Buletin Sastra Lembah Kelelawar #8 (Kunang-kunang yang Beterbangan)

Page 1



1

Meja Cerpen #9 Komunitas Lembah Kelelawar KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN Cerpen Adefira Lestari “Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,� itulah perkataan terakhir Hamid yang kudengar sebelum ia pergi meninggalkanku di sebuah halte. *** Menjelang petang, aku tak sengaja bertemu Hamid. Dia sendirian, duduk di ujung bangku panjang, memangku tas kerja, memainkan ponsel. Awalnya aku tak percaya jika laki-laki itu adalah Hamid. Ya, hampir sembilan tahun ini dia pergi membawa segenggam kerinduan yang sulit kudapatkan dari laki-laki manapun. Sore itu dia takjub saat kusapa. Seketika, kami berjabat tangan. Matanya naik turun memandangku. Biar! Aku suka melihatnya demikian. Dibandingkan dulu, penampilanku kini memang jauh berbeda. Dari gelagatnya, kupikir Hamid sedang mengingatku ketika aku masih memakai sandal jepit, rok payung di bawah lutut, dan rambut berombak yang terikat tinggi-tinggi. Sekarang, sepatu wedges yang dulu sangat kuimpikan begitu mudah kudapatkan. Rambut hitam sepantatku lurus terebonding. Di almariku penuh dengan pakaian bermode. Berbagai hiasan di wajah dan tanganku pun terlihat sangat anggun. Ditambah dengan kacamata minus yang selalu kukenakan. Namun, aku tak menemukan perubahan yang mencolok pada Hamid. Tubuh putih kurusnya dulu memang telah sedikit terbalut daging. Kumis tipisnya tak berubah. Hanya saja penampilannya lebih menunjukkan kematangan seorang lelaki.


2

Jujur saja, aku selalu gelisah setelah pertemuan itu. Malam-malamku serasa terganggu oleh bayang-bayang Hamid. Ada apa denganku? Air mataku meleleh. Kenangan tentang Hamid kini tertarik kembali di antara temaram nyala lampu di kamarku. Saat kami bersama-sama makan es krim di alun-alun kota, saat ia mengajakku menaiki sepeda tandem di tepian tugu, dan saat kami terjebak hujan ketika pulang dari pernikahan Tito. Semuanya seperti angin lalu yang sekedar bertiup melintasi leherku. “Mama, kenapa?” pertanyaan Bidah mengagetkanku. “Tak ada apa-apa, Bidah. Tidurlah.” “Mama menangis?” bocah delapan tahun itu mengusap ujung-unjung mataku. Air mataku telah merembas di sarung bantal. “Tidak, Sayang.' “Ma, kenapa Papa jarang pulang? Sekalinya pulang pasti…” “Sudahlah, Bidah. Jangan pikirkan Papa. Biarkan dia begitu. Pikirkan saja sekolahmu. Kau mengerti?” “Tapi kasihan Mama? Hiks.” Bidah menangis sesegukan. Aku tak pernah menceritakan sesuatu yang telah diperbuat Tanu. Tapi aku yakin, tanpa kuceritakan pun dia pasti tahu. Mungkin dari teman-temannya atau dari para tetangga. Seperti ketika dia menagis sepulang sekolah seminggu lalu. Saat aku memasuki sebuah kamar hotel bersama lelaki yang mengaku bernama Heidar dan Joni secara bergantian. *** “Sebesar apa anakmu sekarang?” “Anakku? Apa pedulimu pada Bidah?” “Bidah? Nama yang indah. Hey, tunggu!” Hamid menegakkan posisi duduknya. Pelipisnya berkerut-kerut. Aku masih ingat benar kebiasaan Hamid, gelagatnya yang demikian merupakan ciri khasnya ketika berusaha mengingat sesuatu. “Abidah atau Bidah? Lebih tepatnya Abidah, Nora. Bukankah Abidah itu nama yang sering kita bicarakan untuk menamai buah cinta kita?”


3

Hamid memandangiku tanpa berkedip. Aku tak mampu menatap mata yang dulu sempat kusukai. Ini adalah hal paling sulit bagiku. “Ternyata kau masih menyukai nama itu, Nora. Kesan film Abidah yang kita tonton di bioskop waktu itu seketika telah mengental di ingatanmu.� Tuhan, benarkah ini takdirmu? Mataku kembali mengembun. Hidungku pun terasa basah. Saat ini, aku tengah berusaha keras untuk menyembunyikan kegalauanku. Gelas kaca di depanku membisu. Hamid membisu. Semuanya membisu. Yang terdengar hanyalah alunan musik klasik bercampur lalu lalang kendaraan yang beradu deru. *** Malam ini aku kembali meradang kesakitan. Bukan sakit kasat mata seperti yang biasa kutanggungkan. Lebih daripada itu, hatiku seperti tercokol hingga membuat seluruh tubuhku bergetar karena menahan perih. Hampir seluruh bagian tubuhku memar, khususnya di bagian yang tertutup pakaian. Tangan besar laki-laki yang mengaku suamiku barang semalam, begitu kasar menjamahku. Aku terpelanting di kasur, tersungkur di lantai, dan aku juga kerap terdorong ke tembok. Semua itu berlalu ketika Bidah kusuruh tidur di lantai bawah atau ketika sedang check in di kamar hotel. Aku tak tahu, apakah ini ganjaran ataukah yang lainnya. Mereka datang tanpa kuminta dan aku pun menerimanya tanpa syarat, asal prinsip saling menguntungkan tetap berlaku. Hanya saja, suamiku yang bernama Tanu lebih sering mengunjungiku. Dia juga kerap mengajak Bidah jalan-jalan. Itulah sebabnya kuizinkan Bidah memanggilnya Papa. Sebenarnya aku tak mempersoalkan masalah itu. Aku pun tak peduli atas gunjingan para tetangga. Tapi, aku kasihan pada Bidah. *** Bintang gemintang telah bergantungan di langit kelam. Setelah menunggu lebih dari lima menit, Hamid akhirnya tiba di tempat yang telah dia janjikan. Ini adalah pertemuan kami yang kesekian kali. Dia memakai baju cokelat muda bergaris putih dan


4

celana hitam. Rambutnya agak lembab. Dari garis pintu, pesonanya kembali membuat romaku bergidik. Matanya mengerling. Dia berjalan lambat-lambat seakan menggodaku untuk terus memperhatikannya. “Ah, Hamid. Kau masih sama seperti dulu. Ini juga bagian dari kebiasaanmu. Selalu mengusikku, membuatku terus menunggumu untuk hadir di kesunyian jiwaku. Hingga akhirnya kau memberikan jalan kehidupan baru bagiku setelah kepergianmu dulu.” Aku berusaha menangkis kenyataan itu. Wajahku tertunduk memandangi asap kopi di cangkirku yang masih sepi. Mataku. Ah, aku benci dengan keadaan ini. Hampir sembilan tahun aku mampu hidup tanpa perasaan serupa ini. Tiba-tiba berjuta kunang-kunang muncul dari dalam cangkirku. Aku ternganga. “Hai, Nora. Sudah lama menunggu? Maafkan aku. Aku sedikit telat,” sapa Hamid seketika saat menjabat tangan lalu mencium kedua pipiku. “Oh, ya. Aku juga baru sampai,” kukembalikan perhatianku pada berjuta kunang-kunang yang sempat menawanku beberapa waktu, tapi serangga malam itu telah menghilang. “Hey. Kau kenapa?” Hamid menepuk pundakku. “Mana Bidah? Kau tak mengajaknya? Nora, aku ingin bertemu dengan anakmu. Kenapa kau menyembunyikannya dariku?” “Siapa bilang aku menyembunyikannya?” “Lantas?” *** Aku masih terbayang dengan kunang-kunang yang muncul dari cangkirku kemarin malam. Waktu berikutnya ketika aku membuat secangkir kopi pun, kunang-kunang itu kembali bermunculan di seduan kopiku. Kusandarkan punggungku di sofa, memandangi berjuta kunang-kunang yang terbang beriringan menembus langit-langit rumahku. Hah. Mengapa hidupku selalu hampa? Aku hanya pernah merasakan hidupku berwarna ketika Hamid berada si sampingku. Saat ini Bidah belum pulang sekolah. Kesepianku


5

benar-benar tak terukur. “Nora!” suara itu mengagetkanku. “Hamid? Darimana kau tahu rumahku?” aku terkesiap. Tanpa duga sangka, Hamid telah menemukanku di ruang tamu. “Lancang sekali kau. Kenapa tak ketuk pintu dulu!” “Apa? Aku sudah berkali-kali ketuk pintu, Nora. Tapi kau tak memberikan jawaban. Kudapatkan pintumu tak terkunci. Ya, lalu aku masuk. Tak sulit untuk menemukan rumahmu, Nora.” ia tersenyum puas. Apakah Hamid tahu soal aku? “Aku ingin bertemu dengan Bidah. Secantik Abidah dalam film Abidah dulukah dia? Atau bahkan lebih cantik?” “Dia tak ada. Abidah masih sekolah,” jawabku singkat. Hamid serta merta duduk di sampingku. Tangannya meremas pahaku yang tersingkap dari daster tak berlengan yang kukenakan. Matanya menjurus tajam di kedua mataku. Darahku berdesir dan tubuhku bergetar. “Jangan ulangi lagi, Hamid!” kudorong tubuh Hamid saat ia merapatkan tubuhnya kepadaku. “Argh!” dia mengerang. Kepalanya terbentur meja. “Maafkan aku, Nora. Aku tak bermaksud begitu.” “Aku tak suka dengan sikapmu. Apa maksud kedatanganmu?” “Nora, dengarkan aku baik-baik. Kau masih ingat perbincangan kita malam itu?” “Ya. Lalu?” “Aku sudah menceraikan istriku. Kapan kau akan menceraikan suamimu? Lalu setelah itu, kapan kita menikah?” Di hatiku telah turun hujan. Air begitu derasnya membasahi relung jiwaku yang telah gersang sekian lama. Akankah Hamid bersikap sama ketika dia mengetahui diriku yang sesungguhnya? “Hamid. Aku tak tahu, apakah aku ini bersuami atau tidak,” Hamid mengernyitkan dahi mendengar pernyataanku. “Jika kau inginkan Bidah, bawalah. Dia anakmu. Biarkan aku menjalani hidupku seperti ini. Kau tahu? Kaulah yang membuatku seperti ini”


6

“Aku?” “Ya. Kau lelaki terjahat. Kau menikah dengan perempuan lain sementara aku sedang mengandung anakmu. Kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Berbagai cara telah kulakukan untuk menemukan siasat agar waktuku tak berjalan lambat. Kerinduanku padamu hanya menjadi sebuah kesia-siaan. Kau tak kunjung datang mengunjungiku. Dan kau tahu? Hanya butiran-butiran air yang jatuh nista dari sudut-sudut matakulah yang mampu menerjemahkan seberapa besar rasa rinduku itu. Hingga akhirnya, aku memilih mencari kehangatan serupa kehangatanmu melalui beberapa lelaki yang kutemui. Apa kau lupa atas tindakanmu usai pulang dari pernikahan Wulan dan Tito malam itu? Kau lupa atas perbuatanmu saat membawaku menginap di sebuah penginapan ketika hujan lebat waktu itu? Memang! Kau lelaki pecundang!” Umpatan yang telah sekian lama kupenjarakan kini dapat bebas keluar seperti kunang-kunang yang terbang dari cangkir kopiku. “Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” pernyataan itu kembali kudengar dari bibir Hamid. Dia menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Hingga aku pun sulit melepaskannya.***


7

Kunang-kunang yang Menelan Hamid Khothibul Umam, bergiat di Roda Gila & Kelab Kelip Bersaudara, tinggal di Semarang.

“Umpatan yang telah sekian lama kupenjarakan kini dapat bebas keluar seperti kunang-kunang yang terbang dari cangkir kopiku… Saya membayangkan Nora dalam cerita pendek berjudul “Kunang-kunang yang Berterbangan” adalah kunang-kunang itu sendiri. Mungkin ia hanya seekor dari seribu kunang-kunang yang terlepas dari “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” milik Umar Kayam. Mungkin ia mutan yang mendapatkan kekuatan super setelah secara tidak sengaja menelan kunang-kunang hidup-hidup dalam sebuah laboratorium rahasia milik pemerintah yang sedang mengadakan percobaan “hubungan antara sinar X, Gamma, dan Ultraviolet dengan Insecta dan Primata”. Nora adalah kunang-kunang itu sendiri. Seperti laba-laba Black Widow, ia memakan mentah-mentah pasangannya setelah bercinta guna mendapatkan tambahan protein untuk membesarkan sel telur yang ada dalam tubuhnya. Nora memakan Hamid, dengan sekali telan, penuh umpatan, hanya penulis cerita yang tahu apakah Nora menelannya dengan penuh penyesalan atau kebahagiaan. Nora, seperti karakter utama dalam sinetron kejar tayang, adalah kunang-kunang, eh, maaf, perempuan yang tegar. Setegar lagu yang dibawakan Rossa beberapa tahun yang lalu. Ia berhasil menjadi seekor Angsa yang Cantik setelah dulu sempat mengenyam pengalaman sebagai Itik yang Buruk Rupa. Kenapa ia bisa berubah? Tuntutan peran atau profesi? Menang judi Kuda Lari hingga bisa operasi plastik di Gangnam, Korea Selatan? Atau mempunyai lampu wasiat/Ibu Peri? Saya jamin, siapapun yang


8

bisa berubah dari buruk hingga cantik, ia mempunyai daya hidup yang luar biasa. Sedangkan Hamid, ah, konon ia tidak banyak berubah. “Tubuh putih kurusnya dulu memang telah sedikit terbalut daging. Kumis tipisnya tak berubah. Hanya saja penampilannya lebih menunjukkan kematangan seorang lelaki.� Oh, ya? Saya tidak tahu. Bukankah semua pria seperti itu? Yang lambat laun gemuk karena mulai mapan, malas berolahraga, dan “cocok susune�? Sampai di sini saya mulai aroma roman ala film Indonesia tahun 70-an. Nora teringat masa lalu, timbul hasrat atau dendam yang lama terpendam, mencoba lepas dari siksaan dan kecemasan sehari-hari, persoalan pelik dan rumit dengan pasangan masing-masing, perempuan selalu menjadi korban, dan ketika semua datang bertubi-tubi, semua tokoh pasrah pada takdir Yang Maha Kuasa. Ayolah!!!! Jujur saya berharap banyak pada kunang-kunang dalam cerita pendek ini. Kunang-kunang yang terbang dari cangkir kopi semacam membawa pesan yang puitis dan gaib. Yap, Nora adalah kunang-kunang yang berani hidup membesarkan anaknya dengan menelan semua kunang-kunang jantan yang coba menarik perhatiannya. Satu pertanyaan dari saya, apakah Nora benar-benar menelan Hamid atau tidak? Rumah Jeruk, 19 Oktober 2013


9

SEBUAH CERITA KAMAR YANG “DIPUBLIKKAN“ Kusfitria Marstyasih, Ibu rumah tangga, pengagum cerita, tinggal di Demak.

Cerpen sebagai sebuah hasil karya yang sudah melewati masa perenungan dan proses kreatif yang panjang hendaknya juga bisa menjadi sumber inspirasi untuk pembaca. Sebagai seorang pecinta sastra meski saya awam terhadap ilmu sastra, tetapi saya “menuntut“ sebuah karya sastra mestinya memiliki berbagai macam nilai yang menjadi paparan setelah melewati proses imajinasi dan kontemplasi sang pengarang. Sebagai sebuah tafsir cepen tentunya tidak hanya menuangkan isi hati pengarang tanpa mempertimbangkan nilai social cultural, estetika , filosofis maupun psikologis untuk memperkaya makna. Tidak mungkin tidak sesederhana apapun karya sastra tetap harus mempertimbangkan nilai-nilai tersebut sehingga tidak akan ada teks cerpen yang tercipta dalam ruang hampa. Pengantar itu saya sajikan setelah berulang kali mencermati isi cerpen Kunang- Kunang yang Beterbangan karya Adefira Lestari. Saya tidak berhasil menemukan kode budaya, bahasa dan latar yang menggambarkan nilai social cultural maupun filosofis religious sebagai unsur pembangun cerpen tersebut. Bahkan saya berani menyebut kalau cerpen ini adalah cerita kamar yang dengan penuh keyakinan dibawa ke ruang publik oleh sang pengarang. Adefira sedang menuliskan sebuah cerita dalam diary dan berharap pembaca tahu apa yang sedang disajikannya. Adefira menyajikan teks cerita ini seolah olah pembaca juga ikut merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya tanpa


10

memberi kesempatan kepada pembaca untuk tahu latar belakang sosial budaya serta latar material dalam cerpennya. Meski di sana sini Adefira sudah menggunakan latar tempat yang diwakili oleh kata 'sebuah halte' pada kutipan “Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” itulah perkataan terakhir Hamid yang kudengar sebelum ia pergi meninggalkanku di sebuah halte. Tetapi deskripsi yang diberikan belum cukup untuk pembaca ikut membayangkan tempat kejadian. Akan tetapi saya lumayan berhasil ikut membayangkan sebuah peristiwa masa lalu si tokoh yang menjadi titik tolak peristiwa saat ini. Kenangan tentang Hamid kini tertarik kembali di antara temaram nyala lampu di kamarku. Saat kami bersama-sama makan es krim di alun-alun kota, saat ia mengajakku menaiki sepeda tandem di tepian tugu, dan saat kami terjebak hujan ketika pulang dari pernikahan Tito. Semuanya seperti angin lalu yang sekedar bertiup melintasi leherku. Kutipan tersebut meski sedikit, namun sudah cukup mewakili kondisi psikologis si tokoh yang tengah galau oleh rendezvous dengan sang mantan kekasih. Kemudian ada satu kalimat yang menurut saya agak rancu yaitu pada kutipan “Hampir seluruh bagian tubuhku memar, khususnya di bagian yang tertutup pakaian. Tangan besar lakilaki yang mengaku suamiku barang semalam, begitu kasar menjamahku. Aku terpelanting di kasur, tersungkur di lantai, dan aku juga kerap terdorong ke tembok. Semua itu berlalu ketika Bidah kusuruh tidur di lantai bawah atau ketika sedang check in di kamar hotel.” Ada sebuah pertanyaan,” apakah kejadian yang menimpa si tokoh disaksikan oleh anaknya yang bernama Bidah sehingga semua hilang saat si anak tidur terpisah atau saat berada di kamar hotel?“ atau mungkin saya sebagai pembaca awam yang salah tafsir. Tetapi jika kalimatnya diubah menjadi “Semua itu terjadi/ berlaku ketika Bidah


711

kusuruh tidur di lantai bawah atau ketika sedang check in di kamar hotel� saya rasa pembaca akan lebih mudah menfsirkannya. Lepas dari uraian uraian saya di atas, saya mengacungkan 4 jari saya untuk sang penulis yang sudah berani mencoba menorehkan pena. “Kita tidak akan tahu rasanya kalau tidak pernah mencoba! “ tetap semangat dan terus berkarya!***


12

Tangan Takdir, Tukang Cerita, dan Hal-hal Lain Sekitar Cerpen Arif Fitra Kurniawan, Bergiat di Komunitas Lacikata

Saya diam cukup lama sehabis membaca cerpen Kunang-kunang yang Berterbangan milik Adefira Lestari ini, menimbang-nimbang apa yang bisa saya tulis setelah berhadapan dengan teks tersebut. Tapi entah kenapa, saya jadi tidak bisa berbuat banyak untuk melawan kilatan Umar Kayam. Realisme magis. Teks yang evokatif. Puisi M Fauzi. Murakami. krisis Oedipal. Clara Ng. Sastra WangiKatrin Bandel. Feminisme. Novel Sylvia Plath. Realisme Psikologis. Cerpen Sulung Pamanggih. Pikiran saya diacak-acak oleh itu semua. Aktivitas membaca bagi pikiran saya adalah menyiapkan diri untuk rela menjadi sejarah kecemasan yang nomaden. Serentetan kata itu kadang demikan mengganggu tapi kadang bisa membantu menarik silang dari yang saya baca. Termasuk Cerpen Kunang-Kunang yang Berterbangan. *** Beberapa hari yang lalu, sebelum menuliskan ini, saya sempat memperbincangkan cerpen Adefira bersama rekan diskusi saya. Saya catatkan lewat ingatan beberapa dialog kami tersebut, setelah membaca bergantian cerpen yang sengaja kami cetak di kertas kuarto. “Menurutmu bagaimana, cerpen ini?”, tanya dia. “Lumayan”. “Lumayan bagaimana, bukannya ada kalimat yang lebih adil dari kata Lumayan?” “Iya, lumayan di sini adalah sebuah sama dengan yang aku tarik dari beberapa hal. Ini ditambah ini ditambah ini ditambah ini, sama dengan Lumayan”. Saya terkekeh. “Konten apa saja yang menjadikannya lumayan?”


13

“Ah, kamu tanya terus. menurutmu bagaimana, selain kata 'menarik dan kurang menarik pastinya' ?” “Menurutku, cerpen ini sudah memenuhi apa yang dimaktubkan dalam pelajaran membikin cerita rekaan. AlurLatar-Penokohan-Konflik-Klimaks-Penutup. Aku juga menyukai bagaimana penulis membuka cerita” ulas dia. “Pembuka cerita yang mirip kutipan menjemukan itu yang kamu maksud?” “Menjemukan itu persoalan sudut memandang dan selera. Hematnya, penulis paling tidak memiliki kepekaan yang bukan sekedar level pemula. Meski aku juga kurang sreg di beberapa bagian cerpen ini. Aku ambil contoh, di bagian Hamid yang ujug-ujug menemui Nora, menceraikan istrinya, menyarankan Nora cerai dengan suami. Aku sebagai pembaca butuh penopang kondisi yang kognitif dong tentunya. Itu membuat bagian cerpen jadi terkesan gugup.” dia mengambil napas panjang. “Mmm. Justru itu yang aku pikirkan. Pembuka cerpen itu membuat analisa-analisa struktural menjadi mentah lagi. Entah penulisnya menyadari atau tidak, Kata “Takdir” menyelamatkan kecerobohan-kecerobohan yang terjadi dalam cerpen ini. Lah sudah takdir kok, piye neh.....” *** 10 oktober 2013, dari sebuah portal di internet saya membaca kabar, Nobel Sastra tahun ini ditimpakan kepada seorang penulis cerpenperempuan. Alice Munro, perempuan Kanada 82 tahun yang mulai menulis cerpen sejak usia 11 tahun. Sejak diselenggarakan Tahun 1901, untuk kali pertama penghargaan sastra ini dihadiahkan kepada karya berupa cerpen. Alice Munro menyisihkan Svetlana Alexievich juga Haruki Murakami yang sejak beberapa tahun lalu sudah digadang-gadang sangat berpotensi menerima Nobel dengan karya-karya prosa panjangnya yang “meracuni” pembaca di seluruh muka bumi. Saya jadi merinding, dan begitu penasaran dengan cerpen-cerpen Munro, yang kata mereka dalam


14

penjurian, Munro disebut-sebut sebagai --master of the contemporary short story Paragraf yang terkesan ensiklopedis diatas tidak sematamata saya tempelkan asal. Saya menuliskannya karena saya merasa perlu memberitahu diri saya sendiri, karya-karya Munro yang membuat saya penasaran itu pastinya tidak hadir begitu saja, meski barangkali sudah ditakdirkan, tentunya mereka lahir dan bergerak membawa campur aduk pergulatan dalam rentangan waktu yang kadang membuat iman menulis seseorang tenggelam-muncul-tenggelam. Dalam sebuah wawancara singkat Munro menyela: saya bisa sukses, barangkali, selain menulis, saya tidak mempunyai bakat lain... *** Sebenarnya ulasan embacaan ini berpotensi menjadi sebuah cerpen, jika saja saya mau. Saya bisa membubuhkan deskripsi alakadar dari dialog dengan rekan saya. Memberinya penanda waktu, menariknya ke kejadian lain sebagai bentuk alusi, menjembatani dengan narasi-narasi yang akan membentuk kumparan-kumparan yang saling koheren satu sama lain. Atau dengan iseng menggunakan rumusan Takdir yang ditulis Adefira untuk membuat kompleksitas laju tulisan ini. Semisal saya pantik pikiran tulisan ini dengan: -Apakah tulisan ini ditakdirkan menjadi cerpen? -Apakah cuma akan jadi esai iseng? -Sekuat apa takdir yang akan menjerumuskan tulisan ini menjadi cerpen? Kemudian, jika kemungkinannya iya, saya akan membuatkan penopang-penopang dari kerangka pertanyaan tersebut. Menghadirkan beberapa tokoh dengan segala runcingan kepribadiannya, memberi judul yang semenarik sekaligus menjadi anak kunci, dan seterusnya, dan seterusnya... Kemudian cerpen itu akan saya tutup dengan kalimat: apakah takdir tidak pernah memberi kesempatan manusia untuk menentukan takdirnya sendiri?


15

-- pertanyaan yang berpotensi menjadi kutipan ambigu. Huhft. Saya mendadak mual. *** Ya, saya setuju dengan pendapat rekan diskusi saya mengenai cerpen ini sudah sesuai dengan tetek bengek unsur intrisik dalam sebuah prosa pendek. Selain juga mengiyakan tentang beberapa celah yang menjadi koreng bagi cerpen ini. Penulis mau tidak mau akan dibenturkan dengan persoalan teknik. Seorang tukang cerita mesti menguasai dengan piranti apa dia bercerita. Tidak mudah memang, tapi bukan hal mustahil. Toh, Adefira sudah berpikir meengarahkan cerpennya kepada sesuatu yang tematik, sadar atau tidak sadar. Konflik yang dibebankan Nora di antara siklus sosialnya saya ambil contoh. Keberanian dia untuk membuat peristiwa yang berkait sangkut dengan seksualitas, meski, pikiran awal saya akhirnya keliru sudah melebarkanya ke arahyang menurut Katrin ia sebut Sastra Wangi. Adefira seperti terjebak antara vulgaritas dan deskripsi wilayah erotogenik secara normatif. Menjadikan Tokohnya canggung, hendak diselimuti dengan adegan seksual atau dengan kode-kode yang ia pikir sudah cukup memberi acuan visual kepada pembacanya. Kekerasan yang dialami Nora pun jadi Klise. Sikap Nora menjalani kenyataan juga menjadi Klise. Sepatu Wedgesnya Klise. Rambutnya yang direbonding jadi Klise. Sikap Nora yang tak keberatan tidur atau ditiduri oleh banyak lelaki bergantian asal menganut simbiosis mutualisme jadi klise. Tidak saya dapatkan kesegaran dalam cara dia bercerita, membuatkan hentakan yang bisa direnungkan pembaca meski ini tidak bisa dianggap salah. Nora menjadi gambaran ideal bagi doktrin Freudian, bahwa motif manusia pada akhirnya adalah motif ekonomi, dan manusia harus menjalani represi lewat alasan yang disebut prinsip kenikmatan. Dan saya kira, Nora bersedia menerima represi tersebut, baik dari masyarakatnya maupun dari kesakitan neurotiknya sendiri. Di bagian ini saya rasa, Adefira perlu menimbangnimbang lagi, bagaimana semestinya kesakitan Nora diintimkan


16

kepada pembaca. Saya belum mendapatkan itu. Kekerasan dan kesakitan tidak diimbangi dengan hantaman psikologis yang memadai. *** Di awal sendiri, saya menulis Umar Kayam. Realisme magis. Teks yang evokatif. Puisi M Fauzi. Murakami. Krisis Oedipal. Clara Ng. Sastra WangiKatrin Bandel. Feminisme. Novel Sylvia Plath. Realisme Psikologis. Cerpen Sulung Pamanggih. Nama/kata dalam rentetan itu sudah saya bicarakan, kadang berguna menopang sebuah tulisan, contohnya tulisan ini: 1. Saya ingat Umar kayam, Saya ingat cerpen miliknya, Seribu Kunang-kunang di Manhattan ketika membaca judul cerpen ini, dan bagaimana Adefira ketika menggambarkan kunangkunang yang Nora amati keluar dari cangkir. 2. Tadinya saya sempat menebak, ada upaya penulis membelokkan ke arah realisme magis, namun akhirnya tebakan saya salah, atau tepatnya upaya-upaya itu mempunyai kemungkinan urung lantaran Adefira masih ragu-ragu menakdirkan ceritanya. 3. Sebenarnya bukan puisi utuh M Fauzipenyair sumenep, cuma bait terakhir yang terkunci di kepala saya, bunyinya begini; ...kelak, jika kau tak mampu membuat takdirmu sendiri maka biarkan waktu berhenti berdetak! 4. Ada salah satu bagian dalam Novel Haruki Murakami, Dengarlah Nyanyian Angin. Nezumi, salah satu tokoh dari Novel tersebut punya obsesi membuat sebuah Novel yang didalamnya dia akan mati-matian menghindari 2 hal; adegan seks dan matinya tokoh utama. Sebab menurut Nezumi, meskipun dibiarkan, manusia akan mati dan seorang lelaki akan tidur dengan perempuan. Begitulah faktanya. 5. Entah kenapa juga, Hubungan ibu dan anak, dan sebaliknya, sangat rentan dan terus menjadi tema yang tak habis dituliskan. Kepala saya menyimpan arsip cerpen Negeri Debu milik Clara Ng, dan Dari Jendela yang Terbuka.. milik Sulung Pamanggih. Saya menjangkau cerpen Clara, lantaran


17

dalam cerpen tersebut sama-sama memiliki adegan seorang anak kecil yang mesti bersembunyi di kolong tempat tidur ketika ibunya melacur. Clara menggunakan teknik bercerita serupa juru dongeng. Benturan kepadatan imajinasi dan cair kenyataan susup menyusup menjadi area kreativitas yang bisa dinikmati dan ditarik kesana kemari oleh pembaca. Sementara pada cerpen Sulung, dialog-dialog antara ibu dan anak begitu hidup. Sulung seperti tahu bagai mana meletakkan kata api, kata cermin, sebagai lompatan untuk menjangkau gulungan lanskap kisahan di depan dan dibelakang si tokoh. Adalah sebuah keuntungan ketika sosok seorang bocah diletakkan dalam sebuah cerita, sebab imajinasi dan keliaran berkemungkinan besar bisa digali sedalam dan selluas mungkin. Begitulah, saya berharap cerpen-cerpen Adefira yang akan datang jauh lebih 'merangsang' dari ini. Berharap betul, agar sebagai pembaca saya tidak terpukul dengan perasaan diri sendiri; Sudah takdir, Lha piye neh. Semarang, 11 Oktober 2013.


18

Semudah Inikah Membela Perempuan? Eko Pujiono, Guru SD di Kota Semarang.

Cerita pendek Kunang-kunang yang Beterbangan (KKYB) karya Adefira Lestari (AL) mengingatkan saya pada cerita-cerita suram perempuan yang terus berulang. Cerita ini tidak hanya bisa kita baca, tetapi juga dapat disaksikan di dunia nyata. Mungkin Andalah “tokoh utama� cerita ini. Ketidakadilan menjadi isu sentral dalam KKYB. Tragisnya, lagi-lagi perempuanlah yang menjadi korban. Sepertinya AL sedang mengungkap ketidakadilan ini atau bahkan lebih, AL turut berjuang dan membela untuk mencapai keadilan atau hanya cukup ranah kesetaraan. Nilai keadilan dan kesetaraan yang diidamkan tentunya bergantung pada paradigma masyarakat. Bolehlah kita bersilang pendapat tentang konsep adil dan setara yang menjadi adicita. Tapi bagi saya, kedua kata sifat ini memiliki nilai rasa yang berdegradasi. Kesetaraan adalah jalan searah menuju keadilan. Artinya pemenuhan rasa keadilan harus didahului oleh kesetaraan atau bisa jadi sebaliknya. Untuk menyelidikinya maka saya membuat dua pengandaian. Pertama, cerita ini hadir dari dalam kegelisahan hati penulis atas masyarakat patriarki. Masyarakat ini tentu tak menghendaki adanya kesetaraan apalagi keadilan terhadap perempuan. Perempuan selalu menjadi manusia kelas nomor dua setelah laki-laki dan di-mainstream-kan sebagai makhluk yang hanya hidup di tiga tempat, yaitu dapur, sumur dan kasur; serta harus bisa macak, masak dan manak (berias, memasak dan melahirkan). Masyarakat patriarki tidak pernah memberi kesempatan kepada perempuan untuk belajar tentang hak-haknya tetapi


19

hanya mewajibkan untuk belajar cara pemenuhan segala kewajibannya. Dengan begitu perempuan dalam masyarakat ini timpang pemahamannya dan sejak lahir sudah disiapkan untuk “dikorbankan” kepada kaum lelaki. Dari sini kemudian akan muncul kesan bodoh dan mudah dirayu (baca: ditipu) pada diri perempuan. Nora, tokoh utama KKYB, jugalah seorang perempuan yang menjadi korban. Ia juga memiliki kesan bodoh dan mudah dirayu, meski digambarkan seksi. Dengan mudahnya ia dirayu untuk “ditiduri” dan bodohnya selama sembilan tahun ia mengandung dan membesarkan Bidah single fighter. Ia menggadaikan tubuhnya dan menanggung hukuman cemoohan dan cercaan masyarakat. Mengapa hanya ia sendiri yang menanggung beban ini? Bagaimana dengan “pecundang” Hamid? Apa karena Nora peremuan dan Hamid laki-laki? Pertanyaan-pertanyaan ini dan lain sejenisnya yang akan menjawab hadirnya rasa adil dan setara atau tidak. Kedua, cerita ini dibangun dari kehidupan masyarakat yang mengagungkan pergaulan bebas. Dalam masyarakat ini segala transaksi dilakukan atas dasar suka sama suka, tanpa adanya paksaan dan saling menguntungkan. Boleh mengatasnamakan kepentingan ekonomi, seperti Nora terhadap “papa-papa” Bidah. Boleh juga mengatasnamakan cinta atau kesenangan belaka. Konsekuensi terhadap KKYB, ya, tak lebih dari satu transaksi ke transaksi lainnya. Tak ada maknanya. Apalagi terhadap perjuangan atas tegaknya kesetaraan dan keadilan gender. Hanya rentetan peristiwa yang biasa saja. Sayangnya saya tak menemukan konstruksi masyarakat yang mana cerita ini dibangun secara kuat. Meski begitu, saya sudah berhasil menangkap niat AL yang berhati mulia ini sedang “memperjuangkan” Nora dan tentunya para perempuan yang memiliki masalah dengan kesetaraan dan keadilan gender. Namun, saya menemukan paradoks pada diri Bidah. Ia dengan “mudah” dapat bersekolah (entah formal atau nonformal) padahal “legalitasnya” dipertanyakan. Sebagai syarat pendaftaran setidaknya ia harus memiliki Akte Kelahiran, padahal untuk mendapatkannya orang tuanya harus memiliki


20

Buku Nikah. Saya mencoba mencari film Abidah untuk menemukan intertekstualitasnya namun belum juga mendapatkannya. Entah cuma rekaan belaka. Mengenai kunang-kunang, saya menduga merupakan metafora dari bertumpuknya berbagai beban yang “terpenjara” di dalam diri Nora sekian tahun yang lepas bebas begitu saja setelah menyerahkan Bidah kepada Hamid dan berujar “...Memang! Kau lelaki pecundang!” Semudah inikah bagi perempuan yang tersakiti sekian lama dan bagi seorang ibu? Takdirkah? “Hamid. Aku tak tahu, apakah aku ini bersuami atau tidak,” Hamid mengernyitkan dahi mendengar pernyataanku. “Jika kau inginkan Bidah, bawalah. Dia anakmu. Biarkan aku menjalani hidupku seperti ini. Kau tahu? Kaulah yang membuatku seperti ini” Dari segi teknik penceritaan patutlah AL mendapatkan apresiasi yang layak. AL juga telah berhasil menggiring pembaca (baca: saya) menyelami kehidupan perempuan korban lelaki. Sedemikian berat dan memilukan. Bravo AL! ***


21

Kematian Tokoh Perempuan dalam Cerita Setia Naka Andrian, bermukim di setianakaandrian.blogspot.com dan @setianaka Jika kamu seorang tokoh perempuan dalam pertunjukan teater, maka kamu adalah orang pertama yang patut berbangga. Kamu tiba-tiba akan melompat seribu kali lipat dibandingkan kehidupanmu yang sebenarnya. Kamu tidak sekadar menjadi tokoh perempuan dalam panggung, namun kamu telah sampai menjadi cerita sekaligus panggung pertunjukan itu sendiri. Jika kamu telah melampaui dirimu sendiri sebagai perempuan, dirimu sebagai cerita serta dirimu sebagai panggung. Maka untuk saat ini hingga beberapa saat yang belum dapat saya tentukan, saya yakin, jika kamu masih merasa sebagai perempuan, maka saya tidak pernah percaya jika kamu memilih mati begitu saja dalam ceritamu. Kamu berpotensi untuk berkembang menjadi apa saja. Kamu pasti akan menjadi barang bukti yang paling berlanjut untuk dibicarakan orang-orang. Semua itu akan mudah, selama kamu masih menjadi perempuan yang berjalan dan mengepakkan sayap, bukan yang memilih mati dalam ceritamu sendiri. Tokoh perempuan dalam cerpen Kunang-kunang yang Beterbangan karya Adefira Lestari adalah persoalan pertama yang saya khawatirkan sejak memulai membaca cerita. Walaupun sebelum tokoh perempuan tersebut, judul cerita juga membuat saya cukup kecewa. Bayangan saya sudah lari ke manamana. Saya memikirkan hal yang aneh-aneh mengenai kunangkunang. Barangkali siapa pun akan merasakan seperti itu. Kunang-kunang benar-benar saya harapkan akan membangun cerita yang menghadirkan karakter-karakter yang hidup di dunia realitas keseharian dan memperlihatkan hal-hal yang tidak sekedar biasa atau bahkan aneh dalam cerita ini. Namun ternyata begitu cerita ini dibuka, saya sepertinya


22

langsung bisa menebak. Waduh sepertinya kunang-kunang tidak begitu terlibat banyak dalam cerita ini. Saya berpikir, ini pasti Adefira akan menyuarakan pertarungan emosi dan kehampaan perempuan. Jangan-jangan cerita ini akan terkesan cerewet dan tergesa-gesa menyuarakan emosinya. Ternyata benar, barangkali siapa saja yang membaca akan mengalami hal sama seperti yang saya rasakan. Sebenarnya bisa jadi bukan persoalan serius kalau tokoh perempuan digarap dengan serius dan tidak tergesa-gesa. Namun cerita sudah dibuka dengan takdir, dan di situ terdapat perempuan. Siapa saja pasti akan menebak, bahwa cerita ini adalah kematian tokoh perempuan─ketidakberdayaan perempuan. “Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,� itulah perkataan terakhir Hamid yang kudengar sebelum ia pergi meninggalkanku di sebuah halte. Barangkali takdir dan perempuan dalam cerita Adefira ini sudah terlalu banyak mengotori pikiran kita. Dari mulai gosipgosip tetangga hingga yang kerap hadir dari sinetron. Intinya sama, pemakluman. Perempuan pasti yang memaklumi. Namun saya untuk sementara ini juga ikut-ikutan memaklumi, dan berusaha untuk melanjutkan membaca cerita. Saya mencoba sejenak melupakan tokoh perempuan, Nora─yang terkesan lahir sebagai diri yang tergesa-gesa. Setelah saya melanjutkan cerita, ternyata yang saya khawatirkan terjadi lagi. Setelah dihadapkan dengan tokoh perempuan, kini tiba-tiba muncul lagi tokoh anak perempuan. Menurut saya ini persoalan baru lagi, kehadiran Abidah juga tibatiba dengan penuh ketidakjelasan. Misalnya mengenai anak yang kemungkinan hasil hubungan di luar nikah, kenapa juga Abidah bisa sekolah? Padahal tidak memiliki kejelasan status ayahnya atau status lainnya. *** Sebenarnya saya sangat berharap banyak dari cerita Adefira ini, banyak hal yang menurut saya perlu digarap lagi. Bagi saya, perempuan dalam cerita adalah ladang garapan utama yang dapat dikembangkan ke mana saja. Saya tidak akan


23

mempersoalkan bagaimana latar belakang penulis, jika sudah berani menulis, misalnya mengenai kebinalan perempuan, maka ya seharusnya harus berani mengembangkan sebinal-binalnya perempuan. Jika sudah berani menenggelamkan kaki hingga paha, maka harus siap pula jika suatu saat ada tokoh yang harus menenggelamkan seluruh tubuhnya. Misalnya dalam ending cerita, Nora begitu saja menyerah. Dia tidak berbuat apa-apa. .... pernyataan itu kembali kudengar dari bibir Hamid. Dia menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Hingga aku pun sulit melepaskannya. Saya rasa, sebejat-bejatnya perempuan, pasti dia juga punya perasaan. Dalam hal ini, Nora pasti punya cinta yang tulus. Tidak semudah itu dia melupakan penderitaan selama ditinggal Hamid. Lalu apakah semudah itu Nora? Saya yakin, banyak pekerja seks komersial yang memiliki pacar sebenarnya, walaupun dia banyak memiliki pacar hitungan semalam atau hitungan jam. Itu bukti bahwa Nora juga seharusnya bisa semacam itu, bisa sakit hati, bisa terluka yang sulit sembuh, dan lainnya. Selain tokoh perempuan, dari cerita ini juga saya temukan ada hal kecil yang menurut saya perlu digarap. Mengenai kehadiran tokoh-tokoh yang sekiranya berpengaruh atau tidak. Misalnya kehadiran tokoh Wulan dan Tito dengan pernikahannya. Lalu ada pula Tanu yang menurut saya juga belum digarap secara serius keberadaannya. Barangkali kehadiran tokoh yang kuat akan membentuk cerita yang kuat pula. Atau dari cerita yang ampuh akan melahirkan tokoh yang kuat? Namun terserah, itu pilihan. Percaya atau tidak, itu juga pilihan. Kita juga diperkenankan untuk memilih memulai dari mana saja. Namun saya yakin, barangkali Adefira akan berhasil menulis Kunang-kunang yang Beterbangan ini jika berkenan mempertimbangkan tokoh-tokohnya. Misalnya dengan menghadirkan Nora yang tidak hanya menjadi perempuan yang menyerah begitu saja. Tidak hanya melacur yang begitu saja, tidak hanya melahirkan Abidah dari Hamid yang begitu saja. Atau mungkin berani membunuh tokoh yang sekiranya diperlukan hanya sementara saja. Barangkali.***


24

PEMAHAMAN MINUS Sutanto Aji, Jalud, penggemar vespa.

“... Dalam duduk diam, hanya beberapa jam saja saya bisa membuat satu judul cerpen sampai tamat.� Adefira Lestari, (Penulis). *** Menjadi penulis itu... tidak mudah. Tidak mudah seperti ungkapan Adefira Lestari. Menjadi penulis itu membutuhkan ventilasi waktu dan ketenangan yang nyaman. Kenyamanan untuk mengeluarkan kata-kata yang masih terpilin oleh anganangan. Harus bisa menyusun ulasan kata yang akhirnya akan menjadi indah dan enak untuk dibaca. Menjadikannya dalam sebuah alur cerita atau karangan. Dimana tulisan itu yang akan mengajak pembaca untuk ikut serta dalam dunianya sang penulis. Saya menyadarinya sendiri. Bahwa menulis yang bagus itu sangatlah sulit. Tidak semudah membaca karangan-karangan orang lain yang sudah hebat. Misalnya, sastrawan yang tulisannya sudah menjadi buku dan tersebar di mana-mana. Mungkin seorang penulis memang harus mempunyai jurus sendiri untuk memancing pembaca. Mempunyai bekal umpan kata-kata yang banyak untuk dapat memancingnya. Supaya pembaca terjerumus didalam kata-kata tersebut. Kata-kata bak mutiara yang bercahaya. Di dalam dunia mengarang memang bebas untuk mengapresiasikan kata-kata. Tetapi, di dalam apresiasi tersebut mana yang akan dipilih oleh sang pembaca untuk dijadikan sumber inspirasinya. Saya tidak tahu tentang arti tulis-menulis atau membuat karangan yang bagus untuk dibaca. Saya hanya bisa


25

membacatulisan yang ceritanya enak untuk dibaca dan mudah dipahami. Membacanya pun tidak semua yang dibaca itu saya paham. Perlu pengulangan. Beberapa kali. *** Cerpen atau cerita pendek. Kali pertama saya dalam mengenal tulisan sastra. Menurut saya cerpen itu cerita yang sangat singkat, cerita yang tulisannya sedikit, tidak berputarputar cerita. Mudah khatam. Makanya saya lebih suka membaca cerpen daripada novel. Cerpen tak perlu berkeliling menghabiskan kata-kata. Cukup singkat dan mudah untuk dimengerti. Itulah sepengetahuan saya tentang cerpen. Pemahaman yang minus. Jadi pada saat membaca cerpen “Kunang-Kunang yang Berterbangan� karya Adefira Lestari, itu menarik. Terdapat butiran-butiran kata yang sebenarnya biasa, dijadikan kata semacam rayuan yang tajam. “Memang takdir tuhan itu tak pernah salah.� Seperti perkataan terakhir Hamid kepada Nora. Itu permulaan yang dapat memancing pembaca untuk terus mengikuti umpan alur ceritanya. Membuat penasaran dengan kata-kata pembukaan yang indah itu. Kita bisa merasakan intropeksi diri terhadap kehidupan di dunia ini, karena manusia memang membutuhkan kehangatan. Kehangatan yang membuat kebahagian jika semua yang kita inginkan terpenuhi. Kehangatan yang tak bisa melepaskan sebuah kenangan. Hingga membuat kebahagian menjadi derita. Karena tidak mudah untuk melupakan sesuatu yang memungkinkan akan terjadi lagi. Seperti Nora, bahkan Bidah pun akan merasakan derita jika dia tahu tentang masa lalu orang tuanya. Dan, pada saat membaca judulnyasekilas, saya juga merasakan ada yang absurd. Imajinasi saya berkeliaran, mungkin ini cerita tentang horor. Amalia yang indah untuk dipandang itu juga menakutkan jika melihatnya sendirian pada malam hari. Saya sempat teringat tentang dongeng lawas asal usul kunangkunang (konon, kunang-kunang berasal dari kukunya orang mati). Jadi saya berfikir negatif. Apalagi kunang-kunang yang berterbangan, berarti tidak hanya satu kunang-kunang, melainkan banyak. Tetapi, setelah membaca alur ceritanya


26

sampai tuntas, dan berkali-kali, ternyata kunang-kunang itu hanya bayang-bayang Nora saat membuat kopi. Mengingat tentang sosok Hamid yang dulu pernah dicintainya datang kembali. Hingga membuat Nora melamun, menunggu yang tak mungkin terjadi. Karena masing-masing sudah mempunyai rumah tangga sendiri. Cerita Adefira Lestari bagaikan kisah nyata. Sering saya menjumpai dalam rumah tangga yang sama seperti rumah tangga Nora. Rumah tangga yang memaksakan kita untuk selalu berfikir. Karena hidup tidak selamanya bahagia. Pun, lagi-lagi Adefira Lestari membuktikan sebagai seorang penulis. “Kunang-Kunang Yang Berterbangan�.


27

Lebih dari Sekadar Cerita Widyanuari Eko Putra, Apresiator cerita pendek dan peresensi buku. Berumah di widyanuariekoputra.blogspot.com Apa yang menyebabkan seseorang tidak berhenti “di tengah jalan” ketika membaca sebuah cerpen, sebelum cerita benar-benar berakhir? Saya kira, terutama sekali adalah cerita. Tak bisa dimungkiri, penilaian sebuah cerpen, pertama sekali adalah cerita. Pembaca akan dengan enteng mengatakan, misalnya, “oh, ceritanya begini”, “oh, ceritanya begitu”. Konsekuensi ini muncul karena, cerpen sebagai fragmen yang mengangkat sebuah kisah, terikat oleh keterbatasan ruang. Oleh sebab itu, penulis cerpen dituntut meramu sebuah cerita yang, meskipun pendek, sanggup menyajikan konsep cerita secara utuh. Dengan demikian, modal awal sebuah cerpen, ketika berhasil menyusun konstruksi cerita, bisa dianggap berhasil. Selanjutnya, bergulirlah tafsir dan pemaknaan atas teks. Eksplorasi, imaji, kekuatan pengungkapan bercerita, serta segi-segi yang terkuak dari teks tersebut, boleh dikupas kemudian. Nah. Secara cerita, cerpen Kunang-Kunang yang Beterbangan karya Adefira berhasil tampil dalam fragmen yang utuh. Kisah perempuan yang “dinodai” dan ditinggal menikah oleh pasangannya tercinta, kemudian terjerembab dalam dunia pelacuran, hingga akhirnya, pada momen yang tak terduga, mereka dipertemukan kembali, betapa tidak menariknya kisah-kisah seperti inijalinmenjalin menjadi satu cerita yang genap. Konkritnya, ada konflik yang selalu ditandai penjelasan sebab-akibat. Dalih seperti itu, mau tak mau, membuat sengkarut kisah ditampilkan secara jelas. Cerpenis menyuguhkan penjelasan atas teksnya untuk menghindari ketidakpahamanan dari pembaca. Dan beginilah khas sebuah cerpen realis. Tapi, saya kira, cerita saja tidak cukup. Apalagi cerpen yang,


28

memungkinkan untuk, diniatkan dilempar ke media massa. Selain cerita, dan terutama sekali pada cerpen realis, cerpen mesti kuat secara pengungkapan, logika cerita, dan lebih jauh, muatan cerita atau gagasan yang hendak ditampilkan. Meski konstruksi cerita yang membangun cerpen tampil secara utuh, tapi pernahkah cerpenis membayangkan, betapa kisah-kisah tentang perempuan yang menjadi pelacur akibat ulah kekasih hatinya yang tidak bertanggung-jawab itu, sudah berceceran di mana-mana: di sinetron, di majalah-majalah “hidayah�, di film, serta umum dibicarakan terjadi di sekitar kita? Lalu, apa menariknya? Saya sedang tidak mengatakan bahwa kisah yang demikian tidak bagus. Akan menjadi bermutu bila, kisah ini berkelindan dengan kemungkinan-kemungkinan lain dari kisah yang ada, serta beralih pusat, dari yang semula hanya bertumpu pada sekadar cerita, beralih pada penguatan dialog-dialog yang berpotensi memunculkan karakter psikologis yang kuat. Adefira, pernahkah kamu menikmati serangkaian cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam buku Sebuah Pertanyaan untuk Cinta? Jika belum, maka saya tidak akan menyalahkanmu kenapa kamu masih tertuju pada kisah tentang kesialan perempuan dan menggarapnya secara konvensional. Dan, jika tebakan saya benar, maka akan saya ceritakan padamu kenapa kamu harus membacanya. Begini. Kisah tentang perceraian, kehamilan, hubungan di luar nikah, pelacuran, serta bejibun kisah lainnya yang memosisikan perempuan sebagai pusat cerita, pada dasarnya sudah teramat galib. Tapi, permasalahannya, saya yakin, akan selalu muncul cerpen dengan tendensi yang demikian. Jadi, untuk menghindari tebaran kisah tersebut, penulis cerpen haruslah mensiasati bagaimana kisah tersebut disajikan. SGA, bahkan, menyajikan kisah-kisah cinta yang pasaran dan konyol ke dalam bentuk cerpen, yang justru menjadi sangat menarik dan mengundang senyum kecut dari pembaca. Bayangkan betapa adegan-adegan lelaki-perempuan yang keblinger cinta, serta serangkaian petilan kisah konyol yang menimpa perempuan, digubah dalam kalimat-kalimat yang, tidak lagi menjadi konvensional, namun cenderung ekspresif, jenaka, dan kadang pula mengharu-biru. Maka, kata kuncinya menjadi,


29

sepasaran apapun tema cerita yang diusung, cerpenis bertugas membuatnya jadi menarik dan eksklusif. Dengan penalaran yang demikian, cerpen Kunang-kunang yang Beterbangan tentu tidak serta merta mengisahkan perempuan yang “sial”. Selanjutnya tentang urusan metafor. Adefira memanfaatkan metafor “kunang-kunang” sebagai pintu mensiasati cerpen ini. “Kunang-kunang” tampil sebagai gambaran atas kesemrawutan dan beban hidup Nora, si tokoh utama. Namun, pernahkah terlintas dalam benakmu betapa untuk pemakaian sebuah metafor, penulis juga perlu berhati-hati: hal ini berkaitan dengan kesesuaian metafor tersebut, serta fungsi metafor tersebut dalam membangun cerita. Lantas, apa pengaruh “kunang-kunang” yang muncul dari genangan kopi di dalam cangkir itu terhadap konstruksi cerita yang ada? Semisal, metafor “kunang-kunang” itu kamu buang pun, saya yakin, cerita tidak akan terpengaruhentah kenikmatan cerita atau relasi di tiap kisahnya. Sebab, munculnya “kunang-kunang” dalam cerpen ini tidak cukup kuat berkelindan pada keseluruhan cerita. Ia hanya pernak-pernik yang tidak memberi fungsi yang berarti. Meskipun dalam cerpen ini frasa “kunang-kunang” muncul di bagian judul. Adefira, kamu pasti tahu cerpenis yang kerap ditahbiskan sebagai Pangeran Kunang-kunang? Benar, dialah Agus Noor. Mengapa demikian? Dialah cerpenis yang setia dengan metafor kunang-kunang hingga saat ini. Cerpen-cerpennya kerap memakai kunang-kunang bukan sebagai tempelan, namun lebih pada bagiantak-terpisahkan. Kamu bisa baca cerpen Kunang-kunang di Langit Jakarta. Atau, untuk menggambarkan penempatan metafor yang kuat dan pas, kamu bisa baca Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam. Barangkali kamu belum membacanya. Jika sudah, saya kira cerpenmu tidak akan seperti ini. Minimal, pada struktur dan pemilihan cerita, juga eksplorasi metafor yang kamu manfaatkan…


30

Pembibiran Cerpen Kunang-kunang yang Beterbangan Tri Widiyastuti, guru Bahasa Indonesia SMA N 1 Mranggen.

Cerpen ini menurut saya membibirkan perjalanan cinta sepasang remaja yang lepas rel norma dan agama. Mereka terhanyut dalam pergaulan bebas yaitu pergaulan suami istri padahal mereka baru pacaran dan belum menikah. Cerpen ini mengobral nafsu. Kemesuman. Remasan tangan. Rok tersingkap. Kekerasan. Terasa niramanat. Amanat sangat penting untuk perbaikan karakter generasi muda sekarang yang sudah berada dalam ambang batas kehilangan moral. Amanat yang seharusnya ada dalam setiap cerita. Di dalam cerpen ini amanat seperti terbang bak kunang-kunang. Apa itu arti judul cerpen? Tokoh gadis kemudian menjadi wanita tuna susila karena tidak punya pegangan norma dan agama. Dia berhubungan dengan berganti-ganti lelaki yang disebut ayah oleh anaknya. Dia menyalahkan tokoh laki-laki sebagai penyebab ketunasusilaannya. Padahal dia bisa saja tidak memilih kehidupan model itu. Dia terpaksa. Tetapi juga menikmatinya meskipun disiksa oleh para lelaki yang menggaulinya. Terasa aneh dan tidak logis. Terkesan mengada-ada. Kunang-kunang di atas secangkir kopinya terasa janggal. Mengapa kunang-kunang? Mengapa bukan serangga yang lain? Kecoa atau lalat? Apa karena kunang-kunang memberi kesan seseorang yang limbung, mau pingsan, melamun klimaks, berkhayal klimaks , bersedih klimaks hingga akhirnya tak sadar? Mengapa juga kopi? Padahal kopi identik dengan laki-laki dan dunia malam sedang tokoh utama cerpen ini adalah gadis yang biasanya lebih suka teh, jeruk atau susu dan tidak suka begadang di malam hari. Atau karena kopi melambangkan kehidupannya yang kelam di lembah hina?


31

Ada kejanggalan cerita. Setting di halte saat bertemu Hamid, kok ada gelas kaca berisi kopi. Bagaimana ini? Aduh. Ending cerpen terkesan terpaksa dan dipaksakan untuk berhenti. Hal ini terjadi apa karena kehabisan ide atau malas atau kehabisan waktu? Setelah gadis marah dan emosi dengan mengatakan pecundang, apa tidak sebaiknya tokoh Hamid tersinggung dulu, ngeyel dulu, kemudian membela diri atau memberi beberapa argumen dulu, biar rame dulu, baru ditutup dengan kata-kata Hamid kalau ini takdir. Mereka harus menerima takdir Lalu mereka bersatu. Lepas dari semua yang telah saya tuliskan di atas, cerpen ini bagus. Saya angkat topi untuk itu. Selamat. Teruslah menuangkan ide dalam bentuk cerpen. Semoga kelak menjadi penulis yang mendunia. Jangan lupa tata tulis tetap dipatuhi. Terutama untuk penyebutan kata ganti Tuhan dalam takdirmu, tetap gunakan huruf besar karena kita adalah makhluk ciptaanNya. Jangan sampai itu dicatat sebagai kesengajaan atau perbuatan buruk yang akan memberati kita, ketika kita harus melewati sirotolmustaqim di hari akhir nanti.***


Komunitas Lembah Kelelawar menerima cerpen yang ingin diobrolkan dalam forum Meja Cerpen. Setiap cerpen yang diulas akan mendapat berkah karena dibaca, diobrolkan, dan diapresiasi. Berminat? Silakan hubungi: Naka (085641010277), Widyanuari (085225036797),Sulung (085642889366), follow: @LembahKelelawar Email: lembahkelelawarsastra@yahoo.co.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.