Buletin Sastra Lembah Kelelawar #6 (Kotak Amal)

Page 1


Manusia pasti membutuhkan dan dibutuhkan. Membutuhkan perlindungan, ketenangan, kedamaian, hingga membutuhkan pengakuan, dan juga segala hal yang bersetubuh atau bersebibir pada kenyamanan. Karena saya pun yakin kalau hal ini telah akrab di telinga siapa saja, karena memang semua ini telah terbibirkan dimana-mana. Begitu pula dibutuhkan oleh manusiamanusia yang lainnya. Dibutuhkan oleh siapa saja yang kekurangan, merasa kekurangan atau bahkan yang merasa sok kekurangan hingga dibutuhkan oleh siapa saja yang nggragas! Banyak hal yang dapat kita perbuat, hal tersebut tak akan lepas dari beramal dan diberi amal, asal alas an kita tulus saja (seperti halnya percintaan anak-anak muda/ yang merasa masih selalu muda). Semua manusia pun bilang selidah (kata: dhik wiwid) bila beramal adalah kebaikan, bukan semata karena itu anjuran pemerintah yang dilidahkan dari para ustadz dan kiai-kiai di masjid atau di mushola saja. Tapi semua itu benarbenar ada untuk teryakini karena merupakan hal kebaikan. Namun, tidak hanya yang menyangkut itu-itu saja, segala hal yang timbul karena memiliki sesuatu yang lebih ataupun agak lebih pun patut untuk disisihkan kepada sesamanya yang ternyata lebih ataupun sedikit membutuhkan agar kita beramal.

Nah, kali ini apakah kita juga termasuk dalam manusia-manusia yang beramal kepada kampus atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya? Ini sebenarnya yang wajib kita pertanggungjawabkan. Karena hal itu sejujurnya pun merupakan kebaikan. Merupakan sebuah kerelaan tersendiri untuk memikirkan pemahaman antara dibutuhkan dan membutuhkan. Banyak manusia datang berbondong-bondong, berduyun-duyun, bergugur-gugur, bergerombolgerombol bahkan berhujan-hujan hingga berbadai-badai, datang manusia dari berbagai penjuru daerah untuk menimba 'ilmu'. Segala daya upaya pun dilakukan untuk memenuhi keberangkatannya dari berbagai penjuru daerah tersebut. Nah, lalu mereka pun datang pasti dengan membutuhkan dan dibutuhkan. Membutuhkan ilmu dan dibutuhkan untuk menunjang kemajuan ilmu serta mempertahankannya agar semakin mampu berkembang untuk lebih memanusiakan manusia lagi. Tapi, sejujurnya pun kita tidak boleh protes atas segala tindakan yang nantinya dinilai akan lebih menyimpang pada hal yang diinginkan tadi. Entah itu dari kita (manusia yang ingin menimba ilmu) ataupun lembaga yang ingin mengembangkan dan memajukan pengembangan memanusiakan manusia tadi. Semua orang pun pasti akan repot-repot, berbondong-bondong, berduyun-duyun, bergugur-gugur, bergerombol-gerombol bahkan berhujan-hujan hingga berbadai-badai untuk menuntut segala hal yang menyangkut penyimpagan atau penyelewengan tadi. Benar atau salah segala hal tersebut? Maka kembali saja kita pada beramal dan diberi amal tadi. Yakin saja, jika kita tulus pasti ada jalan. Semoga. (Red/ Naka).

komunitas sastra lembah kelelawar adalah komunitas yang ingin mengajak belajar menutup liang kubur dan mencipta surga tersendiri di dalamnya. lahir pada hari selasa, 11 agustus 2009, 11.50 pm. didirikan oleh sulung pamanggih, widyanuari eko putra dan setia naka andrian, kemudian merangkul ibrahim, charier, fitriyani dan maftuhah

tulisan dapat dikirim langsung, hub: 085290066710/ via email:

lembahkelelawarsastra@yahoo.co.id

blogs: lembahkelelawarsastra.blogspot.com

Markas Kecil ‘Lembah Kelelawar’

Jl. Pandean Lamper 3 No. 337 A Kawasan Jembatan TI Semarang


Celoteh air mata Bintang tenggelam di malam yang bisu Mataku pingsan, tak lagi dimaknai Hanya celoteh jangkrik memecah Dan air mataku menganak sungai Terdiam atas deretan kata Terlintas sosok bayangan ; Dia

Penikmat tembakau kering Sepi buntu diam tanpa niat memecah merangkak dalam sunyi hingga jarijemari meraih kopi menghirup aroma sembilan puntungâ–Źtiga lagi genap selusin asap menerobos jendela dan pandangku jatuh tepat di atas mata-nya tersalip bias luka menganga juga senyum tak jelas ujung Selo Romo, 180210

Halaman duabelas Tuhan, aku merindukannya setumpuk kenangan di sudut-sudut penuh debu Ku rengkuh pelan dan berlari halaman duabelas senyumnya utuh seperti tahun silam Tapi tidak dengan hatinya Ruang bawah langit 090510 11.16 P.m


WANITA-WANITA TUA YANG MENUNGGU untuk Kartini dkk kelak bila kereta berbunyi dan berjalan sendiri, kuajak kaumenyapa wanita-wanita tua yang telah lama menunggu, semacam kedatangan anak atau cucu mereka di penghujung kenangan. tunggu, nak, bolehkah kumemelukmu, mendekap menyisir sejarah yang hampir tenggelam tertindih masa, sebelum itu? kereta pun tiba membawa harap atau cemas, mungkin, setelah hujan tak selesai di stasiun. dan kaulihat, nak, mata wanita-wanita tua itu lari tergopoh, melawan hujan. kereta tak mau berhenti. aku tahu, nak, penantian mereka selesai ketika waktu sampai di sembilan. kau akan tertidur di sana. besoknya, wanita-wanita tua itu mati setelah kereta tak mau berhenti, kecuali selembar daun yang ikut jatuh tertabrak kereta. 2010

SEPI kecuali sepi kutemukan di jalan-jalan pengembaraanku udara, mati! 2010

NAMA PADA BATU

di pojok waktu yang tak terjamah, tuhan menuliskan nama pada batu. di ujungnya pula, semua tahu bahwa kabar yang disampaikannya tak pernah bohong. 2010


KOTA IKAN

berulang kali kuingat ikan-ikan berceceran dari perutmu berlari dari lembah menuju pucuk-pucuk menara melewati tangga kosong terurai di kota nenek-nenek mereka ikan-ikan tertawa sontak lunglai oleh api yang lahir dari anak panah berlari, terus, terus berlari meninggalkan cita hingga kota kota yang tiada nenek-nenek mereka bersua kota kecil yang sepi besar selaksa massa ikan-ikan masih bermuncratan sana-sini anak panah-anak panah tetap menulurkan api menyisakan bengkak tak berumur dalam masa menggiatkan canda semisal napas bayi tak berongga, mereka meneriakkan hasrat menamu matahari saat semua tak dapat terbungkam sebab pada api terlampau jauh darinya berat masih kuasa di dasar sana memalingkan arah pada tiada mencari-cari di mana mereka simpan mutiara sampai kapan ikan-ikan itu terus berlari berebutan jika suara tetap bisu dalam semedinya langkah gontai masih terasa di pundakmu? ikan-ikan itu terus berlari manaruh harap pada matahari di kota besar ini 2009


TANGIS JANIN PENGANTIN EKSEKUSI Sejarah leluhur dalam kubur Tembok-tembok santri tegar berdiri Seperti beton tak teruntuhkan Menanti musuh dalam perang Di seberang robot-robot berkulit baja mengancam nyawa Aparat-aparat bermata buta Memegang pistol berlagak tolol Kepala-kepala pecah Darah segar membuncah Tua muda beradu nyawa Mobil-mobil menjadi bara Amarah terbakar tak padam juga (19-04-10)

Terlantun ayat di atas panggung pengantin Mengiring ritual adat keramat Terlihat mempelai saling belai Nampak panggung di atas sprei Mertua-mertua memendam muka untuk tetangga Luka-luka tetangga menjadi tawa menganga Di atas panggung pengantin Ijab lambat tak lagi penting Di atas panggung pengantin Mertua-mertua bisu menantu bunting Di atas panggung pengantin Terdengar tangis seorok janin

DOKTER AYAHKU PAMIT

(rembang06-12-09)

Dok, tengoklah ayahku Jangan bersembunyi di balik kasur dok Dok, malam sudah tua Ayahku mau pamit dok Dok, temuilah ayahku Dokter, malam semakin tua temuilah ayahku Ayahku mau pamit

REPLIKA

(pati30-10-09)

Aku pernah menyetubuhimu sebelum aku balig Kau sambut nafsuku dengan tarian Kita bergelut, melebur dalam pasar kembang Aku menjadi wangi Seratus suamimu terdahulu pun wangi Dan kini kau hamil olehku Kita beranak pinak Namun saat aku merantau Kudengar kau matiditikam anakmu sendiri Sayang... kini kau hanya menjadi replika (pati050710)


Apa kabar TUHAN??? Aku telah lama bersanding denganmu Namun kau, aku tak tahu Bias aroma senja selalu memaksa tuk bersama kawan Tak ada daya, justru tertera pengkhianatan serta perlawanan Selama tak ada kata selama tak ada rasa bersama Buliran detik telah lama bergerak dalam satu panggung Pentas dengan lagu irama kenistaan Anggapan fasih dengan lafaz-lafaz namaMU Tenggelam bersama arus kawan Lama tak bersua hanya gumam kecil tuk kembali Kenapa selalu berat untuk sekedar melangkah??? Selalu... Seruan nama tuhanku dan kalian Memaksa diri sekedar bercerai dengan dosa Ingin berontak terhadap angkuh sebuah tirani Ingin melantunkan sebuah kata maaf‌ Menanti tangan-tangan tembaga terbuka Serta berujar‌ Apa kabar TUHAN???

IDUL FITRI Takbir berkumandang! Takbir sayub-sayub terdengar Diribaan kilau penantian Menggumam takdir, Memaksa diri berdikari. Takdir bekumandang! Mendekap diri dalam dinding kenistaan Bahagia tersusup dalam hati, Berbingkai kenang! Hari baru terbuka, Menyusun puzzle waktu, tergambar dari awal Sejak takbir yang pertama, Bumi langit yang tersabda, Oleh tongkat-tongkat nyanyian AGUNG‌


Hujan Pertama

Musyafak Timur Banua

Ini kali pertama hujan, setelah tujuh bulan kemarau menjerang. Ini juga kali pertama kali bumi basah dan bencah, setelah tiga bulan kepergianmu merantauAh, kau terlalu buru-buru pergi meninggalkan istri baru. Aku, Fatima, dara yang kau kawini duapuluh tujuh hari sebelum kepergianmu. Masih ingat betul, sebelum berangkat kau buru-buru menyambar tengkukku. Hingga di leherku berbekas kembang merah buah gigitanmu. Tapi, perjamuan terakhir itu berlangsung amat cepat. Tak lebih tiga menit otot-otot renjanaku meregang. Selepas itu tak ada cakap sama sekali. Kau buru-buru mandi. Lalu pergi bersama rombongan orangorang proyek itu. Sebelum hujan, kilat-kilat menyobek mendung hitam yang berarak dari selatan. Gelegak-gelegak guntur menyentak langit. Kau tahu aku paling takut pada kilat dan Guntur, bukan? Angin kencang menggoyang pucukpucuk bambu di belakang rumah. Lalu tumpah hujan. Rumahmu yang kudiami seorang diri diserang tempias hujan. Tapi tak kurasai hawa dingin. Malah gerah tubuhku. Harum tanah menguar menyuruk hidung. Mirip wangi damar seusai terguyur hujan. Mendadak sekali kau pulang. Kau tebah daun pintu depan tanpa permisi. Aku lupa menguncinya. Sebab rasa takut pada guntur dan kilat mendesakku cepatcepat melesak ke dalam selimut. Aku tahu ini rumahmu. Wajar jika tak usah ketuk pintu, atau berucap salam, sebelum kaumasuki. Atau, kau bergegas masuk

lantaran tak kuasa menentang dingin. Bajumu basah kuyup. Bibirmu biru. Tubuhmu menggigil. "Apakah kauterobos hujan mulai dari halte desa sebelah?" Kau tak menjawab sepatah katapun. Dan, aku merasa pertanyaan itu tak penting kaujawab. Yang penting, bagiku, kau pulang selamat. Kuangsurkan handuk, sarung, dan kaus oblong padamu. Lalu kuturunkan tas gendong cokelat dari punggungmu. Ganjil benar perangaimu malam ini. Kau tampak tak punya selera bercakapcakap. Sekadar menanyakan kabarku, pun tidak. Padahal, kuancar-ancar, kau akan berucap sesuatu. Aku kangen kamu, misalnya. Sarungmu masih kedodoran kala tubuhmu mendadak menyorong tubuhku. Matamu memercikkan sorot renjana. Aku memafhuminya. Aku pun menginginkannya semenjak tiga bulan kautinggal sendiri di rumah. Tubuhku terdesak di punggung kursi. Kau mengendus-endus. Di luar masih hujan. Malam ini kita bertemali dalam rasa yang menggeletar. Damai tubuhku kau peluk dengan lengan-lengan kelelakian. Kurasai malam perjamuan ini amat beda dengan perjamuan yang dulu-dulu. Tenagamu tak habis-habis. Juga aku serasa tiada surut. Biarlah di luar hujan semalam suntuk. Di sini, kuhujani telingamu dengan desisdesisku. Kuwakafkan keseluruhanku padamu. Kau, Sardi, suamiku. Malam ini hangatmu beda. Juga bau tubuhmu lain


biasanya. Ah! Ataukah aku telah lupa bau tubuhmu, hingga kusangka ini lain? *** Begitu terjaga, Fatima mencari-cari Sardi. Tak didapatinya Sardi di ruang depan. Ia berlari ke pancuran. Sardi tengah mandi, sangkanya. Tapi nihil. Sarung dan kaus oblong yang semalam diberikan Fatima pada Sardi, tergeletak di kursi. Sementara, celana dan baju warna hitam yang basah semalam, tak ada di lengan kursi. Tas punggung cokelat yang didudukkan Fatima di kursi pun tiada. Apakah kau buru-buru pergi lagi hingga tak sempat pamit padaku? Atau, janganjangan kau hanya butuh tubuhku? Tak butuh aku sebagai istri yang pagi-pagi membuatkan kopi dan sarapan? Apakah di luar sana kau temui penyeduh kopi yang lebih cantik daripadaku? Pertanyaan-pertanyaan itu menyerang Fatima yang tengah bingung mencari suaminya. Sedapat-dapatnya Fatima meyakinkan hati bahwa malam tadi Sardi pulang. Namun, pikirannya menepis. Andai Sardi kembali ke kota rantau tanpa pamit padanya. Fatima menghuyung ke luar rumah. Didapatinya perempuan tetangga tengah menamati batang pisang yang rebah akibat hujan-angin semalam. "Yu, apa kaulihat Kang Sardi pergi subuh tadi?" Perempuan itu mengernyitkan alis. Ia memandang aneh pada Fatima. Sorot matanya berbalik menyodorkan kebingungan. "Memang Sardi kapan pulangnya?" "Mmalam tadi, Yu." "Jika Sardi pulang, tentu menantuku si Parta pulang juga, bukan? Nyatanya Parta tidak pulang!" Mendadak Fatima gagap. *** Menjelang dua bulan setelah malam pertama kali hujan itu, Fatima mulai merasai perutnya kerap mual-mual. Sesekali muntah.

kepalanya sering pusing-pusing. Kini ia menderita mual berhari-hari dan mendadak-mendadak datangnya. Kaget tak kepalang menyergap Fatima kala suster di Puskesmas Kecamatan Dempet menyatakan Fatima bunting. Bunting!? Kenyataan ini harusnya membuat Fatima bungah. Tapi, tidak sama sekali. Fatima justru diserang berbagai ketakutan. Satu sebabnya, ia tak yakin suaminya benar-benar pulang dan menidurinya di malam kali pertama hujan itu. Fatima miris jika dituduh berzinah! Bagaimana ia bisa hamil, sementara suaminya pergi merantau? Rasanya sulit menjelaskan pada orang-orang, juga pada Emak, bahwa suaminya pernah pulang semalam, menidurinya, lalu pergi meninggalkan misteri dan pertanyaan yang hingga kini menari-nari di kepalanya. Benar. Emak hampir tak percaya pada cerita tentang kejadian ganjil itu. Namun Emak tak bisa menepis, Fatima benarbenar bunting. Orang-orang kampung mulai menggunjingkan kehamilan Fatima. Di sawah, di perkumpulan, bahkan di surau sekalipun, tak lepas membicarakannya. Kebanyakan orang berwasangka, janin dalam rahim Fatima adalah buah perzinahan. Semata Emak yang percaya atas keragu-raguan Fatima, bahwa janin itu buah senggama dengan Sardi di malam pertama kali hujan, sebelum keesokannya menghilang tanpa pesan. *** Fatima merasai perutnya memberat. Janin di rahimnya menjelang empat bulan. Hatinya sering berada di pucuk dilema. Satu sisi ia ingin memberitahu Sardi akan kehamilannya. Namun ia dilanda ketakutan jika justru suaminya menuding ia berzinah. Ketakutan itu berjarak tipis dengan kenyataan kala lelaki seperdua baya menjejak pematang. Langkahnya membelah sawah yang padinya mulai menguning. Buah padi runduk-rata ditimpa


matari, laksana hamparan emas. Sejak masuk kampung, Sardi berpapasan orang-orang yang tak sekadar menyapa, tapi juga mengabarkan bahwa Fatima bunting empat bulan. Sardi berjalan setengah berlari. Seketika dadanya disesaki hawa padat. Amarahnya berpendar di setiap aliran darah. Matanya yang cekung ke dalam tampak nyangar benar. Nafas Sardi kian memburu ketika menjejak halaman rumah. Disorongnya daun pintu kuat-kuat hingga menderakkan suara yang mengagetkan Fatima. "Kau pulang rupanya, Kang!" Fatima hendak menghamburkan tubuhnya ke pelukan Sardi. Tapi urung. Sardi malah melambaikan tamparan ke pipi Fatima. Fatima terjerembab. Memeluk lantai rumah yang hanya tanah. "Dengan siapa kau berzinah?� Fatima masih berupaya sekuat tenga memahami kenyataan. Memahami tuduhan zina dari seorang yang harusnya mempercayai kesetiaannya. “Tak mungkin janin empat bulan itu titisanku! Sementara tujuh bulan aku di rantau! Jika titisanku, harusnya janin itu berumur enam bulanan. Dasar perempuan jalang!" Bibir Fatima tergerak-gerak. Tapi tak sepatah katapun terucap. Semata beningbening kristal menitik dari kedua sudut matanya. Fatima terguguk dalam ketidakberdayaan menyangkal tuduhan Sardi. Fatima terbawa pada kebenaran puncak, bahwa Sardi benar-benar tak pernah pulang dari kota rantau, kecuali hari ini. Pun, Sardi tak pernah menidurinya semalam suntuk, sebelum paginya pergi tanpa pamit. "Kkutalak kau! Sekarang pulang ke rumah Emakmu!" hardik Sardi. Mendengar ucapan Sardi, Fatima limbung. Gerak jagat laksana tarian Siva yang amat kencang. Fatima sedapatd a p a t n y a m e n c o b a b a n g k i t . Ta p i

ketidakberdayaan lebih berdaulat ketimbang sisa-sisa tenaganya. *** Emak tak kuasa bertahan atas fitnah perzinahan Fatima. Dua bulan lalu, perempuan tua itu meninggal dengan memendam malu berkalang aib. Fatima menanti janinnya lahir dengan perasaan amat terasing. Wak Kasim, saudara tua Emak, orang semata wayang yang memedulikan Fatima. Kini, Wak Kasim adalah orang pertama yang percaya janin itu bukan buah perzinahan Fatima dengan manusia. "Ada cerita yang mirip lakonmu, Nduk. Seorang istri didatangi genderuwo saat suaminya pergi jauh. Makhluk halus itu menjelma seperti wujud suaminya. Lalu terjadilah persenggamaan yang berbuah janin. Jadilah bayi titisan genderuwo," cerita Wak Kasim. Fatima menggigil. Miris kalau-kalau yang dikandungnya adalah bayi genderuwo. Fatima tak bisa membayangkan rahimnya menjadi tempat penitisan keturunan makhluk halus yang wujudnya, menurut cerita-cerita orang, bisa mengembari bentuk-bentuk manusia. *** Siti Gandasuli, begitu Wak Kasim menamai bayi ituGandasuli adalah sejenis tanaman yang menumbuhkan kembang berwarna kuning di puncak batangnya, baunya harum. "Kembang yang cantik," tutur Wak Kasim. Gandasuli memang cantik. Badannya bongsor. Matanya bening dan lebar. Tapi agak beda dengan bayi-bayi biasa. Kulitnya putih, ditumbuhi bercak-bercak merah. Bulunya sungguh lebat untuk ukuran jabang bayi. "Bayi ini benar-benar titisan genderuwo. Aku tahu kisah-kisah bayi genderuwo. Ciri-ciri kulit dan bulunya sama dengan bayimu," kata Wak Kasim. Kedirian Fatima mengakui anak itu


berbuat kepahitan. Fatima malang, ibu bayi yang muasalnya amat misteri, menjadi bahan cercaan. Keseluruhan dirinya adalah cibiran. Fatima terdesak berbagai tudingan bahwa ia sengaja berhubungan dengan makhluk halus. Pada puncak pencacian orang-orang, Fatima pun merutuki diri. Menghujat semesta, mengutuk ketidaksengajaan perjamuan dengan genderuwo yang berujung penistaan. Menamati orok itu, semburat kebencian membuncah di wajah Fatima. "Mengapa kau lahir bukan dari air kelelakian manusia?" desis Fatima merutuk. Namun, kebencian itu tak bisa berlarutlarut. Puncak kesadaran Fatima menumbuk kenyataan yang tak tertepis bahwa Gandasuli adalah orok yang lahir dari garbanya. Titisan siapapun, Gandasuli tetaplah anaknya. Gandasuli tak berhak menjadi pusat kebenciannya pada gurat nasib. *** Biar saja orang-orang tahu Gandasuli titisan genderuwo. Tak perlu lagi berkeras hati melawan wasangka orang-orang, bahwa aku berzinah dengan manusia. Andaipun aku masih dicerca berzinah dengan makhluk halus, biarlah! Orang-orang akan tahu, perzinahan itu di luar kesengajaanku. Musim hujan kembali datang. Tiba-tiba saja aku teringat satu keperkasaan makhluk tak terjelaskan ketika hujan semalam suntuk tigabelas bulan silam itu. Seperti aku merindukannya. Ah‌ Soeket Teki, Mei 2009


Tidak ada yang terkesan berlebih dalam diskusi meja cerpen 2 Komunitas Sastra Lembah kelelawar, pandean lamper 3. Acara yang semula dijadwalkan mulai pukul 19.30, terpaksa mungkret hingga pukul 21.00. Hanya segelintir saja yang urun rembug menggugat cerpen Percakapan Bulan dan Bidadari [PBB], karya Tri Umi Sumartyarini. Tapi hal tersebut bukan menjadi soal UAN yang wajib diisi, karena jika mengharap banyak peserta, kami takut disangka seminar. Membaca PBB seperti halnya skenario curhat yang tumpah ruah dengan pelbagai isu yang secara sadar [mungkin] sengaja di mix untuk menemukan racikan cerpen yang 'isi'. Tri Sumartyarini yang akrab disapa Rini, merupakan mantan pemimpin sebuah lembaga pers mahasiswa. PBB muncul sebagai cerpen yang ditulis dari sosok yang sedang mengalami pergulatan kobar api semangat menulis yang tinggi─saat itu penulis mengaku sedang mulai getol menulis. Ditulis kirakira 3 tahun silam, dan kemudian nangkring di Cempaka. Sebagai cerpen yang muncul di media massa, hal ini tentunya menjadi sebuah pertaruhan bagi Rini. Dan Meja Cerpen mencoba menguak segala yang terkandung dalam PBB. Ada beberapa yang tampak begitu kental dikupas dalam PBB. Bermula dari tokoh Roro Ayu Hapsari yang mengalami tekanan tuntutan menjadi wanita jawa seutuhnya, yang begitu ditekankan oleh keluarganya─terutama nenek. Nenek yang mengidamkan sosok keturunan keraton harus melekat pada cucunya. Anggapan perempuan yang harus ayu. Kulit kuning langsat, bangkekan nawon

kemit, alis nanggal sepisan, untu miji timun, driji mucuk eri dst. Budaya keraton yang menjadi asal-usul Roro Ayu Hapsari, dikupas dalam slentingan setting cerita. Muncul pula isu gender yang diimplikasikan pada sikap Ayu yang memberontak mengenai pembakuan imej perempuan dari sang nenek. Hal tersebut secara tidak langsung menjadi sorotan utama dalam cerita ini. “Ayu! Kau jadi tidak ayu lagi! Kulitmu oh kulitmu hitam terbakar seperti ini! Lelaki mana yang mau menjadi suamimu kelak? Cah wedok ireng jalitheng!� Teks pembicaraan yang begitu menjurus. Hal ini bisa dipahami jika menilik background penulis saat menulis PBB. Mahasiswa yang sedang liar-liarnya, sedang gila buku-buku keperempuanan. PBB hadir tak lebih dari sebuah cerita utuh yang datar, sedatar lapangan terbang. Dengan beberapa losing logical yang


begitu mengganggu. Beberapa paragraf terasa janggal jika dikaitkan dengan kewajaran logika. Sesuatu yang sebenarnya bisa disampaikan secara total akhirnya muncul dengan beberapa “gangguan�. Mulai dari alur cerita yang begitu njeglag, penghakiman kejam pada tokoh tertentu─dengan mematikan tokoh tersebut dalam cerita, serta kekurangtepatan membidik judul terhada realitas dalam cerita. Mungkin akan lebih tertuju pada kumbang bunga yang menjadi sentral konflik cerita. Semacam konspirasi yang tanggung, karena ternyata kumbang-bunga tergeser kemayaan bulanbidadari. Cerita menuju pada happy ending. Menurut teman sebantal saya, sedikit saja happy ending bisa ditemui, mayoritas sad ending. Hal tidaklah mudah, dan kuatlah PBB.

Foto-foto hasil kelakuane hape kamerane ibrahim, jelek kan? Hehe

Namun sejauh apapun koreksi yang diungkap dalam menghakimi PBB, tetap saja cerpen ini sudah menunjukan ke-ada-annya. PBB sudah menjamah publikasi dan sudah berhak menentukan jalannya sendiri. Begitu saja mungkin.(red/wid)

MENUJU BULAN RAMADHAN


Oleh: Widyanuari Eko Putra

Siapakah sebenarnya pemangku pengukuhan kesetaraan gender? Hingga karenanya isu gender dirasa semakin runcing diperdebatkan. Penulis bisa pastikan apa yang mencuat─entah itu isu ketidakadilan (gender enqualities), bias ataupun diskriminasi gender─di media, menunjukan problem dan konflik gender masih terjadi di sekitar kita. Sejauh ini apakah solusi cerdas-praktis sudah bisa terbukti dibanding segala urusan wacana yang kerap muncul ke permukaan? Mengupas pelbagai masalah gender, kita wajib tahu perihal gender sebenarnya? Gender adalah peran, sikap, prilaku pada laki-laki dan perempuan yang mengacu dan dikonstruksi pada nilai sosial-budaya pada masyarakat tertentu, tidak paten, bisa berubah-ubah menurut kondisi sosial tertentu. Hal tersebut sering kita kenal sebagai sebuah konsep gender. Mayoritas isu gender masih menimpa kaum perempuan, misal kekerasan dan pelecehan seksual dalam rumah tangga (sexual harassment), pembakuan peran perempuan, serta mencuatnya fenomena pemerkosaan dalam kehidupan rumah tangga (marital rape). Pemikiran perihal perempuan yang serba berkewajiban menjadi alasan pemicu yang mendasar dalam kasus ini. Lantas, siapa yang harus

disalahkan atas fenomena ini? Paradigma masyarakatkah, pihak laki-laki, atau justru agama. Suripan Hadi Hutomo (1988) dalam artikel “Wanita Jawa; Kritik Sastra Feminisme” melalui Suwardi Endraswara (2002), menjelaskan bahwa kata wanita berasal dari tembung camboran ”kata majemuk” untuk secara khusus jarwadhosok frase wani ing tata 'berani bersedia diatur'. Seorang wanita jawa harus siap memenuhi segala aturan, terutama dalam norma hidup berumah tangga. Secara tak terduga kepercayaan adat turun-temurun turut melanggengkan proses pembakuan yang ada. Dalam perspektif masyarakat jawa hal tersebut masih berjalan normal, perspektif gender (gender policy) kurang begitu diperhatikan. Menurut satu diantara beberapa teori feminis, secara psikologis, ideologis dan filosofis wanita cenderung diletakkan sebagai objek atau pemuas nafsu seksual laki-laki. Apapun yang dilakukan laki-laki terhadap wanita─menurut Gramci sebagaimana dikutip Arif Budiman dalam buku Pembagian Kerja Secara Seksual─terlanjur bersifat hagemonik: wanita menerima secara sadar dan tanpa merasa dipaksa. Wanita seolah dianggap sebagai “boneka” yang harus siap melayani laki-laki sewaktu-waktu.


Tuhan tidak berkelamin jantan ataupun betina, hal ini seharusnya menjadi analogi atas pemikiran gender masyarakat. Jangan sampai ada pengibaratan bahwa Tuhan itu laki-laki. Baru-baru ini agama dipandang sebagai sentral utama yang melanggengkan ketidakadilan gender, terutama Islam. Pernyataan tersebut tak boleh kita telan mentah. Menggunakan ayat Al-qur'an untuk mengupas gender perlu mempertimbangkan hal-hal berkaitan relevansi kondisi masyarakat ketika ayat turun dengan kondisi sekarang. Penafsir, mustinya juga meminjam perspektif gender untuk menafsir ayat tersebut. Untuk itu sudah saatnya lembaga kajian keagamaan dan pendidikan memiliki bagian “pengkajian perempuan�. Dalam masyarakat Islam misalnya, perlu pengkajian perempuan dalam pesantren maupun lembaga pendidikan tinggi Islam. Dengan ini diharapkan muncul tafsir maupun fikih perempuan yang berspektif keadilan gender (Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Insist 2008). Munculnya subordinasi (anggapan bahwa perempuan lemah dan irrasional), marginalisasi (peminggiran dalam kaitannya pembagian tugas), peran ganda serta diskriminasi tentu bisa disikapi jika apa yang terjadi sekarang direkonstruksi sedari awal, dari hal yang mungkin teramat sepele. Pelbagai contoh praktek tindak peka gender kerap kita baca dalam ulasan berkaitan isu gender. Sebut saja Instruksi Presiden (Inpres) nomor 9 tahun 2002 yang memerintahkan seluruh menteri, kepala lembaga pemerintah non departemen, gubernur/walikota untuk melaksanakan pengarusutamaan gender; yaitu pengikutsertaan serta penyertaan peran perempuan dalam arus parlemen pemerintahan. Hal ini menjadi indikasi keseriusan pemerintah dalam mencoba memperbaiki ketidak-adilan gender dalam masyarakat. Perempuan sejatinya mempunyai kepentingan yang sama dengan laki-laki. Apa

yang menjadi kepentingan perempuan sebenarnya kurang optimal apabila ditentukan atau diputuskan oleh laki-laki, karena yang tahu detail urusan perempuan hanya perempuan itu sendiri. Seperti halnya kepentingan laki-laki yang ingin ditentukan oleh laki-laki. Karena pada umumnya laki-laki seolah menjadi trademark atas pemimpin dan pemegang otoriter. Dalam proses perencanaan pembangunan, perempuan hingga kini belum mendapat porsi sesuai, masih ternomorduakan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat pembela kaum perempuan mencoba memberi solusi lewat beberapa gerakan. Diantaranya Kalyanamitra yang sempat dilarang beraktifitas semasa Orde Baru, Women Research Institut rajin menyelenggarakan workshop keperempuanan serta beberapa hasil penelitian terhadap kasus perempuan masih mencoba menemukan smart solution memecahkan kasus gender. Bahkan Ketua Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Universitas Negeri Medan, Meuthia Fadila Fachrudin, menambahkan, peran perempuan secara kuantitatif memang mengalami peningkatan. Namun, penerapan konsep gender di sektor lain masih belum meningkat. Dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDG's) yang meliputi penghapusan kemiskinan; pencapaian pendidikan dasar secara universal; mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; mengurangi kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu hamil; melawan HIV/AIDS; menjamin lingkungan yang berkelanjutan; pengembangan mitra pembangunan secara global, untuk memaksimalkan peran perempuan yang batas waktunya pada tahun 2015, dapat secepatnya terwujud (Warta Online). Usaha penyetaraan gender juga telah mencuri perhatian Pemerintah Australia melalui Australia-Indonesia Basic Education Program. Mencoba menerapkan


yang menjadi kepentingan perempuan sebenarnya kurang optimal apabila ditentukan atau diputuskan oleh laki-laki, karena yang tahu detail urusan perempuan hanya perempuan itu sendiri. Seperti halnya kepentingan laki-laki yang ingin ditentukan oleh laki-laki. Karena pada umumnya laki-laki seolah menjadi trademark atas pemimpin dan pemegang otoriter. Dalam proses perencanaan pembangunan, perempuan hingga kini belum mendapat porsi sesuai, masih ternomorduakan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat pembela kaum perempuan mencoba memberi solusi lewat beberapa gerakan. Diantaranya Kalyanamitra yang sempat dilarang beraktifitas semasa Orde Baru, Women Research Institut rajin menyelenggarakan workshop keperempuanan serta beberapa hasil penelitian terhadap kasus perempuan masih mencoba menemukan smart solution memecahkan kasus gender. Bahkan Ketua Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Universitas Negeri Medan, Meuthia Fadila Fachrudin, menambahkan, peran perempuan secara kuantitatif memang mengalami peningkatan. Namun, penerapan konsep gender di sektor lain masih belum meningkat. Dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDG's) yang meliputi penghapusan kemiskinan; pencapaian pendidikan dasar secara universal; mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; mengurangi kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu hamil; melawan HIV/AIDS; menjamin lingkungan yang berkelanjutan; pengembangan mitra pembangunan secara global, untuk memaksimalkan peran perempuan yang batas waktunya pada tahun 2015, dapat secepatnya terwujud (Warta Online). Usaha penyetaraan gender juga telah mencuri perhatian Pemerintah Australia melalui Australia-Indonesia Basic Education Program. Mencoba menerapkan pendekatan inovatif melalui pembelajaran kesetaraan gender dalam lingkungan sekolah. Proses pengarus-utamaan gender ada baiknya mulai diawali dari keluarga, pergaulan, pendidikan serta struktur sosial yang berfungsi sebagai pondasi awal. Keluarga menjadi titik pijak pertama, karena pada ruang lingkup sosial terkecil inilah manusia belajar dari segala hal. Imitasi dan pembelajaran akan dimulai dari tahap ini. Ada baiknya orang tua sadar betul akan

pendidikan peka gender terhadap anak. Menghilangkan segala jenis pembakuan yang sering dibebankan pada wanita; irrasional, lemah, pekerjaan dominan rumah tangga dan sebagainya. Kesetaraan adalah kondisi yang tidak memberatkan, entah perempuan maupun lakilaki. Membahas kesetaraan perempuan tanpa menghargai peran laki-laki sama halnya melanggengkan ketidak-setaraan gender. Karena peran gender berlaku adil bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki pun sepantasnya mendapat perlakuan sama. Masih kita jumpai kasus di media sepert istri minta cerai karena penghasilan suami lebih kecil dari istri, serta lakilaki yang selalu disimbolkan dengan “kekuatan� seperti iklan-iklan di televisi. Seperti perempuan, laki-laki pun sepantasnya diperhatikan. Seyogianya gerakan penyetaraan gender mulai diimplementasikan dalam segala aspek dan lini kehidupan masyarakat. Pemangku kesetaraan gender bukan sekedar LSM atau masyarakat tertentu. Lingkup keluarga, masyarakat, pendidikan, stakeholders, pemerintah, aspek agama serta yang terpenting adalah bagaimana mengupayakan aspek gender bisa bersinergi dengan struktur sosial, adat dan budaya, dan agama. Belum terlambat untuk mencoba, karena pemangku masalah gender bukan saja LSM atau kaum perempuan saja. Terwujudnya kesetaraan gender adalah wujud masyarakat yang mampu menempatkan struktur sosial sebagaimana mestinya. Keseimbangan kondisi sosial adalah wujud nyata perbaikan mutu suatu bangsa dalam penanaman peran sesuai demi hasil tradisi masyarakat yang lebih baik. Karena tradisi keadilan berperspektif gender bukan perubahan sekejap, namun runut, berkesinambungan satu sama lain serta membutuhkan peran aktif seluruh lapisan masyarakat dan kesadaran individu dalam mengedepankan kesetaraan gender. Kesetaraan gender merupakan keadilan yang perlu diterapkan di segala lini kehidupan. Dan hanya dengan seperti itulah keadilan gender bisa tercapai. Begitu saja mungkin.***

Penulis adalah pahlawan di KIAS, begumul di Lembah Kelelawar


Sekumpulan orang dengan ide ide cemerlang yang berkolaborasi mampu menjadi pemantik terlahirnya karya cipta. Tidak hanya sampai di situ saja, keterlibatan orang orang di sekeliling atas dasar kecintaan yang sama pun harus dijamah untuk dapat ikut serta menjadi bagian penting melahirkan karya besar lainnya. Ketika sebuah kumpulan telah terisi banyak pemantik ide ide cemerlang, yang harus diperhatikan adalah bagaimana kelangsungan hidup karya itu. Untuk itulah perlu disamakan dalam visi dan misi yang harmonis. Dalam keberlangsungan komitmen itu perlu di tata secara transparan antara kreativitas dan obsesi semata. Buletin Lembah Kelelawar dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk karya cipta yang lahir dari harapan dan kumpulan inspirasi terpendam untuk digali dan dimunculkan ke luar menembus tingginya dinding pembatas lembah. Antara apa yang ada di dalam bumi untuk hadir di langit langit dunia komunitas. Sastra menjadi dunia luas untuk dijamah, kekayaan dunia imaji menjadi tanda keluasan wilayah sastra untuk terus dapat digali dan digali. Dengan demikian buletin ini dapat menjadi media tanpa batas untuk mereka yang ingin merambah sejauh mungkin dunia yang dicintainya dengan

identitas tanpa batas. Layaknya seorang bayi yang baru saja lahir ke dunia, ia tidak mengenakan pakaian selembar pun, murni dan masih polos. Yang menentukan identitas dan kehadirannya adalah segala apa yang ada di sekitarnya yang memang diberikan khusus untuk menyambut kehadirannya di dunia. Demikian pula dengan Buletin Lembah Kelelawar yang memang terhitung masih sangat belia, dengan edisi pada setiap bulannya yang telah menginjak usia ke lima (lima edisi). Beragam upaya dilakukan dalam mengemas buletin sebagai karakter, dan dari waktu ke waktu dalam perjalanan pencarian dan penemuannya buletin ini terhitung mampu mengikuti perkembangan. Sangat penting bagi keberlangsungan sebuah buletin tentang karakter dan konsep kehadirannya di tengah masyarakat umum. Hal ini menjadi landasan kuat untuk dapat berdiri tegak terus menerus. Beberapa identitas telah dimunculkan dengan rubrik rubrik yang dihadirkannya. Konsep istilah lembah merambati setiap rubrik, seperti lembah esai, lembah sajak, dan lembah cerita dapat dijadikan identitas yang kuat.


Ketika menyimak bahwasanya buletin ini lahir dari sebuah kegelisahan yang sama dari tiga orang yang tengah berkumpul, menikmati suasana yang sama, dengan masing masing harapan dan ide cemerlang, sampai pada saat munculnya jiwa memberontak atas sebuah kenyataan, dan mencari bentuk pemuasan dalam kesepakatan, pembatasan secara transparan dan maya muncul tanpa disadari. Hal ini seolah bertentangan dengan konsep sastra yang merupakan dunia luas, dan bebas hingga siapapun dapat menjadi apapun dalam kekuatan imajinasi. namun, pernyataan itu justru terkesan mengunci buletin ini sebagai media penggalian kreativitas untuk dapat meluas, dengan demikian perlu adanya strategi kemasan dalam menyampaikannya pada ruang publik. Komposisi isi menjadi indikator peluang berkembang atau tidaknya media yang melibatkan orang banyak, meskipun atas nama komunitas tertentu. Dengan demikian keberagaman rubrik yang dihadirkan dalam buletin lembah kelelawar menandakan sejumlah peluang dan keterbukaan pintu kebersamaan dalam perannya untuk keberlangsungan hidup buletin tertentu, tentunya hal tersebut kembali mengacu pada konsep dasar kelahiran buletin tersebut. Buletin kelelawar dapat menjadi salah satu contoh upaya kerja keras yang memunculkan hasil membanggakan. Tidak hanya sekedar omong kosong belaka atau hanya bayangan semata. Tentunya itu menjadi semangat berkelanjutan untuk dapat menjadi api abadi menyalakan kehadirannya di tengah pembaca dan para penikmat kreativitas. Buletin dalam cakupan sastra tidak melulu berbicara imajinasi ataupun menggunakan kata kata indah dalam menampilkan dirinya. Buletin sastra tidak melulu harus menghadirkan dunia imaji semata. Pemahaman bahwasanya sesuatu itu dapat hidup karena peran dan pengaruh lingkungan sekitar, maka itu dapat menjadi inspirasi berkelanjutan bahwasanya tidak

menutup kemungkinan buletin sastra menjamah dunia lain di luar sastra yang dapat hadir secara harmonis sebagai sebuah kolaborasi. Seperti halnya menjamah psikologi melalui sastra, menjamah bisnis ekonomi melalui sastra, menjamah politik melalui sastra. Itu menjadi pekerjaan rumah yang panjang bagi buletin ini. Hal ini dikarenakan terdapat jutaan wacana yang mampu hadir melalui pintu sastra. Tiga hal yang menjadi pertanyaan adalah kepada siapakah sasaran akan ditujukan? kepada siapakah fungsi dan kebermanfaatan akan ditujukan? Dan kepada siapakah buletin ini akan dipersembahkan sebagai media penyaluran? Gerbang cemilan berfungsi sebagai sebuah gerbang, jalan masuk, pintu menuju tempat lain, sehingga apa yang tertera adalah sebuah hal ringan yang mampu mewujudkan persepsi tersebut. Sedangkan esensi kata Lembah yang mengawali setiap rubrik sastra, mulai dari sajak, cerita, atau pun hal lain yang berkaitan dengan sastra seperti esai memunculkan kesan bahwasanya semua yang ada dalam bagian itu adalah hal yang belum terungkap, dan semula menjadi bagian yang tersembunyi sangat dalam. Dari pembahasan sekilas tersebut dapat dikatakan masih banyak hal-hal yang terpendam untuk kembali disampaikan mengenai konsep dasar buletin Lembah Kelelawar. Sepertinya hal tersebut seiring dengan perjalanan usia buletin, semakin banyak bagian bagian yang beragam yang coba untuk dijamah oleh buletin dalam pengembangan sayapnya untuk dapat terbang tinggi menjamah siapapun yang diinginkannya. Keterlibatan personal yang semula menjadi pijakan awal kini tengah tampak perkembangannya dengan menjamah komunitas dan forum-forum lain untuk terlibat dalam mengembangkan buletin. Asas simbiosis mutualisme tampaknya juga mulai diterapkan dalam


konsep pengembangan buletin. Dengan keterlibatan buletin pada beberapa program acara membuahkan hasil. Itu tampak ketika telah banyak keberfungsian buletin sebagai media penjamah masyarakat secara meluas. Buletin menjadi media informasi yang menguntungkan kedua belah pihak, yaitu antara sumber informasi dan sasaran kepada informasi itu ditujukan dengan pencapaian yang maksimal. Indikator bahwasanya buletin konsisten dengan dasar utama kelahirannya menjadi tanggung jawab yang harus dipegang teguh. Semakin luas dunia di jamah, maka akan semakin luas pula segala peluang dalam mengikutsertakan ragam segmen untuk terlibat dalam proses kreativitas. Antara murni sebuah karya cipta yang ditujukan kepada para pembaca dan penkmat, atau pencapaian subjektif semata yang mengarah pada pencapaian obsesi perseorangan. Koordinasi dan manajemen diperluakan dalam kegiatan ini dengan dasar kepemimpinan dan pengorganisasian yang harmonis dan seirama. Ruang-ruang yang disediakan dalam buletin adalah ruang untuk mereka yang membutuhkan media untuk publikasi karya cipta dengan asas kreativitas dan kebebasan beretika. Dengan manajemen yang solid maka semua akan berjalan pada porsinya yang sesuai dan memiliki keseimbangan antara segmen. Pembukaan dalam buletin lembah kelelawar telah menjadi pembuka yang ringan dan tidak menguras tenaga pembaca untuk memahami apa yang ada dalam buletin. Rangkaian karya dalam setiap rubrik lembah-lembah menjadi wacana pendukung, yaitu wacana sastra, karya sastra, perkembangan sastra, dan fenomena dalam dunia sastra yang melibatkan penulis, pembaca, dan penikmat. Bahasa sebagai media komunikasi yang mampu menghubungkan pihak pihak tertentu telah disikapi dengan baik. Ruang esai yang merupakan pembagi wacana bagi pembaca konsisten menjadi media wacana murni tanpa ditumpangi tendensi atau obsesi

pencapaian individual. Segala yang terkemas menjadi ajang penyaluran kreativitas dan obsesi. Pengembangan selanjutnya yang perlu menjadi perhatian dalam keberlangsungan buletin adalah bagaimana mengelola dan mengatur manajerial dari sistem produksi dan redaksi. Berada dalam konsep yang konsisten untuk terus diterapkan dan dipegang menjadi tiang pondasi terkuat dalam menopang. Landasan awal bahwasanya buletin Lembah Kelelawar merupakan ungkapan kegelisahan atas kenyataan tentang kehidupan dunia sastra dan sekitarnya dapat terus memandang tinggi kreativitas. Tidak membatasi lingkup usia maupun jenis kelamin ataupun status sosial. Dengan terus berkembangnya ragam rubrik dan komposisi menandakan bahwasanya buletin itu memiliki peluang untuk terus berkembang mengikuti perjalanan zaman. Kemurnian kreativitas tidak berarti anti profit atau komersial. Karena telah disediakan dalam ruang tersendiri yang mewadahi unsur profit dalam buletin dengan keterlibatan beberapa pihak sponsor dalam mendukung segala kegiatan kreativitas dan pengembangannya. Perputaran tema dalam setiap edisi dapat menjadi ujung tombak dalam menembus ruang publik menghadirkan wacana istimewa. Dengan pengembangan atas hal hal tersebut, maka diyakini buletin ini akan bertahan dalam perjuangannya mengangkat kegelisahan banyak jiwa dalam menyampaikan pesan terdalam kepada khalayak umat melalui ruang dunia sastra. Keseimbangan antara kreativitas dan obsesi sebagai spirit. Pengkajian ringan mengenai buletin komunitas Lembah Kelelawar yang telah hidup dengan kreativitasnya selama lima edisi dapat dijadikan pemantik bagi ragam generasi dalam hal penciptaan media inspirasi di dunia sastra dan komunitas. Dunia sastra menawarkan wacana luas dalam mengembangkan diri dan membangun identitas dengan ragam karakter istimewa. Salam sastra.


CINTA DIAKHIR SENJA sebuah drama Oleh zoex zabidi Pelakon Thomas Claire Setting kamar Claire ruang kerja Thomas sebuah taman kota dengan jembatan yang membelah sungai kecil. cerita terjadi pada senja hingga malam tiba. Prolog Scene #1 The Letter of Invitation Thomas Claire sayang, aku pikir sempurna kau lari dan sembunyi dariku. Bertahun aku mencarimu, melacak keberadaanmu, namun sia-sia semua. Hampir separuh usia kita dipisahkan oleh ruang dan waktu. Dan tak seorang dari kita saling mengetahui keberadaan masing-masing. Lelaki itu telah begitu sempurnanya menyembunyikanmu dariku. Sekedar ingin agar kita tak lagi bisa saling bertemu. Ya, lelaki yang telah merampas cintaku padamu itu sesungguhnya telah mengerti bahwasanya ia takkan pernah sanggup merebut hatimu. Hanya kekuatan ayahmu lah yang memaksamu harus merelakan dirimu lari dan menikah dengannya. Aku masih ingat ketika kali terakhir kita bertemu di taman kota. Waktu itu senja yang indah. Langit di ufuk barat merah saga. Kita berdua saling bertatap mata. Tak ada kata yang terucap. Semua menjelma kesunyian. Dan begitu waktu berlalu. Semuanya senyap. Hingga saat gelap mulai menyergap, kau hampiri aku dengan tatapan yang tak kumau mengerti. (Visualisasi Video) Andreas, katamu saat itu. Jangan bersedih sayangku. Sudah saatnya kita berpisah. Jika cintamu masih milikku, jangan

menangis untuk perpisahan ini. Semua sudah terjadi, dan tak mungin kita menghindar dari kenyataan. Kenekatan kita cuma akan menyengsarakan orangorang disekitar kita. Aku masih milikmu. Cintaku hanyalah untukmu. Pernikahan yang harus kujalani hanyalah sebuah kewajiban, bukti hormat dan kepatuhanku kepada keluargaku. Namun, sampai kapanpun kau tak akan tergantikan. Cintaku tak kan pernah berubah oleh apapun jua. Aku milikmu seutuhnya, selamanya. Selamat tinggal Andreas, jaga dirimu baik-baik. Dan, gelappun membawamu pergi. Aku termangu. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga bertahun waktu, kuhabiskan senjaku di taman kota itu. Sekedar mengharap kau akan kembali. Namun, semua merupa kesakitan. Dirimu seolah lenyap begitu saja. Hingga kemudian tanpa kusengaja aku melihatmu melintas di taman kota itu. Aku melonjak gembira. Namun, aku berusaha menahan ledakan kegembiraanku. Aku mulai membuntutimu. Hingga kemudian aku tahu, kau telah kembali ke kota ini, meski kau tak lagi tinggal dirumahmu yang dulu. Hari-hariku mulai mewarna kembali. Aku mulai bisa merasakan kesegaran hidup. Seperti seorang pemuda belasan tahun yang sedang jatuh cinta, akupun mulai menunggumu. Sebagaimana seperti biasa yang kutahu, aku selalu menghabiskan senja ditaman kota, namun pergi manakala malam mulai menjelang. Ah, akhirnya kutahu, kenapa kemudian waktu tak mempertemukan kita, karena kau selalu pergi sebelum senja datang sedang aku datang saat senja mulai menjelang. Sejak saat itu aku menahan diriku untuk menghubungimu. Tapi keinginan itu semakin tumbuh dan tak mau pergi. Sudah 40 tahun sejak terakhir kita bertemu. Sejak saat itu kita saling mencintai. Semua begitu cepat terlupakan. Aku menulis surat ini


karena selama ini aku selalu membayangkan kau pergi bersamaku. Membayangkan kau berdiri diatas jembatan kecil itu. Dengan kedua tanganmu di dalam kantung jaketku. Aku ingat masa mudamu, kepolosanmu, senyummu. Kau mengharapkan impian aneh dimana tak ada yang mustahil. Ah, Claire, manisku, Aku ingin bertemu denganmu lagi. Aku tunggu di tempat biasa kita bertemu, senja, akhir pekan nanti. Salam, Lelakimu : Thomas Moore Claire Thomas sayang. Aku begitu tersentuh dengan suratmu. Tahun-tahun berlalu dan banyak yang telah terjadi. Namun tidak begitu denganku. Selain usia yang menua dan tubuh yang mulai renta, aku masih seperti dulu. Seperti Claire yang kau kenal. Aku malu untuk mengakui betapa keinginanmu untuk bertemu begitu menggembirakan hatiku. Ya, Thomas, aku ingin bertemu denganmu lagi. Tapi harus kau ketahui bahwa aku wanita tua yang rapuh. Dengan satu putera dan tiga cucu. Aku akan datang untukmu. Senja akhir pekan di taman kota. Penuh Cinta, Claire. Scene #2 The Meeting Of Two Hearts Claire Thomas Thomas Claire! Kupikir aku harus mematut diri di jembatan ini seharian sembari mengeja dirimu diantara lalu lalang pasangan yang menghabiskan senja di jembatan tua ini. Tapi ternyata, tidak. Sosokmu kutemukan bersama serpihan masa lalu kebersamaan kita. Ternyata dirimu tak juga berubah. Kecantikanmu masih menyemburat meski semakin menua usia. Claire Ah Thomas, jangan begitu banyak memuji. Aku takut akan merampas kesadaranku padamu.

Thomas Kupikir biasa jika setelah sekian lama tak bertemu kita dihadapkan pada kegembiraan yang meledak-ledak. Claire Tapi tidak diusia kita. Kau sudah melalui masa itu. Thomas Bagaimana kabarmu? Claire Baik. Thomas Baik? Claire Ya, baik. Normal. Sebagaimana perempuan lainnya yang menikmati hidup di usia senja. Thomas Kenapa? Claire Tidak. Tidak apa-apa. Bagaimana kabarmu? Thomas Aku tidak ingin membohongimu, jika hidupku hampa disisa usia ini. Aku sendiri dan kesepian. Aku hidup dengan masa laluku. Apa lagi yang bisa kuceritakan padamu. Surat-suratku yang kau terima tentu telah menceritakan semua tentang diriku. Claire, aku tak bisa hidup tanpa melepaskan sedetikpun bayanganku atas dirimu. Aku masih memilikimu. Dan takkan pernah tergantikan oleh siapapun juga. Claire Thomas Jangan melihat kebelakang. Andreas Ada apa?


Claire Sejarah Kita. Cinta Kita. Aku takkan berpura-pura lagi. Kita sudah terlalu tua untuk itu. Ya, surat-suratmu telah mengabarkan semua tentangmu. Dan jangan pernah berpikir kalau aku menikmati kegembiraan diatas kesepianmu. Aku sakit Thomas. Aku sakit mendengarnya. Aku bahkan tak sanggup untuk membalas surat-suratmu karena aku tak sanggup untuk menghadapi kenyataan bahwasanya kita tak kan mungkin bisa bersama. Aku mencintaimu Thomas. Seutuhnya. Meski kenyataan memaksa kita mesti berpisah tapi cintaku hanyalah untukmu. Andreas Claire! Claire Kau tahu bahwa kita tak bisa melawan keadaan. Tradisi dalam keluargaku memaksa aku harus meninggalkanmu. Aku tak mungkin meninggalkan keluargaku, orang tuaku, adik-adikku hanya untuk mengejar kesenanganku. Tidak. Aku tak bisa melakukannya. Mesti untuk cintaku padamu. Biarlah aku yang merasakannya, kepahitan dan kesakitan ini. Biarlah aku mencintaimu dengan caraku sendiri, cara yang mungkin tidak pernah kau pahami. Thomas Aku tak tahu harus bicara apa. Aku selalu membayangkanmu, kesendirian dan kesepianmu. Claire Menyakitkan. Thomas Menakutkan. Claire Takdirlah yang menentukan. Thomas

Kau masih bimbang! Claire Aku berubah! Thomas Tentu saja. Sama seperti dia? Claire Kami bersahabat. Pada akhirnya itu yang terpenting. Meski hampir separuh usia ini kami membina rumah tangga sebagai pasang suami istri yang bahagia dimata keluarga dan masyarakat. Namun jauh di lubuk hati ini kami saling mengerti bahwa masing-masing dari kami takkan bisa mengubah kenyataan bahwasanya cinta kami beda. Perjalanan waktu telah mengajarkan kenyataan padanya bahwa tubuhku ini yang bisa ia miliki namun jiwaku telah menjadi milikmu seutuhnya. Scene #3 The Separates Lives of Two Hearts Claire Aku menikmati hari ini. Terima kasih, Thomas Thomas Aku juga. Claire, senang bertemu denganmu. Bisa ngobrol denganmu lagi. Dan mengetahui kau masih sehat. Kehangatanmu tak dapat terlupakan. Aku memandang diriku di dalam cermin begitu banyak kerutan di wajahku sampai tak kukenali diriku lagi.. Kau seperti yang selama ini kukira, maksudku dirimu. Belakangan ini aku tak dapat bercermin tanpa melihat kematian. Bersamamu aku merasa tak ada kematian. Meski, kata orang hidup ini singkat. Claire Thomas sayang, sikapmu begitu manis dan sentimental dan aku memujanya. Tapi kita tak mungkin mengulang hubungan


kita. Karena masing-masing dari kita tak pernah berubah. Cinta kita masihlah sama. Begitupun perasaan kita. Barangkali yang berbeda karena kita tak bersama secara fisik. Tapi inilah kenyataan cinta kita. Sekarang kita sudah terlalu tua untuk menghancurkan hidup kita, cinta kita. Keangkuhan kita justru akan menyakiti orangorang yang mencintai kita. Aku begitu mencintaimu. Itu mempengaruhi seluruh hidupku. Tapi kita tak bisa mengulanginya lagi lebih dari yang ada. Karena memang pada dasarnya aku tak pernah merasa meninggalkanmu, memalingkan hati dan cintaku darimu. Tidak. Sampai kapanpun, cinta ini tak pernah berubah. Aku milikmu dalam arti yang sebenarnya. Jangan katakan apa-apa. Kita sudahi saja segalanya sampai disini. Karena perbincangan kita membutuhkan waktu yang lama dan takkan berkesudahan. Marilah kita kembali pada kenyataan hidup yang ada. Thomas Aku mencintaimu. Claire Aku juga.

Claire Dan kau merasa tak punya harapan lagi? Thomas Tidak! Claire Itu tak mungkin. Kau menyesali masa lalu kita? Thomas Mungkin Selama bertahun-tahun aku menderita. Claire Aku tak mengerti kehidupanmu. Aku menuruti ayahku. Thomas Kau tak mencintaiku seperti dulu lagi. Claire Bagaimana kau bisa mencintaiku kalau kau berpikir seperti itu? Thomas Aku mencintaimu apa adanya.

Claire Aku juga merasakannya.

Claire Ini tak ada gunanya. Jika kita bertemu lagi semuanya tak berkesudahan. Tak berkesudahan. Kita akhiri saja semuanya sekarang. Selamat tinggal Thomas!

Thomas Aku takut kehilangan.

Thomas Selamat jalan Claire!

Claire Tidak. Bukan kehilangan, tapi saling berjauhan.

Epilog Scene #4 Farewell My Love

Thomas Aku merasa hampa.

Thomas Aku sering duduk dan melamunkan harapanku.

Thomas Claire sayang, Aku tak sanggup mengatakannya kepadamu, atau mungkin, karena aku tak rela kau mengetahuinya. Mungkin sebaiknya kau mengetahuinya nanti dari cerita orang. Aku sungguh gembira dan


menikmati pertemuan kita. Sungguh itulah kebahagianku yang terbesar dalam sisa usiaku ini. Pertemuan itu merupakan hari teristimewaku. Dan memang kuharapkan, sebelum saatku tiba. Ya, jantungku ternyata tak lagi kuat menanggung beban kesendirianku. Masa lalu kebersamaan kita ternyata lebih kuat dan merampas kekuatan tubuhku. Penyakit itu sedikit demi sedikit telah memenuhi sistim kekebalan tubuhku. Dan vonis dokter cuma memberikan pilihan hari tersisa. Satu keinginan yang setiap malam kulafazdkan dalam doaku adalah bertemu dengan dirimu sebelum ajalku tiba. Aku sungguh takut kehilanganmu melebihi ketakutan akan kematian yang akan menjemputku. Aku sungguh akan menyesal jika tak sempat bertemu denganmu. Claire, terima kasih untuk kebahagiaan yang telah kau berikan kepadaku. Aku sungguh beruntung bertemu denganmu dan mencintaimu. Ini dulu yang bisa aku tulis. Barangkali ini surat terkahir yang kau terima dari seorang lelaki yang mencintaimu.dengan cara yang tak kau mengerti. Ya, Claire Aku mencintaimu dan akan selalu demikian. Selamat Tinggal Claire! Claire Thomas! Terdengar kidung. Kidung kematian. Mengalun. Lirih. Menyayat.

Pavilliun Merah : Kepadamu wanita kecintaan : moetia & pradha, aku tulis cerita ini. Kepada matahari dan rembulanku : tubagus annaz asmorojati & yacinta : tanda mataku dan anita: bumiku berpijak.


PENDAKIAN MERAH PUTIH PUNCAK GUNUNG LAWU M.Yusuf Endro Kumoro 13 14 February 2009 Lawu, Solo. Pagi itu dingin menyapa, redup sinar mentari lereng Gunung Lawu begitu mempesona, kabut kabut mulai cabut beranjak setelah semalaman bercampur dengan gerimis yang membuat kami para pencinta alam harus tertidur dilorong pos awal pendakian.(pos regristrasi). Pos dasar

:

Tak disangka hari ini tgl 13 februari lereng gunung lawu begitu ramai, ternyata hari itu ada perayaan dari Keraton Solo bertepatan dengan tanggal 15 jawa, kami pun jadi tidak sendirian, rombongan keraton dengan kuda kudanya berjalan lebih dulu, karena kami harus mencari sarapan, lapar begitu merongrong kami. Tim memulai perjalanan: Pukul 07.00 perjalanan kami mulai dengan berdo'a dan menyatukan hati, 4 orang mulai meniti memasuki hutan, sungguh pemandangan yang luar biasa pepohonan menjulang tinggi dengan suitan burung burung yang menggoda kami karena licin jalan begitu membuat kami kerepotan. Sepanjang jalan sambil bernyanyi riang kami memotret sekeliling untuk dokumentasi sendiri sih, :p Setelah berjalan sekitar 30 menit kami menemukan pos pendakian 1, yach‌ masih ramai memang, karena di puncak Gunung Lawu ada sendang yang memang katanya membawa berkah, kami pun tak menghentikan langkah atau sekedar duduk duduk, yups, kami harus mengejar waktu, karena dari awal target kami sebelum pukul 12 siang harus sudah berada di puncak. Kali ini agak berbeda rindang pohon semakin tak berujung karena matahari yang tak mampu menembus dedaunan, redup dan

terjal membuat kami harus tertatih untuk bisa terus berjalan, gerimis pun bersenandung d iatas kami, kami tak tahu tapi memang aneh karena orang orang dari Keraton yang berangkat duluan tak terlihat lagi, hanya sesekali terlihat orang yang baru pulang dari mengambil kayu untuk dijadikan kayu bakar. Tapi kenapa sepagi ini sudah ada orang yang pergi mencari kayu bakar? Bahkan dalam keadaan gerimis seperti ini. Tentu kami jadi bertanya tanya tapi apa peduli kami hanya kalau disapa kamipun balik menyapa. Pos 2 & pencari kayu bakar : Pos 2 sudah terlihat, suasananya berbeda 180 derajat dari pos 1 tadi yang ramai. Disini begitu gelap dan sepi hanya beberapa orang berteduh, kami harus ikut berteduh karena gerimis meruntuhkan hujan yang hampir membasahi sekujur tubuh kami, dan dingin mulai menyergap.


Indah tapi berbahaya : Setelah mereda kami melanjutkan perjalanan kami tapi dingin tetap mengikuti, sisa sisa rintik hujan masih bergelayutan dan kabut pun menjalar dari sela pepohonan hanya bedanya sinar matahari remang remang hangat turun dari dedaunan, karena pepohonan tak begitu tinggi dan rindang. Kami mulai merasa nyaman kembali berjalan sambil sesekali memetik dedaunan untuk nyemil kami, hanya berat karil yang dibawa perorang jadi semakin berat karena dari bawah kami sudah harus menggendong tas dengan berat sekitar 10 Kg, Sesekali kami duduk untuk melepas beban di pundak kami sambil menyaksikan indah alam yang terukir oleh tangan Tuhan lewat tebing tebing di samping kami, kami harus menembus jalan lewat longsoran longsoran yang terbentuk oleh jalur air. Dan berkali - kali pimpinan rombongan harus mengucapkan kata “ hati hati, licin sekali”.

Tak disangka salah satu teman kami terpeleset dari jalan dan hampir jatuh dari lereng yang kami lewati, tentu kami terkejut dan mengulurkan tangan padanya, hanya telat sedikit saja tangan teman kami yang hendak menolong tak mampu menggapainya, dia (yang terpeleset) berguling dan karil yang ada dipunggungnya menambah berat sehingga begitu cepat dia meluncur. Pimpinan rombongan segera melompat setelah melepas karilnya, dia (pimpinan rombogan) harus memerosotkan bokongnya dan untung karil teman kami yang terpeleset tersangkut diakar pohon yang menjulang keluar dari tanah, dan pimpinan rombongan berhasil menggapai tangannya. Hati kami pun lega kemudian berurutan mengulurkan tangan untuk menggapai mereka naik. Setelah duduk untuk melepas ketegangan kami kembali berdo'a dengan rasa sukur yang sangat, karena teman kami berhasil diselamatkan. Berteduh di pos 3 : Kami melanjutkan perjalanan, terpaksa kami harus melalui jalur biasa dan otomatis waktu pun terulur. Pos 3 kami berhenti melihat sosok tua tanpa alas kaki dan berkemul sarung terduduk menggigil dan membawa satu buah botol air minum yang terisi penuh, basah bajunya menandakan dia terus berjalan menembus hujan tadi padi dan tatapan matanya begitu bersinar layaknya orang yang telah berpuluh tahun tegar menjalani hidup yang sepintas tebakan kami begitu sulit, kami mendekatinya dan salah seorang dari kami membuka pembicaraan. “ dari mana pak? Kok sendirian?” “ dari sendang nak, mengambil air, karena katanya air sendang diatas mampu membawa berkah.” Jawab orang tua itu dengan nada menggigil. Sungguh, mata kami hampir meneteskan


air mata mendengaar kisah dari orang yang telah lelah menjalani hidup sulit dan akhirnya memutuskan untuk mencari berkah di puncak Gunung Lawu. Dengan pakaian sederhana dan hanya berkemul sarung tanpa alas kaki dia menembus dingin melewati rimbun pohon seorang diri dalam kegelapan tanpa cahaya karena katanya dia berangkat semalam pada hujan yang menahan kami dipos dasar. Kami tak tega melihatnya tapi apa daya kami tak membawa perbekalan lebih, dan pas untuk 4 orang. Kami pun hanya menawarkan sebatang rokok untuk menghangatkan badan dan permisi melanjutkan perjalanan kembali. Sumber mata air : Wajah memelas orang itu terus terbesit dalam benak kami sehingga menjadi pembicaraan dalam perjalanan kami. Tibalah kami disebuah sumber mata air yang mengalir dari sela bongkahan tanah dan membuat kami mencopot alas kaki kemudian berpotret potret ria sambil bermain air,dingin dan segar, memang berbeda, air gunung yang masih begitu murni dan bening mengoda kami untuk mencicipi kesegaran itu, kami mulai mengulurkan tangan meneguknya, nikmat sekali terasa dingin melewati kerongkongan dan sampai di lambung dengan begitu halus, sehingga kelelahan kami hilang sama sekali. Tim meneruskan perjalanan: Meneruskan perjalanan lewal sela sela batu terjal dan pohon yang mulai menipis menyiksa kaki kami. Pos 4

:

Tibalah kami di pos 4 sebuah tanah lapang yang hanya dihuni gubuk berteman dengan rerumputan yang setia menemani gubuk itu dalam hujan dan

menemani gubuk itu dalam hujan dan panas, kami memutuskan untuk berhenti sambil mengistirahatkan kaki dan mendapatkan sepatu yang semula bersih menjadi tak karuan,sobek kanan kiri, dan bercampur dengan tanah. Menit bergulir dan kami berjalan kembali masih sama bebatuan terjal, bahkan lebih terjal dan tak ada pepohonan besar, hanya rerumputan bunga gunung. Salah seorang dari kami berhenti, dia memetik buah arbei, kecil dan asam, tapi nikmat untuk menemani perjalanan kami. Tim dan pohon arbey

:

Tanpa terasa pos 5 telah dicapai, itulah pos sebelum puncak, indah dengan bunga bunga gunung disekitar kami, kami pun berkeliling melihat pemandangan dari atas tebing yang begitu melegakan hati kami, membuat kami berulang ulang berucap “ Subhanallah� karena kekaguman atas seni indah buatan tangan Tuhan. Menikmati alam dari atas bukit. Tim mendirikan tenda

:

Tepat pukul 13.30 kami mulai mendirikan tenda (Dump), mencari ruang untuk bisa beristirahat, kemudian bersama kita berfoto dan berteriak “ yeeaahh‌â€? Puncak lawu hampir kami taklukan, hanya beberapa ratus meter di atas kami dan terlihat jelas bendera merah putih berkibar megah diatas sana, entah siapa yang memasang berkibar tiada henti dipuncak tertinggi gunung lawu yang berada diketinggian kurang lebih 3250 m dari permukaan laut dan menjadi gunung ke 3 tertinggi di Jawa. ***


Tim sedang beristirahat

rela sendirian dan terus berkibar membawa kejayaan bangsa yang korup ini.

:

Team turun gunung:

14 February 2009 Tak ada suara adzan, tak ada suara deru mobil, tak ada gemuruh orang yang mau beranjak berkarya. Hanya suara burung yang kemudian membangunkan kami yang tertidur diselimuti dingin, diluar mentari tersenyum dibalik awan cahayanya merah merona menampar dingin dan kabut menyisakan udara segar tanpa asap kendaraan bermotor dan teman kami telah bangun lebih dulu, karena ini jadwal piketnya menyiapkan sarapan :p Kulihat jam dan menampakkan pukul 05.00 WIB waktu yang tepat untuk berkeliling dan melihat alam dengan naungan mentari pagi. Team mengemasi barang barang : Setelah sarapan kami packing, menggulung tenda, mematikan perapian, membersihkan tempat kami berkemah, karena rencana kami hanya menginap 2 malam saja, dan malam pertama telah dilewati dengan gerimis dilereng Lawu. Setelah selesai sekitar pukul 06.00 WIB kami beranjak menuju puncak yang hanya beberapa ratus meter dari kami dan ingin rasanya berkibar bersama bendera kebesaran yang tak henti henti melambaikan tangan untuk mengajak kami segera berkunjung kesana. Tim dan sang saka puncak lawu

Tak berapa lama kami memutuskan untuk turun gunung melangkahkan kaki lewat jalur lain yang tak begitu terjal,dan pos demi pos telah kami lewati hingga jam menunjukkan waktu untuk makan siang kami sudah hampir mencapai dasar. Tiba tiba ditengah jalan kami bertemu dengan Tim SAR yang mengabarkan bahwa ada orang yang meninggal di pos 3 kemarin, kami terhenyak, teringat sosok orang tua yang menggigil berteduh dipos itu dengan baju sederhana dan berkemul sarung tanpa alas kaki. Kami pun menanyakan ciri cirinya, dan tepat seperti apa yang yang kami temui, hati kami menjadi semakin pilu karena perjuangan orang tua itu berakhir dengan ketidak tegaan Tuhan yang akhirnya memutuskan untuk memanggilnya menuju alam yang lebih baik diatas sana. Kamipun berdo'a, mendo'akan orang itu untuk diterima disisi-Nya. Sambil berjalan kami masih tak percaya, tapi apa daya orang itu telah diambil Sang Kuasa. Sampailah kami dipos dasar menjumpai alam kami lagi, alam yang penuh dengan kepekatan asap kendaraan bermotor, dan beribu orang berebut kekuasaan, tapi inilah dunia kami, dunia yang tak pernah kita dapat berlari menghindarinya, dunia yang ada untuk kami hidup bersama yang lainnya. Dunia yang harus lebih baik setelah kami memetik pengalaman dari apa yang kami dapat setelah harus berjuang bersama menyelamatkan teman kami yang terpeleset, setelah bertemu dengan orang tua yang berjuang agar hidupnya menjadi lebih baik, setelah kami melihat sang saka yang tetap berkibar ditengah panas dan hujan. Yah‌.itulah, perjuangan memang tidak mudah, kadang terjatuh, kadang bersedih kadang tertawa, dan kita tak mampu lari darinya.

:

Berdiri dibawah bendera yang terus berkibar,membakar semangat kami, dan menyadari diatas kita masih ada yang mampu berkibar semegah ini walau telah berada di puncak tertinggi, kami menyanyikan lagu Indonesia Raya dan memberikan hormat pada Sang Saka yang

Semoga catatan perjalanan ini berguna bagi pembaca, sebuah kisah nyata yang tak lekang dari ingatan. Perjalanan Merah Putih Puncak Gunung Lawu.

penulis adalah pegiat teater gema


Hati-hati, maling ada dimana-mana!


Penghujung Senja Oleh: Devi Maya

Rasa khawatir belum lagi hilang saat dia melihat wanita tua itu memaksa anak kecil untuk ikut dengannya, di depan rumah mewah Jl Pondok Indah Blok M No 29 Jakarta. Selama dia tinggal di Jogja, tak sedetik pun dia melihat cucu kandungnya, terutama setelah dia mengusir anaknya karena telah melanggar adat keluarga (hamil di luar nikah), tepat di malam pengantinnya. Tiga jam yang lalu dia berangkat dari Jogja menuju Jakarta, meski hujan tak lagi mampu menembus pori semangatnya, demi memenuhi rindu kepada anak dan keluarganya. Entah apa yang sedang di fikirkan, yang jelas dia terlihat menjadi orang kalap saat melihat cucu kandungnya, yang lima tahun lalu sempat tidak diterimannya hanya dengan alasan tradisi keluarga. Anak kecil itu terus meronta, melepaskan tangannya dari cengkraman wanita asing yang belum pernah di lihat apalagi mengenalnya. “Aku ini nenekmu, ikutlah denganku”, pintannya. Tapi anak kecil itu menangis, begitu sangat ketakutan, hingga tangisnya memecahkan lamun ayahnya. “Jangan sentuh anakku, hai wanita tua!” hardik laki-laki paruh baya yang secara tiba-tiba keluar dari pintu utama, terkejut melihat anaknya dipaksa ikut oleh nenek tua itu, sesaat laki-laki itu terdiam memandang wanita itu. “Joko Bimo menantuku, ini aku Lasmini mertuamu”, ucap wanita itu mengiba, meminta belas kasihan menantunya, supaya dia bisa bertemu kembali dengan keluargannya, dia bersimpuh, menyembah di hadapan menantunya, akan tetapi laki-laki yang di panggil Joko itu malah menendang dan menghardiknya. “Enyahlah kau dari hadapanku, aku tak punya mertua yang tak punya hati macam

kau ini, tega mengusir anak dan menantunya hanya karena tradisi keluarga”, dengan gagahnya laki-laki itu kembali mengusir mertuanya, menendang bahkan menginjak tangannya, sewaktu dia meminta waktu bersama cucunya. Anak kecil itu masih menangis, di bopong masuk ke dalam rumah itu oleh ayahnya. “Izinkan aku masuk, maafkan aku, aku hidup sebatang kara tanpa sanak keluarga”, ucapnya terbata. “Tanggung saja resiko itu sendiri, pergilah, kembali ke asalmu, kami tak membutuhkanmu.” Laki-laki itu berlalu, meninggalkan wanita itu di depan gerbang rumahnya. “Tio tidur ya, jangan menangis terus, nanti ayah pusing”, ucap laki-laki itu menenangkan anaknya di dalam kamar pribadinya, semilir angin menerpa tubuh bocah kecil itu, membuatnya tertidur lelap di tengah surya yang semakin panas itu. Di tutupnya jendela itu rapat-rapat, di pandangnya matanya ke luar ruangan, wanita itu masih di depan rupanya, “Dasar wanita tua tak punya malu, aku memang salah, tapi aku bertanggung jawab, layaknya laki-laki perkasa yang tidak hanya bersembunyi di ketiak orang tuanya”, gumamnya. Dia berjalan mendekati anak semata wayangnya, di belainya penuh kasih sayang di atas ranjangnya. “Andai saja dulu ayah tidak buru-buru menanam benih di rahim ibumu, mungkin kamu masih mempunyai eyang lengkap nak”, ucapnya kelu. Di pandangnya jam dinding kamarnya, waktu telah menunjukkan pukul 14.00 WIB, matanya terlihat nanar, ada rasa iba di dalam hatinya, sorot matanya mengacu pada luar jendela, dia melihat wanita itu masih kokoh di depan pagar, panasnya terik mentari tak


menyurutkan niatnya tuk menebus sesal akibat perbuatan yang pernah di lakukannya. “Sudah hampir dua jam aku terdiam di sini tanpa hasil, mungkin lebih baik aku kembali ke Jogja, mungkin asa yang kubawa harus berakhir di penghujung hari ini”, baru saja dia berdiri ingin melenggangkan kaki pergi, tapi tiba-tiba taxi berhenti tepat di hadapannya, betapa terkejutnya dia melihat siapa gerangan yang keluar dari daun pintu taxi itu, di peluknya erat seseorang yang baru keluar itu, “Anakku Intan”, ucapnya beku. Wanita yang di anggap anaknya itu bukan membalas hangat, tapi malah melepas pelukan itu dengan sangat kasar, “Berhenti, aku sama sekali tidak mengenalmu”, dia mendorong keras wanita tua itu, hingga tubuhnya terpental di jalan, dan pada waktu yang sama mobil melaju kencang dari arah yang berlawanan. “Mama..!” wanita tua itu berteriak keras melihat tubuh wanita tua itu telah bersimbah darah, dan mobil yang menabrak ibunya itu masih melaju kencang, hilang di perempatan jalan. RS. Harapan, UGD No 2, wanita itu menunggu resah, mencari celah harapan untuk kesembuhan ibunya. “Kau tak apa ma?”, ucap laki-laki yang berjalan tergesa-gesa bersama putranya menuju tempat wanita yang di panggilnya mama. “Tidak” jawab wanita itu menyimpan r e s a h d i h a t i n y a . Tangannya di genggam erat-erat, anaknya mulai menangis, tak mengerti apa yang tengah di hadapi orang tuanya, dalam isak, anaknya di pangkunya, di ambil dari bopongan ayahnya. “Tenang ya sayang, nenekmu sakit”, ujarnya lembut membelai putranya. Sesaat mereka terdiam, hening menatap loronglorong rumah sakit, malihat suster ataupun dokter yang sedang sibuk dengan kepanikannya. Bau obat yang menyengat membuat anaknya semakin gelisak, tangisnya terdengar semakin keras, membuat wanita dan laki-laki itu bergantian menggendongnya. “Diamlah sayang, nenekmu sedang bertarung nyawa di dalam”, suara itu telah menyirep otak anak laki-laki itu, tiba-tiba saja dia diam, seakan mengerti apa yang di ucapkan oleh orang

tuanya. “Ya Allah, lindungilah ibuku, berkati dia, sembuhkanlah dia, lapangkanlah jalannya, maafkan aku ya Allah, maafkan ibuku, dengarlah do'a anak durhaka ini ya Allah, karena sesungguhnya hanya Engkaulah yang maha pengasih dan penyayang, Robbighfirli wa liwa lidayya warkhamhuma kama robbayani soghiro. Amin..!”, ucap wanita itu dalam do'a. Tak lama kemudian mereka terdiam di tempatnya, keluar Dokter berseragam putih dari ruangan itu. “Alkhamdulillah semua oprasi berjalan normal dan lancar”, ucapnya, “Alkhamdulillah”, tergambar jelas kebahagiaan di raut wajah mereka. “Ibu maafkan kami ibu, kami telah berbuat begitu banyak dosa”, seraya wanita itu terbata di tengah isaknya, bersimpuh mencium kaki ibunya, “Maafkan Intan bu”, wanita itu masih saja tenggelam dalam tangisnya, melihat tubuh ibunya melebam memar karena luka, bagian kepalanya di perban, tangan dan kakinya di balut perban pula karena patah tulangnya. “Maafin Joko bu, Joko bukanlah menantu yang baik”, ucap laki-laki itu sambil menyeka air yang mengalir di matanya, ibunya masih saja terdiam, memandang wajah cucunya. “Ini Tio cucumu bu”, ucap wanita itu terbata, wanita tua itu masih saja bungkam dalam kebisuan yang sedang dinikmatinya, menatap dinding kamar itu penuh senyum tanpa luka, “Mu...ngkin...umurku tak panjang lagi...,aku memaafkanmu nak..,cu...cu..ku”, dengan sangat terbata dia bicara, hingga akhirnya dia diam menutup mata dan cerita. “Ibu....ibu...ibu..!” terdiam, bungkam, penuh sesal dan luka di penghujung senja

Penulis merupakan mahasiswi IAIN Walisongo Semarang, dalam facebook bernama Embun Pagi



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.