s
Pasang Surut Radio Komunitas Internet di Desa Nglelo Pelipur Lara Untuk Aceh
edisi
9
Juli 2005
ISSN 0852-1190
9 7 7 0 8 5 2 11 9 0 0 7
dari kami tim kerja Salam, Setelah hampir satu tahun KOMBINASI tidak hadir di tengah pembaca, kini mulai pertengahan tahun 2005, KOMBINASI akan sampai di tangan anda setiap awal bulan. Satu tahun bukan berarti vakum, pengamatan terhadap perkembangan radio komunitas tak pernah berhenti dilakukan. Tema utama edisi kali ini bisa dikatakan hasil pengamatan terakhir tentang pasang surut radio komunitas yang menghadapi beragam kendala, dari mulai dana hingga sumber daya manusianya. Beberapa memang ada yang berhenti, tetapi semangat untuk siaran kembali selalu ada di hati komunitasnya. Berbeda dengan edisi sebelumnya, maka kini kami menyajikan rubrik-rubrik baru seperti rubrik Silam yang mengulas sejarah komunitas dalam mengelola akses informasi dan komunikasinya. Untuk edisi ini, Anom Astika membagikan pengetahuannya tentang sekelumit sejarah radio di Indonesia. Aceh yang pada 26 Desember 2004 telah luluh lantak akibat bencana gempa bumi dan gelombang tsunami, kini mulai bergerak kembali, salah satunya dengan kemunculan radioradio komunitas di sejumlah titik. Afrizal dari Banda Aceh telah meliput sejumlah radio komunitas yang telah menjadi penawar kepedihan masyarakat Aceh. Pada rubrik profil, anda bisa mengenal sosok Ir. Roy, seorang pengusaha jasa internet service provider (ISP) yang telah menggabungkan teknologi informasi dan akses pendidikan untuk masyarakat desa di Salatiga. Dari Aceh, Salatiga, kami akan mengajak anda sejenak ke Sulawesi Tengah, melihat bagaimana masyarakat adat tetap menjalankan upacara dan kesenian tradisional yang menjadi sistem komunikasi yang efektif bagi masyarakatnya. Akhir kata, inilah KOMBINASI edisi 9, atau edisi perdana di tahun 2005. Dengan tema yang lebih beragam, kami berharap dapat membawa anda menjelajahi berbagai daerah dengan topik-topik menarik. Selamat menikmati! Redaksi
KOMBINASI diterbitkan oleh Combine Resource Institution (CRI) atas dukungan Ford Foundation. Editor: Ade Tanesia Reporter: Biduk Rokhmani, Rohman Yuliawan. Desainer Grafis: Roni Wibowo & Rikky Zulkarnaen Kontributor artikel: Afrizal, Anom Astika ,Mulya Amri, Shita Laksmi Kontributor ilustrasi dan foto: Dani Yuniarto, Ir.Roy, Afrizal, Yoh Kawano Foto cover depan & belakang : Roni Wibowo Combine Resource Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Dengan mengelola sendiri sistem informasi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, komunitas akan mampu menggali, mengolah dan mengkomunikasikan informasi secara strategis untuk kepentingan komunitas dalam rangka menuju penguatan masyarakat sipil di Indonesia. Alamat Redaksi Jl. Ngadisuryan 26 Yogyakarta 55133 Telp./Faks. 0274-418929 redaksi@kombinasi.net www.kombinasi.net
comb ne Redaksi menerima kiriman artikel, agenda kegiatan dan foto.
dari anda APA KABAR KOMBINASI ?Kami berharap KOMBINASI lahir kembali dengan kekuatan informasi akar rumput yang sehat dan kuat, bukan hanya memberitakan khusus Lembaga Penyiaran Komunitas, masalah sosial masyarakat marginal saja, tetapi meluas kehal-hal lain seperti tipikal komunitas berwawasan dan berpikir kritis tentang bidang-bidang lain misalnya politik, budaya, masalah kesehatan dan yang utama bagaimana masyarakat dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui kebijakan publik yang dimiliki komunitas. Akhir kata saya ucapkan” Selamat Terlahirnya Kembali Buletin KOMBINASI dengan sifat yang sama tetapi tetap aktual dan dapat mempertanggungjawabkan berita sebagai pilar informasi Akar Rumput!” Thema Sanjaya -- Radio PASS FM Katapang, Bandung Walaupun saya belum pernah membaca buletin KOMBINASI, tapi saya rasa bagus ada media semacam itu. Terutama untuk saling berbagi dan belajar antar pengelola radio komunitas. Dengan adanya KOMBINASI, harapan saya hal-hal semacam itu dapat terinformasikan di kalangan pengelola rakom dan masyarakat luas.
2
Combine Resource Institution (CRI) mengucapkan selamat atas suksesnya penyelenggaraan Kongres Nasional I Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) pada tanggal 12-16 Desember 2004 di Lembang Jawa Barat dan terpilihnya formatur JRKI Periode 2004-2007. “Combine Resource Institution (CRI) mengucapkan selamat atas suksesnya penyelenggaraan Musyawarah Daerah I Jaringan Radio Komunitas Sumatera Barat (JRKSB) pada tanggal 4- 6 Juni 2005 di Bukit Tinggi Sumatera Barat dan terbentuknya Kepengurusan JRK-SB Periode 2005-2008.” Alamat Sekretariat: SMK Paramitha Bukittinggi, Jl. Veteran No. 79C Jirek, Simpang Tembok, Bukittinggi Sumatera Barat. Telp. (0752) 625989. E-mail: rakomsumbar@yahoo.com
Kombinasi komunitas membangun jaringan informasi edisi ke-9 Juli 2005
Kombinasi edisi 9, Juli 2005, dicetak 2000 eksemplar
Mart Widarto-Wakil Ketua JRKY
Cegah Bolos Sekolah Lewat SMS
A
pakah Anda termasuk orang tua yang terlalu sibuk untuk memantau kegiatan anak Anda di sekolah? Mintalah bantuan pada SMS Info Siswa. Tinggal pencet HP, Anda akan menerima SMS yang berisi informasi aktivitas anak di sekolahnya. Demikian tawaran yang disodorkan oleh kiSEL (Koperasi Telkomsel), salah satu anak perusahaan Telkomsel. Layanan yang bisa dijalankan melalui operator Telkomsel, Indosat (kecuali Star One), Telkom Flexi dan XL merupakan layanan nilai tambah pertama yang menjadi media perantara komunikasi antara sekolah dan orang tua siswa. kiSel sebagai penyedia layanan SMS Info mensyaratkan pihak sekolah menjadi pemasok informasi dengan cara up-load data aktifitas siswa ke server kiSel secara harian. Data tersebut kemudian diolah menjadi pesan SMS yang disampaikan ke orang tua siswa yang menjadi pelanggan layanan kiSel. Ini artinya sekolah yang menjadi rekanan wajib memiliki komputer yang terhubung ke internet untuk kepentingan memasok data. Selain itu, masingmasing orang tua siswa harus memiliki handphone dan dikenai biaya berlangganan sebesar Rp. 100.000,- per-semester. Penerima info pun masih dikenai tarif dengan kisaran Rp. 500,- sampai Rp. 800,- per pesan. Meski saat ini belum ada satu pun sekolah yang menjadi rekanan kiSel, beberapa pengelola sekolah di Jakarta telah menjajaki kemungkinan aplikasi teknologi SMS Info di sekolah mereka. Di samping dinilai bermanfaat bagi orang tua siswa untuk memantau perkembangan sekolah anaknya, layanan ini juga membantu sekolah untuk mengkomunikasikan proses belajar mengajar dan meningkatkan kedisiplinan siswa. Sederhananya, siswa harus berpikir ulang untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau mangkir dari kelas tanpa diketahui orang tuanya. Layanan ini diharapkan juga meningkatkan citra sekolah rekanan dengan pemanfaatan teknologi untuk perbaikan layanan dan mutu pendidikan. (Sumber : www.trendigital.com, 5 Juni 2005/Rhm)
Lahirnya Jaringan Radio Komunitas Sumatera Barat
B
“
angun kebersamaan melalui informasi dan komunikasi”, demikian motto kegiatan Musyawarah Daerah I Jaringan Radio Komunitas Sumatera Barat (Musda I JRK-SB) yang terselenggara di Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Musda I JRK-SB berlangsung pada hari Sabtu hingga Senin tanggal 4 hingga 6 juni 2005. Acara ini dibuka oleh Gubernur Sumatera Barat yang diwakili oleh Kepala Biro Tata Pemerintahan Nagari Busra. Pada pembukaan tersebut beliau menyatakan bahwa pemerintah daerah Sumatera Barat sangat menyambut baik keberadaan radio komunitas dan membuka diri untuk bekerjasama di masa depan. Sekitar 32 radio komunitas hadir sebagai peserta Musda yang berasal: Kota Padang, Kota Pariaman, Kab. Padang Pariaman, Kab. Pesisir Selatan, Kab. Pasaman Barat, Kab. Agam, Kota Bukit Tinggi, Kota Solok, Kab. Solok, Kab. Solok Selatan, Kota Sawah Lunto dan Kab. Sawah Lunto Sijunjung. Hadir pula pada Musda ini beberapa wakil dari NGO di Sumbar sebagai pengamat. Musyawarah Daerah I JRK-SB diawali dengan Diskusi Panel dengan narasumber dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI Pusat) Bimo Nugroho, Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRK-I) Bowo Usodo, Yayasan TIFA Shita Laksmi dan dimoderatori oleh Mulya Amri dari Combine Resource Institution (CRI). Musyawarah daerah I JRK-SB selama 3 hari ini mampu menghasilkan kelengkapan penting organisasi, yaitu : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), Mekanisme Kerja Organisasi (MKO), Garis Besar Program Kerja (GBPK), rekomendasirekomendasi dan pengurus JRK-SB periode 2005-2008. JRK-SB memiliki visi adanya komunitas yang berdaya, sejahtera dan cerdas melalui pemanfaatan media informasi berbasis komunitas. Misi pengembangan kebudayaan (kesenian lokal) juga menjadi tanggung jawab bersama JRK-SB. [ASP]
4000 Warnet Terancam Tutup
D
isinyalir mempergunakan piranti lunak berlisensi ilegal,sekurangnya 4000 warung internet (warnet) yang beroperasi di Indonesia terancam gulung tikar. Seperti diberitakan oleh Kompas (6 Juni 2005), pihak kepolisian mulai melakukan operasi pembersihan (sweeping) ke sejumlah warnet, menutup operasi dan menyita komputer yang dipergunakan. Para pemiliknya juga terancam diajukan ke pengadilan. Jika 4000 warnet tersebut benar-benar ditutup, setidaknya 16.000 pegawainya terancam menjadi pengangguran. Tindakan tersebut kabarnya dipicu oleh laporan Bussiness Software Alliance yang menengarai banyak warnet di Indonesia yang mempergunakan piranti lunak ilegal. Terkait dengan itu, Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengusulkan agar pemerintah memberikan bantuan pendanaan dengan sistem pembayaran ringan. “Pemerintah juga harus mendorong dikembangkannya software aplikasi berbasis open source,” kata Kusmayanto. Saat ini kelompok pengembang open source yang tergabung dalam gerakan IGOS (Indonesia Goes Open Source) tengah mengembangkan aplikasi berbasis open source untuk internet. Program ini diharapkan rampung dan dipresentasikan pada tanggal 15 Juli 2005, dalam acara “Open house Inovation Open source Software”. Kita tunggu saja, atau demokratisasi informasi kembali menjadi mimpi. (Sumber: Kompas, 6 Juni 2005/Rhm)
3
FM
90
95
Pasang Surut Radio Komunitas Oleh Ade Tanesia
Menanggapi maraknya radio komunitas (rakom) di Indonesia (sekitar 400) , para pengamat media komunitas sering berpendapat bahwa kecenderungan masyarakat dalam memilih media radio disebabkan teknologi radio lebih efektif dibanding media cetak. Efektif dari sisi pendanaan, karena membangun radio ternyata dirasa lebih murah. Selain itu kuatnya budaya lisan dibanding budaya baca pada masyarakat menyebabkan media radio lebih disukai.
N
amun pada kenyataannya mengelola informasi dan mengkomunikasikannya lewat radio bukan seperti membalikkan telapak tangan. Cukup banyak hambatan yang dialami oleh radio komunitas, sehingga dibutuhkan komitmen yang kuat agar bisa tetap hidup. Masduki MSi, salah satu pengamat media komunitas mengatakan bahwa sekitar 30 radio komunitas di DIY dan Jawa Tengah telah berhenti siaran, baik untuk sementara waktu atau selamanya. Imam Prakoso, Direktur Combine Resource Institution (CRI) yang kini sedang menjalankan studi radio komunitas di Indonesia mengungkapkan bahwa kebertahanan sebuah radio komunitas juga dipengaruhi oleh landasan berdirinya radio tersebut. Untuk rakom yang inisiatif awalnya berasal dari luar seperti LSM, lembaga donor, pemerintah, mempunyai potensi tersendat atau tutup lebih besar. Terutama jika rakom tersebut tidak didukung pengorganisasian yang baik dan tak mampu mengembangkan keterlibatan masyarakat. Untuk rakom yang inisiatifnya berasal dari dalam komunitas itu sendiri ada dua jenis, yaitu yang awalnya didirikan oleh kelompok eksklusif (kelompok hobi) dan kelompok inklusif. �Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, rakom yang awalnya dari kelompok hobi, hambatan utama adalah kurangnya kemampuan menggalang partisipasi dari masyarakat. Sebagai contoh jika ada alat yang rusak, maka kelompok atau individu itu saja yang harus memperbaikinya. Ini berbeda dengan rakom yang awalnya didirikan oleh kebutuhan masyarakat dan dibangun oleh beberapa pihak dari masyarakat itu sendiri, mereka biasanya lebih bertahan lama,� ungkap Imam Prakoso. Ada dua faktor penting yang harus dipenuhi oleh seluruh rakom, yaitu dibutuhkan sejumlah orang yang cukup militan, artinya mereka yang mau meluangkan waktu, tenaga bahkan dana secara sukarela. Selain itu yang lebih penting lagi adalah partisipasi masyarakat dan kuatnya kelembagaan. Seringkali rakom
4
Kombinasi komunitas membangun jaringan informasi edisi ke-9 Juli 2005
100
105
ingin meningkatkan daya pancarnya agar jangkauan pendengarnya lebih jauh. Tetapi yang menjadi masalah, semakin besar daya jangkau maka partisipasi masyarakat semakin longgar. Berbeda dengan jangkauan yang relatif terbatas, maka partisipasi bisa lebih intens, bahkan sampai masyarakat itu sendiri yang memberikan masukan pada program acara di radio. Radio Bragi di Mataram, Lombok misalnya, mempunyai acara lagu-lagu Sasak (suku asli Lombok) lama yang ternyata sangat disukai oleh masyarakat.
sudah berminat untuk siaran di salah satu program acaranya. Yang terakhir adalah kreatif dalam mencari dana. Sebagai contoh, Radio IQ di Lombok membuat kantin desa untuk menghidupi rakomnya. Radio Wiladeg di Yogyakarta juga sangat kreatif menjual program acara unggulannya kepada pihak-pihak yang ingin mengiklankan berbagai hal, dari mulai iklan hajatan nikah sampai pengenalan calon bupati yang siap bersaing di Pilkada. Lalu apa yang harus dimiliki sebuah radio komunitas untuk Radio Komunitas Wiladeg juga memanfaatkan jaringan perantau keberlanjutan jangka panjangnya? Yang pertama adalah yang tinggal di Jakarta sebagai sumber dana. Ternyata perantau membangun basis masyarakat dengan memantau kebutuhannya. asal Wiladeg mempunyai keterikatan emosional pada radio ini, Kemudian sebuah rakom harus mendapat kepercayaan dari sehingga seringkali mereka memberikan bantuan jika ada masyarakatnya. Rakom juga harus dijalankan secara kerusakan alat. Bahkan ada seorang perantau yang profesional, artinya walaupun hampir sebagian besar rakom di Indonesia dikelola oleh para Lalu apa yang harus memanfaatkan Radio Wiladeg untuk menyiarkan kabar dirinya ke keluarganya di kampung. Suatu saat, sukarelawan dari masyarakatnya sendiri, namun harus dikerjakan secara serius, misalnya jadwal dimiliki sebuah radio keluarganya ternyata tidak dapat mendengar radio Wiladeg, karena posisi rumahnya berada di daerah siaran sebisa mungkin tepat waktu, setiap orang bawah (kawasan Wiladeg memang berbuki-bukit). yang ditugasi menjadi penyiar harus menggali komunitas untuk Akhirnya ia menyumbangkan dana pada Radio potensinya agar menjadi penyiar yang bagus dan disukai masyarakat. Sikap profesional ini keberlanjutan jangka Wiladeg untuk meninggikan tower pemancarnya. pernah diterapkan oleh Radio Komunitas Untuk kebutuhan konsumsi penyiar, Radio Wiladeg panjangnya? KOMPAK yang menerapkan kode etik siaran juga mengadakan kerjasama dengan penjual pecel berikut sangsinya jika terjadi pelanggaran. lele yang setiap malam berjualan di depan markas radionya. Dalam kinerja rakomnya, ada aturan bahwa penyiar harus hadir 15 Bentuknya, Radio wiladeg memberikan voucher makan kepada menit sebelum siaran, larangan merokok di dalam studio pendengarnya. Oleh karena dipromosikan, akhirnya penjual pecel diterapkan dengan ketatl. Yang tak kalah pentingnya adalah lele tidak jarang mengirimkan teh, kopi dan bungkusan nasi plus upaya regenerasi pada orang-orang yang lebih muda. Radio pecel lele ke studio Wiladeg. Jika ada pepatah banyak jalan Angkringan di desa Timbulharjo, DIY misalnya, menyebarkan menuju Roma, maka banyak jalan pula untuk menjaga formulir pendaftaran untuk menjadi penyiar ke seluruh kampung. keberlangsungan radio komunitas.*** Radio Panagati di daerah Terban, DIY, tak henti-henti mengajak masyarakatnya untuk menjadi penyiar. Bahkan yang terakhir, seorang nenek berusia 68 tahun, yang kerap dipanggil Mbah Rita,
5
Alat Rusak , Dana Minim , Pendengar Gigit Jari Oleh Biduk & Rohman
Kerusakan alat dan terbatasnya dana sering membuat radio komunitas (rakom) menghentikan siarannya untuk sementara waktu. Kasus ini pula yang tengah dialami Radio Pamor (107.9 FM) salah satu rakom di Yogyakarta yang terletak di Desa Tirtomulyo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Radio Pamor yang berdiri sejak tahun 1995 kini kondisinya tengah memprihatinkan.
P
emancar radio yang setiap hari diandalkan oleh warga sekitar sebagai 'corong' untuk mewadahi aktifitas seni dan budayanya itu, sekarang dalam keadaan rusak berat. Keterbatasan dana menjadi sebab utama sehingga pemancar tua itu masih tergeletak rusak, belum bisa diperbaiki. Walhasil hampir tujuh bulan radio Pamor berhenti bersiaran. ''Pemancar milik kami memang sudah cukup tua, jadi memang wajar jika sudah aus. Apalagi biaya servis pemancar itu mahal. Kami pernah itung-itungan biayanya bisa mencapai Rp 1,4 juta. Lha uang segitu dapat dari mana?'' ujar Suyud, pengelola Radio Pamor.
S
elama ini, biaya operasional Radio Pamor ditanggung bersama oleh seluruh anggota yang sekaligus juga terlibat sebagai penyiar. Anggota Radio Pamor yang berjumlah tujuh orang itu hanya melaksanakan iuran secara bantingan. Untuk pemasukan harian, mereka memperolehnya dari penjulan kartu request pembaca seharga Rp 200 perlembar. Selain itu, Radio Pamor juga menerima pemasangan iklan dari warga sekitar N a m u n s a y a n g n y a , yang dibacakan sampai lima kali dalam sehari melalui radio. Iklan yang pendapatan dari biasanya mereka terima bisa bermacam-macam jenisnya. Ada pengiklan yang mengumumkan pembukaan warung atau toko baru, layanan jasa i k l a n y a n g m e r e k a dan jenis usaha lainnya.
N
terima masih relatif
amun sayangnya, pendapatan dari iklan yang mereka terima minim. masih relatif minim. Bahkan, lanjutnya, ada juga pengiklan yang membayar biaya pembacaan iklan dengan makanan. Misalnya, jika kebetulan pengiklan membuka usaha warung bakso, mereka harus rela dibayar dengan semangkuk bakso. Sama halnya dengan pengiklan yang mempunyai usaha warung sate kambing. ''Kalau ada pengiklan yang membayar dengan uang, rata-rata mereka hanya ngasih antara Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Itupun habis untuk bayar pajak listrik dan menyediakan minum bagi pengisi acara live yang jumlahnya kadang bisa mencapai 30 orang,' imbuhnya.
T
entu dengan rusaknya alat, selain terhentinya siaran, rencana-rencana Radio Pamor ke depan pun tersendat. ''Sebenarnya kami sudah menjalin kerja sama dengan Dinas Pendidikan dan kepala sekolah-kepala sekolah se-Kabupaten Bantul untuk mengisi beberapa program acara. Yakni live show murid-murid TK dan dialog tentang berbagai macam hal yang menyangkut soal pendidikan di Bantul,'' papar Suyud. Sayangnya, acara yang sudah cukup matang digagas itu harus ditunda pelaksanaannya karena kerusakan pemancar yang mereka anggap paling krusial untuk segera diperbaiki. ***
6
Kombinasi komunitas membangun jaringan informasi edisi ke-9 Juli 2005
H
al yang sama juga dialami oleh Radio Swara Menoreh (RSM), di Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sejak tahun 2001 mengudara di frekuensi 93.35 FM. “Komputer kami jarang bermasalah, juga alat siarnya. Tapi yang paling sering rusak malah antena pemancarnya. Itu pun gara-gara tersambar petir,” keluh Lephen Purwarahardja, perintis dan pengelola RSM. Terhitung sampai akhir tahun 2004 saja sudah lima kali petir menyambar antena pemancar rakom yang terletak lebih kurang 600 meter dari atas permukaan laut di punggung jajaran pegunungan Menoreh. Alhasil, siaran pun terhenti dan para pendengar terpaksa gigit jari. Terhentinya siaran bisa terhitung minggu atau bahkan berbulan-bulan tergantung waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan.
“
B
agaimana ya, soalnya setiap kali tersambar petir kami harus mengeluarkan biaya perbaikan ratusan ribu rupiah. Cukup banyak juga kalau harus kami tanggung sendiri,” lanjut Lephen. Padahal selama ini sumber keuangan utama untuk biaya operasional pengelolaan radio hanya diperoleh dari iuran para pengelola. “Ada memang sumber-sumber lain, namun tidak bisa kami dapatkan secara rutin. Misalnya sumbangan dari para perantau yang be ra sa l da ri Ke ca ma ta n Samigaluh. Kami mengirim semacam proposal pada mereka untuk meminta dukungan dana, dan ya memang dapat lumayan.”tambah Lephen. Pada saat musim panen, yang
kerap kali juga sama artinya dengan musim acara pernikahan, RSM sering mendapat order untuk menyiarkan acara pernikahan termasuk hiburan-hiburan yang menyertai, seperti wayang kulit atau ketoprak. Dari aktifitas seperti itu, awak RSM terkadang menerima uang lelah yang kemudian dikelola untuk mendukung kegiatan operasional. “Biasanya sekitar seratus lima puluh ribu rupiah,” sebut Lephen.
D
ari saat kerusakan akibat sambaran petir akhir tahun lalu, sampai saat ini RSM masih belum mengudara. “Kami belum punya dana untuk membuat antena yang lebih aman dari sambaran petir. Ada seorang teknisi yang mau membantu untuk membuatkan antena semacam itu, tapi biayanya sekitar 5 juta rupiah. Katanya sih ditanggung aman,” ujar Lephen. Lantas, kenapa tidak mengumpulkan dana dari komunitas? “Para pengelola berkeputusan tidak mau membebani masyarakat dulu, karena sebagian besar di sini adalah petani lahan tadah hujan, jadi hasilnya nggak tentu” jawab Lephen.
M
enurut Lephen, selain kendala kerusakan antena dan seretnya dana operasional, pengelola RSM juga menghadapi kendala untuk melayani beberapa daerah yang sebetulnya berada di dalam jangkauan siar mereka. Penyebab utamanya adalah topografi kawasan yang berbukit-bukit memunculkan blank spot di beberapa tempat. “Ironisnya, ada bagian dari desa Purwa yang masuk blank spot, padahal lokasi studio RSM ada di desa itu,” lanjutnya. “Kondisi ini yang akan di evaluasi dan dibenahi dalam bulan-bulan mendatang. Sembari mengusahakan uang untuk perbaikan antena, kami juga akan mencari solusi untuk masalah lain biar bisa segera siaran lagi,” harapnya. Ya, biar para pendengar tidak terlalu lama gigit jari.***
7
: PAK M O sK nita
d Ra
u om K io
S “ aya DofegamaSwara d engan sangat terpaksa
membubarkan k epengurusan ataupun k epenyiaran di Radio Kompak pada angkatan 2 s/d saat ini. ……Trus Kompak bubar ? Tidak! Kompak tidak akan pernah bubar!” (Cuplikan dari surat pembubaran pengurus Radio KOMPAK, 01 Mar et 2005) oleh: Ade Tanesia
K
abar burung tentang bubarnya Radio Komunitas (rakom) KOMPAK dibantah keras oleh Lutfi, penanggung jawab KOMPAK yang di radio dikenal dengan nama DofegamaSwara. “Kemarin hanya p e mb u b a r a n p e n g u r u s s a ja . K a mi sekarang sedang memantau calon-calon penyiar baru. Insyaallah kami bisa mengudara lagi dalam waktu 3-4 bulan ke depan,” tegas Lutfi saat ditemui buletin KOMBINASI. Berdiri pada tahun 2001, KOMPAK berawal dari kegemaran dua pemuda di wilayah Pathuk, DIY, Lutfi dan Andre, yang mempunyai hobby ngebreak. Tertarik membuat radio, akhirnya dengan uang hasil bantingan, berdirilah tower dari bambu dan seperangkat alat pemancar berkekuatan 3 Watt, yang kemudian diperbesar menjadi 40 Watt. Visi Radio KOMPAK didasari oleh keprihatinan
Foto: dok. radio Kompak
8
mereka terhadap warga di daerahnya yang banyak mengkonsumsi miras (minuman keras) dan narkoba. Radio KOMPAK difokuskan sebagai media kampanye anti miras dan narkoba. Visi ini semakin kuat saat KOMPAK bekerjasama dengan
organisasi GRANAT (Gerakan Nasional Anti Narkoba) untuk mengkampanyekan anti miras dan narkoba melalui program acara Say No To Drugs.
dengan kualitas penyiarnya. Selain ada test masuk untuk penyiar, pengurus inti selalu memberikan pendampingan yang intensif terhadap penyiar baru.
Dengan kekuatan 40 Watt, maka daya jangkau Radio KOMPAK semakin luas, sehingga tidak hanya didengar oleh komunitas sekitar Pathuk. Imbasnya, saat mereka membuka pendaftaran untuk penyiar, peminatnya membludak dari berbagai kawasan di Yogyakarta. “Penyiar kami ada yang dari Godean, Wates, Taman Siswa. Sedari awal para calon penyiar itu sudah kami beritahu aturan mainnya. Pokoknya ini adalah radio komunitas yang tak ada gajinya, bahkan mereka harus memberi iuran minimal Rp. 5000,- per bulan,” ungkap Lutfi.
Seluruh prestasi yang dicapai oleh KOMPAK tidaklah berjalan mulus, diantaranya persoalan dana dan kerusakan alat. Namun faktor terbesar yang membuat KOMPAK harus membubarkan pengurus dan berhenti sementara waktu adalah soal sumber daya manusia. “Masalahnya ada anggota yang ternyata tidak bisa dipercaya. Contohnya ada yang membobol kunci telpon sehingga tagihan meledak. Ada juga anggota yang diminta untuk membayarkan listrik sebesar Rp. 244.000,- justru memakai uang itu untuk kepentingannya sendiri. Masih banyak kasus lainnya,” ungkap Lutfi dengan lirih. Kasus demi kasus yang terjadi di tubuh KOMPAK telah memuncak sehingga ia harus menghentikan kegiatan radio itu.
Awalnya kebersamaan antar anggota cukup erat, bahkan secara musyawarah mereka mampu menyepakati kode etik kerja di KOMPAK, seperti
larangan merokok di studio, aturan agar 15 menit sebelum siaran, penyiar wajib hadir di studio. Lebih dari sekedar kode etik, mereka pun mampu merancang sistem sangsi bagi anggotanya. Disamping persoalan kode etik yang jelas, Radio KOMPAK juga terkenal
Belajar dari pengalaman, maka di masa depan KOMPAK akan memprioritaskan anggota dari komunitasnya sendiri, artinya warga sekitar Pathuk atau yang termasuk Kecamatan Ngampilan. “Mungkin kalau sesama warga Ngampilan, rasa solidaritasnya lebih kuat. Selain itu semangat memberikan yang terbaik untuk daerahnya juga lebih besar. Saya juga yakin KOMPAK tidak kehilangan pendengarnya,” ujar Lutfi. Prahara yang sempat melanda Radio KOMPAK nampaknya justru menumbuhkan semangat baru pada dua tokoh penggeraknya. Kita tunggu saja tanggal mainnya. ***
Kombinasi komunitas membangun jaringan informasi edisi ke-9 Juli 2005
Belajar dari RadioKomunitas di Afrika Selatan Oleh Shita Laksmi* “Solusi sebuah masalah itu selalu semu, karena solusi akan membawa kita ke masalah berikutnya�. Pernyataan Marthin Luther King yang tenar ini bisa menjadi ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan penyiaran komunitas di Indonesia.
ICASA Act ini hampir sama dengan RPP yang sedang digodok Kementrian Informasi dan Komunikasi. Bedanya, badan pembuat di Afrika Selatan adalah lembaga independen yang lepas dari kepentingan pemerintah walaupun dana operasionalisasinya datang dari negara.
S e t e l a h mendapatkan pengakuan dari Undang-undang Penyiaran, masalah lain yang muncul pada radio komunitas di Indonesia adalah ketidak jelasan Rancangan Peraturan Foto: Shita Laksmi Pemerintah (RPP), ketakutan dicabutnya frekuensi sampai ke masalah internal yang utama: keberlanjutan radio komunitas.
Untuk soal pendanaan, radio di Afrika Selatan lebih beruntung karena boleh beriklan walaupun cukup iklan lokal. Menurut Gabriel Urgoiti dari Open Society Institute Afrika Selatan, “tidak mungkin radio komunitas bisa bertahan hidup kalau tidak beriklan.� Benar juga. Tapi, patut disadari bahwa boleh beriklan berarti menimbulkan potensi memperluas jangkauan yang artinya bukan radio komunitas lagi.
Studio Radio Moutse.
Pa d a b u l a n O k t o b e r 2 0 0 2 , s a y a mendapat kesempatan ke Afrika Selatan dan belajar bagaimana struktur penyiaran komunitas disana. Setelah mendengar pengalaman mereka, saya berkesimpulan penyiaran komunitas di Afrika Selatan mendapat dukungan penuh dari segala sektor, negara/ pemerintah, industri, ornop dan publik. Bisa jadi, karena munculnya penyiaran komunitas adalah akibat kebijakan antiapartheid yang dirindukan oleh Afrika Selatan. Dibawah UU, mereka punya peraturan disebut Independent Broadcasting Authority (ICASA) Act untuk mengatur penyiaran lebih detail seperti definisi penyiaran komunitas, tipe penyiaran -geografis atau kepentingan-- area mana yang mendapatkan izin serta entitas apa yang dilarang mendapatkan izin. ICASA juga mengatur tata cara mendapatkan izin beserta persyaratan yang dibutuhkan, biaya pendaftaran, dan sebagainya.
Sebagai contoh adalah Radio Moutse yang siaran di 96,3 FM. Esau Mguni, aktivis Moutse mengatakan sejak menurunnya dukungan lembaga dana kepada Moutse, mereka menjadi sangat tergantung pada iklan. Sayangnya, mereka hanya memiliki kekuatan 250 Watt yang hanya menjangkau seratus r i b u p e n d e n g a r. M e r e k a i n g i n meningkatkan kekuatan agar bisa menjangkau 800 ribu pendengar dan akhirnya membuat pemasang iklan lebih tertarik. Mereka minta izin ke ICASA tapi belum mendapatkan ijin. Kalau melihat peralatan Radio Moutse menjadi wajar bila biaya operasionalisasinya tinggi. Mereka tinggal di satu rumah yang relatif besar dan mempunyai lebih dari 3 ruangan berikut satu mobil operasional.
Ruangan untuk penyiar terpisah dengan ruang untuk teknisi --dengan mixer yang lebih dari satu. Bila dibandingkan dengan radio komunitas di Indonesia, misalnya Angkringan, peralatan Moutse jauh lebih maju. Saya bertanya kepada Moutse, bagaimana dengan partisipasi komunitas? Menurut mereka, sangat sulit untuk meminta dana ke masyarakat karena tingkat ekonomi yang rendah. Ditambah lagi, saat pendirian, Moutse tidak mencantumkan kontribusi masyarakat dalam AD/ART karena mereka percaya bisa mendapat iklan dan dana hibah dari lembaga dana. Kalau begini, persoalannya jadi kompleks. Kendati sudah didukung dari s e m u a s e k t o r, t i n g g i n y a b i a y a operasional yang tidak didukung oleh pemasukan yang rutin akan menimbulkan masalah. Pemasukan iklan dan lembaga dana itu tidak rutin karena mereka bisa datang dan pergi. Dari situ saya belajar bahwa peralatan canggih, iklan, dukungan lembaga dana dan pemerintah tidak bisa memastikan keberlanjutan radio komunitas. Sejak proses perencanaan, partisipasi komunitas perlu diraih. Radio komunitas harus menyusun macammacam kontribusi riil dari komunitas untuk menghindari mati di jalan. *** *) Alumni Pascasarjana Ateneo de Manila University, Philippines.
Sekelompok perempuan yang baru selesai mengisi acara di radio Moutse memamerkan tarian mereka ke penulis. Kendati pendengar radio tidak bisa melihat pakaian tari mereka, para perempuan ini tetap ingin menggunakan pakaian tari karena sudah menurut mereka, nyanyian itu harus didukung oleh tarian sekaligus pakaiannya.(foto: Shita Laksmi)
9
Ir.Roy,
foto: Rohman
Dari sekian banyak kesenjangan global yang paling kentara pada dekade ini, ketimpangan penguasaan teknologi dan informasi adalah salah satunya. Kemiskinan seringkali kemudian dituding sebagai biang utamanya. Pada sisi lain, ketimpangan semacam itu memunculkan sosoksosok yang layak disebut martir dalam upayanya menyeimbangkan dan memperluas kesempatan menguasai teknologi dan informasi.
10
Internet dan Pendidikan Demokratis oleh: Roh man
S
alah seorang martir tersebut bernama Ir. Roy Budhianto Handoko, seorang pengusaha dari Salatiga, Jawa Tengah. Berkat uluran tangannya, mulai bulan Desember 2003 puluhan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Salatiga dan sekitarnya terhubung ke internet 24 jam sehari melalui program Jaringan Pendidikan. “Saya merintisnya melalui dukungan Ya y a s a n Wi d y a K r a m a , i n s t i t u s i pemerintah yang memberikan penghargaan berupa dana untuk memajukan pendidikan suatu wilayah,” kata Roy, pria tinggi besar yang lahir di Salatiga 51 tahun yang lalu. “Kenapa internet? Saya melihat perangkat ini sebenarnya sangat potensial untuk mengembangkan pendidikan secara demokratis,” kata Roy. Lewat internet, menurut idealisasi Roy, pintu informasi akan terpentang lebar-lebar dan bisa dimasuki siapa saja. “Selain sumber pengetahuan yang luar biasa, internet juga bisa dimanfaatkan untuk menjembatani kesenjangan antar sekolah,“ tambahnya. Untuk mendukung jaringan itu, setiap sekolah diberi satu komputer yang dimanfaatkan untuk server internet dan pelatihan untuk membekali para guru dalam memanfaatkan internet secara optimal. Jaringan pendidikan juga mengembangkan website www.pendidikansalatiga.net sebagai ruang interaksi virtual antar sekolah. Langkah lanjut dari jaringan pendidikan juga sudah digagasnya. Roy mengungkap pemikiran mengenai perlunya dikembangkan Indonesia Internet Exchange (IIX) yang memungkinkan tersedianya jaringan intranet lokal. “Lokal di sini artinya di seluruh Indonesia. Dengan IIX kita tidak perlu menggunakan satelit untuk
mencari data yang terdapat di Indonesia, sehingga menghemat pemakaian bandwith (kapasitas saluran data),” lanjutnya. Penghematan bandwith, kata Roy, juga berarti mengurangi pemborosan devisa karena penyedia layanan internet di Indonesia tidak perlu memanfaatkan satelit yang dipunyai negara lain. **** Boleh jadi, Roy adalah orang yang pertama-tama mengenal internet secara intensif di Salatiga. Ia telah memulai bisnis warung internet (warnet) sejak tahun 1997, sekitar satu tahun setelah internet mulai dikenal di Indonesia. “Waktu itu teknologinya masih mahal dan repot sekali mewujudkannya,“ kenang Roy. Setelah hampir setahun mengandalkan pasokan bandwith dari Yogyakarta sebesar 16 kbps (kilo byte per second), Roy nekat memesan bandwith sendiri dari Indonet Jakarta. Alhasil, akses internet di warnetnya semakin berlimpah dengan aliran 64 kbps. Statusnya pun meningkat menjadi sub-net, bukan lagi sebagai pelanggan saja namun juga distributor layanan Indonet untuk wilayah Salatiga. Saat ini, Roy adalah direktur Indonet Salatiga yang juga membawahi beberapa kota lain di Jawa Tengah. “Saya hanya punya insting bahwa dunia teknologi informasi akan berkembang pesat di masa mendatang. Segala sesuatu dalam kehidupan ini nantinya akan sangat tergantung pada teknologi, saya yakin itu,” ungkapnya. Berlatar keyakinan itu, Roy berpandangan dalam jangka panjang dunia teknologi informasi cukup menjanjikan dari segi bisnis. “Saya yakin akan ada pelipatan jumlah pemakai internet beberapa tahun mendatang,” ujarnya. Profesi lamanya sebagai kontraktor sipil pun tak ragu ditanggalkan.
Kombinasi komunitas membangun jaringan informasi edisi ke-9 Juli 2005
Terpisah dari perspektif bisnisnya, Roy juga meyakini bahwa kunci kemajuan suatu masyarakat terletak pada penguasaan bidang teknologi informasi. “Siapapun yang berkehendak untuk maju, mereka harus memasuki wilayah itu (teknologi informasired),” lanjut Roy. Pada saat yang sama ia menilai pemerintah kurang memfasilitasi perkembangan teknologi informasi untuk kemanfaatan publik, terutama bidang pendidikan. Tengara itulah yang kemudian mendorongnya untuk mempromosikan optimalisasi pemakaian internet untuk pengembangan pendidikan yang dimulainya dari Salatiga. **** Selain melalui jaringan pendidikan yang kini mencakup 22 SMP di Salatiga, terobosan fenomenal yang dilakukan Roy adalah mengupayakan jaringan internet di beberapa sekolah komunitas di sekitar Salatiga. Upaya inilah yang kemudian oleh kalangan pemerhati teknologi infomasi disebut sebagai “Salatiga Initiative” yang layak disejajarkan dengan pencapaian terbaik tujuh komunitas lain di dunia yang mampu mengoptimalkan penggunaan internet dan komputer di tengah masyarakat. Penilaian itu dilayangkan oleh Prof. Kenji Saga, seorang peneliti teknologi komunikasi dan informasi dari Jepang, yang juga membangun komunitas serupa di Mitaka, Jepang. “Salatiga Initiative” bisa dikatakan sebagai buah dari pemberontakan,
terutama terhadap sistem pendidikan yang birokratis, mandeg dan cenderung berpihak pada kalangan yang mampu secara finansial saja. Inisiatif ini adalah hasil perkawinan antara dua gagasan mengenai aksesibilitas. Yang pertama adalah aksesibilitas informasi melalui teknologi internet dan yang kedua adalah aksesibilitas pendidikan melalui sekolah komunitas. Wujud pertamanya menemukan bentuk di SMP Terbuka Qaryah Thayyibah, sebuah sekolah komunitas yang dirintis oleh seorang aktifis paguyuban tani, Bahruddin, di Desa Kalibening, Tingkir, Salatiga, pada pertengahan tahun 2003. Di SMP yang terletak lebih kurang 7 kilometer luar kota Salatiga ini, komputer dan internet bukan barang asing lagi. Bahkan para siswa menjadikan internet sebagai rujukan utama dalam proses belajar mengajar. “Ini hanyalah upaya kecil yang didasari keprihatinan saya dengan kesenjangan kesempatan pendidikan kita. Kenapa hanya orang kaya dan orang kota saja yang berkesempatan mengenyam pendidikan yang maju dan berkualitas?,” kata Roy dengan nada menggugat. Padahal, menurut Roy, anak orang-orang miskin dan tinggal di pedesaan pun memiliki potensi yang sama besarnya jika mereka diberi kesempatan untuk mendapatkan akses informasi dan pengetahuan tanpa batas. Belakangan, Roy pun juga turut merintis sebuah sekolah komunitas di daerah Nglelo, sebuah kampung kecil di
lereng gunung Merbabu. Jumlah siswa SLTP Candi Laras, demikian namanya, pada tahun pertama hanya 5 orang, namun kelimanya berhasil menduduki rangking pertama saat ujian nasional di SMP induk. “Saya tidak hanya menyediakan jaringan internet gratis, tapi juga mengajar Matematika di sana,” tambah lulusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang, tahun 1974 ini. Roy ingin menyaksikan sendiri bagaimana perubahan yang dibawa oleh teknologi informasi dan sistem pengajaran baru pada murid-muridnya. “Apakah mereka akan menjadi lebih baik, atau lebih jelek. Karena toh tak dapat diingkari, dibalik manfaatnya internet juga memiliki sisi buru,”lanjutnya. Lepas dari aliran pengetahuan global yang diperoleh melalui internet, Roy berharap para siswa sekolah-sekolah komunitas berkembang dengan ke-khas-an yang mengarah pada penyelesaian masalah di lingkungannya. Sebagai contoh, para siswa di Nglelo diharapkan menjadi ahli-ahli pertanian yang handal yang kelak mengolah lingkungan mereka berdasar pengetahuan yang mereka kembangkan. “Tujuan saya tidak muluk-muluk, atau ingin terkenal. Saya hanya ingin membuktikan perspektif saya, jika akses pada pendidikan dan pengetahuan dibuat seimbang dan demokratis maka siapapun akan dapat maju. Dan jika pemikiran itu terbukti, saya sudah cukup bangga,” kata Roy. ***
Suasana desa Nglelo (foto: Ir. Roy)
11
Sedekat Petani dan Teknologi Informasi
Oleh Mulya Amri
Soal teknologi, siapa bilang orang desa telmi (telat mikir)? Salah satu contohnya ketika ngobrol dengan kelompok nelayan di Jawa Tengah, kami bercerita bahwa sekarang sudah ada teknologi yang bisa menunjukkan arah pergerakan ikan sehingga posisi ikan pada suatu waktu dapat kita ketahui. Kalau bisa mendapatkan informasi itu, tentu pekerjaan nelayan lebih mudah karena tidak perlu hilir-mudik mencari kawasan yang banyak ikannya. Dan untungnya, di masa sekarang ini informasi yang terkait dengan kebutuhan nelayan dan banyak ragam informasi lainnya tersedia di Internet. Asik sekali pembicaraan sore hari itu, diselingi kopi panas dan ubi rebus. Di penghujung pertemuan, seorang nelayan balik bertanya: “sudah ada belom teknologi yang bisa menggiring ikan ke perahu kita?� Gantian kami yang terbengong-bengong. Wah, nelayan ini malah berpikirnya sudah selangkah lebih maju!
Teknologi Baru = Alat Bantu Baru Teknologi itu alat. Mau dipakai untuk apa, ya tergantung yang memakai. Dan kalau kebutuhannya jelas, orang desa pun tak akan ragu mencoba belajar, bahkan berinvestasi membeli teknologi baru. Ini umum terlihat dalam hubungan antara teknologi transportasi dan ekonomi lokal. Misalnya, di beberapa kota sudah ada mbok jamu yang berkeliling menjajakan dagangannya menggunakan motor bebek. Tukang roti pun kini banyak yang menggunakan mobil, padahal dulu umumnya hanya menggunakan sepeda. Dalam hal nelayan teman kita di atas, dia menyatakan bersedia membeli alat yang bisa menggiring ikan ke perahunya, kalau ada (dan tentunya kalau tidak mahal)!
12
Sebenarnya tidak sulit untuk memperkenalkan teknologi (baru) pada masyarakat desa, atau masyarakat miskin. Kuncinya dimulai dari persoalan yang ingin dipecahkan. Teknologi, atau alat, dipilih tergantung dari persoalannya. Sebenarnya teknologi alternatif justru tercipta dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sebagaimana diakui oleh Michael Storper, profesor ekonomi-geografi dari London School of Economics, temu-muka (face-to-face contact) pun suatu teknologi komunikasi yang sangat efektif, dan (masih) merupakan unsur penting dari aktivitas ekonomi perusahaan-perusahaan besar di dunia saat ini. Kombinasi komunitas membangun jaringan informasi edisi ke-9 Juli 2005
Masalahnya sekarang, teman-teman di desa belum banyak kenal teknologi baru dalam bidang informasi dan komunikasi, khususnya yang berhubungan dengan komputer dan Internet. Bidang ini berkembang sangat cepat, bahkan hampir tiap saat ada perkembangan terbaru. Jangankan masyarakat desa, para pengamat dan pekerja teknologi informasi pun kewalahan mengikutinya. Tentu kami tidak berharap masyarakat desa mau, tertarik, atau punya waktu untuk mengikuti perkembangan teknologi informasi setiap saat. Tapi di antara berbagai teknologi baru itu, banyak yang sebenarnya bisa dimanfaatkan masyarakat desa untuk mengatasi persoalannya. Di sinilah mengapa perlu juga kita sekali-sekali membahas beberapa teknologi baru; karena kalau masyarakat desa tidak tahu teknologi apa yang tersedia, bagaimana mereka bisa tahu apa yang bisa dimanfaatkan dan apa yang tidak?
Kekuatan Internet Internet adalah ”jaringan” yang menghubungkan banyak komputer di dunia. Bayangkanlah beberapa komputer di sebuah ruang kelas yang saling terhubung dengan kabel. Dengan kabel itu, komputer yang satu bisa melihat dokumen-dokumen yang ada komputer lain, dari komputernya sendiri! Kalau komputer satu digunakan oleh guru biologi untuk menyimpan dokumen-dokumennya, dan komputer yang lain digunakan oleh guru fisika, maka guru biologi jadi dapat belajar fisika, dan sebaliknya. Nah, sekarang bayangkan kalau ratusan juta komputer di seluruh dunia terhubung dengan cara ini. Tentu banyak sekali dokumen yang bisa kita baca/lihat/dengar. Hampir semua informasi bisa dicari di Internet. Tinggal tanya saja: Anda butuh informasi apa? ”Komputer siapa” yang mau Anda buka hari ini? Lembaga pemberi modal? Dokter? Guru? Calon pembeli? Ahli pertanian? Atau sesama petani? Selain tempat mencari informasi, Internet juga memungkinkan sesama pengguna komputer
saling berkomunikasi. E-mail (surat elektronik) memungkinkan sebuah surat diketik dari sebuah komputer di Sabang, lalu setelah memencet suatu tombol surat itupun ”terkirim,” dan dalam beberapa detik sudah bisa dibaca dari sebuah komputer di Merauke. Hemat waktu dan uang! Melalui Internet dua orang atau lebih juga bisa saling melihat dan mendengarkan pada saat yang sama. Fasilitas ini namanya teleconference (konferensi jarak jauh). Apa manfaat tele-konferensi bagi masyarakat desa? Dr. Ashok Jhunjhunwala dari India bercerita bahwa banyak orang di negerinya, khususnya di pedesaan, mengalami sakit mata. Teleconference memungkinkan dokter mata dari sebuah rumah sakit di kota ”memeriksa” pasiennya di desa terpencil. Pasien tinggal menghadapkan matanya ke sebuah kamera kecil di kios internet di desanya, dan sang dokter saat itu juga melakukan pemeriksaan dan memberi resep serta saransaran. Obat dibawa oleh petugas kesehatan puskesmas saat kunjungan selanjutnya. Teknologi ini dimanfaatkan juga oleh petugas penyuluh pertanian dan dokter hewan (untuk memeriksa tanaman dan ternak yang sakit). Saran-saran dari penyuluh pertanian dan dokter hewan biasanya cukup manjur untuk menyembuhkan penyakit tanaman dan ternak dalam hitungan hari. Di Indonesia juga mulai bermunculan lembaga-lembaga yang menyediakan layanan informasi bagi pengusaha kecil. Departemen Pertanian, misalnya, memberikan fasilitas iklan baris dan wahana perkenalan calon penjual - calon pembeli (difokuskan untuk usaha kecil-menengah) melalui Internet. Selain itu, banyak juga informasi yang berguna untuk tujuan pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional, melalui situs Internet Pustekkom, menyediakan banyak alatbantu pengajaran yang bisa digunakan oleh guruguru di pedesaan. Sebuah inisiatif non-pemerintah dan non-swasta, Ilmukomputer.com, menyediakan banyak informasi dan materi, termasuk forum
diskusi, untuk belajar hal-hal yang berhubungan dengan komputer. Semua layanan ini gratis! Tinggal apakah mau kita manfaatkan atau tidak? Seperti kami jelaskan di
Teknologi Baru, Siapa Takut? awal tulisan, untuk urusan teknologi informasi masyarakat desa tidak telmi! Mungkin kondisi yang lebih tepat adalah ”telat mengenal.” Tapi soal pemanfaatan? Justru orang desa tahu banyak hal karena merekalah yang paling mengerti kebutuhannya sendiri. Penggunaan teknologi tanpa tahu buat apa adalah buta. Sedangkan penyelesaian masalah tanpa memakai alat bantu (teknologi) yang tepat adalah pincang. Kita sudah lumayan tahu apa masalah dan potensi kita. Banyak alat bantu sosial telah diperkenalkan untuk itu. Sekarang, yuk kita lebih mengenal berbagai teknologi yang bisa membantu kita menyelesaikan masalah dan meningkatkan potensi bersama! Teknologi baru, siapa takut?***
13
Pelipur Lara
Rakyat Serambi Mekkah oleh: Afrizal
Ta Lakee Do'a Bak Tuhan Sidroe (Mari berdoa pada Tuhan)) Nanggroe Acehnyoe Neubri Sijahtera (Negeri aceh ini diberikan kesejahteraan) Beu Jioh Aeb Male ngen Keuji (Dijauhkan dari aib, malu dan keji) Meubeek Allah Brie Aceh Binasa……… (Jangan Allah Beri Aceh binasa) lirik lagu : Nyang Na dari Komunitas Nyawoeng Aceh 1
B
umi Aceh tak kunjung henti didera penderitaan. Setelah perang Aceh-Belanda (1973-1914) yang menimbulkan korban pada pihak Aceh sebanyak 70 ribu orang, Aceh kembali terpuruk dalam “Revolusi Sosial” tahun 1946 yang menewaskan 1500 anak negeri ini (peristiwa ini dikenal dengan “Perang Cumbok”). Tak lama kemudian, 4 ribu jiwa para Syuhada Aceh melayang pada Peristiwa Darul Islam (DI/TII) pada tahun 1953-1964. Yang lebih ironis dan dramatis sekali adalah melayangnya sekitar 5000 jiwa rakyat Aceh dalam suatu peristiwa tak bernama ketika Aceh berstatus sebagai Daerah Operasi Militer dari tahun 1989-1998. Kini Aceh telah berganti status menjadi Darurat Militer, Darurat Sipil dan akhirnya pada tanggal 18 Mei 2005 Aceh menyandang status baru yang dengan nama Tertib Sipil. Namun konflik masih terus mewarnai perubahan status tersebut, dan entah kapan akan berakhir. Konflik demi konflik nampaknya belum selesai, bencana alam maha dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004 telah meluluh lantakkan Aceh. Gempa bumi berskala 8,9 skala ritcer disusul gelombang tsunami telah
14
Foto: Yoh Kawano
mengambil ratusan ribu nyawa masyarakat Aceh serta ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi di berbagai daerah. ribuan orang tua kehilangan anak, ribuan anak kehilangan orang tua, ribuan suami kehilangan istri, dan ribuan istri kehilangan suami. *** Membangun kembali Aceh memang bukan pekerjaan mudah, harus ada perencanaan dan pemantauan yang berkesinambungan agar semua proses pemulihan dapat berjalan dengan optimal serta dirasakan oleh seluruh masyarakat Aceh. Untuk mendukung semua itu di perlukan suatu sistem jaringan komunikasi dan informasi yang dikelola sendiri oleh masyarakat sendiri sehingga pihak-pihak penentu kebijakan dan penyalur bantuan dapat memberikan kontribusinya secara tepat dan terarah. AERNET (Atjeh Emergency Radio Network) berupaya untuk membangun jaringan informasi dan komunikasi masyarakat melalui alat/media komunikasi yang telah ditempatkan dibeberapa wilayah di Aceh. Salah satunya adalah media berupa Radio Komunitas yang Kombinasi komunitas membangun jaringan informasi edisi ke-9 Juli 2005
terdapat di 5 simpul wilayah yaitu, di Meulaboh, Aceh Barat (Swara Meulaboh FM), Sinabang, Simelue (Suara Sinabang FM), Jantho, Aceh Besar (Seha FM), Simpang Mamplam, Bireun(Al Jumhur FM) dan geudong, Aceh Utara (Samudera FM). Kehadiran dan keberadaan Radio komunitas di 5 wilayah Aceh tersebut telah membawa angin segar dan perubahan yang berarti pada masyarakat Aceh, khususnya masyarakat di wilayah radio komunitas itu berdiri. *** Melalui radio di setiap simpul inilah informasi seputar bantuan, kesehatan, korban hilang dan selamat, pendidikan, trauma healing dikemas oleh masingmasing radio menjadi program acara yang sederhana. Kendati terkesan seadanya, warga masyarakat sangat antusias dengan kehadiran radio komunitas, terbukti dengan tingginya animo partisipasi. Radio komunitas Samudera FM yang berada di Desa Mancang, Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, dengan personil yang terbatas, malah sebagian pengelola berasal dari barak pengungsian, telah mengemas program siaran dengan kreatif. Misalnya mereka membuat program acara syiar agama dengan mengumandangkan ceramah agama, pantun, dan hikayat-hikayat Aceh (Nazam). Tidak hanya itu, hiburan lewat lagu yang bernafaskan Islam serta lagu-lagu yang dinyanyikan oleh seniman Aceh terus menerus diputar dan menjadi pelipur lara masyarakat. Lain di Samudera FM, Geudong, lain pula di beberapa daerah lain. Di Jantho, Aceh Besar, kehadiran radio komunitas yang di beri nama SEHA (baca: Senang Hatee yang dalam bahasa Indonesia berarti Senang Hati) hadir dengan warna lain dalam memenuhi kebutuhan informasi komunitasnya. Ada beberapa fenomena menarik yang menghiasi keberadaan radio Seha FM. Partisipasi warga begitu terasa di Seha FM, terutama dalam hal mengirimkan kartu request (pilihan pendengar). Sehari Seha FM bisa menerima 150-400 kartu request dari pendengar. Kartu Request di jual 3 lembar seharga seribu rupiah. Ada cerita menarik dari kegiatan kirim-kirim salam melalui kartu request oleh pendengar Seha FM. Suatu ketika ada seorang penyiar yang mengirim salam kepada para penghuni LP (Lembaga Permasyarakatan) yang berada sekitar 500 meter dari studio Seha FM. Para napi yang kebetulan mendengarkan radio dan mengetahui namanya di sebut-sebut oleh penyiar merasa senang sekali. Lewat perantara sipir penjara dia akhirnya dapat memperoleh kartu request dan membalas salam si penyiar. Akhirnya setiap bersiaran si penyiar selalu mengirim salam kepada si narapidana tersebut. Karena namanya sering di sebut di udara maka si narapidana menjadi terkenal di Radio Seha FM. Kiriman salam pun banyak berdatangan dari pendengar-
pendengar yang lain. Hingga akhirnya sejumlah pendengar tergerak untuk menemui narapidana itu dengan mengunjungi LP Jantho. Berkat acara kiriman salam tersebut si narapidana sekarang tidak merasa sendirian dan terkucil lagi dari kehidupan di luar penjara. SEHA FM juga sadar bahwa sebagai media komunitas, memiliki tanggungjawab terhadap pelestarian budaya lokal. Untuk itu SEHA mengemas paket acara budaya berupa Dalail Khairat (kelompok pengajian laki-laki) dan Barzanji (kelompok ibu-ibu) yang disiarkan secara live setiap kamis malam dengan durasi satu jam. Grup Dalail dan barzanji ini di hadirkan dari kelompok-kelompok desa yang ada di Kota Jantho dan sekitarnya. Selain Hiburan (lagu) SEHA FM juga melakukan relay siaran dari KBR 68H dan program siaran darurat “Peuneugah Aceh� dari Internews yang berisi informasi, khususnya mengenai kondisi Aceh terkini. Kegiatan monitoring bantuan juga menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh Radio Komunitas Swara Meulaboh FM di Meulaboh Aceh Barat yang kemudian di kemas menjadi paket informasi yang di siarkan kepada pendengarnya. Radio Swara Meulaboh eksis dalam menyajikan informasi seputar pemulihan Aceh. Reportase lapangan sering dilakukan dan di siarkan melalui radio baik dalam bentuk siaran tunda maupun langsung. Salah satunya pada awal bulan Mei 2005 lalu Radio Swara Meulaboh melakukan reportase langsung kegiatan Festival Budaya Anak Aceh yang di selenggarakan oleh NGO asing bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Kegiatan ini menampilkan pagelaran seni dan budaya lokal yang di bawakan oleh anak-anak Aceh yang berasal dari seluruh barak pengungsian yang ada di Aceh Barat. Kegiatan ini di liput langsung oleh kru Swara Meulaboh dari lokasi kegiatan dengan menggunakan Radio HT (Handy Talkie) yang terhubung dengan Rig yang ada di Studio. Melalui rig, informasi, kegiatan di input ke mixer dan kemudian di pancarluaskan melalui pemancar Swara Meulaboh ke wilayah yang dapat menerima siaran dari Radio Swara Meulaboh. Kehadiran radio komunitas telah membangkitkan semangat kreatifitas warga yang selama ini nyaris pupus ditelan oleh konflik di Aceh. Mereka kini dapat menyuarakan aspirasinya melalui radio komunitas. Namun, yang jadi pertanyaan, apakah kedamaian sejati bakal tercipta di Aceh? Kita hanya bisa berharap dan berdoa, semoga saja rakyat Aceh bisa keluar dari labirin penderitaan. *** (Afrizal, Fasilitator Informasi Program Atjeh Emergency Radio Network, Yoh Kawano, UCLA))
2
3
4 Foto: Afrizal
1. Situasi salah satu sudut kota Aceh pasca Sunami 2. Stasiun radio Samudera FM 3. Studio radio Samudera FM 4. Studio radio Seha FM Jantho
15
Oleh: Biduk Rokh mani
H
ita no sarara no sampe suvu (kita semua bersaudara), slogan ini begitu populer di kalangan komunitas masyarakat adat di Sulawesi Tengah. Terlebih saat beberapa waktu terakhir, wilayah itu terusmenerus diguncang teror dan konflik horisontal. Namun konflik berkepanjangan dan teror bom yang telah berlangsung sekitar tujuh tahun itu tidak sempat membuat komunitas-komunitas budaya-adat di sana turut hancur. Terutama suku bangsa Kaili yang merupakan komunitas adat terbesar di Sulteng. Masyarakat suku Kaili tersebar di lembah dan teluk Palu merupakan kelompok etnik terbesar Sulteng yang mendiami wilayah pesisir di Kabupaten Donggala dan pedalaman di Pegunungan Verbek. Sebagai suku bangsa terbesar, Kaili mempunyai lebih dari 30 subsub suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Sulteng. Dari itu semua, suku Kaili-Ledo merupakan sub suku Kaili yang paling besar dan bahasanya menjadi lingua franca bagi suku bangsa Kaili secara umum. Disamping menjaga persatuan antar etnik melalui bahasa, suku bangsa Kaili pun tetap mempertahankan budaya mereka sebagai benteng untuk menangkal situasi konflik yang masih berkecamuk. Salah satu bentuknya adalah menjaga sistem komunikasi komunitasnya melalui bentuk kesenian tradisional, diantaranya Dadendate, Rego, Kakula walo dan Dero. *** Kesenian yang dianggap paling komunikatif antar seluruh anggota masyarakat adat adalah Dadendate. Dadendate pada awalnya berupa penyampaian mantra atau doa. Akan tetapi dalam perkembangannya dadendate mengalami perubahan fungsi sosial yang lebih pada nyanyian rakyat, yaitu nyanyian yang meninggi atau syair panjang yang biasanya berisi berita, pesan dan nasehat kepada orang banyak. Namun sayangnya, kesenian ini hanya muncul pada situasi tertentu saja. ''Mereka akan menyampaikan pesan atau berita secara spontan seperti orang berbalas pantun. Tapi sayangnya para seniman Dadendate sekarang ini mayoritas dari golongan tua,'' jelas
16
Hapri Ika Parigi, budayawan setempat. Media ekspresi lain bagi masyarakat adat Kaili untuk upacara ritual adat adalah Rego, yaitu upacara selamatan dalam bentuk gerak dan nyanyian mantra yang dilakukan secara melingkar. Biasanya Rego dilaksanakan saat panen padi tiba sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang juga dikenal dengan nama Rego Mpae. Rego dimainkan oleh paling sedikit 15 pasang laki-laki dan perempuan yang membentuk sebuah lingkaran. Jumlah pemain ini harus selalu berimbang, baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh saling melebihi satu dengan yang lain. Mereka berdiri berselang-seling sambil tangan satunya saling memegang tangan dan yang lain memegang bahu. Ini merupakan pertanda satu bentuk kebersamaan dan ikatan kekeluargaan yang sangat tinggi di antara mereka dan tidak akan dapat dipisahkan sampai kapanpun. Upacara ini bisa dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut, dan hanya diselingi waktu istirahat saat makan dan minum atau bergantian dengan pelaku Rego yang lain. Dalam upacara ini, diceritakan tentang proses panen padi, sehingga kesenian ini merupakan bentuk pendidikan lisan mengenai pertanian terhadap generasi muda. Bentuk komunikasi lainnya adalah kakula walo. Pada masyarakat Jawa, kakula walo sering disebut dengan kentongan. Seperti halnya kentongan, kakula walo juga terbuat dari bambu dan difungsikan untuk memanggil warga. Kakula walo biasanya dipukul bersamaan dengan meniup puu, semacam terompet yang dibuat dari batang padi dengan janur sebagai resonatornya, yaitu tanda untuk mengajak warga lainnya untuk membantu mengolah hasil panen. Di kalangan anak muda suku Kaili, bentuk komunikasi yang paling populer adalah Dero. Dero merupakan seni pertunjukan dalam bentuk nyanyian dan
Kombinasi komunitas membangun jaringan informasi edisi ke-9 Juli 2005
tarian. Saat ini, pertunjukan dero tidak lagi mengenal waktu tertentu untuk pementasannya. Bahkan, anak-anak muda sudah menjadikan dero seperti layaknya pentas 'poco-poco' yang bisa dimainkan kapanpun dan di manapun. Tidak perlu menunggu hajatan, asal mereka mau melaksanakan Dero, maka dero pun langsung digelar. Lebih lagi, sekarang ini di seluruh Sulteng sudah beredar CD dan VCD yang berisi nyanyian-nyanyian Dero, baik bajakan maupun orisinil karya seniman Sulteng. Jadi kapanpun mereka mau, tinggal nyetel VCD maka Dero-pun bisa digelar. Menurut pengamatan Hapri Ika Poigi, masyarakat di Palu sedang demam Dero yang kemungkinan besar disebabkan kejenuhan warga terhadap beragam konflik yang terjadi. Dero telah menjadi saluran rasa jenuh dan cara untuk merekat tali solidaritas. *** Banyak kalangan di Sulteng beberapa waktu terakhir ini tengah berupaya mempertahankan kebudayaan masyarakat adat tersebut. Salah satunya Yayasan Tadulakota' yang fokus pada masalah konservasi masyarakat dan budaya-adat Sulteng. Hapri merupakan motor penggerak upaya tersebut. Usaha yang pernah ditempuh adalah mensosialisasikan bentuk-bentuk komunikasi masyarakat adat tersebut melalui radio. ''Kami bekerja sama dengan empat radio swasta di Palu (Radio Nebula, Ramayana, Best FM dan Al Chairaat-red) dengan cara membuat program acara khusus yang menyoroti kebudayaan masyarakat adat dengan mengangkat tema besar hita no sarara no sampe suvu (kita semua bersaudara),'' tutur Hapri, sang ketua yayasan yang juga budayawan setempat.
Bentuk sosialisasi yang dilakukan adalah mendatangkan narasumber dari orang tua adat dan menyelenggarakan dialog interaktif melalui radio-radio tersebut yang ditayangkan secara bergantian selama seminggu. ''Dari dialog interaktif itu, ternyata tanggapan masyarakat sangat bagus apalagi kami juga mengundang 16 orang tua adat untuk berpartisipasi sebagai narasumber,'' lanjut Hapri. Kesadaran untuk mensosialisasikan budaya-adat itu muncul karena keprihatinan akan memudarnya kesadaran untuk melestarikan budaya adat. ''Waktu orde baru berkuasa, ada intervensi dari pusat guna menyusun sistem pemerintahan sesuai dengan aturan batasbatas administratif pemerintahan. Yakni setiap wilayah harus ada RT/RW, batas wilayah ditentukan berdasarkan desa dan kelurahan. Padahal dalam komunitas masyarakat adat hal seperti itu kan tidak berlaku karena masyarakat adat punya aturan sendiri yang ditetapkan oleh wilayah keadatan (community maping),'' ungkapnya. Sayangnya, karena kekurangan dana, terutama karena mereka harus membeli slot-waktu di setiap radio, maka acara itu tidak dapat dilanjutkan. Padahal selain sosialisasi bentuk-bentuk budayaadat di Sulteng, dalam program acara itu juga mengakomodasi advokasi wilayah keadatan dan hutan adat agar keberlangsungan hidup komunitas masyarakat adat dapat dijaga. Radio komunitas mungkin bisa menjadi pilihan menarik untuk menjaga berlangsungnya proses penguatan masyarakat adat untuk kepentingan mereka sendiri.***
''Para seniman asal Sulawesi Tengah sedang memainkan kesenian dadendate''. Foto : dokumentasi Hapri Ika Poigi
17
oleh: Anom Astika
Sekelumit Sejarah Radio Di Indonesia
Berbicara mengenai sejarah radio di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari perk embangan teknologi k omunikasi di negara barat. Inovasi teknologi k omunikasi yang mencakup bidang transportasi dan telek omunikasi, didukung penuh oleh pihak militer dan swasta. Sejarah teknologi k omunikasi paralel dengan sejarah ekspansi negara-negara Er opa k e berbagai belahan dunia. Artinya teknologi k omunikasi telah menjadi alat untuk melanggengkan k ekuasaan negara k olonial di daerah jajahannya.
Sejak ditemukannya sistem radio telegraf pada tahun 1837 di Amerika, negeri kita yang masih bernama Hindia Belanda sudah mengadopsi teknologi itu mulai tahun 1856. Pada periode 1870-1880 negeri kita sudah terhubung dengan Inggris dalam jaringan radio telegrafis, bersama-sama dengan terhubungnya semua wilayah koloni Inggris dengan negeri induknya via jaringan
18
kabel bawah laut, seperti jaringan kabel Karibia, jaringan India ke Australia dan sebagainya. Pada tahun 1876 Alexander Graham Bell menemukan teknologi telepon. Teknologi ini lalu dikembangkan di Eropa dan Amerika dan baru masuk ke Hindia Belanda pada awal abad ke 20. Teknologi
radio baru mengudara di Hindia Belanda pada tahun 1920-30an, setelah didahului oleh rangkaian eksperimen radio di Belanda yang didanai oleh Mr. Weiss, seorang pengusaha Belanda di Batavia (Jakarta) pada tahun 1902. Tahun 1924 kantor berita ANETA Belanda mulai beroperasi di Hindia Belanda,
Kombinasi komunitas membangun jaringan informasi edisi ke-9 Juli 2005
dan berita-beritanya diudarakan dan diterima di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Menado, Balikpapan, Banjarmasin, Medan, Palembang, Padang dan Kutaraja (Banda Aceh). Pada tahun 1925 radio swasta pertama didirikan oleh sekolompok orang Belanda penggemar radio, yaitu radio BRV (Bataviaasche Radio Vereening). Siaran pertama dari radio ini diudarakan dari stasiunnya di Hotel Des Indes. Langkah BRV ini kemudian diikuti dengan pendirian Philips Omroep Holland Indie pada tahun 1933 dan setahun kemudian BRV dijadikan radio resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan nama NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij). Sejak saat itu Radio NIROM berkembang pesat dengan lima studio di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan. Programa radio tersebut sebagian besar berbahasa Belanda dan memutar lagu lagu Belanda lewat gramofon. Selain itu radio NIROM juga mengudarakan pidato Ratu Wilhelmina di Den Haag ke Hindia Belanda. Hingga akhir 1930-an jaringan radio pemerintah kolonial sudah mencakup seluruh kawasan Hindia Belanda. Namun, muncul juga beberapa stasiun radio lain yang merepresentasikan kepentingan komunitas di wilayah tertentu, terutama komunitas non Eropa. Seperti radio SRV (Solosche Radio Vereeniging) yang didirikan oleh Mangkunegara VII yang lalu memiliki cabang di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Pendirian SRV diikuti oleh pendirian radio Siaran Radio Indonesia, Radio MAVRO Yogyakarta, radio etnik Tionghoa di Surabaya CIRVO, dan radio Madiun EMRO. Programa radio-radio ini disesuaikan dengan komunitas yang dituju, dan berbahasa Melayu, Jawa, Sunda, dan Cina. Oleh karena belum tersedia piringan hitam untuk rekaman lagu-lagu Jawa, dan lagu- lagu etnik lainnya maka mereka berani mengudarakan tampilan musik secara
langsung. Oleh karena begitu banyak muncul radio swastakomunitas dengan jumlah pendengar puluhan ribu hingga seratus ribu orang di seluruh koloni maka pada bulan November 1936 tema “radio” menjadi pembahasan di Volksraad, semacam “DPR” nya pemerintah kolonial. Perlu diketahui bahwa pada masa itu hidup dan matinya radio masih ditentukan oleh jumlah pendengar dan iklan. Sehingga siapapun yang ingin mendengarkan siaran radio A misalnya, dia harus menjadi pelanggan radio tersebut. Soetardjo K. sebagai wakil bumiputera di Vo l k s r a a d m e n g u s u l k a n a g a r b i a y a langganan siaran radio masyarakat bumiputera diturunkan, oleh karena tingkat ekonomi mereka yang rendah. Pemerintah kolonial menyetujui usulan Soetardjo dan bulan Maret 1937 didirikan Perikatan Perhimpoenan Radio Ketimoeran, atau disingkat PPRK dan memiliki terbitan bernama “Soeara Timoer”. Perdebatan lain muncul ketika radio NIROM berkehendak untuk menyajikan acara kebudayaan Jawa, yang lalu diprotes oleh PPRK. Namun lambat laun di awal periode 1940 an, radio “ketimuran” ini digunakan juga untuk kepentingan politik pemerintah kolonial. Ketika Jepang menduduki Indonesia, seluruh stasiun radio yang ada di Hindia Belanda diambil alih, dan berada di bawah kontrol Domei, kantor berita pemerintah pendudukan Jepang, dengan segala macam restriksi dan sensor. Namun, banyak teknisi dan reporter kantor berita itu memiliki hubungan dengan para pejuang k e m e r d e k a a n . A d a m M a l i k , Yu s u f Ronodipuro, dan Djawoto (pendiri kantor b e r i t a A N TA R A ) a d a l a h b e b e r a p a contohnya. Sehingga ketika teks proklamasi dibacakan oleh Soekarno, tak lama k e m u d i a n Yu s u f Ro n o d i p u r o
mengudarakannya lewat radio yang direbut oleh para pejuang kemerdekaan dari tangan pendudukan Jepang. Lebih jauh lagi, pada tanggal 11 September 1945 para “pejuang udara” tersebut berkumpul dan membentuk apa yang kita kenal sekarang dengan RRI (Radio Republik Indonesia). Pada bulan selanjutnya, cabang-cabang RRI didirikan sampai dengan tahun 1946. Tujuan dari pendirian cabang-cabang ini adalah mengkonsolidasikan seluruh perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Sehingga pada dasarnya RRI juga dibentuk dari radio-radio komunitas pejuang yang muncul secara spontan seperti Radio Indonesia Raya dan Radio Militer di Yogyakarta, Radio Pemberontakan di Surabaya, Radio Pemberontakan di Solo, Radio Gelora Pemuda di Madiun, dan Radio Perjuangan di Semarang. Sehingga, dari sini kita bisa mengerti bagaimana Bung Tomo melalui radio bisa tetap menyemangati para pemuda untuk tetap berjuang di pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Sekelumit sejarah radio di Indonesia ini dapat menunjukkan pada kita bahwa sejak jaman kolonial kebutuhan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebudayaan dan demokrasi telah muncul.*** (Anom Astika, Jaringan Kerja Budaya)
*Seluruh data dari tulisan ini diambil dari tulisan: 1. Jennifer Lindsay, “Making Waves: Private Radio and Local Identity in Indonesia”, Indonesia 2. Rudolf Mrazek, “Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony”, Princeton University Press, USA, 2002. 3. Armand Mattelart, “Mapping World Communication : War, Culture and Progress”, University of Minnesota Press,1994 4. Pramoedya Ananta Toer, “Kronik Revolusi Indonesia (1945-1948)”.
19
...Jika informasi adalah hak setiap orang,
karang terjal bukanlah penghalang...