BERANDA
KOMUNIKA Editorial
Merdeka Dari, Merdeka Untuk negara-negara centrum (pusat) dan periferi (pinggiran), di mana negara-negara yang bertindak sebagai pusat selalu mendominasi dan negara-negara yang berada dalam posisi pinggiran selalu terdominasi. Tentu saja, posisi tawar negara-negara pinggiran dalam percaturan dunia selalu tidak diuntungkan. Di abad globalisasi ini—saat batas-batas geografis dan teritorial tak lagi mampu menjadi benteng pertahanan yang kukuh dari ekspansi kultural dan komersial bangsa lain—ketidakberdayaan suatu bangsa akan menempatkan bangsa tersebut menjadi bangsa marginal. Bangsa yang miskin sangat mudah dipermainkan, dieksploitasi dan disetir kehidupan ekonominya oleh bangsabangsa yang kaya. Bangsa yang bodoh senantiasa akan menjadi objek bagi bangsa-bangsa yang memiliki penguasaan iptek tinggi. Dan bangsa yang terbelakang akan menjadi bulan-bulanan bangsa yang maju peradabannya. Tidakkah keadaan yang demikian merupakan bentuk lain dari “penjajahan,” meskipun tanpa kolonialisme atau penguasaan wilayah? Karena itu, momentum peringatan HUT RI ke 61 ini harus diupayakan agar dapat membangkitkan kesadaran bersama akan pentingnya kelahiran Indonesia baru yang lebih kuat, mandiri dan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam percaturan dunia. Dan untuk mencapai hal tersebut, bangsa Indonesia terlebih dahulu harus mampu membuat dirinya sendiri “merdeka” dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Mulai sekarang bangsa Indonesia harus merevitalisasi makna HUT kemerdekaan, dari sekadar upacara peringatan dan perayaan detik-detik lepasnya negara dari cengkeraman penjajah, menjadi pengejawantahan tekad untuk meningkatkan kesejahteraan, kecerdasan dan kemajuan bangsa. Dengan dukungan seluruh anak bangsa, ke depan bangsa Indonesia pasti dapat mewujudkan kemerdekaan yang sejati: kemerdekaan memerdekakan. Kemerdekaan yang membuat bangsa ini tumbuh menjadi bangsa besar dan disegani serta terbebas dari tekanan dan dominasi bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Merdeka!*
Soleh (14), SMP Al Huda, Jakarta Kemerdekaan itu hari proklamasi Indonesia. Yang proklamasiin itu Ir Soekarno. Indonesia punya tempat wisata yang bagus-bagus, ke depan harus dikembangkan. Jangan lupa narkoba harus diberantas. Biar jangan ketinggalan, kita juga harus belajar.
Franklin (20), IKJ, Jakarta Merdeka adalah apa yang sekarang kita alami, bebas bertindak, berbicara, bebas mengeluarkan pendapat. Tapi sayangnya belum sepenuhnya merdeka karena hak-hak warga negara belum dipenuhi khususnya rakyat miskin dan kaum petani.
Pemimpin Redaksi: Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum Wakil Pemimpin Redaksi: Sekretaris BIP dan Para Kepala Pusat di BIP Sekretaris Redaksi: Richard Tampubolon Redaktur Pelaksana: Nursodik Gunarjo Redaksi: Selamatta Sembiring, Tahsinul Manaf, Soemarno Partodihardjo, Sri Munadi, Effendy Djal, Ridwan Editor/Penyunting: Illa Kartila, MT Hidayat, Dimas Aditya Nugraha Pracetak: Farida Dewi Maharani Desain: D Ananto Hary Soedibyo
foto:istimewa
Alamat Redaksi: Jl Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: komunika@bipnewsroom.info
Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut.
Maulana (14), Jakarta Hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Indonesia kurang bagus karena masih banyak korupsi. Yang korupsi harus ditangkap!
foto:istimewa
foto:istimewa foto:istimewa foto:istimewa
2
Nadia (19), Trisakti, Jakarta Kemerdekaan adalah kebebasan, dalam artian dapat berjalan tanpa suatu tekanan/ penjajahan. Bebas dari pengaruh tentunya dilakukan dengan aksi-aksi yang bertanggungjawab. Indonesia harus dimajukan supaya dikenal di seluruh dunia dengan cara mengaplikasikan ilmu yang didapat di bidang yang dipelajari.
Penanggungjawab: Kepala Badan Informasi Publik
Hendi (12), SMP 127, Jakarta Kemerdekaan adalah hari lahirnya bangsa Indonesia dan terlepas dari jajahan bangsa lain. Harus rajin belajar supaya memajukan Indonesia dan diakui bangsa lain. Selain itu belajar non akademik seperti olahraga supaya bisa ikut Piala Dunia, Thomas Cup, Tiger Cup.
foto:istimewa
foto:istimewa
foto:istimewa
Ridwan (12), SMP Al Huda, Jakarta Hari Kemerdekaan itu 17 Agustus. Dulunya Indonesia dijajah. Biar Indonesia maju kita harus main bola!!
foto:istimewa
Adam (13), SMP 229, Jakarta Kemerdekaan itu kemenangan bangsa Indonesia dalam berperang melawan penjajah. Jadi sekarang kita harus belajar biar terus menang.
Pengarah: Menteri Komunikasi dan Informatika
Riset dan Dokumentasi: Maykada Harjono K
:: Arti Merdeka Bagi Mereka :: Ayu (10), SD Bhakti, Jakarta Kemerdekaan itu Hari Nasional tanggal 17 Agustus, harinya lomba-lomba. Kita harus bekerja keras biar negaranya pintar. Aku suka masang-masang bendera merah putih di rumah.
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
desain cover: ahas. foto: leo,myth, pi
Secara sempit, kemerdekaan sering diterjemahkan sebagai terbebasnya bangsa dari belenggu penjajahan. Karena itu, proklamasi kemerdekaan Indonesia dimaknai sebagai berakhirnya sistem kolonialisme dan sekaligus “lahirnya” Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation state) yang berdaulat. Pengertian kemerdekaan seperti itu tidak salah, hanya kurang lengkap. Karena pada dasarnya, esensi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia ada dua, yakni “merdeka dari” (freedom from) dan “merdeka untuk” (freedom for). “Merdeka dari” dapat saja diartikan sebagai terbebasnya bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah. Akan tetapi, “merdeka dari” juga mencakup pengertian terbebasnya bangsa dari berbagai permasalahan mendasar yang membuat bangsa Indonesia kehilangan kemampuannya sebagai sebuah bangsa merdeka. Sedangkan “merdeka untuk” adalah kebebasan dan kesanggupan bangsa Indonesia untuk melakukan kewajibannya dan mendapatkan apaapa yang menjadi haknya, atas kemauan dan prakarsa sendiri, tanpa adanya paksaan maupun tekanan dari pihak manapun. Diakui maupun tidak, kita lebih sering memaknai kata merdeka sebagai freedom from. Oleh karena itu, peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia lebih dianggap sebagai seremoni untuk menyambut hari kebebasan tanggal 17 Agustus, tanggal saat Soekarno-Hatta—atas nama bangsa Indonesia—memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI (HUT RI) kemudian lazim disebut sebagai “17 Agustusan” atau “tujuhbelasan” saja. Suatu pertanda bahwa yang dianggap sangat penting adalah independence day, hari tanggal 17 Agustus itulah. Secara faktual, kita memang telah mencapai apa yang disebut dengan freedom from colonialism. Kita tak lagi dijajah dalam arti tanah air kita diduduki dan dikuasai oleh bangsa lain. Kita telah menjadi negara sejati, yang berdaulat, memiliki wilayah, penduduk dan pemerintahan sendiri. Akan tetapi sudahkah kita sepenuhnya terbebas dari berbagai permasalahan yang membuat bangsa ini lemah, seperti masalah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan? Belum! Padahal kemerdekaan dari penjajahan, tanpa diimbangi dengan pemberdayaan warganegara, nyaris tak ada gunanya. Kita telah melihat begitu banyak bangsa yang merdeka secara administratif, namun akhirnya menjadi bangsa yang sangat tergantung kepada bangsa lain karena mereka belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Globalisasi dengan segala interdependensinya telah menciptakan
Diterbitkan oleh:
Agus (15), SMU 78, Jakarta Hari Kebanggaan bangsa Indonesia karena pada saat itu Indonesia keluar dari penjajahan. Jeleknya Indonesia masih banyak yang korupsi, kalau bagusnya banyak pelajar yang menang olimpiade fisika. Nanti saya mau berantas korupsi. Edisi Khusus Merah-Putih /Agustus 2006
KOMUNIKA
M
asih ada kelompok masyarakat yang menganut pandangan yang berbeda dengan falsafah Negara. Mereka berpandangan bahwa jati diri Indonesia bukan negara kesatuan dan bukan negara yang berlandaskan Pancasila. Situasi ini jelas menjadi tugas yang mesti dikerjakan bersama. Hasil amandemen UUD 1945 yang tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila tampaknya masih perlu dijabarkan dalam tatanan praktis kehidupan masyarakat. Dalam Prakongres I Kongres Nasional Pembangunan Manusia, seluruh peserta sepakat untuk kembali ke cita-cita para Bapak Bangsa Indonesia. “Apa yang kita sebut stra-
itu, yang sekaligus mengan-dung fungsi-fungsi prediktibiltas ekternal dalam hubungan antar bangsa dan secara internal merupakan paradigma dan batas-batas pembenaran dalam sikap, perilaku bangsa, kemajemukan bangsa tidak dilihat sebagai kendala, tetapi sebagai kekayaan yang menciptakan nilai tambah apabila dikelola secara konstruktif, demokratis dan sinergetik yang bersifat positif. Mencari Indonesia Indonesia didirikan bukan atas dasar prinsip-prinsip primordialisme melainkan atas dasar penderitaan yang sama akibat penjajahan bangsa lain selama ratusan tahun dimasa lalu. Belajar dari pengalaman negaranegara di dunia, primordialisme selalu menimbulkan perpecahan yang mengancam integritas dan keutuhan suatu bangsa.
foto : mthd
Era reformasi yang mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara membawa satu ekses yang cukup mendasar. Terlepas dari apakah tujuan reformasi telah tercapai atau refomasi malah kehilangan arah, ada permasalahan mendasar yang cukup mengusik: Pancasila seolah dilupakan.
Pancasila pada masa lalu lebih baik dibanding dengan yang sekarang. “Kita tidak bisa mengatakan bahwa yang dulu itu pelaksanaan Pancasila lebih baik dibandingkan yang sekarang, tidak bisa kita buktikan seperti itu dengan hanya bahwa dulu banyak kita sebut Pancasila, banyak kita bikin penataran P4,“ kata Wapres di Jakarta beberapa waktu lalu. Namun, kata Wapres, pelaksanaan Pancasila pada waktu lalu tidak seperti yang ditulis dalam butir-butir Pancasila. Wapres mencontohkan, dahulu dikenal adanya demokrasi Pancasila, akan tetapi yang terjadi adalah otoritarian dan monopoli. Dahulu Indonesia juga melaksanakan ekonomi Pancasila, lanjutnya, namun yang berkuasa saat itu adalah para konglomerat dan anak penguasa (kroninya). “Pada jaman dahulu tidak ada yang berani mengkritik orang, sehingga kelihatannya kita saling menghormati, walaupun mangkelnya luar biasa,“ tambah Wapres. Sebaliknya, Wapres menilai saat ini masyarakat mengkritik luar biasa setiap kebijakan yang dibuat pemerintah sekarang. Kendati demikian, diakuinya, Pancasila saat ini seolah-olah mengalami pergeseran dan pergeseran ini memang diperlukan. Menurut Wapres, hampir selama 30 tahun Pancasila seakan-akan menjadi suatu ajimat (benda yang dikeramatkan) dan menjadi suatu pegangan yang menjadi pembenaran dari segala sesuatu (apa saja). "Bisa dipergunakan dengan baik, tapi juga bisa dipergunakan tidak baik. Mau memuji orang dengan Pancasila, kadang-kadang tangkap orang juga dengan Pancasila,“ ungkapnya. Wapres menegaskan, yang penting sekarang adalah bagaimana ideologi Pancasila masuk
Pada waktu lalu Pancasila sudah dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber
Ketika Dasar Negara Diperbincangkan tegi penanggulangan, atau MDGs (Millenium Development Goals) ada di UUD 1945, termasuk pembangunan manusia yang dicanangkan PBB pada 1990 juga ada di UUD 45, ” kata Ketua Panitia Sujana Royat, di Jakarta, akhir Maret lalu. Sujana yang sehari-hari menjabat Deputi Koordinator Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Koordinator Kesra itu juga mengemukakan tidak perlunya mempertentangkan soal nasionalisme dan globalisasi. “Justru dengan semangat nasionalisme lebih arif menyikapi globalisasi. Ini malah dijadikan agenda, dan sejumlah peserta meminta agar ada gerakan untuk menguatkan kembali rasa kebangsaan, nilai-nilai religi dalam konteks kekinian,” tambahnya. “Kita kan juga merasa tidak jelas, kekerasan marak, dan melunturnya etika bangsa. Ini kita harus kembali ke nilai-nilai yang ada yang sudah dituangkan dalam UUD 1945. Kita, dari pemerintah tetap berupaya maksimal menghormati pluralisme, toleransi, dan hak-hak warga,” ujarnya. Jati Diri Bangsa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa konsensus–konsensus dasar kebangsaan, yaitu Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945, tetap menjadi nilai jati diri dan dipertahankan bersama. “Ini saya sampaikan ke hadapan para sesepuh, para senior, dan bapak ibu sekalian untuk membangun ketetapan hati kita bahwa konsensus – konsensus dasar kebangsaan Pancasila, UUD 1945 yang ruh dan jiwanya kita lihat semua dalam pembukaan Undang-Undang Dasar itu, bentuk NKRI dan sasanti Bhinneka Tunggal Ika, atau pluralitas, tetaplah menjadi nilai jati diri dan tetap menjadi konsensus kita untuk kita pertahankan secara bersama,“ kata Presiden di hadapan para sesepuh pejuang kemerdekaan Indonesia di Jakarta pekan lalu. Sementara itu di kesempatan terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah penilaian yang mengatakan bahwa pelaksanaan Edisi Khusus Merah-Putih / Agustus 2006
dalam tindakan setiap orang, karena ideologi merupakan suatu pegangan hidup. Yakin dengan 4 Perekat Susunan dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah pilihan tepat dan final sehingga bangsa harus terus membangun negara menuju keadaan yang aman dan damai, adil dan demokratis serta sejahtera seperti tujuan dan cita-cita bersama. Berbagai contoh di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa yang dilakukan dengan penyeragaman paksa justru akan menimbulkan persatuan dan kesatuan yang rapuh, ujungujungnya adalah kehancuran bangsa tersebut. Menurut Gubernur Lemhannas, Muladi, pada dasarnya pembangunan nilai-nilai sosial budaya yang kondusif terhadap kemajemukan memiliki dimensi yang luas dan kompleks. Nilai-nilai yang terkait akan bersentuhan dengan usaha-usaha mempertahankan pola dan sarana pengintegrasi untuk membantu pemantapan atau peradaban bangsa. Nilai-nilai sosial budaya yang bersumber dari empat perekat persatuan tersebut akan sangat bermanfaat untuk mewarnai geopolitik dan geostrategi nasional, kehidupan bermartabat yang mengandung elemen-elemen seperti demokrasi, supremasi hukum dan promosi serta perlindungan HAM, dan gaya kemimpinan para pemimpin nasional. Muladi menyatakan sangat yakin bahwa persatuan dan kesatuan nasional baik secara struktural maupun kultural tetap bisa dipertahankan melalui empat perekat persatuan. "Keempat perekat untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa RI tersebut adalah ideologi bangsa Pancasila, prinsip-prinsip UUD 1945 yang telah di-amandemen, prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika," kata Muladi pada pembukaan seminar KSA XVI di Jakarta belum lama ini. Melalui perekat-perekat persatuan bangsa
Oleh karena itu, Pancasila yang secara tegas mengamanatkan pentingnya persatuan dalam keberbedaan dan pluralisme tidak perlu lagi dipersoalkan. Yang penting sekarang adalah melaksanakan Pancasila dalam tindakan dan kehidupan sehari-hari. Untuk satu hal ini, kerja keras seluruh anak bangsa sangat dibutuhkan.
hukum. Indonesia pun dalam sejarahnya adalah sekumpulan orang dengan derajat kemajemukan yang tinggi, namun ingin bersatu menyelesaikan berbagai persoalan bersama. Inilah keindonesiaan itu. Agar bangsa ini mampu menghadapi tantangan zaman. (f)
"Meng-amandemen UUD 1945"
G
erakan kembali ke UUD 1945 mungkin dalam batas-batas tertentu tidak sejalan dengan cita-cita para founding fathers negara ini, Soekarno dan Muhammad Hatta. "Para pendiri bangsa ini sebelumnya telah menyadari kalau UUD 1945 ini tidak sempurna. Dan jika ada itu (gerakan) berarti bertentangan dengan founding father ," kata Valina Singka Subekti, anggota KPU. Bagi pengamat politik asal FISIP-UI ini sejumlah perubahan dapat dilihat dari UUD 1945 yang sudah diamandemen itu. Diantaranya adalah adanya pembatasan terhadap kekuasaan presiden, memperkuat kewenangan DPR, terjadi perlindungan terhadap HAM. "Ini telah membentuk chek and balances di pemerintahan kita," ujar wanita yang selalu berkerudung ini. Melihat adanya pandangan untuk kembali ke UUD 1945, Valina meminta agar penggagas itu membaca terlebih dahulu hasil amandemen UUD 1945. Menurutnya dasar konstitusi ini selalu terbuka untuk dilakukan perubahan "UUD'45 adalah konstitusi yang bersifat modern. Jadi bisa disempurnakan sesuai dengan aturan yang ada," imbuhnya. Memang sebuah konstitusi seperti halnya UUD 1945 bagi bangsa Indonesia merupakan dasar bagi penyelenggaraan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jelas ada celah dan kelemahan, yang mesti disempurnakan sejalan dengan perjalanan
waktu dan tantangan zaman. Namun demikian kembali ke UUD 1945 yang asli, jelas merupakan pilihan yang sulit. Bukan lantaran akan ada langkah mundur dalam pemerintahan, melainkan juga amanat reformasi yang membuahkan amandemen terhadap UUD 1945 tidak akan bisa diwujudkan. Bagaimanapun permintaan atas amandemen UUD 1945 hendaknya dimaknai sebagai sebuah keinginan untuk mewujudkan tatatan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Oleh karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai wajar keinginan pihak-pihak yang menginginkan kembali kepada UUD 45. "Asalkan, melalui prosedur yang benar dan sesuai dengan kehendak rakyat," kata Presiden dalam acara pembekalan kursus singkat angkatan 14 Lembaga Ketahanan Nasional di Istana Negara, Jakarta beberapa waktu lalu. Menurut Presiden Yudhoyono lembaga yang berwenang menetapkan UUD 45 adalah MPR, namun demikian ia menyatakan bahwa perubahan UUD 45 sebaiknya dilakukan dengan moratorium untuk melihat kembali pada keberadaannya. "Bila kemudian dirasa perlu untuk dilihat kembali, maka dapat dilakukan dengan proses yang tepat. Dengan demikian, UUD 45 tidak perlu di amandemen setiap tahun," tegas presiden SBY. (f)
3
Membangun Imajinasi Bangsa di Era Baru
Cita-cita kebangsaan Indonesia dibangun dalam sejarah yang sangat panjang. Sejak era kerajaan, hingga era global sekarang ini. Setelah mengalami masa eforia demokrasi dengan berbagai macam suka dan dukanya, maka sudah saatnya bangsa ini duduk bersama merenungkan dan mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa masa lalu. Masih adakah nilai-nilai luhur bangsa yang bisa kita jadikan pegangan untuk membangun Indonesia ke depan?
Awal Komunitas Imajiner Pelajaran dari Majapahit maupun Sriwijaya menunjukkan bahwa integrasi terbentuk melalui persekutuan berbagai kerajaan untuk membangun keamanan dan kemakmuran bersama. Kedatangan bangsa-bangsa barat ke Nusantara lewat perdagangan dan penaklukan mengubah watak integrasi beragam kerajaan dan suku bangsa di Nusantara menjadi kebersamaan melawan penjajahan dan mencapai kemerdekaan. Dalam fase ini mulailah tumbuh semangat untuk membangun suatu komunitas yang dicita-citakan–imagined community dalam artikulasi Benedict Anderson–yaitu bangsa Indonesia. Para pemimpin dan pemuda yang berasal-muasal sangat majemuk mulai membangun kesepakatan untuk membangun satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa: INDONESIA. Di era dengan keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi yang luar biasa, para pemimpin dan pemuda giat bertukar gagasan dan membangun aksi bersama untuk mewujudkan cita-cita komunal hingga akhirnya seluruh ikhtiar panjang tersebut mengkristal pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Format citacita atau imajinasi kebangsaan yang diajukan
4
para pemimpin dan pemuda semuanya menuju ke arah bangsa yang merdeka. Bung Hatta pernah menyatakan dalam sebuah brosur di tahun 1932 bahwa “Tidak ada pergerakan kemerdekaan yang terlepas dari semangat kebangsaan. Apa yang mau dimerdekakan dari genggaman bangsa asing kalau tidak bangsa dan tanah-air sendiri? Cita-cita kepada persatuan hati dan persaudaraan segala bangsa dan manusia ada bagus dan baik, tetapi, supaya tercapai maksud itu, haruslah dahulu ada kemerdekaan bangsa. Hanya bangsa-bangsa dan manusia yang sama derajat dan sama merdeka dapat bersaudara. Tuan dan budak susah mendapat persaudaraan!” Bukan Sekadar Merdeka Pernyataan Bung Hatta memang seolah mendapatkan respon dari seluruh elemen bangsa. Tercapainya kemerdekaan Indonesia merupakan wujud nyata cita-cita untuk menentukan nasib bersama bangsa Indonesia. Namun setelah bangsa kita merdeka dan revolusi kemerdekaan telah dilalui, tampak kegamangan dalam proses rekonstruksi yang sinambung akan gagasan bangsa Indonesia. Semestinya dengan hilangnya penjajah sebagai musuh bersama, perlu diiringi dengan kesadaran kebangsaan yang jauh lebih tinggi. Bukan sekadar merdeka lepas dari belenggu namun menata ulang kehidupan kebangsaan mencapai tujuan semula: kemajuan bangsa di tengah pergaulan dunia. Secara faktual, ikatan persatuan di masa kemerdekaan tampak kian longgar. Apalagi adanya realitas kondisi masyarakat yang berpotensi atomistik, cenderung mendorong kemunculan isu memerdekakan diri ketika terjadi ketimpangan regional. Selain itu juga memudahkan terjadinya konflik horisontal dengan latar multidimensi, munculnya arogansi kedaerahan atau kesukuan, dan sebagainya. Padahal para founding fathers telah menyatakan tekadnya untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai suatu komunitas yang dapat memajukan bangsa-bangsa di dunia melalui kesetaraan dalam hubungan antarbangsa. Menggugah Rasa Kebangsaan Memang tidak ada bangsa besar yang dapat bertahan kecuali ia mampu mengatasi konflik eksternal maupun internal dengan baik. Demikian dengan bangsa Indonesia. Ujian persatuan kebangsaan mulai berhasil dilewati, dan saat ini adalah momennya ujian rekonstruksi dan kemajuan kebangsaan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi yang amat dahsyat saat ini perlu menjadi sendi utama untuk mendorong semangat kebangsaan kontemporer ini. Selain melalui pendidikan formal maupun non-formal, diseminasi informasi me-
ngenai kebangsaan Indonesia kontemporer dan aktualisasinya perlu dilakukan secara efektif. Soekarno-Hatta dahulu tidak pernah membayangkan akan ada sekitar 250 surat kabar harian, 250 majalah, ratusan juta situs web, dan pak pos elektronik (electronic mail) seperti di Indonesia saat ini yang dapat mendiseminasikan informasi dalam waktu sekejap dan masif ke seluruh penjuru negeri. Belajar dari pengalaman Jepang dalam membangun masyarakatnya, dibutuhkan seni untuk menerima pengaruh asing serta menyaringnya untuk diadopsi dengan budaya lokal. Keahlian seperti ini sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan jati diri sebuah bangsa. Jepang sendiri memiliki pengalaman dan kemampuan yang unik dalam melakukan hal ini, sebab akulturasi budaya asing kedalam kebudayaan Jepang dilakukan tanpa menghilangkan budaya Jepang (Daniel Sosnoski, 1996). Gregory Clark menggambarkan keunikan didapat dari kemampuan dalam menyerap budaya Cina dan kemudian budaya Barat tanpa diperbudak atau didominasi oleh budaya-budaya tersebut (Jane Withey, 1994).
Era Baru Kebangsaan Hanya bangsa besar yang dapat menggalang kemajuan bangsa dan mendorong kemajuan masyarakat dunia. Cita-cita atau imajinasi seperti inilah seharusnya menjadi perhatian seluruh komponen bangsa saat ini. Sebab dengan cita-cita dan imajinasi fondasi kebangsaan kita di era kontemporer akan makin kuat. Tanpa sebuah imajinasi bersama, tidak akan ada imagined community yang b e r n a m a bangsa Indonesia. Yang ada tinggallah artifak budaya dalam bentuk bahasa dan artefak teritorial dan organisasi dalam bentuk negara. B u n g Hatta telah mencatat krisis yang akan dialami pemuda yang intensif bersentuhan dengan budaya global: “Semuanya ini haruslah menjadi pertimbangan kepada pemuda Indonesia yang mendapat didikan Barat. Sebab itu “pemuda dalam krisis” berarti pemuda terpaksa mengambil keputusan: maukah kembali pulang ke masyarakat sendiri? Dan disini tidak ada entweder oder! Tidak ada ini atau itu.” (Daulat Rakyat, no 77, tanggal 30-10-1933). Tentu tantangan yang muncul sekarang dalam mendiseminasikan kesadaran kebangsaan kepada seluruh elemen masyarakat. Proses ini paling tidak bisa dilakukan dalam dua strategi. Pertama, menyusun format kebangsaan kontemporer yang mengena, visioner dan inspiratif, namun dapat diaktualisasikan bersama. Kedua, meningkatkan keefektifan pesan komunikasi dalam jalur komunikasi multimedia yang ada. Tentunya strategi kedua ini menuntut pengoptimalan ratusan media dan jaringan internet information super-
highway agar bisa membuat anak bangsa ini, khususnya pemuda, tertarik kepada sebuah gagasan kebangsaan di tengah lautan informasi global. Dua strategi ini, mungkin sangat sulit dilakukan di tengah kompetisi konten informasi lain yang luar biasa banyaknya, namun bukan hal yang muskil untuk dilakukan.
Bukan sekadar merdeka lepas dari belenggu namun menata ulang kehidupan kebangsaan mencapai tujuan semula: kemajuan bangsa di tengah pergaulan dunia. Perlu Sense of Crisis Generasi pemimpin pascaproklamator, di atas kelebihan dan kekurangan mereka, memang telah berbuat. Membangun bangsa dan negara pada semua aspeknya. Sebagai bangsa dan negara, sudah selayaknya untuk senantiasa berusaha beradaptasi dengan kemajuan zaman. Seperti banyak negara lain, Indonesia pernah mencatat dan mengenyam kemajuan pembangunan. Tapi, sejarah Indonesia juga pernah diwarnai pahitnya kemunduran. Beragam bencana seperti gempa, tsunami, longsor, gunung meletus, hingga wabah flu burung telah terjadi. Namun setiap permasalahan yang ada telah menjadikan bangsa Indonesia berpegangan tangan meneguhkan kembali tekad untuk saling membantu dan memajukan sesama. Satu hal yang patut direnungkan bersama. Saat ini yang sangat dibutuhkan untuk memajukan bangsa ini adalah sense of crisis. Tidak hanya di bidang konvensional seperti ekonomi, politik, budaya, dan hukum tapi juga bidang informasi dan komunikasi. Berkaca dari pengalaman bencana dassyat yang mendera bangsa Indonesia sejak tsunami di Aceh: persatuan dan solidaritas itu masih ada. Bencana, selain memunculkan keprihatinan juga mencuatkan aliran persaudaraan dari segenap penjuru Nusantara. Dirgahayu Republik Indonesia ke 61. Semoga dapat menjadi bangsa yang maju di era yang baru. (sri w)
foto:leo
foto:repro
KOMUNIKA
Edisi Khusus Merah-Putih /Agustus 2006
KOMUNIKA Tidak bisa jalan sendiri-sendiri
Pemerintah mulai membuka diri...
Saat ini sebenarnya Indonesia sudah mengalami kemajuan yang berarti dalam cara berpikir. Kita semakin dewasa dengan keterbukaan dan kebebasan berpendapat. Walau demokrasi masih berjalan seadanya. Masih ada kesenjangan yang cukup jauh antara pendidikan politik masyarakat dengan demokrasi. Pilkada memang sudah dilakukan secara langsung, namun belum ada imbas terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Bahkan kini biaya penyelenggaraan pemerintahan jauh lebih tinggi dibandingkan kontribusi pemerintah pada rakyat. Pasca krisis moneter ini, kondisi kita masih belum benar-benar pulih, belum sesuai dengan harapan banyak orang. Tingkat kemiskinan masih tinggi, pendidikan pun belum bisa dinikmati masyarakat secara layak. Dari sisi ekonomi, kita masih belum mampu mengubah struktur ekonomi. Kita belum merdeka dari sisi ekonomi. Masih banyak campur tangan negara-negara donor terhadap perekonomian Indonesia. Dengan momen ini kita kembali ke semangat 45, kembali ke jiwa gotong royong. Karena itu satu-satunya cara membangun ekonomi. Jika kita tidak bersatu, ekonomi kita akan sulit dibangun karena masing-masing punya kepentingan pribadi. Pertama yang harus dilakukan adalah
Saya pikir kondisi Indonesia saat ini semakin membaik dan akan terus membaik. Mulai ada demokratisasi, keterbukaan, kebebasan berbicara dan mengutarakan pendapat. Yang dulu tertutup menjadi transparan. Yang jelek bisa dikritik dan yang salah bisa dihukum. Walau memang terkadang kebablasan, bisa sampai menyerang pribadi seseorang. Hal ini merupakan sebuah langkah awal yang baik, terlebih ketika pemerintah sudah mulai membuka diri dan tidak antipati terhadap kritik. Mulai terbuka dalam membuat keputusan, masyarakat diminta untuk memberi masukan. Sehingga saya optimis keputusan yang dihasilkan merupakan hasil yang terbaik bagi bangsa ini. Lihat saja bagaimana proses tender mulai dibuka seluas-luasnya, termasuk tender broadband wireless. Kemudian ada upaya pengaturan teknologi. Belum lama ini pemerintah melakukan registrasi nomor handphone, itu untuk mengurangi tindak kejahatan. Belum lagi pencatatan transaksi via internet. Kami sangat mendukung pemerintah yang mau menerima masukan, walau ada beberapa kritik yang terkadang tidak digubris. Kalau di ICT (Information and Communication Technology) itu sumbernya di regulasi, seperti pengaturan digital video broadcast , frekuensi broadband wireless dan interkoneksi. Jika keadaan pemerintah dan masyarakat seperti ini, saya percaya akan dihasilkan keputusan-keputusan di bidang teknologi yang lebih banyak dan memihak masyarakat.
Edisi Khusus Merah-Putih / Agustus 2006
foto: aam
Saat ini kita memang tengah mengalami banyak masalah, mulai dari konflik kesukuan, keamanan dan lain sebagainya. Saya akui, mengatur Indonesia yang luas dan terdiri dari berbagai macam suku bangsa memang sulit. Perlu adanya kerjasama antara berbagai pihak terkait. Masyarakat harus mau diatur oleh pemerintah atau pembuat kebijakan karena pada dasarnya mereka tengah mengakomodir salah satu kepentingan elemen bangsa. Kalau tidak mau diatur, mending kita pecah-pecah saja, atur diri masing-masing. Kemudian pemerintah pun harus berani membuat skala prioritas dalam membuat kebijakan. Memang ada konsekuensinya, harus ada salah satu sektor yang dikorbankan untuk lebih mendukung sektor unggulan. Saat ini menurut saya yang paling depan adalah sektor pendidikan. Saya pikir tidak perlu takut mengambil resiko, semua bisa dilakukan dengan baik jika pemerintah punya political will yang tersosialisasikan dengan jelas merata sampai ke berbagai daerah. Jika tidak berani melakukan langkah berani, maka kita akan terus seperti ini. Kemudian juga perlu ada kepercayaan masyarakat kepada pemerintah karena kita gampang sekali disulut emosinya. Dibakar emosi untuk protes ini dan itu, fanatisme kelompok, suku. Akhirnya justru menambah masalah saja. Ada sebuah pendapat umum bahwa kalau mau mengukur kepekaan konduktor kita harus melihat kualitas orkestranya. Dan sebaliknya, kalau dengar orkestranya, kita lihat konduktornya peka atau tidak. Begitu konduktornya peka, teliti, perfeksionis dan membela kepentingan semua, maka tidak usah dengar orkestranya lagi, sudah pasti bagus. Jadi kembali ke pemerintah. Saya sangat berharap banyak pada pemerintah. Perlu adanya gerakan moral guna meningkatkan mentalitas bangsa yang positif, mulai dari atas sampai bawah. Mulai perilaku sekelas korupsi sampai buang sampah sembarangan. Semua terkait dalam menunjang citra Indonesia.*
foto:didit/aam
foto:didit/aam
Perlu gerakan moral
Ir Sumitro Reostam Dewan Pengurus Harian Masyarakat Telekomunikasi (Mastel)
meningkatkan jiwa nasionalisme dan kebanggaan pada bangsa ini. Karena tanpa nasionalisme, generasi muda akan lepas dari kebersamaan dan gotong-royong, mereka akan semakin individualistis. Kemudian ada upaya serius dari pemerintah untuk meningkatkan sektor pendidikan, membangun diskusi-diskusi publik yang dulu pernah ada. Lihat bagaimana dulu kelompok-kelompok masyarakat seperti PKK dan kelompecapir berkiprah membangun pendidikan di tingkat masyarakat kecil. Ini proses pendidikan awal. Melalui diskusi tersebut, pemerintah hendaknya mulai menggulirkan bahaya globalisasi bila masyarakat Indonesia tidak survive. Kalau Anda terlalu banyak pakai barang impor, pada akhirnya Anda tidak punya pekerjaan. Dan pada akhirnya tidak akan punya daya beli hingga berdampak pada diri sendiri. Perlu ada penanaman nilai-nilai seperti itu sehingga orang takut dan mulai menggunakan produk dalam negeri. Mereka harus dibuat berpikir, jika terjadi sesuatu dengan ekspor impor Indonesia maka akan mempengaruhi kehidupan mereka. Saat ini masyarakat Indonesia cenderung hedonis. Akibatnya, tingkat konsumsi akan semakin tinggi dan tingkat produktivitas menjadi rendah. Kita butuh waktu lama untuk pemulihan ekonomi. Menghilangkan ketergantungan kepada asing. Ketika pinjaman kita sudah membengkak, maka campur tangan asing semakin kuat. Solusinya harus berani menyikapi dengan membuat skala prioritas, mana sektor yang boleh dimasuki asing. Proteksinya bukan lagi untuk monopoli melainkan proteksi untuk rakyat. Proteksi yang harus dilakukan pada sektor pertanian, perikanan, kehutanan dan semisalnya.*
Untuk penggunaan internet, saya optimis tak lama lagi dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Menkominfo Sofyan A Djalil walau bukan orang ICT, tapi dia tahu secara general dan punya komitmen kuat pada regulasinya. Berupaya membuat biaya interkoneksi lebih murah dan terjangkau untuk seluruh masyarakat luas, walau saat ini masih harus mengakomodasi dua kepentingan publik. Dengan murahnya interkoneksi diharap dapat mengakomodasi perkembangan yang pesat dari generasi muda dalam bidang ICT. Perlu pula ada pembinaan yang positif bagi mereka. Mastel bersama Depkominfo juga sering melakukan berbagai kegiatan semisal seminar dan pelatihan ICT bagi para pemuda. Bahkan kami juga mencanangkan adanya ICT award bagi insan berprestasi bangsa.*
Parni Hadi Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (RRI)
Banyak belajar dari founding fathers dan founding mothers Indonesia saat ini adalah kelanjutan perjuangan para pendahulu kita. Hasil dari akumulasi pengalaman, mencoba dan gagal, nasib baik dan buruk. Indonesia saat ini adalah cermin dari upaya anak mantan negeri jajahan untuk memperbaiki nasib. Saat ini memang kita tengah mengalami titik down dari masa-masa sebelumnya. Ketika zaman Soekarno, Indonesia dianggap kampiun bagi pembebasan negara terjajah yang dipelopori oleh Konferensi Asia Afrika. Kemudian pada masa Soeharto kita berhasil mencapai swasembada beras. Sekalipun dicap pemerintahan otoriter atau militeristik, tapi Indonesia mencapai stabilitas yang luar biasa dan disegani di kawasan ASEAN dan negara berkembang. Ada yang mengatakan semua itu semu, tapi saat ini banyak yang merindukan suasana tertib dan damai di masa Soeharto dan kegemilangan citra di forum internasional seperti zaman Soekarno. Apa maknanya? Zaman memang berkembang. Dan kita harus bersyukur bahwa bangsa ini telah diberi kesempatan mengalami berbagai macam ujian. Masih ada semangat pada bangsa ini untuk bertahan, mempersatukan diri membangun NKRI. Dan saya lihat semangat itu tidak luntur, bahkan di era reformasi yang telah membuat orang lebih memikirkan urusan diri sendiri. Lebih individualistis, mengedepankan arogansi sektoral. Insya Allah, jika kita lulus menghadapi ujian karena gelombang perubahan akibat reformasi politik dan bencana alam, maka kita akan matang. Kita akan dibajakan semangat kita karena penderitaan. Ujian seharusnya menjadi momentum bagi kebangkitan bangsa. Sebuah pelajaran bahwa untuk menjadi sukses orang perlu serius, kerja keras dan kerja cerdas. Selain itu perlu adanya perubahan metode pengajaran nasionalisme kepada generasi muda. Kita tidak bisa mengajarkan hanya sebatas teori belaka, melainkan dalam tataran praktek. Akan lebih membekas daripada diceramahi. Hal itu guna menjaga nilai-nilai yang ada pada bangsa ini. Saya pikir generasi muda tengah mengalami culture shock. Basisnya kurang kuat sementara terpaan informasi melalui media massa dan internet sangat luar biasa. Untuk itu media hendaknya lebih banyak menjaga tayangannya, jangan menjadikan duit dan rating sebagai "nabi". Tampilkanlah keteladanan yang tidak hanya sebatas teori, melainkan tokoh pelopornya. Saya sebagai wartawan yang sudah bergelut puluhan tahun di dunia media massa merasa malu, belum banyak media massa yang sadar dan terpanggil untuk merekam, menampilkan, menyiarkan contoh-contoh keteladanan dari siapapun, terutama dari founding mothers dan fathers. Kakek-kakek kita lebih sulit daripada kita sekarang, tapi mereka bisa bangkit dan maju. Ada semangat yang bisa kita ambil dari mereka. Mereka punya disiplin dan jati diri sebagai seorang bangsa. Kiatnya adalah jangan terlena, tapi bangkit dan serius. Tugas pemimpin, pemerintah, dan tugas siapapun yang telah tercerahkan untuk membimbing yang lain sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.*
foto:didit/aam
Addie MS Konduktor
Aviliani Komisaris Bank Rakyat Indonesia (BRI)
foto:didit/aam
Perjalanan hidup Indonesia terus berlanjut. Banyak kata dan upaya anak bangsa yang masih harus diwujudkan. Ada harapan dan keinginan untuk membuat Indonesia lebih maju. Kini, apa kata mereka tentang Indonesia?
5
KOMUNIKA Kata Mereka Tentang Indonesia
orang-orang dengan cara apapun bahkan mencium kaki bangsa lain. Walau begitu, yang pasti gue masih percaya sama orang Indonesia. Palingan orangorang harus sadar kalau Indonesia itu punya potensi yang sama dengan negara lain, pendidikan terutama. Mereka harus diajarkan kalau dahulu bangsa kita adalah bangsa yang besar dan jenius. Masalahnya ini yang susah, menumbuhkan kesadaran dan gue gak tahu caranya. Gue sendiri, dengan belajar sejarah saja, langsung cinta banget pada bangsa ini. Lihat Soekarno, Gajah Mada, Hatta, Pramoedya, banyak pemikir yang pintar.*
Yulika Satria D (27)
Dulu sebenarnya saya benci pada negara ini dan ada keinginan untuk tinggal di luar negeri. Namun, perlahan pudar setelah membaca beberapa buku sejarah, semisal Soekarno, Pramoedya, Hatta, dan lainnya. Dari tulisan-tulisannya jelas tergambar bahwa mereka sangat mencintai bangsa ini. Hal itulah yang membuat saya malu dan tersadar, mengapa saya tidak bisa cinta terhadap tanah air ini. Dan benar, bagaimana bisa mencintai negeri ini tanpa tahu perjalanan yang telah dilaluinya. Seperti mencintai seseorang atau sesuatu yang perlu tahu sejarahnya agar tak salah tanggap atau salah arti. Saya mulai banyak membaca dan berbicara dengan orang-orang yang tahu tentang Indonesia. Semua membuat saya belajar, dalam mencintai seseorang kita mesti bisa menerima kekurangan apalagi kelebihannya. Kekurangan-kekurangan negara ini bukan
berarti menjadi alasan untuk langsung memutuskan benci dan putus asa dengannya. Tidak bisa langsung seperti itu. Cinta harus tulus seperti mencintai seorang kekasih. Siapa yang tidak mau kekasihnya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kita mesti bantu agar negeri ini untuk jadi lebih baik. Jadi, belajarlah dari sejarah dan jangan putus asa dengan negeri ini. Karena Indonesia adalah negara besar yang penuh dengan orang pintar. Perlu waktu bertahuntahun untuk maju seperti negara lain. Ini baru 61 tahun. Bandingkan dengan USA, mereka maju tapi setelah ratusan tahun. Indonesia baru 61 tahun dan sudah menjadi negara berkembang dan bukannya negara terbelakang. Sabar, suatu hari nanti, pasti bisa!*
Setiap 17 Agustus bangsa Indonesia memperingati hari Kemerdekaan sebagai upaya memaknai sejarah masa lalu. Akan tetapi, pemaknaan terhadap masa lalu memiliki dua segi yang paradoks. Pertama, sebagai masa lalu, sejarah bisa bermakna sebuah pijakan awal. Sejarah berfungsi sebagai guru dan darinya manusia belajar memahami kebijaksanaan. Kedua, sejarah bisa menjadi pembelenggu kemajuan manusia dengan romantisme kejayaan masa lalu sehingga manusia tidak beranjak darinya. Untuk itu, bangsa Indonesia harus dengan bijak memaknai arti kemerde-
kaan. Kemerdekaan Indonesia bukanlah puncak perjuangan yang bernilai romantisme, tetapi harus dinilai sebagai awal dari perjuangan bangsa Indonesia dalam pusaran sejarah dunia. Kita tentu tak mau bernasib seperti Yugoslavia, Uni Soviet dan Cekoslovakia yang sekarang tinggal menjadi puing sejarah karena gagal memaknai entitas persatuan bangsa. Bangsa ini tidak ditentukan dari warna kulit, bahasa dan agama yang sama. Tetapi seperti kata seorang Indonesianis AS, Ben Anderson, bangsa adalah sebuah komunitas imajiner, dan di dalamnya diperlukan kesatuan persepsi yang sama mengenai visi, dan misi bangsa, serta bukan didasarkan persamaan primordial yang rapuh. Bangsa Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang tidak mudah baik dari
internal maupun eksternal. Dari faktor internal seperti terorisme, kondisi perekonomian yang masih stagnan, korupsi dan musibah bencana alam yang terus mendera. Kondisi internal ini mengharuskan bangsa Indonesia tahan banting dan mampu bangun dari setiap masalah. Sedangkan faktor eksternal seperti faktor geopolitik internasional dengan terciptanya berbagai blok perdagangan, kerjasama regional, implementasi perdagangan bebas dan perang menghadapi terorisme membuat Indonesia menghadapi pilihan: apakah harus menjadi bidak dalam percaturan dunia internasional atau menempati posisi strategis yang menentukan. *
ilustrasi: dewi
bangsa juga harus duduk bersama, meninggalkan jubah kepentingan, dan membicarakan masalah masa depan Bangsa Indonesia! Caranya bisa bermacam-macam, mulai dari mengintegrasikan seluruh kegiatan komunikasi lembaga negara, hingga kampanye nasional "Bangga Sebagai Bangsa Indonesia". Bahkan kalau perlu, dihidupkan kembali rencana pembangunan jangka panjang atau jangka pendek. Pastinya, semuanya harus direncanakan secara matang dan strategis. Masalah bangsa memang bukan masalah sederhana, namun tidak akan ada perubahan kalau tidak ada permulaan. Tugas untuk mengawali inilah yang diemban oleh pemerintah yang sudah diberikan mandat oleh rakyat. Semoga secercah harapan itu tidak pernah meredup.*
foto:istimewa
kesempatan! Selain itu, tidak adanya rasa percaya diri pada anak bangsa. Kita tumbuh dengan budaya selalu meninggikan manusia lain. Kita tumbuh dengan anggapan bule itu lebih pintar. Kita lebih bangga dengan nama negara luar. Itu masalahnya, tidak hormat dengan negara ini. Rasa bangga, rasa hormat, rasa cinta semuanya omong kosong. Kampanye-kampanye yang tidak ada hasilnya. Orang indonesia itu pintar. Ingat Bugis! Ingat Jawa! Siapa yang bisa menundukkan Khu Bilai Khan? Orang Jawa!!!! satu kekurangan kita, yaitu berusaha menyenangkan
foto:istimewa
Lioni Beatrix (26) Wartawan Sampai detik ini, gue masih percaya sama potensi orang-orang Indonesia. Mereka pintar dan gue percaya suatu saat nanti, negara ini bisa jadi negara adikuasa seperti Amerika. Satu contoh adalah carding dan hackers, Indonesia masih menjadi negara yang ditakuti oleh negara-negara lain dalam hal ini. Memang ini adalah hal negatif, namun sebuah tanda bahwa anak muda Indonesia punya potensi dan tentu saja pintar mencari celah. Sesulit apapun sebuah teknologi, kita pasti bisa menguasainya. Hanya saja karena kita tidak pernah diberi
Tito Edi Wibowo (24) Analis Komunikasi PT Madah Paranpara Rancang
6
Bayu Indarta (24) Mahasiswa
Coba anda perhatikan, beberapa waktu ini semakin banyak kendaraan yang dihiasi bendera merah putih. Tak peduli, motor butut tahun 70-an, sampai sedan mercy keluaran baru, beragam bentuk bendera merahputih melekat di kendaraan. Si empunya seakan tidak mau ketinggalan untuk menunjukkan bahwa dirinya merasa bangga sebagai bagian dari republik ini dan memiliki hak untuk merayakan HUT Republik Indonesia Saya merasa tersentuh melihatnya. Semua itu seperti menunjukkan, bahwa siapapun mereka, dari golongan apapun, masih memiliki kecintaan dan harapan atas Republik Indonesia ini. Rasanya nasionalisme itu masih ada. Menurut saya, seharusnya momen 17 Agustus ini menjadi titik kebangkitan nasional. Rakyat harus digiring untuk memahami bahwa tanah air mereka, merah-putih yang dibanggakan, sedang sakit! Para pimpinan
Citra Indah Lestari (24) Media Relations Sampoerna Foundation
foto:istimewa
61 tahun sudah negeri ini berdiri. Sebuah perjalanan panjang anak negeri yang penuh lika-liku perjuangan. Beruntai tawa dan air mata yang silihberganti. Walau begitu kita harus terus menatap maju. Hari ini adalah sebuah tonggak menuju harapan, membangun peradaban Indonesia yang baru. Mari, anak bangsa. Masih ada potensi di bumi pertiwi ini.
foto:istimewa
Potensi Indonesia Masih Ada!
Arti kemerdekaan bagi saya adalah semua orang di Indonesia bebas mengekspresikan dan mengamalkan pikiran dan pengetahuannya bagi kemajuan pembangunan. Untuk itu, kita memerlukan pikiran dan pengetahuan yang cukup untuk diekspresikan. Dengan kata lain, pendidikan kita harus maju. Perlu solusi kreatif dan inovatif untuk memerdekakan Indonesia dari situasi pendidikan yang memprihatinkan. Tidak saja dari pemerintah, tetapi dari semua pihak; pemerintah, swasta dan individu. Jika setiap orang mau menginvestasikan uang dan pikirannya untuk pendidikan, pasti Indonesia akan bergerak maju lebih cepat. Tidak usah muluk-muluk, cukup dengan menyisihkan Rp 30.000 sebulan untuk membiayai uang sekolah satu anak usia SD atau membantu sebuah yayasan tuna netra menerjemahkan buku-buku sekolah ke dalam tulisan Braille. Atau bagi sektor swasta, mungkin menyisihkan sekian persen profitnya untuk pendidikan guru. Sekali lagi, setiap rupiah dan setiap detik yang kita sisihkan untuk pendidikan di Indonesia, bukanlah sekedar amal, tetapi sebuah investasi jangka panjang untuk kemerdekaan dan pembangunan negeri ini. Edisi Khusus Merah-Putih /Agustus 2006
KOMUNIKA
Benarkah Rasa Kebangsaan Mulai Pudar? dan mengesampingkan nilai-nilai fundamental. Tetapi, katanya, arus informasi global tidak mungkin dibendung secara total, karena itu penanaman rasa percaya diri sebagai bangsa yang beridentitas ketimuran tetap perlu dilakukan agar hidup tidak terombang-ambing. Pakar politik lulusan Universitas Cornell, Daniel Dhakidae, juga berpendapat bahwa rasa nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia menurun dibanding satu dasawarsa lalu dan justru saat ini timbul gejala etnonasionalisme. Faktor utama yang berpengaruh pada etnonasionalisme adalah keintiman dan kemudahan berkomunikasi. Dari komunikasi antar personal ini kemudian terbentuk komunitas etnis yang memiliki pandangan sama, sedarah dan senasib serta dari satu garis keturunan, katanya. Sementara Dra Yusmainar, seorang pejabat di Kantor Infokom dan Wasbang Prop. Riau di Pekanbaru mengeluh, “saya heran penduduk kota ini disuruh pasang bendera Merah Putih saja, susahnya bukan main.” Pasang bendera yang berkaitan dengan Peringatan Hari Proklamasi menurut dia, hanya diminta setahun sekali. “Ini kan ulang tahun kemerdekaan bangsa kita. Ulang tahun anak saja, hebohnya bukan main, kenapa memperingati hari jadi negara sendiri malah malas-malasan.” Masih ada Yang menyedihkan lagi, menurut Yusmainar, adalah jawaban sebagian penduduk ketika dalam kesempatan sebuah sosialisasi peraturan ditanya apakah mereka akan melakukan pembelaan atau berjuang seandainya negara ini dicaplok oleh negara lain yang lebih kuat dan berkuasa. “Ya, lari saja,” katanya mengutip jawaban kelompok penduduk kaya, sementara seba-
gian kaum tak berada juga memilih bersembunyi. "Tapi, tentu tidak semua warganegara bersikap demikian," ujarnya. Husni, misalnya, memberikan jawaban berbeda. “Saya akan berjuang membela Indonesia, agar tidak jatuh ke tangan penguasa asing. Bukankah bela negara merupakan kewajiban setiap warga negara.” Meski disinyalir rasa nasionalisme mulai memudar, tetapi sinyalemen itu tidak sepenuhnya benar. Latief, seorang mahasiswa yang sedang belajar di Norwich mengaku darahnya terasa berdesir kencang manakala dia bersama teman-temannya menyanyikan lagu “Halo-Halo Bandung”. Dia bersama sembilan temannya dan sejumlah pelajar Indonesia yang sedang menimba ilmu di beberapa kota di Inggris terus bernyanyi, mengibarkan bendera merah putih dengan kebanggaan dan rasa nasionalisme yang luar biasa saat memberikan semangat kepada para pebulutangkis Indonesia yang tengah berlaga di National Indoor Arena (NIA) di Birmingham. Ketika Luluk dan Alven tunduk pada pemain Denmark, begitu juga ganda campuran Nova Widiyanto dan Liliyana Natsir kalah dari lawannya, “bendera merah putih kami lipat sambil ke luar dari NIA dengan teriakan tercekat di tenggorokan.” “Tetapi,” kata Latief, “kami tidak menyesal karena setidaknya bisa sedikit membangkitkan rasa nasionalisme tanpa harus mengangkat senjata.” Menurut Husni untuk mengembalikan rasa nasionalisme di kalangan bangsa terutama kaum muda, seluruh warga harus menyadari bahwa meski secara politik Indonesia sudah merdeka, tetapi secara ekonomi belum.
“Karena itu kita harus berjuang bersamasama untuk merebut kemerdekaan di bidang ekonomi yang bisa membawa bangsa kepada kemakmuran, sehingga tingkat kehidupan rakyat lebih sejahtera," ujarnya. Selain itu, katanya, generasi muda harus dirangsang dengan kegiatan-kegiatan yang menciptakan keunggulan-keunggulan misalnya diperbanyak lomba ilmiah yang disamping akan dapat mengasah daya fikir juga menumbuhkan rasa bangga sebagai orang Indonesia. Apakah keinginan generasi muda dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) untuk menjadi tenaga-tenaga sukarelawan yang dikirim ke daerah konflik Lebanon, merupakan salah satu pertanda bahwa rasa nasionalisme di kalangan pemuda masih cukup kental? Analoginya adalah, membela bangsa dan negara orang lain yang sedang berada dalam konflik bersenjata saja mereka mau, apalagi jika diminta untuk membela negara dan bangsa sendiri. Tentunya kita percaya, sangat percaya, bahwa rasa nasionalisme itu masih ada. (illa)
foto: myth
K
eheningan di ruang tunggu A3 bandara Sukarno Hatta, Jakarta, pagi itu mendadak terusik, ketika lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang dari sebuah telepon genggam milik seorang pria paruh baya. Sekelompok atlet yang tampaknya baru saja mengikuti lomba di ibukota dan mau pulang ke Pekanbaru, sejenak terpana, lalu mereka tertawa dan kemudian salah satu diantaranya berbisik pada temannya, “Lah, ring tone-nya lagu Indonesia Raya.” Bisa jadi si pemuda terheran-heran, karena ring tone lazimnya lebih sering diisi dengan lagu-lagu metal dari negeri seberang, pop, dangdut bahkan marhaban dan jarang sekali mendendangkan mars perjuangan apalagi lagu kebangsaan. Tetapi pria bertubuh tegap tadi, agaknya cukup cinta pada lagu Indonesia Raya meski belakangan ini lagu kebangsaan tersebut hanya terdengar pada pembukaan siaran stasiun televisi swasta, upacara bendera dan penghormatan bagi atlet yang menjadi juara di gelanggang internasional. Adakah ini pertanda bahwa rasa kebangsaan atau nasionalisme mulai luntur dari dada bangsa Indonesia terutama generasi mudanya, seperti yang dikhawatirkan oleh tokohtokoh tua? "Wajar jika kecemasan seperti itu ada di kalangan kaum tua," kata M Husni, mahasiswa semester delapan Institut Pertanian Bogor, "karena memang banyak kawula muda yang lupa akan budaya nasional dan begitu terlena oleh budaya asing, sehingga lupa dengan kepribadian sendiri." Fenomena seperti ini menurut pengamat sosial dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Dr Gandung Ismanto menunjukkan betapa kuatnya arus informasi global yang cenderung hanya terpusat pada tren gaya hidup
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Dr Yuke Adhiati Sejarahwan dan Desainer
Menakar Nasionalisme Kaum Muda
foto: didit
Padahal itu di Jakarta, daerah yang sangat disorot telah kehilangan nasionalisme.
Bagaimana pendapat anda tentang pendapat yang mengatakan bahwa generasi muda bangsa telah kehilangan rasa nasionalismenya? Menurut saya, sejauh ini sebagian besar masih punya rasa nasionalisme dan mereka tahu persis bahwa negara ini didirikan dengan susah payah. Buktinya ? Saya mengajar estetika Barat dan estetika Timur. Saya sebutkan estetika Barat seperti ini dan Timur seperti ini. Saya katakan Indonesia termasuk estetika Timur dan salah satunya adalah karya Soekarno. Di selasela mengajar saya sering ngetes mereka, ini karya siapa, bagaimana orang ini berkarya untuk Indonesia. Dan mereka bisa jawab. Edisi Khusus Merah-Putih / Agustus 2006
Apakah sebatas teori yang mereka tahu? Mereka terapkan dalam desain. Saya minta mereka aplikasikan dalam karya mereka. Jika mereka sebagai desainer, dipilih untuk mempresentasikan Indonesia dalam desain, apa yang mereka tampilkan. Ternyata mereka mampu meng-eksplore dan meng-expose etnik-etnik Indonesia yang beragam itu. Hasilnya pun cukup membanggakan. Saya pikir nasionalisme itu terwakili dari hasilnya. Itu kan expose diri, tidak mungkin tercipta kalau tidak ter-install masuk ke dalam. Hasil kontemplasi yang keluar. Tidak mungkin ada orang yang pura-pura cinta Indonesia kalau dia tidak cinta. Itu terekspresi dengan jujur. Mereka mampu mengambil ikon-ikon Indonesia untuk kebanggaan dirinya dan mewakili negaranya. Dia masih ingat bahwa Indonesia adalah tempatnya. Lantas mengapa ada anggapan seperti itu? Cara menanyakannya itu seperti apa. Karena konsep nasionalisme itu terlalu luas sehingga mereka tidak mampu menjawabnya. Ini nasionalisme mana yang dimaksud.
Saya pikir harus spesifik dalam masalah apa. Desain, arsitektur, atau apa. Kalau spesifik, tidak hanya teori yang mereka bisa jawab, hasil juga bisa mereka buktikan. Kemudian hal lain adalah media. Media itu kan kalau menayangkan sesuatu yang bersifat keriaan akan di blow-up. Yang ditampilkan anak muda dan dunia hedonis yang mahal dan rentan terhadap hal negatif. Tapi siapa yang bisa masuk, hanya sebagian kecil saja. Imajinasi memang akhirnya berkembang ke sana. Mereka tidak melihat yang lainnya.
perubahan akan cepat terjadi.
Apakah masih ada kepedulian mereka terhadap Indonesia? Lihat saja mahasiswa Indonesia yang di luar negeri. Mereka selalu mengambil topiktopik tentang Indonesia, mencari tahu apa yang terjadi di Indonesia. Masih ada kepedulian mereka.
Menurut Anda, bagaimana figur anak muda ideal? Punya etiket sopan santun. Smart, beribadah, perilaku sosial yang konstruktif. Hanya dengan itu bisa memutus mata rantai masa lalu yang memprihatinkan itu.
Bagaimana menumbuhkan semangat nasionalisme? Metode penyampaiannya harus simpatik dan menarik. Dibutuhkan vokal-vokal yang punya basis simpatik dan bisa komperehensif dan menyelami. Ngomong sama anak muda harus ada entertainmentnya, sama orang tua harus santun. Kalau semua ini dilakukan, akan berbeda hasil akhirnya. Bahkan jika akumulatif,
Kebanyakan anak muda tengah disorot nasionalismenya. Tidak punya panutan? Mereka punya panutan pada bidangbidang spesifik yang mereka senangi. Mudah-mudahan figur itu layak untuk diteladani. Agar bisa memberi alternatif, kita tonjolkan figur-figur bagus tersebut dengan ekspose dengan media. Bukukan biografi anak muda yang sukses.
Bagaimana pandangan Anda tentang Indonesia saat ini? Indonesia saat ini sedang prihatin. Tapi bukan berarti tidak bisa lewat. Kalau masih ada yang berani menyuarakan nasionalisme, menggali budaya-budaya kita. Tandanya masih ada kepedulian dan sifat positif itu bisa tertular. Apalagi jika menyampaikannya dengan simpatik dan menarik. *** (dan)
7
"Marilah kita tetap tegar, percaya diri, dan bekerja lebih keras lagi untuk mencapai cita-cita kita. Saatnya telah tiba, untuk kita lebih bersatu, bangkit dan melangkah maju. Di depan kita, tersedia banyak kesempatan dan peluang, yang harus kita jemput dan dapatkan..." (Cuplikan Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 Agustus 2006)
Foto: Leo, Fik, Edw
8
Edisi Khusus Merah-Pu
rah-Putih /Agustus 2006
9
KOMUNIKA
Kibar Sang Saka di Bumi Aceh
G
ema Shalawat Badar berkumandang seolah menggiring perhatian kerumunan manusia yang berkumpul di Blang Padang Banda Aceh. Kemudian peringatan detik-detik proklamasi pun berlangsung dengan khidmat dan sederhana. Peringatan HUT Ke-61 RI kali ini merupakan peringatan kedua pasca penandatanganan MoU Helsinki. Di beberapa wilayah di Aceh dan Sabang, upacara peringatan berlangsung dengan damai tanpa insiden berarti. Suasana Kota Banda Aceh menyongsong HUT Ke-61 RI tampak begitu semarak. Sejumlah ruas jalan telah dihiasi dengan bendera Merah Putih, begitu juga tempat pergelaran upacara 17-an yang berlangsung di Lapangan Blang Padang. Usai upacara peringatan, beberapa sudut gampong tampak berlangsung meriah. Di Kabupaten Bireuen, seperti dipantau KomunikA sebagian besar warga tak lagi merasa was-was terhadap kemungkinan munculnya berbagai insiden seperti tahuntahun sebelumnya. Bahkan hingga malam hari di sejumlah kecamatan dalam Kabupaten Bireuen, masyarakat masih larut dengan berbagai agenda memeriahkan HUT RI.
Selain menggelar upacara, peringatan tujuh belasan di Aceh juga dilaksanakan berbagai perlombaan, mulai dari panjat pinang sampai menabuh rapa-i (rebana). Aneka Lomba Masyarakat Kota Sabang setelah upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI tahun ini berkumpul di Taman Ria. Mereka menyaksikan berbagai lomba seperti menangkap anak ayam, balap karung hingga panjat pinang yang digelar oleh kelompok pemuda setempat. "Lomba ini kita khususkan bagi anak-anak kecil, agar perayaan ini lebih meriah," ujar Khusnul, ketua panitia lomba. Dan anak-anak pun sangat antusias mengikuti lomba disaksikan para orang tua yang juga ada turut meramaikan taman di sebelah Tugu Sabang Merauke itu. Desa Meunasah Manyang Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar juga tak ketinggalan merayakan HUT RI ke-61. Selain panjat pinang, juga digelar lomba makan kerupuk, membawa kelereng dengan sendok, memasukkan tiang bendera ke dalam botol dan pertandingan voli. Masyarakat desa setempat sangat antusias mengikuti lomba, terlebih saat lomba panjat pinang. Suara teriakan dan tepukan warga membuat peserta lomba bersemangat untuk mengambil hadiahnya. Marzuki Abdi, ketua pemuda Desa Meunasah Manyang yang juga ketua panitia mengatakan, kegiatan lomba yang ada berhadiah total senilai Rp3 juta, yang berasal dari sumbangan warga dan pengusaha di desa itu. Sementara itu di kawasan sepanjang bantaran Krueng Daroy dipenuhi warga yang menyaksikan lomba tinju bantal. Lomba ini mensyaratkan pesertanya memukul lawan diatas sebatang pohon pinang yang dipasang di tengah-tengah sungai itu. Peserta
dinyatakan kalah apabila terjatuh ke sungai.
Laju-laju Jalo Gerak jalan dan gelar seni juga memyemarakkan peringatan HUT RI tahun ini di Meulaboh. Seperti, tahun lalu, peringatan kali ini juga dimeriahkan dengan pawai obor. Sementara itu di Aceh Jaya, daerah yang mengalami kerusakan cukup parah akibat tsunami akhir 2004 lalu juga meriah dengan pawai becak keliling Kota Calang sehari sebelum peringatan detik-detik proklamasi. Ada yang khas di Meureuda dan Meurah Dua, Pidie, yakni lomba perahu yang dilaksanakan setelah upacara peringatan proklamasi. masyarakat setempat menyebutnya sebagai Laju-laju Jalo. "Sekalipun tahun ini hanya diikuti 6 perahu dari 9 perahu yang direncanakan namun tetap meriah," ujar Zakaria, panitia lomba ini. Memang kemeriahan ini juga ditambah dengan hadirnya puluhan pasang mata yang menyaksikan peserta beradu cepat mengayuh perahu sepanjang 150 meter sungai. "Kalah atau menang itu belakangan. Yang penting itu ikut memeriahkan," cetus Syakban, salah seorang peserta lomba.
menginginkan apa yang telah terjadi sebelum MoU tidak lagi terjadi di masa sekarang, masa lalu tinggal berlalu dan masa sekarang fokus utama adalah pembangunan. "Berikan semua kesempatan kepada warga desa merayakan HUT-RI yang sudah di ambang pintu sepuas hatinya. Kedamaian seperti ini cukup lama didambakan masyarakat Aceh, lebih lagi bagi petani yang sempat tak dapat ke ladang melakukan aktivitas pertanian. Akibat dari konflik panjang itu roda-roda perekonomian macet dan membuat masyarakat daerah makin menderita, namun dengan terwujudnya kedamaian, kini perekonomian semakin pulih," pinta Erwin Syafitri. (fik)
Berlangsung Lancar Sementara itu di Lhokseumawe, Komandan Korem 011/Lilawangsa Kolonel Inf Mohd Erwin Syafitri jauh hari sebelumnya telah mengimbau semua pihak untuk memberikan keleluasaan kepada semua lapisan rakyat untuk memperingati HUT ke-61 RI tahun 2006. Menurutnya, peringatan HUT RI kali ini adalah yang kedua kalinya setelah penandatanganan MoU Helsinki. Danrem yakin tahun ini lebih semarak disambut warga dibandingkan dengan tahun lalu. Dan ini tak lepas dari terajutnya perdamaian. Danrem
foto : mthd
Merah Putih yang berkibar di hampir seluruh pelosok Nanggroe Aceh Darussalam seolah memupus batas pemisah antar penduduk. Tak peduli dari suku apa atau dari wilayah mana, kini tak ada batas pemisah antar setiap warga yang ada di Aceh. Merah putih menyatukan setiap elemen masyarakat menjadi satu bangsa Indonesia. Damai telah menemukan bentuk nyata di Aceh.
Rapa-i Daboih di Hari Kemerdekaan
foto : mthd
D
10
i tengah lingkaran manusia itu, berdiri sosok gempal yang mengangkat tangan tinggi-tinggi, sejurus kemudian terdengarlah teriakan melengking yang diikuti dengan suara tabuhan rapai secara serentak, yang dilanjutkan dengan zikee (salam selamat datang). Perlahan sang lelaki gempal tadi bergerak memperagakan jurus silat sederhana. Tak lama ia mengeluarkan rencong dari balik bajunya dan mulai membacok tangannya. Ajaib tidak keluar darah, tubuh lelaki tadi seolah kebal senjata. Pada saat saat pukulan rapai dimulai cepat, lelaki berusia baya tersebut mulai beraksi mempertontonkan keberaniannya dengan menggunakan senjata tajam. Tak jarang sebagian penonton menahan nafas menyaksikan sang laki-laki tersebut mengiris lidah atau mengasah ketajaman rencong di tubuhnya. Rapa-i Daboih atau biasa dikenal dengan debus, sebuah pertunjukan bercanda dengan maut ini digelar warga Lam Glumpang, Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh malam menjelang peringatan 17 Agustus tahun ini. Bukan sebagai ekspresi kekerasan atau unjuk kekuatan, penampilan Rapa-i Daboih, titik utamanya adalah pada asah kemahiran spritual. Menurut Tgk Rusli Abdullah Kali (Syeh) grup Rapai Tambon Kemala Kecamatan Dewantara, di jaman dulu kesenian Rapa-i yang bernuansa Islami merupakan sarana dakwah dalam mengembangkan agama Islam. "Rapa-i juga sebagai piasan rakyat (hiburan rakyat) yang biasanya digelar setelah panen padi di sawah usai," tegas Rusli. Sambil menabuh rapa-i para penabuh mengalunkan syair yang bernafaskan Islam menyampaikan rasa syukur atas karunia Allah terhadap keberhasilan panen padi yang diperoleh. Sementara jaman terus bergulir, piasan rapa-i selain digelar sebagai sarana dakwah, piasan rakyat. Karena itu dalam pertunjukan malam sekitar pukul 9 itu, banyak warga sekitar bahkan para relawan
kemanusiaan yang bertugas di Aceh menyempatkan diri melihat pertunjukan ketangkasan yang cukup menegangkan dan mendebarkan ini. Ungkapan Syukur "Biasanya Rapa-i Daboih digelar ketika ada hajatan. Kali ini juga digelar untuk menyambut peringatan 17an besok," ujar Samsul (27 th), warga Lam Gleumpang. Gelar Rapa-i Daboih saat ini memang dilakukan juga pada hari-hari besar nasional seperti peringatan HUT Kemerdekaan RI. "Syairnya juga disesuaikan dengan acara, mengisahkan kembali sejarah perjuangan pahlawan pejuang agar semangat pahlawan pejuang di masa silam, seperti pahlawan nasional Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan lain-lain dapat diwarisi oleh para generasi penerusnya," jelas Rusli Abdullah. Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-61 tahun ini di Aceh memang sangat istimewa bagi sebagian besar rakyat Aceh lantaran dilaksanakan dalam suasana damai. Tak berlebihan jika gelar Rapa-i Daboih juga mengiringi malam jelang 17 Agustus 206 lalu. Pasalnya, untuk pertama kalinya rakyat Aceh benarbenar terbebas dari rasa takut sejak tercapainya kesepakatan antara pihak RI dan GAM di Helsinski, tahun lalu. Setelah setahun berjalan, kekhawatiran banyak kalangan akan masa depan perdamaian di Aceh pupus sudah. Malik Mahmud, salah satu mantan petinggi GAM yang lama bermukim di Eropa menyatakan bahwa perdamaian di Aceh sudah merata. "Di berbagai pelosok Aceh tak ada lagi ketakutan. Jadi ada harapan untuk membangun Aceh ke depan," cetus Malik dalam acara peringatan setahun Perdamaian Aceh di Pantai Ulee Lheuee. Malik juga mengakui secara terbuka bahwa terciptanya perdamaian di Aceh hanya bisa dicapai dengan kesungguhan dan kerja keras pemerintah Indonesia. (f)
Edisi Khusus Merah-Putih /Agustus 2006
KOMUNIKA
Wajah-wajah khusuk itu melafalkan ayat-ayat suci dengan khidmat. Timbre suara yang tinggi rendah tak teratur, tak membuat lantunan ayat suci itu kehilangan kesakralannya. Justru dalam warna suara yang tak sama, bulu kuduk meremang, merinding, hingga lafal terakhir perlahan menghilang dari indera pendengaran.
S
uasana di atas bukan gambaran pengajian akbar ataupun istighotsah yang menghadirkan kyai ternama, namun gambaran malam renungan menyambut peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 61 di desa Panjangjiwo, Kec Pundong, Bantul, Rabu malam (16/8). "Jangan menyerah dan tenggelam dalam duka. Kita harus bangkit. Apa yang kita alami, bencana ini, adalah ujian dari Yang Maha Kuasa. Karena itu, mari kita jadikan HUT RI ke 61 ini sebagai momentum untuk membangun kembali Bantul tercinta ini," kata Purwanto, tokoh masyarakat Panjangjiwo yang menyampaikan sambutan. Semua yang hadir malam itu larut dalam suasana kedukaan yang mendalam. Beberapa orang tampak menyeka air mata dengan ujung lengan kemeja. Mereka adalah warga yang kehilangan anggota keluarga saat gempa melanda wilayah Bantul dan sekitarnya, akhir Mei 2006 lalu. Kendati tajuk renungan malam itu adalah memperingati HUT RI, namun--tak bisa dipungkiri--pembicaraan tentang keprihatinan warga pasca terjadinya gempalah yang mendominasi suasana. Tak heran pekik "merdeka" yang diteriakkan berkali-kali oleh Kepala Dusun Panjangjiwo kurang mendapatkan sambutan gegap-gempita dari hadirin. "Bukan tak cinta RI, tapi kami sedang
prihatin, sehingga pekik merdekanya kurang greget. Ya maklum saja, ini adalah peringatan HUT RI yang paling surem (suram--Red) bagi warga Bantul," kata Sugito, warga Panjangjiwo, yang ditemui KomunikA setelah acara renungan. Pada bencana gempa lalu, ia kehilangan anak perempuannya. Seperti kebanyakan warga Bantul lainnya, Gito mengharapkan agar peringatan HUT RI kali ini dilaksanakan secara sederhana saja. "Tidak perlu ada pesta-pestaan karena kita sedang prihatin, cukup tahlilan atau berdoa saja untuk mengenang para pahlawan dan mereka yang wafat saat musibah gempa kemarin," ujar bapak tiga anak ini. Kondisi prihatin ini jauh hari sebelumnya memang telah diprediksi bakal terjadi oleh Kepala Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi (BPPI) Yogyakarta, S Arifianto SE. "Kita semua harus memaklumi jika peringatan HUT RI di Bantul tahun ini agak kurang semarak, karena kondisi saudara-saudara kita di Bantul sedang dalam kesulitan yang amat sangat. Jangankan menggelar acara yang meriah untuk memperingati HUT RI, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja mereka kesulitan," ungkapnya. Suasana prihatin jualah yang membuat suasana di Kabupaten Bantul--terutama di daerah episentrum gempa--tampak ademayem saja. Tidak tampak umbul-umbul warna-warni menghiasi tepi-tepi jalan secara mencolok. Tak ada warga mengecat gapura atau pagar dengan warna cerah seperti Agustus tahun lalu. Pun tidak semua warga memasang bendera merah putih di halaman rumah. "Bendera saya hilang saat gempa, Mas. Mau beli lagi belum sempat," kilah M Yunus, penjual es yang membuka warung di depan SMP N 3 Jetis, Bantul. Namun ada juga satu-dua warga yang tinggal di tenda-tenda pengungsian memasang bendera merah putih, kendati dengan tiang alakadarnya. "Tujuhbelasan ya harus pasang bendera. Itu kan untuk menghormati Republik Indonesia," kata Mbah Hartoprawiro, warga dusun Klegen, Panjangrejo, Pundong, Bantul, yang baru saja memasang bendera merah putih kecil dengan tiang dari kayu bekas reng rumahnya.
foto: leo
Pekik Merdeka di Tengah Keprihatinan
Masih ada Tawa di Plered “Ayo terus! Naik terus! Ambil benderanya! Ambil hadiahnya!� teriak Fauzan, si pembawa acara, melalui mikrofon. Ratusan warga yang tumplek-blek di lapangan Ketangga, Kelurahan Wonokromo, Kec Plered Kab Bantul, tertawa tergelak-gelak melihat Bagong, Sukarto, Repot, Jamin dan Wadan-pemanjat pinang--satu-persatu melorot dari tiang licin berlabur oli itu dengan sekujur tubuh cemang-cemong hitam-legam penuh jelaga.
H
ari itu, tepat 17 Agustus 2006, untuk sejenak warga Kelurahan Wonokromo melupakan duka yang membalut mereka pasca gempa bumi dahsyat tiga bulan lalu. Mereka larut dalam kegembiraan lomba panjat pinang yang sudah menjadi "tradisi" dan selalu diselenggarakan untuk menyambut HUT RI itu. "Kami bersyukur semangat kemerdekaan itu masih ada. Kendati kami sendiri masih dalam kesulitan, namun kami tak ingin melupakan detik-detik yang sangat bersejarah bagi bangsa dan negeri ini," tutur Eko Budi Jatmiko, Ketua Panitia Lomba Panjat Pinang HUT Kemerdekaan RI ke 61, Kelurahan Wonokromo. Menurut Eko, lomba panjat pinang selain untuk memeriahkan HUT RI juga untuk menghibur warga yang pada saat-saat pasca gempa seperti ini sangat butuh hiburan. "Kami tidak ingin warga terus-menerus terlarut dalam kesedihan, karena itu kami berinisiatif menggelar acara yang murah-meriah. Alternatif yang paling tepat ya panjat pinang ini. Syukur, banyak warga yang mendukung dan berpartisipasi," ujarnya. Hadiah yang diperebutkan memang tak banyak, seluruhnya hanya bernilai Rp 500 ribu. Tapi yang patut diacungi jempol, semuanya merupakan hasil urunan (iuran-Red) warga setempat. Dana tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk hadiah, mulai baju batik, kaos, sepatu, bahan pangan, hingga barang elektronik. "Bahkan ada warga yang menyumbangkan tiga ekor ayam jago untuk tambahan hadiah bagi pemenang I, II dan III," imbuh Eko gembira. Dan di siang yang terik setelah upacara bendera, lima grup yang masing-masing beranggotakan lima orang itu saling beradu cepat memanjat tiang licin berlabur oli untuk memperebutkan uang Rp 500 ribu plus tiga ekor ayam jago. Siapa yang menang tampaknya memang tidak terlalu penting. "Yang penting seluruh warga bisa tertawa riang-gembira. Dengan bergembira, semangat untuk tetap hidup akan tetap terjaga meski kena musibah seberat apapun," kata Bagong, salah seorang pemanjat. g/mnf/leo.
foto: leo
Kibaran bendera merah putih juga tampak di beberapa rumah yang sedang dibangun kembali oleh pemiliknya. Bahkan ada juga yang memasang bendera di puncak kerangka rumah. "Biar kelihatan dari jauh, Mas," kata Misnadi, warga Jetis yang punya ide nyeleneh itu. "Biar orang tahu, bahwa meskipun kami sedang dilanda musibah, kami masih punya semangat untuk membangun negeri ini," imbuh lelaki yang mengaku belum mendapatkan bantuan rehabilitasi rumah dari pemerintah ini.
Memperingati hari kemerdekaan di tenda pengungsian. Edisi Khusus Merah-Putih / Agustus 2006
Perlombaan Sepi Dibandingkan dengan Agustus tahun lalu, jumlah acara perlombaan menjelang HUT Kemerdekaan di Bantul tahun ini memang menurun drastis. Mengapa? "Hampir seluruh tanah lapang di Bantul digunakan untuk mendirikan tenda pengungsi, sehingga sulit mencari tempat untuk menggelar lomba. Di samping itu, kami juga mengikuti anjuran pemerintah daerah agar menyelenggarakan peringatan HUT RI ke 61 secara sederhana," terang Baiq Sri Herawati, Guru SMPN 3 Jetis, Bantul. Menurut Baiq, sekolah tempatnya mengajar hanya menyelenggarakan upacara bendera saja. Itu karena fokus seluruh guru dan murid lebih ditekankan pada kelancaran
proses belajar-mengajar. "Sekolah kami hancur total, sehingga proses belajar-mengajar terpaksa diadakan di tenda. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya. Jadi ya wajar lah kalau kami tak bisa mengadakan lombalomba atau perayaan," kata ibu yang sudah mengajar di SMP 3 selama 12 tahun ini. Pendapat berbeda dikemukakan Suraja, Guru SD Kanisius Ganjuran, Bantul. Menurut Suraja, perlombaan sepi karena warga masih sibuk merehabilitasi rumah masing-masing pasca bencana. "Mereka memprioritaskan keuangan untuk hal-hal yang lebih penting, seperti membangun rumah atau kebutuhan sehari-hari," katanya. Pengamatan KomunikA, memang hanya beberapa tempat di Bantul yang menyambut HUT RI dengan aneka lomba, misalnya di Cebongan Sewon, di Gowokan Sabdodadi, Wonokromo Plered (Baca Box), dan beberapa desa lainnya. Akan tetapi perayaan memang hanya sebagian kecil dari keseluruhan makna peringatan hari kemerdekaan. Ada makna lebih besar yang sangat penting artinya, yakni semangat untuk menghayati dan mengisi kemerdekaan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Untuk yang terakhir ini, kita belajar banyak dari kegigihan dan ketabahan warga Bantul! g/mnf/leo.
11
KOMUNIKA * Tiktik Dewi Sartika * Hokky Situngkir
Sains Kompleksitas Sosial
untuk Penajaman Perumusan Kebijakan Publik
ilustrasi: dewi
bawahnya. Akibat dari perilaku sistem yang seperti ini, kita tak dapat menerapkan kebijakan 5 RT (secara agregat) menjadi kebijakan satu RW. Analogi ini dapat diperluas pada berbagai macam sistem sosial, dan di setiap level masyarakat yang lebih tinggi akan memiliki perilaku makro yang secara tak linier berbeda dari kondisi mikronya. Pendekatan atas permasalahan sosial selama ini cenderung dilakukan secara monodisiplin atau berbagai disiplin ilmu secara terpisah. Masalah kemiskinan seringkali dilihat sebagai masalah ekonomi semata yang tak berkaitan dengan permasalahan lain misalnya faktor budaya, bahkan sosial politik. Masalah tata kota sering juga dipandang terpisah dari dinamika sosial masyarakat sekitarnya seolah-olah ia hanya Sistem sosial sekecil apapun berbicara mengenai okupasi lahan. lingkupnya merupakan sistem yang Masalah informasi tidak akan selesai dengan hanya kompleks dan senantiasa berubah. memasukkan internet ke kantorSatu hal dalam sistem sosial dapat kantor kelurahan. Begitu pula menjadi penyebab sekaligus akibat masalah kesehatan seringkali dari faktor lain yang saling bertalimengabaikan kultur dan norma talian satu sama lain. Ini merupakan sosial yang berlaku. Padahal, peng-kotak-kotak-an masalah bidang kajian interdisiplin sains sosial secara terbatas akan kompleksitas. Bagaimana bidang baru membatasi kita sendiri dalam ini membantu meng-optimum-kan mencari solusi. Harus disadari kebijakan pusat dan daerah? bahwa dalam sistem sosial setiap masalah selalu memiliki banyak sisi, seperti masalah kesehatan terkait ara analisis yang linier terhadap sistem dengan ekonomi, budaya dan religiositas sosial dapat berdampak fatal tatkala masyarakat setempat, dan lain-lain. Kita perlu berkaitan dengan implementasi ke- perangkat analitik sosial yang lebih bijakan ke dalam sistem sosial yang kita tanga- komprehensif, dan karena itu, lebih realistis. ni. Dalam sistem sosial yang terdiri dari individu Sains kompleksitas sosial sebagai manusia yang merdeka dan berbudaya, perangkat analisis lintas-displin ilmu merupakan tentu adalah keliru jika dianggap bahwa perkembangan mutakhir dalam ilmu permasalahan satu RW (rukun warga) akan pengetahuan dunia. Dikatakan sains karena sama dengan masalah 5 RT (rukun tetangga) permasalahan sosial yang kompleks didekati menjadi satu. Terdapat ke-brojol-an masalah dengan perangkat sains yang sesuai (baik di tingkatan RW yang seringkali tidak dalam matematika, fisika, biologi, dan lainberkaitan langsung dengan kondisi RT-RT di
C
12
epidemi yang umum cenderung menjadikan upaya pencarian vaksin atas virus yang bersangkutan. Pendekatan interdisiplin melengkapi hal ini melalui simulasi komputasional dengan otomata selular untuk melihat dinamika epideminya. Kedua hal ini tentu penting, dan yang kedua menjadi sangat vital ketika kita berbicara tentang virus yang sulit dicari obat atau vaksinnya dan ketika epidemi telah sangat merebak. Dalam memakai perangkat kompleksitas, setiap sistem sosial diperlakukan berbeda, hal ini dikarenakan karakter sistem sosial di setiap tempat memiliki kekhasan struktur dan lokalitas budaya. Karena itu perangkat yang dipakai untuk masalah yang sama di 'kampung' yang berbeda tidaklah harus sama. Seperti dalam kasus pemilu Brasil yang memakai model Sznajd, di Indonesia, analisis serupa dilakukan untuk memodelkan pemilu tahun 1999 dan 2004 dengan pendekatan Algoritma Otomata Selular, dengan berbagai aturan yang mengadaptasi berbagai prinsip tertentu dalam model magnetisasi dalam ilmu fisika dan prinsip-prinsip evolusioner dalam ilmu biologi. Hal ini dilakukan melalui banyak pertimbangan mulai dari karakter multi-partai hingga aspek budaya dalam masyarakat Indonesia. Dari sini kita telah melihat secara sepintas bahwa terdapat berbagai potensi besar dalam penelitian di bidang kompleksitas sosial yang dapat memberikan manfaat dalam penajaman dan optimisasi penyusunan kebijakan untuk berbagai domain masyarakat. Secara spesifik, dalam tantangan otonomi daerah dan sistem pemerintahan pusat yang senantiasa dinamis saat ini, pendekatan sains kompleksitas sosial dapat menjadi alternatif perangkat analisis untuk mendekati berbagai masalah sosial yang kompleks. Perangkat yang demikian diharapkan akan lebih bermanfaat dalam kerangka menyusun kebijakan pemerintahan daerah maupun pusat yang aspiratif, demokratis, efektif dan efisien demi Indonesia yang lebih baik.
Penulis adalah peneliti pada Surya Research International (SRI), Jakarta.
! pendidikan demokrasi. Karena memang sebelum akhir-akhir ini; proses-proses demokrasi hampir tidak ada dalam kehidupan kita bersama, kilah sang dosen. Betapa tidak, harus diakui negara ini masih belajar berdemokrasi. Ya, kita masih dalam tahap belajar, lantaran selama ini sekalipun kita berteriak demokrasi, toh masih banyak perilaku kita yang tidak mencerminkan sikapsikap demokrasi. Lihatlah peristiwa kekerasan yang mengiringi pemilihan kepala daerah beberapa waktu lalu; atau baku-hantam yang terjadi di kalangan wakil rakyat di sebuah kota sekitar akhir tahun 2004 lalu. Banyak orang mengaku berjiwa demokrasi, tetapi tidak pernah mau mendengar opini, apalagi kritisi. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri pula bangsa Indonesia telah dapat menjalani
pemilihan presiden dan berbagai pemilihan kepala daerah yang berlangsung dengan baik. Sebuah praktek demokrasi yang terpuji. Pilihan kepala daerah bisa dijalankan secara langsung tanpa melalui proses perwakilan. Dengan demikian, rakyat berkesempatan dalam proses pengambilan keputusan bersama melalui pemilihan umum. Walhasil, jika ada beberapa praktek demokrasi masih belum berjalan sempurna, mungkin banyak pihak bisa memakluminya. Tetapi ke depan tentunya tidak hanya cukup dengan permakluman, semua elemen masyarakat perlu pula memberdayakan potensi yang ada untuk mengembangkan demokrasi di segala bidang kehidupan. Bahkan tidak berlebihan jika, demokrasi mulai dikenalkan kepada anak-anak sejak dini, foto: serambiaceh
I
ndonesia itu dimana? Apakah Indonesia itu negara demokrasi? Dua pertanyaan dari mahasiswa itu pernah diajukan kepada seorang guru saya, yang kebetulan pernah menjadi dosen tamu di Tulane University, New Orleans, USA. Ceritanya, sampai pulang ke Indonesia, pertanyaan itu selalu mengusik pikiran sang guru. Untuk pertanyaan tentang letak Indonesia, dengan mudah saya menjawab dengan menunjukkan peta dunia, kata sang guru. Meski harus diakui, akan lebih mudah menujukkan Indonesia ketika menggiringnya dari peta pulau Bali. Memang, ternyata orang Amerika kebanyakan lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Tetapi, terhadap pertanyaan kedua, cerita sang dosen dalam suatu kesempatan, ia cukup kerepotan dalam menjawabnya. Mungkin bisa jadi pengalaman sang dosen tadi bukan satu-satunya yang terjadi. Kalaupun harus dijawab, bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi, pasti akan muncul pertanyaan lanjutan yang --mungkin- juga sulit untuk dijawab. Namun, dosen saya punya cara cerdas untuk menjawab pertanyaan kedua dari mahasiswa di Amerika tadi. Ia mengatakan bahwa di Indonesia tengah berlangsung
lain) dan berpegang pada prinsip tahapan metode ilmiah. Secara praktis, kita seringkali melihat bahwa dalam mencari kebijakan yang sesuai, berbagai kebijakan dicobakan secara langsung kepada masyarakat (seperti pada kasus kenaikan harga BBM awal tahun 2004). Itu mungkin yang menyebabkan seringkali berbagai kebijakan yang sudah berjalan dalam beberapa waktu kemudian dicabut. Terdapat resiko dan harga yang sangat mahal ketika masyarakat menjadi obyek observasi dari "eksperimen" kebijakan. Dalam hal ini, pendekatan lintas-disiplin sains kompleksitas sosial menyediakan sistem masyarakat buatan dalam komputer yang dapat menjadi tempat simulasi (eksperimen) kebijakan yang akan diterapkan. Penelitian yang telaten untuk hal ini akan sangat membantu menghasilkan kebijakan yang mantap, solid, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Harus diakui, pendekatan yang lebih komprehensif memiliki harga yang mahal, yakni cara analisis menjadi lebih sulit. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Banyak sudah permasalahan sosial di berbagai belahan dunia telah didekati dengan sains kompleksitas sosial. Ambil contoh, pemilu di Brasil memakai analisis Model Sznajd (yang mengadaptasi model magnet di Fisika) untuk memperkirakan distribusi perolehan suara bagi partai-partai peserta pemilu. Perangkat yang sama juga digunakan untuk analisis pasar duopoli (persaingan dua perusahaan dominan). Fisikawan teoretis Marcel Ausloos di Belgia memakai teori kristal kimia anorganik dan fraktal (matematika) serta karakter putaran magnetik fisika untuk memodelkan bunga bank dan sedikit banyak berhasil memprediksi adanya jatuhan harga dunia tahun 1997. Perangkat kompleksitas sosial lain yang juga sangat menarik adalah analisis dengan otomata selular. Beberapa peneliti di Cekoslowakia telah menggunakan perangkat ini dalam memodelkan bentuk tata kota Praha yakni Republik Ceko di masa depan. Pendekatan yang mirip dengan ini telah digunakan juga secara teoritik-eksploratif di Indonesia untuk melihat dinamika persebaran flu burung (Situngkir, 2004). Perspektif
agar kelak jika telah dewasa mereka bisa menjadi pemimpin ataupun rakyat yang tahu makna demokrasi. Di masa lalu, kita hanya dikenalkan demokrasi semu di sekolah-sekolah. Dalam kasus pilihan ketua kelas di Sekolah Dasar; pak atau ibu guru lazimnya cukup menunjuk anak yang tubuhnya paling besar untuk menjadi ketua kelas. Jadi intinya, di masa lalu jarang sekali pelajaran apalagi praktek demokrasi yang sejati. Kini yang bisa diharapkan adalah generasi ke depan agar bisa lebih baik mengurus negeri ini. Mengajarkan demokrasi di tahap dasar melalui pilihan ketua kelas adalah contoh yang bisa dipraktekkan di lingkungan sekolah. Atau di lingkungan keluarga, bisa dimulai dengan mengajak anak-anak secara bergiliran mengurus kebersihan rumah. Setiap anggota keluarga berkesempatan belajar bertanggungjawab terhadap kebersihan bersama. Mungkin pengalaman sang dosen itu sekadar cermin bahwa proses belajar tidak akan pernah usai. Dan bisa jadi setiap pertanyaan tidak memerlukan jawaban, namun hanya butuh bukti yang bisa disaksikan bersama. (tanti) Edisi Khusus Merah-Putih /Agustus 2006
KOMUNIKA
Meneguhkan Cinta Tanah Air
K
ekuatan sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari semangat nasionalisme yang ada. Meski saat ini nasionalisme banyak dipertanyakan dalam arus besar globalisasi. Banyak pemikir bertanya apakah nasionalisme masih relevan sekarang ini? Bukankah kita negara yang sudah merdeka dan berdaulat penuh? Belum Mati Nasionalisme mungkin belum mati dan ia masih cukup relevan. Ia akan tetap dibutuhkan untuk meneguhkan identitas kebangsaan dan kenegaraan. Sekalipun tatanan dunia telah berubah banyak, dan globalisasi adalah hal yang tak terelakkan; nasionalisme akan senantiasa harus hadir sebagai upaya penghargaan atas pluralitas dan perlindungan identitas kebangsaan. Presiden George W Bush, semisal, baik dalam tutur katanya maupun dalam simbolismenya jelas seorang nasionalis sejati. Setiap hari dia menyematkan pin bendera Amerika Serikat di dadanya, hal yang juga dilakukan oleh para menterinya. Lebih dari itu, Bush menganjurkan supaya setiap orang Amerika setiap harinya menyematkan bendera Amerika di dadanya, dan hampir setiap department store menjualnya. Upaya ini mengacu pada pengalaman di tahun 1942, semua majalah di Amerika dianjurkan untuk memasang bendera Amerika pada cover-nya. Kata-katanya, “July 1942 United we stand. In July 1942, America’s magazine publishers joined together to inspire the nation by featuring the American flag on their covers." Macan Asia? Beberapa dekade yang lalu, Indonesia pernah hampir mendapat julukan sebagai macan Asia, karena memiliki potensi sangat besar seperti sumber daya alam yang melimpah,
jumlah penduduk terbesar nomor empat di dunia serta kemampuan diplomasi yang tinggi. Namun dalam perjalanannya keadaan bangsa Indonesia justru mengarah kepada kondisi yang sebaliknya bila dihadapkan dengan perkembangan negara-negara di kawasan Asia Tenggara khususnya dan Asia pada umumnya. Keanekaragaman Suku, Agama, Ras dan Adat Istiadat yang dulu terjalin kokoh kuat dalam bingkai kebangsaan Indonesia, kini telah bergeser cenderung longgar dan sangat rentan terhadap masuknya berbagai pengaruh global yang terkadang kurang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di Indonesia. Bagaimanapun perubahan ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Pergaulan global memang mesti dihadapi dan digeluti agar bangsa kita tidak tertinggal jauh dan dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Meski demikian, bekal jati diri bangsa merupakan sebuah keharusan agar sebuah bangsa lebih dihargai dari pergaulan yang ada. Bangkitkan Komitmen Kebangsaan Menjadi bangsa yang besar dalam artian yang sebenarnya merupakan tugas kita bersama. Namun menuju hal tersebut hanya bisa dilakuan ketika ada komitmen yang sama untuk bersatu. Bukan hanya dalam konteks teritorial negara, rasa kebangsaan, tapi harus diwujudkan pula dalam praktek politik dan ketatanegaraan kita. Melalui persatuan potensi bangsa yang ada akan dapat dengan mudah dikelola dan dikembangkan agar memberi makna bagi bangsa dan negara. Globalisasi yang identik dengan pasar terbuka (open market) dan semangat persaingan (competition) membuat bangsa Indonesia yang masih dalam transisi demokrasi seolah kehilangan jati dirinya. Perubahan yang ber-
langsung dengan cepat dalam batas-batas tertentu meredupkan ide “nation building” yang dicita-citakan melalui Pancasila. Seiring dengan perubahan geopolitis dan perkembangan teknologi informasi, bangsa ini menghadapi beragam tantangan seperti ancaman dekadensi nilai-nilai luhur bangsa seperti wawasan nusantara. Sehingga banyak pihak yang mengambil kesimpulan bahwa di era globalisasi sekarang ini, nilai-nilai luhur bangsa seperti Wawasan Nusantara tersebut tidak dapat membawa Indonesia keluar dari keterpurukan. Lambat laun, bangsa Indonesia semakin kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab. Keramahtamahan yang menjadi ciri kepribadian yang khas Indonesia tidak lagi bisa dibanggakan. Di era globalisasi masalah disorientasi bangsa Indonesia menjadi isu krusial yang harus dicari jalan keluarnya. Masyarakat Indonesia baru yang modern perlu digagas dalam kerangka bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural yang terdiri dari bebagai macam suku bangsa, bahasa dan agama serta kepercayaan dan keyakinan yang beragam. Karena itu diperlukan komitmen yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap warga negara, ditetapkan melalui proses politik yang konstitusional dan dilaksanakan dengan konsekuensi hukum yang tinggi. Konsepsi untuk memantapkan wawasan kebangsaan, secara garis besar meliputi tiga dimensi pembinaan, yakni rasa kebangsaan, paham kebangsaan dan semangat kebangsaan. Pluralisme Tugas bersama saat ini adalah mengembangkan nasionalisme atas dasar pluralisme yang konstruktif. Bagi Gubernur Lemhanas, Muladi, pendekatan constructive pluralism, atau bersifat demokratis dan mengutamakan
sinergi positif tersebut adalah penerapan format desentralisasi asimetrik atau otonomi khusus.” Di samping format otonomi daerah yang bersifat umum yang tidak hanya didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan efektivitas seperti DKI Jakarta, tetapi juga atas dasar sistem pemerintah lokal seperti UU No.21 tentang Otsus Papua dan UU Tentang Pemerintah Aceh,” tegas Muladi dalam suatu kesempatan. Asumsi demikian mungkin relevan atas dasar pasal 18B UUD 1945 yang menya-takan negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintah daerah yang ber-sifat khusus atau bersifat Istimewa. “Bahkan negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat umum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI,” cetus Muladi. Pembentukan bangsa bercirikan pluralistik yang mempunyai satu bahasa nasional seperti di Indonesia dengan toleransi beragama sulit dicari duanya. Sebut saja keinginan Quebec di Kanada untuk memisahkan diri karena kesatuan bahasa mereka yang lain dengan bagian-bagian lain dari Kanada, yaitu Perancis versus Inggris. Tentunya hal ini tantangan yang berat bagi seluruh bangsa Indonesia. Karena itu perlu dirumuskan sebuah nasionalisme baru. Nasionalisme yang mengenali dengan tajam interaksi antarbangsa zaman sekarang dan mampu mengantisipasi perkembangannya. Nasionalisme yang tetap terbuka dan ikut bermain di dalam percaturan dan interaksi antar bangsa di dunia. Agar nantinya bangsa ini bisa memilih dan menggariskan nasibnya sendiri. Menjadi bangsa yang diremehkan ataukah menjadi bangsa yang disegani. Modalnya hanya satu: semangat kebersamaan dalam nasionalisme. (f)
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Warna-Warni Kemerdekaan di Daerah Peringatan HUT RI di Riau Berlangsung Khidmat Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-61 di sejumlah daerah di Riau berlangsung aman dan kidmat. Di Pekanbaru, upacara detik-detik Proklamasi digelar di halaman kantor Gubernur Riau. Prosesi acara berlangsung sekitar pukul 10.00 WIB dan berakhir satu jam kemudian. Bertindak sebagai inspektur upacara Gubernur Riau HM Rusli Zainal, SE. komandan upacara Letnan Kolonel Afrizal Hendra dari Pangkalan TNI AU Pekanbaru. Sementara di Bengkalis, acara detik-detik Proklamasi diadakan di di Lapangan Tugu. Sebagai inspektur upacara Bupati Bengkalis Syamsurizal, yang membacakan teks proklamasi yang dilaksanakan hanya beberapa detik usai peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI ke-61 itu yang ditandai dengan bunyi sirine itu dibacakan Ketua DPRD Riza Pahlefi. Selanjutnya, usai upacara yang mendapat sambutan antusias segenap komponen masyarakat ditandai dengan pengibaran bendera merah putih. (www.riau.go.id)
DI YOGYAKARTA
Malam Tirakatan HUT Proklamasi Malam Tirakatan dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi sama halnya dengan sebuah perenungan spiritual, memusatkan kekuatan batin, agar dapat menunaikan cita-cita dan semangat Proklamasi 17 Agustus dengan Istiqomah, konsisten, konsekuen, dan berkelanjutan. “Dalam budaya Jawa, seperti halnya Edisi Khusus Merah-Putih / Agustus 2006
menunaikan patrap, melalui adheping tekad dan cloroting batin, suradira jayaningrat, lebur dening pangastuti, sebagai laku yang ditempuh menuju pangajab-sih kawilujengan langgeng,” kata Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pasa Malam Tirakatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke 61 Tingkat Provinsi, si Bangsal Kepatihan, Rabu pekan lalu. Diakui Gubernur, berbeda dengan tahuntahun sebelumnya, peringatan kali ini diliputi oleh suasana keprihatinan yang mendalam. Butir air mata mengalir saat mendengar kisah duka-lara dari warga korban. “Untuk itu di malam tirakatan ini mengajak kita semua hendaknya untuk bersyukur dan melakukan perenungan serta berbenah diri, bangkit dan berkarya,” tambahnya. (www.pemda-diy.go.id)
WONOGIRI, JAWA TENGAH
Festival Umbul-Umbul Pemerintah Kabupaten Wonogiri menyelenggarakan Festival Umbul-umbul pada tanggal 20 Agustus 2006 pukul 08.00 pagi. Festival cukup meriah dan diikuti oleh berbagai unsur masyarakat baik organisasi pemuda dan kemasyarakatan ataupun lembaga keagamaan yang memperebutkan hadiah total Rp5 juta. Dalam acara ini, setiap peserta bebas mengkspresikan kreasi masing-masing dalam bentuk umbul-umbul dengan nuansa merah putih. Sebagai ekspresi rasa cinta tanah air dan kebangsaan, setiap bentuk kreasi seperti mobil hias, dan lain-lain yang diarak dari Stadion Pringgodani Wonokarto menuju Lapangan Sukorejo disebelah selatan kantor Polres Wonogiri. Festival juga dipadukan dengan display drumband berbagai tingkat sekolah se-Kabupaten Wonogiri dan juga barongsay. (www.jawatengah.go.id)
SURABAYA, JAWA TIMUR
Pawai Nusantara 2006
Selain itu untuk memeriahkan Hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 61, Pemerintah Kota Surabaya mengadakan acara Pawai Nusantara, yang menampilkan berbagai kebudayaan dari seluruh provinsi di Indonesia. "Peserta yang ikut ambil bagian mencapai 1000 orang, dengan jumlah mobil hias 60 buah. Rombongan pawai antara lain terdiri dari barisan pembawa bendera Merah Putih dan Garuda Pancasila, barisan Genderang Suling AAL, mobil hias kebudayaan provinsi-provinsi yang ada di Indonesia dan berbagai perusahaan," kata Kabag Humas dan Protokol Kota Surabaya Drs Hari Tjahjono MM. Masih dalam rangkaian peringatan kemerdekaan Indonesia, diselenggarakan pula Pagelaran Wayang Kolabo- Salah satu kelompok peserta gerak jalan mengenakan kostum a la rasi dengan lakon Anoman Karna Bu- film horor "Scream". mi, dengan dalang Enthus pada hari yang sama, 20 Agustus 2006 pukul 19.00 Berbagai formasi atau variasi gerakan dihingga 21 Agustus 2006 pukul 00.30 WIB, peragakan oleh para peserta gerak jalan di bertempat di Tugu Pahlawan Surabaya. "Ke- samping kerapihan dalam baris-berbaris. Yang giatan ini diselenggarakan bertujuan untuk menarik, beberapa peserta tampil menghibur memperkenalkan berbagai kebudayaan dan dengan pakaian yang unik dan gaya yang kesenian kepada warga kota Surabaya," ujar lucu seperti yang diperagakan peserta dari Hari Tjahjono Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Kukar
foto:kukar.com
RIAU
Acara ini dibuka oleh Asisten III Pemkab Kukar AR Ruznie Oms, tak kurang dari 211 peserta baik putra maupun putri turut ambil bagian dalam lomba gerak jalan yang menempuh rute sekitar 5 kilometer ini. Untuk kategori SLTA diikuti 89 peserta, sedangkan kelompok umum diikuti 122 peserta mulai dari para pegawai dinas/instansi di lingkungan Pemkab Kukar, organisasi kepemudaan, para remaja hingga ibu-ibu.
(www.surabaya.go.id)
KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR
Gerak Jalan Unik
Dalam rangka memeriahkan peringatatan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI) , Panitia Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke61 di Kutai Kartanegara (Kukar) selama 2 hari berturut-turut menggelar lomba gerak jalan.
dengan senapan kayunya, atau penampilan peserta putra Kelompok Seni SMP YPK 1 Tenggarong yang berbusana wanita dengan mengenakan daster, pupur basah (bedak dingin-red), kacamata hitam dan topi. Malah ada pula peserta yang tampil dengan busana menyeramkan a la film horror "Scream". Tak ayal aksi mereka membuat sebagian bocah balita yang menonton gerak jalan menjadi ketakutan. (www.kutaiKartanegara.com)
13
KOMUNIKA
Morotai, Potensi Pulau Perbatasan & Terluar Indonesia foto: lhbk
Kabupaten Halmahera Utara dengan ibu kota Tobelo terletak di bagian Utara pulau Halmahera yang secara astronomis berada pada 10,57' 20,0' LU dan 1280,17' 1280,18' BT. Luas wilayah 24.983,32 Km2 yang meliputi wilayah laut 78% (19.536,02 Km2) dan wilayah darat 22% (5.447,30 Km2).
D
foto:hbk
aerah ini kaya akan berbagai sumber daya alam yang belum diolah seperti minyak dan gas bumi, emas, batu bara, nikel, pasir besi dan mangan. Di Kabupaten Halmahera Utara terdapat 76 pulau kecil yang 19 diantaranya belum mempunyai nama. Pulau-pulau kecil disini memiliki berbagai keindahan khas masing-masing seperti hamparan pasir putih, keindahan taman laut, keanekaragaman flora dan fauna serta peninggalan situs-situs sejarah perang dunia kedua. Salah satu pulau yang namanya cukup terkenal di daerah ini adalah Pulau Morotai. Pulau Morotai yang terletak di ujung Kabupaten Halmahera Utara dengan luas wilayah 2.456 Km2 memiliki letak yang sangat strategis. Dengan batas-batas wilayah antara lain bagian Utara dengan Samudera
Pasifik, bagian Timur dengan Laut Halmahera, bagian Selatan dengan Selat Morotai dan bagian Barat dengan Laut Sulawesi. Morotai terdiri dari tiga kecamatan yaitu Morotai Selatan, Morotai Utara dan Morotai Selatan Barat. yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Morotai dikelilingi beberapa pulau kecil dengan hamparan pasir putih dan terumbu
karang yang indah. Selain itu sebagai salah satu pulau yang menjadi ajang pertempuran antara pasukan sekutu pimpinan Amerika dengan pasukan Jepang pada masa perang dunia kedua, maka di sini juga terdapat berbagai sisa-sisa peninggalan pada masa itu antara lain tujuh landasan pacu pesawat terbang (runway) , bangkai pesawat dan kapal perang, meriam serta goa-goa persembunyian. Beberapa pulau yang menarik di Morotai adalah Pulau Dodola, pulau ini jaraknya kurang lebih 5 mil dari kota Daruba, ibu kota Kecamatan Morotai Selatan. Untuk mencapai pulau ini dapat menggunakan speed boat atau long boat. Pulau ini dikelilingi oleh hamparan pasir putih yang menghubungkan antara Dodola kecil dan Dodola besar. Airnya jernih dan memiliki keindahan taman laut dengan berbagai jenis ikan. Selain Pulau Dodola ada juga Pulau ZumZum, pulau ini terletak di depan kota Daruba dengan jarak kurang lebih 3 mil yang juga dapat dicapai dengan speed boat atau long boat. Pulau Zum-Zum merupakan pulau kecil dengan panorama alam pantai yang berbatu. Di pulau inilah Jenderal Douglas Mc Arthur, pemimpin pasukan sekutu tinggal pada masa perang dunia kedua. Dari pulau ini juga sang Jenderal mengatur strategi perangnya melawan pasukan Jepang. Di Pulau Zum-Zum masih terdapat goa pusat komando dan tempat pendaratan kendaraan tempur amfibi. Di Morotai sendiri tepatnya 1 Km dari Desa Wawama Kecamatan Morotai Selatan, terdapat landasan pesawat terbang peninggalan Amerika dengan tujuh landas pacu (runway), landasan yang bernama Pitu Strep ini dapat didarati oleh berbagai jenis pesawat. Selain itu, tidak jauh dari landasan ini juga terdapat Goa Air Kaca yang merupakan tempat pemandian Jenderal Douglas Mc Arthur. Permasalahan & Upaya Pengelolaan Pulau Morotai sangat potensial untuk dikembangkan sebagai daerah industri pariwisata, maritim, perikanan serta pertambangan. Selain itu sebagai pulau perbatasan dan terluar Morotai juga memiliki tiga aspek geostrategis dalam menjaga kedaulatan NKRI
yang diakui oleh Mahkamah Internasional yaitu continous presence, effective occupation dan ecology preservation. Dengan jumlah penduduk 45.945 jiwa, permasalahan yang ada di Pulau Morotai di antaranya adalah infrastruktur seperti jalan sebagai sarana transportasi, jaringan telekomunikasi, pendidikan dan pemberdayaan nelayan serta masyarakat di wilayah pesisir. Berdasarkan data, dari infrastruktur jalan yang terdiri dari jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten sepanjang 272,59 Km, hanya 1 Km jalan dalam kondisi baik. Sisanya sepanjang 28,51 Km mengalami rusak sedang, 43 Km rusak ringan dan 200,18 Km rusak berat. Sementara jaringan sarana komunikasi dan telekomunikasi di Pulau Horotai hanya terdapat satu kantor pos dan satu kantor telekomunikasi. Sedangkan sarana dan prasarana pendidikan di Morotai terdapat 4 TK, 58 SD, 11 SMP serta 7 SMU dengan jumlah siswa SD 8.036 orang, SMP 1.205 orang dan SMU 353 orang. Jumlah guru di Morotai adalah 193 orang guru SD, 52 orang guru SMP dan 39 orang guru SMU. Beberapa waktu lalu telah diadakan acara dialog interaktif yang dilaksanakan di Pulau Morotai. Dialog dalam rangkaian acara "Nostalgic Tourism" ini merupakan acara yang diselenggarakan oleh RRI bekerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti TNI, Depkominfo, DKP dan Depbudpar serta didukung sepenuhnya oleh Pemda Maluku Utara. Paket acara ini berupa kunjungan ke Pulau Morotai untuk melihat berbagai obyek peninggalan sejarah perang dunia ke-2 karena pulau Morotai sangat potensial sebagai obyek wisata sejarah bahkan wisata nostalgia bagi turis yang berasal dari negara yang terlibat langsung dalam perang ter-
Dulu, Bung Karno pernah berkata, “Jas merah, jangan pernah lupakan sejarah”. Sebuah tautan kata yang berpesan pada anak bangsa untuk terus menggali dan belajar dari pengalaman yang telah lalu. Bagaimana tidak, di dalamnya terdapat rekaman perjalanan bangsa di masa lalu. Bercerita tentang kegemilangan dan cara berpikir founding fathers Indonesia dalam menyelesaikan masalah. Namun, kini tak banyak lagi yang paham dan mau mengikuti pesan bung Karno tersebut. Pelajaran sejarah tak lagi mengundang selera kebanyakan generasi muda Indonesia. Bahkan ironisnya, banyak yang beranggapan bahwa sejarah hanya pelajaran teori khas bangku sekolah yang dipelajari untuk mengejar angka di rapor. Lihat saja bagaimana representasi sejarah, yaitu museum, yang tak banyak diminati pengunjung. Fungsi
14
pembelajarannya beralih menjadi sekadar tempat rekreasi berharga murah. “Biasanya museum hanya ramai pada saat pameran. Hari-hari biasa paling 20-an orang,” ujar staf bagian tiket Museum Seni Rupa dan Keramik, Ina. Lain halnya di Museum Nasional Indonesia yang lebih akrab dengan sebutan Museum Gajah. Di tempat yang berada di Jalan Merdeka Barat itu jumlah pengunjung ratarata hanya 50 orang perhari. Dan melonjak menjadi 200-an orang saat musim liburan. “Padahal harga tiketnya murah, cuma Rp700 per orang,” kata Rusli, penjaga bagian tiket museum nasional yang sudah bekerja di tempat tersebut selama 24 tahun. Pada hari-hari biasa justru lebih banyak ditemukan wisatawan asing yang berkeliling museum dibanding wisatawan lokal. Salah seorang pengunjung museum nasional asal Hongkong, Kwee (26) justru telah menyiapkan sejumlah agenda untuk mengunjungi pelbagai museum di Jakarta. Di negaranya, masyarakat sangat antusias
foto: didit
Kita Memang Harus Belajar Sejarah (Lagi) untuk mendatangi museum. Selain karena adanya spesifikasi jenis museum, perawatan benda museum juga terus dilakukan. “Multi trip ticket. By one ticket you can go to every museum,” ucapnya. Museum Ubah Paradigma Telah akrab di telinga kita perihal fungsi museum yang hanya dianggap sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala belaka. Faktor pendidikan dan penelitian perlahan mulai dilupakan. “Sebenarnya museum dapat dimanfaatkan sebagai lembaga pendidikan non formal untuk mencerdaskan bangsa sekaligus membantu masyarakat untuk mencari dan menemukan kepribadian bangsanya sendiri,” jelas Direktur Museum Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Dra. Intan Mardiana, M.Hum saat membuka
sebut seperti Amerika, Jepang dan Australia. Acara ini antara lain di hadiri oleh Dirut RRI Parni Hadi, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Kapuspen TNI Laksda Moh Sunarto serta beberapa pejabat lain dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Komisi I DPR RI. Pada acara dialog interaktif yang dipancarkan secara langsung ke seluruh Indonesia tersebut telah ditandatangani pula kerjasama antara RRI dan Pemerintah Daerah setempat sehingga RRI dapat mengembangkan jaringannya sebagai upaya penyebaran dan pemerataan informasi bagi masyarakat. Sementara itu dalam hal telekomunikasi, Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil pada kesempatan yang sama juga mengatakan akan berusaha memberi prioritas untuk Maluku Utara dalam program pembangunan telekomunikasi perdesaan yang tengah direncanakan oleh pemerintah. "Pada tahun ini pemerintah sedang merencanakan pembangunan telekomunikasi perdesaan pada paling sedikit 7.000-8.000 desa akan tersambung dengan telepon," kata Sofyan. Selain itu, Menkominfo juga turut mengajak agar masyarakat setempat lebih kreatif sehingga berbagai permasalahan pembangunan dapat diatasi bersama. "Pemerintah berperan tetapi bukan pemerintah yang menentukan kemakmuran sebuah bangsa tetapi masyarakatnya," katanya. Akhirnya, mengutip Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada acara tersebut bahwa isu pembangunan Pulau Morotai sebagai pulau perbatasan mempunyai spektrum sangat luas sehingga perlu komitmen berbagai instansi baik pusat maupun daerah dengan memperhatikan aspek kelestarian. (hbk) Penataran Tenaga Teknis Permuseuman Tingkat Dasar beberapa waktu lalu. Untuk itu pihaknya terus gencar melakukan peningkatan kualitas SDM museum agar dapat memberikan penjelasan yang menarik kepada para pengunjung. Selain itu juga berupaya untuk menyesuaikan diri secara kompetitif dan profesional di era globalisasi seperti saat ini. Tak hanya SDM saja yang harus dibenahi. Setidaknya itulah yang dikatakan sejarawan yang juga desainer muda DR Yuke Adhiati. Ia mengatakan metode penyampaian dan pembelajaran sejarah, baik di museum maupun tempat lainnya-lah yang harus mendapat prioritas utama untuk diperbaiki. Saat ini, kata wanita solo yang mengangkat karya arsitektur Soekarno sebagai disertasi ini, banyak pengajar yang kurang atraktif dalam mengajar. Sehingga dampaknya pelajaran sejarah hanya dipahami sebagai teori belaka. “Sekarang kan ada active learning method. Selain itu pakai pendekatan juga. Bicara dengan anak muda dengan entertainment. Orang tua, sopan santun. Kalau begini hasilnya akan berbeda,” ucap Yuke. Ya, banyak yang harus dibenahi agar belajar sejarah tak hanya sebatas teori. Mungkin jika semua itu terwujud, kita harus belajar sejarah lagi. ***(dan) Edisi Khusus Merah-Putih /Agustus 2006
KOMUNIKA
Yang Menunggu dan Yang Gigih
T
Belum Banyak yang Direhabilitasi Tapi Gitoraharjo tidak sendiri, karena sebagian besar warga di pusat gempa seperti di Pundong dan Plered, juga belum merehabilitasi rumah mereka. Alasannya rata-rata sama, tidak ada biaya. Saat KomunikA memasuki wilayah Pundong dan Plered tepat di HUT RI ke 61, suasananya memang tak lagi centang-perenang seperti tiga bulan lalu setelah gempa dahsyat melanda wilayah ini. Kini, puing-puing rumah dan bangunan sudah dibersihkan. Bahan bangunan sisa rumah yang masih bisa
foto: leo
entu saja Gitoraharjo sedang berkelakar saat mengucapkan kalimat itu. Akan tetapi, guratgurat wajahnya tak bisa berbohong bahwa ia memang sedang menderita. Matanya yang keruh berkali-kali menatap bendera merah putih yang berkibar di tiang bambu di halaman rumahnya, kemudian beralih menatap tumpukan kayu, bambu, genting dan tumpukan batu-bata-bekas rumah tinggal yang belum bisa ia bangun kembali. Seperti kebanyakan para tetangganya di dusun Klegen Panjangrejo Pundong Bantul, Gitoraharjo sekeluarga terpaksa masih tinggal di tenda pengungsian. "Belum bisa mbangun rumah lagi, Mas. Uangnya nggak ada," ujarnya pelan. Tapi justru masalah tinggal di tenda itulah yang membuat Gito merasa menderita. Ruang tenda yang sempit membuat suasana menjadi tidak nyaman, penuh keterbatasan dan juga tidak sehat. "Dulu waktu masih ada hujan, semua yang ada di tenda basah kuyup. Sekarang agustusan kemarau, kalau siang di dalam tenda pa-nasnya bukan main. Tiap hari
sesudah jam 10.30 saya sekeluarga pasti ngungsi ke luar tenda dan berteduh di bawah pepohonan, tak tahan hawa panas yang menyengat," tuturnya. Ia mengaku sudah bosan tinggal di tenda, akan tetapi ketiadaan tempat tinggal membuatnya harus bertahan melawan panas dan hujan serta aneka penyakit yang datang mengancam. "Saya mengharapkan bantuan rehabilitasi perumahan dari pemerintah segera turun. Tanpa bantuan itu, berat bagi saya untuk mendirikan rumah lagi," urainya. Gempa tiga bulan lalu memang bukan saja meluluhlantakkan rumahnya, namun juga menghancurkan tempat usahanya. "Dulu saya punya warung kecil-kecilan, tapi sekarang sudah rata dengan tanah beserta seluruh isinya. Sekarang saya tak punya penghasilan tetap. Saya tinggal menunggu bantuan pemerintah. Itu satu-satunya harapan saya," imbuh Gito.
Yang gigih, membangun kembali rumah tanpa menunggu datangnya bantuan.
Kasongan Kembali Menggeliat Tiga bulan lalu, dua hari setelah gempa melanda Yogya dan Jateng, saya sempat berkunjung ke Kasongan Bantul. Saat itu suasananya seperti bekas medan pertempuran. Puing-puing rumah dan reruntuhan galeri berserakan, bercampur-baur dengan pecahan tembikar--kerajinan khas Kasongan--yang hancur berkeping diguncang gempa. Menurut laporan, saat itu sekitar 80 persen industri tembikar hancur. Saya membayangkan, pasti butuh waktu lama untuk membangun kembali Kasongan sampai pulih seperti sedia kala.
foto: leo
"Merdeka, Pak!" "Sampeyan (anda--Red) yang merdeka, kalau saya belum. Maksud saya... belum merdeka dari penderitaan dan kesengsaraan."
Belum ada dana untuk bangun rumah: Warga Pundong Bantul memasak di luar tenda. dipergunakan seperti batu-bata, genting, kayu, bambu, sudah ditumpuk rapi menurut jenisnya masing-masing. "Barangkali suatu waktu nanti masih bisa dipakai lagi untuk membangun rumah," kata Said Anwar, warga Pundong. Meskipun bahan bangunan sebagian sudah ada, tapi tanda-tanda warga akan membangun kembali rumah yang roboh tampaknya belum terlihat merata di seluruh wilayah. Ada satu-dua rumah yang sudah mulai direhabilitasi, sementara kebanyakan bekas pondasi masih dibiarkan memerah tak terjamah. "Kami masih menunggu bantuan yang dijanjikan pemerintah," kata Said. Mereka Yang Gigih Lain halnya dengan Suminto, lelaki setengah baya yang tinggal persis di tepi jalan Jetis Bantul. Saat yang lain menunggu, ia justru sibuk memasang potongan kayu kerangka rumahnya di bawah terik matahari yang menyengat, dibantu Mardi, kemenakannya. Ia mengaku, dalam membangun kembali rumahnya ia tidak menunggu-nunggu datangnya bantuan dari pemerintah. "Saya ingat petuah orangtua saya, ojo ngarep-arep endhoge si blorok. (jangan menunggu si blorok bertelur--pepatah Jawa yang artinya jangan menunggu pemberian yang belum jelas entah kapan datangnya-Red). Mumpung ada dana sedikit ya saya bangun saja. Soal nanti ada bantuan dari pemerintah ya terima kasih," tuturnya sambil
menyeka keringat yang mengucur di dahinya yang legam. Dari mana dapat dana? Sebulan setelah gempa menghancurkan rumahnya, ia mencoba berjualan bakso, lokasinya di tanah bekas rumahnya. "Alhamdulillah laku, Mas. Dari jualan bakso itulah saya menabung sedikit-sedikit sehingga bisa beli material untuk mbangun rumah ini," ungkapnya. Begitu pula dengan Karjo, warga Sabdodadi Bantul, yang rumahnya kini telah tegak berdiri. Ia juga berhasil membangun kembali rumahnya setelah membanting tulang menjadi kuli bangunan di Jakarta selama tiga bulan. "Saya tak bisa membiarkan keluarga keleleran (jadi gelandangan--Red) hanya karena bantuan belum datang. Mereka harus punya tempat berteduh secepatnya. Karena itu saya lari ke Jakarta, jadi kuli di Kebayoran Lama. Hasilnya ya yang saya tempati sekarang ini," katanya bangga sambil menunjuk rumah "baru"-nya yang berukuran 4 x 5 meter, berdinding anyaman bambu dan beratap genting. Rumah memang kebutuhan vital yang tidak tergantikan. Karena itu Karjo dengan sangat gigih mengupayakan agar rumahnya yang ambruk dapat segera berdiri kembali. Dan buahnya sudah terasa sekarang. Saat yang lain masih sabar menunggu dalam tenda yang sesak dan pengap, ia sudah bisa santai menikmati semilirnya angin kemarau di beranda rumahnya yang teduh. g/mnf/leo.
memperbaiki galeri, dan sebagian lagi untuk modal usaha," katanya. Pemilik galeri lainnya, Iskandar, menyatakan bahwa gempa Yogya telah membawa gairah baru bagi industri kerajinan terutama keramik terakota Kasongan. Ia bersama kawan-kawan seprofesi yang sebelumnya mengkonsentrasikan diri pada pasar dalam negeri, pasca gempa mulai mengembangkan sayap pemasaran ke luar negeri. "Harus diakui bahwa gempa bumi telah menyebabkan ratusan orang dari berbagai negara datang ke Yogya dan banyak di antara mereka singgah di Kasongan. Melalui merekalah cerita tentang produk kerajinan Kasongan makin tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan akhirnya order mengalir ke kami," ujar Iskandar. Jadi, benar kata orang bijak, bahwa di balik bencana selalu ada hikmahnya. g/mnf/leo.
Edisi Khusus Merah-Putih / Agustus 2006
foto: leo
N
amun dugaan saya ternyata meleset. Saat saya kembali berkunjung ke Kasongan tanggal 17 Agustus 2006, atau tiga bulan setelah gempa, mata saya terbelalak. Ternyata Kasongan sudah kembali rapi jali, cantik molek bak perawan yang baru selesai berdandan. Bekas-bekas gempa memang masih ada, namun suasana khas Kasongan dengan deretan hasil kerajinan yang terpajang indah di galeri-galeri pinggir jalan, tak beda dengan Kasongan yang dulu. Saat saya melongok ke salah satu galeri, ruangan yang ada sudah penuh dengan aneka suvenir baru. Di ruang samping, seorang ibu sedang sibuk memainkan kuas, mengecat pot berbahan dasar tanah terakota dengan warna-warna cerah. Sedangkan di ruang belakang, tiga karyawan laki-laki sedang mengepak guci tembikar berbagai ukuran dengan kardus dan kayu. "Mau dikirim ke Perancis," kata Widodo, pemilik galeri. Menurut pria yang sudah menggeluti bisnis kerajinan sejak sepuluh tahun lalu ini, pasca gempa beberapa galeri di Kasongan memang cukup "tertolong" dengan banyaknya order dari luar negeri. Ia sendiri mengaku tak terlalu paham, mengapa tiba-tiba banyak order dari luar. Yang jelas itu sangat membantu menghidupkan kembali usahanya yang bisa dikatakan sudah mati suri. "Hasil order dari luar negeri saya gunakan untuk
Perempuan Kasongan sedang mengecat pot keramik terakota.
15
foto: didit
Di tengah krisis multidimensi yang melanda saat ini, Indonesia belum mati. Harapan masih terbuka lebar melalui insan berprestasi bangsa.
B
eberapa waktu lalu sebuah email beredar di salah satu mailist pendidikan. Dari nama pengirimnya, tak asing di kalangan pendidik bangsa ini, Prof Yohanes Surya. Isi surat elektronik tersebut tentang kesan lelaki kelahiran 6 November 1943 ini saat mendampingi Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) pada Olimpiade Fisika Dunia ke-37 di Singapura. Dikisahkan, saat pembagian medali, duta besar Indonesia duduk bersama duta besar dari berbagai negara tetangga seperti Filipina dan Thailand. Ketika penghargaan honorable mention disebutkan, dubes negara asing bertanya, (kalau diterjemahkan) "Kok tidak ada siswa Indonesia?" Dubes Indonesia pun hanya tersenyum. Setelah itu peraih medali perunggu dipanggil satu-persatu. Dan peserta dari Filipina, Thailand, serta Kazakhtan pun maju ke podium. Lagi-lagi dubes negara tetangga bertanya perihal yang sama. Dan kembali dijawab pula dengan sesungging senyuman oleh dubes Indonesia. Kemudian ketika medali perak disebut, muncul seorang anak usia SMP dengan peci hitam sambil mengibarkan bendera kecil. Namanya pun mulai diumumkan, Muhammad Firmansyah Kasim dari Indonesia. Tak lama kemudian diumumkan penerima medali emas, empat anak dengan peci dan jas hitamnya maju ke podium. Satu persatu maju sambil mengibarkan bendera kecil berwarna merah putih. Dubes negara tetangga mulai tampak kebingungan,
mungkin berpikir, "Nggak salah nih‌". Tak hanya sampai di situ. Ketika diumumkan "The champion of the International Physics Olympiade XXXVII is‌‌. Jonathan Pradhana Mailoa". Semua orang Indonesia bersorak. Perlahan, penonton mulai berdiri, tepuk tangan menggema cukup lama. Hampir semua orang Indonesia yang hadir dalam upacara itu tak kuasa menahan air mata. Beberapa saat sebuah sms masuk, dari seorang profesor Belgia, Marc Deschamps, isinya: "Echo of Indonesian victory has reached Europe! Congratulations to the champions and their coach for these amazing successes! The future looks bright". Masa Depan Cerah Sebuah pengalaman yang sangat mengharukan. Di tengah banyak kritikan tajam dan ketidakpercayaan diri anak negeri, sebuah prestasi dunia kembali terukir mengharumkan nama bangsa. "Potensi kita luar biasa. Dari statistik, anak jenius di Indonesia itu 1 : 1000. Jika ada 220 juta penduduk Indonesia, maka ada 220 ribu generasi berpotensi yang ada di negeri ini," jelas Prof Yohanes. Ucapan lelaki peraih PhD dari universitas top Amerika Serikat, College of William and Mary di Virginia ini bukan semata pepesan kosong. Saat ini saja, putra terbaik Indonesia alumni TOFI, juga menjadi mahasiswa terbaik di pelbagai universitas top dunia. Sebuah pertanda bahwa generasi muda Indonesia punya potensi dan kesempatan untuk bersaing di dunia internasional. "Ini sebenarnya menjadi sebuah pertanyaan. Siswa terbaik kita, menjadi yang terbaik pula di negeri orang. Berarti kan sebenarnya kita bisa," ucap lelaki yang berada di balik keberangkatan puluhan anak muda Indonesia belajar ke berbagai universitas top di luar negeri ini menjelaskan. Tersebar di Seluruh Provinsi Untuk mendapatkan bibit-bibit potensial
yang siap mengharumkan nama bangsa, Yohanes melalui Lembaga Pengembangan Fisika Indonesia (LPFI) bersama pemerintah daerah terus mencari anak-anak dengan kemampuan di atas rata-rata. Hasilnya ternyata di luar dugaan. Siswa jenius ternyata tak hanya didominasi pulau Jawa saja, melainkan tersebar merata mulai dari Sumatra hingga Papua. Hasil yang meruntuhkan anggapan bahwa Papua adalah provinsi yang tertinggal dalam dunia pendidikan. Peran serta dan antusiasme pemerintah daerahlah yang dinilai Yohanes sebagai faktor pendukung terdeteksinya bibit potensial tersebut. Kini, menurut pria murah senyum ini, Pemda yang aktif mengundang LPFI untuk membuat pelatihan di daerahnya adalah Papua dan DKI Jakarta. Untuk itu, ia terus mengimbau agar seluruh pemerintah daerah terus aktif melakukan pelatihan, baik bagi para guru maupun siswa berpotensi. Pihaknya, kendati hanya berkekuatan 90 orang, siap melakukan pelatihan guru ke daerah-daerah di seluruh Indonesia. Selain menyebarkan ilmu, akses untuk merekrut siswa-siswa jenius di daerah untuk dilatih intensif dan disertakan dalam lomba fisika tingkat dunia pun menjadi terbuka lebar. "Pernah di Papua saya tarik seorang anak jenius yang kurang teroptimalkan. Saya tanya setengah tambah sepertiga berapa, spontan dijawab seperlima. Memang tampak aneh, tapi saya tahu dia pintar. Spontanitas," cerita Yohanes. Kelas Super di Tiap Daerah Saat ini upaya menggagas cara belajar fisika asyik, mudah dan menyenangkan terus dikembangkan. Berawal dengan di-trainingnya para guru di setiap daerah, dapat dilanjutkan dengan men-training siswa-siswanya. Dari sanalah penyeleksian siswa berbakat di tiap daerah dapat dilakukan. Baru kemudian
Men umb uhkan Nasionalisme Ang gota Menumb umbuhkan Angg "Kedatangan satu orang untuk negara seperti Amerika tidaklah berarti apa-apa. Akan tetapi kehilangan satu orang generasi terbaik bangsa adalah sebuah kehilangan besar bagi tanah air tercinta."
Itulah kata-kata yang selalu diucapkan oleh Prof Yohanes Surya, komandan TOFI, kepada siswa binaannya. Sebuah pelajaran tentang arti nasionalisme yang dipupuk tanpa teori khas bangku sekolahan. Akan tetapi melalui kebanggaan manjadi putra terbaik bangsa. Sejak awal seleksi, setiap anggota TOFI sudah diberi dua opsi jika mereka berhasil lulus nanti. Pertama, mereka diberi kebebasan seluas-luasnya untuk belajar di luar negeri. Asalkan serius mendalami ilmu sampai meraih doktor dan memperkuat posisi agar bisa mengundang siswa Indonesia untuk belajar di sana. Hanya saja, ada satu syaratnya, dilarang ganti kewarganegaraan. Bila sewaktu-waktu negara memanggil, siap kembali ke tanah air. "Makanya ketika beberapa waktu lalu ada media yang memberitakan ada alumni TOFI ganti kewargane-
TOFI
garaan, saya hanya tertawa. Tidak mungkin itu. Dan ternyata setelah diklarifikasi, memang tidak benar. Media itu akhirnya minta maaf," jelas Yohanes. Opsi kedua, jika mereka ingin kembali ke Indonesia, wajib hukumnya untuk membantu mempersiapkan kader bangsa di bidang ilmu pengetahuan melalui TOFI. Bersama memajukan Indonesia dari fisika. "Saya melihat pembentukan citra sebuah bangsa melalui intelektualitas itu penting. Hal itu bisa membuat kita dihargai dan diperhitungkan di dunia internasional, bukan cuma sekadar nasib TKI yang suram," ucap Yohanes. Nasionalisme TOFI yang dicetuskan Yohanes Surya terbukti sangat efektif. Saat ini saja, banyak alumninya yang siap kembali untuk membangun dunia ilmu pengetahuan Indonesia. Kebanyakan mereka telah meraih gelar doktor pada usia kurang dari 30 tahun. Putra bangsa terbaik itu siap kembali ke tanah air, bila negara membutuhkan.*** (dan)
Prof Yohanes Surya: Sebenarnya kita bisa!
dilanjutkan dengan pemusatan latihan di tingkat nasional. "Banyak terjadi siswanya justru lebih cerdas dari guru. Tapi memang gurunya tidak bisa disalahkan karena mungkin dia juga belum diajarkan dulunya. Kita coba bangun metode pengajaran bahwa sains itu asyik, mudah dan menyenangkan. Kita tingkatkan kualitas guru," jelas Yohanes. Tak hanya itu saja, ia juga berharap agar setiap daerah membuat kelas super bagi anak-anak berbakat. Dengan kurikulum yang tak biasa, kelas ini nantinya akan dipersiapkan untuk mencetak siswa-siswa unggul yang mampu bersaing di dunia internasional. "Tak usah banyakbanyak dulu. Coba 2030 anak berbakat, hasilnya sudah luar biasa," ujarnya semangat. Jika terus seperti ini, tak mustahil citacita seorang Yohanes Surya untuk meraih Hadiah Nobel pada 2020 bagi Indonesia akan terwujud. Negara ini penuh dengan potensi. Jangan takut, harapan masih terbentang lebar di hadapan kita. Menunggu kiprah anak bangsa di pentas dunia. Seperti kata Yohanes, a tribute to the nation (sebuah persembahan bagi negarared ) .*** (dan)