Rancak Budaya Senja itu aku tidak sengaja mendengar sesuatu yang tak kuharapkan. Hal tersebut membawaku dalam kesengsaraan. Jika waktu boleh terulang, kuharap aku tak datang kala itu. Dua tahun yang lalu kala aku membersihkan jendela di dekat kamar Bung Karno, aku mendengar suara gema langkah kaki. Kusimpan alat bersih-bersihku dan aku bersembunyi. Aku melihat Sukardjo, pengawal presiden yang sudah menjadi kawanku selama tiga tahun. Aku keluar dari persembunyianku dan mendekat ke arahnya. “Mengapa kau berjalan dengan terburu?” tanyaku. Dengan wajah gusar yang sulit disembunyikan, ia berkata, “Bersembunyilah! Sebentar lagi akan ada orang yang membahayakan Bung Karno.” “Ada apa?” tanyaku bingung. “Turuti saja ucapanku. Jangan sampai kau terlibat dalam hal ini!” perintah Sukardjo, lalu berlalu dariku dan mengetuk pintu kamar presiden.
Kemelut Pertiwi oleh Ananda Putri Safitri
Kemudian, dia masuk dan aku kembali bersembunyi. Setengah jam berlalu, tak kurasakan satu pun kehadiran makhluk hidup selain diriku. Kakiku mulai pegal dan oksigen mulai payah kuraih, sebab aku berada di balik pintu. Hingga aku mendapati kembali suara ketukan pantofel yang menggema di lantai dengan tegas. Kupejamkan mataku guna menajamkan pendengaran. Ada sekitar tiga hingga empat langkah berbeda yang jatuh dan terdengar hampir bersamaan menuju kamar Bung Karno. Aku mengintip keluar, hatiku terasa was-was dengan kejadian selanjutnya. Kumantapkan diri untuk keluar dari persembunyian dan berniat untuk pergi. Tapi aku mendengar ada suara seorang perwira yang meminta Bung Karno untuk menandatangani sesuatu, tetapi ditolak.
Lalu, ada jawaban dari suara yang asing, “Untuk membahas, waktunya sangat sempit. Paduka tanda tangani saja.”
Aku berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan pintu Bung Karno. Punggungku kubungkukkan hingga daun telingaku berada di hadapan lubang kunci sehingga bisa mendengar lebih jelas.
“Hei, jangan takut! Ini saya Sukardjo,” ucapnya menenangkan.
“Mengapa kop surat itu dari Markas Besar Angkatan Darat? Seharusnya surat perintah itu ber-kop surat kepresidenan.” Suara itu kukenali sebagai Bung Karno.
“Bangkitlah! Jika kita terlalu lama di sini, bisa-bisa nyawa kita akan lenyap detik ini juga,” ajak Sukardjo sembari sedikit menarik lenganku. Aku mengangguk dan berjalan
34 | Komunikasi Edisi 327
Setelah itu aku mendengar suara pelatuk yang hampir saja terlepas, tapi telah dihalang oleh Bung Karno. Bung Karno akhirnya menyetujui dengan syarat esok hal tersebut akan kembali dibahas, sebab pikirannya kini sedang tidak jernih. Selepas itu percakapan di antara mereka berhenti. Aku tidak menyadari bahwa pintu tempatku menguping terbuka. Deg. Sesaat jantungku berada di luar jalurnya. Aku tertangkap basah. Aku tidak berani melihat sosok yang telah berada di sampingku. “Din, sedang apa kau di sini?” tanya seseorang meraih lenganku. Badanku gemetaran.
Seketika badanku luruh ke lantai. Aku menutup mata sembari mengelus dada dan berulang kali merapal kata syukur.
mengikutinya untuk sesegera mungkin keluar dari istana negara secara diam-diam. Selepas hari itu kekuasaan Bung Karno perlahan tercabut. Dia menghunus kekuasaannya sendiri dan tergantikan oleh Soeharto. Bung Karno mengira bahwa surat tersebut merupakan mandat darinya untuk mengamankan negara yang sedang kacau akibat G30 SPKI, ternyata surat tersebut dijadikan legitimasi dan Soeharto memperoleh surat sakti yang kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden. Bung Karno amat kesal sebab telah dimanipulasi dan dalam pidatonya ia berteriak, “Jangan jegal perintah saya! Jangan saya dikentuti!” Setelah jatuhnya Bung Karno, Sukardjo mulai jarang terlihat di istana. Hingga beberapa hari kemudian, aku dipecat. Pemimpin baru tersebut tak mengharapkanku. Aku mulai cemas dengan keadaan di istana kini. Baik di dalam maupun di luar, terlalu banyak keributan. Aku mencemaskan Sukardjo yang sempat berada di antara penyebab kisruh ini. Menurut desas-desus yang kudengar, Sukardjo telah ditangkap dan dipenjarakan. Tentara bayangan Soeharto kabarnya menangkap siapa pun yang