komunika 16 2007

Page 1


www.bipnewsroom.info/komunika email: komunika@bipnewsroom.info

Edisi 16/Tahun III/Agustus 2007

Editorial

desain: ahas-dwm foto: bf, gun, net

Merdeka Pepatah, ’siapa menguasai informasi, akan menguasai dunia’’ mungkin sudah menemukan pembenarannya saat ini. Betapa tidak, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini -yang dialami hampir semua negara dunia-- telah membuktikan: siapapun yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi akan menjadi pionir. Tak berlebihan jika kemudian banyak negara berlomba menjadi yang pertama dalam pengembangan dan pengaplikasian teknologi informasi dan komunikasi. Konsekuensinya, persaingan ini membuat negara-negara terbagi dalam tiga golongan besar. Pertama, negara dengan kekuatan invensi atau penemuan produk dan jasa teknologi. Kategori ini mengindikasikan adanya kemampuan untuk menemukan dan membuat produk serta varian baru dalam teknologi informasi dan komunikasi. Atau dengan kata lain negara yang menjadi pionir. Kedua, adalah negara yang mampu mengembangkan inovasi teknologi informasi dan komunikasi. Negara kategori ini memiliki ciri utama mampu mengembangkan sumber daya dan potensi teknologi informasi dan komunikasi yang ada dan memaksimalkan teknologi itu dalam persaingan yang terjadi.

Dan terakhir adalah negara yang sekadar menjadi pengikut atau bahkan menjadi "penonton" dalam kompetisi yang ada. Jika mampu mengadopsi dengan teknologi hanyalah sebatas sebagai pengguna saja, tanpa ada kemampuan mendayagunakan untuk menciptakan kondisi yang lebih baik. Bagaimana dengan Indonesia? Sejak tahun 1976, Indonesia telah meluncurkan satelit Palapa. Peristiwa itu tercatat dalam sejarah bahwa negara kita adalah negara ketiga di dunia yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik. Sebagai pionir di antara semua negara berkembang dalam membangun sistem telekomunikasi satelit, langkah tersebut kemudian dilanjutkan dengan mengembangkan sistem komunikasi satelit yang lebih canggih sejalan dengan perkembangan teknologi yang mutahir. Kebijakan ini bukan tanpa dasar, pasalnya negara Indonesia tergolong sebagai negara besar dengan luas wilayah teritorial hampir seluas benua Eropa. Penduduknya pun lebih dari 215 juta jiwa. Karena itu kelancaran komunikasi bukan saja membawa dampak bagi perkembangan ekonomi, tetapi juga membawa dampak yang luas pada rasa kesa-

tuan dan persatuan bangsa. Sejarah kemerdekaan kita pun diwarnai dengan faktor telekomunikasi. Peristiwa tunduknya Jepang kepada Sekutu dapat diketahui dan tersebar meluas ketika ada fasilitas telegram saat itu. Namun kenyataan saat ini mungkin berbicara lain. Dalam hal penguasaan teknologi, tentu kita tak bisa dipandang remeh. Banyak anak bangsa mampu unjuk gigi dan menghasilkan inovasi yang sedikit banyak mampu membuka mata dunia. Tetapi harus diakui, dalam banyak hal kita masih banyak tergantung pada teknologi yang dikembangkan negara-negara maju. Sebagaimana dinyatakan Menteri Komunikasi dan Informatika, bahwasannya kita belum benar-benar merdeka dari ketergantungan bangsa lain dalam hal penguasaan teknologi. Tetapi, merdeka dalam penguasaan teknologi bukanlah hal yang sulit diwujudkan. Saatnya akan tiba dan bangsa ini untuk bisa menguasai teknologi untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Hanya satu yang dibutuhkan: aktif untuk memberikan warna dan ikut serta aktif untuk menjadikan bangsa dan negara ini menjadi lebih baik di masa menda(redaksi) tang.

DATA DAN FAKTA Sasaran Indonesia untuk mewujudkan masyarakat informasi yang berbasis pengetahuan pada tahun 2025 dengan membangun TIK merupakan tantangan yang tidak ringan. Kita harus membangun jaringan komunikasi bagi sekitar 43 ribu desa di tanah air yang saat ini belum memiliki jaringan telekomunikasi tetap. Selain itu untuk 31.173 SMP dan SMA serta 2428 perguruan tinggi. Juga untuk 28.504 pusat - pusat kesehatan. Namun saya percaya, Insya Allah, dengan keyakinan, dengan kerja keras dan kerja cerdas, sasaran ini dapat kita capai. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan Peresmian Pembentukan Dewan TIK Nasional, Senin, 13 November 2006, di Istana Bogor, Jawa Barat.

Palapa Ring ini merupakan jaringan serat optik pita lebar yang dapat membawa data berkecepatan tinggi dan berkapasitas besar yang terdiri dari tujuh cincin serat optik meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian. Palapa Ring yang memiliki panjang keseluruhan sejumlah 30 ribu km ini diharapkan dapat menghubungkan 440 kabupaten di seluruh Indonesia. Palapa Ring akan menghubungkan 33 propinsi serta 40 kota/distrik. Panjang kabel bawah laut mencapai 35.280 km, sedangakan kabel in land mencapai 21.807 km. ***

Menteri Kominfo Mohammad Nuh di Depok, Jawa Barat Selasa (12/6) tentang Pembangunan jaringan telekomunikasi melalui Program 'Universal Service Obligation/ USO’, untuk sekitar 38.000 desa yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi (blank spot) di seluruh Indonesia.

foto: ddt

20.000 desa pada tahun 2008 ditargetkan dapat terjangkau jaringan komunikasi, kami juga mentargetkan anggaran untuk pembangunan tersebut sebesar Rp800 miliar hingga Rp1,2 triliun.

foto: doni

Kualitas layanan sangat penting dalam industri telekomunikasi. Karena itu interaksi antara industri atau operator telekomunikasi dan konsumen menjadi penting. Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar pada acara Gathering Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia dengan tema "Menciptakan Kualitas Layanan Yang Lebih Baik" di Jakarta, Kamis, 10 Mei 2007

Indonesia dikhawatirkan tertinggal dari negara lain. Belum diketahui kapan Indonesia akan beralih dari sistem analog menjadi digital karena saat ini baru tahap diskusi, sementara di negara lain seperti Malaysia sistem ini akan digunakan pada 2012, sedangkan Brunei Darussalam pada 2017. Direktur Utama Trans TV, Ishadi SK, di Jakarta, Selasa, 29 Mei 2007

2

Sejarah telekomunikasi di Indonesia bermula saat telegrap diperkenalkan tanggal 23 Oktober 1855 oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari sini komunikasi ke sejumlah wilayah bisa dijangkau. Hubungan lewat telepon juga mulai dikenal tanggal 16 oktober 1882 yang diselenggarakan oleh perusahaan swasta, bahkan tahun 1905 tercatat ada 38 perusahaan jaringan telepon di Hindia Belanda. *** Indonesia saat ini termasuk pasar telekomunikasi seluler terbesar keempat di dunia setelah India, Cina, dan Eropa. Investasi yang bergulir di bidang ini mencapai 5 miliar dolar per tahun. Suplai terbesar diperoleh dari jumlah penduduk yang besar dan menjadi konsumen pengguna jasa telekomunikasi seluler. *** Teledensitas telepon yang semula sulit beranjak dari angka di bawah sepuluh persen, kini sudah mampu melewati angka 30 persen. Dari total penduduk yang mencapai 240 juta jiwa, saat ini jumlah total pengguna telepon di Indonesia mencapai angka 85 juta lebih. Dalam waktu tiga tahun ke depan, diperkirakan jumlah pengguna telepon di Indonesia mencapai setengah dari jumlah penduduk, yang berarti teledensitas telepon mencapai 50 persen.

Diterbitkan oleh DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Menteri Komunikasi dan Informatika Penanggungjawab: Kepala Badan Informasi Publik Pemimpin Redaksi: Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum Wakil Pemimpin Redaksi: Sekretaris BIP, Kepala Pusat Informasi Polhukam, Kepala Pusat Informasi Kesra,Kepala Pusat Informasi Perekonomian Sekretaris Redaksi: Richard Tampubolon Redaktur Pelaksana: Nursodik Gunarjo Redaksi: Selamatta Sembiring, M Abduh Sandiah, Fauziah, Sri Munadi Editor/Penyunting: MT Hidayat Reporter: Suminto Yuliarso, Dimas Aditya Nugraha, Mediodecci Lustarini, Hendra Budi Kusnawan, Doni Setiawan Koresponden Daerah: Amiruddin (Banda Aceh), Arief (Yogyakarta), Supardi Ibrahim (Palu), Yaan Yoku (Jayapura). Fotografer: Leonard Rompas Desain: D Ananta Hari Soedibyo Pracetak: Farida Dewi Maharani Riset dan Dokumentasi: Maykada Harjono K Alamat Redaksi: Jl Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: komunika@bipnewsroom.info Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi KomunikA dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.


www.bipnewsroom.info/komunika email: komunika@bipnewsroom.info

Untung Ada Telecenter T

Sama-sama Untung Kelompok binaan memang nyawa dari telecenter. Karena fasilitas publik ini memang didesain untuk mengembangkan kemampuan dan memberdayakan ekonomi warga dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Tak tanggung-tanggung, e-Pabelan memiliki 10 kelompok binaan yang dinamakan sesuai bidang yang mereka geluti: ada kelompok cabe, lele, ikan, padi organik, semangka, jeruk, kelinci, kelompok tanaman hias, dan sebagainya. Mereka memiliki jadwal sendiri-sendiri untuk menjelajah dunia maya. Kelompok lele misalnya, kebagian browsing hari Kamis malam, pada minggu I dan III, pukul 20.0021.00 WIB. Tentu saja browsing-nya juga khusus yang berkaitan dengan ikan lele, baik pembibitan, pemeliharaan, maupun penjualannya. Kelompok lain memiliki jadwal di hari yang berbeda, dengan topik berbeda pula. “Kalau di tempat lain internet mungkin hanya untuk hiburan, di sini berbeda, jadi sumber pengetahuan,” kata alumnus Pondok Pabelan yang setia mengabdi di almamaternya ini. Bayarkah berinternet ria di sini? “Untuk umum bayar Rp3.500 per jam, masih lebih murah dari warnet (warung internet —Red.) biasa yang mencapai Rp5 – 6 ribu. Sedangkan anggota KBM biaya akses dibayar bulanan, duitnya mengambil 10 persen dari hasil penjualan usaha masing-masing kelompok,” jelas Mustofa. Manajer TC e-Pabelan, Nunun Nuki Aminah, menyatakan simbiosis mutualisme alias sama-sama untung memang berlaku di sini. “Telecenter mendapatkan dana dari kelompok, sebaliknya anggota kelompok mendapatkan transfer pengetahuan dari

TC,” katanya. Iuran dari kelompok itu, kata Nunun, selain untuk "bahan bakar" agar TC tetap jalan, juga sebagai sarana untuk menimbulkan perasaan ikut memiliki. “Mereka ikut membiayai, tentu akan merasa ikut memiliki dan otomatis juga ikut menjaga aset yang ada di TC.”

Perjuangan Panjang Tapi jangan dikira TC e-Pabelan begitu lahir lalu langsung besar seperti sekarang. Butuh waktu panjang untuk mengatasi berbagai keterbatasan sehingga akhirnya bisa tetap berdenyut melayani kebutuhan informasi masyarakat. Lima tahun lebih dibutuhkan untuk membesarkan pusat telekomunikasi perdesaan ini. Awalnya, TC merupakan program Bappenas dan United Nation Development Programme (UNDP) yang diluncurkan sejak 2003. Lembaga pemberdayaan masyarakat berbasis teknologi informasi ini tidak hanya didirikan di Pabelan, namun juga di Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lain di Indonesia. Adapun Pondok Pesantren Pabelan ditawari oleh Bappenas, karena sejak tahun 1965 telah memiliki kelompok pengembangan masyarakat. “Saat itu pondok menyediakan tempat, Bappenas dan UNDP yang menyediakan sarananya berupa komputer dan jaringan internet, serta tiga orang tenaga pendamping,” kata Nunun. Bulan pertama nyaris tak ada kendala, karena dana masih disubsidi dari Bappenas. Pengelola diambil dari warga setempat yang sudah paham selukbeluk teknologi informasi, sebagian dari alumnus Pondok Pabelan sendiri. Pendamping dari Universitas Indonesia juga ikut aktif merencanakan arah model pemberdayaan masyarakat ke depan. Sehingga secara fisik, penampilan dan program-program TC cukup meyakinkan. Sayangnya, animo masyarakat Pabelan untuk memanfaatkan teknologi informasi masih sangat rendah. “Dulu yang aktif main internet ya hanya anak-anak pondok saja. Dari masyarakat umum masih jarang, karena mereka memang belum melek internet. Sayang sekali, padahal dulu biaya akses internet di TC kami gratiskan,” imbuh Nunun. Masih rendahnya pemanfaatan TC oleh masyarakat membuat pengelola banting stir. Setelah program pendampingan dan subsidi berakhir pada tahun 2005, pihak pondok pesantren kemudian berinisiatif membentuk KBM. “Prinsip kami, transfer teknologi harus dapat diwujudkan dalam bentuk yang nyata dan memberi efek positif pada pemberdayaan masyarakat,” ujar Mustofa, sekretaris TC. KBM memiliki anggota 18-25 orang per kelompok, dengan model pemberdayaan yang terfokus pada aktivitas ekonomi sehari-hari masyarakat Pabelan. “Kami sengaja tidak membuat program yang aneh-aneh, namun hanya menguatkan apa yang biasa mereka kerjakan dengan tambahan pengetahuan lewat internet dan perbaikan manajemen,” imbuh Mustofa. Upaya ini ternyata mendapat sambutan hangat

Daragati Kisah Sang "Daragati" Sore itu adalah hari kedua setelah Menteri Komunikasi dan Informatika Prof. Dr. Ir. Mohammad NUH, DEA meresmikan Telecenter Daragati yang terletak di pinggir Kota Malang. Aktivitas telecenter itu tak seramai hari sebelumnya. Hanya ada dua orang pengguna kom-puter dan tiga orang pengelola telecenter. "Baru saja ada pelatihan untuk anggota karang taruna," kata Hadi, salah seorang relawan telecenter sambil berbenah beberapa buku panduan. Maklum, Tekecenter Daragati memang baru berbilang minggu usianya. Sekalipun fasilitas gedung didesain bagus berlantai dua dengan banyak kios untuk display produk pertanian dan kerajinan warga setempat, namun belum semua terisi. "Kita sedang mencari celah untuk bisa mengajak masyarakat sekitar secara rutin memanfaatkan fasilitas ini," ungkap Hadi. Di hari-hari biasa, telecenter yang difasilitasi oleh PKK Kota Malang dan Pemprov Jawa Timur ini memang belum seramai warnet di tengah kota, "Tapi kadang ada banyak juga anak-anak sekolah yang memanfaatkan karena gratis," lanjut Hadi.

Animo anak-anak memang besar, namun guna memastikan keterlibatan petani setempat, akhirnya pengelola Telecenter mengambil kebijakan memungut uang dari para pengguna, "Anak-anak sekolah itu kalau tidak dibatasi dengan cara membayar bisa sampai berjam-jam di sini, terus kapan telecenter ini akan dimanfaatkan oleh para orang tua dan ibu-ibu yang tinggal di sekitar sini," kata Pidekso Adi, manajer telecenter. Sinergi Instansi Pemerintah Berkaca dari keberhasilan beberapa telecenter di kawasan lain, Pidekso optimis Daragati akan mampu mengembangkan ekonomi masyarakat di sekitar telecenter. "Tak hanya itu, kita juga akan jadikan telecenter ini pusat belajar bagi masyarakat," ungkapnya. Namun Pak Pi, sapaan akrabnya, menyatakan memang semua itu tak mudah. Tetapi kita juga harus optimis, apalagi Daragati ini didukung penuh Pemerintah Kota. Bahkan dalam tiga tahun ke depan kita telah dijanjikan modal dalam bentuk urunan masing-masing instansi. "Tentunya dengan

dari warga. Antusiasme untuk menggunakan internet di TC pun melonjak drastis. “Warga yang semula enggan berinternet, akhirnya berduyun-duyun datang ke TC untuk belajar pertanian dan peternakan,” kata Darul, tenaga operasional e-Pabelan. Hidup dari Binaan Imbas antusiasme warga memanfaatkan internet terhadap geliat perekonomian warga ternyata sangat positif. Dari 10 KBM yang ada, tujuh di antaranya sukses dan terus menyumbang pendapatan bagi warga setempat. Kelompok semangka misalnya, setelah mempelajari cara bertanam dan memasarkan semangka lewat internet, pendapatannya langsung melonjak 150%. “Sekarang tiap bulan mereka bisa menyumbang Rp3 juta ke TC. Jangan lupa, itu baru 10% dari pendapatan mereka lo ,” imbuh Darul. Demikian pula kelompok lele, padi organik dan tanaman hias, setahun setelah berdiri langsung menuai laba. “Harus diakui ada juga yang gagal, namun kebanyakan karena kendala teknis. Seperti yang dialami kelompok belimbing, mereka gagal karena suhu di Pabelan ternyata tidak cocok untuk tanaman belimbing. Juga kelompok belut, gagal karena media pembiak-an belut belum matang sempurna, bibit sudah dimasukkan, akhirnya mati,” katanya. Darul sangat bersyukur, sebab meski dana dari Bappenas dan UNDP sudah distop, TC masih bisa beroperasi dengan dukungan dana dari KBM. “Banyak lo TC di daerah lain yang semaput (pingsan— Red), begitu bantuan dananya dihentikan. Kami malah sebaliknya, dalam waktu dekat akan menambah komputer dua unit lagi,” imbuhnya. Jika tak ada aral melintang, ke depan TC juga akan membuka kursus desain web, jaringan komputer dan perakitan perangkat keras komputer. Selain itu juga berencana membuat KBM-KBM baru, diversifikasi dari KBM yang telah ada. Namun ia mengharapkan bantuan pelatihan dari pemerintah pusat, karena SDM yang ada kebanyakan orang lama dan regenerasi tenaga ahli teknologi informasi di Pabelan sangat lamban. “Saat ini kami sangat membutuhkan bantuan pelatihan untuk pengembangan sumber daya manusia khususnya di bidang teknologi informasi. Sebentar lagi kami yang sudah mengabdi lima tahun lebih ini akan beristirahat. Butuh tenaga-tenaga baru yang lebih segar dan produktif,” katanya.

>>

Telecenter merupakan pusat informasi dan kegiatan masyarakat berbasis internet. Melalui telecenter masyarakat dapat mengakses informasi, berkomunikasi dan mendapatkan layanan sosial serta ekonomi dengan menggunakan sarana teknologi informasi dan komunikasi. Telecenter dinilai dapat memberikan multi efek baik sebagai pusat untuk mengakses informasi yang diinginkan masyarakat, juga dapat digunakan sebagai penyelenggaraan pendidikan atau pelatihan komputer internet, bahasa inggris atau kebutuhan lainnya sesuai kebutuhan masyarakat.

(gunarjo@bipnewsroom.info)

Pemerintah daerah kian gencar memfasilitasi sentra informasi untuk masyarakatnya. Meski bentuknya beragam, tujuannya sama: membangun masyarakat melek teknologi dan meningkatkan perekonomian daerah. model pengajuan proposal dan kerjasama sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi," jelas Pidekso yang juga dosen di Universitas Negeri Malang ini. Pendirian telecenter satu ini memang tergolong unik. Ketika kelompok PKK secara proaktif mengembangkan sebuah fasilitas teknologi informasi dan komunikasi untuk masyarakat. "Ukuran keberhasilannya adalah apabila masyarakat setempat tak lagi gagap teknologi dan mampu mengoptimalkan fasilitas untuk meningkatkan ekonomi mereka," kata Pak Pi singkat tentang target ke depan telecenter ini.

foto: bf

anggal 16 Agustus malam, ada yang tidak biasa di Telecenter e-Pabelan, Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di ruang berukuran 3 x 3 meter, tampak segerombol anak muda sibuk memelototi empat unit layar komputer. “Kami sedang mendownload lagu-lagu perjuangan dari website,” ujar Wahyudi, santri Pondok Modern Pabelan, diiyakan teman-temannya. “Waktunya mepet. Besok, lagulagu ini akan kami putar sebelum upacara peringatan detik-detik proklamasi dimulai.” Karena dianggap ‘darurat’, Mustofa, Sekretaris Telecenter e-Pabelan, membiarkan saja anak-anak muda itu melanggar antrean. Rombongan bapak dari Pabelan Kulon yang sudah memiliki ‘jadwal tetap’ untuk belajar cara beternak lele setiap Kamis malam pun maklum antreannya diserobot. Mereka memilih berdiskusi di ruangan lain sambil menanti anak-anak usai mengunduh lagu-lagu yang mereka butuhkan. “Beginilah situasi di sini kalau malam, antrean yang mau browsing selalu mengular. Biasanya sih tertib, tapi ini kan darurat, jadi ada prioritas. Kami memang agak repot mengatur jadwal, karena komputer yang tersedia terbatas. Apalagi kami juga memiliki jadwal tetap untuk anggota KBM (Kelompok Belajar Mandiri—Red) binaan TC (telecenter— Red),” kata Mustofa.

foto:gun

Edisi 16/Tahun III/Agustus 2007

(mth@bipnewsroom.info)

3


www.bipnewsroom.info/komunika email: komunika@bipnewsroom.info

Edisi 16/Tahun III/Agustus 2007

Cikal Bakal "Desa Online"?

foto : dw

Tak banyak desa yang memiliki situs resmi. Atau bahkan berekstensi domain go.id. Namun ada satu desa yang mencoba berani untuk memamerkan potensi yang ada di dunia maya dan mengatasnamakan sebagai domain resmi Pemerintah Indonesia. Desa Sindanglaya, terletak di kawasan puncak Jawa Barat. Sebuah kawasan yang merupakan tujuan wisata setiap akhir minggu. Desa Sindanglaya juga merupakan pintu gerbang bagian utara dari Kabupaten Cianjur. Tak heran, jika desa ini juga selalu dipenuhi pengunjung yang ingin berlibur menikmati keindahan alam puncak. Usep Suryatna MP Ramainya pengunjung keSekdes Desa Sindanglaya, tika musim liburan dan potensi Jawa Barat keindahan alam daerah Puncak dan Cipanas mendorong pemuda yang berkantor di kantor desa Sindanglaya untuk membangun situs desanya. “Selain untuk menginformasikan potensi alam, kita ingin masyarakat sadar bahwa desa pun memiliki fungsi dan posisi strategis”, ungkap Usep Suryatna MP, Sekretaris Desa Sindanglaya, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

>>

Desa Sindanglaya merupakan satu-satunya desa yang mengelola situs go.id. Arah pengembangannya adalah terbentuknya database desa sebagai salah satu upaya menuju pelayanan online dengan membentuk sistem online antar perangkat pemerintahan.

Situs Swadaya Masyarakat Situs Desa Sindanglaya yang beralamt di www.sindanglaya.go.id di-launching tahun 2004, "tepatnya bulan Juli”, ungkap Usep bangga. Situs ini merupakan upaya segelintir masyarakat Sindanglaya untuk memperkenalkan potensi wilayah ke komunitas internasional. "Gagasan awalnya sih simple aja, kita hanya ingin menampilkan gambaran global desa kita, ke depannya baru kita ingin buat database desa kita”, jelas Usep. Situs desa ini memang merupakan awal dari gerakan desa online yang akan menjadi database yang bisa diakses siapapun, dimana pun dan kapan pun tanpa harus datang ke kantor desa, "sehingga siapapun yang butuh informasi terkini entah dari kecamatan, kabupaten, provinsi atau bahkan siapa pun bisa langsung mendapatkan," terang Usep. Situs ini sejak awal dikelola sendiri. Mulai aplikasi dan segalanya dikembangkan oleh tim inti terdiri

dari 3 orang dan 2 tenaga luar yang juga merupakan warga Sindanglaya. Tim ini tidak secara khusus mendapat bimbingan dan arahan dari pemerintah pusat. "Mereka hanya menyadari bahwa fungsi posisi desa itu sangat vital, sayangnya kurang mendapat tanggapan/perhatian dari pemerintah," kata Usep. Bukan Tanpa Kendala Untuk mendaftarkan sindanglaya.go.id awalnya menemukan beberapa kendala, bahkan kendala ini masih menjadi hambatan berkembangnya situs tersebut. "Kebijakan pemerintah setidaknya tingkat kabupaten saat ini belum bisa mendukung pengembangan IT, hal ini terkait masalah alokasi pengembangan situs," jelas Usep. Saat membangun situs ini, tambah Usep, ekstension go.id sendiri hanya diperbolehkan minimal untuk setingkat kabupaten. “Perjuangan mendapatkan go.id ini sangat unik, waktu kita pertama kali menayangkan situs kita 2004, tahun 2005 kita mendapat pemberitahuan by email dari Depkominfo, menyatakan bahwa sebetulnya ekstension go.id itu hanya diperuntukan sampai Pemkot atau Pemkab, tapi ternyata desa pun bisa lolos juga”, kenang Usep sambil tertawa. Sekalipun demikian Usep tetap yakin dengan pilihan desanya untuk online. Sebab selama ini, menurut Usep pemerintah pusat cenderung menganggap bahwa pemerintahan desa itu konvensional, sehingga SDM-nya dirasa cukup dengan tingkat pendidikan yang rendah. “Padahal kita memiliki SDM berkualitas, dan kita mampu kok memprakarsai desa online, dan saya yakin semua desa di Cipanas ini nantinya bisa di online kan juga”, tegas Usep yakin. Transparansi Tujuan awal desa online sebetulnya ingin memiliki data yang akurat yang bisa bermanfaat, bukan saja untuk pemerintah tapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan termasuk juga lembaga pendidikan, kajian ilmiah, dan lain-lain. Karena itu, jangan heran ketika informasi yang terdapat di situs ini kebanyakan masih bersifat statis. Diakui Usep, pengolahan situs yang dinamis apalagi dengan support database lengkap selain membutuhkan data yang cukup ba-nyak juga SDM berkualitas. “Jadi harap dimaklumi karena keterbatasan yang ada, situs ini masih statis”, kata Usep sembari menjelaskan bahwa tidak ada alokasi dana khusus untuk pengelolaan situs ini. Dana pun didapat dari penyisihan leges warga yang mengurus

surat ke kantor desa. Tetapi upaya untuk mengungkap transparansi dan kondisi nyata Desa Sindanglaya patut diacungi jempol. "Ke depan situs ini akan menampilkan data sebenarnya dari desa. Kantor desa Sindanglaya tidak akan menutupi. Kalo angka kemiskinan tinggi, ya kita akan menampilkan data sebenarnya, ini yang akan menjadi info unggulan situs kita”, jelas Usep. Cikal Bakal Sistem Database Terpadu Gagasan desa online merupakan gagasan yang tidak bisa dianggap main-main."Apalagi ini jika pemerintahan desa dan pemerintah di atasnya memiliki suatu sistem, di-mana pelaporan tidak dilakukan secara manual lagi”, tambah Usep. Bisa dibayangkan ketika laporan mengenai data kependudukan selalu ter-up-date secara rutin. Jika database yang sudah lengkap, sistem pelaporan ke tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi dapat dilakukan secara online. "Seperti yang sudah-sudah kita di desa selalu kesulitan untuk selalu melakukan up-date data terbaru. Up-date dilakukan hanya ketika ada kepentingan saja, ini yang terkadang mengakibatkan pendataan berulang”, jelas Usep. Tim inti sudah sejak tahun 2006 mencoba membuat aplikasi database kependudukan, aparat kantor desa bekerja sama dengan warga desa yang punya kepedulian terhadap program ini. Sekalipun sampai sekarang database masih terbatas. “Kita mencoba menyusun database itu, harapan saya suatu saat database ini dapat dimanfaatkan efektif,” kata Usep. Jika suatu saat ada sensus maka Usep berharap pemerintah tidak mengalami kesulitan lagi, "Nah, ketika ada program pemerintah menyangkut katakanlah subsidi BBM atau BLT data sudah tersedia, paling tinggal melakukan verifikasi saja, pengecekan ke lapangan, betul tidak warga ini belum berubah statusnya," katanya. Hingga saat ini warga Sindanglaya boleh berbangga, karena dari 7 desa di Kecamatan Cipanas, hanya desa ini saja yang berani memulai situs sendiri. “Bahkan dari seluruh kabupaten, hanya desa Sindanglaya saja yang memiliki situs”, ungkap Teguh Wibowo, Camat Cipanas. "Desa online" Sindanglaya ini memang baru sampai tingkat prakarsa, mencoba memulai sesuatu yang baru, belum sampai pada pengembangan pelayanan online dan dapat diakses siapa pun sekalipun warganya sedang berada di luar negeri. (dewimaharani@bipnewsroom.info)

Simalakama Situs go.id.

foto: net

bangan e-government menjadi satu titik penting menjamurnya situs resmi institusi pemerintah. Manfaatnya pun terbilang banyak, sebut saja dengan ketersediaan informasi yang up-to-date menjadikan pemerintah tahu kebutuhan stakeholdernya dan menjadi lebih terbuka dalam setiap pelayanan yang dilakukan.

>>

Departemen Kominfo pun telah mengeluarkan Peraturan Menteri tentang penggunaan nama domain go.id untuk website lembaga penyelenggara negara. Peraturan ini telah mempertimbangkan aspek keteraturan hierarki organisasi, konsistensi penyingkatan, dan sebagainya

4

Sudah sebulan in seorang mahasiswa Indonesia di Australia mengeluh, "Saya sulit mengakses situs go.id (situs resmi pemerintah--Red)," katanya via e-mail. Padahal menurut, mahasiswa ini banyak sekali bahan-bahan kasus kuliah yang bisa diambil dari situs resmi pemerintah. Keberadaan website sebagai pelayanan informasi dan interaksi online di kalangan pemerintah seolah menjadi hal yang tak terpisahkan dari kegiatan kehumasan atau pengembangan teknologi informasi dan komunikasi di seluruh instansi pemerintah. Kehadiran Inpres No 3/2003 tentang kebijakan dan strategi nasional pengem-

Belum Dikelola Optimal Namun pada kenyataanya, beberapa website instansi pemerintah belum secara optimal menyediakan pelayanan. Sebagian lainnya malah tidak aktif sama sekali. Hasil pemantauan Departemen Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa ada 267 website milik instansi pemerintah yang terus dikelola secara aktif dan 132 website yang tidak lagi dikelola secara aktif. Secara khusus, Direktur E-Government Ditjen Aplikasi Telematika Depkominfo, Ir. Djoko Agung, melihat hal ini dipengaruhi banyak sebab, "Misalnya, website tersebut tidak aktif karena adanya perubahan struktur organisasi pemerintahan yang mengakibatkan ditutup atau dileburnya suatu instansi bisa menjadi satu," kata Djoko. Penyebab lainnya, lanjut Djoko, adalah belum siapnya instansi pemerintah tersebut di dalam mengelola website akibat keterbatasan sumber daya manusia (SDM) maupun anggaran. "Pada tahap pembangunan website, banyak instansi yang dibantu pihak konsultan. Setelah kontrak pemba-

ngunannya selesai, barulah muncul permasalahan pembiayaan atau penganggaran," ungkapnya. Interkoneksi Lambat Kisah di awal tulisan ini mungkin bukan yang pertama kali ditemukan. Hal ini menurut Sylvia W Sumarlin, Ketua Asosiasia Penyedia Jasa Internet Indonesia, disebabkan masih adanya ketimpangan bandwith server. "Sehingga menyebabkan kelambatan akses jika situs dengan inisial domain indonesia di buka di luar negeri, tak hanya terjadi di situs pemerintah saja, tapi juga situs yang lain," kata perempuan berkacamata ini di sela diskusi Internet Governance beberapa waktu silam. Saat ini semua lalu lintas internet asal Indonesia semua terakumulasi dalam dua titik yang terpusat di Jakarta. Sementara untuk koneksi ke luar negeri harus melalui Hongkong, yang pernah kolaps garagara kabel serat optiknya putus akibat gempa beberapa waktu lalu dan membuat internet di Indonesia mati suri beberapa waktu. "Karena itu kita sedang upayakan untuk membuat koneksi langsung ke luar negeri tanpa melalui Hongkong, sehingga kita punya Indonesia Internet eXchange yang langsung terkoneksi keluar," imbuh Sylvia. Tentunya ini pekerjaan besar karena menuntut kesiapan banyak pihak, termasuk instansi pemerintah untuk menyiapkan konten yang berkualitas. Agar nanti jika lansung terhubung tak ada lagi data yang sudah berusia uzur. (mth@bipnewsroom.info)


www.bipnewsroom.info/komunika email: komunika@bipnewsroom.info

Edisi 16/Tahun III/Agustus 2007

A

gak sulit mencari keberadaan desa Nyatnyono. Kendati letaknya hanya sekitar tiga km dari jalur jalan raya Semarang-Yogya, akan tetapi medannya berbukit dengan jalan berliku. Desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah ini, pada awal 2006 sempat dikenal publik sebagai Desa Digital. Namun sayang, kini bekas-bekas “kedigitalan” itu nyaris tak tampak lagi. Sepintas tak ada beda antara desa biasa dengan desa yang berpredikat Desa Digital ini. Tak tampak aktivitas informasi-komunikasi mencolok. Tak ada tiang telepon menjulang, juga tak tampak warnet atau wartel di sudut-sudut desa. Semua tampak normal-normal saja. KomunikA sempat ragu, jangan-jangan salah alamat. Tapi setelah mampir di rumah sekretaris desa (sekdes), keraguan itu pun sirna. “Benar Mas, pada tahun 2005-2006 desa Nyatnyono memang pernah mendapat julukan Desa Digital,” kata Muhazi, sekretaris Desa Nyatnyono, saat ditemui KomunikA di rumahnya. Dikatakan Muhazi, saat itu desanya menerima bantuan dua unit komputer, lengkap dengan modem dan antena parabola kecil dari pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Barang berteknologi tinggi itu diperoleh dari hasil kerjasama dengan salah satu perusahaan operator telepon seluler. Oleh pemberi bantuan, diwanti-wanti agar dipergunakan untuk membuka warung internet (warnet) yang koneksinya langsung melalui satelit. “Saat peresmian, pihak kabupaten yang diwakili Kepala Dinas Pariwisata Prov Jateng saat itu, Drs. Purwadi, menyatakan bahwa keberadaan warnet akan membantu ketersediaan informasi dan kelancaran komunikasi, sehingga dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat,” ujar sekdes yang di desanya disebut Pak Carik ini. Ditambahkan, saat uji coba sempat diadakan teleconference dengan kelompok tani di kabupaten lain, dan berjalan lancar. Muhazi, kepala desa, dan perangkat desa Nyatnyono lainnya, dengan dibimbing seorang petugas dari kabupaten, juga sempat mengakses beberapa situs teknologi tepat guna. Dan sebagai orang desa, ia mengaku takjub dengan internet yang menurutnya di dalamnya apa saja tersedia. “Hebat juga dari desa ini bisa melihat seisi dunia,” katanya polos. Tentu saja bukan hanya Pak Carik yang kagum, kedatangan teknologi baru nan canggih itu juga membawa harapan tinggi di kalangan masyarakat. Salah satunya adalah Hamid, Ketua LKMD Desa Nyatnyono. Ia menyatakan sangat antusias dengan program Desa Digital yang disebutnya bisa membuat masyarakat tahu banyak tentang hal yang banyak. Maklum, menurutnya, informasi dan komunikasi

di desa itu pada tahun 2005 memang masih jadi barang mahal. Peredaran koran belum menjangkau hingga Nyatnyono. Warga umumnya hanya mendengar informasi melalui radio dan televisi. Telepon juga belum masuk ke desa itu. “Karena itu, saya mendukung sekali keberadaan internet satelit. Saya berharap bisa dijadikan sarana yang mudah dan murah bagi warga yang memerlukan informasi,” kata Hamid yang saat ditemui KomunikA sedang mengawasi renovasi Kantor Desa Nyatnyono. Menurut pria berkumis tebal ini, nama program Desa Digital memang terkesan agak terlalu tinggi. “Terlalu canggih lah disebut Desa Digital, wong peralatannya saja hanya dua unit. Kalau seluruh warga sini menggunakan internet, itu baru tepat disebut Desa Digital,” kilahnya. Toh demikian ia menganggap program yang disebutnya sebagai ‘internetisasi’ itu sangat baik. “Ini kan abad informasi, jadi program internetisasi sudah tepat. Sudah masanya masyarakat melek internet. Meskipun efek negatif internet tetap ada, tapi kalau dimanfaatkan secara benar, banyak sisi positif yang bisa diambil,” imbuhnya. Kurang Sosialisasi Sayang seribu kali sayang, baru dua bulan dibuka, warung internet yang ditempatkan di rumah Pak Carik sudah dirundung masalah. Apalagi masalahnya kalau bukan masalah fulus atau biaya. Sejak dibuka, tak seorang pun memanfaatkan alat canggih itu. Alasannya, mereka keberatan karena harus membayar, meskipun sudah dijelaskan berkalikali bahwa uang yang mereka bayar akan masuk ke kas pembangunan desa. Berdasarkan nota kesepahaman dengan pemberi bantuan, pengguna warnet memang ditarik bayaran sebesar Rp2.500 per jam. “Sangat murah bila dibanding warnet yang ada di Ungaran atau Semarang,” kata Muhazi yang juga bertindak sebagai pengelola warnet. Toh harga miring tetap membuat warga bergeming. Dari hari ke hari warnet tetap saja sepi pengunjung. “Maka ketika pihak pemberi bantuan mengecek pendapatan warnet, mereka terkejut karena tak ada duit masuk barang seperakpun,” ujar Muhazi. Mengapa warga tak mau datang ke warnet? Nurokhim, salah seorang warga menyatakan bahwa sosialisasi tentang program Desa Digital dan keberadaan warnet sangat minim. “Jangankan warga yang jauh, saya yang tetangga Pak Carik saja tidak tahu bahwa ada internet yang bisa dipakai warga desa dengan harga murah,” tuturnya. Seharusnya, menurut lelaki yang berprofesi sebagai tukang batu ini, sebelum program Desa Digital dilaksanakan, jauh-jauh hari harus ada penjelasan terlebih dulu tentang program itu. “Masyarakat

desa berbeda dengan masyarakat kota yang kebanyakan sudah akrab internet. Di sini jangankan memegang, dengar namanya saja mungkin belum pernah,” katanya. Hal senada diungkapkan Hamid. Ia bilang orang Nyatnyono tidak mau ber-internet-ria karena memang rata-rata tidak bisa mengoperasikannya. Mestinya, sebelumnya harus ada pelatihan kepada warga tentang bagaimana mengoperasikan internet. “Tapi yang ini tidak, langsung beroperasi, jadi ya banyak yang kaget. Semacam culture shock (kejutan budaya— Red), begitulah,” cetus alumnus FISIP Universitas Gadjah Mada ini. Ia juga menengarai ada beberapa warga yang menolak karena menganggap internet adalah biang maksiat. “Padahal mau mengakses yang maksiat atau yang bermanfaat kan tergantung kita. Ini yang tidak dijelaskan secara tuntas kepada Muhazi warga.” Sekdes Desa Nyatnyono Diakuinya, harapan terwujudnya Desa Nyatnyono sebagai Desa Digital kian hari kian meredup. Sama dengan yang disampaikan Carik Muhazi. “Saya pesimistis program ini bisa berhasil, apalagi sekarang peralatannya sudah ditarik oleh pemberi bantuan, katanya dipindah ke sebuah desa di kawasan Bandungan Ambarawa,” imbuh Muhazi. Tapi, ada satu hal menarik yang disampaikan Muhazi, bahwa kegagalan program Desa Digital bukan semata-mata karena kurangnya sosialisasi dan kendala biaya. “Ada faktor lain yang sangat berpengaruh yakni makin meluasnya penggunaan HP (telepon seluler—Red ) di kalangan masyarakat Nyatnyono. Tahun 2006 adalah booming warga Nyatnyono mulai menggunakan HP . Sekarang Anda lihat sendiri, di sini anak-anak kecil saja pegangannya HP. Komunikasi antarwarga sudah makin mudah dengan HP yang beberapa di antaranya bisa internetan juga. Mungkin mereka berpikir, buat apa susah-susah ke rumah Pak Carik hanya untuk buka internet, harus bayar lagi, mending pakai HP,” tuturnya. Dalam tiupan segar angin lereng Gunung Ungaran, tepat di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke 62, KomunikA meninggalkan Desa Nyatnyono. Benar kata Pak Carik, sepanjang jalan KomunikA melihat banyak orangtua, remaja, bahkan anakanak berseragam putih-biru, menggenggam telepon seluler. Revolusi teknologi komunikasi ternyata telah membuat pola komunikasi warga ‘meloncat’ amat cepat. Jadi, sebenarnya, Program Desa Digital itu gagal, atau justru berhasil dengan modus operandi berbeda?(gunarjo@bipnewsroom.info)

foto: gun

Tak Mudah Wujudkan Desa Digital

Ribuan Desa disatukan "Sumpah Palapa" informasi. Namun demikian yang terjadi adalah kurangnya koordinasi yang efektif di antara instansi pemerintah dalam mengembangkan serta mengarahkan pembangunan bidang TIK di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan konsolidasi nasional dalam menentukan arah pembangunan TIK serta langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan. Sumpah Palapa Sebut saja, Program USO atau Kewajiban Kontribusi Pelayanan Universal Telekomunikasi yang merupakan penyediaan akses dan layanan telekomunikasi di daerah terpencil, perintisan, atau daerah perbatasan. Sumber pendanaan pokok berasal dari kontribusi 0,75% dari annual gross revenue seluruh penyelenggara telekomunikasi. Diharapkan dari program ini pada tahun 2010 seluruh desa di Indonesia telah memiliki minimal 1 (satu) jalur telepon. Sedangkan tahun 2015 ditargetkan 50% (lima puluh persen) desa di seluruh Indonesia sudah bisa mengakses internet. Terkait juga dengan pengembangan jaringan infrastruktur telekomunikasi, pemerintah tengah mengusahakan untuk pembangunan jaringan serat optik Palapa Ring sebagai tulang punggung

(backbone) bagi sistem telekomunikasi nasional. Palapa Ring merupakan jaringan kabel bawah laut berbentuk cincin terintegrasi yang membentang dari Sumatera Utara hingga Papua bagian barat yang panjangnya sekitar 25.000 km. Dengan terwujudnya jaringan serat optik Palapa Ring, maka aliran komunikasi dan informasi akan semakin tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia. Terobosan luar biasa ini akan membuka hambatan informasi (information barrier) di daerah Indonesia timur yang diharapkan mampu memacu pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. (mth@bipnewsroom.info)

ilustrasi: postel,dtikn

Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki sekitar 17 ribu lebih pulau (6 ribu pulau berpenduduk) yang tersebar dalam area geografis 1.919.440 km². Di satu sisi kondisi ini merupakan suatu keuntungan yang besar bagi bangsa kita karena memiliki sumber daya yang besar, baik secara demografis maupun geografis. Jumlah pulau yang tersebar begitu banyak justru menjadi hambatan dalam proses pembangunan dan pengembangan telekomunikasi. Sampai saat ini terdapat sekitar 43 ribu desa atau 65% desa yang belum terjangkau oleh jaringan telepon. Aspek tingginya biaya menjadi salah satu faktor penting sulitnya pembangunan dan pengem-bangan infrastuktur telekomunikas hingga ke pelosok negeri, sehingga fokus pembangunan lebih banyak dititikberatkan pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti pulau Jawa dan sebagian Sumatra. Selain itu, ada sejumlah masalah yang masih mengganjal dalam mengembangkan telekomunikasi di Indonesia. Tetapi yang paling menonjol adalah banyaknya kegiatan atau program yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi yang tersebar di berbagai instansi pemerintah, sehingga tidak adanya perencanaan yang sinergis dalam mendorong terwujudnya masyarakat

5


Di usia yang ke 62 tahun, dunia telekomunikasi di Indonesia berkembang cepat sekali. Namun demikian ternyata keberadaan infrastruktur telekomunikasi masih belum sepenuhnya bisa bisa menjangkau seluruh kawasan Indonesia. Pemerintah pun tak tinggal diam, menggandeng swasta dan mengembangkan partisipasi komunitas untuk mendukung kemudahan akses bagi seluruh rakyat.

Telekomunikasi telah menjadi komoditas bernilai tinggi. Globalisasi ekonomi menempatkan industri ini sebagai komoditas yang tak bisa terpisahkan dari keseharian masyarakat modern saat ini. Dengan karakteristiknya yang menghilangkan batas-batas regional, saat ini banyak negara yang tiba-tiba muncul di perekonomian dunia sebagai kekuatan baru. Dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai pemicunya, dunia telekomunikasi seolah menggantikan sektor industri konvensional yang ada. Di kawasan Asia, negara Cina, India, dan Korea mampu meningkatkan pendapatan di sektor TIK sebesar lebih dari 100 persen setiap 5 tahun selama 10 tahun terakhir. Di Indonesia, arah perkembangan industri dan bisnis telekomunikasi juga mengikuti tren dunia. Buah Manis Perkembangan Teknologi Pembangunan teknologi informasi secara luas baru dimulai sejak tahun 1994. Padahal saat ini, dari sisi teknologi, terjadi perubahan yang fundamental ke arah konvergensi yang menggabungkan sekat-sekat sektoral antara informasi dan telekomunikasi. Dengan konvergensi misalnya, siaran radio dan televisi tidak lagi menjadi domain penyelenggara atau lembaga penyiaran, tetapi juga menjadi ranah penyedia jasa telekomunikasi. Langkah menuju konvergensi saat ini mulai tampak ditempuh penyedia jaringan dan jasa telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia. Produk jasa konvergensi pun sudah mulai memasuki tahap komersialisasi. Bukan tidak mungkin di masa mendatang, sektor telekomunikasi akan menjadi sektor unggulan di Indonesia. Terlebih Indonesia merupakan negara dengan ribuan pulau yang menyulitkan diseminasi informasi dengan cepat jika menggunakan komunikasi secara konvensional. Di sini lah sebenarnya keberadaan telekomunikais menjadi penting. Memainkan peranan untuk menghilangkan penghalang geografis dan mendukung pemerataan pembangunan di setiap daerah.

foto: bf

Kesenjangan Digital Namun harus disadari bahwa kehadiran teknologi informasi di Indonesia seakan-akan terjadi serentak. Secara nyata, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya sadar akan teknologi informasi sehingga mengakibatkan apa yang disebut sebagai fenomena digital divide, kesenjangan digital. Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih hidup dalam alam agraris, bahkan pra agraris. Sekalipun demikain ada pula yang masih hidup dalam masyarakat industri, dan

foto: gun

Seorang teman baru pertama kali datang ke Kupang, ibukota Nusa Tenggara Timur. Sesaat setelah melewati pintu keluar bandara ia menghidupkan kembali ponselnya yang dimatikan semasa perjalanan dengan pesawat. Betapa terkejutnya ia melihat sinyal bar dalam layar ponselnya tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali. "Pak di sini cuma ada dua operator layanan seluler yang bisa," kata Sam, sang penjemput singkat menimpali keheranan teman tadi. Memang secara nyata tidak semua operator layanan seluler bisa menjangkau seluruh kawasan Indonesia. namun bukan berarti tidak ada sebagaimana dinyatakan sang sopir tadi. Sebuah artikel di koran nasional pernah menyebutkan bahwa investasi fisik sebuah menara telekomunikasi bisa mencapai Rp 1,5 milyar. Itu sudah termasuk dengan pembebasan tanah yang biasanya mencapai Rp 600 juta. Ternyata tidak murah juga. Pertimbangan feasibilitas dan investasi yang dikeluarkan dengan revenue yang diperoleh membuat pengusaha akan berikir sekian kali untuk memperluas jangkauan usahanya. Karuan teman saya tadi panik. Pasalnya selama ini ia tak bisa lepas dari dering telepon selulernya, entah untuk SMS atau telepon. Potensi Besar Sekarang mungkin tak bisa dipungkiri potensi luar Jawa mulai dilirik. Kalimantan potensial dengan sumber alam utama terbesar di Indonesia, minyak bumi, keluar dari bumi

mungkin hanya segelintir orang yang sadar akan teknologi informasi. Akses untuk telekomunikasi masih merupakan kenyataan yang jauh bagi sebagian besar orang. Negara-negara bagian selatan, khususnya di daerah pedesaan, secara nyata tertinggal jauh dari revolusi informasi, ditandai dengan tidak adanya infrastuktur dasar, biaya yang tinggi untuk pengadaan telekomunikasi, ketidaktahuan mengenai telekomunikasi, dominasi dari penggunaan bahasa Inggris pada konten di internet, serta kurangnya demonstrasi keuntungan telekomunikasi untuk menjawab tantangan pembangunan level bawah. Hal itu juga dialami oleh Indonesia. Fakta yang ada memang tidak bisa dibantah. Persentase penetrasi internet baru mencapai 8,7% atau sekitar 20 juta pengguna, dan jumlah warnet baru mencapai angka 7.602 (AWARI, 2007) dengan 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah seluruh pengguna internet di Indonesia masih didominasi oleh daerah Jakarta dan sekitarnya. Investasi di sektor telekomunikasi di Indonesia berkisar pada Rp 50 trilyun/tahun di mana industri dan jasa domestik hanya berkontribusi sebesar 2%. Selain itu, perkembangan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia masih jauh dari memadai. Jumlah sambungan telepon tetap saat ini baru 8,7 juta penduduk atau tingkat teledensitas kurang dari 4 persen. Kendala Infrastruktur Persoalan ketesediaan infrastruktur memang menjadi kendala tersendiri. Dan menjadi penyumbang bagi terjadinya kesenjangan digital di tanah air. Padahal, sebelum memasuki kawasan elektronik, terlebih dulu faktor infrastruktur harus dikedepankan. Hal senada dikatakan Agus B. Tjahyono, asisstant vice president marketing, Head of Fixed Satellite Service Division Pasifik Satelit Nusantara (PSN). Menurut Agus, infrastruktur di Indonesia memang belum merata. “Kalau kita lihat di kota, pilihan infrastrukturnya banyak sekali, sedangkan di desa masih ada sekitar 43 ribu desa yang belum ada telepon,� kata Agus. Untuk itu Agus menekankan perlunya percepatan agar infrastruktur bisa merata. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Kegiatan sektor transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun penumpang. Infrastruktur lainnya seperti kelistrikan dan telekomunikasi terkait dengan upaya modernisasi bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan produktivitas sektor produksi. Pemerintah pun telah menargetkan jumlah sambungan telepon per 100 penduduk sebesar 13% pada tahun 2009. Hal itu berkebalikan dengan penetrasi telepon seluler yang telah mencapai 22,8%. Sampai saat ini terdapat sekitar 43 ribu desa atau 65% desa yang belum terjangkau oleh jaringan telepon. Karena itu, hingga kini pemanfaatan TIK dan sarana telekomunikasi untuk pemberdayaan masyarakat perdesaan masih belum maksimal, terutama pemberdayaan yang bersifat bottom-up yang berakar pada kebutuhan masyarakat (demand driven). Padahal dengan strategi yang

Kalimantan Timur. NTT juga tidak lagi bisa dipandang sebelah mata. Sementara Papua tidak syak lagi merupakan negeri dengan mutiara yang masih terpendam yang kalau dieksploitasi akan memakmurkan warganya. Belum lagi pusat-pusat pengembangan yang sejak lama disebut sebagai Demamama (Denpasar, Mataram, Makassar, dan Manado) yang menjadi pusat kegiatan pertumbuhan, tidak hanya telekomunikasi, tetapi di segala aspek kehidupan. Sekalipun kualitas Sumber Daya Manusia yang kita miliki diakui memang belum memadai. Dengan tingkat Human Development Index di angka 108 (World Bank, 2006) tingkat daya saing Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara yang dahulu berada di belakang Indonesia. Kunci utama akselerasi percepatan pertumbuhan suatu bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia. Sebagai contoh, untuk tingkat buta huruf penduduk Indonesia, diperkirakan mencapai angka di atas 8%, dimana angka buta huruf tertinggi justru terjadi di pulau Jawa (Depdiknas, 2007). Selain itu, rata-rata partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan masih rendah. Terutama untuk 7-12 tahun dan 13-15 tahun hanya mencapai angka 95,26% dan 82,09% bahkan untuk tingkat perguruan tinggi hanya mencapai angka 13% (BPS, 2006). Kondisi tersebut ditambah pula dengan sarana/prasarana pendidikan yang tidak merata, baik antara wilayah kota dan desa atau wilayah


Tingkatkan Akses dan Infrastruktur dengan USO Ada dua pendekatan dalam meningkatkan akses bidang telekomunikasi dan teknologi informasi. Pertama, menjadikan TIK sebagai sektor produksi seperti Costa Rica. Negara ini menjadi tempat produksi sepertiga dari chip Intel di seluruh dunia. Sejak saat itu, ekspor negara tersebut melonjak sebesar 20%, suatu nilai yang tidak pernah tercapai sebelumnya oleh komoditas utama mereka, kopi. Kedua, menjadikan TIK sebagai pemicu pembangunan, seperti Malaysia. Malaysia membangun Multimedia Super Corridor (MSC) dengan harapan menarik investor nasional dan internasional dan membuat spillover effect pada sektor ekonomi yang lain. Salah satu hasilnya, Malaysia dapat meningkatkan pasar pengguna telekomunikasi sebesar 25% dalam waktu 5 tahun. Kepala Bagian Umum dan Humas Ditjen Postel Gatot S. Dewa Broto, mengungkapkan memang sejauh ini ada 43 ribu dari 75 ribu desa yang belum terakses fasilitas telekomunikasi. "Nah, sejak tahun 2003 lalu, guna mengatasi masalah itu, dana Universal Service Obligation (USO) atau kewajiban pelayanan universal, diambil dari APBN, yang masingmasing sebesar Rp 45 miliar. Bahkan mulai 2006 ada pungutan 0,75 persen dari pendapatan operator untuk dana USO untuk mengembangkan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia. Program Universal Service Obligation (USO) di daerah nonkomersial sejak tahun 2003 ditujukan untuk membangun fasilitas telekomunikasi di daerah-daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan termasuk daerah perintisan, perbatasan, pedalaman, pinggiran dan terpencil. Bukan cuma mengandalkan dana USO, Ditjen Postel juga mendorong operator untuk membangun jaringan tidak semata-mata di wilayah yang “gemuk” saja. Mereka, kata Gatot, juga di-endorse agar mengembangkan jaringan di wilayah-wilayah non ekonomis. “Tapi pemerintah tidak bisa memaksa, kita hanya meng-encourage saja kepada mereka. Melirik Warnet dan Wartel Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) pun menaruh harapan besar pada warung internet (warnet) yang menyebar di seluruh penjuru nusantara. "Namun demikian dibutuhkan strategi yang baik untuk menghilang-

terpencil maupun antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Untuk tenaga pengajar saja, dari 2.692.217 guru di seluruh Indonesia, hanya 27% saja yang memenuhi syarat sertifikasi. Begitu juga dengan tingkat kelulusan UAN yang masih rendah serta rata-rata nilai UAN yang tergolong rendah juga. Namun banyak pemain bisinis telekomunikasi melihat hal ini sebagai potensi pasar yang tak bisa diabaikan. Dari total penduduk yang mencapai 240 juta jiwa, saat ini jumlah total pengguna telepon di Indonesia mencapai angka 85 juta lebih. Dan dalam waktu tiga tahun ke depan, diperkirakan jumlah pengguna telepon di Indonesia mencapai setengah dari jumlah penduduk

foto: bf

Pertumbuhan Telekomunikasi Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan bisnis telekomunikasi sangat fenomenal. Sejak dibukanya perang tarif antaroperator, bisnis telekomunikasi yang semula cenderung lelet, tibatiba saja penuh gairah. Impaknya positif. Pertambahan jumlah pelanggan tiap operator, khususnya tiga besar (Telkomsel, Indosat, dan XL), pun sangat signifikan. Bisa disebut, inilah periode emas, di mana jumlah pelanggan mengalami kenaikan secara eksponensial. Teledensitas telepon yang semula sulit beranjak dari angka di bawah 10 persen, kini sudah mampu melewati angka 30 persen. Pemerintah pun sebenarnya telah melakukan sejumlah langkah strategis yang mencakup kebijakan yang berkaitan dengan investasi infrastruktur telekomunikasi dan informatika di Indonesia yang memungkinkan akses dan layanan yang semakin meluas dan merata. Dalam konteks ini beberapa kebijakan pokok antara lain Pemerintah segera menggelar Palapa Ring yang merupakan jaringan backbone fiber optic yang menghubungkan seluruh kabupaten/kota di Indonesia, lisensi layanan BWA untuk menyelesaikan masalah last mile, dan

kan kesenjangan digital. Permasalahan di Indonesia adalah pulau-pulau yang mencapai 17.000 sehingga kesulitan mendapatkan akses informasi di daerah terpencil," Moedjiono, Staf Ahli Menkominfo Bidang Hubungan Internasional dan Kesenjangan Digital . Dalam Diskusi Internet Governance di Indonesia & Pengembangan Warnet Sebagai ICT Centre pertengahan Juli lalu di Jakarta Moedjiono juga menjelaskan bahwa Depkominfo sedang memfokuskan pembangunan di wilayah Timur Indonesia. "Depkominfo saat ini memfokuskan untuk mengembangkan jaringan teknologi komunikasi di Indonesia Bagian Timur. Salah satunya melalui konsorsium untuk program Palapa Ring," ujarnya. Ketua Presidium Awari Judith MS. mengakui juga potensi warnet bisa dijadikan ujung tombak untuk mengatasi kesenjangan digital. Sebagaimana amanat WSIS yakni meningkatkan penetrasi internet hingga 50 persen dari jumlah penduduk pada 2015. Tetapi, menurut Judith perkembangan warnet Indonesia masih mencemaskan. Pasalnya, ada kecenderungan jumlah warnet turun seiring banyaknya warnet yang tutup. "Warnet-warnet tutup karena mahalnya akses serta pengaruh adanya sweeping," jelasnya Srijanto, anggota Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia menambahkan wartel juga bisa merupakan garda terdepan dalam hal peningkatan teledensitas. "Jika satu hari ada 100 pelanggan. Nah dengan 126.885 wartel, akan ada 12 juta lebih orang lebih yang datang ke wartel. Teledensitas bisa meningkat dari situ," demikian kalkulasi Srijanto. Memang sebuah keniscayaan untuk memastikan kesiapan dan kemampuan suatu bangsa untuk mengubah informasi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi merupakan hal yang mutlak dimiliki. Agar bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain yang telah maju lebih dahulu. (yulius haflan/mth)

foto: bf,net,d

tepat, TIK memiliki potensi yang sangat besar untuk pembangunan masyarakat di daerah terpencil.

menggelar USO untuk memungkinkan akses dan layanan telekomunikasi dan informatika di wilayah pedesaan dan perintisan. Kebijakan ini mengikutsertakan swasta (publicprivate partnership) sebagai salah satu langkah untuk mengatasi keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah saat ini. Sisi Lain Namun demikian, pencapaian yang dialami oleh sektor telekomunikasi di Indonesia, justru memunculkan kekhawatirkan. Di antara yang khawatir itu adalah Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh saat di Bandung, Senin (30/7), Nuh yang juga pakar IT itu mengungkapkan rasa mirisnya terhadap perkembangan bisnis telekomunikasi di Indonesia. ”Bisnis telekomunikasi ini memang luar biasa perkembangannya. Tapi, siapa yang menikmatinya? Orang asing, karena sebagian besar operator telekomunikasi di Indonesia dimiliki pihak asing dengan kapital besar. Sudah begitu, pertumbuhan yang luar biasa itu juga belum diimbangi dengan pemerataan akses dan alih teknologi. Yang terjadi malah kesenjangan teknologi dan digital,” kata Nuh. Padahal, menurut Nuh, perputaran uang dalam bisnis telekomunikasi di Indonesia terhitung besar, antara Rp 50 – 60 triliun per tahun. Apa yang dikhawatirkan Pak Menteri memang sangat beralasan. Di balik berbagai gemerlap kemajuan di bisnis telekomunikasi dan informatika, ada persoalan serius yang jika dibiarkan bisa menyebabkan bangsa ini masuk paradoks teknologi: di satu pihak ada kelompok yang benar-benar menikmati kemewahan teknologi, sementara di pihak lain masih banyak orang yang hidup dalam zaman batu. Indikasinya kian terlihat jelas. Pelaku bisnis telekomunikasi masih lebih mengutamakan daerah perkotaan ketimbang pedesaan. Orang kota pun

kian jauh meninggalkan orang desa. Pada gilirannya, sangat mungkin, kesenjang teknologi dan digital bakal mempertajam kesenjangan sosial yang sekarang ini saja sudah menganga lebar. Kesenjangan digital memang dirasakan tidak saja dalam kaitan paradoks kota besar dan kecil, kota dan desa, melainkan juga dalam suatu kota, terutama sejak penggunaan internet secara luas dan meningkatnya arus informasi yang sangat dominan, yang didukung platform teknologi dan sistem informasi. Kesenjangan digital juga terkait dengan kesetaraan memperoleh peluang. "Kita sesungguhnya memang belum merdeka dan rasanya sulit dalam waktu dekat kita bisa benar-benar merdeka, terbebas dari ketergantungan bangsa lain didalam penguasaan teknologi. Oleh karena itu, kemandirian dalam bidang teknologi dan bidang-bidang yang lain masih sangat relavan untuk selalu dikumandangkan," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Moh. Nuh. Kemandirian tersebut, bukan berarti tidak membutuhkan teknologi yang dikuasai oleh bangsa lain, tapi inisiatif dalam penguasaan, pengembangan dan penerapannya berada di tangan bangsa sendiri. Teman saya tadi mungkin bisa kehilangan sinyal telepon selulernya, karena layanan operator langganannya belum menjangkau kawasan ini. Namun ia bisa menggunakan layanan operator lain, bahkan sepanjang lorong Kota Kupang ia sangat mudah menemukan warung telekomunikasi dan warung internet. Sekalipun kesenjangan masih ada namun perlahan dan pasti kita bersama akan menyaksikan bahwa perlahan kesenjangan itu akan terkikis. (berbagai sumber-uyung/mth)


www.bipnewsroom.info/komunika email: komunika@bipnewsroom.info

Edisi 16/Tahun III/Agustus 2007

"Tahun Kebangkitan Teknologi Informasi Indonesia" Indonesia mau tak mau harus mengikuti waktu yang berputar dan dunia yang berkembang. Memang masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan, mulai dari faktor budaya dan pola pikir modern sampai kesenjangan digital yang menuntut untuk dirunut. Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) sebagai institusi yang salah satunya berwenang menangani masalah Teknologi Informasi (TI) atau karib disebut Information and Communication Technology (ICT) pun terus berbenah. “Tahun depan bersamaan dengan momen seratus tahun kebangkitan nasional, akan pula menjadi simbol kebangkitan Indonesia di bidang teknologi informasi,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh. Lantas apa yang saja yang sudah, sedang, dan akan dilakukan Depkominfo untuk mewujudkan hal tersebut? KomunikA berkesempatan mewawancarai mantan Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS) ini di ruang kerjanya, di Jl. Merdeka Barat 9, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya :

Apa yang sedang dilakukan Depkominfo saat ini? Kami coba melakukan percepatan program yang tengah berjalan dan juga melakukan penataan ke dalam atau set up. Departemen ini kan baru, gabungan dari eks Deppen (Departemen Penerangan –red), LIN (Lembaga Informasi Nasional), dan Postel (Ditjen Pos dan Telekomunikasi, sebelumnya di bawah Departemen Perhubungan – Red). Karena tugas departemen ini semakin kompleks, khususnya dunia Teknologi Informasi (TI) atau dikenal Information and Communication Technology (ICT), sedang booming. Sehingga cara kerjanya pun masih perlu penghalusan.

foto:ddt

Secara garis besar? Depkominfo bercita-cita membangun masyarakat Indonesia yang berbasis pengetahuan dengan informasi sebagai ruhnya. Jadi secara khusus yang sedang dilakukan saat ini adalah pertama, penataan dan menganalisis program satu persatu, agar bisa saling mendukung. Kedua adalah melakukan legal provider, dalam arti transaksi bisnis yang

8

ada harus sesuai dengan peraturan. Oleh karena itu Depkominfo intens melakukan konsultasi dengan KPK, sebagai lembaga yang berwenang. Ketiga, penerapan prinsip 3 G yakni Good Governance Government. Prinsip efisien, produktivitas, dan transparan iniliah yang menjadi agenda dan panduan utama dalam setiap pelaksanaan program departemen.

Mohammad Nuh Menteri Komunikasi dan Informatika

Orang bilang, abad 21 adalah abadnya teknologi. Abad di mana tak ada lagi batas ruang dan waktu. Semua tersambung dengan seutas serat tipis atau fiber optic setebal sepersekian milimeter. Dan segala penjuru dunia akan menyatu dengan teknologi.

TI begitu pentingkah? Kita sudah melihat bahwa sejarah dan budaya manusia dimulai dari budaya jaman batu, pertanian, berdagang, industri kemudian saat ini era informasi. Ikon teknologi perdagangan adalah kapal layar, industri adalah mesin dimulai pada abad 18 dengan ditemukannya mesin uap. Kini abad 21 yang menjadi ikon adalah komputer. Sejarah membuktikan bahwa pada masa perdagangan, bangsa yang tidak memiliki kapal layar habis karena tidak dapat berkembang. Begitu pula saat zaman industri dengan mesin sebagai kebutuhan utama. Dan komputer saat ini khususnya informasi, TI sekarang sangat dibutuhkan. Sehingga program yang menurut Depkominfo sangat penting adalah harus bermuara pada information accessability (kemudahan mengakses informasi). Maksudnya? Setiap orang selain mudah memperoleh informasi juga dapat memberikan peluang bagi lembaga-lembaga yang memiliki kandungan informasi untuk membaginya kepada masyarakat. Kami ingin memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi. Apa saja yang akan dilakukan? Untuk itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan agenda ini, Pertama, ketersediaan infrastruktur, karena informasi butuh infrastruktur yang memadai dan menunjang, Kedua, keterjangkauan harga, karena tanpa hal ini maka nihil. Program yang sudah dicanangkan dengan bermodalkan berbagai faktor, akan sia-sia. Dan syarat ketiga adalah kesiapan masyarakat. Karena di sinilah diperlukan adanya transformasi sosial. Konkretnya? Pertama yang dicanangkan adalah USO (Universal Service Obligation), iuran dari para operator telekomunikasi di Indonesia kami naikkan. Yang awalnya hanya 0,7 persen dari pendapatan kotor, naik menjadi 1,25 persen. Sebagiannya kita pakai untuk ekspansi teleponik sebagai infrastruktur informasi ke seluruh negeri ini. Karena dari data 2006, ada 38 ribu desa di Indonesia yang belum tersambung telepon. Rencana penyelesaiannya antara 2007 – 2009. Tapi ngejar 2008, Insya Allah lunas. Uangnya dari urunan USO tadi. Tapi tentu kita nggak ingin sebatas telepon saja yang masuk. Ingin juga ada peningkatan dalam kehidupan masyarakat. Karena kalau hanya telepon saja yang masuk, mereka akan konsumtif. Uangnya habis hanya untuk telepon-teleponan. Lantas? Karenanya kami mengajak departemen terkait semisal Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Departemen Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Kemenko Kesra, dan Departemen EDSM (Energi dan Sumber Daya Mineral), duduk bareng untuk memetakan desa yang menjadi target pembinaan melalui program peduli peningkatan desa. Kami juga pikirkan infrasrukur dan akses jalan, dan sebagainya. Sehingga diharapkan setiap desa nantinya mendapatkan layanan hampir dari seluruh departemen. USO hanya sebagai kendaraan untuk memberdayakan masyarakat desa. Misalkan, Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas). Jika nanti setiap desa sudah terhubung dengan CAP (Community Acces Point), maka desa itu dapat memanfaatkan konten broadcast yang dipancarkan oleh Depdiknas. Sehingga gap antara Jakarta dan daerah lain bisa dipersempit. Tidak itu saja, juga akan berimbas pada persoalan-persoalan kesehatan, ekonomi, dan lainnya. Harapannya, perlahan tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diperbaiki. Harga tarif telepon kita masih mahal? Memang, informasi saat ini sudah menjadi ke-

butuhan manusia yang penting. Hampir sama dengan kebutuhan pokok manusia. Salah satu yang akan kita benahi adalah masalah keterjangkauan harga. Kalau lewat satelit harga mahal, lewat kabel, bisa juga lewat fiber optic, untuk data yang sangat besar nggak mungkin lewat kabel pasti pakai fiber optic . Untuk itu kita akan membangun tol informasi, sekarang ini di Indonesia Timur belum ada fiber optic sehingga kalau mau ngirim harus menggunakan satelit yang mahal karena mereka harus memiliki receiver. Kita akan bangun palapa ring, Indonesia Timur nantinya akan dikelilingi fiber optic tersebut sehinga data yang dari Jakarta lewat fiber optic. Ada tujuh konsorsium yang akan menanganai proyek ini. Pemerintah hanya memfasilitasi, tidak perlu mengundang investor dari luar.

Jelasnya? Awalnya nanti Manado akan dijadikan landing point dekat Filipina terus mengikuti daerah lain seperti Papua yang dekat dengan Australia. Sehingga Filipina jika akan masuk ke Indonesia hanya tinggal lewat Manado maka langsung teringretasi nasional. Semakin banyak negara yang landing point, maka transaksi akan semakin banyak. Indonesia sebetulnya banyak dilewati oleh fiber optic negara lain, namun hanya sekadar lewat. Karena kita tidak memiliki landing point. Padahal informasi baru bermakna kalau ada transaksi. Cuma lewat, nggak ada artinya. Ya mudah-mudahan 2008 rampung dan Indonesia Timur akan memiliki TOL yang akan memudahkan pengiriman informasi. Akan ada revolusi di Indonesia dalam dunia teknologi informasi (TI). Apa kendala terberat? Akan menjadi berat kalau tidak ada kemampuan dan kemauan. Kalau masalah dana sudah teratasi. Insya Allah kami sudah mempunyai tekad, mulai Pak Presiden. Masyarakatnya juga sudah sama-sama berkepentingan terhadap IT, kemauan sudah sekarang tinggal kemampuan. Dana sudah teratasi, lantas kemampuan apa lagi? Ada tiga hal kemampuan yang harus kita miliki untuk mewujudkan program andalan kita. Pertama, financial resources dan sudah terbukti untuk palapa ring ada tujuh konsorsium perusahaan dalam negeri. Kemudian kemampuan tehnical skill Indonesia. Urusan Fiber Optic saya rasa bukan kendala berarti bagi kita karena kita sudah biasa pasang di manamana, sudah banyak. Dan ketiga adalah kemampuan me manage yang sampai saat ini sedang dan masih diusahakan. Karena me-manage kan perlu tangan dingin, ada seni tersendiri untuk menanganinya. Bukan mengatur barang mati, tapi ada complexity dari perorangan, organisasi, dan perusahaan. 2008 pencanangan tahun kebangkitan TI Indonesia? Benar. Tahun depan dengan simbol Palapa Ring yang juga sebagai simbol persatuan dan kesatuan nasional, simbol kebangkitan di era informasi, akan kita tandai dengan pembangunan infrastruktur telekomunikasi ini. Walau memang belum selesai. Tapi ingat infrastruktur belum memberikan makna optimis tinggi kalau tidak diikuti dengan pengembangan dan pembangunan konten. Maksudnya? Meskipun jalan tol sudah kita bangun begitu besar tapi kalau nggak ada yang lewat, atau kalau yang lewat itu narkoba, maka nggak ada maknanya. Oleh karenanya paralel dengan itu maka kita kembangkan konten-konten. Ada informasi yang disiapkan dan langsung dimasukkan dan sebarkan. Kita bangun konten dan konteks. Infrastruktur kita bangun berbasis contextuality. (tomo/dimas@bipnewsroom.info)


www.bipnewsroom.info/komunika email: komunika@bipnewsroom.info

Edisi 16/Tahun III/Agustus 2007

Kurangi Ketergantungan Dengan Open Source dan dokumentasi serta online support lainnya. Sementara itu, I Made Wiryana, tokoh teknologi informasi Indonesia, menyatakan bahwa help desk nasional merupakan sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari strategi jangka panjang implementasi open source di Indonesia. Ia juga menambahkan bahwa help desk nasional ini nanti akan dikelola bersama oleh para pelaku open source secara kolaboratif.

dia dengan menggunakan open source maka akan mengurangi pembajakan sekaligus mengurangi ketergantungan pada sistem operasi dan aplikasi propietary yang harganya jauh lebih mahal. Pusat Rujukan Nasional Dalam proses migrasi tersebut Imron menjelaskan program ini telah dimulai pada awal Agustus 2007 dan akan diakhiri dengan membentuk sebuah help desk open source nasional. "Help desk ini akan dikelola oleh komunitas pengguna linux setempat dan di tingkat nasional akan dikelola bersama-sama oleh komunitas open source," terang Imron. Migrasi yang dilaksanakan diawali dengan assessment untuk mengetahui jumlah komputer beserta spesifikasi dan penggunaannya di kantor-kantor pemerintah dalam wilayah yang dijadikan contoh. Untuk NAD meliputi Pemerintah Provinsi NAD, Pemerintah Kota Lhokseumawe, Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah. Sedangkan di DIY meliputi Pemerintah Provinsi Yogyakarta, Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul. Setelah data tentang kondisi kebutuhan perangkat lunak dan sistem informasi yang ada diperoleh, akan dikembangkan sebuah sistem operasi berbasis open source untuk menjawab berbagai kebutuhan yang dilengkapi dengan manual dan sistem pendukung lainnya, misalnya repository lokal serta persiapan layanan help desk secara online. Pengembangan help desk open source nasional akan menjadi sebuah pusat rujukan semua kebutuhan open source . Mulai dari repository, klinik, forum, artikel, manual

Ubah Persepsi Salah satu kendala untuk menggunakan aplikasi open source adalah karena pengguna tidak terbiasa menggunakannya. “Kalau dibilang susah sih, nggak juga lah, hanya saja tampilan dan sistemnya yang sedikit berbeda kadang membuat orang enggan beralih ke open source,” kata Dudung. Hal inilah salah satu yang memicu maraknya penggunaan software bajakan karena pengguna belum familiar dengan open source, sedangkan harga aplikasi berbayar sangat mahal. Dari sisi pemerintah, sesungguhnya tidak ada paksaan untuk memilih sistem operasi mana yang harus dipakai. “Tugas kami adalah membuka peluang sebesarnya ke semua sistem operasi. Hanya tinggal bagaimana pertanggungjawabannya,” ujar Kusmayanto. Menurut dia Kementerian Ristek dengan program Indonesia Go Open Source (IGOS) cukup optimistis bahwa open source akan mampu diserap oleh masyarakat luas kendati memang membutuhkan keberanian mencoba sesuatu yang baru. Kusmayanto menjelaskan selama ini penggunaan open source masih terbatas dan memiliki citra individualistik serta hobi. Hanya sedikit orang yang memanfaatkan open source padahal teknologi aplikasi komputer yang ditawarkan memiliki kelebihan yaitu mampu dimodifikasi untuk menjawab berbagai keperluan. “Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana menggeser citra tersebut untuk mengungkapkan kegunaan-kegunaan open source, baik secara bisnis maupun tugas-tugas kepemerintahan,” tuturnya. Sehingga menurut dia yang perlu untuk dilakukan adalah mendobrak citra open source yang masih individualistik tersebut. Kelangsungan teknologi open source masih perlu terus diperjuangkan. Apalagi, perangkat lunak komputer open source memang menarik dan secara finansial relatif murah. Tapi tantangan yang terbesar adalah mengubah citra open source agar lebih mudah diterima dan bisa diaplikasikan secara massal di Indonesia. Sebagai jawaban atas ketergantungan terhadap aplikasi berbayar yang harganya kian mencekik.

Perangkat lunak komputer open source memang menarik, terlebih secara finansial relatif murah. Namun dukungan berbagai pihak sangat dibutuhkan. Terutama untuk mengubah citra open source yang dipandang "sulit" digunakan para pemula .

(hendra@bipnewsroom.info)

foto: bf

Kurangi Ketergantungan Namun para pekerja TI seperti Dudung tak perlu khawatir, karena kini masih ada pilihan lain, yaitu dengan menggunakan aplikasi open source. Aplikasi ini kebanyakan tidak bersifat komersial atau tidak menuntut pembelian lisensi ataupun royalti hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Aplikasi komputer berbasis open source dapat dijadikan pilihan bagi pengguna sehingga tidak menggunakan aplikasi bajakan, misalnya Linux sebagai sistem operasi dan open office sebagai aplikasi pengolah kata. Saat ini berbagai aplikasi open source sudah bisa diakses dan diunduh dengan udah. Sekalipun masih ada berbagai kendala tetapi peluang masih terbuka lebar. Bahkan menurut Imron Fauzi, Program Manager Open Source Yayasan Air Putih saat ini dua provinsi akan memulai migrasi ke open source. “Dalam jangka pendek tujuan migrasi di dua provinsi ini adalah merumuskan masterplan migrasi open source, sedangkan dalam jangka panjang provinsi yang sudah melakukan migrasi open source bisa mengurangi ketergantungan pada perangkat lunak yang mahal dan tertutup,” katanya. Dua provinsi tersebut adalah Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Untuk pengembangan ini Kementerian Negara Riset dan Teknologi serta Yayasan Air Putih telah menyepakati proses migrasi komputer-komputer yang dimiliki instansi pemerintah dan perorangan menjadi berbasis perangkat lunak open source. Diharapkan melalui dua propinsi tersebut maka penggunaan open source juga akan meluas ke provinsiprovinsi lainnya di wilayah Indonesia. “Kita menawarkan pa-

da siapa saja yang bersedia menggunakan open source dan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) langsung menyatakan minatnya,” kata Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Kusmayanto Kadiman beberapa waktu yang lalu. Kusmayanto mengatakan, pihaknya berharap provinsi lainnya juga mulai melirik menggunakan open source dalam penyelenggaraan pemerintahannya selain software proprietary. Menurutnya

foto:net

D

i zaman ini, komputer bukan lagi barang mewah. Seolah kelaziman, komputer juga mudah ditemukan dalam setiap kantor pemerintah, lembaga pendidikan, atau lembaga bisnis. Bahkan di kota-kota besar, komputer seolah mudah juga ditemukan dalam setiap rumah. Memang komputer dapat digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas dan kebutuhan tersebut asalkan dilengkapi dengan perangkat lunak/ aplikasi (software). Namun kebanyakan harga perangkat lunak bisa dikatakan tidak ramah bagi ukuran kantong kebanyakan masyarakat Indonesia (baca: mahal). Dudung (26), seorang pekerja bagian teknologi informasi di sebuah instansi, selalu mengeluhkan harga yang harus dibayar untuk sebuah aplikasi tertentu, "Enak jika bos atau bagian keuangan faham benar kenapa kita harus membeli sekeping CD atau DVD berisi program dengan harga mahal. Kalau tidak menjelaskannya bisa makan waktu tiga bulan," keluh Dudung. Walhasil kemudian Dudung terkadang harus rela menalangi dulu kemudian mengkonversikan dengan kegiatan atau kebutuhan operasional lainnya, "Belum lagi kita harus bayar lisensi karena aplikasi tersebut tidak bisa kita modifikasi karena sifat kodenya yang tertutup, Mas,” katanya seraya menambahkan bahwa dalam sebuah aplikasi harus dilakukan modifikasi agar bisa sesuai kebutuhan kerjanya. Hal tersebut mungkin dapat dipahami karena memang aplikasi tersebut adalah aplikasi yang bersifat komersial dan bersifat tertutup (proprietary) sehingga tidak dapat dimodifikasi oleh pengguna. Tingginya harga suatu aplikasi berbayar tersebut menyebabkan banyak pengguna yang memilih untuk menggunakan aplikasi bajakan atau ilegal. "Tentu karana illegal dan tidak ada pembayaran lisensi, maka ancamannya adalah berhadapan dengan penegak hukum," kata Dudung.

9


www.bipnewsroom.info/komunika email: komunika@bipnewsroom.info

Edisi 16/Tahun III/Agustus 2007

Melongok Kelas Laptop Di Tepian Mahakam

>>

Murid SMK Airlangga diwajibkan memiliki laptop untuk mengikuti pelajaran. Dengan fasilitas wireless area di lingkungan sekolah, siswa dapat mengakses internet selama 24 jam. Bahkan dalam proses penugasan, para guru pun memanfaatkan fasilitas e-mail.

Tak Asal Jadi Ternyata cerita "kelas laptop" bukan asal jadi. "Kelas ini sebenarnya sudah direncanakan dua tahun lalu, namun baru bisa terlaksana tahun ini," kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMK Airlangga, Khairati. Khairati menuturkan bahwa kelas laptop mulai dibuka tahun ajaran 2007 ini. "Tahun ini animo siswa masuk ke SMK Airlangga cukup besar, sementara laboratorium komputer kami terbatas. Akhirnya kami putuskan untuk menerima siswa tambahan dengan syarat setiap siswa memiliki laptop," jelasnya. Tetapi bukan sembarang laptop, pihak sekolah mensyaratkan spesifikasi tertentu untuk setiap laptop yang dimiliki oleh para siswa. “Dan kapasitas kelas juga hanya kami batasi untuk 20 siswa,” tambah Khairati. Mengenai metode pengajaran yang diterapkan, menurut Wakasek Kesiswaan tidak jauh ber-

beda dengan metode pengajaran kelas regular. "Hanya saja mereka tidak perlu keluar masuk laboratorium komputer untuk mempraktekkan apa yang didapatkannya di kelas," jelas Khairati. Lebih Mudah Praktek Dengan laptop para siswa juga tidak perlu lagi buku catatan tetapi cukup mencatat menggunakan komputer jinjing itu. Berdasarkan pengamatann Khairati, penyerapan siswa terhadap materi pelajaran juga ternyata beda antara "kelas laptop" dengan kelas regular. "Siswa di kelas laptop lebih cepat dalam memahami pelajaran karena mereka tiap saat dapat langsung mempraktekkan apa yang diajarkan dengan laptop mereka," tutur Khairati. Untuk mendukung kelancaran proses balajar mengajar, di lingkungan SMK ini juga disediakan titik hot spot yang dapat dimanfaatkan siswa untuk dapat mengakses internet selama 24 jam. “Para guru yang mengajar juga sudah mulai memanfaatkan e-mail dalam memberikan tugas pada siswa, dan untuk menyelesaikan tugas tersebut siswa dapat mencari bahannya di internet,” ungkap Khairati. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMK Airlangga, Abdul Malik mengatakan pembukaan "kelas laptop" didasarkan pada keinginan untuk memaksimalkan kemampuan siswa dalam menyerap ilmu di bidang teknologi informasi. “Ketika setiap siswa memilki laptop, maka interaksinya dengan komputer tidak lagi dibatasi waktu, “ ujarnya. Namun demikian, Malik mengakui bahwa pengaplikasian kelas laptop tidak mudah. Apalagi para siswa umumnya masih awam terhadap perangkat yang mereka gunakan, "Sehingga masih membutuhkan bimbingan dan bantuan khusus dari para guru pengajar. Baik untuk perawatan maupun untuk memastikan agar pemanfaatan jaringan internet tidak disalahgunakan siswa,” katanya. Fokus Pada Keahlian IT Sejak angkatan 2004/2005, SMK Airlangga mengadopsi Kurikulum 2004 yang jauh lebih tajam dan fokus dibanding kurikulum SMK sebelumnya. Ada 3 program keahlian yang dikembangkan di SMK-TI Airlangga Samarinda, yaitu: Multimedia (MM), Rekayasa Perangkat Lunak (RPL), Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ). Menurut Malik hal ini juga didasarkan pada kebutuhan tenaga bidang informasi teknologi di kawasan Kalimantan Timur yang cukup tinggi. "Seca-

foto : http://smka-smr.sch.id

Yeni (13 tahun) tampak serius menyimak katakata guru di depan kelas. Sesekali tanganya sibuk menari di atas keyboard laptop di mejanya. Tangannya yang cukup terampil, tampak membuka beberapa aplikasi. Sedetik kemudian dihadapannya telah terpampang hasil pencarian dari dunia maya tentang materi yang disampaikan sang guru. Tidak berbeda dengan yang dilakukan Yeni, Fery teman sebangkunya juga terlihat asyik mengutak-atik laptop miliknya sembari mendengarkan penjelasan sang guru. Lima menit usai guru menutup kelas, sambil berbenah buku dan beberapa peralatan lain, dalam layar laptop masing-masing siswa hampir bersamaan muncul tanda pemberitahuan kotak surat elektronik. Ah, ternyata penugasan dari sang guru tadi. Situasi seperti itu adalah gambaran keseharian di kelas multimedia Sekolah Menegah Kejuruan Airlangga di Samarinda, Kalimatan Timur. Dan, tidak hanya Yeni dan Fery yang memanfaatkan laptop dalam proses belajar namun ada 18 siswa lain di kelas tersebut yang juga memilki dan memanfaatkan laptop. “Dengan menggunakan laptop, kami dapat lebih cepat memahami pelajaran yang diberikan guru, karena tidak perlu mengantri dan menunggu giliran untuk dapat mempraktekkan apa yang diajarkan dalam ruang laboratorium komputer,” terang Yeni, gadis berkerudung yang bercita-cita menjadi webdesigner. Dengan laptop yang senantiasa terhubung dengan jarigan internet, Yeni dapat lebih leluasa mencari berbagai ide dan gagasan baru dalam desain web. “Melalui laptop, saya dapat mencari dan meli-hat berbagai template baru dan referensi yang sangat berguna bagi saya,” ujarnya.

ra secara khusus tujuan Program Keahlian Multimedia yang diselenggarakan oleh SMK Airlangga adalah membekali peserta didik dengan keterampilan, pengetahuan dan sikap agar kompeten mengoperasikan software dan periferal digital illustration, digital imaging, dan web design," kata Malik. Selain itu, di SMK ini siswa disiapkan bisa mengoperasikan software dan periferal multimedia, presentation, 2D animation, dan 3D animation serta kemampuan untuk mengoperasikan software dan periferal digital audio, digital video, dan visual effects. Dalam program keahlian rekayasa perangkat lunak, siswa dibekali keterampilan, pengetahuan dan sikap agar nantinya memiliki kompetensi di bidang instalasi software aplikasi spesifik pemrograman. "Ketika menyelesaikan pendidikannya, siswa diharapkan juga memiliki kemampuan untuk merawat software serta membangun software," kata Malik. Ada pula, Program Keahlian Teknik Komputer dan Jaringan diarahkan untuk mempersiapkan siswa agar memiliki kualifikasi yang mampu menginstalasi perangkat komputer personal dan menginstall sistem operasi dan aplikasi. "Selain itu juga diharapkan mampu menginstalasi dan merancang bangun perangkat jaringan berbasis lokal maupun luas," imbuh Malik. "Kelas laptop" memang saat ini masih menjadi kelas uji coba di SMK Airlangga, namun dengan pembiasaan berinteraksi dengan teknologi tersebut bukan tidak mungkin keahlian siswa selama menimba ilmu akan terasah dengan baik. Tak hanya teoritik, bahkan dalam praktek para siswa akan bisa lebih banyak belajar. Bukan tidak mungkin dari kelas ini akan lahir "Bill Gates" asal Indonesia yang siap dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan teknologi informasi Indonesia. (doni@bipnewsroom.info)

10

Suatu ketika, pakar TI Indonesia, Onno W. Purbo, menyempatkan diri datang ke sekolah ini. Ia melakukan demo setting server VOIP langsung di depan sekitar 40 peserta dari kalangan pelajar, mahasiswa, guru, dosen dan praktisi TI Samarinda. Memang keunikan cara pengajaran di SMK satu ini menarik banyak pihak untuk mengunjungi. Tak terkecuali KomunikA yang juga kepincut saat pertama kali membaca website resmi sekolah yang cukup variatif. Bahkan dalam situs yang beralam di http:// smka-smr.sch.id ini ada pula fasilitas blog untuk siswa sekaligus pula database jaringan alumni yang dikembangkan lewat millis. "Syukur alhamdullillah bertambah lagi sekolah yang mulai melakukan penampakan di Internet Indonesia. Saya berharap semoga bisa memperkuat fondasi bangsa Indonesia dalam menembus dunia internasional," kata Onno saat mengomentari keberadaan website sekolah ini . Sekalipun website hanyalah alat atau wadah tempat menyimpan informasi, namun secara proaktif siswa juga dikembangkan kemampuan dan keahliannya untuk mengisi konten web tersebut. Tim Cyber Reporter yang terdiri dari siswa-siswi SMKTI Airlangga pernah juga melakukan wa-

wancara eksklusif dengan Kepala Bidang Pendidikan Menengah Kejuruan (Dikmenjur) Kalimantan Timur dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda. "Kita perlu menggalakan kemampuan para siswa maupun guru untuk dapat mengisi / menulis informasi, karangan, tulisan untuk mengisi wadah yang telah dibuat tersebut. Tentunya tidak perlu dalam bidang teknologi informasi dapat dalam bidang yang disukai, misalnya bercocok tanam, menjahit, mendaki gunung dll. Dengan demikian wadah yang telah dibuat akan menjadi lebih semarak," pinta Onno lewat e-mail. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa harapan Onno melalui e-mail yang dikirimkan ke pengelola website juga sudah terwujud. Prospek e-edukasi Pembangunan dan pengembangan e-edukasi merupakan upaya mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang pendidkan. Namun demikian faktor kunci utama adalah kesadaran masyarakat akan pentingnya TIK. Sekalipun jumlah pengguna internet meningkat secara tajam, namun pemanfaatan internet untuk pembelajaran masih terbatas. Dan peluang besar masih ada karena kebanyakan generasi muda

foto : http://smka-smr.sch.id

(Tak Sekadar) Kembali ke Laptop

sekarang juga mulai banyak yang melek internet. Sekalipun pola belajar di kebanyakan sekolah masih menggunakan pola konvensional, namun tidak sedikit siswa uang menggunakan internet untuk kebutuhan pendidikan mereka. Potensi inilah yang akan menjadi pesat berkembang ketika ada banyak inisiatif sebagaimana dilakukan SMK Airlangga. Bukan tak mungkin nantinya e-edukasi kan menjadi keseharian bagi dunia pendidikan kita di Indonesia. (mth/doni)


www.bipnewsroom.info/komunika email: komunika@bipnewsroom.info

Edisi 16/Tahun III/Agustus 2007

Kemerdekaan ala Yetti

Kesederhanaan Sekalipun sederhana, upacara berlangsung meriah. Sekitar 300-an warga setempat dan anakanak sekolah dengan pakaian yang seadanya hadir. Jangan bayangkan seperti perayaan di kawasan perkotaan yang penuh gebyar dan gemerlap kostum. Kalau di Yetti, jangan kaget ada yang bercelana pendek tanpa alas kaki, atau ada orang dewasa yang mengajak anaknya bersama-sama mengikuti upacara. Bahkan ada yang menghisap rokok sambil mengikuti upacara. “Jangan kaget Pak, sebab baru pertama kali ini kami adakan upacara HUT Kemerdekaan RI di sini,” ujar Ondoafi Kampung Yetti, Marthen Putui. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 09.15 WIT, warga masyarakat dari lima kampung dan anak Sekolah Dasar (SD) tampak siap di lapangan upacara SD Inpres Yetti. SD yang baru dibangun Pemkab Keerom tahun 2006. Walaupun sederhana, upacara diikuti dengan baik dan penuh khidmat oleh seluruh masyarakat yang datang. Menurut Marthen, warga di Yetti selama ini tidak sempat melakukan upacara seperti itu. Pasalnya situasi dan kondisi keamanan yang kurang memungkinkan. Tahun-tahun sebelumnya, masih banyak pengaruh-pengaruh kurang baik dari kaum separatis. “Namun sejak kehadiran TNI di wilayah ini kondisi mulai aman dan pembangunan mulai berjalan, pada akhirnya kami juga bias mengadakan upacara seperti yang dilaksanakan saat ini,” tandasnya. Dalam upacara itu, Ondoafi Kampung Yetti, Mar-

then Putui menjadi inspektur upacara. Sementara pengibar bendera Merah Putih adalah anggota TNI Yonif 407/ Padma Kusuma, Kesatuan Infantri Kodam IV Diponegoro yang bertugas di daerah tersebut. Petugas paduan suara adalah anak-anak SD Yetti. Menariknya, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya masih dengan membaca teks. “Kami sudah sering mengajar mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan beberapa lagu nasional, namun mereka masih lupa-lupa, sehingga kami berikan teks,” jelas Kepala Sekolah SD InpresYetti, Thomas Migau. Kebulatan Tekad Upacara peringatan kemerdekaan RI ini juga menjadi momen untuk membacakan pernyataan sikap warga kawasan perbatasan RI-PNG. Marthen Putui langsung memimpin membaca kebulatan tekad mereka untuk mempertahankan keutuhan NKRI sampai kapanpun. Selain itu warga perbatasan juga berjanji tetap konsisten dengan keputusan seluruh masyarakat Papua tahun 1969, bahwa Papua adalah bagian dari NKRI. "Kami siap menghadapi setiap ancaman dalam bentuk apapun, oleh siapapun yang akan memisahkan Papua dari bingkai NKRI. Dan kami siap mendukung otonomi khusus bagi kesejahteraan Rakyat Papua," kata Marthen dengan lantang yang diikuti para peserta upacara. Menurut Kepala Kampung Skroum, Yosias, untuk datang ke Kampung Yetti, dirinya menempuh perjalanan kaki sepanjang 12 Km. Mereka berjalan kaki melewati jalanjalan setapak.

Kemerdekaan Saat berbicara tentang kemerdekaan, kita sering hanya mendefinisikannya dalam kata, “bebas dari penjajahan” alias freedom from (colonialism). Proklamasi kemerdekaan diartikan sebagai detik-detik jebolnya sistem kolonial, sekaligus dimulainya sebuah sistem masyarakat baru yang terhimpun dalam kesatuan negara bangsa (nation state). Kalau mau jujur, freedom from dalam arti bebas dari penjajahan sebenarnya sudah 62 tahun kita raih. Kita tidak lagi membutuhkan kemerdekaan yang demikian. Merdeka dari penjajahan cukup satu kali, dan itu sudah usai. Romantisme sejarahlah yang membuat kita senantiasa terpukau pada seremonial peringatan hari ulang tahun kemerdekaan yang gegap-gempita. Tak beda dengan ulang tahun manusia yang dirayakan secara meriah, kendati semua tahu bahwa pada hari itu umur baru saja berkurang satu tahun. Namun kita jarang sekali memperbincangkan kemerdekaan dalam konteks, “bebas untuk”, atau freedom for. Apa yang kita perbuat setelah gemerlap peringatan HUT kemerdekaan usai dan kita sudah mendapatkan legalitas kebebasan untuk bertindak? Jika kita hanya diam, tidak berbuat apa-apa, maka sejatinya kita tak berbeda secara signifikan dengan bangsa terjajah. Dulu, pada jaman prakemerdekaan, kita sering mengeluh apa-apa tidak boleh, apaapa dilarang. Belajar, beserikat, berkumpul,

“Kami berangkat dari rumah sejak pukul 06.00 WIT. Kami pergi hanya untuk mengikuti upacara, dan kami senang sebab baru pertama kali dilaksanakan upacara gabungan di Kampung Yetti,’ ungkapnya. Dengan pelaksanaan upacara tersebut, dirinya berharap kedepan ada perhatian pemerintah yang lebih menyentuh ke masyarakat di kawasan perbatasan, terutama ketersediaan sarana transportasi seperti jalan raya, sarana pendidikan dan kesehatan. “Kami sudah menjadi bagian dari Warga Negara Indonesia, coba lihat kami datang jauh-jauh hanya untuk memperingati hari kemerdekaan. Untuk itu, kami minta ada perhatian dari pemerintah,” pinta Yosias. Usai upacara, dilanjutkan dengan berbagai lomba diantaranya lomba memanah tradisional, lomba lari kelereng di sendok dan juga lomba lainnya, yang diikuti oleh seluruh warga yang hadir pada saat itu. Suasana meriah juga tampak ke seluruh kampung. Sekalipun tanpa lampu penjor namun nuansa merah putih tampak kentara dan sangat menyolok mata. Di depan rumah setiap warga, berkibar bendera Merah Putih.

>>

Perayaan Hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia sudah diperingati sebanyak 62 kali. Tahun ini merupakan pengalaman pertama bagi WNI di perbatasan RI-PNG, kampung Yetti, Kabupaten Keerom Provinsi Papua.

(Yaan Yoku/Koresponden Papua)

foto : william

Yetti adalah nama sebuah kampung di kawasan perbatasan RI-PNG. Secara administratif, Yetti wilayah Pemerintahan Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Kampung ini hanya bisa dijangkau dengan truk. Jarak ± 50 Km dari Keerom bisa ditempuh kira-kira 4 jam kalau cuaca baik, tapi kalau hujan bisa memakan waktu 5-6 jam. Letaknya yang relatif jauh, membuat masyarakat di kampung ini menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Hal ini tampak ketika untuk pertama kalinya masyarakat di kampung ini merayakan HUT Kemerdekaan RI ke-62 yang dipusatkan di kampung ini. Perayaan ini pun diikuti empat kampung lain di kawasan perbatasan yakni, Kampung Kibay, Kriko, Skroko, dan Skroom.

Untuk pertama kali warga Kampung Yetti di Perbatasan RIPNG merayakan HUT Kemerdekaan RI. Nyanyikan Lagu Indonesia Raya dengan membaca teks

me-ngeluarkan pendapat harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena semua dibatasi. Kini, setelah semua batas ditebas dan semua belenggu dibuka, kita masih juga mengeluh karena merasa masih tak mampu berbuat apaapa. Lalu apa bedanya hidup di era penjajahan dengan era ke-merdekaan? Kita sering berasumsi bahwa kemerdekaan adalah urusan raga, bukan jiwa. Padahal sejatinya kemerdekaan itu ada dalam jiwa, bukan raga. Tahukah anda bahwa Mahatma Gandhi membuat ratusan risalah saat berada di dalam penjara. Ide ide Soekarno tentang perjuangan semakin mengkristal justru ketika ia ditahan Belanda di penjara Sukamiskin. Buya Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar dalam bui. Dan Pramudya Ananta Toer menulis banyak buku pada saat tubuhnya berada dalam pengasingan. Secara fisik mereka terkungkung, tapi jiwanya mengembara lepas, bebas merdeka, menembus keterbatasan yang ada.

Wajah Kita Sebaliknya kita juga melihat, betapa banyak manusia yang secara fisik merdeka, akan tetapi tidak mampu berbuat apa-apa karena jiwanya kerdil. Mereka terkungkung dalam pikiran sendiri, sehingga jangankan berbuat untuk orang lain, berbuat untuk dirinya sendiri pun tak mampu. Mereka sejatinya lebih terpenjara dari orang-orang yang terpenjara. Mereka lebih tertindas daripada orang-orang terjajah. Dan jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang secara hakiki belum merdeka. Maka di HUT RI ke 62 ini selayaknya kita segera mengubah paradigma kemerdekaan, dari sekadar bebas dari penjajahan, menjadi bebas untuk berkreasi, berbuat dan bertindak agar berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Kita tentu tak ingin melihat perayaan HUT kemerdekaan semu. Perayaan yang dirayakan oleh orang-orang yang sejatinya belum merdeka secara psikis. Apalah artinya kemegahan sebuah pesta, jika pada akhirnya hanya menyisakan orangorang yang kelelahan, orang-orang mengantuk, kas bon bertumpuk dan sampah bertebaran di sana-sini? (gun)

11


Lain pula cerita dari sebagian warga Kota Donggala. Selain ada komunitas yang menggelar sepak bola “dangdut”, bermain bola di lapangan sambil diiringi lagu dangdut, seperti halnya di lapangan Kelurahan Kabonga. Ada pula kegiatan yang tak kalah menarik perhatian, yaitu festival lampion. Festival ini dimeriahkan dengan beragam bentuk yang unik. Ada yang mengusung lampion berbentuk bangunan gedung, perahu layar, orang berpakaian adat, miniatur sekolah, burung raksasa dan lain-lain. Arak-arakan lampion keliling dalam kota berlangsung, Rabu malam (15/8). Diawali dari eks Pasar Tua Donggala yang juga menjadi pusat pertokoan. Kemudian berjalan menyelusuri jalanan kota. Ada yang di usung dengan gerobak mini berhias kain dan kertas yang di dalamnya berisi balon lampu bercahaya temaram. Menambah eksotik suasana jalanan kota. Tak kalah serunya adalah partisipasi puluhan tukang becak dalam komunitas Persatuan Penarik Becak Tanjung Batu, Donggala ikut ambil bagian dalam arak-arakan lampion. Selain menghiasi becaknya dengan lampulampu warna-warni dengan sumber tenaga listrik dari mesin genset dimuat di becak. Begitu pula gerobak pengusung lampion yang beraneka hiasan itu, masing-masing membawa me-

sin genset sebagai penggerak lampu. Bukan hanya becaknya yang dihiasi sebagai daya tarik perhatian, para pengemudinya juga berpenampilan. Di antara mereka memakai pakaian adat, sehingga menambah semangat dan keseriusan mereka menyambut kemeriahan acara. Iring-iringan lampion dan barisan pengemudi becak juga dimeriahkan puluhan gadisgadis dan ibu-ibu rumah tangga yang membawa obor. Meskipun suasana malam itu diselimuti asap api obor di antara barisan mereka, tapi tak mereka peduli. Antusiasme warga menyambut peringatan kemerdekaan diekspresikan dalam pawai. Praktis malam itu makin meriah dan menambah perhatian warga yang tumpah ke pinggir jalan menyaksikan arak-arakan lampion yang beragam bentuk itu Event Tahunan “Kegiatan ini dilakukan mengingat secara partisipatif telah berhasil menggelar sebuah kegiatan yang sama di tahun lalu. Melihat animo dan antusiasme masyarakat Kota Donggala dalam festival lampion, maka dipandang perlu dilanjutkan tahun ini,” jelas Tanwir Pettalolo sebagai penggagas. Kehadiran festival lampion juga mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Donggala. Karena secara bertepatan, festival ini masih menjadi rangkaian peringatan HUT ke 55 Kabupaten Donggala, 12 Agustus lalu. Menurut Ketua Umum Dewan Kesenian Donggala (DKD), Irwan Dumalang, event ini mendapat dukungan positif dari bupati, sehingga diharapkan di masa depan bisa menjadi salah satu mayor event kebudayaan dan pariwisata di Donggala dan menjadi kegiatan tahunan. Kehadiran festival lampion dua tahun belakangan sebetulnya merupakan pembangkitan kembali kebiasaaan di masa lalu. Puluhan tahun lalu, tradisi lampion pernah menjadi kekhasan kota Donggala dalam setiap itu setiap

memperingati hari-hari besar bersejarah. Namun dalam perkembangnya mulai surut dan lesu menyusul pudarnya gairah aktivitas seni. Tetapi moment proklamasi tahun ini menjadi awal kebangkitan kembali kegiatan atraksi lampion yang bisa dinikmati masyarakat. “Jadi, gagasan menggelar event ini pada dasarnya terinspirasi oleh tradisi parade lampion yang di masa lampau selalu dilaksanakan masyarakat kota Donggala dalam menyambut perayaan hari-hari besar,” tegas Sekretaris DKD, Zulkifli Paggesa. Lebih lanjut Zulkifli menyatakan dinamika publik urban kota Donggala yang dalam beberapa tahun terakhir mulai kembali menampakkan kegairahannya perlu terus didorong dan dipelihara intensitasnya. "Walaupun berbagai problema politik, sosial dan ekonomi yang terus melanda daerah ini telah membawa masyarakat kota ini pada batas-batas yang paling mencemaskan," kata Uun, sapaan akrab Zulkifly. Karena itulah diperlukan usaha-usaha kreatif, inovatif dan progresif untuk membangun dan menumbuhkan kembali resistensi dan kemampual kolektif publik dalam menjawab berbagai problematika politik-sosial-ekonomikultural dan menghadapi berbagai tantangan perubahan. Kembangkan Wadah Kesenian Berbagai upaya ini juga merupakan bagian usaha Dewan Kesenian Donggala untuk mendorong dan membangun ruang kesenian dan kebudayaan bagi penyaluran aspirasi dan apresiasi publik. Pasalnya dengan event semacam ini, potensi estetika urban yang sarat nilai etika dan kultural serta akar sejarah yang kuat ditengah masyarakat bisa diketahui semua orang. “Event ini adalah upaya kreatif untuk menggali potensi estetik di tengah publik dan sekaligus menjadi wadah silaturrahmi kemanusiaan serta kohesi sosial dan kultural antar komunitas masyarakat yang ada di Kota

"Melihat" Kemerdekaan.... Sepintas orang mungkin melihat bahwa gambar ini adalah acara peringatan kemerdekaan layaknya kemeriahan yang lain. Sama halnya yang dialami oleh fotografer KomunikA, Leo Rompas, saat melintas di ujung Tol Cipularang, Leuwigajah Cimahi. Ia mengabadikan moment peringatan tujuh belasan di sebuah Panti, yang ternyata adalah Panti yang diperuntukkan bagi orang-orang tuna netra. "Setiap tujuh belas agustusan pasti di sini ramai. Bahkan semua alumni panti ini berkumpul untuk memeriahkan kemerdekaan dengan mengikuti berbagai lomba," kata Ujang (23) yang memupus rasa penasaran KomunikA. Kekurangan dalam hal fisik tidak mengendorkan semangat mereka untuk mengikuti lomba sepak bola, lomba panjat pinang, dan juga lomba menyanyi. Ujang, "alumus" panti ini tak melewatkan "ritual" tahunan panti. Ia pun ikut dalam lomba panjat pinang bersama kawan-kawannya semasa pendidikan dulu. Kemandirian yang mereka peroleh dalam panti dan kekuatan kebersamaan membuat mereka semua memiliki semangat besar untuk menjadikan momen peringatan kemerdekaan ini menjadi kebebasan untuk berekspresi dan "melihat" kemerdekaan bangsa dengan cara mereka sendiri. (mth, foto: leo)

foto : supardi

Beragam cara dan aksi menyambut HUT Republik Indonesia tahun ini. Selain ada lomba gerak jalan yang sudah menjadi rutinitas Agustusan setiap tahun, juga ada panjat pinang berhadiah uang dan barangbarang. Hal tersebut lumrah dan mudah ditemui dimana-mana dari kota-kota sampai ke pedesaan sebagai ekspresi kegembiraan.

Donggala,” tambah Uun. Sekalipun diakui Uun, dibanding tahun lalu, penyelenggaraannya berbeda. "Festival Lampion pada tahun ini bersifat kompetitif dan dilombakan bagi kelompok masyarakat yang terlibat berpartisipasi di dalamnya," terangnya. Hasil kompetisi ini dimenangkan kelompok Yayasan Lakuajang, kedua Salon Tata, ketiga Kapal Dobonsolo dan juara dipegang Persatuan Penarik Becak Tanjung Batu. Selain itu tim juri juga memberi penilaian untuk kategori pemenang harapan satu untuk Forum Komunikasi Anak Deker (FKAD) Kelurahan Boya, harapan dua SMP Negeri 1 Banawa dan harapan tiga kelompok Labuan Bajo. Para pemenang mendapatkan piala, piagam dan hadiah total berupa uang Rp. 2.550.000. Irwan Dumalang berharap di masa mendatang event ini dapat diikuti oleh kelompok-kelompok masyarakat dari wilayah lainnya di Provinsi Sulawesi Tengah dan Indonesia. Agar lampion menjadi potensi wisata yang kreatif. (supardi ibrahim)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.