Identitas Nasional
meragu telah merasuk jiwa dirimu ada di pelupuk mata sayang, wajahmu tidak berubah tidak, tidak, tidak sama sekali
Identitas Nasional
aku kenal landai alis matamu tak bisa dibantah, senyum itu milikmu mengapa tidak hilang ini ragu? kamu masih dirimu, tapi di mana dirimu? kamu tersenyum seperti mereka untai rambutmu seperti mereka lentik jarimu seperti mereka hilanglah dirimu di dalam dirimu lalu kemana harus kucari kamu? rengkuh lenganmu masih sama namun hangatnya kian berkurang takutkah kamu? tidak bisa seperti mereka?
bahasa kasihmu berbeda dengan mereka, sayang
bahasa kasihmu tidak salah, sayang aku rindu kamu, benar namun aku tak temukan kamu pada raga yang berdiri di depanku
Ditulis Oleh: Amyra Salsabila
Foto oleh: Jeremia Edward
mengapa begitu takut berbeda?
Perkembangan teknologi, kebutuhan sosial, dan ekonomi negara, memaksa pembangunan urban yang cepat. Akibatnya, pembangunan arsitektur instan tanpa identitas hadir di tengah negara. Indonesia sebagai negara yang memiliki keberagaman budaya pada dasarnya memiliki kekayaan arsitektur. Namun seiring dengan perkembangan zaman, keberagaman yang dahulu ada sudah tidak nampak lagi di kawasan urban.
Identitas Nasional
Kommunzine 10 hadir kembali dengan isu Identitas Nasional untuk mengupas pandangan berbagai perspektif mengenai perkembangan identitas arsitektur Indonesia dalam konteks urban.
Identitas Nasional
1
Memasuki Era Modern
4
Menelusuri Sejarah Arsitektur Indonesia
7
Persepsi dan Identitas Arsitektur Indonesia
11
Adaptasi Terhadap Konteks Nusantara
16
Menjadi Indonesia
19
Ragam Gaya Arsitektur di Indonesia
22
Candi Sebagai Salah Satu Identitas Indonesia
27
Bahasa Bangsa
30
Vernakular: Sebuah Proses dalam Berarsitektur
35
Menemukan Jati Diri Bangsa
39
Apakah Indonesia Harus Berbeda?
42
Review Karya: Elevation oleh Andra Matin
47
Permainan
49
Identitas Nasional
Identitas Nasional
Fenomena masyarakat kita saat ini menghadapkan kita pada suatu kondisi dimana budaya dan ciri khas bangsa ini semakin memudar seiring berlangsungnya perkembangan zaman serta era globalisasi yang terjadi. Kebudayaan dan tradisi tanah air inilah yang seharusnya dapat kita bela dan kita jaga sebagai identitas bangsa Indonesia. Identitas merupakan suatu ciri khas yang dimiliki suatu bangsa dan khusus teruntuk suatu kelompok tersebut yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Identitas berupa ciri-ciri atau jati diri yang melekat pada sesuatu yang membedakannya dengan yang lain dan nasional mencakup suatu bangsa atau sekelompok masyarakat yang hidup bersamaan yang mempunyai asal usul yang sama.
Identitas nasional memilki fungsi sebagai pemersatu bangsa, di mana perbedaan budaya akan melebur menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai landasan sebuah negara. Tentunya identitas menjadi tolak ukur pembeda antar satu negara dengan negara lainnya. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat beragam menciptakan nilai-nilai budaya yang tumbuh berkembang dalam peradaban yang berkembang selama ratusan tahun dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa. Setiap bangsa sejak dahulu hingga sekarang memiliki kebiasaan yang berbedabeda dari segi kebutuhan dan keinginan yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Seiring perkembangan zaman, tiap daerah akan memiliki suatu ciri khas yang menjadi identitas daerah tersebut yang dipertahankan hingga sekarang.
02
Era globalisasi memberikan suatu tantangan bagi identitas nasional Indonesia dimana keaslian indonesia mulai diuji dengan masuknya budaya dan referensi dari luar, serta teknologi yang dapat menghilangkan identitas Indonesia sendiri. Dalam kebudayaan nasional Indonesia secara arsitektur terdapat unsur kebudayaan bangsa, kebudayaan asing, serta perpaduan kedua unsur tersebut yang menghasilkan apa yang kita kenal sebagai arsitektur Indonesia.
Ditulis Oleh: M. Ariq Naufal
Indonesia, yang memiliki 300 suku etnik dan mencapai 1340 suku bangsa, kebudayaan yang sangat beragam dan menghasilkan banyak perbedaan dalam karya. Seluruh keragaman budaya tersebut dihimpun menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai kebudayaan nasiolnal. Pada dasarnya kebudayaan nasional berupa gabungan antar unsurunsur kebudayaan daerah yang dipahami dan diakui serta memberi makna bagi seluruh bangsa. Kehidupan tidak dapat dipisahkan dari arsitektur, dan arsitektur indonesia khususnya memiliki ciri khas yang sangat beragam dimana masingmasing daerah memiliki tradisi yang unik.
Identitas Nasional
Namun seperti apakah arsitektur Indonesia itu sendiri?
04
Modernisme menjadi gaya baru atau filosofi arsitektur dan desain yang penting setelah Perang Dunia II, yang dikaitkan dengan pendekatan analitis terhadap fungsi bangunan, penggunaan material yang rasional, inovasi struktural dan penghapusan ornamen. Di era setelah berakhirnya Perang Dunia II, dengan kebutuhan pembangunan dunia yang cepat, tujuan awal dari arsitektur modern adalah menciptakan arsitektur yang dapat diproduksi massal untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Ditulis Oleh: Tasya Taranusyura
Foto oleh: Arya Wardhana
Memasuki Era Modern
“Form follows function”
Identitas Nasional
“Ornament is crime”
Pada awal abad ke-20, arsitek Amerika Louis Sullivan menyatakan kalimat yang kini sudah sangat kita kenal, “Form follows function.” Beberapa tahun kemudian, Adolph Loos dalam esainya tahun 1908 “Ornament and Crime,” menyatakan bahwa kurangnya ornamen adalah “tanda kekuatan spiritual.” Kedua ide ini dengan cepat menjadi dogma profesi arsitektur. Satu generasi arsitek dengan kecenderungan politik sosialis dan fasis melihat ornamen sebagai tanda dekadensi borjuis, dan mulai membuang setiap elemen desain yang dapat dianggap hanya merupakan hiasan tanpa fungsi lain. Arsitektur modern juga dianggap sebagai simbol dari kejujuran, menampilkan karya arsitektur apa adanya, tanpa menutupi kekurangannya. Banyak sosialis di abad ke-20 berpendapat bahwa praktik arsitektur yang tidak menggunakan elemen dekoratif dan bentuk-bentuk tradisional merupakan wujud dari semangat revolusioner kesederhanaan, solidaritas, dan pengorbanan.
06
Arsitektur modern tanpa penggunaan ornamen ini merupakan solusi yang tepat dalam pembangunan efektif yang hancur setelah Perang Dunia II, tapi juga menciptakan celah antar masa modern dan masa pra-modern, dan mengerucutkan identitas arsitektur setiap bangsa dan budaya menjadi satu. Namun apakah hal tersebut berarti meluruhkan identitas arsitektur bangsa-bangsa di dunia? Atau justru refleksi identitas arsitektur diwujudkan melalui ekspresi arsitektur yang serupa dalam satu waktu dan kontras terhadap masa sebelumnya?
Menelusuri Sejarah Arsitektur Indonesia
Identitas Nasional
Era pasca kemerdekaan merupakan tonggak awal dari keberlanjutannya arsitektur di Indonesia. Proyek-proyek yang ambisius banyak dibangun pada masa itu. Pendidikan arsitektur dalam negeri pada era itu membuat berbagai kemajuan pada pembangunan negara pasca kemerdekaan. Namun, sebagai titik awal kelahiran arsitektur nasional, apakah identitas sudah tercermin pada era itu? Yuswadi Saliya, nama itu mungkin sudah sering terdengar di setiap telinga orang yang berkecimpung di dunia arsitektur baik praktisi maupun pelajar. Sebagai salah satu lulusan arsitek Indonesia yang pertama, Yuswadi Saliya menyaksikan dinamika dan perkembangan arsitektur era pasca kemerdekaan hingga sekarang, demikian pula dari sudut pandang identitas.
08
Berbicara mengenai identitas, menurut Yuswadi Saliya, identitas merupakan sesuatu yang dibentuk bukan dicari. Dibutuhkan juga konsistensi agar terbentuk ciri khas yang menjadikan itu sebagai identitas, dan pada akhirnya, dibutuhkan pengakuan agar identitas itu bisa dikenal. Hal tersebut juga berlaku dalam bidang arsitektur.
Yuswadi Saliya menyebutkan beberapa nama yang menjadi tokoh pertama keberlanjutannya arsitektur di Indonesia. Frederich Silaban dan Soejoedi Wirjoatmodjo. Menurutnya kedua tokoh itulah yang paling memperlihatkan identitas arsitektur nasional pada setiap bangunan yang mereka desain. Yuswadi Saliya berucap “Karya-karya mereka menafsirkan sebagaimana kebutuhan cuaca pada saat itu dalam arsitektur. dan kalau gaya ini banyak pengikutnya dan setuju dengan itu jadi memperkuat dan memperpanjang dalam kurun waktu yang lama, sehingga identitas menjadi terbentuk�
Ditulis oleh: Nur Shadrina dan Satrio Aji Narasumber: Yuswadi Saliya
Yuswadi Saliya juga bercerita bahwa, berbagai bangunan monumental yang dibangun pada era kemerdekaan menjadi tonggak kemajuan arsitektur di Indonesia. Ir. Soekarno yang menjadi presiden pertama Indonesia menentukan berbagai kebijakan yang menjadi penentu arah dari arsitektur Indonesia pada waktu itu. Selain sebagai bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya, bangunan yang dibangun pada era Ir. Soekarno juga menjadi bukti identitas arsitektur nasional. Gelora Bung Karno, Monas, dan bangunan bangunan lain yang dibangun pada era itu seolah olah membawa semangat demi kemajuan bangsa Indonesia.
Foto oleh: Mas Reva
Di Indonesia, iklim tropis yang menjadi identitas dari segi arsitektur. Menurutnya, identitas arsitektur nasional itu lahir sebagai bentuk penyelesaian masalah terhadap iklim ketropisan. Hal itu dilakukan secara konsisten sehingga menjadi identitas, “adaptasi kita sebagai makhluk hidup yaitu dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan, pada penyesuaian itu lah terjadi dan terbentuk identitas� ujar Yuswadi Saliya. Hal itu kemudian berpadu dengan kebhinekaan budaya yang ada di Indonesia.
Identitas Nasional
Monumen nasional, merupakan satu contoh dari bangunan yang menginterpretasikan identitas nasional Indonesia. “Monumen nasional itu kan Lingga dan Yoni. Hal itu merupakan lambang dari kesuburan. Jadi maksudnya Negara Indoneia itu hidup adil, makmur, dan subur jadi selalu melahirkan kembali hal-hal baru ke peradaban.� ujar Yuswadi Saliya. Menurutnya semakin jauh penafsiran akan bentuk yang kita pakai untuk saat ini, maka semakin kokoh juga kita di masa depan. Jika kita tidak kenal dengan sejarah masa lalu kita, maka kita tidak akan kenal dengan masa depan. Namun sejarah itu harus ditafisirkan. Jika tidak dicerna maka kita akan menjadi kuno.
10
Pada akhir kata Yuswadi Saliya memberikan beberapa wejangan terhadap semua orang yang bergerak di praktik arsitektur. Yuswadi saliya berkata bahwa kemampuan arsitek dalam mendesain tetap harus mengutamakan penggunanya. Jika pengguna tidak bisa beradaptasi, disitulah arsitek dikatakan gagal. Arsitek yang baik harus bisa memberikan akomodasi terbaik terhadap penggunanya. Jangan sampai pengguna terlalu lama dalam beradaptasi sehingga pada akhirnya gagal untuk itu. Khususnya dalam segi fungsi dan penyenyesuaiannya terhadap konteks kelokalan terutama iklim. Mungkin itulah spirit yang ditanam dan dipupuk oleh para pendahulu kita untuk kita selalu jaga dan kembangkan.
Persepsi dan Identitas Arsitektur Indonesia
Identitas Nasional
Pada masa kini Indonesia dipenuhi dengan gedung tinggi yang memiliki bentuk serupa dan dilingkupi kaca, tanpa merepresentasikan ciri khas arsitektur Indonesia sendiri. Fenomena ini sering kali dikatakan sebagai tanda bahwa Arsitektur Indonesia mulai kehilangan identitasnya. Namun, dengan Indonesia yang memiliki berbagai macam bentuk arsitektur, bagaimana sebenarnya identitas arsitektur Indonesia? Eko Prawoto, seorang arsitek dan edukator yang dikenal akan karya arsitekturnya yang mengartikulasi relasi manusia dengan alam, serta mengombinasikan desain kontemporer dengan material lokal berpendapat bahwa arsitektur Indonesia tidak bisa ditunggalkan, “...untuk kemudian melebur menjadi satu yang dilabel Indonesia menurut saya juga tidak perlu. Lebih baik Indonesia digunakan sebagai bingkai besar dan di dalam itu ada banyak keragaman.�
12
Eko Prawoto sendiri menganggap bahwa kebudayaan yang diekspresikan dalam suatu arsitektur sebagai salah satu intrepetasi atas persoalan pada waktu itu, atau solusi kreatif atas sebuah persoalan pada waktu tertentu. Maka itu, solusi tersebut bisa bersifat jangka panjang, dan bisa saja tidak. Seorang arsitek harus melihat arsitektur pada masa lalu tersebut sebagai rujukan saja, bukan dengan mengambil bentuk arsitektur tersebut seutuhnya tanpa memperhatikan relasi dengan makhluk hidup dan dampaknya terhadap lingkungan.
Ditulis oleh: Salma Thalia dan Tasya Taranusyura Narasumber: Eko Prawoto
“Identitas hanyalah sebagian dari bentuk relasi arsitektur dengan konteksnya. Konteks yang kompleks tersebut tidak bisa direduksi hanya menjadi ‘bentuk’.” Respon Eko Prawoto ketika ditanya mengenai makna dari identitas arsitektur Indonesia. Beliau melanjutkan bahwa justru hal yang lebih penting dipersoalkan daripada bentuk adalah peran karya arsitektur sendiri dalam membentuk kehidupan yang lebih baik di tempat karya tersebut berada, bagaimana karya tersebut membentuk relasi dengan makhluk hidup, “Selama ini, kedekatan relasi itu lah yang kemudian membentuk nilai. Nilai itu kemudian yang dihidupi dalam waktu yang sangat panjang, kemudian menjadi tafsiran hidup sepanjang waktu yang dapat terus berganti. Sudah saatnya kita mulai bicara mengenai dampak dari arsitektur, bukan hanya bentuk dari karya arsitektur itu sendiri,” ucapnya.
Foto oleh: Clara Florida dan Raisha Alifia
Indonesia terdiri dari ribuan pulau, serta ratusan suku dan budaya yang masing-masing memiliki bangunan arsitektur yang berbeda. Maka itu menurut Eko Prawoto, mempertanyakan identitas arsitektur Indonesia sama dengan mempertanyakan, “Orang Indonesia itu seperti apa?”. Pertanyaan tersebut akan sulit dijawab, karena jawabannya tidak hanya satu dan bersifat konkret. Walaupun setiap suku memiliki budaya yang berbeda dengan satu sama lain, mereka tetaplah masyarakat Indonesia. Lalu, bila arsitektur Indonesia tidak bisa ditunggalkan, apakah hal tersebut berarti arsitektur Indonesia tidak memiliki identitas?
Identitas Nasional
Beliau juga mengingatkan bahwa di zaman ini, sulit untuk berbicara mengenai hitam-putih, atau Timur-Barat. Kita sebagai rakyat Indonesia memang memiliki peran sebagai pewaris yang sah dari budaya Indonesia, tapi tidak boleh dilupakan fakta bahwa kita adalah pewaris yang sah dari budaya dunia juga. Hanya saja, kita juga punya peran yang spesifik dalam peran ruang dan waktu, bagaimana “ke-ada-dirian� kita dapat bermanfaat bagi banyak orang. Walaupun tidak dikenal oleh dunia sebagai satu gaya yang formal, tidak dapat dipungkiri bahwa arsitektur Indonesia memiliki identitas sendiri. Namun, bukan hanya karena suatu hal tidak dikenal, hal tersebut bernilai buruk, dan bukan hanya suatu hal dikenal lebih luas, maka nilainya akan menjadi lebih baik. Di balik setiap label terdapat kepentingan tersendiri. Menurut Eko Prawoto, identitas bukanlah tentang kata yang melabelkannya dan popularitas dari kata tersebut, tapi tentang kemampuan untuk memberikan dampak. Pembentuk identitas itu seringkali berasal dari luar. Analoginya seperti ikan yang tidak bisa melihat air, tapi kita sebagai manusia yang melihat dari luar akuarium bisa melihat keberadaan air tersebut. Pada dasarnya, pembentukan identitas adalah masalah persepsi, bagaimana kita memilih untuk melihat dan mendefinisikan suatu keberadaan arsitektur.
14
Identitas Nasional
Adaptasi Terhadap Konteks Nusantara Berkembang dan dinamis, mungkin kedua kata itu merupakan suatu kata yang sangat melekat pada dunia arsitektur. Penyesuaian dengan konteks mulai dari aspek penggunanya, tempat ia berada, sampai dengan iklim tempat tersebut membuat arsitektur sangat dinamis. Pada abad ke 19 pergerakan arsitektur modern-pun muncul. Revolusi industri membuat berbagai pembaharuan dari segi material dan sistem konstruksi. Pandangan hidup yang lebih “manusiawi� diterapkan dalam bangunan. Pada tahun 1920an International Style menjadi sebuah gaya yang mendominasi dalam dunia arsitektur.
16
Indonesia, negara yang terletak jauh dari pusat perkembangan arsitektur modern saat itu juga mendapat percikan dari hal itu. Arsitektur modern dibawa oleh arsitek-arsitek berkebangsaan Belanda yang pada saat itu bermukim di Indonesia. Kebutuhan Bangsa Belanda sebagai negara yang bermukim di Indonesia akan ruang, membuat berbagai arsitek dari negara itu membangun bangunan dengan berbagai fungsi seperti, rumah, villa, hotel, kantor dan sebagainya. Berbagai bangunan pun didirikan dengan gaya arsitektur yang berorientasi kearah arsitektur Belanda. Namun karena iklim tropis di Indonesia, pengguna merasakan ketidaknyamanan untuk beraktifitas di dalam ruang dan perawatan menjadi sangat berat. Prinsip - prinsip pada arsitektur modern pun tidak dapat diimplementasikan secara sempurna. Arsitek belanda pada saat itu terkesan hanya memindahkan bangunan dengan gaya yang ada di Belanda ke Indonesia, tanpa menyesuaikan dengan konteks lokalitas.
Nama - nama seperti Henri Maclaine Pont, Thomas Karsten, Wolff Schoemaker, Albert Aalbers, Cosman Citroen adalah beberapa nama arsitek yang terkenal pada masa itu. Bumi Parahyangan atau yang lebih dikenal dengan nama Villa Isola merupakan salah bangunan bergaya art deco karya Wolff Schoemaker yang sangat terkenal di Kota Bandung. Bangunan ini berada di Jalan Setiabudi tepatnya di Komplek Universitas Pendidikan Indonesia. Bangunan yang didirikan pada tahun 1933 ini merupakan sebuah rumah tinggal milik Dominique Willem Barretty seorang pengusaha asal Belanda yang tinggal di Indonesia. Selepas peninggalan Dominique Willem Barretty, Villa Isola yang awalnya digunakan sebagai rumah tinggal telah beralih fungsi menjadi hotel dan kini menjadi Gedung Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia.
Ditulis oleh: Seto Ardhana dan Satrio Aji
Penyesuaian dengan konteks kelokalan yang ada di Indonesia pun dilakukan. Morfologi bangunan yang dibangun di Indonesia pada akhirnya menjadi berbeda dengan morfologi bangunan yang ada di Belanda. Istilah Nieuwe Indische Bouwstijl atau New Indies Style pun muncul sebagai gaya baru akan perpaduan antara arsitektur modern yang ada di Belanda dengan kondisi kelokalan yang ada di Indonesia.
Identitas Nasional
18
Bangunan dengan ciri khas bentuk melengkung ini memadukan gaya art deco dengan kondisi iklim di Indonesia. Jendela yang besar, teritis yang menaungi fasad bangunan, balkon sebagai ruangan semi terbuka merupakan beberapa penyesuaian terhadap iklim tropis di Indonesia khususnya Kota Bandung. Kondisi iklim tropis di Indonesia tidak selalu menjadi masalah bagi para arsitek pada masa itu. Wolff Schoemaker mampu memanfaatkan sinar matahari untuk menciptakan efek light and shadow pada Villa Isola sehingga fasad bangunan menjadi lebih dramatis dan eksotis. Perpaduan antara arsitektur modern dengan arsitektur Indonesia tidak hanya selalu bersinggungan dengan konteks iklim, tapi dapat dipadukan dengan konteks budaya di Indonesia. Aula Barat dan Timur Institut Teknologi Bandung merupakan karya dari Henri Maclaine Pont pada tahun 1918. Gaya arsitektur pada bangunan ini lebih dikanal dengan gaya arsitektur Indische, yakni perpaduan antara arsitektur modern Eropa dan arsitektur nusantara. Unsur modern pada bangunan ini lebih dominan pada penggunaan material kayu laminasi sebagai struktur atap yang diekspos pada interior bangunan. Unsur kelokalan tercermin pada bentuk atap yang merupakan peleburan antara bentuk bentuk atap tradisional yang ada di nusantara. Pentutup atap yang tebuat dari kayu - kayu sirap semakin memperkuat nilai lokalitas pada bangunan kembar ini. Penyesuaian terhadap konteks Indonesia tidak hanya menciptakan identitas dan keunikan yang kuat pada bangunan kembar ini. Sudah satu abad bangunan usia bangunan kembar ini dan masih kuat berdiri dengan gagah di Komplek Institut Teknologi Bandung. Banyak elemen arsitektur pada bangunan ini masih asli sejak pertama kali dibangun, contohnya pintu utama Aula Barat dan Timur.
Identitas Nasional
Menjadi Indonesia
20
“Dalam konteks kebudayaan, ada yang hilang, ada yang muncul,� kata Djaduk. Terkadang munculnya pola-pola penyeragaman terjadi bukan karena paksaan, tapi karena selera. Cross culture juga membuat kebudayaan saling melebur dan melahirkan kebudayaan baru.
Ditulis oleh: Gallus Presiden
Cara berpikir yang beragam membuat interpretasi mengenai keindonesiaan terkadang berbeda-beda. Djaduk juga menekankan bahwa modernisasi adalah proses dekonsturksi dari kemapamam yang sudah ada. Sehingga budaya Indonesia juga dapat berubah seiring berjalannya waktu. Cara berpikir baru memunculkan interpretasi baru terhadap budaya Indonesia.
Narasumber: Djaduk Ferianto
Gregorius Djaduk Ferianto atau yang lebih disapa Djaduk adalah seorang musikus, aktor, dan budayawan asal Yogyakarta. Ia adalah putra dari Bagong Kussudiardja, koreografer dan pelukis senior. Kiprahnya di dunia seni melalui grup musik Kua Etnika dan Sinten Remen serta kelompok Teater Gandrik telah mendapat banyak pengakuan dan penghargaan. Gagasan-gagasannya mengenai kebudayaan juga menarik untuk disimak. Desember 2018 lalu, Djaduk terlibat dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) bersama dengan pemerintah, para ahli, dan pelaku budaya untuk melahirkan Strategi Kebudayaan. Strategi ini mewadahi budaya Indonesia ketika diletakan di era modern. �Perlu digarisbawahi, modernitas adalah cara berpikir, bukan hardware, bukan kulit,� kata Djaduk.
Ilustrasi oleh: Ghibran Ramadhan
Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki kebudayaan yang ragamnya sulit disama ratakan. Dalam sejarah panjang pun Indonesia tidak pernah seragam, konsep hidupnya pun beragam. Keberagaman yang dimiliki Indonesia harus dipandang sebagai aset. Sehingga dalam politik kebudayaan, proses menghargai perbedaan baik personal dan non-personal harus dikedepankan.
Dinamisnya kebudayaan memengaruhi ruang-ruang sosial yang terbentuk. Dalam arsitektur pun terdapat ruang sosial, ruang politik, ruang ekonomi, dan itu adalah produk kebudayaan. “Arsitektur juga produk kebudayaan, dan pelakunya adalah seniman,” ujar Djaduk. Seniman memiliki keliaran dalam membangun imaji dan tafsir sehingga rasa harus dilibatkan dalam meletakan suatu objek di tengah lingkungan masyarakat. Arsitek yang dikatakan termasuk sebagai seniman, memiliki kekuatan-kekuatan secara personal. Setiap seniman memiliki kemampuan dan kelebihan sehingga memunculkan identitasnya sendiri. “Di seni ada namanya -isme-, tapi kalau senimannya berambisi punya -isme-, biasanya malah nggak terwujud,” kata Djaduk. Dengan interpretasi masing-masing seniman yang memiliki pengetahuan, membaca, dan berelasi dengan yang di luar ilmunya, akan terwujud suatu karya seni sesuai bahasanya masing-masing. “Ada yang namanya cakra manggilingan, hidup itu berputar,” ucap Djaduk. Arsitektur, kesenian, dan keterkaitannya dengan budaya, juga harus siap didekonstruksi sehingga terus bertumbuh, organik. Namun untuk menyebut pertumbuhan itu sebagai identitas Indonesia, diperlukan kehati-hatian.
Identitas Nasional
“Menyebut arsitektur beridentitas Indonesia itu menurut saya terlalu gegabah, menjadi Indonesia itu proses,” kata Djaduk. Menemukan wujud arsitektur Indonesia adalah proses, akan ditemukan dengan sendirinya dan bukan karena pretensi dari para arsitek. Identitas arsitektur tidak ditentukan oleh arsiteknya, namun oleh waktu dan zaman. “Kalau ada karya arsitektur orang Indonesia terlihat keIndonesiaan-nya, ya karena dia orang Indonesia,” ujar Djaduk menekankan. Akademisi selalu mencari definisi. Bagi para seniman, defisini tidaklah begitu penting. Tidak memiliki definisi berarti dapat menarik ulur dan membuatnya berproses. Perlu ditekankan, menjadi Indonesia itu adalah sebuah proses. “Tidak berpolitik itu berpolitik. Dalam konteks arsitektur, ketika tidak punya identitas itu tadi adalah identitas,” ucap Djaduk.
Ditulis oleh: Samuel Geovano dan Joshua Toindo
Ragam Gaya Arsitektur
Foto oleh: Anastasia Nathania
22
Identitas Nasional
Indonesia merupakan negara dengan beragam budaya dan keunikan. Walau demikian berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya, gaya arsitektur di Indonesia tidak begitu terasa bahkan dirasakan �absent� oleh beberapa orang. Padahal sebelumnya perkembangan arsitektur di Indonesia sangat maju bahkan merupakan karya yang dapat dibilang sebagai karya agung arsitektur Indonesia yang diakui oleh negara-negara lainnya. Melalui fenomena ini kami mencari tahu alasan tidak terasanya atau terbentuknya gaya arsitektur yang konkrit dan mencoba untuk mencari “missing link� dari fenomena ini.
24 Arsitektur Kolonial Kota Tua, Jakarta
Arsitektur Pasca Kolonial
Arsitektur Kolonial masuk pada abad ke 17 di Jawa bersamaan dengan masuknya era penjajahan Belanda di Indonesia (VOC), saat itu bentuk bangunannya belum disesuaikan dengan iklim setempat. Kemudian pada tahap selanjutnya ditandai dengan bangunan arsitektur yang mulai disesuaikan dengan iklim setempat dengan gaya yang berdasarkan gaya arsitektur yang berkembang di eropa dan Belanda. Pada tahap berikutnya, masuk gaya “empire style� yang popular di Perancis pada akhir abad ke 17 dan 18 awal, berkaitan juga dengan berkembangnya rumah tradisional di Jawa maka terjadi akulturasi budaya yang menciptakan gaya “indische empire� di nusantara. Kemudian gaya ini terus berkembang menuju kepada tahap akhir pada awal abad ke20 yang ditandai terbentuknya arsitektur kolonial moderen yang sudah disesuaikan dengan iklim, teknologi dan bahan setempat. Dapat dibilang gaya ini berakhir ketika selesainya masa penjajahan di Indonesia, dan mewajibkan Bangsa Belanda untuk kembali ke negara asalnya. Arsitektur pasca modern tidak terlepas dari sosok Bung Karno untuk membangun citra modernisasi Indonesia dengan semangat nasionalisme dan patriotisme. Dengan gagasan konsep TRISAKTI: berdaulat dalam politik , berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya. Beliau memiliki visi untuk menciptakan gaya arsitektur pada bangsa baru, sebagai identitas bangsa dalam kancah international yang tidak menjiplak dari bangsa lain tapi dari bangsa Indonesia sendiri.Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya berbagai objek arsitektur seperti monas, Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Bank Indonesia, Gedung CONEFO, Sarinah, Masjid Istiqlal, Gedung Pola dan patungpatung serta tata kota Jakarta pada era Orde Lama. Dalam perancangannya desain dikembangkan dengan pendekatan modern/ fungsional dan rasional , selain selain juga menyesuaikan dengan iklim, teknologi dan material setempat.
Identitas Nasional
Arsitektur Keraton
Berbeda dengan gaya-gaya sebelumnya, gaya arsitektur keraton masih dapat kita rasakan apabila kita pergi ke kota Yogyakarta. Sangat terasa gaya arsitektur Keraton yang menampilkan kekentalan budaya Jawa yang terlihat sangat kontras dengan bangunan modern serta kotakota lainnya. Salah satu faktor yang menyebabkan gaya ini masih terus hidup dan dilestarikan adalah status dari kota Yogyakarta yang merupakan daerah istimewa yang sejak dulu keberadaanya dihormati termasuk pada masa penjajahan kolonial yang membuat arsitekturnya masih tetap dilestarikan.
Arsitektur Yankee
Pada tahun 1950an muncul gaya arsitektur Jengki yang terinspirasi oleh bangunan-bangunan modern di Barat. Jengki berasal dari kata Yankee yang merupakan sebutan orang Inggris terhadap para kolonis Belanda. Karakteristiknya adalah kolom bentuk V , bidang mengecil ke bawah, atap meja atau pelana, bukaan berupa jendela trapesium, lubang ventilasi berbentuk lingkaran.
26 Arsitektur Peranakan Straits Elektik
Gaya arsitektur peranakan bertumbuh dan berkembang pada abad ke-19 dan abad ke-20, gaya ini menggabungkan unsur budaya Barat dan Timur yang ditandai dengan karya seni keramik. Asal mulanya gaya ini adalah ketika pria dari Cina yang mulanya hanya datang untuk berdagang mulai menikahi wanita lokal dan kemudian terjadilah perpaduan budaya di antara keduanya. Kemudian selama masa penjajahan Belanda dan Inggris, orang peranakan digolongkan sebagai komunitas kelas putih perkotaan dengan kelas sosial tinggi sehingga mengambil beberapa gaya arsitektur yang mewah ala orang Eropa. Ciri khas dari bungalow kolonial yang dibangun pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah struktur yang tinggi, beranda dengan bentuk melengkung, langit-langit tinggi, beranda luas, jendela Perancis, dan dinding dengan plester batu bata. Di bungalow ini terdapat lantai marmer, ubin warna-warni, chandelier, furnitur Blackwood dan lemari jati yang diisi dengan barangbarang Nyonya.
Identitas Nasional
Candi Sebagai Salah Satu Identitas Indonesia
Dr. Rahadian Prajudi Herwindo, S.T., M.T., salah satu guru besar program Studi Arsitektur UNPAR memiliki kecintaan terhadap candi sejak ia kecil. Pertemuannya dengan candi dimulai dari kelas sejarah saat ia bersekolah SD. Karena kegemarannya itu Ia mulai memfoto serta mengoleksi gambar-gambar candi di Indonesia, spesifik di Jawa. Namun saat beliau berkuliah S1 di Arsitektur UNPAR, candi Indonesia tidak dibahas secara spesifik. Beriringan dengan ditambahkannya skripsi sebagai syarat kelulusan, Pak Dodo mengorek kembali foto-foto candi yang ia miliki dan menjadikannya topik skripsinya yang dibimbing oleh Dr. Yuswadi Saliya, Ir., M.Arch. Ia melanjutkan penelitiannya pada tahap S2 di ITB dan jurnalnya dianugerahi medali emas dari LIPI.
Foto oleh: Daren Lang
28
Candi di Indonesia bermula dari agama Hindu-Buddha yang dibawa dari India, namun oleh warga lokal di kembangkan. Contoh candi Prambanan, bangunan tinggi pertama di Asia Tenggara. Dan karena itu, baru mulai bermunculan candi-candi di wilayah lain yang terinspirasi oleh candi yang ada di wilayah Indonesia. Indonesia memiliki arsitektur yang dapat mempengaruhi tren global pada waktu itu.
Ditulis oleh: Gevin Timotius dan Yovine Rachellea
Mengutip dari Pak Yuswadi, Pak Dodo menyatakan bahwa identitas itu tidak bisa langsung hadir. Identitas itu hasil dari suatu proses yang panjang. Candi bisa menjadi identitas arsitektur Indonesia sebab Ia nampak secara menerus sejak masa kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan Islam, masa kolonial hingga masa pasca kemerdekaan.
Narasumber: Rahadian Prajudi H.
Saat melanjutkan jenjang doktornya, timbul suatu pemikiran di benak pak Dodo. Setelah menganalisis candi-candi yang ada di Indonesia, terus apa? Apa relevansinya dengan arsitektur sekarang? Lalu Ia sadari bahwa pengaruh arsitektur candi terhadap arsitektur modern Indonesia sangatlah besar. Bermula dari arsitektur kolonial seperti Gedung Sate yang mengambil bentuk meru, hingga arsitektur pasca kemerdekaan dimana Soekarno ingin menunjukan Indonesia yang modern tapi pro lokal dalam Monumen Nasional yang terinspirasi dari arsitektur Majapahit.
Identitas Nasional
Sekarang, arsitektur Indonesia lah yang dipengaruhi oleh arsitektur global. Apakah kita akan mengglobalkan yang lokal? Atau melokalkan yang global? Bagaimana kita dapat menghadirkan Indonesia namun hanya dengan tropis? Regionalisme kritis lah yang melanjutkan arsitektur lokal menurut fungsi modern, namun dengan relevansi yang benar. Membaca arsitektur Indonesia tidak dari style saja, dan karena itu jangan romantik (revival) namun di aplikasi dengan rasionalitasnya.
30 Ditulis oleh: Myra Salsabila
Saat ini, media yang kita konsumsi berotasi secara global. Berita dari seluruh dunia sangat mudah diakses dengan tautan yang tepat. Entah berita dari kanal-kanal formal seperti CNN, atau sesederhana tulisan dari seorang fotografer asal Taiwan pada blog pribadinya, berita-berita yang sangat mudah diakses ini menggunakan Bahasa Inggris; bahasa yang disepakati secara internasional sebagai bahasa internasional. Menggunakan bahasa internasional memberikan jaminan tidak tertulis bahwa konten yang dibawanya akan relevan dalam taraf global. Oleh karena itu, banyak kanal berita lokal mulai mengubah bahasa utama mereka menjadi Bahasa Inggris, dengan harapan agar cerita mereka menjadi relevan di mata internasional. Suka atau tidak, kita sebagai satu bangsa sedang berusaha keras melatih lidah Indonesia ini untuk bisa berbahasa Inggris.
Foto oleh: David Mulyawan
Bahasa Bangsa
Identitas Nasional
32
Tanpa disadari, tumbuh kesenjangan antara bahasa internasional ini dengan bahasa nusantara. Terdapat stigma yang menempel dengan bebal, berkata bahwa Bahasa Inggris lebih hebat dan konten dengan Bahasa Inggris langsung mendapat tepuk tangan yang meriah. Segala yang datang dari barat dianggap hebat, seakan saat ini para Meneer dan Gubermen masih berkuasa di atas Tanah Air. Dulu, seorang pribumi memiliki kesempatan untuk hidup lebih besar ketika ia berharga untuk para Meneer itu. Dulu, seorang pribumi yang bisa berbahasa belanda bisa naik pangkat menjadi juru tulis di perkebunan, atau bahkan bekerja langsung pada para tuan tanah. Segala hal yang menjamin keluarganya dapat hidup satu hari lagi. Konsep itu seakan masih melekat bersama bangsa Indonesia, bahkan ketika sudah tidak dijajah. Bukannya tidak cinta tanah air, konsep bahwa yang barat pasti lebih hebat masih menjajah pikiran bangsa kita. Padahal bahasa adalah bagian yang penting dari sebuah budaya. Bahasa khas dari suatu budaya adalah cara budaya tersebut bercerita dan berekspresi. Bukankah banyak ekspresi serta frasa bahasa Indonesia yang tidak bisa diterjemahkan ke Bahasa Inggris? Begitu pula dengan sebaliknya. Bahasa menjadi bagian integral suatu budaya, terutama bagi manusia yang bernaung di bawah budaya tersebut. Dalam arsitektur, produk arsitektur sering kali digunakan untuk menilai suatu budaya. Mudahnya, karena bangunan dan monumen menggambarkan kebiasaan dan pola pikir dari manusia yang hidup di dalamnya. Seperti bahasa, arsitektur adalah salah satu cara untuk mengekspresikan identitas suatu masyarakat kolektif. Ruang bersama yang besar dalam rumah tradisional Toraja menggambarkan kebersamaan yang sangat dijaga oleh masyarakat Toraja. Perkampungan di Papua seperti sebuah rumah besar untuk satu desa, dengan satu dapur besar dan rumah laki-laki dan perempuan yang terpisah menggambarkan keterkaitan dan kekeluargaan yang medarah daging di antara mereka. Cerita-cerita ini dapat dirasakan dari membaca bahasa arsitektur, bagaimana seluruh ruang dan struktur tersebut berbicara.
Namun, saat ini bentuk dan ruang yang diwariskan oleh nenek moyang kita tergantikan oleh bentuk-bentuk sederhana, hasil observasi dan kekaguman pada karya para arsitek barat. Seakan golden ratio bisa memberikan cerita yang lebih baik dari asta kosala kosali. Kapan akan disadari, bahwa bangunan cantik dari Norwegia itu tidak bisa diletakkan di Jakarta? Itu bukan cerita bangsa kita. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata dalam salah satu novelnya bahwa seorang penulis yang menulis dalam bahasa asing dan bukan asalnya, tidak memahami kebutuhan rakyatnya. Bukankah arsitektur hanya membentuk dan mereformasi ruang untuk memenuhi kebutuhan klien? Istilah “pemecahan masalah” dan “manusia yang memanusiakan manusia” adalah istilah yang keluar dengan mudah ketika kita memutar otak untuk menghasilkan desain baru dengan fungsi apapun yang dibutuhkan oleh banyak orang. Memahami kebutuhan orangorang kita adalah sesuatu yang kita lakukan dengan buruk, dan sayangnya pikiran kita yang terjajah ini terlalu keras kepala untuk mengubah apa pun. Menempatkan payung di atas sesuatu, memastikan bahwa semua yang ada di bawahnya tercakup. Tetapi, ketika kita berbicara tentang identitas budaya, apakah kita rela hanya berada di bawah suatu “cakupan”?
Identitas Nasional
Berada di bawah payung berarti tercakup, tetapi tidak ada yang mengatakan apa pun tentang terwakili. Rasa superioritas dalam menggunakan bahasa ruang dan bentuk dari barat ini membunuh atap tinggi dan bentuk linear ala bangsa kita; bahasa bangsa kita. Memahami kebutuhan bangsa kita adalah lebih dari sekadar mengetahui di mana harus menempatkan ruangan apa. Memahami kebutuhan bangsa kita adalah memahami bahwa cerita-cerita kita hanya dapat dimengerti ketika kami berbicara dalam bahasa yang dimengerti.
34
“Identitas itu dibentuk, bukan dicari.”
– Yuswadi Saliya
Tiap negara memiliki ciri khasnya masing-masing dalam arsitektur. Indonesia tidak beda dari yang lain, ciri khas dalam arsitekturnya menjadi pembeda Indonesia dengan negara-negara lain. Dalam konteks ini, akan dibahas arsitektur yang menjadi salah satu pembeda negara Indonesia dengan negara-negara lainnya yaitu arsitektur vernakular, arsitektur yang berasal dari masyarakatnya sendiri.
Identitas Nasional
Vernakular: Sebuah Proses dalam Berarsitektur Arsitektur vernakular awalnya tumbuh dari kebutuhan akan ruang untuk aktivitas sehingga mengakibatkan terbentuknya ruangruang tersebut sebagai wadah untuk kegiatan. Dengan sumber daya alam yang ada, kepercayaan yang unik di tempat tersebut, sumber daya manusia yang tersedia, dan berbagai keunikan lain yang ada di tiap tempat, ruang yang terbentuk menjadi unik di tiap tempat.
36 Dalam wawancaranya, Yenny Gunawan mengatakan bahwa,
Berbeda dengan tradisional, menurut Yenny Gunawan, tradisi dalam elemen suatu bangunan merupakan warisan dari leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi. Vernakular merupakan arsitektur yang dilihat dari sisi prosesnya bagaimana dan alasan terciptanya sebuah bangunan sedemikian rupa.
Narasumber: Yenny Gunawan
Iklim juga memengaruhi bangunan vernakular contohnya iklim tropis dengan curah hujannya yang tinggi mengakibatkan bangunan diangkat dari tanah dan atap besar yang dominan menutupi bangunan, suhu yang hangat mengakibatkan dinding-dinding yang tipis, di Kalimantan dengan budaya yang mengedepankan kesatuan menciptakan ruang yang menyatu antar rumah dalam rumah panjang, aktivitas warga yang terpaku pada laut mengakibatkan rumah masyarakat bajau yang terletak di atas laut, dan masih banyak lagi kebutuhan yang disikapi.
Ditulis oleh: Ahimsa Sirait dan Mikael Tanara
Foto oleh: Clara Florida
“arsitekturnya muncul mulai dari kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal, jadi dimana pun kita berada kita membutuhkan tempat tinggal, dan karena itu kita mulai membangun, membangun wadah wadah ruang yang disepakati bersama-sama�
Identitas Nasional
38
Sama dengan arsitektur vernakular di luar negeri, tujuannya menjawab kebutuhan ruang yang mengadaptasi. Bangunan vernakular yang ada di daerah Eropa memiliki bukaan yang kecil dan dinding yang tebal untuk menyikapi suhu dingin pada musim salju, kelimpahan batu alam pada daerah mediterania mengakibatkan batu menjadi material utama pada bangunan vernakular mediterania. Arsitektur vernakular yang ada di Indonesia memiliki beberapa kesamaan dalam elemen-elemen bentuknya dalam menyikapi iklim tropis yang ada. Kesamaan arsitektur vernakular yang ada di Indonesia ini tidak menjadi pembeda arsitektur vernakular luar negeri. Keragaman arsitektur vernakular yang ada di Indonesia tidak memungkinkan untuk dirangkum menciptakan suatu keseragaman. Berbagai budaya yang beragam dan kekayaan alamnya yang melimpah dan unik menciptakan keragaman ini. Keberagaman arsitektur vernakular ini yang menjadi pembeda arsitektur vernakular di Indonesia dan diluar, keberagaman ini yang menjadi identitas arsitektur vernakular di Indonesia.
Dari semua hal diatas, kita dapat mengerti bahwa tidak ada tolak ukur yang pasti dalam arsitektur vernakular, semua itu tergantung dari siapa, di mana, dan bagaimana yang membangunnya. Pada akhirnya arsitektur vernakular memiliki kesamaan yang mendasar yaitu tumbuh dari insting manusia untuk beradaptasi untuk menyelesaikan masalah dan memanfaatkan potensi yang ada di sekitarnya tetapi menghasilkan perbedaan berupa keunikan dari tiap bangunan dalam menyelesaikan masalahnya.
Identitas Nasional
Menemukan Jati Diri Bangsa
Sebagai pendiri Imelda Akmal Architectural Writer Studio (Media cetak arsitektur terkemuka di Indonesia), Imelda Akmal sudah akrab dengan dunia arsitektur Indonesia yang Ia tuangkan dalam buku-bukunya yang meliputi arsitek serta arsitektur di Nusantara. Tim Redaksi KOMMUNARS berkesempatan untuk mewawancara Imelda Akmal mengenai Identitas Nasional dalam arsitektur pada acara diskusi panel Prospective yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan.
40 Ditulis oleh: Yovine Rachaella dan Gevin Timotius
Foto oleh: Andhika Fauzan
Dewasa ini identitas sering disalahgunakan. Banyak orang meninggalkan identitasnya sendiri dan bersikeras dengan identitas yang diinginkan. Identitas diperalat sebagai penunjuk keaku-an. Penting atau tidaknya suatu identitas, saya tidak punya jawaban, tidak ada habisnya mencari jati diri arsitektur di Indonesia karena identitas tersebut terus berubah seiring perubahan zaman. Menurut saya, lebih baik mengkhawatirkan fenomena global daripada mencari identitas ke-aku-an. Ketika karakter kita adalah ingin membuat kebaikan, bukankah itu identitas?
Narasumber: Imelda Akmal
Apa itu Identitas? Apakah penting dalam mewujudkan Arsitektur Indonesia?
Identitas Nasional
Fenomena apa yang terjadi di dunia arsitektur di Indonesia yang mewakili penyalahgunaan identitas tersebut?
Saya melihat banyak sekali kekonyolan yang berusaha menonjolkan identitas dalam arsitektur. Misalnya penggunaan bentuk arsitektur tradisional di luar konteks dengan proporsinya yang berbeda dan material yang berbeda, alhasil menjadi tidak bermakna. Seperti bandara-bandara di Indonesia yang ingin beridentitas dipaksakan dengan bentuk atap rumah tradisional. Arsitektur tradisional Indonesia lebih dari apa yang dilihat mata dan tidak bisa diambil dari bentuknya saja.
Bagaimana arsitektur Indonesia yang ideal dalam konteks perkotaan Indonesia? Apakah sekarang sudah sesuai dengan masyarakat perkotaan Indonesia masa kini?
Arsitektur Indonesia yang ideal adalah yang merespon fenomena serta masalah yang ada di Indonesia. Ketika diselesaikan secara spesifik, arsitektur tersebut menjadi identik dan kemudian menjadi identitas arsitektur yang baik dan benar dalam area tersebut sebab tidak ada tempat yang memiliki fenomena serta masalah alam dan sosial yang persis sama, tidak bisa digeneralisasi. Arsitektur tradisional lahir dari konteks dan kebutuhan desa tersebut. Namun untuk arsitektur perkotaan Indonesia, perancang harus mewujudkan desain yang menjadi kebutuhan warga kota yang beragam. Perlukah dibuat menurut identitas tertentu? Jangan, agar menghindari egoisme dari satu kaum. Arsitektur tradisional adalah konsekuensi kebutuhan daerah tertentu, berbeda dengan kota yang terdiri dari kumpulan orang dari berbagai daerah. Perkembangan arsitektur perkotaan di Indonesia berbeda-beda, namun bisa dilihat dari peraturan daerahnya. Ada daerah yang memaksakan ornamentasi pada bangunan, adapun yang memberi wewenang pada perancang agar dapat mengembangkan arsitektur di daerah tersebut.
Apakah Indonesia harus berbeda?
Ditulis oleh: Ariel Latasha
Foto oleh: Madeleine Suwigno dan Regentzza A.
42
Identitas. Sebuah kata yang kuat tak terdefinisi, sedikit ganar, namun bisa dilihat. Siapa Indonesia?
Identitas Nasional
Di mana wajah kami?
Apakah wajah kami berada di pegunungan tinggi dan hutan hijau menyungkup hujan atau lautan luas dan pasir lembut menyambut senja?
44
Kutulis petualanganku mencari wajah negeriku. Melihat rumah-rumah panggung yang sederhana namun kokoh berdiri seperti bapak yang siap mencari nafkah di pagi hari; Melihat atap-atap tinggi yang melindungiku dari teriknya sinar matahari; Melihat seniman-seniman membuat ornamen rumahnya seperti ibu yang berdandan sebelum pergi; Kutulis semua dalam buku kecilku; Dan mencari lagi dimana wajah negeriku Ketika aku berpindah tempat, kutemukan lagi wajah yang lain. Serpihan mungkin? Atau wajah baru? Apakah mungkin ini wajah yang sesungguhnya kucari?
Kulihat gedung-gedung tinggi mencakar langit abu tertutup awan; Kaca-kaca besar memantulkan bayanganku; Asap kendaraan mengepul di udara, sepertinya hendak mencekik siapapun yang menghirupnya; Sedikit kulihat hijaunya daun dan rindangnya pepohonan; Sedikit kulihat seniman yang menunjukan kebolehannya dalam menghias rumahnya; Tak jauh berbeda dari petualanganku ke negeri tetangga. Tak jauh berbeda dari wajah temanku yang jauh di seberang benua. Tidak kulihat karakter. Kemudian wajah negeriku terlihat kabur. Lalu siapa Indonesia? Mengapa kita tak jauh berbeda dari negeri temanku? Ketika temanku bertanya; “siapakah kalian?” Aku hanya menggaruk kepala dan memalingkan wajahku. Ketika ia bertanya lagi; “apakah kalian bagian dari kami?” “Tidak.”
Identitas Nasional
Aku sadar bahwa aku tidak mau temanku menyamakan aku dengan yang lain. Aku sadar bahwa kami memiliki karakter, sesuatu yang berbeda dari negeri temanku, dan aku tidak sudi mereka label siapa aku. Aku menentukan predikatku; “apakah kalian bagian dari kami?” Namaku. Wajahku.
46
Dan aku kembali mencari wajah negeriku.
Mengetahui bahwa pada dasarnya identitas tak lain adalah pemersatu kami yang memiliki banyak wajah, seperti sebuah kendi yang pecah menyisakan serpihan. Mengetahui bahwa identitas adalah perekat bangsa dan bahwa;
Identitas nasional, adalah identitas individual yang menyandang rasa memiliki akan suatu tempat dan komunitas, tanah air dan bangsa kita; Indonesia. Aku menulis lagi di buku kecilku. Kali ini aku bagikan pada kalian, Tanyaku akan wajah negeriku. Siapa Indonesia? Di mana wajah kami?
Review Karya:
Identitas Nasional
Elevation oleh Andra Matin
48
Andra Matin, salah satu arsitek kondang di Indonesia, telah membawa karya seni instalasi meruangnya yang bernama “Elevation� dari ajang Venice Architecture Biennale 2018 ke Pameran “Matter and Space� di Museum Macan hingga Juli 2019 nanti. Karyanya ini mendapatkan Special Mention oleh juri, menjadikannya arsitek Indonesia pertama yang dianugerahkan dengan penghargaan tersebut. Elevation adalah cara Andra Matin mengenalkan arsitektur vernakular Indonesia kepada dunia internasional. Sesuai dengan judul karyanya, instalasi mewakilkan arsitektur vernakular Indonesia dalam tampak dan ketinggian. Tampak bangunan berupa anyaman rotan dengan pola geometris, menggambarkan tenun-tenun serta ciri arsitektur vernakular nusantara yang memiliki pelingkup semi-transparan. Elevasi dari dasar bangunan vernakular terhadap tanah di wujudkan dalam instalasi dengan tangga dan bordes dari kayu Jabon.
Ke-Indonesia-an yang diwujudkan oleh Andra Matin tidak disajikan secara literal, namun sesuai dengan jiwa arsitektur vernakular Indonesia. Skala dan proporsi ruang yang disajikan, ekspresi dari material, serta komposisi ruang menjadi terpadu dalam menggambarkan rumah-rumah secara bersama. Oleh karena itu, pengunjung dapat mengerti betul pengalaman ruang dari arsitektur vernakular Indonesia yang berbeda dan beragam.
Ditulis oleh: Gevin Timotius
Memasuki instalasi dari celah tampak rotan, pengunjung dibawa kepada sebuah peta Indonesia dan introduksi kepada arsitektur vernakular Indonesia yang tertera pada sehelai kain. Lalu, kita dibawa kepada sebuah tangga spiral dengan bordes pada ketinggian-ketinggian berbeda menurut elevasi rumah vernakular tersebut dengan maket miniaturnya. Bermula dari rumah Honai pada elevasi terendah, rumah Jawa-Bali, Mbaru Niang dan Uma Mbatanggu dari Nusa Tenggara, Omo Hada dari Nias, Tongkonan Toraja dan Rumah Panjang Dayak, hingga rumah Korowai pada elevasi tertinggi. Dengan void yang menemani tiap elevasi, pengunjung dapat merasakan ketinggian serta perspektif yang berbeda dari tiap rumah vernakular dalam satu instalasi.
Pilih bentuk di samping sesuai tanggal lahir mu dan kreasikan menjadi sebuah bangunan dengan persepsi mu terhadap identitas arsitektur Indonesia!
Identitas Nasional
Gambar kreasimu di bawah ini
50
52
Ketua Kommunars Anastasia Nathania Ketua Kommunzine 10 Randy Rizky Pemimpin Redaksi Aldy Nisar Pemimpin Desain Sarah Adeline Pemimpin Publikasi & Dokumentasi Zharfan Hadyansyah Sekretaris Ariel Latasha Bendahara Ardhisty Shafira Redaksi Ahimsa Sirait Bahagia Raihan Gabriela Leticia Gallus Presiden D Gevin Timotius Ghiffari Alfarisyi Jeremy Riona Joshua Toindo Katya Annamarie Mikhael Tanara M Ariq Naufal Myra Salsabila Nur Shadrina Ramzy Pebriansyah Samuel Geovano Salma Thalia Putri Satrio Aji Nugroho Seto Ardhana Tasya Taranusyura Yovine Rachellea Desain Allisha Shenny Anatasha Meigatha Aryadiza Gunawan Dhaneswara Dewata Ghefaza Pratsany S Ghibran Ramadhan Gracia Dame Hagai G Batara Jerrick Makani Marsella Ho Nadine Noor Nadira Anandisya Patrick Padua Pininta Taruli Rizqy Prathama P Sofian Johan S Tahira Purbo Tania Callista
ilustrasi Ghibran Ramadhan Pininta Taruli Publikasi & Dokumentasi Amirah Dwila Anastasya Dwita Arya Wardhana Brian Sunardi Clara Florida Daren Lang David Mulyawan Troy Evan Hezekiah Jeremia Edward Lydia Lavinia M Andhika Fauzan Mirelle Eldens H Mas Reva R P Madeleine Y S Raisha Alifia Regentzza Aqila B Ruth Dea Juwita Verren A Vallen Trisandy Yohanes Noel