Buletin Sastra Lembah Kelelawar #7 (Kabar dari Laut)

Page 1



1

Meja Cerpen#8 Komunitas Lembah Kelelawar

Kabar dari Laut Dina Ahsanta Puri Seperti malam-malam yang lain. Pastilah Sapto akan keluar menemui laut. Duduk sejenak di hamparan pasir yang tak tersentuh oleh ombak. Mencoba membaca isyarat laut sebelum berlayar ke tengahnya. Terlihat jejak kaki kura-kura di sekelilingnya yang begitu dia hafal. Tak ketinggalan jejak manusia pun masih terlihat nyata, bahkan jejak mereka di pasir tak terhapus oleh ombak sekali pun. Jejak-jejak yang mengusik pandangan Sapto; segerombolan sampah. Debur ombak semakin terdengar jelas menyisipi sunyi malam. Kadang menerjang, surut, mengalir perlahan, dan menyisakan buih di hamparan pesisir. Selalu begitu sebelum hilang tak berbekas. Sesekali air ombak itu tersangkut di lekuk batu karang, sejenak beristirahat di sana. Apapun yang terjadi ombak-ombak itu akan selalu kembali ke pelukan samudra luas dengan membawa semua kisah-kisahnya. Dan seperti malam-malam kemarin pula. Bulan masih terlihat begitu terang. Adalah suatu kebiasaan para nelayan selama terang bulan untuk tidak melaut. Mereka lebih memilih memperbaiki alat tangkap yang kondisinya rusak. Namun, tidak sedikit dari mereka beralih profesi menjadi buruh tani, buruh bangunan, dan pedagang demi memenuhi ekonomi keluarga. Percuma saja jika dipaksakan melaut. Tangkapan ikan akan sedikit. Pantulan cahaya bulan di permukaan air laut yang mengandung garam,


2

membuat senar pancing ataupun jala yang terbenam terlihat menyala. Tentu ikan-ikan akan enggan mendekat. Dan Sapto bukanlah nelayan kemarin sore yang tak tahu tanda-tanda alam. Berlayar ke tengah laut baginya bukanlah semata menacari ikan. Bagi yang pertama kali mendengarnya mungkin ini akan terdengar konyol bahkan gila. Iya, Sapto lebih sering berlayar ke tengah laut untuk mencari mayat. Aneh bukan? Memang begitu adanya. Ombak pantai kidul yang ganas kerap mengambangkan mayat manusia. Entah korban kecelakaan, dibunuh, ataupun bunuh diri, bahkan mungkin juga tumbal Nyi Roro Kidul. Pekerjaan ini jauh lebih menguntungkan ketimbang mencari ikan di waktu-waktu seperti ini. Dia cukup membawa mayat itu dan membuat semacam pengumuman baik dari mulut ke mulut atau pun melalui selebaran. Setelah itu, keluarga yang kehilangan akan menghampirinya dan memberinya uang sebagai tanda terima kasih. Ketika pengamatannya dirasa sudah cukup, Sapto tahu sisi mana yang harus dia tuju. Segeralah dia berlayar dengan perahu tuanya, menuju ombak yang paling keruh. Itulah patokannya selama ini. Dan benar adanya, mayat seorang lelaki tengah mengambang di tengah laut. Sekuat tenaga dia dayung perahunya untuk mendekat dan dengan sigap diangkatnya mayat itu ke atas perahu. Hidungnya benar-benar sudah tumpul terhadap bau busuk yang menyeruak. Baginya bau busuk itu lebih nikmat ketimbang bau amis ikanikan yang pernah terperangkap jalanya. * * * Keesokan harinya Sapto segera mengumumkan mayat yang telah dia temukan. Kabar tersebut segera menyebar luas bahkan sampai keluar perkampungan pesisir pantai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah gubuk Sapto yang hanya dihuni olehnya serta putra semata wayangnya, Dirun. Bocah usia delapan tahun itu terlihat begitu kurus, nampak kurang gizi. Sejak lahir Dirun juga tidak sempat menyusu puting ibunya, sebab Jumairoh, istri Sapto tersebut meninggal ketika melahirkan Dirun. Kedatangan seorang perempuan muda beserta ajudannya, membuat orangorang yang awalnya berdesakkan sembari menutup hidungnya mulai mundur dan mengatur jarak, memberikan ruang yang luas kepada perempuan dengan dagu terangkat dan tangan disilangkan. Perempuan itu menyerbakan aroma rosemary. Wewangian yang cocok untuk perempuan energik, keras, berani dan menyukai petualangan.


3

Salah seorang ajudan mendekat ke mayat yang terbujur di tengah ruangan dan ditutupi beberapa lembar kain jarit. Dibukanya sedikit kain yang menutupi wajah. Ajudan tersebut mengangguk kepada perempuan itu seakan memberikan isyarat lantas berkata, “benar, nyonya.” Dari sekian puluh mayat yang pernah dia pertemukan dengan keluarganya, baru kali ini dia menyaksikan wajah tak berduka dari orang yang jelas-jelas mengenal si mayat. “Syukurlah,” gumam perempuan itu. “Laki-laki brengsek! Menyesal aku menjadi istrimu!” tambahnya. Bersama ajudannya dia berbalik hendak pergi, namun Sapto mencegatnya. Dari pernyataan itu Sapto tahu bahwa perempuan itu adalah istri lelaki yang telah terbujur kaku di hadapannya. “Maaf, nyonya. Apa nyonya tidak ingin membawa suami nyonya pulang?” tanya Sapto heran. “Tidak.” “Kenapa tidak? Suami nyonya harus segera di makamkan, sudah membusuk. Bawalah nyonya, tenang aku tak meminta bayaran.” “Kamu kira aku tak membawanya lantaran aku tak punya uang? Buat apa membawa mayat terkutuk seperti dia? Sudah satu bulan ini dia meninggalkanku. Kawin lagi dengan perempuan lain! Biarlah, lempar saja ke laut lagi. Untuk pakan ikan!” Jika sudah begini, Sapto terpaksa harus menguburkan mayat lakilaki itu secara pantas. Seperti mayat-mayat yang pernah dia temukan, namun tak diketahui siapa keluarganya. Hari ini Sapto harus mengurus mayat itu dan dia memilih untuk tak berlayar malam ini. Tak ada satu pun tetangganya yang mau mendekat, membantu menguburkan mayat itu. Bagi mereka itu tanggungan Sapto atas tindakan konyolnya. *** Seperti keputusannya pagi tadi, malam ini dia tak berlayar baik berburu ikan maupun mayat. Dia memilih tidur bersama Dirun, bocah kecil yang sering dia tinggal malam hari ketika sudah tidur terlelap. Sapto tertidur pulas, hingga menjelang fajar dia terpaksa bangun karena kaget oleh suara seseorang yang menggedor-gedor pintu rumahnya. “Kang, kang Sapto! Keluar, Kang! Ini Sarti, Kang!” Setengah sadar Sapto berjalan membukakan pintu. Rupanya di luar sudah banyak orang.


4

“Kang, tolong saya, kang, tolong!” “Tolong apa, Sar?” “Tolong carikan suamiku, Kang. Lihat itu, Kang!” “Itu perahu Karyo, bukan?” “Iya, malam ini suamiku nekat melaut. Dia pergi bersama beberapa nelayan lain. Wasmin salah satunya. Kata dia perahu kang Karyo sempat terbalik terkena goncangan ombak ganas . Sekarang hanya perahunya yang kembali. Kang Karyo hilang.” “Iya, To, tolong carikan Karyo!” seru para warga. Awalnya Sapto merasa heran atas permintaan warga yang sebelumnya sempat menyepelekan kemampuannya mencari mayat di lautan. “Baik, baik.” Sapto masuk ke dalam rumahnya mengambil beberapa perlengkapan. Dia juga mencium kening Dirun yang masih terlelap dalam tidurnya. Kemudian kembali keluar bersiap menjamah laut. “Sar, titip Dirun, ya?” “Iya, Kang.” Warga secara beriringan mengantar kepergian Sapto untuk mencari Karyo. Mereka sangat mengharapkan Sapto menemukannya. Entah masih hidup maupun sudah mati. Mereka juga membantu mendorong perahu Karyo menuju ke tengah laut. *** Terhitung sedari fajar Sapto pergi. Cukup lama. Warga telah menanti kedatangan Sapto di bibir pantai. Awan-awan tampak liar. Bergulung-gulung, membukit dan kelam dalam warna kelabu. Bergelayut diberati beban. Menambah muram wajah langit senja dengan desir angin yang parau membawa debu. Dari kejuhan ternyata perahu Sapto mulai nampak. Warga pun bersorak sorai melihatnya. Ketika ombak kian mendekatkan Sapto ke bibir pantai dia berteriak, “hai, aku menemukannya!” Seperti yang telah di duga sebelumnya, pastilah Karyo sudah tak bernyawa. Tangis Sarti langsung pecah mendahului langit yang masih mempertahankan mendungnya. Empat orang warga memanggul mayat Karyo, sedang sisanya membuntuti dengan raut duka begitu dalam. Ketika warga sibuk membantu Sarti mengurus mayat suaminya, Sapto memilih untuk beristirahat sejenak di rumah gubuknya. Pencarian kali ini sangatlah melelahkan.


5

“Dirun, buatkan bapak kopi, nak.” Tidak ada tanggapan. Biasanya jika Dirun terdiam itu pertanda dia tengah kebingungan sebab persediaan kopi atau gula sudah habis. Namun, Sapto yakin dia masih memiliki persediaan kopi dan gula setengah toples. “Dirun, Run?” Tetap tidak ada jawaban. Sapto mengahampiri kamarnya. Kosong. Dirun tidak ada. Dia cari ke belakang rumah pun tak ada. Kembali dia ke depan rumah, dan berteriak memanggil-manggil anaknya, “Diruuun! Kamu di mana!” Dari kejauhan terlihat lambaian bocah laki-laki. Dia berlari melambai-lambaikan tangan. Samar-samar bocah tersebut berteriak mengatakan sesuatu. Suaranya kalah keras dengan debur ombak. Sapto mengira itu adalah Dirun, tapi ternyata bukan. Itu adalah Mi'un anak adik iparnya. “Paman, paman Sapto!” kata Mi'un dengan nafas tersengal-sengal. “Dirun, paman, Dirun.” “Iya, Dirun kenapa?” “Dia terseret ombak.” “Apa?” Sapto benar-benar kebingungan, “toloooooongg!” teriak Sapto. Namun, tak seorang warga pun mendekat, mereka semua tengah sibuk mengurusi kematian Karyo. Rumah Karyo berada di ujung kampung, suara Sapto tak kan mampu menjangkaunya. Mendung telah meluruh menjadi gerimis. Sapto merasa sangat tidak karuan. Di antara gerimis putih yang menaburi senja. Keabu-abuan telah memeluk waktu dengan diiringi langit jingga yang kian lama kian memudar. Hari sudah mendekati pelukan malam. Perlahan gerimis mulai berganti hujan. Hujan yang kian deras. Dengan langkah kecilnya, Mi'un berlari pulang ke rumah, sedangkan Sapto bergegas mendorong perahunya yang baru saja menepi untuk kembali berlayar ke tengah laut. “Diruuunnn!!!” teriak Sapto di tengah tirai ombak yang mengepung perahunya dari segala arah bersama hujan tak hentinya terus mengguyur. *** Pagi harinya warga berkumpul di bibir pantai dan sepakat untuk mencari Sapto serta anaknya. Namun ombak seolah memulang-pulangkan mereka kembali ke bibir pantai. Seakan mereka hanya akan mendapati kesiasiaan jika terus memaksa.


6

Semenjak saat itu tidak ada seorang pun yang tahu keberadaan Sapto dan Dirun. Mungkin sudah mati di tengah laut dan dikoyak oleh ikan hiu. Beberapa orang kerap mendengar suara rintihan pilu serupa kesedihan yang mengapung di udara. Para nelayan yang berlayar malam hari pun terkadang melihat bayangan perahu Sapto, nampak seorang lelaki tengah memangku anaknya. Dan siapapun yang menyaksikannya, maka ia sama saja mendapatkan tanda kesialan. Tak dapat ikan, kapal rusak terterjang ombak dan beragam kesialan lainnya. *** “Syukurlah mati. Hanya mencampuri urusan orang lain saja!” ucap seorang perempuan setelah membaca berita di koran mengenai seorang nelayan dan anaknya yang hilang di lautan dan dikabarkan mati. “Nyonya, perempuan itu sudah kami bunuh. Akan diapakan nantinya?” “Buang saja ke laut. Biar dia ketemu dengan pasangannya yang brengsek! Pastikan kau buang mayat itu di tempat yang banyak ikan hiunya. Biar lekas lenyap dan tak ada yang menemukan!” Para ajudan mengangguk. Perempuan itu mengambil botol parfum kecil di atas meja. Menyemprotkannya ke sisi kanan kiri leher secara bergantian, menyerbakan aroma rosemary. Wewangian yang cocok untuk perempuan energik, keras, berani dan menyukai petualangan. Semarang, September 2013 *Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris di IKIP PGRI Semarang. Merupakan salah satu penulis cerpen yang bisa diandalkan di masa depan. Bergiat di Persma Vokal dan UKM KIAS. Bermukim di Purbalingga. Bisa disapa di 087737260009.


7

MEMBACA KABAR DARI LAUT --CERPEN DINA AHSANTA PURI Oleh Arif Fitra Kurniawan, penyair dan chef harapan Semarang. 1. Membaca cerpen Kabar Dari Laut milik Dina Ahsanta Puri ini, menempatkan saya-- pembaca sebagai seseorang yang sedang duduk di atas kursi, merampungkan sinetron di televisi, sambil menguliti kacang bawang. sambil mengunyah dan sesekali berujar pada diri sendiri o, begitunah, pasti setelah ini beginidan pada akhirnya... 2. Apakah yang sebenarnya membuat sebuah prosa menjadi menarik untuk dibaca? Sudahlah di sini saya menahan diri saya untuk tidak menulis kutipan-kutipan dari banyak orang-orang yang telah mahir menulis teori tentang bagaimana menulis. Sambil menulis catatan ini, saya sesekali melirik tab samping di komputer saya. Kebetulan di situ saya sedang buka dua tautan; satu dari cerpen AS Laksana, berjudul Rashida Chairani dan satu tautan lagi cerpen Triyanto Triwikromo yang stilistika judul cerpennya mengingatkan judul-judul puisi saya yang seperti jalan Tol. Apakah saya sedang mencoba memperbandingkan secara kualitas cerpen Dina dengan kedua cerpen Koran tersebut? Bisa saja pembaca lain menuduhnya begitu. Saya membacanya karena ingin membacanya saja. Justru saya mendapat simpulan sementara; setiap penulis memiliki dirinya masing-masing. Cerpen Triyanto menantang saya, untuk membuat daftar panjang bacaan apa saja yang sudah dan belum saya baca. Karya-karyanya yang akhir-akhir ini berpenyakit eksebisionis itu benar-benar sialan. Untungnya dari beberapa judul dan penulis semacam Gao, Gabriel Marques, Murakami sudah pernah saya sentuh. Sementara Cerpen AS Laksana menghadiahi pengalaman baca nyaris seperti membaca cerpen Dina. Cuma....


8

3. Tidak ada yang salah ketika seseorang menuliskan cerpen. Itu berlaku juga untuk seseorang yang membuat catatan tentang cerpen yang ia baca. Ada beberapa hal, setelah saya baca beberapa kali dari cerpen Dina maupun AS Laksana; a. Dina dan AS laksana sama-sama memiliki Laut sebagai lanjaran bercerita. Bedanya, Dina menempatkan laut sebagai latar, pemantik konflik, dan ruang yang terus-menerus bergerak mendorong cerita untuk teus menemukan cara bagaimana mengakhiri diri. AS Laksana menggunakan laut sebagai aksen, sebuah tato yang mesti dibawa oleh tokohnya demi menghakimi sebuah situasi. b. Saya terhibur dengan penguraian citraan Laut milik Dina. Di samping ada beberapa celah yang saya rasa Dina matangkan. Dina terihat terlalu bertele-tele dengan panorama. c. AS laksana, ya, saya tahu saya akan memuji bagaimana dia menipu saya dengan cara dia tetap meruncing dengan satu penokohan. Ada Kepala sekolah yang dia antagoniskan namun tetap manusiawi, ada segerombolan anak muda (inilah cerdiknya dia, dia menarik tokoh bejat yang rupanya anak pejabat agar cerita lebih hitam dan putih), ada juga ibu Rashida yang berfungsi sebagai pemantik kecemasan. Tapi satu hal yang saya catat dari itu semua, masing-masing tokoh eksternal memberi tekanan pada tokoh akuprosa, si narrator. d. Dina kecolongan dalam bagian ini. Saya rasa, cerpen ditakdirkan untuk memaksa kejelian penulisnya mengupayakan kesedihan/kekejaman/permasalahan cuma pada satu tokoh utama. Tapi Dina di bagian ini malah gagal dengan menghadirkan si perempuan berkeringat rosemary yang memecahkan fokus. Fokus pembaca remuk ketika mesti tarik menarik antara ke kanan atau ke kiri. Antara ke Sapto atau ke perempuan beraroma rosemary. Belum lagi kehadiran Dirun, nelayan lain, warga, belum bisa membuat “kekejaman� yang berarti. Alhasil, cerita ini hendak jadi cerita horor tidak jadi, hendak jadi cerita kriminal kurang mengerikan, hendak jadi cerita sedih belum bisa membuat saya terharu. Dari pengalaman membaca saya, di setiap cerpen yang saya rasa “ berhasil�, akan ada kerangaka imajiner begini:


9

semua boleh dimasukkan ke dalam cerpen, tapi semua tersebut (harus) mempunyai ikatan emosional dengan tokoh utam. Saya selalu membayangkan tokoh utama ditempeli banyak sekali sedotan yang mengambil air dari banyak sumber mata air, sampai suatu ketika tokoh utama tersebut mati kekenyangan. begitulah.... e. ....Percuma saja jika dipaksakan melaut. Tangkapan ikan akan sedikit. Pantulan cahaya bulan di permukaan air laut yang mengandung garam, membuat senar pancing ataupun jala yang terbenam terlihat menyala. Tentu ikan-ikan akan enggan mendekat..... Dina mempunyai potensi yang baik untuk menciptakan deskripsi setting bagi tokoh dalam cerpennya. Lihat saja bagaimana ia menghadirkan ombak, pantai, langit, renik kehidupan pesisir. Dina juga sudah (atau ini tidak disadarinya [?]), memasang logika bercerita. Inilah yang sering mengaduk-aduk pikiran saya, bagaimana seorang penulis cerpen menyiasati kejadian ini akan menimbulkan ini, atau ini diakibatkan dari kejadian yang itu. Bagi saya cerpen yang bagus tidak harus masuk akal, tapi ia punya syarat bisa diterima. f. Cara bercerita Dina konvensional. Sekali lagi, ini bukan soal baik dan buruk. Seorang penulis diberi kemerdekaan akan mengambil jalur penceritaan sudut pandang orang pertama, orang kedua, orang ketiga, atau menggunakan beberapa sudut pandang sekaligus. g. Nah, variasi lain dari cara bercerita menggunakan teknik sudut pandang bisa dilacak pada cerpen Rashida Chairani milik AS Laksana. Dia terlihat betul menguasai teknik penceritaan. Malah kalau menurutt saya, dia sedang mengejek teoritis dari teknik bercerita sudut pandang. Ia carut-marutkan semuanya. Ya, saya tahu, kematangan bercerita tidak mudah. Saya berharap Dina juga tahu... 3. Bagaimana dengan Cerpen Triyanto? Sudahlah, lain kali saya akan berbagi pengalaman membaca cerpen Triyanto itu... 4. Catatan ini saya tulis tanpa pengeditan, perhatian pada huruf dan ejaan dan pengendapan, cara seperti ini tidak baik dikenakan pada cerpen. Cerpen mestilah penuh perhitungan. Ya, kan.


10


11

Sapto dan Laut yang Ia Peluk Niken Kinanti, bergiat di bengkel sastra Surakarta dan Gandrung Sastra Pati.

Sapto, dalam pandangan saya adalah nelayan buruh. Ditinjau dari sudut pandang penguasaan dan peralatan untuk menangkap ikan, ia menempati struktur ke dalam kategori yang hanya menyumbangkan jasa tenaganya untuk menangkap ikan dengan memperoleh hak-hak yang terbatas. Dalam masyarakat pertanian, nelayan buruh identik dengan buruh tani. Secara kuantitatif, jumlah nelayan buruh lebih besar dibandingkan dengan nelayan pemilik. Nelayan pemilik memiliki dan menguasai alat-alat produksi ataupun alat tangkap, termasuk perahu, jaring, dan perlengkapan yang lain. Pekerjaan Sapto yang tinggal pesisir, menjadikan laut sebagai mata pencaharian tetap, menjadikannya menjadi pribadi unik. Di laut, ia tidak mencari ikan. Ia mencari mayat. Mayat yang dicari Sapto adalah mayat yang dalam istilah Wikipedia mengalami rigor mortis atau kaku mayat, yang merupakan salah satu tanda fisik kematian. Rigor Mortis dapat dikenali dari adanya kekakuan yang terjadi secara bertahap sesuai dengan lamanya waktu pasca kematian hingga 24 jam setelahnya. Kaku mayat sendiri muncul setelah 2 jam pasca kematian. Mayat terapung umumnya membengkak dikarenakan proses metabolisme tubuh sudah tidak bekerja lagi. Tubuh yang membengkak secara fisika bertambah volumenya. Ada kemungkinan gas-gas pembusukan terbentuk dalam tubuh terperangkap dalam tubuh mayat. dengan asumsi massa tubuh tidak berubah. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana seorang Sapto dengan instingnya membaca arah angin dan gelombang laut untuk mengenali adanya mayat yang sedang mengapung di laut. Pastilah Sapto akan keluar menemui laut. Duduk sejenak di hamparan pasir yang tak tersentuh oleh ombak. Mencoba membaca isyarat laut sebelum berlayar ke tengahnya. Orang Laut, seperti juga Sapto, dalam buku Hikayat Abdullah, karangan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, adalah seperti ini, “Orang laut biasa tidak berbaju, baik laki-laki maupun perempuannya, hanya sehelai kain yang tiada berwarna yang dipakainya. Kering basah tubuhnya dan busuk baunya pun tidak


12

dapat dikira. Tiadalah mereka tahu membuat rumah di darat, seumur hidupnya dalam perahu, beranak cucu, sampai kawin dan mati di perahu.�. Dedikasi Sapto pada laut, mungkin sudah berbeda seperti masa sekarang ini. Tentu ia sekarang memakai baju, membuat rumah, dan tidak seumur hidup dalam perahu sebab ia memiliki Dirun yang harus ia rawat, hasil pernikahannya dengan Jumairoh. Pantai kidul sebagai setting cerpen ini, mengingatkan saya kepada Legenda Hang Tuah. Dalam Legenda Hang Tuah digambarkan bahwa berlayar di laut layaknya menggadaikan nyawa. Nelayan ketika akan melaut, pergi dilepas beramai-ramai oleh sanak keluarga dan ketika pulang dikelilingi kembali oleh sanak keluarga. Apabila mereka pulang selamat maka mereka akan dikelilingi sanak keluarga dalam keadaan suka cita, namun jika mereka kembali tinggal nama, keluarga yang berkumpul akan membacakan doa kematian. Kebiasaan seperti itu, masih lamat-lamat dapat ditemukan dalam cerpen ini, meskipun Sapto berlayar bukan untuk mencari ikan. “Warga secara beriringan mengantar kepergian Sapto untuk mencari Karyo. Mereka sangat mengharapkan Sapto menemukannya. Entah masih hidup maupun sudah mati. Mereka juga membantu mendorong perahu Karyo menuju ke tengah laut.� Dalam legenda Hang Tuah, disertakan pula beberapa syair pantun yang mengisahkan betapa berlayar di laut penuh dengan bahaya. Mata pencahariaan yang berbahaya sebagai nelayan seperti itu, justru menjadi tantangan bagi para pelaut. Pantun tersebut biasa disebut Lancang Kuning. Lancang Kuning sendiri, merupakan symbol yang lahir di kalangan masyarakat pelaut, yang menjadikan mereka gigih dan bersemangat melaut, meskipun dikelilingi gelombang dan badai. Tak tampak dalam ceerpen ini pantun, karena kondisi nelayan yang mengalami keterpurukan membuat mereka sebisa mungkin bertahan hidup dengan segala yang bisa mereka kerahkan. Laut adalah simbol fluktuatif yang nyata. Ia seperti nilai tukar rupiah terhadap dollar. Itu pula yang ingin ditunjukkan dalam cerpen ini bahwa ketika ekonomi merangsek dan menekan Sapto dengan keras, ia menggeliat dan mencari mata pencaharian lain seperti teman-teman Sapto yang sudah dulu berpaling pada buruh tani, buruh bangunan, dan pedagang. Kemiskinan banyak menimpa rumah tangga nelayan buruh, membuat para nelayan buruh bergulat dengan adanya kompetisi yang tidak seimbang antara pemilik modal yang mendanai kapal-kapal besar dengan nelayan buruh yang ibaratnya hanya memiliki cadik kecil untuk melaut. Hal itu diperparah oleh kelangkaan sumber daya sosial ekonomi yang semakin sulit


13

diakses oleh nelayan kecil, seperti ketersediaan solar yang bersudsidi khusus untuk nelayan. Nyonya, dalam cerpen ini, teridentifikasi sebagai seorang wanita yang berpengaruh dengan parfum rosemary, dalam penggambaran perempuan energik, keras, berani dan menyukai petualangan. Apakah ia termasuk ke dalam nelayan pemilik yang memiliki ajudan, ataukah ia merupakan pemilik modal, ataukah ia adalah pemegang kebijakan yang memiliki suami tidak tahu diri yang berselingkuh dengan wanita lain, semuanya mungkin terjadi. Namun satu hal, saya tidak bisa membayangkan mengenai parfum rosemary. Saya rasa, cerpen ini mampu membuat saya merasa merinding ketika menyemprotkan parfum rosemary yang saya coba di toko parfum. Selamat.[]


14

Dalam Cerita Pendek, Segalanya Memang Bisa Jadi Mungkin Widyanuari Eko Putra, penikmat cerpen. Sampai hari ini, saya masih ingat betul tulisan seorang kritikus sastra, Tirtawirya, perihal apresiasi membaca cerpensebagai pembaca biasa, juga sebagai pembaca yang hendak menjadikan cerpen sebagai bagian dari proses kreatif. Tentang yang pokok, dan yang sekunder.“Membaca sebuah cerpen dengan perhatian condong pada isi cerita semata adalah suatu kekeliruan yang tak dapat dimaafkan dalam sastra. Seseorang bakal tidak maju-maju apresiasinya seputar cerpen dengan berbuat demikian,” tulis Tirtawirya dalam sebuah kritiknya. Pada mulanya, saya sepakat. Untuk sebuah cerpen dengan konstruksi instrinsik “yang sudah selesai”, Tirtawirya berlaku mutlak. Namun, setelah membaca cerpen “Kabar dari Laut” karya Dina Ahasanta Puri, saya beranggapan, tidak etis rasanya saya berkomentar perihal nilai-nilai di luar cerpen tersebut, sedangkan pada konstruksinya, saya masih menemui banyak keganjilan. Maka, saya putuskan untuk bertolak dari argumen tersebut. Justru karena galibnya sebuah cerpen adalah “cerita”, maka unsur cerita, terutama pada cerpen-cerpen bernafas realisme, hal tersebut harus menjadi “sesuatu yang sudah selesai”. Membaca cerpen Kabar dari Laut, saya kira semua sepakat: ada ide yang tak biasa di dalam cerpen ini. Kisah nelayan dengan profesi sambilan sebagai pencari mayat adalah jaminan kesegaran ide. Seorang pembaca, yang juga penganggit cerpen, bahkan sempat tertarik “mencuil” bagian ini untuk dieksplorasi lebih dalam menjadi bentuk cerpen yang baru. Tapi, untung saja ia mengurungkan niatnya. Akhir-akhir ini memang sedang musim cangkok menyangkok ide ataupun fragmen dari sebuah cerpen untuk “dibiakkan” jadi cerpen anyar. Kekreatifan yang berasal dari ketidakkreatifan.


15

Kabar dari Laut termasuk satu dari jejeran cerpen-cerpen realis. Realisme adalah gaya yang paling banyak memiliki penganut. Saya kira, semua cerpenis bakal memulai menulis cerpen dengan gaya realis, yang kemudian ditelusurinya kemungkinan-kemungkinan dan gaya lain sebagai sebuah cara atau usaha menemukan karakter yang paling pas untuk dirinya. Seperti sudah saya kemukakan di awal, berhubung ada yang saya kira “belum selesai”, maka dengan berat hati saya hendak mengorek konstruksi cerita ini. Bermula dari kekaguman saya pada idemenurut saya, untuk seukuran pemula, dalam artian jam terbang publikasi cerpennya yang masih belum banyak, bisa saya sebut, cerpen ini berpotensi menjadi lebih memikat apabila, Puri, begitu saya memanggil penulis, sanggup menempatkan cerita pada titik fokus penceritaan dan konstruksi cerita, hingga kedalaman eksplorasi tema. Menurut saya begini. Pertama, saya menangkap ada ketidakfokusan bercerita. Semacam inkonsistensi kerangka cerita. Hal tersebut tampak pada adegan tokoh Karyo yang tenggelam sehari kemudian setelah penemuan mayat lelaki suami dari perempuan berparfum aroma rosemary tersebut. Padahal, sebagai nelayan, berdasarkan cerpen ini pula, ia pasti hafal betul bahwa “pantulan cahaya bulan di permukaan air laut yang mengandung garam, membuat senar pancing ataupun jala yang terbenam terlihat menyala”. Namun, Karyo nekad melaut juga. Kecuali Karyo adalah nelayan baru, itu bisa saja terjadi. Tapi, cerpen ini tak menjelaskan itu. Dan, tenyata, adegan ini saya ketahui adalah semacam “jembatan” cerita untuk menjadikan logika kematian Dirun, bocah kecil anak tokoh Sapto, menjadi lumrah. Alih-alih mencari mayat Karyo, bocah lelaki yang dititipkan ke tetangganya, Sarti, justru “hilang” dilahap ombak. Sapto, sebagai seorang penerjang ombak dan pencari mayat yang profesional, juga ikut terseret ombak besar disertai hujan lebat saat mencari Karyo. Saya sempat mengira, apakah mungkin hujan lebat bisa seketika turun di kala hari-hari yang konon sedang kerap muncul purnama di malam hari? Hujan jadi penanda atas duka, tragedi, dan kesialan, oleh si tukang cerita. Penandaan jadi alasan memberangus pemaknaan “wujud” atau “kejadian” yang sebenarnya secara sewenang-wenang. Kalau begitu, profesionalisme Sapto sebagai pencari mayat yang handal berkebalikan dengan petikan berikut:“Ketika pengamatannya dirasa sudah cukup, Sapto tahu sisi mana yang harus dia


16

tuju. Segeralah dia berlayar dengan perahu tuanya, menuju ombak yang paling keruh. Itulah patokannya selama ini”. Akhirnya, fragmen Karyo tenggelam memunculkan konstruksi kematian Dirun yang rapuh, karena pada kalimat sebelumnya sudah tertera: “Dia juga mencium kening Dirun yang masih terlelap dalam tidurnya. Kemudian kembali keluar bersiap menjamah laut.” “Sar, titip Dirun, ya?” “Iya, Kang.” Apakah Sarti lupa menjaga Dirun, hingga Dirun lepas berkeliaran di laut dan akhirnya terseret ombak? Kedua, eksplorasi tematik yang saya kira bisa memungkinkan adanya cerita yang, dari tokoh sepele namun unik, kurang dimanfaatkan oleh Puri. Cerita ini saya kira sanggup mengait pada konflik-konflik besar yang terjadi di Negara ini, sebut saja, semisal, pembantaian kaum komunis pascatragedi 1965, peristiwa petrus di zaman Orba, hingga penculikan dan pembunuhan aktivis tahun 1998. Pada tragedi-tragedi tersebut, bukankah lazim menemukan mayat mengambang di laut? Apalagi dengan adanya penyisipan mitos Nyi Roro Kidul di awal cerita. Wah, pada segi ini saja bisa dikorek jadi tema yang mistis lagi memikat. Dugaan untuk mengaitkan cerita ini pada peristiwa besar tersebut tak lain karena munculnya tokoh “perempuan” dan “ajudan” dengan “wajah tak berduka”. Kedua tokoh ini memang mengundang tafsir. Di zaman kelahiran Orba hingga kehancurannya, kata ajudan kerap berfungsi ganda: penjaga sang Tuan sekaligus pemusnah musuh-musuh Tuannya. Adegan istri yang, dengan tanpa kesedihan, menyuruh bangkai suaminya untuk dibuang kembali ke laut memang mendebarkan sebagai cerita. Bayangkan, jika ini adalah sebuah kenyataan. Penemuan mayat di laut tentu saja jadi urusan polisi. Negara punya kewajiban menguburkan mayat warganya yang tidak diakui oleh keluarga. Apalagi, lagi-lagi berdasarkan cerpen ini, lelaki tersebut tewas akibat dihilangkan nyawanya oleh sang ajudan perempuan berparfum rosemary tersebut. Kebaikan Sapto menguburkan mayat yang ia temukan adalah kebaikan konyol yang muncul dalam cerpen ini! Tapi, sudahlah. Saya tentunya harus menyadari bahwa ini hanya sebuah cerita. Dalam cerita, apalagi cerita pendek, segalanya memang bisa jadi mungkin. Meskipun kemungkinan-kemungkinan itu kadang menggugurkan konstruksi cerpen, ataupun merusak kekuatan dan keketatan cerita. Penulis cerpen yang baik haruslah memahami resiko ini.


17

Bisa saja saat Sapto melaut untuk mencari jenasah Karyo, bocah lelaki, dengan sembunyi-sembunyi bermain-main di laut dan akhirnya terseret ombak, lepas dari pengamatan Sarti. Atau juga, polisi memang tidak bisa dipercaya meskipun itu hanya di dalam cerpen, yang pada kenyataannya memang sulit dipercaya. Hingga akhirnya mereka (polisi) tidak perlu dilibatkan. Atau mungkin juga, Saptono memang sebaik-baiknya orang yang mau menguburkan jenasah yang ia temukan meskipun ia tidak mendapat uang “tanda terima kasih� sekalipun. Sebuah cerita memang kadang seperti itu. Kecondongan membaca cerpen hanya pada cerita memang membuat pembaca sastra tidak akan maju-maju. Tapi, bagi sang cerpenis, saya yakin, komentar pembaca yang hanya condong meributkan cerita sekalipun, sangat berguna bagi proses penciptaan cerpen berikutnya. Bukankah begitu saudari Puri? []


18

Perayaan Cerpen minus "Kebaruan� Oleh Turahmat, kandidat doktor program pascasarjana Unnes Salah satu kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (Potter dan Patrisia, 1997). Kebutuhan untuk mengaktualisasi diri oleh Maslow diletakkan pada tingkatan terakhir dalam hierarki kebutuhan manusia. Zaman berubah, kehidupan berubah, dunia berubah, pun tingkatan kebutuhan manusia juga berubah. Sekarang orang tidak lagi menempatkan aktualisasi diri pada tingkatan yang terakhir. Setelah kebutuhan fisiologis pada tingkatan yang pertama, beberapa kasus menunjukkan bahwa seseorang lebih memerlukan aktualisasi diri ketimbang kebutuhan akan rasa aman. Misalnya kasus yang menimpa Vicky Wijaya yang "mendadak terkenal. Ia mengabaikan kebutuhan akan rasa aman dan memilih mengutamakan kebutuhan akan aktualisasi diri. Baiklah, itu pengantar catatan saya untuk sampai pada esensi utama, "memejacerpenkan" Kabar dari Laut dan mendudukkan Dina Ahsana Puri di hadapannya, di tengah-tengah. Kenapa harus aktualisasi diri? karena seseorang butuh itu dalam kehidupannya. Demikian pula untuk penciptaan karya sastra, termasuk cerpen. Tampaknya Dina sedang mencoba mengaktualisasikan diri dalam Kabar dari Laut. Lalu apakah itu salah? Jelas tidak. Kita tidak sedang mencari kesalahan atau kebenaran atas sesuatu. Yang menjadi masalah adalah jika aktualisasi diri Dina itu menjadi semacam perayaan. Lazimnya sebuah perayaan maka sesuatu yang dirayakan itu akan selalu mengikuti model/ tradisi/ kebiasaan yang telah ada, biasanya begitu. Dan penulisan cerpen (pemilihan tema, alur, diksi, gaya bahasa, esensi cerita) biasanya juga akan meniru model / kebiasaan/ dan tradisi penulisan cerpen yang sudah ada. Ini juga menjadi semacam perayaan, dan dengan begitu bagi saya cerpen yang dihasilkan menjadi biasa-biasa saja, sangat biasa. Apa asiknya nonton film yang sudah kita tahu akan berakhir seperti apa? Apa asiknya nonton pertunjukan teater yang tidak ada ketegangan-ketegangan apapun di dalamnya? sampai pada apa asiknya bercumbu dengan wanita yang begitu-begitu saja? tidak ada binal-binalnya?. Jika begitu lalu apa asiknya pula mencumbu cerpen yang biasa-biasa saja. Iya, hidup memang harus sederhana, tetapi itu sikapnya, bukan pada kualitas hidupnya, bukan pada karyanya.


19

Dan penulisan cerpen (pemilihan tema, alur, diksi, gaya bahasa, esensi cerita) biasanya juga akan meniru model / kebiasaan/ dan tradisi penulisan cerpen yang sudah ada. Ini juga menjadi semacam perayaan, dan dengan begitu bagi saya cerpen yang dihasilkan menjadi biasa-biasa saja, sangat biasa. Apa asiknya nonton film yang sudah kita tahu akan berakhir seperti apa? Apa asiknya nonton pertunjukan teater yang tidak ada ketegangan-ketegangan apapun di dalamnya? sampai pada apa asiknya bercumbu dengan wanita yang begitu-begitu saja? tidak ada binalbinalnya?. Jika begitu lalu apa asiknya pula mencumbu cerpen yang biasa-biasa saja. Iya, hidup memang harus sederhana, tetapi itu sikapnya, bukan pada kualitas hidupnya, bukan pada karyanya. Sayangnya, itu yang saya temui, saya rasai saat mencumbu Dina dalam Kabar dari Laut. Dina begitu pasrah "meniru" model/ kebiasaan/ tradisi di cerpen-cerpen sebelumnya. Terlepas dari itu dilakukan dengan sadar atau taksadar. Saya tidak sedang mengatakan bahwa Dina adalah peniru, tapi setidaknya itu yang saya rasai di cerpennya. Saya melihat cerpen ini minim kebaruan. Karya ini semacam perayaan dengan aksi akselerasy yang juga minim. Serupa anak-anak kecil yang riuh bertepuk tangan saat mendapatkan mainan baru. Atau serupa tangis dari kolega dan keluarga saat ditinggal mati sanak keluarganya. Ya, hanya menuruti kebiasaan saja, lazimnya begitu, ya ikut begitu. Biasanya begitu, ya ikut-ikutan saja begitu. Dari hal ini kita menemukan sebuah konsep baru yang seharusnya dimiliki oleh pengarang, yaitu konsep kebaruan. Lalu seperti apakah yang disebut dengan kebaruan itu? Kebaruan adalah sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Atau sesuatu yang belum pernah ada di wilayah tertentu, walaupun itu mungkin-pernah, bahkan sudah menjadi usang-di tempat yang lain. Itu kebaruan. Saya akan sampaikan beberapa ketidakbaruan pada Kabar dari Laut (KDL), untuk selanjutnya akan saya sebut KDL saja, agar tulisan ini lepas dari asumsi "kritik terhadap pengarang". Pertama, saya akan mendasarkan catatan saya ini pada teori strukturalisme, bahwa cerpen bisa dianalisis berdasarkan unsur-unsur pembangunnya (Wellek dan Warren). Saya mulai dari penamaan tokoh. Menurut saya penamaan tokoh "Sapto" kurang sesuai dengan latar pekerjaannya sebagai nelayan-miskin lagi. Ini memang sangat subyektif, tapi begini kira-kira kalau dirunut: KDL tertjadi di latar tempat sebuah pantai/ pesisir di daerah pantai kidul. Itu daerah pinggiran dengan-bisa jadi- tingkat pendidikan penduduk yang


20

relatif rendah. Maka bagi saya menjadi terlalu dipaksakan kalau nama salah satu penduduknya yang tergolong miskin adalah "Sapto". Apalagi nama anaknya adalah "Dirun", yang menurut saya lebih jelek dibandingkan nama "Sapto". Padahal biasanya orang tua akan memilih nama anaknya lebi bagus dari nama orang tuanya. Kekurangberterimaan penamaan "Sapto" bukan karena pemilik salah satu nama "Sapto" kebetulan adalah asistennya Rektor IKIP PGRI-Sapto Budoyo. Tapi terlepas dari itu, "Sapto" bagi saya terlalu "mewah" untuk ukuran seorang nelayanmiskin pula. Bukan pula karena saya yang dosen saja, sedang S3 pula, bernama "Turahmat". Apakah tidak boleh? tidak sah?. Sangat boleh dan sangat sah. Tetapi begini: bahwa realitas yang hadir/ dihadirkan dalam cerpen haruslah realitas yang wajar, tidak serta merta, logis, dan bisa dirunut. Di KDL juga muncul nama lain yang bagi saya sudah berterima, yaitu nama tokoh "Sarti" yang punya anak bernama "Karyo". Tema/ ide/ konsep dasar cerita. Konsep dasar menceritakan korban pembunuhan pada KDL adalah konsep/ ide/ tema yang sudah biasa. Menjadi tidak biasa lagi jikab itu bermuara dari "laut", sebagai sarana ekskusi. Dalam hal ini kita harus mengkui bahwa ada kebaruan pada KDL. Tapi menurut saya, itu akan menjadi sungguh-sungguh baru/ semakin baru jika bisa dieritakan bahwa laut tidak lagi serupa laut. Bahwa laut adalah sesuatu yang sangat mengerikan karena kematian bermuara darinya, terlepas ini akan dihubungkan pada kemisterian Nyi Roro Kidul atau tidak. Kita sungguh-atau setidaknya saya-sungguh tidak bisa memercayai begitu saja bahwa laut pada KDL sungguh-sungguh laut seperti yang biasanya kita lihat. Laut dalam hal ini bisa berwujud pasar, rumah bordir, negara, jabatan, pangkat,. kedudukan, televisi, bahkan sekolah, kampus, ataupun pondok pesantren. Atau dengan kata lain, laut adalah dimensi-dimensi atau institusi-institusi dalam kehidupan manusia yang memungkinkan terjadinya kekeraasan, kebrutalan, bahkan kematianpembunuhan-karena berbagai hal yang melatarinya, cinta, sek, nafsu, hedonisme, atau kapitalisme. Alur. Alur merupakan struktur naratif yang menjadikan cerita mengalir untuk bisa dipahami. Jalinan peristiwa tersebut bisa maju, mundur, atau campuran. Ketidakbaruan muncul pada KDL pada saat pemilihan alur. Serupa kisah seorang anak yang terlahir, dibesarkan, bermasyarakat, bermasalah, kemudian mati, alur pada KDL ditampilkan dengan cara yang begitu. Lurus saja, tidak berbalik, tidak berbingkai, atau tidak spiral. Menjadi lebih menarik jika pada KDL bisa ditampilkan alur yang lebih variatif.


21

Alur. Alur merupakan struktur naratif yang menjadikan cerita mengalir untuk bisa dipahami. Jalinan peristiwa tersebut bisa maju, mundur, atau campuran. Ketidakbaruan muncul pada KDL pada saat pemilihan alur. Serupa kisah seorang anak yang terlahir, dibesarkan, bermasyarakat, bermasalah, kemudian mati, alur pada KDL ditampilkan dengan cara yang begitu. Lurus saja, tidak berbalik, tidak berbingkai, atau tidak spiral. Menjadi lebih menarik jika pada KDL bisa ditampilkan alur yang lebih variatif. Bahkan pengarang seolah tidak PD saat menampilkan cerita dalam konsep alur ini. Itu muncul pada penandaan tanda bintang (***) di sela-sela larik cerpen. Saya mencatat ada lima tanda bintang (***), melebihi jumlah halaman-empat halaman cerpen KDL-ukuran normal. Pengarang terlalu memanjakan pembaca dengan menampilkan tanda bintang (***) itu. Atau pengarang takut pembaca tidak sepaham dengan kemauannya, sehingga perlu ditampilkan tanda bintang (***). Tanda bintang (***) itu bagi saya serupa pembagian babak pada naskah teater atau scene pada skenario film. Mengapa tidak dibebaskan saja? Saya menilai kemurahhatian pengarang menampilkan alat bantu berwujud tanda bintang (***) itu justru sebagai belenggu bagi pembaca. Pembaca-setidaknya saya-menjadi terkotak-kotak oleh penandaan itu. Imajinasi saya menjadi terbatas. Sungguh. Diksi/ gaya bahasa Pengarang memilih diksi pada tingkat yang lebih baik/ bagus dibanding diksi pada tulisan yang bukan cerpen. Kalimat pertama "Seperti malam-malam yang lain" sungguh tidak akan saya temui pada karya yang bukan cerpen. Apakah lalu bisa disebut bahwa gaya bahasanya bagus? belum tentu, atau bisa jadi. Atau janganjangan ini juga "perayaan?", mengingat sebagian cerpen juga begitu? Tapi setidaknya pengarang sudah naik satu tingkat, dan bisa melaju dengan percepatan yang tinggi pada jalur kecerpenan. Itu juga tampak pada "Warga telah menanti kedatangan Sapto di bibir pantai" bicara tentang bibir saya jadi ingat teman saya, Naka. Hanya saja, saya tidak menemukan bentuk lain dari konsep penceritaan yang melibatkan diksi ini. Misalnya repetisi. Saya belum menemukan pengulangan satu paragraf utuh yang kemudian diulang di lembaran-lembaran berikutnya seperti pada kumpulan cerpen Anjing Bulan. Kenapa harus repetisi? Ya, setidaknya itulah yang menurut saya memiliki kebaruan dibanding yang lain, yang tidak begitu. Tentu saja repetisi bukan satu-satunya bentuk yang bisa diterapkan, ada seabrek bentuk lain yang memungkinkan cerpen menjadi lebih "baru" dan tentu saja lebih "menarik". Jauh abad sebelumnya, ternyata model repetisi ini sudah muncul di Al Qur'an, pada-fabiayyi ala irobbikuma tukadzdziban-yang diulang sampai 31 kali. Ya,


22

tapi kita tetap bisa mengatakan bahwa penggunaan repetisi termasuk kebaruan atau-masih cukup baru- karena belum banyak yang begitu, perbandingannya adalah jumlah karya yang ada dengan yang "berepetisi". Bandingkan saja dengan, misalnya-alur maju-yang hampir semua karya/ sebagian besar karya menggunakan alur maju. Kedua, setelah bertolak dari strukturalisme dan-intrinsik-nya Wallek dan Warren, saya akan melihat KDL dari teori feminisme. Alasannya sederhana, karena Dina, pengarang KDL adalah perempuan. Ini jangan sampai berasumsi pada dikotomi lakilaki-perempuan, sehingga menjadi bias gender. Saya juga melihat dari bukti lain pada kutipan "Nyonya, perempuan itu sudah kami bunuh....Buang saja ke laut". Kutipan tersebut setidaknya sudah menandai bahwa KDL bermuatan feminisme. Peristiwa tokoh wanita sebagai isteri yang membunuh suaminya, membuktikan hal itu. Jika memang demikian, mengapa pengarang tidak sekalian memposisikan diri supaya-lebih feminis-sekalian. Karena pengarang juga tidak bisa menolak-dengan argumen yang logis-bahwa ia bukan/ tidak sedang berfeminisme. Kata feminis berasal dari kata femme, yang berarti perempuan (tunggal) yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Selden, dalam Ratna, 2004:184). Atau menurut saya semua karya sastra yang munculzaman dahulu-diciptakan oleh laki-laki, atau banyak diciptakan oleh laki-laki, sehingga perlu muncul teori feminisme. Kalau tidak demikian tentu sudah muncul teori tandingannya-teori maskulinisme. Kita tinggalkan teori-teori itu, dan kembali lagi pada KDL. Pertanyaan saya:mengapa pengarang tidak sekalian dengan cantik berani-sebagai lawan dari gagah berani-mengisahkan KDL dengan cara yang menurut ukuran masyarakat, tabu jika dilakukan oleh perempuan, karena itu adalah salah satu esensi teori feminisme. Pada wilayah sexsualitas misalnya, wilayah ini masih dianggap tabu jika disampaikan oleh perempuan-setidaknya di Indonesia. Menjadi lebih menarik jika sosok wanita sebagai isteri yang dihianati itu-misalnya, saking jengkelnya, sebelum membunuh suaminya, terlebih dahulu memotong kontol suaminya, "maaf, dengan pilihan kata yang bukan "alat kelaminnya", tapi langsung fulgar ke “kontol�. Ini tentu menjadi lebih menarik, apalagi jika dideskripsikan sekalian bagaimana proses pemotongan itu terjadi, di hadapan-selingkuhannya lagi, misalnya. Terakhir, saya akan melihat KDL berdasarkan teori dekonstruksi. Jaquees Derrida menyebutkan bahwa inti teori dekonstruksi adalah "teks dibalik teks". Sebuah karya tidak akan mungkin lahir dari kekosongan budaya. Ada makna yang tersembunyi di balik teks yang ditampilkan. Jika demikian lalu ke mana arah "gerak" KDL ini? Barangkali pengarang tidak akan menggerakkan KDL ini ke


23

mana-mana. Atau cukup berhenti saat sudah menjadi karya. Biasanya memang begitu. Justru jika terbebani oleh muatan-muatan tertentu, maka pengarang akan sangat terbelenggu, tidak bebas. Alih-alih menghasilkan karya yang bagus, justru bingung memikirkan muatan apa yang akan ditampilkan. Pada tataran ini kita harus lebih bijak untuk memandang karya ini dari pendekatan obyektif. Pendekatan obyektif berusaha memaknai karya secara otonom, lepas dari pembaca dan pengarangnya (Abraham). Jika demikian maka saya juga tidak akan menginterfensi untuk menerka-nerka ke mana kira-kira arah gerak KDL ini. Karena sebuah karya akan terlahir kembali saat dibaca oleh individu yang berbeda. Maka, ya sudah. Salam.[]


Aku dan Kabar dari Laut Heri CS, bergiat di Komunitas Lereng Medini dan Pondok Baca Ajar, Boja.

Pada waktu remaja, saat di bangku SMA, aku berkenalan dengan sebuah prosa di sebuah majalah remaja milik perpustakaan. Prosa dalam beberapa kolom itu dipojoknya dibubuhi keterangan halaman cerita pendek. Pada waktu itu, aku tak mengenal apa itu prosa. Pun, apa itu cerita pendek. Yang kupahami, itu adalah sebuah cerita. Mirip dengan dongeng yang dikisahkan orangtuaku sewaktu kecil, sebelum tidur. Aku masih mengingat beberapa judul dari cerpen di majalah remaja itu. Di antaranya, Kutunggu Kau di Pohon Sawo, Paimin, Aku Bukan Seperti yang Kau Sangka, dan Pak Guru yang Budiman. Ada yang kubaca judulnya saja. Ada yang hanya kubaca pada paragrap satu. Ada yang tak sadar sudah selesai kubaca, dan ada pula yang kubaca berulang-ulang. Kubaca judulnya saja, karena pada waktu itu, dalam insting literer otak tak menghendaki untuk melanjutkan. Simpul-simpul syaraf ada yang mendorong kesadaran diri untuk menepis tak suka dengan komposisi judul, sehingga aku berpikir, jika judul saja sudah tak menarik, apalagi dengan isi berikutnya. Ada yang kubaca hanya paragrap pertama saja sebab setelah saya baca di paragrap pertama saya sudah merasa lelah dan berat mata saya untuk melanjutkan mencermatinya. Dan, ada yang kubaca hingga selesai dan bahkan kuulangi membacanya sembari ngemil "ciki", atau kacang godog, atau balung kuwuk. Hal itu karena saya seperti terseret arus komposisi kata, struktur, dan muatan pesan teks di dalamnya. Sebuah cerita yang meninabobokan seperti dongen masa kecil. Pendongeng belum usai menamatkan cerita, namun yang didongengi sudah masuk dalam negeri dongeng itu sendiri, tertidur dalam mimpi. Kini, setelah sekian tahun, pengalaman remaja itu pun masih membekas. Perjumpaan dengan cerita pendek semakin tak terelakkan. Bertemu karyakarya sastrawan seperti Kuntowijoyo, Jujur Prananto, Seno Gumira



Ajidarma, dan Ahmad Tohari. Pun, dengan cerpen-cerpen karya anak muda--saya sebut beberapa saja; Setia Naka Andrian, Gunawan Tri Atmodjo, hingga Dina Ahsanta Puri. Dari pembacaan-pembacaan itu, aku semakin kaya dalam wawasan literer. Cerpen memang bukan sesuatu yang main-main. Sesuatu yang serius meskipun bercerita tentang sesuatu yang main-main. Cerpen juga bukan melulu curhat ala ABG yang sedang dilanda kasmaran ataupun sedang demam karena putus tali cintanya. Pun, cerpen juga bukan berkait dengan biografi atau latar belakang si penulisnya. Seperti apa yang pernah Seno pernah menulis, pendekatan sastra mutakhir selalu menolak untuk mengubungkan teks dengan biografi pembuatnya. Artinya, meskipun pengalaman hidup seseorang begitu dahsyat, ketika ia menuliskannya bisa saja terasa biasa-biasa saja. Sebaliknya, pengalaman yang biasa-biasa saja, kalau ditulis dengan intensitas dan kepekaan artistik, bukan tidak mungkin menjadi cerita yang lebih dari bagus. Berkaitan dengan pengalaman hidup seorang kreator dengan karyanya ini, beberapa orang secara serampangan menyebut: ilham, nur, ataupun “kewahyuan.� Lalu, beberapa hari lalu, saya dihadapkan pada cerpen Kabar dari Laut karya Dina Ahsanta Puri. Membaca Kabar dari Laut, simpul syaraf nalar saya langsung menggedor-gedor untuk menggerakkan pikir dan batin saya, menarik. Ya, menarik, namun ada beberapa catatan. Tentunya hal ini cukup beralasan. Pasalnya, setelah kurang lebih 38 bulan atau 3 tahun dua bulan, saya bersama teman-teman Komunitas Lereng Medini berkutat seputar laut, nelayan, beserta hal-hal di sekitarnya melalui novel Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea) karya Ernest Hemingway. Dari Kabar dari Laut dijumpai tokoh protagonis, lelaki nelayan bernama Sapto, laiknya Santiago dalam Lelaki Tua dan Laut. Juga, si yatim Dirun anak Sapto yang ditinggal wafat ibu Jumairoh. Dirun sendiri, seumpama Manolin, bocah yang menjadi sahabat Santiago. Ada pula tokoh warga di pemukiman nelayan, Sarti, dan Mi'un. Selain itu, juga ada tokoh antagonis, perempuan yang menyerbakan aroma rosemary dan ajudan. Membaca hingga akhir cerpen ini, penulis berhasil membuatku berada pada posisi “tebak-tebak buah manggis�. Dia berhasil membuatku bertanya-


tanya melalui teknik pembayangan (shadowing) yang dipakai penulis. “Janjanne si Jumairoh ki ning ndi? Wes mati opo durung sakdurunge Sapto ilang?” Hal ini karena ada ujaran si perempuan enerjik berkata, “Nyonya, perempuan itu sudah kami bunuh. Akan diapakan nantinya?” “Buang saja ke laut. Biar dia ketemu dengan pasangannya yang brengsek! Pastikan kau buang mayat itu di tempat yang banyak ikan hiunya. Biar lekas lenyap dan tak ada yang menemukan!” Atau, jangan-jangan si perempuan yang dibunuh adalah istri mayat lelaki yang ditemukan mati oleh si Sapto? Begitu, “tebak-tebak buah manggisnya”. Satu catatan lagi yang patut kusampaikan adalah perihal ekonomisasi kata. Ekonomisasi kata ini kukira perlu dan penting dalam sebuah prosa, tidak hanya cerpen. Beberapa bagian dalam cerpen ini masih belum ekonomis, efektif, dan efisien. Satu contoh adalah mulai dari paragraph pertama hingga ketiga. Kuberpikir, tiga paragraph pertama itu masih longgar. Bagiku, bisa dihilangkan sama sekali, atau dimampatkan dalam satu paragrap. Menulis cerpen bukan perkara mudah. Aku pribadi, mengakui kerapkali merasa gagal dan dungu dalam menyelesaikan sebuah cerpen. Sebagai apresian--bukan orang yang menilai atau mencermati, kuberi tepuk tangan pada penulis Kabar dari Laut. Sebagai cerpenis pemula sudah mampu memakai teknik-teknik yang lazim dipakai pula beberapa cerpenis yang kesohor. Terus menulis dan berproses, Puri. Sebagai penutup, kepada Puri juga kepada pembaca, kubagikan beberapa paragrap esai tentang cerita pendek oleh Hasif Amini berjudul, Cerita Pendek, Sadar Diri, Main-main, Diam (Bertandang dalam Proses: 1999): Cerita pendek, dengan ukurannya yang mini, dengan sendirinya langsung tampil sebagai artifak verbal, yang konkret, ostensible, tampak sekaligus awal hingga akhirnya, seperti sirkuit. Implikasinya: ia mesti menyadari elemen-elemen yang membentuknya. Dan karena unsur-unsur itu mesti menempati ruang yang bukan tak terbatas, maka tak terelakkan: cerpen menuntut ekspresi-ekspresi yang ketat, kuat, jitu. Dengan kata lain, sebuah tulisan yang memorable. Bila tidak, maka cerpen akan kehilangan daya


pikatnya dan hanya menjadi pseudo-dokumentasi yang terlampaui bernafsu, pongah, dan dungu. ... sifat "pendek" membawa implikasi bahwa cerpen jadi jelas sekali kehadirannya sbagai artifak verbal, sebagai "patung kata-kata"--nyaris seperti puisi. Cerita pendek pun menjadi wacana yang menguji diri lewat keiritan kata, keseimbangan ekspresi, dialektika antara sunyi dan bunyi dan sembunyi. Terang saja, cerpen yang baik bukanlah melulu celoteh dan penjelasan-penjelasan... "Novel yang baik mengakhiri 'pertandingan' dengan menang angka," kata Cortazar. "Sedangkan cerpen yang baik menang KO". Cerpen adalah kerutukan naratif yang bertubi-tubi, tanpa ampun, ditutup dengan kejutan yang menjotos kebiasaan maupun kejemuan kita secara telak, secara jitu.....[]

Redaksi menerima cerpen yang ingin diobrolkan dalam acara MejaCerpen. Setiapcerpen yang diulas akan mendapat berkah karena dibaca, diobrolkan, dan diapresiasi. Berminat? Silakan hubungi Naka (085641010277), Widyanuari (085225036797),Sulung (085642889366).Email lembahkelelawarsastra@yahoo.co.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.