Buletin Sastra Lembah Kelelawar #2 (Sekarang Menulis, Besok Tidur)

Page 1


Siapa yang ingin kalah atau setidaknya sebanding dengan anak SD ketika sudah menyandang gelar mahasiswa, kaum terpelajar tingkat atasnya atas atau istilah populernya, kaum intelektual. Mahasiswa, yang dituntut menjadi pengkaji ilmu dengan segenap keaktifan juga kreatifitasannya tentu harus lebih peka terhadap sekitar. Kepekaan ini mustahil muncul ketika mahasiswa hanya diam atau bahkan mendiamkan sekitar. Mungkin ketika seorang mahasiswa memutuskan untuk diam atau mendiamkan itu beralasan, entah bosan, entah malas atau mungkin tidak mau, mereka pikir untuk apa, mikir diri sendiri saja jarang, masak harus mikir hal lain, boros tenaga. Mungkin seperti itu ungkapan mereka. Lantas, bukankah kita agen of change, pembawa perubahan, sedang perubahan menuntut perkembangan. Siapa yang ingin sama dengan pencapaian kemarin? Tentu kita akan memilih untuk lebih baik bukan? Apa sebenarnya hubungan antara pelajar SD dengan mahanya siswa yang saya paparkan? Sebelumnya saya ingin bercerita. Seperti maklumnya orang orang ketika jalan jalan ke toko buku, maka secara spontan akan melihat buku dengan judul yang menggelitik. Dan setelah saya pilih - pilih buku kesekian kalinya, ada sebuah buku dengan judul “ Belajar dari Kampung “. Awalnya biasa saja, tapi setelah saya buka, saya sangat tersindir dan sakit hati mungkin anda juga akan tersindir dan sakit hati,, kenapa? Bahwa buku ini adalah kumpulan tulisan pelajar, mulai SD sampai SMA. Bagaimana tidak tersindir, masak, kita kalah dengan anak SD, masak anak SD tulisannya sudah-

terbit berupa buku, sedang kita belum. Dan lagi, yang mereka tulis adalah tentang kampungnya, untuk menulis hal itu tentu mereka harus peka terhadap sekitar. Masak, anak SD saja peka terhadap lingkungan laludituangkannya berupa tulisan, kenapa kita tidak. Lebih tragisnya, anak SD saja bisa menuliskan pemikirannya, kenapa kita, mahasiswa, kaum terpelajar tingkatatasnya atas juga kaum intelektual, tidak bisa. Kenapa? kita dikalahkan anak SD. Apa kita pantas menyandang agen of change-nya Indonesia. Mahasiswa ko' kalah sama anak SD, katanya mahasiswa? Semoga dari kejadian tersebut kita akan terus tersindir dan sakit hati, Sehingga kita semakin semangat menulis, menulis apa saja, hanya untuk mengalahkan anak SD, tidak untuk mengalahkan penulis penulis \ besar. bukankah beliau beliau merasa bahwa merekalah terbesar dan tidak ada yang mampu mengalahkan. Biarlah mereka selalu merasa demikian, apa anda ingin mengalahkan mereka, toh proses kepenulisan bukan untuk mengalahkan atau dikalahkan. Cuma istilah berpikir, berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. Maka semangat menulis harus terus kita tumbuhkan. Biar dahaga untuk mencari sumber hujan. Dengan prinsip Tetap semangat dan selalu berbagi senyum Tuhan. Selalu menulis, menulis dan menulis. Sekarang menulis besok tidur. (Ibrahim)


Mbar, hari ini pernikahanmu hari saat kau putuskan membeli rumah untukmu dan lelakimu bukan real estate tapi rumah kecil berpeghuni dua

berawal dari sebuah kegelisahan yang sama dari sulung pamanggih, widyanuari eko putra dan setia naka andrian, pada hari selasa 11 agustus 2009, pukul 23.50 wib, di rumah kawan kami budiawan. Berkumpul, ngopi, lalu membakar rokok bersama, menyalakan api setinggi-tingginya, menanam peran yang berbeda-beda, lalu mencoba mengikat keberadaan, ketika alam nyata terasa kurang memenuhi pandang, lalu kami lari ke alam imajinasi, alam hayal, alam ketiadaan, ketika merasa kelelahan di alam nyata, dan ketika alam nyata dianggap tak mampu memberi kepuasan, lalu bersikeras dan sepakat untuk menjelajah serta menjamah keberadaan dalam LEMBAH KELELAWAR. sarangkatahati, 120809, 09.58 pm

jangan sungkan meminta garam saat kau kehabisan yang menjadikan sayur kangkung kesukaan bapak kurang sedap aromanya ambil di dapur ibu tuang juga secangkir kopimix agar nanti kita masih sempat menitip salam Mbar, jika punya anak aku yang pertama membopongnya, menimang dan akan kuceritakan padanya tentang kehebatanmu tentang setiap adegan yang pernah kita mainkan episode kecil yang tak bisa diulang-ulang jika lahir perempuan, jilbabilah ia selagi di kandungan beri tahu doa-doa kecil yang kita hapalkan saat ngaji di rumah Kyai mungkin akan sedikit membantu sebelum ia kehabisan jatah Ustad jika lahir laki-laki, kenalkan juga sarung dan sajadah dan teks lagu senam jasmani yang pernah kita pelajari di madrasah atau TPQ

lembah kelelawar jalan yang belum ditempuh ada sedikit tak banyak untuk dibaca bila terluka tak berani diam-diam menilai hanya mencoba menembus lubang selasela jari kaki untuk tunduk, bertekuk dan berdiri mengatasnamakanmu

ciumlah jejak lelakimu seperti jamaah sholat jumat serentak dalam khusu' bersujud menuju kiblat namun bukan pasrah pada kekolotan jangan takut mencubit jika ia enggan berkeringat Mbar, selamat menunaikan kewajibanmu majapura, 11 desember 2009

rumahbudi, 120809, 12.27 am

[setia naka andrian]

[Widyanuari Eko Putra]


FILSAFAT CINTA Ma, kemarin aku dapat nilai sempurna

surat kesembilan hanya buat nyinyik

Untuk filsafat cinta. Tapi setahun lalu aku berkaca: Bunuh diri sepasang kekasih karena cinta Leher mereka dijerat angan-angan bersama Di kamar hotel bintang tra-la-la

melihat lengkung alismu aku berada di dekatmu setelah sore kau kuyakinkan ku diyakinkan "kita tak akan pecah sebagai lambang"

Ma, hidup itu apa sih, Ma, Pagi malam tak ada bedanya Tidur dan terjaga tak terasa Aku mencari cara bercinta Tapi dunia selalu memberiku aneka luka Di mana cinta itu sih, Ma, Apa itu tergantung di tangkai filsafat Kata-kata bijak atau tak dimana-mana Apa ia ada di stasiun Tempat orang meninggalkan dunianya Apa ia ada di pesawat yang membawa kita ke surga Dan apa cinta itu memang ada Kalau itu memang ada Tunjukan tempatnya ya, Ma, Ma, kemarin aku dapat nilai sempurna untuk filsafat cinta Tapi hari ini aku tahu Aku masih merana mencari kebenaran cinta Temani aku ya, Ma, Mencari hakikatnya Tanpa harus bunuh diri bersama Untuk menemukannya Ya 'kan, Ma!

surat kesepuluh, nyinyik ketika kau sentuh rambutku,, aku pandang jiwamu "cinta kita bergetar sesemesta seluarangkasa�

surat keenambelas bagi nyinyik cintaku, di laut kau sepikan sunyimu perahu tidak merapat tapi cinta kita begitu kuat kita dekap "aku adalah welasasihmu, dan kau cintakasihku" lihatlah ibuku selalu menanyakanmu kejora indahnya yang datang dengan senyum sempurna "bawalah ia ke sini untukku, anakku, ingin kukecup alisnya tanda bahwa aku telah menerimanya" dan semalam aku berdoa saat gerimis, “semoga kalian meruang mewaktu dalam kasihNya�

Lahir di Jatinegara, 9 Desember 1974 Kini sedang memaknai cinta NYINYIK, bidadarinya. Bergiat di Teater LARE’S DRAMATIC Menulis puisi, monolog, drama dan aktor keliling. Kini menetap di Jalan Projosumarto 2, Langgen RT 01/ RW 01, Talang, Tegal. 52193


berceritalah bahwa cinta kota lama yang penuh dusta tak selamanya duka aku malu bicara padamu bukan luka pada sekujur tubuh yang digoreskan kotaku lewat kerasnya udara dan jalan setapak yang disediakan untukku saja sementara orang-orang lalu lalang dengan tenang sambil menahan nafas selama perjalanannya tenang jangan pernah berharap koran esok hari memuat obituari kematianku karena hari ini aku masih memandangi batu-batu sambil sesekali menghantamnya dengan kepalan tangan kecilku jangan dulu siapkan nisan untukku aku rindu padamu, kotamu, ranjang yang memanjakan kita pada setubuh yang tak khatam aku malu bicara padamu karena tak ada kehidupan untukmu di garis-garis tanganku padahal senja kemarin kita bicara telfon kalo hari ini aku akan menulisi selat sunda dengan senyuman yang tertumpuk di rak buku yang kini dijejali air mata senyumlah pada anakmu berceritalah bahwa malam ini akan segera pergi berceritalah bahwa pagi hari itu ada berceritalah bahwa cinta kota lama yang penuh dusta tak selamanya duka SURAT DARI KOTA LAMA hujan membingkai lukisan cinta berjejer rapi meriapi ujung perbukitan mengalir, berakhir pada lembah yang tak sunyi lagi memasung dua ruh yang harus lebur jadi satu dan pada kesaksian ku telah kau cipta peradaban baru sekarang belajarlah cara menaklukan hutan, membelah perbukitan, mengenali batu-batu. esok ketika matahari merangkak dari timur perbukitan ceritakan padaku bahwa akan kau bangun taman gantung babylonia di lembah bodas; tentu saja dengan cinta tanpa jeda biarkan aku menjelma colombus mengarungi samudra, menjinakkan ombak dan badai yang tak kenal siapa dan pada ketetapannya ia temukan daratan amerika atau sepertimu membelah perbukitan menaklukan hutan melebur batu-batu lalu kau temukan lembah yang penuh cinta karena tak ada cinta di kota lama lembah bodas, 13 juni 2004 (kepada yg berbahagia Ari Bubut)


kamar dua sembilan

Oleh-oleh dari Magelang

mata berdesak menyanyikan lagu trend masa kini ; bunga desa atau kerinduan entah pakai susuk apa? menemani, kedinginan long time mas 250 ribu!

Haru melanglang bingar Kelelahan sendu-menyendu Di atas malam sepi menjalar Ada kehausan berbongkah ajar

Bandungan 7,Oktober 2009

[Habib] setangkai lily putih otakku tersisih disebelah serpihan tintamu coretan gila di tembok idealisme para pemberontak langit tak sepadan dengan sekian comberan yang kutuangkan dalam lipatan sudut akalku kau lihat? sebatang jiwa dibesarkan rembulan tua saat ini tanganku hanya ingin membersihkan kerikil dan sampah depan teras kakinya lalu kubawakan setangkai lily putih sebagai ornament sinarnya untuk malam sarang nawiji, 20.20 wib

Di Magelang Dia melenggang Di Magelang Mata tercengang Meraba sedikit bintang Tiba- tiba kepala Budha hilang Aneh‌ Bokong sapi bergoyang Ada yang terhunus? Jantung membeku Dasar raga bajingan! Tak bisa menurut saja Merapuh kerena tertahan Rasa datang Semakin semena-mena Menghardik! Sekejap pilu‌ Hati tak karuan. 22 April 2008

[Melani Dwi Safitri]

[Nuryanto Jhon Kethe] tanganmu berbicara ji, kelak biarkan aku menyaksikan tanganmu berbicara di surga bahwa tanganmu pernah melukiskan cinta untuk diri seorang hawa damai setiap hati yang mendengar, ji ketika kau berkisah tentang cinta yang tulus kau rajut untuknya aku berdoa semoga cintamu seperti kuku-kuku jemari, meskipun kuku-kuku itu dipotong tapi ia selalu tumbuh Subah, 220909, 23.08 pm

[Lindra Haryadiana]


Paris, je t'aime, sebuah film berisi kumpulan kisah cinta dengan latar kota Paris. Salah satu kisah yang diceritakan berjudul Places des fetes. Kisah ini bercerita tentang kisah cinta dua orang manusia yang tidak sempat menyatu karena dipisahkan oleh ajal. Akan tetapi, saya lebih tertarik pada segitiga dan pekat yang kerap ditampilkan pada beberapa adegan di film ini. Segitiga yang saya maksud adalah bentuk tiga titik Mula sedang terbang kemudian turun yang dihubungkan oleh garis, dan pekat menukik ke arah air untuk memakan ikan yang saya maksud adalah pemilihan latar yang mungkin berada di permukaan air. dan beberapa properti yang digunakan Jika ditarik sebuah garis, maka gerakan yang berwarna gelap. tersebut membentuk sebuah segitiga. Bentuk segitiga dalam film ini Segitiga juga saya artikan sebagai ditampilkan beberapa kali, misalnya symbol cinta, karena bentuknya mirip tugu segitiga yang menjadi penghubung dengan bentuk hati yang menjadi symbol antara tempat parkir bawah tanah cinta. Jika gambar hati ditarik garis lurus, (basement) dengan halaman luar. maka akan terbentuk segitiga. Segitiga Lalu symbol burung bangau yang yang terjadi adalah hubungan tiga titik terukir di tugu tersebut, kisah asmara berupa kehidupan, cinta dan kebahagiaan. cinta segitiga, dan sebagainya. Tugu Ketiga hal yang saling berkorelasi satu atau monumet berbentuk segitiga itu sama lain. Kehidupan adalah satu titian saya artikan sebagai symbol sebuah panjang yang berliku, di mana manusia kejayaan yang dimulai dengan perjuangan hanya sebagai lakon yang mengisi hidup dari bawah. Segitiga juga saya artikan dua mereka dengan cinta. Cinta bisa membawa garis yang dekat, tetapi kemudian saling terang kebahagiaan maupun pekatnya menjauh dan akhirnya bertemu di sebuah penderitaan. Bagaimanapun bentuknya, garis ketiga.Seperti yang digambarkan hidup adalah pilihan. Hidup yang dikotomis, dalam kisah cinta serial Places des Fetes. selalu ada yang baik dan buruk, bahagia Sepasang kekasih yang sebenarnya dekat, dan sedih, cinta dan luka. Saya pikir sepahit tetapi kemudian menjauh dan tidak bisa apapun segitiga kehidupan yang kita jalani, menyatu, meskipun akhirnya bertemu vitalisme ala Nietzche adalah panutan untuk kembali sebelum tokoh pria menemui ajal. tetap berkreasi. Sekali lagi semua itu pilihan. Ada salah satu adegan dalam cerita film Places de Festes yang cukup Kembali mengurai tentang segitiga, menyita perhatian saya, yaitu adegan yang terlintas dalam benak saya adalah saat tokoh pria sedang mengejar wanita gambar gunung, yang terdiri dari puncak di tangga yang ada di dalam tugu. Lalu dan lereng. Lereng berada dibawah dan beberapa saat kemudian ada pengambilan puncak berada di atas. Mereka terpisah gambar burung bangau yang terukir pada secara jarak, tetapi secara kesatuan tugu tersebut. Kemudian saya berpikir, mereka tidak terpisahkan. Secara ukuran, apakah symbol burung bangau yang terukir lereng lebih besar daripada puncak, tetapi pada tugu tersebut hanya berupa hiasan? secara posisi puncak lebih tinggi, lebih Setelah saya renungkan, saya mengartikan jaya dan lebih membanggakan daripada symbol burung bangau tersebut juga lereng. Jika diibaratkan, lereng berarti berhubungan dengan segitiga. Bayangkan awal perjuangan seseorang untuk menuju gerakan ketika burung bangau yang mulasukses yaitu puncak keberhasilan-


Di lereng yang begitu luas dan terjal, banyak tantangan yang harus ditaklukan. Semangat perjuangan, kreativitas, ketekunan, kejujuran, kedisiplinan, pantang menyerah dan keulusan merupakan cara untuk mengatasi rintangan di lereng jika ingin menuju puncak keberhasilan. Konflik belum usai, puncak yang merupakan tujuan dari berbagai perjuangan berat menaklukan tantangan justru membuat kita merasa sepi. Saya pernah membaca esai di sebuah surat kabar karya Agung Hima berjudul “Puncak itu Sepi�. Esai itu bercerita tentang kesepian yang dirasakan oleh Andrea Hirata, penulis novel tetralogi Laskar Pelangi saat ini, ketika ia sedang berada di puncak popularitas. Setelah membaca esai tersebut, saya menjadi sadar bahwa puncak memang sepi. Tidak ada tantangan untuk berjuang menaklukkan rintangan untuk menuju puncak berikutnya. Bahkan puncak cenderung berupa awal dari jurang penurunan. Roda berputar, tidak selamanya kita terus berada di atas, dari bawah akan ke atas dan kemudian menanti waktu apakah akan turun kembali atau tetap bertahan pada sepi . Pekat yang saya maksudkan dalam tulisan saya ini, tertinspirasi dari latar kisah Places des Fetes yang menggunakan latar berwarna gelap. Menurut saya, pemilihan latar berwarna gelap tersebut untuk menonjolkan tokoh dan cerita yang bersifat romantis. Symbol pekat juga terdapat pada kopi, yang pada adegan-adegan akhir ditonjolakn melalui dua cangkir kopi yang dipegang oleh tokoh perempuan. Kopi berwarna pekat, tetapi rasanya manis. Kopi mempunyai efek menghilanghkan kantuk. Saya menyimpulkan pekat di sini adalah sesuatu yang gelap dan sulit, tetapi berselimut cinta yang manis dan menyenangkan. Sekali lagi, entah memang artinya demikian, atau analisis saya yang terlalu menghubung-hubungkan.

Segitiga pekat, tiga titik yang dihubungkan oleh garis. Berwarna pekat tetapi manis. Rumit tetapi romantis meskipun berakhir dengan tangis. Segitiga juga miniatur dari puncak. Menaklukkan lereng yang terjal untuk menuju puncak, membentuk kisah manis yang tak terlupakan. Tak ada yang mudah untuk mencapai keberhasilan. Segitiga adalah trilogi antara cinta, kebahagiaan dan kehidupan. Cinta dalam hidup tidak selalu membawa kebahagiaan, tertapi pekat adalahg pilihan. Tetap lah pekat atau bangkit mencari harapan.


oleh: Muslichin* Awalnya, ada ketidaksengajaan pertemuan saya dengan 'bekas' murid saya yang masih terngiang beberapa kebandelannya waktu itu. Ia yang dulu aktif di kegiatan musik sekolah seolah datang dan pergi seperti angin. Pertama kali datang, ia masih berambut awut-awutan dengan celana jeans penuh sobek dan tatapan loyo di sebuah sore yang indah di halaman sekolah. Beberapa penghuni sekolah kami jelas tidak berkenan dengan tampilan Naka yang mirip geng “nge-punk” yang dua tahun lalu mengalami booming di kota pantura ini. Nampaknya, ada suatu gaya atau identitas yang 'agak' baru dimana ia coba perkenalkan pada kami, begitu pikir saya waktu itu. Tak kusangka, sayadan Naka terlibat sebuah diskusi kecil tentang sastra. Pertemuan kedua, ia memberi sebuah buletin sastra sambil tersenyum dengan penampilan lebih bersih (ternyata rambutnya sudah terpotong rapi). Buletin yang ia bawa adalah sebuah kumpulan karya sastra dari komunitas sastra Lembah Kelelawar dimana Naka menjadi salah satu penggeraknya. Banyak puisi-puisi yang seingat saya diksinya bagus dan segar. Puisi dalam “Miniatur Pertiwi” mengingatkan saya akan puisinya Sapardi Joko Damono, Suminto A. Sayuti, atau Sitok Srengenge. Pertemuan ketiga, selepas Maghrib ia datang sendirian dengan notebook berwarna putih dan gulungan kertas yang ternyata buah karyanya sebentuk cerpen panjang. Bagi pembaca yang tak terbiasa sangat melelahkan untuk menyelesaikannya. Oleh karena ia membawa gulungan cerpen untuk minta diulas, maka dengan segala keterbatasan saya berupaya memberikan sejumput kritikan, saran, atau uneg-uneg yang bisa menyejukkan rasa dan pikir seorang Naka. Inilah tulisan tentang cerpen Naka.

Ada dua cerpen yang dibawa Naka pada saya untuk dikupas sejauh pandang dan wawasan kesastraan saya. Cerpen pertama berjudul “Rumah Lilin” dan yang kedua berjudul “Suara Dansa Wanita Jawa”. Sebenarnya ada keinginan saya untuk membandingkan kedua karya Naka itu. Namun karena keterbatasan ruang media ini, maka niat itu jauh-jauh saya batalkan saja. Apalagi sejujurnya banyak perbedaan di sekujur cerpen-cerpen itu yang nampak dari sudutmana saja. Cerpen Rumah Lilin (RL) agaknya memakai bentuk yang tidak lumrah. Beberapa paragraf awal saya melihat Naka terlalu egois untuk mengeksplorasi secara puitis apa yang dirasakan sang tokoh yang bernama Arumni yang hobi melamun bersama lilin kesendiriannya. Ekspresi sang tokoh tertulis dalam bait-bait puisi yang memperlambat pembaca yang umumnya ingin bergegas sampai pada kemunculan tokoh atau titik persoalan apa yang dibahas. Jikalau cerpen ini dibuat lebih tebal saya pikir malah tidak memunculkan persoalan, karena secara proporsi sudah memenuhi kriteria keseimbangan. Mungkin maksud Naka ingin memuncullkan bagaimana sebuah puisi dalam buku harian Arumni terbaca oleh publik pembaca agar kita memahami pembentukan karakter sang tokoh.


Arumni, nama yang manis lahir di lingkunganpesantren kolot. Agak aneh juga sebenarnya, dunia pesantren yang penuh ketradisionalan yang dibenarkan dengan setting pedesaan, nyala lilin, surau, kyai, santri dan kekolotan sang bapak bisa mempunyai tokoh-tokoh 'pemberontak' seperti Arumni ini. Dari nama tokohnya saja Naka agaknya kurang berhati-hati. Biasanya nama-nama perempuan anak kyai pesantren kebanyakan berawal dengan Siti, entah itu Siti Muawanah, Siti Fatonah, Siti Aisyah atau siti-siti yang lainnya. Mungkin ada kesan khusus dari nama itu yang melekat pada Naka selaku penulis RL, atau juga ada upaya meng-popkan sebuah khasanah tradisional dengan ruang pembaca yang semakin modis dan modern ini. Mana yang benar, sepertinya Naka yang bisa menjelaskan. Pemberontakan perempuan dari lingkungan pesantren yang kolot agaknya bukan sesuatu yang baru. Banyak sastrawan dan penulis baru mengupas melalui cerpen dan novel mereka tentang bagaimana perempuan hidup di dunia pesantren. Yang paling akhir dapat kita baca (lihat film) misalnya Perempuan Berkalung Sorban (PBS) yang mana mendapatkan apresiasi luar biasa dari masyarakat. Artinya, sebenarnya ada kehausan pembaca Indonesia yang mayoritas perempuan ini tentang sebentuk perlawanan-perlawanan perempuan terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Dan sesuatu yang menarik jika ada relasinya dengan persoalan gender. Ada semacam ideologi gender yang dicoba dicangkokkan penulis dalam cerpen atau novelnya dengan cara alamiah dan apik. Pada paragrap tengah saya menduga bahwa cerpen Naka akan diarahkan pada persoalan gender di dunia pesantren. Ada ketergesaan saya untuk menduga demikian karena barangkali pengaruh dari film (novel) PBS tadi yang begitu memikat. Bagaimana Arumni yang cantik merasa terjebak pada dunia yang mengharuskan ia menjadi perempuan yang sebenar-benarnya.

Ternyata, dugaan saya meleset meski tidak seratus proses. Kenapa? Sang tokoh utama ini tak lepas dari perkembangan fisiologisnya sebagai gadis yang sedang tumbuh. Ia mulai hanyut dalam usia yang menginginkan kebebasan khas dunianya. Lagi-lagi Naka kembali mengupas cinta sepele yang melarutkan segala problem berat di awal penceritaan tadi. Satu tayangan menarik sebenarnya, ketika Naka mengupas persoalan ibadah melalui adegan Arumni yang sedang sholat Isya secara berjamaah. Ilustrasi satu halaman dengan mencoba mengembangkan pikiran-pikiran orang yang sedang beribadah secara jujur. Hal ini jarang sekali dibicarakan orang apalagi penulis. Ada kesepakatan yang bersifat tabu jika mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran kita ketika sedang beribadah. Tokoh Arumni dengan entengnya, mengomentari (dalam hati) seputar kelega-legaan tertentu dari prosesi ibadah yang harusnya bebas dari imajinasi kotor atau pikiran yang melayang entah kemana. Namun sayangnya, adegan sholat ini tidak dikembangkan lebih jauh bahkan terkesan menjadi tempelan saja yang terlepas dari alur utama cerpen RL ini. Barangkali Naka (berniat) sekedar memberikan nuansa setting keislaman atau dunia kepesantrenan saja untuk lebih mengaitkan pada tema cerita ini. Dan ini juga kesalahan yang pasti tetap dilakukan oleh penulis manapun. Lalu cerita RL bergerak dengan cepat menuju pokok yang dipersoalkan. Arumni bertemu dengan Lukman, salah seorang penduduk setempat yang kebetulan sedang sholat malam sendirian. Arumni yang cantik bertemu dengan Lukman yang ganteng (barangkali), sudah pasti terjadi perkenalan yang lumayan alamiah. Berceritalah Arumni dan Lukman tentang siapa diri mereka dengan seperangkat masalah dan kegelisahan yang ada. Berceritalah Arumni tentang lilinlilin yang pernah ada, yang senyap dan


lilin yang ia mau. Berceritalah Lukman tentang orang tuanya yang hilang, tanah yang tak lagi ada, dan lingkungan yang tak mengharapkan dirinya lagi. Meski keduanya merasa ada kegelisahan yang sama melintasi perjalanan hidup mereka. Namun bukan pertemuan mesra khas sinetron Indonesia yang menjadi ending kisah mereka. Cerita RL ditutup dengan sesuatu yang sengaja dikejutkan. Mengapa? Pembunuhan kyai pesantren oleh seseorang misterius menjadi akhir dari lilin yang sepi ini. Alias, akhir cerita ini seperti menjawab derita batin yang menghantui hidup Arumni. Doa Arumni tentang kebebasan terjawab oleh keadaan yang menghendaki: ayahnya terbunuh pada saat ia tidak mengharapkan sebuah dominasi yang mengganggu masa indahnya sebagai remaja yang mendamba kebebasan. Yah, sebuah ironi menutup perjumpaan Arumni dengan ayahnya di satu sisi dan menghalangi relasi Arumni dengan Lukman di sisi yang lainnya. Mengapa sang kyai terbunuh? Jelas sekali ia adalah tokoh yang bertanggung jawab atas hilangnya nyawa kedua orang tua Lukman dan hilangnya pula tanah keluarga milik Lukman. Di sini tertampak sekali bahwa Naka ingin memberikan sebuah kritikan terhadap hipokritisasi dunia pesantren. Sepertinya membaca RL kita juga teringat atas film Tiga Doa Dua Cinta yang dibintangi Nikholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo. Antara cerpen Naka dan film ini ada satu benang merah yang sama, yaitu membidik dunia pesantren yang ternyata menyimpan kebusukan dan kemunafikan yang selama ini hampir tak pernah diungkap oleh penulis-penulis lain. Naka menampilkan tokoh Kyai kolot yang membelenggu kebebasan Arumni sekaligus menginginkan segala upaya untuk menguasai tanah-tanah penduduk. Meskipun Naka bercerita panjang lebar dalam cerpen RL ini, tetap saja ada nuansa mempercepat penyelesaian sebuah konflik yang begitu muncul namun langsung berhenti sekaligus. Sebuah novel telah dipadatkan, mungkin itulah akhir dari ulasan saya yang tidak ilmiah ini tentang RL. Setting yang menarik dan pembukaan yang

inovatif tidak menutupi bahwa ada keinginan yang barangkali muncul pada diri Naka untuk mengungkap sepenggal pengalaman dunia pesantren menjadi novel. Begitulah pembacaan saya tentang RL yang tentunya menghasilkan simpulan ringan yang agak berbeda dengan karya keduanya yaitu Suara Dansa Wanita Jawa (SDWJ). Dalam SDWJ, Naka lebih menonjolkan aspek realis biasa dengan gaya yang umum pula. Meski demikian ada aspek yang cukup memesona pembaca seperti saya ini. Dalam dunia sastra, masalah orisinilitas sebuah ide sangatlah sulit. Apa yang kita anggap memiliki unsur kebaruan ternyata sudah lebih dulu diciptakan orang lain tanpa barangkali kita tahu. Begitulah apa yang menjadi buah karya Naka ini. Persoalan ibu seorang pelacur dengan anak perempuan banyak sekali menjejali karya-karya sastrawan kita. Namun demikian, tentu saja Naka mampu memasukkan unsur kejenakaan sekaligus keprihatinan terhadap SDWJ. Hal ini mungkin yang berbeda dengan karya-kaarya orang lain. Apalagi Naka juga mempunyai gaya pendeskripsian yang lain pula dengan penulis cerpen atau novel sebelumnya. Naka lebih mengungkapkan segala sesuatu dengan model mempertanyakan. Ada nuansa filsafati yang mengingatkan kita pada karya-karya Danarto yang realis-religius dan surealis. Tokoh Marmini adalah gadis yang beranjak dewasa dengan karakter yang lugu. Keluguan ini terbentuk karena kondisi fisik Marmini yang tidak sempurna dan juga faktor budaya orang tua yang sengaja menciptakan seperti itu. Sebagai gadis buta, ia memiliki keterbatasan yang sengaja dilanggengkan ibunya agar tidak mungkin mengetahui apapun yang dilakukan oleh sang ibu. Semenjak kecil, Mbak Jinah sebagai ibunya Marmini tidak


pernah memberikan pengajaran yang sifatnya umum. Namun anehnya, sang ibu malah mengajarkan pendidikan budi pekerti yang adiluhung. Budaya dan falsafah jawa sengaja disampaikan sedetail mungkin pada anak semata wayang itu. Masalah moralitas begitu penting bagi Mbak Jinah hingga sang anak pun diberikan ruang dialog dengan beragam konsep realitas yang ada. Seakan ini sebuah paradoks yang lahir untuk mengkritisi dunia hipokrit manusia Jawa. Apakah mungkin seperti itu? Apakah Naka sengaja mempertanyakan kemunafikan orang Jawa melalui simbol dan pencitraan pada diri Mbak Jinah, Marmini, dan 'tetangganya' yang tak bernama. Sangat mungkin benar jawabannya. Marmini tercipta sebagai pribadi yang morali namun gagap terhadap dunia lain (baca: dunia di luar Jawa). Ia hanya diajari secara teknis bagaimana menyusuri ruang dan lorong yang memposisikan dirinya sebagai orang rumahan. Dari kecil, dunianya hanya kamar, pintu keluar (belakang), dan tempat untuk menjemur pakaian. Sangat tak boleh ia mengarungi wilayah di luar apa yang sudah didogmakan dari sang ibu tercinta. Penyitraan ini jelas sekali mengarah pada upaya Naka untukmengkritisi figur perempuan jawa (barangkali di pedesaan) yang tak lebih berperan sebagaimana perempuan yang harus bisa macak, manak, dan masak. Di sisi lain, Naka ingin mengatakan bahwa dengan keterampilan teknis yang dikuasai perempuan Jawa tersebut maka ia (perempuan Jawa tersebut) memegang teguh sesuatu yang terhormat. Kehormatan adalah sesuatu yang agung. Kehormatan tersebut tertampak bagaimana tokoh Marmini mempertanyakan sesuatu pada 'tetangga tak bernama' tentang persoalan etika: eling lakune dan ora eling marang lakune.

Moralitas tinggi dapat diukur pula pada sesuatu yang membungkus diri perempuan. Pakaian Jawa adalah standar penilaian bahwa perempuan itu pantas dianggap 'ningrat' atau sebaliknya. Ningrat berarti ia sudah memahami kultur dan budaya Jawa dengan sepantas-pantasnya. Hampir dalam kesehariannya, Marmini ini mengenakan busana Jawa yang njlimet yang tentu saja atas anjuran sang ibu yang notabene pelacur. Begitulah prototipe kejawaan kita, barangkali ini yang mau disampaikan Naka kepada pembaca. Ketika orang lain berbicara moralitas maka sebetulnya di balik kata-kata mutiara tersebut tersembunyi kebusukan-kebusukan yang menelikungi kebenaran etika itu sendiri. Keagungaan wicara, laku dan pikir tidak diimbangi oleh realitas yang terjadi secara sosial dan kultural. Penyitraan ini begitu cocok terjadi pada diri Mbak Jinah dan Marmini. Mbak Jinah sengaja menciptakan dunia semu pada diri Marmini. Lewat budaya Jawa maka apa yang dikehendaki Mbak Jinah selesai. Ketidaktahuan Marmini atas dunia luar menjadikan 'kebenaran' versi Mbak Jinah selalu aman dan mapan. Terkadang masyarakat kita sengaja pula menjaga kebusukan agar tidak mengganggu sesuatu yang dianggap sudah tertib. Tokoh 'tetangga tak bernama' yang tahu sedalam-dalamnya tentang profesi Mbak Jinah berupaya menjaga pola relasi kultural yang dianggapnya aman bagi Mbak Jinah, dirinya dan Marmini. Mungkin juga tokoh 'tetangga tak bernama' ini adalah semacam 'germo' yang menjembatani menyebarnya kebusukan demi kebusukan dalam percakapan sosial dan etika masyarakat Jawa. Yah, membaca SDWJ seakan segala merk moralitas jawa menjadi ajang lahirnya pertanyaan-pertanyaan yang menukik. Cerpen SDWJ ini bukan semacam pertanyaan yang menuntut jawaban.


Jawaban ini mungkin sudah ada pada diri pembaca sendiri. Naka, selaku penulis cerpen ini hanya ingin mengingatkan kembali tentang keseimbangan etika dan moralitas yang timpang dalam ruang praksis. Melalui pengadeganan yang lucu dan menghibur pembaca diajak menemukan hakikat kebenaran itu sendiri. Tokoh Marminiyang memegang alat kontrasepsi semacam kondom, membuat kita mungkin menitik keharuan sekaligus tersenyum melihat keluguan yang ia lakukan. Kebutaan seringpula menghinggapi rasa dan pandang pada persoalan kemanusiaan yang konkrit. Sepandai apapun manusia, seindah apapun fisik yang dimilikinya dan selincah apapun segala ucap yang dikatakannya, mereka adalah manusia Jawa yang lupa bahwa kebenaran adalah sesuatu yang harus dipahami dengan pola perilaku yang nyata dan terhormat. Begitulah ulasan saya terhadap dua cerpen Naka yang sarat nilai hipokrit pada dunia Jawa yang konon mulai merubah diri. Saya melihat ada nilai lebih dalam cerpen-cerpen Naka ini. Pertama, ia menjadikan setting Jawa dan pedesaan sebagai sesuatu yang harus ia tampilkan apa adanya. Mungkin karena tempat tinggalnya di tepi perbukitan dan hutan Jati membuat ia memahami dunia pedesaan yang sarat kearifan-kearifan dimana ia perlu menampilkannya kembalisebagai pengingat bagi generasi yang tumbuh bersamanya. Kedua, nilai-nilai Jawa begitu akrab pada masa kecil Naka. Bapaknya yang pegawai negeri pasti selalu *penulis: mendengung-dengungkan falsafah Jawa Sastrawan yang kini tinggal di kota Kendal, yang agung dan adiluhung. Ketika bekas guru Bahasa dan Sastra Indonesia dewasa dan tataran realitas, ternyata di salah satu sekolah swasta di Kendal, ajaran-ajaran itu banyak yang tidak ' kini mengajar Sejarah dan Sosiologi di nyambung' dengan apa yang dilakukan SMA Negeri 2 Kendal, sekolah yang dulu oleh para patron yang duduk sebagai pernah dihinggapi Naka.. elit politik, pengusaha, atau bahkan ulama. Hati kecilnya terketuk dan *cerpen: terpanggil untuk menyuarakan sebentuk pengalaman itu pada “Rumah Lilin”: dibukukan oleh OBSESI Press rekan segenerasinya untuk lekas dalam antologi cerpen Lomba Cipta Cerpen menyadari dan mereposisikan Tingkat Mahasiswa se-Indonesia STAIN tentang kejawaan yang sewajarnya. Purwokerto. “Suara Dansa Wanita Jawa”: masih perawan, belum dibukukan/ dipublikasikan pada media apa pun.


[Fitriyani] Dulu, kita senang sekali melihat pelangi. Kau bilang warna-warna pelangi lebih indah dari apapun. Dan kau bilang, jika kelak mati, kau ingin pelangi yang mengantarmu pergi. Aku selalu marah jika kau menyatakan itu. “Kenapa kau marah?” “Aku benci kematian.” “Tidak boleh. Sama saja kau benci Tuhan.” “Lalu?” “Kau tak tanya padaku kenapa jika kelak aku mati aku ingin pelangi yang mengantarku pergi?” “Kenapa?” “Aku tak ingin melihat orang lain sedih karena kepergianku.” “Bagaimana bisa?” “Sebab pelangi bisa membuat bahagia. Jadi orang akan melupakan kesedihanya jika melihat pelangi di atas sana.” “Ah, masak?” “Buktinya kita.” Kau memang sangat mengagumi pelangi melebihi aku atau siapapun. Aku teringat percakapan itu ketika kita masih sama-sama berusia 11 tahun. Dan kita selalu sama-sama menanti pelangi di ujung kampung saat hujan mulai reda. Meskipun kadang kita kecewa, pelangi tak selau muncul pada saat itu. Dan aku lupa entah berapa lama aku tak lagi melihat pelangi bersamamu. Sekarang, sore ini, ketika usiaku sudah 20 tahun. Hampir 2 tahun aku merantau ke kota untuk menuntut ilmu. Akupun tak tahu lagi bagaimana kabarmu. Kau tahu apa yang kulakukan kali ini? Aku sedang duduk di balkon kos lantai dua yang menghadap ke timur. Gerimis turun pelan-pelan hampir sehalus debu. Langit berwarna putih susu. Aku sedang menanti pelangi. Ya. Pelangi yang dulu selalu kita nanti. Dan kau tahu apa yang kulihat? Mungkin ini keajaiban.

Tak lama, pelangi dengan warna-warna penuh membusur dari ujung utara hingga selatan, di langit timur. Aku melihat pelangi itu! ya. Aku melihat pelang itu , Gustama! Aku ingin memperlihatkannya padamu! Pelangi itu membawa bidadari-bidadari yang siap menghiburmu! Airmataku meleleh. Percuma. Kau tak mungkin mendengarku. Jangan bersedih, Gustama. Bukankah kau sendiri yang mengatakannya padaku? Jika melihat pelangi, orang akan bisa melupakan kesedihannya, bukan? Tidak. Tidak begitu bagiku kali ini. Aku justru bertambah sedih karena melihat pelangi itu. Gustama, begitupulakah denganmu? Tadi pagi seseorang membawa kabar padaku tentangmu. Menengoklah ke timur sejenak, setelah itu usaplah airmatamu. Kau akan melihat pelangi di langit timur itu. Mengantar jenazah Ayahmu. Semarang, 23 April 2009 17:41 ; catatan kecil untuk G




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.