KERTAS POSISI
MENUNTUT PEMENUHAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
Tim Penyusun:
Trisno S. Sutanto M. Choirul Anam Aa Sudirman Engkus Ruswana Dewi Kanti
MADIA – HPK – BKOK – HRWG
Menuntut Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa @ HRWG 2011
Diterbitkan oleh Human Rights Working Group Jl. Gedung Jiwasraya Lantai Dasar Jl. RP. Soeroso No. 41 Gondangdia Jakarta Pusat www.hrwg.org
Desain sampul dan layout: Tim HRWG Cetakan Pertama, 2011
ISBN Â
KATA PENGANTAR: MADIA PADA tahun 2010, dengan bantuan dana dari HIVOS, MADIA mengambil inisiatif untuk melakukan FGD (Focus Group Discussion) di Tegal, dan Cigugur-Kuningan, bekerjasama dengan pengurus HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan) dan BKOK (Badan Kerjasama Organisasi-organisasi Kepercayaan). Kedua FGD tersebut diniatkan guna menggali dan mendokumentasikan pengalaman diskriminasi yang selama ini dialami para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Diharapkan dengan basis data tersebut, langkah-langkah strategis guna melakukan advokasi terhadap hak-hak konstitusional para penghayat dapat dilakukan. Kertas posisi ini disusun berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan. Ijinkan saya, atas nama pengurus dan aktivis MADIA, mengucapkan terima kasih khususnya kepada tim penulis yang telah bekerja keras menyelesaikan Kertas Posisi ini. Terima kasih kepada HIVOS yang telah mendanai seluruh proses acara, dan HRWG (Human Rights Working Group) yang berkenan menerbitkan Kertas Posisi ini. Dan terima kasih tak terhingga kepada komunitas Padepokan Wulan Tumenggal di Tegal dan komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, serta para penghayat yang telah menerima dan berbagi cerita dengan kami. Semoga perjuangan kita semua untuk membangun tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat di Indonesia tidak sia-sia.
Atas nama seluruh aktivis MADIA
Amanda Darmanto Ketua Yayasan MADIA
[i]
KATA PENGANTAR: HUMAN RIGHTS WORKING GROUP Kertas posisi ini menggambarkan suatu praktik diskriminatif yang masih berlangsung hingga saat ini di Negara Indonesia yang secara konstitusional dan yuridis menjamin hak setiap orang untuk diakui secara setara, termasuk memiliki agama dan keyakinan. Diskriminasi ini terjadi kepada mereka yang secara jujur menyatakan Kepercayaannya Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kertas posisi ini berangkat dari permasalahan para Penghayat Kepercayaan di Tegal dan Cigugur-Kuningan, yang direkam melalui FGD. Keterlibatan HRWG sejak awal dalam advokasi para penghayat Kepercayaan dan juga dalam FGD yang diselenggarakan oleh MADIA tersebut merupakan upaya kerja-kerja advokasi dalam mewujudkan penikmatan hak asasi manusia setiap warga negara di Republik ini, terutama dalam konteks hak beragama dan berkeyakinan yang dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundangundangan lainnya. Gambaran praktik diskriminatif terhadap penghayat Kepercayaan yang dimuat dalam Kertas Posisi ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan bagi Pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan-kebijakannya, dengan tanpa memandang latar belakang individu. Tidak hanya menghilangkan identitas seseorang dari kehidupan sehari-hari, tindakan diskriminatif ini mengancam hak-hak kewarganegaraan para penghayat Kepercayaan. Untuk itu, sebagai sebuah dokumen yang diambil dari praktik-praktik di lapangan, Kertas Posisi yang berjudul “Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa� sangat mendorong kerja-kerja advokasi HRWG dalam mewujudkan terpenuhi dan terlindunginya hak asasi manusia setiap warga negara dan Penerbitan Kertas Posisi ini merupakan sikap HRWG untuk lebih memberikan perhatian kepada permasalahan para Penghayat di Indonesia.
Rafendi Djamin Direktur Eksekutif HRWG
[ ii ]
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR Madia – i HRWG – ii DAFTAR ISI – ii DAFTAR GAMBAR – iii DAFTAR MATRIK – iv DAFTAR LAMPIRAN – v RINGKASAN EKSEKUTIF – vi
PENDAHULUAN – 1 TUNTUTAN KESETARAAN – 4 Warisan Politik Pembedaan – 6
PRAKTIK-PRAKTIK DISKRIMINATIF – 15 Permasalahan KTP – 16 Pemasalahan Akta Kawin/Lahir – 22 Belajar dari Praktik-praktik Terbaik – 28
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI – 30 Rekomendasi Umum – 31 Rekomendasi Khusus – 31
LAMPIRAN-LAMPIRAN – 33
[ iii ]
DAFTAR GAMBAR Gambar 1: KTP dengan agama “Kepercayaan” – 19 Gambar 2: KTP suami dan isteri yang berbeda – 20 Gambar 3: KTP Dewi Kanti – 20 Gambar 4: KTP Engkus yang berganti agama – 21
[ iv ]
DAFTAR TABEL DAN MATRIK
Tabel-1: Peraturan Diskriminatif terhadap Penghaya 10 Matriks-1: Pola Diskriminasi KTP – 18 Matriks-2: Pelaku Diskriminasi – 21 Matriks-3: Pola Diskriminasi Perkawinan – 25
[v]
vffft –
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I: Tabel Kasus Lampiran II: Kasus KTP o o o o
Gambar-1: KTP Andri Mulyadi Garut Gambar-2: KTP suami isteri dengan kolom agama berbeda Gambar-3: KTP Dewi Kanti Gambar-4: KTP Engkus yang berpindah agama menjadi Kong Hu Cu
Lampiran III: Kasus Akte Kawin/Lahir o o o o
Dokumen-1: Kutipan Akte Lahir Dokumen-2: Formulir surat pernyataan kelahiran anak Dokumen-3: Berita acara perkawinan menurut adat Sunda Dokumen-4: Akte kawin Setiarsa
Lampiran IV: Profil Ringkas Organisasi
[ vi ]
RINGKASAN EKSEKUTIF Sejak reformasi pasca Mei 1998, ada upaya serius untuk memutuskan mata rantai kebijakan diskriminatif dan mendirikan tatanan kehidupan bersama yang lebih adil dan bermartabat, didasarkan pada pengakuan kesetaraan warga negara apapun latar belakang suku, bahasa, adat, kepercayaan, warna kulit, agama dan orientasi seksualnya. Ini tercermin dalam amandemen UUD 1945, ratifikasi berbagai instrument HAM internasional, sampai penerbitan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (serta PP No. 37/2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23/2006) dan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Akan tetapi kebijakan ini sering kali diambil tanpa sensitivitas terhadap latar belakang politik pembedaan dan pengutamaan sebelumnya, sehingga hasil akhirnya justru makin memperpanjang mata rantai diskriminasi. Kertas posisi ini, yang disusun oleh MADIA-HPK-BKOK, hendak menbedah kebijakan dan praktik-praktik diskriminatif terhadap kelompok penghayat, dengan mengambil fokus dua gugus hak-hak konstitusional: pengurusan KTP dan Akte Kawin (berikut turunannya: Akte Lahir). Berangkat dari kasus-kasus yang didokumentasikan melalui dua kali FGD (Focus Group Discussion) di Tegal dan Cigugur, Kuningan, kertas posisi ini merekomendasikan hal-hal berikut: A. Dalam Permasalahan KTP 1. Kertas posisi ini mendukung sepenuhnya Rekomendasi No. CERD/C/IDN/CO/3 dari Komite Anti-Diskriminasi Rasial (CERD) PBB pada tanggal 15 Agustus 2007 yang merekomendasikan pemerintah RI menghapus kolom agama dalam KTP yang dinilai telah melahirkan tindakan diskriminatif, terutama pada kelompok-kelompok penghayat kepercayaan. 2. Seandainya kolom agama masih harus dipertahankan dalam KTP, apapun alasannya, maka direkomendasikan alternatif perubahan sbb: a) Kolom agama diubah menjadi “agama/kepercayaan” dan diisi dengan kepercayaan sesuai keyakinan penghayat; atau b) Kolom agama dipertahankan dan diisi dengan “Kepercayaan”. Untuk itu, pemerintah dapat mengambil langkah cepat lewat penerbitan Surat Edaran atau Surat Keputusan Mendagri atau pihak berwenang terkait lain agar ada kejelasan hukum dan petunjuk teknis/pelaksanaan mengenai persoalan KTP bagi penghayat. B. Dalam Permasalahan Akte Kawin/Lahir 1. Pemerintah harus melakukan kebijakan yang efektif, konkret dan menyeluruh untuk memudahkan pelayanan perkawinan bagi penghayat. Hal ini dapat [ vii ]
dilakukan dengan mempermudah pencatatan organisasi dan pemuka penghayat (seperti disyaratkan dalam pasal 81 PP No. 37/2007), termasuk pengakuan bagi organisasi gabungan (HPK dan BKOK) untuk mengajukan nama–nama pemuka penghayat. 2. Pemerintah juga harus melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan pemutihan dengan meletakkan sensitivitas terhadap latar belakang kebijakan diskriminatif yang dialami oleh penghayat. Beberapa langkah konkret berikut dapat dilakukan: a. Bagi penghayat yang perkawinannya dahulu telah dicatat berdasarkan agama resmi, maka pemerintah harus segera mengganti akte perkawinan tersebut tanpa meminta pasangan penghayat bercerai terlebih dahulu. b. Bagi penghayat yang tidak memiliki akte perkawinan karena menolak perkawinan dalam agama rersmi, pemerintah wajib memfasilitasi pencatatan mereka dengan syarat yang mudah. 3. Mengevaluasi ulang batas waktu 2 tahun bagi pemutihan akte kawin/lahir karena batas waktu tersebut tidak ditunjang dengan kebijakan yang sensitif pada latar belakang kebijakan diskriminatif sebelumnya. Kebijakan pemutihan ini harus mencakup pemutihan terhadap akte kelahiran anak, yaitu anak yang diakui lahir dari perkawinan sah kedua orang tua dengan membuat akte baru tanpa catatan atau tanda /simbol apapun yang membedakan akte kelahiran anak sebagai akibat kebijakan pemutihan dengan akte kelahiran anak secara normal. C. Rekomendasi Umum 1. Pemerintah wajib melakukan sosialisasi UU No. 23/2006 dan PP No. 37/2007, serta sosialisasi pemahaman dan penguatan aparatnya di seluruh jajaran struktur, khususnya petugas lapangan di daerah-daerah, agar mereka dapat memberi pelayanan maksimal kepada para penghayat. Sosialisasi ini juga perlu ditujukan pada masyarakat, agar masyarakat memahami dan menghormati hakhakpenghayat sehingga, perlahan-lahan, stigma terhadap penghayat yang sudahtertanam lama dapat dikikis. 2. Khusus kepada pemerintah pusat, direkomendasikan agar mengevaluasi daerah yang masih menerapkan kebijakan diskriminatif, serta member penghargaan bagi aparat yang berani melakukan langkah-langkah terobosan guna menyelesaikan kebijakan diskriminatif di daerahnya.
[ viii ]
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
PENDAHULUAN
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” UUD 1945 psl 28I ayat (2) “Menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, Mahkamah berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam 1 hukum administrasi.” Putusan Mahkamah Konstitusi
TAHUN 2011 menandai tepat satu dekade World Conference against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia, and Related Intolerance yang diselenggarakan PBB di Durban, Afrika Selatan. Konferensi itu telah melahirkan dokumen Durban Declaration and Programme of Action (DDPA) yang sangat penting bagi perjuangan melawan segala bentuk diskriminasi dan intoleransi, karena memberi kerangka kerja baru kepada pemerintah, organisasi non pemerintah dan institusi-institusi lain. Beberapa prinsip yang melandasi kerangka kerja itu perlu dikutip di sini: a. DDPA menegaskan kembali prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi sebagai bagian inti dari Hak Asasi Manusia, sehingga mengubah para korban diskriminasi menjadi pemangku hak, sementara negara sebagai pemangku kewajiban memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak tersebut. b. Sekalipun perlawanan terhadap rasisme, diskriminasi rasial, xenofobia dan praktik praktik diskriminatif terkait lainnya merupakan kewajiban utama negara, DDPA juga mengundang keterlibatan aktif organisasi-organisasi non-pemerintah dan badan-badan internasional, lembaga-lembaga HAM, sektor swasta, media maupun masyarakat madani. c. DDPA mendesak ratifikasi universal Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD) dan mendesak negara-negara peserta melaksanakannya. d. DDPA mengambil pendekatan berdasarkan korban pada masalah-masalah rasisme, diskriminasi rasial, xenofobia dan praktik-praktik intoleransi terkait lainya. Rekomendasi spesifik diberikan khususnya bagi orang-orang 1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 (selanjutnya: Putusan MK), tanggal 19 April 2010, par. 3.73, h. 305 – 306.
1
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Afrika dan keturunannya, orang-orang Asia dan keturunannya, masyarakat asli, kaum migran, pencari suaka, minoritas dan kelompok-kelompok lain. e. DDPA menyadari para korban sering mengalami berbagai bentuk diskriminasi sekaligus berdasarkan jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik, asal usul sosial, hak milik, status kelahiran dan lainnya. DDPA menggarisbawahi dimensi ketimpangan gender dalam diskriminasi rasial dan memberi peran kunci pada kaum perempuan dalam mengembangkan 2 program-program guna melawan rasisme dan tindakan intoleran lain. Di Indonesia perjuangan melawan diskriminasi dalam segala bentuk telah berlangsung lama, dan memperoleh momentum penting saat reformasi berlangsung pasca Mei 1998. Sejak saat itu, khususnya melalui proses amandemen terhadap UUD 1945, perubahan mendasar telah terjadi pada tataran konstitusi yang memberi jaminan konstitusional kuat bagi hak-hak dan kesetaraan setiap 3 warga tanpa pembedaan atas dasar apapun, baik warna kulit, asal-usul etnis, adat, keyakinan, sampai orientasi seksual. Walau begitu, seperti nanti dijelaskan di bawah ini, berbagai kebijakan dan praktik-praktik diskriminatif, khususnya terhadap kelompok-kelompok adat dan penghayat kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa (selanjutnya disebut: penghayat), masih terus berlangsung sampai sekarang. Seperti belum lama ini diakui Wigati, Kasubdit Kelembagaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari Kemenbudpar, pelayanan hakhak sipil bagi kelompok penghayat sampai sekarang belum terpenuhi. Sekalipun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, implementasinya di lapangan masih terkendala (Kompas.com, 28 Oktober 2010). Kertas posisi ini disusun oleh MADIA (Masyarakat Dialog Antar-Agama), bekerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa (DPP HPK) dan BKOK (Badan Kerjasama Organisasi-organisasi Kepercayaan) untuk mendokumentasikan kebijakan dan praktik-praktik diskriminasi serta memetakan persoalan-persoalan dasar yang dihadapi oleh kelompok-kelompok penghayat. Dokumentasi kasus-kasus yang dikaji dalam kertas posisi ini dikumpulkan melalui dua kali proses FGD (Focus Group Discussion), yakni di Tegal bulan Oktober dan di Cigugur bulan November lalu, yang melibatkan banyak individu, kelompok maupun organisasi penghayat, khususnya di Jawa (kasus-kasus itu dapat ditemukan dalam Lampiran I: Tabel Kasus). 2 Sebagaimana dalam Durban Review Conference, Geneva 20 – 24 April 2009. Laman: http://www.un.org/durbanreview2009/ 3
Pembedaan merupakan salah satu cakupan dan definisi diskriminasi yang dikeluarkan oleh Komite CERD yang diakui dan menjadi basis definisi diskriminasi oleh Komite HAM ICCPR. Lihat Komite HAM, General Comment No. 18, Non-Discrimination, U.N. Doc. HRI/GEN/1/Rev.1 at 26 (1994). Indonesia terikat dalam skema dua Komite tersebut karena telah meratifikasi Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD) lewat UU No. 29/1999 maupun Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) lewat UU No. 12/2005.
2
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Karena itu, kertas posisi ini tidak berambisi dan mendaku sebagai laporan komprehensif dan mampu memetakan persoalan yang dihadapi kelompokkelompok penghayat yang tersebar di hampir seluruh pelosok Nusantara. Apa yang mau disajikan dalam kertas posisi ini baru merupakan sketsa pola-pola dasar persoalan hak-hak konstitusional penghayat, yang diharapkan dapat menjadi titik tolak bagi langkah-langkah advokasi strategis ke depan guna membangun tatanan hidup bersama yang lebih bermartabat dan berkeadilan. Untuk menguak persoalan itu, kertas posisi ini memusatkan analisanya pada dua gugus hak sipil yang selama ini terabaikan: masalah pengurusan KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan pengurusan Akte Kawin (serta turunannya: Akte Lahir). Pilihan fokus kajian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pemerintah telah mengundangkan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, di mana salah satu azasnya adalah “kesamaan hak” dan “persamaan perlakuan/tidak diskriminatif” (pasal 4), termasuk di dalam mengurus dokumen-dokumen sipil yang sangat penting, seperti KTP, Akte Kawin maupun Akte Lahir. Jelas kedua gugus persoalan yang jadi fokus saling berkelindan erat: gugus yang satu mengandaikan dan berdampak pada gugus yang lain, dan merupakan hak dasar setiap warga yang harus dipenuhi oleh negara. Penafian terhadap hak dasar ini oleh negara dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM serius, sebab di situ negara telah mengabaikan hak atas identitas—yakni hak paling dasar bagi keberlangsungan eksistensi pribadi maupun kelompok yang bermartabat. Di dalam konteks spirit reformasi, tuntutan pemenuhan hak-hak dasar warga merupakan bagian integral dan fundamental dari upaya mewujudkan cita-cita pemerintahan konstitusional demokratis. Bagian berikut akan mengelaborasi soal ini, sebelum masuk ke dalam kasus-kasus diskriminasi yang dikumpulkan.
3
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
TUNTUTAN KESETARAAN SEPERTI ditegaskan di atas, salah satu hasil terpenting transisi demokratisasi pasca Mei 1998 adalah reformasi konstitusi melalui proses amandemen UUD 1945 yangtelah berjalan empat kali (1999 – 2002). Hal ini, harus dicatat, merupakan terobosanpaling fundamental, karena rezim Orde Baru berakar pada staatsidee (konsep negara) yang bersifat integralistik—suatu paham yang sejak dahulu sudah mempengaruhi perumusan UUD 1945. Di dalam konsep negara yang bersifat integralistik itu, cita-cita proklamasi untuk membangun sistem pemerintahan konstitusional (constitutional government) demi kemaslahatan semua warga negara sama sekali tidak mungkindicapai. Karena itu, tuntutan untuk melakukan reformasi konstitusi menempati agenda terpenting sebagai jalan mencapai cita-cita pemerintahan yang konstitusional demokratis. Di dalam tuntutan bagi pemerintahan konstitusional ini dapat ditangkap spirit dan cita-cita reformasi paling dasar. Suatu pemerintahan konstitusional demokratis mensyaratkan dua hal pokok. Pertama, adanya pembatasan kekuasaan, khususnya eksekutif, lewat pemisahan kekuasaan ke dalam tiga aras (trias politica) yang masing-masing independen, sehingga mampu melakukan proses check and balances. Kedudukan masing-masing lembaga dan mekanismenya harus berada di bawah supremasi hukum (rule of law) yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sesungguhnya. Kedua, pemerintahan konstitusional juga mensyaratkan jaminan dan penghormatan HAM yang memberi perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak warganya. Kedua syarat fundamental di atas yang tidak dikenal dalam UUD 1945, oleh karena bertentangan secara diametral dengan staatsidee yang bersifat integralistik. Proses amandemen UUD 1945 selama 1999 – 2002 membuka peluang signifikan ke arah pencapaian cita-cita pemerintahan konstitusional demokratis itu, khususnya dengan diterimanya pasal-pasal tentang HAM. Di situ, dengan sangat tegas, pasal 28I UUD 1945 mengamanatkan bahwa: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Khusus mengenai kebebasan berkeyakinan, konstitusi juga memberi jaminan yang sangat luas. Pasal 28E UUD’45 menyatakan bahwa: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
Â
4
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Dengan itu jelas, bahwa hak dan kebebasan berkeyakinan merupakan pilihan yang bebas “sesuai dengan hati nurani” seseorang yang harus dihormati. Tidak ada institusi apapun yang dapat menghalangi, meniadakan atau memaksakan agama atau keyakinan seseorang. Jaminan konstitusional tersebut makin memperoleh bentuk konkretnya lewat perubahan hukum nasional, yakni lahirnya berbagai hukum HAM, baik yang dibuat sendiri, maupun hasil ratifikasi perangkatperangkat hukum HAM internasional. Dua catatan penting perlu disebut di sini berkaitan dengan ratifikasi. Pertama, dengan melakukan ratifikasi, maka norma HAM internasional itu menjadi norma rujukan hukum lain, walau statusnya 4 sama. Kedua, dengan melakukan ratifikasi, maka negara memiliki kewajiban untuk melakukan harmonisasi, yakni penyesuaian norma hukum nasional yang bertentangan dengan norma HAM internasional. Perubahan hukum nasional itu terlihat dari lahirnya UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta berbagai ratifikasi yang dilakukan pemerintah atas beberapa konvensi dan kovenan internasional. Selain CERD (UU No. 29/1999) dan ICCPR (UU No. 12/2005) yang sudah disebut di atas, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (IESCR) lewat UU no. 11/2005, Konvensi Hak-hak Anak (CRC) melalui Keppres No. 36/1990, dan jauh sebelumnya Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) lewat UU No. 7/1984. Semua perangkat HAM itu mempertegas dan memerinci hak-hak dasar apa yang wajib dilindungi, dipenuhi dan dihormati oleh negara sesuai aturan konstitusi secara umum. Selain harmonisasi perundang-undangan peraturan di bawahnya, negara yang melakukan ratifikasi memiliki kewajiban untuk melaporkan pelaksanaannya secara berkala pada komite masing-masing kovenan atau konvensi, dan melaksanakan rekomendasi dari komite pasca pembahasan laporan tersebut. Dalam konteks focus pembicaraan kertas posisi ini, maka salah satu tindakan konkret yang harus diambil pemerintah adalah menghapus kolom agama dalam KTP yang dinilai telah melahirkan tindakan diskriminatif, terutama pada kelompok-kelompok penghayat kepercayaan. Ini merupakan hasil Rekomendasi No. CERD/C/IDN/CO/3 dari Komite Anti-Diskriminasi Rasial (CERD) PBB yang dikeluarkan pada 15 Agustus 2007, yakni pasca pembahasan laporan awal dan periodik pertama pemerintah
4 Hal ini terkait pandangan hukum yang lebih konservatif yang menempatkan hukum dengan status sama tidak saling mempengaruhi, walaupun saling bertentangan. Misalnya sebuah A tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UU B, walau substansinya bertentangan dan mengatur pokok materi yang sama. Dalam konteks HAM, jika UU A adalah hukum HAM, maka UU B yang susbtansinya berbeda dengannya dapat dikatakan bertentangan dan harus diubah atau diharmonisasikan.
5
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
5
Indoneisa pada komite tersebut. Di dalam rekomendasi tersebut, tercantum banyak tindakan diskriminatif atau bentuk pelanggaran lain yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia. Secara khusus, butir yang terkait dengan hak-hak dasar kelompok penghayat kepercayaan adalah paragraf 21 rekomendasi itu: “Komite merekomendasikan agar pihak Negara memperlakukan seluruh agama dan kepercayaan secara setara dan memastikan dinikmatinya kebebasan berpikir, berakal sehat dan beragama bagi etnis minoritas dan masyarakat adat. Mencatat bahwa pihak Negara tengah mempertimbangkan untuk menghilangkan penyebutan agama dalam kartu identitas agar sejalan dengan Konvensi, Komite merekomendasikan secara tegas untuk melakukan hal tersebut dalam waktu yang tidak lama lagi, dan untuk memperluas kebijakan semacam itu untuk seluruh dokumen hukum.” Kasus-kasus yang didokumentasikan di bawah memperlihatkan bahwa rekomendasi Komite CERD tersebut sejalan dengan harapan banyak kelompok penghayat, seperti tercermin dalam FGD yang dilakukan MADIA-HPK-BKOK. Alasan utama yang berulang kali disebut mereka adalah karena penyebutan kolom agama di KTP, dalam praktiknya, banyak menimbulkan diskriminasi, juga tidak memiliki manfaat bagi kehidupan sehari-hari. Bukankah lebih bermanfaat dalam KTP seseorang disebut golongan darah ketimbang apa agama yang dianutnya? Norma hukum HAM dan kewajiban konkret pemerintah melakukan rekomendasi Komite merupakan perubahan hukum yang sangat penting dan akan berdampak positif bagi kehidupan kelompok-kelompok penghayat secara khusus, maupun masyarakat secara umum. Namun, dalam implementasinya di lapangan, perubahan hukum ini belum memberi sumbangan berarti, karena masih lemahnya komitmen HAM dari pejabat pemerintah dan minimnya penghormatan HAM oleh masyarakat. Bagian berikut akan memaparkan pola-pola dasar kebijakan diskriminatif yang selama ini dipraktikkan, dan pengalaman konkret kelompokkelompok penghayat yang sempat direkam dalam dua FGD.
Warisan Politik Pembedaan PRAKTIK-praktik diskriminatif yang dialami oleh penghayat berakar dalam “pembedaan” yang punya sejarah panjang. Pembedaan ini, yang lahir terutama dari pengakuan negara atas agama dan perlakuan berbeda kepada “agama” dan 5 Lihat “Concluding observations of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination”, dimuat sebagai “Annex 1” dalam Unveiling Racial Discrimination and Impunity in Indonesia: Alternative Report NGO Coalition on ICERD, Jakarta: HRWG, Agustus 2008, h. 77 – 87. Edisi Indonesia, Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Indonesia: Laporan Alternatif Koalisi NGO Indonesia Anti Diskriminasi Rasial.
6
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
“kepercayaan”, selama ini menjadi landasan kebijakan pemerintah dan melahirkan stigma buruk, praktik pengucilan, dan bahkan tindak kekerasan terhadap kelompok-kelompok penghayat dalam masyarakat. Tanpa harus mengkajinya secara rinci, sudah lama ditengarai bahwa Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diterbitkan saat rezim Orde Lama berkuasa (dan dikukuhkan menjadi UU No. 1/PNPS/1965 oleh rezim Orde Baru) menjadi landasan paling penting bagi politik agama yang dilakukan negara. UU tersebut boleh dibilang merupakan paradigma dasar bagaimana “agama” dan “kepercayaan” 6 dikelola, diatur, dan ditertibkan demi kepentingan rezim penguasa. Di dalam UU itu, tampak jelas sosok “politik pembedaan” yang berakibat sangat luas dan mendalam pada kelompok-kelompok penghayat, dan karena itu layak ditelisik lebih jauh. Salah satu alasan—kalau malah bukannya alasan utama—mengapa Penetapan Presiden itu diterbitkan adalah, jika mengikuti penjelasan resminya, karena pada masa itu (dekade 1960-an) meruyak aliran atau organisasi kebatinan/kepercayaan yang ditengarai “bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama”. Sebagian dari pemeluk aliran atau organisasi itu bahkan “telah menimbulkan hal-hal yang 7 melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama.” Sebuah tuduhan dan stigmatisasi yang sangat menyakitkan Perasaan terlukai ini disampaikan terus terang oleh wakil dari BKOK ketika memberi kesaksian saat Constitutional Review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi pada 24 Februari 2010 lalu. Begini penuturannya: “Dalam penjelasan umum tersebut, penganut maupun organisasi aliran kebatinan dan kepercayaan diindikasikan atau digambarkan seolah potensial memecah belah persatuan nasional, dan menodai agama, serta membahayakan agamaGagama yang ada. Jelas, stigmatisasi seperti ini sangat tendensius menurut kami, naif dan menyudutkan. Karena pada kenyataannya, penganut aliran atau organisasi kebatinan kepercayaan merupakan komunitas yang lemah tak berdaya. Jangankan untuk memecahGbelah persatuan nasional, atau menodai agama, bahkan untuk menolong dirinya sendiri dari keterpurukan dan penindasan yang 8 dialaminya pun, tidak mampu.”
6 Untuk uraian lebih lanjut, lihat Trisno S. Sutanto, “Politik Kesetaraan”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: ICRP – Penerbit Kompas, 2009, h. 375 – 389. 7
Lihat Penjelasan UU No. 1/PNPS/1965, bagian Umum, butir 2. Cetak miring ditambahkan. 8
Putusan MK, par. 2.17, h. 190
7
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Kesaksian itu ditutup dengan pengakuan yang miris: “Kami mengalami dianggap 9 klenik, dianggap sesat, dianggap santet tidak ada untuk hak membela diri kami. Soal lain yang diangkat dalam kesaksian itu adalah pembedaan perlakuan antara “agama” dengan “kepercayaan”. Ini kentara ketika menjelaskan pasal 1 dari UU tersebut. Mungkin benar UU No. 1/PNPS/1965 tidak secara eksplisit member pengakuan pada keberadaan enam agama yang ada (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu), karena agama-agama itulah “yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia”. Juga UU tersebut tidak melarang keberadaan agama-agama lain, seperti Yudaisme, Zoroasterian, Shinto, maupun Taoisme. Keberadaan agamaagama ini dijamin oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Tetapi nadanya jadi beda ketika menyebut soal “kepercayaan” atau “kebatinan”. Menurut penjelasan UU itu, “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerinta berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-‐Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. 10 Bidang I, angka 6.” Mengapa pembedaan perlakuan ini muncul? Sudah tentu, hal ini sebagai konsekuensi dari tuduhan di atas, bahwa keberadaan sebagian aliran atau organisasi kepercayaan atau kebatinan “telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama”. Penjelasan itu memperlihatkan dengan gamblang bagaimana negara menempatkan penghayat di dalam politik hukum yang diskriminatif yang menjadi landasan kebijakannya. Kita dapat menarik dua kesimpulan berdasarkan penjelasan di atas, bahwa: Pertama, sejak awal negara telah melakukan stigmatisasi terhadap penghayat, yang tercermin dalam tuduhan bahwa kelompok ini “bertentangan” dan bahkan “menodai agama”. Lebih jauh lagi tuduhan tersebut menempatkan kelompok-kelompok penghayat sebagai ancaman yang dapat “memecah persatuan nasional”. Kedua, selain melakukan stigmatisasi dan pembedaan, negara juga melakukan pengutamaan pada enam agama yang disebut dalam penjelasan pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. Kepada enam agama itu diberikan jaminan kebebasan seturut pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dan fasilitas serta bantuan-bantuan dan perlindungan. Di sini, sekali lagi negara telah melakukan tindakan diskriminatif terhadap kelompokkelompok masyarakat yang kepercayaannya tidak dimasukkan sebagai “agama”. Menarik untuk dicatat di sini, penegasan bahwa “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama” baru muncul dalam dokumen resmi pada 9 Ibid, h. 192. Lihat juga penuturan P. Djatikusumah, “Posisi ‘Penghayat Kepercayaan’ dalam Masyarakat Plural di Indonesia”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama, op.cit., h. 365 – 375. 10
Penjelasan pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. Cetak miring ditambahkan
8
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
tahun 1978, lewat TAP MPR No IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar 11 Haluan Negara (GBHN). Jika dibandingkan dengan ketetapan MPR mengenai GBHN sebelumnya (TAP MPR No IV/MPR/1973), maka kita tidak menemukan penegasan serupa. Sangat mungkin dapat disimpulkan, baru sejak tahun 1978-an rezim Orde Baru menegaskan posisi resminya bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama. Dan jika diperiksa lebih jauh dokumen-dokumen yang ada, penegasan ini kemudian diulangi dalam setiap GBHN sepanjang rezim Orde Baru dan dijadikan dasar bagi seluruh kebijakan Menteri Agama. Politik pembedaan yang diwariskan UU No. 1/PNPS/1965 dan penegasan bahwa “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama” yang disebut TAP MPR No. IV/MPR/1978 itu kemudian dijabarkan secara sistematis dalam pelbagai kebijakan, UU, instruksi, surat dan peraturan yang menyangkut kehidupan para penghayat (Lihat: Tabel). Bahkan pemerintah tidak segan-segan mendirikan lembaga PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang mula-mula didirikan Depag tahun 1954 untuk mengawasi kegiatan aliran-aliran keagamaan dan kebatinan yang marak, sebelum nantinya (1960) ditaruh di bawah Kejaksaan Agung. Sejak 1961, lewat Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro PAKEM Pusat No. 34/Pakem/S.E./61 tanggal 7 April 1961, lembaga PAKEM didirikan di setiap provinsi dan kabupaten. Seperti dikatakan seorang pengamat yang jeli, “Di tangan Departemen Agama, PAKEM menjadi semacam anjing-jaga 12 melawan gerakan-gerakan spiritual yang anti-Islam.” Lembaga PAKEM terbukti menjadi alat efektif bagi pemerintah di dalam mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dinilai “membahayakan” atau 13 “mengancam persatuan nasional” itu. Keberadaannya makin diperkuat lewat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep. 108/J.A/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat, yang kemudian diperbaharui dengan keputusan jaksa Agung RI No. Kep.-004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Bahkan setelah rezim Orde Baru tumbang dan reformasi dilaksanakan, tugas inti lembaga ini tetap dan menjadi bagian utuh dari kejaksaan. 11 Lihat khususnya bidang “Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya”, point 1 butir f. Di situ ditegaskan: “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan: ‐ Agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru. ‐ Untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu agar pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” 12
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, Jakarta: Gramedia, 1983, h. 5. 13
Untuk studi hukum kritis terhadap esksitensi Bakor PAKEM, baca Uli Parulian dkk, Menggugat Bakor PAKEM: Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia, Jakarta: ILRC, 2008. Aneka ragam aliran dan kelompok penghayat kepercayaan menjadi korban PAKEM. Untuk data yang ada, lihat tabel 1 -5 dalam lampiran, h. 109 – 117.
9
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Dalam UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI ditegaskan, “dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara” (Pasal 30 ay. 3 butir f, cetak miring ditambahkan). Tabel1: Peraturan Diskriminatif terhadap Penghayat No 1
Jenis Instruksi Menag
Nama Instruksi Menteri Agama RI No: 4 tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan
2
InstruksiLan jutanMenag
Instruksi Menteri Agama RI No: 14 tahun 1978 tentang Tindak Lanjut Instruksi Menteri Agama
14
Butir Diskriminatif Tindak lanjut TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN yang menegaskan bahwa “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama” Menegaskan berlakunya UU No. 1/PNPS/1965 bagi kelompok penghayat
Keterangan Kedua Instruksi Menag ini menjadi landasan bagi keputusankeputusan Depag selanjutnya. Di sini jadi jelas bagaimana paradigma UU No. 1/PNPS/1965 dan penegasan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1978 melandasi seluruh kebijakan yang diambil negara terhadap penghayat.
Surat Edaran ini menegaskan agamaagama yang diakui pemerintah dan menjadi landasan bagi “politik pembedaan” selanjutnya. Sudah dicabut lewat Keppres No: 6/2000 dan Surat Mendagri No: 477/805/SJ tanggal 31 Maret 2000 kepada Gurbernur dan Bupati/Walikota Di seluruh Indonesia. Dua surat Menag ini menjadi pegangan aparat pemerintahan dalam mengurus
No: 4 tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan 3
Surat Edaran Mendagri
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978 perihal petunjuk pengisian kolom “agama” pada lampiran SK Mendagri No: 221a/1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian Pada Kantor Catatan Sipil
Menegaskan lagi TAP MPR No.IV/MPR/1978. Juga disebut, “Agama yang diakui oleh pemerintah adalah: Islam, Katholik, Kristen/Protestan, Hindu, Budha.” Juga ditegaskan, “Kata ‘Kepercayaan’ disamping kata ‘Agama’ pada formulir model 1 sampai dengan model 7 supaya dicoret saja.”
4
Surat Menag
Surat Menteri Agama kepada Gubernur/KDH Tingkat I Jatim No: B/5943/78 tanggal 3
Menegaskan bahwa “tatacara sumpah, tatacara perkawinan dan sebagainya hanya ada
14 Diolah berdasarkan Pdt. Weinata Sairin, M.Th. (ed.), Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, dan; Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Yang Berkaitan Dengan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2006.
10
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Juli 1978 tentang Masalah Menyangkut Aliran Kepercayaan
menurut agama sesuai dengan peraturan perundang, undangan yang berlaku.” Menurut surat ini, “dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal adanya tatacara perkawinan, sumpah dan penguburan menurut Aliran Kepercayaan, dan tidak dikenal pula penyebutan ‘Aliran Kepercayaan’ sebagai ‘Agama’ baik dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan lain,lain.
5
Surat Menag
Surat Menteri Agama kepada para Gubernur/KDH Tingkat I seluruh Indonesia No: B.VI/11215/1978 tanggal 18 Oktober 1978 perihal Masalah Penyebutan Agama, Perkawinan, Sumpah dan Penguburan Jenazah bagi Umat Beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan
6
Surat Menag
Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri No. MA/650/1979 perihal Pencatatan Perkawinan Bagi Para Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa
“Pencatatan perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa hendaknya didasarkan kepada agama yang mereka peluk. Oleh karena setiap pemeluk Aliran Kepercayaan enklusip para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak kehilangan agama yang mereka peluk.
7
Surat Menag
Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri No: B.VI/5996/1980 tanggal 7 Juli 1980 perihal Perkawinan, Kartu Penduduk dan Kematian para Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa
- Pengisian kolom agama dalam KTP dengan tanda (-) berarti yang bersangkutan “tidak beragama”. - “Karena aliran kepercayaan / Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama, juga tidak akan dijadikan agama baru, maka perkawinan menurut aliran kepercayaan tidak ada tata peraturan perundangan. Demikian pula masalah,masalah yang menyangkut
11
perkawinan para penghayat (yang harus didasarkan agama) dan KTP (tidak dikenal sebutan “Aliran Kepercayaan”). Akibatnya, perkawinan yang dilakukan penghayat tidak diakui, seperti misalnya larangan terhadap surat kawin yang dikeluarkan Yayasan Pusat Srati Dharma, Yogya lewat Surat Keputusan Jaksa Agung RI No Kep. 089/J.A/9/1978 tanggal 21 September 1978. Begitu juga, soal KTP menjadi masalah besar bagi para penghayat. Ditegaskan dan diperkuat lagi dengan Surat Menteri Dalam Negeri No: 477/286/SJ tanggal 12 Januari 1980 kepada Gurbernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia perihal Pencatatan Perkawinan Bagi Para Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Surat Menag ini menegaskan kembali paradigma dasar “politik pembedaan” yang dipegang, bahwa “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bukan agama” dan karena itu harus diperlakukan berbeda. Jawaban atas surat Menko Kesra No: B, 310/MENKO/KESRA /VI/1980 tanggal 30 Juni 1980. Prinsipprinsip dasar ini ditegaskan lagi dalam Surat Menag ke Menko
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
sumpah / janji dan penguburan jenazah / pembakaran jenazah. Karena masalah,masalah ini pada hakikatnya menyangkut keyakinan agama.” 8
Radiogram MenagMendagri
Radiogram/Telegram Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur/KDH Tingkat I seluruh Indonesia dan Kakanwil Departemen Agama seluruh Indonesia No: 470.071/6380/SJ.MA/6 10/ 1980 tanggal 27 September 1980
Menyangkut penyelenggaraan Sensus penduduk 1980, maka tidak ada kolom khusus untuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kolom kosong sesudah kolom agama tidak dibenarkan diisi dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
9
Surat Keputusan Jaksa Agung
Keputusan Jaksa Agung RI No.: KEP, 108/J.A./5/1984 tentang pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat
10
Surat Menteri Dalam Negeri
Surat Menteri Dalam Negeri No: 477/2535/PUOD tanggal 25 Juli 1990 kepada Gurbernur Jawa Tengah
Tim PAKEM bertugas untuk “meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu Aliran Kepercayaan untuk mengetahui dampak,dampaknya bagi Ketertiban dan Keteentraman Umum”, serta “dapat mengambil langkah, langkah aktif dan preventip sesuai dengan ketentuan perundang,undangan yang berlaku” (pasal 3, butir b dan d) Perkawinan penghayat dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan telah memperoleh Ketetapan / Dispensasi / Persetujuan bahwa mereka akan melangsungkan perkawinan tanpa
12
Kesra No: MA/821/1980 tanggal 3 Desember 1980 perihal Keputusan Direktur Jendral Kebudayaan No: 021/A.1/1980. Memperkuat Radiogram Depag sebelumnya No: MA/610/1980 kepada seluruh Kepala Kanwil Depag di seluruh Indonesia tanggal 22 September 1980. Jawaban terhadap surat Menko Kesra No: B, 336/MENKO/KESRA /VII/1980 tanggal 16 Juli 1980 perihal penyempurnaan formulir Sensus penduduk. Diperbaharui dengan Surat Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep., 004/J.A./01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM)
Langkah ini diambil untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum), karena pada prinsipnya UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 hanya “mengatur pelaksanaan perkawinan berdasarkan ketentuan agama”.
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan ketentuan suatu agama.” 11
Surat Menteri Dalam Negeri
Surat Menteri Dalam Negeri No: 474.2/3069/PUOD tanggal 19 Oktober 1995 kepada Gurbernur DKI Jakarta dan ditembuskan ke seluruh Gurbernur
“Perkawinan kaum penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil walaupun telah dikukuhkan dengan Penetapan Pengadilan Negeri karena hal ini belum sesuai dengan hukum yang berlaku.”
12
Surat Mendagri
Surat Menteri Dalam Negeri No: 477/707/MD tanggal 14 Maret 2006 (ditandatangani oleh Dirjen Adminduk) kepada Gurbernur Jawa Tengah
“Perkawinan bagi masyarakat pemeluk di luar agama dimaksud (Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan Khonghucu) untuk sementara waktu belum dapat dicatatkan, kecuali bersedia menundukkan diri pada salah satu agama berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965
Menangguhkan pelaksanaan Surat Menteri Dalam Negeri No: 477/2535/PUOD tanggal 25 Juli 1990 sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dengan surat ini, maka perkawinan kelompok penghayat kepercayaankembali tidak dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat Surat ini merupakan jawaban terhadap suratBadan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Kepercayaan No: 09/BPKBB/1/06 tanggal 25 Januari 2006yang meminta rekomendasi Mendagri karena lebih dari 50 pasangan penghayat di Kabupaten Cilacap dan Kebumen ditolak pencatatan perkawinannya oleh Kantor Catatan Sipil.
Tentu saja, daftar dalam tabel di atas dapat diperpanjang. Apa yang disajikan bukanlah daftar lengkap yang komprehensif. Namun, dari daftar itu, segera tampak bagaimana negara memperlakukan kelompok penghayat, dan bagaimana kelompok ini, sejak lahir, kawin, sampai dikuburkan, harus menerima perlakuan diskriminatif. Tidak mengherankan jika banyak kaum muda penghayat, seperti terekam dalam FGD di Tegal, menyebut praktik diskriminasi negara sebagai “tindakan tak senonoh”. Ada catatan penting perlu diberikan di sini mengenai pendefinisian “agama”, dan perbedaannya dengan “kepercayaan”. Jika ditelusuri, upaya pendefinisian “agama” itu baru dilakukan Departemen Agama pada tahun 1961, sebagai reaksi terhadap konstelasi pertarungan politik saat itu. Menurut definisi ini, “agama” selain memuat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, juga harus ada nabi, kitab suci, umat dan pengakuan internasional. Kelompok-kelompok yang tidak tercakup
13
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
di dalamnya lalu menjadi “belum beragama”—suatu kosakata yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah agama di tanah air—yang arti sesungguhnya adalah, memakai Atkinson, kelompok-kelompok itu diharapkan suatu waktu akan masuk 15 dan memeluk salah satu agama yang diakui negara. Pembedaan ini yang menjadi kerangka dasar dan dikukuhkan oleh TAP MPR No. IV/MPR/1978, lalu sejak itu dijadikan landasan bagi seluruh peraturan “tak senonoh” terhadap penghayat. Bagian berikut akan menuturkan bagaimana praktik-praktik konkret yang “tak senonoh” itu berlangsung, khususnya menyangkut pengurusan KTP, Akta Kawin, dan Akta Lahir.
15 Untuk uraian lebih lanjut, lihat Trisno S. Sutanto, “Politik Kesetaraan”, op.cit,, khususnya h. 381 dst. Tentang pentingnya istilah “belum beragama”, baca esai klasik Jane Monnig Atkinson, “Religions in Dialogue: The Construction of an Indonesian Minority Religion”, dalam Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (eds.), Indonesian Religions in Transition. Tucson: The University of Arizona Press, 1987, h. 171 – 186.
14
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
PRAKTIK-PRAKTIK DISKRIMINATIF PADA akhir Desember 2006, setelah melalui perdebatan dan tarik ulur cukup panjang, akhirnya pemerintah menerbitkan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), disusul dengan PP No. 37/2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23/2006 itu. Banyak kalangan menilai UU ini merupakan terobosan hukum penting, yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan hak-hak sipil penghayat. Dan memang, dalam banyak hal kehadiran UU No. 23/2006 patut disyukuri. Setidaknya kini ada payung hukum nasional guna menjamin kesetaraan setiap warga di dalam memperoleh hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Namun, bila dibaca dari sudut pandang pengalaman diskriminatif kelompokkelompok penghayat, UU No. 23/2006 dan peraturan pelaksanaannya masih sangat diwarnai oleh warisan politik pembedaan sebagaimana yang diuraikan di atas. UU yang nota bene lahir pada masa reformasi ini justru gagal menangkap spirit reformasi. Ini dapat dilihat dari munculnya kembali pembedaan antara agama yang “diakui” dengan “belum diakui” oleh negara—suatu pembedaan yang, ironisnya, justru sudah dicabut sebelumnya. Seperti terlihat dalam Tabel di atas, di dalam dokumen resmi penyebutan 5 agama yang diakui negara hanya ada dalam Surat Edaran Mendagri No: 477/74054 tanggal 18 November 1978. Pada masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid, Surat Edaran ini sudah dicabut lewat Keppres No. 6/2000 dan Surat Mendagri No. 477/805/SJ tanggal 31 Maret 2000 kepada Gurbernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia. Karena itu sungguh ironis bahwa sebutan “belum diakui sebagai agama” kembali muncul dalam UU No. 23/2006 tentang Adminduk ketika menyangkut dokumen-dokumen penting kependudukan (pasal 8 ayat 4), baik Kartu Keluarga (pasal 61 ayat 2) maupun KTP (pasal 64 ayat 2). Dalam soal KTP, misalnya, pasal 64 UU ini menegaskan dengan sangat jelas, bahwa: (1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, lakiGlaki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya. (2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan PerundangGundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
15
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Tentu saja, dengan penyebutan eksplisit ini, negara kembali melakukan politik pembedaan yang berakibat fatal—apa yang di atas disebut sebagai “tindakan tak senonoh� terhadap kelompok-kelompok penghayat. Masalahnya menjadi lebih kompleks ketika, pada praktiknya, masih banyak aparat pemerintahan yang tidak mengetahui keberadaan UU (dan peraturan pelaksanaannya), dan warisan stigmatisasi yang melekat kuat pada kelompokkelompok penghayat, baik di mata negara maupun masyarakat. Akibatnya, mereka terpaksa (dan dipaksa) mengisi kolom agama dengan agama yang tidak diyakininya. Kalau toh mereka cukup gigih bertahan sehingga pada akhirnya dapat mengisi kolom agama sesuai keyakinannya, mereka masih harus menghadapi kecurigaan dari masyarakat sekitar maupun dari aparat negara. Tidak heran jika banyak penghayat merasa apatis dan tidak lagi mau berurusan dengan dokumen kependudukan yang menjadi haknya. Di bawah ini akan dikaji rekaman pengalaman konkret praktik-praktik diskriminatif, yang digali dari dua kali pertemuan FGD di Tegal dan CigugurKuningan. [Data lengkap mengenai kasus-kasus itu dapat ditemukan dalam Lampiran I: Tabel Kasus]. Hanya demi kepentingan analitis, sajian di bawah ini membagi dan membedakan dua gugus persoalan yang sesungguhnya saling berkelindan erat: Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akta Kawin (serta turunannya: Akta Lahir). Kasus-kasus yang berhasil digali itu, tanpa niatan mewakili seluruh persoalan yang dihadapi kelompok-kelompok penghayat di tanah air, setidaknya dapat memberi potret konkret kompleksitas masalah dampak politik pembedaan yang diurai di atas.
Permasalahan KTP PRAKTIK diskriminasi terhadap penghayat terjadi meluas, sistematis dan mencakup banyak aspek. Namun salah satu yang bersifat masif, sistematis dan meluas adalah dalam soal identitas diri di KTP, terutama berkaitan dengan kebijakan pencatatan kolom agama. Praktik ini: a. Dialami oleh mayoritas penghayat yang umurnya telah memenuhi kewajiban memiliki KTP. b. Terjadi di hampir semua wilayah Indonesia di mana penghayat bermukim. c. Menjadi salah satu akar masalah utama praktik diskriminasi dalam pelayanan administrasi lainnya, seperti perkawinan, pemakaman, pendidikan maupun bantuan sosial. d. Menjadi basis stigma masyarakat, karena identitas yang tercantum tidak menunjukkan identitas penghayat, entah kosong atau hanya bertanda (-), sehingga dalam banyak hal menyulitkan kehidupan para penghayat.
Â
16
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Hasil FGD yang dilakukan MADIA, bekerjasama dengan DPP HPK dan BKOK di Tegal dan Cigugur, Kuningan, memperlihatkan berbagai segi kebijakan diskriminatif tersebut dan dampaknya bagi kehidupan penghayat (Lihat, Lampiran I: Tabel Kasus). Beberapa orang memberi kesaksian cukup rinci mengenai persoalan yang kerap membuat frustasi penghayat: 9 Ketika mengurus KTP pada Mei 1997 lalu, Rismoyo di Pemalang ditolak aparat desanya. Kepada dia, aparat itu mengatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak diakui sehingga tidak bisa dicantumkan dalam kolom agama. Begitu juga Edi di Blora, Ayi Endang di Lembang yang sempat lama tidak punya KTP, maupun Alit Harja di Cigugur (Juni 2007) yang gara-gara itu sulit mendapatkan kerja. 9 Ika Kartika dari Kelurahan Cigugur merasa tertekan dan diperlakukan tidak adil, ketika Juni 2007 lalu Surat Keputusan pengangkatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil dipersulit sebab kolom agama dalam KTP-nya kosong. Pihak aparat memaksa Ika harus mengisi kolom itu dengan salah satu agama. Begitu juga pengalaman Ibu Miming dari Garut pada Juni 2009 yang harus mengisi kolom agama di KTP-nya dengan salah satu agama yang diakui pemerintah. 9 Susi Suwarsih yang kebetulan bekerja di sebuah yayasan Katolik di Kelurahan Cigugur pada April 2008 lalu membuat KTP. Tanpa persetujuan dia, kolom agama di KTP-nya diisi agama Katolik. Padahal ia sama sekali bukan penganut Katolik. Sedang KTP Irma Gusriyani di Kampung Cirendeu, baru-baru ini (3 Agustus 2010) diisi agama Islam yang membuatnya tidak nyaman. Kasus Wiwik di Wonosobo malah lebih dramatis. Keluarganya dianggap kafir, karena di KTP Wiwik ditulis Islam, sementara ia tidak pernah sholat dan setiap hari menjalankan keyakinannya sebagai penghayat. Beberapa kasus konkret di atas hanyalah contoh kecil dari pengalaman pahit penghayat yang sempat direkam. Bisa ditengarai ada jutaan kasus serupa yang tersebar di hampir seluruh pelosok negeri. Benar bahwa seakan-akan kasus-kasus itu dapat diselesaikan ketika UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37/2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23/2006 itu dikeluarkan. Rismoyo, Ika Kartika, Edi, Ibu Miming dan lainnya merasa lega karena soal KTP mereka bisa diselesaikan, sehingga ada yang bertanya dengan nada agak kesal, “Kenapa aparat di tingkat Kabupaten sampai tidak mengetahui adanya UU dan peraturan yang menjamin penghayat?� Tapi apakah benar bahwa persoalannya selesai begitu saja? Ternyata tidak. Bulan November 2010 lalu, Susi Suwarsih mengurus agar pencantuman Katolik sebagai agama di KTP-nya dicabut, dan berhasil diubah menjadi tanda (-). Namun kondisi ini membuat ia harus menghadapi stigma negatif dan kerepotan menjelaskan apa arti tanda (-) itu pada masyarakat. Begitu juga pengalaman Agus Sudirman di Desa Bojongsari, Bandung, pada tahun 2009 menerima KTP bertanda (-) yang membuat ia mendapat stigma oleh masyarakat dan susah mencari pekerjaan.
Â
17
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Ini semua memang erat terkait dengan aturan yang tidak jelas, maupun stigma terhadap penghayat yang sudah tertanam dalam masyarakat. Menurut pasal 64 ayat (2) UU No. 23/2006, “bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.” Padahal kalau kolom agama dalam KTP tidak diisi (“kosong”) atau pun diberi tanda (-), orang lain dengan mudah menafsirkan bahwa si empunya KTP “tidak beragama”. Bukankah Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri No: B.VI/5996/1980 tanggal 7 Juli 1980 perihal Perkawinan, Kartu Penduduk dan Kematian para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga mengatakan hal yang sama, bahwa pengisian kolom agama dalam KTP dengan tanda (-) berarti yang bersangkutan “tidak beragama”? Situasi dilematis inilah yang membuat Alit Harja maupun Susi Suwarsih meminta, lebih baik kolom agama di KTP dihapuskan saja, agar adil bagi seluruh warga negara Indonesia. Jika dari kasus-kasus diskriminatif dan pelanggaran hak yang dialami oleh para penghayat (sebagaimana dalam Lampiran I: Tabel Kasus) dimuat dalam matriks, maka pola diskriminasi dalam soal KTP adalah sebagai berikut: 16
Matriks-1: Pola Diskriminasi KTP Bentuk Penolakan
Alasan Tidak ada dalam Komputer
Akibat - Tidak memilki KTP - Mengalami kesulitan dalam administrasi yang lainnnya
Ditulis enam agama yang diakui (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghuchu)
Sesuai kebijakan
- Identitas Kepercayaan dirampas - Potensial mendapat kekerasan karena dianggap sesat
Ditulis “lain–lain” atau tanda (-)
Sesuai kebijakan
- Identitas kepercayaan tidak diakui - Stigma masyarakat - Hambatan dalam administrasi lain
16 Diolah dari Tabel Kasus di Lampiran I
18
Keterangan Terjadi pada para penghayat yang menolak pencatuman agama lain, ataupun tanda “lain,lain”, termasuk (-) Dialami oleh penghayat yang tidak memiliki pilihan akibat tuntutan administrasi lain (pekerjaan, pendidikan, perkawinan, dll) Penulisan dan lain– lain dialami oleh penghayat yang menolak untuk ditulis agama lain.
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Jika dilihat dari matriks di atas, maka dua alasan yang sering dipakai dalam praktik diskriminasi menyangkut KTP adalah “tidak ada dalam komputer” dan “sesuai dengan kebijakan pemerintah”. Alasan pertama, soal komputer, agaknya terlalu teknis. Namun alasan ini sangat krusial, mengingat rencana pemerintah untuk melakukan pembaharuan sistem informasi kependudukan, mulai dari SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan), NIK (Nomor Induk Kependudukan) dan KTP elektronik (dikenal sebagai e-KTP) yang akan berlaku nasional. Memang rencana besar itu, yang diharapkan selesai pada 2014 masih banyak menimbulkan kontroversi mengingat sistem dan prasarana yang belum tersedia. Tetapi, jika pemutakhiran data kependudukan ini jadi dilakukan, dan tetap tidak ada tempat bagi penghayat di luar enam agama yang “diakui” itu, bisa dibayangkan nasib kaum penghayat akan makin dipinggirkan dan dilupakan. Sementara itu, dalam praktiknya soal kebijakan pemerintah pasca penerbitan UU No. 23/2006 dan PP No.37/2007, sesungguhnya, sangat beragam dan tergantung aparat di daerah masing-masing. Juga tergantung sejauh mana penghayat dapat “mendekati” sang aparat. Kasus Edi, misalnya. Karena ditolak aparat desa, maka ia “melewati” mereka dan langsung mengurus KTP ke Kecamatan, yang kebetulan ia kenal baik, sedang pada kasus Ibu Miming di Kecamatan Samarang, Garut, sang Pupuhu Adat langsung turun tangan guna menyelesaikannya. Ini memperlihatkan alasan “tidak ada dalam komputer” jadi semena-mena. Pasalnya, aparat pemerintahan daerah ternyata dapat mengambil kebijakan, jika mau, yang membolehkan penghayat menulis “Kepercayaan” dalam kolom agama mereka, dan bukan memaksa penghayat harus mengikuti kebijakan yang diskriminatif. Misalnya kasus Andri Mulyadi (Gambar 1) di Kabupaten Garut. KTP-nya ternyata dapat dicantumkan, untuk mengisi kolom agama, “Kepercayaan”.
Gambar 1: KTP dengan agama “Kepercayaan”
Namun, tentu saja, kasus seperti Andri tidak dapat dijadikan pegangan, karena umum diketahui, pengalaman Andri justru memperlihatkan wajah amburadul administrasi kependudukan. Ini tampak dalam kasus yang menimpa Bpk Prayogo Al Kelik dan istrinya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Gambar 2). Pasangan
19
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
penghayat ini sangat kaget karena menerima KTP baru mereka dengan kolom agama berbeda: sang suami “Aliran”, sedang istrinya “Kepercayaan”. Padahal kedua KTP itu berlaku seumur hidup, mengingat usia mereka.
Gambar 2: KTP suami dan isteri yang berbeda
Masih di wilayah Jakarta Selatan, pengalaman Dewi Kanti Setianingsih juga ironis (Gambar 3). Ketika memperpanjang KTP-nya 14 Juni lalu, Dewi mendapati KTP barunya diisi “Aliran” dalam kolom agama. Sebagai aktivis, Dewi berani menggugat dan mempertanyakan pengisian tersebut. Dua hari kemudian, ia mendapat jawaban permintaan maaf dari pihak Kelurahan Cilandak Barat, disusul KTP baru dengan tanda (-) di kolom agamanya.
Gambar 3: KTP Dewi Kanti
Sementara itu, kasus Engkus Ruswana di Bekasi lebih dramatis (Gambar 4). Agustus lalu, ia harus memperpanjang KTP-nya. Selama ini, sebagai penghayat, kolom agama di KTP Engkus ditandai dengan (-).Tetapi, aneh bin ajaib, dalam KTP barunya tiba-tiba ia berganti agama menjadi “Kong Hu Cu” tanpa alasan apaapa. “Mungkin karena melihat wajah saya,” katanya bercanda.
20
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Gambar 4: KTP Engkus yang berganti agama
Kasus-kasus di atas hanyalah contoh tentang bagaimana amburadulnya sistem administrasi kependudukan yang ada selama ini. Pada praktiknya, kebijakan pencantuman kolom agama di KTP ternyata berbeda-beda di lapangan. Namun jika dilihat secara menyeluruh, praktik diskriminasi yang selama ini dilakukan sangat menyulitkan kehidupan penghayat. Dan pelaku tindakan diskriminasi itu beraneka ragam, mulai dari aparat pemerintahan sampai masyarakat (lihat Matriks2). Matriks-2: Pelaku Diskriminasi Pelaku Aparat Pemerintah
Tindakan - Menolak pencantuman penghayat dalam kolom agama di KTP. Mempersulit proses adminstrasi lainnya (perkawinan, pencatatan akta, dll) - Pemaksaan - Stigmatisasi
Akibat Hak kewarganegaraan dan sipil penghayat tidak terpenuhi, sehingga akibatnya hak–hak lain juga tidak terpenuhi.
Keterangan Aktor pemerintah mulai dari pelaksanana teknis administrasi sampai pada bupati/walikota.
Masyarakat
- Stigma - Kekerasan - Pemaksaan
- Penolakan oleh Rukun Tetangga dan Rukun Warga - Pengucilan, ancaman dan kekerasan
Dilakukan oleh individu maupun kelompok, baik keagamaan maupun pendidikan.
Polisi
Pembiaran
Terjadi kekerasan
Terjadi ketika ancaman berlangsung, polisi membiarkan kekerasan berlangsung atau tanpa usaha maksimal.
17 Diolah berdasarkan Tabel Kasus dalam Lampiran I
17
21
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Kesulitan penghayat memperoleh KTP berdampak sangat serius pada aspek-aspek kehidupan lainnya. KTP merupakan penunjuk identitas paling penting, bagi mereka yang cukup umur, untuk mengurus dokumen-dokumen lainnya, seperti akte nikah yang nanti dibahas lebih jauh di bawah, maupun dalam soal pendidikan dan bahkan pemakaman. Tanpa kejelasan identitas dalam KTP, prasangka masyarakat yang dipupuk oleh proses stigmatisasi lama berpotensi menjadi tindak kekerasan. Pipit di Tegal, misalnya, kerap mendapat penghinaan dari masyarakat. Ia bersekolah di sebuah sekolah Katolik, sementara masyarakat sekitar menganggap keluarganya Muslim. Padahal ia seorang penghayat. Sementara Mimi, seorang penghayat di Ciamis, harus menelan kenyataan pahit karena anaknya yang bersekolah di sekolah Katolik harus mengisi kolom agamanya dengan “Katolik” agar bisa diterima. Kasus yang dialami Ndolin di Brebes lebih menyakitkan. Karena di KTP dia tertulis agama “Penghayat”, saudaranya yang meninggal justru tidak bisa dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum. Maka ia menggali kembali makam saudaranya, lalu menguburkan di pekarangan rumah sendiri Persoalan Akte Kawin/Lahir PRAKTIK disriminasi lain yang bersifat masif, meluas dan sistematis adalah 18 perkawinan, khususnya bagi para penghayat yang menikah sebelum tahun 2007. Walaupun ada usaha pemutihan bagi penghayat yang melakukan perkawinan sebelum tahun 2007, namun pemutihan tersebut juga mengalami kendala dan tidak sensitive terhadap latar belakang diskriminasi yang terjadi. Akibatnya, pemutihan yang diniatkan sebagai usaha baik, justru menyambung rantai praktik diskriminasi. Sama seperti persoalan KTP yang diulas di atas, praktik diskriminasi kasuskasus yang menyangkut Akte Kawin itu: 9 Terjadi di hampir seluruh wilayah indonesia di mana penghayat bermukim, walau bentuk dan karakternya bervariasi sesuai dengan lingkungan daerah. 9 Terjadi pada hampir seluruh penghayat yang sudah dan/atau akan melangsungkan pernikahan, walau karakter masalah yang dihadapi berbedabeda sesuai dengan kurun waktu kebijakan dan situasinya. 9 Bersumber dari kebijakan pemerintah, baik secara langsung yang mencerminkan pelarangan maupun tidak langsung melalui politik pembedaan. 9 Menimbulkan efek pada diskriminasi lain, seperti akte kelahiran anak, KTP, pendidikan, dan seterusnya.
18 Tahun 2007 penting dicatat karena pada tahun itu PP No. 37/2007 tentang pelaksanaan UU No.23/2006 diterbitkan yang mengatur syarat perkawinan dan pemutihan perkawinan penghayat sebelum PP tersebut dibuat. Oleh karena itu, dalam analisa pada bagian ini, praktik diskriminasi akan dilihat dalam babakan sebelum dan sesudah PP No. 37/2007 diterbitkan.
22
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Beberapa kasus yang sempat didokumentasikan lewat dua kali FGD dapat memberi gambaran konkret bagaimana praktik diskriminasi itu berlangsung: 9 Pasangan penghayat Triyana S. dan Wida di Cirendeu, Cimahi Selatan, sudah menikah secara adat kepercayaan. Namun Kantor Catatan Sipil dan Disbudpar menolak memberinya akte, sehingga anak mereka tidak memiliki akte lahir. Tentu saja dampak ini akan berlanjut pada diri si anak kelak ketika akan menikah. Ini dialami Andri dari Desa Mekarwangi, Lembang, yang kesulitan menikah karena tidak memiliki akte lahir. Juga pasangan Sudrajat dan Rini dari Cirendeu yang tidak bisa melanggengkan percintaan mereka lewat perkawinan, karena perkawinan kedua orangtua mereka tidak diakui negara. 9 Keluarnya UU No. 23/2006 dan PP No. 37/2007 tidak menyelesaikan kasuskasus yang menimpa para penghayat. Rusman, misalnya, dari Cigugur, Kuningan. Ia sudah menikah selama 30 tahun, dan selama itu pula Kantor Catatan Sipil Kuningan menolak memberinya akte kawin. Dan ketika UU dan PP itu terbit, kembali penolakan diterima. Alasannya kali ini karena ia, sebagai bagian dari komunitas adat, tidak terdaftar di dalam organisasi penghayat yang diakui negara. Sedangkan Abdul Rochzali dari Tegal punya pengalaman pahit dengan soal usaha pemutihan perkawinannya seperti dijanjikan PP. Ketika Oktober lalu ia mengurus pemutihan, ia ditolak karena perkawinannya dahulu berdasarkan agama Islam. Petugas memberinya saran: bercerai dahulu, lalu menikah lagi. Namun Abdul Rochzali bimbang: berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan? 9 Iin dari Kuningan maupun Tating dari Garut, yang menikah berdasarkan tata cara adat lengkap, juga tidak memperoleh akte kawin. Bagi Iin masalahnya jadi lebih gawat ketika baik suami pertama maupun keduanya wafat, dan meninggalkan empat anak. Ia tidak dapat memperoleh harta warisan suaminya, dan harus menghidupi keempat anaknya sendiri. Tidak jarang, ketika suaminya masih hidup, masyarakat menuduh Iin “kumpul keboâ€?. Kasus-kasus yang dipaparkan di atas memperlihatkan dengan jelas berbagai dimensi yang terkait erat dengan kebijakan diskriminatif yang dirasakan penghayat. Perkawinan mereka, yang dijalankan sesuai dengan tata adat yang mereka yakini, tidak diakui negara sehingga mereka tidak mendapat akte kawin. Dan ini berdampak luas pada ranah kehidupan lainnya. Seperti yang dialami Ikah dari Kuningan, misalnya, yang menikah sejak 1992. Selain pernikahannya tidak diakui sampai sekarang, Surat Keputusan pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil pun tak kunjung tiba. Salah satu alasannya, kata Ikah, karena ia diharuskan memilih salah satu agama yang diakui negara agar ia bisa menjadi pegawai negeri sipil. Sementara kasus Nana Gumilang, berdasarkan data yang ada di HPK, mirip dengan kasus Ikah. Menikah sejak 1999 dan dikaruniai tiga anak, Nana sangat membutuhkan akte perkawinan agar ia bisa memperoleh tunjangan keluarga dari perusahaan swasta tempat dia bekerja. Selain pasangan penghayat sendiri yang menjadi korban tindakan diskriminatif, anak-anak yang mereka lahirkan juga harus memikul beban psikologis Â
23
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
menyakitkan. Tak jarang, anak-anak itu dituduh sebagai “anak haram” karena status perkawinan orangtua mereka tidak jelas. Dalam praktik yang biasa dilakukan, anak-anak itu mendapat semacam surat bukti kelahiran yang hanya mencantumkan nama sang ibu, seperti misalnya yang dialami Ajat Subagja (Lihat: Lampiran III-1). Agar sang anak memperoleh surat itu, maka ibunya harus mengisi dan menandatangani formulir “Surat Pernyataan” (Lihat: Lampiran III-2). Di situ jelas sekali tidak disebutkan nama ayah si anak atau suami si ibu, karena pernikahan mereka tidak diakui oleh negara ini. Tentu saja, praktik “tak senonoh” ini memberi beban sangat berat pada si anak. Baik Iin di Kuningan maupun Tating di Garut mengisahkan derita yang harus ditanggung anak mereka, yang akte lahirnya hanya mencantumkan nama si ibu. Bukan saja mereka mengalami perlakuan diskriminatif oleh masyarakat, dituduh sebagai anak hasil pasangan “kumpul kebo”, tetapi juga secara hukum tidak dapat mewarisi harta ayah mereka, dan sulit mencari kerja karena mensyaratkan akte kelahiran. Karena alasan itu, Nana Gumilang pada tahun 2008 berusaha melakukan pemutihan di Kuningan, tempat pernikahan dilakukan. Namun karena ia hanya memiliki akte “kenal lahir”, maka ia harus menunjukkan surat nikah orangtuanya tahun 1957 yang ditandatangani oleh Wedana Kuningan saat itu. Masalahnya, surat tersebut kini dianggap tidak sesuai dengan aturan baru. Demi kebutuhan administrasi, maka Nana dengan terpaksa melakukan pemutihan di Bandung, melalui organisasi “Aji Dipa”. Kasus-kasus yang dipaparkan di atas memperlihatkan karakter diskriminasi berlapis (mutliple discrimination) yang harus diderita oleh para penghayat. Secara umum, ada tiga karakter diskriminasi pada kasus-kasus perkawinan: Pertama, penolakan pencatatan perkawinan mereka karena bukan berdasarkan agama yang diakui oleh negara; kedua, penolakan pencatatan karena tidak ada aturan, baik petunjuk teknis maupun petunjuk pelaksanaan; dan, ketiga, ketika muncul ketentuan adanya kemungkinan pemutihan, prasyarat yang ada tidak sensitif dengan latar belakang kebijakan diskriminatif yang ada, sehingga kebijakan tersebut justru memperpanjang praktik diskriminatif. Hal ini tampak jelas dalam PP No. 37/2007 yang diterbitkan sebagai pedoman pelaksanaan UU No. 23/2006. PP No. 37/2007 mewajibkan agar perkawinan penghayat yang dilakukan sebelum PP ini diterbitkan pada Juni 2007 dicatatkan paling lambat dua tahun setelah PP (pasal 88 butir b). Untuk itu, dibutuhkan dokumen baik surat perkawinan penghayat maupun KTP (pasal 82). Padahal persis dua hal itu yang selama ini menjadi hambatan utama penghayat. Apalagi, menurut pasal 81 PP No. 37/2007, ada ketentuan seperti berikut: (1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan. (2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat
24
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Kepercayaan. (3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat Kepercayaan 19 Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini menimbulkan banyak soal, khususnya bagi penghayat yang tidak masuk dalam salah satu organisasi yang terdaftar di pemerintah. Kasus-kasus yang diurai di atas memperlihatkan hal itu. Karena itu, penerbitan PP No. 37/2007 tidak memberi pemecahan menyeluruh pada persoalan yang dihadapi penghayat, mengingat PP tersebut tidak sensitif pada karakter diskriminatif yang selama ini mewarnai kebijakan negara. Pola-pola diskriminasi itu, jika diletakkan dalam bentuk matriks, maka dapat digambarkan sebagai berikut: Matriks 3: Pola Diskriminasi Perkawinan Bentuk Alasan Sebelum PP No. 37 tahun 2007 Pemaksaan Adanya kebijakan memakai Agama pemerintah yang resmi melarang perkawinan dicatat di luar agama resmi yang diakui negara
20
Akibat
Keterangan
- Akte perkawinan penghayat sering kali dicatat menurut agama resmi yang tidak diyakininya. - Ketika mengusahakan pemutihan, para penghayat diminta bercerai dulu. Ini mengakibatkan beban psikologis yang tinggi.
Agama,agama resmi yang diakui negara (Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan kini Khonghucu) memperoleh tambahan jumlah umat.
Banyak dialami oleh penghayat yang menolak pencatatan perkawinan berdasarkan agama resmi. Syarat yang tidak dipenuhi paling banyak menyangkut masalah tidak adanya KTP dan perceraian terlebih dahulu bagi perkawinan yang dahulu berdasarkan agama resmi.
Penolakan pencatatan
- Kebijakan menteri yang melarang - Tidak ada petunjuk atau aturan teknis.
Penghayat tidak bisa mendapatkan akte perkawinan.
Persyaratan pemutihan yang tidak sensitif dengan latar belakang diskriminasi yang berlangsung
Tidak syarat yang telah ditentukan.
- Tidak mendapat akte perkawinan, atau penggantian akte perkawinan yang telah ada dengan agama resmi. - Beban psikologis ketika diminta berceraterlebih dahulu.
19 Ketentuan ini diperkuat oleh pasal 67 Peraturan Presiden No. 25/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang diterbitkan 4 April 2008. 20
Diolah berdasarkan Tabel Kasus dalam Lampiran I
25
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
- Beban psikologis ketika melaupaui tenggat waktu, sehingga harus melalupengadilan. Sesudah PP No. 37 tahun 2007 Penolakan Tidak memenuhi pencatatan syarat.
Kebijakan tidak sensitif dengan latar belakng praktik diskriminasi.
Tidak terpenuhi syarat yang ditentukan
Tidak memiliki akte Perkawinan
- Banyak terjadi penghayat yang mengalami diskriminasi KTP dan akte kelahiran. - Politik adminitasi pendaftaran keorganisasian dan pemuka penghayat (psl 81 PP No. 37/2007) mengakibatkan sulitnya pencatatan bagi penghayat yang tidak berorganisasi.
Tidak memiliki akte perkawinan
Banyak terjadi bagi penghayat yang masih terdiskriminasi administrasi KTP, akte kelahiran, dll.
Masalahnya jadi bertambah kompleks karena, seperti juga KTP, pada praktiknya acap kali kebijakan pemerintah juga berlangsung sewenang-wenang, di mana satu kebijakan/keputusan bertentangan dengan kebijakan/keputusan lainnya sehingga menimbulkan kerancuan hukum. Apalagi surat seorang Menteri dapat membatalkan UU maupun PP, lalu dibatalkan oleh surat Menteri lain, dstnya. Hal ini kentara jika kita menelusuri rimba belukar pelbagai aturan maupun surat menyurat itu (Lihat: Tabel Peraturan Diskriminatif di atas). Setelah UU No.1/1974 tentang Perkawinan, masyarakat penghayat dapat mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil (KCS) setempat. Namun kesempatan itu tidak berjalan lama, karena Surat Menteri Agama No: B.VI/11215/78 tertanggal 18 Oktober 1978 yang ditujukan ke para Gubernur dan Surat Menteri Agama No. MA/650/1979 ditujukan kepada Mendagri membatalkan PP No.21/1975 dan menyatakan perkawinan penghayat harus didasarkan agama yang dipeluknya. Hal ini diperkuat oleh Surat Mendagri No.477/286/SJ yang ditujukan kepada para Gubernur dan para Bupati/Walikota. Kesempatan pencatatan terbuka lagi saat keluar Surat Menko Kesra yang ditujukan kepada Mendagri dengan nomor B-310/MENKO/KESRA/VI/1980, tertanggal 30 Juni 1980, yang memutuskan perkawinan bagi penghayat dapat dicatatkan di KCS, dan identitas penghayat pada kolom agama diisi tanda (-). Ini diperkuat oleh
Â
26
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Surat Dirjen Hukum dan Perundang-undangan No.JA/3/8/18 yang ditujukan kepada Kanwil Departemen P dan K Jawa Barat, dan diperkuat lagi oleh Surat Ketua Mahkamah Agung No. MA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Mendagri, serta Surat Dirjen Kebudayaan Departemen P dan K No.1745/A.1/1981 yang ditujukan kepada Jaksa Agung. Akan tetapi keputusan tersebut tidak berlaku di Jawa Barat, sehubungan dengan Surat Gubernur Nomor 474.2/1627/Pem Um. tanggal 17 Maret 1982 yang menyatakan bahwa penghayat tidak kehilangan agama yang dipeluknya serta pencatatan perkawinan penghayat tergantung pada agama yang mereka peluk. Anehnya, di Jawa Tengah pencatatan dapat dilangsungkan karena adanya Surat Gubernur Jateng No. 477/18714 tanggal 23 September 1982, namun dibatalkan kembali tanggal 23 Desember 1987 oleh Surat Gubernur No.477/34311. Akhirnya, silang sengkarut yang tak jelas itu diakhiri, ketika pada tanggal 17 April 1989 Mendagri mengeluarkan surat No:893.3/1558/PUOD untuk seluruh Gubernur yang intinya perkawinan syah bila dilakukan menurut agama. Tanggal 25 Juli 1990 Mendagri mengeluarkan lagi surat nomor: 477/2535/PUOD yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah dan ditembuskan kepada Menkeh, Menag, Mendikbud dan para Gubernur se Indonesia yang menyatakan: perkawinan pasangan penghayat dapat dicatatkan di KCS setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan telah memperoleh ketetapan/ dispensasi/ persetujuan, namun pelaksanaannya tetap mengalami kesulitan, banyak kasus telah mendapatkan ketetapan pengadilan, namun tetap tidak dapat dicatatkan. Anehnya, ketentuan tersebut dibatalkan oleh Dirjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) atas nama Mendagri melalui Surat Nomor: 474.2/3069/PUOD tanggal 19 Oktober 1995 ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta dengan tembusan kepada Gubernur di seluruh Indonesia, yang isinya: pasangan penghayat tidak dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, walaupun telah dikukuhkan dengan Penetapan Pengadilan Negeri. Lagi-lagi, keputusan di bawah justru bisa membatalkan kebijakan di atasnya. Sebelum UU No. 23/2006 diterbitkan, keluar Surat Menteri Dalam Negeri nomor 477/707/MD tertanggal 14 Maret 2006 yang ditandatangani oleh Dirjen Kependudukan Departemen Dalam Negeri dan ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah dalam rangka menjawab Surat dari Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Kepercayaan Nomor: 09/BPKBB/I/06 tertanggal 25 Januari 2006 yang meminta rekomendasi Mendagri sehubungan dengan lebih dari 50 pasangan penghayat di Kabupaten Cilacap dan Kebumen ditolak pencatatan perkawinannya oleh Kantor Catatan Sipil. Isinya menolak pencatatan, kecuali bersedia menundukkan dirinya terhadap salah satu agama �resmi� yang ada di Indonesia, berdasarkan UU Nomor 1/PNPS/1965. Keluarnya UU No. 23/2006 dan PP No. 37/2007 yang diperkuat oleh Peraturan Presiden No. 25/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, diharapkan dapat memberi kejelasan dan menyelesaikan warisan politik diskriminatif. Akan tetapi, seperti diperlihatkan di atas, harapan itu masih butuh perjalanan panjang dan berliku. Bahkan tanpa sensitivitas pada latar belakang politik diskriminatif tersebut,
Â
27
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
acap kali peraturan yang diniatkan baik justru memperpanjang mata rantai diskriminasi. Dari gambaran di atas jadi jelas, praktik diskriminasi yang dialami penghayat banyak bersumber pada kebijakan hukum Menteri yang tampaknya hanya mengatur soal teknis, akan tetapi punya dampak menentukan pada seluruh kebijakan. Jika dilihat dinamika kebijakan dan praktik diskriminasi yang tercermin dalam rangkaian kebijakan di atas, maka dapat disimpulkan aktor utama pelaku diskriminasi adalah Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. Lebih jauh lagi, praktik diskriminasi terjadi dengan aturan hukum yang lahir dari kebijakan yang diambil sepihak oleh Menteri tanpa konsultasi dengan pengambil kebijakan tertinggi, seperti DPR, Presiden, bahkan MPR. Padahal substansi kebijakan yang diambil bertentangan dengan norma dasar dalam UUD 1945, spirit reformasi, mengatur kehidupan publik dan punya dampak sangat luas. Seyogianya, kebijakan seperti itu diatur lewat produk hukum lebih tinggi ketimbang suatu keputusan—atau bahkan surat edaran!—seorang Menteri. Padahal, berdasarkan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, produk hukum yang dikeluarkan melalui Surat Keputusan atau Surat Keputusan Bersama, apalagi Surat Edaran, dari seorang atau beberapa Menteri sesungguhnya tidak memiliki pijakan kuat sebagai produk hukum yang mengikat.
Belajar dari “Praktik Terbaik” DI tengah maraknya praktik-praktik diskriminasi yang secara masif dan sistematis terjadi pada penghayat, beberapa aparat pemerintah daerah, mulai dari tingkat desa sampai Kecamatan, melakukan langkah-langkah baik sejauh yang dapat mereka lakukan. Pengalaman praktik-praktik terbaik (best practices) ini sungguh perlu diapresiasi, karena dapat membuktikan bahwa langkah-langkah konkret sesungguhnya dapat diambil guna mengatasi kebijakan “tak senonoh” yang selama ini membebani kehidupan penghayat. Juga praktik-praktik terbaik ini dapat menjadi jawaban atas alasan teknis dan kerumitan yang sering kali diutarakan oleh aparat lain pemerintahan daerah, tak terkecuali aparat pemerintahan pusat. Beberapa praktik terbaik yang sempat dikisahkan lewat kedua FGD dapat disebut. Berkaitan dengan pengisian kolom agama di KTP, kasus yang dialami oleh Andri Mulyadi di Kabupaten Garut (Lihat: Gambar 1 di atas) memperlihatkan adanya kemungkinan untuk mengisi kolom agama di KTP dengan “Kepercayaan”. Pengalaman Andri, bisa ditengarai, juga dapat ditemukan di daerah-daerah lain. Sementara itu, dalam pencatatan dan pengesahan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dapat ditemukan banyak praktik terbaik di mana KCS setempat melakukan pencatatan pasangan penghayat sebelum UU No. 23/2006 diterbitkan. Ini, misalnya, dialami oleh pasangan Rukman Hidayat dan Dedeh Kurniasih pada
28
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
tanggal 5 Maret 1981, di Kantor Catatan Sipil Kotamadya Bandung; pasangan Iko Iskandar dan Eris Rokayah pada tanggal 10 Agustus 1982, di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Bandung; dan pasangan Engkus Ruswana dan Tuti Ekawati pada tanggal 6 Oktober 1983 di Kabupaten Bandung. Kasus perkawinan Dede Sunandi dan Enggar Garkasih dengan memakai tata cara adat Sunda pada 15 Mei 1995 (Lihat: Lampiran III-3) juga patut disebut sebagai praktik terbaik. Pasangan itu dikaruniai tiga anak dan memiliki Kartu Keluarga. Pada Kartu Keluarga tampak kolom agama keduanya diisi dengan tanda (-),walau agama anak-anak mereka disebut “Katolik”. Dengan keluarnya UU No. 23/2006 dan PP No. 37/2007, perkawinan Setiarsa dengan Iceu Mariceu Mintarsih di Banjar diakui negara lewat penerbitan Akta Kawin (Lihat: Lampiran III-4). Keduanya mendapat restu dari Pemuka Penghayat Kepercayaan Momon yang terdaftar di Kementrian Dalam Negeri. Akan tetapi, seperti diurai di atas, masih sangat banyak penghayat yang tidak mengikuti organisasi kepercayaan yang terdaftar harus menghadapi kenyataan pahit praktik diskriminatif negara. Selain persoalan KTP dan Akte Kawin, beberapa lembaga pendidikan melakukan langkah terobosan dengan memberi ijin mata pelajaran agama diganti dengan pelajaran kepenghayatan dan Budi Pekerti, sementara sistem penilaian serta pengajarannya diserahkan kepada organisasi penghayat yang menaunginya. Langkah terobosan ini, misalnya, ditempuh oleh SMK Dinamika Pembangunan I, JAKARTA, YAYASAN AL WATHONIYAH ASSHODRIYAH 9; SMK Karawitan di Kabupaten Bandung; SD Merdeka di Kota Bandung; SMA Negeri 5 Bandung pada tahun pelajaran 2005/2006; dan hampir semua SD dan SMP di Kecamatan Jati Asih Kota Bekasi. Beberapa praktik terbaik yang dituturkan di sini cukup memberi harapan kepada penghayat bahwa tindakan diskriminatif yang selama ini mereka alami dapat diubah. Tentu saja, adalah harapan kita semua sebagai bangsa yang beradab untuk mendukung dan memperluas praktik-praktik terbaik ini agar, suatu waktu, kebijakan dan praktik diskriminatif yang “tak senonoh” bagi para penghayat di tanah air dapat dihapuskan.
29
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ANALISA di atas memperlihatkan pola-pola, bentuk dan sekaligus dampak kebijakan diskriminatif negara khususnya terhadap kelompok penghayat yang telah berlangsung lama, dan bahkan bertahan hingga masa reformasi. Kita sudah melihat salah satu akar politik diskriminatif itu adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang menjadi paradigma dasar pembedaan antara “agama” dengan “kepercayaan”. Berangkat dari kesadaran itu, beberapa individu dan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat mengajukan Constitutional Review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 ke MK. Pada tanggal 19 April lalu, setelah melalui perdebatan panjang dan panas, pada akhirnya MK mengambil sikap, lewat Putusan No. 110/PUU-VII/2009, untuk menolak usulan mencabut UU No. 1/PNPS/1965, suatu keputusan yang disesalkan banyak kalangan. Akan tetapi, dalam putusannya, MK juga menggariskan visi hukum yang sangat penting bagi kehidupan penghayat. Hal itu dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang sudah dikutip di atas sebagai epigraf kertas posisi ini sbb: “Menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, Mahkamah berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah 21 bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi.” Dengan kata lain, MK melihat bahwa praktik-praktik diskriminatif terhadap penghayat merupakan “kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi”, dan eksistensi penghayat—khususnya keyakinan mereka—dilindungi oleh jaminan konstitusional yang tertuang di dalam pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Amar putusan MK itulah yang menjadi visi dan landasan kertas posisi ini. Sebagai putusan yang bersifat final dan mengikat dari lembaga yang memiliki kewenangan tertinggi untuk menjaga konstitusi, sudah selayaknya putusan MK tersebut menjadi landasan bagi penafsiran terhadap hak-hak konstitusional penghayat yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Tentu saja disadari bahwa perjuangan ke arah pemenuhan hak-hak tersebut merupakan jalan panjang dan berliku. Sebagai langkah strategis ke arah perjuangan itu, merekomendasikan hal-hal berikut untuk ditindaklanjuti:
kertas
posisi
ini
21 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010, par. 3.73, h. 305 – 306
30
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Rekomendasi Umum Kertas posisi ini mendukung sepenuhnya Rekomendasi No. CERD/C/IDN/CO/3 dari Komite Anti-Diskriminasi Rasial (CERD) PBB pada tanggal 15 Agustus 2007 yang mendesak pemerintah RI menghapus kolom agama dalam KTP yang dinilai telah melahirkan tindakan diskriminatif, terutama pada kelompok-kelompok penghayat kepercayaan. Rekomendasi ini, seperti dicatat Komite CERD, sesungguhnya lahir dari inisiatif pemerintah sendiri untuk menghapus kolom agama di KTP. Karena itu kertas posisi ini mau mendorong agar pemerintah sungguh-sungguh melakukan niat baik tersebut, yang dapat menghapus landasan diskriminasi terhadap dokumen-dokumen kependudukan lain, seperti Akte Kawin maupun Akte Lahir. Rekomendasi Khusus Sebagai mana dalam uraian di atas permasalahan penghayat di Indonesia, ada beberapa rekomendasi khusus, di antaranya: 1. Permasalahan KTP a. Seandainya kolom agama masih harus dipertahankan dalam KTP, apapun alasannya, maka direkomendasikan alternatif perubahan sebagai berikut: 1) Kolom agama diubah menjadi “agama/kepercayaan” dan diisi dengan kepercayaan sesuai keyakinan penghayat; atau 2) Kolom agama dipertahankan dan diisi dengan “Kepercayaan”. Alternatif a) merupakan pilihan terbaik, sementara alternatif b) pernah dilakukan, misalnya dalam kasus KTP Andri Mulyadi di Kabupaten Garut (Lihat: Gambar 1). b. Langkah strategis dalam soal KTP ini harus dilakukan segera, seiring dengan rencana pemberlakuan NIK (Nomor Induk Keluarga) dan e-KTP yang diharapkan selesai pada tahun 2014. Untuk itu, pemerintah dapat mengambil langkah cepat lewat penerbitan Surat Edaran atau Surat Keputusan Mendagri atau pihak berwenang terkait lain agar ada kejelasan hukum dan petunjuk teknis/pelaksanaan mengenai persoalan KTP bagi penghayat. 2. Permasalahan Akte Kawin/Lahir a. Pemerintah harus melakukan kebijakan yang efektif, konkret dan menyeluruh memudahkan pelayanan perkawinan bagi penghayat. Hal ini dapat dilakukan dengan mempermudah pencatatan organisasi dan pemuka penghayat (seperti disyaratkan dalam pasal 81 PP No. 37/2007), termasuk pengakuan bagi organisasi gabungan (HPK dan BKOK) untuk mengajukan nama–nama pemuka penghayat.
31
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b. Pemerintah harus melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan pemutihan dengan meletakkan sensitivitas terhadap latar belakang kebijakan diskriminatif yang dialami oleh penghayat. Beberapa langkah konkret berikut dapat dilakukan: 1) Bagi penghayat yang perkawinannya dahulu telah dicatat berdasarkan agama resmi, maka pemerintah harus segera mengganti akte perkawinan tersebut tanpa meminta pasangan penghayat bercerai terlebih dahulu. 2) Bagi penghayat yang tidak memiliki akte perkawinan karena menolak perkawinan dalam agama rersmi, pemerintah wajib memfasilitasi pencatatan mereka dengan syarat yang mudah. Hal ini dilakukan dengan tidak membebankan syarat administrsi kependudukan, terutama KTP dan akte kelahiran, sebagai syarat pemenuhan pemutihan. Sebab justru syarat administrasi ini yang menjadi beban penghayat sebagai akibat kebijakan diskriminatif sebelumnya. Akan lebih baik dan lebih mencerminkan tanggungjawab negara jika pemerintah juga membebaskan biaya pemutihan. Pembebasan biaya pemutihan ini merupakan bagian dari implementasi norma–norma HAM yang telah menjadi hukum positif, yaitu hak atas remedy (pemulihan), sehingga biaya pemutihan dapat ditanggung negara. c. Mengevaluasi ulang batas waktu 2 tahun bagi pemutihan akte kawin/lahir karena batas waktu tersebut tidak ditunjang dengan kebijakan yang sensitif pada latar belakang kebijakan diskriminatif sebelumnya. Batas waktu 2 tahun yang telah ditetapkan memberi beban psikologis bagi penghayat. Oleh karena itu pemerintah harus memperpanjang batas waktu pemutihan dan didukung dengan kebijakan baru yang sensitif pada latar belakang kebijakan diskriminatif itu. d. Kebijakan pemutihan ini harus mencakup pemutihan terhadap akte kelahiran anak, yaitu anak yang diakui lahir dari perkawinan sah kedua orang tua dengan membuat akte baru tanpa catatan atau tanda /simbol apapun yang membedakan akte kelahiran anak sebagai akibat kebijakan pemutihan dengan akte kelahiran anak secara normal. 3. Permasalahan Lainnya a. Terlepas dari kelemahan yang sudah didedah di atas, keluarnya UU No. 23/2006 dan PP No. 37/2007 disambut baik oleh para penghayat walau belum ideal dan memuaskan semua pihak. Sayangnya UU dan PP tersebut belum sampai pada aparat pemerintah di tingkat paling bawah yang justru langsung berhubungan dengan penghayat. Oleh karena itu, pemerintah wajib melakukan sosialisasi, pemahaman dan penguatan aparatnya di seluruh jajaran struktur, khususnya petugas lapangan, agar mereka dapat memberi pelayanan maksimal kepada para penghayat. Sosialisasi ini juga perlu ditujukan pada masyarakat, agar masyarakat memahami dan
Â
32
Menuntut Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
menghormati hak-hak penghayat sehingga, perlahan-lahan, stigma terhadap penghayat yang sudah tertanam lama dapat dikikis. b. Khusus kepada pemerintah pusat, kertas posisi ini merekomendasikan agar pemerintah pusat mengevaluasi daerah yang masih menerapkan kebijakan diskriminatif, serta memberi penghargaan bagi aparat yang berani melakukan langkah-langkah terobosan guna menyelesaikan kebijakan diskriminatif di daerahnya. Hal ini penting untuk memacu pemerintah daerah di seluruh Indonesia melakukan langkah-langkah strategis guna menghapus praktik dan kebijakan diskriminatif. Kertas posisi ini disusun dengan keyakinan bahwa perjuangan untuk menghapus diskriminasi tidak lain adalah perjuangan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai rumah bersama bagi setiap kelompok. Tuntutan ke arah itu merupakan gerak sejarah yang tidak bisa ditawar lagi. Ke arah itulah kertas posisi ini ditujukan.
Â
33
LAMPIRAN I TABEL KASUS
TABEL Â KASUS NO
TGL PERISTIWA
IDENTITAS
DESKRIPSI KASUS
WILAYAH/ DAERAH
ALASAN PENGHAMBAT
AKTOR
AKIBAT
KET
Kasus KTP 1
23 Mei 1997
Rismoyo
Kesulitan mengurus KTP
(Tegal)
Paduraksa -
Perangkat Desa
Kepercayaan Terhadap Tuhan
Tidak bisa mencantumkan
Tahun 2010 sudah bisa
Pemalang
Setempat
Yang Maha Esa Tidak diakui
keyakinan yang sebenarnya
mengubah kolom agama
di KTP
sebagaimana diatur dalam UU No.23/2006
2
Sebelum
Ayi Endang
Ditolak membuat KTP karena
Lembang
Aparat kecamatan,
Komputer tidak bisa mengisi
Sempat tidak punya KTP
tahun 2006
seorang Penghayat, Pengurusan
Kp. Cicalung
masyarakat umum
kolom agama bagi penghayat.
(Cigugur)
baru beres setelah menyerahkan Pengurusan SK pengangkatan PNS
Rt. 38/ XIII
Aparat BKD Kab.
Kolom agama tidak boleh kosong,
Merasa tertekan dan diperlakukan
Mengapa aparat di tingkat
dipersulit karena kolom agama pada
Kel. Cigugur
Kuningan
harus diisi salah satu agama.
tidak adil karena dipaksa
kabupaten sampai tidak
mengakui agama lain.
mengetahui adanya peraturan
UU No. 23/ 2006. 3
Juni 2007
Ika Kartika
(Cigugur)
KTP kosong. Dipaksa untuk memilih salah satu agama. BKD meminta
yang memberikan jaminan
UU/peraturan yang menyebutkan
bagi para penghayat.
bahwa Penghayat itu diakui negara. Setelah UU No. 23/2006 diberikan barulah BKD memahami 4
Juni 2007
Alit Harja
(Cigugur)
Kolom agama tidak bisa diisi
Cigugur -
Penghayat.
Kuningan
Aparat keamanan
Komputer tidak bisa mengisi
Sulit mencari kerja.
kolom agama sesuai dengan
Kolom agama pada KTP harus dihapuskan !
keyakinannya. 5
2008
Edi
(Tegal) 6
Apr-08
Pengurusan KTP nya ditolak aparat
Blora
Aparat Desa
desa Susi Suwarsih Kolom KTP di Katolik-kan
(Cigugur)
Aparat desa tidak mengetahui
Pengurusan KTP melalui jalan
keberadaan UU No. 23/2006 tentang pintas langsung ke kecamatan Rt. 28/ X
Masyarakat dan RT
Kel. Cigugur
Adminduk
tanpa melalui aparat desa.
Bekerja di Yayasan Katolik, belum
Kolom agama di KTP diisi Katolik.
Kolom agama di KTP sebaiknya
mengetahui keberadaan UU No. 23/ Stigma negatif dari masyarakat
dihilangkan saja supaya adil
2006 tentang Adminduk
karena agamanya strip, kerepotan
bagi semua WNI. Pada Nov 2010
menjelaskan pada orang yang
kolom agama Susi akhirnya
bertanya tentang arti strip pada KTP. diisi tanda (-). 7
Juni 2009
Ibu Miming
Harus mengakui salah satu agama.
(Cigugur)
Garut, Desa
Kecamatan Samarang
Cinta Karya
Tidak ada data di dalam komputer
Pupuhu Adat harus turun tangan
Aparat pemerintah harus
untuk Penghayat.
untuk membereskan KTP.
menjalankan kewajibannya
Rt. 05/ 03
untuk melayani Penghayat
Samarang-Garut
sebagaimana aturan yang berlaku. Pemerintah harus mengakui keberadaan masyarakat adat.
8
2009 (Cigugur)
9
2010
Agus Sudirman Penolakan membuat KTP (40 tahun)
Entis
Desa Bojongsari,
Petugas Desa,
Kec. Bojong soang Petugas Kecamatan, Kab. Bandung Petugas Kabupaten
Tidak bisa mengisi kolom agama
Lembang
Aparat kecamatan,
Komputer tidak bisa mengisi kolom
Mendapat stigma negatif dari
Ingin di kolom agama tercantum
agama bagi Penghayat, agama Penghayat tidak diakui
masyarakat dan petugas kepolisian: di kolom agama
sesuai dengan keyakinan yaitu Penghayat Kepercayaan
oleh negara.
menjadi (-), susah melamar pekerjaan gara-gara di kolom agama ditulis (-).
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Aparat negara belum memahami
Dianggap tidak beragama,
Perlakuan diskriminatif
(Cigugur)
di KTP sesuai dengan status
Aparat desa,
adanya UU No. 23/2006 dan
sebagai Penghayat.
Tokoh agama,
aturan pelaksanaannya.
dilecehkan orang lain
jangan terjadi lagi.
masyarakat 10
3 Agustus
Irma Gusriyani Penolakan pengakuan Penghayat
2010
dalam kolom agama di KTP
(Cigugur)
Kampung
Kelurahan
Cirendeu, Rt. 02/
Komputer tidak menyediakan kolom Merasa tidak nyaman karena untuk Penghayat
Rw. 10
Kolom agama ditulis Islam.
kolom agama di KTP ditulis agama yang bukan keyakinannya.
Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan Kab. Bandung 11
Nov-10
Kang Yadi
Penolakan pengakuan Penghayat
Kampung
(Cigugur)
(30 tahun)
dalam kolom agama di KTP
Cirendeu, Rt. 02/
Kelurahan - Kecamatan Kolom agama tidak ada di dalam
Dianggap tidak bertuhan.
komputer.
Semoga kejadian serupa tidak menimpa para penghayat
X, Kel. Leuwigajah
lainnya.
Kec. Cimahi Selatan 12
Wiwik (Tegal)
Keluarganya dianggap sebagai
Wonosobo
keluarga kafir karena kolom agama
Aparat desa
Dianggap sebagai pengikut ajaran
dan warga sekitar
sesat karena tidak pernah sholat
di KTP ditulis Islam tapi dalam
kehidupan menjadi tidak nyaman.
ke masjid
kehidupan tetap menjalankan ajaran Penghayat. Tetangga sering menuduh ayah sebagai dukun.
Kasus AKTE KAWIN/LAHIR 1
1970-2010 (Cigugur)
Rusman
Tidak dicatatkan oleh KCS selama 30 tahun.
Cigugur Kuningan
Pejabat KCS Kab. Kuningan
Bukan anggota salah satu organisasi Penghayat yang diakui pemerintah.
Berdampak psikologis harus masuk menjadi salah satu organisasi.
2
17 Agustus
Iin
Tidak mempunyai akte perkawinan
Kuningan
Petugas catatan
Tidak ada petunjuk pelaksanaan
1. Tidak bisa mendapat akta nikah
sipil
untuk perkawinan Penghayat/
2. Dituduh kumpul kebo.
Adat Sunda.
3. Akte kelahiran anak hanya
Hambatan terjadi sebelum adminduk. Setelah adminduk dapat dicatatkan setelah masuk salah satu organisasi Penghayat.
1989
karena perkawinan yang sudah
(Cigugur)
dilaksanakan menurut tata cara adat tidak diakui oleh negara.
mencantumkan nama ibu.
Masalah semakin rumit saat suami
4. Secara hukum negara, anak-
pertama dan kedua wafat meninggal
anak saya tidak dapat hak waris
kan empat anak.
dari almarhum suami. 5. Harus menafkahi anak-anak dengan kemampuan sendiri.
3
27 Juli 1990
Tating
(Cigugur)
Menikah secara adat lengkap dengan
Kp. Pasir Desa
Pejabat catatan sipil
Pejabat catatan sipil berdalih
persyaratannya namun tetap tidak
Cintakanta
belum ada juklak dan juknis bagi
bisa mendapatkan akte perkawinan.
Rt. 04/ 02
perkawinan para Penghayat.
Kec. Samarang
1. Tidak bisa membuat akte kelahiran anak. 2. Secara hukum tidak punya hak harta gono gini dari
Kab. Garut
perkawinan. 3. Anak-anak tidak bisa mengajukan lamaran pekerjaan yang mensyaratkan adanya akte akte kelahiran. 4. Anak-anak jadi tertekan.
4
Juni 92 -
Ikah
Nikah tahun 1992 sebagai PNS
Juni 2010
tidak dapat tunjangan keluarga.
(Cigugur)
SK pengangkatan diharuskan memilih salah satu agama.
Kuningan
Petugas KCS Petugas BKD
Penghayat bukan agama.
Lambannya pengangkatan PNS
5
Maret 2002
Dewi Kanti
(Cigugur)
Kesulitan mengurus perkawinan
Kuningan
Petugas KCS
secara penghayat meskipun semua
Tidak ada juklak untuk perkawinan adat apalagi beda agama.
persyaratan sudah disiapkan. 6
1 Juli 2007
Triyana S &
(Cigugur)
Wida
Penolakan akta perkawinan
Kp. Cirendeu,
Dinas catatan sipil
Kel. Leuwigajah
dan Disbudpar
Harus dibentuk satu organisasi.
kelahiran karena perkawinan
Kec. Cimahi
kedua orang tuanya tidak diakui
Selatan 7
5 Agustus
Andri
2010
Oktober
Kp. Pojok
Sikap petugas Kantor
Pernikahan di luar hari kerja
Banyak Penghayat yang bimbang
karena tidak memiliki akte kelahiran.
Sukamulya
Catatan Sipil dan jauh
dikenakan biaya lebih tinggi.
saat mau melakukan pernikahan.
Rt. 04/ Rw. 01
nya lokasi kantor
Minat menikah di catatan sipil
Ds. Mekarwangi
catatan yang jauh dari
berkurang karena prosesnya yang
Kec. Lembang
rumah dan biaya
sulit dan biaya yang tinggi.
Kab. Bandung
pernikahan bagi
Barat
penghayat yang mahal.
Tanggung Tegal -
Kelurahan
Abdul Rochzali Proses pemutihan perkawinan secara
2010
oleh negara.
Sulit mengurus perkawinan
(Cigugur)
8
Anak tidak mempunyai akta
Penghayat di kantor catatan sipil.
Jawa Tengah
(Tegal)
Yang bersangkutan sudah menikah
Hingga kini belum bisa mengurus
secara Islam karena itu diharuskan
akte perkawinan secara
untuk bercerai dahulu sebelum
Penghayat.
menikah secara Penghayat. 9
10
1 Oktober
Pengikut
Pendeta dan
Perkawinan beda keyakinan
2010
Kerohanian
perkawinan beda keyakinan antara
Pimpinan Penghayat
menyalahi aturan-aturan yang sudah
Sapta Darma, perkawinan harus
(Tegal)
Sapta Darma
Penghayat dengan agama Kristen
tidak mau
tertulis dalam tata cara perkawinan
dilakukan dengan pasangan
mengesahkan
dalam agama Kristen maupun
seiman.
perkawinan
Sapta Darma
Pejabat catatan sipil
Orang tua tidak punya akte
Mei 2007
Sudrajat dan
(Cigugur)
Rini S.
Sulit mendapat pengesahan
Tidak punya akte kelahiran
Tegal
Kp. Cirendeu, Kel. Leuwigajah
Belum menikah hingga kini.
Menurut Pendeta dan pimpinan
perkawinan.
Kec. Cimahi Selatan
Kasus PENDIDIKAN dan PEMAKAMAN 1
Juli 2010 (Cigugur)
Mimi
Tekanan dari guru dalam pengisian formulir di sekolah
Ciamis
Guru sekolah
bagi anak. Anak akhirnya terpaksa
Penghayat bukan agama dan negara disebut hanya mengakui
Anak merasa tertekan.
lima agama.
HPK dan BKOK mengajukan usulan kepada Direktorat Penghayat Kepercayaan
menulis agama Katolik dalam
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
formulir tersebut.
untuk membuat metode pengajaran pendidikan anakanak Penghayat dari SD, SMP, SMA berikut kurikulum serta guru pengajarnya secara nasional.
2 (Tegal)
3
Pengikut
Tidak bisa mendapatkan hak atas
Sapta Darma
pendidikan agama bagi Penghayat
Pipit (Tegal)
Mendapat penghinaan dari masyarakat
Guru Agama
Tegal
karena sekolah di sekolah Katolik
Kyai dan
Kurikulum pendidikan di sekolah
Harus menerima kurikulum
yang memberikan kesempatan
ajaran agama yang ditetapkan
kepada Penghayat untuk mendapatkan hak atas pendidikan
sekolah dan Pemerintah.
Dianggap kafir
Kehidupan menjadi terbatas.
masyarakat
bersosialisasi dengan
sementara masyarakat mengetahui
masyarakat
keluarga berasal dari lingkungan Islam. Keluarga dianggap kafir. 4
1992 (Tegal)
Ndolin
Saya tetap mencoba
Karena kolom agama di KTP ditulis
Brebes -
Penghayat, saudaranya yang
Larangan
Pamong Desa
Saudaranya tidak beragama Islam
Makam digali kembali dan jenazah dipindahkan ke
meninggal tidak bisa dimakamkan di TPU setempat
pekarangan rumah sendiri.
LAMPIRAN II KASUS KTP
LAMPIRAN II: KASUS KTP
Gambar-1: KTP Andri Mulyadi
Gambar-2: KTP suami isteri dengan kolom agama yang berbeda
Gambar-3: KTP Dewi Kanti Setianingsih
Gambar-4: KTP Engkus yang berganti agama Kong Hu Cu
LAMPIRAN III Kasus Akte Kawin/Lahir
KUTIPAN AKTE KELAHIRAN
FORMULIR SURAT PERNYATAAN KELAHIRAN ANAK
BERITA ACARA PERKAWINAN MENURUT ADAT SUNDA
Kartu Keluarga
Kutipan Akte Kelahiran
Kutipan Akte Kelahiran
AKTE KAWIN SETIARSA
LAMPIRAN IV Profil Ringkas Organisasi
PROFIL SINGKAT ORGANISASI MADIA /Masyarakat Dialog Antar Agama Gagasan awal MADIA (didirikan November 1995) berangkat dari kegelisahan melihat ketegangan sosial antar1kelompok dan umat beragama yang makin dirasa tajam menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Berbentuk LSM, MADIA lebih melihat peran dan fungsinya sebagai jejaring terbuka (open%network) bagi banyak lembaga keagamaan maupun antar1iman di dalam memperjuangkan saling pengertian, demokrasi dan HAM. Kegiatan MADIA selama ini terpusat pada pembentukan forum1forum dialog, kampanye hak1hak sipil, serta riset dan dokumentasi. Dalam seluruh kegiatannya, MADIA selalu bekerjasama dengan lembaga1lembaga sejenis.
BKOK/ Badan Kerjasama Organisasi1organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa BKOK adalah suatu wadah bersama organisasi-organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dirintis sejak tahun 1990, dan merupakan sebagai kelanjutan historis dari organisasi sejenis sejak awal berdiri bulan Mei tahun 1955, yang ketika itu bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI), selanjutnya berubah menjadi BK5I (Badan Koordinasi Karyawan Kebathinan Kerohanian Kejiwaan Indonesia) dan menjadi unsur yang tergabung dalam SEKBERGOLKAR, kemudian berubah lagi menjadi SKK (Sekretariat Kerjasama Kepercayaan), yang kemudian semakin mengecil ketika berubah menjadi HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan—lihat%di%bawah). Lewat Musyawarah Nasional pada Oktober 1998 di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, yang dihadiri 30 organisasi dari 44 organisasi yang diundang, BKOK resmi berdiri. BKOK berfungsi menjadi semacam tali simpul perjuangan kelompok1kelompok kepercayaan dalam menuntut hak1hak sipil mereka, termasuk ikut mendorong dan terlibat memperjuangkan constitutional%review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi. Sejak September 2010, Ketua Presidium adalah Arnold Panahal dari kepercayaan Adat Musi, Sangir Talaut, Sulawesi Utara.
HPK/Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Musyawarah Nasional ketiga Kepercayaan (1973) yang digelar di Tawangmangu, Solo, organisasi kepercayaan SKK (didirikan 1970) resmi diganti menjadi HPK. Organisasi HPK ini sampai sekarang menaungi dan memperjuangkan kepentingan kelompok1kelompok penghayat kepercayaan di seluruh nusantara. Sampai sekarang, HPK diketuai oleh KRAT. Esno Kusnodho Suryaningrat (akrab disapa sebagai Rama Tegal) yang sekaligus pendiri dan pembina Perguruan TRIJAYA, tempat di mana FGD (Focus Group Discussion) MADIA berlangsung. Laman: http://hpk1nusantara.org/tag/himpunan1penghayat1kepercayaan/
HRWG/Human Rights Working Group The Indonesia's NGO Coalition for International Human Rights Advocacy (HRWG) was established by a the majority of NGOs working in different issues but share interest in human rights to serve the need for elaborate advocacy works already in place with the aim of maximizing the goals and putting more pressures on the Indonesian government to execute its international and constitutional obligations to protecting, fulfilling, respecting and promoting human rights in the country. Website: www.hrwg.org Â