN INTERNASIONAL Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia pada Sidang Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

15


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA PASCA RATIFIKASI KOVENAN INTERNASIONAL

CATATAN SIDANG DAN KUMPULAN DOKUMEN INDONESIA DI KOMITE EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA PBB TAHUN 2014

Disusun oleh: Human Rights Working Group (HRWG): Indonesia’s NGO Coalition for International Human Rights Advocacy

2014

Didukung oleh:

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

16


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA PASCA RATIFIKASI KOVENAN INTERNASIONAL Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya Tahun 2014 Jakarta, Oktober 2014 Penyusun dan Editor Pengarah

Muhammad Hafiz Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Choirul Anam (Deputi Direktur HRWG

Diterbitkan oleh

Human Rights Working Group (HRWG): Indonesia’s NGO Coalition for International Human Rights Advocacy Gedung Jiwasraya Lantai Dasar, Jl. RP Soeroso No. 41 Gondangdia Jakarta Pusat, 10350, Indonesia Phone: +6221 70733505, 314 3015 | Fax: +6221 3143058 | E: hrwg@hrwg.org, hrwg.indonesia@gmail.com | W: www.hrwg.org | T: @hrwg_indonesia

Didukung oleh

Kedutaan Selandia Baru Jakarta dan HIVOS

Layout dan penerbit

CV. Herya Media

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

17


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

KONTRIBUTOR LAPORAN Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Advokasi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.

Human Rights Working Group (HRWG); Koalisi Perempuan Indonesia (KPI); CEDAW Working Group Initiative (CWGI); Institute for Ecosoc Rights (IER); Trade Union Rights Center (TURC) Indonesia; Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP); International NGO Forum on Indonesian Development (INFID); Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Indonesian Positive Women's Network (IPPI); Aliansi Masyarakat Adat Indonesia (AMAN); LBH Jakarta; Kalyanamitra; Perkumpulan Lingkar Yogyakarta; Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta; Sekretariat Walhi Nasional; LBH ASPEK Indonesia; JALA PRT; Arus Pelangi; Mining Advocacy Network (JATAM) Indonesia; Fransiscan International; Sentra Advokasi Perempuan; Difabel dan Anak (SAPDA) Yogyakarta; INPROSULA Yogyakarta; Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA); Green Map Yogyakarta; Sarang Lidi; Perkumpulan IDEA; Sahabat Perempuan; Humanitarian Forum Indonesia; MADYA Yogyakarta; NARASITA; DIAN/Interfidei;

33. WALHI Yogyakarta; 34. Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta; 35. Rifka Annisa; 36. Institute Perempuan; 37. Forum LSM Yogyakarta; 38. Forum PRB Yogayakarta; 39. Solidaritas Buruh Yogyakarta; 40. Yayasan Annisa Swasti (YASANTI); 41. Rumpun Tjoet Nyak Dien; 42. LBH Apik Yogyakarta; 43. Setara Institute; 44. The Wahid Institute; 45. Yayasan Kesehatan Perempuan; 46. Desantara; 47. KRUHA; 48. Solidaritas Perempuan; 49. Mitra Perempuan; 50. Institute Kapal Perempuan; 51. Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA); 52. KIARA; 53. YEU Yogyakarta; 54. Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI); 55. Serikat PRT; 56. Women Resources Institute (WRI); 57. Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC); 58. Indonesian Corruption Watch (IWC); 59. Rindang Banua; 60. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI); 61. Center for Improving Qualified in Life of People with Disabilities (CIQAL);

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

18


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

DAFTAR ISI KONTRIBUTOR LAPORAN DAFTAR ISI KATA PENGANTAR BAB I

PENDAHULUAN: KOVENAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA, DAN PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL A. Pengantar: Kovenan dan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya B. Gambaran Umum tentang Kovenan dan Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya C. Komite dan Pemantauan Pelaksanaan Kovenan

BAB II

RATIFIKASI DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH TERHADAP PELAKSANAAN KOVENAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA A. Ratifikasi dan Mekanisme Pelaporan Negara B. Kewajiban Negara terhadap Hak Ekosob PERANAN MASYARAKAT SIPIL DALAM ADVOKASI HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA: PENGALAMAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA A. Peranan Masyarakat Sipil dalam Mekanisme Ekosob B. Pengalaman Masyarakat Sipil Indonesia

BAB III

BAB IV

PENGALAMAN ADVOKASI MASYARAKAT SIPIL INDONESIA: CATATAN PROSES PERSIDANGAN KOMITE DAN PERANAN MASYARAKAT SIPIL

BAB V

SITUASI HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DALAM TINJAUAN MASYARAKAT SIPIL A. Hak Ekosob dan Keterlibatan Masyarakat Sipil B. Laporan Pelaksanaan Kovenan Ekosob di Indonesia: Perspektif Masyarakat Sipil LAMPIRAN I: Laporan Alternatif Pelaksanaan Kovenan LAMPIRAN II: Laporan Jawaban List of Issues Komite LAMPIRAN-LAMPIRAN

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

19


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

KATA PENGANTAR Direktur Eksekutif HRWG Hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan salah satu komponen hak yang secara politik tidak begitu mendapatkan perhatian dibandingkan dengan hakhak sipil dan politik. Secara historis, keberadaan hak-hak ini memang sangat terkait dengan kondisi politik global selama Perang Dingin saat blok Timur dan Barat saling bersaing secara politik, termasuk pula idelogi yang dianut oleh masing-masing blok. Blok barat mewakili kelompok-kelompok Negara liberal yang mengedepankan ideologi liberalisme, dengan menekankan pada kebebasan mendasar, sementara kelompok Negara-negara Timur mewakili ideologi ketimuran dan sosialis yang lebih menekankan pada aspek kesejahteraan ekonomi dan hak-hak komunal. Dengan segala perdebatan yang muncul saat itu, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya diadopsi oleh PBB, bersamaan dengan Kovenan Sipil dan Politik, namun dengan penekanan politik secara berbeda. Dalam hal ini pula kemudian Komite HAM PBB, badan penanggung jawab pelaksanaan Kovenan Sipil dan Politik dibentuk berdasarkan Kovenan, sementara mandat pemantauan dan pelaksanaan hak ekonomi, sosial dan budaya diletakkan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Setelah lebih dari satu dasawarsa Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya baru terbentuk melalui sidang Majelis Umum PBB dan menjadi badan khusus yang memantau hak-hak tersebut. Indonesia sendiri telah menjadi Negara pihak Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya sejak 2005, dengan ratifikasi Konvensi yang dilakukan. Dengan ini, Indonesia terikat dengan Kovenan dan berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercakup di dalamnya. Secara praktik, pelaksanaan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ini berada pada ranah yang sangat umum, yaitu masuk ke sejumlah kebijakan Kementerian dan lembaga di Indonesia. Tidak ada satu aturan khusus yang menegaskan tentang pelaksanaan Kovenan ini, karena memang aspek-aspek hak yang diatur di dalamnya menjadi mandat kementerian secara terpisah, seperti hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas kehidupan yang laik, hak atas air dan sanitasi, hak-hak buruh dan pekerja, dan hak atas perumahan laik. Dari sini, dan terutama bila membaca laporan alternatif yang dibuat oleh masyarakat sipil di dalam buku ini, situasi hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia menjadi sangat luas dan tersebar di pelbagai kementerian dan lembaga Negara. Di sisi yang lain, pelanggaran-pelanggaran hak-hak yang diatur di dalam Kovenan juga menjadi suatu permasalahan yang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian penuh dari Pemerintah. Buku ini merupakan hasil dari kumpulan laporan-laporan masyarakat sipil Indonesia terkait dengan situasi hak ekonomi, sosial dan budaya pasca ratifikasi. Disusun berdasarkan pada bidang advokasi masing-masing lembaga yang terlibat dalam pembuatan laporan, dengan menegaskan aspek-aspek

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

20


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

pelanggaran terhadap Kovenan. Secara garis besar, di samping berisi tentang gambaran umum Kovenan dan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, sebagian besar buku ini memuat laporan-laporan alternatif yang telah disampaikan oleh masyarakat sipil kepada Komite sebagai informasi tambahan bagi Komite dalam menilai laporan pemerintah Indonesia. Dengan begitu, laporan ini disusun dengan membandingkan laporan pemerintah Indonesia yang telah lebih dahulu disampaikan kepada Komite dengan pertimbangan bahwa Komite perlu mendapatkan informasi tambahan terkait pelaksanaan hak-hak tersebut di Indonesia. Di samping itu, laporan alternatif kedua yang disusun oleh sekitar 72 organisasi masyarakat sipil di Indonesia merupakan jawaban masyarakat terhadap List of Issues (LoI) yang dikeluarkan oleh Komite pada sidang pra-Sesi Komite tanggal 2 – 3 Desember 2014 di Jenewa, Swiss. Jawaban LoI dari masyarakat sipil ini kembali menegaskan tentang permasalahan-permasalahan yang telah diperhatikan oleh Komite di dalam LoI dengan harapan Komite dapat lebih memperdalam pertanyaannya saat sidang eksanimasi laporan di Jenewa dengan perwakilan Pemerintah Indonesia. Selain itu, dengan pengalaman yang telah dilakukan masyarakat sipil selama di Jenewa, buku ini juga memuat tentang proses-proses advokasi selama Sidang Komite terhadap situasi hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia. Catatan ini menjadi penting untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas masyarakat sipil secara umum terkait dengan advokasi Konvensi HAM PBB, terutama ketika pembahasan Komite berkaitan erat dengan kepentingan Negara. Terakhir, buku yang ada di tangan pembaca ini diharapkan mampu memberikan suatu gambaran umum tentang pelaksanaan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia dalam perspektif masyarakat sipil, proses sidang yang berlangsung, serta rekomendasi dari Komite terhadap pemerintah Indonesia untuk dilaksanakan selama 5 tahun pasca rekomendasi dikeluarkan pada 22 Mei 2014. Dengan begitu, buku ini dapat berguna bagi masyarakat sipil Indonesia untuk mengadvokasi dan mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan-perbaikan di tingkat nasional, di samping juga sebagai tolok ukur bagi pemerintah untuk dapat memenuhi hakhak tersebut sesuai dengan Kovenan. Saya ucapkan terima kasih kepada anggota dan jaringan HRWG yang telah bekerja keras untuk menyusun laporan altertantif yang dipublikasi melalui buku ini, baik pada proses awal laporan alternatif ataupun laporan jawaban LoI. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Kedutaan Besar Selandia Baru di Indonesia dan HIVOS yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan penerbitan buku ini hingga sampai di tangan para pembaca di Indonesia. Jakarta, 31 Oktober 2014 Rafendi Djamin Dikretur Eksekutif HRWG

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

21


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

22


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

REKOMENDASI-REKOMENDASI KOMITE HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA PERSERIKATAN BANGSABANGSA TAHUN 2014 (CONCLUDING OBSERVATION)

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

23


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

24


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Economic and Social Council

Distr.: General 23 May 2014 Original: English Advance unedited version

Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya

1

Concluding observations Laporan Permulaan Indonesia* Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mempetimbangkan laporan permulaan Indonesia tentang pelaksanaan Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya (E/C.12/IDN/CO/1) pada Sesi Sidang 6 – 8 (E/C.12/2014/SR.6-8) pad atanggal 30 April 1 Mei 2014, dan telah diadopsi, pada Sidang 23 Mei 2014, sebagaimana pengamatan akhir berikut ini. 1.

A.

Pendahuluan

Komite mengapresiasi penyampaian laporan permulaan dan jawaban tertulis terhadap List of Issues (E/C.12/IDN/Q/1/Add.1). Komite juga menyambut baik kesempatan untuk terlibat dengan jajaran pimpinan Negara pihak dan delegasinya, serta menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap dialog yang jujur dan konstruktif. 2.

B.

Aspek-aspek Positif

Komite menyambut baik ratifikasi yang dilakukan oleh Negara pihak, di antaranya: 3.

(a) Optional Protocols Konvensi Hak Anak tentang keterlibatan anak dalam konflik bersenjata dan perdagangan anak, prostitusi anak dan pornografi anak pada tanggal 24 September 2012; (b) Konvensi Internasional Perlindungan Hak Seluruh Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya pada tanggal 31 Mei 2012; (c) Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas pada tanggal 20 November 2011; Komite menyambut banyak kebijakan-kebijakan dan langkah legislative yang telah diambil oleh Negara pihak: 4.

(a) Pengenalan jaminan kesehatan universal di bawah Asuransi Kesehatan Nasional, yang telah efektif berlaku di 7 provinsi. (b) Pengesahan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/2010 tentang Standard Pelayanan Minimal dalam Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; (c) Pengesahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 19/2012 tentang Syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.

1 *

Terjemahan tidak resmi yang dilakukan oleh HRWG Diadopsi oleh Komite pada Sesi Sidang Komite ke-52 (pada 28 April-23 Mei 2014).

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

25


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

(d) Pengesahan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 81/2013 tentang Pelaksanaan Kurikulum yang memandatkan sekolah dasar memasukkan bahasa lokal sebagai kurikulum sekolah.

C.

Tema Prinsipal yang Menjadi Perhatian dan Rekomendasi

Pelaksanaan Kovenan dan akses kepada keadilan untuk hak ekonomi, sosial dan budaya Mencatat informasi yang diberikan oleh Negara Pihak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mengacu pada ketentuan-ketentuan Kovenan, Komite menyesalkan kurangnya informasi tentang yurisprudensi yang memasukkan Kovenan dalam putusan pengadilan yang lebih rendah dan dalam perkara-perkara administratif. Komite juga prihatin atas terbatasnya jumlah aparat hukum, termasuk pula pengacara, sehingga menghalangi akses para korban atas ganti rugi (pasal 2.1). 5.

Komite merekomendasikan agar Negara Pihak meningkatkan kesadaran para pegawai peradilan dan masyarakat umum pada Kovenan dan pada akses keadilan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk melalui kampanye peningkatan kesadaran dan memasukkan HAM dalam kurikulum sekolah di semua tingkatan. Hal ini juga merekomendasikan bahwa Negara Pihak berinvestasi dalam perluasan program pelatihan bagi profesi hukum. Komite meminta agar Negara Pihak memasukkan informasi dalam laporan berkala berikutnya pada keputusan oleh pengadilan dan otoritas administratif yang memberikan efek terhadap hak-hak yang diatur dalam Kovenan. Komite menarik perhatian Negara Pihak untuk komentar umum No 9 (1998) pada aplikasi domestik Kovenan. Kebijakan dan Peraturan Daerah Komite merasa prihatin terhadap hukum dan ketetapan (by-law) yang mendiskriminasikan perempuan dan memarjinalisasi individu dan kelompok, seperti pekerja seks, lesbian, gay, bisexual, dan trangender, yang berlaku di tingkat provinsi, kabupaten atau daerah otonomi, terlepas dari adanya mekanisme review yang ada di Negara pihak. (Art. 2.1) 6.

Komite mendorong Negara pihak untuk: (a) Mereview dan mencabut ketentuan dalam peraturan-peraturan daerah dan ketetapan yang telah terbukti bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marjinal, termasuk pula yang telah diidentifikasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan; (b) Meningkatkan kesadaran kewajiban hukum Negara pihak di bawah perjanjian hak asasi manusia internasional kepada para anggota parlemen dan pihak berwenang di provinsi, kabupaten dan daerah otonom; (c) Memperkuat mekanisme untuk meninjau rancangan undang-undang dan ketetapan yang diusulkan oleh pemerintah daerah. Lembaga HAM Nasional (NHRI) Komite prihatin bahwa, tidak adanya kewajiban bagi badan publik untuk menanggapi kasus yang diajukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan UU 39/1999 adalah tidak efektif dalam memberikan ganti rugi non-yudisial kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia. 7.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

26


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Memperhatikan informasi dari delegasi Negara Pihak tentang review UU 39/1999 tentang HAM, Komite merekomendasikan bahwa Negara Pihak dapat mendorong mekanisme yang mengharuskan badan-badan publik untuk menanggapi kasus yang diajukan sah oleh Komnas HAM. Komite prihatin bahwa saat ini pengaturan administrasi sumber daya keuangan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dikelola oleh kekuasaan eksekutif sehingga mengurangi kemandirian dan efisiensinya (pasal 2.1). 8.

Komite merekomendasikan agar Negara Pihak memberikan Komnas Perempuan kemerdekaan dalam administrasi sumber daya, sesuai dengan Prinsip-Prinsip Paris. Korupsi Komite menyatakan keprihatinan bahwa korupsi, yang terjadi hampir di semua tingkat administrasi Negara pihak, sehingga (a) mengurangi sumber daya yang tersedia untuk mempromosikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; (b) telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai sektor, termasuk di industri ekstraktif; dan (c) menolak ganti rugi kepada korban karena adanya korupsi di lembaga peradilan (pasal 2.1). 9.

Komite mendesak Negara Pihak untuk mengintensifkan upayanya untuk memerangi korupsi dan impunitas dan memastikan bahwa urusan publik, secara hukum dan dalam praktek, dilakukan secara transparan. Termasuk pula dalam hal ini merekomendasikan agar Negara Pihak meningkatkan kesadaran di kalangan politisi, anggota parlemen dan pejabat pemerintah pusat dan daerah terhadap dampak ekonomi dan sosial dari korupsi, dan di antara hakim, jaksa dan polisi tentang perlunya penegakan hukum secara ketat. Non-Diskriminasi Komite mencatat dengan keprihatinan bahwa dasar (latar belakang) diskriminasi yang dilarang berdasarkan UU No 39/1999 tentang hak asasi manusia yang tidak komprehensif. Hal yang juga memprihatinkan adalah bahwa UU ini tidak mendefinisikan diskriminasi secara tidak langsung dan memberikan sanksi terhadap kasus pelanggaran (pasal 2.2). 10.

Komite meminta Negara Pihak untuk memperkuat perlindungan legislatif terhadap diskriminasi, termasuk melalui penerapan kerangka hukum yang komprehensif, dengan: (a) Melarang diskriminasi, termasuk diskriminasi tidak langsung, pada semua dasar atau latar belakang diskriminasi; (b) membuat langkah-langkah khusus untuk mencapai kesetaraan, bila diperlukan; dan (c) memberikan hukuman terhadap kasus pelanggaran peraturan perundang-undangan, serta remedi yang dapat diakses dan reparasi bagi korban. Komite mendorong agar Negara Pihak mengacu pada Komentar Umum Komite Nomor 20 (2009) tentang non-diskriminasi dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Orang Penyandang Disabilitas Komite prihatin bahwa definisi penyandang disabilitas dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tidak mengikuti pendekatan hak asasi manusia dan bahwa UU tidak menetapkan kewajiban untuk menyediakan akomodasi yang wajar bagi para disabilitas. Komite juga juga prihatin pada kecilnya kemajuan yang dicapai dalam menyediakan layanan dan fasilitas bagi penyandang disabilitas terhadap akses publik, terlepas dari berbagai hukum dan peraturan yang berlaku pada Negara Pihak untuk 11.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

27


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

tujuan itu, sehingga tetap mempertahankan marjinalisasi mereka dalam masyarakat (pasal 2.2 ). Komite meminta Negara Pihak untuk mereview UU No 4 Tahun 1997 agar sejalan dengan standar hak asasi manusia internasional dan menetapkan penolakan akomodasi yang wajar sebagai bentuk diskriminasi. Komite juga meminta Negara Pihak untuk mengubah semua ketentuan-ketentuan legislatif yang mendiskriminasikan atau menyebabkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Selain itu, Komite merekomendasikan bahwa Negara Pihak mengadopsi kebijakan berbasis HAM untuk mempromosikan hak-hak para penyandang disabilitas yang meliputi, antara lain: a. Peningkatan kesadaran dan kampanye untuk menghilangkan stigma, stereotip negatif dan hambatan budaya lain bagi partisipasi penuh mereka dalam masyarakat; b. batas waktu tertentu untuk memberikan layanan dan fasilitas umum yang dapat diakses oleh para penyandang disabilitas; c.

Pengenalan tindakan khusus sementara di bidang pendidikan dan pekerjaan;

d. Penikmatan hak ekonomi, sosial dan budaya oleh semua orang penyandang disabilitas. Hak ekonomi, sosial dan budaya di daerah terpencil Dengan mengakui tantangan yang ditimbulkan dari situasi geografis Negara Pihak, Komite prihatin bahwa tingkat pelayanan minimum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak sepenuhnya terjamin di sejumlah wilayah pulau-pulau terpencil, wilayah di Papua, dan bagian lain dari negeri ini, terutama karena ketidakserdiaan dan rendahnya kualitas layanan publik, termasuk pula di bidang pendidikan dan kesehatan. Selanjutnya, Komite menyatakan keprihatinannya atas kurangnya akses terhadap pemulihan pelanggaran hak asasi manusia dan pada kurangnya pengetahuan komprehensif mengenai situasi hak asasi manusia di daerah tersebut (pasal 2.2). 12.

Mengingatkan bahwa pelaksanaan hak-hak Kovenan tidak boleh tergantung pada, atau ditentukan oleh, tempat tinggal seseorang, dan mengacu pada UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik, Komite meminta Negara Pihak untuk mengadopsi pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan untuk: a) Mempercepat penyebaran kualitas pelayanan publik di pulau-pulau terpencil dan daerah di Papua, dan bagian lain dari negara itu, dengan mengalokasikan sumber daya manusia dan keuangan yang diperlukan, dengan memperhatikan bahwa mereka mencapai manfaat (dari program) yang dimaksud, dan dengan jelas mengatur tanggung jawab berbagai tingkat pemerintahan; b) Memastikan bahwa penyelesaian melalui pengadilan dan lembaga-lembaga non - yudisial, seperti lembaga-lembaga nasional hak asasi manusia Negara Pihak, dapat diakses di daerah-daerah; c) Berupaya untuk mengumpulkan informasi mengenai situasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya kelompok etnis di daerah pegunungan, pulaupulau terpencil dan perbatasan dan daerah, bekerja sama dengan lembagalembaga HAM nasional dan organisasi masyarakat sipil.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

28


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Komite mendorong Negara Pihak agar mengacu pada Pernyataan Komite tentang Kemiskinan dan Kovenan, yang diadopsi pada 4 Mei 2001 (e/2002/22 e/c.12/2001/17, lampiran vii) Diskriminasi Berlapis Komite prihatin terhadap situasi beberapa kelompok yang mengalami diskriminasi berlapis, termasuk mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan dan tidak memiliki identitas kependudukan, kelompok agama dan mereka yang terlantar akibat konflik dan bencana alam (Pasal 2.2). 13.

Komite merekomendasikan agar Negara Pihak mengadopsi kebijakan yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 bagi kelompok yang mengalami diskriminasi berlapis, seperti orang tanpa kewarganegaraan dan orang-orang tanpa identitas kependudukan, komunitas agama dan mereka yang terlantar akibat konflik dan bencana alam, yang meliputi: (a) fasilitasi penerbitan identitas kependudukan, kelahiran dan catatan sipil; (b) penyediaan layanan dan bantuan kepada pengungsi internal (IDPs) yang kembali; dan (c) penyediaan layanan kesehatan mental yang diperlukan di daerah pascakonflik. Kesenjangan Upah Berdasarkan Gender Komite prihatin dengan adanya kesenjangan gaji berdasarkan gender di Negara Pihak karena konsentrasi perempuan dalam sektor pekerjaan yang upahnya rendah dan mereka tidak terwakili di posisi-posisi tinggi dalam sektor publik dan swasta (pasal 3). 14.

Komite merekomendasikan bahwa Negara pihak: (a) Mendidik laki-laki dan perempuan tentang peluang karir yang sama, dengan maksud untuk memajukan pencapaian pendidikan dan pelatihan di lapangan, dari pada secara tradisional dengan dominasi oleh salah satu jenis kelamin; (b) Melakukan survei dan klasifikasi pekerjaan yang dipandang memiliki nilai yang sama; (c) Meningkatkan akses perempuan terhadap posisi-posisi tinggi/penting di sektor publik dan swasta, termasuk dengan menerapkan tindakan khusus sementara (affirmative action), dan mengatasi hambatan untuk kemajuan karir mereka, seperti pelecehan seksual di tempat kerja dan stereotip tradisional tentang peranan jender. Pekerjaan di sektor formal Komite prihatin pada ketentuan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang memungkinkan adanya perjanjian kerja dibuat secara lisan. Komite juga prihatin bahwa upah minimum ditetapkan pada tingkat yang hanya memungkinkan kehidupan layak untuk para pekerja. Selain itu, Komite prihatin pada kurangnya petugas pengawas ketenagakerjaan di negara pihak (pasal 7). 15.

Komite merekomendasikan bahwa Negara pihak: (a) mengubah ketentuan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 sehingga membuat perjanjian harus kerja tertulis; (b) meninjau metode penetapan tingkat upah minimum sehingga memungkinkan kehidupan yang layak bagi para pekerja dan keluarga mereka, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Kovenan;

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

29


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

(c) meningkatkan jumlah pengawas ketenagakerjaan dan memperkuat kapasitas mereka untuk bertindak secara independen dan efektif untuk memerangi pelanggaran hak-hak buruh. Kondisi Kerja di Sektor Informal Komite prihatin dengan ketidakadilan dan situasi kerja yang tidak menguntungkan bagi dua pertiga dari tenaga kerja Negara Pihak yang bekerja di sektor informal (pasal 7). 16.

Komite merekomendasikan agar Negara Pihak mengadopsi strategi jangka panjang yang melibatkan langkah-langkah untuk memastikan situasi kerja yang adil dan menguntungkan bagi mereka yang bekerja di sektor informal, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Kovenan, yang: (a) menyasar hambatan regulasi untuk membentuk perusahaan dan pekerjaan dalam sektor formal; (b) memfasilitasi pengaturan pekerja yang bekerja di sektor informal; (c) memperluas ruang lingkup penerapan UU Ketenagakerjaan dan pengawasan tenaga kerja di sektor informal. Pekerja Rumah Tangga Komite prihatin bahwa 2003 UU Ketenagakerjaan mengecualikan pekerja rumah tangga, menyangkal perlindungan hukum bagi hak-hak buruh mereka dan bahwa rancangan undang-undang tentang PRT masih tertunda untuk diadopsi di Parlemen sejak tahun 1994. Komite selanjutnya prihatin pada kondisi kerja pekerja rumah tangga yang bekerja berjam-jam, dibayar di bawah upah minimum, dan sering menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual (pasal 7) . 17.

Komite meminta Negara Pihak untuk mempercepat adopsi dari RUU PRT dan untuk memastikan bahwa UU ini menyediakan: (a) kondisi kerja yang sama sebagaimana pekerja lain, yang tercakup di dalam 2003 UU Ketenagakerjaan, antara lain dalam hal remunerasi, perlindungan terhadap pemecatan yang tidak adil, kesehatan dan keselamatan kerja, istirahat dan rekreasi, pembatasan jam kerja, dan jaminan sosial; (b) perlindungan tambahan dalam kaitannya dengan kondisi, seperti situasi PRT yang tinggal dengan majikan, yang membuat pekerja rumah tangga rentan terhadap kerja paksa, kekerasan dan pelecehan seksual; (c) mekanisme yang efektif untuk melaporkan pelecehan dan eksploitasi dengan memperhitungkan kesulitan pekerja rumah tangga untuk mengakses telekomunikasi; (d) mekanisme pengawasan untuk memantau kondisi kerja pekerja rumah tangga. Komite juga merekomendasikan agar Negara Pihak meningkatkan kesadaran di antara masyarakat tentang pentingnya menghormati hak-hak asasi manusia PRT dan di antara aparat penegak hukum dalam penerapan UU 23/2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk penuntutan kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Komite merekomendasikan agar Negara Pihak meratifikasi Konvensi Pekerja Rumah Tangga ILO Tahun 2011 (No. 189). PRT di Luar Negeri Mengingatkan, Negara Pihak telah menyimpulkan bahwa perjanjian bilateral dengan beberapa Negara telah memberikan berguna bagi buruh migran pekerja rumah tangga, namun Komite merasa prihatin tentang laporan yang terus-menerus muncul 18.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

30


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

tentang eksploitasi dan pelecehan terhadap warganegara Negara Pihak yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri. Komite juga prihatin pada biaya penempatan yang dibebankan gaji pekerja rumah tangga atau, ketika dibayar oleh majikan, mengarah pada kondisi yang serupa dengan perbudakan bagi pekerja rumah tangga (pasal 7). Komite mendesak Negara Pihak untuk: (a) Mengatur operasi agen-agen penempatan, termasuk pengenaan biaya penempatan, sehingga mereka tidak mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti tidak adanya pembayaran upah atau bentuk-bentuk perbudakan kontemporer; (b) Terus membangun kesepakatan (MoU) dengan negara-negara penerima, dengan tujuan tidak hanya melindungi hak-hak ekonomi dan sosial dari pekerja rumah tangga, namun juga terhadap eksploitasi dan penganiayaan; (c) Mmberikan dukungan kepada korban eksploitasi dan pelecehan serta reintegrasi yang kembali; (d) Mengatasi akar penyebab migrasi pekerja rumah tangga. Hak mogok bagi PNS Komite prihatin bahwa hak mogok dan hak untuk berorganisasi tidak diberikan kepada pegawai negeri sipil (pasal 8). 19.

Komite meminta Negara Pihak untuk mengakui secara hukum hak mogok untuk pegawai negeri sipil untuk tidak memberikan layanan, serta hak mereka untuk berorganisasi, sejalan dengan ketentuan pasal 8 dari Kovenan. Represi kegiatan serikat buruh Komite prihatin dengan laporan-laporan tentang represi dari kegiatan serikat pekerja, termasuk oleh pemerintah, dan pada kurangnya pemulihan efektif atas pelanggaran hak-hak serikat buruh, meskipun perlindungan hak-hak serikat sudah diatur dalam UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja (pasal 8). 20.

Komite merekomendasikan agar Negara Pihak melindungi hak-hak serikat buruh dan efektif menyelidiki semua tuduhan pelanggaran yang perlu mendapat perhatian. Dalam hal ini, Komite merekomendasikan bahwa Negara Pihak mengembangkan kapasitas penegakan hukum dan pengawasan ketenagakerjaan untuk menyelidiki dugaan penindasan kegiatan serikat, sehingga mereka tidak ditafsirkan sebagai bentuk pencemaran nama baik pengusaha. Jaminan Sosial Komite prihatin bahwa rencana untuk perluasan cakupan asuransi kesehatan berjalan di tempat, dan cakupan skema yang sudah ada terbatas pada mereka yang bekerja di sektor formal. Komite prihatin bahwa hanya sebagian kecil pekerja di sektor perekonomian informal tercakup oleh program jaminan sosial, seperti JAMSOSTEK. Komite selanjutnya juga prihatin bahwa negara pihak tidak memiliki skema asuransi pengangguran (pasal 9). 21.

Komite merekomendasikan bahwa Negara pihak: (a) Mendorong perluasan cakupan dengan skema jaminan sosial yang ada, termasuk dengan meninjau kriteria kelayakan, seperti yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 111/2013 perubahan atas Keputusan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

31


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

12/2013 tentang Asuransi Kesehatan, sehingga individu yang kurang beruntung dan kelompok yang tidak dikecualikan; (b) Mempertimbangkan pembentukan dasar perlindungan sosial seperti digambarkan dalam ILO No 202 rekomendasi (2012) sebagai upaya untuk memastikan manfaat mendasar bagi anak-anak, orang usia aktif yang tidak mampu mendapatkan penghasilan yang memadai, penyandang disabilitas, dan individu lainnnya dalam situasi yang kurang beruntung, termasuk pula bagi pekerja di sektor informal, seperti JAMSOSTEK; (c) Mengejar pembentukan skema asuransi pengangguran. Komite mendorong Negara Pihak untuk mengacu pada Komentar Umumnya Nomor 19 (2007) tentang hak atas jaminan sosial. Pernikahan Anak Komite prihatin bahwa pernikahan anak masih dipraktekkan di Negara pihak. Komite juga menyesalkan kurangnya informasi tentang pengendalian secara hukum yang relevan (pasal 10). 22.

Komite mendesak Negara Pihak untuk mencegah perkawinan anak, secara hukum dan praktek, dan untuk menjamin efektivitas pengendalian perkawinan anak secara hukum hukum dengan maksud untuk menghukum mereka yang melakukan dan memfasilitasi pernikahan anak. Pekerja Anak Komite prihatin dengan banyaknya anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan, termasuk dalam pekerjaan berbahaya. Komite juga prihatin bahwa langkah-langkah yang diambil, seperti pada tahun 2014, misalnya, berusaha untuk menjangkau 15.000 anak-anak tidak sepadan dengan tingkat masalah yang menyangkut jutaan anak-anak (pasal 10). 23.

Komite mendesak Negara Pihak untuk mengejar upaya yang bertujuan untuk memerangi pekerja anak, termasuk dengan: (a) mengambil langkah-langkah dan menyediakan sumber daya yang sepadan dengan tingkat masalah; (b) memastikan pengawasan tenaga kerja yang efektif dalam pekerjaan rumah tangga serta di bidang pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan, dan menghukum majikan mengeksploitasi jawab pekerja anak; (c) memberikan rehabilitasi kepada korban pekerja anak; dan (d) melakukan kampanye peningkatan kesadaran dengan maksud untuk mengatasi adanya “penerimaan sosial� terhadap bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Kekerasan terhadap Perempuan Komite prihatin pada praktik impunitas terkait dengan kekerasan terhadap perempuan di negara pihak. Komite prihatin bahwa Standar Minimum Pelayanan (SPM) untuk korban kekerasan tidak efektif disampaikan dalam Negara Pihak (pasal 10). 24.

Komite meminta Negara Pihak untuk: (a) Meningkatkan kesadaran di kalangan aparat penegak hukum dan profesional yang relevan pada tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan untuk masyarakat luas termasuk melalui kampanye “nol-toleransi� terhadap kekerasan tersebut;

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

32


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

(b) Memperkuat undang-undang tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk dengan menghukum segala bentuk kekerasan seksual; (c) Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan akses terhadap penyembuhan bagi korban, termasuk di daerah terpencil; (d) Mengalokasikan sumber daya keuangan yang diperlukan di tingkat provinsi dan kabupaten untuk menyebarkan Standar Minimum Pelayanan yang efektif, dan mempercepat pembentukan tempat penampungan bagi korban kekerasan; (e) Meningkatkan koordinasi implementasi SPM.

kelembagaan

dan

pemantauan

rencana

Sunat Perempuan (FGM) Komite prihatin bahwa mutilasi alat kelamin (sunat) perempuan (FGM) masih dipraktekkan di negara pihak. Selain itu, Komite juga mencatat informasi yang diberikan oleh Negara Pihak bahwa hukum yang melarang FGM diberlakukan pada tahun 2014, the Committee is concerned that an earlier prohibition of the performance of FGM by medical personnel was reversed by regulation No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 (art. 10). 25.

Komite mendesak Negara Pihak untuk secara efektif melarang FGM. Komite juga meminta Negara Pihak untuk meningkatkan kesadaran terhadap larangan FGM dan melakukan kampanye pendidikan budaya yang sensitif terhadap FGM. Air dan sanitasi Komite prihatin bahwa, di daerah pedesaan, sekitar seperempat dari penduduk tidak memiliki akses kepada air minum yang aman dan ‘MCK yang terbuka’ masih banyak dipraktikkan, meskipun telah ada pelaksanaan Kebijakan Nasional Berbasis Masyarakat untuk Air Bersih dan Lingkungan Sehat (pasal 11, 12). 26.

Komite meminta Negara Pihak untuk memperkuat upaya untuk peningkatan akses terhadap air minum yang aman dan bersih dan sanitasi, khususnya di daerah pedesaan. Komite meminta Negara Pihak mengacu pada Komentar Umumnya Nomor 15 (2002) tentang hak atas air dan pernyataan tentang hak atas sanitasi (E/C.12.2010/1). Sektor pertambangan dan perkebunan Komite menyatakan keprihatinan pada pelanggaran hak asasi manusia di sektor pertambangan dan perkebunan, termasuk hak untuk penghidupan, hak atas pangan, hak atas air, hak-hak buruh dan hak budaya. Termasu pula keprihatinan tentang prinsip “persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan� dari masyarakat yang terkena dampak tidak selalu dilaksanakan dalam proyek ini, termasuk di bawah UU 25/2007 tentang Penanaman Modal. Selain itu, bahkan dalam kasus di mana konsultasi masyarakat yang terkena dampak telah terjadi, tidak ada jaminan mereka diinformasikan tentang hasil keputusannya. 27.

Komite prihatin dengan kurangnya pengawasan yang memadai tentang hak asasi manusia dan dampak lingkungan dari proyek-proyek ekstraktif selama pelaksanaannya. Dalam banyak kasus, masyarakat yang terkena dampak belum diberikan pemulihan yang efektif, bersama dengan para pembela hak asasi manusia yang bekerja pada kasus-kasus ini, seringkali menjadi sasaran kekerasan dan penganiayaan. Selain itu, Komite khawatir bahwa proyek-proyek tersebut tidak membawa manfaat nyata bagi masyarakat lokal (pasal 1.2, 2.2, 11).

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

33


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Komite meminta Negara Pihak untuk meninjau undang-undang, peraturan dan praktek di sektor pertambangan dan perkebunan, di antaranya: (a) Jaminan bantuan hukum kepada masyarakat selama proses konsultasi pada proyek-proyek ekstraktif yang mempengaruhi mereka dan sumber daya mereka dengan maksud untuk menjamin prinsip "persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan�; (b) Memastikan bahwa perjanjian izin tunduk pada pemantauan hak asasi manusia dan dampak lingkungan selama pelaksanaan proyek-proyek ekstraktif; (c) Jaminan bantuan hukum kepada masyarakat sekitar yang mengeluh tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia, menyelidiki semua tuduhan terhadap pelanggaran perjanjian izin, dan mencabut izin, sebagaimana mestinya; (d) Memastikan bahwa manfaat nyata dan distribusi manfaat itu tidak dilakukan semata-mata sebagai kebijakan sukarela tanggung jawab sosial perusahaan, tetapi juga didefinisikan dalam perjanjian izin usaha, dalam bentuk penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pelayanan publik bagi masyarakat lokal, dan sebagainya; (e) Terlibat dalam dialog terus-menerus dengan para pembela hak asasi manusia, melindungi mereka dari tindak kekerasan, intimidasi dan pelecehan, dan menginvestigasi semua tuduhan kriminalisasi terhadap pelapor (reprisal) dan pelanggaran, dengan membawa para pelaku kepada pengadilan. Pemilikan tanah Komite menyatakan prihatin dengan banyaknya sengketa tanah dan kasuskasus perampasan tanah di negara pihak. Hal ini yang juga memprihatinkan adalah bahwa peraturan seperti Peraturan Presiden 65/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Mewujudkan Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah menjadikan individu dan masyarakat rentan terhadap perampasan tanah, karena hanya 34 persen tanah di Negara Pihak yang telah bersertifikat. Similarly, the Committee is concerned that court decisions on land cases have been primarily made on the basis of the existence of titles. Selain itu, Komite menyatakan keprihatinannya dengan mahalnya biaya membuat sertifikat yang ada dalam proses penyelesaian sengketa tanah (pasal 1.2, 2.2, 11). 28.

Komite mendesak Negara Pihak untuk mengadopsi kebijakan pertanahan: (a) menetapkan lembaga khusus yang bertugas untuk mengawasi penyelesaian sengketa tanah; (b) mempromosikan pendekatan penyelesaian yang mempertimbangkan fakta bahwa sertifikat tanah tidak selalu ada; (c) ulasan hukum dan peraturan yang membuat individu dan masyarakat rentan terhadap perampasan tanah yang relevan; (d) memfasilitasi sertifikasi tanah tanpa biaya prosedural mahal; (e) mengamankan keterlibatan lembaga-lembaga hak asasi manusia nasional dan masyarakat sipil. Penggusuran paksa Komite prihatin dengan laporan dari penggusuran paksa tanpa ganti rugi yang memadai atau perumahan alternatif (bagi korban), termasuk dalam konteks proyekproyek pembangunan. Hal yang juga mengkhawatirkan bahwa, di bawah undangundang Negara Pihak, penggusuran dapat dilakukan bahkan bila penggusuran itu menjadikan pengguna tunawisma (pasal 11). 29.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

34


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Komite meminta Negara Pihak untuk membawa undang-undang tentang penggusuran paksa sejalan dengan standar internasional, termasuk dengan: (a) memastikan bahwa penggusuran hanya digunakan sebagai pilihan terakhir; (b) secara ketat mendefinisikan keadaan dan perlindungan di mana penggusuran dapat terjadi; (c) memastikan bahwa korban penggusuran paksa disediakan perumahan alternatif yang layak atau kompensasi, dan memiliki akses kepada pemulihan yang efektif. Komite mendorong Negara Pihak untuk mengacu pada komentar umum no. 7 (1997) tentang penggusuran paksa dan Prinsip dan Pedoman Penggusuran berbasis Pembangunan dan Perpindahan (A/HRC/4/18). Hak atas pangan Komite prihatin dengan peningkatan secara signifikan dalam harga makanan pokok yang telah menjadi kurang terjangkau bagi individu dan kelompok yang kurang beruntung di Negara Pihak dan semakin memperparah gizi buruk di Negara Pihak (pasal 11). 30.

Komite merekomendasikan agar Negara Pihak mengadopsi pendekatan berbasis HAM untuk kebijakan pangan, termasuk dengan: (a) Menangani masalah penting untuk semua aspek dari sistem pangan, termasuk produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi pangan yang aman, serta langkah-langkah paralel di bidang kesehatan dan pendidikan, terutama di daerah tertinggal; (b) Memastikan bahwa kegiatan sektor bisnis swasta sesuai dengan hak atas pangan. Komite mendorong Negara Pihak untuk merujuk pada Komentar Umumnya Nomor 12 (1999) tentang hak atas pangan yang memadai. Sistem perawatan kesehatan Komite prihatin bahwa sistem pelayanan kesehatan Negara Pihak tidak mampu memenuhi permintaan untuk layanan kesehatan setelah diluncurkannya Asuransi Universal Kesehatan. Komite juga prihatin pada perbedaan ketersediaan dan kualitas pelayanan kesehatan di seluruh provinsi dan wilayah di Negara Pihak, dan sangat prihatin bahwa, di beberapa daerah, kurangnya layanan pencegahan dan pengobatan HIV menyebabkan penyebaran HIV (pasal 12). 31.

Komite meminta Negara Pihak untuk meningkatkan kapasitas sistem pelayanan kesehatan dan meningkatkan kualitasnya, terutama di daerah-daerah kurang terlayani, sehingga untuk memastikan bahwa program Asuransi Universal Kesehatan mengarah pada realisasi yang efektif terhadap pemenuhan hak atas kesehatan. Komite juga mendesak Negara Pihak untuk memastikan bahwa pencegahan dan pengobatan HIV disertakan dalam paket minimum yang disediakan oleh sistem perawatan kesehatan primer. Kematian ibu Komite menyatakan keprihatinan atas peningkatan angka kematian ibu di negara pihak karena, antara lain, tidak memadainya pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, serta hambatan hukum dan budaya yang menghalangi akses mereka (pasal 12). 32.

Komite meminta Negara Pihak untuk mengatasi kesenjangan dalam ketersediaan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu, termasuk dengan menempatkan ke tempat pelatihan pra-layanan, pelatihan dalam layanan, pengawasan dan akreditasi

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

35


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

fasilitas. Komite juga meminta Negara Pihak untuk menjamin akses kepada layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi perempuan yang belum menikah dan remaja, serta perempuan menikah tanpa harus adanya persetujuan dari pasangan. Kesehatan Mental Komite prihatin bahwa layanan kesehatan mental hanya tersedia di lembagalembaga medis hanya di beberapa kota-kota besar Negara Pihak (pasal 12). 33.

Komite meminta Negara Pihak untuk mengadopsi kebijakan kesehatan mental nasional yang bertujuan untuk membuat layanan kesehatan mental tersedia dan dapat diakses, termasuk dengan: (a) Pembuatan undang-undang yang sejalan dengan standar internasional; (b) pelatihan para profesional/petugas, termasuk dalam penerapan prinsip-prinsip internasional penilaian kesehatan mental; (c) memprioritaskan pengembangan pelayanan secara kultural yang memadai berbasis masyarakat untuk para penyandang disabilitas psikososial; dan (d) memastikan bahwa kesehatan mental termasuk dalam program asuransi kesehatan dari negara pihak. Komite prihatin pada kecanduan tembakau yang mempengaruhi hampir sepertiga penduduk Negara Pihak. Komite juga mengungkapkan keprihatinan pada ketentuan UU 35/2009 tentang Narkotika yang antara lain menyediakan layanan pengobatan wajib bagi pengguna narkoba (pasal 12). 34.

Komite merekomendasikan bahwa Negara pihak: (a) Melakukan pencegahan kesadaran tentang risiko kesehatan serius yang berhubungan dengan rokok dan penyalahgunaan zat terlarang, terutama menargetkan kaum muda dan perempuan, termasuk di daerah pedesaan; (b) Memberlakukan sebuah undang-undang anti-tembakau yang melarang merokok dalam ruangan, di gedung-gedung publik dan di tempat kerja dan memberlakukan larangan menyeluruh atas iklan, promosi dan sponsor; (c) Mengarahkan UU 35/2009 tentang Narkotika sejalan dengan standar hak asasi manusia internasional; (d) Menerapkan pendekatan berbasis HAM untuk pemulihan kecanduan tembakau dan obat terlarang, dan menyediakan perawatan kesehatan yang layak, layanan dukungan psikologis budaya yang sensitif dan rehabilitasi kepada orang-orang tersebut, termasuk pengobatan ketergantungan obat yang efektif seperti terapi substitusi opioid. Komite juga mendorong Negara Pihak untuk meratifikasi Konvensi WHO tentang Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau. Pendidikan dasar, angka melek huruf dan angka putus di antara gadis-gadis Komite prihatin bahwa kurangnya layanan pendidikan atau buruknya kualitas pendidikan di beberapa daerah, termasuk kasus-kasus di mana guru tidak melaporkan tugasnya, yang menyebabkan tingginya angka buta huruf di negara pihak. Hal yang mengkhawatirkan juga bahwa tindakan yang diambil oleh Negara Pihak, seperti penyebaran guru yang kurang berkualitas di daerah terpencil, dan melanggengkan situasi diskriminatif. Selain itu, Komite prihatin dengan biaya tidak langsung ditanggung oleh orang tua dan pada tingkat drop-out yang lebih tinggi di antara perempuan (pasal 13). 35.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

36


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Komite mendesak Negara Pihak untuk memastikan kualitas dan budaya pendidikan yang memadai, terutama di daerah terpencil, termasuk dengan memastikan bahwa sumber daya yang diinvestasikan dan program-program seperti bantuan operasional sekolah mengarahkan pada penikmatan hak atas pendidikan secara efektif. Komite juga merekomendasikan agar Negara Pihak memastikan bahwa pendidikan dasar gratis dan mengambil langkah-langkah, termasuk peningkatan kesadaran, untuk mengatasi permasalahan putus sekolah dari sekolah di kalangan perempuan. Selain itu, Komite merekomendasikan bahwa Negara Pihak memperkenalkan, dalam konsultasi dengan masyarakat lokal, pendidikan dalam bahasa lokal jika perlu. Komite mendorong Negara Pihak untuk mengacu pada Komentar Umum Komite Nomor 11 (1999) tentang rencana aksi untuk pendidikan dasar. Pendidikan tinggi Sambil mencatat proses privatisasi pendidikan tinggi, Komite menyesalkan kurangnya informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap dapat diakses oleh semua (pasal 13). 36.

Komite merekomendasikan agar proses privatisasi pendidikan tinggi disertai dengan langkah-langkah untuk memastikan bahwa hal itu tetap menjamin kesamaan akses bagi semua, atas dasar kapasitas. Komite mendorong negara Negara Pihak mengacu pada Komentar Umumnya Nomor 13 (1999) tentang hak atas pendidikan. Masyarakat Hukum Adat Komite mengkhawatirkan tidak adanya kerangka perlindungan hukum yang efektif terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat karena inkonsistensi dalam ketentuan perundang-undangan yang relevan (pasal 15, 2.1). 37.

Mengacu pada pernyataan partai Negara Pihak bahwa telah membuat kebijakan tentang penggunaan prinsip-prinsip yang relevan yang terkandung dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, Komite mendesak Negara Pihak untuk mempercepat adopsi dari RUU hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan memastikan bahwa: (a) Mendefinisikan Masyarakat Hukum Adat dan menegaskan prinsip identifikasi diri, termasuk kemungkinan untuk mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat; (b) Menjamin secara efektif hak mutlak mereka untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan menggunakan tanah dan sumber daya adat; (c) Menetapkan mekanisme yang kuat untuk menjamin dan menghormati prinsip “Free, Prior and Informed Consent� masyarakat adat pada (pengambilan) keputusan yang mempengaruhi mereka dan sumber daya mereka, serta kompensasi yang memadai dan pemulihan efektif dalam kasus pelanggaran. Komite juga merekomendasikan bahwa Negara Pihak berjanji untuk menyelaraskan undang-undang yang ada sesuai dengan undang-undang baru tentang hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan meratifikasi Konvensi ILO tentang Penduduk Asli dan Masyarakat Adat, 1989 (No. 169). Komite prihatin dengan ketentuan yang baru-baru ini diadopsi melalui Undang-Undang Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta hukum lainnya yang berlaku di negara pihak yang bertentangan dengan 38.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

37


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Keputusan 35/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi tentang hak kepemilikan hutan adat oleh Masyarakat Hukum Adat. Ini merupakan suatu keprihatinan bahwa, di satu sisi Negara Pihak telah memberikan konsesi lahan hutan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit, sementara anggota Masyarakat Hukum Adat dilaporkan telah ditangkap atas dasar UU No 18/2013 (pasal 15, 1.2). Komite merekomendasikan bahwa sebagai prioritas untuk pelaksanaan Rencana Aksi Perjanjian Bersama Percepatan dalam Penentuan Hutan Daerah, pihak Negara (hendaknya): (a) Mengubah semua ketentuan legislatif yang tidak sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi 35/PUU-X/2012, termasuk yang terkandung dalam UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan mengambil langkah-langkah untuk meninjau keputusan-keputusan yang terkait dengan Masyarakat Hukum Adat yang berbasis pada mereka pula; (b) Mengidentifikasi dan menentukan batas tanah dan hutan adat, menyelesaikan sengketa atasnya, dalam konsultasi dengan perwakilan dari Masyarakat Hukum Adat dan lembaga HAM nasional; Bahasa Komite prihatin bahwa sejumlah bahasa di Negara Pihak terancam punah, terlepas dari kebijakan yang diambil oleh Badan Pengembangan Bahasa (pasal 15). 39.

Komite merekomendasikan agar Negara Pihak mengejar upaya yang ditujukan untuk pelestarian bahasa yang terancam punah, termasuk dengan mempromosikan penggunaan layanan tersebut dan dengan mendokumentasikan mereka. Dalam hal ini, Komite merekomendasikan bahwa Negara Pihak menginvestasikan sumber daya untuk pelaksanaan yang efektif PeraturanDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 81 A 2013 tentang Pelaksanaan Kurikulum masuknya pengajaran bahasa daerah dalam kurikulum sekolah dasar, terutama karena berkaitan dengan bahasa yang terancam punah.

D.

Other recommendations

Komite mendorong Negara Pihak untuk mempertimbangkan menandatangani dan meratifikasi Protokol Opsional Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 40.

Komite meminta Negara Pihak untuk menyebarkan pemeriksaan akhir ini secara luas pada semua tingkat masyarakat, khususnya di kalangan anggota parlemen, pejabat publik, kekuasaan kehakiman dan organisasi masyarakat sipil, dan untuk menginformasikan Komite dalam laporan berkala berikutnya pada langkahlangkah yang diambil untuk menerapkannya. 41.

Komite mendorong Negara Pihak untuk melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam kerjasama yang konstruktif dalam proses penyusunan dan penyampaian laporan berkala berikutnya. 42.

Komite meminta Negara Pihak untuk menyampaikan laporan periodik kedua sesuai dengan pedoman yang diadopsi oleh Komite pada tahun 2008 (E/C.12/2008/2), dengan 30 Mei 2019. 43.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

38


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN: KOVENAN DAN KOMITE HAK EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

39


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

PENDAHULUAN: KOVENAN DAN KOMITE HAK EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA

A. Pengantar

Pada tahun 2005, melalui UU No. 11 Tahun 2005, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, saalah satu instrumen hak asasi manusia yang penting pasca pembangunan rezim HAM internasional sejak pertengahan abad ke-20. Ratifikasi merupakan upaya mengikatkan diri pada suatu perjanjian intrnasional dan berkomitmen untuk melaksanakan perjanjian tersebut oleh Pemerintah. Negara yang telah meratifikasi disebut dengan Negara Pihak. Hal ini juga berarti bahwa Negara yang telah meratifikasi memiliki kewajiban internasionalnya untuk mematuhi dan menjalankan apa yang termaktub di dalam Kovenan, termasuk pula mengikuti prosedur evaluasi dan pemantauan yang dimandatkan oleh perjanjian tersebut. Salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemerintah setelah ratifikasi adalah melakukan review terhadap seluruh peraturan perundangundangan di tingkat nasional dan menyampaikan laporan permulaan kepada Komite satu tahun setelah ratifikasi. Atas laporan ini kemudian Komite akan melakukan pembahasan dan dialog bersama perwakilan pemerintah, serta menyampaikan rekomendas-rekomendasi lanjutan untuk dilaksanakan. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan pelaporan berkala selama periode 5 (lima) tahunan untuk meninjau sejauh mana rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan telah dilaksanakan oleh Pemerintah negara Pihak. Dengan pelbagai kendala, Pemerintah Indonesia baru menyampaikan laporan permulaannya pada tahun 2011, sekitar 6 tahun setelah ratifikasi. Sebelumnya, proses pelaporan ini sudah direncanakan sejak tahun 2008 yang pada waktu itu juga melibatkan sejumlah masyarakat sipil untuk terlibat dalam dialog-dialog. Dalam pada itu, masyarakat sipil juga telah menyiapkan laporan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

40


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

alternatif melalui jaringan advokasi masyarakat sipil untuk hak ekonomi, sosial dan budaya. Namun demikian, laporan pemerintah yang telah disusun pada tahun 2008 ini ditunda untuk disampaikan dengan pelbagai pertimbangan, sehingga pada tahun 2011 laporan ini harus disempurnakan kembali dengan situasi kontemporer agar dapat dikirimkan kepada Komite. Akhirnya, pada 2011, Pemerintah Indonesia menyampaikan laporannya dan diterima oleh Komite, yang selanjutnya dijadwalkan oleh Komite untuk sidang pra-sesi dan sidang eksaminasi. Dari proses yang telah berjalan ini pula, masyarakat sipil mempersiapkan diri untuk membuat laporan alternatif pelaksanaan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang bertujuan untuk memberikan informasi tambahan kepada Komite terkait dengan pelaksanaan Kovenan di dalam Negeri. Laporan alternatif ini terbuka bagi semua kalangan stakeholder, terutama masyarakat sipil dan Komisi Nasional HAM, paling lambat diterima oleh Komite pada tanggal 7 November 2013. HRWG, sebagai koalisi masyarakat sipil untuk advokasi HAM internasional, telah menginisasi pula pertemuan sejumlah organisasi masyarakat sipil untuk menyampaikan laporan alternatif. Laporan ini disusun secara bersama-sama berdasarkan pada bahan dan dokumen yang dimiliki oleh masing-masing organisasi dari pelbagai advokasi sehari-hari yang dilakukan. Laporan-laporan ini kemudian dikompilasikan dan disampaikan kepada Komite yang menjadi bahan bagi Komite untuk melakukan sidang pra-Sesi dan menghasilkan List of Issues atau daftar permasalahan. Tidak hanya sampai di situ, masyarakat sipil juga membuat laporan alternatif tahapan berikutnya, yaitu menyusun jawaban terhadap List of Issues yang dikeluarkan oleh Working Group Komite. List of issues ini merupakan daftar pertanyaan yang akan menjadi modalitas bagi Komite dalam melakukan dialog interaktif dengan pemerintah pada saat sidang eksaminasi. Sidang eksaminasi ini kemudian menghasilkan rekomendasi yang tercakup di dalam Concluding Observation. Dengan demikian, buku yang ada di tangan anda ini merupakan kumpulan dari laporan-laporan pemerintah, masyarakat sipil dan Komnaskomnas HAM di Indonesia tentang pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya,

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

41


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

termasuk pula daftar pertanyaan dan rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh Komite. Buku ini diharapkan mampu menjadi bahan bagi seluruh elemen masyarakat di Indonesia, baik dari kalangan organisasi masyarakat sipil, akademisi dan mahasiswa, bahkan aparat pemerintahan, untuk mengetahui lebih lanjut tentang situasi pelaksanaan Kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk pula rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh Komite Ekosob. Lebih dari itu, buku ini dapat menjadi pegangan bagi semua pihak untuk dapat melaksanakan atau memantau proses pelaksanaan rekomendasi Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia.

B. Gambaran Umum tentang Kovenan dan Komite Ekonomi,

Sosial dan Budaya

Hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) diakui secara penuh oleh intrumen-instrumen HAM internasional sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pengakuan ini menegaskan pula tentang indivisility dan interdenpendence konsep hak asasi manusia, karena keberadaan hak sipil dan politik tidak bisa dilepaskan dari jaminan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sebagaimana telah ditegaskan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah diadopsi dan dibuka untuk ratifikasi, tanda tangan, dan aksesi oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2200 A (XXI) pada 16 Desember 1966, setelah melalui debat panjang mencapai 20 tahun. Pada 12 April 1966, telah ada 133 Negara yang telah meratifikasi Kovenan ini dan dengan demikian secara sukarela mengikatkan diri dengan prinsip dan norma yang terkandung di dalamnya.2 Kovenan International Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengandung pengakuan sejumlah hak, di antaranya adalah: a. Hak menentukan hidup sendiri (Pasal 1); b. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Pasal 3); c. Hak bekerja dan situasi kerja yang layak (Pasal 6 dan 7); d. Hak membentuk dan ikut serta dalam serikat buruh (Pasal 8); e. Hak atas jaminan sosial (Pasal 9); f. Perlindungan keluarga, ibu dan anak (Pasal 19); 2

Factsheet No. 16 (rev. 1), tentang Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, h. 3

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

42


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

g. Standard hidup yang memadai, termasuk hak atas pangan yang cukup, pakaian dan perumahan (Pasal 11); h. Hak atas kesehatan yang baik dan layanan kesehatan (Pasal 12); i. Hak atas pendidikan (Pasal 13); j. Hak atas pendidikan dasar gratis (Pasal 14); k. Hak untuk terlibat dalam kehidupan budaya dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan (Pasal 15). Pasal 3 memberikan jaminan bahwa laki laki dan perempuan memiliki hak hukum yang sama atas hak sebagaimana dicantumkan dalam Kovenan, dan bahwa, apabila diperlukan, upaya-upaya khusus akan dilakukan oleh Negara Pihak untuk menjamin tercapainya kedudukan yang sama ini. Kovenan ini memberi kerangka kerja untuk menganjurkan langkahlangkah bertahap dan yang segera mungkin sehingga perempuan dapat menikmati hak yang sama yang seringkali tidak mereka dapatkan. Sebagai contoh, ketentuan tentang hak atas perumahan pada pasal 11 ayat 1 Kovenan, diberlakukan secara sama pada laki laki maupun perempuan sehingga dengan demikian, perempuan mempunyai hak yang sama atas pewarisan rumah, suatu yang tidak terjadi pada beberapa Negara. Dengan demikian, pasal 3 dan pasal 2 ayat 2 secara bersama-sama memberikan perlindungan hukum yang signifikan terhadap segala bentuk diskriminasi dalam mengejar hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pasal 4 dan 5 merupakan pasal tentang pembatasan terhadap hak ekosob, walaupun perancang Kovenan ini tidak bermaksud agar Negara dapat secara bebas menggunakan Pasal 4 dan 5 untuk melakukan pembatasan terhadap hak yang diberikan. Melainkan, ketentuan-ketentuan ini dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi hak individu. Pasal-pasal itu juga tidak dirancang untuk mengajukan pembatasan atas hak yang dapat mempengaruhi penghidupan atau kelangsungan hidup individu atau integritas seseorang. Bila suatu Negara Pihak merasa perlu untuk menggunakan ketentuan dari pasal ini, Negara itu hanya dapat melakukannya bilamana hal ini dilandasi hukum dan hanya bila langkah-langkah itu sejalan dengan Kovenan. Langkah-langkah itu tidak dapat diterapkan dengan sewenang-wenang, tanpa alasan yang layak ataupun dengan cara yang diskriminatif. Lagipula, individuindividu harus diberi jaminan hukum dan ganti rugi yang layak menghadapi

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

43


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

penerapan pembatasan yang melawan hukum ataupun yang melanggar hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pasal 6 Kovenan Ekosob menegaskan tentang hak atas pekerjaan. Pekerjaan yang dipilih secara bebas tetap menjadi bagian hakiki manusia, baik pekerja di sektor formal ataupun informal. Pekerjaan ini merupakan sumber utama pendapatan bagi penghidupan, kelangsungan hidup, dan kehidupannya. Hak untuk bekerja adalah hal yang sangat dasar bagi pemenuhan sejumlah hak penghidupan sekadarnya dan mata pencaharian, seperti makanan, pakaian, perumahan, dan lain-lain. Di samping itu status pekerjaan seseorang amat mempengaruhi pemenuhan hak lain yang berhubungan dengan kesehatan dan pendidikan. Hak untuk bekerja semakin penting saat Pemerintah-pemerintah di seluruh dunia semakin mengurangi kewajiban penyediaan pelayanan kebutuhan-kebutuhan dasar dengan menyerahkan semua itu pada kekuatan pasar dan pihak swasta. Hak atas pekerjaan sangat penting untuk memberi jaminan terhadap martabat dan harga diri para pemilik hak yang tercantum dalam Kovenan ini. Pasal 6 mewajibkan Negara-negara Pihak agar tidak lagi menganjurkan atau memperbolehkan kerja paksa. Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya telah meneliti pasal ini dari sudut penerapan kebijakan dan langkah yang ditujukan untuk menjamin pekerjaan kepada semua orang yang dapat bekerja. Karena itu, hak ini meliputi baik hak untuk mendapatkan pekerjaan maupun hak untuk tidak kehilangan pekerjaan secara tidak adil. Hal ini juga berarti bahwa walaupun pengangguran tetap terjadi di semua Negara Pihak, Negara-negara ini harus menerapkan prinsip-prinsip dasar yang disebutkan dalam pasal 2 untuk menjamin perwujudan sepenuhnya hak untuk bekerja. Pasal 7 Kovenan menegaskan tentang imbalan minimum bagi pekerja dan menetapkan upah yang memadai yang cukup untuk menjamin kehidupan yang layak, juga kondisi kerja yang adil dan menguntungkan. Untuk dapat disebut memadai, Kovenan menegaskan bahwa upah tersebut harus sama dan adil. Pasal ini berhubungan erat dengan sejumlah besar konvensi yang ditetapkan oleh ILO, termasuk Konvensi Penetapan Upah Minimum (No. 131, 1970) dan Konvensi Pemerataan Penghasilan (No. 100, 1951).

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

44


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Hak ini juga mencakup tentang prasyarat-prasyarat minimum kesehatan dan keamanan kerja dan Negara Pihak berkewajiban menetapkan kebijakan dan peraturan untuk tujuan tersebut. Suatu kebijakan nasional yang masuk akal dalam hal ini menjadi kewajiban semua Negara Pihak. Standar-standar yang terdapat dalam Pasal 7 juga berhubungan dengan tugas Negara Pihak untuk mengurangi jumlah jam kerja secara bertahap dan menjamin agar pekerja dapat menikmati waktu istirahat dan hari libur yang cukup. Untuk seluruh aspek dari pasal ini, Negara-negara Pihak menetapkan landasan atau standar minimum dan kondisi-kondisi kerja bagi setiap pekerja tidak boleh berada di bawah standar tersebut; Negara-negara juga harus melakukan langkah-langkah untuk menegakkan jaminan hak ini. Masih terkait dengan pekerjaan, Pasal 8 Kovenan menegaskan tentang hak pekerja untuk bergabung di serikat buruh. Hak ini berhubungan erat dengan hak atas kebebasan berserikat, yang diakui secara luas pada semua hukum internasional tentang HAM, termasuk pula untuk melakukan pemogokan. “Atas pilihan sendiri� yang ditegaskan dalam Pasal 8 memberikan hak kepada setiap pekerja untuk tidak dipaksa bergabung dengan suatu serikat pekerja tertentu. Hal ini mencakup pula hak untuk membentuk federasi atau konfederasi yang tidak berada di bawah kontrol Negara, hak untuk tawarmenawar secara kolektif, hak atas perlindungan terhadap pemecatan atau skorsing, dan hak untuk melakukan pemogokan. Negara-negara Pihak diperbolehkan melakukan beberapa langkah kebijaksanaan berkenaan dengan penerapan Pasal 8, dengan bukti bahwa pembatasan dilakukan hanya untuk kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum serta hak dan kebebasan orang lain. Namun demikian, alasan-alasan ini harus diartikan secara sempit oleh Negara-negara Pihak yang berupaya untuk melakukannya, sehingga ketentuan tersebut tidak digunakan untuk membatasi hak-hak buruh berserikat atau beroganisasi. Pasal 9 menegaskan tentang hak atas jaminan sosial. Sebagaimana diketahui bahwa sejumlah besar Negara tidak menetapkan ketentuan yang memadai mengenai jaminan sosial atau asuransi sosial dalam hukum dalam negerinya untuk memberi perlindungan pada orang-orang dalam keadaan tertentu seperti lanjut usia, cacat tubuh, sakit, atau keadaan lain yang tidak memungkinkan mereka mencari nafkah yang layak. Pada saat yang sama,

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

45


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

beberapa Negara yang telah memberikan perlindungan tersebut mulai mengalihkan tanggung jawab Negara atas hal ini kepada pihak swasta. Masalah-masalah ini menjadi perhatian serius sehubungan dengan penikmatan atas hak yang terdapat dalam Kovenan. Hak jaminan sosial ini mencakup beberapa elemen, di antaranya: perawatan medis, tunjangan untuk orang sakit, tunjangan bagi ibu hamil, tunjangan bagi orang lanjut usia, tunjangan bagi penderita cacat, tunjangan untuk para korban, tunjangan kecelakaan kerja, tunjangan bagi penganggur, dan tunjangan bagi keluarga. Pasal 10 Kovenan memberikan perlindungan kepada keluarga, ibu dan anak-anak. Hal ini mencakup hak untuk secara bebas melangsungkan pernikahan, dengan menegaskan pentingnya persetujuan yang bebas dari masing-masing pasangan, terutama perempuan. Pasal ini juga mencakup perlindungan para ibu untuk mendapatkan perlindungan yang dibutuhkan sebelum dan setelah melahirkan. Pasal 11 mencakup secara luas masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan dan penghidupan penduduk Negara Pihak, terutama makanan, pakaian, dan perumahan. Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya memberikan pehatian besar terhadap pasal ini, terutama karena hal ini berhubungan dengan hak asasi manusia atas perumahan yang layak. Saat ini hak atas perumahan yang layak merupakan satu- satunya hak dalam Kovenan yang telah mendapat perhatian yang sangat besar sebagaimana ditegaskan di dalam Komentar Umum Komite Ekosob No. 4 tahun 1991. Pasal 12 menegaskan pentingnya pengakuan hak atas kesehatan. Pengakuan atas hak untuk kesehatan jelas tidak berarti bahwa pemilik hak ini berhak untuk sehat, akan tetapi Kovenan menekankan kewajiban Negaranegara Pihak untuk menjamin agar warga negaranya memperoleh “standar tertinggi kesehatan�. Dengan demikian, pasal 12 Kovenan Ekosob memberi penekanan pada pemerataan kesempatan untuk mendapat pengobatan dan jaminan minimum untuk pengobatan pada saat sakit, termasuk pula kelompok disabilitas dan penyandang HIV/AIDS. Pasal 13 dan 14 menegaskan tentang hak atas pendidikan yang harus diarahkan pada pengembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, serta harus memperkuat penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Di samping itu, pendidikan harus pula

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

46


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, memajukan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa dan semua kelompok-kelompok ras, sukubangsa atau agama; dan memelihara perdamaian. Hak ini juga mencakup tentang keharusan negara untuk menyediakan layanan pendidikan dasar gratis, pendidikan lanjutan dengan pelbagai bentuknya, dan perguruan tinggi yang tersedia bagi semua orang. Pasal 13 dan 14 mengakui bahwa pendidikan merupakan prasyarat dasar untuk pemenuhan dan penegasan hak asasi manusia dan bahwa pendidikan memperkuat hak asasi manusia dan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Kedua pasal ini menjamin bahwa semua anak mempunyai hak atas pendidikan dasar wajib yang cuma-cuma, di manapun mereka berada. Pasal-pasal tersebut juga mengandung hak atas kesempatan yang sama atas pendidikan dan penikmatan yang sama atas fasilitas pendidikan; kebebasan untuk memiliki pendidikan dan mendirikan lembaga pendidikan; perlindungan bagi murid-murid dari tindakantindakan pendisiplinan yang tidak manusiawi; dan kebebasan akademis. Pasal 15 menegaskan tentang hak untuk menikmati kebudayaan, untuk turut serta dalam kehidupan budaya dan mendapat manfaat dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Walaupun tampaknya hal-hal ini bukan merupakan persoalan hak asasi manusia, tetapi hal-hal ini merupakan landasan penting bagi prinsip-prinsip mengenai perlakuan yang sama, kebebasan berekspresi, hak untuk menerima dan memberi informasi, serta hak atas perkembangan kepribadian manusia seutuhnya. Menurut Komite, simbol budaya tertentu seringkali diserang atau dicemooh oleh Negara-negara dengan maksud untuk memberi dukungan kepada suatu bangsa, ras, atau kelompok tradisional terhadap yang lain, yang merupakan salah satu contoh betapa pentingnya hak tersebut. Dalam pada itu, Pasal ini memberikan arti luas pada kalimat “budaya� yang menjamin adanya pengakuan dari setiap budaya dan tradisi yang ada. Hak untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam Pasal ini dirancang untuk menjamin bahwa semua orang di dalam masyarakat dapat menikmati kemajuan dalam hal ini, terutama bagi kelompok yang tidak beruntung. Ini mencakup hak semua orang untuk mencari dan menerima informasi mengenai semua manfaat yang dihasilkan oleh

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

47


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

penemuan baru dalam ilmu pengetahuan, dan untuk mendapatkan akses atas perkembangannya yang dapat menambah penikmatan mereka atas hak yang terdapat dalam Kovenan. Terkait dengan pasal-pasal yang ada di dalam Kovenan, Komite Ekosob juga menyampaikan General Comment atau Komentar Umum terkait dengan penjelasan pasal-pasal atau isu-isu yang ada di dalam Kovenan. Penjelasan ini bertujuan sebagai tafsir otoritatif terhadap Kovenan, sekaligus pula memberikan kemudahan bagi Negara atau pihak-pihak untuk memahami isi Kovenan dan menyampaikan laporan berkalanya.3

C. Komite dan Pemantauan Pelaksanaan Kovenan: Sekilas

Pengalaman Masyarakat Sipil Indonesia

1. Pembentukan dan Komposisi Komite Pelaksanaan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya memiliki daya dorongnya ketika Komite Hak Ekosob telah terbentuk pada tahun 1985, karena Komite diberikan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan Kovenan di Negara Pihak yang telah meratifikasi dan menyampaikan hasil pengawasan atau studinya tersebut kepada Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Atas hasil pengawasan atau studinya terhadap laporan Negara, Komite juga dapat menyampaikan rekomendasi atau masukan kepada Negara Pihak. Pembentukan Komite ini didasarkan pada kekecewaan atas keberadaan komite sebelumnya yang merupakan badan kerja terdiri dari wakil-wakil Negara, sehingga tugas untuk menilai pelaksanaan Kovenan seringkali berada pada situasi yang politis, di samping kurangnya keahlian pada anggotanya terhadap hak ekosob itu sendiri. Dengan alasan ini, Komite independen yang diisi oleh para ahli yang memiliki kemampuan dan kapasitas memadai di bidang HAM, dan bertindak atas nama pribadi, merupakan solusi bagi badan pemantau yang baru. Komite ini bertindak membantu Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dalam pengawasan pelaksanaan Kovenan.4 Sebelum Komite terbentuk, pengawasan dan mekanisme pelaporan Kovenan berada di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, sebagaimana 3

4

Penjelasan tentang pasal-pasal di atas disadur dari Factsheet OHCHR No. 16 (rev. I) tentang Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Lihat, Phillip Alston, “Out of the Abyss: The Challenges Confronting the New U.N. Committee on Economic, Social and Cultural Rights�, dalam Human Rights Quarterly, Vol. 9, No. 3, (Agustus, 1978), h. 332.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

48


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

termaktud di dalam Pasal 16 – 22 Kovenan Ekosob. Dalam hal upaya-upaya yang telah dilakukan dan kemajuan yang telah dicapai Negara Pihak dituntut untuk melaporkan situasi pelaksanaan Kovenan tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB, yang kemudian disampaikan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial. Dari sini, Komisi HAM PBB yang berada di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial akan menerima salinannya dari Dewan untuk kemudian menyusun rekomendasi umum (lihat skema pengawasan Kovenan Ekosob ini dalam Bahan 4.1 di bawah). Berangkat dari birokratis dan politisnya mekanisme pengawasan Kovenan. Namun demikian, upaya pembentukan ini tidak luput dari sejumlah faktor, yaitu pertama bahwa keberadaan Kovenan Ekosob sendiri mengalami banyak perdebatan di masa-masa awal pengadopsiannya, terutama tantangan dari Amerika Serikat dan Negara-negara Barat, sehingga berbeda dengan Kovenan Sipil dan Politik, adopsi Kovenan Ekosob pada tahun 1966 tidak memberikan ruang bagi munculnya sebuah badan independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan Kovenan. Kedua, pembentukan Komite Ekosob berangkat dari diskusi dan dialog terbuka yang cukup lama di antara Negaranegara Pihak Kovenan dan terakhir Komite ini terbentuk sebagai dorongan untuk membentuk sebuah mekanisme pengawasan pelaksanaan Kovenan yang lebih efektif dan bermakna bagi penegakan HAM secara utuh mengingat mekanisme sebelumnya telah gagal mencapai tujuan tersebut.5 Komite Ekosob terdiri dari 18 Anggota, berasal dari para ahli yang diakui kompetensinya di bidang HAM, bertindak secara independen dan atas nama pribadi, serta bukan sebagai utusan Pemerintah, walaupun para ahli hanya dapat dinominasikan dari Negara-negara yang telah meratifikasi. Komite memilih sendiri struktur di dalamnya, yang terdiri dari satu orang ketua dan tiga orang wakil ketua, dan satu orang pelapor (rapporteur) Komite. Komite bersidang 2 kali dalam setahun, biasanya pada bulan Mei dan November/Desember, dua sampai tiga minggu dalam kali sesi, semuanya di kantor PBB di Jenewa. Sebagaimana di atas, Komite merupakan badan pelengkap dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dan mendapatkan otoritas dari Dewan. Komite berfungsi untuk memantau pelaksanaan Kovenan oleh Negara Pihak yang telah meratifikasi Kovenan Ekosob. Komite juga bertugas untuk 5

Phillip Alston, “Out of the Abyss�, h. 335.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

49


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

membuat dialog konstruktif dengan Negara Pihak dan mendorong pelaksanaan Kovenan di Negara Pihak melalui pelbagai macam sarana dan cara, serta bagaimana Kovenan itu dapat dilaksanakan atau dijalankan untuk meningkatkan penikmatan hak-hak yang tercantum di dalam Kovenan secara utuh. 6 2. Mekanisme Pelaporan Negara Berdasarkan pada Pasal 16 dan 17 Kovenan, Negara Pihak yang telah meratifikasi memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan periodik kepada Komite dalam masa dua tahun setelah Kovenan Ekosob diterapkan di suatu negara. Untuk membantu Negara dalam pelaporan ini, Komite telah mengeluarkan panduan tersendiri, terutama pada penyediaan data dan dokumen yang penting untuk dikemukakan untuk menggambarkan pelaksanaan Kovenan oleh Negara. Walaupun terlihat sulit, pelaporan ini merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan oleh Negara, karena di dalamnya menggambarkan efektifitas Kovenan di Negara Pihak, serta mencakup sejumlah fungsi-fungsi lainnya, di antaranya sebagai review, pemantauan, formulasi kebijakan, pengawasan publik, evaluasi, pengungkapan masalah dan pertukaran informasi. Secara lebih spesifik, tujuan dari pelaporan di bawah mekanisme Komite Ekosob ini dijelaskan oleh Komite di dalam Komentar Umum No. 1 (1989), yaitu untuk: 1) Memastikan Negara pihak melakukan review secara komprehensif terhadap legislasi nasional, peraturan dan prosedur administratif, serta praktik-praktik untuk memastikan pelaksanaan hak yang sesuai dengan Kovenan; 2) Memastikan Negara pihak melakukan pemantauan secara regular terhadap situasi faktual dengan menjelaskan hak-hak dalam Kovenan satu persatu serta menilai sejauh mana hak-hak tersebut dapat dinikmati oleh seluruh individu di negara tersebut; 3) Menyediakan landasan elaboratif bagi pemerintah tentang kebijakan yang jelas dan hati-hati dalam melaksanakan Kovenan. 4) Memfasilitasi pengawasan publik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang menghormati pelaksanaan Kovenan, dan mendorong 6

Factsheet, No. 16 (Rev. 1), h. 15

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

50


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

keterlibatan masyarakat dari pelbagai sektor dalam formulasi, implementasi dan peninjauan kebijakan-kebijakan yang relevan. 5) Menyediakan evaluasi kemajuan secara mendasar yang efektif bagi Negara dan Komite terhadap realisasi kewajiban-kewajiban Negara di dalam Kovenan. 6) Memungkinkan Negara pihak untuk membangun pemahaman yang lebih baik terhadap masalah dan rintangan ke depan dalam relalisasi hak ekonomi, sosial dan budaya. 7) Memfasilitasi negara dalam pertukaran informasi di antara Negara pihak dan membantu mereka untuk membangun solusi yang memungkinkan atas permasalahan bersama dalam realisasi hak-hak di dalam Kovenan. 3. Mekanisme Laporan Pra-Sesi dan Sidang Eksaminasi Ketika Negara pihak telah menyampaikan laporannya, Komite menerima dan kemudian menyikapi Laporan tersebut sebagaimana standard prosedur yang telah adopsi. Ketika menerima, Sekretariat Komite langsung memproses dan menerjemahkannya, dan selanjutnya laporan ini diperiksa dahulu oleh lima orang anggota Komite dalam suatu kelompok kerja (Working Group) dalam sidang pra-sesi, enam bulan sebelum laporan tersebut dibahas dan ditinjau oleh seluruh Anggota Komite dalam sidang utama atau sidang eksaminasi. Sidang pra-sesin berlangsung sekitar 5 hari, sebelum sidang eksaminasi dilakukan oleh Komite. Kelompok kerja pra-sesi ini ini kemudian memberikan pertimbangan awal terhadap laporan negara, menunjuk seorang anggota untuk mempertimbangkan hal-hal penting dari setiap laporan, serta menyusun daftar pertanyaan (list of questions) yang didasarkan pada diparitas antara apa yang ditemukan di dalam laporan Negara dengan laporan-laporan alternatif lain yang diterima oleh Komite, seperti dari badan-badan PBB, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di suatu negara, serta laporan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil. Daftar pertanyaan atau juga lebih dikenal dengan list of issues (LoI) tersebut kemudian dikeluarkan melalui keputusan resmi Komite yang dikirimkan kepada Negara pihak untuk dimintakan tanggapan dan jawabannya secara tertulis. Sebelum sidang eksaminasi dilaksanakan (yaitu sekitar 6 bulan setelah sidang working group pra-sesi) Negara pihak harus telah menyampaikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh komite di

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

51


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

dalam list of issues. Setelah Negara menyampaikan tanggapan atau jawaban tertulisnya terhadap pertanyaan-pertanyaan Komite di dalam list of issues, Negara pihak kemudian diundang oleh Komite dalam sesi sidang eksaminasi. Sidang eksaminasi ini adalah sidang yang akan membahas situasi hak ekonomi, sosial dan budaya di Negara Pihak, di Indonesia misalnya, berdasarkan pada laporanlaporan yang diterima oleh Komite, melalui forum dialog dengan delegasi pemerintah Negara pihak. Untuk itu, delegasi pemerintah dari Negara pihak sangat dianjukan untuk hadir dalam sesi tersebut, karena Komite akan dapat berdiskusi secara langsung dengan para pemangku kewajiban, selain juga menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menyampaikan klarifikasi atau penjelasan lebih lanjut terkait dengan pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya secara langsung. Sidang ini biasanya berlangsung selama dua hari dan dihadiri oleh delegasi pemerintah Negara pihak. Pertama kali, delegasi pemerintah akan menyampaikan statemen pendahuluan kepada forum sidang yang dipimpin oleh Ketua Komite dengan menjelaskan jawaban-jawaban pemerintah Negara pihak terhadap list of issues. Ketua Komite kemudian memberikan kesempatan kepada anggota Komite yang lain untuk menyampaikan pertanyaan atau pandangannya terhadap pernyataan negara pihak tersebut. Dalam hal ini, Ketua Komite akan memberikan kesempatan kepada beberapa orang anggota dan mencatat pertanyaan-pertanyaan tersebut terlebih dahulu untuk kemudian dijawab oleh delegasi pemerintah negara pihak. Setelah pertanyaan dikumpulkan, Komite kembali memberikan kesempatan kepada delegasi pemerintah Negara pihak untuk menyampaikan jawabannya. Biasanya, jawaban ini disampaikan oleh delegasi setelah terlebih dahulu melakukan diskusi singkat antardelegasi dan ketua delegasi akan memberikan kesempatan kepada pejabat terkait untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara khusus. Bila pertanyaan tersebut kurang memadai, anggota Komite juga diberikan kesempatan oleh Ketua Komite menyampaikan tanggapan lanjutan (feedback).7 Sidang eksaminasi perintah Indonesia pada 30 April – 1 Mei 2014 yang lalu secara garis besar mirip dengan apa yang dijelaskan di atas. Pertama kali, sidang yang dipimpin oleh Ketua Komite, membuka sidang secara resmi dan 7

Factsheet No. 16 (Rev. 1), h. 16

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

52


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

menyampaikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia yang bersedia hadir dalam sesi dialog tersebut, bahkan dengan delegasi yang cukup besar, dengan ketua delegasi, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, Direktur Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM, yang didamping oleh Muhammad Anshor, Direktur HAM dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri, dan Duta Besar Indonesia untuk kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa.8 Setelah pengantar dari Komite, ketua delegasi Pemerintah Indonesia kemudian menyampaikan pernyataan yang beriktikad baik untuk mengikuti proses dialog ini dengan memberikan informasi-informasi terkait pelaksanaan Kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya kepada Komite.9 Selain itu, dalam sidang Indonesia yang lalu, Komite membahas situasi hak ekosob di Indonesia berdasarkan klaster pasal yang terdapat dalam Kovenan. Komite membagi pasal-pasal Kovenan menjadi empat klaster, dengan menyelesaikan satu per satu sampai akhir sesi. Sidang ini dimulai pada tanggal 30 April 2014 pukul 15.00 sampai pukul 18.00. Pada hari kedua, Komite memulai sidang pada pukul 09.00 dan ditutup pada pukul 17.00, dengan melanjutkan agenda sidang pada hari pertama. Selama sesi sidang dua hari tersebut, terdapat seorang anggota Komite yang bertindak sebagai Country Rapporteur (pelapor negara) yang bertugas untuk mengawasi dan mencatat setiap perdebatan untuk kemudian dituangkan di dalam Concluding Observation. 10 4. Concluding Observation dan Keputusan Komite Setelah melakukan review terhadap laporan dan dialog terbuka dengan Negara pihak, dengan bantuan dari pelapor Negara, Komite kemudian menyimpulkan hasil pembahasan dan menyampaikannya kepada Negara pihak melalui Concluding Observation (pandangan umum) di akhir masa sesi Sidang Komite. Pandangan umum ini terdiri dari lima bagian, yaitu: 1) pembukaan; 2) aspek positif; 3) faktor dan kesulitan yang dihadapi oleh Negara dalam penerapan Kovenan; 4) perhatian terhadap masalah yang prinsipal, dan; 5) saran dan rekomendasi kepada Negara pihak. Sebagian besar dari Concluding Observation ini memang menekankan pada pelanggaran Kovenan yang terjadi di Negara pihak dan berulang kali pula mendesak negara untuk mengambil 8

9 10

Beberapa dokumen ini juga terlampir dalam buku ini. Lihat statement delegasi Pemerintah Indonesia dalam Sidang Komite Ekosob dalam Lampiran. Rangkaian kegiatan masyarakat sipil Indonesia selama sesi sidang di Jenewa dapat dilihat dalam bab berikutnya buku ini.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

53


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

tindakan agar pelanggaran tersebut dapat dihentikan atau menghentikan tindakan bila pelanggaran itu dilakukan oleh petugas negara. Sebagaimana diketahui, keputusan dari Komite-komite PBB di bawah mekanisme Treaty Bodies, termasuk Komite Ekosob, tidaklah sebagai sebuah keputusan hukum yang mengikat secara penuh sebagaimana keputusan pengadilan nasional atau internasional. Ia hanya sebatas rekomendasi yang memiliki daya tekan, dengan kekuatan mengikat yang berasal dari badan-badan independen, kredibel dan para anggota yang dapat dipercaya. Namun demikian, jika Negara mengabaikan rekomendasi-rekomendasi yang telah disampaikan oleh Komite dalam sidang eksaminasi, maka Negara tersebut akan dianggap beriktikad buruk dalam penerapan kewajibannya terhadap Kovenan. Untuk itu, Concluding Observation seringkali menjadi sarana ampuh untuk melakukan perubahan kebijakan, hukum dan tindakan negara terhadap pemenuhan dan perlindungan HAM di Negara mereka masing-masing.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

54


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

BAB I RATIFIKASI DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH TERHADAP PELAKSANAAN KOVENAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

55


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

RATIFIKASI DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH TERHADAP PELAKSANAAN KOVENAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

A. Ratifikasi dan Mekanisme Pelaporan Negara

Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005 Indonesia mewajibkan pelaksanaannya di tingkat nasional. Implementasi Konvensi menjadi salah satu tolak ukur apakah ratifikasi berdampak positif dalam pemenuhan hak atau tidak, karena ratifikasi hanya tahap awal dari rangkaian perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang lebih luas. 11 Guna melihat pelaksanaan Konvensi hak ekonomi, sosial dan budaya (selanjutnya Ekosob) di Indonesia, pembahasan singkat ini akan menguraikan tentang proses laporan pemerintah tentang implementasi Konvensi Ekosob, materi laporan, keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pelaporan, serta respon Komite Ekosob melalui list of issues. Di bawah hukum hak asasi manusia (HAM) internasional, sebuah negara yang telah meratifikasi suatu Konvensi memiliki kewajiban melaporkan pelaksanaan Konvensi tersebut kepada Komite yang bertugas untuk mengevaluasi pelaksanaan. Selain itu juga kewajiban-kewajiban lain yang secara otomatis muncul pascaratifikasi, yakni pemajuan (promote), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) di tingkat nasional, sebagai Negara Pihak (state party) yang telah meratifikasi sebuah Konvensi. Dalam konteks hak Ekosob, Pasal 2 (2) Konvensi menyebutkan bahwa setiap Negara Pihak Kovenan berjanji mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui kerjasama internasional, untuk mencapai secara 11

Pengantar ini dikutip dari Muhammad Hafiz, “Pelaksanaan Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia: Evaluasi Laporan Pertama Indonesia Pasca Ratifikasi oleh Komite PBB� dalam Buletin Asasi, edisi November – Desember 2013.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

56


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

bertahap perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan. Komentar Umum Komite Ekosob No. 3 menegaskan bahwa, meskipun realisasi hak-hak dalam Konvensi dicapai secara bertahap dan adanya keterbatasan sumber daya, “Langkah-langkah menuju pemenuhan itu harus dilakukan dalam waktu yang sesegera mungkin setelah pemberlakuan Kovenan oleh Negara yang berkaitan”. Lebih lanjut, “Langkah-langkah itu harus dilaksanakan secara seksama, konkret dan ditujukan secara jelas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Kovenan”.12 Kewajiban lain yang harus dilakukan Negara adalah menyampaikan laporan tentang upaya-upaya yang telah dilakukan dan kemajuan yang telah dicapai. 13 Komentar Umum Komite Ekosob No. 1 menegaskan pula bahwa mekanisme ini merupakan upaya membantu Negara dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan Konvensi. Lebih dari itu, pelaporan bukan sekadar mekanisme prosedural yang dirancang hanya memuaskan kewajiban formal Negara. Namun sebaliknya, proses persiapan dan pelaporan diharapkan mampu membantu pencapaian pelbagai sasaran.14 Secara spesifik, tujuan pelaporan di bawah mekanisme Komite Ekosob ini dijelaskan oleh Komite di dalam Komentar Umum No. 1 (1989), yaitu: 1) Memastikan Negara pihak melakukan review secara komprehensif terhadap legislasi nasional, peraturan dan prosedur administratif, serta praktik-praktik untuk memastikan pelaksanaan hak yang sesuai dengan Kovenan; 2) Memastikan Negara Pihak melakukan pemantauan secara regular terhadap situasi faktual dengan menjelaskan hak-hak dalam Kovenan satu persatu serta menilai sejauh mana hak-hak tersebut dapat dinikmati oleh seluruh individu di negara tersebut; 3) Menyediakan landasan elaboratif bagi pemerintah tentang kebijakan yang jelas serta hati-hati dalam melaksanakan Kovenan. 4) Memfasilitasi pengawasan publik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang menghormati pelaksanaan Kovenan dan mendorong 12

Paragraf 1 dan 3 Komentar Umum Komite Ekosob Nomor 3, dalam “Committee on Economic, Social and Cultural Rights: Report of the Fifth Session (26 November – 14 December 1990)”, Official Record 1991: Supplement No. 3, (New York: United Nations, 1991), h. 83. 13 Kewajiban ini ditegaskan dalam Bagian IV Pasal 16 Konvensi Ekosob 14 Paragraf 1 Komentar Umum No. 1 Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya, dalam “Committee on Economic, Social and Cultural Rights: Report on the Third Session (6 – 24 February 1989)”, Official Record 1989: Supplement No. 4, (New York: United Nations, 1989), h. 87.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

57


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

keterlibatan masyarakat dari pelbagai sektor dalam formulasi, implementasi dan peninjauan kebijakan-kebijakan yang relevan. 5) Menyediakan evaluasi kemajuan secara mendasar yang efektif bagi Negara dan Komite terhadap realisasi kewajiban-kewajiban Negara di dalam Kovenan. 6) Memungkinkan Negara pihak untuk membangun pemahaman yang lebih baik terhadap masalah dan rintangan ke depan dalam relalisasi hak ekonomi, sosial dan budaya. 7) Memfasilitasi negara dalam pertukaran informasi di antara Negara Pihak dan membantu pembangunan solusi yang memungkinkan atas permasalahan bersama dalam realisasi hak-hak di dalam Kovenan. 15

B. Kewajiban Negara terhadap Hak Ekosob

Pasal 2 Kovenan Ekosob menegaskan tentang kewajiban Negara terhadap pelaksanaan dan pemenuhan hak ekosob. Secara substantif Pasal 2 tidak mengatur sama sekali ketentuan hak. Pasal ini menjadi titik berangkat peninjauan sejauh mana kewajiban dan tanggung jawab negara untuk melaksanakan hak-hak yang terdapat di dalam Kovenan, termasuk pendekatan dan cara yang harus digunakan dalam penerapan. Pasal 2 Kovenan Ekosob menegaskan: 1. Setiap Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkahlangkah, baik sendiri maupun melalui bantuan dan kerja sama internasional, terutama bantuan teknik dan ekonomi, sampai maksimum sumber daya yang ada. Tujuannya mencapai secara bertahap perwujudan sepenuhnya hak yang diakui dalam Kovenan ini dengan menggunakan semua sarana yang memadai, termasuk melakukan langkah-langkah legislatif. 2. Negara Pihak Kovenan ini berusaha menjamin agar hak yang tercantum dalam Kovenan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, keturunan, atau status lain. 3. Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan hak asasi dan ekonomi nasional masing-masing, dapat menentukan seberapa jauh mereka akan menjamin hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada warga negara asing.16 Pasal 2 Kovenan Ekosob terdiri dari beberapa elemen, yaitu: 15

16

Paragraf 2 – 9 Komentar Umum Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya No. 1. Pasal 2 ayat (1) sampai (3) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

58


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

a. Berjanji mengambil langkah-langkah melalui segala cara yang layak, termasuk melalui kebijakan atau legislasi; Ketentuan pasal 2 ayat 1 ini menghendaki semua Negara Pihak memulai dengan secepatnya mengambil langkah-langkah agar semua orang dapat menikmati sepenuhnya seluruh hak yang terdapat dalam Kovenan. Pengambilan langkah legislatif pada umumnya tidak dapat dihindari jika hak ekonomi, sosial, dan budaya akan dilaksanakan dengan sebenarnya. Akan tetapi, undang-undang saja bukan respon yang cukup di tingkat nasional. Upaya-upaya administratif, hukum, kebijakan, ekonomi, sosial, dan pendidikan serta beberapa langkah lain dibutuhkan pemerintah dalam rangka menjamin seluruh perwujudan hak ini bagi semua orang. Berdasarkan pasal 2 ayat 1, secara hukum tiap-tiap Negara Pihak wajib membuat peraturan bila dibutuhkan, terutama bila hukum yang berlaku jelas-jelas tidak sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam Kovenan. Kasus ini terjadi, misalnya, ketika hukum yang berlaku di suatu Negara mengakui adanya diskriminasi atau mempunyai akibat yang langsung mencegah penikmatan hak yang ada dalam Kovenan atau jika peraturan perundang-undangan membiarkan pelanggaran atas hak, terutama dalam tugas-tugas negatif Negara. Hukum yang mengizinkan pemerintah memindahkan dengan paksa seseorang dari tempat tinggalnya, mengusir tanpa melalui proses hukum yang wajar, harus diubah agar peraturan dalam negeri sejalan dengan Kovenan. b. Dengan tujuan untuk mencapai realisasi hak secara penuh secara progresif; Komponen “kewajiban bertahap” Kovenan seringkali disalahartikan bahwa setelah suatu Negara mencapai tingkat perkembangan ekonomi tertentu. Pada saat itulah hak berdasarkan Kovenan telah terwujud. Bukan ini yang menjadi maksud dari kalimat tersebut, melainkan tugas tersebut mewajibkan semua Negara Pihak – terlepas dari tingkat kekayaan nasionalnya – agar dengan segera dan sedini mungkin bergerak untuk mewujudkan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ketentuan ini tidak diartikan sebagai memperbolehkan Negara untuk menunda usahanya tanpa batas waktu tertentu untuk menjamin perwujudan hak yang digariskan dalam Kovenan. Sejumlah hak tertentu, karena sifatnya, mungkin lebih tepat untuk diterapkan dalam artian aturan “kewajiban bertahap”. Namun, beberapa

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

59


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

kewajiban berdasarkan Kovenan, secara jelas perlu segera diterapkan. Hal ini berlaku, khususnya, pada ketentuan yang tidak diskriminatif dan pada kewajiban tiap-tiap Negara Pihak agar menahan diri dari perbuatan yang secara aktif melanggar hak ekonomi, sosial, dan budaya, atau mencabut perlindungan hukum dan perlindungan lainnya yang berhubungan dengan hak tersebut. Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menyebutkan bahwa tugas ini terlepas dari peningkatan ketersediaan sumber daya. Karena itu, Komite mengakui bahwa seluruh sumber daya yang ada harus digunakan dengan cara yang paling efektif bagi perwujudan hak, seperti yang tercantum dalam Kovenan. c. Secara maksimum sesuai dengan sumber daya yang dimiliki; Seperti ketentuan “perwujudan bertahap�, standar ini digunakan untuk membenarkan tidak dinikmatinya hak. Akan tetapi, seperti diakui dalam Prinsip Limburg tentang Penerapan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, persyaratan ini mewajibkan tiap-tiap Negara Pihak untuk memastikan hak penghidupan yang minimal bagi semua orang, terlepas dari tingkat pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Kalimat “sumber daya yang tersedia� berlaku baik pada sumber daya dalam negeri maupun pada setiap bantuan ekonomi atau bantuan teknik internasional, atau kerja sama yang tersedia bagi suatu Negara Pihak. Dalam pemanfaatan sumber daya yang tersedia, prioritas harus diberikan bagi perwujudan hak yang diakui dalam Kovenan, dengan mempertimbangkan perlunya menjamin persyaratan penghidupan yang memuaskan bagi semua orang. Demikian pula berkenaan dengan ketentuan tentang pelayanan-pelayanan pokok. d. Tanpa diskriminasi; Pasal 2 ayat 2 menghendaki tiap-tiap Negara Pihak menjamin adanya ketentuan tentang pemeriksaan pengadilan dan prosedur lainnya apabila terjadi diskriminasi. Satu hal penting, dasar-dasar diskriminasi yang disebutkan dalam ketentuan ini belum menyeluruh, sehingga beberapa bentuk diskriminasi lain yang berpengaruh negatif terhadap penikmatan hak yang tercantum dalam Kovenan (sebagai contoh, berdasarkan jenis kelamin) harus dicegah.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

60


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Berdasarkan Prinsip Limburg, upaya khusus yang diambil dengan maksud untuk memberikan pengamanan yang memadai bagi kelompok dan individu tertentu yang membutuhkan perlindungan dalam rangka menjamin persamaan penikmatan hak ekonomi, sosial, dan budaya, tidak merupakan diskriminasi. Asalkan, upaya-upaya tersebut tidak mengarah pada dipertahankannya hak yang tersendiri bagi kelompok yang berbeda, dan upaya-upaya ini tidak dilanjutkan setelah tujuan yang diinginkan tercapai. Hal ini berlaku, misalnya, pada program aksi-afirmatif (affirmative action). Ketentuan ini tidak hanya mewajibkan pemerintah untuk menghentikan perilaku yang diskriminatif serta mengubah hukum dan praktik pembiaran diskriminasi. Akan tetapi, juga berlaku atas kewajiban tiap-tiap Negara Pihak untuk melarang baik perorangan maupun badanbadan (pihak ketiga) melakukan praktik diskriminasi dalam segala bidang kehidupan masyarakat. 17 Di samping itu, ada kewajiban lain yang melekat pada Kovenan Ekosob – dan pada dasarnya pada seluruh Konvensi HAM internasional, yaitu: a. Kewajiban untuk menghormati; b. Kewajiban untuk melindungi; c. Kewajiban untuk memenuhi. Dalam hal ini hanya akan dijelaskan tiga kewajiban dasar hak asasi manusia yang disebutkan pada tiga huruf terakhir di atas, yaitu kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi. Ketiga bentuk kewajiban ini menjadi bagian dalam skema kewajiban Negara dalam kerangka hak ekosob. Kewajiban untuk “menghormati� mengharuskan negara tidak melakukan, mendorong atau membiarkan praktik apa pun, baik melalui kebijakan maupun hukum, yang melanggar hak atau kebebasan individu seseorang untuk menggunakan materi atau sumber daya yang memadai bagi mereka dengan cara apa pun untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya. Kewajiban ini melindungi setiap orang dari intervensi sewenang-wenang dalam penikmatan hak ekosob, seperti penggusuran paksa secara sewenang-wenang terhadap suatu kelompok masyarakat dari tempat tinggal mereka. Kewajiban ini juga 17

Untuk penjelasan lebih lanjut tentang aspek-aspek yang terkandung dalam Pasal 2 ini, lihat, Factsheet No. 16 (rev. 1), h. 3; lihat pula, United Nation, Economic, Social and Cultural Rights: Handbook for National Human Rights Institutions, (New York and Geneva: United Nations, 2005), h. 9

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

61


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

berhubungan erat dengan beberapa aspek, yakni 1. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi; 2. hak untuk berpartisipasi, termasuk hak untuk memengaruhi kebijakan atau hukum; 3. hak berorganisasi, berkumpul dan berserikat, terutama bagi masyarakat dan organisasi non-pemerintah; 4. hak perlakuan setara, terutama dalam alokasi sumber daya dan akses terhadap kredit; 5. hak untuk bebas menikmati hak yang dimiliki tanpa ada intervensi; 6. hak untuk tidak dikeluarkan secara sewenang-wenang dari sekolah atau rumah sakit atau layanan ekonomi, sosial dan budaya lainnya. Tanggung jawab untuk menghormati ini tidak hanya berlaku bagi Negara sebagai pemegang mandat tanggung jawab HAM utama, melainkan juga bagi aktor-aktor nonnegara, seperti lembaga-lembaga internasional, perusahaan nasional atau multinasional, atau lembaga keuangan. Kewajiban untuk “melindungi� mengharuskan negara dan seluruh badanbadan yang ada di dalamnya untuk mencegah terjadi pelanggaran hak siapa pun dari perilaku individu atau aktor nonnegara lainnya. Bila aktor ketiga melakukan pelanggaran hak ekosob kepada seseorang, maka Negara harus mencegah pelanggaran selanjutnya dan memastikan bahwa korban memiliki akses kepada pemulihan secara sah. Negara juga harus melindungi setiap orang dari segala bentuk diskriminasi, seperti diskriminasi berdasarkan pada ras, pelecehan, pencabutan layanan atau tindakan lainnya. Kewajiban melindungi ini juga mencakup beberap aspek, yakni 1. Segera mengambil tindakan untuk memastikan pelanggaran hak ekosob, baik oleh negara atau badan-badannya, tidak terjadi; 2. segera mengambil tindakan untuk memastikan pelanggaran hak ekosob oleh pihak ketiga tidak terjadi; 3. memastikan akses pemulihan secara hukum yang imparsial dalam kasus-kasus yang diduga terjadi pelanggaran hak ekosob, baik oleh Negara atau aktor nonnegara; 4. langkah-langkah aktif untuk melindungi setiap orang dari segala bentuk diskriminasi ras atau yang lainnya, pelecehan, atau pengucilan dari layanan publik. Kewajiban agar “memenuhi� mengharuskan negara segera mengambil langkah-langkah positif ketika langkah-langkah yang telah diambil tidak mampu memastikan penikmatan hak ekosob. Kewajiban ini berkaitan erat dengan pengeluaran anggaran Negara, kebijakan ekonomi Negara, pengaturan tentang layanan publik dan infrastruktur, pajak dan langkah-langkah redistributif lainnya. Beberapa kewajiban ini dijelaskan lebih lanjut oleh Komite

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

62


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

di dalam General Comment, seperti General Comment No. 12 tentang hak atas pangan dan General Comment No. 13 tentang hak atas pendidikan.18 Dengan kerangka di atas, pemerintah berkewajiban menyampaikan laporannya pelaksanaan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya setelah meratifikasi, dengan merinci secara komprehensif tentang apa yang telah dilakukan untuk menjalankan Kovenan di tingkat nasional. []

18

Lihat pula, Phillip Alston dan Gerard Quinn, “The Nature and Scope of States Parties’ Obligations under the International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights”, dalam Human Rights Quarterly, Vol. 9, No. 2, (Mei, 1987), h. 156 – 229.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

63


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

PERANAN MASYARAKAT SIPIL DALAM ADVOKASI HAK EKOSOB: PENGALAMAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA

A. Peranan Masyarakat Sipil dalam Mekanisme Ekosob Sebagaimana halnya dalam mekanisme-mekanisme HAM yang lain, masyarakat sipil memainkan peranan penting dalam prosedur di bawah mekanisme Komite Hak Ekosob PBB. Keberadaannya menjadi rekan bagi pemerintah dan Komite dalam upaya meningkatkan penikmatan hak ekosob di suatu negara, baik mereka yang bekerjasama dengan Komite dan Negara dalam penyediaan layanan ataupun pemberdayaan masyarakat dan penyediaan informasi. Dalam hal ini, Komite Ekosob juga mengakui peranan penting masyarakat sipil dalam proses pelaporan terkait dengan penyediaan informasi terkait dengan situasi hak ekosob di Negara Pihak. Dalam bagian ini akan diuraikan tentang peranan masyarakat sipil dalam proses review Negara Pihak di Komite, sejak awal persiapan Komite dalam sidang prasesi hingga pelaksanaan rekomendasi Komite dalam Concluding Observation.

1. Laporan Alternatif Masyarakat Sipil Sebagaimana diketahui, Negara pihak yang telah mengikatkan diri di bawah mekanisme Komite Ekosob berkewajiban menyampaikan laporan pelaksanaan Kovenan kepada Komite secara berkala, dimulai dengan laporan permulaan (initial) dan dilanjutkan dengan laporan periodik. Laporan periodik pemerintah terhadap Komite merupakan bahan penting bagi masyarakat sipil untuk memulai penulisan laporan alternatif. Tanpa didahului laporan resmi dari Negara, masyarakat sipil tidak dapat mengirimkan laporan alternatif kepada Komite Ekosob. Penting pula mengetahui apakah Pemerintah telah menyampaikan laporan periodik kepada Komite atau belum, baik melalui

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

64


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

website resmi yang disediakan oleh Kantor Komisi Tinggi HAM PBB maupun melalui kontak langsung dengan lembaga yang bertanggung jawab untuk menyusun dan menyampaikan laporan tersebut di dalam negeri. Di samping alternatif di atas, masyarakat sipil dapat pula berkomunikasi langsung dengan Sekretariat Komite untuk mengetahui lebih lanjut tentang proses pelaporan oleh Negara dan mengetahui batas akhir laporan alternatif dapat dikirimkan. Maka dari itu, sebelum menyusun laporan alternatif, setidaknya ada beberapa dokumen yang terlebih dahulu harus disiapkan, yaitu: a. Laporan pemerintah kepada Komite, baik laporan permulaan maupun laporan periodik.19 b. Concluding observation atau kesimpulan observasi (di antaranya berisi rekomendasi) yang disampaikan oleh Komite kepada Pemerintah Negara Pihak. c. List of Issues atau daftar pertanyaan dari Komite. Hal ini berlaku bila proses pelaporan telah berjalan dan Komite telah mengeluarkan list of issues untuk dijawab oleh Pemerintah.

2. Tahap Pertama: Laporan untuk Sidang Prasesi Mekanisme Komite Hak Ekosob juga menggunakan sidang prasesi enam bulan sebelum sidang eksaminiasi dilaksanakan. Sidang prasesi ini bertujuan membahas laporan pemerintah yang sudah disampaikan, baik laporan permulaan maupun laporan periodik, oleh sebuah Working Group Komite yang terdiri dari 5 orang Anggota. Sidang prasesi ini menghasilkan list of issues atau list of question, yaitu berupa daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh Pemerintah pada saat sidang eksaminasi. Pada saat laporan pemerintah Negara Pihak diterima oleh Komite, Komite mengadendakan sidang prasesi untuk membahas laporan tersebut. Sebelum sidang prasesi berlangsung masyarakat sipil berkesempatan menyampaikan laporan alternatif kepada Komite, dengan mengacu kepada laporan yang telah dibuat oleh Pemerintah. Laporan alternatif ini bisa berupa sanggahan terhadap data yang dimuat oleh Pemerintah di dalam laporan walaupun kebanyakan laporan alternatif mengungkap permasalahan dalam pelaksanaan Kovenan 19

Dalam konteks Indonesia, laporan permulaan telah disampaikan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2013 dan disidangkan di Komite Ekosob pada tahun 2014, sehingga tidak akan ada lagi laporan permulaan. Yang perlu diperhatikan hanya laporan periodik atau berkala yang harus disampaikan oleh pemerintah Indonesia 4 sampai 5 tahun setelah Concluding Observation dikeluarkan Komite pada sesi yang terakhir dengan Pemerintah Indonesia.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

65


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

secara menyeluruh, baik dari segi kebijakan maupun segi praktik. Laporan alternatif ini biasanya dilakukan bersama-sama jaringan, dan setiap organisasi dapat mengambil peranan pada isu-isu yang terdapat di dalam Kovenan sesuai dengan bidang kerja dan advokasi sehari-hari. Mengapa membuat laporan untuk sidang pra-sesi ini menjadi penting? Jawabnya adalah, karena sidang prasesi ini akan mengadopsi List of Issues yang akan menjadi acuan bagi Komite dan Negara Pihak dalam sidang eksaminasi enam bulan setelah sidang prasesi. Setiap pertanyaan-pertanyaan dalam list of issues akan ditanyakan kembali oleh Komite Ekosob dalam sidang eksaminasi, selain dari pertanyaan-pertanyaan tambahan lainnya. Bila masyarakat sipil tidak terlibat dalam sidang pra-sesi ini, baik dengan cara menyampaikan laporan alternatif maupun secara langsung menyampaikan statement pada saat sidang, maka isu-isu masyarakat sipil kemungkinan besar tidak akan masuk dalam daftar pertanyaan Komite. Akibatnya, isu dan kepentingan masyarakat sipil menjadi semakin kecil pada saat sidang eksaminasi berlangsung. Di samping itu, masukan masyarakat sipil untuk sidang prasesi ini penting untuk mendukung independensi Komite. Selain itu, masukan juga membentuk Komite untuk memahami lebih dalam dan komprehensif tentang permasalahan penegakan hak-hak ekosob di suatu negara karena adanya informasi dari pemantau dan pengawas pelaksanaan hak di tingkat nasional. Lalu, kapan laporan alternatif ini disampaikan kepada Komite Ekosob? Sekretariat Komite akan memberikan pemberitahuan waktu pelaporan masyarakat sipil dapat disampaikan dan waktu penerimaan akan berakhir, walaupun biasanya Sekretariat Komite akan menerima laporan alternatif ini sampai seminggu sebelum pelaksanaan sidang prasesi. Dalam hal ini, penting bagi masyarakat sipil agar berkomunikasi langsung dengan Sekretariat Komite melalui email kapan terakhir laporan dapat dikirimkan. Dalam contoh review Pemerintah Indonesia di Komite Ekosob pada tahun 2013-2014, setelah Komite PBB menerima Laporan Permulaan Pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2012 dan Komite mempublikasikan laporan tersebut di website OHCHR secara resmi pada pertengahan tahun 2013 Komite mengundang masyarakat sipil dan semua stakeholder nonpemerintah untuk menyampaikan laporan alternatif. Pengiriman laporan kepada Sekretariat Komite ini dapat dilakukan hingga tanggal 7 November 2013. Setelah semua

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

66


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

laporan dikumpulkan oleh Komite, Komite mengadakan sidang prasesi untuk Indonesia pada tanggal 2 – 3 Desember 2013 di Jenewa, yang kemudian menghasilkan List of Issues pada pertengahan bulan Desember 2013. Walaupun ada banyak format laporan alternatif yang dapat dipilih oleh masyarakat sipil, laporan ini hendaknya mengemukakan informasi yang: a. fokus pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Kovenan Ekosob; b. secara langsung relevan dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh Komite; c. dapat dipercaya dan valid; d. tidak kasar. 20 Berdasarkan kriteria di atas, masyarakat sipil dapat membuat laporan dengan mengacu pada sistematisasi pasal per pasal yang ada di dalam Kovenan.

3. Tahap Kedua: Laporan Jawaban List of Issues Sidang prasesi yang dilakukan oleh lima orang anggota working group yang ditunjuk oleh Ketua Komite menghasilan list of issues. List of issues ini akan dijawab oleh pemerintah Negara Pihak dan disampaikan kepada Komite beberapa minggu sebelum sidang eksaminasi berlangsung. Dalam rentang waktu penyusunan jawaban list of issues oleh pemerintah, masyarakat sipil juga diberikan kesempatan untuk mengirimkan kembali laporan alternatif, yang lebih fokus pada menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam list of issues. Dengan kata lain, dalam laporan kedua ini masyarakat sipil tidak perlu menguraikan kembali seluruh pelanggaranpelanggaran hak ekosob yang terjadi, namun secara jelas dan detail menjawab pertanyaan-pertanyaan Komite Ekosob terkait dengan isu ekosob yang dipertanyakan. Sebelum menulis laporan, masyarakat sipil penting mengetahui secara pasti apakah list of issues telah dikeluarkan oleh Komite atau belum. Hal ini dapat diketahui dengan mengecek website Komite Ekosob yang ada dalam laman website OHCHR. Komite akan mempublikasikan list of issues tersebut beberapa hari setelah diadopsi oleh Komite, selain mengirimkan secara resmi kepada perwakilan pemerintah Negara Pihak di Jenewa. Bila Komite telah mempublikasi list of issues melalui website, tugas masyarakat sipil selanjutnya adalah memahami secara menyeluruh daftar pertanyaan yang diangkat oleh Komite dan mengidentifikasi isu-isu mana yang 20

Committee on Economic, Social and Cultural Rights, Report on the Twenty Second, Twenty Third, and Twenty Fourth Sessions: Suplement No. 2, (New York and Geneva: United Nations, 2001), h. 1819.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

67


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

termasuk dalam lingkup advokasi. Bila diperlukan, masyarakat sipil menerjemahkan list of issues ini ke dalam bahasa lokal, sehingga dapat lebih dipahami oleh seluruh jaringan dan aktor yang terlibat. Sidang eksaminasi akan dilaksanakan 6 bulan setelah sidang prasesi dan list of issues dikeluarkan beberapa minggu setelah sidang prasesi. Sekretariat Komite menerima jawaban masyarakat sipil terhadap list of issues tersebut dua bulan sebelum sesi sidang eksaminasi, sehingga ada waktu sekitar (4) empat bulan bagi masyarakat sipil untuk menyelesaikan jawaban list of issues dan mengirimkan ke Sekretariat Komite Ekosob. Seperti halnya penyusunan laporan alternatif, laporan yang berisi jawaban list of issues ini juga sebaiknya dilakukan secara bersama-sama dalam jaringan untuk mendapatkan hasil laporan yang komprehensif dan memiliki legitimasi yang lebih kuat di hadapan Komite. Semakin banyak organisasi yang terlibat, semakin kredibel laporan tersebut karena lebih banyak melibatkan aktor dan stakeholder.

A. Pengalaman Masyarakat Sipil Indonesia 1. Laporan Alternatif Masyarakat Sipil Dalam konteks Indonesia, penyusunan laporan jawaban terhadap list of issues dilakukan oleh sekitar 70 organisasi masyarakat sipil yang berasal dari pelbagai isu advokasi, yang dikoordinasikan oleh Human Rights Working Group (HRWG), sebuah koalisi masyarakat sipil Indonesia untuk advokasi HAM internasional. Secara praktis, koordinator jaringan memainkan peranan penting dalam pengelolaan dan pengonsolidasian jaringan, terutama dalam upaya pelibatan sebanyak-banyaknya aktor masyarakat sipil dalam menjawab daftar permasalahan. Bila diperlukan, koordinator lembaga atas laporan bekerjasama dengan organisasi di daerah-daerah untuk melakukan diskusi dan mengajak mereka untuk terlibat, meskipun hal ini sangat tergantung pada sumber daya yang dimiliki. Selain itu, yang tak kalah penting ialah, pengumpulan, penganalisisan, pengeditan dan penyusunan masukan-masukan dari jaringan masyarakat sipil tersebut ke dalam format laporan. Biasanya, masukan yang dikirimkan kepada koordinator jaringan tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Komite dalam pertanyaan, baik dari segi substansi maupun sistematika penulisan.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

68


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Tugas utama koordinator adalah memilih dan menganalisis aspek-aspek mana saja yang akan dimasukkan ke dalam laporan serta memformat sesuai struktur penulisan laporan. Koordinator harus memilah mana yang termasuk sebagai data dan fakta, dan mana yang merupakan statemen normatif, termasuk pula memastikan sumber rujukan dari setiap data yang disampaikan. Pada dasarnya, pekerjaan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat di antara masyarakat sipil. Setelah laporan terkumpul, koordinator akan menyusun masukanmasukan tersebut ke dalam satu dokumen laporan dengan mengikuti sistematika pertanyaan-pertanyaan list of issues, mulai dari paragraf pertama hingga paragraf terakhir. Adakalanya tidak ada data yang masuk, sehingga satu atau beberapa paragraf harus dikosongkan. Setelah laporan digabungkan dan disempurnakan, penting pula bagi jaringan untuk menguatkan sumber data dan fakta yang ada di dalam laporan, baik dengan meminta kembali kepada organisasi pengimput maupun mencari sendiri sumber-sumber yang dapat dicantumkan. Semakin valid data yang dikemukakan, semakin kredibel pula data tersebut dapat digunakan oleh anggota Komite Ekosob dalam menggali permasalahan hak ekosob di negara pihak dalam sidang eksaminasi. Setelah laporan disempurnakan, koordinator jaringan sebaiknya mengirimkan kembali laporan tersebut kepada seluruh jaringan untuk memastikan bahwa semua informasi telah dimasukkan dan semua masukan dari pelbagai elemen tersebut telah termuat di dalam laporan. Dalam beberapa kasus, ada laporan yang terlewatkan. Berdasarkan kasus seperti itu, sirkulasi hasil penyempurnaan dan kompilasi ini bersifat penting. Untuk itu, sirkulasi hasil kompilasi ini merupakan waktu bagi koordinator dan jaringan melakukan pengecekan ulang terhadap draft yang sudah ada. Di samping itu, komunikasi dalam proses penulisan, sebelum laporan dari tiap-tiap lembaga dikirimkan kepada coordinator, juga penting untuk dilakukan, setidaknya untuk menjaga komitmen dan kesinambungan proses penulisan oleh tiap-tiap organisasi. Setelah adanya feedback dari jaringan dan penyempurnaan oleh koordinator jaringan, tahapan selanjutnya ialah mempertemukan semua jaringan yang terlibat dalam suatu pertemuan nasional atau mengundang organisasi-organisasi baru yang ingin terlibat di dalam jaringan. Pertemuan nasional ini untuk melakukan pengecekan dan pembahasan kembali draft laporan yang sudah ada, baik secara substansi, menguatkan sumber-sumber

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

69


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

rujukan maupun menambahkan informasi lain yang penting untuk dimasukkan. Pada praktiknya, pertemuan nasional ini membutuhkan sumber daya yang cukup besar, sehingga sifatnya alternatif. Bila tidak demikian, penyusunan laporan ini cukup dengan mengintensifkan komunikasi dan koordinasi di antara para jaringan dengan cara memastikan bahwa semua pihak terlibat dalam proses yang berjalan.

2. Advokasi Selama Sidang Berlangsung Sidang Prasesi Working Group Selain menerima masukan secara tertulis dari pelbagai organisasi masyarakat sipil dan nonpemerintah, sidang prasesi Working Group Komite juga menerima masukan yang disampaikan langsung oleh masyarakat sipil secara lisan. Sebelum sidang prasesi dimulai, Working Group menyediakan waktu pendek kepada masyarakat sipil untuk menyampaikan masukan atau membacakan statement. Dalam hal ini, masyarakat sipil harus menyiapkan statement yang akan disampaikan terkait isu yang diperhatikan oleh Komite atau dianggap penting oleh masyarakat sipil. Dalam praktiknya, sesi ini jarang digunakan oleh masyarakat sipil karena harus menyediakan sumber daya, terutama keuangan, supaya dapat hadir di Kantor OHCHR Jenewa. Dalam beberapa kesempatan, di mana masyarakat sipil sedang berada di Jenewa untuk kebutuhan yang lain, biasanya kesempatan ini digunakan sekaligus untuk menyampaikan statement atau melakukan lobby kepada anggota Working Group yang telah ditunjuk. Tujuannya, masukan dan aktivitas lobby ini dapat memengaruhi keputusan sidang Working Group di dalam List of Issues. Sidang Sesi Eksaminasi Komite Setelah menyampaikan laporan alternatif dan jawaban LoI kepada Komite, suatu hal yang penting dilakukan oleh masyarakat sipil dalam proses pelaporan ini ialah kehadiran dalam sidang eksaminasi Negara Pihak, sebagaimana telah dijadwalkan oleh Sekretariat Komite. Setahun sebelum masa sidang ini biasanya Komite telah menjadwal dan mempublikasikan jadwal tersebut melalui website, sehingga masyarakat sipil dapat mempersiapkan kebutuhan sejak dini agar dapat mengikuti proses persidangan. Komunikasi dengan Sekretariat Komite menjadi suatu hal yang harus dilakukan agar mengetahui kepastian waktu persidangan dan mengetahui persiapan sejak awal.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

70


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Dalam sesi sidang eksaminasi ini, Komite akan menyediakan kesempatan khusus bagi masyarakat sipil untuk terlibat dan menyampaikan masukan mereka secara lisan. Pada praktiknya, Komite menyiapkan waktu sidang resmi antara Komite dan masyarakat sipil serta waktu sidang informal. Sidang Formal dengan Komite Komite menyediakan waktu khusus bagi masyarakat sipil sebelum eksaminasi berlangsung, yaitu pada hari pertama sebelum sesi berlangsung, biasanya pada hari Senin sore, Minggu pertama pada saat sesi baru dimulai. Pada pagi hari, Komite akan mengadakan pembukaan sesi sidang selama dua atau tiga minggu ke depan. Selanjutnya, setelah makan siang, Komite membuka sidang resmi yang secara khusus menghadirkan Komnas-komnas HAM (NHRI) dan masyarakat sipil dari seluruh negara yang akan dibahas pada sesi tersebut. Dalam sesi ini biasanya ada beberapa masyarakat sipil dari beberapa negara beserta NHRI yang akan menyampaikan statement. Dengan demikian, semakin banyak masyarakat sipil yang berkeinginan menyampaikan statement, semakin sedikit pula waktu yang dimiliki. Dalam contoh sidang Indonesia yang dibahas pada sesi ke-62 Komite pada 30 April – 1 Mei 2014, setidaknya ada beberapa statement yang disampaikan perwakilan masyarakat sipil atau NHRI negara-negara lain. Pertama, Ketua Komite memberikan kesempatan kepada perwakilan NHRI Ukraina untuk menyampaikan statement. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan dari beberapa anggota Komite. Pada masa itu tidak ada perwakilan masyarakat sipil dari Ukraina, sehingga setelah tanya jawab, Komite langsung memberikan kesempatan kepada NHRI Indonesia, yang diwakili oleh Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Setelah Komite mendapatkan informasi dari NHRI, Komite memberikan kesempatan kepada masyarakat sipil Indonesia untuk menyampaikan statement, diwakili oleh HRWG, INFID dan Fransican International. Setelah statement disampaikan, Ketua Komite membuka ruang tanya jawab dan klarifikasi terhadap informasi yang telah disampaikan. Bila tidak mungkin dijawab pada saat sidang akibat keterbatasan waktu, masyarakat sipil dapat menyiapkan jawaban secara tertulis dan memberikan langsung kepada anggota Komite maupun menyimpan jawaban pertanyaan itu untuk disampaikan pada saat pertemuan informal.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

71


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Hal teknis yang perlu diperhatikan sebelum dan selama proses ini ialah memastikan nama organisasi-organisasi yang hendak menyampaikan statement ini telah didaftar oleh Sekretariat Komite, termasuk memproses akreditasi agar mendapatkan ID card masuk ke gedung OHCHR (Palaise Wilson, Geneva). Tanpa adanya ID card tersebut, masyarakat sipil tidak dapat masuk ke gedung, sehingga registrasi kepada kepada Komite harus dilakukan sejak awal. Sekretariat Komite akan menyiapkan formulir registrasi bagi masyarakat sipil untuk diisi dan dikirimkan kembali kepada Komite. Setelah menerima formulir tersebut, Komite akan mengirimkan data-data ke kantor PBB pusat di Jenewa untuk dikeluarkan ID-card. Dalam beberapa kasus, karena kurangnya koordinasi antara kantor OHCHR dan kantor PBB di Jenewa, walaupun sudah mengirimkan formulir, ID-card tetap tidak dikeluarkan. Untuk itu, sebelum sesi berlangsung, masyarakat sipil harus segera menyelesaikan permasalahan ID tersebut melalui kantor PBB di Jenewa.

Sidang Informal dengan Komite dan Country Rapporteur Sidang informal adalah waktu pertemuan yang disediakan oleh Sekretariat Komite pada saat jam makan siang. Pertemuan ini sebetulnya diselenggarakan oleh masyarakat sipil dengan mengundang anggota Komite. Pertemuan ini bersifat undangan. Anggota Komite memiliki kebebasan untuk hadir atau tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Waktu pertemuan ini sekitar satu sampai dua jam. Karena inisiasi pertemuan ini berasal dari masyarakat sipil, sejak awal masyarakat sipil harus berkoordinasi dengan sekretariat Komite karena nantinya akan berkaitan dengan ruangan, makanan dan minuman untuk para Anggota Komite, serta siapa saja yang akan terlibat dalam pertemuan ini. Biasanya, pertemuan informal ini diselenggarakan oleh masyarakat sipil dari Negara Pihak dan bekerjasama dengan beberapa NGO internasional di Jenewa yang memiliki perhatian terhadap pemerintah Negara Pihak yang tengah ditinjau ulang. Berbeda dengan sidang formal, sidang informal ini hanya dihadiri oleh masyarakat sipil dari negara tertentu atau organisasi-organisasi internasional yang memiliki perhatian dengan negara tersebut, sehingga kesempatan untuk menyampaikan statement pun lebih banyak. Di samping itu, masyarakat sipil juga berdiskusi langsung dengan anggota Komite. Namun demikian,

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

72


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

masyarakat sipil harus menyiapkan agenda untuk pertemuan ini, seperti menunjuk beberapa narasumber dari masyarakat sipil dan menyediakan dokumen untuk diserahkan kepada Komite. Selain pertemuan dengan anggota Komite, masyarakat sipil juga mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan Pelapor Negara (Countri Rapporteur), merupakan salah satu anggota Komite yang bertindak sebagai

CATATAN PROSES SIDANG INDONESIA DI KOMITE EKOSOB DAN PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL

pencatat dan perancang Concluding Observation. Dengan kedudukannya sebagai perancang Concluding Observation, Pelapor Negara ini penting untuk dijadikan sasaran advokasi bagi masyarakat sipil. Sekretariat Komite juga akan memfasilitasi pertemuan dengan Pelapor Negara ini yang biasanya dilakukan pada saat waktu kosong setelah makan siang.[]

A. Intervensi Masyarakat Sipil dan Informal Meeting Intervensi dan advokasi masyarakat sipil Indonesia selama proses sidang, setidaknya melalui empat aktivitas, yaitu penyampaian statement pada Sesi Formal Meeting, pertemuan dengan Komite pada Informal Meeting, pertemuan dengan Rapporteur Negara dan lobi-lobi secara langsung dengan Anggota Komite.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

73


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Sesi intervensi melalui statement dilakukan pada saat setelah sidang pembukaan oleh Komite, yaitu pada tanggal 28 April 2014 di Ruang Sidang Utama Palais Wilson, Jenewa. Komite telah membuka Sidang untuk keseluruhan Negara yang dibahas pada Sesi ke-52 ini pada pukul 09.00 – 12.00. Pada pukul 15.00 – 18.00 sesi dilanjutkan dengan mendengarkan intervensi dan statement dari Komisi HAM Nasional (NHRIs) dan masyarakat sipil dari tiga negara yang tengah dibahas dalam seminggu, yaitu Ukraina, Indonesia, dan Monako. Pertemuan Komite dengan NHRIs dan masyarakat sipil dimulai pada pukul 15.00. Ketua Sidang dan sekaligus Ketua Komite ESCR, Mr. Zdzislaw KEDZIA dari Polandia,21 pertama kali mengundang perwakilan Komnas HAM dari Ukraina untuk menyampaikan pandangannya terkait pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya di Ukraina. Kemudian, Ketua Komite mengundang pula pewakilan NHRI Indonesia, yang dihadiri oleh Komisioner Komnas HAM, Ibu Sandra Moniaga dan dua perwakilan Komnas Perempuan, yakni Komisioner Ibu Arimbi Heroepoetri dan staff internal KP, Ibu Yuni Asri. Komnas HAM RI menyampaikan sejumlah isu yang diperhatikan Komite di dalam LoI Komite, terutama terkait sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat adat. Permasalahan khusus yang dimunculkan ialah maraknya pengambilan lahan masyarakat tradisional dan kebijakan kehutanan. Komnas HAM juga merekomendasikan agar Pemerintah membangun suatu kebijakan yang non-diskriminasi, terutama yang mendukung kelompok disabilitas; meningkatkan layanan asuransi kesehatan bagi seluruh Indonesia, dengan mengatasi kurangnya layanan medis untuk kesehatan mental dan mengatasi keterbatasan fasilitas kesehatan. Komnas Perempuan menyampaikan enam isu utama, yakni pertama, perempuan korban kekerasan yang kehilangan kapasitas pendukung dan berada dalam lingkungan yang tidak aman, seperti buruh di perkebunan, pekerja seks dan perkawinan yang tidak terdaftar. Kedua, terdapat 342 kebijakan yang diskriminatif atas nama agama dan moralitas. Ketiga, diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan disabilitas, seperti izin poligami ketika perempuan memiliki disabilitas. Keempat, kekerasan dan diskriminasi berdasarkan pada orientasi seks dan identitas gender, serta stigma bagi kelompok LGBT. Kelima, 21

Untuk profil Ketua Komite dapat dilihat: http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/CESCR/CVMembers/ZdzislawKedzia.doc

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

74


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

sekitar 1,300 perempuan Papua yang termarjinalisasi dan menderita dari pelbagai kekerasan yang muncul. Keenam, eksploitasi dan diskriminasi yang dialami oleh buruh migran, terutama PRT. Komnas Perempuan menyebutkan bahwa Pemerintah telah menolak laporan KP terkait dengan diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan dengan menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan menurun, padahal jumlah pengaduan yang masuk ke KP justru meningkat. 1. Organisasi Masyarakat Sipil Ada tiga perwakilan organisasi masyarakat sipil yang menyampaikan statement pada tanggal 28 April 2014 di sidang Komite ESCR di Jenewa yang lalu, yaitu Muhammad Hafiz (HRWG), mewakili jaringan organisasi masyarakat sipil Indonesia, Beka Ulung Hapsara, mewakili INFID dan Budi Tjahjono atas nama Fransiscan Internasional. Muhammad Hafiz, mengatasnamakan 60 organisasi non-pemerintah di Indonesia, menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Komite terkait pemenuhan dan perlindungan hak ekosob dan mengharapkan Komite dapat mempertimbangan rekomendasi tersebut dalam Concluding Observation. Rekomendasi-rekomendasi tersebut di antaranya, Komite memberikan perhatian khusus kepada kelompok sosial yang rentan, seperti rakyat miskin, perempuan, buruh migran, masyarakat adat, LGBT, HIV/AIDs, penyandang disabilitas, pengungsi dan pencari suaka, kelompok keagamaan, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang mengungsi dari rumah mereka. Masyarakat sipil juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan layanan jaminan sosial, mengesahkan RUU PPRT dan ratifikasi Konvensi ILO 189, meningkatkan layanan pendidikan bagi anak-anak, menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkatkan ketahanan pangan, air bersih dan sanitasi, terutama di daerah pedesaan, termasuk kekayaan warisan budaya. INFID menyampaikan sejumlah permasalahan terkait pemenuhan hak ekosob di Indonesia, yaitu situasi kelompok minoritas agama di Indonesia, program asuransi kesehatan, informal sektor dan angka kematian ibu. Fransiscan Internasional menyampaikan join statement yang menegaskan rekomendasi terhadap masyarakat adat, termasuk pengakuan tanah secara tradisional dan melaksaksanakan prinsip-prinsip fee, prior and informed consent yang berarti dalam menjalankan proyek ekstraktif di Papua. Pemerintah didorong untuk menyediakan program peningkatan kesadaran dan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

75


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

pelatihan HAM, khusus hak perempuan di pedesaan, menyediakan shelter dan layanan khusus lainnya bagi perempuan korban kekerasan. Di samping itu, diperlukan pula data komprehensif tentang kesehatan di Papua dan strategi pemenuhan kebutuhan dasar. Kualitas pendidikan juga menjadi perhatian, terutama di daerah pegunungan dan pedesaan. Terakhir, FI menegaskan tentang pentingnya hak atas budaya bagi masyarakat adat di Papua. 2. Informal Meeting dengan Anggota Komite Pertemuan Informal dengan Komite diselenggarakan secara bersamasama dengan NGO lainnya, seperti Fransiscan International, Watch Indonesia, PWESCR, dan FIDH, pada tanggal 30 April 2014, pukul 13.00 – 14.00. Pertemuan ini dihadiri oleh hampir seluruh anggota Komite. Dalam pertemuan ini, masyarakat sipil dan NGO yang terlibat menyampaikan pernyataannya di hadapan Komite yang hadir dan Komite diberikan kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan secara langsung. Sebelumnya, NGO yang terlibat dalam proses ini juga sudah mengadakan pertemuan di Kantor Fransiscan International pada tanggal 29 April 2014 pukul 15:00. Rapat ini hendak memastikan persiapan-persiapan yang harus dilakukan untuk Informal Meeting, pembagian isu yang akan disampaikan, serta koordinasi dengan Sekretariat Komite untuk menyampaikan undangan kepada Anggota Komite. Informal meeting dimulai pada pukul 13.30, dimoderasi oleh Budi Tjahyono dari Fransiscan International. Statement pertama disampaikan oleh Muhammad Hafiz, mewakili Jaringan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, kemudian dilanjutkan pernyataan dari Damairia Pakhpahan dan Pratiwi Febry. Sejumlah NGO lain pun, seperti FIDH dan Indonesian Watch. Secara umum, Muhammad Hafiz menyampaikan tentang kerangka kebijakan dan praktik pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia dengan menegaskan apa yang telah dimuat dalam Laporan Respons LoI masyarakat sipil, yaitu kebijakan ekonomi Indonesia yang bertumpu pada tiga hal (pertambangan, perkebunan dan konsumsi). Kebijakan ini seringkali justru menjadi kendala utama bagi Pemerintah dalam menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia. Implikasi atas hal tersebut ada banyak kebijakan yang justru bertentangan dengan Kovenan, seperti sejumlah peraturan daerah yang diskriminatif dan mandegnya proses pengesahan RUU Perlindungan PRT. Di samping itu, disampaikan pula tentang diskriminasi kepada kelompok minoritas

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

76


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

di Indonesia dan kelompok rentan yang berdampak pada pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti kepada kelompok minoritas agama, masyarakat adat, LGBT dan penyandang disabilitas. Statement ini kemudian ditutup dengan sejumlah rekomendasi yang disampaikan kepada Komite. 22 Statement kedua disampaikan oleh Damairia Pakhpahan yang menegaskan tentang pentingnya kerangka hukum kesetaraan gender, angka kematian ibu, serta akses perempuan dan pendudukan terhadap jaminan sosial. Dalam kerangka hukum kesetaraan gender, Damairia menyampaikan bahwa terjadi kesalahpahaman di kalangan pembuat kebijakan, penegak hukum dan pemimpin agama atau masyarakat tentang RUU Kesetaraan Gender, sehingga upaya pembuatan kebijakan tidak mendapatkan respons yang positif. Sejumlah kebijakan, baik di nasional maupun lokal, juga masih berpotensi mendiskriminasikan perempuan dan keompok rentan, minoritas, sehingga tidak mampu menikmati hak-hak ekosob, seperti UU Perkawinan, KUHP, dan sejumlah peraturan daerah. Di sisi lain, rancangan UU Pengarusutamaan Gender sedang dibahas di DPR, namun prosesnya masih stagnan karena mendapatkan penolakan dari kelompok yang tidak menghendaki kesetaraan gender, termasuk pula partai politik, dengan menggunakan argumentasi keagamaan. Keberadaan UU tertentu, seperti Anti Pornografi, juga menyebabkan terjadinya diskriminasi. Untuk itu, masyarakat sipil merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR RI dapat mengesahkan RUU Kesetaraan Gender dan menghapuskan peraturan perundangan, seperti UU Pornografi dan peraturan-peraturan daerah, yang menyebabkan diskriminasi serta merevisi UU Perkawinan agar sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Terkait dengan angka kematian ibu (AKI), Damairia menegaskan tentang peningkatan angka kematian ibu di Indonesia dan ketidakmampuan Indonesia untuk menekan AKI sebagaimana MDGs, yaitu mencapai 259 per 100.000 kelahiran. Hal ini di antaranya, disebabkan infrastruktur dan transportasi tidak memadai, kurangnya petugas dan para medis, privatisasi sektor kesehatan, kecilnya budget nasional untuk kesehatan, birokrasi jaminan asuransi kesehatan yang berbelit-belit, dan lemahnya penegakan hukum atas praktik korupsi di dunia kesehatan. Untuk itu, masyarakat sipil merekomendasi agar Pemerintah 22

Pernyataan sebagaimana terlampir.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

77


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

berkomitmen mengurangi AKI, dengan program asuransi kesehatan yang komprehensi, anggaran yang cukup, dan membangun infrastruktur. Terkait dengan hak kelompok miskin dan perempuan terhadap jaminan sosial, Damairia menyampaikan bahwa program BPJS yang baru saja dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia ternyata masih menyisakan permasalahan, seperti kurangnya koordinasi, rendahnya biaya yang dijaminkan oleh Negara, serta masih ada kelompok rentan yang tidak termasuk di dalam program tersebut. Pernyataan ini menyebutkan bahwa secara umum pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia masih memunculkan sejumlah permasalahan, di antaranya: a. Angka kemiskinan yang dibuat oleh pemerintah sangat rendah, sehingga kemiskinan yang tercakup di dalam program jaminan sosial ini masih menyisakan banyak penduduk miskin yang tidak tercakup dalam program. b. Pemerintah Indonesia telah meningkatkan cakupan jaminan sosial dengan menjamin mereka yang tidak mampu memenuhi 40% dari kebutuhan dasar. Hal ini masih tidak mampu memberi jaminan bagi semua penduduk miskin dan kelompok ekonomi rentan. c. Pelaksanaan Program Asuransi nasional tidak mengikuti peningkatan fasilitas kesehatan, sehingga walaupun penduduk miskin dijamin oleh Negara, mereka tetap tidak mampu mendapatkan akses kesehatan yang memadai, rumah sakit atau layanan kesehatan sulit ditemukan karena di sejumlah wilayah terpencil dan pedesaan. d. Bantuan sosial dalam pelbagai programnya ini tidak transparan dan tidak melibatkan kelompok-kelompok yang menjadi sasaran atau mendapatkan manfaat, sehingga keluarga-keluarga miskin, terutama perempuan, seringkali didiskriminasikan. e. Masih sering terjadinya malpraktik dalam distribusi bantuan sosial untuk tujuan politik, terutama ketika mendekati proses pemilihan kepala daerah. f. Tidak ada mekanisme complain yang dapat diakses oleh penduduk miskin, terutama perempuan, dan kelompok rentan lainnya, termasuk masyarakat adat, orang tua, kelompok transgender dan para difabel.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

78


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

g. Adanya sejumlah kasus diskiminasi di daerah-daerah penerapan jaminan sosial ini dengan alasan agama atau kepercayaan kelompok sasaran, gender, orientasi seksual dan status perkawinan. h. Tidak adanya mekanisme pemantauan terhadap program yang dijalankan. i. Tidak ada pemilahan data berdasarkan gender dan kelompok kepentingan. Untuk itu, dalam hal jaminan sosial ini, Damairia Pakhpahan, mewakili masyarakat sipil Indonesia, menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Anggota Komite, di antaranya: a. Pemerintah Indonesia harus membangun program jaminan sosial yang komprehensif untuk memastikan adanya penikmatan hak bagi semua orang di Indonesia; b. Program jaminan sosial harus didasarkan pada kepentingan perempuan dan kerentanan yang mereka hadapi untuk mencapai kesetaraan gender; c. Pemerintah harus membangun mekanisme pemantauan yang partisipatif bagi mereka yang mendapatkan program tersebut. Selanjutnya, Pratiwi Febri, sebagai perwakilan masyarakat sipil Indonesia, juga menyampaikan statement terkait situasi hak ekosob di Indonesia, yang difokuskan pada hak pekerja rumah tangga dan buruh migran, serikat buruh, hak atas pendidikan, dan hak atas perumahan yang layak dan tanah. Terkait dengan hak PRT, ia menegaskan bahwa PRT di Indonesia yang tidak diakui sebagai pekerja dan dicakup dalam UU Ketenagakerjaan, serta tingginya kasuskasus yang menimpa PRT selama ini. Hal ini menyebabkan situasi PRT tidak memadai dan kurang diperhatikan, sehingga pelanggaran seringkali tidak diketahui. Ia juga menggarisbawahi tentang draft UU yang sudah diajukan sejak 2004 kepada DPR dan tidak ada pengesahan hingga saat ini, termasuk pula keengganan Negara untuk meratifikasi Konvensi ILO 189. Dengan ini, statement mendorong Komite untuk menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia untuk: 1. Secepatnya mengesahkan RUU Perlindungan PRT; 2. meratifikasi Konvensi ILO 189; dan 3. mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM dalam RUU Perlindungan PRT. Terkait dengan buruh migran, Pratiwi Febry menegaskan tentang situasi di dalam negeri yang menyebabkan tingginya angka migrasi ke luar negeri dan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

79


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

gagalnya pemerintah memenuhi hak atas pendidikan. Di sisi lain, situasi ini juga dimanfaatkan sejumlah pihak untuk mendapatkan keuntungan, yang juga menyebabkan lemahnya perlindungan kepada buruh migran. Pengaturan buruh migran lebih mengutamakan penempatan daripada perlindungan. Untuk itu, masyarakat sipil mendesak agar Negara segera merevisi UU No. 39/2004 dan menyesuaikan pengaturannya pada Konvensi Perlindungan Buruh Migran yang sudah diratifikasi. Selanjutnya disampaikan pula tentang hak serikat buruh yang secara praktik masih sering terjadi pelanggaran, meski sudah diatur di dalam UUD 1945. Sanksi, baik secara langsung maupun tidak, masih sering diterima oleh para buruh yang terlibat dalam serikat pekerja. Di sisi lain, kekerasan yang menimpa aktivis serikat buruh tidak diselesaikan secara hukum oleh aparat penegak hukum. Hak-hak serikat pekerja juga tidak dijamin untuk para pegawai negeri dan pekerja di perusahaan milik Negara. Dalam hal pendidikan, Pratiwi Febry menjelaskan tentang kebijakan pendidikan secara umum di Indonesia yang terkadang tidak mampu memenuhi hak atas pendidikan. Pemerintah Indonesia juga harus memperhatikan hak pendidikan penduduk miskin dan tidak beruntung, termasuk penduduk di wilayah terpencil. Selanjutnya, dijelaskan tentang privatisasi perguruan tinggi serta pernyataan agar Pemerintah melaksanakan Putusan MA No. 2596 K/PDT/2008 yang menghapuskan Ujian Nasional. Dalam hal kebijakan tanah, masyarakat sipil menegaskan bahwa pemerintah gagal melindungi dan memenuhi hak atas tanah bagi warga Negara, terutama akibat kuatnya agenda bisnis dan perusahaan. Belum lagi praktik oleh mafia tanah yang memanfaatkan tanah-tanah yang belum bersertifikat. Untuk itu, masyarakat sipil merekomendasikan agar Negara melakukan sensus kepemilikan lahan di seluruh wilayah Indonesia dan mendistribusikan lahan sebagai upaya reformasi agraria, serta membangun legislasi yang membuat prosedur penggusuran yang sesuai dengan standar HAM internasional. Pertemuan ini dilangsungkan selama kurang lebih satu jam setengah, yang dihadiri oleh sejumlah Anggota Komite dan masyarakat sipil. Setelah sesi presentasi dari masyarakat sipil dilakukan, pertemuan kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab seputar isu-isu ekosob di Indonesia. 3. Pertemuan dengan Rapporteur Komite

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

80


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Selain menyelenggarakan pertemuan informal dengan anggota Komite, masyarakat sipil Indonesia dan sejumlah NGO internasional yang memiliki perhatian terhadap situasi hak ekosob di Indonesia juga bertemu dengan Rapporteur Komite untuk Negara yang sedang dievaluasi (Country Rapporteur), Mr. Aslan Khuseinovich ABASHIDZE. Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 2014, pukul 13:30 pm. Dalam kesempatan ini, masyarakat sipil menyampaikan perhatiannya terkait dengan pemenuhan hak ekosob secara umum dan menyampaikan rekomendasi yang harus menjadi perhatian Komite, terutama hal-hal apa saja yang harus dimasukkan oleh Komite di dalam Concluding Observation.23 Kemudian, Rapporteur menyampaikan beberapa hal yang sudah dicatat dan akan menjadi bahan dalam diskusi Komite pada saat merumuskan Concluding Observation. Di antara yang disampaikan Mr. Abashidze: a. Legal dan institutional framework pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia. b. Konstitusi yang telah mencakup perlindungan hak, namun tak didukung oleh proses legislasi yang memadai. c. Otonomi daerah yang dalam banyak kasus tidak sesuai dengan Kovenan. d. Kewajiban internasional Indonesia dan pengadilan, Negara belum mampu menyediakan dan melaksanakan Kovenan dalam putusan pengadilan. e. Banyaknya kasus-kasus kekerasan yang muncul dalam konflik sumber daya alam dan perlindungan human rights defender. f. Masih adanya sikap permisif pemerintah terhadap korupsi, sehingga menghalangi pelaksanaan Kovenan Ekosob. g. Diskriminasi yang masih terjadi dan tidak adanya upaya konkret pemerintah, seperti di Papua, kelompok agama minoritas, dan masyarakat adat. h. Kurangnya pengakuan terhadap masyarakat adat dan kelompok minoritas. i. Belum dilaksanakannya secara maksimal prinsip Prior Free Concent. j. Masih adanya sikap otoriter dalam menghadapi demonstrasi. 23

Lihat statemen masyarakat sipil dalam sidang formal ini sebagaimana terlampir dalam bagian selanjutnya buku ini.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

81


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

k. Hak disabilitas yang tidak didata secara komprehensif, pekerja dan tidak bekerja, serta pentingnya untuk merevisi sejumlah kebijakan yang tidak sesuai dengan Kovenan. l. Hak yang setara: belum adanya legislasi, masih ada hukum yang diskriminatif, perempuan Papua yang tidak diperhatikan serius, masih adanya gender gap, serta tidak efektifnya commercial court. m. Outsourcing dan kontrak yang masih bermasalah, termasuk bagi pekerja perkebunan kelapa sawit. n. Upah minimum. o. Regulasi yang belum diterapkan maksimal dalam ketenagakerjaan. p. Kontrol terhadap pekerja-pekerja informal. q. Situasi pekerja rumah tangga. r. Buruh anak dan pekerja perempuan, serta masih adanya kekerasan dan pelecehan terhadap pekerja perempuan. s. Union busting. t. Kurangnya social protection. u. Program BPJS yang belum menjamin semua kelompok masyarakat. v. Masih adanya perkawinan anak serta anak yang tidak mendapatkan hak warga Negara (stateless). w. Tidak efektifnya hukum, termasuk di Papua. x. Air dan sanitasi, terutama di daerah terpencil. y. Penanganan bencana yang masih perlu diperbaiki. z. Kesehatan yang masih belum terjamin sepenuhnya, seperti FGM, mall nutrition, rokok, dll.

A. Proses Sidang dan Gambaran Isu HARI PERTAMA, 30 Mei 2014 Secara garis besar, Anggota Komite mengevaluasi kondisi hak ekonomi, sosial dan budaya berdasarkan pada laporan pemerintah, laporan masyarakat sipil, jawaban LoI oleh pemerintah dan masyarakat sipil, serta proses intervensi yang dilakukan oleh masyarakat sipil sebelum dan selama sidang berlangsung. Sidang Indonesia dimulai pada tanggal 28 April 2014 pukul 15.00 WIB, dengan dihadiri oleh delegasi Pemerintah Indonesia yang diketuai oleh Ibu Harkristuti Harkrisnowo, Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM RI.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

82


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Sidang dibuka dan dipimpin oleh Ketua Komite, Mr. Kedzia, dan memberikan kesempatan kepada ketua delegasi Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan pernyataan tentang sidang tersebut. Secara umum Ibu Harkristut, sebagai ketua delegasi, menyampaikan beberapa hal terkait pelaksanaan Kovenan Ekosob di Indonesia yang telah diintegrasikan ke dalam Rancangan Aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM) beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, ketua delegasi memperkenalkan seluruh delegasi yang hadir dalam sidang tersebut, dengan menyebutkan bidang dan kementerian bersangkutan. Lebih lanjut, Ibu Harkristuti menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia bersedia bekerjasama dan berdiskusi lebih lanjut dengan Komite dalam hal pelaksanaan Kovenan di Indonesia pasca-ratifikasi pada tahun 2005.24 Komite membagi pembahasan sidang Indonesia ini menjadi empat klaster isu, sesuai dengan Pasal-pasal di dalam Kovenan. Berikut ini akan dijelaskan proses selama sidang berlangsung per klaster. 1. Sidang Klastes Pertama Kovenan Pembukaan Sidang dan Pertanyaan-pertanyaan Komite Setelah statement ini, Ketua Komite memberikan kesempatan kepada Rapporteur Indonesia, Mr. Aslan Khuseinovich ABASHIDZE, 25 untuk menyampaikan komentar pertama. Mr. Abashidze menyampaikan harapannya terhadap dialog ini menjadi konstruktif agar pertemuan ini memberikan hasil yang positif, baik bagi Komite maupun bagi pemerintah dalam meningkatkan kondisi di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa Komite berterima kasih kepada pemerintah yang telah menjawab pertanyaan dan dapat mengklarifikasi beberapa permasalahan setelah membaca laporan pertama, termasuk data statistik yang sangat penting, walaupun laporan sudah ditunda beberapa kali dan ada sejumlah data yang tertinggal, sehingga harus mencakup juga update terkini. Mr. Abashidze mengakui bahwa Indonesia merupakan negara yang kompleks karena sistem pemerintahannya sebagai kesatuan. Berbagai amandemen UUD sudah diadopsi dan banyak UU baru yang diadopsi, dengan melalui transformasi yang intens di pelbagai area, termasuk di bidang hukum. Namun demikian, sejumlah permasalahan masih tetap muncul di bidang ekosob 24 25

Statement lengkap, lihat Lampiran 2. Lihat profil, http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/CESCR/CVMembers/AslanAbashidze.doc

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

83


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

ini. Untuk itu, Abashidze menyampaikan pertanyaan kepada pemerintah Indonesia tentang: a. Dapatkah Kovenan diterapkan di seluruh area di Indonesia secara langsung dan apakah ada contoh mana provinsi pelaksanaannya, sehingga dapat diketahui apakah Indonesia memiliki mekanisme efektif untuk melaksanakan Konvensi? Apakah juga ada mekanisme yang menyelesaikan konflik antar-peraturan dan Kovenan? Apa yang terjadi bila sebuah UU disahkan namun bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam Konvensi? b. Apakah legislasi di Indonesia telah mencakup seluruh aspek hak dalam Kovenan? Masih terdapat sejumlah UU yang disahkan pada tahun 1960-an, lalu trend apa yang ada di balik kebijakan itu? Apakah legislasi mencakup hak-hak yang tercakup di dalam Kovenan? c. Bagaimana fungsi dari Komisi-komisi HAM di Indonesia; Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan lainnya? Indonesia memiliki banyak Komisi, yang didirikan oleh Dektrik dan peraturan lain, kompetensinya seperti apa? Biayanya seperti apa? Apakah dana memadai? Beberapa Komisi diberikan banyak kekuasaan, apakah jumlah orang-orang yang bekerja di Komisi itu terlalu banyak atau efektif? d. Ada UU tentang anti-diskriminasi, apakah mematuhi dan sesuai dengan pasal-pasal Kovenan? Ketua Komite kemudian membuka kepada forum Komite untuk menyampaikan pertanyaan kepada Pemerintah Indonesia. Mr. Clement ATANGANA, 26 salah seorang anggota Komite, menyampaikan pertanyaan pertama kali. Mr. Atangana menyambut delegasi Negara Pihak, sehingga dialog akan produktif dan efektif. Mr. Tangana menggarisbawahi tentang sistem peradilan dan apakah kovenan dapat dilaksanakan. Ia mengajukan sejumlah pertanyaan, yakni: a. Berfokus pada isu-isu yang dipertanyakan oleh Komite dalam dua pertanyaan pertama list of issues. Ia mengatakan bahwa dari data yang tersedia, sistem peradilan di negara pihak (Indonesia) memiliki banyak kekurangan, tidak independen, terdapat banyak pengaruh dari pelbagai pihak, seperti militer. Dari sini, apa yang anda lakukan bahwa anda 26

Profil lihat di sini, http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/TreatyBodyExternal/Memberships.aspx?MembershipID=189

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

84


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

memiliki sistem peradilan yang dapat sungguh-sungguh menerapkan hak ekosob tersebut di Indonesia? b. Kami telah menerima laporan mengenai korupsi, menurut sumber, korupsi sangat endemik dari Negara Pihak. Apa yang telah diambil untuk melawan fenomena korupsi ini? Mungkin tidak sepenuhnya bisa dibuat, apakah ada kasus-kasus korupsi yang sudah dituntut dan diselesaikan? Apakah ada contoh kasus? Banyak yang mengarah pada impunitas? Pertanyaan selanjutnya disampaikan oleh Ms. Maria-Virginia BRAS GOMES.27 Ia menyampaikan bahwa ia sangat menantikan dialog ini dan ingin menindaklajuti perihal diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM tidak mencakup seluruh hak-hak dalam artikel pasal 2 Kovenan. UU juga tidak memiliki batasan mengenai diskriminasi sesuai dengan UU. Karena tidak ada diskriminasi, tidak ada pula sanksi yang diberikan atas pelanggaran tersebut? Bagaimana penilaian anda, apakah mungkin adanya UU anti-diskriminasi ke depan yang dapat sesuai dengan pasal 2 Artikel. Bagaimana dengan diskriminasi berbasis pada identitas bangsa dan status ekonomi? Ia juga menggarisbawahi tentang perebutan lahan untuk keperluan industri. Menurutnya, banyak info tentang pembangunan ekonomi yang bertumbuh di Indonesia dan melanggar hak-hak selama bertahun-tahun. Hal ini, di antaranya, disebabkan kurangnya legislasi dalam perlindungan hak tanah, hambatan dalam legislasi, definisi yang tumbang tindih, termasuk di bidang pertambangan, sehingga tidak memiliki panduan yang sama, dan prinsip free, prior, and concent tidak diaplikasikan yang menimbulkan konflik di pelbagai daerah. Bagaimana penilaian HAM dalam bidang pertambangan? Kemudian, Mr. Bras Gomes menanyakan tentang kesetaraan gender. Ia tidak terlalu yakin dan tidak tahu kalau tidak ada UU tentang Pengarusutamaan Gender. Ia yakin bahwa sudah ada RUU yang akan disahkan dan apakah RUU ini dalam legislasi dan kenapa begitu lama disahkan? Kemudian, Ketua Komite menyerahkan kepada Mr. Nicolaas SCHRIJVER 28 untuk menyampaikan pertanyaan dan komentarnya terkait 27

Profil di sini, http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/CESCR/CVMembers/MariaVirginiaBrasGomes.doc 28 Profil di sini, http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/CESCR/CVMembers/NicolaasJanSchrijver.pdf

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

85


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

situasi hak ekosob di Indonesia. Ia menyampaikan sambutan hangat kepada delegasi pemerintah Indonesia, mengapresiasi ratifikasi dan meneruskan hakhak ini kepada 240 juta penduduk Indonesia. Pertanyaan Mr Nicolaas: a. Bagaimana Kovenan ini dilaksanakan di Indonesia? Apakah Kovenan ini dapat secara langsung dirujuk oleh para hakim sebagaimana disebutkan dalam jawaban LoI? Dalam hal apa warga negara Indonesia dapat mencapai hak-hak mereka? Apa mekanismenya, undang-undang atau seperti apa? Bagaimana mentrasformasikannya dan apakah mencakup semua hak? b. Bagaimana posisi kovenan ini dalam sistem legislasi nasional, apakah sebagaimana disebutkan seperti dalam Kovenan, atau ada pelatihan profesional bagi penegak hukum dan aparat pemerintahan untuk melaksanakannya? Selanjutnya, Ms. Heisoo SHIN29 diberikan kesempatan oleh Ketua Komite untuk menyampaikan pertanyaan dan komentar, yakni: a. Banyak isu yang disampaikan oleh rekan-rekan saya, terutama isu korupsi, adanya kesenjangan antara Konvensi, UU dan peraturan daerah, dan isu tentang adanya kemungkinan pelanggaran HAM dalam proyek bisnis. Isu lain yang juga penting untuk dibahas ialah tentang peranan masyarakat Indonesia dalam proses check and balances, bagaimana peranan masyarakat sipil dalam proses pelaporan Kovenan, konsultasi dengan masyarakat spil selama laporan dibuat, karena peranan CSO sangat dipentingkan dan dijamin. Ms. Shin menyatakan bahwa pandangan mereka (masyarakat spil) juga harus dihormati. Ia menekankan bahwa proses pelibatan tersebut bukan proses yang menjadi formalistis, melainkan harus setulus-tulusnya tentang adanya kerjasama antara Negara dan masyarakat sipil yang menjadi vital dalam pembangunan HAM. b. Isu diskriminasi dan kesetaraan gender dari pasal 2 dan 3 Kovenan juga menjadi perhatian Ms. Shin. Terkait kelompok rentan dan perempuan di masayarakat, ia menekankan tentang upaya yang dilakukan untuk untuk meninjau kembali peraturan dalam UU, apakah ada aspek diskriminasi di dalamnya, seperti kepada penyandang cacat, berdasarkan pada orientasi seksual, kelompok minoritas, termasuk pula perempuan. Ia mengatakan 29

Lihat profil di sini: http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/CESCR/CVMembers/HeisooShin.doc

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

86


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

bahwa pemerintah telah membuat Rencana Aksi penyandang disabilitas, apakah sudah mencakup aspek penghapusan diskriminasi pada kebijakankebijakan lain? Seperti UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jika guru dan dosen tidak sehat secara mental dan fisik, maka mereka tidak memadai untuk mengajar. Lalu, bagaimana anda melihat “memadai� dalam konteks ini? Bila seseorang buta, atau cacat fisik lainnya, apakah mereka dapat mengajar? Menurut Ms. Shin, UU Anti Diskriminasi tidak akan berjalan bila orang cacat dapat dipecat? Bagaimana anda memandang hal ini? Bagaimana pula dengan UU Perkawinan, masih ada klausul yang menyatakan bahwa jika isteri cacat atau sakit, maka suami dapat menceraikan. Bagaimana ini? UU Anti Pornografi pun demikian? Ada pula yang mengatur perempuan harus berbusana sesuai dengan ajaran agama tertentu? Apa yang dilakukan oleh pemerintah terkait diskriminasidiskriminasi tersebut? c. Ms. Shin juga menegaskan tentang langkah yang diterapkan oleh Pemerintah untuk menghilangkan diskriminasi berbasis gender. Ia menanyakan, apakah UU Keseteraan Gender dapat mencegah diskriminasi? Pengarusutamaan gender hanyalah strategi, tujuannya adalah dalam praktik dan di muka hukum, sehingga kebijakan harus dapat terlaksana dan menghilangkan semua aspek diskriminasi di dalam masyarakat. Sayang sekali tidak ada delegasi dari KPPA. Pertanyaan dan komentar selanjutnya disampaikan oleh Mr. Azzouz Kerdoun,30 wakil Ketua Komite. Ia menyampaikan sambutan hangat kepada delegasi Indonesia dan selamat datang dari Komite. Dari laporan yang sudah disampaikan, ia lebih memfokuskan pada kerjasama internasional. Menurutnya, Indonesia adalah negara yang besar dan membuat sejarah, seperti penyelenggaraan Konferensi Bandung, yang menjadi awal dari gerakan Non Blok. Soekarno sangat terkenal di negara koloni, di samping Indonesia juga terkoloni oleh Belanda. Dalam kerjasama internasional dan pembangunan internasional disebutkan di dalam laporan bahwa Indonesia melakukan kerjasama untuk dapat membantu pembangunan ekonomi, termasuk pula utang luar negeri Indonesia (dalam paragraf 23 – 28). Pertanyaannya adalah: Apakah dapat menyampaikan dari mana utang Indonesia tersebut? Berapa banyak utang Negara dan apakah ketergantungan ekonomi sebagai 30

http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/TreatyBodyExternal/Memberships.aspx?MembershipID=22

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

87


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

beban? Apakah ada suatu catatan (terkait utang) dalam pembangunan, dan bagaimana mengatasi hal ini, terutama karena ada krisis-krisis internasional? Bagaimana mekanisme mengurangi utang ini? Bila ingin mengurangi, apakah pengurangan tersebut tidak juga memengaruhi hak-hak ekosob bagi rakyat anda? Ia juga telah mencatat, Indonesia menerima bantuan internasional dari negara donor untuk berbagai proyek. Namun di saat yang sama, Indonesia memberikan bantuan teknis ke pelbagai negara berkembang? Apakah keuntungan dari bantuan internasional yang diberikan oleh Indonesia sebagai donor? Mampukan Indonesia memberikan bantuan teknis kepada negara berkembang sementara di sisi yang lain Indonesia juga masih berutang dan dalam proses membangun? Selanjutnya, salah seorang anggota Komite menyampaikan pertanyaan lainnya, yiatu: a. Ketika pemerintah Indonesia meyakinkan Komite bahwa pemerintah telah mengesahkan UU terkait dengan ekosob, apakah UU selaras dengan Kovenan? Bukan hanya status legal, namun bagaimana ia relevan dalam pengambilan keputusan? Dalam kebijakan ekonomi, sampai sejauh mana Kovenan ini relevan? Tidak cukup dengan sosialisasi atau penyampaian ke lapangan. Ia menyebutkan bahwa cukup mengejutkan dengan RANHAM yang dimiliki oleh Indonesia, apakah hal ini juga mencakup dalam pasalpasal Kovenan? Cakupannya apa dan apa isinya? Ia ingin mengetahui lebih lanjut tentang penggunaan Kovenan dalam sidang dan putusan, tidak hanya bagi pengacara, melainkan juga bagi para hakim dan meletakkannya di dalam putusan. d. Terkait dengan masyarakat adat, ia menanyakan apakah pemerintah dapat menunjukkan kepada Komite apakah komunitas tradisional ini dapat diklasifikasikan sebagai indeginous people atau tetap menyebutkan indeginous atau seperti apa? e. Terkait dengan laporan pemerintah pada paragraf 10, bahwa hal itu sudah menghormati dan sesuai regulasi. Yang dikhawatirkan ialah, pernyataan “dinegasikan atas pengakuan�, bagaimana anda meyakinkan saya bahwa hal itu tidak melanggar? f. Tentang diskriminasi dan kesetaraan gender. Sebagai negara muslim, ada satu perlakuan berbeda dalam Islam, bagaimana harmonisasi dengan kesetaraan gender dan non-diskriminasi. Apakah sudah cukup sukses atau

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

88


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

seperti apa, cukup meragukan dan menakutkan, bagaimana negara dapat merekonsiliasi hal tersebut? g. Hak atas pendidikan, saya tidak melihat adanya penjelasan tentang pendidikan sejak dini. h. Dalam bidang kehutanan: isu lingkungan yang sudah ada, demi pembangunan dan pertambangan, hutan, dll, namun mereka mengabaikan perawatannya dan berdampak pada perubahan iklim di dunia? Bagaimana komentar anda? Selanjutnya, pertanyaan diajukan oleh Mr. Mohamed Ezzeldin AbdelMoneim.31 Sebagaimana ditegaskan pada paragraf 33 – 35 halaman 9 dari laporan pertama, bahwa: a. Bagaimana isi dari paragraf 35 tentang limitas hak-hak pemilikan properti bagi warga negara asing? Berdasarkan pada Pasal 3 Kovenan, pembatasan dapat dilakukan, namun bagaimana menentukan hal itu tetap memberikan perlindungan hak? b. Paragraf 34 disebutkan, bahwa UUD 1945 memungkinkan adanya batasan pada penjaminan hak-hak dan kebebasan, berdasarkan pada moral dan nilai-nilai agama dalam sebuah komunitas yang demokratis. Apakah benar bahwa paragraf 34 ini pada dasarnya diaplikasikan pada praktik hak-hak sipil dan politik, tapi tidak pada hak ekosob? Karena pada kalimat terakhir laporan menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki niat untuk membatasi dan menghalangi pemenuhan hak ekosob? c. Saya senang mengetahui kalimat pertama pada paragraf 33 laporan pertama, terkait dengan deklarasi dan komitmen pemerintah Indonesia meneruskan meningkatkan pemenuhan hak ekosob di seluruh aspek pembangunan nasional dan di seluruh aspek kehidupan, di seluruh wilayah Indonesia? Namun dalam kalimat kedua, upaya-upaya itu dilaksanakan dengan memperhitungkan dana dan sumber daya pemerintah. Lalu, bagaimana upaya yang tidak/belum dilaksanakan dalam kapasitas dana negara pihak yang terbatas ini? Jawaban Pemerintah terhadap Pertanyaan Komite Setelah sejumlah pertanyaan disampaikan oleh anggota Komite kepada Pemerintah Indonesia dalam cakupan klasten I, Ketua Komite kemudian 31

http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/CESCR/CVMembers/MohammedAbdelMoneim.doc

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

89


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

memberikan kesempatan kepada delegasi untuk mendiskusikan terlebih dahulu jawaban-jawaban yang akan disampaikan. Diskusi dilakukan selama 15 menit, sekaligus istirahat bagi peserta sidang. Ibu Prof. Harkristuti Harkrisnowo, sebagai ketua delegasi, menyampaikan beberapa jawaban pertama terkait pertanyaan yang muncul, di antaranya tentang Komnas HAM. Menurutnya, Komnas HAM masih terbatas pada menyampaikan rekomendasi terkait pelanggaran HAM dan masih memiliki keterbatasan untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Pemerintah, bekerjasma dengan Komnas HAM, sedang meninjau UU HAM agar menguntungkan insttusi dan seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaan tentang apakah UU HAM mencakup seluruh diskriminasi? Kami yakin, demikian Ibu Harksristuti, UU mencakup seluruh basis diskriminasi berdasarkan pasal 2 Kovenan. Namun, kami memang belum meninjaunya dan menyesuaikannya dengan Kovenan. Berharap dengan revisi UU HAM ini dapat dilakukan review lebih lanjut dan penyempurnaannya. Tentang sistem peradilan, memang ada beberapa kekurangan dan belum sempurna. Namun, bila dikatakan adanya intervensi dari militer atau pejabat, sejak 1998 telah banyak dilakukan untuk menghilangkan intervensi tersebut. Indonesia telah memiliki UU Anti Korupsi, Komisi baru, yaitu Komisi Yudisial, yang secara khusus menangani dan mensuvervisi kekuasaan kehakiman dan menghukum pelanggar hukum bagi yang melanggar. Dalam isu korupsi, Indonesia memiliki KPK. Apakah ada putusan peradilan menghukum pejabat senior, ada banyak contoh, mantan menteri yang kemudian dihukum penjara, juga ada ketua Mahkamah Kosntitusi ditahan dan didakwa karena korupsi, anggota parlemen, ketua partai politik, dan anggota partai politik. Dari sisi hukum, ini adalah pencapaian dari sistem peradilan, namun memang ada juga pejabat tinggi yang tidak memberikan contoh yang baik kepada rakyat. Pertanyaan yang disampaikan oleh Ms. Bras Gomes, terkait dengan perampasan lahan akan dijawab secara khusus oleh delegasi pada klaster kedua. Sudah disiapkan info yang panjang untuk isu ini. Mengenai kesetaraan gender, Indonesia belum ada UU khusus. Satusatunya adalah UU Anti Diskriminasi Ras dan Etnik. UU kesetaraan gender masih dalam proses internal di parlemen. Ini juga bagian dari salah satu UU di bawah program legislasi nasional yang harus selesai pada tahun ini.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

90


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Pertanyaan dari Ms. Shin, pemerintah Indonesia selalu melibatkan NGOs dalam program yang dilaksanakan terkait dengan HAM. Kami telah meninjau ulang banyak UU, termasuk isu disabilitas, terutama sejak ratifikasi Konvensi perlindungan penyandang disablitas. Bahkan kami merencakanan RANHAM disabilitas. Terkait isu disabilitas dan RANHAM, dijelaskan oleh Bapak Nahar, Direktur Rehabilitas Sosial Disabilitas, Kementerian Sosial RI. Bapak Nahar menjelaskan bahwa tahun ini Indonesia harus segera menyempurnakan pelaksanaan RANHAM Disabilitas. RANHAM ini akan berakhir pada akhir 2014 sejak 2004. Rencana aksi ke depan tidak dibuat dalam tempo 10 tahun, melainkan akan dicoba dalam 5 tahun sehingga dapat dievaluasi dalam tempo pendek. Tempo panjang tidak terupdate sesuai kebutuhan. Terdapat lima persoalan yang dipersiapkan dalam RANHAM periode 2014-2019, yakni: a. Pembentukan dan penguatan institusi RANHAM disablias b. Sinkronisasi peraturan perundangan c. Pendidikan dan diseminasi d. Pemenuhan hak disabilibitas, yang mencakup empat poin: hak sipil politik; hak sosial dan budaya, penghapusan kemiskinan, kesempatan kerja, perlindungan disbailitas dalam bencana, penguatan kesehatan dan jaminan sosial; pemenuhan disabilitas perempuan, dan kusta; aksesibilitas dan akomodasi yang memadai. e. Memperbaki data dan evaluasi pelaporan. Terkait UU Perkawinan, Pemerintah menjelaskan bahwa UU ini dalam proses review dan rancangan UU Kesetaraan Gender juga sedang dibahas. Tidak ada info lanjutan yang diberikan oleh Pemerintah terkait dua hal ini. Tentang International cooperation, duta besar Triyono Wibowo, Permanent Mission of the Republic of Indonesia To the UN, WTO and Other International Organizations, Geneva, menyatakan bahwa: a. Utang luar negeri: untuk beberapa waktu, khususnya pada masa orde baru, antara 1967 hingga 1968, Indonesia memiliki utang yang sangat besar. Persoalan yang dihadapi bukan pada angka yang besar waktu itu, melainkan apakah jumlah yang ada itu manageable atau tidak, sehingga memengaruhi negara untuk memenuhi kewajiban ekosob masyarakat.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

91


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

b. Pada saat ini utang Indonesia mencapai 264 miliar USD. 132 miliar merupakan public debt dan 154 merupakan private debt. c. Penyebab utang: pada masa orde lama dan orde baru, masing-masing departemen dibebaskan untuk mencari pinjaman langsung ke bank dunia. Wilayah World Bank mengizinkan dealing dengan departemen secara langsung meminjam ke World Bank. Keadaan ini menyebabkan tidak terkontrol. d. Utang Indonesia kepada luar relatif dapat diatur dan dikelola dengan baik. e. Harus melalui DPR (transparansi utang) menjadi domain DPR, sehingga tidak ada lagi keputusan sepihak pemerintah untuk berutang. f. Mekanisme penanganan utang luar negeri, Kemenkeu menetapkan bahwa setiap tahun dari waktu ke waktu harus diturunkan. Pada 2013 utang 30,2% dari GDP, pada 2014 diturunkan menjadi 21,8%, dan pada 2016 diturunkan 18,8% dari GDP. g. Pemerintah mengurangi ketergantungan luar negeri. Melalui BI dan Keuangan menebitkan Surat Hutang Nasional, mobilisasi dana dari dalam negeri. Terkait bantuan teknis ke negara lain, duta besar Wibowo menyampaikan bahwa pada masa Orde baru Indonesia sangat membutuhkan kerjasama dan bantuan dari negara-negara maju. Namun, hal ini tidak boleh melupakan bahwa Indonesia terikat dengan komitmen 77 dan non-blok, serta kerjasama Selatan-Selatan sebagai salah satu pilar politik luar negeri Indonesia. Kemajuan ekonomi pada 1980-an memungkinkan Indonesia untuk membagikan pengetahuan kepada negara lain. Pada 1985, misalnya, Indonesia mendapatkan penghargaan dari WTO dalam swasembada beras. Tercatat pula bahwa Indonesia mampu menurunkan angka pertumbuhan penduduk. Dalam dua hal inilah Indonesia membangun kerjasama intensif dalam kerangka South-South, yaitu menjadi komitmen Indonesia untuk memberikan bantuan kepada negara berkembang. Bantuan teknis ini telah menjadi program utama pemerintah Indonesia dari tahun 1980-an. Pertanyaan yang disampaikan oleh Country Rapporteur terkait konflik peraturan daerah dan pusat dijawab oleh Prof. Zudan. Terkait Konflik peraturan daerah, pusat, dan Kovenan, ia menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat besar, dengan 505 kabupaten kota dan 34 provinsi. Tiap-tiap daerah secara rutin membentuk Perda. Ada dua

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

92


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

mekanisme yang digunakan oleh Pemerintah agar perda tersebut dapat harmonis dengan peraturan yang lebih tinggi dan Kovenan, serta agar tidak ada perda diskriminatif. Mekanisme itu disebut dengan eksekutif review dan yudicial review. Eksekutif review dilakukan oleh Pemerintah pusat dengan mengklasifikasikan perda, memeriksa, dan mengoreksi perda yang dibuat oleh Kabupaten/Kota. Hasilnya, surat keputusan dari Mendagri bahwa Perda itu salah dan tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi atau perda itu diskriminatif. Pada tahun 2014, Pemerintah telah memiliki program dengan 25 Perda dan sampai saat ini (30 April 2014) sudah dapat dikoreksi kurang lebih 50 peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi atau dianggap diskriminatif. Mekanisme kedua ialah dengan cara yudicial review, yang dapat dilakuan oleh warga negara atau masyarakat yang keberatan dengan perda itu. Mahkamah Agung dapat menentukan apakah bersifat diskriminatif atau sesuai dengan ketentuan. Selain itu, Pemerintah telah menyusun pelbagai pedoman agar dapat digunakan oleh Pemda untuk membuat Perda yang sesuai dengan Konvensi dan Peraturan lebih tinggi. Pedoman parameter HAM dalam Perda, peraturan Menteri tentang pengarusutamaan gender, PP No. 7 Tahun 2005. Selanjutnya, pertanyaan terkait apakah RANHAM sudah mencakup pasal-pasal di dalam Kovenan, Ibu Harkristuti menjawab bahwa RANHAM merupakan program yang sangat terlaborasi, dengan 130 program yang harus dilaksanakan oleh institusi pemerintah, nasional atau provinsi, pemerintahan dan kabupaten. Untuk diterapkan, lebih dari 400 Komite HAM di daerah untuk menjadikan rencana ini dapat diaplikasikan. Rencana ini mencakup hak kesehatan, hak ibu untuk memiliki bayi, kesehatan bagi rakyat miskin dalam komunitas tradisional, disablitas, air dan sanitasi, program perumahan bagi miskin, dan isu mengenai tanah, pekerjaan, termasuk pula trade union, sebagai bagian dari isu yang kami cantumkan. Pemerintah Indonesia berjanji mengirimkan RANHAM tersebut kepada anggota Komite. Terkait pendidikan HAM akan ditunda dalam klaster pendidikan dan budaya, Ibu Prof. Erliana dari Kemendikbud tidak menjawab atau ditunda. Isu lingkungan juga akan dijawab dalam klaster berikutnya.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

93


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Pertanyaan dari Anggota Komite, Mr. Abdul Muin, perihal 33 laporan pemerintah tentang pembatasan ekososbud akan disesuaikan dengan kapasitas anggaran dan sumber daya anggaran. Duta Besar Wibowo, PTRI Jenewa, menambahkan bahwa pemenuhan hak ini tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan anggaran. Kewajiban pendidikan diberikan 20% dan sekarang lebih dari 20%. Setelah pemerintah menyampaikan jawaban tentang pertanyaan sejumlah anggota Komite, Ketua Komite kemudian mengambil alih forum. Ia kembali mengembalikan kepada seluruh anggota Komite apakah ada pertanyaan lanjutan atau tidak terkait jawaban yang telah disampaikan oleh pemerintah. Sebelumnya, Komite menyampaikan bahwa mungkin ada usulan atau tawaran yang dapat diambil, yaitu prinsip kemajuan dan implementasi, di tingkatan ini tidak dijabarkan dalam ketentuan umum. Arahnya tidak disebutkan. Sementara itu, dalam komentar umum telah dibuat spesifik untuk membantu negara pihak menyebut dalam bagian ini terkait dengan kemajuan dan implementasi. Tanggapan Komite Atas Jawaban Pemerintah Ms. Bras Gomes menantikan jawaban lebih lanjut besok dalam klaster kedua. Dalam isu non-diskriminasi ada beberapa hal yang tidak termasuk, sebagaimana dalam Pasal 2.2 Kovenan. UU tidak menyebutkan dan mencakup secara spesifik tentang hak yang terkait dengan gender dan identitas gender secara spesifik. Jumlah transgender di Indonesia mencapai 200 ribu orang. Untuk itu, Ms. Bras Gomes mempertanyakan mengapa UU tersebut tidak mengindikasikan adanya dasar baru dalam bentuk diskriminasi, terutama dalam orientasi seksual dan diskriminasi gender. Meski demikian, Ms. Bras Gomes sangat senang akan adanya UU yang diadopsi karena memang tidak ada kebijakan yang sempurna. Ms. Shin menanggapi jawaban pemerintah, sebagai berikut: a. Terkait para penyandang disabilitas, terima kasih atas jawabannya. Ms. Shin melanjutkan, dalam UU apakah anda akan menghilangkan peraturan guru dan dosen yang diskriminatif terhadap disabilitas? Akan dihilangkan (Jawaban Pemerintah). Oke.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

94


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

b. Dikatakan bahwa Pemerintah akan dikumpulkan data dan dilaporkan, siapa yang akan mengumpulkan data disabilitas ini, kerena ada di kementerian yang berbeda. c. Terkait kesetaraan gender, apakah RUU yang tertunda di parlemen, apakah ada provisi tindakan khusus, seperti untuk mempercepat persamaan? Saya harap ada komponen itu untuk menghilangkan. Ketua Komite juga menyampaikan pertanyaan lanjutan, yaitu: a. Apakah kebijakan ini dapat ditinjau kembali dan mungkin diubah, yaitu dokumen yang tersedia. Saya memahami bahwa Indonesia belum meratifikasi prosedur complain di bawah perjanjian HAM. OP diberlakukan Mei tahun lalu. OP ini tidak hanya mekanisme individu, melainkan juga sangat penting untuk membantu Negara Pihak, untuk meningkatkan implementasi hak ekosob karena prosedur komunikasi ini sangat penting dalam sarana perubahan UU nasional. b. Apakah anda dapat menjelaskan kepada Komite apakah sudah ada posisi yang diambil sejauh ini dan apakah ada rencana ratifikasi OP Ekosob? c. Terkait korupsi: Tidak ada yang sempurna dalam hal ini. Ini merupakan masalah yang besar. Di tahun 2003, Konvensi Melawan Korupsi, apakah Indonesia Negara Pihak? Karena dalam konteks ini pada dasarnya Hubungan antara HAM dan korupsi, HAM dan pelanggaran HAM, dan oemberatan korupsi? d. Konvensi ini menetapkan sebuah struktur khsus mekanisme di bawah konvensi dan membentuk Komisi. Bagaimana melihat kerjasama antara dua institusi ini? Dalam segi praktis, banyak hubungan dan saling memengaruhi, namun pelajaran dari negara berbeda kadan-kadang menjadi penting. Jawaban Lanjutan Pemerintah Ibu Harkristuti Harkrisnowo menyerahkan jawaban tentang RANHAM Disabilitas kepada bapak Nahar, yang menjelaskan: a. Guru dan dosen, tanda-tandanya sudah diimplementasikan oleh pemerintah, terutama Mendiknas. Koalisi mendatangi Ombudsman dan Mendikbud merespon. SMPTN sudah clear. Kesulitan teknis karena kecatatan, hal ini persoalan hak universal dan tidak bisa ditahan. Ke depan, mau tidak mau, harus dikomunikasikan. Hal ini sudah diputuskan oleh Ombudsman dengan memperbaiki SMPTN.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

95


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

b. Data: di Kementerian Sosial. Kementerian Koordinator Kesejahreraan Rakyat untuk memulai langkah agar pendataan disabilitas bisa dimulai segera. Contoh yang paling konkret ialah, terdapat 2500 disabilitas yang bekerja, 53 PNS sebagai instruktur di pusat-pusat pelatihan, ialah disable. Terkait dengan Temporary special measure, dijawab oleh Bapak M. Anshor Betul, salah satu bagian RUU temporary measure. Contohnya adalah RUU yang telah diinkorporasi dalam pemilu dan diaplikasikan baru-baru saja dalam pemilihan legislatif dan provinsi mengenai mandatory quota bagi kandidat perempuan. Kebijakan ini diterapkan dan diaplikasikan secara ketat dan tegas, banyak partai politik yang didiskualifikasi karena tidak tercapai kuota. 2. Sidang Lanjutan: Pertanyaan dalam Klaster Kedua Kovenan Setelah Pemerintah Indonesia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh Komite pada klaster pertama, Ketua Komite melanjutkan pembahasan pada klaster kedua Kovenan. Ketua memberikan kesempatan kepada Anggota untuk menyampaikan pertanyaan pada klaster kedua dan akan dijawab oleh pemerintah Indonesia pada sesi hari berikutnya (2 Mei 2014). Pertanyaan pertama untuk klaster kedua disampaikan oleh Ms. Bras Gomes, yang ditujukan untuk Pasal 7 dan 9 Kovenan. a. Di dalam LoI menarik bahwa pada RPJMN telah menetapkan kebijakan pro job, pro poor and environment. Tapi, bila dilihat informasi yang mencakup, World Bank, pada 2010, perkiraan di sektor formal tidak selalu seiring dalam sektor informal. Pekerja dengan permanen, sementara dengan term terbatas, sektor formal tanpa kontrak. Jumlah yang ada di sini 80% ada di sektor formal dan UU buruh yang digunakan saat ini masih memungkinkan adanya perjanjian kerja secara lisan atau tertulis. Ms. Bras Gomes memastikan apakah masih memungkinkan adanya perjanjian secara lisan? Apakah hal ini tidak perlu diubah, karena akan ada banyak permasalahan? Mengapa anda masih memiliki ini? b. Pekerja rumah tangga: mereka tidak termasuk pekerja dalam hubungan pekerjaan. Dengan tidak mengakui, Negara tidak mengakui hak-hak buruh PRT. Sudah ada RUU PRT, 10 tahun dibahas. Terakhir public hearing dilakukan pada February 2013, jadi resistensi apa yang muncul dalam RUU ini?

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

96


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

c. Konvensi ILO 189. Tidak ada jaminan bagi Negara yang tidak bekerja, namun ada badan pusat statistik. Jumlah mereka yang tidak bekerja, yakni 7,9 juta orang. Ada banyak upaya untuk mendukung, namun jaminan pengangguran untuk mendukung jaminan sosial. Mungkin bisa berdiskusi lebih lanjut. d. Sektor informal sudah ada jamsostek, namun yang menjadi permasalahan ialah angka cakupannya yang cukup kecil. Ada jaminan sosial dan jaminan kesehatan, ada hal lain yang perlu ditambahkan. Apakah sudah melihat mekanisme atau upaya yang baik untuk dibuat? ILO sudah mendorong untuk mengadopsi proteksi. Selanjutnya, salah satu anggota Komite menanyakan tentang: a. Bagaimana proses dan upaya untuk mengesahkan RUU Pekerja Rumah Tangga. b. Legislasi peraturan perundangan, apakah ada yang mengatur jelas tentang upah yang sesuai dengan pekerjaan di Negara anda. c. Para 84 – 85 terkait dengan Laporan Pemerintah, peraturan TLS, substansi kimia di tempat kerja, pada tahun 2013, ketika pemerintah menginspeksi perkebunan pertambangan, berapa banyak kasus yang terkait dengan kesehatan dan bagaimana kasus ini dipecahkan. Selanjutnya, salah seorang anggota Komite menanyakan tentang paragraf 74 Laporan Pemerintah, yaitu tentang peraturan Menakertrans, bagaimaan metode yang digunakan untuk menetapkan upah minimum yang dimulai dari pemerintahan daerah atau nasional, apakah berkontribusi dalam pengurangan pengangguran. Mr. Abashidze menanyakan dan berkomentar tentang: a. UU pekerja tahun 2003, ada beberapa klaim mengenai UU ini, apakah sudah mencakup seluruh aspek yang harus dicakup dalam Konvensi? UU ini tidak mencakup dengan baik perlindungan hukum dan prosedur hukum mengenai hubungan kerja. Apakah ada upaya untuk meningkatkan? b. Mengenai UU Jaminan Sosial tahun 2004, ini tidak mencakup seluruh kategori pekerja, seluruh orang yang harus dicakup UU, apa yang dilakukan untuk mencakup semua warga? c. Labor exfactor tidak cukup dan perlu ada perbaikan.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

97


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

d. Kelompok pekerja yang berada dalam situasi sulit, Pekerja rumah tangga, pekerja perkebunan, perikanan. Sejauh dengan PRT, masalah bagi Indonesia, statitistik, tampaknya ada sekitar 100 juta PRT. Indonesia 10 juta dari 100 juta, sehingga harus ada UU yang mencakup seluruh aspek tersebut. e. Di sektor informal, suvervisi, TKI dan TKW yang banyak menghadapi berbagai masalah. Tidak memiliki MoU dengan negara tetantangga. Apa yang dilakuan dengan negara tujuan? Dan bagaimana WNA bekerja di Indonesia? Selanjutnya, Ms. Shin kembali bertanya kepada Pemerintah Indonesia mengenai: a. Pekerja migran dan PRT: apa sistem yang dibuat untuk menyuvervisi dan mengendalikan agen yang mengendalikan dan mengeksploitasi agen tersebut? Ada celah yang tidak mampu mengendalikan dalam mengeksploitasi pekerja dalam pelbagai bentuk. b. Diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan, apakah anda memiliki UU yang mengatur tentang kesetaraan upah, menyempitkan kesenjangan, upah laki-laki dan perempuan, 26 persen di beberapa area, 40% di bidang pertanian dan sebagainya? Bagaimana mempersempit atau menghilangkan kesenjangan gender? Sistem anda tidak memungkinkan serikat pekerja di pejabat pemerintahan, di area yang kritis dalam mengorganisasi pejabat, apakah ini dilarang, dibatasi, atau diperbolehkan di area-area tertentu seperti itu? Sidang dijeda istirahat selama 15 menit dan dilanjutkan dengan pertanyaan Klaster Kedua Kovenan Mr. Atangana menanyakan Pasal 10 Kovenan tentang kekerasan terhadap perempuan, dengan menegaskan bahwa hal ini merupakan fenomena yang banyak ditemui dan besar. Yang mengejutkan, kendati terdapat UU dan upaya hukum, keputusan di pengadilan tidak terlalu kuat untuk menghukum para pelaku, sehingga muncul kecenderungan dari pengadilan untuk melemahkan hukuman. Apakah upaya-upaya di bidang hukum tersebut memiliki dampak untuk mengurangi fenomena ini? Apakah UU memberikan kesempatan bagi hakim untuk fleksibel atau kaku? Mr. Kerdoun bertanya tentang:

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

98


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

a. Pasal 11 Kovenan: Data BPS, pada tahun 2013, menyebutkan, penduduk miskin di Papua Barat sebanyak 63% dan 40% di Papua. Sementara ratarata kemiskinan nasional hanya 14%. Tindakan aktif apa yang diangkat untuk mengatasi provinsi ini dan apa yang dihasilkan? b. Paragraf 1 laporan pemerintah, kelompok ini juga mencakup pemanfaatan lahan dan dalam paragraf 169 bahwa ada bantuan pangan. Apakah program ini fokus pada daerah tertinggal dan etnik minoritas yang termarjinalkan? Lebih dijelaskan bagaimana preferensi dalam bantuan tersebut? c. Pasal 12, menurut demografi Indonesia 2012, tingkat kematian ibu telah meningkat. Apa alasannya? Apa langkah efektif yang diambil? Mr. Dasgubta menanyakan tentang: a. Praktik FGM tidak dilarang dan berefek pada perempuan. Langkah apa yang sudah dilakukan untuk memberantas itu? Sebagai kejahatan atau seperti apa? b. Kecanduan tembakau; 20.9 dari populasi adalah perokok regular. Perempuan di pedesaan mengkhawatirkan dalam penggunaan tembakau. Menurut info yang diterima, sumber utama dari kanker mulut rahim bagi perempuan. Langkah apa yang dilakukan? Apakah ada larangan merokok di muka umum? Konvensi tembakau? c. Air minum yang bersih dan sanitasi. Kedua area ini, Indonesia sudah mencapai kemajuan. Namun statitisk cukup kurang dalam pencapaian MDGs 2015. Apa yang anda lakukan? Hanya 40,41 persen di tahun 2010, target 68 persen. Ada kesenjangan yang besar. d. Sanitasi ada yang dicapai kemajuannya, lebih dari 55% telah memiliki akses. Namun, ini cukup kurang dari target MDGs. Cukup menarik bahwa figur, 53% tidak terkait dalam program monitoring bersama yang dilakukan bersama oleh WHO dan telah meningkatkan sanitasi mereka. Apakah anda mendefinisikan target sanitasi yang berbeda dari apa yang sudah ditetapkan? Apakah istilah improvisasi sanitasi sama dengan standar internasional? Bagaimana dengan statistik ini? Mr. Pillay menyatakan dan menanyakan: a. Ia sangat kecewa, bahwa dari paragraf 10 atau 11 Laporan Pemerintah dalam priority area tidak dijelaskan lebih lanjut tentang perumahan.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

99


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

b. Apakah ada strategi khusus dalam pemberian perumahan yang layak bagi mereka yang termarjinalkan, wanita, dan lain-lain? Apakah negara memilikirkan pembangunan perumahan bagi mereka? Sebanyak 15% dari populasi tinggal di daerah kumuh. d. Kedua, adalah penggusuran paksa, seperti perampasan lahan komunitas adat dan dari SR Housing yang datang ke Indonesia tentang penggurusan paksa yang menjadi isu serius di Indonesia. Kita memiliki kasus-kasus perampasan lahan dari masyarkat adat, tidak hanya lahan dan properti mereka, tapi juga dipindahkan secara paksa. Dalam statemennya disebutkan bahwa prinsip free prior inform penggunaan lahan proyek pembangunan mewajibkan pihak-pihak dalam pertambangan untuk menghormati masyarakat adat, namun tidak ada konpensasi, rehabilitasi dan ganti rugi tempat mereka yang sudah ditempati lama. e. Contoh lain dari penggusuran paksa, yaitu kaum transgender, dipaksa dari lahan mereka di Jakarta Barat, Februari 2012. Rumah-rumah mereka dibakar. Faktanya, SR berbicara tentang rekomendasi. Apakah rekomendasinya sudah dipertimbangkan? UU yang sesuai dengan hukum HAM internasional, di dalam Genewal Comment 7 tentang penggusuran paksa. f. Apakah karena SR telah membuat banyak rekomendasi perampasan lahan, kebijakan lahan, yang harus menghormati masyarakat adat dan wilayah berdasarkan pada hukum adat, khsuusnya di paragraf 80 f dan g, korban kekerasan dalam rumah tangga, SR mendorong negara agar korban memiliki akses penampungan yang mudah diakses, diberikan khusus kepada perempuan punggung keluagra dan korban KDRT. Apakah dipertimbangkan ada upaya pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi tersebut? Sesi sore, tanggal 30 April 2014, diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan dari anggota Komite dalam klaste 2 untuk dibahas pada hari sidang berikutnya, 1 Mei 2014. HARI KEDUA, 1 Mei 2014, 09.00 – 18.00 Hari kedua difokuskan pada jawaban-jawaban Pemerintah Indonesia terkait dengan pertanyaan dan pernyataan yang sudah disampaikan oleh

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

100


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Anggota Komite. Jawaban terhadap pertanyaan ini dipandu oleh Ketua Delegasi Pemerintah Indonesia dan dijawab oleh anggota delegasi. Ibu Maya Grandty, Kantor Fungsional Bappenas Lingkungan hidup menjadi perhatian Pemerintah dalam pembangunan. Hal ini tergambar dari dua aspek, yaitu antisipasi dan pengendalian pencemaran lingkungan. Dengan adanya pengaturan tersebut, data Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa adanya peningkatan ketaatan perusahaan dalam menjaga dan menaati aturan dalam aspek lingkungan. Pada 2012 meningkat hingga 26%, dari tahun 2010 – 2011. Hal ini juga mengarah pada perbaikan lingkungan dan penyimbang antara ekosistem dan lingkungan yang baik. Dalam regulasi tahun 2012 ditegaskan adanya penyelenggaraan tanah bagi kepentingan umum yang harus didasarkan pada beberapa elemen studi kelayakan, yakni survei sosial ekonomi, apakah telah memenuhi unsur tata ruang wilayah, aspek topografi dan lingkungan, analisis biaya dan pemanfaatan, analisis masyarakat yang terkena dampak, serta dampak lingkungan yang menjadi perhatian. Bapak Muhammad Anshor, Dirketur HAM dan Kemanusiaan, Kemenlu Masyarakat Adat: Terkait dengan masyarakat adat dan indigenous people, Bapak Anshor menyampaikan bahwa masyarakat ada tidak selalu merujuk kepada minoritas dan marjinal. Sistem distrik selama ini masih dipertahankan. Dalam praktiknya, hukum adat dalam masyarakat etnik juga masih dipelihara oleh masyarakat hukum adat. Terkait dengan Indigenous people, deklarasi tahun 2007 merujuk konsep hukum yang penerapannya merujuk pada aspek tertentu. Hal ini agar berbeda dengan konsep hukum adat yang ada di Indonesia, setidaknya pada dua hal berikut: Pertama, Indonesia sangat mendukung Deklarasi 2007 ini karena secara substantif sangat positif dan sangat baik. Namun di Indonesia, konsep ini tidak banyak membantu dalam melindungi masyarakat adat, sehingga tidak aplikabel, walaupun ada sejumlah aspek yang relevan dengan kondisi di Indonesia, seperti prinsip free and prior concent. Kedua, dalam konteks nasional, masyarakat hukum adat dilindungi secara konstitusional di dalam UUD, sesuai dengan perkembangan zaman yang

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

101


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

terjadi. Ada nilai yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip universal dan perlu dipertimbangkan dalam konstitusi dan praktik. Optional Protokol: Terkait dengan OP ICESCR, Bapak Muhammad Anshor menyampaikan apresiasinya terkait dengan dorongan untuk meratifikasi Konvensi. Indonesia cukup mendukung sejak awal dan sampai adopsi resolusi ini. Resolusi ini memang mangatur tentang kemungkinan komplain individu kepada Komite ESCR. Di tingkat nasional, Indonesia telah memiliki banyak mekanisme yang menerima laporan individual yang dikelola dan dimuat dalam RANHAM. Mekanisme lain juga terdapat di Komnas HAM dan Ombudsmen. UU HAM juga menjadi adanya pengaduan setiap orang ke mekanisme HAM internasional yang relevan. Alasan itu penting guna memperkuat mekanisme di tingkat nasional yang telah ada tersebut. Hal ini tentu mengarah pada pembangunan kapasitas aparat di tingkat nasional dalam menyelesaikan permasalahan dan mengatasinya dengan bersamaan Indonesia mengakui adanya mekanisme pengaduan di tingkat internasional. Demikian pula saat dialog dengan Komite CEDAW, pemerintah Indonesia telah menyampaikan perhatiannya untuk meratifikasi OP invidual complaint dan saat ini sudah dilakukan upaya-upaya yang mengarah ke sana. OP CAT juga mengarah ke situ, tanpa menafikkan kemampuan dan kapasitas di tingkat nasional. Hubungan KPK dan Komnas: Bapak Anshor menyampaikan bahwa korupsi memperlemah kapasitas Negara dalam pemenuhan hak, sehingga hal ini menjadi prioritas pemerintah. Kerjasama antara KPK dan Komnas HAM secara resmi belum ada, namun sifatnya sinergi, yaitu melihat dampak korupsi dalam penegakan HAM di Indonesia. Saat ini telah timbul suatu pemahaman bahwa korupsi adalah permasalahan HAM. Bapak John W. Daniel Saragih, Kepala Sub Direktur, Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Pekerja rumah tangga: UU Ketenagakerjaan Indonesia memang ditujukan untuk sektor formal, yaitu mengatur hubungan pengusaha dan pekerja. Setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 10 orang harus menjamin upah minimum, jaminan sosial, cuti, dan sebagainya. Di bawah 10 pekerja dibuat perjanjian antara pekerja dan pengguna jasa.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

102


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Dalam sektor informal, tidak ada hubungan kerja. Perjanjian sektor informal lebih banyak secara lisan. Nelayan, misalnya, mereka menggunakan kapal ke laut, biasanya dilakukan secara lisan saja, tidak dengan kontrak atau perjanjian resmi dengan pemilik kapal. Peraturan Kementerian Tenaga Kerja tahun 2006 mengatur tentang bimbingan teknis bagi para pemilik kapal untuk membuat perjanjian secara tertulis dengan nelayan supaya ada kepastian. Terkait dengan asuransi, asuransi seluruh masyarakat Indonesia telah dijamin melalui UU BPJS dan SJSN, termasuk pula fakir miskin yang ditanggung oleh Negara. Per 1 Januari 2014, SJNS diberlakukan khusus untuk bidang kesehatan dan asuransi kerja akan diberlakukan pada tahun 2015. Sektor informal, peraturan Menteri No. 5/2003 menegaskan bahwa Menaker dan Jamsostek bersepakat untuk memberikan bantuan kepada sektor informal, hanya sampai 6 bulan saja. Ke depan, mereka diharapkan dapat membayar sendiri. Terkait dengan equal work and pay antara laki-laki dan perempuan, UU dan peraturan di Indonesia telah menegaskan tentang itu. Upah adil secara gender sudah ditetapkan di tempat kerja. Ada pula panduan yang dibuat tentang upah minimum, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Terkait dengan zat kimia dalam kehidupan nelayan dan pekerja lainnya, bila ada masalah dalam hubungan ketenagakerjaan, maka dilakukan penelitian mendalam tentang zak kimia tersebut dan akibat hubungan kerja yang muncul dari situ. Hal ini akan dilakukan oleh pejabat pengawas. Dalam hal metode penetapan upah, Indonesia tidak memiliki undangundang upah minimum nasional, namun ditetapkan secara regional atau per provinsi dan kabutan/kota. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100 tentang Upah Minimum. Upah minimum diatur dalam Permen UM dan Layak, yang menjelaskan tentang upah minimum dari pokok dan tunjangan (safety net). Indonesia punya UMP, UMK dan Sektoral. Jadi tidak ada upah minimum nasional, karena perbedaan wilayah dan kondisi. UMP ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan di tingkat nasional. Biasanya survei dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan layak pekerja, juga diikuti survei-survei lain yang menentukan layak hidup. Dalam penyelesaian kasus, UU Penyelesaian kasus PHK hubungan kerja sudah diperbarui. Dahulu menggunakan UU 12 Tahun 1964, kini diganti

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

103


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

menjadi UU No. 2 tahun 2004. Penyelesaian perselisihan hak, PHK, dan sebagainya dilakukan secara bipartite, dalam jangka waktu 30 hari. Disnaker setempat menjadi mediator, dengan putusan final dan mengikat. Hal ini diatur dengan prinsip murah, sederhana, dan cepat. Penyelesaian perselisihan industrial diatur oleh undang-undang tahun 2004. Pengaduan dapat berupa perorangan atau kolektif. Jika sengketa belum diselesaikan perusahaan dalam waktu tiga puluh hari, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada Komite Penyesuaian sengketa profesional dalam contoh pertama memutuskan konflik serikat atau Mahkamah Agung untuk perselisihan perburuhan. Di kabupaten dan daerah, Ombudsman dapat membuat rekomendasi dalam waktu tiga puluh hari guna kesepakatan. Dengan tidak adanya perjanjian antarpihak, sengketa dapat diajukan sebelum Majelis Ketenagakerjaan dan Mahkamah Konstitusi. Seluruh prosedur tidak melebihi seratus lima puluh hari. Terkait pengawasan PJTKI, hal ini dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan, bekerjasama dengan PNP2TKI. Setiap PJTKI harus mendapatkan izin. Hal itu harus memuat beberapa hal: Badan hukum PT dan berdasarkan UU, modal yang disetor terlebih dahulu sebesar 3 miliar, jaminan di bank 500 juta rupiah, rencana penempatan dan perlindungan selama 3 tahun, adanya unit pelatihan, serta sarana dan prasarana. Semua ini menjadi syarat adanya PJTKI. Dalam hal diskriminasi di tempat kerja, pemerintah berkeyakinan bahwa tidak ada diskriminasi di tempat kerja. Ditegaskan bahwa PRT bukan sebagai bagian dari anggota rumah tangga, juga bukan budak. RUU sudah mencakup itu, adanya hak upah minimum, cuti, dan sebagainya. Bapak Anshor Muhammad: Terkait Konvensi ILO dalam perlindungan PRT, sebulan yang lalu, Menakertrans sudah mau meratifikasi. Bapak Nelson Simanjuntak (Kementerian Dalam Negeri): Dalam hal hak demonstrasi PNS, menurut UU dan peraturan yang ada di Indonesia, mereka tidak diperbolehkan karena tidak ada pasal yang mengizinkan. Setelah pertanyaan pada sesi hari pertama selesai dijawab, Ketua Komite meminta feedback dari Anggota atas jawaban yang diberikan. Tanggapan tersebut:

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

104


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Ms. Bras Gomes mengatakan bahwa pertanyaan dia meminta para pekerja tanpa kontrak di lapangan kerja sektor formal, yang mencapai 80% bekerja dalam kondisi seperti itu. Hal ini menganggap bahwa perlindungan sosial tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan program Jamsostek, bahkan dapat membantu mengonsolidasikan semua program bantuan, terutama di sektor informal. Ms. Shin mengatakan bahwa konsep upah yang sama yang ditetapkan dalam Pasal 7 Kovenan mengacu bekerja sama nilainya dan bukan pekerjaan yang sama. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu sistem yang dapat mengukur nilai ini. Indonesia harus menafsirkan ketentuan tersebut dan menggunakan definisi diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan untuk menilai apakah perempuan didiskriminasi di tempat kerja. Terkait dengan PJTKI, Ms. Shin menanyakan apakah ada seseorang atau departemen yang bertanggung jawab untuk menerima pengaduan korban buruh migran atas pelanggaran hak-hak mereka oleh PJTKI? Karena Ms. Shin melihat adanya hidden exploitation yang terjadi dan tidak adanya prosedur khusus yang memungkinkan korban melaporkan situasi yang mereka alami. Mr. Waleed Sadi meminta klarifikasi tentang perlindungan pekerja rumah tangga Indonesia di luar negeri. Dia ingin mengetahui efektivitas memerangi pekerja anak telah diambil, dan mengetahui program-program apa saja yang mendukung anak-anak jalanan dan pekerja anak, dan seberapa efektif pula program-program tersebut.

Jawaban Lanjutan Pemerintah Indonesia Bapak John Saragih, dari Menakertrans, mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia hendak mengintegrasikan pekerjaan informal program Jamsostek, sehingga orang yang bekerja di sektor ini bisa mendapatkan keuntungan dari jaminan sosial. Tujuannya untuk memungkinkan semua warga negara agar mendapatkan keuntungan dari program tersebut pada Juni 2015. Ada dua jenis kontrak kerja Indonesia, yakni pertama kontrak durasi tak terbatas, yang mulai berlaku pada akhir periode percobaan dan berakhir pada usia pension, dan kedua kontrak jangka tetap, yang dapat ditemukan untuk proyek tertentu dan yang tidak boleh melebihi tiga tahun.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

105


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Terkait pelanggaran hak pekerja migran, Departemen Tenaga Kerja yang menerima pengaduan dari pekerja migran, yang diperlakukan bekerja sama dengan Badan Nasional perlindungan dan penempatan buruh migran. Perusahaan yang mempekerjakan sedikitnya 10 karyawan harus mengadopsi peraturan yang melarang diskriminasi terhadap perempuan. Bapak Anshor mengatakan bahwa pekerja Indonesia di luar negeri menerima perlindungan yang komprehensif terhadap segala jenis pelanggaran. Ini adalah salah satu prioritas kebijakan luar negeri dari negara itu, Indonesia memimpin dalam kerjasama dengan negara-negara lain di bawah Proses Colombo dan Dialog Abu Dhabi. Indonesia juga telah menyimpulkan perjanjian bilateral dengan negara-negara bersistem perlindungan sosial tidak cukup. Selain itu, perjanjian regional telah ditandatangani dengan negara-negara tetangga anggota ASEAN. Saat ini, Indonesia sedang mengembangkan sebuah instrumen yang mengikat secara hukum yang akan melengkapi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Di sini Indonesia merupakan salah satu pihak. Ibu Harkristuti mengatakan bahwa Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak serta rencana aksi untuk pencegahan dan penghapusan perdagangan manusia serta eksploitasi seksual terhadap anak. Program pengendalian terhadap pekerja anak telah membantu lebih dari 32.000 anak-anak untuk kembali ke sekolah. Dalam semangat yang sama, kerangka kemitraan telah dikembangkan dengan institusi yang berhubungan dengan anak-anak di 14 provinsi. Sesi dilanjutkan pada pembahasan Klaster 3 Klaster 3 dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dari Anggota Komite. Ms. Ravenberg: Dalam kerangka Pasal 11 Kovenan, Ms. Raverberg mempertanyakan tentang BPJS yang masih menuai masalah, seperti kekurangan obat-obatan, tenaga medis dan fasilitas. Apakah ada evaluasi yang dibuat untuk menilai program ini dan bagaimana solusi yang diambil? Terkait dengan angka kematian ibu, Ravenberg menanyakan tentang peningkatan kematian ibu yang mencapai 63% dibandingkan tahun 2007, terutama yang disebabkan oleh infrastruktur yang buruk, kurangnya fasilitas dan para medis. Selain itu, juga bagaimana pula program ini dapat mengatasi permasalahan yang dialami oleh mereka yang miskin dan rentan, termasuk perempuan di Papua.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

106


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Mr. Martynov menanyakan tentang situasi 34% lahan di Indonesia yang masih tidak terregistrasi secara baik. Ia menanyakan apakah pemerintah memiliki upaya perlindungan hak-hak individu terhadap tanah. Demikian pula dengan daerah-daerah tertinggal, setelah adanya program 2010-2014, apakah ada peningkatan atau perubahan? Mr. Waleed Sadi bertanya tentang mekanisme apa yang ada untuk memantau kepatuhan dengan usia minimal untuk menikah dan langkahlangkah apa yang diambil untuk melindungi perempuan dalam serikat poligami. Selain itu juga mempertanyakan bagaimana tentang saksi dalam perkosaan. Mr. Kerdoun merasa heran jika sumber daya air adalah milik eksklusif Negara dan manajemen mereka dapat diserahkan kepada perusahaan swasta. Ia meminta penjelasan tentang ini. Mr. Abdel Moneim mengatakan bahwa berdasarkan ringkasan belanja Pemerintah Pusat pembangunan ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia antara tahun 2005 dan 2011 (sebagaimana laporan pemerintah paragraf 284 laporan yang dipertimbangkan), ia menanyakan mengapa Pemerintah mengurangi sejumlah proporsi layanan, seperti alokasi untuk “kesehatan masyarakat masyarakat� dan perlindungan sosial keluarga dan anak-anak. Namun laporan ini tidak menjelaskan lonjakan harga bahan bakar dan komoditas lainnya pada tahun 2006, dua tahun sebelum krisis ekonomi, yang telah menghasilkan dua kali lipat tingkat kemiskinan. Dia menanyakan apakah Negara Pihak memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin untuk memastikan bahwa mereka menggunakan hak mereka untuk pangan dan menstabilkan harga bahan pokok. Selain itu juga menanyakan sejauh mana pajak tidak langsung termasuk dalam anggaran rumah tangga miskin. Setelah pertanyaan disampaikan, Ibu Harkristuti sebagai ketua delegasi mempersilakan rombongan untuk menanggapi pertanyaan yang diajukan. Ibu Grata Endah Werdaningtyas, Sub Direktorat HAM dan Kemanusiaan, Kemenlu, mengatakan bahwa peningkatan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan tidak mencerminkan peningkatan fenomena ini, melainkan lebih pada adaya peningkatan pemahaman hak mereka oleh korban, melalui kampanye kesadaran yang telah dilakukan. Pemerintah juga berniat untuk melanjutkan upaya ini dan memastikan bahwa polisi dan hakim yang terlatih dalam perawatan yang tepat dari korban KDRT.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

107


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Umumnya, korban yang menarik pengaduan karena mereka telah berhasil dan perbaikan dengan cara lain, termasuk mediasi. Dalam proses pengadilan, korban menerima perlindungan yang membuat mereka bebas dari pengulangan dan intimidasi dari pasangan pelanggaran mereka. Dalam hampir seribu rumah sakit di seluruh provinsi di Indonesia, perempuan yang mengalami kekerasan menerima perawatan yang komprehensif, yaitu perawatan kesehatan dan konseling. Menurut survei sosial ekonomi nasional yang dilakukan pada tahun 2012, tingkat perkawinan anak perempuan berusia 15 dan di bawah 15 tahun mencapai 11%. Untuk memerangi praktek dasarnya pedesaan ini, Pemerintah telah meluncurkan kampanye guna meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko yang ditimbulkan dalam kehamilan remaja. Selain itu juga telah memperkenalkan pendidikan gratis dan wajib untuk jangka waktu 12 tahun. Ia menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia mendukung monogami, sehingga poligami harus sesuai persyaratan yang cocok untuk melindungi hakhak istri kedua dan anak-anak dari pernikahan kedua. Selanjutnya, ibu Harkrisnowo mengatakan bahwa korban perkosaan harus memberikan keadilan dua alat bukti, yaitu kesaksian orang yang bisa bersaksi dengan fakta-fakta dan laporan forensik. Perkosaan dikriminalisasi dalam hukum Indonesia. Ibu Maya Grandty mengatakan bahwa pada tahun 2013, 15 kilogram beras didistribusikan setiap bulan untuk keluarga miskin yang memungkinkan pemerintah menjamin hak atas pangan penduduk dan menstabilkan harga pasar bahan pokok ini . Ibu Eka Viora, Direktur Kesehatan Mental, Kementerian Kesehatan RI, mengatakan bahwa tingginya angka kematian ibu karena fakta bahwa banyak perempuan hamil terlalu dini atau lanjut usia. Mereka sering tidak memperhatian rentang masa kehamilan. Secara khusus, perempuan tidak memiliki akses yang memadai terhadap perawatan kesehatan dan prenatal dan postnatal, sehingga ibu melahirkan sering datang terlambat dalam pelayanan kesehatan. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki situasi tersebut, termasuk mempekerjakan bidan lokal yang mempersiapkan ibu hamil untuk melahirkan dan mencegah komplikasi, dan memperkenalkan layanan dan layanan kesehatan neonatal gawat darurat rumah sakit. Dengan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

108


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

cara ini, dan dengan bantuan mitra pembangunan, seperti WHO, Pemerintah berharap mendapatkan target yang lebih dekat untuk mencapai MDGs. Terkait dengan rokok, mengingat adanya peningkatan aktivitas merokok, termasuk jumlah perokok, Pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai undang-undang dan peraturan tentang zat adiktif tembakau dan telah menjalin aliansi antara berbagai provinsi dan kota-kota serta kemitraan dengan organisasi-organisasi nonpemerintah. Hal ini termasuk pula melakukan kampanye kesadaran tentang efek berbahaya dari tembakau, membatasi penyebaran iklan untuk produk tembakau dari 21.00 sampai 05:00, peningkatan pajak tembakau dan mengatur pesan peringatan tentang bahaya merokok di bungkus rokok. Pemerintah mengadakan pertemuan tingkat menteri untuk membahas kemungkinan meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau. Untuk memerangi FGM, Pemerintah, yang menentang praktik ini, telah meluncurkan kampanye kesadaran terhadap keluarga dan tokoh agama dan masyarakat. Departemen Kesehatan juga sudah mengadopsi peraturan baru pada Februari 2014, yang membatalkan ketentuan Peraturan 10/2010 tentang eksisi. Sistem jaminan kesehatan nasional yang baru didirikan pada awal 2014 mendapatkan banyak kritik dari pengguna, terutama karena kualitas dan tidak merata dan keterbatasan perawatan dan keterampilan para medis, di beberapa daerah, dan fasilitas kesehatan. Untuk itu, sebuah hotline telah dibentuk untuk menerima pengaduan dari pasien dan memungkinkan para manajer rumah sakit untuk berkomunikasi dengan Departemen Kesehatan. Terkait dengan kehidupan yang layak, Pemerintah telah menyertakan kebijakan perumahan dan instrumen yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur, seperti sanitasi, air bersih dan listrik, atau pembangunan jalan. Pada 2012 – 2013 pemerintah berusaha memperbaiki infrastruktur dan mengurangi jumlah rumah kumuh di negara ini. Bapak Zudan Arif, Ketua Bidang Hukum, Kementerian Pendidikan, mengatakan bahwa untuk memfasilitasi proses sertifikasi tanah, tim melakukan perjalanan dan menjemput bola, sehingga memungkinkan pihak yang tertarik untuk membuat registrasi. Dengan demikian, satu juta orang telah memperoleh identitas tanah yang mereka miliki pada tahun 2010.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

109


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Disebut daerah “terbelakang� sebenarnya karena berbagai alasan, tumbuh kurang cepat daripada yang lain. Hal ini terutama kasus daerah pulau terpencil, daerah yang paling terkena bencana alam, daerah tertinggal dalam hal infrastruktur atau daerah tanpa sumber daya alam dan manusia. Semua mengikuti pada rencana pembangunan dengan anggaran yang disediakan, sehingga Pemerintah tidak berniat untuk mengurangi. Prinsip kesetaraan gender diabadikan dalam hukum Indonesia dan banyak perempuan yang menempati posisi tanggung jawab dalam pelayanan publik, terutama di tentara atau polisi. Prinsip ini sepenuhnya konsisten dengan hukum Islam. Setelah pemerintah menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Komite, Ketua Komite memberikan kembali kesempatan kepada seluruh Anggota untuk pertanyaan lanjutan terkait isu yang tercakup dalam Klaster ketiga. Mr. Mancisidor menanyakan apakah Negara Pihak memastikan bahwa peningkatan pendanaan untuk pendidikan memiliki efek memperluas akses pendidikan khususnya bagi anak-anak dari keluarga miskin. Mengacu pada paragraf 232 dari laporan tersebut, ia menanyakan bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi dapat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan persatuan nasional? Ia juga menegaskan tentang adanya indikasi korupsi yang besar di bidang pendidikan, jaminan sekolah bagi siswa miskin dan upaya pemerintah meningkatkan anggaran dan akses kepada pendidikan. Selanjutnya, Ms. Ravenberg mengungkapkan keheranannya jika pendidikan benar-benar gratis, namun di sisi lain orang tua diharuskan untuk membeli buku-buku pelajaran dan membayar biaya terkait lainnya. Dia bertanya-tanya apakah hak pendidikan telah mencakup semuanya, dan mengapa anak-anak tuli, bisu, buta dan cacat dikecualikan dari ujian masuk di perguruan tinggi. Mr. Marchan Romero menanyakan apakah Negara Pihak mengakui hakhak kolektif kelompok etnis yang berbeda hidup berdampingan di negara ini. Dalam paragraf 277 laporan pemerintah disebutkan bahwa 10 bahasa daerah sudah punah dan 32 lainnya terancam punah, ia menanyakan bertanya apakah Negara Pihak bermaksud untuk mengambil langkah-langkah untuk membalikkan tren ini? Mr. Schrijver menanyakan tentang angka apa putus sekolah anak perempuan, terutama yang berasal dari keluarga miskin, dan dampak dari

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

110


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

pelbagai program yang dijelaskan dalam jawaban atas pertanyaan paragraf 32 dan 33 dari LoI. n Pukul 15.00 (Sesi Terakhir) Setelah pertanyaan dikumpulkan, Sesi ditunda untuk istirahat (sore, pukul 15.00) dan dilanjutkan setelah istirahat, sementara Pemerintah berdiskusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Ibu Anna Erliyana, Staf Ahli Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menjelaskan bahwa pendidikan HAM telah menjadi kurikulum dalam pelatihan aparat hukum di Indonesia. Kepolisian mengeluarkan Protap HAM dalam skema kerja kepolisian. Pemerintah Indonesia mendukung penegakan dan pemajuan HAM secara umum, di antaranya dengan lembaga-lembaga independen yang ada, seperti KPAI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsmen dan Kompolnas. Terkait dengan bantuan pendidikan, Indonesia telah membuat dana bantuan dalam skema BOS dan bantuan perguruan tinggi. Dana ini khusus diberikan bagi mahasiswa miskin. Perguruan tinggi diharuskan untuk mencari anak-anak miskin untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Dalam SMPTN, tidak ada kebijakan nasional yang melarang para disabilitas dilarang sekolah. SMPTN dan Majelis Rektor juga sudah membahas tentang hal ini, menghapuskan dan meminta maaf atas kesalahan ini di hadapan para kelompok disabilitas. Terkait cagar budaya, Pemerintah Indonesia sudah memperbaiki dan dikonservasi. Hal ini dilakukan melalui dua kebijakan, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 2007 yang menjelaskan tentang pelestarian dan nilai sosial masyarakat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2007 yang mengatur tentang fasilitasi budaya. Permasalahan ini juga tercakup dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menjamin masyarakat hukum ada dan memungkinkan adanya pembentukan Desa Adat. Selain itu, Indonesia juga menyelenggarakan Festival Budaya, Rumah Budaya, serta pusat-pusat informasi yang mencakup pula Pusat Artefak. Bahasa Daerah juga dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai pelajaran tambahan, yang diatur melalui Permen 81/A/2013, yang mewajibkan semua sekolah memasukkan pelajaran bahasa lokal dalam kurikulum. Terkait dokumentasi

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

111


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

bahasa, Indonesia memiliki Badan Bahasa yang telah menerbitkan kumpulan bahasa lokal, termasuk bahasa yang jarang digunakan oleh kelompok pemilik. Ibu Harkristuti menambahkan, terkait pendidikan, termasuk buku, sudah termasuk dalam program gratis, sehingga siswa tidak dibebankan lagi untuk membeli buku. Bapak Zudan Arif menambahkan tentang hak tanah ulayat yang diakui dalam sistem hukum Indonesia, terutama Pasal 18 Konstitusi. Di dalamnya juga mengatur tentang relasi kuat antara masyarakat dan tanah. Di sejumlah provinsi, termasuk pula di wilayah Papua dan Papua Barat, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, masih pada tahap diskusi antara pemerintah dan komunitas adat. Ibu Erliyana menambahkan bahwa partisipasi pendidikan di antara perempuan dan laki-laki seimbang. Pada tahun 2012, sebanyak 98,17 persen perempuan berusia 7 sampai 12 tahun sedang duduk di bangku sekolah, dibandingkan dengan 97,95 persen laki-laki. Data tentang anak-anak keluar sekolah akan dijelaskan lebih lanjut secara tertulis. Sesi dilanjutkan dengan pertanyaan dari anggota Komite untuk beberapa pertanyaan yang belum dijawab. Mr. Mancisidor menanyakan tentang apakah dampak dari korupsi terhadap pendidikan? Dapat diberikan contoh bagaimana ilmu pengetahuan bertentangan dengan moralitas? Ms. Shin menanyakan kembali tentang pendidikan di Papua secara khusus dan bagaimana pendidikan di wilayah tersebut, termasuk tentang fasilitas dan sarananya? Ms. Ravenberg menanyakan tentang jaminan pendidikan di daerah pedesaan, terutama di Papua dan Papua Barat, termasuk pula para penganut Ahmadiyah. Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab oleh pemerintah. Tentang Papua, dijawab oleh Bapak Bambang Darmono, Ketua UKP4B. Di Papua, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan kualitasnya. Situasi ini menjadi akut ketika terdapat daerahdaerah yang terisolasi secara geografis, 95 kecamatan di 21 wilayah dengan kebutuhan khusus dan intervensi komprehensif. Wilayah-wilayah ini mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

112


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Pada tahun 2012, 400 guru ditempatkan di Papua dengan program khusus dan pada 2013 lebih dari 900. Angka ini ditujukan untuk wilayahwilayah yang terpencil dan untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan akses pendidikan. Beberapa tahun ke depan, kurangnya lulusan pendidikan tinggi menjadi kendala di Papua, sehingga pemerintah merekrut mereka yang lulusan sekolah menengah atas untuk menjadi guru. Ada kebutuhan khusus untuk meningkatkan melek huruf di Papua. Pada tahun 2014 pemerintah telah menyediakan akses sekolah dasar bagi 17.000 orang, terutama di daerah-daerah terpencil. Program yang baru dibuat, saat ini anak-anak di Papua dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hasilnya, pada tahun ajaran 2013/2014, sekitar 500 anak Papua dikirimkan untuk bersekolah di Bali dan Jawa. Juga di tingkat perguruan tinggi, sekitar 700 anak pada tahun ajaran 2012/2013 dan 600 anak di Papua yang ke perguruan tinggi pada tahun ajaran 2013/2014. Dengan demikian, Pemerintah telah mengupayakan akses pendidikan kepada seluruh rakyat Papua. Terkait pertanyaan dari Mr. Mancisidor, Pemerintah akan melaporkan secara tertulis. Ms. Shin melanjutkan pertanyaan tentang pendidikan dan menegaskan apakah benar 50% guru-guru di Papua dan Papua Barat tidak bekerja dan tidak hadir di sekolah. Ia menyambut baik bila buruh migran telah mendapatkan akses kepada pengaduan, namun ia menegaskan pentingnya memberikan pengawasan lebih kepada agensi-agensi (PJTKI) yang mengirimkan buruh migran ke luar negeri, termasuk pula bagi buruh migran yang tidak berdokumen atau pengiriman yang tidak resmi. Bapak Bambang Darmono menegaskan bahwa informasi tentang 50% guru di Papua dan Papua Barat tidak masuk, walaupun ia menegaskan pula bahwa memang masih perlu ditingkatkan efektifitas belajar mengajar di Papua. Ms. Bras Gomes menanyakan tentang perampasan tanah yang menjadi kendala dalam pembangunan. Ia menanyakan, apakah Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dapat memiliki dampak nyata pada otoritasi proyek-proyek pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa yang akan datang. Ms. Bras Gomes meminta contoh kasus di mana penduduk yang tidak menyetujui proyek yang ada dan meminta agar ditinjau kembali.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

113


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Ms. Ravenberg menanyakan pertanyaan sebelumnya, yaitu seperti pendidikan anggota Ahmadiyah, apakah anak-anak dari komunitas ini dapat mengakses pendidikan walaupun orang tua mereka tidak memiliki dokumen kependudukan untuk mendaftar. Ia juga menanyakan tentang aksesibilitas dan ketersediaan layanan kesehatan fisik dan mental di seluruh dunia. Mr. Martynov menanyakan tentang Rencana Jangka Panjang yang akan habis. Ia menegaskan apakah hal ini akan dilanjutkan pada periode berikutnya. Mr. Kedzia, Ketua Komite, menegaskan tentang ratifikasi Protokol Opsional yang tidak dipandang sebagai pengganti mekanisme HAM di tingkat nasional. Sebaliknya, menurut Mr. Kedzia, banyak Negara yang telah menggunakan mekanisme internasional sebagai mekanisme pengembangan dan pembangunan HAM di tingkat nasional secara lebih baik dan maksimal, termasuk pembangunan kapasitas mereka. Mr. Kedzia juga menanyakan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan menegaskan apakah ada dampak penikmatan hak ekosob di Indonesia akibat dari praktik korupsi dan langkah-langkah apa yang diambil untuk menjawab permasalahan ini, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil. Mr. Marchan Romero bertanya tentang kasus Prita Mulyasari yang dituntut akibat pencemaran nama baik karena melakukan komplain secara online terhadap pelayanan rumah sakit. Bagaimana ini bisa terjadi dan seperti apa pandangan delegasi tentang memajukan internet sebagai alat kebebasan berbicara dan pertukaran informasi. Mr. Pillay menanyakan tentang pelaksanaan rekomendasi Pelapor Khusus Perumahan Layak oleh Pemerintah Indonesia. Ms. Cong mendesak agar Indonesia menyediakan statistik terpilah lanjut terhadap kemiskinan di Papua dan Papua Barat dalam laporan berkala berikutnya. Sidang ditunda sampai pukul 4.05 pm dan dilanjutkan pada 4.25 pm. Sesi dilanjutkan dengan jawaban dari Pemerintah Indonesia terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada sesi sebelumnya. Ibu Granty menjawab bahwa Negara telah menegaskan target tentang air minum dan sanitasi, sebagaimana ditegaskan di dalam MDGs. Penggunaan kata “improve� dan “adequate� (dalam laporan pemerintah kepada Komite) ditegaskan bukan sebagai adanya pembedaan. Hal ini memastikan bahwa apa

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

114


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

yang dikonsumsi tidak hanya sekadar dapat diakses, melainkan juga layak dikonsumsi. Pemerintah Indonesia juga mengambil langkah-langkah untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama rumah tangga berpendapat rendah dan kemampuan mereka memenuhi kebutuhan dasar, di antaranya dengan menjaga inflasi 7 persen. Upaya diambil juga diambil untuk mengurangi kesenjangan antara daerah tertinggal dan daerah lebih maju, melalui pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan, dan tentunya hal ini akan dilanjutkan dalam rencana jangka panjang berikutnya. Antara 2010 – 2012, sumber daya yang disiapkan untuk pembangunan ini meningkat 15 persen, yang di antaranya berasal dari pajak. Hal ini tentu memiliki dampak pada pemenuhan HAM di Indonesia. Bapak Saragih menegaskan bahwa Indonesia telah menyediakan hukum bagi buruh migran yang menjamin buruh migran sebelum berangkat, selama dan setelah penempatan mereka di luar negeri. Ketentuan lain juga menegaskan tentang penyelesaian sengketa antara buruh migran dan majikan, terutama di Negara kantong-kantong buruh migran. Solusi-solusi nonhukum juga dilakukan untuk menjamin hak-hak mereka. Buruh migran dipantau oleh instansi dan lembaga terkait, baik di daerah atau di tingkat pusat. Bapak Nahar, dari Kementerian Sosial, menjawab bahwa pemerintah Indonesia telah bekerjasama dengan perwakilan Indonesia di Negara tujuan untuk menyelesaikan kasus-kasus buruh migran, termasuk pula buruh migran yang terbunuh. Kementerian Sosial juga menyediakan layanan psikologis bagi korban yang menderita di dalam negeri. Bapak Arif mengatakan bahwa pelbagai proyek pembangunan, seperti proyek pembangunan jalan raya atau pembangkit listrik tenaga nuklir telah ditunda karena tidak adanya kesepakatan dari masyarakat dalam proses negosiasi dengan masyarakat yang terkena dampak. Hal ini menggambarkan bahwa prinsip free prior concent dilaksanakan oleh Pemerintah. Terkait dengan legislative review, Keputusan MK (tentang UU Kehutanan) mengikat secara hukum dan menjadi landasan bagi pemerintah di masa yang akan datang. Bapak Amiruddin menegaskan bahwa beberapa perusahaan di Papua saat ini menunda untuk beroperasi karena masih gagal untuk membangun kesepakatan dengan masyarakat yang terkena dampak.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

115


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Ibu Erliyana menegaskan bahwa berdasarkan pada Instruksi Presiden, pemerintah tetap memberikan akses pendidikan di daerah-daerah yang terkena konflik, termasuk kepada anak-anak Ahmadiyah. Bapak Nahar menjawab lagi bahwa Kementerian Sosial dan aparat penegak hukum telah memastikan bahwa anak-anak dari kelompok Ahmadiyah tidak didiskriminasikan. Mereka mendapatkan pendidikan. Ibu Viora menegaskan bahwa menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2004, hanya sekitar 3,5 persen dari penyandang penyakit mental yang mendapatkan akses pelayanan perawatan kesehatan yang layak. Mereka lebih memilih untuk menyembuhkan penyakitnya ke dukun. Ada sekitar 50.000 orang dengan penyakit mental yang mengalami pengekangan (pemasungan) secara serius. Hal ini disebabkan karena kurangnya layanan kesehatan mental, sehingga pada tahun 2011, program ini diluncurkan oleh Pemerintah. Saat ini sejumlah langkah sedang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi kesenjangan pengobatan kesehatan mental. RUU tentang Kesehatan Mental tengah disusun dan diharapkan dapat diselesaikan pada akhir tahun 2014. Beberapa peraturan daerah dan undang-undang tentang masalah ini juga masih disosialisasikan. Kenyataannya, tidak semua provinsi memiliki rumah sakit jiwa. Pada tahun 2011 (menurut penelitian) hanya 30 persen dari pelayanan kesehatan primer yang dilengkapi dengan pelayanan kesehatan mental. Pemerintah daerah telah menerima alokasi anggaran untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam penyediaan layanan kesehatan mental. Bapak Nahar mengatakan bahwa Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan telah bekerjasama meningkatkan perawatan kesehatan bagi penyandang disabilitas mental, baik di tempat penampungan maupun di rumah sakit. Bapak Anshor menjawab pertanyaan tentang RANHAM yang akan berakhir pada tahun 2014 dan pada rencana selanjutnya, Indonesia akan memasukkan rencana ratifikasi Protokol Opsional Kovenan Ekosob. Ia tidak mengetahui lebih banyak tentang perlindungan aktivis antikorupsi. Namun, ia menegaskan bahwa masyarakat dewasa ini semakin sadar tentang pentingnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini akan berdampak buruk pada pemenuhan hak asasi manusia secara luas. Kesadaran ini juga memperkuat kedudukan KPK di Indonesia.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

116


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Bapak Arif menjawab tentang kasus Prita. Menurutnya, di tingkat Mahkamah Agung, Prita Mulyasari telah dimenangkan dan dibebaskan dari segala tuntutan hukum. UU ITE saat ini juga sedang dibahas untuk diperbaiki sebagai akibat dari kasus Prita ini. Bapak Muhammad Anshor menambahkan bahwa dalam sesi terakhir Dewan HAM, Indonesia mendukung dan mengakui laporan yang dikeluarkan oleh Pelapor Khusus PBB tentang Perumahan yang Layak, yang berguna untuk mengidentifikasi kesenjangan antara komitmen yang dibuat oleh Pemerintah dengan praktiknya di lapangan. Laporan ini tengah diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk disosialisasikan. Setelah jawaban dari bapak Anshor, sesi sidang ini diakhiri dengan statement dari Ketua Delegasi Indonesia, Ibu Harkristuti, statemen dari Rapporteur Komite dan ditutup oleh Ketua Komite. Ibu Harkristuti menyatakan bahwa delegasi Pemerintah Indonesia dan Anggota Komite telah berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi yang hidup, yang memberikan kesempatan untuk mengambil informasi dari Pemerintah terkait dengan pemajuan HAM dan mengidentifikasi target-target perbaikan. Diskusi ini juga telah menyinggung banyak isu, termasuk tentang kesetaraan gender, perlindungan bagi disabilitas, pemberantasan korupsi, dan sebagainya. Ibu Harkristuti juga menegaskan bahwa delegasi Indonesia akan menyampaikan jawaban secara tertulis atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan atau pertanyaan yang belum mampu dijawab selama proses diskusi berlangsung. Indonesia akan lebih banyak memasukkan statistik dan data dalam laporan berikutnya, sebagaimana yang diminta oleh Komite. Pemerintah Indonesia sangat menyadari bahwa banyak sekali tantangan yang dihadapi dalam pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia, namun Pemerintah tetap berkomitmen untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Organisasi masyarakat sipil merupakan mitra yang sangat berharga dalam hal itu dan dalam upayanya untuk selalu mengingatkan pemerintah terhadap isuisu yang harus ditangani. Dia berharap agar evaluasi oleh Komite ini dapat berfungsi sebagai landasan kerjasamana yang konstruktif lebih lanjut antara Pemerintah Indonesia dan Komite. Sesi dilanjutkan dengan mendengarkan pandangan dari Rapporteur Komite, Mr. Abashidze. Ia menyatakan bahwa Komite telah menyiapkan dialog

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

117


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

dengan delegasi Pemerintah Indonesia dengan sangat hati-hati dan telah mendengarkan dengan seksama jawaban yang diberikan. Tujuan atas sejumlah pertanyaan yang disampaikan ialah untuk lebih memahami situasi tentang pelbagai bidang yang di Negara tersebut. Dalam pemeriksaan akhir dan rekomendasi, Rapporteur menyarankan agar fokus pada isu-isu utama, sehingga Negara dapat memfokuskan pada isu tersebut ke depan. Ia juga menyampaikan bahwa tujuan utama dari dialog yang bekelanjutan ini ialah untuk mengidentifikasi tren dalam pelaksanaan hak ekonomi, sosial dan budaya dari periode laporan ke periode laporan berikutnya. Dia berharap bahwa hal itu juga akan memungkinkan masyarakat Indonesia untuk memperlajari lebih lanjut tentang kerja Komite dan tentang prospek pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya mereka. Setelah statement dari Rapporteur tersebut, sesi diambil alih kembali oleh Ketua Sidang. Dalam statement akhirnya, ia menyampaikan bahwa ia sangat terkesan dengan kualitas dan keterwakilan delegasi Indonesia yang cukup besar dan berharap agar delegasi akan dapat berbagi kepada departemen yang terkait tentang proses sidang dan pandangan Komite. Ia menegaskan bahwa dialog pertama merupakan langkah yang penting untuk membangun hubungan antara Negara dan Komite. Komite merasa dihargai dengan tanggapan yang sangat rinci dengan menjelaskan bukan hanya kerangka hukum Negara, kebijakan dan program, namun juga dampak nyata dari kebijakan yang diambil. Ia juga menegaskan bahwa setiap kritik dinyatakan dalam pemeriksaan akhir Komite akan bertujuan untuk Negara Pihak dalam upaya memajukan dan melindungi hak asasi manusia. [Sidang diakhiri pada pukul 05:15pm]

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

118


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

LAMPIRAN-LAMPIRAN PERNYATAAN-PERNYATAAN MASYARAKAT SIPIL DALAM SIDANG KOMITE HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA SESI KE-52 (28 April 2013 – 2 Mei 2014)

JOINT STATEMENT

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

119


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Indonesian NGOs Coalition’s Statement on 52nd ICESCR Session 2014 Palais Wilson, 28 April 2014

On behalf of coalition of 60 NGOs in Indonesia, we are here to deliver our appreciation for the opportunity to engage the Committee on Economic, Social and Cultural Rights the last two days with which will critically examine the emerging issues with regards to the implementation of the UN Covenant on ESCR. We would like to draw the attention of the Committee to the following key recommendations to be considered while drafting the Concluding Observation on Indonesia’s review: 1. We commend the Committee for raising several issues on the exclusion of various social groups including the poor, women, migrant workers, indigenous people, LGBTIQs, people living with HIV/AIDS, people with disabilities, refugee and asylum seekers, and religious minorities such as the Ahmadiyah and Syiah communities who are displaced from their homes and villages. 2. The Government of Indonesia should ensure that the social protection services, particularly healthcare services (the BPJS program) should be accessible for every citizen, especially those who are poor and disadvantaged, regardless of their religion, ethnicity, wealth, profession, gender, sexual orientation, political ideology and improve the facilities and infrastructure of hospitals and community based, primary healthcare centers (Puskesmas). In terms of accessibility for the persons with disabilities. In this respect, Indonesia should improve the Jampersal (Universal Delivery Care) so as to allow a free access to this service for the delivery of every Indonesian woman. 3. The Government of Indonesia should pass the Bill on the Protection of Domestic Workers, integrating human rights principles within national regulations that protect domestic workers, and ratify ILO Convention No. 189 on Decent Work for Domestic Workers and adopt a national action plan to follow up the ratification of International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, including also revise of the Law No. 39 Year 2004 on Placement and Protection of Indonesian Migrant Worker’s Abroad comply with the Convention. 4. The Government of Indonesia should pass the Bill on Gender Justice and Equality (Keadilan dan Kesetaraan Gender), integrating human rights including women human’s rights principles with the meaning of gender as the social and cultural construction that be able to transform the society in achieving gender equality. 5. The Government of Indonesia should encourage the judiciaries – both the General Courts (under the Supreme Court) and the Constitutional Court - to use the ICSECR Convention that has been ratified as a reference for their verdicts. 6. The Government of Indonesia should harmonize nationwide laws & regulations in compliance with human rights principles. This process should include the withdraw all of discriminatory local regulations and ensure that sub national policies do not discriminate minority and disadvantaged groups. 7. The Government of should adopt the Bill on the Rights of Indigenous Peoples and modify existing legislations that violate the rights of indigenous peoples. This should include meaningful implementation of the principles of Free, Prior and Informed Consent for development projects, especially natural resource extraction.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

120


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

8. The Government of Indonesia should conduct environmental and human rights impact assessment on development, especially natural resource extraction, by involving affected communities; creating and disseminating policies, at national and local levels, to incorporate the UN Guiding Principles on Business and Human Rights; and creating and sustaining relevant mechanisms for monitoring, assessment and evaluation. 9. The Government of Indonesia should implement regulations concerning the situation of workers and create relevant monitoring systems, such as: (1) Regulation of the Ministry of Manpower and Transmigration on Threshold Values (NAB) of Physical and Chemical Factors in Workplace; (2) Regulation of the Minister of Manpower and Transmigration on Safety and Health Management Systems (SMK3); (3) Guidelines on the Prevention of Sexual Harassment in the Workplace. 10. The Government of Indonesia should ensure the right of all children (girls and boys) to receive formal education, start from primary education, secondary education, until higher education with the same standard and quality in all corners of Indonesia, even in the remotest areas, especially those from poor and disadvantaged groups, without discrimination; in pursuing this goal, the government shall revoke or amend all policies that contradict the fulfillment and protection of the rights to education, and be gender responsive for the transformation of society to be fair for the girls education. 11. The Government of Indonesia should fulfill and protect the right of every citizen to a decent livelihood, including food security, access to clean water, and adequate sanitation (especially in rural areas and the poor and marginalized people who are exposed to everyday disaster with small scale and frequent disasters). 12. The Government of Indonesia should ensure the right to trade unions, including for civil servants, and to ensure the law enforcement of union busting criminal sanction in every level of judiciary process, and also to protect the laborers and civil servant from the criminalization of trade union activities. 13. Indonesia should discuss and draft the Law on Intangible Heritage Management, which protect cultural heritage preservation, and ensure that the old buildings being preserved and renovated not demolished, and allocated adequate budget.

Delivered by Muhammad Hafiz, Human Rights Working Group (HRWG), Indonesia’s NGO Coalition for International Human Rights Advocacy and Representative of Indonesia Civil Society Coalition on the Economic, Social and Cultural Rights Advocacy

STATEMENT OF INTERNATIONAL NGO FORUM ON INDONESIA Palais Wilson, 28 April 2014 Mr. Chairperson, and honorable members of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights. On behalf of the International NGO Forum on Indonesia Development, Indonesia, a forum consisting of more than 50 organizations, I would like to extend our utmost appreciation for this opportunity And here are several points that we would like to highlight: 1.

Religious minorities in Indonesia have persistently been on the receiving end of

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

121


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

multi layered discrimination. Ahmadiyah followers in West Nusa Tenggara have been languishing in refugee camps for the past eight years. Not only have they been robbed of their right to adopt a religious belief of their choice, but have also been denied ownership of identity papers such as identity cards and birth certificates. The absence of these documents has made it impossible for them to access social security programs such as public health insurance (jamkesmas), cash transfers (BLT), subsidized rice for the poor (raskin), kerosene to gas conversion scheme, and temporary unconditional cash transfers (BLSM). Accused for being a deviant religious sect, the displaced Ahmadis could not secure formal employment. Most of them end up as motorcycle taximen, farmhands, vegetable sellers and odd job workers. To date, at least four pre school age children cannot be enrolled in school for not being able to present a birth certificate. 2. In Sampang, Madura, some 191 Shia adherents have spent two years in refugee camps following physical assaults on two separate occasions in 2011 and 2012 that tragically led to one fatality, 7 injured and 49 houses razed or damaged. Total losses amounted to nearly IDR 2 billion. The State to this day has not given out any form of restitution and compensation. They have been deprived of access to property, productive land and housing during their stay at the refugee camps. At least 64 Shiites have lost their jobs as domestic helpers and farmhands either for refusing to repent and convert to Sunni Islam or their identity as Shiites has been found out by their employers. 3. On 1 January 2014, Indonesia launched a universal health insurance program – a significant breakthrough for Indonesia. Weak coordination and the ill preparedness of implementers however has prevented health facilities from delivering services of first rate quality as they are overwhelmed by the sudden influx of patients. The tariff system (INA CBGs) adopted by the program has led to partial coverage of health facilities, services and medicine to the detriment of low income patients. Workers in the informal sector and the underemployed reaching 103.2 million people are also at risk of not receiving health premium assistance under the program as they are not categorized as poor when in fact most of them are. Poor informal sector workers are virtually left without any form of social protection, not even by the employee social security scheme (jamsostek). Only 0.02% from a total of 67.5 million informal workers are covered by jamsostek. Let me call to your attention once again of the tragic fate of Edi Suparman, a 75 year old who was found in a village in an extremely weak condition, unable to speak and his legs bound in white bandage. He died two days later. Investigation led police to seven health workers at the general hospital in Lampung who got rid of Edi by using an ambulance. 4. Indonesia has failed to lower its maternal mortality rate. According to the Indonesia Demographics and Health Survey for 2012 conducted by the Ministry of Health, National Family Planning Agency (BKKBN) and Central Bureau of Statistics (BPS), the country’s maternal mortality rate is 359 per 100,000 live births. This means that three to four women in Indonesia die during pregnancy or childbirth every hour. This is a 63% increase compared to the maternal mortality rate in 2007 at 228 per 100,000 live births. The expectation to meet the MDG target of bringing down maternal deaths to 102 per 100,000 live births by 2015 is therefore highly unlikely. Instantaneous programs such as the maternity insurance scheme launched by the government in 2011 have failed to curtail maternal deaths. The upward trend in maternal mortality rates is due to poor infrastructure, severe shortage of health facilities and workers, illegal fees and prevalence of childbirths unassisted by health professionals.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

122


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

We hereby recommend the following: 1.

Without delay fulfill the civil rights of religious minorities who have long been subject to violence and discrimination.

2.

The government needs to guarantee access to basic services such as health, sanitation, and housing for displaced persons in camps.

3.

Immediately award restitution and compensation for all economic losses experienced by the Ahmadis and Shiites.

4. The government must guarantee access to education for children from minority groups without any form of discrimination. 5.

The government must guarantee the freedom and safety of religious minorities in a view to realize their economic, social and cultural rights.

6. The government must effectively work out any regulatory overlap in the implementation of social security schemes. 7.

The government must strengthen the function of social security implementing agencies.

8. The government must guarantee open access to social protection for all groups, including informal sector workers. I thank you for your kind attention.

Delivered by Beka Ulung Hapsara, INFID.

STATEMENT FOR THE REVIEW OF INDONESIA THE UN COMMITTEE ON ECONOMIC SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (CESCR) Palais Wilson, 28 April 2014 Statement is on behalf of Franciscans International (FI), Human Rights and Peace for Papua: International Coalition for Papua (ICP), VIVAT International, Wets Papua Netzwerk (WPN), and was prepared in coordination with Medecins du Monde, ELSHAM Papua, Awas MIFEE and some other local NGOs in Papua. We would like the members of the Committee to consider the following recommendations for the Government of Indonesia: On the issue of the rights to Indigenous People, the Government of Indonesia should: 1.

Ensure the recognition of the customary land of the indigenous peoples through the adoption of the Bill on the Rights of Indigenous Peoples currently being considered by the parliament. The Bill should comply with the international human rights laws including the UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples and ILO Convention 169.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

123


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

2.

Take legislative measures to protect the rights of indigenous peoples to their customary lands and to fully involve Indigenous Peoples in all development projects, including mining projects, which affect their customary lands through the implementation of the ‘Free, Prior and Informed Consent principles’.

3.

Combat the discrimination against the Indigenous Peoples, especially by modifying existing legislation and practices which discriminate the indigenous peoples and violate their rights, such as Investment Law No 25/2007 and Presidential Regulation 65/2006 on Land Acquisition which are implemented without the consent of the affected communities such as the indigenous peoples.

On the situation of Indigenous Peoples in Papua, the Government of Indonesia should 1.

Implement the principle of Free, Prior and Informed Consent in a meaningful manner for the development and extractive projects, such as the MIFEE Project and Freeport-McMoran Copper and Gold project in Papua Province and Bintuni Bay Project in West Papua Province, to comply with the UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples and the UN Guiding Principles on Business and Human Rights;

2.

The Ministry of Forestry, the Ministry for Mining and the Ministry for Agriculture, as well as provincial and regency governments, involve in real, transparent and meaningful way affected communities, especially indigenous peoples, at all stages in the preparation and presentation of environmental and human rights impact assessments on development and extractive projects;

3.

Ensure that all licenses issued to private enterprises, operating in Papua and West Papua provinces content the promise that concerned enterprises will respect human rights especially the right to information, the right to livelihood, the right to healthy environment, the right to food and the right to culture of the indigenous peoples;

On the principle of non-discrimination, the Government of Indonesia should: 1.

Provide awareness raising programs, such as human rights training to women at village level to enable them to understand the principle of nondiscrimination and how it is applicable to their lives;

2.

Provide shelters, medical services, specialized social security and support services for all women who experience any form of violence or abuses, especially women in Papua and West Papua provinces;

3.

Set up in Papua a regional office of the National Commission on Violence against Women (KOMNAS Perempuan) with the power to investigate violations and abuses perpetrated against women, including domestic violence, and promote and protect women’s rights in Papua.

On the right to adequate standard of living, the Government of Indonesia should 1.

Provide disaggregated data on health service statistics in Papua, especially between the indigenous Papuans and the migrant populations. This data would bring insight on existing health inequalities, and would be a basis for a specific provincial Papuan health strategy where challenges such as HIV/AIDS, sexual and reproductive health, substance abuse, human resource challenges, can be addressed, programmed and funded.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

124


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

2.

Take concrete measures to improve the access to water and sanitation in Papua, especially in the remotes areas and in the highlands. This has to be consulted to concerned communities especially the Papuan indigenous peoples.

3.

Monitor, evaluate, and intermediate the execution of failing health services in the highland districts. It should not come with more funds, migrant staff or new programs. The national health authorities should hold the districts accountable regarding the responsibility towards its citizens to provide essential health services. The current laissez fare attitude by the government legitimizes the poor functioning of the health services. If needed the government should hold health district authorities juridical accountable for the mis-allocation of health funds provided by special autonomy.

4. The government is recommended to urgently address the mental health and substance abuse challenges in the Papuan highlands. This can be done via cultural sensitive appropriate psychosocial services. On the right to Education, the Government of Indonesia should: 1.

Ensure the improvement of the quality of education in the disadvantaged areas, especially in the rural and mountain areas in the Provinces of Papua and West Papua by providing direct support for the schools and students through the School Operational Assistance (Bantuan Operasional Sekolah/BOS) and monitoring its implementation, both in public and private schools.

2.

Ensure that the school curricula should be adapted to the local needs of the students by including the especially in the indigenous peoples area such as in the provinces of Papua and West Papua.

On Cultural rights, the Government of Indonesia should 1.

Ensure the full and unrestricted enjoyment of the indigenous peoples and ethnic minorities including the indigenous peoples in Papua by recognising the Papuan Customary Council as a legitimate representative body of the Papuans.

Finally, we would like the committee to recommend the Government of Indonesia to ratify the Optional Protocol to the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Thank you.

Budi Tjahjono (Mr.) Franciscans International on behalf of submitting organisations.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

125


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

UN Committee on ESCR, 52nd Session Statement by Damairia Pakpahan, Indonesia Women’s Coalition for Justice and Democracy member of INFID, HRWG and JALA PRT. Honorable Chair, distinguished members of the Committee, ladies and gentleman. Let me introduce myself, I am Damairia Pakpahan, on behalf of Indonesia Women’s Coalition for Justice and Democracy a membership based woman organization with about 37.000 members in 14 provinces in Indonesia. I am grateful and honoured being here through the support of PWECSR, thank you for this sisterhood support that we will address these three important issues in front of the Committee and all of us. I want to raise following issues: 1. The importance of Equality and Gender Justice (EGJ) Law in Indonesia. The understanding about gender in Indonesia is still misunderstood by the majority of the people especially by policy makers, law enforcement agencies, and religious and traditional leaders. Efforts to ensure gender concept as important principle in the policies have not received a positive response. This is confirmed by the efforts of CEDAW implementation which is not effective since 1984 and gender mainstreaming has not been effective in poverty reduction impact and inequality of development. Some policies at both the national and local still has the potential to discriminate against women and vulnerable groups and minorities to be able to obtain and enjoy ESCR. Some rules and customary law still applies also still very biased place women, and often creates a vulnerable situation for women among others, are Pornography law, the Marriage Act, the Criminal Code, discriminatory local regulations and indigenous customary law. Draft Equality and Gender Justice Law (EGJ) still in Parliament created to ensure that every person (women and men) have equal opportunities and equal treatment in the areas of citizenship, education, employment, economic, health, population administration, marriage, law, politics and government, environmental, cultural and social information and communication. The Provisions on Marriage in EGJ bill set to: abolish forced and child marriage, which still happens a lot especially in rural areas. However, in the legislative process, the EGJ bill receiving opposition from the

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

126


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

right-wing groups who are not in favor of gender equality - including political parties with labels that EGJ bill against religion. The existence of a set of policies such as the Anti-Pornography Law No. 44 of 2008 and various discriminatory local regulations with the purpose of law making is contrary to gender equality because it intends to protect women but the substance are to domesticate or restrict women mobility and to discriminate women. Our Recommendations • • •

Government and Parliament should process and pass the Equity and Gender Equality Bill into the national law. To revoke of discriminatory policies such as the Anti-Pornography and various discriminatory local regulations. To revise the Law Number 1 of 1974 on marriage that still has the potential to weaken the position of women both individually, families and in the context of society and citizens; including to make the children age being consistent in accordance with UN definition in CRC, to be 18 years old as the mature person for both women and men in all the laws/policy.

2.

The Indonesian government must commit to resolving the problem of maternal mortality. Indonesia has failed to lower its maternal mortality rate. According to the Indonesia Demographics and Health Survey for 2012 conducted by the Ministry of Health, National Family Planning Agency (BKKBN) and Central Bureau of Statistics (BPS), the country’s maternal mortality rate is 359 per 100,000 live births. This means that three to four women in Indonesia die during pregnancy or childbirth every hour. This is a 63% increase compared to the maternal mortality rate in 2007 at 228 per 100,000 live births. The expectation to meet the MDG target of bringing down maternal deaths to 102 per 100,000 live births by 2015 is therefore highly unlikely. Instantaneous programs such as the maternity insurance scheme launched by the government in 2011 have failed to curtail maternal deaths. The upward trend in maternal mortality rates is due to poor infrastructure, severe shortage of health facilities and workers, illegal fees and prevalence of childbirths unassisted by health professionals. Infrastructure support for mothers at birth are not met, especially in many remote areas. The outermost, and border areas are still experiencing problems with accessibility to and from the hospitals. Bad roads, lack of transportation, and lack of hospital and clinics add to the problem. Physicians, medical staff, midwives and an obstetrician are available in urban areas. while in rural areas particularly remote and island areas, and the outer border there is a acute shortage of doctors and health workers. Privatization of the health sector has an impact on the commercialization of hospitals, clinics and medical centers which are costly. This makes it further difficult for the poor women to obtain the qualified proper medical care. The minimum of 5% of national budget allocation for care as per WHO's mandate is not being implemented in Indonesia. The pattern of bureaucratic health insurance system is still complicated and makes it difficult for people especially women to access health services.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

127


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Weak law enforcement to curtail corruption cases with little or no monitoring and accountability of state public health spending especially for expecting mothers adds to the problem. Our recommendations: a. The Indonesian government should commit to address the issue of maternal mortality, with a comprehensive health insurance program, with adequate budget allocation, and build required infrastructure support to ensure safe childbirth and maternal health. b. The government should regulate and hold accountable private health care providers 3. Access the Poor and Women on Social Protection are still very low On 1 January 2014, Indonesia launched a universal health insurance program – a significant breakthrough for Indonesia. Weak coordination and the ill-preparedness of implementers however has prevented health facilities from delivering services of firstrate quality as they are overwhelmed by the sudden influx of patients. The tariff system (INA-CBGs) adopted by the program has led to partial coverage of health facilities, services and medicine to the detriment of low-income patients. 103 Million Workers in the informal sector and the underemployed are also at risk of not receiving health premium assistance under the program as they are not categorized as poor when in fact most of them are. Poor informal-sector workers are virtually left without any form of social protection, not even by the employee social security scheme (jamsostek). Only 0.02% from a total of approximately 70 million informal workers are covered by jamsostek. Let me call to your attention once again of the tragic fate of Edi Suparman, a 75-year old who was found in a village in an extremely weak condition, unable to speak and his legs bound in white bandage. He died two days later. He was dumped in the street by the hospital as he was very poor and could not pay. In general, the implementation of social protection programs in Indonesia is still causing some problems, namely: a. Poverty line (poverty line) determined by the government is very low. This poverty line does not show the true reality of poverty in Indonesia. b. The Government has improved the social security policy providing coverage to those who are unable to meet 40% of their basic needs. This is still not able to cover all the poor who are poor and economically vulnerable. Groups experiencing livelihood vulnerability due to natural factors such as fishers and farmers are also left out. c. Implementation of National Health Insurance is not followed by improvement of health care facilities, so despite the poor is guaranteed by the state, but they are still unable to obtain health care because there is no health center in the village, let alone hospitals. d. Various social assistance programs are not transparent and not participatory in the determination of the form of the program and the targeted beneficiaries. So that families or poor people, especially women are vulnerable to discrimination. e. Malpractices happen in distribution of social assistance for political purposes, especially to win a particular political election.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

128


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

f.

There is no grievance mechanism (Complain mechanism) accessible to the poor, especially women, and other vulnerable groups and minorities including indigenous peoples, the elderly, transgendered and persons with disabilities. g. There are several incidences of discrimination in allocation of social assistance based on religion / belief, gender, sexual orientation and marital status. Religious minorities in Indonesia have persistently been on the receiving end of multi-layered discrimination. Ahmadiyah followers in West Nusa Tenggara have been languishing in refugee camps for the past eight years. Not only have they been robbed of their right to adopt a religious belief of their choice, but have also been denied ownership of identity papers such as identity cards and birth certificates. The absence of these documents has made it impossible for them to access social security programs such as public health insurance (jamkesmas), cash transfers (BLT), subsidized rice for the poor (raskin), kerosene-to-gas conversion scheme, and temporary unconditional cash transfers (BLSM). Accused for being a deviant religious sect, the displaced Ahmadis could not secure formal employment. Most of them end up as motorcycle taximen, farmhands, vegetable sellers and odd-job workers. To date, at least four pre-school age children cannot be enrolled in school for not being able to present a birth certificate. h. Social protection program in Indonesia is not designed in an integrated manner to empower the poor. There is no monitoring mechanisms. i. There is no gender-disaggregated data based and based on interest groups as the targeted of social protection programs Our recommendations a. The Government should establish an comprehensive social security program to ensure the right to social security for all. b. Social security programs should be based on women’s life cycle and livelihood vulnerability, to achieve gender equality c. Governments should develop participatory monitoring mechanisms for their social protection programs. d. Government should provide disaggregated data, disaggregated by gender, ethnicity, religion, age, and disabilities, urban dan rural. e. Government should provide information regarding Social Security systems in a transparent manner to all people, especially the poor.

STATEMENT ON THE REVIEW OF INDONESIA

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

129


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

THE UN COMMITTEE ON ECONOMIC SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (CESCR) 29 April 2014 The honorable committee members and distinguished ladies and gentlement, My name is Pratiwi Febry, a Public Interest Lawyer of Jakarta Legal Aid Institute. Our organization is an NGO focused on providing legal aid for the poor, legal illiterate and the marginalized. My organization is also a part of National Network Advocacy for Domestic Workers (JALA PRT) and Human Rights Working Group. And I’m standing here on behalf of JALA PRT. I am honored to address you on behalf of millions of people of Indonesia whose economic, social and cultural rights being violated for many years. Indonesia has the objectives of state livelihood stipulated in Our Constitution Preamble which are: 1.

To protect all the people of Indonesia and all the independence and the land that has been struggled for, 2. To improve public welfare, 3. To educate the life of the people 4. To participate toward the establishment of a world order based on freedom, perpetual peace and social justice In this honorable forum I would like to address 4 issues concerning failures of the Government of Indonesia to fulfill their responsibility in fulfilling, respect and protecting Indonesian people’s rights in: 1.

Domestic Workers and Indonesian Migrant Workers Right

2.

Trade Unions Rights

3.

Education Rights

4. Housing and Land Rights ISSUES RELATING TO THE SPECIFIC PROVISIONS OF THE COVENANT Domestic Workers in Indonesia The Condition: Nowadays there is no regulation made to protect them. So approximately 10 million Indonesian people are unprotected from: Working with unlimited burden without contract letter and job description especially domestic workers live in with the employer, Long working hours: generally more than 14-16 hours per day until night and they must always be ready on call, no minimum wage and underpaid or even unpaid, no right to annual leave, weekly holiday, menstruation leave, pregnancy leave or maternity leave and others normative workers right. Lack of or minimum of social-communication access that cause domestic workers to be restrained or kept away from social contact, whether from family, neighbor or community, which led to the lack of intervention and social control. Domestic Workers endure psycho-social situation such as anxious feeling, scared of making a mistake, afraid of stating an opinion, expression, and consider themselves underestimated. There is no mechanism of dispute settlement; therefore settlement was often spatially biased. Exploitation by domestic worker supplying agency or other party

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

130


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

that deliberately trafficking workers. There isn’t any standard of decent work situation, no domestic workers protection law. The situation is relatively dependent on the employer, so the domestic worker is vulnerable to exploitation and violence, physical, psychological and verbal abuse. Civil Society has submitted Draft of Domestic Workers Rights Protection National Law (Bill) to National Parliament (DPR RI) and Government since 2004. Legislation of the Bill on Protection for Domestic Workers (RUU PPRT) has been running for 10 years. During Parliament and Government’s second terms of duty the law on Protection for Domestic Workers has been proposed, nonetheless there has been resistance from the Parliament and Government to deliberate and pass to be the law. No willingness also of Government and Parliament to ratify the ILO Convention 189 and Recommendation 201 about Decent Work for Domestic Workers. Although the President of Republic Indonesia has stated on 100th Session og International Labour Conference 14 June in Geneva that Indonesia supports and will ratify the ILO Convention Decent Work for Domestic Workers and will create domestic workers protection law. But until now there are no realization on both of the Domestic Workers Law and ILO Convention No. 189. Recommendations In the protection for domestic worker, we recommend that: a. Parliament and Government of the Republic of Indonesia must immediately deliberate and pass the Domestic Workers Protection Law b. Parliament and Government of the Republic of Indonesia must immediately ratify ILO Convention No. 189 on Decent Work of Domestic Worker. c.

Integrating Human Rights principles in the regulation of domestic worker in Indonesia, including also Draft Bill on Domestic Worker presently under consideration, as well as UDHR, ICESCR, CEDAW, CRC, CMW, and ILO Convention No. 189.

Migrant Workers We acknowledge that migration is a human right. But we should address there is a special context of migration in the developing country. We named as a forced migration, since it happened because of poverty and lack of working place and the failure of the state to fulfill the education right. But now the phenomenon of Indonesia Migrant Workers is been commoditized, since there is no proper regulation to protect Indonesian Migrant Workers. The regulation only emphasized on the MW placement, regardless their right to be protected. Recommendations: The Government of Indonesia should pass the Revision of The Law No. 39 Year 2004 on Placement and Protection of Indonesian Migrant Worker’s Abroad and synchronize the revision of this law with all the principles contained in International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families that has been ratified by law No. 6 of 2012. Numerous legislations which guarantee the freedom to form and join trade union

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

131


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

have failed to protect the rights of big number of labors and workers at private and state owned companies. The freedom of assembly and association is guaranteed by Article 28 of the 1945 Constitution, and it is where the interrelated principle of human rights applied. Labors who form or join trade unions are usually facing suspension, mutation, demotion, do not get any tasks and faced unilateral dismissal. The labors who joined the trade unions and rally, or strike are often sanctioned or even criminalized. The board of trade unions are reported to the police with allegation of aspersion or defamation. There are some regulations made by the local governments which prohibit the right to strike for civil servant, explicitly, for example in Makassar, South Sulawesi. In other area, the cases were some governors gave sanctions to civil servants who joined strike (E.g.: in Bandung, West Java). The legal basis used by the local governments are Law No. 53 Year 2010 about Civil Servants which regulates about the prohibition for civil servant to join political activities, or others activities which give or cause bad impacts direct or indirectly to the state. In the last 4 years, from tens of report on union busting there were only 1 prosecuted case where the employer charged with union busting in the King James case in East Java. Other cases were discontinued at the police or the prosecutor. The law enforcers have not had adequate capacity and knowledge on labor crime especially on union busting. By omitting the union busting, the fulfillment of labor rights will keep on impeded. The irony in union busting is that some significant perpetrators are state-owned companies, such as PT. ASDP (port company), PT. ASKES (which already changed its name to BPJS Kesehatan – social security company), PELINDO (water transportation company), PT. Pertamina (oil & gas company). Recommendations: 1.

Increasing the quantity and quality as well as the capability of labor inspectors with human rights and gender perspective regarding to enhance the law enforcement in labor law. 2. The Government addressed the labor law enforcement especially criminal sanction for every labor crime. Qualified education in Indonesia can only be accessed by the rich who lives at big cities. And for that, we appeal to the Committee to recommend the Government of Indonesia to: The Government of Indonesia should Immediately drafting Indonesian education politic to safeguard and prevent premature, inconsistent policies which potentially violate the fulfillment of the right to education; The Government of Indonesia should ensure the right of all children, especially those from poor and disadvantaged groups, without discrimination, to receive formal education. The right to education must be ensured starting from primary education, secondary education, until higher education with the same standard and quality in all corners of Indonesia, even in the remotest areas,; In pursuing the fulfillment of education right, the government shall revoke or amend all policies and practices that contradict with the fulfillment and protection of the rights to education and be responsive to gender issues and the rights of girls in education.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

132


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Especially Law No. 12 Year 2012 on Higher Education which shifts the responsibility from the State to the private sector and students. This is based on the statistic of one of top universities in Indonesia, University of Indonesia, which shows their revenue from the students were 48% in 2008, 42% in 2009, 44% in 2010, 46% in 2011 and in 2012 significantly increased become 57%. The numbers show that privatized universities depending to their students as the source of revenue. This will directly and indirectly increase the tuition fee. Consequently, only those with financial capacity could access higher education and amount to violation of the equal right to education. Implementing the Supreme Court Judgment No. 2596 K/PDT/2008 and Provincial Court Judgment No. 377/PDT/2007/PT.DKI and Central Jakarta Court Judgment 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST which revoke the national examination (Ujian Nasional) for students. Since there are still many different standart quality of education Housing and Land Rights 1st The failure of the government in conducting Agrarian Reform since 1960s through the enforcement of Law No. 5 Year 1960 on Core Agrarian Laws, has caused the occupation of most land by the landlords and millionaires, and most are abandoned. While on the other side, the poor cannot afford some land for their housing. The failure of the State in conducting land ownership and abandoned land census has caused the violation of the right to land for most of Indonesian nationals. Moreover, the rise of land mafias who easily evict the people who occupy abandoned land or community land for tens of years by the reason that they do not have legal documents (land registry). The government also has not regulated eviction procedures according to human rights principles, especially as enshrined in the General Comment No. 7 on Forced Eviction. The government even enacted Law No. 2 Year 2012 on the Land Use for Public Interest as a legal basis to evict, without clear evidence on the definition of public interest. The case of “BMW Garden� in North Jakarta is the evidence of such practice, where the Government evicted poor people who have lived for years in the land for the establishment of public garden. However it turned out that the land is used for commercial apartment. Recommendation: 1.

2.

Based on aforementioned, we recommend the Government to conduct land ownership census all over the territory of Indonesia and redistributing the land ownership as a form of remedy for the failure of Agrarian Reform and to ensure social justice. Develop legislation which provides eviction procedures based on international human rights principles and prohibiting forced eviction or eviction for public interest without initial public consultation and consent of the evictee.

Second problem: “In West Timor province, most of the an estimated 113,000 people who have chosen to remain in the province after their displacement from East Timor in 1999 live in sub-standard houses with inadequate facilities and they are generally poorer than the local population due to their lack of land ownership and sustainable livelihoods and their limited access to government services. In early 2014, some 22,000 people continued to live in these camps, requiring livelihood and shelter assistance. The lack of

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

133


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

tenure security, exacerbated by land scarcity and tensions between IDPs and the host community, was identified as a key obstacle to durable solutions.� Recommendations: a. Accessibility to land by displaced populations should be improved through a land policy that recognises diverse tenure situations. Also, enhanced coordination is needed between the different agencies working on land issues and between the national and local level. b. As programs specifically targeting ex-IDPs ended in late 2013, it is important to ensure that their outstanding needs, in particular those related to access to land and tenure security, are mainstreamed in local and national development initiatives. c. In early 2014, the government held consultations with West Timor local authorities and a number of international agencies in order to use their experience in working with protracted IDPs as input into the national development National Medium Term Development Plan (RPJMN) of 2015-2019. These consultations should be broadened to other former conflict-affected provinces, including Aceh, Maluku, North Maluku, Central Sulawesi, West and Central Kalimantan, but also Papua and West Papua.

PROPOSAL CONCLUDING OBSERVATION FOR THE COMMITTEE OF ECOSOC FROM INDONESIA CSOs

Meeting with Country Rapporteur of Indonesia (Member of Commitee) 1. CESCR Implementation and Judiciary Independency Recommendation: a. To urge the Government of Indonesia to break down all the economic, social, and cultural rights which regulated in CESCR in to the national level legislations, and to synchronize all the local regulation to the objectives of fulfilling, protect, and respecting the economic, social and cultural rights. And to use the CESCR as the consideration in all of judiciary process/procedure and verdict. b. To ensure the independency of judiciary system to support all the efforts in claiming the fulfillment of the ECOSOC rights. c.

To ensure the Government of Indonesia in order to enhance the role of the state adopt the Optional Protocol of CESCR about complaint mechanism.

2. The definition of non-discrimination Recommendation: Indonesia Government should include the non-discrimination based on sexual orientation and gender identities. 3.

Female Genital Mutilation

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

134


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Recommendation: The Government of Indonesia should abolish Female Genital Mutilation in all forms, regardless any religion and cultural influence for the sake of health and well being of girls and women. 4. Rights to Education Recommendation:

5.

a. To develop policies which guarantee access to education for married adolescents and unmarried girls who are pregnant as a part of their right. b. Implementing the Supreme Court Judgment No. 2596 K/PDT/2008 and Provincial Court Judgment No. 377/PDT/2007/PT.DKI and Central Jakarta Court Judgment 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST which revoke the national examination (Ujian Nasional) for students. Since there are still many different standard quality of education c. The Government of Indonesia should Immediately drafting Indonesian education politic to safeguard and prevent premature, inconsistent policies which potentially violate the fulfillment of the right to education; d. The Government of Indonesia should ensure the right of all children (girls and boys) to receive formal education, start from primary education, secondary education, until higher education with the same standard and quality in all corners of Indonesia, even in the remotest areas, especially those from poor and disadvantaged groups, without discrimination; in pursuing this goal, the government shall revoke or amend all policies that contradict the fulfillment and protection of the rights to education, and be gender responsive for the transformation of society to be fair for the girls education. Domestic Workers Protection Recommendations:

a. Parliament and Government of the Republic of Indonesia must immediately ratify ILO Convention No. 189 on Decent Work of Domestic Worker b. Parliament and Government of the Republic of Indonesia must immediately deliberate and pass the Bill on The Protection of Domestic Workers. c. Integrating Human Rights principles in the regulation of domestic worker in Indonesia, including also the Bill on Domestic Worker Protection presently under consideration, as well as UDHR, CEDAW, CRC, CMW, and ILO Convention No. 189. 6. Right to the Social Protection Recommendations:

7.

a. The Government should establish an comprehensive social security program to ensure the right to social security for all and it should be accessible for every citizen, especially those who are poor and disadvantaged with imply accountability and transparency principles. b. Social security programs should be based on women’s life cycle and livelihood vulnerability, to achieve gender equality. c. Governments should develop participatory monitoring mechanisms for their social protection programs. d. Government should provide disaggregated data, disaggregated by gender, ethnicity, religion, age, and disabilities, urban dan rural. Rights of Migrant Workers

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

135


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Recommendation: The Government of Indonesia should adopt a national action plan to follow up the ratification of International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, including also revise of the Law No. 39 Year 2004 on Placement and Protection of Indonesian Migrant Worker’s Abroad comply with the Convention. 8. Non-Discrimination Recommendations: a. The Government of Indonesia should pass the Bill on Gender Equality (Kesetaraan Gender), integrating human rights including women human’s rights principles with the meaning of gender as the social and cultural construction that be able to transform the society in achieving gender equality. It should be clear that gender mainstreaming is only tools to achieve the gender equality. b. To abolish and revoke all the legislation contained different forms of discrimination to the minority including the gender identities and sexual orientation and disadvantaged groups in every level, both in national and local level. 9. Natural Resources Recommendation: The Government of Indonesia should conduct environmental and human rights impact assessment on development, especially natural resource extraction, by involving affected communities; creating and disseminating policies, at national and local levels, to incorporate the UN Guiding Principles on Business and Human Rights; and creating and sustaining relevant mechanisms for monitoring, assessment and evaluation. 10. Indigenous People Recommendation: The Government of should adopt the Bill on the Rights of Indigenous Peoples and modify existing legislations that violate the rights of indigenous peoples. This should include meaningful implementation of the principles of Free, Prior and Informed Consent for development projects, especially natural resource extraction. 11. Worker’s Rights Recommendation: a. The Government of Indonesia should ensure the right to trade unions, including for civil servants, and to ensure the law enforcement of union busting criminal sanction in every level of judiciary process, and also to protect the laborers and civil servant from the criminalization of trade union activities. b. The Government of Indonesia should implement regulations concerning the situation of workers and create relevant monitoring systems, such as: (1) Regulation of the Ministry of Manpower and Transmigration on Threshold Values (NAB) of Physical and Chemical Factors in Workplace; (2) Regulation of the Minister of Manpower and Transmigration on Safety and Health Management Systems (SMK3); (3) Guidelines on the Prevention of Sexual Harassment in the Workplace.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

136


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

12. Right to Livelihood, Food, Water and Sanitation Recommendation: The Government of Indonesia should fulfill and protect the right of every citizen to a decent livelihood, including food security, access to clean water, and adequate sanitation especially in rural areas and not make those basic needs as the commodity and give them to the free market or privatization. 13. Right to Culture Recommendation: Indonesia should discuss and draft the Law on Intangible Heritage Management, which protect cultural heritage preservation, and ensure that the old buildings being preserved and renovated not demolished, and allocated adequate budget. 14. Health Rights Recommendation: a. The Indonesian government should commit to address the issue of maternal mortality, with a comprehensive health insurance program, with adequate budget allocation, and build required infrastructure support to ensure safe childbirth and maternal health. Indonesia should improve the Jampersal (Universal Delivery Care) so as to allow a free access to this service for the delivery of every Indonesian woman. b. The government should regulate and hold accountable private health care providers. Improve the facilities and infrastructure of hospitals and community based, primary healthcare centers (Puskesmas). In terms of accessibility for the persons with disabilities.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

137


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

BAB V SITUASI PEMENUHAN DAN PELAKSANAAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA DALAM TINJAUAN MASYARAKAT SIPIL

A. Hak Ekosob dan Keterlibatan Masyarakat Sipil Sebagaimana halnya dalam mekanisme-mekanisme HAM yang lain, masyarakat sipil memainkan peranan penting dalam prosedur di bawah mekanisme Komite Hak Ekosob PBB. Keberadaannya menjadi rekan bagi pemerintah dan Komite dalam upaya peningkatan penikmatan hak ekosob di suatu negara, baik mereka yang bekerjasama dengan Komite dan Negara dalam penyediaan layanan maupun pemberdayaan masyarakat dan penyediaan informasi. Dalam hal ini, Komite Ekosob juga mengakui peranan penting masyarakat sipil dalam proses pelaporan terkait dengan penyediaan informasi dan situasi hak ekosob di Negara pihak. Pada tahun 2012, pemerintah Indonesia telah menyampaikan Laporan Pertama pelaksanaan Konvensi Ekosob pada 23 Januari 2012. Laporan ini disirkulasikan secara resmi oleh Komite pada 29 Oktober 2012 dan dapat diakses secara online. Laporan ini terdiri atas 76 halaman, disusun berdasarkan pasal Konvensi secara berurutan, seperti hak untuk bekerja, serikat buruh, jaminan sosial, pangan dan air, kehidupan layak, kesehatan, pendidikan, dan hak atas budaya. 32 Secara garis besar, laporan ini mengungkap tentang upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah terkait dengan pemenuhan hak ekosob, baik kebijakan atau program, dengan mencantumkan data dari pelbagai lembaga pemerintah. Laporan ini juga mengungkap tantangan dan kendala yang dihadapi oleh Pemerintah dalam menjalankan kewajibannya berdasarkan Konvensi. Sudah jamak diketahui bahwa pemerintah hanya akan menyampaikan sisi positif dari pelaksanaan sebuah Konvensi. Untuk itu, masyarakat sipil menjadi salah satu sumber informasi penting bagi Komite untuk mendapatkan gambaran komprehensif terkait pelaksanaannya. Laporan masyarakat sipil, yang dikenal dengan alternative report atau shadow report yang menyandingi laporan pemerintah kepada

32

Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights: Initial reports submitted by States parties under articles 16 and 17 of (Indonesia), E/C.12/IDN/1, 29 October 2012.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

138


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

suatu badan HAM tertentu, menjadi penting keberadaannya. Dalam hal ini, melalui Fact Sheet No.16 (Rev.1), Komite mengakui kontribusi penting dari masyarakat sipil dalam memberikan informasi tentang pelaksanaan Konvensi.33 Peluang ini digunakan oleh masyarakat sipil Indonesia dan sejumlah organisasi internasional untuk keterlibatan dan memberikan informasi pengimbang kepada Komite. Melalui serangkaian pertemuan, penulisan laporan dari pelbagai lembaga sesuai dengan isu sektoral masing-masing, serta pembacaan akhir oleh ahli, laporan alternatif masyarakat sipil Indonesia untuk pelaksanaan Konvensi Ekosob akhirnya disampaikan pada 7 November 2013.34 Laporan setebal 43 halaman ini berisi tentang data-data tandingan perspektif masyarakat sipil terkait belum efektifnya pelaksanaan Konvensi oleh Pemerintah, baik karena kegagalan membangun kerangka legislasi yang menjamin pemenuhan, perlindungan dan pemajuan hak Ekosob, maupun karena praktik-praktik Negara dan/atau perusahaan yang berimbas pada terlanggarnya hak Ekosob di Indonesia. Sebagaimana laporan pemerintah, laporan alternatif ini disusun berdasarkan pasal Konvensi secara berurutan.

B. Laporan Pelaksanaan Kovenan Ekosob di Indonesia: Perspektif Masyarakat Sipil Dalam mekanisme ekosob di bawah Komite Ekosob ini setidaknya ada dua proses pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat sipil, yaitu untuk sidang pra-sesi Working Group Komite yang dilaksanakan pada 1 – 3 Desember 2013 dan laporan alternatif jawaban terhadap List of Issues untuk sidang eksaminasi pada 30 April – 1 Mei 2014 oleh seluruh Anggota Komite Ekosob. Tahap Pertama: Laporan untuk Sidang Pra-Sesi Mekanisme Komite Hak Ekosob juga menggunakan sidang prasesi enam bulan sebelum sidang eksaminiasi dilaksanakan. Sidang prasesi ini bertujuan membahas laporan pemerintah yang sudah disampaikan, baik laporan permulaan maupun laporan periodik, oleh sebuah Working Group Komite yang terdiri atas 5 orang Anggota. Sidang prasesi ini menghasilkan list of issues atau list of question, yaitu berupa daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh Pemerintah di saat sidang eksaminasi. Pada saat laporan pemerintah Negara Pihak diterima oleh Komite, kemudian Komite mengadendakan sidang prasesi untuk membahas laporan tersebut. Sebelum sidang prasesi berlangsung, masyarakat sipil memiliki kesempatan untuk

33

Lihat pula Komite Ekosob, “NGO Participation in the Activities of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights”, E/C.12/2000/6, 7 July 2000. 34 Laporan Alternatif masyarakat sipil Indonesia dapat diakses di website Kantor Tinggi HAM PBB dalam http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/treatybodyexternal/SessionDetails1.aspx?SessionID=819&Lang=en

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

139


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

menyampaikan laporan alternatif kepada Komite, dengan mengacu kepada laporan yang telah dibuat oleh Pemerintah. Laporan alternatif ini dapat berupa sanggahan terhadap data yang dimuat oleh Pemerintah di dalam laporan, walaupun kebanyakan laporan alternatif mengungkap permasalahan dalam pelaksanaan Kovenan secara menyeluruh, baik dari segi kebijakan maupun segi praktik. Laporan alternatif ini biasanya dilakukan bersama jaringan, dan setiap organisasi dapat mengambil peranan pada isu-isu yang terdapat di dalam Kovenan sesuai dengan bidang kerja dan advokasi sehari-hari. Dalam praktik masyarakat sipil Indonesia yang lalu, setelah Komite PBB menerima Laporan Permulaan Pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2012 dan Komite mempublikasikan laporan tersebut di website OHCHR secara resmi pada pertengahan tahun 2013, Komite mengundang masyarakat sipil dan semua stakeholder nonpemerintah untuk menyampaikan laporan alternatif. Pengiriman laporan kepada Sekretariat Komite ini dapat dilakukan hingga tanggal 7 November 2013. Setelah semua laporan dikumpulkan oleh Komite, Komite mengadakan sidang prasesi untuk Indonesia pada tanggal 2 – 3 Desember 2013 di Jenewa, yang kemudian menghasilkan list of issues pada pertengahan bulan Desember 2013. Masyarakat sipil Indonesia telah mengirimkan laporan alternatif terkait Laporan yang telah disampaikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Kepada Komite Ekonomi, Sosial dan Budata (E/C.12/IDN/1) pada tahun 2012.35 Dalam penyusunannya, laporan tersebut dibuat oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang fokus pada isu-isu hak ekonomi, sosial dan budaya, melalui koordinasi dan finalisasi yang dilakukan oleh HRWG. Sejumlah organisasi tersebut adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Fransiscan International (FI), Human Rights Working Group (HRWG), Indonesian Planned Parenthood Association (IPPA), Institute of ECOSOC Rights, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Mitra Perempuan, Solidaritas Perempuan. Laporan ini disampaikan kepada Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB pada tanggal 7 November 2013. Tahap Kedua: Laporan Jawaban List of Issues Sidang prasesi yang dilakukan oleh lima orang anggota working group yang ditunjuk oleh Ketua Komite menghasilan list of issues. List of issues ini akan dijawab oleh pemerintah Negara Pihak dan disampaikan kepada Komite beberapa minggu sebelum sidang eksaminasi berlangsung. Dalam rentang waktu penyusunan jawaban terhadap list of issues oleh pemerintah, masyarakat sipil juga diberikan kesempatan untuk mengirimkan laporan

35

Lihat Lampiran I bab ini.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

140


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

alternative kembali, yang lebih fokus pada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam list of issues. Dengan kata lain, dalam laporan kedua ini, masyarakat sipil tidak perlu menguraikan kembali seluruh pelanggaran-pelanggaran hak ekosob yang terjadi. Namun, secara jelas dan detil menjawab pertanyaan-pertanyaan Komite Ekosob terkait isu ekosob yang dipertanyakan. Bila Komite telah mempublikasi list of issues melalui website, tugas selanjutnya bagi masyarakat sipil ialah memahami secara menyeluruh daftar pertanyaan yang diangkat oleh Komite dan mengidentifikasi isu-isu mana yang termasuk dalam lingkup advokasi. Bila diperlukan, masyarakat sipil menerjemahkan list of issues ini ke dalam bahasa lokal, sehingga dapat dipahami oleh seluruh jaringan dan aktor yang terlibat. Sidang eksaminasi akan dilaksanakan 6 bulan setelah sidang prasesi, sementara list of issues dikeluarkan beberapa minggu setelah sidang prasesi. Sekretariat Komite menerima jawaban masyarakat sipil terhadap list of issues tersebut dua bulan sebelum sesi sidang eksaminasi, sehingga ada waktu sekitar (4) empat bulan bagi masyarakat sipil untuk menyelesaikan jawaban list of issues dan mengirimkan jawaban tersebut ke Sekretariat Komite Ekosob. Seperti halnya penyusunan laporan alternatif, laporan yang berisi jawaban list of issues ini sebaiknya dilakukan bersama jaringan untuk mendapatkan hasil laporan yang komprehensif dan memiliki legitimasi yang kuat di hadapan Komite. Semakin banyak organisasi yang terlibat, semakin kredibel laporan tersebut karena lebih banyak melibatkan aktor dan stakeholder. Dalam konteks Indonesia, penyusunan laporan jawaban terhadap list of issues dilakukan oleh sekitar 70 organisasi masyarakat sipil yang berasal dari pelbagai isu advokasi, yang dikoordinasikan oleh Human Rights Working Group (HRWG), sebuah koalisi masyarakat sipil Indonesia untuk advokasi HAM internasional.36 Masyarakat sipil Indonesia menyampaikan laporan terkait dengan situasi hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia sehubungan dengan pelaksanaan Konvensi Ekosob yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005 melalui UU No. 11 Tahun 2005. Secara garis besar laporan ini mengulas tentang situasi pelaksanaan Kovenan Ekosob oleh Pemerintah Indonesia, termasuk keterkaitan dengan kerangka hukum dan pelaksanaan. Secara substantif, laporan ini terdiri atas laporan lembaga, hasil pemantauan dan catatan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga dalam jaringan, termasuk di dalamnya sejumlah informasi yang didapat dari pelbagai sumber, untuk memberikan informasi tambahan kepada Komite tentang permasalahan, kendala dan tantangan dalam pemenuhan hak. Dengan demikian, laporan ini lebih memberikan

36

Lihat laporan jawaban list of issues pada Lampiran II bab ini.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

141


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

informasi tandingan pada laporan pemerintah yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya buku ini.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

142


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

LAMPIRAN

LAPORAN ALTERNATIF MASYARAKAT SIPIL

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

143


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Laporan Alternatif terhadap Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Masukan Organisasi Non-Pemerintah untuk Sesi Ke-52 Prasesi Working Group Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya

Koalisi Organisasi Non-Pemerintah dan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Fransiscan International (FI), Human Rights Working Group (HRWG), Indonesian Planned Parenthood Association (IPPA), Institute of ECOSOC Rights, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Mitra Perempuan, Solidaritas Perempuan.

Difinalisasi oleh: Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia: Indonesia’s NGO Coalition for International Human Rights Advocacy

Jakarta, Oktober 2013

DAFTAR ISI

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

144


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

1. Pengantar 2. Pelaksanaan Ketentuan Kovenan a. Hak Menentuakan Hidup Sendiri b. Pembangunan tanpa Diskriminasi dan Prioritas bagi Kelompok Rentan c. Keadilan Jender d. Hak Bekerja e. Kebebasan Berkumpul dan Posisi Tawar Kolektif Pekerja f. Hak Membentuk Keluarga g. Hak Melanjutkan Kehidupan yang Layak h. Hak atas Pangan i. Hak atas Air dan Sanitasi j. Hak Perumahan yang Layak k. Hak atas Kesehatan l. Hak atas Pendidikan m. Hak atas Budaya

Par. 1 -3 4 7 43 50 76 82 92 104 118 132 151 166 186

-6 - 42 - 49 - 75 - 81 - 91 - 103 - 117 - 131 - 150 - 165 - 185 - 192

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

Page 3 3 4 14 16 25 27 29 32 38 41 48 52 59

145


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

I.

Pendahuluan

1. Laporan ini disusun berkaitan dengan Laporan Pemerintah Indonesia sebagai Negara Pihak Kovenan hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah disampaikan kepada Komite Ekosob pada tahun 2012. 2. Laporan ini disiapkan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dan nonpemerintah yang tergabung dalam isu HAM, seperti kebebasan beragama, hak atas air, bantuan hukum, isu lingkungan, perempuan, LGBTI, dan demokrasi. Organisasiorganisasi tersebut ialah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Fransiscan International (FI), Human Rights Working Group (HRWG), Indonesian Planned Parenthood Association (IPPA), Institute of ECOSOC Rights, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Mitra Perempuan, Solidaritas Perempuan. 3. Laporan ini dikoordinasikan oleh HRWG (Human Rights Working Group), sebuah Koalisi NGO HAM Indonesia untuk advokasi HAM internasional, yang terdiri dari 52 institusi sebagai anggota di seluruh Indonesia. II.

Pelaksanaan Ketentuan Kovenan

A. Hak Menentukan Hidup Sendiri Pasal 1 (1) Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri yang memberikan mereka kebebasan untuk menentukan status politik kebebasan untuk memperoleh kemajuan ekonomi, sosial dan budaya; (2) Semua bangsa dapat demi kepentingan mereka sendiri secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajibankewajiban yang mungkin timbul dari kerjasama internasional berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan suatu bangsa dirampas sumber-sumber hajat hidupnya. 4. Masyarakat sipil menghargai upaya Pemerintah Indonesia mengenai proses Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA). Namun, sementara proses penyusunan saat ini sedang berlangsung, istilah diskriminatif dan definisi tidak komprehensif masih digunakan. Hukum adat, sistem peradilan dan lembaga masyarakat adat yang dibentuk, dimiliki, dan dikuasai oleh mereka sebagai bentuk hak mereka untuk menentukan nasib sendiri tidak diakui benar. 5. Indonesia harus sepenuhnya mengakui hukum adat, sistem peradilan, dan lembaga-lembaga dalam RUU Recognion dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) yang dibentuk, dimiliki, dan dikuasai oleh masyarakat adat itu sendiri sebagai bentuk hak mereka untuk penentuan nasib sendiri sesuai dengan standar internasional yang relevan, khususnya ICESCR dan UNDRIP. Jika RUU PPHMA berlaku tanpa pengakuan yang tepat dan perlindungan yang komprehensif tentang hak-hak masyarakat adat, UU tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat adat tetapi hanya mengancam mereka. Oleh karena itu, harus dipastikan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

146


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

bahwa RUU disahkan harus memenuhi kepentingan dan kebutuhan dan komprehensif akan melindungi masyarakat adat di Indonesia. Pertanyaan:37

6.

a. Bagaimana Pemerintah Indonesia menjamin pengakuan hukum adat, sistem peradilan, dan lembaga-lembaga masyarakat adat dalam Rancangan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) yang dibentuk, dimiliki, dan dikuasai oleh masyarakat adat itu sendiri sebagai bentuk hak mereka untuk menentukan nasib sendiri sesuai dengan standar internasional yang relevan, khususnya ICESCR dan UNDRIP? b. Apa langkah-langkah yang diambil dan/atau direncanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk melindungi, mempromosikan dan menghormati hukum adat, sistem peradilan dan lembaga Masyarakat Adat yang dimiliki dan dikendalikan oleh mereka sendiri? c. Apa langkah-langkah yang diambil/direncanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk melindungi, mempromosikan dan menghormati hak IP untuk menentukan nasib sendiri, khususnya berkaitan dengan kebijakan dan undang-undang yang secara langsung memengaruhi hak dan kehidupan masyarakat adat di negara ini?

B. Pembangunan tanpa Diskriminasi dan Prioritas Kelompok Rentan Pasal 2 1.

Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya di bidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif.

2.

Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun, sepertii ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

3.

Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan hak asasi manusia dan perekonomian nasional, dapat menentukan seberapa jauh mereka mampu menjamin hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada warga negara asing.

7. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang tidak berpihak terhadap kelestarian lingkungan. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain: UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, PP No. 2 tahun 2008, UU Migas dan berbagai turunan dari kebijakan tersebut yang diadopsi oleh pemerintah daerah, seperti di Aceh telah memiliki Qanun

37

Usulan pertanyaan adalah daftar pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat sipil kepada Anggota Komite untuk ditanyakan kembali kepada Pemerintah Indonesia pada saat Pre-Sessional Meeting atau memasukkannya ke dalam List of Issues (editor).

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

147


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Investasi, SK Bupati Ogan Komering Ilir No. 460/1503/BPN/26-07/2005 tentang Pemberian Izin Lokasi Untuk Perkebunan Kelapa Sawit, dan beberapa kebijakan daerah yang memberikan ruang bagi investor untuk mengeruk kekayaan alam di Indonesia, tanpa memperhatikan kemanfaatan dan dampak buruknya bagi masyarakat. 8. Kebijakan-kebijakan tersebut menghasilkan pertumbuhan pembangunan Indonesia yang masih bertumpu pada pengerukan sumberdaya alam dan kekuatan modal, termasuk pula dana-dana hutang dari institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia, Bank Asia Pembangunan dan sebagainya, yang secara langsung dan tidak menghalangi pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia. Dana hutang ini bahkan terus meningkat, di samping kehadiran industri-industri ekstraktif yang semakin banyak bermunculan seperti pertambangan dan perkebunan skala besar semakin menyingkirkan masyarakat yang tidak ada di sekitar operasi bisnis. Data dari Jaringan Tambang (JATAM) 38 hingga tahun 2008 menunjukkan bahwa izin pertambangan sudah lebih mencapai 5.000 izin. Sementara menurut Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Setiawan, sampai tahun 2010 terdapat lebih dari 10.000 izin pertambangan, dan baru dilakukan penertiban terhadap 3.000 kuasa pertambangan, karena banyak perusahaan tambang yang tidak memiliki dokumen, seperti Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL). 9. Industri ekstraktif ini juga semakin menguatkan ketidakadilan gender yang dialami perempuan pedesaan, termasuk perempuan adat yang tinggal di hutan maupun di wilayah pesisir. Banyaknya industri ekstraktif seperti tambang emas dan batu bara yang membuang limbah ke laut telah menyebabkan kehancuran biota laut, akhirnya berakibat pada perempuan nelayan yang sangat bergantung pada hasil laut. Hal ini semakin diperburuk dengan ketiadaan jaminan hukum yang mengatur dan mengakui hak-hak perempuan nelayan.39 10. Mahkamah Konstitusi telah memiliki putusan tentang UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP3K) pada Juni 2011. Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut membatalkan segala kebijakan mengenai konsesi pesisir dan mengharuskan adanya partisipasi masyarakat pesisir dalam penyusunan rencana pengelolaan sumber daya pesisir. Namun demikian, walaupun putusan Mahkamah Konstitusi secara progresif telah mengenali adanya nelayan tradisional sebagai subjek penting pengelolaan sumber daya pesisir, rencana revisi UU PWP3K yang sedang berlangsung tidak berjalan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, terlebih dalam hal pemenuhan hak-hak perempuan dalam persetujuan pemanfaatan sumber daya pesisir yang pasti akan berdampak terhadap perempuan pesisir. 11. Perempuan pesisir diandalkan sebagai penopang pembangunan pesisir karena ia dianggap mampu untuk mengatasi ketidakpastian ekonomi keluarga dengan bekerja

38

JATAM; Jaringan Advokasi Tambang (Mining Advocacy Network)

39

UU No. 45 Tahun2009 tentang Perikanan merumuskan definisi nelayan sebagai berikut: pasal 1 angka 10: Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Pasal 1 angka 11: Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

148


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

untuk mendistribusikan maupun pengolah hasil perikanan ketika para suami mereka pergi melaut. Di pesisir Jawa, ketika para nelayan melaut, perempuan menjadi media yang menghubungkan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan publik melalui pasar tradisional. Mereka merupakan ibu-ibu bakul dan pelaku industri rumah tangga. 12. Permasalahan dan beban yang dihadapi perempuan nelayan ternyata tidak menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan, bahkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang kemudian menjadi UU Perikanan No. 45 Tahun 2009, hanya berorientasi pada bisnis perikanan semata. UU tersebut dipertegas dengan adanya kebijakan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mengizinkan privatisasi wilayah pesisir dan kelautan. 13. Di samping itu, penghancuran sumber daya alam telah mempengaruhi pelbagai sektor kehidupan perempuan, termasuk kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan produktif, misalnya, telah menghilangkan akses dan kontrol perempuan dalam sumbersumber produksi. Peminggiran hak-hak perempuan tersebut juga terjadi akibat kebijakan-kebijakan global (FTA) dan nasional yang mengancam kedaulatan pangan, seperti penggunaan bibit-bibit kimia/pestisida, yang tidak hanya menghancurkan struktur tanah, tetapi juga mengancam kesehatan reproduksi perempuan yang bekerja di ranah pertanian dan bersentuhan dengan zat kimia tersebut. 14. Dalam kasus yang lebih spesifik, permepuan di Papua, setelah PT. Freeport Indonesia (PT. FI) masuk ke Timika, perempuan di daerah tersebut semakin miskin. Tanah tempat mereka bercocok tanam diambil alih oleh PT. Freeport Indonesia, sehingga menyebabkan mereka kehilangan mata pencaharian. Limbah tambang yang dibuang ke sungai menghancurkan ekosistem sungai dan laut suku Kamoro yang biasanya hidup dari mencari ikan dan menyebabkan mereka kehilanggan mata pencaharian. Timbunan limbah tambang juga telah menghancurkan ekosistem dataran rendah hingga muara Ajkwa. Dalam kasus Lumpur Lapindo (PT. Lapindo Brantas Co) yang telah mengakibatkan ratusan orang kehilangan sumber mata pencaharian. Perempuan di sekitar PT. Semen Andalas Indonesia (PT. SAI), misalnya, juga tidak dapat lagi menanam cengkeh sejak adanya perusahaan, bahkan beberapa lahan pertanian tidak mendapatkan hasil yang maksimal karena lahan mereka tertutup debu dari perusahaan. 15. Akses kesehatan masyarakat umum sangat buruk di wilayah lingkar tambang. Salah satunya disebabkan oleh tailing yang dibuang begitu saja, dalam jumlah yang banyak ke sungai dan laut, baik di darat maupun ke badan air, seperti di wilayah Aijkwa, yang tentunya membahayakan kesehatan manusia yang hidup di sekitarnya atau memanfaatkan air untuk kehidupan sehari-hari. Dampak serius dari situasi ini terlihat dari angka dan risiko kematian bayi di Mimika, Papua, saat ini diperkirakan masih di atas angka rata-rata nasional, yaitu masih 40 per 1000 angka kelahiran hidup. Hal ini, di antaranya, disebabkan oleh lokasi yang berada di areal pertambangan.40 16. Hal serupa juga terjadi pada masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Buyat akibat operasi PT. Newmont Minahasa Raya. Kesehatan menjadi isu utama di Buyat, karena PT. Newmont membuang tailing tambangnya ke teluk Buyat. Akibat limbah tersebut, banyak warga Buyat yang menderita sakit akibat munculnya benjolanbenjolan pada tubuh mereka. Bahkan beberapa orang mengalami penyakit dengan

40

Diakses dari http://tabloidjubi.com

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

149


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

mengeluarkan darah dari alat kelamin dan anus.41 Di sisi yang lain, dampak tak langsung lain yang muncul dari aktifitas bisnis ini adalah semakin meningkatnya pertumbuhan penyakit HIV/AIDS di Papua karena praktik-praktik prostitusi dan pasokan alkohol.42 17. Kondisi yang mirip juga ditemukan di sekitar pertambangan PT. PetroChina di Bojonegoro, yaitu hampir setiap tahun (sejak 2007, 2008, 2009 sampai 2010) terjadi keracunan di sekitar perusahaan akibat aktivitas pembakaran yang dilakukan oleh PT. PetroChina tersebut. Hasil investigasi yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan, sebagian besar dari kasus keracunan ini menimpa perempuan dan anak-anak adalah korban terbesar.43 18. Dampak praktik bisnis lainnya adalah pengalihan fungsi lahan-lahan produktif yang merupakan sumber ekonomi masyarakat pedesaan menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar. Alih fungsi lahan ini juga semakin meminggirkan perempuan dalam mengakses sumber-sumber kehidupan mereka, karena banyak perempuan beralih pekerjaan menjadi buruh manufaktur, pekerja rumah tangga di perkotaan, dan menjadi buruh migran akibat kehilangan lahan produktif. Perkebunan kelapa sawit yang “rakus� air juga juga sangat berdampak terhadap ketersediaan air bersih, yang berimbas pada krisis air bersih, sehingga menambah beban kerja perempuan. Perempuan yang tinggal di sekitar perkebunan sawit ini harus berusaha mencari air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, bahkan tidak sedikit yang akhirnya harus membeli air bersih. 19. Dampak negatif lain dialami oleh buruh perempuan yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, seperti buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit desa Pancasila, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang mengalami diskriminasi hal upah. Perempuan buruh ini tidak diberikan perlindungan dan jaminan keselamatan kerja, padahal pekerjaan buruh perempuan sangat rentan terhadap kondisi kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi, karena bersentuhan dengan pestisida (buruh perempuan yang tugasnya sebagai penyemprot bibit). Buruh juga seringkali tidak mendapatkan cuti haid. Secara jumlah, perempuan juga sangat sedikit diberikan kesempatan untuk menjadi mandor di perkebunan kelapa sawit, karena hampir tidak ditemukan mandor perempuan di setiap perkebunan kelapa sawit skala besar. 20. Situasi buruh perempuan ini semakin dipersulit dengan peranan ganda perempuan, selain bekerja di perkebunan kelapa sawit juga dituntut untuk mengurusi pekerjaan domestik, sebagai akibat dari ketimpangan peran gender di masyarakat. Selain situasi rentan di atas, dalam beberapa kasus konflik petani dengan aparat, tidak jarang perempuan maju di garis depan dan menjadi korban kekerasan, seperti kasus penembakan petani di Alas Tlogo Pasuruan, Jawa Timur, Senggigi dan Kampar, Riau. 21. Alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan infrastruktur, perkebunan skala besar, pariwisata dan perumahan, selain berdampak pada pengurangan produksi pangan juga berdampak pada hilangnya sumber penghidupan petani, meningkatnya konflik agraria, kriminalisasi dan pelanggaran HAM terhadap petani. Data Konsorsium

41

“Singkap Buyat�, (Walhi, 2006), h. 63

42

DTE No. 56, Februari 2003, diakses dari http://dte.gn.apc.org

43

Hasil investigasi Solidaritas Perempuan Bojonegoro, 2010.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

150


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Pembaruan Agraria menyebutkan bahwa sejak tahun 2004-2012, telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar, di mana terdapat lebih dari 731.342 kepala keluarga (KK) harus menghadapi ketidakadilan dan konflik lahan berkepanjangan.44 22. Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan bahwa pada tahun 2010 telah terjadi 106 konflik lahan yang terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Perselisihan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai 535.197 hektare, yang melibatkan sekitar 517.159 kepala keluarga di dalamnya. Pada tahun 2011 tercatat 163 konflik agraria di Indonesia dan menghilangkan 23 nyawa manusia. Pada tahun 2012 ada sekitar 115 kasus konflik yang terjadi sampai bulan Juli. Konflik lahan tersebut mencapai 377.159 hektare didominasi oleh sektor perkebunan, pertambangan, hutan dan infrastruktur. 23. Kemiskinan Nelayan. Di daerah pantai utara Jakarta, kemiskinan keluarga nelayan semakin diperparah dengan adanya kegiatan reklamasi sepanjang 32 kilometer. Awalnya, Analisa mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) reklamasi Jakarta dibatalkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup RI. Namun, akhirnya para pengembang membuat rancangan baru reklamasi Pantura yang dilakukan dengan membentuk pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta yang terpisah dengan daratan. Kegiatan ini terlihat secara implisit sejak PT. Kapuk Naga Indah menggusur komunitas nelayan di wilayah Kamal Muara, Jakarta. Sementara itu, reklamasi di Pantai Marina Ancol dimaksudkan untuk memperluas wilayah perumahan di bawah PT. Agung Sedayu Group. 24. Perbuatan membatat bakau juga dilakukan untuk kepentingan reklamasi dan pembangunan lanjutan, yakni untuk perumahan, infrastruktur dan industri, seperti Marunda Center, Tanggul Banjir Kanal Timur dan Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda. Di saat bersamaan, ada sekitar 20 pabrik dan industri yang menjatuhkan buangan limbahnya ke sungai yang bermuara di Teluk Jakarta dengan muatan yang sangat berbahaya. Secara umum kawasan pesisir Teluk Jakarta tercemar berat, sehingga mengakibatkan penurunan pendapatan ribuan nelayan. Kematian massal ikan dan biota air lainnya di kawasan Teluk Jakarta pada tahun 2007 merupakan puncak gunung es permasalahan pencemaran perairan di kawasan tersebut. Secara langsung ataupun tidak, pencemaran perairan ini juga mempengaruhi kualitas kesehatan reproduksi perempuan nelayan yang memanfaatkan air yang tercemar untuk kebutuhan sehari-hari. 25. Berdasarkan investigasi Kiara di Jakarta, hasil tangkapan nelayan pantai utara Jakarta semakin tidak pasti dengan jumlah ikan yang terus berkurang di pinggiran. Pendapatan keluarga yang terus berkurang membuat mereka harus kembali pada kehidupan serba sulit dan terbatas. Perempuan dituntut untuk pandai mengatur keuangan keluarga serta melakukan kerja produktif untuk menambah pemasukan ekonomi keluarga. Peran produktif ini sering mengalahkan peran domestiknya ketika hasil tangkapan ikan semakin tidak pasti. Hasil kajian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), tahun 2009, di Pantai Utara Jakarta, menunjukkan bahwa, walaupun aktivitas rumah tangga yang dilakukan perempuan, seperti membersihkan rumah, mencuci, dan menyiapkan makanan mencapai angka 80% dari alokasi waktu setiap harinya, hal itu telah dikurangi waktu mereka untuk melakukan aktivitas produktif di pesisir, karena peran di rumah tangga tersebut ditinggalkan sementara dan

44

Data Konsorsium Pembaharuan Agraria, Laporan Akhir Tahun 2012.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

151


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

diserahkan kepada anak perempuan, ibu atau nenek mereka. Dalam sehari, perempuan nelayan bekerja setidaknya 17 jam. Karena itu, kontribusi nelayan perempuan terhadap pendapatan keluarga pun dapat mencapai lebih dari separuh dari pendapatan suami. 45 26. Aktivitas reklamasi yang juga memprihatinkan terjadi di Semarang, oleh PT. Indo Perkasa Usahatama dan PT. Sinar Centra Cipta, masing-masing teridentifikasi mereklamasi seluas 200 hektare dan 67 hektare pesisir pantai Semarang. Termasuk proyek reklamasi pantai seluas 60 hektare oleh sejumlah pengusaha di pantai Kalasey dan Malalayang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. 27. Kesulitan nelayan juga dialami oleh nelayan udang di Lampung. Setidaknya 7 ribu jiwa petambak plasma eks-Dipasena, Lampung, bersama keluarga dan anak-anak mengalami kesulitan hidup akibat perlakukan industri udang CP. Prima, mulai dari: 1) penundaan perbaikan pertambakan (revitalisasi) yang kini kolam-kolam tambak dipenuhi ilalang, sehingga petambak plasma tidak dapat berproduksi kembali; 2) substansi perjanjian kerjasama (PKS 2007) tidak diimplementasikan, sehingga terjadi ketidakadilan penentuan harga udang, unit produksi (pakan, obat-obatan, air, listrik); 3) tidak adanya kompensasi kerugian yang diterima atas penundaan revitalisasi, termasuk tiadanya anggaran keselamatan kerja dan kesejahteraan bagi petambak plasma. Padahal, petani-petani udang tersebut mengandalkan pendapatan mereka dari tambak tersebut. 28. Dari gambaran di atas, kompleksitas penghidupan masyarakat pesisir oleh persoalan-persoalan di atas tidak terlepas dari minusnya perhatian pemerintah untuk memenuhi: 1. hak khusus pelaku perikanan tradisional; 2. hak atas pendidikan, kesehatan dan perumahan yang memadai, terutama bagi nelayan dan petani di wilayah pesisir; dan 3. pengakuan keberadaan dan peran perempuan dalam pengelolaan perikanan yang justru memiliki peranan dominan. 29. Perubahan iklim dan perempuan. Dalam banyak kasus, perubahan iklim telah memberikan dampak yang sangat besar bagi perempuan. Hal ini terjadi ketika petani gagal panen, buruh perempuan harus bekerja lebih untuk mendapatkan penghasilan, bahkan tidak sedikit yang akhirnya memilih menjadi buruh migran, bekerja di perkotaan sebagai pekerja rumah tangga atau buruh manufaktur. 30. Namun demikian, pengalaman dan pengetahuan perempuan tersebut tidak menjadi acuan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan maupun program terkait dengan perubahan iklim. Bahkan dalam sruktur Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tidak memasukkan unsur pemberdayaan perempuan sebagai bagian dari struktur tersebut. 31. Program perubahan ikim DNPI belum memasukkan permasalahan perempuan sebagai salah satu kelompok marginal terhadap perubahan iklim. Hal ini, di antaranya, karena perempuan seringkali tidak diberikan informasi yang jelas, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, baik dalam menyusun kebijakan maupun program-program perubahan iklim secara keseluruhan, bahkan tidak diminta persetujuan terhadap setiap pengambilan keputusan.

45

Saragih, Midaria Novawanty dan Dedy Ramanta 2009. Pembangunan untuk siapa? Dampak Proyek Reklamasi terhadap Perempuan Nelayan dan Anak di Pantai Utara Jakarta., Indonesia. Jakarta: KIARA

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

152


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

32. Perampasan lahan. Pada awal tahun 2012 Indonesia baru saja menetapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sebagai salah satu syarat untuk memuluskan proses penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan. Undang-Undang ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia periode 2011-2025 yang telah diusulkan oleh presiden awal tahun lalu. Pada saat peraturan-peraturan yang telah ada disebutkan, seperti Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 serta Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang ditolak oleh sebagian besar masyarakat sipil karena dianggap sebagai sebuah alat perampasan tanah masyarakat, dan tidak memberikan perlindungan bagi masyarakat lemah, termasuk wanita. 33. Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2010 menunjukkan bahwa ada 395 perempuan korban kekerasan. Data yang tercatat dapat mewakili korban perempuan yang tidak tercatat dalam tindak kekerasan lain. Hingga saat ini, tidak ada data terpisah mengenai korban-korban kekerasan. Pada Bulan Juli 2012, ada perempuan yang menjadi korban kriminalitas serta penembakan oleh aparat negara pada saat terjadi konflik agraria di Kecamatan Ogan Ilir, Sumatera Selatan, antara pemilik lahan dan perusahaan pemerintah, yang bernama PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta Manis. 34. Mayoritas lahan publik di Indonesia hanya sebagian kecil yang memiliki dokumen resmi yang lengkap. Pada Tahun 2004, dari 85 juta pembagian tanah (tidak termasuk area kehutanan dan area yang didominasi oleh masyarakat adat), hanya 26 juta atau 30% tanah yang sudah memiliki sertifikat. Pada periode 2005-2008 tanah bersertifikat bertambah 13 juta, sehingga sampai tahun 2008 masih terdapat 60% tanah yang belum memiliki sertifikat. Sementara, dasar kompensasi adalah bukti sertifikat. Situasi ini jelas akan mempertajam potensi konflik agraria. Lebih jauh lagi, Undang-Undang hanya mengakui sebidang tanah tanpa perlindugan lebih ketat dan tidak ada pengakuan mutlak tentang hak-hak pribumi dan juga lahan adat. Selain itu, hukum tidak mencakup ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan lahan produktif, sedangkan Indonesia adalah negara agraris. Dengan tidak adanya ketentuan ini, hukum memiliki potensi untuk mengubah atau mengesampingkan lahan pertanian produktif yang dimiliki oleh orang atau petani kecil dengan dalih pembangunan untuk kepentingan umum. Ini berarti bahwa hukum tidak mempertimbangkan analisis historis-sosiologis bahwa Indonesia adalah negara agraris di mana orang hidup dari tanah pertanian. 35. Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 telah menjadi salah satu pemicu utama timbulnya konflik agraria yang memengaruhi masyarakat adat di Indonesia. Selama lebih dari 10 tahun pelaksanaan, Undang-Undang tersebut telah digunakan sebagai alat oleh Pemerintah Indonesia untuk mencabut hak masyarakat adat atas lahan dan wilayah mereka. Hutan adat telah diambil dan diubah menjadi hutan negara. Kemudian, atas nama negara, hutan diberikan kepada sektor swasta melalui beragam skema konsesi tanpa memperdulikan atau menghormati hak-hak masingmasing komunitas adat di daerah. 46

46

Lihat peraturan Mahkamah KonstitusiIndonesia No.35/PUU-X/2012

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

153


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

36. Atas nama pembangunan, pemerintah Indonesia masih melanjutkan pengalihan kepemilikan tanah kepada pengusaha industri swasta, seperti perusahaan tambang, perusahaan industri kayu, pemegang konsesi hutan dan industri lainnya secara bebas dan tanpa persetujuan dari masyarakat atau komunitas yang ada. Dalam proyek-proyek pembangunan seringkali informasi tidak disampaikan sebagaimana mestinya kepada masing-masing orang. Bahkan apabila perusahaan atau pemerintah menyelenggarakan acara “konsultasi� atau pun acara yang serupa, masyarakat adat hanyalah terlihat sebagai objek dan tidak sebagai pelaku (subjek) dalam proyek tersebut. Ketidakadilan struktural dan kesenjangan yang lebih diperkuat oleh undangundang pertanahan yang diskriminatif dan menindas, yang mengabaikan sistem dan hokum penguasaan tanah masyarakat adat. 37. Sebuah contoh proyek pembangunan yang buruk yang mempengaruhi hakhak masyarakat adat ialah kasus Komunitas Adat Pandumaan dan Sipituhuta, yang terletak di Propinsi Sumatera Utara. Masyarakat hidup di wilayah mereka seluas 6.001.153 ha dengan hukum-hukum dan sistem-sistem adat mereka sendiri. Konflik muncul ketika sebuah perusahaan kertas lokal, bernama PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL), memulai aktivitas di wilayah Pandumaan dan Sipitahuta tanpa melakukan konsultasi maupun izin kepada warga. 38. Perusahaan merusak hutan kemenyan, tempat masyarakat adat melakukan ibadah dan merupakan bagian penting dalam hidup mereka, bukan hanya karena hutan tersebut sebagai mata pencaharian mereka, namun juga karena hutan tersebut sebagai komoditas utama dalam upacara keagamaan dan aktivitas kebudayaan. 39. Pada tahun 2009, enam anggota Komunitas Pandumaan dan Sipitahuta ditangkap, delapan orang kemudian dipanggil pada Tahun 2012 dan 31 warga desa kembali ditangkap dan ditahan pada Februari 2013 akibat perlawanan mereka terhadap PT. TPL. Selain itu, banyak anggota masyarakat laki-laki dijadikan objek target operasi oleh polisi. Sementara itu kaum perempuan adat di daerah tersebut tengah menghadapi kesulitan ekonomi dan sosial dalam kehidupan mereka, karena harus bekerja dan melakukan tanggung jawab suami mereka. 40. Di Kalimantan timur, empat Perusahaan Tambang dan Minyak Kelapa Sait merebut tanah Masyarakat Adat Muara Tae. Mereka bertahan selama beberapa dekade karena hutan mereka dipercaya sebagai sumber kehidupan dan menjadi identitas mereka sejak dahulu kala oleh nenek moyang mereka. Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia mengeluarkan banyak keputusan dan undang-undang yang mendukung perusahaan untuk merebut lahan masyarakat adat dan sumberdaya alam di seluruh negeri. Sejak 2011 telah terjadi lebih dari 200 kasus serupa dimana masyarakat adat terkena dampak negatif proses pembangunan. 41. Dalam rangka melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat, khususnya yang berkenaan dengan proyek dan proses pembangunan, maka semua lapisan harus menghormati hukum-hukum masyarakat adat sepenuhnya sesuai dengan instrumen dan standar hak asasi manusia secara internasional masyarakat sipil, termasuk AMAN, mengapresiasi pembentukan komisi khusus di Indonesia untuk memastikan pencegahan dan pemberantasan diskriminasi, sehingga hal tersebut menjadi penting untuk membentuk sebuah komisi nasional yang menangani hak-hak masyarakat adat, agar hak-hak mereka dapat terpenuhi, terutama hak ekonomi, sosial dan budaya dalam kaitannya dengan proses pembangunan. 42.

Pertanyaan:

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

154


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

a. Langkah-langkah apa yang diambil dan direncanakan oleh Pemerintah Indonesia melalui DPR dan pemerintah administratif setempat untuk pencegahan dan pemberantasan diskriminasi terhadap masyarakat adat dalam proses pembangunan? b. Tolong jelaskan bagaimana Pemerintah Indonesia memastikan bahwa mereka telah memenuhi hak-hak masyarakat adat yang tercatat dalam standar dan instrument internasional. c.

Undang-undang seperti apa yang direncanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk melindungi tanah dan wilayah masyarakat adat. Kepemilikan tanah mereka sendiri layaknya hak mereka, atas persetujuan tanpa paksaan sebelum kegiatan atau tindakan yang dijalankan (FPIC), khususnya dalam konteks proyek dan inisiatif pembangunan? Tolong jelaskan pula tindakan seperti apa yang dilakukan secara nyata berkenaan dengan kasus Komunitas Adat Pandumaan dan Sipitahuta!

d. Tindakan apa yang sudah direncanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk pencegahan segala bentuk diskriminasi dan dampak negatif atas proyek pembangunan yang dilakukan oleh negara maupun swasta? e. Tolong jelaskan bagaimana negara mengakui, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat di desa sepenuhnya sesuai dengan standar dan instrument internasional, khususnya ICESCR dan UNDRIP? Rekomendasi: a. Berhenti menjadikan industri ekstraktif sebagai industri yang menjadi sandaran ekonomi di Indonesia, apalagi mengabaikan kepentingan masyarakat sekitar dan terdampak. b. Mencabut kebijakan yang mengancam sumber-sumber kehidupan perempuan, seperti UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, kebijakan perdagangan bebas (AFTA, ACFTA), serta menyesuaikannya dengan kepentingan perempuan dan kelompok rentan. c.

Merevisi berbagai kebijakan-kebijakan yang berdampak pada pemiskinan, antara lain UU No.45 tahun 2004 tentang perikanan, UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, kebijakan perubahan iklim (adaptasi dan mitigasi) dan menyusun kebijakan yang lebih adil gender, termasuk kebijakan perlindungan tenaga kerja perempuan didalam negeri (buruh, perempuan nelayan, perempuan petani).

d. Menghentikan kegiatan reklamasi dan meninjau kembali keberlanjutan aktivitas tersebut berdasarkan daya dukung lingkungan dan risikonya terhadap masyarakat pesisir, termasuk kelompok perempuan dan nelayan. e.

Mendesak negara agar memberikan akses dan kontrol kepada perempuan yang hidup di sekitar industri ekstraktif untuk menentukan ruang hidup, nasib dan masa depannya terhadap wilayah kelola mereka, di antaranya dengan melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan strategis.

f.

Mempertimbangkan keterlibatkan perempuan secara individu, seperti aksesakses pembannguan bagi perempuan, termasuk perempuan kepala keluarga,

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

155


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

seperti dalam program transmigrasi dan pendistribusian tanah dalam implemntasi Reforma Agraria. g.

Memastikan jaminan dan pemenuhan hak-hak dasar perempuan, antara lain hak atas pendidikan, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan sarana kesehatan bagi perempuan pedesaan, termasuk hak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, terutama di wilayah-wilayah bisnis dan industri berskala besar.

h. Memastikan proses pembangunan tidak diskriminatif terhadap perempuan, dalam setiap proses, baik rapat pengambilan keputusan maupun pelaksanaan program, termasuk monitoring dan evaluasi terhadap pembangunan yang telah dilaksanakan. i.

Memastikan implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia dan menegaskan agar CEDAW menjadi landasan hukum setiap undang-undang dan peraturan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam.

C. Kesetaraan Gender Pasal 3 Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara lakilaki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini. 43. Pasal 1 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi mendefinisikan pornografi sebagai setiap pelanggaran terhadap norma kesopanan. Selain itu, karena terbatasnya penyebaran dan sosialisasi pelaksanaan UU ini, UU ini justru menjadi sarana kriminalisasi perempuan dalam banyak situasi. 44. UU Pronografi mengategorikan lesbian dan homoseksual dalam persenggaman adalah penyimpangan (Pasal 4 ayat 1a dan penjelasanya). Ini menyatakan bahwa LGBT adalah penyimpangan serta merupakan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan gender identity serta ekspresi gender. Pemahaman dan pandangan Biner dari negara atas orientasi seksual dan identitas gender membuat diskriminasi terhadap LGBT semakin kuat. 45. Perhatian utama UU Pornografi sebenarnya untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan melindungi perempuan dari eksploitasi seksual. Namun dalam implementasinya, UU ini seringkali digunakan untuk memenjarakan perempuan, berdasarkan pada persepsi gender yang timpang, termasuk pula untuk menghukum tarian yang dianggap erotis dan perempuan yang extra-marital sex.47 46. 47 organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang terdiri dari organisasi perempuan, gereja, pemuda, dan bantuan hukum, telah menyampaikan gugatan melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 44/2008 Tentang Pornografi, karena UU ini memiliki landasan yang lemah. Definisi tentang pornografi yang tidak jelas telah mengancam kebebasan sipil perempuan dan masyarakat. Gugatan ini telah ditolak oleh Mahkamah pada Maret 2010 karena UU ini dianggap

47

The Jakarta Globe, March 28, 2011

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

156


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

sesuai dengan moral bangsa dan hak individu dapat dibatasi karena alasan menjaga masyarakat. 47. Perempuan-perempuan masyarakat adat juga seringkali mengalami diskriminasi berlapis, karena identitas mereka sebagai masyarakat adat dan sebagai perempuan. Di Indonesia, perempuan adat masih mengalami diskriminasi, terutama dalam hal partisipasi dan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan. Walaupun mereka dilibatkan, dalam prosesnya mereka seringkali dipandang sebagai objek, bukan subjek, sehingga banyak aspek pembangunan dan aktivitas di wilayah mereka justru berdampak negatif bagi mereka sendiri. Lebih dari itu, perempuan adat ini merupakan kelompok yang paling jauh dari akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan dasar dan pekerjaan. 48. Kurangnya kebijakan dan legislasi yang pemajuan dan melindungi perempuan adat tersebut merupakan salah satu penyebab utama perempuan-perempuan ini menghadapi situasi rentan di Indonesia. Upaya untuk memajukan dan mengarusutamakan gender oleh Pemerintah Indonesia seringkali tidak menyentuh perempuan masyarakat adat tersebut. 49.

Pertanyaan: a. Langkah apa yang telah diambil oleh pemerintah untuk: a. memastikan hak ekonomi perempuan adat di bidang ekonomi, sosial dan budaya; b. adanya partisipasi yang substantif perempuan adat dalam pengambilan keputusan, terutama dalam proyek pembangunan dan aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan dan wilayah mereka. b. Apa tindakan konkret yang diambil oleh Negara untuk menghilangkan perilaku dan streotipe patrialkal dalam masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan adat?

Rekomendasi a. Pemerintah mengakui keberadaan LGBT dan menjamin hak-hak LGBT terpenuhi. b. Membuat kebijakan yang melindungi LGBT dari diskriminasi dan kekerasan. c.

Mencabut semua Perda dan kebijakan yang diskriminatif terhadap LGBT.

D. Hak Atas Pekerjaan Pasal 6 (1) Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini. (2) Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi juga bimbingan teknis dan kejuruan serrta program-program pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang penuh dan produktif, dengan kondisi-kondisi yang menjamin kebebasan politik dan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

157


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

ekonomi yang mendasar bagi perorangan. Pasal 7 Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan khususnya menjamin:! (a) Bayaran yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya:! (1) Upah yang adil dan imbalan yang sesuai dengan pekerjaan yang senilai tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, khususnya bagi perempuan yang harus dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. (2) Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka, sesuai dengan ketentuan- ketentuan Kovenan ini; (b) Kondisi kerja yang aman dan sehat;! (c) Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan.! (d) Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar, dan liburan berkala dengan gaji maupun imbalan-imbalan lain pada hari libur umum. 50. Konstitusi 1945, Pasal 28D ayat (2), menjamin bahwa setiap orang berhak untuk bekerja, mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hak untuk bekerja ini juga diatur dalam Pasal 38 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak mendapatkan pekerjaan yang layak. 51. Namun demikian, ketentuan di atas tidak sepenuhnya diterapkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Salah satu masalah mendasar dalam undang-undang ini adalah masih adanya pemberlakuan sistem outsourcing yang hampir terjadi di setiap sektor pekerjaan. Lemahnya pengawasan terhadap sistem outsourcing juga menjadi salah satu permasalahan yang tidak diatur dalam UU ini. 52. LBH Jakarta mencatat fakta bahwa rata-rata pengaduan terkait pelanggaran hak atas pekerjaan mencapai 195 pengaduan per tahun. Kecenderungan pelanggaran yang diadukan antara lain: pelanggaran terhadap hak-hak normatif pekerja, pelanggaran hak berserikat, pelanggaran terhadap hak-hak kepegawaian, kriminalisasi terhadap buruh, pelanggaran hak-hak pekerja rumah tangga (PRT) dan pelanggaran hak-hak buruh migran Indonesia. Melihat data tiga tahun terakhir yang dirangkum oleh LBH Jakarta, walaupun jumlah pengaduan relatif turun tapi jumlah orang yang terdampak dari pelanggaran tersebut cenderung mengalami kenaikan. Pada 2010 jumlah pengaduan yang diterima LBH Jakarta sebanyak 191 pengaduan dengan jumlah orang mencapai 4.697 orang dan tahun 2011 terdapat 168 pengaduan dengan jumlah orang terdampak 4.576 orang. Sementara tahun 2012, jumlah pengaduan sebanyak 141 kasus. Walaupun jumlahnya paling sedikit dalam 7 tahun terakhir, jumlah orang terdampak mencapai 8.232 orang.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

158


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

53. Dari kasus-kasus tersebut, pelanggaran hak normatif pekerja, pelanggaran terhadap hubungan kerja dan pelanggaran anti serikat pekerja menjadi 3 (tiga) isu pokok setiap tahunnya. Kecenderungan pelanggaran terhadap tiga hal di atas paling mengancam hak warga Negara atas pekerjaan. Untuk tahun 2012, pelanggaran hak atas hubungan kerja (skorsing, mutasi, PHK sepihak) mencapai 74 pengaduan dengan 4.680 orang terdampak, pelanggaran hak-hak normatif terdapat 43 pengaduan dengan 439 orang terdampak, sementara pelanggaran terhadap kebebasan berserikat terdapat 3 pengaduan dengan 2.835 orang terdampak. Tahun 2009, pelanggaran terhadap hak normatif pekerja terdapat 52 pengaduan dengan 163.165 orang terdampak, pelanggaran dalam hubungan kerja sebanyak 125 pengaduan dengan 7.853 pencari keadilan sedangkan pelanggaran serikat pekerja 8 pengaduan dengan 591 pencari keadilan. Untuk 2007, pelanggaran terhadap hubungan kerja terdapat 114 pengaduan dengan 8.525 pencari keadilan, sedang pelanggaran terhadap hak normatif pekerja terdapat 37 pengaduan dengan 2.226 pencari keadilan (lihat tabel 4.1). Angka ini adalah angka yang dapat direkam dalam catatan LBH Jakarta dan hanya terbatas kasus-kasus yang dilaporkan. Di luar itu, tentu masih banyak lagi kasus-kasus yang ada, namun tidak diketahui dan dilaporkan. Tabel 4.1 Data pengaduan masyarakat yang diterima LBH Jakarta 7 (tujuh) tahun terakhir CATAHU LBH JAKARTA 2012

PENGADUAN 141

KECENDERUNGAN PELANGGARAN -

2011

168

2010

191

2009

227

a. b. a. b. -

Hubungan kerja (74 pengaduan dengan 4.680 pencari keadilanan) Pelanggaran hak normatif (43 pengaduan dengan 439 pencari keadilan) PNS (8 pengaduan dengan 8 pencari keadilan) Hak atas kebebasan berserikat (3 pengaduan dengan 2.835 pencari keadilan) Kriminalisasi buruh (4 pengauan dengan 11 pencari keadilan) BMI (6 kasus dengan 24 pencari keadilan) PRT (1 pengaduan dengan 1 pencari keadilan) Diskriminasi (1 pengaduan dengan 4 orang pencari keadilan) Hak normatif Hak atas kebebasan berserikat Pengusaha sebagai pelaku utama di bawah pembiaran oleh Negara (11 kasus) Pola pelanggaran berupa Union Busting Pekerja Migran (3 kasus) Negara sebagai aktor utama Buruh migrant sebagai komoditas Hubungan Kerja Pelanggaran hak normative buruh Kepegawaian Serikat pekerja Kriminalisasi Buruh PRT BMI Hubungan kerja (PHK: 125 Pengaduan dan 7.853 orang terbantu) Hak normatif (52 Kasus dan 163.165 orang

ORANG TERBANTU 8.232 orang

4.576 orang

4.697 orang

172.195 orang

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

159


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

-

2008

185

2007

263

2006

194

a. b. a. b. -

terbantu) Kepegawaian (14 pengaduan dan 133 orang terbantu) Serikat pekerja (8 pengaduan dan 591 orang terbantu) Kriminalisasi buruh (10 pengaduan dan 420 orang terbantu) PRT (3 pengaduan dan 4 orang terbantu) BMI (15 pengaduan dan 29 orang terbantu) Hubungan kerja (PHK) Serikat pekerja Hak normatif Hubungan kerja PHK (95 kasus dan 4.173 orang) Penghitungan pesangon (19 kasus dan 4.352 orang) Hak normatif Upah di bawah standar minimum (35 kasus dan 1.820 orang) Jamsostek (2 kasus dan 406 orang) PHK Hak normatif Antiserikat Perlindungan tenaga kerja Kriminalisasi

10.176 orang

11.851 orang

54. Data di atas menunjukkan bahwa peningkatan perluasan kesempatan kerja, peningkatan jumlah tenaga kerja formal dari informal, peningkatan kualitas tenaga kerja dan segala usaha yang dicanangkan dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional 2005-2025 untuk menyesuaikan dengan arahan kebijakan pasar tak diikuti dengan “perlindungan� terhadap hak atas pekerjaan. 55. Hak-hak Buruh Migran. Dalam banyak pendapat, sedikitnya kesempatan kerja membuat masyarakat Indonesia mencari penghidupan di luar negaranya dengan menjadi buruh migran. Hal ini terlihat dari jumlah buruh migran yang terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu dalam waktu tiga tahun (2009 – 2012) jumlah kabupaten pengirim buruh migran ke luar negeri meningkat secara drastis, dari 39 kabupaten menjadi 159 kabupaten pada tahun 2012. Setiap tahunnya, setidaknya 450.000 orang mempertaruhkan nyawa dan keutuhan keluarga mereka dengan menjadi buruh migran di luar negeri. Meski dikatakan sebagai penyokong devisa negara, pelbagai kekerasan dan pelanggaran hak dialami oleh para buruh migran yang tentunya berdampak tidak hanya pada buruh migran itu sendiri, melainkan juga keluarganya. 56. Data yang dicatat di pusat pendataan Gedung Pendataan Kepulangan Terminal Selapajang (Bandara Soekarno-Hatta) memaparkan bahwa sepanjang 20082011 terdapat 44,573 Buruh migran yang melaporkan menghadapi permasalahan selama di luar negeri. Sedangkan pada 2012 (hingga 31 Mei 2012), jumlahnya tercatat 14.646 buruh migran. Sedangkan menurut data dari The Institute of Ecosoc Rights, pada tahun 2008, terdapat 513 buruh migran Indonesia meninggal di Malaysia dan tahun 2009 terdapat 1000 lebih buruh migran Indonesia meninggal di luar negeri. 57. Minimnya perlindungan pada proses migrasi semakin menempatkan buruh migran perempuan juga rentan menjadi korban trafficking. Catatan International Organization of Migration (IOM) mengungkap bahwa sepanjang 2005-2012 terjadi

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

160


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

kasus trafficking atau perdagangan manusia sebanyak 4.532 kasus, di mana 67,24 persen korban diberangkatkan melalui PPTKIS/PJTKI resmi. Masih tingginya kasus trafficking pada buruh migran jelas semakin merentankan buruh migran, terutama perempuan, pada situasi rentan dan sulit. 58. Situasi tersebut tidak terlepas dari sistem dan kebijakan buruh migran yang tidak mampu melindungi mereka secara komprehensif. UU terkait buruh migran yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, masih meletakkan buruh migran sebagai komoditas ekonomi. Di dalam UU tersebut, proses migrasi diserahkan kepada pihak swasta tanpa mekanisme monitoring yang jelas, sehingga menyebabkan buruh migran rentan di berbagai tahapan migrasi dan membuka peluang untuk transaksi perdagangan orang. 59. Pada 2012 Pemerintah dan DPR telah melakukan inisiatif dan langkah penting terkait perlindungan hak-hak buruh migran dengan meratifikasi Konvensi Migran 1990 melalui UU. No. 6 tahun 2012. Namun sayangnya, langkah ini tidak disertai dengan upaya harmonisasi kebijakan-kebijakan lainnya dan hingga detik ini proses revisi UU No. 39 Tahun 2004 berjalan dengan sangat lambat dan kurang terbuka terhadap keterlibatan masyarakat sipil. Tak hanya itu, draft revisi UU yang saat ini ada, baik versi DPR maupun pemerintah, juga tidak jauh berbeda dari UU yang lama. Peranan yang besar dalam proses migrasi masih diserahkan kepada pihak swasta tanpa adanya mekanisme monitoring yang memadai. 60. Pelanggaran hak atas pekerjaan Buruh Migran juga terjadi dalam bentuk moratorium pengiriman buruh migran, khusus untuk pekerja rumah tangga (PRT). Padahal, moratoriun bukanlah solusi untuk menyelesaikan situasi buruknya perlindungan hak-hak buruh migran, karena yang dibutuhkan adalah sistem perlindungan yang komprehensif. Sebaliknya, moratorium merupakan kebijakan yang semakin menguatkan pelanggaran hak warga Negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Moratorium juga dapat menciptakan ekses, yaitu meningkatnya angka kasus trafficking, karena Pemerintah tidak menyelesaikan permasalahan utama dalam migrasi, termasuk migrasi yang dilakukan secara ilegal oleh agen-agen resmi atau tidak resmi. 61. Hal ini setidaknya tergambar dalam bentuk kebijakan Roadmap Zero Domestic Worker 2017. Pada bulan Januari 2012, Menakertrans, Muhaimin Iskandar, menyatakan bahwa pemerintah telah membangun sebuah roadmap mengenai Zero Domestic Workers. Roadmap tersebut menargetkan penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sektor informal ke luar negeri secara beratahap akan dihentikan dan akan berakhir pada tahun 2017 sampai ke titik nol (zero). Penghentian bertahap sudah dimulai sejak awal 2012 hingga 2017. Selain Kemnakertrans, BNP2TKI juga telah mencanangkan peningkatan penempatan TKI formal pada 2012. 62. Kemenakertrans bahkan mengklaim bahwa selama 2012 sudah berhasil mencegah penempatan TKI informal sebanyak 50%. Dari jumlah penempatan TKI selama 2012 sebanyak 494.609 orang itu ternyata lebih banyak TKI sektor formal, yakni sebanyak 258.411 orang dibandingkan (domestic worker) atau penata laksana rumah tangga, yakni sebanyak 236.198 orang. Padahal, berdasarkan data Kemenakertrans 2011, jumlah TKI formal meningkat hingga 264.756 orang (45,56% dari total penempatan TKI), sedangkan jumlah TKI informal sebanyak 316.325 orang (54,44%). Pada 2010, jumlah penempatan TKI formal hanya 259. 229 orang (30,14%

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

161


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

dari total penempatan TKI), sedangkan jumlah penempatan informal 600.857 orang (69,86%). 63. Penghentian penempatan PRT merupakan pembatasan terhadap hak atas kerja PRT migran dan melanggar Prinsip Umum yang diatur pasal 1 Konvensi Migran 1990, yaitu prinsip non diskriminasi. Roadmap juga telah melanggar hak buruh migran yang sudah dijamin Bagian III Konvensi mengenai Hak seluruh buruh migran dan anggota keluarganya, yaitu Hak untuk meninggalkan suatu Negara termasuk negaranya sendiri maupun untuk kembali (pasal 8). 64. Roadmap ini menafikkan tanggung jawab Indonesia sebagai Negara asal buruh migran atas pelaksanaan Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 mengenai pekerja migran perempuan, yaitu: “Negara asal harus menghormati dan melindungi hak asasi perempuan warga negaranya yang bermigrasi dengan tujuan untuk bekerja (paragraf 24)�. Roadmap ini bertentangan dengan Konvensi CEDAW, karena merupakan bentuk pembatasan hak perempuan untuk bermigrasi sehingga mengancam sumber pendapatan buruh migran perempuan dan keluarganya. 65. Kebijakan dalam bentuk roadmap ini di saat sulitnya lapangan kerja di dalam negeri menyebabkan perempuan Indonesia yang hendak bekerja keluar negeri sebagai PRT terperangkap pada situasi pemiskinan dan hilang akses dan kontrolnya untuk menopang beban hidupnya dan keluarganya. Padahal, dalam banyak kasus yang terjadi, pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami PRT migran di luar negeri justru seringkali disebabkan oleh sikap abai pemerintah Indonesia sendiri yang tidak responsif terhadap kebutuhan dan perlindungan hak PRT migran. Harus diakui bahwa lemahnya kebijakan nasional dan sikap pemerintah yang belum mempunyai komitmen kuat untuk melindungi PRT migran tersebut berkontribusi terhadap perilaku buruk pihak pemerintah dan majikan di Negara tujuan seperti Arab Saudi dan Malaysia terhadap PRT migran Indonesia. Dalam upaya moratorium PRT migran tersebut, Pemerintah juga tidak menampakkan niat baiknya untuk memperbaiki sistem perlindungan bagi buruh migran. 66. Agricultural land diversion for the construction of infrastructure, large scale plantations, tourism and housing has caused lessening food production and resulted in the loss of living sources of farmers, both men and women. It also escalates agrarian conflict, criminalization and human rights abuses against farmers. Since 2004 to 2012, there have been 618 agrarian conflicts in all regions of the Republic of Indonesia; with an area of conflict stretches to 2.399.314, 49 hectares, of which there are more than 731.342 families must face the injustice of agrarian and prolonged conflicts48. Exfarmers whose land are stolen are forced to work as farm labors and female workers receive lower wage than male labors or they need to find other economic sources by working as a factory laborer or migrant worker overseas without protection assurance from the Government of Indonesia. 67. Situasi Nelayan Tradisional. Kualitas kesejahteraan nelayan tradisional tidak pernah menunjukkan peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin di 10.666 desa pesisir yang tersebar di 300 kabupaten/kota dari 524 kabupaten/kota se-Indonesia mencapai 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional yang berjumlah 31,02 juta jiwa. Bank Dunia melaporkan

48

Data from Agrarian Revitalization Consortium, End Year Report of 2012

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

162


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

kemiskinan di Indonesia masih berkisar sekitar 100 juta.49 Dari data yang ada, jumlah rata-rata penghasilan nelayan (termasuk buruh nelayan) per hari tercatat hanya sebesar Rp30.499. per hari, lebih kecil bila dibandingkan dengan upah kuli bangunan sekitar Rp48.301 sehari. 68. Nelayan tradisional mengalami kesulitan dalam mengakses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di 237 unit SPBN di Indonesia (2011). Terlebih, kenaikan harga solar sebesar Rp200,- di tahun 2012 melalui Perpres Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu makin membebani para nelayan dan sejak 22 Juni 2013, Pemerintah telah mengurangi subsidi BBM Solar dengan menaikkan harganya menjadi Rp5.500 per liter. Belum lagi penyimpangan pemakaian BBM bersubsidi marak terjadi di SPBN. 69. Dewasa ini, terdapat lebih dari 2.755.794 jiwa nelayan perikanan tangkap yang tercatat di Indonesia. Secara teknis, armada perikanan tangkap yang saat ini ada sekitar 556.349 unit kapal dengan 95,6 persen di antaranya merupakan kapal skala kecil (di bawah 5 GT - 10 GT) dengan pola penangkapan tradisional. 95,6 persen nelayan tersebut beroperasi di sekitar pesisir pantai atau beberapa mil saja dari pantai, sehingga dari keseluruhan nelayan di Indonesia terdapat 95,6 persen nelayan Indonesia mayoritas merupakan nelayan tradisional. 70. Kebijakan politik anggarannya tidak menempatkan anggaran sektor perikanan sebagai sektor yang penting untuk didukung. Anggaran Belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di tahun 2014 mengalami penurunan: dari Rp.6,979,5 triliun (APBN-P 2013) menjadi Rp5,601,5 triliun (sumber: RAPBN 2014). Padahal, anggaran belanja Negara direncanakan mencapai Rp1.816,7 triliun, naik 5,2 persen dari pagu belanja negara pada APBNP Tahun 2013 yang sebesar Rp1.726,2 triliun. 71. Selain faktor ekonomi yang tidak menyejahterakan, nelayan Indonesia juga tidak mendapatkan perlindungan Negara. Padahal perubahan iklim menjadi ancaman terhadap nelayan tradisional. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi KIARA menyebutkan, dalam rentang bulan Januari – Juli 2013 tercatat ada 22 kasus kecelakaan dialami oleh nelayan yang mengakibatkan sedikitnya 147 nelayan meninggal dunia dan hilang akibat cuaca esktrem (Januari – Juli 2013). Ironisnya, Pemerintah Indonesia tidak pernah memberikan perlindungan apa pun, baik jaminan asuransi maupun perlindungan masa depan keluarga korban. Tabel 4.2 Jumlah Nelayan Hilang dan Meninggal Dunia di Laut 2010-2013 No

Tahun

Jumlah Nelayan Hilang/Meninggal

1

2010

86

2

2011

149

3

2012

186

4

2013 (s/d Juli)

147

49

Ibid, Ryono S.Kel., M.Si., Akar Kemiskinan Nelayan Indonesia.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

163


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Tabel 4.3 Jumlah Kecelakaan dan nelayan meninggal dunia di laut pada bulan Januari-Juli 2013 No

Bulan

Jumlah Kecelakaan

Jumlah Nelayan Meninggal Dunia

1

Januari

8 kasus

49 orang

2

Februari

1 kasus

1 orang

3

Maret

1 kasus

1 orang

4

April

3 kasus

60 orang

5

Mei

2 kasus

11 orang

6

Juni

3 kasus

14 orang

7

Juli

4 kasus

11 orang

Jumlah total

22 Kasus

147 orang

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Agustus 2013) 72. Deindustrialisasi di Indonesia juga menyebabkan rakyat terpaksa berjuang menciptakan lapangan kerja sendiri. Hal ini tampak dari data, bahwa hampir 70 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal yang miskin perlindungan. Sebaliknya, kebijakan pemerintah Indonesia dalam pengembangan kota cenderung menggusur sektor informal. Di Jakarta, misalnya, dalam tiga tahun terakhir ruang untuk pusat perbelanjaan (mall) meningkat 300 persen, sementara pertumbuhan pasar tradisional minus 8,4 persen. Dari 151 pasar tradisional di Jakarta, 20% saja yang bisa terus beroperasi dan dari 120.000 pedagang pasar tradisional, 70% dari mereka yang berdagang hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. 73. Di sisi lain, buruh yang bekerja di sektor formal pun dipaksa menerima upah, bahkan tidak cukup untuk makan layak tiga kali sehari, dan menghadapi situasi rentan kehilangan pekerjaan akibat perluasan penerapan sistem outsourcing dan kontrak. Di Jawa Timur, misalnya, Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) mencatat, buruh berstatus kontrak meningkat dari 7 persen di tahun 2003 menjadi 68 persen di tahun 2006. Di Jawa Barat 62,6 buruh di 91 perusahaan berstatus buruh kontrak. 74. Pada pengumunam perekrutan pegawai di Kejaksaan Agung Republik Indonesia Tahun 2013 No.PENG-001/C4/CP2/09/2013 tentang pengadaan calon pegawai negeri sipil kejaksaan Republik Indonesia tahun anggaran 2013, dituliskan pada poin 1B tentang persyaratan khusus bagi pelamar sarjana (S1), poin c menyebutkan bahwa pelamar “tidak buta warna warna baik parsial maupun total,tidak cacat fisik, tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender), tidak bertato, tidak bertindik (kecuali wanita dengan 1 tindik dimasing masing telinga), mempunyai postur badan ideal, dengan standar BMI antara 18-25 dengan rumus berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat dengan tinggi badan untuk laki laki minimal 160 centimeter dan Perempuan 155 centimeter. Sedangkan lebih dari 70 % LGBT khususnya waria berpendapatan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

164


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

rendah dan juga sulitnya membuat KTP akibat diskriminasi jender membuat waria tidak mendapatkan hak atas Jaminan sosial dari negara. 75.

Rekomendasi a. Mengarusutamakan pelanggaran hak buruh sebagai pelanggaran HAM dan memaknai hak bekerja tidak hanya sekadar hak untuk bekerja, namun hak lain yang melekat di dalamnya. b. Mendorong penciptaan mekanisme penyelesaian perkara yang cepat, adil dan murah bagi buruh. c.

Mendorong kepolisian yang profesional dengan tidak menjadi “alat pengusaha� untuk mengkriminalisasi buruh, namun menindak tegas aparat penegak hukum (hakim) dan pihak-pihak yang justru melanggar peraturan perundangan.

d. Menghentikan praktik outsourcing karena menyengsarakan buruh dengan mengeluarkan PERPPU atau kebijakan lain yang cepta. e.

Mengefektikan kinerja pengawasan ketenagakerjaan.

f.

Melakukan revisi atas undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan dan segala peraturan turunannya yang sesuai dengan ICESCR.

E. Freedom Of Association And Collective Bargaining Of The Workers Pasal 8 1.

Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin:! a) Hak setiap orang untuk membentuk serikat pekerja dan bergabung dalam serikat pekerja pilihannya sendiri, berdasarkan peraturan organisasi yang bersangkutan, demi memajukan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosialnya. Pembatasan dalam pelaksanaan hak ini tidak diperbolehkan kecuali yang ditentukan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau untuk perlindungan hak -hak dan kebebasan-kebebasan orang lain; b) Hak setiap pekerja untuk membentuk federasi-federasi atau konfederasikonfederasi nasional dan hak konfederasi nasional untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi serikat pekerja internasional;! c) Hak serikat pekerja untuk bertindak secara bebas, yang tidak dapat dikenai pembatasan- pembatasan apa pun selain yang ditentukan oleh hukum, serta apa yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau untuk perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain;! d) Hak untuk melakukan pemogokan, asalkan pelaksanaannya sesuai dengan hukum negara yang bersangkutan;

2.

Pasal ini tidak menghalangi dikenakannya pembatasan-pembatasan yang sah dalam pelaksanaan hak-hak tersebut di atas, oleh anggota-anggota angkatan bersenjata atau kepolisian atau penyelenggara suatu Negara.!3. Tidak ada

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

165


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

satupun dalam Pasal ini yang memberi kewenangan pada Negara-Negara Pihak dalam "Konvensi Internasional Organisasi Perburuhan Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat" untuk mengambil langkah legislatif atau menerapkan hukum apapun sedemikian rupa yang akan mengurangi jaminan-jaminan yang telah diberikan Konvensi itu. 76. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menjamin setiap warga negaranya untuk berkumpul dan menyatakan pendapat dengan damai. Berkaitan dengan hak buruh untuk membentuk serikat dan berunding juga diatur dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 77. Pelanggaran terhadap hak berserikat merupakan cikal bakal dari pelanggaran hak-hak buruh yang lainnya, dimulai dengan menghalang-halangi pendirian serikat pekerja, menolak ajakan berunding, memutasi, surat peringatan, PHK, sampai pada kriminalisasi. Kuatnya tekanan dari perusahaan terhadap pendirian serikat buruh ini karena keberadaan sebuah serikat buruh dijadikan alat perjuangan bagi buruh untuk mendapatkan hak-haknya melalui perundingan dengan pengusaha dan pemerintah atau perundingan-perundingan bipartite, maupun melalui pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang dianggap mengancam keberlangsungan perusahaan. Serikat buruh seringkali memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berhadapan dengan perusahaan secara individual. 78. Peran pemerintah dalam sengketa perburuhan ini menjadi minim karena lahirnya tiga paket UU yaitu UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memangkas peran pegawai Pengawas Ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan serta memberikan sanksi kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak buruh. Kapasitas dan kapabilitas para Pengawas Ketenagakerjaan juga menjadi lemah karena penggabungan tugas pemerintahan, seperti Dinas Sosial dan Dinas Ketenagakerjaan, membuat para pegawai tidak paham mengenai teknis bidang ketenagakerjaan. Semangat otonomi daerah juga membuat kewenangan Pengawas Ketenagakerjaan menjadi kecil karena para Pengawas Ketenagakerjaan kemudian berada di bawah pemerintahan daerah, bukan pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.50 79. Akibat dari kapabilitas Pengawas Ketenagakerjaan yang kurang, umumnya perselisihan perburuhan yang bersifat pidana diarahkan menjadi perselisihan perdata melalui mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Mengenai hal yang bersifat pidana, Kepolisian juga tidak mempunyai pengetahuan yang mumpuni mengenai tindak pidana perburuhan. Hingga saat ini, tidak ada laporan mengenai pidana perburuhan yang diproses peradilan. Sementara sebaliknya, buruh dapat dengan mudah dikriminalisasi seperti pada kasus PT. Panarub, di mana aktivis serikat pekerja ditahan selama 6 hari dengan tuduhan menyebarkan pesan pendek berisi teror terhadap seluruh manajemen yang memecat 1.300 orang buruh yang terlibat dalam serikat pekerja. Polisi juga menahan setidaknya empat orang buruh yang melakukan aksi damai para buruh yang menolak sistem outsourcing pada akhir tahun 2012 lalu.

50

Kertas Posisi LBH Jakarta untuk Hari Buruh 1 Mei 2013; http://www.bantuanhukum.or.id/blog/2013/04/30/kertas-posisi-may-day-2013/

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

166


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

80. Situasi perburuhan juga diperburuk dengan tindakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga ikut melakukan praktik kerja outsourcing pada perusahaannya, seperti pada BUMN PT. Pertamina, PT. PLN (Persero), PT. Telkom, PT. Kereta Api Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan lain sebagainya. Adanya sistem outsourcing ini memperlemah posisi buruh karena para buruh tidak dianggap sebagai pegawai tetap yang mempunyai hak-hak normative seperti cuti, asurasi tenaga kerja, pension, bahkan dapat di-PHK sewenang-wenang oleh perusahaan. 81. Pada kasus-kasus perburuhan umumnya ditemukan lebih dari satu klasifikasi permasalahan atau pelanggaran hak atau pelanggaran berlapis dalam satu kasus, contohnya seperti kasus PHK yang diadukan oleh kurang lebih 1.300 buruh PT. Panarub Dwikarya, yang merupakan anggota dari Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI). Kasus ini bermula dari pelanggaran hak normatif (tunggakan pembayaran rapelan upah) yang dilakukan oleh perusahaan, berlanjut dengan dilakukannya PHK sepihak dan pemberangusan serikat, serta terakhir kriminalisasi buruh yang terlibat dalam serikat buruh. Dalam kasus ini, PHK sepihak dan kriminalisasi buruh merupakan upaya-upaya perusahaan untuk menghilangkan serikat buruh.

F. Hak Membentuk Keluarga Pasal 10 Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa:! 1.

Perlindungan atas bantuan seluas mungkin harus diberikan kepada keluarga yang merupakan kelompok alamiah dan mendasar dari satuan masyarakat, terutama terhadap pembentukannya, dan sementara itu keluarga bertanggung jawab atas perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih dalam tanggungan. Perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan persetujuan yang sukarela dari calon mempelai.

2.

Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan. Selama jangka waktu itu para ibu yang bekerja harus diberrikan cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial yang memadai.

3.

Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan harus diberikan untuk kepentingan semua anak dan remaja, tanpa diskriminasi apapun berdasarkan keturunan atau keadaan-keadaan lain. Anak-anak dan remaja harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan sosial. Pemanfaatan mereka dalam pekerjaan yang merrugikan moral atau kesehatan, atauu yang membahayakan kehidupan mereka, atau yang sangat mungkin menghambat perkembangan mereka secara wajar, harus dikenai sanksi hukum. Negaranegara juga harus menetapkan batas umur di mana mempekerjakan anak di bawah umur tersebut dengan imbalan, harus dilarang dan dikenai sanksi hukum.

82. Perkawinan Anak. Perkawinan anak (kawin paksa) merupakan hal yang umum di beberapa provinsi di Indonesia, khususnya di pedesaan. Riset Kesehatan Dasar Indonesia pada tahun 2010 menemukan bahwa 46,4% remaja perempuan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

167


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Indonesia menikah sebelum usia 20 tahun.51 Selanjutnya, data sensus menunjukkan bahwa rata-rata usia menikah menurun dalam kurun waktu tiga kali sensus penduduk, yakni dari usia 20 tahun menjadi 18 tahun. Sensus terakhir, pada tahun 2010, menunjukkan rata-rata usia menikah saat ini ialah 15 tahun. 52 83. Provinsi dengan persentase perkawinan usia muda (<15 th) tertinggi ialah Kalimantan Selatan (9 %), Jawa Barat (7,5 %), serta Kalimantan Timur ( 7 %) Kalimantan Tengah (7 %) dan Banten (6,5 %). Provinsi dengan persentase perkawinan usia muda (15�19 th) tertinggi adalah Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Selatan (48,4%), Bangka Belitung (47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3%). 84. Undang-Undang diskriminasi, kemiskinan, sosial dan ritual peribadatan serta perbedaan gender turut mendukung keberlangsungan praktik ini. Bahkan UndangUndang larangan aborsi digabung dengan stigma yang berhubungan dengan kehamilan di luar nikah. Ini berarti bahwa remaja perempuan yang hamil di luar nikah seringkali dipaksa untuk menikah. Komite Hak Anak (CRC) acapkali menyatakan keperihatinannya terhadap peningkatan kawin paksa yang dialami remaja perempuan di bawah 15 tahun, khususnya di masyarakat pedesaan dan mendesak Pemerintah Indonesia agar segera bertindak untuk mencegah terjadinya pernikahan dini. 85. Undang-Undang pernikahan No.1/1974 pasal 7 ayat (1) mengatur batas usia minimal pernikahan bagi laki-laki ialah 19 tahun dan 16 tahun bagi perempuan. Komite Hak Anak dan Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) mengungkapkan keperihatinannya atas Undang-Undang diskriminasi terhadap perempuan dan menganjurkan agar Pemerintah Indonesia menetapkan batas usia pernikahan bagi perempuan sama dengan batas usia pernikahan bagi anak lakilaki. 86. Menurut catatan MEASURE DHE.ISF MACROS tahun 2011 menunjukkan, Indonesia termasuk Negara persentase perkawinan usia 15�19 tertinggi di dunia dengan menempati urutan ke-37 dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Data pada tahun 2011 terdapat 158 negara dengan usia legal minimum menikah 18 tahun ke atas, namun tidak termasuk Indonesia.53 87. Kawin paksa melanggar hak perempuan untuk mendapatkan perlindungan khusus, karena mereka merupakan anak-anak dan mereka patut mendapatkan hak pendidikan, kesehatan dan kehidupan. Remaja perempuan yang dipaksa menikah biasanya anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan. Pernikahan dini sering menyebabkan persalinan awal yang memberikan kontribusi untuk kematian yang berhubungan dengan kehamilan dan cacat. 88. Mengadopsi Undang-undang baru No. 52/2009 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga, Pemerintah melarang pengadaan alat kontrasepsi dan mengadakan pelayanan program KB hanya untuk pasangan yang telah menikah. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang melarang hubungan seksual pranikah dan melayani konsultasi kesehatan reproduksi, beragam informasi

51

Riset kesehatan dasar. Kementrian Kesehatan,2010

52

http://nasional.kompas.com/read/2011/11/03/02240779/Kesehatan.Reproduksi.Orang.Muda.Diabaikan 53

Pokja Analisis Dampak Sosial Ekonomi terhadap kependudukan Ditdamduk BKKBN 2012

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

168


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

dan pendidikan yang hanya diperuntukkan bagi pasangan yang telah menikah akan membuat kaum remaja yang terlanjur melakukan hubungan seks tidak mengetahui dampak kehamilan tak disengaja dan Infeksi Menular Seksual (IMS). 89. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada tahun 2007 mencatat, 50 % remaja yang berusia antara 15-24 tahun membutuhkan pelayanan Keluarga Berencana (KB). Akan tetapi, karena Undang-undang No 52 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga, mereka tidak bisa mendapatkan pelayanan mengenai KB. Studi SKRRI54, Kesehatan Seksual, Hak Seksual, Kesehatan Reproduksi, dan Hak Reproduksi (SRHR), di antara 2400 remaja perempuan di 24 kota ditemukan bahwa 26.5 % remaja mengalami kesulitan mengakses informasi tentang SRHR dan 46.7% dicatat bahwa mereka kesulitan mendapatkan kondom. 90. Penelitian oleh SKRRI pda tahun 2010 ditemukan bahwa 17.1% kaum remaja telah melakukan hubungan seks. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh klinik SKRRI periode 2004-2007 menemukan bahwa 8,6% dari kasus yang ditangani SKRRI sebanyak 31697 kasus telah menimpa remaja perempuan di bawah usia 21 tahun, mereka yang hamil tak disengaja dan memerlukan akses untuk konsultasi dan mendapatkan pelayanan. Selain itu, Kementrian Kesehatan melaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat 52.5% orang di bawah usia 30 tahun yang menderita HIV. Angka tersebut kian bertambah cepat seiring penularan virus tersebut melalui jarum suntik dan seks yang tidak aman. 55 91.

Rekomendasi a. Meninjau Undang-undang No. 52 Tahun 2009 secara khusus pasal-pasal yang menegaskan keluarga berencana hanya untuk pasangan, dan peraturan Pemerintah harus mengakomodasi kebutuhan anak-anak muda dan yang belum nikah terhadap hak atas kesehatan reproduksi. b. Meninjau Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam hal usia menikah dan mengatur usia minimum menikah menjadi 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan, sebagaimana direkomendasi oleh Komite Hak Anak.

G. Hak Melanjutkan Peningkatan Kondisi Hidup Pasal 11 1.

Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.

2.

Negara Pihak pada Kovenan ini, dengan mengakui hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari kelaparan, baik secara individual maupun melalui kerjasama internasional, harus mengambil langkah-langkah termasuk

54

Riset SKKRI 2010

55

Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2010

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

169


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

program-program khusus yang diperlukan untuk;! a) Meningkatkan cara-cara produksi, konservasi dan distribusi pangan, dengan sepenuhnya memanfaatkan pengetahuan teknik dan ilmu pengetahuan, melalui penyebarluasan pengetahuan tentang asas-asas ilmu gizi, dan dengan mengembangkan atau memperbaiki sistem pertanian sedemikian rupa, sehingga mencapai suatu perkembangan dan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien; b) Memastikan distribusi pasokan pangan dunia yang adil yang sesuai kebutuhan, dengan memperhitungkan masalah-masalah Negara-negara pengimpor dan pengekspor pangan.

92. Dalam laporannya, Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa ekonomi Indonesia terbesar ke-16 di dunia dengan produk domestik bruto (PDB) 3000 dollar AS per kapita, cadangan devisa 94,7 miliar dollar AS, nilai ekspor mencapai 50,0 miliar dollar AS, dan nilai tukar rupiah menguat. Dari sini, Pemerintah juga merasa cukup puas melihat kinerja ekonomi dari pertumbuhan ekonomi (yang disumbang dari sektor jasa), banyaknya investasi (yang didorong oleh investasi asing), kepercayaan investor (asing) terhadap surat utang negara, rasio utang terhadap PDB yang kian kecil dan beragam indikator sejenis lainnya. Di balik kemajuan ekonomi Indonesia tersebut, tersembunyi tiga persoalan mendasar yang diabaikan dunia, yaitu kesenjangan sosial yang kian tajam, kerentanan terhadap bencana, dan kemiskinan yang kian dalam. 93. Di saat para keluarga miskin kesulitan memenuhi kebutuhan pangan akibat melambungnya harga pangan (harga beras naik 120 persen, kedelai 85 persen, telur 100 persen, cabai 120 persen, daging 90 persen, dan jagung 700 persen) di tahun 2010, pembelian mobil mewah meningkat 37 persen, transaksi kartu kredit untuk makanan, busana dan plesiran meningkat 20 persen dengan nilai transaksi mencapai Rp 14,7 triliun per bulan, dan laba usaha penjualan barang mode bermerk impor meningkat 52 persen.56 94. Credit Suisse Research Institute mencatat bahwa Indonesia sebagai salah satu negara dengan laju pertumbuhan orang kaya tertinggi di dunia. Sekitar 112.000 orang kaya di Indonesia memiliki aset minimal USD 1 juta. Di saat jumlah orang kaya melambung, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga meningkat. Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 1,88 pada Maret 2012 menjadi 1,90 pada September 2012. Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,47 menjadi 0,48 pada periode yang sama. Pengeluaran warga miskin kian menjauhi batas minimum kemiskinan yang artinya juga meningkatnya kedalaman kemiskinan rakyat yang selama ini miskin. 95. Sejak tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak dinikmati oleh 40 persen golongan menengah dan 20 persen golongan terkaya. Sisanya, 40 persen kelompok penduduk yang berpendapatan terendah semakin tersingkir. Kelompok penduduk ini hanya menikmati 19,2 persen porsi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006, lebih kecil bila dibandingkan tahun 2000 yang mencapai 20,92 persen. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang dinikmati 20 persen kelompok penduduk

56

Kompas, 7 Januari 2011

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

170


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

terkaya makin meningkat, dari 42,19 persen menjadi 45,72 persen.57 Kondisi ini tidak berubah di tahun 2012. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,4 persen pada triwulan II tahun 2012 dan pendapatan per kapita mencapai 3.540 dollar Amerika Serikat per tahun lebih banyak dinikmati kalangan atas. Penurunan kue (pendapatan) nasional yang dinikmati oleh 40 persen penduduk termiskin justru diikuti oleh kenaikan pendapatan nasional yang dinikmati 20 persen kelompok terkaya.58 Pada tahun 2010 kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sebesar Rp 680 trilyun (USD 71,3 milyar) atau setara dengan 10,3% PDB Indonesia atau setara dengan kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin.59 96. Kesenjangan sosial yang kian tajam terlihat dari meningkatnya indeks gini, dari 0.288 pada 2002 menjadi 0.345 pada 2006. Indeks gini Indonesia pada 2007 dan 2010 mencapai 0,38.60 Pada 2011, indeks gini Indonesia mencapai rekor tertinggi, yaitu 0,41. 61 Meskipun Indonesia tidak menganut sistem kasta, kebijakan pemerintah Indonesia dengan jelas mengindikasikan berlangsungnya sistem kasta. Kalangan atas/pemilik korporasi diposisikan sebagai warga utama yang mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan. 97. Kemiskinan dan Kehidupan Layak. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dalam kurun waktu 2004 – 2009 Indonesia telah dilanda bencana sebanyak 4.408 kali. Empat bencana utama yang terjadi dalam kurun waktu ini ialah banjir (1.1916 kali), kekeringan (1.083 kali), tanah longsor (469 kali), dan banjir disertai tanah longsor (158 kali). Data BNPB tahun 2010 juga menyebutkan, dari 497 kabupaten/kota, 176 beresiko tinggi banjir, 156 beresiko tinggi longsor, dan 153 beresiko tinggi kekeringan. 98. Laporan “The Asia Pacific Disaster Report 2010” yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan Pasifik (ESCAP) dan Badan PBB Urusan Strategi Internasional untuk Penanggulangan Bencana (UNISDR) menyebutkan, selama kurun waktu 20 tahun (1980 – 2009), Indonesia menempati peringkat kedua setelah Bangladesh dalam daftar jumlah korban tewas terbanyak akibat bencana di Asia Pasifik, dengan kerugian ekonomi sedikitnya US$ 22,5 miliar. Kerentanan terhadap bencana ini diperparah oleh kemiskinan. Tingkat kerentanan lebih besar diderita warga miskin akibat ketimpangan sosial-ekonomi dan lingkungan alam. Laporan tersebut juga menegaskan bahwa sepanjang ketimpangan sosial ekonomi tidak diatasi, mereka yang rentan terhadap bencana akan tetap miskin dan kian rentan diterpa bencana. 99. Angka deforestasi Indonesia mencapai 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan “gelar kehormatan” bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia. Di pulau-pulau besar di Indonesia, kawasan hutan telah banyak berubah menjadi lokasi pertambangan dan perkebunan sawit. Pemberian izin untuk korporasi tambang

57

http://www.investorindonesia.com

58

Kompas, 10 Agustus 2012

59

Setyo Budiantoro dan Luhur Fajar Martha, Kemiskinan Melonjak, Jurang Kesenjangan Melebar, Prakarsa Policy Review, November 2011, hlm.2. ] 60

Biro Pusat Statistik, 2011

61

Kompas, 10 Agustus 2012

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

171


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

dan perkebunan sawit telah mengabaikan hak ekonomi, sosial, budaya warga dan komunitas. Di Kalimantan Timur, misalnya, alokasi lahan untuk industri ekstraktif sudah melebihi dari batas normal. Jika dijumlah, luas konsesi pengeloaan hutan, kebun sawit skala besar dan pertambangan mencapai 21,7 juta hektar. Luasan ini melebihi luas daratan Kalimantan Timur. Akibatnya, ruang hidup warga semakin sempit dan keselamatan mereka terancam. Di Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur, 71 persen dari 71.800 hektar keseluruhan luas kota telah dikapling oleh 76 izin tambang batubara. Hal ini juga berdampak pada bencana banjir tahunan di wilayah tersebut. Banjir di Samarinda setiap tahun menenggelamkan 14.000 keluarga dan kini intensitas banjir semakin sering, empat kali dalam setahun. Belum lagi permasalahan yang muncul dari aktifitas tambang yang tidak menyelesaikan prosesnya sampai pemulihan lokaso (reklamasi) lahan yang digunakan. Sepanjang Juli-Desember 2011 lalu, sedikitnya 5 anak usia 5-10 tahun tewas terperosok dalam kubangan lubang bekas tambang yang belum direklamasi. Badan lingkungan hidup setempat menyebut ada 150 lubang tambang tidak direklamasi yang mengancam keselamatan warga.62 100. Pemiskinan mendalam juga terlihat dari fakta bahwa Indonesia masuk peringkat kedua sebagai pemasok perdagangan anak dan organ tubuh terbesar di dunia. Dalam suatu kasus, bahkan, seorang pedagang mainan anak bisa menculik 95 anak dengan leluasa. Mayoritas korban perdagangan adalah anak dari keluarga miskin, sedangkan mayoritas korban perdagangan organ tubuh adalah anak-anak jalanan yang berasal dari keluarga miskin dan terlantar.63 Perdagangan anak dan organ tubuh tampaknya akan terus meningkat mengingat tingginya anak terlantar di Indonesia. Data SOS Children’s Village menyebutkan, di Indonesia saat ini terdapat 5,4 juta anak terlantar dan 12 juta anak beresiko menjadi telantar karena ketidakmampuan orang tua secara ekonomi, pengetahuan, pendidikan, dan lingkungan sosial yang tak mendukung dalam pengasuhan anak.64 101. Pemiskinan yang kian dalam terlihat juga dari jumlah kabupaten dengan tingkat kemiskinan di atas rata-rata yang meningkat dari 169 kabupaten (tahun 2005) menjadi 214 kabupaten (2006). 102. HuMA mencatat bahwa konflik sumber daya dan agararia meningkat drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2012, sebanyak 232 konflik yang disertai dengan kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi di 98 kabupaten/kota di 22 provinsi di Indonesia. 69 persen di antaranya dilakukan oleh perusahaan perkebunan, kehutanan dan tambang. 103. Memburuknya kualitas hidup kelompok miskin tidak sejalan dengan data penurunan angka kemiskinan dan pengangguran yang disodorkan pemerintah. Terjadi bias yang sangat jauh antara data pemerintah dan kenyataan yang dihadapi masyarakat.

H. Hak Atas Pangan Pasal 12

62

http://www.tribunnews.com/jakarta/index.php/2012/01/07/mengenaskan-ratusan-galiantambang-belum-direklamasi 63

Media Indonesia, 24 Januari 2011

64

Kompas, 7 Agustus 2011

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

172


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

1.

Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.

2.

!Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan: a) Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat; b) Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;! c) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan; d) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.

104. Meskipun UU Pangan mengakui pangan sebagai hak warga negara dan menjamin pemenuhannya, UU Pangan tidak menegaskan mekanisme kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak atas pangan rakyatnya. Tidak ada mekanisme tanggung gugat yang memungkinkan untuk meminta pertanggungjawaban negara jika kewajiban negara tersebut gagal dilakukan. Padahal dalam pendekatan hak atas pangan mekanisme tanggung gugat menjadi keharusan sebagai alat untuk mengontrol dan memastikan terpenuhinya hak atas pangan. Pasal 46 UU Pangan yang mengatur soal Keterjangkauan Pangan juga tidak mengadopsi ketentuan yang ada dalam Kovenan Ekosob, karena tidak mencantumkan secara eksplisit mengenai keterjangkauan fisik dan ekonomi masyarakat terhadap pangan secara berkelanjutan. 105. Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Indonesia tahun 2013 menggambarkan penurunan sejumlah produksi pangan, di antaranya padi, jagung, kedelai dan tebu. Tidak tercapainya peningkatan produksi pangan mendorong naiknya harga pangan di pasar dalam negeri. Berbagai target produksi pangan untuk beberapa komoditas di tahun 2012, meskipun telah direvisi, tetap tidak sanggup terpenuhi. Kedelai, misalnya, target awal adalah 1,9 juta ton yang kemudian direvisi menjadi 1,1 juta ton, tetapi dalam realisasinya hanya terpenuhi 780 ribu ton. Ulah para spekulan pun semakin memperparah lonjakan kenaikan harga pangan sehingga harga pangan mudah sekali bergejolak. Kenaikan harga BBM pada Juni 2013 juga telah memicu kenaikan harga sejumlah bahan pangan. Badan Pusat Statistik dalam Berita Resmi Statistik No. 41/07/Th. XVI yang dikeluarkan pada 1 Juli 2013 menyatakan bahwa perkembangan harga berbagai komoditas pada Juni 2013 menunjukkan adanya kenaikan. Hal ini menyebabkan harga pangan tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. 106. Persoalan kenaikan harga pangan di Indonesia terus terjadi secara berulang dan tidak ada langkah strategis dari Pemerintah. Pemerintah selama ini hanya merespon secara sporadik dan reaktif, yaitu dengan melakukan operasi pasar ataupun melakukan impor pangan untuk menambah stok dalam negeri. Upaya meredam harga melalui operasi pasar faktanya tidak pernah berhasil menyelesaikan masalah. Bahkan menjelang Pemilu 2014, operasi pasar ditengarai lebih sarat pencitraan untuk meraih simpati publik ketimbang manfaat yang diharapkan. Sementara itu, pilihan kebijakan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

173


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

impor pangan untuk pemenuhan pangan jelas akan mematikan petani domestik, nelayan tradisional dan produsen pangan skala kecil lainnya karena harus bersaing dengan produk impor dan tidak ada perlindungan domestik dari pemerintah. Sepanjang tahun 2012, kebijakan impor ikan menjadi tren utama kebijakan pangan perikanan Indonesia. Setidaknya sampai kuartal 2012 ada tujuh komoditas tuna impor. Padahal tuna adalah kekayaan laut yang tersebar di perairan Indonesia. Demikian juga dengan gurita, cumi-cumi dan udang yang masih terus diimpor. Kebijakan impor makin tidak relevan karena berimplikasi negatif terhadap arah kebijakan perdagangan dan penguatan kemandirian ekonomi perikanan nasional. Kuota ekspor terus dinaikkan bersamaan dengan kuota impor melonjak drastis. Lebih ironis lagi, ekspor masih didominasi oleh ikan mentah dan segar yang notabene menjadi kebutuhan produksi dan konsumsi dalam negeri. Sebaliknya, produk perikanan yang diimpor tidak hanya berbentuk hasil olahan, melainkan juga bahan baku yang sejatinya dapat ditemui di perairan Indonesia. 107. Peningkatan kapasitas produksi pangan dalam negeri memerlukan perlindungan dan dukungan terhadap produsen pangan kecil, seperti petani, nelayan, pembudidaya ikan, peternak, maupun lainnya. Dari Sensus Pertanian 2013 diperoleh informasi adanya penyusutan 5,04 juta keluarga tani dari 31,17 juta keluarga per tahun 2003 menjadi 26,13 juta keluarga per tahun 2013. Artinya jumlah keluarga tani susut rata-rata 500.000 rumah tangga per tahun. Sebaliknya, di periode yang sama, jumlah perusahaan pertanian bertambah 1.475 perusahaan. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Hal ini memperlihatkan fakta bahwa Pemerintah Indonesia menempatkan korporasi sebagai aktor utama dalam sektor pertanian, mulai dari alat produksi, cara produksi hingga distribusi pertanian. 108. Fakta lain dari Sensus Pertanian 2013 ialah kepemilikan lahan petani yang rata-ratanya hanya mencapai 0,3 ha. Laju alih fungsi lahan pertanian semakin tak terbendung, apalagi setelah ada upaya Pemerintah melegitimasi pengembangan bahan bakar nabati (agrofuel) yang tentunya akan membutuhkan banyak lahan untuk dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan monokultur. Dampak yang sudah terlihat ialah terjadinya praktek perampasan tanah petani secara massif dan pelanggaran hak petani. Temuan Solidaritas Perempuan Kendari memperlihatkan bahwa eskalasi pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Konawe Utara telah menghancurkan sawah dan ladang milik masyarakat yang merupakan sumber kehidupan mereka. Tak jarang perusahaan menggunakan tanah ulayat masyarakat sebagai lahan perkebunan kelapa sawit. Ketika masyarakat mempertahankan haknya, maka mereka harus berhadapan dengan ancaman kekerasan dan kriminalisasi. Seperti halnya yang terjadi pada seorang perempuan warga adat Sambandete-Walandewa (Sambawa), Nurjaniah Gazali alias ibu Mimi yang mempertahankan hak atas tanahnya dari aktivitas perkebunan justru ditahan di Polres Konawe dengan tuduhan menggerakkan massa. 109. Menurut catatan Serikat Petani Indonesia, dalam 4 tahun terakhir, sedikitnya 23 orang petani tewas dalam 183 kasus bersenjata. Insiden tersebut menyeret 668 petani yang dikriminalisasi dan 82.726 kepala keluarga tergusur. Persoalan konflik lahan ini akan terus meningkat jika pembaruan agraria sebagai langkah yang penting untuk mewujudkan kedaulatan pangan hanya menjadi slogan semata. UU Pangan tidak mencantumkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sebagai landasan yuridis, pun ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak memuat mengenai pembaruan agraria. Meskipun dalam RKP 2013, Pemerintah sudah menyatakan bahwa

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

174


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

persoalan menyusutnya lahan pertanian produktif menjadi salah satu faktor penyebab penurunan produksi pangan. Namun Pemerintah tidak melihat bahwa akar persoalan tersebut ialah tidak terlaksananya pembaruan agrarian, yang juga tidak berkeadilan gender. 110. Konsistensi Pemerintah dalam mendukung korporasi pangan dan mempertahankan ketergantungan terhadap impor merupakan konsekuensi dari keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) dan juga komitmen Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas dengan negara/kawasan lainnya. 111. Secara gamblang, WTO memaksa pembukaan pasar dan mencegah negara anggotanya untuk memberikan proteksi dan dukungan terhadap pertanian domestiknya. WTO juga mendorong deregulasi dalam berbagai kebijakan yang terkait dengan pangan dan memperparah ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor. Pada Januari 2013, Amerika Serikat telah mengajukan gugatan kepada WTO terhadap kebijakan impor produk hortikultura Indonesia yang dituding terlalu protektif dan harus membuka keran impor hortilutura. Tak lama setelah itu, Amerika Serikat kembali mempersoalkan bantuan kepada penambak udang di Indonesia yang ditengarai sebagai praktik dumping. Pada tahun 2012, impor pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp125 triliun. Akibatnya, petani, nelayan, pembudidaya ikan, peternak ataupun produsen pangan kecil lainnya harus berhadapan dengan serbuan pangan impor, dan menjadikan hak atas pangan rakyat Indonesia tergantung pada mekanisme pasar dan untuk keuntungan korporasi pangan semata. 112. Ekspansi pertambangan dan perkebunan sawit juga telah menggusur lahanlahan pertanian produktif dan menjadikannya lahan non-pertanian. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, setiap tahun lahan pertanian yang hilang rata-rata mencapai 100.000 hektare per tahun. Selain kehilangan lahan pertanian, kebijakan pemerintah Indonesia di bidang pertanahan juga berdampak pada ketimpangan dalam penguasaan lahan. Badan Pertanahan Nasional mencatat, 56 persen tanah di Indonesia dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk. Dari total 28 juta rumahtangga petani di Indonesia, terdapat 6,1 juta petani di Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5,0 juta rumahtangga petani tak bertanah di luar Jawa. Rumahtangga petani yang memiliki lahan, rata-rata kepemilikannya hanya 0,36 hektar.65 Selain konversi lahan dan distribusinya yang pincang, Indonesia juga mengalami masalah serius terkait degradasi lahan pertanian. Data Kementrian Pertanian menunjukkan, luasan lahan kritis meningkat rata-rata 2,8 juta hektare per tahun. Konversi lahan pertanian, pincangnya distribusi lahan, dan meningkatnya lahan kritis telah berdampak pada ketersediaan pangan nasional. Hilangnya lahan pertanian, distribusi lahan yang pincang, dan meningkatnya lahan kritis berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk yang bergantung pada pasar dalam mendapatkan pangan. Pemerintah Indonesia juga masih banyak bergantung pada impor dalam memenuhi kebutuhan pangan. Akibatnya, Indonesia rentan mengalami krisis pangan ketika harga pangan dunia meningkat dan warga rentan mengalami kekurangan pangan. 113. Data Global Hunger Index tahun 2010 menempatkan Indonesia sebagai negara yang mengalami masalah kelaparan dengan kategori “serius�, yaitu satu tingkat di bawah level “mengkhawatirkan�. Dalam hal ini gizi buruk anak merupakan

65

Kompas, 6 Januari 2012

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

175


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

penyebab terbesar kelaparan di seluruh dunia. Bersama dengan negara-negara di Afrika, Asia Selatan, Myanmar, dan Korea Utara, Indonesia termasuk dalam 20 negara yang menjadi target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi.66 114. Pada tahun 2005 terdapat 20-40 persen anak di 72 persen kabupaten mengalami kurang gizi. Angka ini tidak banyak berubah pada tahun 2009, di mana anak yang mengalami kurang gizi kronis (stunting) secara nasional mencapai 36,8%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan menunjukkan, 17,9 persen anak balita Indonesia atau sekitar 5 juta anak mengalami masalah gizi (13 persen kurang gizi dan 4,9 persen gizi buruk), dan 35,6 persen anak mengalami kurang gizi kronis (stunting). Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (2013) mencatat, lebih dari 8 juta anak Indonesia mengalami kurang gizi. 115. Badan Pertanahan Nasional tahun 2011 mencatat adanya 2.791 kasus perampasan lahan petani oleh korporasi yang berdampak pada hilangnya akses petani atas pangan. Serikat Petani Indonesia mencatat, tahun 2007 – 2011 terdapat 273.888 petani yang dirampas lahannya dan 18 petani tewas ditembak aparat negara akibat mempertahankan lahannya yang dirampas korporasi. 116. Pada tahun 2005 – 2008, Dinas Kesehatan provinsi NTT mencatat, terdapat 185 anak balita di provinsi NTT meninggal akibat busung lapar. Dalam tiga tahun terakhir, 151 anak balita di provinsi NTB meninggal akibat busung lapar. Tahun 2013 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan, sejak November 2012 hingga Maret 2013 terdapat 95 bayi di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, meninggal akibat gizi buruk dan penyakit. Pada 2005, di Kabupaten Yahukimo, Papua, 55 orang meninggal akibat kelaparan. Pada tahun 2009, kelaparan kembali melanda 51 distrik di Kabupaten Yahukimo, yang mengakibatkan 92 warga meninggal. Dua tahun kemudian, kasus serupa terjadi di sejumlah daerah di Provinsi Papua Barat dan Papua. 117. Maraknya kematian orang miskin akibat kelaparan dan bunuh diri karena tak mampu menanggung tekanan ekonomi akibat naiknya harga pangan, seperti yang terjadi pada kasus berikut: “Enam bersaudara warga desa Jebol, Kecamatan Mayong, kabupaten Jepara, Jawa Tengah, meninggal setelah makan tiwul. Mereka keracunan akibat pengolahan ketela pohon yg kurang tepat. Musibah itu bermula dari kebiasaan mereka membuat tiwul setiap kali keuangan keluarga sangat terbatas lantaran penghasilan sangat minim”. (Kompas, 4 Januari 2011)

“Kasus bunuh diri menimpa pasangan suami-istri Maksum (35) dan Rohani (33), penduduk desa Tanjunganom, Pesaleman, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu 5/1 dini hari. Keduanya gantung diri akibat tekanan ekonomi. Hasil kerja mereka sebagai buruh tebu tak naik, sementara harga kebutuhan pokok semakin tinggi”. (Kompas, 7 Januari 2011) Sementara para pelaku kekerasan terhadap hak untuk mendapatkan tempat tinggal masih didominasi oleh oknum Negara melalui Satpol PP, TNI, Institusi Pemerintah, dan BUMN. Oknum swasta juga ikut terlibat secara tidak langsung meskipun mereka berlindung di bawah kekuasaan Pemerintah ketika melakukan kekerasan terhadap hak

66

Metrotvnews, 14 Oktober 2010

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

176


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

tanah dan tempat tinggal.67 Ironisnya, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) tidak pernah menjalankan fungsinya ketika kekerasan terhadap hak tanah dan tempat tinggal terjadi. 68

I.

Hak untuk mendapatkan Air dan Kebersihan

118. Di Indonesia, manajemen sumber daya air telah mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari dampak ekonomi makro dan kepentingan lain atas pemanfaatan sumber daya air. 119. Meskipun telah terjadi perlawanan secara terang-terangan dari banyak orang, sejak tahun 1980-an Pemerintah Indonesia tetap mengikuti peraturan Bank Dunia. Bank Dunia dapat menggunakan kekuasaannya untuk menguasai sektor air Indonesia dalam penyediaan air di kota-kota dan menjadikan air sebagai komoditas. Hal tersebut merupakan dua prinsip Bank Dunia yang telah diadopsi dari Udang-undang Perairan Indonesia, yang ditetapkan sebagai inti permulaan bagi perubahan ideologi dalam pengaturan penyediaan air di desa. Apa yang membuat Undang-undang No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air berbeda dengan Undang-undang No. 11/ 1974, bahwa undangundang baru memberikan ruang lebih untuk sektor swasta melalui pasal 9 tentang komersialisasi hak-hak air dan pasal 40 (3) tentang partisipasi dalam penyediaan dan pengiriman air bersih. Merujuk pada undang-undang sebelumnya, penyediaan air seharusnya dikelola oleh publik, atau paling tidak diatur oleh institusi yang koperatif. 120. Administrasi mengenai hak-hak saat ini berpotensi untuk meminggirkan pengguna tradisional dan juga menciptakan masalah-masalah administratif. Mengadopsi konsep pengembalian seluruh biaya membuat manajer sumberdaya air lebih memilih untuk mengalokasikan air ke sektor industri dan perusahaan air yang menutupi biaya transaksi di setiap operasi mereka. Komunitas pertanian dan masyarakat yang memanfaatkan air untuk minum akan terabaikan. 121. Sebagai Ibukota negara, ketersediaan air di Jakarta merupakan keputusan yang sengaja dibuat seolah-olah atas dasar permintaan investor asing. Dengan demikian, negara negara yang berdiri atas dasar spirit anti-eksploitasi telah melanggar sumpahnya sendiri dengan cara menerapkan rencana Bank Dunia. Rencana ini mengizinkan adanya kerjasama multinasional yang kuat untuk mengeksploitasi dengan bebas masyarakat lemah meskipun pada kenyataannya pemerintah mendukung resolusi PBB tentang Hak untuk Air dan Kebersihan. 122. Pada tahun 1991, PAM Jaya dalam keadaan genting mengatur kembali dan membiayai serta meningkatkan penyediaan dan kualitas air. Dengan berbekal 92 juta Dollar dana pinjaman, Bank Dunia mulai mendorong pemerintah Indonesia untuk menerapkan skema privatisasi air. Prosesnya dimulai dengan keluarnya surat dari Presiden Soeharto pada tahun 1995, diikuti oleh dua perusahaan air raksasa yang dihadiahi kontrak 25 tahun privatisasi air tanpa lelang publik terlebih dahulu dan berjalan tidak sesuai dengan undang-undang yang ada di Indonesia.

67

Edy Gurning, Hak Rakyat yang Diperas antara Kekuasaan dan Modal, yang tercakup dalam catatan akhir tahun, Hukum dan HAM Laporan Yayasan Bantuan Hukum Jakarta 2011, hal. 34-38 68

Lihat juga Yayasan Bantuan Hukum, Kompromi dengan Ketidakadilan, Potret Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia 2010, p. 23

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

177


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

123. Di bawah skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS), kota dibagi menjadi dua area konsesi. Konsesi wilayah barat diserahkan kepada PT Garuda Dipta Semesta (GDS), dan wilayah timur diserahkan kepada PT Kekar Thames Airindo (KTA). Pada permulaan kontrak pada tanggal 1 Februari 1998, aset PAM Jaya (termasuk perawatan tanaman air, jaringan air, peralatan, kantor, dan inventaris) dipindahkan ke operator swasta (PALYJA, 2005) 124. Korupsi dalam proses ini terlihat pada saat alokasi pembagian saham semula. Perusahaan Inggris, Thames Water, mengalokasikan sahamnya kepada perusahaan milik putra presiden. Perusahaan Perancis, Suez Lyonnaise des Eaux mengalokasikan saham kepada perusahaan milik sahabat karib Soeharto, Salim. Setelah rezim Soeharto lengser pada tahun 1998, alokasi-alokasi saham ini menurun drastis. 125. Menyusul penggulingan Presiden Soeharto pada tahun 1998 akibat Krisis Asia Timur, kontrak sebelumnya kembali dinegosiasi. Penurunan mata uang menghalangi pelaksanaan rencana investasi yang telah disetujui karena perusahaan bergantung pada pinjaman asing untuk investasi keuangan. 126. Negosiasi kontrak kembali, dikenal sebagai Perjanjian Kerjasama (RCA) yang ditandatangani pada tanggal 22 Oktober 2001 oleh PAM Jaya dan konsorsium swasta, yang telah berubah nama dari KTA menjadi PT Thames PAM Jay (TPJ). Acuatio Pte. Ltd and PT. Alberta Utilities mengambil alih perusahaan pada tahun 2007, dan nama “TPJ� berubah menjadi Aetra Air Jakarta atau Aetra. Pada tahun 2011, Acuatio, sebuah konsosrsium Indonesias Recapital Advisory dan Glendale Partners, menjual kembali saham mereka kepada perusahaan Filipina yang tidak begitu terkenal. GDS mengubah PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA), sebuah anak perusahaan Suez. Setelah bulan Juli 2006, kepemilikan saham jatuh pada Suez Environment (pemegang saham terbesar) dan PT. Astratel Nusantara (anak perusahaan Astra International). Lima standard pelayanan dan lima target teknis yang dimonitori dalam kontrak juga diatur kembali. 127. Indonesia telah menerapkan peraturan privatisasi di sejumlah area, termasuk kebutuhan pokok seperti komunikasi, pendidikan, papan, pangan, dan penyediaan air. Akses kebutuhan pokok ini berhubungan langsung dengan hak-hak dasar kesenangan meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya serta hak asasi manusia untuk memperoleh air, kesehatan dan juga tempat tinggal. Indikasi awal memberi kesan bahwa privatisasi seperti ini tidak berhasil dalam memenuhi kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaan yang kritis dalam menganalisis privatisasi sebagai kebutuhan utama ialah, apabila peraturan konsisten terhadap kepentingan konstitusional, khususnya segala yang berhubungan dengan hak sosial ekonomi. Co-modifikasi dan privatisasi air telah membatasi kesenangan atas hak memperoleh air. 128. Hak untuk memperoleh air dan kebersihan dijamin berdasarkan Konstitusi Indonesia pasal 33, yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Negara wajib mengarahkan agar Dewan Perwakilan Rakyat dan Undang-undang lainnya yang berkenaan dengan sumberdaya alam memastikan kemajuan realisasi terhadap hak-hak ini. Menurut Undang-undang, privatisasi akan bergantung pada kontribusi kemajuan realisasi hak-hak yang berkaitan dengan social dan ekonomi. Kegagalan untuk memenuhi permintaanpermintaan ini berarti bahwa peraturan tidak konstitusionil, dan bahwa Negara melanggar obligasi konstitusionalnya sendiri.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

178


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

129. Privatisasi telah menjadi peraturan ekonomi yang dominan ditentukan oleh lembaga keuangan dan para pembuat keputusan. Hal tersebut terangkum dalam persetujuan perdagangan multilateral yang bervariasi dengan janji-janji yang menambah efisiensi pembebasan lahan, yang pada akhirnya meningkatkan akses kebutuhan pokok. Sama halnya oknum swasta, pun terlibat dalam penyediaan kebutuhan yang berhubungan dengan hak-hak sosio ekonomi diwajibkan untuk menetapkan bahwa mereka tidak mencampuradukkan hak-hak yang relevan dengan kesenangan. Kemungkinan pemegang saham selaku oknum yang bertanggung jawab secara langsung kepada undang-undang peradilan yang ada di bawah naungan konstitusi. 130. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, di mana peraturan didominasi oleh kepentingan-kepentingan perusahaan multinasional dan didukung oleh lembaga keuangan internasional, Negara menjadi pelindung sekaligus musuh bagi rakyatnya sendiri. Ada jarak anatara teks konstitusi dan realisasi hak-hak asasi masyarakat karena sebagian besar institusi demokratis dan prosedur yang berlangsung menjadi lebih mudah terpengaruh oleh tawaran kerjasama. 131.

Rekomendasi: a. Indonesia memerlukan sebuah alternatif dan tidak hanya menambah peraturan. Hal tersebut tidak cukup untuk mengatur sistem kembali, karena dibutuhkan transformasi sistem. Transformasi dimulai dengan mengadopsi perspektif masyarakat yang menjadi korban sistem yang saat ini berlaku dan membuat mereka mengerti serta mampu menghadapi kenyataan, mengekspresikan kepercayaan diri mereka, dan menemukan alternatif untuk menyambung ide kaum politis. b. Hal tersebut diperlukan untuk mengubah kekuasaan “Pembangunan Pengairan� saat ini menjadi demokratisasi pengairan dengan mengikuti “isu� melalui proses politik, dan dengan menambah kepekaan kita terhadap lembaga politik, sehingga kita mengetahui bahwa air dan kebersihan merupakan hak asasi manusia.

J.

Hak untuk Memperoleh Tempat Tinggal yang Layak

132. Indonesia memiliki undang-undang No. 1 tahun 2011 mengenai Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang mengatur tentang bagaimana membangun sebuah rumah dan kawasan pemukiman sebagai kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak rakyat. Akan tetapi, undang-undang No. 1 tahun 2011 hanya memberikan tempat tinggal yang dapat dihuni dan terjangkau. Tanpa memedulikan keamanan, persediaan kebutuhan pokok, materi, fasilitas, dan insfrastruktur, kenyamanan, akses yang mudah, lokasi, dan kecukupan budaya sebagai elemen hak mendapatkan hak tempat tinggal, yang ditetapkan pada ketetapan umum No. 4 Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (CESCR). Ketidaktahuan akan kriteria tersebut memicu terjadinya konflik antara pemerintah dan rakyat. Bahkan konflik menjadi semakin melebar dan menjadi konflik yang terjadi sesama masyarakat. 133. Selain itu, pada undang-undang No. 1 tahun 2011 terdapat sejumlah undangundang dan peraturan yang menetapkan perumahan dan kawasan pemukiman yang diatur tidak hanya isu-isu mengenai perumahan dan pemukiman tetapi juga isu-isu yang berhubungan dengan hal tersebut. Beberapa di antaranya, (1) Undang-undang No. 39 tahun 1999 pasal 40 tentang Hak Asasi Manusia, (2) Udang-Undang NO. 11

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

179


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

tahun 2005 tentang ratifikasi Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (CESCR), (3) Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (4) Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-:Pokok Agrari, (5) Sejumlah peraturan lokal tentang reklamasi kawasan pantai. 134. Dengan adanya peraturan untuk mengatur perumahan dan kawasan pemukiman yang cukup banyak, hal ini bukanlah jaminan bahwa negara telah sepenuhnya mengimplementasikan semua peraturan tersebut. Di perkotaan, hak mendapatkan rumah berkaitan dengan kemiskinan, ketiadaan tempat tinggal atau tanah. Sementara itu, di kawasan pantai, isu reklamasi yang mempengaruhi perumahan dan kawasan pemukiman menjadi ancaman bagi masyarakat yang menetap di daerah tersebut. 135. Sebagai akibat perusakan lingkungan, di antaranya perusakan hutan mangrove yang merupakan penyebab bencana banjir air laut pasang yang belum juga dipecahkan oleh Pemerintah. Banjir air laut pasang yang membahayakan kehidupan masyarakat, terdapat juga ancaman penggusuran tanah sehubungan dengan reklamasi proyek pemerintah di sepanjang pantai utara Jakarta untuk keuntungan investor. Tidak hanya di Jakarta, bencana banjir air laut pasang juga menimpa Desa Ilir, Kecamatan Kadanghaur, di Kabupaten Indramayu, yang telah berlangsung sejak 1984, telah berkali-kali menggenangi sawah-sawah masyarakat. Banjir yang melanda sekali dalam setahun itu kini menjadi tiga kali dalam setahun. Bahkan lebih jauh lagi, air juga menggenangi pemukiman warga. Dalam berita terkini, (Media Indonesia) 6 Mei 2013, banjir air laut pasang di Semarang, Jawa Tengah, telah menggenangi sedikitnya 3000 rumah warga. Situasi ini adalah yang terburuk yang dialami oleh rakyat sejak 1987. 136. Secara demografis, jumlah penduduk yang akan terkena dampak langsung maupun tidak langsung oleh perubahan iklim bisa mencapai 120 juta, yang daerah rawan, antara lain, ialah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Masyarakat sipil untuk Keadilan Iklim (CSF), termasuk WALHI di dalam sebagai anggotanya, menjunjung tinggi HELP (Human security, Ecological debt, Land Rights and Production Consumption) (Keamanan manusia, utang Ekologis, Hak atas Tanah dan Konsumsi Produksi) sebagai cara untuk mengatasi perubahan iklim. Keselamatan manusia terdiri atas kebebasan untuk pemenuhan keamanan dan hak asasi manusia, termasuk hak atas keamanan pangan, perumahan, mata pencaharian, ekonomi, sosial, budaya, dan politik, kesehatan, serta lingkungan untuk pria dan wanita. Selain itu, hak atas tanah yang dapat diperoleh melalui kebijakan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria yang telah menempatkan banyak orang, khususnya perempuan untuk tidak memiliki tanah (kekurangan lahan), termasuk juga langkah-langkah untuk melindungi ruang hidup warga, rumah mereka dan sumber daya hidup dari berbagai ancaman akibat dampak perubahan iklim dan praktik perusakan lingkungan. 137. Pada tanggal 18 November 2009, 122 keluarga atau 525 orang diusir oleh Pemerintah DKI Jakarta di daerah Budi Dharma, Semper Timur, Cilincing, dan Jakarta Utara. Alasan penggusuran paksa tidak jelas. Pada awalnya PT. Pulo Mas Jaya (PT. PMJ) menjelaskan bahwa sungai akan diperlebar karena program normalisasi sungai, tetapi kemudian Pemerintah DKI Jakarta menjelaskan bahwa mereka ingin membuat Rumah Susun Hak Milik (Rusunami) 69 di daerah Budi Dharma. Pemerintah

69

Rumah Susun Hak Milik; apartment murah.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

180


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Kota Jakarta Utara mengeluarkan Surat Perintah Bongkar karena PT. PMJ mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayah mereka dan mereka pun telah memiliki Surat C. 70 Pelaksanaan penggusuran paksa dilakukan ketika hari masih gelap, pukul 05:00, dan tengah diguyur hujan. Orang-orang tidak punya waktu untuk memindahkan properti mereka; banyak barang mereka yang masih tertinggal di dalam rumah, terkubur oleh puing-puing bangunan, dan menjadi rusak karena air hujan. Hingga minggu kedua setelah penggusuran paksa, korban masih tinggal di tenda-tenda darurat dan gubukgubuk. Penggusuran paksa juga dilakukan secara berlebihan dengan mengirimkan Satpol PP dan didukung oleh polisi dan militer yang diperkirakan sebanyak 3.000 personel. Akibatnya, 5 (lima) orang mengalami luka serius dan 20 (dua puluh) menderita luka ringan. Pelaku kekerasan tidak dapat diidentifikasi oleh korban karena petugas Satpol PP menggunakan atribut antihuru-hara yang menutupi nama-lencana yang melekat pada dada mereka. Kekerasan seharusnya tidak terjadi apabila pemerintah tidak mengerahkan aparat yang berlebihan. Para korban juga melaporkan kekerasan dan penganiayaan terhadap diri mereka kepada Kepolisian Republik Indonesia, tapi tidak ada tindak lanjut dan para pelaku tidak diadili sebagaimana mestinya. 138. Satu-satunya prosedur yang pemerintah lakukan dalam penggusuran tanah milik warga hanyalah sebuah "pemberitahuan kepada semua orang yang terkena penggusuran tentang tanggal pelaksanaan eksekusi yang telah dijadwalkan�. Sisanya, tidak ada konsultasi yang murni, informasi tentang penggusuran yang diusulkan, kehadiran otoritas, bantuan hukum, dan solusi hukum. Bahkan, penggusuran paksa yang dilakukan pada malam hari ataupun dalam keadaan cuaca buruk, beralasan untuk mendukung kepentingan perusahaan, mobilisasi preman, dll. Dalam setiap upaya untuk menghindari penggusuran paksa, LBH Jakarta71 selalu menggunakan Ketetapan Umum No. 7 sebagai dasar argumen. Namun, argumen yang ada tidak pernah dihormati, sehingga penggusuran paksa tetap dilakukan. Demikian juga dalam proses pengadilan, dalam gugatan atas penggusuran paksa, LBH Jakarta selalu berpendapat bahwa proses penggusuran harus sesuai dengan Ketetapan Umum No. 7. Argumen tidak pernah didengarkan oleh pengadilan dalam memutuskan kasus penggusuran paksa. Hal ini disebabkan ketetapan umum tidak dianggap sebagai sesuatu yang mengikat, sehingga undang-undang domestik yang diperlukan mengandung substansi komentar publik dan dapat diterapkan di Indonesia. Selain ini, ada 23 kasus yang ditangani oleh LBH Jakarta pada tahun 2012 dan setengah dari itu jumlahnya masih dalam proses litigasi pada tahun 2013 ini ditambah kasus baru yang telah disampaikan kepada LBH Jakarta. 139. Menjadi pengungsi dan tidak bisa kembali ke tanah air juga menjadi kasus lain yang terjadi di Indonesia. Dua kasus besar di Indonesia dan tidak terselesaikan sampai saat ini adalah kekuatan pengungsi jemaah Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan jemaah Syiah di Sampang, Jawa Timur. Sejak tahun 2006, 116 orang jemaah Ahmadiyah diungsikan secara paksa dari Pancor dan Mataram ke ex-Transito Hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat, karena serangan besar-besaran terhadap

70

Surat C adalah surat pembayaran pajak tanah. Di Indonesia itu salah satu instrumen untuk membuktikan pemilikan tanah, tapi itu bermasalah, dan tidak mutlak untuk membuktikan pemilikan tanah seperti sertifikat. 71

. LBH Jakarta (Lembaga Bantuan Hukum Jakarta), merupakan salah satu LSM yang menyediakan-pro bono bantuan hukum bagi masyarakat miskin

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

181


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

desa mereka oleh kelompok intoleransi. Dengan kondisi penuh sesak, miskin, dan kotor para pengungsi harus tinggal di kamp pengungsian yang memiliki lebar 15x40m2. Setiap keluarga hanya disekat oleh tirai, karung bekas, plastik yang digunakan untuk iklan atau spanduk kampanye dengan ruang besar setiap keluarga adalah sekitar 2x3m2, 3x3m2, 4x4m2 sesuai dengan jumlah anggota keluarga masing-masing. Sementara itu, pada tahun 2012, 167 orang jemaah Syiah yang dipaksa mengungsi ke Sampang Sport Arena, meninggalkan rumah dan pertanian mereka karena serangan besar-besaran dari kelompok intoleransi yang membakar rumah-rumah mereka. Di kamp, komunitas ini hidup secara menyedihkan. Orang-orang tua, remaja, anak-anak, bahkan bayi tidur di karpet, tanpa privasi dan tanpa makanan yang cukup sehingga membuat kesehatan mereka turun. Beberapa kali mereka menghadapi Infeksi Saluran Pernapasan Atas dan herpes. Dua kelompok agama ini tidak bisa kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan properti yang mereka miliki. 140. Mengenai dua kasus yang disebutkan di atas, pemerintah dan aparat keamanan yang ikut andil di dalamnya dapat dikatakan sebagai aktor. Mereka juga merupakan bagian dari penganiaya yang memaksa orang-orang untuk mengungsi dan tinggal di kamp. Selain itu, para jemaah Transito Ahmadiyah telah hampir kehilangan hak-hak sipil dan politik mereka karena kedua pemerintah daerah Mataram dan pemerintah daerah Pancor tidak mengakui bahwa jemaah Ahmadiyah berasal dari wilayah mereka. Hal ini berpengaruh pada sistem catatan warga seperti kartu identitas. Di bagian lain, para jemaah Syiah di Sampang Sport Arena tidak diperbolehkan untuk kembali ke kampung tempat tinggal mereka oleh pemerintah setempat, meskipun keadaan sudah aman bagi mereka. Menteri Agama Indonesia lebih lanjut menyatakan bahwa para jemaah Syiah harus “diarahkan� ke “jalan yang benar� dan menjadi Muslim yang sebenarnya sebelum mereka dikirim pulang. 72 141. Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi Indonesia, melalui Mahkamah Konstitusi Hukum Nomor 35 / PUU - X / 2012, telah memutuskan bahwa hutan adat bukan milik negara, melainkan "hutan adat adalah hutan yang terletak di dalam wilayah adat". Dengan Keputusan ini, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat dibaca sebagai Masyarakat Adat sesuai dengan Deklarasi Rio 1992. Berbeda dengan putusan ini, sejumlah kasus penggusuran paksa masyarakat adat dari wilayah mereka, seperti perampasan hutan dan tanah, serta eksploitasi sumber daya alam di wilayah masyarakat adat yang terjadi di Indonesia.tanpa persetujuan mereka. 142. Misalnya, masyarakat adat Pekasa, yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat diusir secara paksa pada Desember 2011. Sekitar 30 anggota pasukan militer bersenjata membakar 63 rumah masyarakat Pekasa. Aksi penggusuran dilakukan dengan alasan bahwa wilayah Pekasa merupakan kawasan hutan lindung. 73 Barubaru ini pada 30 Mei 2013, lebih dari 500 petugas keamanan yang disewa oleh Perusahaan Perkebunan National (PTPN II) menghancurkan rumah serta lebih dari 50 hektar lahan pertanian milik Komunitas Rakyat Penunggu yang terletak di Desa

72

http://www.tempo.co/read/news/2013/07/27/173500167/Wawancara-Menteri-Agama-soal-Syiahdi-Sampang 73

Lembar fakta pada masyarakat adat pelanggaran hak, masyarakat adat Pekasa, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2012.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

182


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Klumpang, Provinsi Sumatera Utara. Dalam insiden ini, penduduk desa dipukuli hingga terluka parah. Salah satu dari mereka bahkan ditikam kepalanya. 74 143. Selain itu, 163 konflik agraria terjadi pada tahun 2011, dan terdapat 198 konflik lainnya di seluruh Indonesia yang mencakup lebih dari 963,411.2 hektare lahan dan mempengaruhi 141.915 rumah tangga pun dilaporkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2012. 75 144. Pemerintah Indonesia mengadopsi UU No 4/2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Minerba No 4, 2009), superseeding UU No 11/1967 tentang Prinsip Pertambangan. Setelah diadopsi dari tahun 2009-2012, Pemerintah Indonesia mengeluarkan izin 10,677 pertambangan mineral dan batubara (rata-rata 2,669 izin per tahun atau sekitar 7 izin per hari). Pada periode yang sama, pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan konflik sumber daya alam termasuk 52 kematian, 64 terluka oleh tembakan, 604 penangkapan, dan 321 penganiayaan. Konflik yang terjadi meliputi lebih dari 500,372 hektar dan 69,97576 rumah tangga. Hukum ini dikiritisi oleh organisasi masyarakat sipil, terutama pada pasal 145 (1) tentang Perlindungan Masyarakat, yang tidak memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk menantang atau menolak konsesi pertambangan. Masyarakat hanya memiliki dua kemungkinan, yaitu kemungkinan untuk mendapatkan kompensasi atau kemungkinan untuk mnggugat di pengadilan. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Free, Prior, and Informed Consent, (FPIC) yang ditetapkan oleh UNDRIP. 145. Pada bulan Mei 2006, bencana lingkungan mulai terjadi di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai hasil dari kegagalan eksplorasi gas dan minyak yang dioperasikan oleh PT. Lapindo Brantas. Aliran panas lumpur, air dan gas meletus di lokasi eksplorasi, melepaskan sekitar 100'000 m3 lumpur setiap hari. Bencana ini menimpa 12 desa di wilayah tersebut, memicu evakuasi 40'000 orang, merusak lingkungan, menghancurkan mata pencaharian dan mengancam kesehatan masyarakat. Letusan diperkirakan akan terus berlanjut selama 30 tahun. Hak-hak asasi manusia dari masyarakat yang terkena dampak telah dipengaruhi terutama hak atas pangan, hak atas air, hak atas kesehatan dan hak atas penghidupan. 146. Contoh lain, di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Indonesia Nusa Tenggara Timur, masyarakat adat Serasi sangat dipengaruhi oleh dampak kegiatan PT. Arumbai Manganbekti Mining Company, khususnya yang berkaitan dengan perampasan tanah adat (lingko dalam bahasa lokal) dan pencemaran lingkungan mereka dan lahan pertanian. Masyarakat Serasi menuduh perusahaan ini mengambil lingko tanpa izin dari masyarakat.77 Akibatnya, hak asasi manusia masyarakat Serasi

74

Laporan: Pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat, desa Klumpang, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2013. 75

Laporan Tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria, 2012.

76

Data dari siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (vehicles Advokasi Tambang - JATAM), lihat http://indo.jatam.org/saung-pers/siaran-pers/231-politik-penjarahan-mesin-uang-partai-politik-menjelang2014.html (last visited 5 Februari 2013). 77 Pada bulan Desember 2010, yang dipimpin oleh pemimpin Serise Mr Siprianus Amon, masyarakat mengajukan keluhan dengan kantor polisi di Manggarai terhadap perusahaan tanah-grabbing. Alih-alih menyelidiki kasus ini, Mr Amon dan tiga pemimpin lainnya ditangkap, dibawa ke pengadilan, dan dijatuhi hukuman lima bulan penjara. Pengadilan pada 8 November 2011 memutuskan bahwa mereka terbukti bersalah melanggar, antara lain, artikel 162 UU. Nr. 4 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

183


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

telah terganggu oleh kehadiran perusahaan, terutama mengenai hak atas kesehatan, hak atas pangan dan hak atas air minum yang aman. Menurut informasi dari sumber terpercaya kami, limbah mangan, terutama debu mangan dari kegiatan pertambangan, diduga mengontaminasi tanah pertanian daerah, yang selama ini menjadi sumber air utama bagi masyarakat. Hal ini menyebabkan penurunan produksi tanaman padi dan jagung yang signifikan. Hal tersebut menyebabkan orang-orang lokal menderita penyakit pernapasan, yang tidak pernah terjadi sebelum adanya kegiatan penambangan di wilayah tersebut. 147. Pelanggaran lain yang terjadi ialah ketiadaan pelibatan korban dalam menentukan solusi pasca-penggusuran. Bahkan beberapa di wilayah lahan penggusuran digunakan untuk kepentingan komersial. Penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi tidak memiliki perspektif untuk melakukan penataan melainkan pemberangusan terhadap rakyat miskin. Akibat penggusuran yang tidak memberikan solusi terbaik bagi rakyat tergusur, degradasi ekonomi dan siklus kemiskinan terus berlangsung.78 148. Untuk kasus transgender, penggusuran paksa bukan pertama kalinya. Waria harus meninggalkan tempat tinggalnya hanya karena dianggap menggangu kenyamanan dan tatanan masyarakat. Harusnya negara bisa mencegah hal itu, seperti dijamin pada pasal 27 UU HAM no 39 tahun 99 (1) bahwa setia warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kasus pengusiran waria di Kampung Duri Jakarta Barat membuktikan bahwa negara melakukan pelanggaran HAM dengan membiarkan hal tersebut terjadi. 149.

Rekomendasi: a. Melakukan pendataan tanah telantar dan mencabut hak-hak yang ditinggalkan oleh penerima hak, kemudian distribusikan tanah tersebut kepada warga yang beritikad baik dalam pemanfaatan tanah. b. Mengeluarkan kebijakan afirmasi kepada warga yang telah memanfaatkan tanah selama kurun waktu tertentu yang kemudian diberikan hak kepada mereka tentunya dengan kepastian hukum melalui penerbitan sertifikat. c.

Pemerintah harus mengambil peranan penengah yang berperspektif kepada kemakmuran dan kesejahteraan serta berkeadilan bagi warga negaranya. Kebijakan penataan ruang harus melibatkan masyarakat sebagai orang yang terdampak.

d. Membuat kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sistematis dengan memasukkan aktifitas evaluasi, membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menyaring masukan dari segala lapisan masyarakat serta mematuhi keputusan dan proses peradilan. e.

Kebijakan penganggaran harus menjadi prioritas utama untuk melakukan subsidi terhadap pengadaaan tanah dan rumah untuk rakyat berkemampuan ekonomi rendah sebagai bentuk pemenuhan atas hak tempat tinggal.

- mengganggu kegiatan pertambangan, dan pasal 335 KUHP tentang pengobatan atau ancaman kekuatan ofensif terhadap pihak ketiga. 78 LBH Jakarta, Summum Ius Summa Iniura, Catatan Akhir Tahun 2009, hal. 46

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

184


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

f.

Melakukan moratorium terhadap penggusuran sebelum mampu memenuhi kebutuhan perumahan bagi warga negara.

g.

Pemerintah Indonesia harus merevisi UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Tambang Batubara, terutama Pasal 154 dan menyesuaikan dengan prinsip-prinsip FPIC.

h. Pemerintah Indonesia harus membuat evaluasi independen tentang dampak pertambangan terhadap penikmatan hak asasi manusia yang berdampak pada komunikasi dan masyarakat adat. 150.

Pertanyaan: a. Tolong jelaskan tentang mekanisme penggusuran tanah terhadap masyarakat adat dan penduduk berpenghasilan rendah di daerah perkotaan yang secara terang-terangan melanggar hak-hak mereka untuk mendapatkan tempat tinggal oleh pasukan keamanan. Tolong jelaskan penyebab eskalasi yang signifikan dari konflik agraria dan ekspansi industri yang melibatkan wilayah adat dan tempat tinggal penduduk berpenghasilan rendah, dan jelaskan apa langkah-langkah yang diambil atau direncanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghentikan dan mencegah konflik tersebut? b. Tolong jelaskan mengenai kondisi perumahan dan kehidupan masyarakat adat dan penduduk dengan berpenghasilan rendah yang telantar dan wilayah yang terkena dampak proyek pembangunan atau kegiatan lain dari pihak pemerintah maupun swasta? c. Apa langkah konkret yang diambil dan direncanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mempercepat implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 / PUU - X / 2012 tentang Judicial Review UU Kehutanan Nomor 41/1999, yang mengakui hak untuk mendapatkan hutan adat nsebagai bagian dari wilayah leluhur mereka? d. Bagaimana pemerintah menerapkan prinsip-prinsip FPIC dalam memastikan partisipasi asli dan representasi dari masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam proyek pembangunan seperti industri ekstraktif? e. Bagaimana pemerintah menjamin penggabungan prinsip-prinsip FPIC dalam tindakan-tindakan legislatif dan adminisratif nya?

K. Hak Atas Kesehatan 151. World Vision Indonesia mencatat bahwa angka kematian balita Indonesia sama dengan negara miskin seperti Bangladesh yang pendapatan per kapitanya hanya 700 dollar AS, empat kali lipat lebih rendah dari pendapatan perkapita Indonesia. Laporan aktual Countdown to 2015, yang disusun berbagai lembaga dunia, menyebutkan, pada tahun 2011 ada 134 ribu balita yang meninggal di Indonesia. 152. Pemerintah selama ini meletakkan persoalan rendahnya kualitas kesehatan tersebut pada otonomi daerah, yang dinilai gagal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama di bidang kesehatan. Kegagalan inilah yang menurut pemerintah mengakibatkan tingginya angka kematian balita di Indonesia. Padahal pemerintah pusatlah yang paling bertanggung jawab atas kegagalan tersebut akibat dari tidak meratanya diseminasi informasi kesehatan dan kebijakan kesehatan publik.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

185


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

153. Meskipun kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara, sejak 2005-2013, rata-rata anggaran kesehatan hanya dialokasikan 2% dari belanja APBN. Pasal 171 UU Kesehatan menuntut agar anggaran kesehatan Indonesia seharusnya minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD. Namun sebaliknya, anggaran kesehatan justru terus menurun. Jika anggaran belanja 2013 sebesar 1683 triliun, maka seharusnya pemerintah mengalokasikan 84 triliun untuk kesehatan. Kenyataannya, pemerintah hanya mengalokasikan 34 triliun untuk kesehatan tahun 2013 - hanya 10% dari nilai yang disarankan WHO. Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik, World Health Organization (WHO) menyarankan setiap negara mengalokasikan setidaknya 5% dari GDP untuk anggaran kesehatan (rata-rata negara di dunia sudah mengalokasikan 10%). GDP Indonesia saat ini sekitar 7000 triliun, seharusnya anggaran kesehatan Indonesia sekitar 350 triliun per tahun. 154. Warga miskin kian sulit mengakses layanan kesehatan. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, setidaknya ada delapan bayi miskin yang meninggal setelah ditolak rumah sakit dan ratusan pasien miskin yang ditolak rumah sakit. Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2010 menemukan, dari 986 pasien miskin pemegang jamkesmas, jamkesda, gakin, dan sktm di 19 rumah sakit di Jabodetabok, 70 persen mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan. Indonesia juga tidak memiliki mekanisme asuransi yang mudah diakses oleh masyarakat miskin. 155. Kurangnya sebaran tenaga medis, terutama di daerah, menyebabkan angka kematian yang tidak perlu terlalu sering terjadi. Di Papua, dalam kurun waktu 6 April sampai 8 Juli tahun 2008 terdapat 147 orang yang meninggal akibat muntaber di Kabupaten Nabire, Papua. Pemerintah pusat dan daerah tidak melakukan tindakan memadai dalam menolong para korban. Munculnya kembali penyakit menular, seperti polio. Sejak tahun 1995, kasus polio tidak pernah ditemukan lagi di Indonesia. Namun sejak 2005 kasus polio kembali merebak di berbagai daerah, di Jawa Barat, Lampung, Banten, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Jumlah kasus positif yang dilaporkan sampai 1 Agustus 2005 berjumlah 189 kasus dengan 8 kasus di antaranya meninggal dunia. 156. Data Kementerian Kesehatan yang disampaikan Kepala Sub. Direktorat Pemberantasan Penyakit TB, Ditjen. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menunjukkan, Indonesia menempati posisi nomor tiga terbesar di dunia setelah India dan China dalam jumlah penderita Tuberculosis (TBC), Angka insiden (kasus baru) sebesar 107 per 100 ribu penduduk. Sementara prevalence rate (kasus penderita lama yang baru ditemukan) juga cukup besar, yakni 160 per 100 ribu penduduk. Jumlah penderita TBC cukup besar dan ditemukan hampir di semua tempat.79 157. Laju perbaikan indikator kesehatan Indonesia masih sangat lambat. Kondisi kesehatan Indonesia tertinggal jauh dari Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan juga Vietnam. Salah satunya ialah angka kematian ibu. Berdasarkan Laporan Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan Program Pembangunan PBB 2013, Angka Kematian Ibu Indonesia masih 220 per 100 ribu kelahiran hidup. Sementara negara tetangga ASEAN, seperti Singapura mencatatkan angka 2, Brunei 24, Malaysia 29, Thailand 48, Vietnam 59, dan Filipina 99. Lambatnya penurunan angka kematian ibu karena sekitar 40 persen kabupaten belum punya rumah sakit yang bisa melayani kegawatdaruratan obstetri ginekologi akibat tak ada dokter spesialis. Distribusi dokter

79

gizi.net (Indonesian Nutrition Network), 17 April 2006

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

186


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

kurang, khususnya di kawasan Indonesia Timur. Meanwhile, according to the data provided by Indonesia Healthiness and Demography Survey (SDKI) on 2012: Number of Maternal Mortality (AKI) increasing significantly to 359 per 100.000 live births. Previously, AKI could be reduced from 390 per 100.000 live births to 228 per 100.000 live births (SDKI of 2007). Besides AKI, Number of Baby Mortality (AKB) is still high, 32 per 1.000 live births. That number decrease in a small number from AKB SDKI of 2007; 34 per 1.000 live births. So, the growth of high economic condition achieved without protecting the mothers. (Kompas, 30th September 2013). 158. Kemiskinan dan tekanan ekonomi membuat banyak warga miskin menderita gangguan jiwa. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan tahun 2007 menyebutkan, 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat. Kondisi ini semakin diperberat oleh aneka bencana alam yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada 2006 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Kementrian Kesehatan RI mengaku, sekitar 2,5 juta orang Indonesia telah menjadi pasien rumah sakit jiwa. Jumlah penderita gangguan jiwa meningkat 10 - 20 persen setiap tahun. 159. Tingginya penderita gangguan jiwa akibat tekanan ekonomi berdampak pada tingginya angka bunuh diri di Indonesia. Data World Health Organization (WHO) 2005 menyebutkan, jumlah rata-rata penduduk Indonesia yang meninggal akibat bunuh diri mencapai 24 orang dari 100 ribu penduduk. Dalam kurun waktu 2005-2007 WHO mencatat sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri. 160. Dalam hal kondisi kesehatan, Papua adalah provinsi dengan status kesehatan warga terendah. Hampir semua anak di Papua menderita hepatititis A (Sinar Harapan, 2 Maret 2005). Tahun 2008, 173 orang Papua meninggal karena kolera. Data Badan Pusat Statistik tahun 2004 dan 2006 menunjukkan, 25,6% warga Papua buta huruf, 36,1% tidak memiliki akses atas pelayanan kesehatan, 61,6% warga tidak memiliki akses atas air bersih, 90% desa di Papua tidak mendapatkan akses atas pelayanan publik. Papua menduduki peringkat paling bawah dalam hal indeks pembangunan manusia, yang berarti kualitas pendidikan, kesehatan dan tingkat pendapatan masyarakat Papua berada di urutan paling bawah. 161. UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, khususnya Pasal 75, memungkinkan aborsi, yang akan dilakukan, dianggap sah secara hukum untuk indikasi sebagai berikut: keadaan darurat medis, jika kehamilan mengancam kehidupan wanita itu, jika janin memiliki kelainan genetik atau dalam kasus pemerkosaan. Namun, karena pembatasan hukum dan hambatan administrasi tambahan terutama bagi perempuan muda dan / atau belum menikah, banyak aborsi dilakukan oleh tenaga medis dalam kondisi tidak aman dan dapat menyebabkan komplikasi kesehatan yang parah dan kematian. 162. Aborsi yang tidak dilaporkan sehubungan dengan pembatasan hukum, akibatnya diperkirakan sekitar 2 juta aborsi terjadi di Indonesia setiap tahunnya, sebagian besar aborsi yang dilakukan sangat riskan. Menurut Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), komplikasi dari aborsi tidak aman menyumbang 6-16% dari angka kematian ibu nasional di Indonesia. 80 Studi PKBI yang dikumpulkan selama tahun 2000-2010 menunjukkan bahwa dari 94.270 kasus

80

Laporan Pencapaian Tujuan pembangunan Milenium. Bappenas. 2010 ( MDGs Report Achievement. Badan Perencanaan Pembangunan. 2010)

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

187


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

kehamilan yang tidak diinginkan, sekitar 20% merupakan kasus kehamilan remaja dan/atau anak perempuan yang belum menikah dan perempuan. 163. UU Kesehatan No. 36/2009 mengharuskan persetujuan suami-istri atau persetujuan dari anggota keluarga untuk perempuan atau anak perempuan yang akan melakukan aborsi legal. Hal ini menciptakan penghalang besar untuk layanan aborsi aman untuk semua perempuan dan anak perempuan dan menciptakan risiko yang tidak dapat dibenarkan untuk kesehatan perempuan dan anak perempuan dan kehidupan. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan kontrasepsi dan layanan aborsi aman untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan untuk kesehatan dan kehidupan. 164.

Rekomendasi: a. Merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk segera membuat peraturan tentang pasal 75 tentang kesehatan reproduksi pada UU no 36/2009 tentang Kesehatan. Terutama untuk mengakomodasi perempuan agar mereka memiliki akses pelayanan aborsi yang aman sebagai perlindungan bagi wanita dari layanan aborsi tidak aman yang dapat menyebabkan kematian ibu. b. Melaksanakan UU Kesehatan No 36/2009 sebagai "Lex Spesialis" pada kasus aborsi. Mengumpulkan data tentang aborsi yang tidak aman untuk merekam pentingnya kesehatan perempuan dan anak perempuan serta mengambil langkah untuk mencegah aborsi yang tidak aman.

L. Hak atas Pendidikan Pasal 13 1.

Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antarbangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.

2.

Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh:! a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang; b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

188


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

d) Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar mereka;! e) Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki. 3.

Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan wali yang sah, bila ada, untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka selain yang didirikan oleh lembaga pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal pendidikan sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh negara yang bersangkutan, serta untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.

4. Tidak satu pun ketentuan dalam Pasal ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk mencampuri kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan dan mengurus lembaga- lembaga pendidikan sepanjang prinsipprinsip yang dikemukakan ayat 1 Pasal ini selalu diindahkan, dan dengan syarat bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga-lembaga itu memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh Negara. Pasal 14 Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini yang pada saat menjadi Pihak belum mampu menyelenggarakan wajib belajar tingkat dasar secara cuma-cuma di wilayah perkotaan atau wilayah lain di bawah yurisdiksinya harus berusaha dalam jangka waktu dua tahun untuk menyusun dan menetapkan rencana kegiatan rinci agar diterapkan secara progresif, dan dalam beberapa tahun yang layak harus melaksanakan prinsip wajib belajar dengan cuma- cuma bagi semua orang, yang harus dimasukkan dalam rencana kegiatan tersebut. 165. Komite Hak Anak (CRC) telah menyatakan keprihatinan bahwa anak-anak dan remaja yang telah menikah dan hamil umumnya tidak melanjutkan pendidikan mereka dan telah merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk memberikan kesempatan pendidikan bagi orang-orang muda. Namun, gadis yang belum menikah yang hamil terus diancam dengan pengusiran dari sekolah dan remaja perempuan yang sudah menikah terus meninggalkan sekolah. Pemerintah masih belum memiliki kebijakan atau peluang pendidikan alternatif bagi anak-anak perempuan dalam keadaan seperti ini. 166. 63 juta remaja Indonesia berusia 10-24, terutama mereka yang belum menikah, tidak menerima informasi yang cukup dan pendidikan tentang hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi. Pendidikan seks dalam kurikulum sekolah hanya memperkenalkan fungsi reproduksi manusia dan isi pesan utama dalam materi pendidikan ialah promosi keluarga, moral dan nilai-nilai agama. 167. Penelitian dari berbagai sumber telah menemukan rendahnya tingkat kesadaran kesehatan seksual dan reproduksi pada kalangan anak muda. Kurang dari 30% orang-orang muda di Indonesia memahami bagaimana dan kapan seorang gadis

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

189


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

atau wanita menjadi hamil. 81 Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 menemukan bahwa hanya 18,5% remaja yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan hanya 11,4% remaja di bawah 15 tahun memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV. 82 168. Upaya Kementrian Pendidikan Nasional dan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) untuk melakukan memorandum bersama yang memasukkan keluarga berencana ke dalam kurikulum sekolah formal harus diapresiasi, tapi sayangnya pelaksanaan dan isinya mungkin tidak mengikuti pedoman internasional pada pendidikan seksualitas dan sebaliknya akan mendorong terjadinya peningkatan kehamilan remaja yang tidak diinginkan dan infeksi seksual menular. Perhatian ini bermula dari adanya Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana yang membatasi akses pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk keluarga berencana dan kontrasepsi, hanya untuk pasangan yang sudah menikah. Pun UU Pornografi No.44 Tahun 2008 yang mengklasifikasikan informasi kesehatan seksual dan reproduksi sebagai materi yang dianggap mengandung pornografi. Selain itu, belum ada konsultasi dengan pemangku kepentingan, termasuk para remaja, pada isi kurikulum yang diusulkan ini 169. Pelaksanaan pendidikan yang komprehensif dan berbasis hak seksualitas telah menjadi jauh lebih rumit karena pemerintah mengeluarkan UU Pornografi No. 44 Tahun 2008. Pasal 1 undang-undang ini mendefinisikan pornografi sebagai sesuatu yang melanggar norma-norma kesusilaan dan berdasarkan Pasal 13 dan 14, peralatan medis, perlengkapan, bahan pendidikan dan alat pengajaran dapat dikategorikan sebagai material yang mengandung pornografi. Pasal-pasal itu berniat untuk membatasi akses para remaja untuk mendapatkan informasi dan pendidikan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi dan juga membatasi penggunaan bahan pembelajaran kesehatan reproduksi hanya untuk organisasi dan/atau pekerja kesehatan yang disahkan oleh Pemerintah. Pembatasan kaum remaja untuk mengakses informasi dan pendidikan membuat mereka kesulitan untuk belajar bagaimana melindungi diri dari kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi seksual menular (termasuk HIV). 170. Strategi pengajaran harus dibedakan dan fleksibel untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda dari siswa perempuan dan laki-laki, dengan mempertimbangkan fakta bahwa orang dengan kebutuhan khusus, seperti remaja yang putus sekolah atau remaja perempuan yang sudah menikah perlu diajarkan tentang seksualitas melalui metode lain dari pendidikan formal, seperti halnya orang dewasa yang tidak pernah menerima informasi dan pendidikan seksualitas. Indonesia jelas membatasi akses kaum remaja terhadap pendidikan seksualitas melalui undang-undang dan kebijakan yang membatasi hak mendapatkan informasi dan pendidikan yang komprehensif mengenai seksualitas. 171. Padahal, konstitusi Indonesia secara tegas melindungi tiap warga negara mendapatkan hak atas pendidikan, sebagaimana diamanatkan Pasal 31 UndangUndang Dasar 1945 amandemen keempat. Dalam konstitusi juga ditegaskan, pihak yang diberi tanggung jawab untuk memenuhi hak tersebut ialah negara, dalam hal ini

81

Riset Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007

82

Riset Kesehatan Dasar Indonesia, 2010

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

190


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

pemerintah. Konstitusi juga mengatur anggaran sebesar 20 persen dari APBN untuk pemenuhan atas hak atas pendidikan. 172. Dua Isu pokok mengenai pendidikan secara umum di Indonesia sejak tahun 2009 ialah liberalisasi pendidikan dan karut marut ujian nasional. Pada tahun 2005 terdapat 8 kasus, tahun 2006 terdapat 94 kasus (kasus UN), tahun 2007 hanya 1 kasus (korban 15 orang), 2008 hanya 6 kasus (korban 24 orang), dan pada tahun 2009 terdapat 5 kasus. Pada tahun 2010 ini secara langsung LBH Jakarta hanya menerima 2 kasus pelanggaran hak atas pendidikan 173. Pada 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa pemerintah Republik Indonesia telah lalai dalam melaksanakan tanggung jawab dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Selain itu, MA juga tegas menyatakan bahwa ada kesalahan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). MA dalam putusannya memerintahkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru terutama sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan Ujian Nasional, Selain itu, MA memerintahkan Pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah kongkrit untuk mengatasi ganguan psikologis dan mental para peserta didik usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasiol. Namun, dari semua perintah yang dijatuhkan pengadilan, pemerintah terus bergeming untuk tak melaksakan putusan tersebut. Bahkan, pembangkangan secara terang-tarangan diperlihatkan oleh Mendiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) – sebagai representasi dari pemerintah— dengan mengatakan bahwa putusan MA tidak mempengaruhi penyelenggaran UN. Ujian Nasional tetap diadakan karena UN merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (LBH Jakarta: 2010). 174. Belum rampung putusan MA dilaksanakan, kurikulum 2013 dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan. Penolakan kurikulum baru dilakukan oleh berbagai institusi dan elemen masyarakat, termasuk para guru. Dasar penolaknnya ialah kurikulum tersebut diberlakukan tanpa pertimbangan dan perisapan yang matang. Ketidaksiapan sarana prasarana pendukung serta guru menjadi permasalahan utama. Selain itu, kurikulum tersebut diberlakukan tanpa melalui tahap uji coba. 175. Kebijakan non-diskriminasi juga tidak menjadi konsiderin penting dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Pembentukan Rintisan Sekolah Berbasis Internasional (RSBI) dan Non-RSBI oleh pemerintah menimbulkan perbedaan perlakuan antara masyarakat kaya dengan miskin –sekolah dengan label RSBI memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan sekolah regular. Pertama, sekolah diperbolehkan memungut iuran dari orang tua murid. Kedua, setiap tahun sekolah mendapatkan dana bantuan pengembangan RSBI dari Pemerintah melalui APBN dan Pemda lewat APBD. Ketiga, bahasa pengantar yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar adalah Bahasa Inggris. Keempat, merekrut guru asing untuk mata pelajaran tertentu. Kelima, peserta didik yang diterima adalah anak dengan nilai rapor yang sangat bagus dan mampu melewati tes masuk. Keenam, mengadopsi kurikulum negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Ketujuh, menerapkan kuota dua puluh persen untuk peserta didik yang kurang mampu (ELSAM: 2013). 176. Sadar akan banyaknya permasalahan dalam kebijakan pendidkan, masyarakat sipil mengajukan judicial review beberapa undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Pada 8 Januari 2013, melalui putusan perkara no. 5/PUU-X/2012,

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

191


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Mahkamah Konstitusi menghapus Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Konsekuensi dari putusan tersebut adalah segala kebijakan dan program terkait RSBI bertentangan dengan Konstitusi dan harus dihentikan serta tidak memiliki dasar hukum. Selain itu, pada 31 Maret 2010 MK dalam putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak yakin apakah otonomi pengelolaan pendidikan mutlak diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, keberadaaan hubungan kausal antara otonomi pengelolaan pendidikan dengan tujuan pendidikan nasional pun dipertanyakan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi pun mempertanyakan apakah otonomi pengelolaan pendidikan merupakan amanat UUD 1945 atau hanya sebatas spekulasi semata. Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi mematahkan argumentasi pembuat kebijakan bahwa otonomi pengelolaan pendidikan adalah segala-galanya untuk dunia pendidikan. 177. Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah Republik Indonesia justru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Undang-undang ini menjadikan biaya pendidikan berorientasi pada mekanisme pasar atau mengomerisalisasikan institusi pendidikan. Konten undang-undang ini pun dianggap sebagai strategi pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab dalam memenuhi hak atas pendidikan warga negara kepada pihak swasta –saat ini, undangundang tersebut telah diajukan judicial review ke MK dan masih menunggu putusan. 178. Merujuk pada konstitusi yang mengalokasikan anggaran negara sebesar 20 persen untuk pendidikan, bukan alasan bila pemenuhan hak atas pendidikan kurang biaya. Pada tahun 2009, pemerintah mengklaim telah menganggarkan lebih dari 20 persen Anggaran Pendapatan Belanja Negara sesuai amanat konstitusi, yaitu sekitar 207,4 triliun rupiah dari total 1.030 triliun rupiah APBN Indonesia tahun 2009. Rinciannya, anggaran pendidikan melalui belanja Pemerintah Pusat sekitar 89.5 triliun dan anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah sekitar 117.8 triliun. Selain itu, pada tahun 2009 pemerintah tetap melakukan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang bertujuan membantu akses warga negara terhadap pendidikan dasar (LBH Jakarta: 2009). Melihat argumen di atas, maka dapat disimpulkan masalah biaya untuk pemenuhan hak atas pendidikan Pemerintah Republik Indonesia tidak menemui kendala berarti. 179. Namun demikian, peringkat Indonesia menurun dalam Indeks Pembangunan Manusia dan dalam Indeks Pembangunan Pendidikan untuk Semua. Dalam hal Indeks Pembangunan manusia, pada 2008 Indonesia berada pada posisi ke-109 dari 179 negara. Kini posisi Indonesia jatuh ke peringkat 111. Padahal negara-negara tetangga sudah berada pada posisi yg lebih baik, seperti Singapura posisi 23, Malaysia 26, Thailand 87, dan Filipina urutan 105.83 Penurunan peringkat Indonesia dalam Indeks Pembangunan Pendidikan untuk semua tahun 2011, dari posisi 69 ke 65 dari 127 negara, salah satunya disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak atau 1,7% dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Putus sekolah jenjang SD itu terjadi karena alasan ekonomi. 84 Ini berimplikasi pada tingkat pendidikan 160 juta angkatan kerja di Indonesia yg 56

83

Media Indonesia, 31 Februari 2011

84

Kompas, 4 Maret 2011

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

192


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

persennya berpendidikan SD ke bawah.85 Belum lagi kualitas pendidikan dasar yang semakin rendah mutunya. 180. 88,8% sekolah di Indonesia, mulai SD hingga SMA/ SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Berdasarkan data yang ada, 40,31% dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah standar pelayanan minimal, dan hanya 10,15% yang memenuhi standar nasional pendidikan. Dengan keadaan seperti ini, pemerintah justru gencar mengalokasikan dana untuk membangun sekolah bertaraf internasional (Kompas, 31 Maret 2011). 181. Masalah sekolah rusak di jenjang SD dan SMP belum juga terpecahkan. Sebanyak 20,97 persen ruang kelas SD rusak, sedangkan di SMP sekitar 20,06 persen. Sampai tahun 2011, ruang kelas SD yang rusak terdata 187.855 ruang dari total 895.761 ruang kelas. Di SMP, ada 39.554 ruang rusak dari 192.029 ruang kelas. Di berbagai tempat sekolah rusak parah dan bahkan ambruk hingga melukai para siswa yang menjadi korban. Padahal, pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla ditargetkan perbaikan sekolah rusak selesai tahun 2008. Pada saat itu pemerintah berjanji untuk mengurangi proyek pembangunan lain dan meningkatkan pendapatan negara demi membereskan masalah telantarnya siswa akibat ruang kelas ambruk (Kompas, 28/4/2005). Di daerah-daerah di luar Jawa kondisi sekolah sangat memprihatinkan, dengan ruang seadanya tanpa fasilitas WC dan air bersih, apalagi perpustakaan. Bahkan di daerah pedalaman seperti Papua, bukan hanya bangunan sekolahnya seadanya, bahkan guru dan bukupun sangat langka. Ada banyak anakanak di Papua yang kehilangan akses mendapatkan pendidikan dasar karena di daerahnya ada bangunan sekolah namun tanpa guru dan buku. Untuk mendapatkan pendidikan dasar mereka harus pergi ke ibukota kecamatan atau kabupaten. 182. Anggaran untuk pendidikan juga masih sangat rendah. Tahun 2005-2008 anggaran pendidikan hanya 6-7,5% dari APBN (termasuk untuk gaji pegawai) dan sejak tahun 2009 anggaran sudah 20%, tapi mayoritas masih diperuntukkan bagi gaji pegawai; Rendahnya komitmen pemerintah daerah dalam memajukan pendidikan juga terlihat dari alokasi anggaran untuk pendidikan. Rata-rata alokasi anggaran APBD untuk pendidikan sudah di atas 20%, namun hanya 3-7 persen saja yang benar-benar untuk fungsi pendidikan. 183. Dalam pencatatan Administrasi kependudukan (UU Adminduk No 23 tahun 2006) pasal 58 (2) data perseorangan meliputi antara lain NIK, Nama Lengkap, Jenis Kelamin, Tempat Tanggal Lahir, Agama, dan lainnya. Bagi orang yang memiliki orientasi seksual, identitas gender yang berbeda (LGBT) seharusnya tidak menjadi masalah, namun kenyataanya tidak demikian. Lebih dari 2 juta waria di Indonesia mayoritas tidak mengenyam pendidikan dengan baik karena penampilan fisiknya/gender yang tidak sama dengan seksnya, sehingga diskriminasi dan kekerasan acap kali diterima, termasuk bullying yang dilakukan oleh teman sekolah dan juga guru. Data UNESCO 2012 menyebutkan bahwa bullying berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender menempati urutan ke-2 terbesar. Bentuk manisfestasi ketidaknyamanan di sekolah salah satunya dituangkan dalam bentuk keluar dari sekolah bahkan sampai ingin bunuh diri. Hal ini juga berpengaruh pada kesempatan mendapat pekerjaan, trangender ditolak karena penampilanya yang berbeda. 184.

Rekomendasi:

85

Kompas, 10 Januari 2011

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

193


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

a. Untuk mengembangkan kebijakan yang menjamin akses pendidikan bagi remaja menikah dan gadis yang belum menikah yang hamil sebagai bagian dari hak-hak mereka b. Untuk menjamin penyediaan pendidikan seksualitas yang komprehensif berbasis hak. c. Setiap anak muda memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan layanan seksualitas yang komprehensif untuk memastikan bahwa mereka dapat membuat pilihan informasi yang berhubungan dengan kesehatan seksual mereka. Oleh karena itu, merekomendasikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional untuk berkonsultasi dengan para remaja, masyarakat sipil, guru dan pekerja kesehatan pada pengembangan nota bersama untuk memasukkan keluarga berencana ke dalam kurikulum sekolah. d. Untuk melibatkan masyarakat sipil dan kaum muda dalam proses penyusunan peraturan pemerintah tentang UU Pornografi No 44/2008, khususnya pasal 13 & 14 yang mengategorikan materi seksualitas untuk pendidikan sebagai bahan pornografi. e. Konsultasikan dengan dan melibatkan organisasi perempuan, sarjana feminis, praktisi kesehatan, pekerja seks, anak muda, para pendukung hak asasi manusia, pembela hak-hak seksual dan LSM terkait lainnya ketika menyusun peraturan pemerintah untuk pelaksanaan undang-undang pornografi sehingga anak perempuan dan wanita tidak dikriminalisasi oleh segala bentuk pelecehan seksualitas tetapi mereka juga terlindung dari kekerasan. f. Menjalankan keputusan MA mengenai pelaksanaan Ujian Nasional. g. Menghentikan proses komersialisasi institusi pendidikan dan penerapan asas non-diskriminatif terhadap para peserta didik serta membuka akses sebesarbesarnya kepada masyarakat miskin untuk hak atas pendidikan.

M. Hak atas Budaya 185. Pasal 15 (1) ICESCR menjamin hak setiap orang untuk “mengambil bagian dalam kehidupan berbudaya dan untuk mendapatkan keuntungan dari kepentingan moral serta material dari setiap ilmiah, sastra atau seni produksi� yang ditulis oleh mereka, yang meningkatkan kemungkinan perlindungan pengetahuan tradisional dan hak warisan intelektual dan budaya berdasarkan Perjanjian, sebagaimana yang tertera dalam hukum domestik yang merupakan implementasi Perjanjian. 86 Sementara Pasal 15 (2) menetapkan bahwa Negara harus mengambil langkah-langkah untuk mencapai realisasi penuh atas hak budaya. 186. Hak berbudaya masyarakat adat berarti tidak hanya pelestarian bahasa daerah, melainkan juga situs suci mereka dan praktik-praktik adat. Salah satu contoh ialah kasus di Desa Paperu, yang terletak di Maluku Tengah District, di Provinsi Maluku. 187. Pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia memberikan izin kepada perusahaan pariwisata swasta, PT. Maluku Diving dan Tourism, untuk memulai aktivitas. Sejak

86

CESCR mengadakan Hari Pembahasan 27 November 2000, di mana anggota menyatakan bahwa pengetahuan tradisional dan warisan intelektual dan budaya, baik sebagai hak-hak individu dan kolektif, dapat diatasi dalam kaitannya dengan Pasal 15 (1) (c). Lihat CESCR Laporan pada tanggal 22, 23 dan 24 Sesi, doc PBB. E / C.12 / 2000/21, paragraf 578-635.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

194


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

itu, pemilik, bernama oleh Kurt Walter Gross, seorang kebangsaan Swiss, melarang Desa Paperu melakukan kegiatan apa pun di wilayah laut. Bahkan, daerah yang dikenal sebagai Tanjung Paperu yang merupakan bukan hanya sumber terakhir dan terbesar kehidupan mereka, tetapi juga kawasan konservasi dan situs suci untuk melakukan upacara ritual, termasuk Sasi. 188. Sasi adalah sistem manajemen tradisional turun temurun sumber daya alam, serta keanekaragaman hayati yang sudah ada di masyarakat adat Paperu sejak zaman nenek moyang. Sasi tidak hanya menampilkan sebuah pengambilan keputusan kolektif di antara masyarakat adat, melainkan juga menunjukkan aplikasi dari hukum adat untuk mengatur hubungan antara masyarakat dan alam serta antara masyarakat dan bangsa-bangsa lain. Ini merupakan integritas budaya masyarakat adat di Paperu. 189. Sebagai hasil dari larangan perusahaan, masyarakat Paperu tidak lagi melakukan upacara Sasi. Ini jelas mengancam integritas budaya mereka, yang berpotensi menyebabkan kepunahan identitas mereka sebagai masyarakat adat. 190. Selanjutnya, proyek-proyek pembangunan yang dilakukan di atau dekat wilayah adat tanpa pengakuan yang tepat dan menghormati hak-hak masyarakat adat yang berpotensi mengancam budaya masyarakat adat yang bersangkutan. Ada banyak etnis di Indonesia yang hampir punah sebagai dampak dari proses pembangunan tanpa pengakuan yang tepat, perlindungan dan promosi hak-hak mereka, sebagai berikut: Etnis Orang Rimba, Talang Mamak, dan Sakai di Sumatera, etnis Dayak Punan, Tubu, Agabaq, dan Merab di Kalimantan, etnis Togutil di Maluku Utara, etnis Malind di Papua, dan banyak lagi. 191.

Pertanyaan: a. Harap memberikan informasi rinci langkah-langkah apa yang diambil dan direncanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengakui, melindungi dan mempromosikan hak budaya masyarakat adat, khususnya mengenai kegiatan investasi yang diduga melanggar hak budaya masyarakat adat, seperti kasus perampasan tanah di Desa Paperu yang mengancam identitas mereka sebagai masyarakat adat. b. Berikan informasi detail bagaimana Pemerintah Indonesia melindungi, mempromosikan dan mempertahankan masyarakat adat yang paling terancam punah, seperti Etnis Orang Rimba, Talang Mamak, dan Sakai di Sumatera, etnis Dayak Punan, Tubu, Agabaq, dan Merab di Kalimantan, etnis Togutil di Maluku Utara, etnis Malind di Papua.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

195


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

LAMPIRAN II

LAPORAN ALTERNATIF JAWABAN LIS T OF ISSUES (LOI)

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

196


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

ALTERNATIF JAWABAN LIST OF ISSUES MASYARAKAT SIPIL INDONESIA

LAPORAN

TERKAT DENGAN LAPORAN PEMERINTAH INDONESIA KEPADA KOMITE EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA PBB

SESI SIDANG KE-52 KOMITE EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA PBB Jenewa, Swiss, 28 April – 23 Mei 2014

Disampaikan oleh:

Indonesian Civil Society Network on Economic, Social and Cultural Rights Advocacy Difinalisasi oleh:

Human Rights Working Group (HRWG): Indonesia’s NGO Coalition for International Human Rights Advocacy Maret 2014

DAFTAR ISI I.

PENGANTAR ..................................................................................................... 200

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

197


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

II.

KETENTUAN UMUM ..................................................................................... 201 Isu 1 Isu 2

III.

ISU YANG BERKAITAN DENGAN KETENTUAN UMUM PERJANJIAN .......................................................................................................204 A. Isu 3 Isu 4 Isu 5 Isu 6 B. Isu 7 Isu 8 Isu 9 C. Isu 10

IV.

201 201

Pasal 1 paragraf 2 – Penggunaan sumber daya alam dengan bebas . 204 204 213 215 217 Pasal 2 paragraf 2 - Non-diskriminasi ....................................................... 220 220 225 227 Pasal 3 - Persamaan Laki-laki dan Perempuan ....................................... 228 228

ISU-ISU YANG BERKAITAN DENGAN KETENTUAN PASAL KOVENAN ...................................................................................................... 232 D. Pasal 6 – Hak untuk Bekerja ........................................................................ 232 Isu 11 232 E. Pasal 7 – Hak untuk Mendapatkan Situasi Kerja yang Adil dan Menguntungkan ........................................................................................................ 233 Isu 14 233 Isu 15 234 Isu 16 237 Isu 17 237 F. Pasal 8 – Hak Serikat Pekerja ...................................................................... 243 Isu 18 243 Isu 19 244 G. Pasal 9 – Hak atas Jaminan Sosial ............................................................. 245 Isu 20 245 Isu 21 247 Isu 22 248 H. Pasal 10 – Perlindungan Keluarga, Ibu dan Anak .................................. 249 Isu 24 249 I. Pasal 11 – Hak atas Kehidupan Yang Layak ............................................. 251 Isu 25 251 J. Pasal 11 – Kehidupan yang Layak .............................................................. 256 Isu 26 257 Isu 27 259 K. Pasal 12 – Hak atas Kesehatan Fisik dan Mental ................................... 261 Isu 28 261 Isu 29 264 Isu 30 264 L. Pasal 13 and 14 – Hak Atas Pendidikan ..................................................... 265 Isu 31 265 M. Pasal 15 - Hak atas Budaya ........................................................................... 269 Isu 32 269

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

198


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Isu 33

269

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

199


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

I.

PENGANTAR

1. Laporan ini disusun untuk menjawab List of Issues yang dikeluarkan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 2. Laporan ini disiapkan oleh Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Advokasi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang terdiri dari: Human Rights Working Group (HRWG), Indonesian Women’s Coalition For Justice and Democracy (KPI); CEDAW Working Group Initiative (CWGI) Indonesia; Institute for Ecosoc Rights (IER); Trade Union Rights Center (TURC) Indonesia; Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP); International NGO Forum on Indonesian Development (INFID); Institute for Policy Research and Advocacy (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) ELSAM Indonesian Positive Women's Network (IPPI) Indonesia; National Network for Domestic Workers Advocacy (Aliansi Masyarakat Adat Indonesia (AMAN); Jakarta Legal Aid Institute (LBH Jakarta); Kalyanamitra; Perkumpulan Lingkar Yogyakarta; Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta; Sekretariat Walhi Nasional; LBH ASPEK Indonesia; JALA PRT); Arus Pelangi; Mining Advocacy Network (JATAM) Indonesia; Fransiscan International; Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) Yogyakarta; INPROSULA Yogyakarta; Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA); Green Map Yogyakarta; Sarang Lidi; Perkumpulan IDEA; Sahabat Perempuan; Humanitarian Forum Indonesia; MADYA Yogyakarta; NARASITA; DIAN/Interfidei; WALHI Yogyakarta; Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta; Rifka Annisa; Institute Perempuan; Forum LSM Yogyakarta; Forum PRB Yogayakarta; Solidaritas Buruh Yogyakarta; Yayasan Annisa Swasti (YASANTI); Rumpun Tjoet Nyak Dien; LBH Apik Yogyakarta; Setara Institute; The Wahid Institute; Yayasan Kesehatan Perempuan; Desantara; KRUHA; Solidaritas Perempuan; Mitra Perempuan; Institute Kapal Perempuan; Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA); KIARA; YEU Yogyakarta; Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Serikat PRT; World Resources Institute (WRI); Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC); Indonesian Corruption Watch (IWC); Rindang Banua, Persaudaraan Korban Napza Indonesia (Brotherhood of Indonesia Drug Victims), PKNI; CIQAL (Center for Improving Qualified in Life of People with Disabilities) 3.

Laporan ini disusun dengan rangkaian proses di tingkat nasional, yaitu: a. Workshop Laporan Alternatif untuk ESCR yang diselenggarakan oleh TURC, Koalisi Perempuan Indonesia dan The Institute for Ecosoc Rights pada tanggal 11 – 12 Desember 2013 di Jakarta yang dihadiri oleh sekitar 30 organisasi masyarakat sipil. b. Pertemuan lanjutan terkait penulisan laporan alternatif yang diselenggarakan di LBH Jakarta pada tanggal 13 Desember 2013. c.

Pertemuan regional Yogyakarta pada tanggal 18 Desember 2013 yang digagas oleh Koalisi Perempuan Indonesia di kantor Rifka Annisa, Yogyakarta, yang dihadiri oleh sekitar 11 perwakilan organisasi masyarakat sipil dari seluruh wilayah Yogyakarta. Pertemuan lanjutan juga dilakukan di Kantor IDEA Yogyakarta pada Senin, 3 Februari 2014.

d. Pertemuan lanjutan di Kantor HRWG, Jakarta, pada tanggal 17 Januari 2014 yang dihadiri oleh 20 organisasi masyarakat sipil di wilayah Jakarta dan melalui skype untuk wilayah luar Jakarta.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

200


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

e.

Laporan alternatif ini dikompilasi oleh HRWG sebagai Sekretariat sementara Koalisi. Laporan yang telah sempurna dikirimkan kembali kepada lembagalembaga yang terlibat untuk dilakukan pengecekan akhir dan penambahan data.

f.

Pertemuan untuk finalisasi draft dan pengecekan ulang data dilakukan di HRWG pada 12 Maret 2014.

4. Laporan lain yang mencakup beberapa isu khusus disampaikan secara terpisah oleh INFID, International NGO Forum on Indonesia Development.

II.

KETENTUAN UMUM

Isu 1: Harap memberikan informasi mengenai kasus-kasus di mana Kovenan ini telah dijadikan rujukan dan diterapkan oleh pengadilan. 5. Sejauh ini tidak ada keputusan-keputusan pengadilan yang menggunakan Konvensi ICESCR sebagai rujukan putusan, baik di pengadilan umum maupun dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.87 Ada sejumlah putusan yang positif dan sesuai dengan Konvensi, seperti Putusan MK tentang UU Perkebunan, namun putusan ini tidak mengutip Konvensi ICSECR. Selain itu, aparat hukum di Indonesia kurang mengetahui dan memahami Konvensi-konvensi internasional yang lain, seperti CEDAW yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sejak 1984 sebagai hukum nasional. Banyak dari praktisi hukum tersebut tidak mengetahui keberadaan hukum ini atau konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Rekomendasi 6. Mendorong lembaga peradilan, baik Pengadilan Umum (di bawah Mahkamah Agung) maupun Mahkamah Konstitusi menggunakan Konvensi ICSECR yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005 sebagai rujukan putusan.

Isu 2: Harap menginformasikan kepada Komite mengenai mekanisme yang disediakan untuk memastikan bahwa undang-undang dan peraturan yang berlaku di Negara Pihak, termasuk peraturan-peraturan yang diadopsi oleh pemerintah daerah serta hukum adat dan hukum agama yang berlaku di Negara Pihak, telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini. 7. Kebijakan politik ekonomi Indonesia berpedoman pada tiga komponen utama, yaitu pertambangan, perkebunan, dan konsumsi. Tiga sektor di atas menjadi acuan negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi.88 Hal ini berdampak pada kurangya perhatian negara terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, bahkan mengarah pada bentuk pengabaian. 89 Pelaksanaan Konvensi Ekonomi, Sosial dan

87

Contohnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi pada 16 Mei 2013 melalui Putusan No. 35/PUU – X/2012. 88

Komite Ekonomi Nasional, Prospek Ekonomi Indonesia 2014: Tantangan Ekonomi di Tengah Tahun Politik,(Jakarta: Komite Ekonomi Nasional, 2014). 89

Salah satu contoh dalam bidang perkebunan, lihat, “Palm Oil Plantation: Industry Lanscape, Regulatory, and Financial Overview�, 2012 Update by PWC, accessed http://www.pwc.com/id/en/publications/assets/palm-oil-plantation-2012.pdf

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

201


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Budaya terkendala oleh arah kebijakan Negara yang lebih mengutamakan income dari tiga sektor tersebut, sehingga tidak ada prioritas untuk melaksanakan Konvensi. 8. Pertambangan dan perkebunan sawit telah mengambil tanah-tanah rakyat, merusak lingkungan dan meningkatkan kerentanan terhadap bencana, meningkatkan konflik, memperburuk kualitas hidup rakyat dan melanggar hak asasi warga di sekitar pertambangan dan perkebunan rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor konsumsi juga berdampak pada pembangunan ekonomi yang bias ke kota dan meninggalkan pedesaan dan pertanian. Hak-hak dasar warga di pedesaan dan yang bekerja di sektor pertanian cenderung terabaikan. Selain itu, untuk mendorong pengembangan sektor konsumsi pemerintah cenderung membangun demikian banyak mall/pusat perbelanjaan yg hanya bisa diakses oleh pedagang dengan modal besar serta menggusur ruang bagi pedagang-pedagang kecil dan pedagang pasar. 9. Kebijakan utama yang dibuat oleh Pemerintah untuk meningkatkat kondisi ekonomi dan sosial masyarakat adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pada praktiknya, kebijakan ini masih sebatas dokumen yang tidak dapat direalisasikan. Tidak tampak realisasi kebijakan ini di lapangan. RPJMN/RPJMD bahkan tidak linier dengan arah kebijakan Negara yang mengutamakan sumber pendapatan di bidang pertambangan, perkebunan, konsumsi. Hal ini pula yang mengarah pada “memperbesar peluang pelanggaran HAM�. 10. Masih terjadi ketidakharmonisan antara pelbagai undang-undang dan peraturan daerah dengan prinsip-prinsip HAM. Padahal Konstitusi, sejumlah UU ratifikasi Konvensi HAM internasional, termasuk ICESCR, dan RANHAM periode 20112014 mengharuskan pemerintah untuk mengharmonisasikan dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan prinsip HAM internasional. Peraturan Daerah 11. Dalam konteks harmonisasi peraturan di tingkat daerah, Pemerintah Indonesia telah menyusun kebijakan antara lain: 1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah; dan 2. Surat Keputusan Bersama antara Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2012 dan Nomor 77 Tahun 2012 tentang Parameter Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah. Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum dan pedoman harmonisasi peraturan daerah yang mengakomodasi HAM. Walaupun, tidak ada kebijakan daerah yang betul-betul diawasi oleh Pemerintah, 90 bahkan belum ada peraturan-peraturan daerah yang dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan prinsip Konvensi. 12. Jumlah aturan atau perda yang dianggap melanggar konstitusi atau bersifat diskriminatif terhadap perempuan tertanggal Maret 2014 mencapai 342 peraturan. Jumlah ini terus berlipat pada tiga tahun belakangan ini. Menurut ketua Komisi Nasional Kekerasan Terhadap Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, kebanyakan aturan ini mengatur cara berpakaian dan menerapkan jam malam bagi perempuan. Aturan seperti ini membatasi kebebasan perempuan dalam bergerak dan berekspresi. Lima provinsi yang terhitung memiliki banyak aturan yang diskriminatif di antaranya Jawa

90

Kementerian Dalam Negeri RI yang berwenang melakukan tugas ini.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

202


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur. Pada tahun 2011, Kepala Kecamatan Aceh Barat menyatakan bahwa seorang perempuan yang mengenakan rok mini boleh diperkosa. Pada 2013, Pemerintah Kota Lhokseumawe, di provinsi yang sama di Aceh, melarang perempuan duduk mengangkang di sepeda motor. Sehubungan dengan aturan lokal tentang jam malam bagi perempuan di beberapa kabupaten dan kota,91 perempuan dipersulit dalam bidang pekerjaan, terutama selama shift malam. Dengan demikian, aturan lokal Aceh secara praktis melanggar hak perempuan dan anak-anak untuk melakukan aktifitas mereka. Dalam satu kasus, seorang anak perempuan berusia 16 tahun (Putri Erlina) melakukan bunuh diri pada 3 September 2012, karena tuduhan prostitusi dari Polisi Syariah Aceh tanpa adanya bukti yang cukup.92 13. Dalam kasus Peraturan Daerah Larangan Perempuan Keluar Malam yang ada di beberapa kabupaten/kota,93 pada praktiknya justru menghalangi perempuan untuk bekerja, terutama mereka yang bekerja pada malam hari. Demikian pula dengan peraturan daerah di Aceh yang dalam praktiknya justru melanggar hak anak dan perempuan untuk beraktifitas. Dalam satu kasus di Aceh, seorang anak berusia 16 tahun (bernama Putri Erlina, 3 September 2012) bunuh diri karena dituduh sebagai pelacur yang melanggar Peraturan Daerah oleh Polisi Syariah Aceh.94 14. Korban lainnya adalah Lilis Lisdawati Mahmudah di Kota Tangerang. Lilis merupakan korban salah tangkap dan dituduh sebagai seorang pelacur. Lilis sudah bersuami, seorang guru. Dampak dari tuduhan terhadap Lilis beserta pemberitaan media, membuat suami Lilis terpaksa berhenti dari pekerjaannya karena pihak sekolah tempatnya mengajar tidak ingin sekolahnya mendapatkan cap buruk dari masyarakat, hanya karena salah satu pengajarnya memiliki isteri seorang Pelacur. Mereka juga harus berpindah tempat tinggal beberapa kali karena cap sebagai Pelacur telanjur tersemat pada dirinya. Lilis pun sering mendapat perlakuan tidak baik dari para tetangganya. Akibat tekanan tersebut, Lilis mengalami tekanan psikologis dan sakitsakitan, sampai akhirnya ia meninggal dunia pada Agustus 2008. Peraturan Daerah (Perda) yang sama, juga telah merenggut nyawa Fifi Aryani. Peristiwa itu terjadi pada malam di bulan Mei 2009, ketika Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sedang melakukan razia. Fifi ketakutan dan berlari sekencang-kencangnya. Satpol PP tak berhenti mengejarnya. Terdesak, nekat ia menceburkan diri ke Sungai Cisadane, lantaran menghindari razia satuan polisi pamong praja Kota Tangerang. Korban tewas karena tenggelam. Rekomendasi 1)

Mendorong Pemerintah Indonesia mengimplementasikan kebijakan dan langkahlangkah yang sudah dirumuskan dan direncanakan untuk harmonisasi undang-

91

Wilayah tersebut adalah Kabupaten Tangerang dan Pamekasan, Lihat lebih lanjut di http://forum.faithfreedompedia.com/perda-larangan-gadis-keluar-malam-t39255.html 92

“Malu Dituduh Pelacur oleh Polisi Syariah Aceh, Putri Memilih Bunuh Diri�, Jaring News, Kamis, 13 September 2012, http://jaringnews.com/keadilan/sandal-jepit/22885/malu-dituduh-pelacur-olehpolisisyariah-aceh-putri-memilih-bunuh-diri 93 93

Beberapa daerah tersebut adalah Kabupaten Tangerang dan Pamekasan. Lebih lanjut lihat, http://forum.faithfreedompedia.com/perda-larangan-gadis-keluar-malam-t39255.html 94

“Malu Dituduh Pelacur oleh Polisi Syariah Aceh, Putri Memilih Bunuh Diri�, Jaring News, Kamis, 13 September 2012, http://jaringnews.com/keadilan/sandal-jepit/22885/malu-dituduh-pelacur-oleh-polisisyariah-aceh-putri-memilih-bunuh-diri

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

203


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

undang dan peraturan daerah dengan prinsip HAM sesuai dengan prinsip HAM internasional dan Konstitusi. 2) Memastikan agar kebijakan di daerah tidak mendiskriminasi kelompok rentan, seperti perempuan, anak, minoritas agama/keyakinan, LGBT, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya.

III.

ISU YANG BERKAITAN DENGAN KETENTUAN UMUM PERJANJIAN

A. Pasal 1 paragraf 2 – Penggunaan sumber daya alam dengan bebas

Isu 3: Harap memberikan informasi tentang kerangka perlindungan hak penduduk asli, termasuk Masyarakat Adat, atas tanah adat mereka serta proses di mana tanah adat dan hutan mereka diakui secara resmi. Harap berikan pula informasi tentang langkah-langkah kongkrit yang diambil oleh Negara Pihak untuk mengatasi peningkatan insiden penyerobotan lahan, serta contoh kasus yang mana langkah-langkah tersebut telah secara efektif mencegah penyerobotan lahan. Pencegahan perampasan tanah yang efektif (Kasus Kabupaten Batang dan Cilacap, 95 Jawa Tengah) 15. Salah satu langkah untuk melindungi hak warga atas tanah dan mengurangi peningkatan perampasan tanah ialah dengan menyelesaikan sengketa pertanahan yang terjadi. Menurut studi ELSAM (2012) atas penyelesaian sengketa tanah di Kabupaten Batang dan Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah), perspektif hak asasi manusia, termasuk tanggung jawab negara untuk memenuhi hak Ekosob warganya, ternyata belum menjadi landasan dalam penyelesaian sengketa tanah. Dari ribuan sengketa pertanahan (struktural) yang ada di Indonesia, yang berhasil selesai di antaranya baru kasus sengketa di Kabupaten Batang dan Cilacap, Jawa Tengah. Di Kabupaten Batang, dari sekitar tiga belas kasus sengketa yang terjadi, setidaknya tiga kasus sudah terselesaikan adalah sengketa di Kecamatan Subah dengan Perum

95

Studi kasus dikutip dari Otto Adi Yulianto, “Penyelesaian Sengketa Pertanahan dan Hak Asasi Manusia: Kajian atas Kasus Penyelesaian di Kabupaten Batang dan Cilacap, Jawa Tengah�. Artikel sedang dalam proses penerbitan di Jurnal Dignitas Elsam edisi 2014.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

204


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Perhutani KPH Kendal, dengan obyek sengketa seluas 153,1 ha. Di Kabupaten Cilacap, dari sekitar 17 kasus sengketa yang terjadi, yang sudah selesai adalah sengketa antara para petani dari lima desa di Kecamatan Cipari dengan PT Rumpun Sari Antan (PT RSA), korporasi milik Yayasan Rumpun Kodam IV Diponegoro, dengan obyek sengketa seluas 267,9 ha. 16. Terjadinya kedua sengketa tanah tersebut tidak terlepas dari berlangsungnya perampasan tanah yang terjadi pascaperistiwa 1965-1966. Penyelesaian sengketa baru dapat dilakukan melalui mediasi dan negosiasi, setelah Indonesia memasuki era reformasi (pasca-1998). Sebagai pertanda bahwa kasus tersebut selesai dan suksesnya mediasi, untuk kasus sengketa tanah di Cipari (Kabupaten Cilacap), Presiden SBY menyerahkan sertifikat tanah secara simbolis kepada perwakilan petani pada 21 Oktober 2010 di Istana Presiden, Bogor. 17. Namun ternyata keberhasilan tersebut masih menyisakan masalah. Dalam penyelesaian kasus sengketa pertanahan di Subah (Kabupaten Batang), pada awal proses memang sempat terjadi tindak kekerasan terhadap para petani. Pascapenyelesaian sengketa hingga sekarang, belum ada pendampingan atau program dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani pasca-redistribusi tanah. Prinsip reforma agraria atau tanggung jawab negara untuk pemenuhan HAM seperti hak atas hidup layak dan bermartabat tidak menjadi landasan dalam penyelesaian sengketa pertanahan ini. Selain itu, proses penyelesaian ini juga tidak menyinggung perampasan tanah dalam peristiwa 1965-1966 yang menyebabkan terjadinya perpindahan penguasaan atas tanah dari petani kepada Pemerintah Kabupaten Batang. Selanjutnya beralih ke Perum Perhutani, sebagai akar masalah sengketa pertanahan tersebut.96 18. Sementara dalam penyelesaian kasus sengketa pertanahan di Cipari (Kabupaten Cilacap), akhirnya petani-petani mendapatkan lahannya, tetapi terjadi ironi di mana ada petani yang kemudian malah kehilangan lahan setelah penyelesaian. Dalam penyelesaian sengketa ini, diputuskan (pada 17 Desember 2009 melalui Akta Notaris tentang Pelepasan Hak atas Tanah Negara dan Pembayaran Ganti Rugi Nomor 938) bahwa tanah yang disengketakan itu akan dibagikan kepada petani (dengan sertifikat tanah yang telah dibuat), namun dengan syarat tiap-tiap petani harus membayar ganti rugi kepada PT RSA sebesar Rp1.500,- per meter persegi. Total yang harus dibayarkan petani untuk mendapatkan sertifikat tanah yang dibagikan ini adalah sekitar Rp750.000,- ditambah Rp100.000,- untuk administrasi Desa. 19. Karena tidak semua petani memiliki uang atau tabungan untuk menebus, akhirnya sejumlah petani justru menjual jatah tanahnya kepada pihak ketiga. Dengan demikian, petani yang awalnya menggarap tanah sengketa, karena kemiskinan justru malah kehilangan lahan. Penyelesaian seperti ini cenderung tidak menjawab akar masalah, meski para pihak menerima formula penyelesaiannya dan ada kepastian hukum akan kepemilikan tanah pasca-penyelesaian sengketa, karena sekitar 20% petani yang mendapatkan jatah ini menjual kembali tanahnya akibat tidak mampu menebus sertifikat tanah yang telah diberikan. 20. Selain itu, redistrisbusi lahan pascasengketa tidak menyasar kepada pihak yang tepat. Pada kasus di Cilacap, terdapat warga yang tidak membutuhkan (seperti

96

Penyebab utama persengketaan tanah di Batang merupakan akibat dari insiden yang terjadi pada tahun 1965, ketika Pemerintah Kabupaten Batang menyita tanah yang dimiliki oleh petani-petani untuk diberikan kepada Perum Perhutani.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

205


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

perangkat desa atau warga yang relatif kaya/mapan) justru dimasukkan ke dalam daftar penerima lahan. Hal ini menyebabkan membengkaknya jumlah warga yang menerima jatah tanah dan membuat luas lahan yang diperoleh semakin kecil, yakni 500 meter persegi atau 0,05 hektare per kepala keluarga. Pembengkakan jumlah ini diduga akibat kecurangan panitia redistribusi tanah. Awalnya hanya sekitar 1500 petani yang memperjuangkan tanah tersebut, namun kemudian saat pembagian tanah jumlah petani yang memperoleh lahan membengkak menjadi lebih dari 3 kali lipatnya, yakni sebanyak 5.141 kepala keluarga. 21. Seperti dalam kasus penyelesaian sengketa di Kabupaten Batang, selain tidak adanya usaha pengungkapan kebenaran atas akar masalah terjadinya sengketa, pascapenyelesaian sengketa di Cilacap ini juga tidak ada pendampingan atau program pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan petani.

Masyarakat Adat dan Pengakuan 22. Dengan populasi hampir mencapai 250 juta pada tahun 2013 dan sebagai negara tropis terluas, Indonesia memiliki 18.306 pulau-pulau dalam wilayahnya.97 Masalah yang timbul pada penduduk asli di Indonesia, termasuk masalah kemiskinan dan konflik lahan, muncul dari minimnya pemahaman Pemerintah dan perundangan yang diberlakukan terhadap hak mereka sebagai penduduk asli, pemilik lahan, dan hukum-hukum dan sistem adat mereka. 98 Namun, rancangan Tindakan bagi Pengakuan dan Perlindungan Hak Penduduk Asli masih perlu banyak diperbaiki, untuk mendapatkan definisi dan pengakuan yang komprehensif terhadap penduduk asli. 23. Pasal 18B UUD 1945 menekankan pengakuan dan penghargaan terhadap masyarakat tradisional berikut hak-hak adat tradisional mereka. Namun demikian, negara memiliki kekuatan penguasaan terhadap tanah dan sumber daya alam, untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi keuntungan rakyat. Masih dibutuhkan landasan legal yang mencukupi untuk menerapkan pengakuan terhadap hak-hak adat tradisional. Beberapa dasar legal masih membutuhkan interpretasi lebih jauh, seperti Hukum Agraria tahun 1960 yang menjelaskan berbagai pilihan mengenai hak guna pakai yang mencakup pengakuan terhadap adanya hak kepemilikan kolektif berdasarkan adat (hak ulayat) namun masih memandang hak ini sebagai penyerobot lahan negara yang seharusnya diberikan bagi pembangunan nasional. Berdasarkan UU Kehutanan tahun 1999, semua hutan termasuk sumber daya alamnya, dimiliki oleh negara. Tidak ada pengakuan kepemilikan terhadap hutan adat masyarakat tradisional. Pasal 67 UU menyebutkan bahwa Masyarakat Hukum berwenang mengambil hasil hutan, mengurus hutan berdasarkan aturan adat selama tidak bertentangan dengan hukum (Negara), dan ini harus diatur dalam perundangan Pemerintah.

97

Data disediakan oleh oleh National Institute of Aeronautics and Space, 2002. Pada saat ini data resmi mengenai jumlah pasti populasi masyarakat adat tidak tersedia karena faktor adat dan etnik tidak dicakup dan tidak dipertimbangkan di dalam proses sensus nasional. Meskipun demikian, telah di perkirakan bahwa terdapat lebih dari 1,000 kelompok etnik atau adat yang menggunakan lebih dari 800 bahasa adat yang berbeda dan memiliki tradisi dan kultur yang berbeda-beda, membuat Indonesia salah satu negara berpenduduk yang paling beragam di dunia. 98

Informasi lebih jauh mengenai masyarakat adat, lihat, Laporan alternatif bagi pelaporan nasional Indonesia tentang Implementasi ICESCR, Oktober 2013, para. 35 – 41, 141 – 142, and 187-191

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

206


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

24. Sejak 2011 Dewan Perwakilan Rakyat telah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-hak Masyarakat Adat. Adopsi ini dilakukan pada tahun 2014 dan sehubungan dengan iklim politik menyambut pemilihan anggota dewan dan pemilihan presiden, adopsi ini tampak tidak menjadi prioritas di dewan.99 25. Pada 16 Mei 2013 Pengadilan Konstitusi Indonesia mengambil keputusan No. 35/PUU-X/2012 tentang review Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999.100 Namun, pada tahun yang sama, setelah pemberlakuan UU No. 35/PUU-X/2012, walaupun kuatnya penolakan dari berbagai partai, disahkanlah Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan. Undang-Undang No. 18/2013 merupakan Undang-undang yang berkaitan dengan organisasi kemasyarakatan sipil, yang juga mencakup AMAN sebagai organisasi masyarakat adat di pedesaan. Proses penyusunan dan pengesahan yang tidak transparan dan tidak demokratis menunjukkan bahwa undang-undang ini mengandung ancaman besar bagi masyarakat adat, terutama mereka yang bergantung pada hutan. Pendefinisian sejumlah substansi undangundang ini begitu lemah dan bermasalah dan dianggap berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat dan mengancam akses mereka terhadap hutan warisan budaya mereka. Enam bulan setelah pengesahan, Undang-undang ini digunakan sebagai dasar bagi penahanan 11 orang anggota masyarakat adat dengan alasan “perusakan hutan�. Perampasan lahan dan kelompok adat 26. Berdasarkan Dialog Kehutanan (2010), hanya sekitar 0,2% bagian hutan yang dialokasikan bagi masyarakat. Ini berarti bahwa perlindungan terhadap hak adat dari penduduk asli terhadap lahan adat dan hutan mereka kurang mendapat perlindungan, terutama saat penduduk asli berhadapan dengan proyek pembangunan yang mendapatkan izin dan dukungan Pemerintah.100 27. Penelitian Institute for Ecosoc Rights (Indonesia) di Kabupaten Barito Timur, Katingan, dan Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah, terhadap Pengaruh Penanaman Kelapa Sawit terhadap Hak Masyarakat, menyatakan bahwa industri kelapa sawit yang beroperasi di dalam lahan adat dan masyarakat transmigran tidak hanya melanggar hak ekonomi, sosial dan budaya mereka, melainkan juga hak sipil. Ekspansi perusahaan ini telah melanggar kebebasan penduduk lokal untuk mengekspresikan diri dan mengemukakan pendapat mereka, serta mengganggu rasa aman karena keberadaan preman bayaran perusahaan. Perusahaan-perusahaan ini telah menimbulkan peningkatan suhu sosial dan meningkatkan jumlah konflik dalam keluarga, di antara individu dalam masyarakat, di antara pihak yang menentang aktifias penanaman dan dengan Pemerintah atau tenaga keamanan yang ada. Perusahaan-perusahaan ini juga memperpanjang diskriminasi penduduk lokal, baik dalam hal kepemilikan lahan, perizinan penggarapan lahan maupun keadilan dalam hukum. Dengan adanya diskriminasi ini, hak penduduk lokal terhadap tanah tidak lagi diakui karena kegagalan mereka mendapatkan bukti kepemilikan. Sementara pihak perusahaan dijamin mendapatkan izin terhadap ratusan atau ribuan atau bahkan jutaan hektare tanah. Bahkan tanah yang menjadi hak transmigran ikut diambil alih.

99

Lihat, Laporan Alternatif terhadap Pelaporan Negara Indonesia, Oktober 2013, paragraf 4-5

100

Lihat, Laporan Alternatif terhadap Pelaporan Negara Indonesia, Oktober 2013, paragraf 141

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

207


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

28. Tidak ada tindakan yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang telah merampas tanah penduduk local, sedangkan mereka yang berusaha membela hak atas tanah justru dikriminalisasi dan dipenjara. Hak penduduk lokal untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan dalam menentukan keputusan publik yang bersangkutan dengan penanaman kelapa sawit yang telah memberikan pengaruh buruk terhadap kehidupan masyarakat tidak diberikan dengan selayaknya. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan perusahaan-perusahaan minyak sawit terus berlanjut dikarenakan Pemerintah tidak menjalankan kewajibannya melindungi hak-hak rakyat dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Pemerintah. Pemerintah juga belum menerbitkan aturan untuk menyelesaikan pelanggaran yang muncul dan mengambil langkah yang diperlukan bagi perbaikan kondisi para korban. 29. Ada beberapa contoh di beberapa kepulauan Indonesia, di mana pemanfaatan lahan dan hutan adat bagi proyek pembangunan dan ekstraktif menimbulkan konflik antara penduduk asli dan perusahaan swasta. Di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara, telah terjadi konflik antara PT Sorikmas Mining, perusahaan yang mendapatkan izin Pemerintah untuk pemanfaatan bagi pertambangan emas pada tahun 1998, dengan masyarakat adat Mandailing. Pada Juli 2010 terjadi konflik antara perusahaan dan masyarakat terkait status Bukit Sambung, di mana masyarakat mengklaim sebagai tanah adat dan saling klaim antara konsesi pertambangan dan Taman Nasional Batang Gadis. Masyarakt menolak aktifitas pertambangan di wilayah bukit dan meminta Pemerintah pusat untuk mengecualikan bukit tersebut dari dalam kontrak antara Pemerintah dan perusahaan bersangkutan. Aktifitas pertambangan diduga keras telah menyebabkan kerusakan lingkungan, terutama wilayah hutan yang menjadi sumber kehidupan penduduk asli di wilayah ini. Protes terus berlanjut pada bulan Mei 2011 dan bulan Maret 2012. Para pemprotes kemudian dikriminalisasi pihak kepolisian dengan tuntutan mengganggu ketertiban umum. Ini merupakan contoh lemahnya perlindungan hukum terhadap hak penduduk asli terhadap hak adat mereka terhadap tanah dan hutan. 30. Contoh lainnya ialah implementasi Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di wilayah Merauke, Papua Barat. Berdasarkan implementasi Pasal 18B UUD 1945, negara menggunakan kekuasaannya untuk memanfaatkan “lahan kosong” untuk “pembangunan nasional untuk menghasilkan makanan dan bahan bakar” dan “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Proyek MIFEE diperkirakan mencakup 1,2 juta hektare lahan, atau lebih dari seperempat wilayah Merauke, untuk menghasilkan bahan makanan, pulp dan bahan bakar. Proyek ini diimplementasi tanpa mengikutsertakan keterlibatan penuh masyarakat terkait, terutama masyarakat Marind Anim-ha (terdiri dari berbagai suku seperti Baglagise, Basik-basik, Gebze, Kaize, Mahuze dan Samkakai) yang mengklaim bahwa daerah tersebut merupakan tanah adat mereka. Mereka telah memanfaatkan hutan di wilayah tersebut sebagai sumber kehidupan sejak dahulu kala, sebelum masuknya Papua ke wilayah Indonesia. Sampai saat ini, tidak ada pengakuan hukum terhadap tanah adat Marind di wilayah ini. 31. Pada tahun 2010, Dewan Adat Papua menolak proyek tersebut dengan pertimbangan bahwa proyek tersebut merupakan ancaman bagi masyarakat adat. Dewan Adat juga menyatakan bahwa lahan adat tidaklah diperjualbelikan. Dewan Adat menerima dukungan dari Malind, sejumlah LSM lokal dan internasional. Terdapat sejumlah perselisihan yang muncul antara masyarakat adat dan perusahaanperusahaan yang menerima izin dari Pemerintah. Contohnya antara penduduk desa Sangase dan Medco Company pada tahun 2010. Pengaturan kompensasi bagi

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

208


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

penggunaan lahan juga menimbulkan konflik dalam masyarakat, seperti kasus yang terjadi pada wilayah Kecamatan Ulilin, Muting, Jagbob, Okaba dan Malind. 32. Hak-hak asasi penduduk asli, di mana ada aktifitas pertambangan seringkali dilanggar, terutama hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Juga terdapat korbankorban diskriminasi dan marginalisasi dalam keseharian. Pelanggaran lainnya berupa pengusiran dan pemindahan secara paksa, perampasan dan penghancuran lahan yang berkibat pada terbatasnya akses terhadap sumber-sumber daya alam yang menjadi kebutuhan utama bagi keberlangsungan hidup dan pemeliharaan standar hidup, serta terjadinya gangguan cara hidup warisan budaya dan tradisi mereka. Juga terjadi Kasus kematian dan cedera akibat penembakan, penahanan yang sewenang-wenang dan penganiayaan. Para pelaku kekerasan tersebut adalah tenaga keamanan perwakilan Pemerintah atau perusahaan pertambangan yang bersangkutan. 33. Pada bulan Desember 2013, sebanyak 265 rumah dan rumah adat penduduk asli Suku Anak Dalam (SAD) di Padang Salak, Jambi, dihancurkan oleh PT. Asiatic Persada dan perusahaan penanaman kelapa sawit dengan bantuan polisi, militer dan tenaga keamanan lainnya. Lima ratus orang dipaksa meninggalkan desa mereka, sementara 18 orang ditahan dalam insiden ini. 34. Pada tanggal 21-24 Desember 2013, warga asli Semende Banding Agung, Bengkulu, diusir dari tanah mereka. Mereka menempati wilayah hutan yang diklaim sebagai Taman Nasional. Kementerian Kehutanan melalui Kantor Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBSS) mengusir paksa 380 keluarga. Selama tiga hari, penduduk asli mengalami pemukulan, gangguan verbal, dan diancam dengan senjata api. Harta mereka dirusak dan disita serta rumah-rumah mereka dibakar. Empat orang ditahan. Akibat perlakuan ini, 60 orang menghadpai ancaman kelaparan dan ratusan anak terancam kehilangan pendidikan mereka. Saat ini, empata orang masih berada dalam tahanan Kepolisian Resort Kaur. Mereka divonis melakukan kekerasan dan melanggar Pasal 92 ayat (1) butir (a) dan butir (b) UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. 35. Lebih jauh, sejak tahun 2007, Pulau Aru, sebuah pulau kecil di Provinsi Maluku, mengalami ancaman dari PT. Menara Group, sebuah perusahaan konsorsium Tebu yang membawahi 28 perusahaan cabang. Pada 2012, Bupati Kepulauan Aru mengeluarkan izin dasar, izin lokasi dan rekomendasi sebagai landasan bagi dimulainya proyek PT. Menara Group. Berdasarkan izin yang diberikan pada perusahaan ini, wilayah garapan bagi penanaman tebu tersebut ialah 484.493 hektare atau sekitar tiga perempat luas keseluruhan Pulau Aru, dan melingkupi sekitar 90 Negeri (desa). Sisa bagian yang tidak terambah ialah wilayah koral dan hutan bakau yang tidak layak dijadikan pemukiman. Untuk menghaluskan aktifitasnya, PT. Menara Group merekrut peneliti dari beberapa Negeri dengan dikawal Angkatan Laut, yang diindikasi sebagai intimidasi terhadap penduduk asli. 36. Walaupun sudah terdapat undang-undang dan kebijakan mengenai penduduk asli, ketidakkonsistenan undang-undang serta ketidakpastian dengan kalimat semacam “selama ...� memunculkan ancaman bagi penduduk asli dalam mendapatkan hak mereka di negara mereka. Tantangan lainnya ialah sifat sektoral dari Undang-Undang, di mana tidak ada Undang-Undang yang secara spesifik dan komprehensif mengatur tentang hak-hak penduduk asli, sehingga mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak penduduk asli secara masif di negara ini. Lebih jauh, ketidakpaduan antara konsep dan nilai-nilai juga terlihat pada berbagai instrumen dan standar hak asasi manusia internasional menyangkut penduduk asli. Terakhir, ada beberapa terminologi yang

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

209


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

dipergunakan dalam undang-undang atau secara general yang “mengacu� penduduk asli dengan pandangan yang samar, diskriminatif dan berbau stereotip. Industri Perkebunan 37. Di sektor industri perkebunan sawit pemerintah telah membuat dan memberlakukan beberapa undang-undang yang relevan, yakni 1. Undang-Undang tentang Perkebunan, 2. Undang-Undang tentang Kehutanan, 3. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Kelestarian Lingkungan Hidup. Namun UU tersebut tidak memadai dalam hal pengakuan terhadap hak warga dan komunitas lokal, termasuk hak atas tanah, hak pemanfaatkan hutan, dan hak atas lingkungan. Undang-Undang tidak secara tegas memandatkan pemerintah untuk menentukan wilayah kelola warga dan memastikan bahwa wilayah tersebut tidak masuk dalam area perkebunan sawit yang diberikan pada korporasi. 38. Pengakuan terhadap hak-hak warga dan komunitas juga tidak disertai dengan sanksi tegas terhadap pelaku yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak warga dan komunitas. Pemerintah juga tidak menjalankan ketentuan yang dimandatkan dalam undang-undang demi mencegah terjadinya pelanggaran HAM, yakni 1. membuat perencanaan perkebunan-kehutanan-lingkungan hidup yang menjadi pedoman dalam pengendalian ekspansi industri perkebunan sawit; 2. membuat aturan tentang tata ruang yang melindungi hak dan wilayah kelola masyarakat; dan 3. menerapkan sepenuhnya aturan terkait perizinan. 39. Dalam kasus ini, Pemerintah tidak melindungi warga dari pelanggaran HAM yang dilakukan pihak ketiga (korporasi), tidak menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi dan/atau mengupayakan pemulihan bagi korban, meskipun sudah banyak laporan terkait pelanggaran terhadap hak warga dan komunitas yang dilakukan perusahaan sawit. Pemerintah juga gagal mengawasi perusahaan sawit yang sudah beroperasi. Pemerintah cenderung membiarkan warga dan komunitas menanggung sendiri seluruh dampak pelanggaran yang timbul akibat beroperasinya perkebunan sawit. 40. Undang-undang perkebunan lebih banyak melindungi kepentingan perusahaan sawit dan mengorbankan kepentingan warga dan komunitas. Tidak ada sanksi terhadap perusahaan yang melanggar hak warga dan komunitas. Sebaliknya, terhadap warga yang dituduh “mengganggu� usaha perkebunan bisa dikenai sanksi pidana dan denda yang cukup berat (dikriminalisasi). Akibatnya, warga yang memperjuangkan haknya bisa dengan mudah dikriminalkan. 41. Tidak memadainya hukum/aturan membuka peluang bagi korporasi untuk melakukan pelanggaran HAM, yang diperburuk oleh kondisi pemerintah yang tidak menjalankan sepenuhnya ketentuan undang-undang. Kondisi ini semakin membuka peluang pelanggaran HAM oleh korporasi. Hasil studi Institute for Ecosoc Rights tahun 2013 tentang Dampak Industri Perkebunan Sawit di Kalimantan Tengah terhadap Kondisi Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa: a. Industri perkebunan sawit yang mulai beroperasi di Kalteng tahun 1992 berkembang sangat cepat dan cenderung tanpa pengendalian, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Setiap tahun rata-rata 65.349 hektare hutan di Kalimantan Tengah berubah menjadi perkebunan sawit. Perluasan area tanam kelapa sawit dilakukan secara besar-besaran dengan mengonversi lahan hutan dan lahan pertanian, termasuk tanah ulayat, lahan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

210


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

garapan warga masyarakat adat, dan lahan usaha masyarakat transmigran. Pemberian izin yang tidak terkendali dan mayoritas perusahaan sawit beroperasi tanpa memenuhi ketentuan perizinan sah.101 Warga pada umumnya tidak mengetahui dan juga tidak dimintai persetujuan. b. Dampak langsung ekspansi perkebunan sawit di wilayah Kalimantan Tengah ialah hilangnya hutan, tanah ulayat/tanah adat, tanah rawa, ladang, sawah, dan kebun warga yang kemudian berganti menjadi perkebunan sawit berpola monokultur. Komunitas-komunitas masyarakat adat kehilangan hak atas tanah ulayat/tanah adat yang selama ini dikelola secara komunal. Banyak warga juga kehilangan “hak pemilikan� ladang dan kebun. Bahkan di desadesa tertentu, 75 persen warga kehilangan lahan garapan, dengan luas mencapai 40 sampai 74 persen dari total luas lahan sebelum dirampas perusahaan sawit. c.

Hak warga untuk memberikan pendapat dan persetujuan sama sekali tidak dihormati. Perusahaan mengambil alih penguasaan/pengelolaan tanah dengan berbagai pendekatan, mulai dengan cara-cara halus sampai kekerasan (suap, perusakan dan pembakaran lahan, membayar preman, menggunakan strategi adu domba, dan melarang warga masuk kebun). Untuk mempercepat proses perampasan lahan, perusahaan menggunakan strategi garap slonong, yang berarti membabat atau merusak dulu lahan-lahan warga dan tanah ulayat tanpa seizin dan sepengetahuan warga dan komunitas. Dengan cara ini perusahaan mendapat dua keuntungan sekaligus. Pertama, mempercepat pengambilalihan tanah. Setelah lahan mereka dibabat dan dirusak, warga akhirnya terpaksa merelakan lahan mereka diambil alih perusahaan. Kedua, mempercepat proses penyelesaian ganti rugi dan meminimalkan uang ganti rugi. Dengan mempertimbangkan lahan sudah terlanjur dirusak dan dibabat, warga akhirnya memilih menerima ganti rugi yang sangat rendah daripada tidak mendapatkan apa-apa. Apabila ada warga yang menuntut dan melakukan protes terhadap tindakan perusahaan, perusahaan cenderung melakukan tekanan untuk menghentikan protes warga dengan berbagai cara, seperti adu domba antarwarga, menggunakan preman bayaran, menggunakan aparat keamanan, dan lainnya. Tekanan membuat warga ketakutan dan akhirnya memilih menyerah dan merelakan lahan mereka diambilalih perusahaan daripada mereka terus menerus menghadapi orang-orang suruhan perusahaan.

d. Masyarakat yang terkena dampak dari kehadiran industri perkebunan sawit sama sekali tidak mendapatkan informasi terkait kehadiran dan dampak dari perkebunan sawit. Masyarakat tidak mendapatkan informasi bahwa di wilayah mereka akan beroperasi perkebunan sawit dan bahwa kebun, ladang, dan tanah ulayat mereka termasuk dalam wilayah konsesi perusahaan sawit. Yang lebih parah lagi, masyarakat sama sekali tidak tahu izin yang dipegang perusahaan sawit itu mencakup luasan berapa hektare, di mana lokasinya, dan di mana batas-batasnya. Jadi apabila perusahaan melanggar batas wilayah yang diizinkan, masyarakat tidak mengetahuinya. Apalagi

101

Di Kalimantan Tengah ada lebih dari 400 perusahaan sawit yang beroperasi Dari jumlah tersebut hanya 85 perusahaan yang memenuhi ketentuan perizinan. Mayoritas perusahaan sawit sudah beroperasi meskipun belum memenuhi persyaratan perizinan.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

211


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

perusahaan benar-benar beroperasi tanpa pengawasan dari pihak pemerintah. Kebanyakan warga baru tahu bahwa di wilayah mereka sudah beroperasi perusahaan sawit setelah hutan, tanah ulayat, dan lahan-lahan mereka habis dibabat. Warga yang diidentifikasi aparat desa sebagai bagian dari kelompok yang menolak kehadiran perkebunan desa, tidak diundang dalam pertemuan dan juga mendapat hambatan dalam mendapatkan pelayanan administratif karena dianggap sebagai penghambat pembangunan. Hak untuk berpartisipasi dibatasi. e.

Secara ekonomi, perusahaan sawit telah menggusur sumber-sumber penghidupan warga dan masyarakat. Masyarakat yang semula hidup dengan bergantung sepenuhnya pada hasil hutan, sungai, rawa, kebun, dan ladang kini lebih banyak bergantung pada pasar dalam memenuhi hidupnya. Kondisi ekonomi warga merosot karena penghasilan menurun, sementara pengeluaran meningkat akibat semakin banyaknya kebutuhan yang harus dibeli dari pasar.

f.

Industri perkebunan sawit yang padat modal dan juga padat tenaga kerja telah membuka peluang kerja bagi masyarakat Kalimantan Tengah dan masyarakat di luar Kalimantan Tengah. Namun korporasi perkebunan sawit menjalankan bisnisnya dengan tidak menghormati hak warga atas pekerjaan dan juga hak-hak buruh yang dipekerjakan. Perusahaan cenderung meminimumkan tanggung jawab terhadap hak buruh dengan menerapkan sistem hubungan kerja longgar dalam bentuk praktik buruh harian lepas dan sistem pengupahan yang berbasis kerja paksa: upah rendah, jam kerja panjang/sistem target, beban kerja dan risiko kerja tinggi tanpa jaminan sosial, dan pengawasan ketat.

g. Selain mengambil lahan warga dan komunitas, industri perkebunan sawit juga telah merusak dan memperburuk kualitas lingkungan, termasuk air, udara, dan tanah atau permukiman warga. Ekspansi industri sawit juga telah menghilangkan sumber-sumber pangan warga yang memungkinkan warga mengkonsumsi pangan beragam dan memenuhi kualitas makanan bergizi. Ekspansi industri sawit juga telah menghilangkan beragam bahan obat-obatan tradisional bagi penyembuhan dan perawatan kesehatan. h. Industri perkebunan sawit yang merampas lahan-lahan warga dan tanah ulayat telah mengamcam ketahanan pangan masyarakat dan sekaligus merampas hak warga atas penghidupan yang layak. Kehadiran perusahaan sawit membuat masyarakat adat dan transmigran mengalami proses pemiskinan, baik pemiskinan material maupun kultural. Masyarakat kehilangan beragam sumber pendapatan dan banyak warga yang kini hidup bergantung pada upah sebagai buruh perkebunan sawit. Warga yang dulu hidup relatif berkecukupan kini berada dalam tekanan ekonomi akibat berkurangnya pendapatan dan meningkatnya biaya hidup. Pemiskinan kultural terjadi ketika warga yang dulu bekerja secara bebas di ladang dan kebun sendiri kini berubah status menjadi kuli perkebunan sawit atau “jipen� (dalam bahasa setempat). i.

Ekspansi industri perkebunan sawit telah melanggar kebebasan warga untuk berekspresi dan menyatakan pendapat, menghilangkan rasa aman warga akibat hadirnya para preman yang dibayar perusahaan. Kehadiran perusahaan sawit meningkatkan ketegangan/konflik dalam keluarga, antarwarga, dan antara warga yang kontra sawit dengan pemerintah/aparat

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

212


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

keamanan. Masyarakat terbelah dalam tiga kelompok, yakni kelompok pro sawit, kelompok kontra sawit, dan kelompok tak peduli. Kehadiran perusahaan sawit juga membuat warga mengalami diskriminasi, baik dalam hal kepemilikan dan pengelolaan tanah maupun dalam hal perlakuan di depan hukum. Hak warga atas tanah tidak diakui karena tak ada bukti kepemilikan, sementara perusahaan diberi izin menguasai ribuan dan bahkan jutaan hektare. Bahkan lahan bersertifikat milik para transmigran pun juga diambil alih. Perusahaan yang merampas tanah-tanah warga dibiarkan, sementara warga yang memperjuangkan haknya atas tanah yang dirampas perusahaan dikriminalkan. Hak warga untuk berpartisipasi dalam mendapatkan informasi dan dalam pengambilan keputusan terkait kehadiran perusahaan sawit yang berdampak serius terhadap kehidupan masyarakat sama sekali tidak dihormati. Rekomendasi 1)

Pemerintah Indonesia harus menjamin pengakuan tanah milik masyarakat adat melalui penerapan RUU tentang Hak-hak Masyarakat Adat saat ini sedang dipertimbangkan oleh parlemen. RUU harus mematuhi hukum hak asasi manusia internasional, termasuk Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.

2) Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah legislatif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah adat mereka dan sepenuhnya melibatkan IP pada pengembangan dan ekstraktif proyek, yang mempengaruhi tanah adat mereka melalui penerapan prinsip hak kebebasan, hak pemberitahuan, dan hak persetujuan. 3) Pemerintah Indonesia harus memerangi diskriminasi terhadap masyarakat adat, terutama dengan memodifikasi undang-undang dan praktik yang mendiskriminasi dan melanggar hak-hak masyarakat adat, seperti UU Investasi No 25/2007 dan Peraturan Presiden 65/2006 tentang Pengadaan Tanah yang ada. 4) Pemerintah Indonesia harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak Masyarakat Adat dan menjamin hak penduduk asli Papua untuk sumber daya yang menjadi sumber mata pencaharian mereka, termasuk hutan dan lahan.

Isu 4: Harap menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip pemberian persetujuan secara bebas, berdasarkan informasi yang lengkap dan dalam waktu yang cukup telah dijamin dalam undang-undang dan telah dipraktikkan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan dan proyek-proyek penambangan yang memengaruhi masyarakat 42. UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi dasar pelaksanaan industri ekstraktif di Indonesia.Walaupun dalam UU disebutkan bahwa penetapan wilayah pertambangan harus bersifat transparan, partisipatif dan bertanggungjawab, namun dalam Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan sebagai turunan dari UU Minerba sama sekali tidak mengatur pelibatan masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

213


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Akibatnya, masyarakat tidak diberi pilihan lain kecuali menerima penetapan wilayah tambang oleh Pemerintah. 43. Dalam praktiknya, proses sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau perusahaan tambang dilakukan setelah penetapan wilayah izin usaha pertambangan telah diputuskan. Sosialisasi yang dilakukan hanya sekadar memberikan informasi adanya kegiatan pertambangan di suatu wilayah, tanpa meminta pendapat ataupun partisipasi dari masyarakat dan/atau masyarakat terdampak. 44. Masyarakat yang menolak kehadiran industri pertambangan seringkali dikriminalisasi (menggunakan UU Minerba Pasal 162-163). Tidak diakuinya hak tolak dan hak veto masyarakat inilah yang seringkali memicu konflik dan kekerasan di sektor pertambangan. Masyarakat Adat dan industri ekstraktif 45. Industri ekstraktif merupakan satu persoalan yang menjadi isu utama yang dihadapi penduduk asli di Indonesia. Aktifitas pertambangan yang dilakukan di wilayah penduduk asli telah mengganggu lahan, wilayah, dan sumber daya alam penduduk asli. Secara umum, melalui perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah Indonesia, jutaan hektare tanah penduduk asli telah diambil alih oleh Pemerintah dan dinyatakan sebagai hutan negara. Perusahaan-perusahaan yang dinyatakan layak menjalankan aktifitasnya kemudian melaksanakan proyeknya di wilayah adat tanpa menghormati hak-hak penduduk asli terutama hak terhadap terhadap kebebasan, hak pemberitahuan terdahulu, dan kesediaan penduduk asli di wilayah tersebut. 46. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, perusahaan-perusahaan pertambangan telah beroperasi di Kabupatan Manggarai, Ngada, Sumbawa dan Lembata. Kebanyakan dari perusahaan tersebut bergerak di bidang ekstraksi bijih mangan. Di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Pemerintah lokal telah menerbitkan 22 izin pertambangan yang mencakup 26.000 hektare dari 59.000 hektare wilayah keseluruhan kecamatan. 102 Ada kecurigaan bahwa konsesi pertambangan juga mencakup hutan lindung yang seharusnya berstatus hutan adat. Ada kecurigaan mengenai ketidakjelasan mekanisme penerbitan izin pertambangan atau dalam hal keuntungan finansial bagi kecamatan bersangkutan. Masalah sama yang menyangkut konsesi pertambangan juga ditemukan di beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Manggarai Timur. Ini menjadi contoh lainnya dari bagaimana hak kebebasan, hak pemberitahuan, dan hak kesediaan seringkali tidak dipahami oleh pihak otoritas atau sama sekali tidak dipedulikan. Masyarakat yang terkena imbasnya tidak diikutsertakan dalam proses pembuatan keputusan. Dalam beberapa kasus, pihak yang menentang pertambangan dapat dikriminalisasi, seperti yang terjadi pada kasus masyarakat adat Serise di Kabupaten Manggarai Timur. Perusahaan pertambangan PT. Arumbai Manganbekti diduga terlibat dalam aktifitas perampasan lahan adat (dalam bahasa lokal disebut lingko) dan dalam masalah polusi di lahan pertanian. Masyarakat Serise menuduh perusahaan ini telah merampas lingko tanpa izin dari masyarakat. Pada Desember 2010, masyarakat dengan dipimpin Kepala Serise Siprianus Amon, mengajukan gugatan terhadap perusahaan ini ke kepolisian Manggarai dengan delik perampasan lahan. Kepolisian tidak melakukan investigasi. Kepolisian justru

102

Monster Tambang, Gerus Ruang Hidup Warga Nusa Tenggara Timur by Ferdi Hasiman (2014), p.

89.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

214


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

menangkap Amon dan tiga pimpinan Serise lainnya, mengadili mereka, dan memenjarakan mereka selama lima bulan. 47. Tidak ada pengaturan mengenai penduduk asli dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (4/2009), sementara di Indonesia terdapat banyak sekali aktifitas pertambangan batubara dan mineral yang berlokasi di sekitar wilayah penduduk asli yang memiliki pengaruh negatif terhadap berbagai aspek kehidupan mereka. Wilayah Pesisir 48. Pada Mahkamah Konstitusi pada Juni 2011 telah membatalkan segala kebijakan mengenai konsesi pesisir dan menghendaki adanya partisipasi masyarakat pesisir dalam penyusunan rencana pengelolaan sumber daya pesisir.103 Hanya saja, dalam praktiknya, pemerintah seringkali tidak melibatkan masyarakat dalam konsesi pesisir, walaupun keputusan ini telah dibuat. Rekomendasi 1)

Pemerintah Indonesia harus menerapkan prinsip free, prior and informed consent dengan cara yang bermanfaat untuk proyek-proyek pengembangan dan pertambangan, seperti proyek MIFEE Provinsi Papua dan proyek Teluk Bintuni di Provinsi Papua Barat untuk mematuhi Deklarasi PBB tentang hak Masyarakat Adat dan UN General Principle on Business and Human Rights.

2) Sangat penting bagi Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan pemberlakuan segera Rancangan UU Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.

Isu 5: Harap memberikan informasi tentang kerangka peraturan yang ada dan prosedur yang memastikan bahwa pembangunan dan proyek-proyek penambangan membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Harap memberikan juga informasi tentang proses di mana Negara Pihak menanggapi laporan pelanggaran hak asasi manusia, hilangnya mata pencaharian dan degradasi lingkungan yang disebabkan oleh proyek-proyek pembangunan dan penambangan. Tolong berikan contoh kongkrit mengenai kasus-kasus di mana Negara Pihak telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa masyarakat yang terimbas menerima kompensasi ganti rugi. 49. Meningkatnya proyek pembangunan dan penambangan di Indonesia sampai saat ini tidak memberikan manfaat positif bagi penduduk Indonesia. Hal ini ditandai dengan kondisi masyarakat di sekitar wilayah-wilayah pertambangan di Indonesia yang justru masih berada pada situasi yang memperihatinkan secara ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia sama sekali belum mengintegrasikan UN General Principle on Bussiness and Human Rights pada kebijakan pembangunan dan bisnis, termasuk di sektor ekstraktif. From 2009 to 2012, the Government of Indonesia issued 10,677 mineral and coal mining permits (the average of 2,669 permits per year).

103

Alternative Report to the Indonesia State Report, October 2013, para. 10-11.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

215


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

50. Eksploitasi sumber daya alam di daerah tambang dan migas justru tidak menyejahterakan masyarakat yang ada di sekitarnya. Studi IRE Yogyakarta (2011) di Bojonegoro-Jawa Timur di wilayah Exxon Mobile beroperasi, misalnya, menemukan lebih dari 50 persen penduduk berada dalam kemiskinan dan lebih dari 80 persen penduduk di wilayah kerja industri minyak masih hidup di bawah garis kemiskinan. Contoh lainnya, Kabupaten Sumbawa Barat-Nusa Tenggara Barat, di sekitar PT. Newmont beroperasi, orang miskin di wilayah sekitar tambang masih cukup tinggi, sekitar 53 persen.104 51. Di sisi yang lain, program corporate social responsibility (CSR) yang telah diwajibkan melalui regulasi UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas belum berjalan dengan optimal. Padahal, dalam bab V pasal 74 dengan jelas telah menyatakan perusahaan yang bergerak atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib menjalankan agenda-agenda yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sayangnya, banyak program CSR terjebak dalam pencitraan perusahaan, bersifat charity dan tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, program CSR, terutama di wilayah tambang, tidak optimal berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan di sekitar daerah tambang. Lebih dari itu, perusahaan tidak mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip UNGP on Business and Human Rights dalam kebijakan internalnya dan memberikan manfaat langsung kepada penduduk sekitar aktivitas bisnis. 52. Kehadiran industri pertambangan di suatu wilayah terbukti semakin memperburuk kualitas hidup masyarakat sekitarnya. Di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, misalnya, 71,2% wilayahnya merupakan konsesi tambang batubara. Bencana banjir yang rutin terjadi dari tahun ketahun semakin meluas. Dari 2013 hingga 2014 saja titik banjir di Samarinda meningkat dari 29 titik menjadi 35 titik. Belum lagi kondisi kesehatan masyarakat yang semakin parah, 40% masyarakat Samarinda terjangkit ISPA akibat sering terpapar debu pertambangan batubara. Dalam rentang waktu 2011-2012, enam warga tenggelam di areal bekas tambang yang dibiarkan terbuka dan tidak direklamasi. Perampasan ruang hidup masyarakat inilah yang menjadi akar persoalan kemiskinan bagi masyarakat di wilayah pertambangan. 53. Upaya pemerintah dalam merespon pencemaran dan konflik yang melibatkan masyarakat pun tidak berjalan dengan maksimal. Dalam kasus pencemaran Teluk Buyat akibat buangan tailing PT. Newmont Minahasa Raya, sebagian besar masyarakat Desa Buyat terpaksa pindah ke Desa Duminanga karena kondisi Teluk Buyat yang tidak layak lagi untuk ditinggali. Pengadilan sendiri telah memutuskan bahwa PT. NMR tidak bersalah atas pencemararn yang terjadi di Teluk Buyat. 54. Industri pertambangan sangat lekat dengan kekerasan dan pelanggaran HAM. Pada 18 Januari 2014, misalnya, terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian dalam merespon tindakan penolakan pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat di dua lokasi yang berbeda. Di Desa Pohgading, Kabupaten Lombok Timur, tiga orang warga tertembak dan tujuh lainnya ditahan saat melakukan aksi penolakan tambang pasir besi PT. Anugerah Mitra Perkasa. Bentrokan tersebut merupakan bentrokan kelima dalam dua bulan terakhir. Di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, warga diintimidasi dengan todongan senjata api oleh aparat kepolisian yang

104

Bambang Hudayana dan M. Zainal Anwar (Ed.), Penanggulangan Kemiskinan di Daerah Migas Melalui Penguatan LSM Lokal dan Pendekatan Kemitraan, diterbitkan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) dan United Nations Democracy Fund (UNDEF), Yogyakarta, Juni 2011.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

216


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

mengawal kapal pengangkut alat berat milik PT. Mikro Metal Perdana, perusahaan tambang pasir besi. Rekomendasi 1)

Program Pemerintah maupun kegiatan CSR idealnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan, berimbang dan memiliki aspek penguatan kewargaan terutama yang terkait dengan aktivitas pemberdayaan warga.

2) Pemerintah memfasilitasi adanya kemitraan dengan pihak perusahaan dan sektor masyarakat sipil untuk memastikan program CSR bisa menjawab masalah dan kebutuhan yang ada di masyarakat terutama untuk mengatasi kemiskinan. 3) Pemerintah mensosialisasikan dan membuat kebijakan untuk menindaklanjuti UNGP on Business and Human Rights, termasuk pula membuat mekanisme pemantauan, penilaian dan evaluasi secara berkala. 4) Pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertambangan dan Perkebunan, termasuk pula pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, harus membuat penilaian dampak lingkungan dan HAM pada proyek-proyek ekstraktif dan pembangunan yang memberikan dampak kepada masyarakat, terkhusus masyarakat adat. 5) Pemerintah Indonesia harus mereview surat izin yang telah dikeluarkan untuk sektor swasta yang ternyata melakukan pelanggaran HAM, terutama hak atas informasi, hak atas penghidupan yang layak, hak atas kesehatan lingkungan, pangan dan kebudayaan masyarakat adat, terkhusus di provinsi Papua dan Papua Barat.

Isu 6: Tolong jelaskan bagaimana proses perencanaan dan penganggaran Negara Pihak dalam memperhitungkan kerugian yang dialami oleh beberapa provinsi dan kelompok dalam menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka. 55. Sistem penganggaran di Indonesia seringkali tidak melibatkan partisipasi masyarakat, terlebih warga yang kurang beruntung. Di beberapa wilayah, warga hanya dilibatkan dalam proses musyawarah pembangunan (musrembang) di tingkat desa, tidak di tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Hal ini menyebabkan sistem anggaran tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat, khususnya rakyat yang kurang beruntung. Hasil analisis FITRA pada APBD 2011, terdapat 124 daerah (kabupaten) yang 60 persen lebih anggarannya (APBD) dialokasikan untuk belanja pegawai. Pada tahun 2012 terdapat 302 daerah (kabupaten) yang lebih dari 60 persen anggarannya untuk belanja pegawai. Bahkan ada 16 kabupaten yang lebih dari 70 persen anggarannya untuk belanja pegawai. 56. Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas layanan publik, khususnya bagi warga yang kurang beruntung. Di bidang kesehatan, misalnya, warga miskin kian sulit mengakses layanan kesehatan. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, setidaknya ada delapan bayi miskin yang meninggal setelah ditolak rumah sakit dan ratusan pasien miskin yang ditolak rumah sakit. Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2010 menemukan, dari 986 pasien miskin pemegang kartu layanan kesehatan (Jamkesmas, Jamkesda, Gakin, dan SKTM) di 19 rumah sakit di Jabodetabok,

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

217


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

70 persen mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan. Bahkan, pada tahun 2014 ini sebuah rumah sakit membuang pasien tua renta dan miskin setelah sempat dirawat.105 Di daerah kondisinya lebih mengenaskan. Tempat pelayanannya ada, tapi tenaga medis dan obatnya tidak ada. Di Papua, misalnya, dalam kurun waktu 6 April sampai 8 Juli tahun 2008 terdapat 147 orang yang meninggal akibat muntaber di kabupaten Nabire, Papua. Pemerintah pusat dan daerah tidak melakukan tindakan memadai dalam menolong para korban. 57. Sebagaimana ditegaskan di dalam UUD 1945, Pasal 27 dan 34, bahwa setiap orang berhak atas kehidupan yang layak dan dijamin oleh Negara. Dengan demikian Negara memiliki kewajiban untuk menjamin warga negaranya memiliki kelayakan tersebut. Dalam hal pemenuhan hak sosial, Kementerian Kesejahteraan Sosial telah menyusun sejumlah program yang menyasar permasalahan yang ada atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Ada 22 kelompok yang diidentifikasi dalam program PMKS tersebut, yaitu 1. neglected toddlers, 2. neglected kids, 3. anak nakal, 4. anak jalanan, 5. wanita rawan sosial ekonomi, 6. korban tindak kekerasan, 7. lanjut usia terlantar, 8. person with disability, 9. homeless, 10. pengemis, 11. gelandangan, 12. bekas warga binaan lembaga kemasyarakatan, 13. korban penyalahgunaan NAPZA, 14. keluarga fakir miskin, 15. keluarga berumah tidak layak huni, 16. keluarga bermasalah social psikologis, 17. komunitas adat terpencil, 18. korban bencana alam, 19. korban bencana social, 20. pekerja migrant bermasalah, 21. orang dengan HIV/AIDS, 22. keluarga rentan. 58. Berdasarkan klasifikasi ini, setiap kelompok juga akan ditangani oleh berbagai kementrian atau badan Pemerintah dan bergantung pada wilayah terkait. Ada berbagai program yang direncanakan oleh badan-badan Pemerintah dalam menangani PMKS. Untuk menjalankan programnya, setiap badan Pemerintah harus memiliki perencanaan anggaran bagi setiap tindakan yang diambil. Dan ini akan berbeda pada provinsi yang berbeda di Indonesia. Namun, sayangnya, ada akses yang sulit dalam hal transparansi anggaran bagi tindakan-tindakan ini. 59. Sebagai contoh, untuk meminimalisasi jumlah perempuan dengan keterbatasan ekonomi, melalui surat Gubernur Jawa Timur Soekarwo No. 20/15612/031/2011 tertanggal 20 Desember 2011, diinstruksikan bahwa semua kabupaten dan kota di Jawa Timur harus segera menutup semua lokalisasi pekerja seks. Tanpa adanya partisipasi konsultasi dengan para penyumbang dana, termasuk masyarakat dan pekerja dalam mendiskusikan rencana masa depan, beberapa pemerintah kota mulai melakukan razia segera setelah kebijakan provinsi dikeluarkan. Setelah razia dilakukan, para pekerja seks tersebar ke titik lain di kota bersangkutan. Berdasarkan pernyataan Sekretaris Komisi Pencegahan Penyebaran HIV/AIDS wilayah Jawa Barat Otto Bambang Wahyudi, di Kota Blitar, terdapat sedikitnya 25 titik pertemuan antara pekerja seks dan pelanggan mereka dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya berjumlah lima titik (dalam lokalisasi). Ini berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah pekerja seks hingga 40% dan juga jumlah pengidap HIV/AIDS. Sementara perencanaan anggaran dari Pemerintah provinsi tidak pernah diketahui masyarakat. 60. Sejak penerapan kebijakan desentralisasi, pencegahan anak jalanan juga dilakukan secara langsung oleh Pemerintah kota/lokal. Beberapa provinsi tidak

105

“Hospital probed in abandoned patient death�, The Jakarta Post, Tue, February 04 2014, http://www.thejakartapost.com/news/2014/02/04/hospital-probed-abandoned-patient-death.html

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

218


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

memiliki program sistematik mengenai pencegahan atau pemberdayaan anak-anak jalanan. Walaupun program berskala nasional telah diluncurkan oleh Kementerian Kesejahteraan Sosial pada 2011, beberapa provinsi masih menghadapi masalah terutama dalam jumlah anak jalanan yang memiliki catatan kejahatan dan anak-anak jalanan yang tidak memiliki sertifikat kelahiran yang akan mendapatkan jaminan oleh Pemerintah. Pada bulan Juni 2013, terdapat 50 juta dari keseluruhan 85 juta anak yang tidak memiliki sertifikat kelahiran. Bagi masalah anak-anak, tidak ada keikutsertaan anak-anak untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan yang nantinya akan mempengaruhi hidup mereka. 61. Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan hak-hak budaya adalah pengusiran paksa dari tanah adat yang dimiliki penduduk asli atau masyarakat adat. Ada banyak perencanaan dan proyek dengan mengatasnamakan pembangunan yang dilakukan Pemerintah yang melakukan pengusiran paksa terhadap masyarakat adat agar meninggalkan tanah mereka. Kebijakan desentralisasi yang disebutkan terdahulu pada paragraf 40 juga memberikan kuasa pada Pemerintah lokal untuk memberikan izin eksplorasi terhadap sumber daya alam. Transfer kekuasan dari Pemerintah pusat ke Pemerintah daerah seperti ini menjadi menimbulkan banyak masalah. Pemerintah daerah yang diharapkan menjaga sumber daya alam dari eksplrasi yang berlebihan dan melindungi warganya dari kehilangan hak milik justru bergegas menerbitkan kebijakan pengosongan lahan. Konflik di Bima, Nusa Tenggara Barat, pada Desember 2012 merupakan satu contohnya. Bupati Ferry Zulkarnaen telah mengalihkan tanah rakyatnya pada PT. Sumber Mineral Nusantara yang memunculkan kebencian dan kekecewaan masyarakat di kabupaten tersebut. Bupati masih menolak mencabut izin eksplorasi sampai kemudian ada yang meninggal dalam bentrok dengan pihak keamanan. Pemerintah yang diharapkan dapat bertemu dengan rakyatnya dalam meja diskusi, justru menggunakan kekuatan represifnya dalam menangani rakyatnya. 62. Indonesia memiliki banyak konflik sosial, terutama yang disebabkan agama. Nyatanya, ada dua komunitas yang telah terusir sejak bertahun-tahun yang lalu karena konflik ini. Mereka adalah kelompok Ahmadiyah di Lombok dan Syiah di Sampang. Mereka saat ini berada di luar wilayah mereka demi menghindari kekerasan dari kelompok-kelompok intoleran yang akan terjadi pada mereka jika mereka berusaha kembali ke rumah-rumah mereka. Sayangnya, Pemerintah tidak melanjutkan menyediakan kebutuhan dasar mereka sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang. Kelompok lemah ini dapat dimasukkan kategori sebagai “korban kekerasan� atau “bencana sosial�. Namun tidak ada tindakan yang diambil pihak kementerian untuk mengembalikan hak-hak dasar mereka. Sementara Pemerintah lokal yang memiliki kekuasaan untuk memberikan solusi keamanan di wilayah mereka tidak memiliki niat baik untuk memberikan solusi bagi kelompok-kelompok ini.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

219


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

B. Pasal 2 paragraf 2 - Non-diskriminasi

Isu 7: Harap menunjukkan sejauh mana perundang-undangan Negara Pihak dapat secara efektif memungkinkan penerapan ketentuan non-diskriminasi yang terkandung dalam UUD dan Kovenan ini; termasuk melalui pelarangan diskriminasi dalam pelaksanaan semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya atas dasar apa pun, serta pemberian sanksi, pemulihan dan penerapan prosedur khusus. 63. Tidak ada upaya serius dan komprehensif yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia melalui peraturan perundang-undangan untuk menjamin non-diskriminasi yang terkandung dalam UUD dan Kovenan ini secara efektif. Sebaliknya, sejumlah peraturan perundangan-undangan justru mengarah pada pelanggaran hak dan mendiskriminasikan hak ekonomi, sosial dan budaya kelompok rentan, seperti perempuan,106 masyarakat adat, LGBT, kelompok agama/keyakinan minoritas, dan difabel. Hal ini tergambar dari peraturan-peraturan daerah di Aceh, proyek MP3EI, penyingkiran kelompok nelayan (perempuan), dan diskriminasi masyarakat adat (di Papua) ataupun praktik di lapangan terhadap kelompok minoritas agama/keyakinan. 64. Pada awal 2012 Indonesia baru saja mengeluarkan UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan, sebagai salah satu perantara penting untuk memuluskan proses pengaturan lahan bagi proyek pembangunan. UndangUndang ini sejalan dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang diluncurkan pada awal tahun oleh Presiden. Sementara kebijakan sebelumnya, yaitu Ketetapan Presiden No. 36 tahun 2005 dan Ketetapan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan bagi Kepentingan Publik, mengalami penolakan dari masyarakat karena dianggap sebagai alat untuk merampas tanah rakyat dan tidak memberi perlindungan bagi pihak-pihak yang dirugikan, termasuk perempuan. 65. Indonesia telah memiliki UU Anti Diskriminasi Ras dan Etnik (No. 40/2008). Sayangnya, UU ini hanya fokus pada diskriminasi ras dan etnik saja, sehingga kelompok-kelompok lain belum diakui secara hukum, seperti LGBT, minoritas agama/kepercayaan, dan politik. Diskriminasi berdasarkan pada aspek agama dan kepercayaan 66. Dalam banyak kasus, justru negara yang mendiskriminasikan kelompok minoritas. UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, misalnya, masih tidak mengakui kelompok penghayat kepercayaan (traditional beliefer) di Indonesia sebagai agama, sehingga mereka tidak dapat memiliki KTP, akta kelahiran, kartu perkawinan dan kartu keluarga. Akibatnya, mereka juga tidak dapat mengakses pelayanan publik dari Pemerintah.107 67. Ahmadiyah: Pengusiran dan penyiksaan terhadap warga aliran Ahmadiyah dimulai pada tahun 1999 dengan pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan, sebuah

106

See, Solidaritas Perempuan and HRWG, “Land Grabbing, Women and The Role of IFI in Indonesia�. Alternative Report to the ICESCR 2013. 107

Trisno S. Susanto, dkk., Menuntut Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: HRWG, HPK dan BKOK, 2011).

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

220


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Kabupaten di Lombok Barat. Satu orang meninggal dunia, dan satu orang lagi lukaluka. Semua pemukim Ahmadiyah terusir dari Bayan. Pada 2001, bentuk lain penyiksaan terjadi di Pancor, Kabupaten Lombok Timur. Selama satu minggu, rumahrumah pengikut Ahmadiyah mendapatkan penyerangan dan dibakar di Pancor. Ironisya, Pemerintah Lombok Timur memberikan dua opsi: mereka dapat tetap tinggal di Pancor jika mereka melepaskan keyakinan mereka, atau mempertahankan keyakinan dan meninggalkan Pancor. Kesemua pemukim Ahmadiyyah memilih meninggalkan Pancor. Pada awalnya mereka ditampung di Transito; sebuah bangunan asrama milik Pemerintah di Mataram. Sekitar 300 orang kemudian menempati rumahrumah kontrakan, sementara sebagiannya menempati rumah-rumah BTN bersubsidi milik Pemerintah di Ketapang.108 68. Setelah keluarnya fatwa MUI pada tahun 2005, penyerangan terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) meningkat. Anggota JAI, yang telah tinggal di perumahan BTN di Ketapang, Lombok Timur, pada 4 Februari 2006, dipaksa kembali ke asrama Transito. Sekitar 136 keluarga dari 157 warga Jamaah Ahmadiyah pindah ke bangunan ini akibat diusir dari rumah-rumah mereka di Perempatan Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. Setelah 4 tahun, berdasarkan kesaksian Ahmadi, seorang pengungsi, 12 bayi lahir dalam kondisi berpindah-pindah seperti ini, dengan bantuan kain-kain perca, spanduk tua dan kain sarung yang diatur menjadi ruangan berukuran 3 x 3 meter. Di bagian dalam bangunan, hanya tersedia 6 kamar mandi dengan air yang tidak mencukupi. Untuk keperluan memasak, anggota jamaah membangun sendiri dapur dengan dinding karung semen dan batangan kayu serta bambu yang berhasil mereka temukan di belakang bangunan. Selama berada di gedung Transito, pengungsi Ahmadiyah tetap menerima tagihan listrik dan air, yang sudah selama 6 bulan ini belum dapat mereka penuhi pembayarannya.109 69. Beberapa anggota jamaah mencari perlindungan dari Pemerintah Australia, walaupun tidak mendapatkan hasil. 6 perwakilan Ahmadiyah Mataram-Lombok mengunjungi Konsulat Jenderal Australia di Denpasar, pada hari Kamis 15 Mei 2008. Mereka mewakili 195 jamaah Ahmadiyah Mataram-Lombok yang terdiri dari 138 orang jamaah yang tinggal di pengungsian Transito Mataram dan sisanya 57 orang hidup sebagai pengungsi di Rumah Sakit Praya Lombok Tengah.110 70. Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) merupakan salah satu agama minoritas yang mengalami pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya. JAI Lombok dikategorikan sebagai orang-orang terusir dan korban kekerasan. Mereka dipaksa pindah sejak Februari 2006 hingga sekarang. Mereka tinggal di kamp tanpa dukungan dari Pemerintah terhadap pemenuhan hak dasar mereka. Saat mereka mencoba kembali ke rumah-rumah mereka, massa kembali berdatangan dan merubuhkan rumah yang telah mereka bangun ulang semenjak serangan pertama. Ini terjadi pada tahun 2010, saat mereka telah melakukan banyak hal untuk mendapatkan kembali hak

108

Andreas Harsono, “Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia”, Rabu, 01 September 2010, diambil dari Fahmina Institute, http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/artikel/879ahmadiyahrechtstaat-dan-hak-asasi-manusia.html 109

“Ahmadiyah IDPs, 4 Years Pine for Coming Home”, Gomong.com, Mataram, 3 July 2010. Diambil dari http://www.gomong.com/2010/07/13/2415/pengungsi-ahmadiyah-empat-tahunmerindukan-pulang/ 110

“Jamaah Ahmadiyah Mencari Suaka”, Inilah.com, Kamis, http://www.inilah.com/read/detail/28405/jemaah-ahmadiyah-mencari-suaka

15

Mei

2008,

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

221


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

mereka terhadap kehidupan yang layak terutama di negara mereka sendiri. Yang menahan mereka tetap tinggal di pengngsian adalah Bupati Lombok sendiri. Ia tidak pernah memperlihatkan usahanya untuk mengembalikan para pengungsi ke rumahrumah mereka dan merasa aman menjalani kehidupannya. Terakhir, tanah tempat mereka tinggal telah dijual dengan harga di bawah harga terendah tanah di desa tersebut. Mereka juga tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, serta pendidikan dan dasar kesehatan dasar karena stigma yang akan mereka terima jika memberitahukan di mana mereka tinggal “untuk sementara ini�. 71. Syiah. Setelah penyerangan kedua pada bulan Agustus 2012, penganut Syiah diusir paksa dari tempat tinggal mereka di Sampang Madura dan ditempatkan di pengungsian yang berlokasi di Gelanggang Olahraga Sampang di mana mereka tinggal hingga saat ini. Satu orang tewas, enam orang menderita luka serius setelah rumah mereka dibakar. Pemimpin mereka, Tajul Muluk, menghadapi ancaman penjara hanya dikarenakan keyakinannya. Kebutuhan dasar pengungsi Syiah tidak diperhatikan oleh Pemerintah. Demikian juga bentuk bantuan seperti makanan, air bersih, dan sumbangan alat kebersihan hanya datang dua kali pada Noveember 2012 dan Mei 2013. Berikutnya, para pengungsi Syiah ini dipaksa pindah dari Gelanggang Olahraga Sampang ke apartemen di Sidoarjo, yang berjarak tiga kali lebih jauh dari rumah mereka di desa, Sampang. Ada beberapa pernyataan dari Kementerian Agama yang perlu dijelaskan terhadap kelompok Islam Sunni yang mayoritas sebagai persyaratan kembalinya para pengungsi ke rumah mereka. 72. Masalah utama bagi kaum minoritas di Indonesia ialah kesulitan mereka dalam mendapatkan identifikasi legal (Kartu Tanda Penduduk/KTP). Pada KTP, terdapat kolom yang berisi keyakinan religius yang dianut seseorang. Namun hanya ada enam agama yang mendapatkan pengakuan dari Pemerintah sesuai dengan UU No. 1/1965/PPS. Ini memunculkan masalah bagi penganut Ahmadiyah dan Syiah karena keyakinan mereka tidak diakui oleh Pemerintah sebagai agama Islam. Karena itu, kaum minoritas keagamaan menghadapi pilihan pelik berupa pindah ke agama lain atau tetap tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk sama sekali. Meninggalkan kolom agama tak terisi juga dapat menimbulkan masalah. Tidak memiliki KTP berpengaruh pada akses mereka terhadap pelayanan-pelayanan Pemerintah dan kebutuhan daar lainnya seperti urusan pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. 73. Setelah penyerangan yang kedua pada Agustus 2012, penganut Syiah dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka di Sampang, Madura, ke Gelanggang Olahraga Sampang, hingga saat ini. Satu orang tewas dan enam orang terluka parah karena penyerangan terjadi dan rumah-rumah mereka dibakar. Mereka juga menghadapi kriminalisasi terhadap pimpinan mereka, Tajul Muluk. Ancaman yang diajukan ialah penjara selama empat tahun sejak 13 April 2012, karena kepercayaannya, Syiah. Di kamp pengungsian, mereka mendapatkan masalah serius menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam beberapa waktu, mereka tidak memiliki makanan dan air bersih atau fasilitas sanitas dari Pemerintah, yaitu pada November 2012 dan Mei 2013. Mereka dipaksa pindah dari Gelanggang Olahraga Sampang ke rumah susun di Sidoarjo yang jaraknya tiga kali lebih jauh dari tempat tinggal mereka di desa di Sampang. Saat ini mereka masih tinggal di rumah susun tersebut dan beberapa kali mendapatkan penawaran dari Kementerian Agama; jika mereka ingin kembali ke tempat tinggal mereka, mereka harus berpindah keyakinan menjadi Islam Sunni dan bersedia menerima pengaturan dari Kementerian.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

222


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

74. Di atas semua permasalahan ketidakmampuan mendapatkan hak ekonomi, sosial dan budaya adalah tidak adanya kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai warga negara. Pada KTP terdapat satu kolom agama yang harus diisi oleh warga negara. Namun, hanya ada enam agama yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan Undang-Undang No. 1/1965/PNPS; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Mereka yang menganut salah satu agama dapat mengisi kolom di KTP tersebut, sementara pemeluk Ahmadiyah dan Syiah tidak diakui oleh Pemerintah sebagai Islam. Karena itu, muncul masalah yang rumit dan dilematis karena mereka dipaksa untuk memilih memasukkan agama lain ke dalam kolom tersebut atau tidak memiliki KTP sama sekali. Meninggalkan tanda strip pada kolom agama juga akan menguatkan stigma yang mereka sandang. Tidak memiliki KTP juga berpengaruh pada urusan pencatatatn sipil mereka serta urusan-urusan lain seperti pekerjaan formal, pendidikan dan pelayanan kesehtan. Jika mereka tidak memiliki KTP, mereka tidak akan mendapatkan jaminan bagi hak-hak mereka dari Pemerintah sebagai warga negara. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki kebebasan memilih apa yang mereka yakini dan tidak mendapat jaminan dari Pemerintah. Diskriminasi terhadap Masyarakat Adat 75. Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua (UU No. 21/2001) gagal memberi kemajuan yang berarti bagi penduduk asli. Angka kemiskinan masih terus meningkat. Penganggaran bagi bidang kesehatan dan pendidikan penduduk asli tidak benar-benar menjadi prioritas. Pemerintah berencana meluncurkan kebijakan baru yang disebut Otonomi Khusus Plus bagi Papua pada 2013. Rencana ini saat ini masih menjalani proses negosiasi antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah provinsi Papua. 76. Atas nama pembangunan, Pemerintah Indonesia masih terus melanjutkan praktik pemindahtanganan kepemilikan tanah ke pihak perusahaan industri swasta seperti perusahaan pertambangan, perusahaan kayu, pengguna hak guna hutan dan industri lain tanpa memperhatikan hak kebebasan, hak ditanya, dan kesediaan pihak masyarakat yang terpengaruh oleh kebijakan ini, termasuk penduduk asli.111 77. Pada 2010 Pemerintah Indonesia menyiapkan rencana akselerasi pembangunan di Provinsi Papua melalui pembentukan unit khusus bagi Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat. Ini merupakan kebijakan ad hoc yang akan diterapkan di antara tahun 2010 dan 2014. Program ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan pelayanan pendidikan dan kesehatan dasar di wilayah-wilayah terisolasi di Papua, melingkupi 18 kecamatan di Papua dan tiga kecamatan di Papua Barat, melalui program pelayanan kesehatan dan pendidikan. Dalam penerapannya, banyak kekurangan yang terjadi. Salah satu alasan utamanya ialah ketiadaan pengaturan mengenai partisipasi masyarakat asli Papua dan areal kerja unit yang membatasinya untuk memberikan keuntungan yang lebih besar bagi rakyat Papua. 78. Menurut Badan Statistik Nasional Indonesia, pada 2013 persentase rakyat yang hidup dalam kemiskinan di Provinsi Papua Barat mencapai 36,89% dan di Provinsi Papua 40,72%, sementara rata-rata secara nasional adalah 14,4%.112 Kedua provinsi menempati rangking paling bawah dari 33 provinsi di Indonesia. Papua Barat

111

Lihat, Laporan Alternatif bagi Pelaporan Negara Indoensia, Oktober 2013, paragraf. 35 – 41

112

Lihat juga, “Papua tetap menjadi Wilayah Termiskin di Indonesia�, TUESDAY, 14 AUGUST, 2012, http://en.tempo.co/read/news/2012/08/14/055423519/Papua-Remains-Indonesias-Poorest-Region

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

223


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

menempati urutan 29 dari 33 provinsi di Indonesia, sementara Provinsi Papua menempati urutan paling bagi dalam bidang indikator pembangunan manusia. 79. Pengalaman dari berbagai pendekatan kebijakan terhadap Papua menunjukkan bahwa program-program pembangunan yang tidak mampu secara komprehensif menyelesaikan permasalah yang ada justru menimbulkan masalah baru karena kebijakan tersebut selama ini tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait, terutama masyarakat asli Papua, dalam pembuatan keputusan. Perencanaan pembangunan yang tidak merencanakan partisipasi pihak lokal akan menciptakan masalah baru, sementara rakyat Papua hanya menjadi penonton dan diharapkan patuh mengikuti arahan yang diberikan pihak Pemerintah.113 Kemiskinan Nelayan dan Keluarganya 80. Kemiskinan keluarga nelayan, terutama perempuan, di Indonesia semakin diperparah dengan adanya kegiatan reklamasi besar-besar di sejumlah wilayah, munculnya korporasi perikatan yang menyingkirkan nelayan dan perubahan iklim. Sayangnya, tidak ada upaya pemerintah yang sering mengatasi permasalahan ini.114 Rekomendasi 1)

Pemerintah harus mencari solusi bagi masalah Ahmadiyah di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Lombok, Mataram, dan Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, yang terusir sejak beberapa tahun lalu dari desa mereka. Masyarakat Ahmadiyah dan Syiah harus mendapatkan kembali kepemilikan mereka secara bermartabat dan orang-orang di sekitar wilayah mereka harus menghadapi konsekuensi legal bagi tindakan kekerasan yang mereka lakukan.

2) Pendidikan bagi pemimpin keagamaan, guru, perempuan, pemuda, aparat Pemerintah, dan sebagainya merupakan kunci penting: sebagai pengatur di tengah perbedaan/keberagaman, pengatur bagi dialog, hak-hak sipil, dan mindset demokrasi. 3) Harus dilakukan riset yang komprehensif dalam bidang perubahan sosial, polik dan demografi, tidak hanya yang berkaitan dengan agama (di dalam dan antaragama serta keyakinan) namun juga mencakup permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan agama, politik, kenegaraan, dan ekonomi.

113

Lihat, http://www.papuansbehindbars.org/?s=poverty&submit=Search; “Pembangunan di Papua paska Otonomi Khusus�, at https://crawford.anu.edu.au/acde/ip/pdf/update/2013/Indo.Update.13.II21.ResosudarmoMollet.pdf 114

See, Alternative Report to the Indonesia State Report, October 2013, para. 23 – 33.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

224


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Isu 8: Harap menginformasikan kepada Komite, apakah ketentuan legislatif yang berlaku di Negara Pihak, termasuk pasal 28 H (2) UUD 1945 tentang hak atas pemberian kemudahan dan perlakuan khusus, dapat menjadi rujukan untuk menuntut akomodasi yang layak bagi orang-orang dengan disabilitas (penyandang cacat), sembari menunggu hasil revisi Undang-undang No. 4 tahun 1997 81. Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities melalui UU No. 11/2011. Sayangnya, sejumlah permasalahan (terutama diskriminasi) masih menimpa kaum difabel dan belum adanya upaya serius Pemerintah untuk menghilangkan diskriminasi ini, secara khusus dalam kehidupan keseharian difabel perempuan. Sejauh ini, per January 2014, DPR RI juga masih menunda-nunda revisi UU Hak Disabilitas, padahal masa keanggotaan DPR akan segera berakhir.115 82. Di dalam keluarga, penyandang disabilitas perempuan seringkali kurang mendapatkan perhatian dan bantuan dari anggota keluarga, atau kurang diprioritaskan untuk bisa mengakses kemandirian. Misalnya, penyandang disabilitas perempuan banyak yang merasa minder keluar rumah atau merasa tidak mungkin mendapat pasangan hidup/suami yang “normal” (bukan penyandang disabilitas). Mereka takut tidak dapat melayani suaminya. Lebih menyedihkan lagi bila disabilitasnya karena penyandang kusta, karena stigma yg menganggap bahwa mereka harus dijauhi, penyakit kutukan, dan lainnya. 83. Di dalam dunia kerja, penyandang disabilitas juga mengalami keterpinggiran (marginalisasi) karena hak-haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak harus terhalang oleh keadaan disabilitasnya. Mereka hanya berpeluang untuk mengisi pekerjaan (informal) di bidang ketrampilan, seperti membuat handicraft atau barang seni lainnya (melukis, dan lainnya). Belum ada kebijakan khusus pemerintah yang mengharuskan institusi pemerintahan, perusahaan atau lembaga lainnya untuk mempekerjakan para difabel tanpa diskriminasi.116 84. Pasal 8 UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional” yang menyebabkan seorang perempuan di Bantul, Yogyakarta, dipensiunkan dini dari tugasnya sebagai guru karena mengalami kelumpuhan karena spinal cord injury. 85. Pasal 5 UU No. 11/2009, Kesejahteraan Sosial, menjadikan para difabel masuk ke dalam penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dan memandatkan kepada Kementerian Sosial dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) untuk mengurus para difabel sebagai bagian dari PMKS. Pengaturan ini telah mengabaikan fakta bahwa tidak semua orang dengan disabilitas merupakan PMKS, sehingga semakin memperburuk mindset dan pandangan masyarakat terhadap difabel. 86. UU No. 36/2009 on Kesehatan telah melanggengkan stigma orang dengan disabilitas melalui istilah “sehat jasmani dan rohani”. Hampir seluruh lembaga dan

115

“Tak diperhatikan DPR, Penyandang disabilitas mengadu ke MPR”, January 18, 2014, http://ppdi.co/tak-diperhatikan-dpr-penyandang-disabilitas-mengadu-ke-mpr/ 116

Lily Purba, “Yang Selalu Memberikan Inspirasi dan Fokus Pada Pemberdayakan Komunitas Kusta dan Disabilitas”, Jakarta, 17 Maret 2012, http://www.pedulidisabilitas.org/?p=838

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

225


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

institusi di lingkungan pemerintah, sektor swasta, hakim, aparat penegak hukum lainnya, bahkan lembaga-lembaga HAM Negara, mensyaratkan sehat jasmani dan rohani bagi calon pekerjanya. Hal yang sama berlaku juga pada sektor pendidikan, seperti kasus pembatalan SK Pegawai Negeri Sipil/PNS, karena disabilitasnya. Selain itu, seleksi komisioner Komnas HAM oleh DPR tidak memberikan afirmasi kepada orang dengan disabilitas fisik, sedangkan orang dengan disabilitas psikososial mengalami hambatan oleh Tim Seleksi dengan menggunakan tes psikologis. Kasus lain, seorang waria tuna rungu di Yogyakarta, berusia sekitar 25 tahun, ditolak masuk Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Surakarta karena tuna rungu. 87. Dalam peraturan Presiden RI No. 12/2013, disebutkan bahwa mereka yang mendapat pembiayaan jaminan kesehatan nasional oleh pemerintah merupakan penyandang cacat total tetap dan tidak mampu, sehingga penyandang disabilitas yang tidak total (tidak mampu) tidak berhak mendapatkan jaminan pembiayaan dari pemerintah. 88. Kelompok disabilitas masih mengalami diskriminasi dalam proses Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2014. Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 menetapkan bahwa “seorang calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan, dan tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian”.117 Persyaratan SNMPTN 2014 menghilangkan harapan kelompok disabilitas untuk menjadi peserta SNMPTN, yang juga menghalangi hak mereka untuk mengembangkan minat, bakat dan kecerdasannya di perguruan tinggi negeri ternama, yang juga berdampak pada masa depan anak-anak dan keturunan mereka.118 Lihat Tabel berikut ini: Contoh Program Studi dan Persyaratan Penerimaan NAMA PRODI

DISABILITAS YANG DITOLAK

Arsitektur (termasuk Interior)

Netra, Rungu, Buta Warna Total

Matematika

Netra, Rungu, Wiacara, Daksa (fisik), Buta Wana Total

Kedokteran (termasuk Gigi)

Netra, Rungu, Wicara, Daksa, Buta Warna sebagian

Sistem Informasi

Netra dan Wicara

Teknik Komputer

Netra, Rungu, Buta Warna Total

Teknik Lingkungan

Netra, Rungu, Buta Warna Total

Teknologi Bioproses

Netra, Rungu, dan Buta Warna Total

Psikologi

Netra, Rungu, Wicara

Sumber: Informasi SNMPTN 2014: https://web.snmptn.ac.id/ptn/31

117

See the statement here, https://web.snmptn.ac.id/ptn/36

118

Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel, “Pernyataan Sikap: Cabut Persyaratan Diskriminatif SNMPTN 2014”, 6 Maret 2014. See, http://www.pedulidisabilitas.org/?p=1025

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

226


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

89. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka telah menetapkan standar minimum pelayanan terpadu yang mudah diakses dan tidak mengandung diskriminasi, termasuk dalam bidang penegakan hukum, dalam kenyataan, penerapan kemudahan akses terhadap infrastruktur fisik masih belum menyediakan kenyamanan bagi penyandang cacat, terutama perempuan dan anak-anak. Fasilitas-fasilitas pelayanan public, seperti sekolah, rumah sakit, kantor polisi, pengadilan dan pelayanan publik lainnya masih sulit diakses. Lebih jauh, infrastruktur nonfisik, seperti informasi dan akses terhadap pelayanan di semua sektor belum cukup mengakomodasi kebutuhan para penyandang cacat.119 Rekomendasi Pemerintah Indonesia dalam pembangunan fasilitas-fasilitas public, termasuk perkantoran, harus memberikan kemudahan akses bagi kaum penyandang cacat dan memberikan ruang yang dibutuhkan perempuan dan anak-anak, seperti ruanganruangan untuk emnyusui dan toilet terpisah bagi penyandang cacat. Ini semua harus bersifat inklusif bagi semua kalangan masyarakat. Terhadap gedung-gedung yang sudah ada, Pemerintah Indonesia harus merenovasinya untuk menjamin akses bagi para penyandang cacat.

Isu 9: Harap menunjukkan apakah Negara Pihak telah mengadopsi rencanarencana untuk membuat bangunan, lingkungan, dan pelayanan umum agar dapat diakses oleh penyandang cacat dan didukung dalam sejumlah undangundang yang berlaku di Negara Pihak 90. Indonesia telah memiliki lembaga negara untuk promosi HAM dan nondiskriminasi. Namun lembaga-lembaga tersebut belum sepenuhnya memfasilitasi orang dengan disabilitas, baik secara fisik bangunan maupun layanannya. Misalnya, Gedung Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Ombudsman yang sama sekali tidak aksesibel bagi difabel. Hal ini juga terjadi hampir di seluruh kantor-kantor layanan publik di Indonesia. 91. Peraturan Kapolri (Perkap) No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus, untuk wanita dan anak-anak sebagai korban kejahatan dan Tata Cara Pemeriksaan bagi Saksi dan/atau Korban Kejahatan, juga belum mengatur kebutuhan perempuan dan anak dengan disabilitas, kecuali penyediaan penerjemah. Misalnya, tidak ada kewajiban mengenai shelter yang aksesibel. 92. Terkait perlindungan perempuan dari kekerasan sebagaimana tercantum dalam poin 41 laporan pemerintah, UU PKDRT belum mengakomodasi perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas yang menjadi korban kekerasan. Penanganan kasus masih bersifat umum. Akibatnya, antara lain, perempuan dengan disabilitas karena hambatan mental, intelektual atau fisiknya tidak dapat mengadukan kekerasan yang terjadi. Padahal, tindak kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual semuanya merupakan “delik aduan�. 93. Sampai sejauh ini pemerintah Indonesia belum menyiapkan rumah perlindungan post trauma/penyiapan kemandirian bagi perempuan dengan disabilitas korban kekerasan yang tidak mempunyai tempat tinggal (yang aman).

119

Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel, “Pernyataan Sikap: Cabut Persyaratan Diskriminatif SNMPTN 2014�, 6 Maret 2014. Lihat, http://www.pedulidisabilitas.org/?p=1025

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

227


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

C. Pasal 3 – Persamaan Laki-laki dan Perempuan

Isu 10: Harap tunjukkan apakah Negara Pihak telah mengadopsi undangundang kesetaraan gender dan kemajuan apa yang telah dicapai dalam penegakan hukum tersebut. Harap berikan pula informasi tentang langkahlangkah yang diambil untuk mengatasi stereotip yang akan terus berdampak negatif pada kesetaraan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang dinikmati oleh pria dan wanita 94. Dalam Program Legislasi Nasional periode 2009 – 2014 tercantum adanya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). RUU ini menjadi salah satu prioritas pembahasan setiap tahunnya di Komisi VIII (Agama, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Namun hingga saat ini (Januari 2014), posisi RUU KKG masih dalam pembahasan internal Komisi VIII dengan proses yang sangat lamban dan tertutup. Hal ini dikarenakan Panitia Kerja RUU KKG bersikap sangat hati-hati dalam perumusan substansi dan proses pembahasan setelah pada 2010 RUU ini menimbulkan pertentangan antara kelompok kanan (INSIST, MIUMI, dan kelompok Islam lainnya) dengan kelompok perempuan yang mengusung kesetaraan dan keadilan gender 120 . Secara substansi RUU KKG ini masih jauh dari yang diharapkan karena masih lebih banyak mengatur teknis pengarusutamaan gender. Padahal, harapannya RUU KKG ini akan menjadi semacam “UU payung” bagi tindakan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. 95. Masih terdapat kebijakan yang mendiskriminasikan perempuan dalam hak ekonomi, seperti UU No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga. Hal ini berdampak pada hak perempuan di lapangan pekerjaan, seperti dalam kasus pemberian tunjangan keluarga dari perusahaan. Dalam banyak kasus, perusahaan tidak memberikan tunjangan kepada buruh perempuan karena dipandang bukan kepala keluarga. Padahal secara praktik, ada banyak banyak perempuan sebagai penghasil utama ekonomi keluarga. Sampai sejauh ini, tidak ada upaya serius dari pemerintah/DPR untuk merevisi UU Perkawinan ini. 96. Pasal 1 UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi mendefinisikan pornografi dengan setiap hal yang melanggar norma kepatutan. Selain itu, dalam praktiknya, UU ini juga seringkali mendiskriminasi perempuan dalam banyak situasi. LGBT/SOGIE 97. UU Pornografi mengategorikan lesbian dan homoseksual dalam persenggaman merupakan penyimpangan (Pasal 4 ayat 1a dan penjelasanya). Semua peraturan perundangan di Indonesia yang terkait dengan hak ekonomi, sosial dan budaya juga tidak mengakui LGBT sebagai suatu kelompok khusus. Sebaliknya, UU Pornografi dan peraturan-peraturan lainnya justru menyatakan bahwa LGBT sebagai penyimpangan yang mendiskriminasikan kelompok LGBT berdasarkan orientasi seksual, gender identity, dan ekspresi gender. Pemahaman dan pandangan negara yang seperti ini menjadikan diskriminasi terhadap LGBT semakin kuat, hampir di semua lini

120

Hasil pantauan CWGI dan JKP3 terhadap proses pembahasan RUU KKG dan informasi yang didapat dalam Diskusi Tematik Mengkritisi RUU KKG yang dilakukan CWGI bekerjasama dengan Kaukus Perempuan Parlemen RI

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

228


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan penjelasan di dalam UU Pornografi tersebut bisa dijadikan pembenaran untuk memarjinalkan kelompok LGBT di luar ranah pornografi. Atas instruksi dari Kementrian Komunikasi & Informasi beberapa perusahaan Penyedia Jasa Internet (Internet Service Providers) telah memblokir website-website yang hanya memajukan hak-hak LGBT dengan alasan website tersebut mengandung pornografi; padahal itu tidak benar. Website telah diblokir, yakni www.iglhrc.org, www.ilga.org dan www.ourvoice.or.id. 98. Perhatian utama Undang-Undang Pornografi adalah pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan melindungi perempuan dari eksploitasi seksual. Namun, dalam penerapannya, undang-undang ini telah digunakan untuk memenjarakan perempuan tua dan muda yang dicurigai telah melanggar adat istiadat seksualitas, termasuk penari erotis dan perempuan yang melakukan aktifitas seksual di luar nikah.121 99. Koalisi dari sejumlah 47 peserta termasuk kalangan gereja, perempuan, dan organisasi-organisasi kepemudaan mengajukan judicial review terhadap UU 44/2008 dengan mendasari tuntutan mereka bahwa undang-undang tersebut memiliki dasar yang lemah; definisi yang digunakan samar dan mengancam kebebasan sosial perempuan. Permintaan judicial review ditolak pada Maret 2010 karena dinyatakan bahwa Undang-Undang tersebut menjunjung tinggi karakter bangsa” dan bahwa hak individu dapat dikalahkan demi “melindungi masyarakat”. Perempuan-perempuan Papua 100. Penduduk asli perempuan seringkali menghadapi diskriminasi ganda, di mana mereka didiskriminasi sebagai penduduk asli dan sebagai perempuan, terutama menyangkut partisipasi mereka dalam proses pembuatan keputusan.122 101. Dengan tidak adanya jaminan legal terhadap hak-hak perempuan di Indonesia, diskriminasi terhadap perempuan Papua dalam mengakses pendidikan dan berbagai sumber daya, serta partisipasi mereka dalam proses politik, menimbulkan kekhawatiran gender yang besar. Perempuan tidak terwakili dalam peran pengambilan keputusan, dengan contoh ketidakterwakilan perempuan Papua di dua provinsi di Papua.123 Walaupun Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan, sebagaimana tertulis dalam Panduan Kebijakan Negara sejak 1978-2004, Strategi Pengarusutamaan Gender, yang difungsikan untuk menciptakan strategi responsi berkesinambungan, perempuan Papua tetap ditempatkan pada posisi berisiko diskriminasi. 102. Provinsi Papua mengalami diskriminasi struktural berkaitan dengan sistem kesehatan dan pendidikan. Ada kekuatan sistematis yang merugikan penduduk Papua berkaitan dengan kemampuan mereka dalam menyuarakan komplain dan berkontribusi dalam dialog yang menyangkut tanah adat. Penduduk Papua merupakan korban dari diskriminasi rasial dalam negara Indonesia dan menjadi korban

121

The Jakarta Globe, March 28, 2011

122

Lihat, Laporan Alternatif terhadap Laporan Negara Indonesia, Oktober 2013, paragraf 47 – 48.

123

Hak Asasi Manusia di Papua Barat, 2013, Hak Asasi Manusia dan Perdamaian bagi Papuan, Koalisi Internasional untuk Papua dan dan Franciscans International. Human Rights in West Papua 2013, Human Rights and Peace for Papua, International Coalition for Papua and Franciscans International. [(ICP and FI Report ]. Lihat http://www.franciscansinternational.org/fileadmin/docs/West_Papua_Report_201213/HumanRightsPapua2013-ICP.pdf

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

229


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

ketidakadilan yang terus merusak kehidupan mereka dan mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.124 Perempuan Papua mengalami diskriminasi dan ketidakadilan dalam kehidupan keseharian dan secara umum merasa takut terhadap aparat keamanan. Mereka selalu berusaha untuk menghindari kontak dengan aparat keamanan sebisa mungkin. 103. Walaupun berbagai fasilitas khusus telah disediakan bagi perempuan, seperti Pusat Pelayanan Terpadu bagi Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak, Pusat Krisis Terpadu, dan Wilayah Pelayanan Khusus 125 , kekerasan dan diskriminasi terus dipraktikkan terhadap perempuan Papua oleh aparat keamanan, termasuk kepolisian dan militer. Aktivis perempuan di Papua mengklaim bahwa aparat keamanan dapat menaikkan tingkat kekerasan dan intimidasi terhadap mereka pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan terhadap kaum laki-lakinya. Tindakan terhadap perempuan dipandang lebih mungkin terjadi. Tindakan-tindakan yang dilakukan aparat keamanan ialah pelanggaran terhadap Pasal 3 ICESCR. 104. Walaupun Pemerintah telah membentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2009, berdasarkan Ketetapan Presiden No. 47 tahun 2008, pengaruh dari badan-badan yang berkaitan masih jauh dari harapan. Tampaknya banyak perempuan Papua yang tak terjangkau kewenangan dari biro yang diberi wewenang. Contoh diskriminasi dan praktik yang terus terjadi terhadap perempuan ialah kasus perkosaan. Perempuan Papua yang tinggal di daerah pedalaman yang menjadi korban perkosaan biasa tidak melaporkan kasus ini sebagai kasus kriminal. Perempuan yang melaporkan kasus kekerasan atau perkosaan di kota-kota, seperti Jayapura, biasanya diusir oleh pihak kepolisian yang tidak bersedia memproses kasus pidana (dengan alasan “pribadi� korban atau “alasan keluarga�). 105. Konflik yang berkelanjutan berkaitan dengan sumber daya alam dan besarnya jumlah investor yang masuk menciptakan ancaman besar terhadap perempuan Papua. Rezim Order Baru di bawah Presiden Soeharto (1966-1998) membuka kesempatan bagi eksploitasi sumber daya alam Papua dalam skala besar, dengan ratusan kontrak baru bagi pertambangan, logging, penanaman kelapa sawit, minyak dan gas bumi, serta berbagai proyek pembangunan lainnya. Berbagai bentuk kekrasan terhadap perempuan muncul berkaitan dengan aktifitas pertambangan, penanaman kelapa sawit, dan industri lainnya. Banyak keluarga kehilangan hak atas tanah adat mereka dan tersingkirkan serta tidak mampu mendapatkan akses bagi kesempatan kerja yang baru karena pihak investor merekrut pekerja dari luar Papua. Selain munculnya kekerasan yang berkaitan dengan penanaman kelapa sawit serta proyek eksploitasi lahan lainnya, perempuan Papua dihadapkan dengan masalah sosial lainnya. Contohnya, banyak perempuan Papua terbiasa memanen sagu (tepung dari sejenis tanaman palem, makanan utama) dari tanah warisan leluhur mereka. Saat tanah tersebut berubah menjadi lahan penanaman, mereka akan kehilangan mata pencaharian sekaligus posisi mereka dalam masyarakat. 106. Perempuan telah lama dipinggirkan dalam proses pembuatan keputusan dalam hal proyek pembangunan, walaupun pada kenyataannya merekalah yang sebelumnya memegang peran penting dalam pengaturan sumber daya alam dan pemeliharaan keberlangsungan hidup keluarga-keluarga mereka.

124

Masalah ini dijabarkan lebih jauh dalam bagian berikut; Bab 11, 12, 13, dan 15.

125

Dokumen. E/C.12/IDN/1/Paragraf 46.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

230


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

107. Banyak kasus kekerasan seksual yang terdaftar memiliki kaitan dengan aktifitas penanaman, pertambangan dan penyelundupan sumber daya alam, seperti kayu. Berdasarkan informasi kami, diketahui mengenai kondisi perempuan yang tinggal di daerah perbatasan yang menjadi jalur penyelundupan: “Saat penyelundup datang, mereka meninggalkan banyak kasus kekerasan dan intimidasi�. Namun, perbudakan seksual tidak hanya terbatas pada pihak penyelundup. Prostitusi begitu umum ditemukan di sekitar kamp-kamp penebangan kayu di ESP dan Sandaun, di mana hampir setengah dari perempuan di sana diyakini pernah terlibat dalam aktifitas prostitusi. Sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi kalangan penebang dan laki-laki kulit putih Indonesia untuk datang dan mencari perempuan ataupun gadis-gadis. Dalam banyak kejadian, perempuan-perempuan ini menghilang selama beberapa hari, lalu kembali dalam kondisi luka-luka, lemah, dan terlecehkan. Perempuan lokal sering mengalami penculikan paksa dari desa-desa mereka dan dibawa ke wilayah kamp penebangan. Mereka sering dipaksa melakukan tindakan seksual bagi para penebang dan polisi, terkadang dipaksa melayani seluruh isi kamp. Sebagai akibatnya, para perempuan tersebut mendapatkan risiko tertular penyakit seksual, seperti HIV/Aids. Kantor PBB di Indonesia mencatat bahwa Provinsi Papua Barat memiliki tingkat HIV tertinggi di Indonesia, relatif berdasarkan jumlah populasi, dengan angka penularan HIV 15 kali lebih besar daripada rata-rata kasus HIV Indonesia. Pertambangan: Dampak Ekonomi dan Kesehatan Perempuan 108. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia yang lebih bertumpu pada pengerukan sumberdaya alam dan kekuatan modal tidak memberikan manfaat konkret kepada masyarakat, terutama kepada kelompok perempuan. Industri ekstraktif ini semakin menguatkan ketidakadilan gender yang dialami perempuan pedesaan. Penghancuran sumber daya alam ini telah berdampak pada memengaruhi di berbagai sektor kehidupan perempuan, termasuk kedaulatan pangan.126 109. Diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi dalam sektor pekerjaan. Dalam banyak kasus, pengusaha menyewa perempuan sambil memberi syarat larangan pada mereka untuk hamil selama periode kerja berlaku. Syarat ini diajukan langsung pada lembar Kesepakatan Kerja antara pengusaha dan para pekerjanya. Akibatnya, demi memenuhi kebutuhan terhadap lapangan kerja, kaum perempuan harus menunda kehamilan mereka selama berlakunya kontrak mereka. Di sisi lain, belum ada perhatian dari Pemerintah dalam menanggapi diskriminasi seperti ini. Rekomendasi 1)

SOGIE/LGBT: Prioritaskan review dari semua kebijakan negara (termasuk kebijakan lokal) yang baik secara langsung maupun tidak langsung mendiskriminasi kaum LGBT dan menyetarakan hukum-hukum, kebijakan dan praktik-praktik legal nasional dengan Kesepakatan Yogyakarta.

2) Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan undang-undang menyangkut kesetaraan gender untuk menjamin bahwa prinsip-prinsip pengarusutamaan gender memiliki dasar legal bagi penerapannya. Gender sebagaimana dipahami dalam aturan-aturan Pemerintah sering mengacu pada masalah-masalah khusus perempuan saja;

126

See, Alternative Report to the Indonesia State Report, October 2013, para. 8 - 33

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

231


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Pemerintah Indonesia perlu menjamin bahwa semua aparat publik memahami implikasi praktis dari kesetaraan gender.

IV.

ISU-ISU YANG BERKAITAN DENGAN KETENTUAN PASAL KOVENAN D. Pasal 6 – Hak untuk Bekerja

Isu 11: Harap memberikan informasi tentang layanan khusus yang diberikan kepada para tuna-karya yang memudahkan mereka untuk mencari dan menemukan lowongan pekerjaan. Harap memberikan informasi mengenai efektifitas layanan ini, seperti data statistik mengenai jumlah orang yang dibantu dan orang-orang yang telah mendapatkan pekerjaan, dipilah berdasarkan tahun, provinsi, jenis kelamin dan kelompok usia SOGIE/LGBT’s Rights 110. Diskriminasi di lapangan, Negara sejauh ini menyusun panduan untuk mendorong perusahan dan bisnis agar merekrekrut kelompok difabel. Negara gagal untuk mengatasi permasalahan diskriminasi berdasarkan kriteria lainnya, seperti orientasi seksual dan identitas/ekspresi gender (SOGIE). Padahal, ada banyak pola diskriminasi yang terjadi dalam SOGIE. Mereka menghadapi diskriminasi yang berkelanjutan ketika hendak bekerja, terutama dalam sektor formal, atau dalam bentuk aplikasi kerja mereka tidak dilanjutkan dan/atau dipaksakan untuk menggunakan identitas gender semual. Penelitian dilakuan bahwa diskriminasi lebih lanjut terjadi ketika mereka berada di tempat kerja. 127 Rekomendasi 1)

Menjamin bahwa pengusaha tidak mencantumkan persyaratan penundaan kehamilan terhadap pekerja wanita dalam kesepakatan legal yang mengikat atau dalam praktik.

2) Pemerintah harus mengadopsi kebijakan dan aturan yang mendorong dan menjamin pengusaha di sektor formal dan informal untuk merekrut orang-orang dari kelompok minoritas, termasuk kelompok LGBT, berdasarkan keahlian dan pengetahuan tanpa memandang penampilan dan perilaku yang berbeda. 3) Pengarusutamaan hak asasi manusa dan SOGIE dalam institusi nasional, terutama pada Kementerian Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perumahan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi, Kementerian Agama, Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak, Ombudsman, Komisi Penyiaran Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, serta dalam

127

nd

Arus Pelangi (2012) Hak Kerja Waria; Tanggung Jawab Negara. 2 edition; ISBN 978-979-17190-0-

1

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

232


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

wilayah swasta dan media. Rekomendasi ini diajukan kepada Presiden Republik Indonesia.

E.

Pasal 7 – Hak untuk Mendapatkan Situasi Kerja yang Adil dan Menguntungkan

Isu 14: Harap menunjukkan langkah-langkah yang diambil oleh Negara Pihak sebagai penerapan atas prinsip kesetaraan remunerasi untuk pekerjaan dengan nilai yang sama. Pekerja Kontrak dan Outsourcing 111. Sistem Labour Market Flexibility di Indonesia telah menciptakan praktik kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia. Sistem kerja kontrak ini bahkan ditegaskan di dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan,128 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. 112. Penelitian AKATIGA pada tahun 2009 tentang upah layak di sektor tekstil dan garmen memperlihatkan bahwa upah minimum kabupaten (UMK) hanya memenuhi 62,4% pengeluaran riil, sehingga buruh kontrak/outsourcing yang mendapatkan upah pokok di bawah UMK tersebut memiliki pengeluaran riil semakin rendah. Hal ini menyebabkan buruh kontrak dan outsourcing tidak dapat menabung dan tidak mempunyai jaminan hidup ketika masa kontrak berakhir. 113. Penelitian AKATIGA, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan FES pada tahun 2010, menunjukkan bahwa adanya pembedaan yang sangat tajam dalam hal upah di antara buruh kontrak, outsourcing dan buruh tetap. Tidak adanya peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan berbagai komponen upah di luar upah pokok kepada buruhnya menyebabkan standar upah tergantung pada kebijakan perusahaan masing-masing. Khusus buruh outsourcing, upah dan komponenkomponen upah yang diterima buruh berdasarkan kesepakatan antara perusahaan pengguna dengan penyalur tenaga kerja, sementara buruh outsourcing tidak memiliki posisi tawar atas upah tersebut. Buruh kontrak dan outsourcing juga tidak pesangon, kepastian kerja, jaminan sosial dan hak berserikat dari perusahaan tempat bekerja. 114. Penelitian Institute for Ecosoc Rights tentang “Industri Perkebunan Sawit di Kalimantan Tengah dan Dampaknya Terhadap Hak Asasi Manusia tahun 2013” menunjukkan bahwa korporasi perkebunan sawit tidak menjalankan ketentuan terkait ketenagakerjaan. Upah buruh perkebunan sawit di bawah upah minimum yang ditetapkan pemerintah, buruh bekerja bertahun-tahun dengan status buruh harian lepas (tanpa kontrak kerja, tanpa jaminan hak sebagai buruh dan tanpa jaminan sosial). 115. Sistem harian lepas yang diterapkan industri perkebunan sawit membuat buruh menghadapi kondisi buruk tanpa perlindungan dari negara karena lokasi perkebunan terisolasi. Buruh bisa dengan mudah di-PHK, menerima upah rendah, beban kerja dan risiko kerja tinggi tanpa ada jaminan kesehatan dan keselamatan kerja,

128 1. Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

233


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

tanpa hak untuk mendapatkan cuti atau libur karena buruh yang libur atau cuti tidak menerima upah. Terkait hak cuti haid dan melahirkan, buruh perempuan berstatus harian lepas tidak mendapatkan cuti haid dan cuti hamil sebagaimana diatur dalam undang-undang. Perusahaan mengizinkan buruh harian lepas tidak bekerja selama satu hari saat haid dan pada saat hamil diizinkan untuk tidak bekerja selama 40 hari (terhitung 20 hari sebelum melahirkan dan 20 hari setelah melahirkan), namun mereka tidak mendapatkan upah. 116. Buruh harian lepas mengalami tindakan diskriminatif dari perusahaan sawit. Buruh harian lepas yang melakukan pekerjaan yang sama, dengan jam kerja dan masa kerja yang sama, dan menghadapi kondisi kerja yang sama dengan buruh harian tetap, mendapatkan perlakuan yang berbeda dari perusahaan. Buruh harian lepas tidak mendapatkan hak sebagaimana buruh harian tetap, termasuk hak untuk istirahat dan cuti, serta hak atas jaminan sosial. Mayoritas buruh perkebunan sawit sudah bekerja bertahun-tahun di perkebunan sawit, namun status buruh tetap sebagai buruh harian lepas yang hak-haknya sebagai buruh tidak dijamin. Upah Minimum dan Kondisi Kerja 117. Hak atas Kondisi Kerja yang Adil dan Menguntungkan jelas dijamin oleh Konstitusi, yaitu Pasal 27 (2) dan Pasal 28D (2) Konstitusi Indonesia, UUD 1945. Namun, dengan alasan menjaga iklim investasi, peraturan perundang-undangan membatasi atau menekan buruh untuk tidak dapat hidup layak. Upah Minimum yang dianut di Indonesia hanya diberlakukan bagi buruh yang telah bekerja lebih dari 1 (satu) tahun,129 yang diterapkan oleh hampir seluruh perusahaan di Indonesia di segala sektor. 118. Pada praktiknya, jaminan upah minimum buruh (setelah 1 tahun) ini juga tidak terlaksana secara maksimal karena pelbagai kendala, di antaranya: a. Karena pengaturan upah minimum tergantung pada dilakukan melalui kesepakatan antara buruh atau serikat buruh dengan Pengusaha. Mekanisme ini sangat menggantungkan pada ada atau tidaknya dan kuat atau tidaknya serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. j.

Karena pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, Mekanisme ini juga tergantung dengan kuat tidaknya serikat buruh dalam satu perusahaan. Sementara sampai saat ini jumlah buruh yang tergabung dalam serikat buruh masih sangat kecil.

k. Mekanisme penetapan upah buruh yang mempunyai masa kerja lebih dari 1 tahun juga dapat dilakukan melalui penyusunan struktur dan skala upah. Praktiknya, mekanisme ini sangat menggantungkan pada keaktifan pihak pengusaha untuk melaksanakan. Sementara Kepmenakertrans 49/04 tidak mengatur mengenai Pengawasan dan Sanksi yang menyebabkan mekanisme ini tidak menjadi kewajiban dan sangat jarang sekali dilakukan oleh Pengusaha.

Isu 15: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk memantau kondisi kerja di perkebunan, industri perikanan dan 129

Pasal 8 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

234


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

tambang emas dan batubara, termasuk keselamatan dan kesehatan pekerja. Harap menginformasikan kepada Komite apakah peraturan-peraturan yang relevan, seperti peraturan Nilai Ambang Batas (TLV) untuk sumber energi fisik berbahaya dan zat-zat kimia di tempat kerja, telah disesuaikan dengan standar internasional. Kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja 119. Berdasarkan Permenaker No. 5 Tahun 1996, SMK3 adalah sebuah sistem pengaturan perlindungan K3 di perusahaan yang wajib diintegrasikan dengan sistem manajemen perusahaan untuk memastikan perlindungan K3 dalam aktivitas produksinya. Pasal 3 Permenaker No.5 Tahun 1996 ini menetapkan bahwa SMK3 wajib dimiliki oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan 100 orang buruh atau lebih dan/atau apabila proses produksinya mengandung potens ancaman terhadap K3 akibat karakteristik proses atau bahan produksi yang digunakan. 120. Pasal 87 UU Ketenagaerjaan menegaskan kembali peraturan dalam Permenaker No. 5 Tahun 1996 dan mengadopsi kewajiban-kewajiban hukum perusahaan untuk mengadakan dan menerapkan SMK3 dengan persyaratan yang disebut dalam aturan perundang-undangan. UU No.1/1970 tentang Keselamatan Kerja mengatur bahwa adalah menjadi kewajiban perusahaan. Melalui “pengurus�, untuk memastikan terjaminnya kesehatan dan keselematan buruh atau pekerja selama melakukan kerja. 121. P2K3 dibentuk oleh Menteri Tenaga Kerja dengan tujuan guna memperkembangkan kerjasama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), dalam rangka melancarkan usaha berproduksi. Diharapkan melalui P2K3 dapat diciptakan kerjasama antara pengusaha dan buruh atau pekerja dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. 122. Pemerintah Indonesia telah membuat unit kerja pengawasan melaui bidang/bagian tertentu terhadap kondisi tenaga kerja yang diletakkan di bawah Kementrian Tenaga Kerja dan Dinas Tenaga Kerja di Daerah, termasuk kondisi tenaga kerja di perkebunan, pertambangan, dan lainnya. Namun dalam kenyataannya, pemerintah tidak menjalankan fungsi pengawasan tersebut secara maksimal, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Hal ini juga yang memunculkan sejumlah pelanggaran di tempat kerja dan tidak terpenuhinya hak-hak bagi pekerja sebagaimana dijamin di dalam Konvensi. Pengawasan dilakukan pemerintah hanya melalui laporan yang dikirimkan secara tertulis oleh pihak perusahaan. Hal ini pun hanya dilakukan oleh sejumlah kecil perusahaan. 123. Penelitian Institute for Ecosoc Rights 2013 tentang buruh perkebunan sawit juga menggambarkan kondisi ini. Buruh direkrut dari daerah-daerah miskin, seperti NTT, yang warga dan pemerintahnya miskin informasi terkait kondisi kerja di perkebunan. Sesampai di perkebunan, mereka menghadapi kondisi kerja buruk, upah rendah, tanpa jaminan sosial, tanpa status kerja dan hak-hak yang jelas, kerja dengan sistem target, beban kerja berat tanpa disertai pemenuhan kebutuhan pangan dan tempat tinggal yang berkualitas. Mereka bekerja terisolasi di tempat terpencil tanpa ada komunikasi dengan pihak luar dan tanpa ada jaminan perlindungan dari pemerintah. Pada akhirnya mereka terpaksa melakukan kerja di perkebunan karena tidak ada

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

235


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

pilihan bagi mereka. Mereka sudah telanjur datang ke perkebunan. Sementara kembali ke daerah asalnya tidak memungkinkan lagi karena ketiadaan biaya. 124. Hasil studi juga menunjukkan bahwa pemerintah mengaku tak bisa melakukan pengawasan terhadap kondisi kerja buruh perkebunan karena adanya hambatan terkait sumberdaya manusia dan anggaran. Sumberdaya manusia dan anggaran yang tersedia tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap kondisi kerja buruh perkebunan dan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan terkait ketenagakerjaan oleh perusahaan perkebunan. Terlebih lokasi perkebunan terisolir dan tidak mudah untuk dijangkau. Buruh Perkebunan Sawit 125. Penelitian Institute for Ecosoc Rights 2013 menunjukkan pula bahwa buruh perkebunan sawit bekerja dengan risiko tinggi, namun tanpa ada perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Perusahaan juga tidak memberikan perlindungan pada hak reproduksi bagi buruh perempuan. Akibat buruknya kondisi kerja ini, buruh yang sakit sakit, kecelakaan kerja, dan kematian banyak menimpa buruh perkebunan sawit. Buruh yang mengalami kecelakaan kerja harus membiayai sendiri kebutuhan biaya pengobatan dan perawatan karena status buruh bukan pekerja tetap, melainkan pekerja harian lepas, yang tidak mendapatkan jaminan sosial. 126. Kebutuhan pangan, tempat tinggal layak, air, dan sanitasi tidak diperhatikan, sehingga buruh perkebunan sangat rentan sakit akibat makan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi, minum air dari sumber yang tercemar bahan kimia, dan tinggal di tempat yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Buruh perkebunan kebanyakan tinggal di tengah perkebunan sawit tanpa ada jaminan memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan, air bersih dan sanitasi, dan tempat tinggal yang layak. Hasil studi menunjukkan, banyak buruh yang menderita sakit karena beban kerja tinggi tanpa disertai dengan asupan makanan yang layak. Bahkan ada buruh yang meninggal karena terserang TBC. 127. Buruh perempuan yang bekerja di perkebunan sawit diperkirakan mencapai 30 persen. Kebanyakan mereka melakukan kerja yang berisiko terhadap kesehatan karena bersentuhan langsung dengan bahan kimia, yaitu melakukan penyemprotan dan pemupukan. Buruh perempuan yang sedang hamil 3-9 bulan atau 20 hari sebelum melahirkan masih aktif bekerja di perkebunan. Perusahaan tidak memiliki kebijakan perlindungan khusus untuk buruh yang bekerja dalam kondisi hamil. Buruh yang tengah hamil tetap melakukan kerja pemupukan dan penyemprotan tanpa ada perlindungan khusus. 128. Buruh tidak mendapatkan informasi/penjelasan cukup tentang risiko terkait kesehatan dan keselamatan kerja dan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menghindari risiko sakit dan kecelakaan kerja. Buruh bekerja tanpa menggunakan perlengkapan pelindung, seperti sepatu boot, sarung tangan, masker, helm, seragam kerja, dan lainnya. Perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja hanya diberikan sekali pada saat pekerja baru mulai bekerja. Apabila perlengkapan tersebut rusak atau sudah tidak memadai lagi, maka buruh harus menyediakan sendiri perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja tersebut. Perusahaan mengabaikan kenyataan bahwa buruh perkebunan sawit rentan terhadap risiko sakit dan kecelakaan kerja, sehingga kecelakaan buruh yang buta matanya akibat terkena kotoran sawit, digigit ular, diserang tawon, luka tersobek alat kerja, dan juga mati akibat tertimpa buah sawit.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

236


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Ambang Batas 129. Permenaker Nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kemenaker) Nomor: KEP-51/MEN/1999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, mencakup ambang batas getaran, kebisingan, iklim kerja, dan penerangan.

Isu 16: Harap memberikan informasi tentang penegakan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang perlindungan dari pelecehan seksual, termasuk tentang mekanisme pengaduan, jumlah kasus dan pengaduan yang terdaftar dan hukuman yang dijatuhkan serta kompensasi yang dibayarkan kepada para korban. Kekerasan seksual 130. Kementerian Tenaga Kerja telah mengeluarkan “Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja� dan memberikan kebebasan bagi para pekerja untuk memilih mengadukan kasus pelecehan seksual melalui tatacara formal atau informal. Pedoman ini juga mengatur tentang sanksi yang harus diberikan perusahaan kepada pelaku pelecehan. Di luar itu, UU Hukum Pidana Indonesia juga melarang pelecehan seksual.130 131. Namun demikian, masih terdapat hambatan besar yang dihadapi oleh buruh perempuan korban pelecehan seksual di tempat kerja untuk mencari perlindungan hukum, yaitu: a. Perilaku sosial. Ada kecenderungan untuk menyalahkan korban ketimbang pelaku pelecehan seksual. b. Kondisi tempat pelaporan/pengaduan yang tidak ramah terhadap perempuan, seperti situasi di kantor polisi yang biasanya tidak memberi kenyamanan bagi perempuan untuk melaporkan kasus pelecehan. c. Seks dianggap sebagai hal yang tabu bagi masyarakat, sehingga perempuan seringkali kesulitan memberikan informasi rinci tentang situasi yang mereka hadapi. Kondisi ini semakin dipersulit oleh petugas/penyelidik laki-laki yang menangani.131

Isu 17: Harap tunjukkan langkah-langkah yang diambil yang mengarah penerapan undang-undang tentang perlindungan terhadap PRT. Harap berikan pula informasi tentang perlindungan yang diberikan kepada mereka dan mekanisme pemulihan yang tersedia bagi korban eksploitasi dan kekerasan oleh majikan Pekerja Rumah Tangga 132. Terjadi kekosongan hukum perlindungan pemenuhan hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai pekerja. Realitas menunjukkan pelanggaran HAM kerap terjadi

130

Pasal 294 ayat (2) angka 1 KUHP

131

Catatan pendampingan yang dilakukan oleh Trade Union Rights Centre (TURC).

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

237


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

pada kawan-kawan yang bekerja sebagai PRT - yang mayoritas merupakan perempuan dan anak. Dimensi pelanggarannya ialah pelanggaran atas hak anak, hak pendidikan, kekerasan dalam berbagai bentuk. PRT rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi, sosial. 133. Dengan tidak mengakui PRT (melalui hukum), penyelenggara Negara telah mengabaikan pekerjaan rumah tangga yang menjadi tanggung jawab PRT, sehingga gagal melindungi dan menjamin pemenuhan hak-hak PRT sebagai Pekerja, baik di nasional maupun PRT yang menjadi buruh migran. Kondisi ini semakin memberi ruang sistematis bagi pelanggaran hak-hak PRT, penyiksaan, perbudakan. Absennya Negara mengakibatkan munculnya konflik horizontal antarwarga Negara yang membutuhkan dan mempekerjakan PRT dengan PRT yang membutuhkan keadilan dan perlindungan pemenuhan hak-haknya. 134. Ratifikasi Konvensi ILO 189 juga belum dilaksanakan hingga sekarang, walaupun Pidato Presiden SBY di depan ILC 14 Juni 2011 dalam Sesi ke-100 menegaskan bahwa Pemerintah RI mendukung Konvensi Kerja Layak bagi PRT.

Lambatnya Proses Legislasi RUU Perlindungan PRT 135. Legislasi RUU Perlindungan PRT telah berjalan selama 10 tahun: 2 kali periode DPR dan 2 kali periode pemerintahan RUU Perlindungan PRT telah diajukan, namun masih ada resistensi DPR dan Pemerintah. 136. Masyarakat sipil telah berkali-kali mendesak pemerintah dan DPR untuk mengambil jalan keluar melalui UU/peraturan, baik melalui audiensi, dengar pendapat, pernyataan sikap, petisi, rekomendasi penelitian, surat protes, bahkan unjukrasa. Selama 10 tahun RUU PPRT diajukan dan masuk dalam Prolegnas DPR RI sejak 2004, baru menjadi RUU Prioritas Prolegnas DPR 2010. Draft ini dimasukkan ke dalam Prolegnas 2011, 2012, dan 2013 setelah mendapatkan desakan dari masyarakat sipil dan serikat buruh/pekerja. Perdebatan yang muncul sangat alot dan menunjukkan resistensi anggota DPR, dengan pelbagai penolakan atas nama budaya, dll. 137. RUU ini mulai dibahas DPR pada 2012, dilakukan oleh Komisi IX DPR sepanjang 2012 dan 2013, termasuk melakukan Kunjungan Kerja untuk Studi Banding RUU PPRT ke Afrika Selatan dan Argentina pada tanggal 27-31 Agustus 2012 dan Uji Publik ke Daerah pada tanggal 27-28 Februari 2013. Pada 25 Maret 2013 Komisi IX DPR melakukan finalisasi RUU PPRT untuk diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk diharmonisasi. 132 Baleg dan Komisi IX DPR mengadakan Rapat Pembahasan RUU PPRT pada tanggal 5 Juni 2013 dan menyepakati untuk melakukan pembahasan sinkronisasi antara Baleg dan Komisi IX pada tanggal 17 Juni 2013. 138. Namun, hingga Masa Sidang ke-3 DPR 2013-2014 belum terjadi pembahasan kembali di Baleg. Sementara sisa waktu Sidang DPR Periode 2009 s.d. 2014 akan berakhir pada Oktober 2014. Dari sini, terlihat bahwa DPR tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan dan mengesahkan RUU PPRT, karena seharusnya Baleg DPR dan Komisi IX DPR sudah selesai membahas, melakukan sinkronisasi dan DPR dapat memutuskan segera RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR untuk dibahas bersama dengan Pemerintah sebelum pergantian Anggota DPR dan Pemerintahan. 139. Secara substantif, RUU PPRT ini juga hanya memuat sekitar 30% dari usulan masyarakat sipil (JALA PRT KAPPRTBM), seperti adanya libur mingguan, cuti,

132

RU Perlindungan PRT diserahkan pada tanggal 2 April 2013 melalui Surat Resmi No. 87/Kom IX/DPR RI/IV/2013 (2 April 2013) oleh Komisi IX DPR RI ke Badan Legislasi DPR RI untuk diharmonisasi.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

238


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

istirahat, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, berorganisasi berserikat, batasan usia minimum 18 tahun dan penhapusan PRTA, pendidikan dan pelatihan dari kurikulum, penyediaan sarana dan anggaran menjadi tanggung jawab Pemerintah melalui APBN, APBD. 140. Masih terdapat isu krusial prinsip kerja layak yang belum dimuat dalam RUU Perlindungan PRT versi DPR, yaitu: § § § § § § § § § § § §

Hak atas Upah Minimum dan mekanisme pengupahan Hak atas Libur Mingguan minimal 24 jam/minggu Hak atas Cuti Tahunan Hak atas Cuti Haid Hak atas Cuti hamil – melahirkan Hak atas Jaminan Sosial Hak untuk Bersosialisasi, berorganisasi – berserikat Hak atas akomodasi dan makanan yang layak apabila PRT tinggal Hak atas THR Batasan usia minimum PRT 18 Tahun Perjanjian Kerja tertulis Batasan jam kerja maksimal 40 jam/minggu atau 8 jam/hari untuk 5 hari kerja/mimggu dan 7 jam untuk 6 hari kerja/minggu § Pendidikan dan Pelatihan sebagai bagian dari system perlindungan § Penyelesaian Penyelesaian § Penghapusan Penyedia jasa 141. Berikut isu-isu krusial tersebut yang masih sangat berbeda antara RUU dan situasi kerja layak PRT: RUU P PRT Komisi IX (250313) yang diserahkan ke Baleg DPR Perjanjian Kerja bisa tertulis dan lisan. Apabilan lisan maka Majikan Membuat Surat Keterangan Kerja

Pokok-pokok Pikiran Situasi Kerja Layak PRT Perjanjian kerja seharunya tertulis

Namun dalam pasal lain, disebutkan bahwa majikan wajib membuat perjanjian kerja tertulis. Tidak ada upah minimum. Penentuan upah ada pada majikan

Seharusnya upah disesuaikan dengan upah minum kota/kabupaten sesuai wilayah. Upah minimum harusnya ditetapkan tiap tahun dan disusun oleh Dewan Pengupahan.

Libur mingguan, cuti tahunan, cuti haid, cuti hamil, dan melahirkan tidak dinyatakan secara tegas sebagai hak PRT

Libur mingguan harus masuk klausul hak PRT

Jam kerja per hari:

Seharusnya, jam kerja perhari:

- Penuh waktu: akumulasi 8 s.d. 12 jam

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

- Paruh waktu: akumulasi s.d. 6 jam

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

239


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

1.

Batas usia minimum PRT adalah 18 (delapan belas) tahun.

1. Batas usia minimum PRT adalah 18 (delapan belas) tahun.

2. Untuk memberlakukan batas usia minimum PRT memerlukan masa transisi.

2. Untuk memberlakukan batas usia minimum PRT memerlukan masa transisi.

3.

3. Pemberlakuan masa transisi untuk penghapusan bertahap PRTA bisa dilakukan dengan diiringi dengan perbaikan Program Pendidikan untuk anak-anak, seperti Program Wajib Belajar yang sekarang 9 tahun hanya mencapai usia SLTP/SMP atau 15 tahun, dalam waktu kurun tahun mendatang, Pemerintah harus menjalankan Program Wajib Belajar menjadi 12 tahun hingga usia tamat SLTA/SMU atau 18 tahun.

Pemberlakuan masa transisi 10 tahun

Realitas PRT 142. PRT masih sering mengalami pelanggaran hak, terutama pada kondisi kerja yang layak, hak atas upah dan beban kerja, baik PRT di Indonesia maupun PRT Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai buruh migran. 143. Data yang dihimpun dari temuan lapangan dan penelitian pelbagai organisasi maupun jaringan (seperti Riset Advokasi PRT JALA PRT dan Komnas Perempuan Tahun 2006 di 10 wilayah, dan riset dan pendampingan oleh Rumpun Tjoet Njak Dien tahun 1994, 1998-2008) menunjukkaa bahwa mayoritas PRT yang menjadi korban ialah perempuan 97%, dengan 35% perempuan usia di bawah 18 tahun, 54% usia 18 – 50 tahun dan 11% > 50 tahun, dengan latar belakang pendidikan: SD 27%, SMP 68%, dan SLTA 5%, yang berasal dari rural area dan miskin kota. 144. Dari pendampingan dan penelitian ini tergambar persoalan kerja dihadapi oleh PRT di Indonesia, yaitu: a.

Tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak: Pemberian semua beban kerja termasuk yang bukan tugas pokok kepada PRT tanpa ada kesepakatan dan penyesuaian atas upah.

b.

Jam kerja yang panjang: umumnya lebih dari 14-16 jam perhari, hingga malam dan selalu siap on call.

c.

Tidak ada mekanisme pengupahan PRT: menyebabkan upah sangat rendah (di bawah rata-rata) ataupun tidak dibayar; ditunda pembayarannya; pemotongan semena-mena, seperti beberapa majikan yang memotong gaji untuk keperluan BPJS; tidak ada kenaikan yang pasti.

d.

Tidak ada hak libur mingguan, cuti tahunan, cuti haid, cuti hamil melahirkan.

e.

Tidak dicakup dalam mekanisme jaminan sosial (BPJS): jaminan pemiliharaan kesehatan dan keselamatan kerja, jaminan hari tua, kematian, melahirkan.

f.

Fasilitas akomodasi yang kurang atau tidak layak, tinggal satu ruangan dengan ruang kerja menyeterika, penyimpanan barang, bahkan tanpa ada almari ataupun tempat tidur dan keamanan, kenyamanan pribadi atas privasi.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

240


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

g.

Fasilitas makan yang kurang layak atau tidak layak, jam makan yang tidak jelas, bahkan menu makan yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan kalau berbeda dengan keyakinan agama dan kepercayaan.

h.

Tidak ada perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, seperti penggunaan bahan kimia pembersih rumah ataupun petunjuk tata cara kerja yang aman. Hal ini menyebabkan banyak PRT yang terjatuh dari atap, tersetrum listrik ketika membersihkan kulkas dan kompor listrik, kulit tangan mengelupas karena pemakaian pembersih porselen, terkena minyak panas, terkena ledakan kompor gas.

i.

Tidak ada atau minim akses komunikasi-sosial yang membuat PRT terkekang/jauh dari dari kontak sosial, baik dengan keluarga, lingkungan atau komunitas, yang menyebabkan tidak adanya intervensi dan kontrol sosial.

j.

Tidak Ada Kesempatan untuk Pengembangan/Aktualisasi Diri, dengan melarang PRT untuk terlibat dalam pelbagai bentuk kegiatan pengembangan diri, secara terselubung atau terbuka, termasuk pendidikan dan pelatihan.

k.

Tidak ada atau kurangnya akses atau fasilitas pendidikan dan informasi untuk pengembangan dan memperkuat diri.

l.

Situasi psikososial merasa cemas, takut membuat kesalahan, takut menyatakan pendapat, takut berekspresi, dan underestimated.

m. Tidak ada mekanisme penyelesaian perselisihan, sehingga penyelesaian seringkali bersifat sepihak. n.

Tidak ada mekanisme pengawasan atas situasi kerja PRT.

o.

Eksploitasi oleh agen penyalur PRT atau pihak yang sengaja memperdagangkan.

p.

Tidak ada standar situasi kerja layak, situasi relatif tergantung pada majikan, sehingga PRT rentan eksploitasi dan kekerasan, perlakuan pelecehan kekerasan verbal psikis dan fisik terhadap PRT.

145. Terlebih situasi PRT Anak, dalam situasi kerja tidak layak akan lebih rentan karena usianya yang secara fisik dan psikis belum siap bekerja. Dengan situasi kerja di atas, tumbuh kembang PRT anak terganggu dan bahkan mereka yang bekerja dengan pembatasan akses untuk pendidikan dan pengembangan dirinya bisa menyebabkan PRTA kehilangan separuh dari masa depannya. 146. Data dari berbagai sumber menunjukkan, dari tahun 2012-2013 terdapat 653 kasus kekerasan yang dapat tercatat oleh lembaga pendampingan dan media atau publik yang memberitakan. Kasus-kasus ini tidak menutup kasus-kasus yang tersembunyi, mengingat situasi PRT yang bekerja di ranah domestik dan tidak terakses. Beberapa Kasus PRT-PRTA Menonjol (tahun 2001-2013) di Indonesia Nama PRT

Bentuk

Tahun

Wilayah

Semisih

penganiayaan fisik

2001

Yogyakarta

Sutini

penganiayaan fisik

2002

Yogyakarta

Ponirah Jumiati kerja)

dan (rekanan

Keduanya bunuh diri dengan membakar karena mereka tidak tahan dianiaya

Jakarta

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

241


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Utin

penganiayaan fisik

Haryanti

korban perdagangan dan 2001-2002 penganiayaan fisik

Awari, Zumrotun, Nurhayati

luka parah

Karsih

luka parah

Maryati

dibunuh

Jumiah

dianiaya

2003

2004

Sarinah Emi

2006

Sunarsih

meninggal dianiaya

Sisamah

Penganiayaan fisik

2001

Surabaya

Halimah

Penganiayaan fisik

2001

Surabaya

Ratih

Penganiayaan fisik

2002

Surabaya

Eci, Dwi, (majikan sama)

Linda yang

Penganiayaan fisik

Surabaya

N (inisial)

Pemerkosaan

2004

S (inisial)

Pemerkosaan pembunuhan

dan 2004

Kaminah (16 tahun)

Penyaniayaan fatal

Hapsari

penganiayaan terhadap 2009 hingga meninggal

Bekasi Barat

Marlena

Penganiayaan

Surabaya

14 orang PRT (5 orang anak-anak) asal NTT yang bekerjaa di satu rumah

penelantaran, tindak Oktober 2012 perdagangan manusia dan upah tidak dibayar

Bogor, Barat

88 orang PRT (34 anak-anak)

Penyekapan oleh Penyalur

Tangerang Selatan, Banten

berakibat 2008

2011

Oktober 2013

Solo Mataram Tangerang Jawa

Jawa

Sumber: JALA PRT, 2013 147. Di samping kasus-kasus di atas, tercatat sekitar 37% kasus PRT ialah upah tidak dibayar, bahkan hingga kurun waktu 3 bulan, 7 bulan, 1 tahun, 2 tahun sampai 6 tahun lebih. Majikan seringkali menjanjikan akan menabung uang upah PRT dan memberikannya pada saat PRT pulang atau selesai masa kerjanya dengan alasan agar uang tidak habis digunakan PRT. Pola ini yang sering ditemukan dalam kasus pengupahan PRT. 148. Catatan Kasus yang dihimpun oleh JALA PRT dan anggotanya (di antaranya LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, RUMPUN Tjoet Njak Dien) penanganan hukum atas

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

242


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

kasus kekerasan PRT tidak berjalan secara adil dan tuntas sehingga tidak ada hukuman dan efek jera untuk pelaku. 149. Beberapa kasus yang dicatat hukuman bagi pelaku sangat ringan ialah kejadian penganiayaan PRTA Sunarsih hingga meninggal yang diproses di Pengadilan Negeri Surabaya Selatan dan Pengadilan Tinggi. Ny. Ita, pelaku kekerasan, hanya dikenai hukuman 2 tahun penjara. Padahal Ny. Ita merupakan pelaku kekerasan terhadap PRT secara berulang-ulang, setidaknya ada 4 kasus di tahun yang berbedabeda (1999, 2001, 2004, dan 2005). Pola penanganan kasus yang sama terjadi pada kasus PRT di Sunter, Jakarta, yang dilakukan oleh sepasang suami istri. 150. Dari catatan yang dihimpun tersebut, 65% proses hukum berhenti di kepolisian, seperti proses kasus penganiayaan PRTA Rara (16 tahun) oleh salah satu keluarga di Kompleks Perumahan Slipi, Jakarta, pada September 2011, berhenti di Polres Jakarta Barat. Proses penganiayaan PRTA, Serli (11 tahun) oleh keluarga salah satu anggota TNI di Bekasi Timur, Jawa Barat, pada Nopember 2011, juga berhenti di Polres Bekasi Timur. Tidak ada kelanjutan dari kasus-kasus ini. 151. Kasus penyekapan terhadap 15 PRT oleh keluarga Brigjen MS, di Bogor, Jawa Barat, pada Februari 2014 dan terjadi pula sebelumnya pada 30 September 2012, juga tidak ada kelanjutan. Pada kejadian pertama (2012), investigasi dan tuntutan pernah dilakukan oleh JALA PRT ke Polres Bogor Kota dan Polsek Bogor Tengah pada tanggal 3 Oktober 2012 dan meminta agar Polres bertindak. Namun, Kepolisian justru tidak memberikan akses dan tidak ada kejelasan kasus. Kasus penyekapan (perbudakan) terhadap 15 PRT ini terbongkar kembali karena keberanian Yuliana, salah seorang PRT, untuk melaporkan kondisinya. Rekomendasi Dalam perlindungan PRT, kami merekomendasikan agar: 1) 2) 3) 4)

5)

DPR RI dan Pemerintah RI harus segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan mengesahkannya sebagai Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; DPR RI dan Presiden RI harus segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 mengenai Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI harus segera mengambil langkahlangkah aktif agar pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, bersama dengan Menteri Luar Negeri RI, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Menteri Hukum dan HAM RI harus segera mengambil langkah-langkah bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam mendorong DPR untuk Ratifikasi Konvensi ILO No. 189 mengenai Kerja Layak PRT; Mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM dalam pengaturan PRT di Indonesia, termasuk pula RUU PRT yang tengah dibahas, sebagaimana UDHR, CEDAW, CRC, CMW, dan Konvensi ILO No. 189.

F. Pasal 8 – Hak Serikat Pekerja

Isu 18: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk menjamin hak mogok kerja bagi pegawai negeri sipil. Harap jelaskan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

243


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

pula keadaan-keadaan dimana keikutsertaan dalam pemogokan dikriminalisasi dan diancam dengan hukuman yang melibatkan kerja paksa 152. Meskipun Indonesia telah meratifikasi konvensi ILO No. 87/1948 yang kemudian dituangkan dalam UU No. 21 Tahun 2000 dan Konvensi No. 98/1949 (melalui UU 18/1956), pada kenyataannya masih seringkali ditemukan pelanggaranpelanggaran atas konvensi/UU ini. Salah satu contohnya adalah penganiyaan oleh sekelompok orang (masyarakat) tidak dikenal yang dialami oleh buruh ketika melakukan aksi Mogok Nasional 28 – 29 November 2013 di Bekasi, Jawa Barat. 153. Peristiwa ini menimbulkan korban tidak kurang dari 17 orang luka-luka (ringan dan berat) akibat dianiaya dan dilukai menggunakan benda-benda tajam. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menegaskan, diduga kuat bahwa aktor intelektual tindak pembacokan dan pembunuhan berencana ini ialah Polisi, Koramil, Pemerintah Daerah, Musyawarah Pimpinan Daerah, Apindo, dan Aspelindo. Dalam kondisi ini, polisi yang sudah diberitahu tentang rencana mogok ini justru mengabaikan dan mendiamkan aksi brutalitas penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan kepada buruh yang sedang berunjukasa (secara damai). 154. Kasus-kasus Pemberangusan serikat pekerja masih saja menjamur. Salah satu kasusnya seperti yang dialami oleh 47 orang pekerja yang tergabung dalam Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK-SP KEP SPSI) PT. Sinar Antjol, Tangerang, Jakarta. Karena melakukan mogok kerja akibat gagalnya perundingan kerja bersama, ke-47 pekerja yang merupakan aktivis buruh ini di-PHK sepihak oleh managemen PT. Sinar Antjol. 155. Kementerian Pendidikan Nasional memaksakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.74 tahun 2013 tentang Guru. Revisi PP ini terutama terkait pasal 44 ayat (3) mengenai persyaratan keanggotaan dan kepengurusan organisasi profesi Guru yang disamakan dengan persyaratan pendirian partai politik, dan yang dapat memenuhi syarat tersebut hanyalah PGRI. Pemaksaan revisi PP No. 74/2008 berpotensi membungkam para guru kritis melalui pembatasan kebebasannya dalam berorganisasi.

Isu 19: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk melawan pemecatan yang tidak adil dan tindak kekerasan berdasarkan keanggotaan dan kegiatan dalam serikat buruh, terlepas dari adanya ketentuan hukum yang berlaku. 156. Laporan pidana adanya union busting dalam kasus PHK pengurus serikat buruh/pekerja masih direspon kurang serius oleh aparat penegak hukum. Hal ini terjadi pada pengurus FSPMI Perusahaan Kawasaki Jakarta. Pengurus diputus hubungan kerja karena menyebarkan leaflet untuk anggotanya. Pengurus FSPMI telah melaporkan pidana union busting ini ke kepolisian, namun kasusnya tidak diproses oleh kepolisian.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

244


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

G. Pasal 9 – Hak atas Jaminan Sosial

Isu 20: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk menetapkan suatu asuransi tuna karya 157. Hak atas jaminan sosial diatur dalam Pasal 28 H (3) dan Pasal 34 (2) UUD 1945, UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 /2011 tentang BPJS. UU SJSN mengamanatkan penyelenggaraan jaminan sosial untuk seluruh Rakyat Indonesia, meliputi manfaat: 1) Jaminan Kesehatan; 2) Jaminan Kecelakaan Kerja; 3) Jaminan Kematian; 4) Jaminan Hari Tua; 5) Jaminan Pensiun. Program ini dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).133 158. Pada 2011 Pemerintah membentuk UU BPJ. Program ini ditetapkan per 1 Januari 2014. Sejak 2004 sampai 2014, penyelenggara jaminan sosial dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, yang hanya melayani PNS dan tidak mencakup seluruh pekerja di sektor formal, apalagi informal. 159. Munculnya UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS telah mengakhiri pembedaan ini, karena penyelenggara yang telah ada dilebut dalam BPJS yang mencakup seluruh pekerja formal, informal dan mereka yang tidak terafiliasi dengan lembaga swasta atau negara, meliputi jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Jaminan kesehatan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014 dan jaminan ketenagakerjaan akan dilaksanakan pada 2016. 160. BPJS kesehatan ini mencakup tiga kategori: 1) individu yang tidak bekerja atau informal (membayar iuran); pekerja dan dibayar oleh perusahaan (3,5% perusahan, 0,5% buruh); 3) PBI, yaitu orang-orang miskin yang ditanggung oleh Negara. Jaminan Sosial Kesehatan dan Permasalahannnya 161. UU 40/2004 SJSN dan UU 24/2011 tentang BPJS tidak mencakup seluruh jenis penyakit yang harus ditanggung di dalam program ini. 162. Pada September 2012 pemerintah menetapkan iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp22.000 ribu per orang tiap bulan. Setiap peserta BPJS harus membayar iuran tersebut, kecuali warga miskin. Namun pada Maret 2013, Kementerian Keuangan memotong besaran iuran BPJS menjadi Rp15.500 dengan alasan mempertimbangkan kondisi fiskal negara. Padahal, Ikatan Dokter Indonesia telah mengkaji besaran iuran yang ideal berdasarkan pengalaman praktis dari PT Askes bahwa untuk golongan satu sebesar Rp38.000.134 Hal ini menyebabkan kecilnya cakupan biaya yang ditanggung oleh Negara, sehingga pelayanan BPJS tidak maksimal, dengan kualitas yang tidak layak. 163. Prosedur pelayanan berbelit-belit, baik saat memproses kartu PBJS maupun di rumah sakit. Bahkan banyak pasien yang ditolak rumah sakit karena belum mengubah kartu jaminan sosial yang lama menjadi kartu BPJS.135 Di luar itu, masih banyak pula

133

134

Pasal 52 ayat (2) UU SJSN

“DPR: BPJS Belum Siap Beroperasi pada http://www.portalkbr.com/berita/nasional/2510997_4202.html 135

2014”,

Fri,08

March

2013,

“Jamkesmas Tak Berlaku, Pasien Terlantar di Rumah Sakit”, Rabu, 12 Februari 2014,

http://satuharapan.com/index.php?id=109&tx_ttnews[tt_news]=12244&cHash=1

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

245


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

rumah sakit yang menolak program BPJS dan tidak mau melayani pasien yang menggunakan fasilitas ini, terutama dari kelompok miskin dan tidak mampu. Praktik demikian tidak berbeda dengan praktik layanan kesehatan kelompok miskin sebelumnya (melalui program Jamkesmas, Jamkesda, Gakin, dan SKTM), karena 70% dari pengguna mengeluhkan pelayanan rumah sakit, seperti adminsitrasi, perawat, dokter, sarana dan prasarana, uang muka, obat, biaya dan layanan rumah sakit lainnya.136 164. Minimnya sarana dan infrastruktur rumah sakit atau klinik penyelenggara BPJS menyebabkan pasien yang membutuhkan pertolongan harus berkeliling dahulu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas memadai atau hanya karena rumah sakit semula sudah penuh. Dalam beberapa kasus, rumah sakit tidak memberikan pelayanan cepat kepada pasien-pasien yang sekarat, padahal masih memungkinkan untuk dirawat. Seorang pasien bernama Nur dipaksa oleh sebuah rumah sakit di Jambi untuk mencari darah sendiri sebelum dioperasi pada keesokan hari. Dalam kondisi sakit pasien harus mencari darah yang menyebabkan operasi harus ditunda keesokan harinya, karena pasien baru mendapatkan 2 kantong darah dari 3 kantong darah yang diperlukan. RS dan BPJS tidak mau peduli terhadap kebutuhan darah pasien.137 165. Layanan belum mencakup kelompok tertentu karena sosialisasi BPJS belum menyentuh kelompok marjinal, seperti gelandangan, pekerja seks komersial (PSK) dan waria. Ketika mereka tahu tentang jaminan sosial ini, mereka juga terkendala dengan data kependudukan. Waria, PSK, dan anak jalanan banyak tidak memiliki kartu tanda penduduk dan alamat tetap. Hal ini juga mengancam kelompok agama tradisional di Indonesia (penghayat kepercayaan) yang masih banyak tidak memiliki identitas kependudukan. 166. Pekerja rumah tangga dan pekerja informal lainnya harus membayar sendiri iuran jaminan sosialnya karena dikategorikan pada kelompok pertama. Padahal, secara ekonomi pemasukan kebanyakan PRT dan pekerja informal tidak memadai untuk membayar iuran. 167. Belum adanya produksi obat-obatan mahal yang sangat dibutuhkan bagi penderita penyakit kronis. Sebaliknya, obat-obatan yang bersifat jangka panjang dan life-saving ini masih harus impor dalam bentuk jadi, sehingga harga dari obat-obatan itu sangat mahal. Akibatnya, obat-obatan jenis ini tidak ditanggung dalam skema jaminan sosial dan warga miskin yang menggunakan program BPJS diberikan obatobatan yang berbeda dengan layanan umum.138 168. Permasalahan berikutnya, melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 69 Tahun 2013, penentuan tarif pembiayaan sistem “Indonesia Case Absed Groups (INACBG's)” (INA-CBG’S) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 69 Tahun 2013). Ada beberapa kelemahan dari penetapan ini:

136

Survei yang dilakukan ICW pada 986 pasien miskin pemegang kartu Jamkesmas, Jamkesda, Gakin dan SKTM pada 19 rumah sakit pemerintah dan swasta di Jabodetabek tahun 2010. Indonesian Corruption Watch (ICW), “70 Persen Pasien Miskin Masih Keluhkan Layanan Rumah Sakit”, Jakarta, 22 Desember 2010, http://www.antikorupsi.org/id/content/%E2%80%9C70-persen-pasien-miskin-masih-keluhkanlayanan-rumah-sakit-%E2%80%9C 137

“Evaluasi 50 Hari Beroperasinya BPJS Kesehatan”, Kamis, 20 Februari http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/20/evaluasi-50-hari-beroperasinya-bpjs-kesehatan

2014,

138

“PKBI: Gelandangan dan Waria Potensial Tak Terlayani BPJS”, 25 Februari 2014, http://m.portalkbr.com/berita/perbincangan/3147073_5534.html

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

246


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

a. Banyak kasus pasien ditolak oleh fasilitas kesehatan, baik di Rumah Sakit maupun klinik, karena fasilitas kesehatan merasa rugi menerima pasien BPJS Kesehatan sebab tarif pembiayaan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dianggap sangat kecil dan tidak memperhatikan real cost yang dikeluarkan rumah sakit. b. Meskipun pasien ditangani oleh fasilitas kesehatan, apabila terdapat selisih biaya dari tarif pembiayaan yang ditetapkan Pemerintah melalui sistem INA-CBG’S dibandingkan biaya rill yang dikeluarkan fasilitas kesehatan, selisih biaya tersebut dibebankan kepada pasien oleh pihak fasilitas kesehatan. Akibatnya, banyak pasien yang tetap dimintai biaya (membayar) pengobatan walaupun sudah membayar iuran BPJS. c.

BPJS Kesehatan tidak dapat melakukan apa pun untuk menyelesaikan persoalan tarif pembiayaan kepada fasilitas kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 69/2013, kewenangan penentuan tarif pembiayaan sistem INACBG’s merupakan kewenangan Menteri Kesehatan.

d. Dana (Penerima Bantuan Iuran) PBI yang totalnya hampir mencapai Rp20 triliun dari pemerintah (Kemenkeu) hingga saat ini belum seluruhnya diserahkan ke BPJS Kesehatan, sehingga pembayaran ke provider Rumah Sakit dan Klinik/Puskesmas terganggu. Yang dikorbankan ialah warga yang menggunakan layanan jaminan sosial kesehatan. Rekomendasi 1)

Memastikan agar layanan kesehatan melalui program BPJS dapat dinikmati oleh seluruh warga negara, terutama kelompok rentan dan miskin, tanpa adanya pembedaan.

2) Meningkatkan fasilitas dan infrasturktur rumah sakit dan puskesmas, terutama di wilayah pedesaan yang jauh dari pusat kota. 3) Merivisi Peraturan Menteri Kesehatan No. 69 Tahun 2013 yang menetapkan tarif pembiayaan sistem INA-CBG's, termasuk pula meningkatkan pagu anggaran per kepala untuk layanan jaminan sosial kesehatan. 4) Menjamin kelompok marjinal mendapatkan haknya atas jaminan sosial kesehatan tanpa membedakan latar belakang agama, ras, suku, kekayaan, pekerjaan, jenis kelamin dan orientasi seksual.

Isu 21: Harap memberikan informasi, termasuk data statistik, mengenai cakupan asuransi kesehatan saat ini, dipilah berdasarkan pengelompokan yang disebutkan dalam Laporan Negara ayat 103. 169. Sejauh ini tidak ada transparansi dan kejelasan kepada publik dari Pemerintah Indonesia terkait siapa saja yang dikategorikan fakir miskin dan orang tidak mampu untuk mendapatkan asuransi kesehatan, termasuk kriteria dan penetapannya. Hal ini, di antaranya, disebabkan pelbagai instansi Pemerintah (kementerian/lembaga) memiliki data yang berbeda-beda terkait jumlah Penerima Bantuan Iuran. 170. TNP2K mempublikasi data bahwa jumlah fakir miskin dan orang tidak mampu di Indonesia mencapai 96,7 juta jiwa, sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasi data jumlah fakir miskin dan orang tidak mampu mencapai 100,8 juta

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

247


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

jiwa. Hal ini menimbulkan ketidakpastian, apakah pengemis, anak telantar, guru honor, buruh penerima upah di bawah upah minimum berhak menerima PBHI.139 171. Menjelang beroperasinya BPJS Kesehatan pada per 1 Januari 2014, PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 menetapkan penerima PBI sebanyak 86,4 juta. Namun, kecenderungannya yang menonjol ialah, bahwa kebijakan ini merupakan keputusan politik tanpa dasar argumentasi yang jelas. Bila mengacu pada data TNP2K, maka masih terdapat 10,3 juta jiwa rakyat Indonesia yang seharusnya berhak menjadi peserta PBI. Jumlah tersebut akan bertambah menjadi 14,4 juta jiwa apabila merujuk data BPS. 172. Pemerintah Indonesia mengklaim telah memiliki data by name dan by address terkait fakir miskin dan orang tidak mampu yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran, namun sampai saat ini data tersebut tidak pernah ditunjukkan kepada publik bahkan tidak juga ditunjukkan kepada DPR meskipun sudah diminta. Dalam hal ini, Pemerintah lebih cenderung mempertimbangkan faktor pencitraan politis dibandingkan kondisi real rakyat Indonesia yang semestinya berhak menjadi peserta BPJS Kesehatan kategori Penerima Bantuan Iuran. Rekomendasi 1)

Pengecekan kembali sasaran penerima bantuan iuran (PBI) agar tepat sasaran bagi mereka yang betul-betul di bawah garis kemiskinan, dengan mekanisme yang transparan.

2) Meningkatkan jumlah PBI dan menjadikan data yang paling tepat sebagai rujukan. 3) Mengganti sistem INA CBG`s yang membuat semua pelayanan kesehatan lebih buruk menjadi menjadi sistem “Fee for Service� dengan pengawasan ketat oleh BPJS Kesehatan.

Isu 22: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang disediakan bagi orang-orang yang bekerja di sektor informal untuk mengakses layanan-layanan dasar dan jaminan sosial. Harap berikan pula informasi lebih lanjut tentang asuransi sosial informal yang disebutkan dalam Laporan Negara ayat 67 serta langkah-langkah yang diambil untuk meningkatkan jumlah pekerja informal (non-hubungan industri) yang ikut-serta dalam program perlindungan sosial Negara Pihak, termasuk program yang dikelola oleh PT Jamsostek. Perlindungan sosial bagi rakyat miskin dan terpinggirkan serta korban bencana skala kecil 173. Banyak kelompok masyarakat yang tidak menghadapi risiko bencana alam namun berisiko mendapatkan bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim dan konflik yang disebabkan masalah sosial. Beberapa kasus banjir dan kekeringan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia memengaruhi jalur makanan di daerah dan merusak penghidupan pihak-pihak yang hidup dari pertanian, perikanan, dan makanan. Erupsi Gunung Rokatenda di Sikka, Nusa Tenggara Timur, konflik sektarian di Sampang, Jawa Timur, banjir di Maluku Tengah dan Seram Barat, merupakan

139

Lihat peta dan grafik data TNP2K dalam http://data.tnp2k.go.id/?q=category/data/peta-grafik

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

248


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

contoh bencana-bencana skala kecil pun meninggalkan korban-korbannya tanpa mendapat dukungan Pemerintah (Survey Views dari Garis Depan, 2013). 174. Perlindungan sosial yang layak dengan jaminan hidup bagi orang-orang yang tinggal di wilayah-wilayah rawan bencana masih belum dapat dirasakan karena selama ini pihak Pemerintah mengukur pengaruh suatu bencana sekadar dari jumlah korban semata. Pengaruh bencana terhadap kehidupan manusia tidak mendapat perhatian yang memadai. Berbagai kebijakan, seperti pinjaman lunak dan persyaratan administratif yang diperingan bagi orang-orang cacat, orang tua, pekerja sektor informal, dan kelompok terpinggirkan yang tinggal di daerah-daerah rawan bencana. Namun, jelas terlihat bahwa masyarakat memiliki daya tahan yang kuat dengan adanya inisiatif-inisiatif perlindungan sosial independen, seperti tabungan masyarakat, bantuan makanan, dan sistem tabungan atau kredit dalam satu kelompok masyarakat, seperti PKK, dan RT/RW. Bantuan tunai langsung bagi korban bencana sedikit banyak telah mengubah inisiatif masyarakat ini. Rekomendasi a. Pemerintah harus menyediakan skema jaminan bagi masyarakat di wilayah rawan bencana, terutama mereka yang tergolong kurang beruntung sebagai antisipasi terhadap terjadinya bencana skala kecil dengan pengaruh yang besar. b. Indikator: persentase skema perlindungan sosial untuk melindungi kehidupan rakyat miskin, yang tidak beruntung, dan mereka yang bekerja di sektor-sektor informal; kelompok target haruslah merupakan orang-orang terkategori lemah dalam menghadapi bencana skala kecil yang diperkirakan akan meningkat frekuensinya dikarenakan perubahan iklim.

H. Pasal 10 – Perlindungan Keluarga, Ibu dan Anak

Isu 24: Harap memberikan informasi mengenai penegakan hukum yang relevan yang melarang perburuhan anak dan dampak dari penerapan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Terburuk Perburuhan Anak 175. Pemerintah Indonesia memang sudah membuat sejumlah kebijakan, di antaranya Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional dan Peraturan Menteri, untuk penghapusan pekerja anak.140 Namun, kebijakan tersebut tidak berjalan efektif dan tidak memberikan dampak signifikan akibat lemahnya pengawasan, koordinasi, dan penegakan hukum. Dalam penelitian tentang Policy Implementation Elimination of the Worst Forms of Child in Semarang ditemukan bahwa permasalahan utama dalam pelaksanaan kebijakan ini terletak pada tidak adanya kapasitas dan kemampuan dari petugas dan pemerintah, kurangnya koordinasi, sanksi yang rendah dan lemah bagi

140

Di antaranya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2009 Pedoman Pembentukan Komite Aksi Daerah, Penetapan Rencana Aksi Daerah, Dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.115/MEN/VII/2004 Tahun 2004 tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat Dan Minat, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-235/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan Atau Moral Anak, Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

249


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

pelaku yang mengeksploitasi pekerja anak dan adanya pengambilan keuntungan dari praktik ini.141 176. Tidak ada data terpilah atau pemutakhiran dari pemerintah terkait penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak (PBPTA) yang mengakibatkan sulitnya mengidentifikasi kesuksesan program dan keberhasilannya. Belum juga tampak koordinasi antarlembaga pemerintah terkait penanganan pekerja anak, yang seharusnya dapat dilakukan oleh Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Tiap-tiap kementerian melaksanakan masing-masing tugas pokok dan fungsinya, tanpa ada koordinasi yang jelas. 177. Tiap-tiap kementerian memiliki program unggulan. KPPA dengan Kota Layak Anaknya menargetkan 100 kota sebagai Kota Layak Anak dalam waktu dekat. Program Penarikan Pekerja Anak dalam rangka menunjang Program Keluarga Harapan (PPAPKH) dijalankan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak 2008, namun hingga saat ini baru berhasil menarik puluhan ribu anak dan dikembalikan ke sekolah, padahal ada jutaan pekerja anak.142 Buruh Migran Anak dan Trafficking 178. Di sektor migrasi tenaga kerja ke luar negeri, buruh migran yang dikirim keluar negeri dominan anak-anak. Mereka direkrut oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja (PJTKI) langsung dari desa-desa asal anak-anak tersebut. Dokumen anak-anak ini umumnya dipalsukan, sehingga mereka bisa lulus dalam seleksi untuk dikirimkan ke luar negeri. 179. Mayoritas buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri bekerja di sektor domestik yang miskin perlindungan. Mereka menghadapi kondisi kerja buruk atau kondisi kerja mirip perbudakan. Tidak sedikit buruh migran yang diperdagangkan menjadi pekerja seks. UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri membuka peluang bagi terjadinya perdagangan orang dengan modus pengiriman buruh migran ke luar negeri, karena lebih banyak mengatur tentang bisnis pengiriman buruh migran ke luar negeri daripada aspek perlindungan. 180. Perlindungan terhadap buruh migran – termasuk buruh migran anak – cenderung diserahkan pada Migrant Worker Placement Companies (PJTKI), yang lebih berorientasi bisnis. UU 39/2004 juga tidak kunjung direvisi, sementara ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran tidak memberikan pengaruh positif apa pun bagi perlindungan. Ratifikasi tidak diikuti dengan langkah komprehensif, seperti pembuatan kebijakan dan pembangunan infrasturktur, sehingga hanya sebatas capaian normatif. 181. Indonesia juga memiliki UU Penghapusan Perdagangan Orang, namun UU ini praktis tidak dijalankan. Para pelaku perdagangan orang tidak diproses dan dikenai hukuman berdasarkan UU tersebut. Alasannya, hukuman yang diberikan bagi para pelaku perdagangan orang terlalu berat. Akibatnya, PJTKI yang melakukan perdagangan orang hanya dikenai sanksi administratif berupa peringatan, skorsing

141

Maulida Putri Rahmawati, et.al, Policy Implementation Elimination of the Worst Forms of Child in Semarang, (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Dipoenogoro), accessed from http://download.portalgaruda.org/article.php?article=72982&val=4925 142

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, “Catatan: Anak Indonesia Pasca Sepuluh Tahun Lahir UU Perlindungan Anak�, 2012, diakses dari http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=980:cat-anak-indonesia-pascasepuluh-tahun-lahirnya-uu-perlindungan-anak&catid=89:artikel&Itemid=121

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

250


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

atau pencabutan izin. PJTKI yang dicabut izinnya bisa dengan mudah membuat PJTKI baru, sehingga perdagangan orang – khususnya anak-anak – terus berlangsung. 182. Kegagalan pemerintah dalam menghapus pekerjaan terburuk anak, terutama migran, dapat dilihat dari data-data berikut: 1) Setiap tahun sedikitnya 450.000 orang (70% perempuan, 60% tidak melalui prosedur) dikirim ke luar negeri menjadi buruh migran dgn kondisi miskin perlindungan; 2) setiap tahun sedikitnya 25.000 buruh migran Indonesia mengalami pelanggaran HAM’; 3) terus meningkatnya angka kematian buruh migran di luar negeri akibat kekerasan (tahun 2001 ada 33 buruh migran Indonesia matidi luar negeri, tahun 2002 ada 177 buruh migran meninggal di luar negeri, tahun 2005/2006 ada 300 buruh migran yang meninggal; tahun 2008 ada 513 buruh migran meninggal di Malaysia, dan tahun 2009: 1000 lebih buruh migran meninggal di luar negeri).

I. Pasal 11 – Hak atas Kehidupan Yang Layak

Isu 25: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk meningkatkan ketahanan dan kesiapan kelompok masyarakat tertinggal dan rentan bencana alam, serta tentang pengaruh langkah-langkah penanggulangan dampak bencana alam terhadap hak-hak dalam Kovenan 183. Dari sekitar 11 jenis seluruh bencana alam (6401 kali kejadian bencana dalam periode 2004 – 2012) yang ada di Indonesia, 3 besar bencana yang sering terjadi ialah banjir (2.610/40,77%), angin puting beliung (14.970/23,39%) dan tanah longsor (1.228/19,18%). Sedangkan bencana nonalam yang terjadi pada periode 2004 – 2012 ada 5 jenis bencana, yakni kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, teror dan sabotase serta konflik/kerusuhan sosial. 184. Tingginya tingkat bencana yang terjadi di Indonesia telah mendorong pembuatan UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Pemerintah juga telah berupaya menyusun Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB),143 Rencana Penanggulangan Bencana dan Rencana Aksi Daerah (RPB RAD), Rencana Kontinjensi (RENKON) yang dibuat di seluruh tingkatan mulai kelurahan sampai provinsi,144 pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi, Desa Tangguh Sekolah Aman dan Siaga Bencana, Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di semua sekolah (Pengarusutamaan PRB) dalam pembangunan, serta sejumlah kebijakan lain, baik di tingkat pusat atau daerah. Telah ada pula upaya pelibatan masyarakat sipil dan sektor privat dalam penanganan bencana ini yang pada dasarnya harus dilanjutkan. 185. Di sisi yang lain, kebijakan yang telah dibuat ini seringkali tidak dijalankan dengan baik dan maksinal, sehingga kebijakan hanya berhenti di atas kertas dan di lapangan masih sering muncul kendala-kendala teknis yang menghalangi penanganan korban bencana secara maksimal. Dalam banyak situasi terjadinya bencana, pemerintah seringkali tidak siap dan lambat dalam merespon bencana dan mengurangi

143

See, Rencana Penanggulangan Bencana Nasional at http://www.bnpb.go.id/uploads/pubs/468.pdf

144

GTZ, Contingency Planning: A Review Selected Guidelines and Plans, (GTZ, 2010), http://www.gitews.org/tsunami-kit/en/E4/further_resources/Contingency%20Planning%20%20A%20Review%20of%20Selected%20Guidelines%20and%20Plans.pdf

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

251


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

dampaknya, termasuk pula dalam hal ini untuk meningkatkan ketahanan dan kesiapan komunitas/masyarakat/kelompok – khususnya kelompok rentan – terhadap bencana dan dalam mengurangi risiko serta dampak bencana. 186. School disaster management, termasuk “perencanaan kontinjensi sekolah”, belum menjadi bagian dari standar layanan pendidikan di Indonesia, walaupun secara normatif school disaster management telah menjadi bagian dari rencana pendidikan bencana di daerah. Program ini sangat tergantung pada kesadaran pemangku kewenangan dan stakeholder di tingkat lokal. Belum ada model kontinjensi pendidikan bencana untuk sektor pendidikan yang disepakati dan diformalkan. Padahal emergency respon melalui mekanisme perencanaan kontinjensi (impending disaster, singel hazard) ini yang akan menjadi landasan operasional tanggap darurat pada saat terjadinya bencana. Hal ini juga dihalangi oleh kurangnya pelatihan-pelatihan atau penyadaran masyarakat terkait tanggap darurat, terutama di bidang pendidikan. 187. Salah satu sebab lambatnya penanganan ini ialah belum maksimalnya BNPB Daerah memberikan informasi dan berkoordinasi dengan BNPB Pusat, sehingga BNPB terlambat melakukan koordinasi dengan institusi/pihak lain. Dalam kasus terakhir (Januari 2014), ketika banjir melanda sebagian besar kota dan wilayah di Indonesia, masih sering terjadi penelantaran korban di lapangan. Banjir di Indramayu-CirebonSubang, misalnya, sudah terjadi selama empat hari dan memutus Jalur Pantai Utara Pulau Jawa (Pantura). Di Indramayu, banjir menggenangi 17 kecamatan. Ribuan rumah terendam dengan ketinggian air berkisar 50 centimeter hingga 3 meter. Ribuan orang terpaksa mengungsi ke sekolah-sekolah, sehingga kegiatan belajar mengajar pun terhenti. Namun, meski sudah berlangsung selama empat hari, belum ada tindakan cepat dan tanggap dari pemerintah daerah dan BPBD setempat untuk menangani korban banjir. Di sejumlah kecamatan, pengungsi tak mendapat bantuan logistik apa pun dari Pemda dan BPBD.145 188. Yang terjadi sebaliknya, kebijakan dan program pemerintah, terutama di daerah yang telah memiliki otonomi yang luas justru meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap bencana, seperti kebijakan pemerintah untuk memberikan izin perluasan industri pertambangan dan perkebunan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, masyarakat adat, dan konflik. Ekspansi industri perkebunan dan pertambangan dilakukan tanpa kendali. Masyarakat – khususnya masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya – semakin rentan terhadap bencana akibat perusakan lingkungan oleh industri perkebunan dan pertambangan. Setelah pulau-pulau besar habis dikapling-kapling untuk industri pertambangan dan perkebunan sawit, kini industri pertambangan meluas ke pulau-pulau kecil yang merupakan daerah rawan bencana. Bahkan izin pertambangan diberikan di area hutan lindung/daerah konservasi. Di sisi yang lain, Pemerintah tidak mengantisipasi terjadinya bencana, seperti membuat peta risiko bencana. 189. Dalam kasus bencana banjir bandang di Manado (Januari 2014) yang terhitung sebagai bencana paling besar sepanjang 2013 – 2014,146 misalnya, walaupun BMKG (Indonesian Agency for Meteorology, Climatology and Geophysics) memandang bahwa bencana ini merupakan anomali, suatu fakta yang tidak bisa dibantah ialah

145

“Penanganan Bencana di Daerah Lambat, Apa Sebabnya?”, Jurnal Parlemen, Rabu, 22 Januari 2014, http://www.jurnalparlemen.com/view/7596/penanganan-bencana-di-daerah-lambat-apasebabnya.html 146

Video Youtube banjir bandang Manado: http://www.youtube.com/watch?v=bbd0mn3IKQc

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

252


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

kegundulan hutan dan perbukitan di atas wilayah tersebut yang kemudian menyebabkan air sungai meluap ke daratan rendah di kawasan kota.147 Di lain pihak, pemerintah sama sekali tidak memiliki peta risiko bencana di Manado. Padahal hingga saat ini banjir bandang masih mengancam wilayah tersebut. 148 190.

Bencana dan Dampaknya (pada Pendidikan Anak-anak); Dampak Bencana Skala Besar dalam Kurun Waktu 7 Tahun Terakhir Bencana

Korban jiwa (meninggal)

Harta benda

Gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara (Desember 2004)

165.708 jiwa

Rp. 4,45 triliun

Gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada (Mei 2006)

5.667 jiwa

Rumah rusak 156.662 buah dan kerugian harta benda Rp. 3,134 triliun

Gempa dan tsunami di Pangandaran (Juli 2006)

658 jiwa

Rp. 137,8 miliar

Bencana Banjir Jakarta pada Februari 2007

145.774 rumah dan mengakibatkan kerugian Rp967 miliar.

Contoh Dampak Bencana pada Pendidikan Peristiwa

Dampak

Gempa bumi Yogjakarta (2006)

2900 sekolah hancur/rusak berat

Gempa bumi di Padang (2009)

Sebanyak 1.606 ruang kelas (241 sekolah hancur/rusak) dan 60 siswa meninggal di sekolah

Gempa bumi dan Tsunami di Mentawai 7 sekolah rusak (2010) 191. Dalam banyak kejadian, kegiatan belajar-mengajar terganggu sampai terhenti karena kerusakan sekolah. Selain kerusakan infrastruktur pendidikan, kerugian material juga terjadi dengan hilangnya perlengkapan sekolah anak-anak dan munculnya biaya tambahan untuk bersekolah di tempat lain sampai infrastuktur selesai diperbaiki. 192. Akibat erupsi Merapi 2010, 5 TK dan 6 SD di sekitar Gunung (Kabupaten Sleman, Yogyakarta) mengalami kerusakan parah terkena awan panas. Sekolah dengan rusak ringan juga terpaksa diliburkan karena akses ke sekolah rusak berat atau tertutup. Durasi penutupan ini bervariasi, dari hitungan hari sampai bulan, dengan

147

Catatan Sekretariat Nasional Walhi (Wahana Lingkungan Hidup).

148

Peneliti UGM: Longsor dan Banjir Bandang Masih Mengancam Manado, Senin, 20 Januari 2014, http://www.ugm.ac.id/id/berita/8604-peneliti.ugm:.longsor.dan.banjir.bandang.masih.mengancam.manado

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

253


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

rata-rata 1-7 hari. Dilihat dari per wilayah; di wilayah terdampak langsung letusan 98,04% peserta didik tidak dapat sekolah selama 1-7 hari dan 1,96% berhenti selama 815 hari; di wilayah terdampak langsung 83,88% peserta didik tidak dapat sekolah selama 1-7 hari, dan 12,73% (8-15 hari), 3,08% (16-30 hari) dan selebihnya lebih dari 30 hari. 193. Dalam hal ini, telah ada rencana kontijensi sektor pendidikan dalam penyelenggaraan sekolah darurat satu minggu pascabencana, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun lembaga nonpemerintah. Sekolah-sekolah di sekitar titik pengungsian diwajibkan menerima para siswa yang saat itu sedang mengungsi. Sementara bagi yang mengungsi tidak lebih dari 1 minggu, sekolah dan kelas digabungkan dengan sekolah terdekat. Kerusakan fasilitas pendidikan akibat bencana alam 2005-2011 Natural Disaster 2005 - 2011 NO

NATURAL DISASTER

1

Flood

2

Landslide

3

Landslide and flood

4

Tide/abrasion

5

Earthquake

6

Volcanic eruption

7

Earthquake and tsunami

8

Wind cyclone

194.

EDUCATION FACILITY DAMAGE 4.327 54 834 10 19.438 366 14 357

Permasalahan dalam penanganan bencana dalam bidang pendidikan: a. Kaitannya dengan dampak bencana pada pendidikan, Pemerintah daerah biasanya lambat menginstruksikan penitipan kegiatan belajar-mengajar anakanak korban bencana di sekolah-sekolah yang dekat dengan lokasi pengungsian. Pada kasus Merapi 2010, misalnya, instruksi keluar satu minggu di lokasi pengungsian. Anak-anak pengungsi harus dihadapkan, pada: (1) Peralatan belajar yang tertinggal di rumah, sementara bantuan lebih banyak pakaian dan makanan; (2) kesulitan untuk beradaptasi dengan suasana di sekolah yang baru. b. Di samping itu, sektor bencana tidak menjadi urusan wajib pemerintah daerah, tidak pula sebagai “program pilihan”, melainkan “program penunjang”, sehingga pada BPBD masih merupakan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) yang terkesan “diadakan”; tergesa-gesa didirikan (bahkan terpaksa didirikan untuk bisa mengankses dana siap-pakai tanggap darurat bencana), tidak dilengkapi dengan fasilitas dasar yang memadai, pejabat/staf yang ditempatkan adalah “pejabat buangan” (lawan politik atau diluar partai/kelompok pendukung kepala daerah terpilih) dan pegawai-negeri daerah yang memiliki keterampilan rendah. c. Telah ada upaya sejumlah NGOs/CSOs untuk membantu memecahkan masalah tersebut dengan melakukan pendampingan dalam bidang pendidikan bagi anak-anak di lokasi pengungsian. Kendala utama yang muncul ialah tidak

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

254


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

adanya tempat yang memadai bagi anak-anak untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar. Kondisi ini banyak dirasakan di lokasi pengungsian yang berada di tempat umum, misalnya, stadion atau lapangan. d. Masalah lain yang terjadi berkaitan dengan penanganan dampak bencana di bidang pendidikan anak ialah pembangunan kembali fasilitas pendidikan (gedung sekolah) yang hancur atau rusak akibat bencana yang belum diperbaiki ketika anak-anak kembali ke tempat tinggal. Prioritas pemerintah dan daerah masih tertuju pada upaya penyediaan rumah tinggal bagi warga, sementara pembangunan gedung sekolah menjadi prioritas berikutnya. e. Beberapa masalah yang terkait bagaimana kualitas gedung bangunan sekolah antara lain: a) Masih adanya overlapping kewenangan untuk merenovasi dan membangun gedung sekolah yang rusak antara pemerintah daerah dengan Kementrian Nasional; b) Belum dimilikinya program (reguler) perbaikan berkala oleh pemerintah daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota yang mampu meminimalisasi kerusakan ruang dan gedung sekolah; c) Belum diketahuinya kemampuan di suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota untuk merenovasi gedung dan ruang dari tingkat SD sampai SMA; d) Belum adanya daftar sumber-sumber dana (reguler) dari daerah provinsi atau kabupaten/kota yang dapat dialokasikan untuk merenovasi dan membangun gedung sekolah dari tingkat SD sampai SMA. f. Perundang-undangan dan regulasi di bidang pendidikan sering tidak selaras. Sementara penerbitan peraturan-peraturan di bawahnya juga selalu terlambat dari jadwal diberlakukannya, di samping birokrasi yang berbelit dan lambat telah mengambat penerapan standar-standar yang telah ditetapkan secara Nasional. g. Terjadi berbagai bentuk penyimpangan dari desentralisasi pemerintah. Misalnya, kepala dinas pendidikan di kabupaten yang diangkat oleh bupati bisa saja tidak memiliki latar belakang pekerjaan dan keahlian di bidang pendidikan. Perencanaan dan pengalokasian dana pendidikan di daerah, walaupun jumlahnya memadai tidak akan efektif dan efisien jika direncanakan oleh perangkat yang tidak memiliki kapasitas. Isu rendahnya kapasitas perangkat daerah masih menjadi kendala tidak hanya di sektor pendidikan. 195. Sebagai akibat dari pertambangan dan perkebunan, kebijakan dan program Pemerintah, terutama di daerah-daerah otonomi, telah meningkatkan kerentanan untuk terjadinya bencana. Hal ini karena Pemerintah Daerah memberikan izin untuk ekspansi bisnis tanpa mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, komunitas etnis, dan konflik sosial. Ekspansi industri pertambangan dan perkebunan ini terjadi tanpa adanya kontrol. Penduduk, terutama kelompok etnis dan rentan, seringkali mengalami situasi yang rentan dan menerima dampak bencana kerusakan lingkungan akibat industri tambang dan perkebunan. Setelah pulau-pulau besar habis dijadikan ladang industri, mereka merambah ke pulau-pulau kecil yang justru lebih rentan lagi. Bahkan izin pertambangan ini diberikan untuk wilayah-wilayah hutan yang dilindungi dan daerah konservasi. Di sisi lain, Pemerintah tidak mengantisipasi adanya bencana, seperti membuat dampak risiko bencana. Bencana Alam dan Pekerja Informal 196. Bencana-bencana berintensitas kecil yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan kerugian material dan nonmateri yang cukup berarti bagi masyarakat. Banjir dan kekeringan musiman yang lebih sering terjadi di beberapa

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

255


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

wilayah Indonesia berpengaruh pada produksi makanan dan merusak kesejahteraan masyarakat yang hidup dari sektor pertanian, perkebunan, pemeliharaan hewan, termasuk pedagang skala kecil (pedagang sayuran). Letusan Gunung Rokantenda, konflik sektarian di Sampang, banjir di Maluku Tengah dan Seram Barat merupakan contoh mitigasi bencana dalam skala kecil dapat menimbulkan masalah bagi kondisi ekonomi rakyat bawah (sektor informal) karena lemahnya manajemen risiko di wilayah bersangkutan dan memaksa mereka menghadapi risiko yang ada tanpa bantuan yang mencukupi dari pihak Pemerintah (Hasil Survey Pandangan Garis Depan, 2013). 197. Perlindungan sosial dari Pemerintah bagi mereka masih belum tersedia karena asumsi bahwa pengaruh sosial yang timbul tidaklah signifikan, walaupun bencana tersebut juga akan memengaruhi sumber-sumber alam bagi kebutuhan keseharian mereka. Sementara Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan khusus, seperti penghapusan utang atau debt relief dan pemberian persyaratan khusus bagi kelompok lemah, termasuk pekerja informal di wilayah bencana. Rekomendasi 1)

Menyediakan skema asuransi bagi pekerja informal dan kelompok miskin yang termarjinal yang hidup di area rentan.

2) Membuat kebijakan untuk mengatasi situasi-situasi rentan bagi kelompokkelompok yang terkena dampak bencana.

J. Pasal 11 – Kehidupan yang Layak Hak Atas Perumahan149 198. Pemerintah juga gagal memenuhi hak atas perumahan yang layak. Kegagalan ini terutama dipicu oleh kegagalan pemerintah dalam mengendalikan dan mengatur penguasaan lahan. Mayoritas lahan dikuasai korporasi dan semakin sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan cadangan lahan untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi kelompok miskin. Terlebih, kelompok miskin mayoritas bekerja di sektor informal yang sulit untuk mendapatkan akses finansial dari perbankan. Pemerintah gagal untuk menegakkan aturan yang mewajinkan pengembang untuk menyediaakan perumahan bagi kelompok miskin. 199. Di samping itu, permasalahan perumahan layak juga muncul pada penduduk miskin di perkotaan. Jumlah penduduk miskin di perkotaan menjadi salah satu sebab sulit warga miskin mendapatkan perumahan yang layak,150 sehingga mereka terpaksa hidup di wilayah perkotaan di kantung-kantung kemiskinan kumuh. Wilayah permukiman kumuh yang didominasi oleh penduduk miskin merupakan wilayah tempat hidup yang tidak aman dan memiliki lingkungan fisik yang buruk. Data menunjukkan bahwa berdasar kepemilikan permukiman tercatat persentase total penghuni permukiman kumuh hanya 15% (2005). Data yang lain menunjukkan bahwa

149

See, Report of the Special Rapporteur on adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living, and on the right to non-discrimination in this context, Raquel Rolnik: Mission to Indonesia (A/HRC/25/54/Add.1, 26 December 2013) 150

http://www.bps.go.id/index.php?news=697

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

256


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

perkampungan kumuh pada 2004 berjumlah 54.000 hektare, kemudian meningkat menjadi 59.000 hektare pada tahun 2009 dengan pertumbuhan 1,37%.151 200. Negara telah gagal menyediakan perumahan yang layak bagi kelompok rentan, termasuk membiarkan terjadinya diskriminasi terbuka dari lingkungan sekitar, seperti kepada kelompok SOGIE. Peristiwa terakhir yang terjadi pada Februari 2013 ialah saat saat puluhan kelompok transgender dipaksa pergi dari rumah mereka di Jakarta Barat. Penyerang dalam peristiwa tersebut merupakan kelompok intoleran yang menghina kelompok-kelompok itu dan membakar tempat tinggal mereka. Petugas di tempat dan penegak hukum tidak melakukan apa pun terhadap kejadian ini atau menghalangi pengusiran. 152 201. Pengusiran atau penggusuran dilakukan tanpa melalui meaningful consultation dengan mereka yang terkena dampak, tidak memedulikan kelompok rentan, tanpa proper notice, tanpa fair and just compensation, tanpa anternative housing, serta tanpa effective remedy.153 Rekomendasi 1)

Kebijakan penataan ruang harus melibatkan masyarakat sebagai orang yang terdampak dan memperhatikan hak perumahan yang layak kelompok rentan dan miskin kota. 2) Meningkatkan anggaran untuk pengadaaan tanah dan tempat tinggal, terutama bagi warga miskin dan warga yang tidak memiliki rumah. 3) Melakukan moratorium penggusuran sebelum mampu memenuhi kebutuhan perumahan bagi rakyat. 4) Memperbaiki sistem peradilan untuk memastikan hak-hak warga (mendapatkan perumahan layak) terpenuhi.

Isu 26: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk memastikan ketersediaan pangan yang terjangkau, terutama makanan pokok, dan untuk mencegah tindakan spekulatif, di mana hal ini merupakan salah satu pendorong kenaikan harga pangan 202. Ancaman ketersediaan pangan di Indonesia: pengurangan lahan pangan karena alih fungsi untuk kepentingan nonpangan, bencana alam, penghilangan potensi sumberdaya pangan lokal oleh desakan pangan impor, penurunan gairah produksi karena nilai tukar semakin menurun dan tidak adanya insentif bagi produsen pangan. Ketahanan Pangan dan Hak-hak Petani 203. Pemerintah tidak memiliki program yang jelas untuk memastikan ketersediaan pangan murah, berkualitas, dan berkesinambungan. UU Nomor 18/2012 tentang

151

Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), “Hak Anak atas Permukiman yang Layak: Analisis Kritis Terhadap RUU Perumahan dan Permukiman� (Kertas Posisi 2010). 152

“Force evictions of LGBTI persons by non-state actors�; a briefing paper by the Indonesian LGBTIQ Forum for the occasion of the official visit of the Special Rapporteur on Adequate Housing to Indonesia, July 2013. 153

LBH Jakarta, Penegakkan HAM: Janji Politik yang Terabaikan, Laporan Hukum dan HAM LBH Jakarta, 2008, hal. 44

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

257


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Pangan lebih banyak mengatur ketahanan pangan, yaitu bagaimana pangan tersedia cukup bagi rumahtangga tanpa mempedulikan dari mana pangan tersebut berasal. Implikasinya, kebijakan di bidang pangan cenderung mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan domestik. Buruknya penegakan hukum dan kecenderungan pemerintahan yang korup di Indonesia telah menciptakan para spekulan yang memonopoli impor pangan dan berkuasa penuh dalam menentukan harga pangan, yang kemudian menyebabkan tingginya harga pangan impor. 204. Kebijakan pemerintah Indonesia mengarah pada penghilangan peran petani dalam memproduksi pangan dan memaksa petani meninggalkan profesi mereka, karena proses produksi pangan diserahkan pada korporasi. Ini terlihat dari Program Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi, proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and energy Estate) di Papua, dan Food Estate di Kalimantan. UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Nomor 19/2013) tidak memadai melindungi hak-hak petani. Petani tidak memiliki akses atas lahan, modal, sarana produksi pertanian, dan subsidi dari pemerintah. Pemerintah juga tidak berupaya keras untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian atau penggusuran lahan oleh pihak ketiga. 205. Upaya pemerintah untuk memperbaiki sistem produksi justru menghilangkan hak warga (petani) untuk memproduksi pangan sendiri. Pemerintah membuat program peningkatan produksi pangan berbasis korporasi, di mana korporasi yang bermodal besar yang diberikan hak istimewa untuk menguasai lahan pertanian. Reforma agraria yang dijanjikan pemerintah tidak dijalankan. Petani semakin kehilangan sumberdaya produksi, seperti tanah, air, bibit, sarana produksi. Pemerintah gagal mengendalikan penguasaan tanah sehingga 56% tanah dikuasai hanya oleh 0,2% penduduk. 206. UU Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak dilaksanakan dengan baik, karena pemerintah lebih mendorong pengembangan sektor perkebunan dan pertambangan yang lebih menguntungkan. Ekspansi lahan perkebunan dan pertambangan ini menggusur lahan-lahan pertanian pangan. 207. Kondisi ini semakin diperburuk oleh kerentanan Indonesia terhadap bencana (banjir, tanah longsor, kekeringan, dan lainnya), yang berdampak pada kegagalan tanam atau kegagalan panen dan terhambatnya jalur distribusi. Tidak juga ada upaya serius pemerintah mengatasi hal ini. 208. Kebijakan beras miskin (raskin), impor pangan, dan monokulturisasi pertanian telah mendorong warga beralih dari pola makan beragam menjadi pola makan yang didominasi beras. Ketika harga beras meningkat, akses terhadap pangan semakin merosot, sehingga berimbas pada tingginya angka anak kurang gizi di Indonesia. Bahkan anak yang mengalami kurang gizi kronis (stunting) proporsinya masih di atas 35 persen.154 Rekomendasi Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi ketahanan pangan di Indonesia adalah: b. Meningkatkan kemampuan kepemilikan aset pangan keluarga, melalui percepatan pemerataan pembaharuan agraria, akses terhadap sarana

154

See, “Challenging child malnutrition in Indonesia�, Apr 26, 2011, http://www.soschildrensvillages.org.uk/news/archive/2011/04/challenging-child-malnutrition-in-indonesia

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

258


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

produksi, management knowledge, akses permodalan, kerjasama sosial dan revitasilsasi fungsi infrastruktur fisik dan ekonomi. c. Meningkatkan produktivitas pangan berbasis potensi sumberdaya pangan lokal melalui deversifikasi produk pangan dan intensifikasi. d. Peningkatan akses pangan melalui peningkatan daya beli, perluasan lapangan kerja pedesaan, pengembangan usaha-usaha ekonomi alternatif yang dikeola dalam skala rumah tangga dan komunitas, pengembangan cadangan pangan komunitas dan cadangan pangan desa. e. Penguatan kelembagaan pangan, ekonomi dan sosial: pengembangan dan penguatan koperasi kerakyatan, badan usaha milik desa (BUMD), lumbung pangan rumah tangga, lumbung pangan kelompok dan lumbung pangan desa. f. Penganekaragaman pangan berbasis potensi sumber daya pangan lokal. g. Mencegah impor jenis pangan yang dapat diproduksi oleh masyarakat lokal. h. Perlunya implementasi kebijakan perlindungan lahan pangan dan kebijakan insentif bagi produsen pangan.

Isu 27: Harap memberikan informasi tentang dampak dari langkah-langkah yang diambil oleh Negara Pihak untuk memastikan akses terhadap sanitasi yang lebih baik, terutama di daerah pedesaan, dan untuk menghilangkan praktik buang air besar di tempat terbuka. Sanitasi 209. Kondisi sanitasi di Indonesia masih memprihatinkan, terutama di pedesaan. Populasi penduduk Indonesia hampir mencapai 250 juta jiwa, yang 100 juta di antaranya belum memiliki akses untuk sanitasi yang baik. Bahkan pemutakhiran data global pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa 63 juta penduduk Indonesia masih membuang air besar (BAB) di sungai, kali, danau, laut atau di daratan. Mayoritas pelaku BAB ini tinggal di pedesaan. 210. Data Badan Pusat Statistik tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya 38,50 persen penduduk pedesaan yang memiliki akses terhadap sanitasi layak. Menurut data WSP (World Bank's Water and Sanitation Program), akses sanitasi perdesaan di Indonesia tidak bertambah secara berarti selama 30 tahun terakhir. Akibatnya, hampir 60 persen persen penduduk pedesaan yang tidak mempunyai akses terhadap sanitasi yang layak juga menghadapi risiko ancaman kesehatan yang lebih tinggi. Setiap tahun tercatat sekitar 121.100 kasus diare yang memakan korban lebih dari 50.000 jiwa akibat sanitasi yang buruk. Tak heran bila biaya kesehatan per tahun akibat sanitasi buruk mencapai Rp139.000 per orang atau Rp31 triliun secara nasional. 211. Pembangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan belum cukup mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Hal ini terlihat dari anggaran belanda negara untuk sanitasi sangat kecil, yaitu Rp200/orang/tahun. Padahal kelayanan kebutuhan minimal untuk sanitasi sebesar Rp47.000/orang/tahun. 212. Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi yang dianggap maju akhir-akhir ini justru tidak seiring dengan meningkatnya layanan sanitasi di pedesaan. Kurang dari lima persen dari ketersediaan septic tank merupakan sebuah ancaman. Hanya satu persen air bersih yang dihasilkan oleh warga juga menjadi ancaman, terutama dalam

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

259


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

upaya menciptakan kehidupan dan lingkungan yang sehat. Sekitar 14 persen di pedesaan yang menggunakan MCK terbuka. 155 Air bersih 213. UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal belum mampu dilaksanakan dengan maksimal. Akses rumah tangga terhadap air bersih menjadi persoalan krusial yang jarang mendapat perhatian oleh pemerintah. Data Bappenas (2010) menunjukkan, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, baik di perkotaan maupun pedesaan, hanya sebesar 47,71%, masih jauh dari target MDGs yang menargetkan sampai 68,87% pada tahun 2015. Data ini juga menunjukkan, saat ini ada separoh lebih penduduk Indonesia yang belum mendapatkan akses memadai terhadap air bersih sebagai prasyarat dasar kebutuhan hidup. 156 214. Salah satu sebab utama tidak mampunya mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari ini ialah faktor kemiskinan. Studi IRE (2012) terhadap warga miskin di pedesaan di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, memperlihatkan bahwa akses terhadap air bersih sangat terbatas dan warga mengandalkan sumber mata air yang dimiliki secara komunal. Sementara di Lombok Barat, tepatnya di Desa Batulayar, banyak kelompok perempuan yang harus berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan air bersih. Di daerah tersebut, ketiadaan air bersih menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, terutama bagi keluarga miskin. Rekomendasi Untuk menjamin hak atas air bersih bagi setiap penduduk, terutama penduduk miskin, yakni: 1) Upaya menyediakan air bersih untuk warga tidak selalu harus menunggu pemerintah pusat. Dalam konteks penyediaan air bersih, desa telah membuktikan diri bisa menyediakan layanan air bersih melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Layanan oleh desa bisa lebih murah, efisien, dan dekat dengan warga. 2) Pemerintah daerah membuat perangkat peraturan yang mendukung ketersediaan air bersih, terutama dalam hal tata kelola penggunaan sumber daya alam berupa air. Secara geografis, sumber mata air biasanya dimiliki beberapa desa. 3) Untuk menghindari konflik antar desa, pemerintah daerah sebaiknya membuat regulasi yang memastikan tata kelola air tersebut bisa dioptimalkan semua pihak dan dapat terjaga keberlanjutannya. 4) Pemerintah daerah bisa memberikan kewenangan tata kelola air bersih kepada pemerintah desa. Hal ini sangat memungkinkan karena ada dukungan regulasi UU No 6/2014 tentang Desa.

155

“Poor sanitation stunting Indonesia's growth: World Bank”, The Jakarta Post, Wed, October 30 2013, http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/30/poor-sanitation-stunting-indonesias-growth-worldbank.html 156

M. Zainal Anwar, “Air Bersih untuk Warga Miskin,” Policy Brief yang diterbitkan Institute for Research and Empowerment (IRE) dan ACCESS-AusAID pada Agustus, 2012. Lihat juga AAGN Ari Dwipayana (Ed.). “Mutiara Perubahan : Inovasi dan Emansipasi Desa dari Indonesia Timur,” IREACCESS-AusAID, Yogyakarta, Februari 2013.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

260


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

K. Article 12 – Hak atas Kesehatan Fisik dan Mental

Isu 28: Harap memberikan informasi tentang dampak dari langkah-langkah yang diambil untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi dan pelayanan kesehatan ibu, khususnya di wilayah pedesaan dan daerah terpencil Kesehatan Seksual dan Reproduksi 215. Kebijakan Menteri Kesehatan Indonesia tentang sunat perempuan (Keputusan Menteri Kesehatan No. 13636/MENKES/PER/XI/2010) memberi pertimbangan bagi langkah Pemerintah untuk melindungi dan memenuhi hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan. Kebijakan ini melegitimasi praktik sunat perempuan dan memberi kuasa pada tenaga medis tertentu, seperti dokter, bidan dan suster untuk melaksanakannya. Kebijakan ini mendefinisikan praktik ini sebagai “memotong kulit yang menutup bagian depan klitoris, tanpa melukai bagian klitoris� (Pasal 1.1). Prosedur ini juga bisa berarti “pemotongan kulit pelindung bagian depan klitoris (frenulum clitoris) menggunakan kepala jarum suntik steril sekali pakai� (Pasal 4.2(g)). Berdasarkan kebijakan ini, tindakan sunat perempuan hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan dan kesadaran pihak perempuan yang mengalami sunat, pihak orang tua, dan/atau pihak wali (Pasal 3.3). 216. Kebijakan sunat perempuan yang dikeluarkan pada tahun 2010 telah dicabut oleh Menteri Kesehatan pada bulan Februari 2013. Namun sayangnya, walaupun kebijakan tahun 2010 tersebut dipandang invalid, Pemerintah Indonesia tidak mempublikasikannya. Ada kecenderungan bahwa mereka tidak ingin mengembangkan aturan baru yang melarang sunat perempuan ini. Pemerintah Indonesia lebih memilih mengeluarkan kebijakan baru yang tetap memperbolehkan praktik sunat perempuan dengan cara yang dirasa lebih aman dan tidak memotong bagian kelamin perempuan. 217. Sunat perempuan merupakan satu bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang harus dihapuskan. Sunat perempuan merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap kesatuan tubuh perempuan dan juga mendorong terpeliharanya stereotip diskriminatif terhadap seksualitas perempuan. Praktik sunat perempuan memiliki potensi menyebabkan pendarahan, rasa sakit, dan kehilangan kenikmatan seksual pada perempuan. Berbagai praktik sunat perempuan juga mendorong pelabelan (stereotip) yang mendiskriminasi seksualitas perempuan. Dari sisi kesehatan, pemotongan alat kelamin perempuan, baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa, sangat berbahaya bagi kesehatan reproduksi perempuan dan berpotensi menghilangkan hak mereka menikmati hubungan seksual yang sehat dan menyenangkan bagi perempuan. Dalam banyak kasus, infeksi dan abses sering muncul pada organ reproduksi vital perempuan, sehingga menyebabkan mudahnya penularan penyakit menular yang pada gilirannya akan membahayakan kesehatan perempuan pada umumnya. 218. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa hak atas seksual reproduksi telah baik, walaupun seringkali masih memunculkan masalah, seperti di Yogyakarta telah ada sejumlah pusat kesehatan bagi kaum muda di Kabupaten Sleman, yang bekerjasama dengan universitas untuk menyediakan konselor. Namun demikian,

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

261


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

perspektif konselor seringkali justru masih konservatif dan menghakimi apa yang dikeluhkan oleh pasien muda. 219. Di Indonesia, aborsi menjadi sesuatu yang illegal dan hal ini mendorong peremupuan untuk melakukan aborsi-aborsi yang tidak sehat dan berbahaya. Sementara di sisi yang lain, bagi perempuan yang masih di usia sekolah, misalnya, hamil pada saat usia itu merupakan sebuah bencana, karena akan distigmatisasi sebagai perempuan “nakal” dan dikeluarkan dari sekolah. Dalam hal ini, hak mereka untuk mendapatkan pendidikan tanpa adanya cacian dan hinaan harus tetap dipenuhi walaupun mereka hamil. Perempuan dengan HIV 220. Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang memiliki catatan penyebaran HIV dan AIDS yang cukup cepat. Kementerian Kesehatan Indonesia melaporkan jumlah pengidap HIV di kalangan perempuan meningkat dengan pesat. Pada tahun 2006 jumlah kasus AIDS pada perempuan mencapai 831 orang. Pada Juni 2013 total keseluruhannya meningkat menjadi 12.593. 157 Laporan Komisi Nasional Perempuan pada Kampanye 16 hari Kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa perempuan yang mengidap HIV seringkali menghadapi sterilisasi paksa. Namun masih sedikit informasi di Indonesia mengenai hubungan antara kekerasan dan HIV. Kondisi di negara saya tidak berbeda jauh dengan kondisi di beberapa daerah. 221. Saat IPPI mengadakan pelatihan SRHR hak dan kesehatan seksual dan reproduktif, mereka menyadari bahwa banyak anggota IPPI mengalami kekerasan. Selanjutnya dilakukan studi untuk mendokumentasi dan menjelaskan berbagai kasus kekerasan yang dialami anggota-anggota IPPI dan mengembangkan cara untuk memberi dukungan dan advokasi bagi anggota tersebut. IPPI melakukan survei terhadap 110 perempuan pengidap HIV dan 12 perempuan yang terinfeksi AIDS, di delapan provinsi (DKI Jakarta, Bandung, Banten, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Bali, Nusa Tenggara Barat). Hasil dari survei ini menunjukkan bahwa 25% responden pernah mengalami kekerasan fisik, 29% mengalami kekerasan seksual, 29% mengalami diskriminasi ekonomi karena HIV yang dideritanya, dan 14% mengalami sterilisasi.158 Dari semua responden, 77 orang kemudian diwawancara. Dari wawancara ini, 71 orang mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan berbeda. Beberapa contoh kekerasan seksual di antaranya ialah perkosaan oleh oknum penegak hukum dan aktifitas seks anal. Pengakuan dari para responden di antaranya sebagai berikut:

“Saya mendapatkan gangguan seksual dari aparat polisi saat saya ditahan. Saat itu saya begitu ketakutan. Saya melakukan hubungan seks dengan aparat yang menahan saya dan saya diberikan heroin oleh polisi tersebut.” “Saat suami saya mengonsumsi obat-obatan, saya dipaksa melayaninya berhubungan seks selama enam jam. Saya mengalami pendarahan sambil terus dipukuli dan dijambak.”

157

Laporan Perempat Tahun mengenai Situasi HIV dan AIDS, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dapat diakses dari: http://www.aidsindonesia.or.id/ck_uploads/files/Laporan%20HIV%20AIDS%20TW%202%202013%20FI NAL.pdf 158

http://www.ippi.or.id/pendokumentasian-kekerasan-terhadap-perempuan-dengan-hiv.html

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

262


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

“Ia tidak mampu masuk dengan penisnya, jadi sebelum ia masuk, ia memasukkan batang sapu ke anus saya agar mudah memasukkan penisnya.�159 222. Bagi perempuan pengidap HIV di banyak daerah, HIV sudah lebih daripada sekadar masalah kesehatan. Program-program yang menyangkut HIV dan kekerasan saat ini lepas dari fokus terhadap pengaruhnya terhadap perempuan-perempuan pengidap HIV. Pendekatan terhadap HIV dan kekerasan terhadap perempuan harus diintegrasikan agar dapat diberikan pelayanan yang komprehensif dan berkelanjutan. 223. Banyak perempuan pengidap HIV di Asia tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka juga memiliki hak. Sering tidak mengerti betapa budaya patriarkis yang dianut begitu membuat para perempuan dilemahkan dalam kekerasan dalam rumah tangga. Para pria memiliki kekuasaan terhadap perempuan, sehingga perempuan yang mengalami kekerasan seringkali kesulitan melaporkan kasus kekerasan tersebut ke pengadilan.160 Rekomendasi 1) Kembangkan kebijakan baru untuk melarang dan mempidanakan segala bentuk sunat perempuan dengan hukuman yang sepadan. Pastikan bahwa aturan tersebut sesuai dengan aturan yang tertuang dalam CEDAW. 2) Kampanyekan kesadaran publik, pendidikan, dan kampanye lainnya untuk mengubah persepsi sosial budaya dan keyakinan yang berhubungan dengan sunat perempuan. Selain itu juga pengetahuan, bahwa sunat perempuan merupakan praktik berbahaya dan satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. HIV/AIDS 3) Beri hukuman pada pelaku kekerasan sejalan dengan hukum yang dapat diberlakukan pada semua wilayah Negara. Berikan bantuan gratis dan ramah terhadap perempuan pengidap HIV. 4) Perkuat jaringan perempuan dan beri jaminan pendanaan untuk pemberian pelatihan bagi perempuan penderita HIV untuk memahami dan menciptakan keberanian membela hak kesehatan seksual dan reproduksinya, sehingga saat mereka mengalami kekerasan, mereka tidak lagi menganggap sekadar bagian keseharian hidup. 5) Pastikan bahwa pelatihan juga dilakukan terhadap penyedia pelayanan, sehingga sebagai perempuan atau wanita pengidap HIV, kami merasa aman untuk mengakses pelayanan kesehatan dan melaporkan kasus-kasus kekerasan kepada pihak kepolisian. Kami membutuhkan akses terhadap keadilan. 6) Integrasikan program dan kebijakan menyangkut HIV dan kekerasan terhadap perempuan.

159

Interview during the research by IPPI.

160

Monitoring the Inclusion VAW at the National Level of the AIDS Response and the Implementation of the UNAIDS Agenda for Women and Girls (IAC, 2012) http://www.slideshare.net/koalisiaids/wwwreport-english-final

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

263


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

7) Lakukan riset lebih lanjut mengenai kaitan antara HIV dan kekerasan di Asia Pasifik untuk mendapatkan data lebih banyak bagi berhasilnya proses advokasi dan legal sebagai berikut: a) Dokumentasi yang sistematis mengenai cakupan kekerasan terhadap perempuan dan HIV; b) Identifikasi cakupan untuk mencapai pemahaman perempuan pengidap HIV tentang kekerasan terhadap perempuan; c) Meneliti berbagai faktor penyebab kekerasan, termasuk kekerasan pasangan.

Isu 29: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk memastikan akses terhadap pengobatan dan perawatan kesehatan mental yang memadai. 224. Dalam kasus perempuan-perempuan positif HIV/AIDS, pemerintah belum memiliki program dan kebijakan yang terintegrasi secara nasional atau daerah, termasuk terkait dengan hak-hak perempuan positif untuk mendapatkan mental health treatment and care. 225. Melalui Panduan Klasifikasi dan Diagnosis Kelainan Mental, Negara masih mempertimbangkan dan memperlakukan kelompok transgender sebagai sakit mental. Hal ini hanya akan memperparah stigma dan bias yang ada di masyarakat terhadap kelompok transgender. Rekomendasi 1) Mengarusutamakan hak-hak kelompok SOGIE di dalam institusi Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, parlemen, kementerian, termasuk pula sektor swasta. 2) Pemerintah Indonesia harus memastikan hak atas pendidikan bagi perempuan hamil untuk melanjutkan sekolah dengan terhormat dan dihormati.

Isu 30: Harap menunjukkan apakah Negara Pihak telah mengadopsi pendekatan hak asasi manusia terhadap kebijakan tentang obat-obatan, termasuk pencegahan dan pengobatan. 226. Konvensi tunggal PBB tentang Narkotika, 1961, diadopsi oleh Indonesia sebagai landasan pembentukan UU Narkotika pertama (UU No. 8 Tahun 1976). Indonesia juga meratifikasi konvensi PBB tentang Narkotika dan merevisi UU Narkotika pada tahun 1997 dan UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 yang berlaku sampai saat ini. Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 digaungkan membawa semangat rehabilitasi bagi pengguna Narkotika. UU ini mewajibkan pengguna Narkotika menjalani rehabilitasi. Namun, sejak disahkan UU tahun 1961 sampai dengan UU saat ini, tidak ada perubahan sama sekali, baik dari sisi isi maupun hak rehabilitasi pengguna Narkotika. 227. Implementasi UU ini belum maksimal. Praktik penangkapan dan penahanan terhadap pengguna Narkotika terus meningkat. Sebagian besar penangkapan terhadap pengguna Narkotika dikenakan dengan tuduhan atas dasar jual beli atau penguasaan.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

264


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Jumlah perkara Narkotika yang mendapatkan vonis rehabilitasi menunjukkan angka yang sangat rendah, seperti di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2006 – 2010 dari jumlah perkara tiap tahun berkisar antara 822 – 918, hanya ada 1 perkara yang mendapatkan vonis rehabilitasi. 228. Ada banyak pelanggaran HAM dalam praktik peradilan pidana bagi para pengguna Narkoba, seperti kekerasan sistematik yang dilakukan oleh polisi terhadap pengguna Narkotika, termasuk pemukulan, penyundutan, penyetruman, dan kekerasan seksual. Selain itu, praktik pemerasan dan korupsi yang masih kuat dalam peradilan pidana di Indonesia (polisi, jaksa, dan hakim) seringkali meminta suap agar jeratan pidananya (tuntutan atau dakwaan) diringankan. 229. Pemenjaraan pengguna Narkotika menjauhkan pengguna Narkotika dari akses layanan kesehatan dan pemulihan ketergantungan. Hal ini diperburuk dengan adanya ketersediaan Narkotika illegal di penjara dan minimnya akses layanan pengurangan dampak buruk penggunaan Narkotika (harm reduction) yang berdampak serius terhadap penyebaran HIV, Hepatitis B dan C, TB, dll.

L. Articles 13 and 14 – Hak Atas Pendidikan

Isu 31: Harap memberikan informasi tentang dampak dari langkah-langkah yang diambil oleh Negara Pihak untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan di pedesaan dan daerah tertinggal lainnya. 230. Komitmen pemerintah terhadap pendidikan rendah. Ini terlihat dari anggaran untuk pendidikan. Tahun 2005-2008 anggaran pendidikan hanya 6-7,5% dari APBN, termasuk gaji pegawai. Pada tahun 2009 anggaran sudah mencapai 20% tetapi mayoritas dana ini dihabiskan untuk kebutuhan gaji pegawai, bukan untuk peningkatan kualitas atau kuantitas sekolah secara infrastruktur dan sarana prasarana. Alokasi anggaran pendidikan dalam APBD di setiap provinsi mencapai 20 persen lebih dari total APBD, namun hanya 3-7 persen saja yang benar-benar untuk fungsi pendidikan. Selebihnya dominan digunakan untuk belanja dan gaji pegawai. 231. UNESCO menyatakan bahwa capaian hasil pendidikan di Indonesia digolongkan sebagai “stagnan” pada skor 0,934. Skor itu mengisyaratkan bahwa tidak ada kemajuan dalam pendidikan Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Malah suatu kemunduran karena peringkatnya turun dari urutan 64 pada 2010 lalu jadi 69 pada 2011. Peringkat Indonesia dalam Indeks Pembangunan Pendidikan untuk Semua di tahun 2011 turun dari posisi 69 ke posisi 65 dari 127 negara. Salah satunya disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak SD putus sekolah setiap tahunnya. 232. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melaporkan bahwa jumlah siswa putus sekolah di SD tahun 2011 sekitar 465.000 orang, sedangkan yang tidak melanjutkan ke SMP sekitar 229.000 siswa. Persoalan pendidikan di jenjang SD kompleks, mulai dari sarana dan prasarana yang minim hingga kualitas guru SD yang rendah dibandingkan dengan guru TK, SMP, dan SMA/SMK. 233. Hasil studi Institute for Ecosoc Rights di Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Bali menunjukkan bahwa pemerintah gagal menjalankan kewajiban untuk memenuhi pendidikan dasar, khususnya bagi anak-anak di daerah pedalaman. Di Papua, anak-

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

265


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

anak masih sulit mengakses pendidikan dasar. Ketersediaan bangunan sekolah yang sangat minim dan seadanya justru tidak ditopang dengan adanya guru, buku, dan prasarana pendidikan lainnya. Di daerah pedalaman tersebut, seperti Papua dan NTT, penyelenggaraan pendidikan justru lebih banyak dilakukan pihak swasta. Sayangnya, pemerintah mendiskriminasi sekolah-sekolah swasta ini dan kurang memberikan dukungan dan perhatian terhadap penyelenggaraan sekolah swasta. Minimnya dukungan dari pemerintah dan adanya larangan pemerintah bagi sekolah swasta untuk menerima bantuan dari luar membuat banyak sekolah yayasan/swasta di daerah pedalaman yang terlantar/tidak terurus. Dampaknya, anak-anak tidak memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dasar. 234. Apa yang terjadi dengan pendidikan dasar di Papua, khususnya di pedalaman, merupakan suatu jenis “diskriminasi total� karena nyaris semua sisi dari penyelenggaraan pendidikan mengalami masalah serius. Hal ini tergambar dari: tidak ada gedung yang minimum-layak, kekurangan guru dan buku, rendahnya kesejahteraan guru, minimnya peningkatan kemampuan guru, kurikulum gagal dijalankan, biaya jadi sangat mahal karena jarak serba jauh sementara pemukiman masyarakat terpencar-pencar dan terpisah-pisah, kinerja pemerintah daerah sama sekali tidak memadai untuk menjamin kualitas pendidikan dan akses masyarakat, keterpencilan secara geografis berdampak pada ketertutupan informasi publik. SOGI/LGBT 235. Pada buku terbitan UNESCO tahun 2012 tentang “Education Sector Responses to Homophobic Bullying� menyatakan bahwa Indonesia tidak terkecuali dalam Negara yang di dalamnya terjadi bullying terhadap kelompok transgender. Penelitian yang dilakukan Arus Pelangi menyebutkan bahwa 80% dari pelajar dari kelompok LGBT yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka mendapatkan bullying di sekolah,161 namun mereka tidak mengungkap hal ini dan menyimpannya sendiri. Pelanggaran Hak atas Pendidikan 236. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia tahun 1945 Alinea IV dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. 237. Negara berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warganya untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana dinyatakan Pasal 18 ayat C (1) UUD 1945. 238. Pada 31 Maret 2010 Pengadilan Konstitusional Republik Indonesia mencabut UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Salah satu alasannya, bahwa UU BHP adalah bahwa Undang-Undang otonomi istitusi pendidikan inilah yang memungkinkan pihak otoritas pendidikan untuk mencari sendiri sumber pendanaan bagi pendidikanyang mereka selenggarakan. Ini memunculkan potensi bersinggungan dengan hak warga negara. Lebih jelasnya dapat dilihat dari Poin 3:38 Keputusan Pengadilan Konstitusi, Keputusan Pengadilan Konstitusi No. 11-14-21-126

161

Arus Pelangi (2013) Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi kepada LGBT di Indonesia; Studi kasus di Jakarta, Yogyakarta dan Makassar, kasus fenomena trans/homophobic bullying pada LGBT. ISBN 978-979-17190-2-5

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

266


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

dan 136/PUU-VII/2009 halaman 391, yang menyatakan bahwa “kebebasan menentukan pendanaan dan prinsip nirlaba (lihat pasal 4 paragraf (1) dari UU BHP)� tidak secara otomatis mendorong keterjangkauan pendidikan bagi siswa, namun keterjangkauan merupakan salah satu masalah dalam dunia pendidikan Indonesia. 239. Prinsip nirlaba sehubungan dengan rendahnya biaya pendidikan bergantung pada beberapa hal, yakni (a) besaran biaya yang harus ditanggung penyedia pendidikan bagi pengadaan pendidikan, termasuk untuk gaji pengajar dan staf administrasi, (b) pemeliharaan fasilitas pendidikan, dan (c) kemampuan BHP mendapatkan pendanaan pendidikan dari usaha di luar pendidikan. Tidak banyak kesempatan usaha yang terbuka bagi BHP untuk mendapatkan sumber pendanaan bagi pendidikan, sehingga pada akhirnya akan secara langsung teralihkan pada para siswanya. Kompetisi pasar usaha begitu ketat. Jika ada kesempatan, hanya usaha berskala kecil saja yang dapat dimasuki BHP. Usaha berskala besar yang membutuhkan dana yang besar dan teknologi yang lebih maju dikuasai perusahaanperusahaan besar. 240. BHP di luar kota-kota besar telah membatasi daya tarik investasi swasta karena lokasinya yang di luar pusat bisnis utama. Tipe-tipe usaha yang paling banyak dipilih ialah usaha untuk mengambil keuntungan dari kekayaan aset BHP. Salah satunya adalah fasilitas-fasilitas sekolah atau kampus dengan risiko mengurangi fasilitas pendidikan. Dalam kondisi ketidakjelasan sumber pendanaan yang dapat ditemukan, BHP akan mengalihkan targetnya pada bagian yang paling mudah untuk dimanfaatkan, yaitu siswa, dengan menciptakan penamaan selain biaya sekolah atau perguruan tinggi yang pada akhirnya akan membebani siswa sendiri. Karena dana terbesar BHP ditujukan bagi pengajar, sumber pendanaan dapat diambil dari peningkatan biaya masuk siswa yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas pendidikan jika penambahan tersebut di luar kemampuan para guru. 241. Setelah penarikan UU BHP, 17 Juli 2012, Pemerintah menerbitkan kembali UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Undang-Undang Pendidikan Tinggi mengatur pengadaan badan pendidikan tinggi yang memiliki otoritas dalam mencari sumber pendanaan sendiri (manajemen otonomi pendidikan tinggi). 242. Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi jelas akan menempatkan institusi pendidikan tinggi pada ketiadaan sumber pendanaan. Otonomi bagi pendidikan tinggi dalam bentuk apa pun akan membebaskan institusi pendidikan tinggi untuk mencari sendiri sumber pendanaan dan menurunkan aliran dana dari pusat bagi pendidikan tinggi. Ini jelas bertentangan dengan kewajiban Negara untuk memberikan hak atas pendidikan yang bersifat “realisasi progresif� dan melanggar aturan Pasal 13 ayat (2) Kesepakatan mengenai Hak Ekonomi, Soal dan Budaya yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005. 243. Ayat 64 dan 65 UU Pendidikan Tinggi menjelaskan bentuk pengaturan dan kekuasaan dalam otonomi pendidikan tinggi dengan menyatakan bahwa otonomi tersebut hanya berupa otonomi pengaturan (terbatas pada manajerial). Sementara otonomi akademis tidak disinggung sama sekali. 244. Otonomi tersebut jelas berhubungan dengan otonomi kekuasaan dalam bidang akademis, namun otonomi akademis ini harus lebih didahulukan dibandingkan otonomi kekuasaan. Para ahli menekankan “Jika otonomi kekuasaan melampaui dan ditempatkan di atas otonomi pendidikan dan ilmu pengetahuan, maka ia akan menjadi

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

267


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

Undang-Undang kekuasaan korporasi, bukan kekuasaan pendidikan tinggi sebagai wilayah pendidikan, apalagi sebagai wilayah pendidikan ilmiah. 245. Kebijakan ini menciptakan kondisi di mana otonomi kekuasaan lebih penting dibandingkan pendidikan. Institusi pendidikan tinggi berubah menjadi organisasi yang akan menguntungkan para pengambil keuntungan bisnis. Fokus utama akan beralih ke pencarian sumber dana pendidikan untuk keberlangsungan bisnis institusi pendidikan tinggi, sehingga kualitas akademis akan turun. 246. Pasal 65 ayat (4) UU No. 12 tahun 2012 menyatakan bahwa Pemerintah menugaskan institusi universitas negeri untuk menjalankan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat. Namun sebenarnya negara melepaskan diri dari kewajiban untuk membiayai pendidikan tinggi. 247. Manajemen otonomi dari suatu pendidikan tinggi berpengaruh pada asupan anggaran yang lebih besar yang berasal dari siswa atau yang dikenal dengan Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Salah satu contohnya ialah semakin besarnya pemasukan Universitas Indonesia dari tahun ke tahun yang berasal dari siswanya. 248. Data yang diambil dari Universitas Indonesia pada tahun 2008 menunjukkan bahwa siswa memenuhi 48% besaran pemasukan Universitas Indonesia. Pada 2009: 42%, 2010: 44%, 2011: 46%, dan mengalami peningkatan pesat pada 2012 menjadi sekitar 57%. Data ini membuktikan bahwa pelajar merupakan sumber terbesar dari pendanaan BHP, yang secara langsung ataupun tidak langsung berarti membebani siswa dengan biaya pendidikan yang tinggi. Dengan demikian melanggar hak warga negara terhadap pendidikan. Rekomendasi 1) SOGIE dan Hak Asasi Manusia dalam kurikulum pendidikan nasional. Rekomendasi ini ditujukan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2) Kampanye anti-diskriminasi terhadap komunitas LGBT di Pemerintah pusat dan di dalam masyarakat secara luas. 3) Mendorong Pemerintah segera menerbitkan perundang-undangan mengenai pendidikan yang menguntungkan bagi semua warga negara. 4) Batalkan setiap kebijakan yang tidak sejalan dengan prinsip pemenuhan hak terhadap pendidikan yang menjadi kewajiban Pemerintah.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

268


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

M. Pasal 15 - Hak atas Budaya

Isu 32: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk melindungi warisan budaya etnis dan linguistik (pengetahuan bahasa) dari kelompok minoritas dan penduduk asli di Negara Pihak, dan untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi mereka dalam melestarikan, mengembangkan, mengekspresikan dan menyebarluaskan identitas, sejarah, budaya, bahasa, tradisi dan adat istiadat mereka. Isu 33: Harap memberikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk menjaga keragaman dan warisan linguistik Negara Pihak. Khususnya, harap memberikan informasi tentang langkah-langkah, seperti penelitian dan dokumentasi yang dilakukan oleh Negara Pihak untuk melestarikan bahasa daerah dan bahasa setempat yang terancam punah. 249. Pelestarian warisan budaya (intangible atau tangible heritage) belum menjadi prioritas bagi pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Daerah. Kebijakan Pembangunan nasional atau daerah seringkali mengabaikan pelestarian warisan budaya, seperti Kota Yogyakarta yang saat ini intensif melakukan kegiatan pembangunan Hotel, terutama di daerah Kawasan Cagar Budaya.162 Pembangunan hotel seringkali berpotensi merusak bangunan dan tata kawasan cagar budaya yang ada, sekalipun bangunan maupun kawasan cagar budaya sudah ditetapkan keputusan Menteri di tingkat nasional, keputusan gubernur di tingkat provinsi, maupun keputusan bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota. 250. Hal serupa terjadi di wilayah Bandung, seperti Kawasan Dago yang secara keruangan arsitektur bangunannya bergaya Eropa/Indis. Di Surabaya, terjadi penghancuran Sinagog (salah satu dari dua sinagoga yang ada di Indonesia) pada 2013 untuk dibangun pusat perbelanjaan/bisnis. Bahkan, terjadi pencurian artefak di sinagoga tersebut. Penjara Kalisosok (1913) dan sebuah Gereja Tua dalam kondisi terlantar tidak terawat. Permasalahan serupa, terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. 251. Jika dilihat dari sosial ekonomi, pada umumnya situs-situs warisan budaya terletak di kawasan berpenduduk miskin secara ekonomi. Hal ini dapat ditemukan di situs-situs Candi maupun bekas kerajaan yang pada umumnya dijumpai di wilayah pedesaan. Misalnya, di Kawasan Cagar Budaya Trowulan atau Kawasan Cagar Budaya Biting, Lumajang. Rendahnya penghasilan ekonomi masyarakat dijadikan alasan pembenar untuk melakukan tindakan perusakan dan penjarahan terhadap artefak-artefak di wilayah Trowulan maupun daerah situs lainnya di Jawa Timur.163 Di sisi lain, pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun terhadap tindakan masyarakat yang melanggar hukum tersebut.

162

“Hotel Baru Berpotensi Tumbuh di Yogyakarta�, http://www.antarayogya.com/berita/318900/106-hotel-baru-berpotensi-tumbuh-di-yogyakarta

dalam

163

“Kelompok Warga Tolak Kawasan Cagar Budaya Trowulan�, dalam http://www.tempo.co/read/news/2014/01/09/058543395/Kelompok-Warga-Tolak-Kawasan-Cagar-BudayaTrowulan

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

269


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

252. Kebudayaan masih dilihat sebagai kebutuhan tersier dan belum menjadi kebutuhan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini terjadi karena lemahnya komitmen pemerintah maupun PEMDA dalam mengelola dan melestarikan warisan budaya. Di samping itu penegakan hukum, peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya tidak kunjung diterbitkan. 253. UU yang mengatur pengelolaan kebudayaan tak benda (intangible heritage) belum diterbitkan hampir 20 tahun lamanya. Hal serupa juga pada peraturan daerah (perda) di masing-masing daerah, baru sekitar 5-10 % dari seluruh Kabupaten/kota yang ada di Indonesia yang mengatur cagar budaya. Selebihnya, masing-masing kota belum memiliki Peraturan Daerah terkait pelestarian warisan budaya. Pemerintah pusat sangat lemah dan cenderung mengabaikan dan tidak mendorong inisiasi lahirnya peraturan daerah. Demikian pula Gubernur maupun Bupati/Walikota di masingmasing daerah, belum menyadari pentingnya kebijakan pelestarian di daerahnya. 254. Daerah yang telah memiliki Peraturan Daerah dan telah menetapkan beberapa objek cagar budaya tidak disertai upaya pelestarian. Upaya perlindungan masih sering diabaikan, seperti penggalian illegal artefak-artefak yang tidak diawasi secara baik dan beberapa peristiwa illegal yang sempat diketahui tidak secara serius ditindaklanjuti. Seperti penggalian ilegal 4 (empat) prasasti lempeng dari wilayah perbatasan Banyuwangi dan Jember, yang kemudian dijual kepada seorang penadah (dealer) di Bali pada akhir Oktober 2013. Kasus lain, Pencurian 87 artefak emas masterpiece masa Mataram Kuno abad 8 – 10 Masehi dan masa kerajaan Majapahit yang dicuri dari Museum Sonobudoyo pada tanggal 11 Agustus 2010 sampai saat ini belum ditemukan. Pemerintah Pusat seolah lepas tangan dan menyerahkan penanganannya hanya di tingkat Daerah, padahal nilai budaya dan kesejarahan artefak tersebut dapat dikategorikan berskala nasional. 255. Pada tanggal 11 September 2013 kembali terjadi tindak pencurian koleksi artefak emas dari Museum Nasional di Jakarta. Sampai saat ini belum ditemukan siapa pelaku dan koleksi yang dicuri belum ditemukan. Modusnya hampir sama, CCTV dan alarm mati, dan tidak ada yang merasa bertanggung jawab atas peralatan teknologi yang fungsinya membantu kerja-kerja keamanan. Kelambanan dalam mengungkap kasus dan kelemahan dalam mengawasi artefak-artefak yang masih tertimbun di dalam tanah, di bawah air, maupun yang sudah disimpan di museum menjadi persoalan serius dalam pelestarian warisan budaya di Indonesia. Rekomendasi 1)

Perlunya segera membahas dan melahirkan Undang-Undang Pengelolaan Kebudayaan (intangible heritage) dan juga segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah pelaksanaan UU nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya yang mengatur tentang warisan budaya bendawi (tangible heritage), serta mendorong dan mendampingi daerah dalam melahirkan Peraturan-Peraturan daerah pada tiap-tiap provinsi/Kabupaten/Kota. 2) Perlunya upaya penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelaku pelanggaran hukum dalam pelestarian warisan budaya, termasuk memberikan hadiah kepada pelaku maupun praktisi pelestarian atau setiap elemen yang berkepentingan terhadap pelestarian warisan budaya.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

270


Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia

3) Dibentukannya Badan Pengelola Warisan Budaya di tingkat Nasional setingkat menteri maupun di tingkat Daerah mengingat kerja-kerja Pelestarian Budaya, meliputi kerja-kerja konseptual, kebijakan, dan teknis dan jumlah sangat kaya di Indonesia. 4) Pentingnya pendidikan dan penyadaran terhadap generasi muda untuk pelestarian warisan budaya, sehingga menimbulkan perasaan memiliki (sense of belonging) untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap cagar budaya. 5) Meyakinkan dan membangun kerjasama yang bertanggung jawab dengan pihak swasta melalui kegiatan berinvestasi pada bidang kebudayaan merupakan peluang yang sangat besar di Indonesia, termasuk mensinergikan sektor bisnis untuk tidak merusak cagar budaya yang dilindungi.

Catatan Sidang dan Kumpulan Dokumen Indonesia di Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB

271


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.